Anda di halaman 1dari 15

PENGERTIAN DAN PENJELASAN FILSAFAT SEJARAH KRITIS

Makalah ilmiah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah
Filsafat Sejarah

Dosen Pengampu :
Dr. Huddy Husin M.Pd.

Disusun oleh :

Siti Nabila Agustin S (202115500128)

Septi Alfiriyanti (202115500134)

KELAS R5D
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS INDRAPRASTA (PGRI) JAKARTA
2023

1
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas rahmat, karunia,
anugerah hidup dan kesehatan yang telah kami terima. Serta petunjuk-Nya sehingga memberikan
kemampuan dan kemudahan bagi kami dalam membuat makalah ini. Tujuan makalah ini adalah
untuk mengembangkan kemampuan intelektual dari masing-masing kelompok dari berbagai hal,
terutama dalam mata kuliah Filsafat Sejarah. Selain itu makalah ini dibuat untuk memudahkan
kita mempelajarinya.
Kami menyadari bahwa mata kuliah Filsafat Sejarah ini mempunyai banyak manfaat bagi
kehidupan sehari-hari, oleh karena itu kritik saran yang bersifat membangun selalu kamu
harapkan demi terwujudnya makalah ini dengan baik. Demikian kata pengantar yang bisa kami
sampaikan, semoga dengan makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan.

Penyusun

Depok, 8 November 2023

2
DAFTAR ISI

PENGERTIAN DAN PENJELASAN FILSAFAT SEJARAH KRITIS.........................................................................1


Kata Pengantar............................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................................3
BAB I............................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................4
A. Latar Belakang.....................................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...............................................................................................................................4
C. Tujuan Penelitian.................................................................................................................................4
BAB II...........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................5
2.1 Pengertian Filsafat Sejarah Kritis.......................................................................................................5
2.2 Perkembangan Filsafat Sejarah Kritis.................................................................................................7
2.3 Kontribusi Filsafat Kritis Terhadap Perkembangan Filsafat Sejarah...................................................7
BAB III..........................................................................................................................................................9
PENUTUP.....................................................................................................................................................9
3.1 Kesimpulan........................................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................10

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah adalah cermin dari masa lalu manusia, mencatat peristiwa-peristiwa yang
membentuk peradaban, ideologi, dan norma-norma yang ada saat ini. Namun, pertanyaan
mendasar muncul: sejauh mana rekaman sejarah ini dapat dianggap objektif dan benar? Seiring
dengan perubahan paradigma dalam studi sejarah, muncul suatu aliran pemikiran yang menyoroti
kompleksitas interpretasi sejarah: filsafat sejarah kritis. Dalam menyusun sejarah, seringkali kita
terperangkap dalam narasi-narasi yang telah ada, tanpa mempertanyakan kebenaran di baliknya.
Namun, dengan semakin kompleksnya dunia saat ini, penting bagi kita untuk melihat sejarah
dengan kacamata yang lebih kritis dan analitis. Filsafat sejarah kritis hadir sebagai alat yang
memungkinkan kita merenungkan sejarah dengan sudut pandang yang lebih mendalam dan
tajam.
Filsafat sejarah kritis menantang cara tradisional dalam memahami sejarah. Dengan
menggabungkan prinsip-prinsip filsafat dengan analisis kritis terhadap sumber-sumber sejarah,
pendekatan ini memungkinkan kita untuk menyelidiki bias-bias yang mungkin ada dalam
penulisan sejarah. Filsafat sejarah kritis juga mengajak kita untuk mempertanyakan ideologi dan
kepentingan yang mungkin memengaruhi interpretasi sejarah, sehingga kita dapat mendekati
kebenaran historis dengan lebih akurat. Filsafat sejarah kritis menantang pandangan
konvensional tentang sejarah sebagai catatan faktual yang netral. Sebaliknya, pendekatan ini
mempertanyakan bias, ideologi, dan ketidaksempurnaan manusiawi yang terdapat dalam
penulisan sejarah. Pengertian filsafat sejarah kritis adalah suatu kerangka pemikiran filosofis
yang mengajak kita merenungkan asumsi-asumsi yang mendasari narasi sejarah. Penting untuk
mencatat bahwa pengertian filsafat sejarah kritis tidak hanya relevan bagi para sejarawan
profesional, tetapi juga bagi masyarakat luas. Dalam era disinformasi dan manipulasi informasi,
pemahaman terhadap prinsip-prinsip filsafat sejarah kritis dapat membantu masyarakat
mengembangkan keterampilan kritis yang diperlukan untuk memilah informasi yang akurat dari
yang tidak. Dalam makalah ini, kami akan menggali pengertian filsafat sejarah kritis,
menguraikan periodesasi perkembangannya, serta mengeksplorasi perkembangan ituterhadap
penulisan sejarah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Filsafat Sejarah Kritis?
2. Bagaimana perkembangan Filsafat Sejarah Kritis?
3. Apa kontribusi perkembangan Filsafat Kritis terhadap Filsafat Sejarah?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengertian dan penjelasan dari Filsafat Sejarah Kritis.

4
2. Memahami bagaimana perkembangan dan kontribusi dari Filsafat Sejarah Kritis.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Filsafat Sejarah Kritis


Ada dua alur yang berbeda dalam membahas filsafat sejarah, yaitu alur filsafat sejarah
spekulatif dan alur filsafat kritis. Filsafat spekulatif merupakan upaya untuk memandang proses
sejarah secara menyeluruh, kemudian mencoba menafsirkannya sedemikian rupa untuk
memahami arti dan makna serta tujuan sejarah. Sedangkan filsafat sejarah kritis tidak
memandang pada proses sejarah secara menyeluruh, tetapi memikirkan masalah-masalah pokok
penyelidikan sejarah itu sendiri, cara dan metode yang digunakan oleh sejarawan, dan
sebagainya.
Filsafat sejarah kritis ini lahir setelah sejarah menjadi disiplin ilmiah sejak pertengahan
abad ke-19. Dikutip dari (F.R Ankersmit, 1987, p.11) Filsafat sejarah kritis lahir dari beberapa
aliran yang saling bertentangan yaitu antara positivism dengan historisisme sebagai salah satu
cabangnya, narativisme, post-modernisme, strkturalisme dan strukturisme. Salah satu tokoh
pendiri ialah Wilhem Dilthey. Pada 1883 ia mengumumkan lahirnya filsafat sejarah kritis
sebagai suatu cabang baru dan sekaligus antitesis terhadap filsafat sejarah spekulatif yang
konvensional. Tugas pokok kajian filsafat sejarah kritis adalah mlakukan kritik secara mendalam
bagi para sejarawan. Pertanyaan-pertanyaan filosofisnya lebih mengarah pada bagaimana
melakukan pembentukan profesional sejarawan, yang bertugas sebagai ilmuwan yang
berkontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan (science).
1. Mahzab Positivisme
Positivisme berasal dari tradisi pemikiran empirisme abad Pencerahan (abad ke-18). Para
pendirinya terdiri dari sekelompok kecil filsuf Eropa, yang didukung oleh kaum industris dan
pembaru politik, mendirikan suatu “bentuk ilmu tunggal” the heroic model of science sebagai
fondasi baru untuk memperoleh kebenaran. Iklim intelektual yang mendasari keyakinan ilmiah
(paragdima) mereka adalah gagasan tentang ‘kemajuan’ (progres) dan ‘kebebasan’ (freedom)
berfikir, termasuk kemerdekaan politik, dengan wahana ilmu pengetahuan alam. Kaum positivis
percaya bahwa ilmu positivistik (ilmu-ilmu alam atau ilmu fisika) merupakan conditio sine
quanon untuk mencapai kebenaran dengan demikian juga untuk kemajuan umat manusia.
2. Mahzab Historisme dan Narativisme
Historisme (bahasa jerman: historimus), yang diajukan pertama kali oleh Friederich
Schlegel tahun 1797 untuk mengacu pada pergantian suatu aliran filsafat terkait dengan logika
dan ada kalanya mengenai seni dan politik. Pada abad ke-19 berkembang menjadi salah satu
aliran sejarah yang berkenaan dengan pendekatan metodologis di bidang sejarah.

5
Oleh Stern istilah historisme dirumuskan dengan formula berikut ini. Varitas et virtus
filiae temporis “kebenaran dan nilai”adalah dua bersaudara dalam waktu, yakni saudara sejarah”.
Melalui diktumnya itu historisisme sebenarnya hendak menegaskan kembali ide Kant, bahwa
peristiwa-peristiwa tidak hanya terjadi dalam sejarah, melainkan juga berkembang melaui
sejarah dan kezamanan. Tidak ada ide dan nilai serta kebenaran yang terlepas dari konteks
sejarah yang melahirkannya. Karena itu, kebenaran dan nalar tidak mungkin ditemukan “diluar
sejarah”.
Menurut Meyerhoff (1959:9) historisme itu pada mulanya dalah aliran ‘sempalan’ dari
kaum romantis-idealis jerman. Mahzab ini lahir sebagai reaksi terhadap dominasi abstraksi-
abstraksi logika positivisme (rasionalisme abad pencerahan), yang dianggap merendahkan ilmu
sejarah dengan mengatakan bahwa “akal lebih unggul daripada sejarah sebagai sumber
pengetahuan”.
Empat arti istilah historisme dalam buku Ankersmit yaitu sebagai berikut:
Pertama, istilah historisme ditafsirkan sebagai anggapan bahwa seorang peneliti sejarah
harus memahami masa silam, dengan berpangkal pada masa silam sendiri, serta menghindarkan
segala noda anarkisme (Leopold von Ranke:1795-1886)
Kedua, dengan timbulnya tuntutan hermeneutis agar seorang sejarawan menghayati atau
masuk kedalam kulit seorang pelaku sejarah. De facto, ini berarti, bahwa masa silam harus
dipahami dari dalam, dari masa silam sendiri. Dengan demikian, hermeneutika merincikan
bentuk historisme yang pertama.
Ketiga, istilah historisme sering digunakan untuk menunjukkan sistem-sistem spekulatif
tentang sejarah, seperti dikembangkan oleh Hegel, Marx, Comte, dan Spengler. Bentuk
historisme inilah yang ditentang oleh Popper dalam bukunya yang terkenal, Gagalnya
Historisme. Dalam buku tersebut dipakai istilah “historisisme”, bukan “historisme”. Karena
bentuk historisme ala Hegel memang jauh menyimpang.
Keempat, arti yang paling didasari bagi istilah historisme. Arti ini analog dengan
pengertian-pengertian seperti “sosiologisme” atau “scientisme”. Dengan demikian, yang
dimaksud dengan historisme ialah pendapat, bahwa pendekatan historis terhadap kenyataan,
membuka kemungkinan untuk melacak hakikat obyek-obyek didalam kenyataan itu.
Tesis utama dari filsafat aliran baru ini ialah; kebenaran sejarah hanya mungkin dicapai
dengan menunjukkan fakta-fakta sejarahnya secara empirik dan bukan dengan renungan
filosofis. Untuk itu maka sejarah harus diriset melalui pembuktian dokumen atau sumber-sumber
arsip sebagai data primer. Erat kaitannya, upaya filsuf sejarah kritis dan sejarawan dalam
memperkuat basis keilmuan disiplin sejarah, lebih diarahkan pada masalah-masalah teoritis-
metodologis sejarah, khususnya berkenaan dengan apa yang disebut sebagai ‘bidang garapan’
filsafat sejarah kritis, diantaranya yaitu :
1. Masalah kedudukan ilmiah disiplin sejarah dan hubungannya dengan disiplin ilmu
lain
2. Masalah fakta sejarah dan kebenaran pernyataan sejarah

6
3. Masalah objektifitas sejarah dan masalah penjelasan sejarah (historical
explanation)
4. Masalah kegunaan dan manfaat kajian sejarah sebagai disiplin ilmiah.
Narativisme berasal dari kata latin “narratico”. Cerita dalam tradisi narativistis semua
perhatian di tujukan pada kenyataan bahwa pengetahuan historis terwujud dari cerita historis.
Sekalipun ada kemiripan antara historisme dan narativisme namun ada pula perbedaan-
perbedaan. Ide-ide historis memang memandang di dalam kenyataan bahwa ide-ide historis itu
merupakan prinsip aktif yang memberi bentuk kepada masa silam.
Lalu bagaimana hubungan masa silam dan penafsiran naratif seperti di ungkapkan dalam
istilah konsep pengikat, serta keterkaitan dengan di cetuskan oleh konsep itu? Narasi itu
hendaknya kita pandang dalam keseluruhannya sebagai usul untuk memandang masa silam dari
sudut tertentu untuk memandang kenyataan dari sudut pandang tertentu. Narasi dapat di
umpamakan dengan sebuah metafora di sini pun dimensi faktual tentu saja hadir artinya sama
seperti narasi tersusun dari fakta-fakta sebelumnya.
Konsep-Konsep Sejarah
 Konsep-konsep sejarah atau historis muncul dengan didefinisikan secara teliti.
 Konsep-konsep sejarah menunjuk pada penafsiran-penafsiran sejarah itu sendiri
dengan secara praktis dan tidak boleh dikembangkan dalam historis yang baru.
Periodisasi
 Penulisan sejarah harus dibagi menurut periode-periode yang sesuai dengan
peristiwa itu sendiri.
 Berbagai peristiwa sejarah selalu memiliki proses sejarah yang mengatur sejak
kapan masa sejarah itu bermula dan berakhir.
 Proses penulisan sejarah menurut periodenya harus saling terkait atau bersifat
koheren.

3. Mahzab Strukturalisme
Istilah strukturalisme atau paham struktural identik dengan Levi Strauss dan Annalles
School. Tradisi ini muncul sebagai kritik terhadap pendekatan narativisme yang dianggap terlalu
memanjakan aktor. Mazhab struktural menekankan bahwa seorang tokoh besar tidak lahir dan
berkembang dalam ruang hampa, melainkan ia hadir dalam konteks struktur sosial tertentu.
Mazhab struktural memaparkan bahwa struktur sosial dapat terbentuk karena pengaruh
geografis. Singkatnya, seorang tokoh yang berperan dalam suatu peristiwa sejarah dipengaruhi
secara dominan oleh determinan fisik. Contoh: seorang tokoh yang egaliter pada umumnya lahir
di bentang alam pesisir dan seorang tokoh yang hierarkis pada umumnya lahir di bentang alam
pedalaman atau pegunungan yang terisolasi.
Konsep struktural ini membuat para penulis historiografi Indonesia modern telah
terpengaruh oleh para sejarawan Perancis yang tergabung dalam aliran Annales. Mereka

7
memperluas penulisan sejarah yang hanya terbatas pada sejarah politik. Menjadi mengedepankan
sejarah sosial, sejarah struktural atau sejarah total. Hal tersebut dikarenakan politik tidak lagi
dianggap sebagai tulang punggung sejarah. Penulisan sejarah tersebut kemudian terus
berkembang sehingga muncul spesialisasi baru dalam sejarah, seperti sejarah kota, sejarah
kriminalitas, sejarah pendidikan, sejarah local, sejarah intelektual, sejarah militer, sejarah
psikologi, sejarah mentalitas, dan sebagainya. Sejarawan annales memberikan inspirasi bagi
perkembangan historiografi Indonesia modern untuk menulis sejarah tentang setting pedesaan
dan perkotaan, konflik antara petani dan bangsawan, petisi-petisi, protes-protes, dan
pemberontakan petani.
Historiografi Indonesia modern sangat berbeda dengan penulisan sejarah kovensional
yang bersifat naratif dan deskriptif. Untuk mewujudkan sejarah Indonesiasentris, diperlukan
metode sejarah analitis atau struktural serta pendekatan multidimensional. Sebab dengan
pendekatan ilmu-ilmu sosial, ruang lingkup sejarah Indonesia tidak lagi dibatasi oleh pertanyaan-
pertanyaan tentang proses, tetapi juga mulai memikirkan mengenai struktur. Selain itu,
pendekatan multidimensional sangat diperlukan agar lebih tampak dinamika dari masyarakat
Indonesia. Bukan hanya menceritakan sejarah orang-orang besar atau raja-raja. Melainkan juga
sejarah wong cilik atau petani.
Dalam karya sejarah struktural yang ditekankan justru adalah struktur bukan manusia.
Struktur membutuhkan elemen (individual/manusia), tetapi itu hanya sebagai bagian dari hukum
atau aturan yang berlaku. Bagaimanapun, setiap tindakan individu pada hakekatnya dilandasi
norma-norma yang berlaku pada masyarakatnya. Manusia tidak bisa menjadi individu, kecuali
dalam lingkungan sosialnya (Leirissa: 2002). Jadi sadar atau tidak, apa yang dilakukan manusia
tidak bisa lepas dari struktur. Karenanya penjelasan teoritik dan analitik terhadap apa yang
dilakukan harus diurai dalam konteks struktur. Untuk itulah seorang sejarawan hendaknya tidak
hanya memahami fakta-fakta suatu peristiwa. Melainkan juga harus memahami ilmu-ilmu bantu
teori-teori sosial untuk membedah sebuah struktur peristiwa.
Ciri-ciri Strukturalisme
Ciri-ciri Strukturalisme adalah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual objek melalui
penyelidikan, penyingkapan tabiat, sifat-sifat yang terkait dengan suatu hal melalui pendidikan.
Ciri-ciri itu bisa dilihat dari beberapa hal; hirarki, komponen atau unsur-unsur terdapat metode,
model teoritis yang jelas dan distingsi yang jelas.
Para ahli strukturalisme menentang eksistensialisme dan fenomenologi yang mereka
anggap terlalu individualistis dan kurang ilmiah. Salah satu yang terkenal adalah pandangan
Maurice Meleau-Ponty yang menentang fenomenologi dan eksistensialisme tubuh manusia.
Pounty menekankan bahwa hal yang fundamental dalam identitas manusia adalah bahwa kita
adalah objek-objek fisik yang masing-masing memiliki kedudukan yang berbeda-beda dan unik
dalam ruang dan waktu.
Kelebihan Strukturalisme

8
Dengan demikian, kelebihan strukturalisme terletak dari cara pendekatan ini
mengungkapkan sesuatu yang tak-terlihat, yaitu pada analisa prosesualnya. Strukturalisme juga
jeli, dalam melihat lingkungan sebagai hal yang penting melahirkan suatu perubahan. Hasilnya,
seorang sejarawan artinya juga harus menjadi atau setidaknya memahami teori-teori sosial.
Kelemahan Strukturalisme
Strukturalisme memiliki kelemahan sebagai berikut:
1. Struktur sosial yang sesungguhnya tidak sanggup membangun hubungan kausal
yang sebenarnya sangat dominan dalam ilmu sejarah, tetapi hanya hubungan
“quasi-causal”. Struktur sosial hanya ada bila “dibuat” oleh: individu atau
kelompok sosial. Dengan demikian struktur sosial sesungguhnya tidak bisa
menjadi kausa dari tindakan individu atau kelompok sosial. Padahal menentukan
kausalitas adalah tugas utama dari ilmu sejarah.
2. Sejarah structural tidak bersifat prosesual. Dalam hal ini yang dipelajari lebih
menekankan struktur sosial yang amat panjang jangkauannya, bukan perubahan
dari satu struktur sosial ke struktur sosial lainnya. Dengan demikian, kerja
strukturalisme menjadi sesuatu yang spekulatif dan metafisik. Celakanya lagi,
apabila kecenderungan ini terlalu dipaksakan, akan mengakibatkan pembunuhan
terhadap fakta-fakta suatu peristiwa.
Strukturalisme melihat manusia sebagai obyck pasif, yang tidak berbuat apa-apa atau
memiliki kreatifitas untuk berubah. Strukturalisme hanya beranggapan bahwa struktur adalah
sesuatu yang baku. Padahal realitasnya banyak perubahan yang muncul justru karena manusia
bersikap kreatif, yaitu ingin merombak struktur. Ketika sebuah struktur dianggap tidak lagi
menguntungkan, maka muncul keinginan individu secara kolektif untuk merubah struktur,
sehingga terjadilah perubahan. Dan strukturalisme tidak mampu menjawab penjelasan ini.
4. Mahzab Post-modernisme
Menurut Pauline Rosenau (1992) postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat
modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik
segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas, yaitu pada akumulasi pengalaman
peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa,
kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier,
jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme,
egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan
rasionalitas. Teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan
pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya.
Dalam bukunya Mengenal Posmodernisme : for begginers, Appignanesi, Garrat, Sardar,
dan Curry (1998) mengatakan bahwa postmodernisme menyiratkan pengingkaran, bahwa ia
bukan modern lagi. Postmodernisme, pada hakikatnya, merupakan campuran dari beberapa atau
seluruh pemaknaan hasil, akibat, perkembangan, penyangkalan, dan penolakan dari modernisme
Postmodernisme adalah kebingungan yang berasal dari dua teka-teki besar, yaitu:

9
Ia melawan dan mengaburkan pengertian postmodernisme Ia menyiratkan pengetahuan
yang lengkap tentang modernisme yang telah dilampaui oleh zaman baru. Sebuah zaman, zaman
apapun, dicirikan lewat bukti perubahan sejarah dalam cara kita melihat, berpikir, dan berbuat.
Kita dapat mengenali perubahan ini pada lingkup seni, teori, dan sejarah ekonomi.
4. Mahzab Strukturisme
Sejak tahun 1970-an mulai disadari bahwa krisis dalam ilmu sejarah sesungguhnya bukan
sekedar teknis saja yang dapat diatasi dengan merangkul ilmu-lirnu sosial. Epistemologi realis
sebagai reaksi atas epistemologi idealis telah melahirkan suatu metodologi ilmu sejarah baru
yang merupakan perkembangan lebih lanjut baik dari Postmodernisme maupun strukturalisme.
Bahkan dapat dikatakan, bahwa metodologi baru yang dinamakan pendekatan strukturis itu,
mencoba mengatasi kelemahan-kelemahan yang terkandung dalam metodologi struktural
maupun metodologi individualis. Metodologi individualis(termasuk postinodernisme) temyata
tidak sanggup menjelaskan perubahan sosial dengan baik, sedangkan pendekatan struktural
malah bersifat determinis dan mengabaikan individu sebagai penggerak sejarah seperti
terkandung dalam wawasan sejarah yang asli.
Metodologi strukturis mencoba mengatasi kelemahan-kelemahan dalam kedua jenis
metodologi sebelumnya dengan menekankan adanya interaksi atau interaksi antara individu dan
struktur yang mengakibatkan perubahan sosial atau sejarah. Penjelasan yang menyeluruh tentang
metodologi strukturis terdapat dalam dua buah buku dari Christopher Lloyed yang juga
mendasari pembahasan di sini. Pertama mengenai eksplanasi dalam sejarah sosial, dan kedua,
mengenai struktur-struktur sejarah.
A. Landasan Ilmu.
Setiap cabang dari ilmu, termasuk ilmu sejarah, memiliki tiga landasan penting yang
harus disadari betul oleh para ahli yang bersangkutan. Ketiga landasan tersebut, pertama filsafat
ilmu, kcdua metodologi dan ketiga teori. Pilihan filsafat ilmu tertentu menentukan pilihan
metodologi yang digunakan serta teori-teori yang digunakan untuk nienginterpretasi data.
1) Filsafat Ilmu.
Dalam Strukturis, beranggapan bahwa secara ontologis kenyataan sejarah adalah struktur
sosial yang longgar. Tatanan sosial memungkinkan munculnya individu atau kelompok sosial
yang memiliki wawasan dan keinginan berbeda dengan masyarakat pada umumnya, dan
berusaha mengubah masyarakat. Dengan demikian terjadilah perubahan sosial, yang
sesungguhnya adalah istilah lain dari sejarah. Strukturis menggunakan epistemotogi yang
bertumpu pada filsafat realis.
2) Metodologi.
Pada dasarnya metodologi adalah prosedur eksplanasi (penjelasan) yang digunakan suatu
cabang ilmu, termasuk sejarah. Bentuk ekplanasi dalam metodologi strukturis menggunakan
hubungan kausalitas (sebab-akibat). Bentuk ekplanasi ini juga digunakan dalam metodologi
struktural, namun ada perbedaan yang pokok. Pendekatan struktural menggunakan eksptanasi

10
yang bersifat determinis atau sebab-sebab yang berada di luar seperti struktur sosial, geografi dan
sebagainva. Sedangkan strukturis menggunakan sebab akibat humanis yang rnerupakan hasil
interaksi antara manusia dan struktur sosial.
3) Teori.
Pada teori-teori yang didasarkan pada epsternologi Realis seperti strukturis kaitan antara
teori dan data adalah mutlak. Fakta merupakan interpretasi teoritis atas bahan-bahan yang
tersedia. Pilihan teori selalu harus konsisten dengan pilihan metodologi, metodologi strukturis
juga harus menggunakan teori-teori strukturis.
B. Pembagian Strukturisme
Strukturisme dapat dibagi dua yaitu Symbolic Realism dan Relational Structuralism.
1) Syimbolic Realism (Realisme Simbolik).
Realisme simbolik lebih banyak menekankan analisis mengenai “agency” tanpa
melepaskan konteks strukturalnya. Contoh yang menarik adalah model yang dibangun oleh
Clifford Geertz mengenal sistem kekuasaan pra-kolonial di Asia. Model ini bertolak dari
studinya mengenai suatu kerajaan di Bali dan masa pra abad ke-19. Geertz menyimpulkan bahwa
kekuasaan dalam masyarakat pra modern berinti pada kesetiaan warga kepada raja bagaikan
kesetiaan umat pada dewa, dalam pengertian ini raja adalah dewa (raja dewa). Manifestasi dari
kesetiaan adalah nampak pada berbagai upacara-upacara sakral yang senantiasa terdapat dalam
kehidupan orang Bali, dan kesetiaan yang paling tinggi nampak pada upacara ngaben.
2) Relational Structuralism (Strukturisme Relasional)
Strukturisme relasional lebih menekankan analisis pada hubungan-hubungan sosial tanpa
melupakan “mentalite. Contohnya adalah tulisan dari Charles Tilly, “From Mobilization to
Revolution” (1978) yang mengungkap tentang Collective Action. Collective action adalah orang-
orang yang bertindak bersama-sarna untuk memperjuangkan kepentingan bersama.
Tilly menyampaikan mobilization model yang terdiri atas empat komponen yaitu 1.
Common Interest, 2. Organization, 3. Mobilization, dan 4. Collective Action. Kepentingan
bersama diperjuangkan secara bersama-sama, dilakukan dalam suatu organisasi. Organisasi
dijadikan alat untuk mobilization atau mengerahkan tenaga dan dana agar collective action dapat
berhasil. Disebut strukturis yang relational karena mengandalkan hubungan-hubungan sosial,
karena interest yang dimaksud menyangkut kepentingan banyak orang maka organisasi,
mobilisasi dan .aksi kolektifnya menyangkut intemksi antara orangorang tertentu.
Filsafat sejarah kritis, sejalan dengan semangat filsafat ilmu, juga menyisakan wacana
dan perdebatan panjang, khususnya mengenai keempat bidang yang disebutkan diatas.
Perdebatan itu bahkan masih berlangsung sampai sekarang, sejalan dengan munculnya aliran-
aliran baru dalam pemikiran sejarah. Filsafat searah kritis atau filsafat sejarah analitik yang
muncul pada akhir-akhir abad ke-19 mencapai puncak pada abad ke-20.

11
Hal-hal yang dipertanyakan dalam filsafat sejarah kritis muncul dari renungan atas
pemikiran dan penalaran menurut ilmu sejarah, terutama bersifat epistemologis dan konseptual.
Pada umumnya pembahasan filsafat sejarah kritis kerkisar pada dua pokok soal yang penting,
yaitu mengenai logisitas eksplanasi yang diketengahkan oleh sejarawan professional dan status
epistemologis narasi sejarah masa silam.

2.2 Perkembangan Filsafat Sejarah Kritis


Hal-hal yang dipertanyakan dalam filsafat sejarah kritis muncul dari renungan atas
pemikiran dan penalaran menurut ilmu sejarah, terutama bersifat epistemologis dan konseptual.
Tokoh-tokoh filsafat sejarah kritis ialah Wilhelm Dilthey (1833-1911), Benedetto Croce (1866-
1952), dan Robin George Collingwood (1889-1943). Seorang filsuf sejarah kritis meneliti
sarana-sarana yang digunakan oleh ahli sejarah dalam melukiskan masa silam dengan cara yang
dapat dipertanggungjawabkan. Hubungan antara filsafat sejarah kritis dengan pengkajian sejarah
sama seperti antara filsafat ilmu dengan ilmu. Keduanya meneliti secara filsafati bagaimana
proses pengumpulan pengetahuan terjadi dan bagaimana proses itu dapat dibenarkan.
Filsafat sejarah kritis mengandung arti studi mengenai jalannya peristiwa sejarah, atau
studi terhadap asumsi dan metode para sejarawan. Garis perkembangan filsafat sejarah kritis
dapat disederhanakan menjadi tiga fase, diantaranya yaitu:
a) Pergantian abad ke 19/20. Isu sentralnya berkaitan dengan penguatan fondasi
sejarah sebagai disiplin ilmiah. Penegasan pendirian ini muncul dalam pidato J.B.
Bury (1861-1927), berjudul The Science of History (1903). Sebagai sejarawan
positivis, Bury memuji upaya filsuf dan sejarawan the german school (yang anti
positivis), tapi juga membenarkan generalisasi dalam sejarah. Ia juga menolak
sejarah sebagai karya sastra dan ajaran moral.
b) Periode klasik, berlangsung antara tahun 1930-an dan tahun 1940-an atau sebelum
PD II. Isu sentralnya pada fase ini berkisar pada masalah obyektivitas sejarah.
c) Fase ketiga, berkisar antara tahun 1950-an sampai tahun 1970-an, isu pokoknya
bergeser ke masalah penjelasan sejarah (Historical Explanation).
Filsafat sejarah kritis mengalami perkembangan pesat dan makin mengukuhkan
kesadaran identitasnya sebagai wahana pengembangan sejarah ilmiah, sejalan dengan klaim
filsafat ilmu pada umumnya. Filsafat sejarah kritis menggantikan filsafat sejarah spekulatif
dalam mempelajari sejarah dengan menawarkan pengetahuan baru tentang sejarah ilmiah.

2.3 Kontribusi Filsafat Kritis Terhadap Perkembangan Filsafat Sejarah


Kontribusi filsafat sejarah kritis terhadap filsafat sejarah yaitu filsafat sejarah dapat
meneliti sarana-sarana yang digunakan seorang ahli sejarah dalam memaparkan atau
menggambarkan masa silam dengan cara yang dapat dipertanggung jawabkan, sehingga akhirnya
dalam menyusun sejarah sudah mempunyai bukti-bukti yang mendukung dan memperkuat dalam
memaparkan masa silam.

12
Filsafat sejarah kritis memberikan jawaban kepada sejumlah pertanyaan tentang sejarah,
pertama, terkait dengan apakah sejarah sebagai ilmu. Hal ini muncul karena adanya aliran
positivisme yang mengatakan bahwa peristiwa sejarah tidak dapat dijelaskan dengan merujuk
pada hukum-hukum alam, Sejarah memiliki paradigma sendiri dan tidak mengaitkan diri dengan
ilmu kealaman. Kedua dan ketiga, sejarah membutuhkan rekonstruksi historis tentang sebuah
peristiwa masa lampau yang dibangun diatas fakta sejarah, dasarnya adalah opini atau fakta
sejarah yang memerlukan objektivitas dalam analisa sejarah, padahal menurut positivisme
sejarah tidak pernah bersifat mutlak melainkan relative.
Dengan kita bersikap kritis terhadap suatu peritiwa sejarah maka kita akan lebih terpacu
untuk menganalisis data – data tentang peristiwa sejarah. Peristiwa sejarah bukan hanya diambil
dari garis besar kejadian sejarah,melainkan harus dianalisa dan dikritisasi kebenarannya.
Keuntungan lain dengan kita lebih dapat lebih belajar mengenai pandangan – pandangan lain dan
membandingkannya. Karena kunci dari Filsafat Sejarah Krtitis ialah perbandingan sumber yang
ada.

BAB III
PENUTUP

13
3.1 Kesimpulan
Filsafat sejarah kritis ini lahir setelah sejarah menjadi disiplin ilmiah sejak pertengahan
abad ke-19. Tesis utama dari filsafat aliran baru ini ialah; kebenaran sejarah hanya mungkin
dicapai dengan menunjukkan fakta-fakta sejarahnya secara empirik dan bukan dengan renungan
filosofis. Hal-hal yang dipertanyakan dalam filsafat sejarah kritis muncul dari renungan atas
pemikiran dan penalaran menurut ilmu sejarah, terutama bersifat epistemologis dan konseptual
Garis perkembangan filsafat sejarah kritis dapat disederhanakan menjadi tiga fase, yaitu
akhir abad ke 19 sejarah sebagai disiplin ilmiah, fase 1930-an dan 1940-an dikenal dengan
periode klasik, dan fase 1950-an sampai 1970-an mengenai penjelasan sejarah. Filsafat sejarah
kritis mengalami perkembangan pesat dan makin mengukuhkan kesadaran identitasnya sebagai
wahana pengembangan sejarah ilmiah.
Kontribusi filsafat sejarah kritis terhadap filsafat sejarah yaitu filsafat sejarah dapat
meneliti sarana-sarana yang digunakan seorang ahli sejarah dalam memaparkan atau
menggambarkan masa silam dengan cara yang dapat dipertanggung jawabkan. Filsafat sejarah
kritis memberikan jawaban kepada sejumlah pertanyaan tentang sejarah, pertama, terkait dengan
apakah sejarah sebagai ilmu. Dengan kita bersikap kritis terhadap suatu peritiwa sejarah maka
kita akan lebih terpacu untuk menganalisis data – data tentang peristiwa sejarah.

DAFTAR PUSTAKA

14
i. F.R Ankersmit. 1987. Refleksi Tentang Sejarah “Pendapat-Pendapat Modern tentang
Filsafat Sejarah”. Jakarta: Gramedia.
ii. Thohir, Ajid; Sahidin, Ahmad. 2019. Filsafat Sejarah: Profetik, Spekulatif, dan Kritis.
Jakarta: PrenadaMedia Group.

15

Anda mungkin juga menyukai