Anda di halaman 1dari 36

RINGKASAN

ANALISIS PARADIGMA PENDIDIKAN


PANCASILAISME DAN DEMOKRATISM

A. Analisis Filsafat Pendidikan Pancasilaisme


1. Filsafat
Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta filsafat hidup bangsa
Indonesia, pada hakekatnya merupakan suatu nilai dasar yang bersifat
fundamental, sistematis, dan holistik. Sila per sila yang tersusun adalah satu
kesatuan yang bulat, utuh, dan hirarkis, sehingga dapat diartikan sebagai
suatu sistem filsafat.
Didasar pemikiran filosofis yang terkandung dalam setiap sila bahwa
Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara mengandung arti dalam setiap
aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan, dan kenegaraan yang
berdasarkan kepada nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan,
dan Keadilan.
Berdasarkan pengertian arti kata filsafat dalam Bahasa Indonesia,
berasal dari bahasa Yunani yakni “Philosophia” terdiri dari kata Philein yang
artinya Cinta dan Sophos artinya Hikmah atau Kebijaksanaan. Secara
harafiah filsafat mengandung arti cinta kebijaksanaan, yang mana cinta
diartikan sebagai hasrat yang besar atau bersungguh-sungguh, dan
kebijaksanaan diartikan sebagai kebenaran sejati atau kebenaran yang
sesungguhnya.
Menelaah sisi filosofis Pancasila dari kacamata beberapa tokoh
nasional, menurut Presiden Pertama Indonesia, Soekarno, filsafat Pancasila
yang dikembangkannya sejak tahun 1955 hingga 1965, filsafat Pancasila
diartikan sebagai pondasi yang dibuat secara mandiri oleh bangsa Indonesia
lantaran poin per poin yang membentuk Pancasila, diambil dari budaya dan
tradisi-tradisi luhur bangsa Indonesia yang lahir dari hasil akulturasi dan
asimilasi budaya India (Hindu - Budha), Barat (Kristen), dan Timur
Tengah/Arab (Islam). Salah sat poin khas yang lahir dan berasal dari tanah
nusantara adalah konsep keadilan sosial yang terinspirasi dari konsep ratu
adil.
Berbeda dengan Presiden Soekarno, Mantan Presiden Kedua Republik
Indonesia yakni Seoharto, filsafat Pancasila dalam butir per butir digiring
menjadi Indonesia dan mengganti cara perspektifnya dalam budaya Indonesia
sehingga menghasilkan sebuah aliran yang disebut dengan Pancasila Truly
Indonesia.
Pancasila yang terdiri dari lima sila, pada hakekatnya merupakan sistem
filsafat yang memiliki fungsi nyata bagi keberlangsungan negara ini, seperti
filsafat Pancasila sebagai pandangan hidup Bangsa Indonesia. Bagi sebuah
bangsa yang ingin berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas arah serta
tujuan yang ingin dicapainya, sangat mungkin memerlukan nilai-nilai luhur
yang dijunjung sebagai pandangan/filsafat hidup. Misalnya saja dalam adat
pergaulan hidup yang terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang
dicita-citakan oleh suatu bangsa, terkandung pikiran-pikiran yang terdalam
dan gagasan suatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik.
Selanjutnya, filsafat Pancasila sebagai Dasar Negara Republik
Indonesia, dalam hal ini Pancasila diartikan sebagai sebuah dasar nilai serta
norma untuk mengatur sistem pemerintahan atau penyelenggaraan negara
Indonesia. Pancasila juga dapat diartikan sebagai sebuah sumber dari segala
sumber hukum, yang mana kaidah hukum negara ini secara konstitiusional
mengatur negara dan rakyat-rakyatnya, Pancasila meruapkan pedoman untuk
menjalankan hal tersebut.
Selain kedua aspek diatas, filosofis Pancasila juga diartikan sebagai
Jiwa dan Kepribadian Bangsa Indonesia. Hal ini dimaksudkan sebagai aspek
pencerminan dari garis pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia
yang akan membedakan eksistensi Indonesia dengan negara lain. Meskipun
demikian, kepribadian bangsa Indonesia tetap berakar dari kepribadian
individual dalam masyarakat yang Pancasilais, serta gagasan-gagasan besar
yang tumbuh dan sejalan dengan filsafat Pancasila.
Sebagai ajaran falsafah, Pancasila mencerminkan nilai-nilai dan
pandangan mendasar dan hakiki rakyat Indonesia dalam hubungannya dengan
sumber kesemestaan, yakni Tuhan Yang Maha Pencipta. Asas Ketuhanan
Yang Maha Esa sebagai asas fundamental dalam kesemestaan, dijadikan pula
asas fundamental kenegaraan. Asas fundamental itu mencerminkan identitas
atau kepribadian bangsa Indonesia yang religius.
Pancasila telah dinyatakan menjadi milik nasional, artinya milik seluruh
bangsa Indonesia. Sekalipun telah merasa memiliki Pancasila, tetapi belum
tentu secara otomatis sudah mengamalkan Pancasila tersebut. Untuk dapat
mengamalkan Pancasila yang juga disebut menjadi Pancasilais seharusnya
memenuhi tiga syarat, yaitu (1) keinsyafan batin tentang benarnya Pancasila
sebagai falsafah negara, (2) pengakuan bahwa yang bersangkutan menerima
dan mempertahankan Pancasila, dan (3) mempersonifikasikan seluruh sila-
sila Pancasila dalam perbuatan dengan membiasakan praktek pengamalan
seluruh sila-sila dalam sikap, perilaku budaya, dan politik.
Pendekatan filsafat Pancasila adalah ilmu pengetahuaan yang
mendalarn tentang Pancasila. Untuk mendapatkan pengertian yang
mendalam, kita harus mengetahui sila-sila Pancasila tersebut. Dari setiap sila-
sila kita cari pula intinya. Setelah kita ketahui hakikat dan inti tersebut di atas,
maka selanjutnya kita cari hakikat dan pokok-pokok yang terkandung di
dalamnya, yakni: Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, berarti bahwa
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu dijadikan dasar dan pedoman
dalam mengatur sikap dan tingkah laku manusia Indonesia, dalam
hubungannya dengan Tuhan, masyarakat, dan alam semesta.

2. Teori
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 alinea keempat terdapat rumusan Pancasila sebagai dasar negara
Indonesia. rumusan pancasila itulah dalam hukum positif indonesia secara
yuridis-konstitusional sah, berlaku, dan mengikat seluruh lembaga Negara,
lembaga masyarakat, dan setiap warga Negara, tanpa kecuali. Rumusan
Pancasila secara imperatif harus dilaksanakan oleh rakyat Indonesia dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. setiap sila pancasila merupakan satui
kesatuan yang integral, yang saling mengandaikan dan saling mengunci.
ketuhanan dijunjung tinggi dalam kehidupan bernegara, tetapi
diletakkan dalam kontek negara kekeluargaan yang egaliter, yang mengatasi
paham perseorangan dan golongan; selaras dengan visi kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan kebangsaan, demokrasi permusyawaratan yang
menekankan konsesus, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan pancasila yang terdapat pada pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana pembukaan tersebut
sebagai hukum derajat tinggi yang tidak dapat diubah secara hukum positif,
maka Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia bersifat final dan mengikat
bagi seluruh penyelenggara negara dan seluruh warga negara Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya, Pancasila dalam tataran penerapannya
dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan masih kerap
diuji. ujian ini berlangsung sejak ditetapkannya hingga era reformasi sekarang
ini. Dengan berbagai pengalaman yang di hadapi selama ini, penerapan
Pancasila perlu diaktualisasikan dalam kehidupan kemasysrakatan,
kebangsaan, dan kenegaraan mengingat pancasila sebagai ideologi negara
yang merupakan visi kebangsaan Indonesia yang di pandang sebagai sumber
demokrasi yang baik di masa depan dan yang lahir dari sejarah kebangsaan
Indonesia.
Prof. Dr. Notonagoro, SH (1967) mengatakan, “lima unsur yang
terdapat pada pancasila bukanlah hal yang baru pada pembentukan Negara
Indonesia, tetapi sebelumnya dan selama-lamanya telah dimiliki oleh rakyat
bangsa Indonesia yang nyata ada dan hidup dalam jiwa masyarakat. Soekarno
melukiskan urgensi Pancasila bagi bangsa Indonesia secar ringkat namun
meyakinkan, “Pancasila adalah satu weltanschauung, satu dasar falsafah,
pancasila adalah satu alat mempersatu bangsa yang juga yang juga pada
hakekatnya satu alat mempersatu dalam perjuangan melenyapkan segala
penyakit yang telah dilawan berpuluh-puluh tahun yaitu terutama,
Imperealisme. perjuangan suatu bangsa, perjuangan melawan Imperealisme,
perjuangan mencapai kemerdekaan, perjuangan suatu bangsa yang membawa
corak sendiri-sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama.
Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuangnya sendiri, mempunyai
karakteristik sendiri. oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu
mempunyai kepribadian sendiri. kepribadian yang terwujud dalam pelbagai
hal, dalam wataknya, dan lain-lain sebagainya.”(Soekarno 1958).
a. Pengertian Pancasila Sebagai Suatu Sistem
Pancasila yang terdiri atas lima sila, pada hakekatnya merupakan
sebuah sistem filsafah. Yang di maksud dengan sistem adalah suatu
kesatuan bagianbagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk
satu tujuan tertentu dan keseluruhan merupakan satu kesatuan yang utuh.
Pancasila yang terdiri atas bagian-bagian yaitu sila-sila pancasila, setiap
sila pada hakekatnya merupakan asas tersendiri, fungsi sendiri-sendiri dan
tujuan tertentu, yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
pancasila. sila-sila pancasila yang merupakan sistem filsafah pada
hakekatnya merupakan satu kesatuan organik. Antara sila-sila Pancasila itu
saling berkaitan, saling mengkualifikasi. sila yang satu senantiasa
dikualifikasikan oleh sila-sila lainya, maka pada hakekatnya pancasila
merupakan sistem dalam pengertian bahwa bagian-bagian sila-silanya
saling berhubungan secara erat sehingga membentuk suatu struktur yang
menyeluruh. Kenyataan pancasila yang demikian disebut sebagai
kenyataan yang objektif, yaitu bahwa kenyataan itu ada pada pancasila itu
sendiri terlepas dari suatu yang lain atau terlepas dari pengetahuan orang.
kenyataan objektif yang ada dan terlekat pada pancasila, sehingga
pancasila sebagai suatu sistem bersifat khas dan berbeda dengan sistem-
sistem falsafah yang lain.
b. Dasar Ontologis sila-sila pancasila
Dasar Ontologis pancasila pada hakekatnya adalah manusia yang
memiliki hakekat mutlak monopluralis, hakekat dasar ini juga disebut
sebgai dasar antropologis. Subjek pendukung pokok-pokok pancasila
adalah manusia, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut Bahwa yang
berkeTuhanan yang maha esa, yang berkemanusian yang adil dan berdab,
yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah,
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta yang berkeadilan
sosial bagi seluruh rakyat indonesia adalah manusia (Notonegoro
1975:23). demikian juga jikalau kita pahami dari segi filsafat negara
bahwa pancasila sebagai dasar filsafat negara, adapun pendukung pokok
negara adalah rakyat, dan unsur rakyat adalah manusia itu sendiri,
sehingga tepatlah jika dalam filsafat pancasila bahwa hakekat dasar
antropologis sila-sila pancasila adalah manusia. Manusia sebagai
pendukung pokok sila-sila pancasila secara antologis memiliki hal-hal
mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan
rohani, sifat kondrat manusia adalah sebagai mahluk individu dan mahluk
sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai pribadi berdiri sendiri dan
sebagai mahluk tuhan yang maha esa. oleh karena itu kedudukan kodrat
manusia sebagai pribadi berdiri sendiri dan sebagai mahluk tuhan inilah
maka secara hirarkis sila pertama Ketuhanan yang maha Esa mendasari
dan menjiwai keempat sila-sila pancasila lainya (Notonegoro 1975:53).
c. Dasar Epistimologis sila-sila Pancasila
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakekatnya juga
merupakan suatu sistem pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari
pancasila merupakan pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam
memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa dan
negara tentang makna hidup serta sebagai dasar manusia dalam
menyelesaikan masalah yang terjadi dalam hidup dan kehidupan. Pancasila
dalam pengertian yang demikian ini telah menjadi suatu sistem cita-cita
atau keyakinan-keyakinan yang telah menyangkut praksis karena dijadikan
landasan hidup manusia atau suatu kelompok masyarakat dalam berbagai
bidang kehidupan masyarakat. Hal ini beraryi filsafat telah menjelma
menjadi ideologi (Abdul Gani. 1998). Sebagai suatu ideologi maka
pancasila memiliki 3 unsur pokok agar dapat menarik loyalitas dari
pendukungnya yang pertama adalah Logos yaitu rasionalitas atau
penalaran, Pathos yaitu penghayatanya dan ethos yaitu kesusilaannya
(Wibisono, 1996:3) Sebagai suatu sitem filsafat atau ideologi maka
pancasila harus memiliki unsur rasional terutama dalam kedudukannya
sebgai suatu sistem pengetahuan. Terdapat tiga persoalan dalam etimalogi
diantaranya, tentang sumber pengetahuan manusia, tentang teori kebenaran
pengetahuan manusia, dan watak pengetahuan manusia( Titus. 1984:3).
Berikutnya tentang susunan pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan
sebagai suatu sistem pengetahuan pancasila memiliki susunan yang
bersifat formal logis baik dalam arti susunan pancasila maupun isi arti sila-
sila pancasila. Susunan kesatuan sila-sila pancasila adalah bersifat hirarkis
dan berbentuk piramida.
d. Dasar Aksiologis Sila-Sila Pancasila
Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu
kesatuan dasar aksiologis, sehingga sehingga nilai-nilai yang terkandung
dalam pancasila panda hakekatnya juga merupakan satu kesatuan. Pada
hakekatnya segala sesuatu itu bernilai hanya nilai apa saja yang ada serta
bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia. Banyak pandangan
tentang nilai terutama dalam menggolongkan nilai dan penggolongan
tersebut beraneka ragam tergantung pada sudut paandangnya masing-
masing. Misalnya kalangan Materialis memandang bahwa hakekat nilai
yang tertinggi adalah nilai material, kalangan hedonis, berpandangan nilai
yang tertinggi adalah nilai kenikmatan, namun dari berbagai macam
pandangan tentang nilai kita dapat kelompokan menjadi dua macam sudut
pandang, yaitu : bahwa sesuatu itu bernilai karena berkaitan dengan subjek
pemberi nilai, yaitu manusia. Hal ini bersifat subjektif , namun juga
terdapat pandangan bahwa pada hakekatnya sesuatu itu memang ada pada
dirinya sendiri, memang bernilai hal ini merupakan pandangan dari faham
objektivisme.
Max Scheler mengemukakan bahwa pada hakekatnya nilai itu berjenjang,
jadi tidak sama tingginya dan tidak sam luhurnya. Notonagoro merinci
nilai disamping berting juga berdsarkan jenisnya, ada yang bersifat
material dan non material. Nilai-nilai pancasila termasuk nilai kerohanian,
tetapi nilai-nilai kerohanian yang mengakui nilai material dan nilai fital.
Dengan demikian nilai-nilai pancasila tergolong nilai kerohanian yang
juga mengandung nilai-nilai lain yang lengkap dan harmonis, yaitu nilai
material, nilai fital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau estetis, nilai
kebaikan atau nilai moral maupun nilai kesucian yang secara keseluruhan
bersifat sistematik-hirarkis, diamana sila pertama sebagai basisnya dengan
sila kelima sebagai tujuannya (Darmo Diharjo, 1978).

3. Praksis
Adapun praksis filsafat Pancasila dalam pendidikan dapat sebetulnya
dilihat dari beberapa perannya, sebagai berikut:
a. Pengajaran akan adanya Tuhan
Mengambil Pancasila dari PPKN sangat penting karena yang terakhir
mengajarkan siswa hanya tentang urusan negara, dengan Pancasila tidak lagi
digunakan sebagai referensi untuk membentuk perilaku. Perilaku yang baik
juga terbentuk jika mereka memiliki pemahaman yang baik akan ketuhanan
YME sebagaimana ada di dalam sila pertama. Argumen valid lainnya yang
mendukung Pancaisla adalah bahwa di antara banyak kelompok etnis dan
agama di Indonesia, ada perasaan kuat bahwa hanya Pancasila yang dapat
menjamin tempat yang adil untuk setiap kelompok, bahkan jika itu adalah
minoritas kecil. Hidup tidak akan didominasi oleh mayoritas besar.
b. Mengajarkan cara mendidik sesuai dengan keadilan dan adab yang baik
Bangsa perlu mengevaluasi kembali bagaimana pendekatannya
menyebarkan nilai-nilai Pancasila dan bahwa kegiatan kemahasiswaan,
termasuk Gerakan Pramuka Indonesia dan organisasi OSIS resmi, harus
mengadopsi wawasan kebangsaan [pandangan kepulauan]. Lebih penting
lagi, Pancasila harus dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari,
menunjukkan bahwa upacara pengibaran bendera tidak lagi wajib di
sekolah.
c. Persatuan
Karena Indonesia sendiri terdiri dari beragam bangsa dan suku maka
pancasila adalah salah satu pedoman wajib dalam wawasan pendidikan yang
akan mengajarkan tentang persatuan sebagaimana yang dituangkan pada sila
ketiga. Inilah yang di ajarkan dalam tuangan isi sila ketiga yaitu persatuan
Indonesia.
d. Ajaran untuk bermusyawarah
Sesuai dengan isi sila ke 4 maka pendidikan yang didasarkan atas sila
ke 4 akan mengajarkan untuk menghargai dan melakukan musyawarah
dalam memecahkan segala permasalahan dan kasus pelik yang di hadapi
oleh bangsa Indonesia.
Tujuan dari penelitian ini adalah karya-karya “founding fathers”
(terutama Bung Karno) Pancasila, dan karya-karya Ki Hajar Dewantara,
Notonagoro dan Driyarkara tentang filsafat Pancasila, tentang pendidikan
dan kebangsaan, dan dialog dengan karya-karya tokoh lain yang relevan,
dan refleksi pada berbagai isu filosofi pendidikan nasional seperti contoh
kebijakan publik dibidang pendidikan.
e. Mengajarkan Keadilan
Tidak ada yang boleh membeda bedakan status dalam pendidikan di
Indonesia. Ini adalah cangkupan dari isi sila ke lima yang ada di Negara
kita.  Upaya-upaya ini membutuhkan kepemimpinan nasional yang kuat dan
aktif, berkomitmen untuk pelaksanaan Pancasila sebagai warisan budaya
kita dan sebagai Prinsip Dasar Republik. Seorang pemimpin yang mampu
memberikan contoh kepada semua orang dan tim kepemimpinan lokal. Ini
akan memotivasi orang untuk mencapai yang terbaik di setiap aspek
kehidupan.
Itulah mengapa kepemimpinan nasional yang kuat sekarang harus
secara serius memulai penerapan nilai-nilai Pancasila. Langkah pertama
yang harus dilakukan adalah merealisasikan semboyan bangsa Bhinneka
Tunggal Eka atau Bhinneka Tunggal Ika. Ini berarti menghormati tempat
dan kebebasan Individu selaras dengan kebutuhan persatuan sosial. Ini juga
berarti pengakuan akan pentingnya setiap kelompok etnis dan agama dalam
kesatuan nasional. Nasionalisme harus berbunga di taman
Internasionalisme, sebagaimana dinyatakan oleh Bung Karno. Karena itu
Pancasila berarti Harmoni dan bukan konflik dalam kehidupan.
Menurut Pancasila, upaya yang kuat harus dilakukan untuk
menciptakan kemakmuran yang lebih tinggi bagi semua orang. Orang yang
hidup di bawah garis kemiskinan tidak lagi ada di Indonesia; digantikan
oleh Kelas Tengah yang kuat dan luas sebagai mayoritas penduduk. Semua
orang harus memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam kehidupan
politik, tetapi politik harus berorientasi pada penciptaan masyarakat yang
sejahtera. Kehidupan ekonomi harus mengembangkan daya saing nasional
untuk memungkinkan bangsa berpartisipasi secara efektif dalam ekonomi
internasional, dan menjadi bagian dari globalisasi tanpa membahayakan
kepentingan nasional dan kehidupan masyarakat umum.

4. Praktik
Berikut ini adalah beberapa praktek penerapan nilai-nilai filsafat
Pancasila yang bisa kita pelajari dan amalkan dalam kehidupan kita:
a. Menjaga Toleransi
Sudah dibahas secara singkat sebelumnya bahwa salah satu
karakteristik dari filsafat Pancasila adalah monodualis dan monopluralis.
Terkait karakteristik ini, contoh filsafat Pancasila yang bisa diterapkan
dalam keseharian kita adalah menjaga toleransi antar individu dan
kelompok. Sebagai manusia, tidak bisa dipungkiri bahwa kita membutuhkan
kehidupan sosial dengan berinteraksi dengan manusia lainnya. Di saat yang
sama, setiap manusia memiliki perbedaan, terutama di Indonesia yang
memiliki begitu banyak keragaman budaya, ras, suku, agama dan lain
sebagainya. Di sinilah fungsi toleransi dalam kehidupan dan dengan
karakteristik monopluralis yang dibawa oleh filsafat Pancasila, kita harus
bisa menerapkan kehidupan toleransi dalam keseharian kita.
b. Menjaga Kerukunan Umat Beragama
Sebagai warga negara Indonesia, kita wajib untuk menganut agama
yang dipercayai. Dalam menganut agama tersebut, kita juga berkewajiban
untuk menjalankan perintah agama dan menjauhi larangan dari agama itu.
Di Indonesia, pemerintah memberi jaminan untuk warga negara bebas
menganut agama yang diyakininya. Maka, sebagai warga negara pun kita
juga harus mendukung kebebasan beragama ini dengan tidak memaksakan
keyakinan kita terhadap orang lain. Kita juga harus menjaga kerukunan
umat beragama sebagai contoh filsafat Pancasila dalam kehidupan sehari-
hari. Hal ini bisa menjadi salah satu bagian dari contoh contoh sikap
toleransi antar umat beragama di Indonesia.
c. Penyelenggaraan Negara Sesuai Dengan Nilai Ketuhanan
Pancasila yang menjadi dasar falsafah Indonesia adalah sumber nilai-
nilai yang ada di Indonesia, termasuk nilai-nilai dalam penyelenggaraan
negara. Dalam hal ini, Pancasila juga memberi dasar bahwa segala
penyelenggaraan negara, baik materi maupun spiritual, harus sesuai dengan
nilai-nilai ketuhanan seperti yang dipaparkan dalam sila pertama Pancasila.
Negara bersifat material maksudnya adalah bentuk negara, tujuan negara,
hukum, sistem negara dan sebagainya. Sementara itu yang dimaksud dengan
negara bersifat spiritual adalah moral negara, moral penyelenggara negara,
dan semacamnya. Oleh karena itu, berpegang pada sila pertama Pancasila,
kesemua aspek pelaksanaan negara, baik material dan spiritual tersebut,
harus sesuai dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan sebagai kausa prima.
d. Menaati Dan Mematuhi Peraturan Yang Berlaku
Dalam kehidupan bernegara, sudah pasti terdapat hukum yang berlaku
untuk ditaati oleh seluruh warga negara. Pancasila sebagai dasar negara
merupakan sumber dari hukum dan nilai-nilai yang berlaku di Indonesia.
Maka, kita sebagai warga negara Indonesia hendaknya mematuhi peraturan
yang berlaku. Tidak hanya peraturan berupa hukum yang tertulis, juga
peraturan yang berupa nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, dimana
nilai dan norma ini kadangkala tidak dinyatakan secara tertulis.
e. Memihak Dan Membela Negara
Para pahlawan dan pendiri bangsa Indonesia telah berjuang
mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan Indonesia. Hal inilah yang harus
kita jaga dan pertahankan sebagai generasi penerus bangsa. Ini juga
merupakan contoh filsafat Pancasila yang penting untuk diterapkan dalam
kehidupan bernegara. Untuk memihak dan membela negara di zaman
modern saat ini tidak selalu berupa partisipasi dalam kegiatan peperangan,
atau bergabung menjadi tentara atau profesi bela negara lainnya. Ada
banyak bentuk bela negara yang bisa kita lakukan sebagai warga sipil.
Contoh cara mewujudkan bela negara bagi generasi muda saat ini misalnya
dengan senantiasa memilih produk buatan negara sendiri daripada produk
impor atau dengan menjaga nama baik bangsa di mata dunia, terutama di era
globalisasi dimana persaingan antar negara dapat terjadi dengan sangat
mudah.
f. Tidak Membuat Perpecahan Antar Kelompok
Sebagai warga negara Indonesia, kita memiliki kebebasan berpendapat
dan berkelompok. Tidak jarang sebagai anggota kelompok kita merasa
kelompok kitalah yang paling baik dibandingkan kelompok-kelompok
lainnya. Hal ini bisa menimbulkan rasa ingin menjatuhkan atau menjelekkan
kelompok lain tersebut. Tindakan seperti ini bisa mengakibatkan perpecahan
hingga merusak persatuan bangsa kita. Oleh karena itu, sebagai salah satu
pengamalan Pancasila, kita harus bisa menjaga persatuan bangsa. Salah satu
caranya adalah dengan tidak membuat perpecahan antar kelompok. Kita
harus memahami bahwa setiap kelompok memiliki nilai-nilai yang diyakini,
yang mungkin berbeda dengan kelompok yang lain. Perbedaan tersebut
haruslah kita hargai dan tidak kita hina atau jatuhkan sebagai salah satu
upaya menjaga keutuhan NKRI.
g. Mengakui Persamaan Derajat
Di sekitar kita terdapat begitu banyak manusia dari beragam kalangan
dan golongan. Seringkali perbedaan kalangan atau kelas di masyarakat
membuat seseorang lupa dan merasa lebih superior dibanding orang lain.
Hal ini bisa berujung pada tindakan semena-mena kepada orang lain,
bersikap mau sendiri, sombong dan lain-lain. Tentu saja sikap seperti ini
tidak bisa dibenarkan dalam filsafat Pancasila. Kita harus mengakui
persamaan derajat di masyarakat. Tidak ada yang lebih superior atau lebih
rendah dibandingkan orang lainnya. Kita semua sama-sama manusia yang
wajib untuk menjaga hak orang lain dan kebebasan orang lain. Dengan
berpikir demikian, diharapkan kita akan lebih bisa menghormati orang lain
karena kita semua memiliki derajat yang sama sebagai manusia.
h. Menegakkan Keadilan
Terdapat satu sila dalam Pancasila yang berisi ‘keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia’. Mengacu pada isi Pancasila ini kita bisa segera
menyimpulkan bahwa menegakkan keadilan di masyarakat termasuk dalam
contoh filsafat Pancasila yang harus dipatuhi. Keadilan bukan selalu berarti
sama rata, melainkan menempatkan segala sesuatu pada porsi atau
tempatnya. Tidak hanya itu, keadilan ini berlaku juga pada semua lapisan
masyarakat. Penerapan keadilan di masyarakat sedikit berkaitan dengan
poin sebelumnya, yaitu persamaan derajat. Keadilan harus ditegakkan tanpa
pandang bulu apakah orang tersebut adalah rakyat biasa ataukah pejabat
negara. Semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata
hukum dan negara.
i. Penegakan Demokrasi
Penegakan demokrasi di Indonesia juga termasuk dalam contoh
filsafat Pancasila. Hal ini mencerminkan sila keempat Pancasila, yaitu
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan. Dalam sila keempat inilah dicerminkan
bagaimana Indonesia menjadi negara yang menganut demokrasi Pancasila.
Tidak hanya itu, sila keempat Pancasila ini juga menggambarkan bahwa
Pancasila sangat menjunjung tinggi kerakyatan dan kekeluargaan, dimana
ada keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat
umum.
  
B. Analsisi Filsafat Pendidikan Demokratisme
1. Analisis filsafat
Di dalam berbagai analisis maupun teori tentang demokrasi, pemerintahan
demokratis di masa Yunani Kuno selalu menjadi bahan kajian yang
menarik.Aristoteles memulai dengan pengandaian dasar tentang apa itu negara,
dan siapa itu manusia. Baginya, adanya negara adalah sesuatu yang alamiah,
karena manusia, pada hakekatnya, adalah mahluk politis. Dengan kata lain,
karena manusia, secara alamiah, adalah mahluk politis, maka negara, sebagai
komunitas politis, pun juga adalah sesuatu yang ada secara alamiah. “Dengan
demikian,” tulis Aristoteles, “adalah jelas bahwa negara adalah ciptaan dari alam,
dan manusia secara alamiah adalah binatang yang politis.” Lalu, bagaimana
dengan orang-orang yang tak punya negara, atau yang tak tergabung dengan
komunitas politis tersebut? Aristoteles secara jelas membedakan antara orang-
orang yang tak memiliki negara secara sengaja di satu sisi, dan orang-orang yang
terpaksa tidak memiliki negara. Orang-orang yang memilih untuk tak bernegara,
bagi Aristoteles, adalah orang-orang yang jahat, yang sekaligus tidak mengenal
hukum, pecinta perang dan kekacauan, serta kejam.
Benarkah manusia adalah mahluk politis, dalam arti mahluk yang
membentuk polis, atau kota, atau komunitas politis? Benarkah bahwa dia, secara
alamiah, terdorong untuk hidup bersama manusia-manusia lainnya dalam satu
komunitas? Ini jelas merupakan pengandaian antropologis dari filsafat politik
Aristoteles. Dan, menurut saya, ini bukan hanya konsep teoritis, melainkan juga
selalu berpijak pada pengalaman nyata manusia-manusia konkret di dunia. Tidak
ada satu pun manusia yang hidup tanpa komunitas. Identitasnya sebagai manusia,
termasuk kediriannya, pun diberikan oleh komunitas tempat ia hidup dan
berkembang. Ada hubungan timbal balik antara manusia dan komunitasnya. Di
satu sisi, manusia menciptakan komunitasnya. Di sisi lain, ia pun diciptakan oleh
komunitasnya. Dalam arti ini, saya sepakat dengan Aristoteles, bahwa dorongan
untuk menciptakan tata politik, yakni sebagai manusia manusia politis, adalah
kodrat alamiah manusia.
Dengan berpijak pada pengandaian, bahwa manusia adalah mahluk politis,
dan bahwa negara adalah sesuatu yang alamiah, Aristoteles menegaskan, bahwa
di dalam negara, selalu ada struktur kekuasaan, yakni antara yang memerintah,
dan yang diperintah. Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah ini
memiliki beberapa model. Model pertama adalah model yang primitif, di mana
politik ditujukan untuk sepenuhnya kepentingan pemerintah, atau penguasa.
Model ini disebutnya sebagai model hubungan tuan dan budak. “Kekuasaan dari
seorang tuan,” demikian tulis Aristoteles, “walaupun budak dan tuan secara
alamiah memiliki kepentingan yang sama, bagaimanapun juga selalu memihak
pada kepentingan tuan.” Walaupun begitu, tuan tetap harus memikirkan dan
mempertimbangkan kepentingan budaknya. Jika budak hancur, maka
kepentingan tuan pun tidak akan terpenuhi. Tanpa budak, tidak ada tuan. “Jika
budak hancur”, demikian tulisnya, “maka kekuasaan sang tuan pun ikut hancur
bersamanya.”
Pada titik ini, menurut saya, Aristoteles memberikan argumen yang amat
baik tentang hakekat kekuasaan, yakni, pada hakekatnya, kekuasaan itu bersifat
timbal balik. Di satu sisi, publik membutuhkan penguasa, pemerintah, dan
pemimpin untuk menjalankan rutinitas hidup sehari-hari, dan menjamin, bahwa
semua kebutuhannya, sedapat mungkin, terpenuhi. Di sisi lain, penguasa,
pemerintah, ataupun para pemimpin membutuhkan publik untuk melegitimasi
kekuasaannya, atau, dalam bahasa filsafat, memberikan “alasan adanya”
kekuasaan itu. Poin ini, pada hemat saya, penting untuk diperhatikan oleh para
penguasa politis di seluruh dunia, terutama untuk para tiran yang memerintah
dengan tangan besi dan penindasan. Tidak ada kekuasaan yang bisa bertahan,
tanpa publik yang mendukung kekuasaan itu. Maka, tidak ada tiran yang akan
terus bertahan, selama ia terus menindas dan mengabaikan kepentingan rakyat
banyak. Kekuasaan, pada dirinya sendiri, sudah selalu melahirkan kontrol, yakni
kepentingan publik itu sendiri. Dari sudut pandang ini, tirani, ataupun bentuk
kekuasaan yang menindas lainnya, secara niscaya akan menghancurkan dirinya
sendiri.
Model kekuasaan kedua, menurut Aristoteles, adalah model rumah tangga,
yakni antara orang tua dan anaknya di dalam sebuah keluarga. Di dalam model
ini, kekuasaan digunakan untuk memenuhi kepentingan semua pihak, terutama
pihak yang dipimpin. Orang tua memimpin rumah tangga untuk kebaikan anak-
anaknya, dan bukan untuk kebaikan orang tuanya semata. Logikanya begini,
karena orang tua memperhatikan kepentingan anak-anaknya, maka, secara tidak
langsung, kepentingan mereka pun terpenuhi, dan semua pihak akhirnya
mendapatkan kepuasan. “Pemerintahan yang terdiri dari istri dan anak dan
rumah tangga, yang disebut juga manajemen rumah tangga”, demikian tulis
Aristoteles, “ada pertama-tama untuk kebaikan dari pihak yang diperintah atau
juga demi kebaikan kedua belah pihak, tetapi secara esensial untuk kebaikan
yang diperintah.” Jika model ini diterapkan di level politik, yakni lebih
masyarakat luas, maka yang tercipta kemudian adalah tata politik demokratis. Di
dalam politik demokratis, menurut Aristoteles, negara bergerak di dalam
kerangka prinsip kesetaraan antara manusia. Penguasa pun tidak lagi digilir
berdasarkan darah ataupun kekuatan militer, melainkan dipilih bergantian di
antara orang-orang terbaik yang ada di dalam masyarakat tersebut. Para penguasa
dipilih, karena mereka dianggap bisa memberikan yang terbaik untuk masyarakat,
dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat luas. Dengan menjalankan
peranannya, sang penguasa, yang dipilih secara bergantian, pun mendapatkan
keuntungan berlimpah. “Seperti situasi alamiahnya,” demikian tulis Aristoteles,
“orang akan bergantian melayani sebagai penguasa, dan sekali lagi, orang lain
akan memperhatikan kepentingannya, sama seperti dia, ketika ia memimpin,
memperhatikan kepentingan mereka.” Inilah politik yang ideal menurut
Aristoteles.
Gagasan ini, pada hemat saya, merupakan jantung hati dari teori
demokrasi. Penguasa memimpin rakyat untuk kebaikan rakyatnya, dan ketika ia
menjadi rakyat kembali, dan penguasa lain yang memimpin, ia pun, si mantan
penguasa politik, akan diperhatikan kepentingannya. Seluruh praktek demokrasi
yang terjadi di dunia sekarang ini sebenarnya berpijak pada prinsip ini. Tentu
saja, seperti juga di jaman Aristoteles hidup, banyak penyelewengan yang terjadi
di dalam politik demokratis. Misalnya, sang penguasa politis ingin tetap berada
sebagai penguasa, bukan karena untuk melayani kepentingan rakyatnya,
melainkan untuk memperkaya diri, maupun kelompoknya. Padahal, mereka
sebenarnya tahu, bahwa jika memerintah dengan jelek, maka setelah turun dari
kursi pemerintahan, mereka akan dibenci. Demi kebaikan seluruh rakyat, dan
kebaikan dirinya sendiri, maka seorang penguasa politis harus memerintah
dengan baik dan adil. Ini, pada hemat saya, adalah sesuatu yang amat logis, yang
amat penting di dalam seluruh logika demokrasi, yang kini menjadi paradigma
politik dominan di seluruh dunia. Belum terciptanya demokrasi di Indonesia
bukan berarti, bahwa demokrasi, sebagai konsep dan tujuan politis, cacat.
Sebaliknya, proses demokratisasi belumlah kelar di Indonesia, dan tidak ada
alasan untuk berhenti sekarang.
“Kesimpulannya jelas”, demikian tulis Aristoteles, “pemerintah yang
berpihak pada kepentingan bersama dibentuk sesuai dengan prinsip keadilan yang
ketat.. yakni negara yang merupakan komunitas orang-orang bebas.” Negara
yang cacat adalah negara yang hanya mementingkan kepentingan dan keinginan
penguasa politis. Bentuknya bisa beragam, mulai dari monarki, sampai dengan
totalitarisme militer. Negara demokratis, menurut Aristoteles, persis berkebalikan
dengan model semacam itu. Negara demokratis adalah komunitas orang-orang
bebas. Penguasanya mengabdi pada kepentingan rakyat, bukan karena Tuhan
memerintahkannya, melainkan karena ia tahu, pola semacam itu juga baik untuk
dirinya. Di Indonesia sekarang ini, demokrasi adalah sistem politik yang
digunakan. Namun, argumen sentral Aristoteles, yakni demokrasi sebagai
komunitas orang-orang bebas, belumlah menjadi roh demokrasi di Indonesia.
Warga negaranya masih hidup dalam kungkungan dua hal, yakni kungkungan
agama yang penuh dengan perintah dan larangan, serta kungkungan hasrat untuk
mengumpulkan harta benda dan uang. Dengan kata lain, kebebasan adalah
prasyarat demokrasi. Selama orang masih mengikat dirinya sendiri dengan
kebodohan-kebodohan mitologis, maka selama itu pula, mentalitas demokratis
tidak akan tercipta, walaupun sistemnya sudah di bangun.
Namun, kebebasan apakah yang dimaksud oleh Aristoteles? Apakah bebas
sebebas-bebasnya, di mana orang bisa melakukan apapun yang ia mau? Pada
hemat saya, berpijak pada konsep manusia menurut Aristoteles, yakni sebagai
mahluk rasional, atau hewan yang rasional, kebebasan Aristotelian dapat dilihat
sebagai kemampuan manusia untuk mengambil jarak dari dunia sekitarnya, dan
membuat penilaian rasional. Dengan penilaian rasional ini, manusia memutuskan,
tindakan apa yang akan ia lakukan. Dalam konteks Indonesia, kebebasan
semacam ini masih langka. Di dalam berpikir dan membuat keputusan, orang
masih diperbudak oleh doktrin-doktrin agama, maupun hasrat dari dalam dirinya
untuk mendapatkan uang lebih banyak. Dua hal ini mengaburkan kemampuannya
untuk mengambil jarak dari dunia. Dua hal ini, menurut saya, juga mengaburkan
kemampuannya untuk berpikir rasional. Demokrasi, menurut Aristoteles, adalah
komunitas dari orang-orang bebas, yakni orang-orang yang mampu mengambil
jarak dari dunia, mempertimbangkan secara rasional keputusannya, dan
bertindak. Selama orang-orang Indonesia masih berada di bawah pola berpikir
mitologis religius dan ekonomis, selama itu pula, kita tidak akan menjadi
komunitas orang-orang bebas.
Aristoteles juga mendefinisikan beberapa bentuk pemerintahan. Baginya,
setiap bentuk pemerintahan harus didasarkan pada suatu hukum, atau konstitusi.
Penguasa politis, atau pemerintah, adalah otoritas tertinggi dalam suatu negara
yang menentukan segalanya. Penguasa politis itu bisa terdiri dari satu orang,
beberapa orang, atau semua orang. Pada titik ini, Aristoteles membedakan antara
pemerintahan yang sejati, dan pemerintahan yang sesat. Pemerintahan yang sejati
menjadi kepentingan bersama sebagai titik pijak semua kebijakannya. Sementara,
pemerintahan yang sesat menjadikan kepentingan satu orang, atau golongan
tertentu, sebagai titik pijak kebijakannya. Pemerintahan yang sejati, dan
pemerintahan yang sesat, bisa dipimpin oleh satu orang, beberapa orang, atau
semua orang.
“Pemerintahan yang sejati”, demikian tulis Aristoteles, “dengan demikian,
adalah pemerintahan dimana satu, atau beberapa, atau banyak, memerintah
dengan pandangan pada kepentingan bersama; tetapi pemerintahan yang melihat
hanya pada kepentingan pribadi, baik itu kepentingan satu, beberapa, atau banyak
orang, adalah suatu kesesatan.”
Aristoteles membedakan beberapa bentuk pemerintahan yang sejati, yakni
pemerintahan yang mengabdi pada kepentingan rakyat banyak. Pemerintahan
yang dipimpin oleh satu orang, dan mengabdi pada kepentingan banyak orang,
disebut sebagai monarki. Pimpinannya adalah raja. Pemerintahan yang dipimpin
oleh beberapa orang, dan mengabdi pada kepentingan bersama, adalah
aristokrasi. Pimpinannya adalah orang-orang terbaik yang ada di masyarakat
tersebut. Sementara, pemerintahan yang dijalankan oleh banyak orang, yang
mewakili semua orang, disebut juga sebagai pemerintahan konstitusi, atau
demokrasi. Di dalam sistem politik semacam ini, satu orang, atau bahkan
beberapa orang, dianggap tidak mampu menjamin, bahwa kepentingan bersama
bisa terwujud. Maka, mereka perlu mendapatkan bantuan dari orang-orang
lainnya.
“Satu orang atau beberapa orang”, demikian tulis Aristoteles, “mungkin
memiliki keunggulan di beberapa bidang; namun dengan bertambahnya jumlah
maka semakin sulit bagi mereka untuk mencapai kesempurnaan di berbgai bidang
keuggulan, walaupun mungkin ini adalah keunggulan militer, yang merupakan
kegemaran dari massa.” Dalam konteks ini, rakyat adalah penguasa tertinggi
yang menjamin, bahwa para penguasa politis harus memperhatikan kepentingan
bersama.
Dari ketiga bentuk sistem politik ini, semuanya bisa terpelintir menjadi
pemerintahan yang sesat, yakni pemerintahan yang tidak memperhatikan
kepentingan bersama. Pemerintahan monarki dengan mudah dipelintir menjadi
tirani, di mana satu orang penguasa memerintah dengan sewenang-wenang, tanpa
memperhatikan kepentingan bersama, dan hanya memperhatikan kepentingan
sang raja sendiri. Pemerintahan aristokrasi dengan mudah dipelintir menjadi
oligarki, dimana beberapa orang memerintah dengan sewenang-wenang, hanya
memperhatikan segelintir orang-orang kaya saja. Sementara, pemerintahan
demokrasi bisa dengan mudah tergelincir menjadi pemerintahan anarki, atau
pemerintahan oleh orang-orang yang bergantung pada negara, dan tak mampu
berdiri sendiri. Saya, dengan berpijak pada argumen Aristoteles, menyebutnya
sebagai parasitokrasi, yakni pemerintahan oleh orang-orang yang hanya meminta
dan menuntut, tetapi tak mau bekerja keras, alias pemerintahan oleh para parasit.
Melihat pembagian tipe-tipe sistem politik tersebut, bagaimana kita
membaca situasi Indonesia? Apakah Indonesia bisa dibilang sebagai negara
demokrasi? Ataukah, Indonesia kini sudah menjadi semacam oligarki?
Pembagian sistem-sistem politis yang dilakukan oleh Aristoteles, pada hemat
saya, amatlah masuk akal dan relevan, terutama untuk melihat situasi politik kita
sekarang di Indonesia. Sekarang ini, di Indonesia, demokrasi hanyalah nama
untuk pencitraan semata, dan tidak memiliki isi yang asli. Yang sesungguhnya
menjadi sistem politik di Indonesia sekarang ini adalah oligarki, yakni
pemerintahan oleh beberapa orang kaya untuk kepentingan orang-orang kaya
juga. Kepentingan bersama nyaris tak pernah jadi pertimbangan, kecuali
kepentingan bersama tersebut secara langsung beririsan dengan kepentingan para
orang-orang kaya. Sekarang ini, para penguasa politik adalah orang-orang yang
kaya secara ekonomi, sehingga mereka punya modal untuk ikut pemilu, atau
pilkada. Tidak hanya itu, para calon kepala daerah maupun presiden pun adalah
orang-orang kaya yang, ketika menjabat nanti, juga memikirkan kepentingan diri
dan golongannya, supaya mereka bisa lebih kaya. Dalam semua proses ini,
kepentingan rakyat banyak pun semakin terpinggirkan. Pada hemat saya, keadaan
ini tidak akan banyak berubah sampai kurang lebih sepuluh tahun ke depan.

2. Analisis Teori
            Plato dalam ajarannya menyatakan bahwa dalam bentuk
demokrasi, kekuasaan berada di tangan rakyat sehingga kepentingan
umum (kepentingan rakyat) lebih diutamakan. Secara prinsipil, rakyat
diberi kebebasan dan kemerdekaan. Akan tetapi kemudian rakyat
kehilangan kendali, rakyat hanya ingin memerintah dirinya sendiri dan
tidak mau lagi diatur sehingga mengakibatkan keadaan menjadi kacau,
yang disebut Anarki. Aristoteles sendiri mendefiniskan demokrasi sebagai
penyimpangan kepentingan orang-orang sebagai wakil rakyat terhadap
kepentingan umum. Menurut Polybius, demokrasi dibentuk oleh perwalian
kekuasaan dari rakyat. Pada prinsipnya konsep demokrasi yang
dikemukakan oleh Polybius mirip dengan konsep ajaran Plato. Sedangkan
Thomas Aquino memahami demokrasi sebagai bentuk pemerintahan oleh
seluruh rakyat dimana kepentingannya ditujukan untuk diri sendiri.
            Prinsip dasar demokrasi klasik adalah penduduk harus menikmati
persamaan politik agar mereka bebas mengatur atau memimpin dan
dipimpin secara bergiliran. Pericles adalah negarawan Athena yang berjasa
mengembangkan demokrasi.
Prinsip-prinsip pokok demokrasi yang dikembangkannya adalah:
a.    Kesetaraan warga negara
b.    Kemerdekaan
c.    Penghormatan terhadap hukum dan keadilan
d.   Kebajikan bersama
Prinsip kebajikan bersama menuntut setiap warga negara untuk
mengabdikan diri sepenuhnya untuk negara, menempatkan kepentingan
republik dan kepentingan bersama diatas kepentingan diri dan keluarga.
Di masa Pericles dimulai penerapan demokrasi langsung (direct
democrazy). Model demokrasi ini bisa diterapkan karena jumlah penduduk
negara kota masih terbatas, kurang dari 300.000 jiwa, wilayah nya kecil,
struktur sosialnya masih sederhana dan mereka terlibat langsung dalam
proses kenegaraan.
Untuk menghindar dari kondisi yang punya hak-hak istimewa
menekan orang lain yang menyebabkan ketidaktoleranan (intolerable) dan
tidak stabil, maka masyarakat mengadakan kontrak sosial, yang dibentuk
oleh kehendak bebas dari semua (the free will of all), untuk memantapkan
keadilan dan pemenuhan moralitas tertinggi. Akan tetapi kemudian
Rousseau mengedepankan konsep tentang kehendak umum (volonte
generale)untuk dibedakan dari hanya kehendak semua (omnes ut singuli).
Kehendak bebas dari semua tidak harus tercipta oleh jumlah orang yang
berkehendak (the quantity of the ‘subjects’), akan tetapi harus tercipta oleh
kualitas kehendaknya (the quality of the ‘object’ sought).
Trias politica atau teori mengenai pemisahan kekuasaan, di latar
belakangi pemikiran bahwa kekuasaan-kekuasaan pada sebuah
pemerintahan yang berdaulat tidak dapat diserahkan kepada orang yang
sama dan harus dipisahkan menjadi dua atau lebih kesatuan kuat yang
bebas untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang
berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat
lebih terjamin.
     Dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Louis Montesquieu
membagi kekuatan negara menjadi tiga kekuasaan agar kekuasaan dalam
negara tidak terpusat pada tangan seorang raja penguasa tunggal, yaitu
sebagai berikut.
a.    Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-undang.
b.    Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menjalankan undang-undang.
c.    Legislatif, yaitu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undang-
undang (mengadili).
Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu
dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan
terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri.
Montesquieu menekankan bahwa satu orang atau lembaga akan cenderung
untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat
tersebut bila kekuasaan terpusat padanya. Oleh karenanya, dia berpendapat
bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan
kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap
kekuasaan lainnya.

3. Analisis Praksis
Akal dan kecerdasan peserta didik harus dikembangkan dengan baik.
Karena sekolah bukan hanya berfungsi sebagai transfer of knowledge
(pemindahan pengetahuan) akan tetapi juga berfungsi sebagai transfer of value
(pemindahan nilai), sehingga peserta didik menjadi terampil dan berintelektual
baik secara fisik maupun psikis. Mereka harus diberi kemerdekaan untuk
bersikap dan berbuat sesuai dengan cara dan kemampuannya masing-masing
dalam upaya meningkatkan kecerdasan dan daya kreativitasnya. Kreativitas
peserta didik perlu dikembangkan melalui penciptaan situasi proses belajar
mengajar yang berpusat pada siswa. Melalui proses belajar seperti itu, dapat
ditegakkan pilar-pilar pendidikan yang menyangga proses belajar; mengetahui
(learning to know), belajar melakukan (learning to do), belajar mengenal diri
(learning to be) dan belajar hidup bersama (learning to live together). Dalam
konteks ini, pendidik berperan mendorong pengembangan segenap potensi
peserta didik melalui vitalitas keingintahuan peserta didik untuk mencipta dan
memberi fungsi baru sesuai dengan sistem yang ada. Pendidikan dalam konteks
ini harus berhubungan secara langsung dengan minat anak, yang dijadikan
sebagai dasar motivasi belajar. Sekolah menjadi “child centered” dimana proses
belajar ditentukan terutama oleh peserta didik.
Apabila pendidikan yang dilaksanakan ingin mewujudkan warga negara
yang demokratis, maka proses pendidikan yang dilaksanakan pun harus
berorientasi pada cita-cita dan nilai demokrasi yaitu pendidikan yang
memberikan kesempatan yang sama kepada setiap anak untuk mendapatkan
pendidikan dengan selalu memperhatikan prinsip-prinsip berikut ini:
a. Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan nilai-nilai
luhurnya;
b. Wajib menghormati dan melindungi hak asasi manusia yang bermartabat dan
berbudi pekerti luhur;
c. Mengusahakan suatu pemenuhan hak setiap warga negara untuk memperoleh
pendidikan dan pengajaran nasional dengan memanfaatkan kemampuan
pribadinya, dalam rangka mengembangkan kreasinya ke arah perkembangan
dan kemajuan iptek tanpa merugikan pihak lain. (Hasbullah, 2008:249).

Berdasarkan prinsip demokratis pendidikan tersebut dapat diketahui


bahwa proses yang dilaksanakan akan berkorelasi dengan hasil akhir, yaitu warga
negara yang demokratis. Tentu saja jika semua komponen yang terkait dalam
pendidikan tersebut melaksanakan tugas dan fungsinya dengan sebaik mungkin.

4. Analisis Praktik
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan
suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan
warganegara) atas negara untuk dijalankan olehpemerintah negara
tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang
membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan
legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling
lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain.
Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan
agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling
mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-
lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan
melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang
berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga
perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan
menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif
dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak
sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang
memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai
hukum dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-
hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui
pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti
oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan
secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak
semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya
kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara
langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau
anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut
sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara
langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat.
Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan
umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama
dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh
idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu
adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya
akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah
teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya
memberikan hak pilihkepada warga yang telah melewati umur tertentu,
misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal,
narapidana atau bekas narapidana).
TANGGAPAN

I. Filsafat Pancasilaisme
Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan
bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila menjadi falsafah dan
ideologi bangsa yang harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh segenap
rakyatnya.
Kondisi negara Indonesia sudah sangat jauh berubah dari semenjak awal
kemerdekaan. Perkembangan dan perubahan adalah hal yang tidak bisa
dihindari sebagai prasyarat untuk mencapai kemajuan dan tujuan kemerdekaan.
Perkembangan teknologi yang begitu pesat telah mendatangkan manfaat
sekaligus dan dampak buruk bagi masyarakat. Kemudahan, kecepatan, dan
efektivitas merupakan gambaran umum dampak kemajuan teknologi.
Kemajuan teknologi yang tidak dikendalikan dan dikontrol akan
menghasilkan masalah baru yang dapat menghambat atau merusak suatu
negara. Generasi milenial adalah generasi yang sangat familier dengan
teknologi karena generasi ini lahir ke dunia di mana segala aspek fisik
(manusia dan tempat) mempunyai ekuivalen digital.
Di Indonesia populasi generasi milenial mencapai 90 juta jiwa. Itu
menandakan kelompok milenial mempunyai pengaruh yang sangat besar
terhadap perkembangan dan kemajuan Indonesia. Ditambah dengan jumlah
aktivitas warga negara di dunia maya didominasi oleh anak muda milenial.
Generasi milenial menjadi penyokong utama peredaran informasi di dunia
virtual.
Pada waktu yang sama ancaman bangsa terus terus berkembang di setiap
bidang. Bidang ideologi (ancaman ekstremisme, paham radikal), bidang politik
(permasalahan pemilu, pejabat negara yang terjerat korupsi), bidang ekonomi
(kesenjangan yang masih tinggi), bidang sosial budaya (pengangguran,
kekerasan dalam rumah tangga), bidang pertahanan dan keamanan (terorisme,
konflik SARA, ilegal fishing). Revolusi industri 4.0 juga membawa disruption
and bridging generations. Terdapat gap antargenerasi dalam sebuah pola
komunikasi sehingga terjadilah disrupsi atau perubahan mendasar terhadap
suatu realitas.
Fakta sosiologis di atas seolah menciptakan sebuah ilusi bahwa Pancasila
telah gagal menjawab setiap tantangan zaman. Kegagalan mendiagnosis
permasalahan yang ada menyebabkan lahirnya ide penyelesaian yang tidak
solutif dan memperburuk keadaan. Apabila kita melihat secara komprehensif
dan merasakan suasana kebatinan setiap masalah yang ada maka sebenarnya
yang terjadi adalah terdapatnya upaya untuk menggantikan atau melunturkan
Pancasila sebagai jati diri bangsa dan pegangan dalam kehidupan bernegara.
Sehingga internalisasi Pancasila dengan metode yang tepat adalah solusi di
tengah krisis nasionalisme yang terjadi saat ini.
Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia merupakan sebuah
sistem nilai kebaikan universal yang bisa diterapkan dalam konteks apapun
baik pada masa hari ini, besok, dan masa yang akan datang. Itu artinya
Pancasila dengan basis filosofinya yang mendalam sebenarnya mampu untuk
menjawab setiap problematika yang ada.
Terdapat dua syarat agar Pancasila dapat beroperasi secara optimal dalam
masyarakat. Pertama, Pancasila harus terpahami dan terinternalisasi pada setiap
individu. Kedua, mampu menggunakan Pancasila sebagai alat penyelesaian
masalah.
Pancasila sebagai nilai universal masih sangat relevan dengan generasi
hari ini. Pancasila hanya perlu terinternalisasi dengan baik ke setiap generasi
yang ada khususnya generasi milenial yang akan menjadi salah satu tokoh
pergerakan kemajuan negara yang kita cintai ini.
1. Nilai-nilai ketuhanan, Indonesia adalah negara religius yang menjadikan
nilai-nilai religiusitas sebagai sumber etika dan spiritualitas dalam bersikap
tindak termasuk sikap tindak dalam dunia virtual. Menghargai perbedaan
agama dan kepercayaan dalam bermedia sosial akan menghantarkan
kesedepaan dalam kehidupan beragama. Tidak melontarkan konten
penghinaan atau menyudutkan agama dan kepercayaan tertentu membuat
kehidupan beragama menjadi tentram dan damai.
2. Nilai-nilai kemanusiaan, memahami dan menghargai hak dan kewajiban
setiap orang dalam berselancar di dunia maya adalah salah satu ciri netizen
yang humanis. Tidak menyebarkan konten hoax dan provokasi karena hal
tersebut merupakan tindakan yang tidak beradab.
3. Nilai-nilai persatuan, forum-forum dunia maya juga dapat dijadikan media
untuk memperkuat semangat nasionalisme. Memprioritaskan persatuan dan
kesatuan bangsa di atas kepentingan golongan atau pribadi saat diskusi di
forum-forum dunia maya. Selalu menjunjung tinggi bhinneka tunggal ika
dalam setiap perbedaan di dalam forum online.
4. Nilai-nilai musyawarah dalam hikmat kebijaksanaan, berlaku santun
terhadap setiap pandangan politik setiap orang dalam dunia maya. Ikut serta
menjalankan setiap keputusan yang dihasilkan melalui diskusi online.
Menyelesaikan setiap perdebatan di grup online dengan mengedepankan
musyawarah.
5. Nilai-nilai keadilan sosial, setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang
sama untuk mengakses informasi dan berkumpul dalam kelompok-
kelompok dunia maya dengan tetap menghargai hak asasi manusia setiap
orang.
Oleh karena itu, di tengah krisis nasionalisme yang sedang melanda
negeri ini, Pancasila adalah cahaya penuntun untuk mengenal kembali jati diri
bangsa dan perekat untuk mempersatukan perbedaan. Semoga Tuhan yang
Maha Esa merahmati dan mencerahkan hati dan pikiran kita semua.
Sebagai seorang mahasiswa yang memiliki peran sebagai 'Agent Of
Change' dan 'Social Control'. Mahasiswa harus dapat menerapkan dan
menjalankan Pancasila sebagai pedoman hidup di dalam masyarakat dan
kehidupan akademik, mahasiswa juga diharapkan tetap terus menempa dirinya
menjadi pribadi-pribadi yang memiliki kematangan intelektual, kreatif, percaya
diri, inovatif, dan memiliki kesetiakawanan sosial dan semangat pengabdian
terhadap masyarakat, bangsa dan negara yang tinggi.

II. Filsafat Demokratisme


Adapun tanggapan yang dapat diberikan tentang filsafat demokrasi itu
sendiri adalah semua orang bebas mengeluarkan pendapat atau aspirasi dan kita
juga harus mendengarkanan aspirasi dari orang lain. Terutama pejabat-pejabat
pemerintah yang wajib mendengarkan aspirasi masyarakat. Pendengar aspirasi
tersebut juga harus menjalnkan pendapat yang menurutnya baik untuk semua
kalangan. Pemerintah juga harus mempunyai kebijakan untuk masyarakat
disuatu negarapemerintah juga memilki pendapatnya yang baik buat masyarakt
dan negara.
Demokrasi yang di anut di Indonesia adalah demokrasi Pancasila.
Demokrasi suatu perubahan orde lama ke orde baru dan berhak memberikan
pendapatsesuai dengan keinginanya masing-masing demi majunya negara. Di
indonesia pergerakan nasionalisme juga mencita-citakan pembentukan negara
demokrasi yang berwatak anti feodalisme dan anti imperialisme dengan tujuan
membentuk masyarakat sosial. Landasan demokrasi adalah keadilan dalam arti
terbukanya peluang kepada semua. Demokrasi juga adalah kebebasan manusia
untuk berserikat dan berkumpul dalam menyampaikan aspirasi, tetepi harus
sesuai dengan norma yang berlaku dan memetuhi aturan. Misalnya unjuk rasa
awalnya harus mengajukan surat izin keramain akan mengadakan unras, pas
unras harus berjalan dengan tertib dan sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan. Bisa juga hak yang harus diperjuangkan contohnya demokrasi
masalah gaji dan masalah bahan pangan.
Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional pasal 3, bahwasannya tujuan pendidikan nasional
adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis,
serta bertanggung jawab. Jika ditilik dengan seksama, tujuan pendidikan ini
sangatlah mulia. Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diharapkan
mampu mencapai tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai problematika.
Pelajaran sejarah yang seyogyanya menjadi pelajaran yang menyenangkan
karena memiliki alur cerita layaknya drama korea malah menjadi momok
karena sistem pengajaranya yang kaku. Selama jam belajar, murid harus selalu
memperhatikan dengan tangan tersusun rapi di atas meja. Jangankan bertanya,
mengeluarkan suara sudah dapat ceklis blacklist. "Hei yung, absenmu nomor
berapa?".
Pengalaman lain juga pernah dialami dengan guru "teks book". Saat
penjelasan materi pada proses KBM mata pelajaran Pkn berjalan dengan
normal. Guru menjelaskan dengan runut dan materi tersampaikan dengan baik.
Yang menjadi catatan adalah saat ujian. Soal diberikan dengan batasan waktu
yang sangat minim. Jawaban pun harus sama persis dengan apa yang ada di
buku. 
Persiapan sebelum menghadapi ujian adalah menghapal mati isi buku dan
mempercepat ritme tangan menari di atas kertas saat menuliskan jawaban.
Siswa yang sudah hapal betul belum tentu dapat nilai sempurna hanya karena
kecepatan tangan menuliskan jawaban lebih lambat dibanding jatah waktu
yang diberikan. Ini adalah sebagian kecil contoh problematika pendidikan di
Indonesia. Sistem pelajaran yang kaku, teks book, diktator, serta memukul rata
kemampuan siswa adalah kendala untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang
sebenarnya.
Untuk itu, perlu revolusi dalam bidang pendidikan yang menawarkan
cara pengajaran yang lebih modern dan bermatabat dengan pendidikan yang
demokrasi. Menurut KBBI, demokrasi adalah gagasan atau pandangan hidup
yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama
bagi semua warga negara. Sementara itu, pendidikan menurut Ki Hajar
Dewantara yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun
maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada
anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat
dapatlah mencapai kesempatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Dalam pendidikan, demokrasi ditunjukkan dengan pemusatan perhatian
serta usaha pada si anak untuk tumbuh dan berkembang menurut kodratnya.
Dengan demikian tampaklah bahwa demokrasi pendidikan merupakan
pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta
perlakuan yang sama di dalam berlangsungnya proses pendidikan antara
pendidik dan anak didik, serta juga dengan pengelola pendidikan.
Poin penting yang perlu diketahui bahwa konsep "perlakuan yang sama"
dalam demokrasi pendidikan adalah memperlakukan peserta didik secara adil
dengan tetap memahami diferensiasi dan keunikan mereka. Sistem
pembelajaran ini sangat mengharamkan "pilih kasih". Semuanya berhak
mendaptkan pendidikan yang baik.
Hubungan guru dan murid haruslah berimbang. Pusat pembelajaran tidak
hanya bertumpu pada guru sebagai satu-satunya pusat kendali dalam kegiatan
belajar mengajar. Akan tetapi sistem pembelajaran yang saling berbagi. Siswa
diberi kesempatan untuk menyampaikan ide, memberikan interupsi,
mengajukan pertanyaan dengan cara yang benar. Terkadang kita pernah
mendengar selentingan kabar bahwa ada guru yang tidak mau diprotes dan
kekeh dengan pendapat sendiri tanpa memberikan penjelasan yang memuaskan
siswa. Keluwesan sang guru sangat diperlukan dalam pendidikan yang
demokratis tanpa mengurangi sikap tegas dan berwibawa.
Pendidikan yang demokratis memprioritaskan pembelajaran yang ramah.
Saat proses pembelajaran, guru tak perlu sungkan untuk memberikan feed back
dengan memberikan pujian sebagai bentuk penghargaan. Dengan memiliki sifat
dasar manusiawi, murid pun senang dengan pujian. Pujian mampu mengubah
suasana pembelajaran menjadi menyenangkan dan memacu semangat belajar
siswa walau hanya dengan ajungan jempol atau tepuk tangan. Inilah bentuk
susana pembelajaran yang demokratis.
Sebagai gambaran, Finlandia yang merupakan negara dengan sistem
pendidikan terbaik di dunia telah menerapkan pendidikan yang demokrasi.
Menurut sumber dari courtesy youtube yang penulis dapatkan, sistem
pendidikan di Finlandia meminimalkan tes dan memaksimalkan kolaborasi
yang berarti kerja sama di kelas saat memecahkan masalah. Sistem pendidikan
di sana juga memahami keunikan anak untuk peningkatan mutu. Sekolah yang
ramah dengan pengajar yang berkualitas diterapkan dengan cermat. Kelas-
kelas diisi dengan siswa yang berlatar belakang heterogen. Siswa didorong
untuk independen mencari informasi yang mereka butuhkan. Hasil survey
internasional pada tahun 2009 oleh Programme For International Student
Assesment menempatkan Finlandia sebagai negara dengan sistem pendidikan
terbaik di dunia.
Sungguh, pendidikan yang kaku terkadang memiliki benang merah
terhadap kekerasan. Secara tidak langsung, anak didik juga di ajari kekerasan
karena guru memberikan hidangan pengajaran yang kaku dan sarat kekerasan.
Tak pelak siswa menjadi gampang tersinggung dan bentuk pertahananya
berubah menjadi anarkis. Hal ini sangat tak diharapkan dalam pendidikan kita.
Sebab tujuan pendidikan adalah mendidik peserta didik menjadi manusia yang
lebih baik. Semoga pendidikan di Indonesia semakin bagus dan maju.
SEGMEN III
SIMPULAN

Pancasila yang terdiri atas lima sila, pada hakekatnya merupakan sebuah
sistem filsafah. Yang di maksud dengan sistem adalah suatu kesatuan
bagianbagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk satu tujuan
tertentu dan keseluruhan merupakan satu kesatuan yang utuh. Pancasila yang
terdiri atas bagian-bagian yaitu sila-sila pancasila, setiap sila pada hakekatnya
merupakan asas tersendiri, fungsi sendiri-sendiri dan tujuan tertentu, yaitu suatu
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila. sila-sila pancasila yang
merupakan sistem filsafah pada hakekatnya merupakan satu kesatuan organik.
Antara sila-sila Pancasila itu saling berkaitan, saling mengkualifikasi. sila yang
satu senantiasa dikualifikasikan oleh sila-sila lainya, maka pada hakekatnya
pancasila merupakan sistem dalam pengertian bahwa bagian-bagian sila-silanya
saling berhubungan secara erat sehingga membentuk suatu struktur yang
menyeluruh. Kenyataan pancasila yang demikian disebut sebagai kenyataan yang
objektif, yaitu bahwa kenyataan itu ada pada pancasila itu sendiri terlepas dari
suatu yang lain atau terlepas dari pengetahuan orang. kenyataan objektif yang ada
dan terlekat pada pancasila, sehingga pancasila sebagai suatu sistem bersifat khas
dan berbeda dengan sistem-sistem falsafah yang lain.
Filsafat Pancasila dalam pendidikan dapat sebetulnya dilihat dari beberapa
perannya, sebagai berikut:
1. Pengajaran akan adanya Tuhan
2. Mengajarkan cara mendidik sesuai dengan keadilan dan adab yang baik
3. Persatuan
4. Ajaran untuk bermusyawarah
5. Mengajarkan Keadilan
Segala apapun yang menjadi kehendak rakyat adalah hal yang harus
terlaksana, jika memang yang menyuarakannya adalah khalayak mayoritas dan
bukan khlayak minoritas, itulah Demokrasi. Jadi, demokrasi jika di katakan
layaknya sebuah kebebasan yang se-bebas-bebasnya itu adalah keliru, karena di
dalam Demokrasi itu sendiri memiliki aturan main dan batasan-batasan yang
harus di patuhi. Tentunya, aturan main itu hasil adalah yang ciptakan atau di
munculkan dari proses Demokrasi yang sehat, guna mencapai hasilnya yang sehat
pula. Sebuah sistem yang di pakai pada suatu Negara, tentunya harus memiliki
nilai karakter yang khas (character value), yang mampu membedakannya dengan
yang lain.
Apabila pendidikan yang dilaksanakan ingin mewujudkan warga negara
yang demokratis, maka proses pendidikan yang dilaksanakan pun harus
berorientasi pada cita-cita dan nilai demokrasi yaitu pendidikan yang memberikan
kesempatan yang sama kepada setiap anak untuk mendapatkan pendidikan dengan
selalu memperhatikan prinsip-prinsip berikut ini:
1. Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan nilai-nilai
luhurnya;
2. Wajib menghormati dan melindungi hak asasi manusia yang bermartabat dan
berbudi pekerti luhur;
Mengusahakan suatu pemenuhan hak setiap warga negara untuk
memperoleh pendidikan dan pengajaran nasional dengan memanfaatkan
kemampuan pribadinya, dalam rangka mengembangkan kreasinya ke arah
perkembangan dan kemajuan iptek tanpa merugikan pihak lain.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, H.M, 1993. Ilmu Pendidikan Islam : Suatu Tinjauan Teori dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bina Aksara. Jumali, dkk,
2004. Landasan Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Beilharz, Peter, 2002, Teori-teori Sosial, (terjemahan), Pustaka Pelajar,


Yogyakarta.

Hamersma, Harry, 1992, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Gramedia, Jakarta.

Hardiman, F. Budi, 2004, Filsafat Modern, Gramedia, Jakarta.

John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to Philosophy of


Education, New York: Macmillan C ompany, 1964.

John O.Voll, “Islam and Democracy: Is Modernization a Barrier?” dalam Religion


Compass, Vol. I.

Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, Edisi Pertama,


Yogyakarta: Paradigma, 2007.

Labrousse . Pierre, Indonesia Prancis Kamus Umum. Cetakan keempat, Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Mahmoud Sadri dan Ahmad Sadri, Reason Freedom and Democracy in Islam:
Essential Writtings of Abdulkarim Soroush, New York: Oxford University
Press, 2000.

Noor Syam, Moh, 1986. Filsafat Pendidikan dan dasar filsafat Kependidikan
Pancasila. Surabaya : Usaha Nasional.

Rapar, J.H., 1988. Filsafat Politik Aristoteles. Jakarta: Rajawali. Sutrisno, Slamet,
2006. Filsafat dan Ideologi Pancasila. Yogyakarta: Andi

ANALISIS PARADIGMA (FILSAFAT, TEORI, PRAKSIS DAN


PRAKTIK) PENDIDIKAN PANCASILAISME DAN
DEMOKRATISME
Oleh:
Novrianti
Nim. 19169041

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2019

Anda mungkin juga menyukai