Anda di halaman 1dari 34

Menguji pemahaman matematis siswa dalam transformasi

geometri menggunakan model Pirie-Kieren


Hilal Gülkılık, Hasan Hüseyin Uğurlu, Nejla Yürük (Universitas Gazi)

Abstrak

Siswa mesti belajar matematika dengan pemahaman. Ini merupakan salah satu ide dalam
literature pendidikan matematika yang didukung oleh semua orang, dari politisi pendidikan
hingga pengembang kurikulum, dari peneliti hingga guru, dan dari orang tua hingga siswa.
Untuk menentukan apakah siswa paham ilmu matematika atau tidak mesti diidentifikasi
terlebih dahulu bagaimana pemahaman matematis muncul. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menganalisa pemahaman matematika siswa kelas 10 tentang transformasi geometri
seperti yang dikembangkan dalam lingkungan dengan banyaknya representasi. 4 orang siswa
kelas 10 diobservasi selama pembelajaran penerjemahan, rotasi, refleksi, dan dilaksi; yang
dilanjutkan dengan wawancara semi terstruktur berbasis tugas setelah pelajaran tersebut
berakhir. Penemuan dari studi mengungkapkan bahwa meskipun level pemahaman
matematikal siswa berkembang dari informal ke formal, pengembangannya tidak searah dan
siswa menunjukkan kecenderungan untuk menggunakan pemahaman informal. Pengetahuan
primitif siswa tentang transformasi geometri merupakan inti dari pemahaman mereka, padahal
aktivitas dalam level pemahaman mengenai Pembuatan Gambar dan Pemberitahuan Properti
secara langsung mempengaruhi pertumbuhan pemahaman matematikal mereka. Pergerakan
sebelumnya, aktivitas dalam hal berakting dan berekspresi dalam level pemahaman yang
berbeda, dan representasi ganda tentang konsep dalam lingkungan pembelajaran mengawasi
proses pemahaman matematis mereka.

Kata Kunci: Pemahaman matematikal, Model Pirie-Kieren, Transformasi geometri,


Representasi, Siswa sekolah menengah atas
Konten desain kurikulum dan inovasi yang dibuat dalam bidang pendidikan matematika selama
dekade terakhir telah dibentuk dengan penegasan untuk kebutuhan siswa memiliki
pemahaman selama belajar matematika. Contohnya, kurikulum terbaru untuk matematika
sekunder di Turki mengindikasikan bahwa lingkungan yang “tidak menegaskan makna atau
tidak menyediakan kesempatan atau kemungkinan bagi siswa untuk menciptakan makna dari
matematika yang dipelajari” tidak sesuai secara tepat dengan ekspektasi pengajaran (Ministry
of Education [MoNE], 2013, p. 1). Demikian pula, menurut Dewan Nasional Guru Matematika
([NCTM], 2000), “siswa harus belajar matematika dengan pemahaman, secara aktif
membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan sebelumnya,” (p. 20).
Bagaimana siswa belajar matematika dengan pemahaman?

Hiebert dan Carpenter (1992) mengingatkan kita bahwa tujuan besar dari pendidikan
matematika adalah untuk memastikan pemahaman matematika dalam lingkungan
pembelajaran, dan mereka mengindikasikan bahwa guru harus fokus untuk menemukan
jawaban dari pertanyaan tentang bagaimana dan dalam hal apa siswa dapat memahami
matematika. Seperti “retorika yang tersebar luas”, pemahaman matematikal vital bagi guru,
ilmuwan, dan pengembang kurikulum (Mousley, 2005, p. 553). Ketika sifat pemahaman
matematikal terkarakterisasi, ilmuwan dapat fokus pada studi yang menganalisis pemahaman
siswa secara detail, pengembang kurikulum dapat merancang kurikulum sesuai dengan
pertumbuhan tentang pemahaman matematikal, dan guru dapat menyusun tujuan pengajaran
mereka sesuai dengan pertumbuhan ini (MacCullough, 2007). Para peneliti telah mencoba
untuk mengidentifikasi sifat kompleks dari pemahaman matematikal dengan tetap
memperhatikan teori pembelajaran yang mereka dukung dan interpretasi-interpretasi yang
telah buat dalam hal pemahaman (Meel, 2003). Bagian penting dari usaha ini termasuk karya
yang telah dibuat oleh para ilmuwan dalam mendeskripsikan pengembangan pemahaman
matematikal lewat proses mental berdasarkan pendekatan konstruktif.

Seseorang harus mempertimbangkan pengalaman-pengalaman individu, persepsi, dan interaksi


yang siswa bawa dalam lingkungan mereka ketika menganalisis proses dari pemahaman
matematikal dari perspektif konstruktif (Pirie dan Kieren, 1992). Banyak ilmuwan yang telah
memperhatikan pembelajaran dari perspektif ini dan memberikan teori-teori berbeda untuk
mengkarakterisasikan pemahaman matematikal (i.e., Davis, 1984; Sfard, 1991; Sierpinska, 1994;
Skemp, 1978). Salah satu dari teori-teori tersebut adalah teori representasi. Teori ini
mengajukan ide bahwa siswa paham matematika sebanyak yang mereka bisa mengerti tentang
representasi berbeda tentang konsep matematika dan membangun koneksi antara representasi
ini (Goldin, 2003; Hiebert dan Carpenter, 1992; Janvier, 1987). Goldin (2003) mendefinisikan
istilah representasi sebagai sebuah “konfigurasi dari tanda, karakter, ikon, atau objek yang
entah bagaimana dapat berdiri, atau ‘mewakili’ hal lainnya” (p. 276). Siswa bekerja dengan
representasi dari objek matematika yang sementara mereka berurusan dengan matematika
dari berbagai situasi (Duval, 2006). Mereka dapat belajar matematika dengan pemahaman jika
mereka bisa secara akurat mengaplikasikan representasi konsep matematika yang berbeda dan
membangun hubungan antara representasi ini (Lesh, Post, dan Behr, 1987). Teori lain yang
menganalisis pemahaman matematika dengan perspektif konstruktif adalah teori Pirie-Kieren,
yang diperkenalkan oleh Susan E. Pirie dan Thomas Kieren pada 1989. Pirie dan Kieren (1994)
mendefinisikan pemahaman matematika sebagai “sebuah keseluruhan proses yang teramat
berulang yang dinamis, bertingkat, namun tidak berhubungan” (p. 166). Teori ini menekankan
bahwa pertumbuhan pemahaman matematika tidak berhubungan; sebaliknya, ini secara
dinamis meningkatkan pergerakan bolak-balik antara ide-ide matematis.

TIngkatan Pemahaman Matematika

Pirie dan Kieren (1994) mengembangkan sebuah model untuk menggambarkan ide-ide dimana
mereka secara bersamaan membangun sebuah teori pertumbuhan pemahaman matematika.
(gambar 1)

Ada 8 lingkaran bersarang, yang memperagakan 8 tingkatan yang dapat ditemukan dalam
pertumbuhan pemahaman matematika. Lingkaran-lingkaran tersebut menunjukkan bahwa
masing-masing level progresif mencantumkan level pemahaman sebelumnya, dan pemahaman
matematika berkembang melalui pergerakan bolak-balik dalam lingkaran-lingkaran ini.
Meskipun model ini tidak memiliki dasar hubungan, bagian-bagian antar lingkaran disebut level
atau tingkatan karna ia memiliki hierarki tertentu (Pirie & Kieren, 1994). Lingkaran dalam model
tersebut menunjukkan tingkatan dari Pengetahuan Primitif, Pembuatan Gambar, Kepunyaan
Gambar, Pemberitahuan Properti, Perencanaan, Observasi, Strukturisasi, dan Inventisasi dari
dalam ke bagian yang paling jauh.

Pengetahuan Primitif adalah pengetahuan tentang sebuah topik yang akan dieksplor, tepatnya
sebuah konsep, yang diasumsikan siswa untuk dikonstruksikan sebelumnya (Pirie & Kieren,
1994). Lingkaran yang menggambarkan level kedua adalah Pembuatan Gambar, sebuah proses
aktif yang penting dalam perkembangan pemahaman (Borgen, 2006). Siswa mencoba untuk
menciptakan sebuah gambar dari konsep tertentu dengan menggunakan pengetahuan
primitive mereka selama aktifitas fisik atau mental dilakukan dalam level ini (Thom dan Pirie,
2006). Di lingkaran ketiga dari model Pirie-Kieren, level tersebut menyimbolkan Kepunyaan
Gambar, siswa memiliki gambar tentang konsep dalam arti aktifitas yang dilakukan di level
sebelumnya. Terbebas dari aktifitas-aktifitas ini, mereka “‘mengetahui’ beberapa bagian dari
matematika” berkenaan dengan konsep (Thom dan Pirie, 2006, p. 190). Level selanjutnya
adalah Pemberitahuan Properti, dimana siswa mempertanyakan dan menggunakan gambar-
gambar berbeda yang telah mereka kembangkan. Mereka menguji persamaan dan perbedaan
pada gambar-gambar mereka dan menghubungkan masing-masingnya menggunakan
pernyataan-pernyataan matematis khusus (Thom dan Pirie, 2006). Di level Perencanaan, siswa
membuat sebuah pernyataan umum tentang konsep terkait dengan menggunakan pernyataan-
pernyataan khusus tersebut (Pirie dan Kieren, 1994). Mereka dapat merancang definisi konsep
matematis ini atau mengembangkan formula dan algoritma tentang topiknya (Borgen, 2006).
Menjadi level keenam dalam model Pirie-Kieren, Observasi merupakan level dimana siswa
mengkaji makna dari apa yang telah mereka formulasikan dan menyusun observasi-observasi
mereka. Mereka “reflect on dan mengkoordinasikan beberapa aktifitas formal dan mewujudkan
koordinasi tersebut sebagai theorems” di level ini (Pirie & Kieren, 1994, p. 171). Di level
Strukturisasi, siswa dapat menangkap sebuah pola dengan menciptakan sebuah sintesis
observasi yang telah mereka buat (Borgen, 2006). Mereka secara logis dapat menjelaskan
observasi formal mereka, membuktikan theorem seperti ekspesi, dan memverifikasi ide-ide
yang telah mereka kembangkan sebelumnya (Thom & Pirie, 2006). Level terluar model ini
adalah Inventisasi, dimana siswa melihat pemahaman sebelumnya yang telah berkembang,
seperti yang dikatakan Kieren (1992), dalam sebuah “cara yang sepenuhnya baru” dan
menanyakan pertanyaan yang menuntun mereka untuk menginvestasikan konsep-konsep baru
(disitasi dalam Borgen, 2006, p. 34). Empat level dalam dideskripsikan sebagai level informal,
sementara empat level luar dideskripsikan sebagai level formal pemahaman matematika (Pirie
& Kieren, 1994).

Karakteristik Teori Pirie-Kieren

Teori Pirie-Kieren, di samping level pemahaman tersebut, mengindikasikan beberapa fitur-fitur


penting yang disebut melipat kembali, “tidak membutuhkan” batas, aspek pelengkap acting dan
berekspresi, dan intervensi. Fitur ini akan dijelaskan berurutan sebagai berikut.

Folding back: Pirie dan Kieren (1991) menjelaskan bahwa pemahaman matematika bergabung
dengan bantuan gerakan melipat kembali antar level dimana mereka mendefinisikan gerakan-
gerakan ini sebagai:
Seseorang yang berfungsi di tingkat luar pemahaman ketika ditantang dapat memohon atau
mundur ke dalam, pemahaman lokal atau intuitif yang mungkin lebih spesifik. Kembalinya ia ke
aktivitas tingkat dalam tidak sama dengan aktivitas awal pada level tersebut. Ini dirangsang dan
dipandu oleh pengetahuan tingkat luar. Metafora melipat kembali dimaksudkan untuk dibawa
dengan gagasan yang untuk melapisi pemahaman saat ini pada pemahaman sebelumnya, dan
gagasan bahwa pemahaman itu entah bagaimana 'lebih tebal' ketika level dalam ditinjau
kembali. (p. 172)

Dengan kata lain, siswa berjalan kembali ke level dalam untuk memperluas pemahaman
mereka yang tidak mencukupi dan mengatur ulang pengetahuan yang dibangun sebelumnya
untuk mengembangkan citra baru dan sesuai dengan topik (Pirie, Martin, & Kieren, 1996).

“Jangan Butuh” Batas: Beberapa batasan antar level dalam model Pirie-Kieren ditunjukkan
dengan garis yang lebih tebal. Garis-garis ini menunjukkan pemahaman abstrak yang meningkat
(Borgen, 2006) dan memisahkan model menjadi empat bagian. Sebuah “jangan butuh” batas
berarti bahwa siswa tidak lagi membutuhkan tindakan spesifik yang telah dilakukan dalam level
di dalam batas, dan mereka dapat bekerja dengan sebuah tingkat pemahaman yang lebih
umum dan abstrak di luar batas (Pirie & Kieren, 1994).

Aspek Pelengkap Akting dan Ekspresi: Pirie dan Kieren (1994) mengklasifikasikan aktivitas yang
dialami pada level antara Pengetahuan Primitif dan Inventisasi sebagai akting dan ekspresi.
Akting adalah aktivitas mental atau fisik yang "mencakup semua pemahaman sebelumnya,
memberikan kontinuitas pada level dalam," dan ekspresi adalah "umumnya verbal pernyataan
yang memberikan substansi yang berbeda pada tingkat tertentu,” (hal. 175).

Intervensi: Sebagai sebuah karakteristik, intervensi adalah tindakan merangsang "baik internal
maupun eksternal" yang mengarahkan siswa untuk meninjau kembali pemahaman mereka saat
ini (Borgen, 2006, hal. 42). Pirie dan Kieren (1994) mengkategorikan intervensi sebagai (a)
intervensi provokatif yang melanjutkan pemahaman ke level luar, (b) intervensi invokatif yang
menyebabkan lipat kembali ke level dalam, dan (c) memvalidasi intervensi yang mendukung
dan mengkonfirmasi tingkat pekerjaan saat ini.

Peneliti terus menggunakan teori Pirie-Kieren, yang menjelaskan sifat kompleks dan dinamis
dari proses pemahaman matematika dengan tingkat pemahaman dan ciri-cirinya yang telah
dijelaskan di atas. Martin (2008) memperhatikan bahwa teori ini masih berkembang secara
dinamis seperti yang digunakan dalam berbagai bidang penelitian seperti pendidikan guru,
pertumbuhan pemahaman siswa atau guru pra-jabatan tentang konsep matematika,
pertumbuhan pemahaman matematis siswa dalam lingkungan belajar yang didukung
komputer, efek perilaku siswa atau guru pada pemahaman matematika, dan lingkungan belajar
kolektif. Selain dari bidang penelitian ini, teori ini telah dielaborasi oleh Martin (1999), dengan
fokus pada fitur ‘folding back’, dan oleh Towers (1998), berfokus pada fitur intervensi guru
dalam lingkungan belajar.

Karena pertumbuhan pemahaman matematis adalah sebuah proses yang bukan pengetahuan
yang diperoleh menurut teori Pirie-Kieren, model ini bertujuan untuk menggambarkan proses
pemahaman matematika siswa dan mengumpulkan pemahaman tersebut saat mereka terlibat
dalam level yang berbeda (Borgen, 2006; Martin, 2008; Warner, 2008). Sebuah analisis
penelitian yang telah menggunakan model ini (yaitu, Martin, 2008; Nilas, 2010; Warner, 2008)
menyarankan bahwa penelitian harus terus menyelidiki pemahaman matematis siswa
menggunakan semua komponen modelnya. MacCullough (2007) juga menunjukkan bahwa ada
kebutuhan untuk melakukan penyelidikan yang mengartikulasikan proses pemahaman
matematis siswa dari suatu konsep, daripada melakukan penelitian yang berfokus pada
bagaimana siswa memahami suatu konsep, apa yang tidak mereka pahami tentang suatu
konsep, atau bagaimana mereka dapat mengembangkan sebuah konsep. Untuk menyediakan
lingkungan belajar dengan pemahaman di sekolah penting untuk mencirikan pemahaman
matematis siswa setelah pelajaran di mana mereka dihadapkan pada beberapa representasi
konsep matematika. Untuk mencapai ini, peneliti jelas harus berinteraksi dengan siswa untuk
waktu yang lama untuk memeriksa pemahaman matematika mereka secara mendalam. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini, empat bulan dihabiskan bersama dengan empat siswa kelas 10
untuk menganalisis pemahaman matematis tentang transformasi geometri (selanjutnya
digambarkan hanya sebagai "transformasi") secara rinci.

Kurikulum dan standar nasional (Depdiknas, 2013; NCTM, 2000), serta beberapa peneliti (yaitu,
Edwards, 2003; Flanagan, 2001; Hollebrands, 2003; Jung, 2002; Yanik, 2006), mendukung
gagasan bahwa transformasi adalah bidang konseptual yang harus diajarkan di sekolah-sekolah
di semua kelas. Menurut Dewan Nasional Guru Matematika ([NCTM], 2000), siswa sekolah
menengah “harus memahami dan merepresentasikan translasi, refleksi, rotasi, dan dilatasi
benda pada bidang dengan menggunakan sketsa, koordinat, vektor, notasi fungsi, dan matriks"
dan mereka "harus menggunakan berbagai representasi untuk membantu memahami efek
sederhana transformasi dan komposisinya” (hal. 397). Transformasi menawarkan kesempatan
kepada siswa untuk bekerja dengan konsep penting matematika seperti fungsi dan simetri,
mengasosiasikan matematika dengan disiplin ilmu lain, dan menalar dengan menggunakan
representasi yang berbeda dari konsep matematika (Flanagan, 2001; Hollebrands, 2003).
Namun, itu tidak mudah bagi siswa untuk memahami topik penting ini (Edwards, 2003;
Flanagan, 2001; Holl ebrands, 2003; Jung, 2002; Soon, 1989; Sünker & Zembat, 2012; Yanik,
2006, 2011; Yanik & Flores, 2009; Yavuzsoy-Kose, 2012). Penelitian menunjukkan bahwa siswa
dari semua kelas, bahkan guru pra-jabatan, mengalami kesulitan dalam menangani
transformasi. Meskipun transformasi pada bidang ini didefinisikan sebagai korespondensi satu-
per-satu dari bidang tersebut ke bidang itu sendiri (Dodge, 2012), siswa dan guru pra-jabatan
memahami transformasi sebagai gerakan tunggal di pesawat (Edwards, 2003; Hollebrands,
2003; Yani, 2006). Kesulitan utama yang dihadapi siswa dalam bekerja dengan transformasi
adalah a) pemahaman bidang sebagai domain dan jangkauan transformasi, b) membingungkan
parameter dan variabel transformasi satu sama lain, c) pengalaman informasi mereka diperoleh
dengan menggunakan transformasi dalam kehidupan sehari-hari, dan d) pemahaman yang
kurang dari konsep matematika dasar yang harus dikembangkan sebelum transformasi
(Edwards, 2003; Hollebrands, 2003; Jung, 2002; Yani, 2011). Karena geometri transformasional
merupakan bagian penting dari kurikulum matematika menengah, penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk mengartikulasikan pemahaman siswa tentang transformasi (Flanagan, 2001;
Hollebrands, 2003; Soon, 1989) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis
pemahaman matematis siswa kelas 10 tentang translasi, rotasi, refleksi, dan dilatasi yang telah
dikembangkan dalam lingkungan belajar.

Metode

Studi ini berdasarkan disertasi doktor penulis pertama jurnal ini (peneliti), yang dirancang
sebagai sebuah studi kasus kualitatif (Gulkilik, 2013).

Konteks Penelitian dan Partisipan

Studi ini diadakan di sebuah sekolah menengah yang berlokasi di salah satu pusat daerah di ibu
kota Turki. Pertama, studi percobaan selama 6 minggu dilakukan di 3 ruang kelas 10 berbeda.
Guru matematika yang sama memperkenalkan beberapa manipulatif fisik tentang segitiga dan
siswa yang ditunjuk dalam kegiatan dunia nyata di masing-masing dari tiga kelas ini. Sementara
itu, peneliti bergabung dengan kelas selama enam minggu dan melakukan observasi partisipan
semi-terstruktur tentang konteks dan siswa.

Setelah enam minggu, kelas penelitian dipilih berdasarkan reaksi siswa terhadap kegiatan di
studi percobaan, kehadiran mereka selama pembelajaran, dan motivasi mereka. Alasan untuk
tidak memilih salah satu dari kedua kelas karena siswa biasanya pasif selama pelajaran
berlangsung. Juga, banyak siswa dari kelas lain yang tidak dipilih berafiliasi dengan klub sosial
yang menyelenggarakan berbagai kegiatan selama waktu di luar sekolah. Diperkirakan bahwa
kedua kondisi ini dapat mempengaruhi penelitian secara negatif. Studi percobaan dilanjutkan
selama empat minggu di kelas penelitian. Selama periode ini, manipulatif virtual diperkenalkan
ke siswa dan satu jam dari dua jam pelajaran geometri dilakukan oleh guru di laboratorium
komputer setiap minggu. Cara ini bertujuan untuk membantu guru dan siswa mendapatkan
pengalaman dalam pelajaran dilakukan dengan dukungan manipulatif.
Ada 32 siswa di kelas penelitian, 17 laki-laki dan 15 laki-laki. Empat siswa, dua perempuan dan
dua laki-laki, dipilih sebagai peserta sesuai dengan pengambilan sampel variasi maksimum
(Patton, 2002). Observasi kelas peneliti selama uji coba belajar, pendapat guru, pre-tes
diberikan untuk mengidentifikasi pengetahuan pra-instruksional tentang transformasi, dan skor
tes kemampuan spasial dihitung selama pemilihan peserta (lihat Tabel 1). Pre-tes terdiri dari
pertanyaan terbuka yang disiapkan untuk menentukan kemampuan siswa dalam menggunakan
representasi yang berbeda dari transformasi dan menerjemahkan di antara representasi ini. Tes
kemampuan spasial, dilaksanakan setelah pre-tes, memiliki dua subdimensi, orientasi spasial
dan penalaran spasial. Kemampuan spasial dianggap sebagai kriteria untuk memilih peserta
karena ini merupakan komponen penting yang mempengaruhi pemahaman konsep tentang
konsep geometris dan aktivitas pemecahan masalah (Battista, 1990; Fennema & Tartre, 1985).
Informasi lebih detail tentang ini disajikan dalam topik pengumpulan data.

Tabel 1
Karakteristik Partisipan
Nama Umur Skor Tes Skor pre-tes Nilai geometri di
Kemampuan semester
Spasial sebelumnya
Defne 17 67.5 28 71.75
Elif 16 150.25 55 78.50
Metin 17 161.50 40 55
Selim 16 48 32 87
Catatan skor tertinggi mungkin 282 untuk Kemampuan Spasial, 100 untuk pre-tes, dan 100
untuk nilai geometri.

Isi pelajaran translasi, rotasi, refleksi, dan dilatasi disiapkan selama studi percobaan. Pelajaran
dirancang dengan bantuan dua profesor pendidikan matematika dan enam guru pendidikan
matematika menengah pra-jabatan yang terdaftar di universitas negeri. Guru pra-jabatan
menerapkan desain konten setiap pelajaran ke teman sekelas mereka di Metode dalam mata
pelajaran Pendidikan Matematika II. Peneliti dan dua profesor pendidikan matematika
mengamati aplikasi ini. Peneliti merevisi isi pelajaran dengan guru penelitian kelas setelah
mempertimbangkan umpan balik dari dua profesor pendidikan matematika. Guru dengan
empat belas tahun pengalaman dipilih karena dia memiliki sikap positif tentang manipulasi dan
telah menggunakan perangkat lunak geometri dinamis seperti Geogebra dan The Geometer's
Sketchpad secara teratur selama pelajaran geometrinya.
Hasil pembelajaran dalam kurikulum matematika sekolah menengah di Turki menyatakan
bahwa siswa harus membangun pemahaman formal dan membuat pengamatan formal tentang
transformasi di kelas 10. Oleh karena itu, pelajaran disiapkan sedemikian rupa sehingga siswa
dapat mengembangkan pemahamannya sampai pada tahap Observasi. Manipulasi fisik dan
virtual digunakan sebagai tambahan untuk representasi transformasi verbal, grafis, dan aljabar
untuk memperkaya pelajaran. Cukup beberapa peneliti menyoroti pentingnya menggunakan
beberapa representasi dalam lingkungan belajar untuk memperkuat pemahaman matematika
siswa (Goldin, 2003; Lesh et al., 1987; Ozgun-Koca, 1998). Manipulasi fisik yang digunakan
selama instruksi dirancang dengan guru pra-jabatan dan direvisi oleh penulis menurut umpan
balik dari dua profesor pendidikan matematika (lihat Gambar 2). Beberapa kriteria dasar
dipertimbangkan selama proses desain seperti (a) berdasarkan hasil belajar tentang
transformasi, (b) dinamis, (c) diamati dengan jelas dalam hubungannya dengan representasi
konsep lain, dan (d) dikembangkan dengan bahan yang mudah diakses. Setelah luas cari,
http://www.mathsisfun.com, http://www.shodor.org , http://www.interaktifmatematik.com
dan http://nlvm.usu.edu dipilih sebagai situs manipulasi virtual, dan dua profesor pendidikan
matematika dimintai pendapatnya tentang kenyamanan manipulasi di situs web ini. Situs web
untuk Perpustakaan Nasional Manipulasi Virtual (http://nlvm.usu.edu), dirancang oleh
Universitas Negeri Utah, dipilih untuk penelitian ini karena manipulasi di situs web mencakup
semua hasil belajar translasi, rotasi, refleksi, dan dilatasi, dan mereka secara eksplisit mudah
digunakan oleh siswa (lihat Gambar 2).

Setelah menyelesaikan studi percobaan dan semua persiapan untuk studi utama, pelajaran
tentang terjemahan, rotasi, refleksi, dan dilatasi dilakukan oleh guru di laboratorium komputer.
Dua jam pelajaran (2x50 menit=100 menit) per minggu dikhususkan untuk setiap transformasi,
oleh karena itu digunakan empat minggu untuk menyelesaikan semua pelajaran transformasi.
Semua pelajaran direkam dengan kamera video.

Hasil belajar transformasi yang menjadi dasar pelajaran menunjukkan bahwa siswa harus
menerapkan translasi, rotasi, refleksi, dan dilatasi, dan mereka harus mengidentifikasi dan
memverifikasi kongruen dan sosok serupa di pesawat. Untuk itu, para siswa menggunakan
beberapa representasi transformasi, kadang-kadang selama kegiatan yang dipandu guru dan
terkadang selama aplikasi individu, untuk memahami konsep-konsep yang terkait. Guru
memulai pelajaran dengan memperkenalkan manipulasi, representasi verbal & visual, dan
kemudian dia mempresentasikan representasi aljabar dari transformasi saat ini. Dia
menyelesaikan setiap pelajaran dengan masalah tertentu di mana representasi yang berbeda
dari konsep matematika digunakan. Oleh karena itu, siswa diharapkan dapat membangun citra
atau gambar untuk transformasi dengan menggunakan pengetahuan mereka sebelumnya,
untuk memeriksa sifat-sifat transformasi dengan menggunakan gambar-gambar tersebut, untuk
mengembangkan makna formal dari transformasi dengan menghubungkan sifat-sifat ini, dan
untuk membuat pengamatan formal tentang konsep-konsep tersebut dengan bantuan
beberapa representasi.

Misalnya, pelajaran terjemahan dimulai dengan video berbasis web untuk menarik perhatian
siswa. Kemudian guru meminta siswa untuk berbicara tentang konten video untuk mempelajari
gambar siswa tentang transformasi. Setelah berbagi beberapa contoh terjemahan dari
kehidupan sehari-hari, siswa menggunakan manipulasi virtual untuk mengamati bagaimana
koordinat suatu gambar berubah dalam sebuah translasi.

Guru memperkenalkan manipulasi fisik untuk translasi dan mendiskusikan hubungan antara
titik asal dan titik gambar dari beberapa angka geometri dengan siswa. Dia mengingatkan siswa
tentang sosok yang telah mereka pindahkan x-satuannya ke kanan dan kiri, dan y-satuannya ke
atas dan ke bawah di pelajaran transformasi sekolah menengah dan menanyakan mereka
apakah mereka dapat menentukan gerakan tersebut menggunakan vektor. Setelah guru
memasukkan konsep vektor ke dalam pelajaran, siswa terus menggunakan manipulasi fisik
untuk menerjemahkan angka geometris yang berbeda dengan vektor berbeda. Guru ingin
mereka menggunakan manipulasi virtual lagi untuk mengeksplorasi properti mana yang tetap
invarian dalam translasi. Untuk tujuan ini, dia membimbing siswa dalam pengaplikasiannya
dimana siswa mengamati perbedaan antara gambar asli dan gambar dalam hal jarak, sudut
ukuran, paralelisme, dan orientasi; mereka kemudian mendiskusikan pengamatan mereka
bersama-sama.

Setelah aplikasi ini, definisi matematis tentang sebuah transformasi diperkenalkan sebagai
korespondensi satu satu yang memetakan titik-titik bidang ke bidang, dan representasi aljabar
dari translasi disajikan untuk berbagi bahasa yang sama dengan siswa. Guru mulai
memperkenalkan aljabar representasi dengan T : R2 " R2, di mana adalah vektor di pesawat.
Dia menunjukkan gambar titik P oleh Pʹ di mana Pʹ = T (P) = P + a dan menjelaskan notasi
matematika terkait. Dia lanjut dengan aplikasi di mana dia mengharapkan siswa untuk
menyadari perbedaan ketika vektor translasi berubah. Dia ingin siswa menggunakan manipulasi
virtual lagi untuk menggambar angka yang berbeda di pesawat, dilambangkan sebagai persegi
panjang di layar, dan terjemahkan salah satunya dengan vektor. Ketika siswa menerjemahkan
salah satu dari angka, semua angka lainnya juga diterjemahkan oleh vektor yang sama; alhasil,
guru bisa menekankan bahwa terjemahan mengubah semua poin pada pesawat, bukan hanya
titik-titik dari gambar ini. Dia menyelesaikan pelajaran dengan latihan di GeoGebra dan
berusaha untuk menghubungkan representasi verbal, grafis, dan aljabar ke satu sama lain untuk
memperkuat pemahaman. Peneliti bergabung dalam pelajaran untuk melakukan pengamatan
semi-terstruktur, fokus pada peserta dan membuat catatan lapangan tentang pertumbuhan
pemahaman matematika.

Proses Pengumpulan Data

Sebelum pelajaran transformasi, sebuah pretes diberikan kepada semua siswa di kelas
penelitian untuk menentukan pra-pengetahuan mereka tentang translasi, rotasi, refleksi, dan
dilatasi. Pertanyaan-pertanyaan disiapkan untuk memeriksa pemahaman primitive siswa dalam
hal kemampuan mereka untuk menerapkan representasi verbal, grafis, dan aljabar dari konsep
matematika dalam satuan geometri transformasional. Tes ini dirancang dengan bantuan
seorang profesor pendidikan matematika dan mencakup 26 pertanyaan terbuka tentang empat
transformasi ini. Setelah pre-tes, tes kemampuan spasial, yang diadopsi dari tugas-tugas dalam
Kit Tes Kognitif yang Mereferensikan Faktor (Ekstrom, French, Har man, & Dermen, 1976) dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Turki oleh Delialioğlu (1996), diberikan kepada siswa untuk
mengidentifikasi alasan spasial mereka.

Wawancara semi terstruktur pertama dengan partisipan dilakukan sesuai dengan tanggapan
mereka terhadap pertanyaan pretest setelah implementasi dua alat ini. Pelajaran dimulai
minggu berikutnya dengan translasi, dan berlanjut selama tiga minggu berikutnya dengan
rotasi, refleksi, dan dilatasi, secara berurutan. Wawancara mingguan semi-terstruktur berbasis
tugas dilakukan dengan peserta setelah setiap pelajaran transformasi untuk menganalisis
pemahaman matematis yang telah mereka kembangkan selama pendahuluan.

Wawancara berbasis tugas dibangun untuk mengidentifikasi aplikasi matematika peserta dalam
satu atau lebih tugas (pertanyaan, masalah, atau aktivitas apa pun) secara spesifik kondisi yang
telah ditentukan sebelumnya oleh peneliti (Goldin, 2000). Bentuk wawancara semi terstruktur
disiapkan dengan bantuan studi penelitian sebelumnya tentang transformasi (yaitu, Jung, 2002;
Soon, 1989; Yani, 2006). Bentuknya meliputi pertanyaan terbuka yang meminta siswa untuk
menerapkan verbal, grafis, dan representasi aljabar dari transformasi saat ini dan
menerjemahkan di antara representasi ini (lihat Lampiran). Formulir diselesaikan setelah
mempertimbangkan umpan balik dari seorang profesor pendidikan matematika. Setiap
wawancara transformasi mingguan berlangsung rata-rata 50 menit. Fisik dan virtual manipulatif
yang digunakan selama instruksi dibuat siap selama wawancara. Semua wawancara adalah
video direkam dan data ditranskripsi baris demi baris untuk memulai analisis data.

Analisis Data
Metode perbandingan konstan (Glaser & Strauss, 1967) digunakan untuk menganalisis transkrip
wawancara semi terstruktur berbasis tugas. Pertama, mereka dipisahkan menjadi bagian-
bagian dan kalimat kode terbuka dengan kalimat. Kode-kode tersebut kemudian dievaluasi
dengan hati-hati dan hubungan dibangun antara kode melalui pengkodean aksial. Setelah
membuat koneksi, kode-kode itu disatukan di bawah kategori dan tema terkait dibuat
menggunakan evaluasi kategori. Catatan lapangan yang diambil selama observasi partisipan
digunakan untuk memvalidasi dan mendukung data wawancara.

Data yang dikumpulkan dianalisis menurut model Pi rie-Kieren, yang memberikan kesempatan
mengamati perkembangan pemahaman matematis siswa. Protokol pengkodean telah dibuat
berdasarkan komponen teori dan kerangka matematika dari transformasi. Protokol dimulai
dengan kode dan penjelasan untuk tingkat pemahaman matematis teori. Pernyataan diberikan
untuk mencontohkan kemungkinan kegiatan akting dan ekspresi untuk masing-masing
transformasi yang akan dilakukan siswa dalam tingkat apapun. Protokol dilanjutkan dengan
kode dan penjelasan tentang dua fitur teori: folding back dan intervensi. Fitur-fiturnya adalah
diklarifikasi melalui pernyataan sampel dari transformasi, sehingga menentukan kemungkinan
kegiatan di bawah setiap fitur. Protokol dimasukkan ke final formulir dengan
mempertimbangkan umpan balik dari dua profesor pendidikan matematika. Setelah
menyelesaikan persiapan, matematika siswa pengertian translasi, rotasi, refleksi, dan dilatasi
dianalisis sesuai dengan protokol. Analisis dilakukan secara terpisah sesuai ke tingkat
pemahaman matematika dan fitur mereka, dan kode kemudian dikaitkan. Untuk contoh, ketika
seorang siswa beroperasi di level Formalisasi dan diperlukan untuk mengerjakan properti
transformasi menggunakan manipulatif, pernyataan dikodekan sebagai menggunakan
manipulatif untuk melipat kembali dari Formalisasi untuk Memperhatikan Properti. Pirie-Kieren
model dengan delapan lingkaran digunakan untuk secara eksplisit menyajikan pertumbuhan
pemahaman matematika siswa kepada pembaca. Garis bergerigi digunakan hanya seperti yang
dilakukan Pirie dan Kieren (1994) untuk menunjukkan bekerja pada tingkat tertentu.

Selain melakukan triangulasi wawancara dengan observasi, keterlibatan yang berkepanjangan


dan persisten observasi digunakan untuk memastikan kepercayaan penelitian. Deskripsi tebal
dari penelitian ini dan pengambilan sampel yang bertujuan digunakan untuk kemampuan
transfer, dan pemeriksaan anggota melalui aplikasi rumus Miles dan Huberman (1994)
(kesepakatan/[kesepakatan + ketidaksepakatan]) digunakan untuk memverifikasi kredibilitas.
Matematika yang berpengalaman peneliti pendidikan dengan pengetahuan tentang teori Pirie-
Kieren tetapi tidak menyadari konteksnya penelitian menganalisis 10% dari seluruh data.
Peneliti memberikan penelitian pendidikan matematika ini er transformasi set data dari dua
peserta yang berbeda dan memintanya untuk mengkodekan data sesuai komponen teori Pirie-
Kieren. Kode dibandingkan dan kesepakatan diberikan untuk 92% data. Sisanya dibahas dengan
dia dengan membuat perbandingan, dan consensus dicapai pada kode pada akhir diskusi. Selain
itu, temuan disajikan menggunakan kutipan langsung dari penelitian, dan dokumen terkait
dengan data yang disimpan.

Penemuan dan Diskusi

Temuan penelitian terbentuk di sekitar melacak siswa yang tertinggal pada tingkat pemahaman
matematika yang berbeda saat mereka berhadapan dengan transformasi. Jejak-jejak ini dilacak
dengan mempertimbangkan gerakan folding back yang dilakukan dalam tingkat, kegiatan
pelengkap di bentuk akting dan ekspresi dari level Pembuatan Gambar Melalui Mengamati, dan
Intervensi di Lingkungan Pembelajaran yang Mempengaruhi Pertumbuhan Pemahaman
Matematika.

Jejak yang Tertinggal dalam Level Pemahaman Formal dan Informal

Pelajaran yang dilakukan selama penelitian adalah dirancang berdasarkan hasil belajar tentang
transformasi dalam kurikulum matematika sekolah menengah. Menurut pembelajaran ini Hasil
akhir, siswa diharapkan mampu mendefinisikan translasi, rotasi, refleksi, dan dilatasi, serta
mengungkapkan pengamatan formal termasuk yang spesifik sifat yang tetap invarian di bawah
formasi trans ini. Namun, temuan menunjukkan bahwa bahkan ketika siswa mengembangkan
pemahaman formal selama pelajaran, mereka tidak bisa menggunakan pemahaman ini saat
mengerjakan tugas matematika selama wawancara. Dengan kata lain, meskipun siswa telah
mengembangkan pemahaman matematika mereka ke tingkat Memformalkan atau Mengamati,
mereka tidak dapat menggunakan tingkat pemahaman ini terlepas dari tingkat pemahaman
batin mereka. Situasi ini mengungkapkan bahwa yang kedua "jangan butuh" batas bukanlah
ambang batas yang mudah untuk dilintasi untuk siswa. Gambar 3, yang digunakan untuk
memodelkan (a) pemahaman Defne tentang terjemahan, (b) Elif 's pemahaman tentang rotasi,
(c) pemahaman Selim tentang refleksi, dan (d) pemahaman Metin tentang pelebaran, secara
visual menguraikan interpretasi ini. Angka pada gambar digunakan untuk menunjukkan
kemajuan pemahaman siswa saat mengerjakan tugas yang diberikan selama wawancara.

Seperti yang terlihat pada Gambar 3, ketika Defne menghadapi tugas terjemahan, dia mulai
belajar menggunakan dia sebelumnya gambar yang dibangun. Dia kemudian perlu membangun
yang baru gambar dan bekerja dalam level Pembuatan Gambar menggunakan pengetahuan
primitifnya. Dia melipat kembali untuk Mengetahui Primitif saat bekerja di tingkat Formal ing.
Meskipun Elif lebih suka menggunakan gambar untuk mengekspresikan pemahaman
matematisnya tentang rotasi, dia bekerja dalam tingkat pemahaman formal sebagian besar
waktu selama wawancara dan dilipat kembali untuk Memperhatikan Properti karena kebutuhan
pribadinya. Demikian pula Selim menggambarkan gambarannya tentang konsep di awal
wawancara refleksi. Bahkan meskipun dia bisa menggunakan pengamatan formalnya, dia sering
dilipat kembali ke Pembuatan Gambar untuk mengatur ulang gambar-gambarnya. Ketika Metin
bertemu dengan tugas pertama tentang pelebaran, dia menggunakan gambarnya dan sebagian
besar bekerja di dalam Meresmikan dan Mengamati kecuali untuk melipat kembali ke Primitif
Mengetahui karena representasi aljabar dari transformasi.

Tabel 2 menyajikan contoh yang menunjukkan bagaimana pemahaman matematika siswa


dipetakan sesuai dengan akting dan aktivitas ekspresi mereka dalam level. Pemetaan ini
mendukung gagasan bahwa siswa membangun pemahaman formal dari pemahaman informal
mereka. Kedua pemahaman ini berkembang dengan cara yang saling melengkapi dan
pemahaman matematis tumbuh sebagai proses yang terintegrasi (Pirie & Kieren, 1994).
Pengetahuan Primitf sebagai Inti dari Pemahaman Matematika

Pengetahuan primitif siswa tentang transformasi seperti yang diidentifikasi oleh pretest
sebelum pelajaran dimainkan

Tabel 2
Aktifitas yang digunakan Elif Ketika Menyelesaikan Tugas selama Wawancara Rotasi
Kepunyaan Gambar Pemberitahuan Perencanaan Observasi
Properti
(1) “Contoh (2) “Dalam rotasi, (4) “Kalimat ini, (8) Dia menyatakan
untuk rotasi ... Mari arah 'memutar angka di “the
saya tunjukkan di sini sosok itu berubah. sekitar titik dengan segitiga asli
[menggunakan Dalam terjemahan, sudut tertentu di dan gambarnya
manipulasi virtual], itu pesawat kongruen
sebuah objek bergerak ke arah 'menjelaskan rotasi setelah rotasi,
seperti itu vektor. Maksud saya, dengan tepat. hanya lokasi mereka
[menggambar] karena rotasi itu (6) Elif menggambar berbeda."
sebuah segitiga]. Jika melingkar, sosok itu persegi panjang (9) Dia menyatakan
kita bergerak dalam dalam manipulatif bahwa
putar angka ini lingkaran. ” virtual, satu jika rotasi sudut
dengan 90º, itu akan (3) “Memutar objek sudutnya berada di diubah
menjadi di pesawat titik awal yang akan secara bergiliran,
seperti itu, dengan berarti memutar diputar, dan “the
180º objek di sekitar titik yang berlawanan gambar sosok
seperti itu, dan titik yang tidak ada berada di pusat tidak akan berubah;
dengan 270º seperti pada gambar tanpa rotasi. Lalu dia hanya lokasinya
itu. Dia mengubah jarak.” menemukan titik akan berubah”.
akan datang sama (5) “Pertama, saya gambar dengan
tempat di by 360º menentukan jarak menggunakan
[memutar sudut tri antara titik pada persegi panjang ini.
sebesar 90 °, 180 °, gambar asli (7) Ketika Elif
270 °, dan 360 ° [menunjukkan mendengar istilah
dengan benar di segitiga pada arah positif, dia
virtual manipulasi virtual] mengatakan bahwa
manipulatif]” dan pusat rotasi. itu berarti "memutar
Lalu saya menandai segitiga dalam
sudut rotasi dan hitungan berlawanan
putar gambar dengan arah jarum jam" dan
sudut ini.” dia menulis rumus
(11) Elif menentukan matematika rotasi
rotasi sambil menunjukkan
sudut sebagai 270º bahwa
searah jarum jam dia akan
dan digunakan “menggunakan
representasi aljabar rumus untuk
dari menemukan gambar
transformasi untuk a
memeriksa titik di bawah rotasi
sifat rotasi jika sudut rotasi lain
dari 90º, 180º, 270º,
atau 360”.
(10) Elif berhasil
menemukan sudut
rotasi a
tugas di mana sosok
asli dan gambarnya
setelahnya
rotasi sebesar 90º
diberikan.
(12,13) Elif dapat
menemukan gambar
segitiga
yang diputar 60º di
sekitar titik asal. Dia
bisa
menerapkan rumus
matematika dengan
benar
transformasi dan
menggunakan virtual
dan fisik
manipulatif secara
efektif dalam proses
ini.

Pengetahuan primitif siswa tentang transformasi seperti yang diidentifikasi oleh pretest
sebelum pelajaran memainkan peran kunci dalam pertumbuhan pemahaman matematika
mereka. Pengetahuan primitif tentang transformasi ditemukan dikembangkan di sekitar
representasi internal yang telah dibangun siswa konsep dasar geometri seperti vektor, garis,
fungsi, dan bidang yang perlu dipahami sebelum transformasi. Dengan representasi internal,
kita berarti verbal, imagistik, dan formal-notasional struktur mental dari suatu konsep yang
dibuat siswa dengan mempertimbangkan pengalaman matematis atau non-matematis di
lingkungan belajar (Goldin, 2003). Temuan dalam topik ini meliputi implikasi vektor, pasangan
terurut, garis, fungsi, gambar, korespondensi satu-satu, dan konsep bidang yang menjadi dasar
pemahaman transformasi. Konsep-konsep ini tidak cukup untuk memperkuat pemahaman
siswa, mereka memiliki beberapa kesulitan dalam mengembangkan matematika yang tepat
pemahaman tentang transformasi. Misalnya, ditemukan bahwa siswa memahami istilah
tampilan dari istilah gambar ketika menjawab pertanyaan di mana sifat-sifat gambar dari suatu
gambar di bawah transformasi diminta. Pengikut kalimat yang Defne gunakan ketika ditanya
apakah atau tidak akan ada perubahan dengan citra an Segitiga ABC di bawah terjemahan jika
terjemahannya vektor diubah contoh situasi ini:
Di sini, hanya dimensi yang berubah. Jarak ini (mengacu pada jarak antara
segitiga ABC dan bayangannya). Foto? Di sini, memang tidak berubah karena
mirip. maksud saya, rasionya sama; mereka kongruen.

Insiden lain yang ditemui selama berikut fase wawancara yang sama menunjukkan peran dasar
konsep yang sebelumnya harus dimiliki siswa pemahaman untuk pemahaman matematis yang
tepat tentang transformasi. Karena Defne punya tidak mengembangkan pemahaman konsep
yang tepat vektor, ia mengalami kesulitan dalam memahami terjemahan. Ketika dia diharapkan
untuk menggambar vector (1, 4) pada kuadran kedua, dia menyatakan bahwa komponen vektor
akan berubah menjadi (-1, 4) dan itu butuh waktu lama baginya untuk mengatasi masalah ini.

Begitu pula dengan kesulitan siswa dalam memahami notasi matematika untuk konsep bidang
dan fungsi serta parameter transformasi seperti R2 " R2, T (x, y), Ra(x,y) secara langsung
mempengaruhi pertumbuhan pemahaman matematika mereka. Kalimat berikut dari Elif, yang
telah mengembangkan pemahaman yang unggul di antara para peserta, memberikan: contoh
yang baik dari temuan ini. Dia menjelaskan apa dia mengerti dari ekspresi R2 " R2 dalam
kalimat berikut:

Ini akan dari r persegi ke r persegi ... Seperti (2, 4). Maksud saya, yang pertama,
komponen x, adalah r kuadrat, dan komponen y akan menjadi kuadrat dari x.
Sebenarnya, saya... Ungkapan ini, dari r square ke r kuadrat rumit ... Mungkin
juga (4, 16), demikian pula.

Ketika seseorang mengingat bahwa mungkin ada banyak faktor yang mempengaruhi
pengetahuan primitif siswa (Pirie & Kieren, 1994), konsep dasar yang diperlukan untuk
memahami transformasi dapat dikatakan untuk datang sebelum faktor-faktor lain. Siswa dapat
mengembangkan tingkat pemahaman formal sejauh mereka memiliki pemahaman yang tepat
dan kuat tentang ini konsep primitif. Temuan ini didukung oleh peneliti lain yang telah meneliti
pertumbuhan pemahaman matematika dari konsep matematika yang berbeda (Grinevitch,
2004; Pirie & Kieren, 1994) dan peneliti yang telah mempelajari mahasiswa pemahaman
tentang transformasi (Flanagan, 2001; Hollebrands, 2003; Segera, 1989; Yani, 2011, 2013).

Di sisi lain, pengetahuan primitif siswa tentang pelebaran hanya sebatas kegiatan peregangan
dan pengecilan di pesawat karena pelajaran pelebaran dalam penelitian ini adalah pertama
kalinya mereka bertemu dengan transformasi. Pengetahuan primitif siswa diamati juga menjadi
titik dukungan untuk pertumbuhan pemahaman matematis tentang transformasi. Bahkan
ketika mereka memulai penjelasan mereka dengan pemahaman formal, mereka menggunakan
kontruksi pengetahuan mereka sebelumnya. Misalnya, Elif dan Metin, yang sebagian besar
bekerja dalam tingkat formal selama mereka wawancara, sering kali diperlukan untuk folding
back ke Pengetahuan Primitif untuk mempelajari representasi aljabar dari translasi dan refleksi.
Temuan ini penting untuk mengungkapkan peran pengetahuan siswa yang dibangun
sebelumnya mengenai konsep saat ini.

Gambar Menentukan Jalur Perkembangan

Temuan terkait dengan pertumbuhan matematika pemahaman selama proses ini menunjukkan
pentingnya gambar yang dibangun siswa untuk transformasi selain peran inti dari pengetahuan
primitif. Peserta telah memiliki pengalaman dengan transformasi isometrik (terjemahan, rotasi,
dan refleksi) sampai mereka berada di Kelas 10, dan telah mengembangkan gambar
berdasarkan representasi eksternal yang berbeda dari formasi trans ini, seperti ekspresi tertulis,
grafik, gambar, diagram, persamaan, dan rumus. Dari ini, faktor yang mempengaruhi citra siswa
ditentukan selama wawancara pretest sebagai (a) bahasa lisan yang berkaitan dengan
transformasi dalam kehidupan sehari-hari, (b) matematis dan non matematis pengalaman
dunia nyata, dan (c) hasil belajar berasal dari transformasi yang telah dipelajari siswa dari
sekolah menengah pertama sampai kelas 9.

Gambar siswa tentang transformasi isometrik ditemukan dipengaruhi oleh istilah yang
digunakan untuk kehidupan sehari-hari seperti mengganti, memindahkan, menggeser, berbalik,
dan melapiskan. Sebagai contoh, Defne menjelaskan terjemahan sebagai “memindahkan sosok
ke kanan atau kiri, dan/atau atas atau bawah” sementara Elif menjelaskannya sebagai
"menggantikan sosok." Dialog berikut yang terjadi antara Elif dan peneliti mendukung temuan
ini:

Elif: Translasi adalah perubahan lokasi sebuah figure tanpa mengubah arah, bentuk,
area, atau ukurannya

Peneliti: Bagaimana saya bisa mengubah lokasinya?

Elif: Kita tidak bisa mengubah arah atau areanya. Kita hanya akan mengubah
posisinya.

Peneliti: Bagaimana saya bisa mengubah posisinya?

Elif: Dengan menggesernya.

Selain bahasa lisan, pengalaman dunia nyata adalah faktor lain yang mempengaruhi
pengembangan citra siswa dengan transformasi isometrik. Berikut penjelasan yang dibuat
Metin tentang transformasi ini, termasuk juga tindakan kehidupan sehari-hari yang disebutkan
di atas, dapat diberikan sebagai contoh situasi ini:

Mengubah posisi tabel adalah terjemahan. Membalikkan pensil dengan


memperbaiki salah satu ujungnya adalah rotasi. Titik tetap adalah asal;
maksudku titik (0,0). Refleksi... Ini seperti melihat bagian bawah dari kertas
kosong yang terlipat sebagai pantulan dari bagian atas kertas yang sama. Garis di
tengah kertas adalah sumbu simetri.

Siswa di kelas penelitian sebelumnya telah diperkenalkan pada tiga transformasi isometrik di
sekolah menengah dan untuk tessellations planar di kelas 9. Dalam hasil belajar dari nilai-nilai
tersebut transformasi disebut sebagai gerakan, dan siswa diminta untuk menjelaskan dan
melakukan mosi ini (lihat Depdiknas, 2009, 2010). Tanggapan peserta terhadap pertanyaan
wawancara pretest menunjukkan bahwa mereka memiliki gambar yang terkait dengan ini hasil
pembelajaran. Dialog wawancara pra-tes antara Defne dan peneliti dapat digunakan sebagai
bukti untuk mendukung temuan ini.

Defne: Misalnya, dengan terjemahan dari sumbu x atau y, kami memiliki metode
satuan, jadi banyak unit kanan atau begitu banyak unit kiri. Misalnya jika kita
mengatakan benar kita membuat translasi pada sumbu x positif, jika kita katakan
kiri kami membuat terjemahan di sumbu x negatif. Jika dikatakan up, kita
berhasil pada sumbu y positif dan jika dikatakan turun kita membuatnya pada
sumbu y negatif. Sebagai contoh, jika dikatakan terjemahkan intinya A(x,y) 3
satuan kanan dan 2 satuan bawah, itu adalah (x +3, y−2). 3 unit tepat di sumbu x
dan 2 satuan ke bawah pada sumbu y.

Peneliti: Saya mengerti. Apakah ini seperti yang kamu gambar disini (lihat gambar 4)?

Defne: Ya, tepat sekali.

Peneliti: Ok. Apa yang bisa kamu utarakan tentang rotasi?

Defne: Pada bidang koordinat misalnya... Kita bisa membalikkan angka sekitar 90º, 180º
atau 270º di kuadran pertama. Setelah 360º ia kembali ke posisi semula, menjadi
sosok yang sama tentunya. Seperti itu.

Peneliti: Apa kamu memikirkannya secara terpisah dimana kamu juga sedang
menggambarnya?

Defne: Ya. Sebagai contoh, mari kita ambil ini (pertunjukan ikon hati di kuadran
pertama). Ini adalah 90º (menunjukkan ikon hati di kuadran keempat), ini adalah
180º (menunjukkan ikon hati di kuadran ketiga) dan ini adalah 270º
(menunjukkan ikon hati di kuadran kedua).

Peneliti: Baiklah. Bisakah kamu tunjukkan arah mana yang kamu putar?

Defne: Ya, arah yang ini (menunjuk arah jarum jam).

Peneliti: Ok. Apa yang bisa kamu sampaikan tentang refleksi?


Defne: Sumbu simetri... Nah, refleksi berarti berlawanan. maksudku di cermin.

Gambar siswa sebelum pelajaran bisa dikatakan sebagai titik awal pertumbuhan pemahaman
matematika. Siswa lebih suka memulai penjelasan mereka dengan gambar-gambar ini selama
mingguan wawancara untuk setiap transformasi isometrik. Misalnya, Selim menjelaskan “kincir
ria”, “rodamobil berfungsi baik terjemahan maupun rotasi,” dan “gambarnya di mirror,” ketika
diminta untuk memberikan contoh formasi trans ini selama wawancara yang dilakukan setelah
pelajaran. Temuan serupa diamati oleh Jung (2002), Flanagan (2001), dan Yanik (2011), saat
belajar transformasi dengan siswa dari berbagai usia.

Di sisi lain, mengembangkan gambar baru yang tepat berdasarkan pengetahuan primitif
memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan pemahaman matematika tentang
transformasi. Pada saat itu, gambar yang secara matematis tidak sesuai diidentifikasi
menyebabkan masalah bagi siswa di tingkat lebih lanjut dan membutuhkan banyak waktu dan
usaha untuk memperbaikinya. Misal seperti Selim dan Metin mengalami kesulitan dengan tugas
matematika karena gambar yang mereka kembangkan notasi aljabar untuk terjemahan. Mereka
tidak dapat memperbaiki gambar ini untuk waktu yang lama bahkan saat bekerja pada berbagai
contoh transformasi. Kedua partisipan mengerti bahwa notasi T (3, 4), dimana = (1, -4),
menyatakan “titik (3, 4) sebagai bayangan suatu titik tertentu yang diterjemahkan oleh vektor
u”. Penjelasan Selim tentang notasi tersebut justru menunjukkan gambar yang telah ia
konstruksikan saat menggunakan manipulasi fisik sebagai berikut:

Vektor kami u adalah (1, -4), izinkan saya menggambarnya terlebih dahulu. (1, -4)
adalah seperti itu (menggambar vektor). Itu memberi saya terjemahannya
gambar, T (3, 4). Dimanakah titik T (3, 4)? Di Sini (menandai titik (3,4)). Nah, jika
saya memilih titik sebagai P(x, y), saya menambahkan titik P(x, y) ke titik (1, -4)
dan dapatkan poinnya (3,4). Lalu saya memikirkannya; Apa apakah saya
menambahkan 1 untuk mendapatkan 3? Komponen x adalah 2; Apa apakah saya
menambahkan ke -4 untuk mendapatkan 4? Komponen y adalah 8. Maka I
katakan bahwa titik P adalah titik (2, 8).

Meskipun guru menggunakan notasi matematika ini dengan benar yang menyertakan gambar-
gambar yang berbeda konsep matematika seperti fungsi, domain, jangkauan, vektor, dan
gambar, Selim dan Metin telah mengembangkan gambar yang berbeda secara independen dari
guru menggunakan notasi, dan mereka lebih suka menggunakan notasi mereka sendiri gambar
di lingkungan belajar. Penemuan-penemuan ini mempengaruhi pertumbuhan pemahaman
matematika mengungkapkan bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang bisa mudah
ditransfer ke siswa; sebaliknya, itu adalah sesuatu yang siswa konstruksi sendiri.

Pembuatan Gambar dan Pemberitahuan Properti sesuai dengan Pengetahuan Primitif dan
Kemampuan Spasial

Karena siswa tidak selalu dapat menggunakan pemahaman formal, mereka bekerja sebagian
besar dalam level Pembuatan Citra dan Pengenalan Properti selama wawancara yang dilakukan
setelah pelajaran mereka (lihat Gambar 3). Meskipun pelajaran dilakukan untuk memastikan
bahwa siswa dapat melakukan pengamatan formal, siswa lebih suka fokus pada kegiatan di
dalam dua tingkat ini. Pengamatan ini menunjukkan bahwa siswa terus mengembangkan
formalisasi proses pemahaman matematika.

Pengetahuan primitif dan kemampuan spasial siswa adalah dua faktor utama yang menentukan
kinerja siswa dalam Pembuatan Gambar dan Pemberitahuan Properti. Sebagai contoh peran
pengetahuan primitif, Metin mengalami beberapa kesulitan dengan rotasi saat mengerjakan
fungsi trigonometri selama wawancara; dia perlu mengatur ulang gambarnya tentang
representasi aljabar dari rotasi pada tingkat Pembuatan Gambar. Di samping itu, dia tidak
menemui masalah apa pun tentangnya pengetahuan primitif saat mengerjakan refleksi pada
suatu titik; dia lebih suka menerapkan beberapa contoh refleksi khusus untuk mengamati sifat-
sifat ini transformasi. Kalimat berikut yang berasal dari kegiatan Image Making-nya ketika
ditanya mencari bayangan segitiga setelah diputar 90º mendukung temuan ini:

Nah, apa itu? (tulis xcosα - ysinα, xcosα + ysinα). Saya menggunakan rumus itu.
Titik (-2, 1), -2cos90 - 1sin90, ini akan memberikan komponen pertama. Biarkan
saya memberi koma (terus menulis rumus sebelumnya). -2cos90 - 1sin90,
-2cos90 + 1sin90. Apa ini? cos90, sin90? Biarkan aku menggambar segitiga
(menggambar segitiga siku-siku dan mencoba untuk hitung nilai cos90 dan
sin90). Bersebelahan tepi dibagi dengan sisi miring, apa itu…

Faktor kedua yang mempengaruhi kinerja siswa di level aktif ini dapat dikatakan sebagai spasial
mereka kemampuan. Elif dan Metin, yang diuntungkan dalam hal kemampuan spasial, sebagian
besar bekerja pada aktivitas menggunakan sifat transformasi yang berbeda. Defne dan Selim,
yang dirugikan dalam hal kemampuan spasial, biasanya bekerja pada Gambar Membuat
kegiatan (lihat Tabel 1 dan Gambar 3). Pengamatan peneliti terhadap peserta selama instruksi
memverifikasi temuan ini. Elif dan Metin lebih cepat dalam menyelesaikan aktivitas Image
Making untuk transformasi dengan menggunakan representasi yang berbeda, tetapi Defne dan
Selim membutuhkan lebih banyak waktu dan upaya untuk menerapkan representasi ini dan
mengembangkan gambar selama pelajaran. Pengetahuan primitif dan kemampuan spasial, dua
faktor penting, mengungkapkan bahwa siswa harus bekerja dalam dua level aktif informal ini
sambil mencoba mengembangkan yang kuat pemahaman matematis tentang transformasi.

Gerakan Melipat Balik untuk Memperkuat Pemahaman Matematika

Siswa dilipat kembali ke level dalam saat mereka membutuhkan untuk belajar dengan
pemahaman yang lebih informal bahkan ketika mereka telah mampu mengembangkan
pemahaman formal (lihat Gambar 3). Siswa membuat gerakan ini untuk menyusun kembali
pengetahuan primitif mereka yang tidak mencukupi, untuk membangun gambar baru atau
secara matematis lebih dapat diterima, dan untuk bekerja pada properti yang berbeda. Buatan
sendiri siswa keputusan dan manipulatif dalam lingkungan belajar ditemukan menjadi sumber
gerakan ini, yang memiliki peran yang sangat penting dalam pertumbuhan pemahaman
matematika (Pirie & Kieren, 1994).

Gerakan melipat punggung siswa berupa kebutuhan untuk "bekerja di lapisan dalam
menggunakan pemahaman yang ada" dan untuk "mengumpulkan di lapisan dalam" (Martin,
2008, hal. 72). Misalnya, Defne kebanyakan belajar dengan pemahaman yang lebih informal
menggunakan pemahamannya yang ada dan sering dilipat kembali ke dalam tingkat (lihat
Gambar 3). Demikian pula, karena kesulitan yang dia temui selama tugas matematika, Selim
memperkuat pemahamannya dengan melipat kembali ke tingkat dalam dan menggunakan
manipulatif untuk mengumpulkan ini tingkat (lihat Gambar 5).

Misalnya, ketika pemahamannya tidak cukup untuk mengingatnya dengan cepat ide-ide yang
dia berikan di tingkat Formalisasi selama wawancara pelebaran, dia tahu apa yang dia butuhkan
dan mulai bekerja pada beberapa sifat dilatasi sebagai terlihat pada kalimat berikut:

Pertama, saya memilih pusat pelebaran. Kemudian, k kali jarak antara pusat dan
aslinya titik sama dengan jarak antara pusat dan titik bayangan. Ini seperti
contoh makam Ataturk; Anda tahu ada tempat dengan singa. Jika kita memilih
tempat ini sebagai pusatnya, ayo Katakanlah jarak antara pusat adalah 100
meter dan makam smet nönü. Dalam skala mini kami, ransum ini harus
dipertahankan. Maksudku, jaraknya 100 meter, jika saya mengecilkannya 10,
maka jaraknya harus 10 di miniatur saya.

Representasi verbal, visual, dan aljabar adalah diamati juga membantu siswa memperkuat
pemahaman mereka dengan memberi mereka kesempatan untuk mengatur kembali
pemahaman mereka yang dibangun sebelumnya. Untuk contoh, siswa dilipat kembali ke
Primitif Mengetahui kapan mereka harus mempelajari representasi aljabar dari transformasi.
Sebagai contoh, siswa memiliki beberapa kesulitan mencoba mengingat atau menggunakan
aljabar representasi refleksi pada garis meskipun mereka telah mampu mengembangkan
pemahaman formal. Oleh karena itu, mereka menerapkan pengetahuan primitif mereka dan
mencoba untuk mengatur kembali pemahaman mereka tentang bagaimana menemukan
persamaan garis yang dua titiknya diketahui atau menghitung jarak antara titik dan garis. Dialog
berikut antara Elif dan peneliti dapat disajikan sebagai insiden temuan ini:

Elif: Gambar 2 adalah gambar gambar 1 setelah refleksi pada sebuah garis. Itu
meminta saya untuk menemukan garis refleksi. Seperti itu, titik ini
(menandai titik (-2, 3)) dan titik ini (menandai titik (1, 0)) (lihat Gambar 6).
Sekarang, mari kita bagi jarak antara dua titik ini menjadi 2, karena
memiliki untuk menjadi sama dengan garis, maksud saya jarak antara titik dan
garis pantul harus sama. Saya mengambil satu dari mereka, dan yang itu. 1, 2, 3
(menghitung panjang diagonal satuan kuadrat antara titik (−2,3) dan titik (-
2, 3)), ini dia, satu setengah unit. Kemudian akan lewat di sini (menggambar
garis-bagi tegak lurus dari segmen garis antara titik-titik (−2,3) dan (1, 0)). Ini
adalah garis refleksi.

Peneliti: Saya mengerti. Bisakah kamu menjelaskan garis ini secara aljabar?

Elif: Mari saya coba... Apa sumbunya? Itu 2M - P. Biarkan titik M berada di garis ini
(tanda titik Pʹ sebagai titik (-3, 1), titik Pʹ sebagai titik (-3, 1), titik P sebagai
titik (1, -1), dan menemukan titik M sebagai titik (-2, 0) dengan menggunakan
persamaan Pʹ = 2M - P). Kita harus mencari yang lain titik. titik.
Mari kita cari ini (tanda titik Pʹ sebagai titik (-2, 3), titik P sebagai titik (1, 0),
dan menemukan titik M as (-1/2, 3/2) dengan menggunakan persamaan Pʹ = 2M
- P). Garis refleksi akan lewat baik melalui (-2, 0) dan (-1/2,3/2); kami dapat
menemukannya dengan menghubungkannya.
Peneliti: Saya paham. Lalu bisakah kamu menemukan persamaan dari garis yang melintasi
dua poin ini?

Elif: Hmmm… Garis dimana dua poin ini diberikan… saya tidak ingat.

Temuan ini mengungkapkan pentingnya pengalaman yang diperoleh siswa dengan representasi
yang berbeda dari konsep matematika untuk mengembangkan pemahaman matematika yang
kuat. Siswa mendapat kesempatan untuk melakukan gerakan melipat ke belakang untuk
memahami berbagai representasi dan memperkuatnya pemahaman matematis mereka dengan
merevisi dan mereorganisasi pemahaman mereka sebelumnya. NS hasil penelitian yang
dilakukan oleh Nillas (2010) dan Wilson dan Stein (2007) mendukung temuan ini. Mereka
menyatakan bahwa siswa mungkin perlu bekerja di dalam tingkat dalam pemahaman
matematika untuk membangun hubungan di antara beberapa representasi dari konsep
matematika.

Batas Kritis, Aspek Akting-Ekspresi, dan Intervensi yang Menuntun Pemahaman Matematika

Setelah gerakan melipat kembali, temuan menunjuk ke batas antara Pemberitahuan Properti
dan Formalising, batas "tidak perlu" kedua dalam model Pirie-Ki eren. Siswa melakukan
kegiatan independen dari tingkat informal di dalam batas ke sejauh mereka bisa bekerja dalam
level For malising dan Observing. Misalnya, Elif dan Metin tidak perlu mengerjakan aktivitas
yang spesifik untuk situasi matematika yang berbeda di tingkat batin karena mereka mampu
menggunakan pemahaman formal dari translasi dan dilatasi. Namun saat mereka mempelajari
rotasi dan refleksi, mereka bergantung pada pemahaman informal mereka karena mereka tidak
dapat menggunakan pemahaman formal dengan transformasi ini. Situasi ini juga berlaku untuk
Defne dan Selim untuk semua transformasi. Dalam konteks ini, karakteristik penting lain dari
teori menjadi menonjol: aspek pelengkap akting dan mengekspresikan. Siswa tampil fisik dan
mental kegiatan sesuai kebutuhan, mengekspresikan kemampuan mereka dengan kegiatan ini
selama pengembangan pemahaman matematika. Ketika hal tersebut di atas kritis batas
dianggap, karena siswa melakukan tindakan dan khususnya ekspresi yang disediakan di tingkat
informal, mereka cenderung menggunakan ini macam pengertian. Dengan kata lain, meskipun
siswa telah mengembangkan pemahaman formal tentang transformasi, mereka tidak selalu
dapat menggunakan pemahaman ini karena mereka tidak dapat menemukan cukup waktu
untuk mengekspresikan kegiatan dalam tingkat formal.

Selain itu, siswa menggunakan representasi yang berbeda transformasi termasuk manipulatif
selama kegiatan bertindak untuk memastikan kesinambungan dan selama kegiatan
mengungkapkan untuk memberikan kekuatan pemahaman matematika. Situasi ini menyoroti
pentingnya manipulatif dan representasi multi lainnya sekali lagi karena siswa meningkatkan
pemahaman matematika mereka menggunakan aktivitas akting dan ekspresi ini saling
melengkapi. Representasi ini membantu siswa melakukan tindakan ini dan karena itu kemajuan
pemahaman matematika mereka ke tingkat lebih lanjut.

Intervensi internal diri dan intervensi eksternal yang berasal dari stimulan lingkungan
mempengaruhi pemahaman matematis siswa. mengerjakan tugas-tugas transformasional.
Pemahaman matematika siswa diamati dipengaruhi oleh manipulatif di lingkungan mereka dan
tugas-tugas yang disusun dengan verbal, grafis, dan representasi aljabar. Manipulatif dan
representasi verbal/grafis dari matematika konsep campur tangan dalam proses pemahaman
mereka dengan cara yang provokatif, memvalidasi, atau invokatif; representasi aljabar
diintervensi sebagian besar secara invokatif. Kalimat berikut yang Selim gunakan saat
mengerjakan salah satu fisik manipulatif refleksi dapat diberikan sebagai contoh bagaimana
manipulatif sebagai intervensi invokatif mempengaruhi pemahaman siswa (lihat Gambar 7).

Di sini, sangat penting bahwa jaraknya harus menjadi sama (menunjukkan jarak antara yang asli
titik dan garis pantul, serta jarak antara titik bayangan dan garis pantul). Kita tahu bahwa harus
ada sumbu refleksi. Katakanlah garis x = 0, sumbu, adalah sumbu refleksi untuk sistem
koordinat. Kita dapat dengan mudah melihat bayangan jika kita meletakkan cermin (cermin
pantul) pada sumbu refleksi.
Situasi ini menunjukkan bahwa pemahaman matematika sebagai proses yang terintegrasi dan
dinamis adalah dipengaruhi oleh manipulatif, yang merupakan salah satu representasi dari
beberapa konsep matematika. Siswa tidak dapat dikatakan mandiri dari konteks pembelajaran;
sebaliknya, mereka dipengaruhi oleh pengalaman yang mereka peroleh dari lingkungan ketika
mencoba mengembangkan matematika pemahaman suatu konsep.

Kesimpulan dan Implikasi

Model Pirie-Kieren adalah alat berharga yang menyediakan kesempatan untuk mengamati
proses siswa pemahaman matematis dan menyajikan pengamatan ini secara terorganisir. Hasil
pertama dari studi berkaitan dengan jalur pertumbuhan matematika pemahaman berkembang
melalui tingkat pemahaman. Pemetaan matematis siswa tentang transformasi menunjukkan
bahwa mereka berkembang pemahaman formal berdasarkan pemahaman informal mereka.
Oleh karena itu, guru hendaknya tidak membatasi pemahaman matematika hanya pada
penggunaan definisi atau rumus matematika formal; mereka harus mempertimbangkan bahwa
siswa tidak dapat membangun pemahaman formal tentang suatu konsep matematika tanpa
didukung oleh pemahaman informasi yang memadai tentang konsep tersebut. Pemahaman
matematis bukanlah akuisisi statis yang bisa diperoleh dengan menghafal pengetahuan
matematika di papan atau dalam buku; merupakan proses dinamis yang berkembang dari
informal ke tingkat formal dengan membangun beberapa pengetahuan dasar sebelumnya (Pirie
& Kieren, 1994). Hasil mengungkapkan yang mengharapkan siswa untuk memiliki matematika
formal pemahaman tanpa mengalami cukup informal pemahaman bertentangan dengan sifat
proses pemahaman matematika. Oleh karena itu, guru harus menyediakan lingkungan belajar
yang berfokus pada semua tingkat pemahaman matematika, dari Pengetahuan Primitif hingga
Penemuan. Selain itu, siswa menggunakan pemahaman formal dan informal saling mereka
sementara mengembangkan pemahaman matematis mereka tentang suatu konsep. Dengan
kata lain, bahkan jika mereka memiliki pemahaman formal tentang topik saat ini, mereka
mungkin tidak selalu menggunakan pemahaman formal ini. Ketika mereka memiliki masalah
yang tidak dapat mereka atasi dengan pemahaman formal, mereka melipat kembali dan
menerapkan pemahaman informal mereka untuk memperkuat pemahaman matematika saat
ini.

Hasil lebih lanjut terkait dengan pertumbuhan pemahaman matematika adalah tentang
pengetahuan primitif dan gambar siswa tentang transformasi. Siswa pengetahuan primitif
ditemukan terdiri dari representasi internal dari beberapa konsep matematika dasar seperti
vektor, garis, fungsi, dan bidang bahwa siswa harus membangun sebelum mereka bekerja
dengan transformasi. Guru dapat mencoba mengidentifikasi representasi siswa dari konsep-
konsep dasar sebagai langkah awal untuk mengajar transformasi. Selain pengetahuan primitif,
siswa gambar dipengaruhi oleh bahasa yang diucapkan di kehidupan sehari-hari, matematika
dan non-matematis contoh dunia nyata, serta pengalaman mereka memiliki pelajaran tentang
transformasi di tengah sekolah. Hal ini penting untuk kinerja siswa di tingkat yang lebih tinggi
dari pemahaman matematika untuk membangun gambar yang sesuai secara matematis
berdasarkan pada pengetahuan primitif mereka. Ketika mereka menghadapi masalah karena
gambaran mereka tentang suatu konsep, mereka membutuhkan banyak waktu dan usaha
untuk merevisi gambar-gambar ini. Membuat persiapan yang diperlukan setelah menentukan
pengetahuan primitif siswa, termasuk memahami konsep vektor, bidang, pasangan terurut,
fungsi, dan jarak, serta mengidentifikasi gambar siswa tentang transformasi, dapat dikatakan
mempermudah pekerjaan guru selama pelajaran transformasi.

Rekomendasi lain yang dapat dibuat untuk guru memandang implementasi yang dilakukan
siswa tampil dalam level Pembuatan Gambar dan Pemberitahuan Properti. Siswa perlu bekerja
di dalam level ini lebih dari level lain saat berkembang pemahaman matematis tentang
transformasi. Hal ini menunjukkan bahwa mereka harus terlibat dalam kegiatan di dimana
mereka aktif secara fisik dan mental. Pengetahuan primitif dan kemampuan spasial adalah dua
penentu yang digunakan siswa untuk menentukan tingkat yang mereka utamakan bekerja di.
Siswa yang memiliki keunggulan kuat pengetahuan primitif dan kemampuan spasial dapat
dikatakan untuk sering belajar di tingkat Harta Tiada, sedangkan siswa yang kurang beruntung
di Dari segi kedua faktor tersebut dapat dikatakan biasanya melakukan aktivitas dalam level
Image Making. Oleh karena itu, guru harus meluangkan lebih banyak waktu dan upaya untuk
membantu siswa yang perlu meningkatkan primitive pengetahuan atau kemampuan spasial
mengembangkan pemahaman matematika yang kuat tentang transformasi.

Siswa melakukan gerakan melipat punggung karena suatu masalah yang tidak dapat mereka
atasi dengan memberikan pemahaman atau karena kebutuhan yang mereka rasakan untuk
mengekspresikan pemahaman mereka yang lebih informal dalam mendukung pemahaman
formal. Dalam kedua situasi, gerakan-gerakan ini secara langsung mempengaruhi pertumbuhan
mereka pemahaman matematika. Mendorong siswa untuk melipat kembali ke tingkat dalam di
lingkungan belajar mereka dianjurkan mengingat manfaatnya gerakan ini dimiliki saat siswa
mencoba membangun pemahaman mereka tentang konsep matematika. Di dalam Selain
melipat kembali, bertindak dan mengekspresikan kegiatan dalam tingkat pemahaman adalah
penting untuk pertumbuhan pemahaman matematika. Hasil menunjukkan bahwa dibutuhkan
waktu untuk lulus kritis "jangan perlu” batas antara tingkat Properti Tidak ada ticing dan
Formalisasi. Siswa lebih suka belajar di dalam batas meskipun mereka telah berkembang
pemahaman formal transformasi dengan menggunakan beberapa representasi dan memeriksa
perbedaan sifat-sifat transformasi. Mungkin karena siswa tidak berpengalaman dalam level
Formalizing dan Mengamati. Siswa mungkin perlu mengerjakan orem atau pernyataan seperti
teorema tentang transformasi agar dapat menggunakan pemahaman formal sesering mungkin.
karena mereka menggunakan pemahaman informal. Dengan kata lain, meskipun pelajaran
diimplementasikan dalam desain di mana siswa dapat mengembangkan pemahaman mereka
untuk tingkat Formalizing dan Observing, itu tidak mudah bagi mereka untuk membangun
pemahaman formal yang dapat digunakan secara rutin. Untuk membangun pemahaman formal
ini, siswa mungkin diminta untuk mengerjakan kegiatan dengan tugas matematika yang lebih
abstrak dan canggih, seperti serta untuk mengungkapkan kegiatan tersebut untuk memperkuat
tingkat pemahaman matematisnya tentang Memformalkan dan Mengamati Menggunakan
Melipat gerakan punggung. Siswa mengambil langkah pertama mereka dalam mengembangkan
pemahaman matematis dengan kegiatan akting dan mereka mendukung dan memperkuat
mereka pemahaman dengan mengekspresikan kegiatan dalam a tingkat baru (Pirie & Kieren,
1994). Oleh karena itu, guru harus menyediakan lingkungan belajar yang menawarkan
kesempatan bagi siswa untuk mengekspresikan pemahaman matematika mereka dalam
informal dan formal tingkat pemahaman, serta melakukan fisik dan aktivitas mental saat
mereka melakukan bolak-balik gerakan antar tingkat pemahaman.

Selanjutnya, pemahaman matematis siswa diamati dipengaruhi oleh eksternal dan stimulan
internal. Intervensi ini kadang-kadang provokatif karena membantu siswa mencapai tingkat
lebih lanjut, kadang-kadang invokatif saat mereka membuat siswa melipat kembali ke tingkat
dalam, dan terkadang memvalidasi karena mereka mengkonfirmasi pemahaman siswa saat ini.
Semua komponen dalam pembelajaran lingkungan, dari alat belajar hingga hubungan antara
representasi yang berbeda dari konsep yang sama, harus ditekankan sebagai intervensi
potensial yang dapat mempengaruhi pertumbuhan matematika memahami. Oleh karena itu,
guru harus sadar bahwa setiap implementasi yang mereka lakukan untuk topik saat ini dapat
mengubah arah pertumbuhan dari pemahaman matematika siswa. Menurut hasil, intervensi
utama adalah manipulatif serta representasi verbal, visual, dan aljabar. Ini adalah stimulan
eksternal di lingkungan belajar yang diperkaya dengan banyak representasi dari konsep
matematika. Guru harus menerapkan dan mendorong siswa untuk bekerja dengan representasi
ini di semua tingkat matematika pemahaman karena siswa menggunakan representasi ini ketika
mereka melipat kembali antara Primitif Mengetahui dan Mengamati, melakukan akting dan
mengekspresikan aktivitas dalam level ini. Lewat sini, beberapa representasi membantu siswa
untuk memperkuat pemahaman dan kemajuan matematika mereka ke tingkat lebih lanjut.

Selain pendidik, ada beberapa rekomendasi utama bagi peneliti yang ingin belajar pemahaman
matematis siswa tentang transformasi trans atau konsep matematika lainnya. Misalnya, hasil
penelitian ini mengungkapkan bahwa pengetahuan primitif siswa tentang transformasi berbeda
satu sama lain. Tepi pengetahuan primitif siswa dapat dianalisis secara rinci, dan pemetaan
pertumbuhan pemahaman matematika siswa dapat dibandingkan dalam konteks perbedaan
ini. Juga, fokusnya dapat diarahkan pada aktivitas akting dan ekspresi yang dilakukan siswa
dalam level Pembuatan Gambar dan Pemberitahuan Properti. Karena siswa aktif di level ini
lebih dari level lain dan aktivitas yang mereka lakukan di level ini memberikan arahan pada
proses mereka dari pemahaman matematika. Manipulatif dan representasi lain dari
transformasi di lingkungan ditentukan untuk mempengaruhi siswa pemahaman matematika.
Oleh karena itu, studi yang memeriksa peran representasi yang berbeda sebagai stimulan
eksternal (terutama fisik dan virtual manipulatif) untuk pertumbuhan pemahaman matematika
dapat memberikan kontribusi penting literatur tentang pemahaman matematika.

Referensi

Battista, M. T. (1990). Spatial visualization and gender differences in high school geometry. Journal for
Research in Mathematics Education, 21(1) 47–60.

Borgen, K. L. (2006). From mathematics learner to mathematics teacher: Preservice teachers’ growth of


understanding of teaching and learning mathematics  (Doctoral dissertation). Retrieved from ProQuest
Dissertations & Theses Global. (UMI No: 304901557)

Davis, R. B. (1984). Learning mathematics: The cognitive science approach to mathematics education.
New Jersey, NJ: Greenwood Publishing Group.

Delialioğlu, Ö. (1996). Contribution of students’ logical thinking ability, mathematical skills and spatial
ability on achievement in secondary school physics (Master’s thesis, Middle East Technical University,
Ankara, Turkey). Retrieved from https://tez.yok.gov.tr/UlusalTezMerkezi

Dodge, C. W. (2012). Euclidean geometry and transformations. New York, NY: Courier Dover
Publications.

Duval, R. (2006). A cognitive analysis of problems of comprehension in a learning of


mathematics. Educational Studies in Mathematics,  61(1–2), 103–131.

Edwards, L. (2003). The nature of mathematics as viewed from cognitive science. Paper presented at the
Third Congress of the European Society for Research in Mathematics, Bellaria, Italy. Retrieved from
http://fibonacci.dm.unipi.it/ cluster–pages/didattica/CERME3/proceedings/Groups/
TG1/TG1_edwards_cerme3.pdf

Flanagan, K. A. (2001). High school students’ understandings of geometric transformations in the context
of a technological environment (Doctoral dissertation). Retrieved from ProQuest Dissertations & Theses
Global. (UMI No: 250028840).

Glaser, B., & Strauss, A. (1967). The discovery of grounded theory. Hawthorne, NY: Aldine Publishing
Company.
Goldin, G. A. (2000). A scientific perspective on structured, task–based interviews in mathematics
education research. In A. E. Kelly & R. A. Lesh (Eds.), Handbook of research design in mathematics and
science education (pp. 517–545). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

Goldin, G. A. (2003). Representation in school mathematics: A unifying research perspective. In J.


Kilpatrick, M. G. Martin, & S. Schifter (Eds.), A research companion to principles and standards for school
mathematics (pp. 275–286). Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics.

Grinevitch, O. A. (2004). Student understanding of abstract algebra: A theoretical examination (Doctoral


dissertation). Retrieved from ProQuest Dissertations & Theses Global. (UMI No: 305216054).

Gülkılık, H. (2013). Matematiksel anlamada temsillerin rolü: Sanal ve fiziksel manipülatifler (Doctoral
dissertation, Gazi University, Ankara, Turkey). Retrieved from https:// tez.yok.gov.tr/UlusalTezMerkezi/

Hiebert, J., & Carpenter, Th. P. (1992). Learning and teaching with understanding. In D. W. Grouws (Ed.),
Handbook of research in teaching and learning of mathematics (pp. 65–97). New York, NY: Macmilan.

Hollebrands, K. F. (2003). High school students’ understandings of geometric transformations in the


context of a technological environment. The Journal of Mathematical Behavior, 22(1), 55–72.

Janvier, C. (1987). Translation process in mathematics education. In C. Janvier (Ed.), Problems of


representation in mathematics learning and problem solving (pp. 27–31). Hillsdale, NJ: Lawrence
Erlbaum Associates.

Jung, I. (2002). Student representation and understanding of geometric transformations with technology
experience (Doctoral dissertation). Retrieved from ProQuest Dissertations & Theses Global. (UMI No:
305570475).

Lesh, R., Post, T., & Behr, M. (1987). Representations and translations among representations in
mathematics learning and problem solving. In C. Janvier (Ed.), Problems of representation in the
teaching and learning of mathematics (pp. 33–40). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

MacCullough, D. L. (2007). A study of experts’ understanding of arithmetic mean (Doctoral dissertation).


Retrieved from ProQuest Dissertations & Theses Global. (UMI No: 304834155).

Martin, L. C. (1999). The nature of the folding back phenomenon within the Pirie–Kieren Theory for the
growth of mathematical understanding and the associated implications for teachers and learners of
mathematics. (Doctoral dissertation). Oxford University, Oxford, England.

Martin, L. C. (2008). Folding back and the dynamical growth of mathematical understanding: Elaborating
the Pirie–Kieren Theory. The Journal of Mathematical Behavior, 27, 64–85.

Meel, D. E. (2003). Models and theories of mathematical understanding: Comparing Pirie and Kieren’s
model of the growth of mathematical understanding and APOS theory. CBMS Issues in Mathematics
Education, 12, 132–181.

Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1994). Qualitative data analysis (2nd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage.
Ministry of Education. (2009). İlköğretim matematik dersi 6–8. sınıflar öğretim programı. Ankara, Turkey:
MEB– Talim Terbiye Başkanlığı Yayınları.

Ministry of Education. (2010). Ortaöğretim geometri dersi 9–10. sınıflar öğretim programı. Ankara,
Turkey: MEB– Talim Terbiye Başkanlığı Yayınları.

Ministry of Education. (2013). Ortaöğretim matematik dersi 9– 12. sınıflar öğretim programı. Ankara,
Turkey: MEB– Talim Terbiye Başkanlığı Yayınları.

Mousley, J. (2005). What does mathematics understanding look like? In P. Clarkson (Ed.), Building
Connections: Research, theory and practice proceedings of the annual conference (pp. 553–560).
Retrieved from http://dro.deakin. edu.au/eserv/DU:30005792/mousley–whatdoesmathematics–
2005.pdf

National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Principles and standards for school mathematics.
Reston, VA: NCTM.

Nillas, L. A. (2010). Characterizing preservice teachers’ mathematical understanding of algebraic


relationships. International Journal for Mathematics Teaching and Learning, 1–24. Retrieved from
http://www.cimt.plymouth.ac.uk/ journal/nillas.pdf

Ozgun–Koca, S. A. (1998). Students’ use of representations in mathematics education. Paper presented


at the Annual Meeting of the North America Chapter of the International Group for the Psychology of
Mathematics Education, Raleigh, NC. Retrieved from http://files.eric.ed.gov/fulltext/ ED425937.pdf

Patton, M. Q. (2002). Qualitative research and evaluation methods. Thousand Oaks, CA: Sage.

Pirie, S. E. B., & Kieren, T. E. (1991). Folding back: Dynamics in the growth of mathematical
understanding. In F. Furinghetti (Ed.), Proceedings of the 15th Annual Meeting of the International
Group for the Psychology of Mathematics Education (Vol. 3., pp. 169–176). Assisi, Italy.

Pirie, S., & Kieren, T. (1992). Creating constructivist environments and constructing creative
mathematics. Educational Studies in Mathematics, 23, 505–528.

Pirie, S., & Kieren, T. (1994). Growth in mathematical understanding: How can we characterise it and
how can we represent it? Educational Studies in Mathematics, 26(2), 165–190.

Pirie, S. E. B., Martin, L., & Kieren, T. (1996). Folding back to collect: Knowing you know what you need
to know. Proceedings from the 20th Conference of the International Group for the Psychology of
Mathematics Education (Vol. 4., pp. 147–154). Valencia, Spain.

Sfard, A. (1991). On the dual nature of mathematical conceptions: Reflections on processes and objects
as different sides of the same coin. Educational Studies in Mathematics 22(1), 1–36.

Sierpinska, A. (1994). Understanding in mathematics. London, UK: The Falmer Press.

Skemp, R. R. (1978). Relational understanding and instrumental understanding. Arithmetic Teacher,


26(3), 9–15.
Soon, Y. (1989).  An investigation of van Hiele–like levels of learning in transformation geometry of
secondary school students in Singapore (Doctoral dissertation). Retrieved from ProQuest Dissertations &
Theses Global. (UMI No: 303765885).

Sünker, S., & Zembat, İ. Ö. (2012). Teaching of translations through use of vectors in Wingeom–tr
environment. Elementary Education Online, 11(1), 173–194.

Thom, J. S., & Pirie, S. E. (2006). Looking at the complexity of two young children’s understanding of
number. The Journal of Mathematical Behavior, 25(3), 185–195.

Towers, J. M. (1998). Teachers’ interventions and the growth of students’ mathematical understanding
(Doctoral dissertation). Retrieved from ProQuest Dissertations & Theses Global. (UMI No: 304491023).

Warner, L. B. (2008). How do students’ behaviors relate to the growth of their mathematical ideas?
Journal of Mathematical Behavior, 27, 206–227.

Wilson, P. H., & Stein, C. C. (2007). The role of representations in growth of understanding in pattern–
finding tasks. Retrieved from http://math.unipa.it/~grim/21_project/21_
charlotte_WilsonSteinPaperEdit.pdf

Yanik, H. B. (2006). Prospective elementary teachers’ growth in knowledge and understanding of rigid
geometric transformations (Doctoral dissertation). Retrieved from ProQuest Dissertations & Theses
Global. (UMI No: 305354163).

Yanik, H. B. (2011). Prospective middle school mathematics teachers’ preconceptions of geometric


translations. Educational Studies in Mathematics, 78(2), 231–260.

Yanik, H. B. (2013). Learning geometric translations in a dynamic geometry environment. Education and
Science, 38(168), 272–287.

Yanik, H. B., & Flores, A. (2009). Understanding rigid geometric transformations: Jeff ’s learning path for
translation. The Journal of Mathematical Behavior, 28(1), 41–57.

Yavuzsoy–Köse, N. (2012). İlköğretim öğrencilerinin doğruya göre simetri alma bilgileri. Hacettepe
Üniversitesi Eğitim Fakültesi Dergisi, 42, 274–286.

Tambahan

Sampel Pertanyaan Wawancara Mingguan tentang Translasi

1. Segitiga ABC memiliki simpul, A(−3,−5), B(3,−2), dan C(1,−5). Dapatkah Anda menemukan
gambar segitiga ABC di bawah terjemahan? dengan vektor = (1, 4)? Jelaskan ide-ide Anda dan
pembenaran dalam hal hal-hal yang Anda perhatikan saat menemukan gambar.
 Dapatkah Anda melihat hubungan antara segitiga asli dan bayangannya? Jelaskan ide-ide Anda.
 Menurut Anda apa yang akan terjadi pada gambar segitiga ABC jika Anda mengubah panjang
vektor? Mengapa?

2. Lihatlah gambar berikut. Gambar 2 adalah gambar gambar 1 di bawah terjemahan. Dapatkah
Anda menemukan vektor terjemahan? Jelaskan ide dan pembenaran Anda dalam hal hal-hal
yang Anda perhatikan saat menemukan vektor.

3. T : R2" R2 dan T (P) = P + dimana = (1, 4). Dapatkah kamu menemukan letak titik T (3, 4)?
Jelaskan ide Anda dan pembenaran dalam hal hal-hal yang Anda perhatikan saat menemukan
lokasi.

Anda mungkin juga menyukai