Dosen Pengampu:
Dr. Erniwati, M. Hum dan Yelda Syafrina, S.Pd., M.A
Pujisyukur kami ucapkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah dengan judul “Konsep-Konsep Dasar Ilmu Sejarah” ini dapat tersusun dengan baik
dan selesai sesuai dengan waktu yang ditentukan. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
pikiran maupun materinya.
Penulis menyadari bahwasanya makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari
itu penulis sangat mengharapkan partisipasi pembaca untuk memberikan masukan baik berupa
kritikan maupun saran untuk menjadikan makalah ini lebih baik dari segi isi maupun yang
lainnya. Penulis mohon maaf jika ada hal yang kurang berkenan dalam penulisan makalah ini.
Akhir kata, Penulis ucapkan terima kasih dan selamat membaca
Kelompok 1
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
Peristiwa sejarah yang telah ditulis dengan baik niscaya sangat bermakna bagi
manusia, bukan saja sekedar mengetahui dan memahami peristiwa sejarah yang
dimaksud, melainkan juga menjadi pelajaran yang terbaik guna memperbaiki diri
seperti apa yang terjadi apabila peristiwa sejarah itu dapat menjadi contoh atau
menjauhi dan menghindarinya bilamana peristiwa sejarah itu berbeda dengan harapan
manusia. Dalam memahami dan menelaah setiap peristiwa sejarah. Terlebih dahulu
dipahami pentingnya penjelasan atau keterangan yang mendukung dimungkinkan kita
dapat menelaah suatu peristiwa sejarah. Penjelasan atau keterangan metodologi sejarah
itu disebut eksplanasi sejarah. Eksplanasi sejarah merupakan salah satu aspek yang
sangat penting dalam metodologi sejarah. Hal ini dipergunakan untuk mengembangkan,
menganalisis, dan menjelaskan hubungan diantara pernyataan-pernyataan mengenai
fenomena-fenomena yang ada.
Dalam ilmu sejarah yang merupakan kesepakatan para sejarawan dengan
sebutan kausalitas (causations) serta bentuk-bentuk penghubung lain (connections)
yang digunakan oleh para sejarawan ketika mereka menyintesis fakta-fakta. (Helius
Sjamuddin 1996:23)Ucapan mengenai fakta-fakta historis merupakan deskripsi-
deskripsi mengenai masa silam. Tetapi, seorang ahli sejarah tidak membatasi diri pada
usaha melukiskan masa silam. Ia juga berusaha memikirkan suatu keterangan atau
penjelasan yang masuk akal, mengenai apa yang terjadi pada masa silam. Secara
prinsip pertanyaan itu harus di beri jawaban secara objektif dan yang masuk akal.
Karena pentingnya permasalahan itu, maka sungguh menyedihkan apabila para ahli
sejarah tidak bersedia menjawab pertanyaan, siapakah yang bersalah. Barang siapa
yang mengajukan pertanyaan itu mengenai sebabnya dan oleh karena itu minta suatu
penjelasan.
3
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan
4
BAB II
PEMBAHASAN
1
Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2008), p. 2.
5
menunjukkan bahwa setiap fenomena merupakan akibat dari sebab sebelumnya. Kajian sejarah
adalah kajian tentang sebab-sebab dari suatu peristiwa terjadi sehingga hampir merupakan
aksioma atau kebenaran umum. Dalam perkembangannya, hukum jausalitas dianggap
ketinggalan karena memiliki tendensi deterministik. Alternatif terhadap hukum kausalitas
adalah pendekatan fungsional. Penjelasan dalam hukum kausalitas dimulai dengan mencari
sejumlah sebab untuk peristiwa yang sama. Sebab-sebab yang banyak tersebut disebut
kemajemukan sebab (multiplicity of causes). Dalam konteks ini, setiap sebab memiliki
kedudukan sama penting. Langkah selanjutnya adalah menganalisis sebab-sebab untuk
kemudian mendapatkan penyebab utama (the ultimate cause), sebab dari semua sebab (cause of
all causes)
Kaitannya dengan kemajemukan sebab, muncul persoalan determinisme dalam sejarah
(determinism in history) dan kebetulan dalam sejarah (chance in history). Ahli filsafat Hegel
dianggap sebagai peletak dasar filsafat sejarah determinisme. Kritik terhadap determinisme
adalah dianggap mengabaikan kemauan bebas (free will) manusia. Determinisme dianggap
bertentangan dengan adanya penyebab majemuk atau multikausal. Sementara itu, kebetulan
sejarah menganggap pertemuan atau benturan antar sebab dalam peristiwa sejarah sebagai
sebuah kebetulan. Kebetulan yang kemudian mengubah jalannya sejarah. Teori kebetulan
mendapat kritik karena dianggap melebih-lebihkan. Penganut teori ini dianggap malas
melakukan penelitian,kemalasan inteletual (intellectual laziness) atau vitalitas yang rendah
(low intellectual vitality). Dalam melakukan rekonstruksi sejarah, tidak semua fakta otomatis
menjadi fakta sejarah. Fakta-fakta masa lalu baru menjadi fakta sejarah jika sejarawan
memilihnyakarena dianggap mempunyai hubungan (relevansi) dan berarti (signifikansi) dengan
apa yang diteliti. Hal yang sama juga berlaku bagi penganut multikausal dalam peristiwa
sejarah. Susunan sebab-sebab, signifikansi serta relevansi antar satu sebab atau serangkaian
sebab dengan yang lainnya merupakan esensi penafsiran Sejarah.
Persoalan kausalitas dalam sejarah yang berdasarkan pemikiran positivisme dan
idealisme. M. R. Cohen dari positivisme mengatakan bahwa kausalitas merupakan sejumlah
kondisi yang memadai dan seharusnya (yang memaksa) untuk terjadinya suatu peristiwa.
Positivisme menambahkan pula bahwa kausalitas merujuk pada adanya hubungan yang jelas
dan seharusnya antara kausa (sebab) dan efek (akibat). R. G. Collingwood sebagai pendukung
filsafat idealisme tidak menyangkal kausalitas dalam sejarah, hanya saja menurutnya kausa
harus digunakan dalam pegertian khusus. Menurut Collingwood kausa dalam sejarah bukan
peristiwa- peristiwa alamiah seperti yang dimaksud oleh positivisme, tetapi tindakan sadar dan
bertanggung jawab dari pelaku sejarah. Kausa dari tindakan seseorang adalah motifnya
untuk melakukan tindakan tersebut. Motif itulah yang “membuat”, “menyakinkan”,
“menyebabkan”, atau “mendorong”, dan “memaksa” untuk berbuat. Collingwood
menambahkan pula bahwa motif kausa tersebut harus memberikan kebebasan untuk
berkehendak (bertindak) untuk menyangkal pengertian kausa menurut positivisme bahwa
tindakan disebabkan oleh “kondisi yang memadai atau seharusnya” dari peristiwa- peristiwa
sebelumnya. Akan tetapi pada saat yang sama patut pula dipertanyakan definisi Collingwood
tentang kausa, bahwa kausa itu adalah motif, dan motif itu, kata Collingwood yang “membuat”
dan “memaksa” pelaku sejarah untuk bertindak.
6
2.3 Kebenaran Dalam Sejarah Objektifitas dan Subjektifitas Dalam Sejarah
Objektivitas dan subjektivitas sejarah merupakan suatu hal yang sering menjadi masalah
yang sering diperdebatkan oleh masyarakat. Objektivitas dan Subjektivitas berkaitan dengan
apa-apa yang ada di dalam dan diluar pikiran manusia. Dalam hal ini, objektivitas adalah hal-
hal yang bisa diukur yang ada di luar pikiran atau persepsi manusia. Subjektivitas adalah
kesaksian atau tafsiran yang merupakan gambaran hasil parasaan atau pikiran manusia.
Pandangan objektif akan cenderung bebas nilai sedangkan subjektif sebaliknya. Keduanya
memiliki kelebihan-kekurangannya. Dalam tradisi ilmu pengetahuan objektivitas akan
menghasilkan pengetahuan kuantitatif sedangkan subjektivitas akan menghasilkan pengetahuan
kualitatif. Misalnya : dalam pengukuran usia homo erectus yang terdapat di Jawa. Fosil homo
erectus yang ditemukan di Jawa hampir mirip dengan temuan fosil yang ada di Cina yaitu
homo pekinensis. Disini bila seorang sejarawan berfikir secara subjektif akan menafsirkan
bahwa usia kedua jenis fosil tersebut memiliki usia yang sama karena bentuk fosil keduanya
sama. Sedangkan bila secara objektif, seorang sejarawan akan meneliti lebih lanjut fosil yang
ditemukan baik melalui bentuk fosil yang mereka dapat dan membandingkannya dengan fosil
yang lain, maupun dengan melakukan tes labolatorium. Berikut pengertian lebih jelasnya
mengenai subjektifitas dan objektifitas dalam sejarah.
a. Subjektivitas
Subjektivitas adalah kesaksian atau tafsiran yang merupakan gambaran hasil parasaan atau
pikiran manusia. Jadi, subjektivitas adalah suatu sikap yang memihak dipengaruhi oleh
pendapat pribadi atau golongan, dan dipengaruhi oleh nilai-nilai yang melingkupinya. Dalam
sejarah sukyektifitas banyak terdapat dalam proses interpretasi. Sejarah, dalam mengungkapkan
faktanya membutuhkan interpretasi dan interpretasi melibatkan subyek. Dalam subjektivisme,
dimana objek tidak lagi dipandang sebagaimana seharusnya, tetapi dipandang sebagai kreasi
dan konstruksi akal budi. subjektif diperbolehkan selama tidak mengandung subjektivistik yang
diserahkan kepada kesewenang-wenangan subjek, dan konsekuensinya tidak lagi real sebagai
objektif. Dalam suatu peninggalan sejarah, seorang sejarawan menggunakan analisis dan
penafsirannya. Di sinilah akan muncul subjektivitas dalam penulisan sejarah. Dia berusaha
untuk menerangkan mengapa, bagaimana peristiwa terjadi dan mengapa saling berhubungan
7
dengan peristiwa lain serta berupaya menceritakan apa, bilamana, dimana terjadi dan siapa
yang ikut serta didalamnya. Sehingga dalam penulisannya lebih bermakna.
Dalam merekonstruksi suatu peristiwa sejarah tidaklah akan untuk bagaimana peristiwa
itu terjadi dimasa lampau. Hal ini disebabkan karena banyaknya hal atau rangkaian peristiwa
yang hilang atau memang sengaja dihilangkan. Karena alasan itu juga, penafsiran dari seorang
sejarawan sangat diperlukan untuk menghubungkan suatu peristiwa dengan peristiwa yang lain.
Sehingga mendekati kebenaran. Dari sini dapat dilihat bahwa suatu penulisan peristiwa sejarah
itu tidak dapat lepas dari unsur subjektivitas. Karena dalam penulisan sejarah itu tidak dapat
objektif 100%. Dalam penulisan sejarah, seseorang tidak dapat melepaskan subjektifitasnya.
Terdapat 2 faktor utama yang dapat menjadikan suatu penulisan sejarah bersifat subjektif,
yaitu :
1. Pemihakan pribadi (personal bias) : Persoalan suka atau tidak suka pribadi terhadap
individu-individu atau golongan dari seseorang dapat mempengaruhi subjektivitas dari
penulisan sejarah.
b.Objektivitas
Objektivitas adalah hal-hal yang bisa diukur yang ada di luar pikiran atau persepsi
manusia. Sikap objektifitas tidak akan dipengaruhi oleh pendapat pribadi atau golongan
didalam mengambil keputusan. Jadi, objektivitas adalah usaha mendekatkan diri pada obyek
atau dengan kata lain berarti bertanggung jawab pada kebenaran objek. Seorang sejarawan
dalam merekonstruksi sejarah, harus mendekati objektivitas, karena akan didapat gambaran
rekonstruksi yang mendekati kebenaran.
Dalam merekonstruksi suatu peristiwa sejarah diperlukan bukti-bukti sejarah atau lebih
tepatnya fakta sejarah. Fakta atau peninggalan sejarah itu disebut objek, baik yang bersifat
artifak, dokumen tertulis, dan lain sebagainya. Sejarawan selalu dituntut supaya dengan sadar
dan jujur mengikatkan diri pada objek dan berfikir secara objektif. Seorang sejarawan dalam
penulisan atau rekonstruksi suatu peristiwa sejarah diharapkan untuk tidak memihak.
Maksudnya tidak terpaku secara subjektif 100% maupun objektif 100%. Kendati demikian,
8
sejarawan tetap tidak bisa objektif secara total. Hal ini diakibatkan keterbatasan sumber yang
ditemukan dan faktor lainnya.
Nilai karya sejarawan akan selalu tergantung pada nilai objektivitasnya. Suatu karya
sejarah akan jauh nilainya lebih baik apabila sejarawan dengan sengaja tidak objektif. Arti
sederhana dari kata objektifitas dalam sejarah objektif adalah sejarah dalam kenyataan, jadi
kejadian itu terlepas dari subjek.
Kebenaran mutlak, sesuai dengan kenyataan, termasuk juga yang tersembunyi. Tidak
memihak dan tidak terikat kondisi – kondisi yang harus lengkap untuk semua peristiwa.
Seorang sejarawan asal Amerika Serikat, Garraghan mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan objektivitas sejarah adalah:
Objektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan bebas sepenuhnya dari kecurigaan-
kecurigaan awal yang bersifat sosial, politis, agama, atau lainnya.
Objektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan mendekati tugasnya terlepas dari semua
perinsip, teori dan falsafah hidupnya.
Obyektifitas tidak berarti menuntut agar sejarawan bebas dari simpati terhadap obyeknya.
Objektivitas tidak berarti menuntut agar pembaca mengekang diri dari penilaian atau
penarikan konklusi.
Objektivitas sejarawan tidak berarti bahwa semua situasi yang menimbulkan peristiwa
historis dicatat sesuai dengan kejadiannya.
9
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Ekspalansi sejarah merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam Konsep-
Konsep Dasar sejarah khususnya dalam metodolgi sejarah. Hal ini dipergunakan untuk
mengembangkan, menganalisis, dan menjelaskan hubungan diantara pernyataan-
pernyataan mengenai fenomena-fenomena yang ada. Dalam ilmu sejarah yang merupakan
kesepakatan para sejarawan dengan sebutan kausalitas (causations) serta bentuk-bentuk
penghubung lain (connections) yang digunakan oleh para sejarawan ketika mereka
menyintesis fakta-fakta (Helius Sjamuddin, 1996:237)
Sedangkan Objektivitas dan subjektivitas merupakan dua kata yang seringkali salah
dipahami oleh sebagian orang terutama dalam penulisan sejarah. Padahal kata objektif
dalam penulisan sejarah mengacu pada peristiwa yang sebenarnya terjadi dan tidak bisa
terulang lagi. Sedangkan sejarah yang subjektif merupakan gambaran dari peristiwa
sejarah yang di tulis oleh seorang sejarawan. Karena itu kedua-duanya merupakan bagian
dari penulisan sejarah.
10
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana.
Jurnal/artikel:
https://repository.unej.ac.id/handle/123456789/79259
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._GEOGRAFI/197210242001121-
BAGJA_WALUYA/PIS/Konsep_Dasar_Sejarah.pdf
https://ejournal.almaata.ac.id/index.php/LITERASI/article/download/64/63#:~:text=perlu%20d
ilacak%20kembali%20ke%20peristiwa,yang%20tepat%20(general%20statements)
https://www.academia.edu/14727521/Pengantar_Ilmu_Sejarah_PIS_Eksplanasi_Sejarah
https://www.academia.edu/download/58505416/BAB_I_II_III_Sejarah_Lisan-new.pdf
11