Anda di halaman 1dari 207

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan

Negara adalah organisasi yang dalam sesuatu wilayah dapat memaksakan

kekuasaan yang secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang

dapat menetapkan tujuan dari kehidupan bersama itu. Dapat dikatakan bahwa

tujuan terakhir setiap negara ialah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya. Akan

tetapi setiap negara terlepas dari ideologinya, menyelenggarakan beberapa

minimum fungsi yang mutlak perlu yaitu:

1. Melaksanakan penertiban (law and order), untuk mencapai tujuan bersama dan

mencegah bentrokan dalam masyarakat, negara harus melaksanakan penertiban

2. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.1

Negara republik Indonesia didirikan dengan tujuan utamanya untuk

mewujudlan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana

ditegaskan pada alenia ke empat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang

menyatakan:

"Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesian dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan

1
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2008, hlm 47
dan 55.

1
2

Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang

terbentuk dalam susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat

dengan berdasarkan kepada :

1. Ketuhanan Yang Maha Esa


2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
5. Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia”.2

Pernyataan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut,

menegaskan bahwa Indonesia menganut paham negara kesejahteraan (welfare

state), dimana negara berperan sentral dalam berbagai upaya untuk mencapai

kesejahteraan umum, bukan kesejahteraan perorangan, melainkan kesejahteraan

bagi seluruh warga negara Indonesia. Tujuan negara untuk mencapai

kesejahteraan bagi warganya merupakan visi negara yang harus dipedomani oleh

negara dalam rangka menuju masyarakat adil dan Makmur seperti tertuang dalam

alenia kedua pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Penyusunan pasal-pasal dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945,

mewarnai dan menjiwai pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 untuk

menciptakan kesejahteraan umum sebagai tujuan nasional, sebagaimana diatur

diantaranya Pasal 23 Ayat 1 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

untuk kemakmuran rakyat, Pasal 27 Ayat 1 dan Pasal 28D tentang hak

2
UUD ’45, Pustaja Baru Press, Yigyakarta, 2014, hlm 7.
3

warganegara atas pekerjaan, Pasal 28H tentang hak hidup sejahtera, Pasal 33 Ayat

3 tentang kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat, Pasal 34 Ayat 1 tentang fakir

miskin dipelihara oleh negara dan Pasal 34 Ayat 3 tentang penyediaan fasilitas

kesehatan dan pelayanan umum.3

Dalam penjelasan Undang-Undang 1945 menegaskan negara Indonesia

berdasarkan hukum (Rechtssrat), tidak berdasarkan kekuasaan (Machtsstaat).

Indonesia sebagai negara hukum dipertegas dalam Pasal 1 Ayat 3 Undang-

Undang Dasar 1945 setelah diamandemen yang menyatakan negara Indonesia

adalah negara hukum4. Ketentuan Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945

tersebut menegaskan ketertundukan seluruh oenyelenggara negara pada hukum

yang berlaku, dalam hal ini hukum menjadi pagar pembatas bagi peran dan

otoritas negara. Tujuannya untuk membuat negara tertib dan teratur guna

mewujudkan sebesar-besarnya kesejahteraan seluruh rakyat.5

Konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum maka penyelenggara negara

maupun rakyat secara keseluruhan harus taat dan patuh pada hukum, dimana

setiap tindakannya didasarkan pada hukum yang berlaku, untuk menghinari

penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hukum. Kondisi Indonesia sebagai

negara hukum masih sangat memprihatinkan karena masih banyak kekuarangan

yang perlu ditingkatkan secara serius dan masif.

Indeks negara hukum Indonesia masih stagnan selama lima tahun,

pemerintah dinilai belum serius dalam upaya memperbaiki system peradilan

3
Lihat pasal-pasal pada UUD 1945
4
Lihat penjelasan dan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945
5
Tundjung Herming Sitabuana, Berhukum di Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2017, hlm VII
4

pidana dan perdata, ini terlihat masih rendahnya skor indeks negara hukum yang

dikeluarkan oleh world justice project, secara keseluruhan Indonesia memperoleh

skor 0.53 atau naik 0.51 dari skor 4 tahun sejak 2015 yaitu 0.52. Indonesia berada

ditingkat 59 dari 128 negara yang disurvei, indeks menggunakan skala 0-1, makin

besar nilai indeks makin baik kondisinya. Ada 8 aspek yang diukur, yaitu

penggunaan kekuasaan pemerintahan, anti korupsi, keterbukaan pemerintah,

pemenuhan hak-hak dasar warga, ketertiban dan keamanan, penegakan hukum,

system peradilan pidana dan perdata.6

Berdasarkan survei dari world justice project tersebut, Indonesia masih

berada diposisi yang rendah dalam indeks negara hukum, hal tersebut seharusnya

menjadi peringatan dan perhatian bagi semua pihak untuk lebih focus dan lebih

serius melakukan upaya untuk meningkarkan skor indeks negara hukum Indonesia

agar bisa lebih sejajar dengan negara-negara yang sudah lebih maju. Penegakan

hukum yang berkeadilan dan tidak tebang pilih menjadi salah satu kunci

keberhasilan untuk mewujudkan negara hukum Indonesia, termasuk aparat

penegak hukum harus bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme jangan sampai

terjadi seperti “maling teriak maling”.

Ketentuan Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan

Indonesia adalah sebagai negara hukum, sementara itu dalam pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan pembentukan negara

Indonesia bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan

kesejahteraan umum, berdasarkan hal tersebut dapat dinyatakan Indonesia

6
Stagnan 5 Tahun, Pemerintah dinilai belum serius, Kompas, 17 Maret 2020, hlm 2.
5

menganut paham negara hukum kesejahteraan, sehingga hukum menjadi sarana

untuk mencapai kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia. Upaya negara

untuk mencapai kesejahteraan bagi warganya menemui permasalahan yang

menghambat untuk mewujudkannya karena maraknya perbuatan korupsi yang

sudah meluas memasuki seluruh aspek kehidupan negara dan masyarakat, baik

dilingkungan eksekutif, legislative maupun yudikatif.

Pelaku korupsi mulai dari pegawai rendahan sampai pejabat tinggi, yang

berpendapatan rendah maupun yang berpendapatan tinggi disebabkan rusaknya

moral para penyelenggara negara dan pengusaha atau kerjasama antar keduanya

untuk memperoleh keuntungan pribadi, memperkaya diri sendiri dan orang lain

dengan cara menyalahgunakan kewenangan dan perbuatan melanggar hukum baik

yang berkaitan dengan korupsi keuangan negara maupun korupsi suap menyuap

dan pungutan liar seperti pemberian suap kepada penyelenggara negara dalam

proses perizinan, suap untuk mendapatkan proyek dalam pengadaan barang dan

jasa, suap dalam jual beli jabatan dan lain-lain. Ada yang melakukan korupsi

karena pendapatan atau gaji yang rendah untuk memenuhi berbagai kebutuhan

pokok, tapi adapula yang melakukan korupsi walaupun pendapatan atau gajinya

cukup tinggi, karena faktor kerakusan untuk mengumpulkan harta kekayaan

sebnanyak-banyaknya guna memenuhi kebutuhan hidup kemewahan dengan cara

melakukan perbuata melanggar hukum.

Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera,

dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk


6

mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut,

perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada

khususnya. Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi

masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya

semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah

menimbulkan kerugiannegara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat

berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang.

Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin

ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia

dan kepentingan masyarakat. Undang-undang ini dimaksudkan untuk

menggantikan Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi

perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan

memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta

masyarakat pada umumnya.7

Kenyataannya korupsi di Indonesia masih sangat tinggi, hal tersebut dapat

tergambar dalam indeks persepsi korupsi Indonesia yang dikeluarkan oleh

transparacy international Indonesia.

7
Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Alenia 1-3.
7

Peringkat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perceptions

Index (CPI) Indonesia tahun 2016 peringkat menjadi 90 dari 176 negara. Skor IPK

Indonesia tahun 2016 naik satu poin menjadi 37 dibanding tahun sebelumnya

yang memperoleh skor 36. Skor Indonesia naik satu poin, dan turun dua peringkat

dari tahun 2015 di posisi 88.8

8
https://www.beritasatu.com/nasional/411045/peringkat-indeks-persepsi-korupsi-indonesia-2016-
turun diakses tanggal 23 Februari 2021
8

Gambar 1.1

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia

Sumber: indoenesiabaik,id

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2018 yang dirilis Transparency

International Indonesia menunjukkan kenaikan yaitu naik 1 poin dari 37 pada

2017 menjadi 38 pada 2018. Indeks Persepsi Korupsi sendiri merupakan indeks

gabungan yang mengukur persepsi korupsi secara global di sektor publik yang

dilakukan oleh pejabat negara dan politisi. Saat ini, dengan skor 38, Indonesia

menduduki peringkat 89 dari 180 negara yang disurvei. Oleh karena itu, peringkat
9

Indonesia melonjak tujuh peringkat dibanding 2017 yang menduduki peringkat

96.9

Transparency International Indonesia merilis IPK Indonesia tahun 2020.

Skor IPK Indonesia saat ini berada di angka 37. Turunnya angka IPK tersebut

juga membuat posisi Indonesia melorot menjadi peringkat 102 dari 180 negara

yang dinilai IPK-nya. Sebelumnya, Indonesia berada di posisi 85. "Jika tahun

2019 lalu kita berada pada skor 40 dan ranking 85, ini 2020 kita berada di skor 37

dan ranking 102. Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, IPK

Indonesia berada di peringkat lima di bawah Singapura (85), Brunei Darussalam

(60), Malaysia (51), dan Timor Leste (40). Penurunan terbesar yang dipicu oleh

relasi korupsi yang masih lazim dilakukan oleh pebisnis kepada pemberi layanan

public untuk mempermudah proses berusaha.10

Tabel 1.1

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dari Transparansi Internasional Indonesia

Indeks Persepsi 2015 2016 2017 2018 2019 2020


Korupsi Indonesia
Skor 36 37 37 38 40 37

Ranking 88 90 96 89 85 102

Sumber: Data diolah oleh penulis

Berdasarkan indeks persepsi korupsi dari tranparacy international Indonesia,

selama 6 tahun dari tahun 2015 sampai 2020 indeks persepsi Indonesia stagnan di

9
http://indonesiabaik.id/infografis/tahun-2018-indeks-persepsi-korupsi-indonesia-meningkat,
diakses tanggal 23 Februari 2021
10
https://nasional.kompas.com/read/2021/01/28/14120521/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-
pada-2020-turun-jadi-37-peringkat-102-di diakses tanggal 23 Februari 2020
10

skor sekitar 37, hal tersebut merupaka raport merah bagi pemberantasan korupsi

di Indonesia yang tentunya menjadi alarm yang bisa menjadi motivasi bagi negara

baik di eksekutif, legislative dan yudikatif untuk lebih serius meningkatkan upaya

pemberantasan korupsi baik dalam pencegahan maupun dalam penindakan

Indeks resiko penyuapan dalam berbisnis yang dirilis TRACE Internasional

pada November 2019, menempatkan Indonesia pada peringkat ke 90 dari 200

negara yang disurvei dengan skor indeks 50 (indeks dihitung dari 1 hingga 100),

tahun 2018 posisi ke 92 de ngan skor indeks 51, tahun 2017 skor indeks 45, tahun

2016 skor indeks 55 dan tahun 2014 dengan skor indeks 51. Indeks kerentanan

suap dihasilkan dari kombinasi skor dari 4 variabel yaitu interaksi antar unsur

bisnis dan pemerintah, pencegahan dan penindakan anti suap, transparasi

pemerintah dan pelayanan public serta kapasitas pemantauan masyarakat sipil.11

Indeks resiko penyuapan ternyata stagnan disekitar skor indeks 51 sejak

tahun 2014 sampai 2019, hal tersebut menunjukkan praktek suap masih terus

terjadi dikalangan pebisnis dengan pemerintah, yang akan berpengaruh pada

kepercayaan investor, pelaku usaha untuk erinvestasi di Indonesia, yang menjadi

penghambat dalam pembangunan nasional untuk mencapai tujuan negara

mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia

Untuk terwujudnya cita-cita dalam pembukaan UUD 1945 maka disusunlah

beberapa ketentuan perundang-undangan antara lain Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dan UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak


11
Perbaikan Sistem Anti Suap, Kompas 18 November 2019 hlm 1.
11

pidana korupsi dan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU

No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara dan Undang-

Undang No 1 2004 tentang perbendaharaan negara.

Lahirnya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana korupsi yang disahkan pada 16 Agustus 1999 merupakan reaksi

terhadap maraknya korupsi yang dilakukan pada masa orde baru yang dianggap

menjadi penyebab timbulnya krisis moneter pada Tahun 1997-1998, lahirnya

Undang Undang tersebut merupakan tonggak terpenting dan monumental karena

secara formal menunjukan adanya tekad pemerintah bersama DPR untuk lebih

meningkatkan pemberantasan tingkat pidana korupsi, dimana dalam Pasal 43

Undang-Undang tersebut mengamanatkan dalam waktu paling lama dua tahun

sejak Undang-Undang ini berlaku dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan

supervisi termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam konsiderans menimbang huruf a dan b Undang-Undang tersebut

menegaskan bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau

perekonomian dan menghambat pembangunan nasional sehingga harus diberantas

dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila

dan UUD 1945. Bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara karena selai merugikan

kerugian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan


12

nasioanl yang menuntut efisiensi tinggi. Selanjutnya terbit undang-undang No. 20

Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.12

Atas dasar ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tersebut telah dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi dengan UU Nomor 30 Tahun

2002, yang disahkan pada tanggal 27 Desember 2002.

Sesuai konsiderans menimbang huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002 bahwa yang menjadi dasar pertimbangan membentuk Undang-Undang

tersebut adalah bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur

dan sejahtera berdasarkan pancasila dan UUD 1945, pemberantasan tindak pidana

korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal.

Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara

profesional, intensif dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan

keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan

nasional.13

Dalam penjelasan umum alinea kedua Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 bahwa di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi

masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya

semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah

12
Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Citra Umbara: Bandung, hal 18.
13
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Pustaka Mahardia: Yogyakarta, hal 106.
13

menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat

berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya

pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan

diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan

masyarakat.14

Selanjutnya dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002 pada alinea pertama bahwa tinak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas

dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik

dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari

segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya

yang memasuki aspek kehidupan masyarakat. Selanjutnya pada alinea kedua

diantaranya menegaskan bahwa meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak

terkendali akan membawa bencana tidak saja pada kehidupan perekonomian

nasional tapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya, maka

tindak pidana korupsi telah menjadi suatu kejahatan luar biasa sehingga upaya

pemberantasannya dituntut dengan cara yang luar biasa pula. Untuk itu diperlukan

metode penegakkan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan

khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan

manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam alinea

keempat bahwa badan khusus tersebut yang selanjutnya disebut Komisi

Pemberantasan Korupsi yang memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan

supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, alenia

14
Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, L.N Tahun 1999 Nomor 140, T.L.N Nomor 3874, Penjelasan Umum
14

ketujuh bahwa KPK dapat Menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan

memperlakukan institusi yang telah ada sebagai konterpartner yang kondusif

sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efesien dan efektif,

tidak monopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan,

berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam

pemberantasan korupsi (trigger mechanism).15

Dasar pertimbangan pembentukan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019

dalam konsiderans menimbang Huruf b menegaskan bahwa kepolisian, kejaksaan,

dam Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai Lembaga yang menangani perkara

tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan sinergitasnya sehingga masing-masing

dapat berdaya guna dan berhasil guna dalam upaya pemberantasan tindak pidana

korupsi berdasarkan asas kesetaraan kewenangan dan perlindungan terhadap hak

asasi manusia.16

Dengan demikian undang-undang tersebut mengamanatkan pemberantasan

tindak pidana korupsi mengutamakan pemberantasan tindak pidana korupsi yang

berkaitan dengan kerugian keuangan negara dibandingkan korupsi suap, dalam

rangka mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera sesuai dengan

Undang-Undang Dasar 1945.

Hal tersebut sejalan atau dipertegas dalam ketentuan Pasal 1 huruf c

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 dan Pasal 11 Ayat 1 Huruf b UU Nomor

15
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, L.N Tahun 2002 Nomor 137, T.L.N Nomor 4250, Penjelasan Umum
16
Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, LN Tahun
2019 Nomor 197, TLN Nomor 6409.
15

19 Tahun 2019 yang menegaskan bahwa KPK berwenang melakukan

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi menyangkut

kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000 (1 miliar rupiah).

Bahwa adanya kekhawatiran terjadinya tumpang tindih kewenangan antara

kepolisian dan kejaksaan dengan KPK dalam melakukan penegakan hukum

terhadap tindak pidana korupsi dapat diatasi dengan adanya ketentuan Pasal 11

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang menegaskan bahwa Komisi

Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan

penuntutan tindak pidana korupsi yang:

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang

lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan

oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan atau

c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000 (1

miliar rupiah).

Sedangkan menurut ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2019, kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi sebagai berikut:

Ayat 1:

a. Melibatkan apparat penegak hukum, Penyelenggaraan Negara, dan orang

lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan

oleh apparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara; dan/atau


16

b. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu

milyar rupiah)

Ayat 2:

Dalam hal Tindak Pidana Korupsi untuk memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi wajib menyerahkan

penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kepada kepolisian dan/atau kejaksaan.

Ayat 3:

Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan supervisi terhadap penyelidikan,

penyidikan dan/atau penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).17

Pengertian umum tentang tindak pidana korupsi ialah suatu tindak pidana

penyuapan dan perbuatan melawan hukum yang merugikan, dapat merugikan

keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan, atau kepentingan

rakyat. Perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara adalah

korupsi dibidang materiil (material corruption).

Bahwa Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 hanya mengutamakan masalah

“material corruption” seperti hal nya peraturan-peraturan pemberantasan korupsi

sebelumnya antara lain Undang_Undang No.24 (PRP) Tahun 1960.18

17
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
18
Baharuddin Lopa, Masalah Korupsi dan Pemecahannya, PT Kipas Putih Aksara, Jakarta, 1997,
Hal 4 dan 6.
17

Berdasarkan undang-undang korupsi dan undang-undang KPK, setidak-

tidaknya ada tiga kebijakan hukum yang menjadi arah pemberantasan tindak

pidana korupsi oleh KPK yaitu:

a. KPK lebih mengutamakan pemberantasan korupsi yang merugikan keuangan

negara, disamping itu juga korupsi suap, untuk tujuan kemakmuran dan

kesejahteraan rakyat

b. Kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi dibatasi pada kasus yang

nilainya besar yaitu kerugian negara dengan nilai minimal satu milyar rupiah,

agar tidak terjadi tumpeng tindih kewenangan dengan instansi kepolisian dan

kejaksaan

c. KPK tidak monopoli tugas dan kewenangan pemberantasan korupsi dan

memperlakukan instanst kepolisian dan kejaksaan sebagai counterpartner dan

ditingkatkan sinergitasnya.

Korupsi yang melanda Indonesia telah berdampak pada kehidupan sosial

ekonomi bangsa Indonesia membuat tindak pidana korupsi dianggap sebagai

suatu kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime). Suatu sistem penegakan

hukum yang komprehensif sangat dibutuhkan untuk melakukan pemberantasan

korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi juga harus dinaungi oleh suatu

institusi dan payung hukum yang kuat serta mempunyai kewenangan yang besar.

Sebagai suatu lembaga yang fokus pada pemberantasan korupsi maka

kewenangan-kewenangan yang tadinya terpisah-pisah di lembaga-lemabaga


18

penegak hukum lain harus bersinergi bersama untuk menangani korupsi yang

telah dianggap sebagai tindak pidana luar biasa tersebut.

Kehadiran Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau yang lebih

dikenal dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menumbuhkan harapan

baru dan kepercayaan masyarakat Indonesia yang semula pesimistis terhadap

pemberantasan tindak pidana korupsi di negara ini. Keberhasilan komisi ini selain

karena sumber daya manusianya yang merupakan orang-orang terpilih dan

didukung oleh sumber keuangan yang memadai yang berasal dari APBN, juga

karena adanya kewenangan lebih yang diberikan kepada lembaga negara ini,

antara lain kewenangan menyadap untuk memperoleh informasi dari pihak terkait

selain kewenangan-kewenangan lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang,

sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 samapi Pasal 15 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 dan Pasal 6 sampai Pasal 13 Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2019

Keberhasilan KPK dalam mengungkap kasus-kasus korupsi khususnya

korupsi suap dengan operasi tangkap tangan (OTT) yang telah menyedot

perhatian masyarakat, sebagian besar didukung dari hasil penyadapan.

Penyadapan pada dasarnya merupakan salah satu teknik pemeriksaan untuk

mendapatkan informasi dalam upaya mengungkap kasus korupsi ataupun sebagai

dasar menetapkan langkah penyelidikan selanjutnya. Meskipun rekaman hasil

penyadapan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

tidak serta merta dapat menjadi alat bukti hukum, namun informasi pada rekaman
19

hasil penyadapan terbukti sangat efektif untuk dapat memperoleh alat bukti

sehingga mampu mengungkap terjadinya tindak pidana korupsi.19

Dalam perkembangannya sesuai ketentuan Pasal 26A UU Nomor 20 Tahun

2001 tentang perubahan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan

bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 188 Ayat 2 KUHAP juga dapat diperoleh alat bukti lain berupa informasi

yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat

optik atau yang serupa dengan itu termasuk setiap rekaman data atau informasi.

Penyadapan atau intersepsi sebagai alat bantu KPK melakukan OTT dalam

rangka mengungkap kasus-kasus korupsi penyuapan merupakan senjata andalan

bagi KPK, dalam kaitan dengan operasi tangkap tangan (OTT) yang belakangan

ini sering dilakukan KPK yang berujung pada penetapan seorang pejabat sebagai

tersangka.

Maka dengan kewenangan yang sedemikian besar terhadap KPK dalam

Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 juncto Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2019 mestinya KPK dapat mengembalikan keuangan negara yang jauh

lebih besar untuk kesejahteraan rakyat, karena tujuan pemberantasan tindak

pidana korupsi bukan hanya sekedar menghukum para pejabat publik untuk

memberikan efek jera melainkan yang paling utama adalah penegakan hukum

untuk kesejahteraan rakyat dengan memaksimalkan pengembalian keuangan

negara itu.

19
Misra Dewita, Aspek Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Tindakan Penyadapan yang
Dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta: FH UI, 2011, Hal 6-7.
20

Kita harus akui bahwa KPK banyak mendapat apresiasi dari masyarakat

karena operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan terhadap para pejabat yang

berkaitan dengan korupsi suap, namun permasalahannya apakah korupsi suap

tersebut sudah sejalan dengan alasan dan tujuan pembentukan Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 yo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dan

khususnya kewenangan KPK dalam ketentuan Pasal 11, yang antara lain

menyatakan KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan

penuntutan tindak pidana korupsi menyangkut kerugian keuangan negara paling

sedikit Rp 1.000.000.000, faktanya OTT korupsi suap yang dilakukan KPK

banyak sekali yang hanya bernilai ratusan juta rupiah bahkan ada yang dibawah

Rp 100.000.000, padahal KPK didesain untuk menangani perkara korupsi yang

nilainya besar.

Wakil ketua KPK Laode Syarif menyatakan, komisi pemberantasan korupsi

tidak akan berhenti menggelar operasi tangkap tangan para pelaku korupsi selama

adanya indikasi dan bukti terjadinya transaksi suap,. Nilai dari korupsi tidak akan

dilihat tetapi dampak dari korupsi yang merugikan masyarakat. Selama

laporannya valid itu harus ditangkap namun jangan sampai semua kepala daerah

itu ditangkap.20

Fakta tersebut dan pernyataan wakil ketua KPK dimaksud tidak sesuai

dengan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang tentang KPK, baik secara normatif

maupun secara filosofis, karena Pasal 11 secara tegas menyatakan KPK

berwenang menangani perkara korupsi dengan nilai kerugian negara minimal satu

20
KPK Tak Akan Hentikan OTT, Kompas 18 September 2017, hlm 2.
21

milyar rupiah, dengan tujuan membatasi kewenangan KPK agar tidak terjadi

tumpang tindih dengan kewenangan instansi kepolisian dan kejaksaan dalam

menangani perkara korupsi

Penjelasan KPK tentang kinerja KPK periode 2015-2019 menyimpulkan

ada tiga besar perkara tindak pidana korupsi yang ditangani yaitu perkara korupsi

penyuapan sebanyak 475, perkara pengadaan barang dan jasa sebanyak 77 dan

perkara tindak pidana pencucian uang sebanyak 21.21

Selanjutnya data KPK taun 2004 hingga Juni 2020, pengadaan barang dan

jasa serta suap ada di peringkat atas jumlah kasus terbanyak. Dari 175 perkara

yang ditangani perkara dalam kurun waktu itu, ada 224 kasus pengadaan barang

dan jasa dan 728 kasus terkait dengan suap22

Dengan demikian perkara korupsi yang ditangani oleh KPK lebih banyak

berkaitan dengan perkara korupsi suap diabnding perkara korupsi yang merugikan

keuangan negara, sehingga belum sejalan dengan alasan dan tujuan

pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam undang-undang

pemberantasan tindak pidana korupsi dan alasan pembentukan undang-undang

KPK, disamping itu juga tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang

KPK.

21
Bangun Sinergi, Ciptakan Inovasi Pencegahan Korupsi, Koran Kompas 9 Desember 2019, hlm
8.
22
Pandemi Tak Mengurangi Perilaku Korup Pejabat, Kompas 28 Februari 2021, hlm 1.
22

Adanya penyimpangan terhadap norma hukum dalam undang-undang KPK,

menandakan telah terjadi disorientasi kewenangan KPK dalam pembernatasan

korupsi suap.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, menunjukkan terdapat problematika

mendasar terhadap kewenangan KPK dalam melakukan pentelidikan, penyidikan

dan penuntutan tindak pidana korupsi suap.

Pertama, masalah kewenangan KPK dalam penegakan hukum korupsi,

KPK dalam memberantas korupsi bukan hanya terhadap korupsi yang berkaitan

dengan kerugian keuangan negara tapi juga menangani perkara korupsi suap dan

gratifikasi melalui operasi tangkap tangan yang selama ini banyak dilakukan yang

nilainya dibawah satu milyar rupiah dan juga lebih banyak menangani perkara

korupsi suap dibandingkan dengan korupsi keuangan negara, untuk periode tahun

2014 sampai 2019, hal ini tidak sejalan dengan kebijakan hukum yang menjadi

arah pemberantasan korupsi termasuk kewenangan KPK dalam Pasal 11 undang-

undang tentang komisi pemberantasan korupsi.

Kedua, problematika yuridis, dimana secara yuridis kewenenangan KPK

dalam Pasal 11 UU KPK baik Undang-Undang Nomro 30 Tahun 2002 maupun

UU Nomor 19 Tahun 2019 dengan tegas menyatakan KPK berwenang melakukan

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi menyangkut

kerugian negara paling sedikit 1 miliar rupiah, dengan demikian kewenangan

KPK yaitu menyangkut kerugian negara dan nilai kerugian paling sedikit 1 miliar

rupiah. Pasal ini bermakna membatasi kewenangan KPK dalam menangani

perkara korupsi, hanya berkaitan dengan kerugian negara atau kerugian keuangan
23

negara seperti diatur dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

yuncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta dengan nilai kerugian

paling sedikit 1 milyar rupiah. Pasal ini tidak mengatur dan mencakup

kewenangan KPK dalam menangani perkara korupsi suap seperti diatur dalam

pasal 5, 6, 11, dan pasal 12 Undang-Undang Korupsi.

Tindak pidana korupsi murni kerugian negara adalah suatu perbuatan yang

dilakukan oleh orang, pegawai negeri sipil dan penyelenggara negara yang secara

melawan hukum menyalahgunakan kewenangan, memperkaya diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara, sedangkan tindak pidana korupsi suap pada prinsipnya

tidak berakibat langsung pada kerugian negara ataupun perekonomian negara

karena uang atau benda yang diterima oleh penyelenggara negara bukan berasal

dari uang negara melainkan dari uang atau aset orang yang melakukan

penyuapan.23

Ketiga, juga terdapat problematika penerapan ketentuan undang-undang

korupsi yang berkaitan dengan korupsi suap dan gratifikasi yaitu terjadi tumpang

tindih pengaturannya dalam pasal 5 dan 6 dengan ketentuan pasal 12 dan pasal

12B, serta belum diatur kriteria perbuatan mana yang termasuk korupsi suap dan

gratifikasi.

Terjadinya disorientasi kewenangan KPK dalam pemberantasan tindak

pidana korupsi karena adanya kesenjangan antara kewenangan KPK yang diatur

23
Ermansyah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal 63
dan 67.
24

dalam undang-undang KPK, dengan pelaksanaan kewenangan KPK dalam

penegakan hukum korupsi, yaitu terjadi ketidakperpaduan antara harapan dan

kenyataan.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana terjadi disorientasi kewenangan komisi pemberantasan

korupsi dalm memberantas tindak pidana korupsi.

2. Apa problematika yuridis kewenangan komisi pemberantasan korupsi

dalam pemberantasan korupsi suap.

3. Bagaimana mengatasi problematika penerapan pasal-pasal korupsi suap

dan gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam memberantas

tindak pidana korupsi suap.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Mengkaji dan merumuskan disorientasi kewenangan komisi

pemberantasan korupsi dalm memberantas tindak pidana korupsi,

khususnya korupsi suap.

2. Mengkaji dan menemukan problematika yuridis kewenangan komisi

pemberantasan korupsi dalam pemberantasan korupsi suap.

3. Mengkaji, menemukan dan merumuskan problematika penerapan pasal-

pasal korupsi suap dan gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi

dalam memberantas tindak pidana korupsi suap.


25

D. Manfaat Penelitian

Ada dua manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini yaitu kegunaan

teoritis dan praktis.

1. Kegunaan Akademisi
a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang

berguna untuk menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang

sekarang ini sudah ada, terkait kewenangan KPK dalam pemberantasan

tindak pidana korupsi suap, sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap

prinsip yang diatur dalam perundang-undangan. Hal ini tidak terlepas

dari harapan supaya upaya penanganan tindak pidana korupsi di negara

kita ini dapat dilakukan secara benar, tepat sasaran sesuai dengan

perundang-undangan yang berlaku.

b. Kegunaan lain yang diharapkan dari hasil penelitian ini dapat

dipergunakan sebagai masukan bagi studi hukum di bidang

pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya yang berkaitan

dengan perkara korupsi suap dan gratifikasi sehingga dapat

memberikan kontribusi positif bagi perkembangan ilmu hukum dan

praktek hukum.

2. Kegunaan praktis

a. Diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi KPK untuk penerapan

pelaksanaanpemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga tidak terjadi

penegakan hukum yang melanggar hukum.


26

b. Diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam menunjang pekerjaan

sehari hari sebagai praktisi hukum

E. Originalitas Penelitian

Untuk menjamin keaslian penelitian ini, diuraikan beberapa penelitian yang

sejenis yang sudah ada, diantaranya sebagai berikut:

1. Penelitian oleh Indah Harno Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum

Universita Indonesia, 2008 dengan judul disertasi “Kedudukan dan

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Penegakan Hukum”.

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu bagaimana mengenai

kedudukan KPK dalam struktur ketatanegaraan Indonesia dan apakah KPK

merupakan Lembaga permanen. Penelitian ini folus pada kewenangan dan

kedudukan KPK dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia. Hasil

penelitian menyimpulkan bahwa KPK sebagai lembaga negara independent,

namun bukan lembaga negara utama tapi Lembaga negara pembantu.

Kedudukan KPK dalam undang0undang komisi pemberantasan korupsi

tidak dijelaskan berada diranah kekuasaan manapun baik eksekutif,

legislative dan yudikatif. Akan tetapi KPK dapat dimasukkan kedalam

kekuasaan keempat.24

2. Herlambang, disertasi yang berjudul “Formulasi Rumusan Tindak Pidana

Penerima Hasil Korupsi dalam Perspektif Kebijakan Pemberantasan

24
Indah, Harlina, “Kedudukan dan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
Penegakan Hukum”, disertasi Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia,
Jakarta, 2008.
27

Korupsi di Indonesia” Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya,

Malang, 2011. Permasalahan yang menjadi fokus penelitian dan

pembahasan pada disertasi ini adalah: (1) Bagaimanakah formulasi bentuk

norma dan perbuatan yang dapat dirumuskan sebagai tindak pidana

penerima hasil korupsi, (2) Bagaimanakah konsep pertanggungjawaban

pidana penerima hasil korupsi, (3) Bagaimanakah jenis sanksi yang sesuai

bagi penerima hasil korupsi. Hasil penelitian menunjukan bahwa penerima

hasil korupsi memiliki dasar untuk dilarang baik secara filosofis, teoritis

maupun secara yuridis. Adapun formulasi bentuk norma dan perbuatan yang

dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana penerima hasil korupsi, antara

lain adalah; Setiap orang (manusia alamiah dan atau korporasi), baik

sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan perbuatan menerima manfaat

dan atau mendapatkan keuntungan dari sesuatu yang diberikan atau

dikirimkan kepadanya yang diketahui atau patut diduga sebagai hasil Tindak

Pidana Korupsi, dengan cara; (1) memberi bantuan setelah suatu tindak

pidana korupsi dilakukan dengan tujuan untuk menerima manfaat dan atau

menikmati hasil korupsi. (2) menerima atau setuju untuk menerima hasil

tindak pidana korupsi, untuk dirinya sendiri, orang lain atau keluarganya

secara sukarela atau untuk mendapatkan upah atau dengan membeli untuk

dipakai atau memperjualbelikan atau diserahkan kepada pihak lain dengan

tujuan untuk menerima manfaat dan atau menikmati hasil korupsi tersebut.

(3) menerima atau menguasai: (penempatan; pentransferan; pembayaran);

hibah; sumbangan; penitipan; atau penukaran. harta kekayaan yang


28

diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana korupsi,

dengan tujuan untuk menerima manfaat dan atau menikmati hasil korupsi

tersebut. (4) Membeli, menawarkan, menukar, menerima gadai, menerima

hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan,

menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau

menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus di

duga bahwa diperoleh dari tindak pidana korupsi, atau menarik keuntungan

dari hasil sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa

diperoleh dari tindak pidana korupsi. dengan tujuan untuk menerima

manfaat dan atau menikmati hasil korupsi tersebut. (5) Menempatkan,

mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,

menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau

perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga

merupakan hasil tindak pidana korupsi, dengan tujuan untuk menerima

manfaat dan atau menikmati hasil korupsi tersebut.25

3. Ino Susanti, disertasi judul “Penegakan Hukum yang Berkeadilan oleh

Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Memberantas Korupsi” Program

Doktor Hukum Universitas Borobudur, Jakarta, 2020. Permasalahan dalam

disertasi yaitu mengapa diperlukan penegakan hukum yang berkeadilan oleh

komisi pemberantasan korupsi dan bagaimanakah mewujudkan keadilan

dalam penegakan hukum oleh komisi pemberantasan korupsi dalam

25
Herlambang, Formulasi Rumusan Tindak Pidana Penerima Hasil Korupsi dalam Perspektif
Kebijakan Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Doctor thesis, Universitas Brawijaya, Malang,
2011.
29

memberantas korupsi, dengan kesimpulan penelitian adanya karakteristik

penanganan kasus yang berasal dari OTT dan kasus lama yang sulit

terungkap membuahkan keadilan dalam penegakan hukum yang berbeda.

Konsep keadilan berdasarkan paham hukum positivistic, sehingga

menghasilkan penanganan perkara yang belum mencerminkan keadilan

karena masih berorientasi pada keadilan paradigmatik ajukidasi, bukan

sebaliknya berfungsi paradigmatik regulasi. Perlunya penegakan hukum

yang berkeadilan yang mengacu pada nilai keadilan Pancasila untuk

mengatasi persoalan keadilan.26

Adapun penelitian penulis memfokuskan tentang permasalahan yang

berkaitan dengan diorientasi kewenangan KPK dalam memberantas tindak

pidana korupsi, problematika yuridis kewenangan KPK dalam memberantas

korupsi suap dan bagaimana mengatasi problematika penerapan pasal

korupsi suap dan gratifikasi.

F. Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir digunakan untuk memudahkan penelitian ini dalam

rangka mencari jawaban dalam permasalahan yang telah dirumuskan dan

perlu penjabaran secara konkrit dalam kerangka teorirs agar mudah

dipahami.

26
Ino Susanti, Penegakan Hukum yang Berkeadilan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
Memberantas Korupsi, Program Doktor Hukum, Universitas Borobudur, Jakarta, 2020
30

Gambar 1.2

Model Kerangka Berpikir

UUD 1945
Pembukaan Batang Tubuh

Mewujudkan Negara Hukum


Kesejahteraan Umum Kesejahteraan

Korupsi Menghambat Kesejateraan Umum

Alasan-Tujuan Pembentukan Kewenangan KPK


UU Korupsi dan UU KPK Korupsi Suap

Pelaksanaan Kewenangan KPK - Penegakan


Hukum Korupsi Suap - OTT

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan disertasi ini dibagi menjadi 5 bab:


31

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, original penelitian, kerangka perfikir.

BAB II KERANGKA TEORI

Dalam bab ini membahas mengenai teori hukum yang dipergunakan dalam

penelitian disertasi ini dan juga landasan kepustakaan yang terkait dari

materi penelitian ini.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Dalam bab ini mengupas mengenai metodologi yang digunakan dalam

penelitian disertasi ini.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan membahas jawaban dari rumusan masalah dalam

penelitian ini yaitu mengenai bagaimana disorientasi kewenangan komisi

pemberantasan korupsi dalm memberantas tindak pidana korupsi,

khususnya korupsi suap, bagaimana problematika yuridis kewenangan

komisi pemberantasan korupsi dalam pemberantasan korupsi suap, dan

bagaimana problematika penerapan pasal-pasal korupsi suap dan gratifikasi

oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam memberantas tindak pidana

korupsi suap.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


32

Bab ini berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang diuraikan dalam

pembahasan bab keempat disertai saran sebagai rekomendasi atau masukan

berkaitan dengan kesimpulan tersebut diatas.


33

BAB II

KERANGKA TEORITIK

A. Landasan Teori

1. Teori Negara Hukum Kesejahteraan

Pemikiran mengenai negara dan hukum mulai muncul pada zaman

Yunani Kuno, dimana kebebasan berfikir dan mengeluarkan pendapat mulai

ada, yang dimulai oleh Socrates melalui ajaran tentang mentaati undang-

undang yang kemudian dilanjutkan oleh Plato (429-347 SM). Menegaskan

bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah yang diatur oleh

hukum, selanjutnya oleh Aristoteles (384-322 SM) bahwa negara yang baik

adalah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.

Gagasan negara hukum muncul di Barat pada abad XVII dan pada abad

XIX, gagasan tentang demokrasi mendapat wujud konkrit sebagai system

politik atau system pemerintahan.27

Konsep Stahl tentang negara hukum ditandai oleh 4 unsur pokok yaitu:

a. pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia

b. negara didasarkan pada teori Trian Politika

c. pemerintahan diselenggarakan berdasarkan aturan hukum atau undang-

undang

d. adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus

perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah

27
Tundjung Herning Sitabuana, Berhukum di Indonesia, Jakarta, Konstitusi Press, 2017, p33-34
34

Menurut A.V. Dicey bahwa negara hukum adalah negara yang

mempunyai the rule of law yaitu (1) supremacy of law; (2) equality before

the law; (3) the constitution based on individual rights).28

Bintan R. Saragih mengemukakan konsep negara hukum adalah sebagai

negara dimana tindakan pemerintah maupun rakyatnya didasarkan atas

hukum untuk mencegah adanya tindakan sewenang-wenang dari pihak

pemerintah dan tindakan rakyat yang dilakukan menurut kehendak sendiri.29

Konsep negara hukum dalam kajian teoritis dapat dibedakan dalam dua

pengertian. Pertama, negara hukum dalam arti formal (sempit/klasik) ialah

negara yang kerjanya hanya menjaga jangan sampai ada pelanggran

terhadap ketentraman dan kepentingan umum seperti yang telah ditentukan

oleh hukum yang tertulis (undang-undang). Kedua, negara hukum dalam arti

materiil (luas/modern) yang terkenal dengan istilah welfare state, yang

bertugas menjaga keamanan dalam arti kata seluas-luasnyayaitu keamanan

sosial dan menyelenggarakan kesejahteraan umum, berdasarkan prinsip-

prinsip hukum yang benar dan adil sehingga hak-hak asasi warganya benar-

benar terlindungi.30

Sejalan dengan terjadinya perubahan sosial paska Perang Dunia II (pada

abad XX), negara hukum tidak dapat dipertahankan lagi tanpa campur

tangan pemerintah untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Muncul gagasan

baru berupa negara kemakmuran juga terjadi perubahan dalam perumusan

28
H. Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, Bandung, CV Pustaka Setia, 2014, p135
29
H. Salim HS and Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum, Jakarta, PT RajaGrafindo
Persada, 2016, p4
30
Bernhard Limbong, Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Jakarta: Margaretha Pustaka, 2013,
Hal 49.
35

yuridis Rechstaat atau Rule of Law secara klasik. Konsep negara hukum

formil berubah menjadi konsep negara hukum materiil atau negara hukum

kesejahteraan (Welfare State).31

Seiring dengan perkembangan kenegaraan dan pemerintahan, ajaran

negara hukum yang kini dianut oleh negara-negara di dunia setelah perang

dunia kedua adalah negara kesejahteraan (welfare state), hal ini sejalan

dengan UUD 1945 dimana dalam alinea keempat antara lain menegaskan

bahwa yang menjadi tujuan pembentukan pemerintahan negara Indonesia

untuk memajukan kesejahteraan umu, dihubungkan dengan ketentuan Pasal

1 Ayat 3 yang menegaskan negara Indonesia adalah negara hukum,

sehingga disimpulkan Indonesia adalah negara hukum dengan tujuan untuk

kesejahteraan rakyat.

2. Teori Perundang-Undangan

Indonesia merupakan negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan

bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machsstaat), sehingga Pancasila

merupakan sumber dari segala sumber hukum dan UUD 1945 merupakan

hukum dasar yang wajib dijadikan landasan hukum dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan.

Dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen

mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (stufentheorie).

Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang dan

berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang

31
Tundjung Herning Sitabuana, Berhukum di Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2017, Hal 43
dan 44.
36

lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi.

Selanjutnya norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada

norma yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya sampai pada suatu norma

yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu

norma dasar (grundnorm). Sistem hukum Indonesia pada dasarnya

menganut teori yang dikembangkan oleh Hans Kelsen32.

Berkaitan dengan hal tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 7 UU No, 12

Tahun 2011 tentang. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ayat (1)

jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah

e. Peraturan Presiden

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Ayat (2) kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan

hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Dalam anelia keempat pembukaan UUD 1945 intinya menyatakan

bahwa membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

32
Darji Darmodiharjo, Shidata, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2004, Hal 115-116.
37

abadi dan keadilan sosial. Dalam Pasal 23 ayat (1) menyatakan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai wujud dari pengelolaan

negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan

secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat.

Untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan UUD 1945 tersebut maka

disusunlah perundang-undangan antara lain yang mengatur pengelolaan

keuangan negara, yaitu UU No, 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Apabila terjadi

penyimpangan dalam keuangan negara yang dilakukan secara melawan

hukum maka akan diterapkan ketentuan UU No. 31 Tahun 1999 yang

diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

Menurut Jeremy Bentham, bahwa pembuatan undang-undang adalah

suatu seni untuk menemukan cara-cara mewujudkan “the true good of the

community”. Bentham mematok “the greatest happiness of the community”

sebagai tujuan yang harus diwujudkan melalui pembuatan undang-undang

dan mengkualifikasikan pekerjaan tersebut sebagai suatu aktivitas

sosiologis. Ukuran-ukuran serta format yang digunakannya entri-entri

sosiologis, entri tersebut dimasukan masalah antara lain asal usul sosial

undang-undang, mengungkap motif dibelakang pembuatan undang-undang

dan sasaran perilaku yang ingin diatur atau diubah33.

33
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Jakarta: Genta Publishing, 2010, Hal 137.
38

Pembukaan peraturan perundang-undangan meliputi konsiderans, dasar

hukum, dan diktum dalam ketentuan pembukaan. Konsiderans menimbang,

memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar

belakang dan alas an pembuatan peraturan perundang-undangan. Bahwa

pokok-pokok pikiran pada konsiderans undang-undang memuat unsur

filisofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatanya.34

Penjelasan umum memuat uraian secara sistematis mengenai latar

belakang pemikiran maksud dan tujuan penyusunan peraturan perundang-

undangan yang telah tercantum secara singkat dalam butir konsiderans, serta

asas-asas, tujuan atau poko-pokok yang terkandung dalam batang tubuh

peraturan perundang-undangan.35

3. Teori Hukum Responsif

Menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick, untuk membangun tertib

hukum dimana hukum merespon secara fleksibel masalah dan tuntutan akan

sebuah tertib hukum yang responsif, yang lebih terbuka terhadap pengaruh

sosial dan efektif dalam menangani permasalahan sosial. Tujuan utama

kaum realisme hukum untuk membuat hukum menjadi lebih responsif

terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial. Untuk mencapai tujuan itu

mendorong perluasan bidang-bidang yang memiliki keterkaitan dengan

hukum sehingga nalar hukum mencakup pengetahuan didalam konteks

sosial dan memiliki pengaruh terhadap tindakan resmi para aparat hukum.36

34
Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Bandung: Ilmu Perundang-Undangan, CV Pustaka Setia,
2017, Hal 171 dan 172.
35
Ibid Hal 197
36
Philippe Nonet, Philip Selznik, Hukum responsive, Jakarta: Nusa Media, 2015, hal 82 dan 83.
39

Pemberlakuan Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan

perubahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi yang merupakan penggantian Undang-Undang

Lama (1971) adalah dengan tujuan diantaranya upaya penyesuaian dengan

kondisi pilitik era reformasi untuk menggambarkan perubahan mendasar

dari rezim hukum represif kepada rezim hukum responsive, sekaligus

bertujuan menciptakan system penyelenggaraan pemerintahan yang baik

dan benar (good governance).37

Hukum responsif dikontraskan dengan hukum represif dan hukum

otonom yang menutup diri terhadap dunia diluarnya, dimana tata hukum itu

berintikan supremasi peraturan dan prosedur, sedangkan hukum responsive

lebih terbuka terhadap bidang-bidang yang memiliki keterkaitan dengan

hukum seperti bidamg sosial dan ekonomi.

Bahwa pemberlakuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 juncto

Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 dan Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 juncto, Undang-Undang No 20 Tahun 2001 adalah termasuk

hukum responsif oleh karena undang-undang ini merespon aspirasi dan

tuntutan masyarakat untuk memberantas korupsi yang semakin meningkat,

yang dalam kenyataannya telah menimbulkan kerugian negara dan

perekonomian negara, yang menghambat pembangunan nasional dan

kesejahteraan rakyat.

B. Tinjauan Pustaka

37
Romli Atmasasmita dan Kodrat Wibowo, Analisis Ekonomi Mikro Tentang Hukum Pidana
Indonesia, Jakarta, Kencana, 2017, Hal 201.
40

1. Kewenangan

a. Pengertian Kewenangan

Arti kata kewenangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonseia

(KBBI) online berwenang adalah mempunyai (mendapat) hak dan

kekuasaan untuk melakukan sesuatu, wewenang adalah hak dan kekuasaan

untuk bertindak, kewenangan adalah kekuasaan membuat keputusan,

memerintah dan melimpahkan kepada orang lain.38

Kekuasaan dan kewenangan berhubungan sangat erat dan tidak

dapat dipisahkan karena kekuasaan selalu diikuti kewenangan, demikian

pula sebaliknya. Perumusan yang umumnya dikenal ialah bahwa kekuasaan

adalah kemampuan seseorang pelaku untuk mempengaruhi perilaku

seseorang, sehingga pelakunya menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku

yang mempunyai kekuasaan39

Dalam hukum positif, kita temukan istilah wewenang antara laian

dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara (Pasal 1.6, Pasal 53 ayat 2 huruf C).

Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda, istilah itu

seringkali dipertukarkan dengan istilah kewenangan. Istilah wewenang

atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah bevoegdheid dalam

istilah hukum Belanda.

38
https://kbbi.web.id
39
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2019, Hal 60
41

Kalau kita kaji istilah hukum kita secara cermat ada sedikit

perbedaan antara istilah wewenang atau kewenagan dengan istilah

bevoegdheid. Perbedaan terletak dalam karakter hukumnya.

Istilah Belanda bevoegdheid digunakan baik dalam konsep hukum

publik maupun dalam konsep hukum privat. Dalam hukum kita istilah

kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan selalu dalam konsep

hukum publik.40

Definisi yang dikemukakan oleh Robert Bierstedt menyatakan

bahwa wewenang (Authority) adalah Institutionalized Power (kekuasaan

yang dilembagakan). Dengan nada yang sama dikatakan oleh Harold D.

Laswell dan Abraham Kapitan bahwa wewenang (Authority) adalah

kekuasaan yang formal.

Dalam rangka pembahasan mengenai wewenang perlu disebut

pembagian menurut sosialog terkenal Max Weber dalam tiga macam

wewenang yaitu wewenang tradisional berdasarkan kepercayaan diantara

anggota masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukan kekuasaan yang

dilandasi oleh tradisi itu afalah wajar dan patut di hormati. Wewenang

Kharismatik berdasarkan kepercayaan anggota masyarakat pada kesaktian

dan kekuatan mistis atau religious seorang pemimpin, Hitler dan Mao

Zedong sering dianggap sebagai pemimpin kharismatik dan tentu juga

mereka memiliki wewenang legal. Wewenang rasional legal berdasarkan

kepercayaan pada tatanan hukum nasional yang melandasi kedudukan

40
Philipus M. Hadjon, Tatiek Sri Djatmiati, G.H. Addink. J.B.J.M. Ten Berge, Hukum Administrasi
Dan Tindak Pidana Korupsi, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2011, Hal 10
42

seorang pemimpin, yang ditekankan atutaran-aturan yang mendasari

tingkah lakunya.41

Istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan

authority dalam Bahasa Inggris dan bevoegdheid dalam Bahasa Belanda.

Authority dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai kekuasaan

hukum, hak untuk memerintah atau bertindak, hak atau kekuasaan pejabat

publik untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan

kewajiban publik42

b. Konsep Kewenangan

Dalam kepustakaan hukum administrasi Belanda, soal

wewenang selalu menjadi bagian penting dan bagian awal dari hukum

administrasi, karena obyek hukum administrasi adalah wewenang

pemerintahan (bestuurs bevoegdheid). Dalam konsep hukum publik,

wewenang merupakan suatu konsep inti dalam hukum tata negara dan

hukum administrasi. Dalam hukum tata negara wewenang dideskripsikan

sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Sebagai suatu konsep hukum

publik wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu,

Pengaruh, Dasar Hukum, dan Konfirmasi Hukum. Komponen pengaruh

ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan

perilaku subyek hukum. Komponen dasar hukum bahwa wewenang itu

selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya dan komponen konformitas

hukum mengandung makna adanya standar wewenang yaitu standar umum


41
Miriam Budiardjo, ibid, Hal 64
42
H. Abdul Latif, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, Jakarta 2014, Prenada
Media Grup, Hal 6-7
43

(semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang

tertentu).43

Prinsip utama dalam penyelenggaraan negara hukum adalah

asas legalitas, dimana kewenangan dari pemerintah termasuk KPK dalam

melaksanakan tugas dan kewenanganya didasarkan pada perundangan-

undangan yang berlaku, oleh karena itu pemerintah tidak boleh berbuat

sesuatu selain kewenangan yang telah ditetapkan oleh perundang-

undangan yang ada44

Dalam hukum positif kita temukan istilah wewenang dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang administrasi

pemerintahan yang dirumuskan dalam Bab 5 tentang kewenangan

pemerintahan, diantaranya dalam Pasal 8 :

(1) Setiap keputusan dan/atau Tindakan harus ditetapkan dan/atau

dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang

(2) Badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan

wewenang wajib berdasarkan: Peraturan Perundang-Undangan; dan

AUPB (Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik)

(3) Pejabat Administrasi Pemerintahan dilarang menyalahgunakan

kewenangan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan

dan/atau Tindakan.

43
Philipus M. Hadjon, Tatiek Sri Djatmiati, G.H. Addink, J.B.J.M. Ten Berge, Ibid, Hal 10-11
44
Hakekat Hukum Administrasi Adalah Hukum Yang Berkaitan dengan Wewenang Pemerintah
dan Kontrol Terhadap Penggunaan Wewenang yang Tujuanya Untuk Melindungi Individu Atau
Masyarakat. Abdul Latif, ibid, Hal 2
44

Pasal 9 Undang-Undang Tersebut diatas yaitu:

(1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan wajib berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan dan AUPB (Asas-Asas Umum

Pemerintahan yang Baik)

(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud ayat 1

meliputi peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

kewenangan dan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.

Dalam ketentuan Pasal 1 Ayat 5 dan 6 disebutkan wewenang adalah hak yang

dimiliki oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara

lainnya untuk mengambil Keputusan dan/atau Tindakan pemerintahan.

Kewenangan pemerintahan adalah kekuasaan badan dan/atau pejabat

pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah

hukum publik.45

Apabila merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

maka dapat diketahui bahwa kewenangan dibatasi oleh ketentuan perundang-

undangan, dengan demikian setiap penggunaan wewenang oleh pejabat

pemerintah diluar batas tersebut adalah cacat wewenang atau melanggar

wewenang.

c. Sumber Kewenangan

45
Indonseia.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan. LN Tahun 2014 Nomor 292, LN Nomor 5601
45

Secara teoritis kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-

undangan diperoleh melalui tiga cara yakni, Atribusi, Delegasi, dan Mandat,

Pertama Atribusi diartikan sebagai cara organ pemerintah mendapatkan

wewenang pemerintahan yang ditentukan. Organ dengan kewenangan

membuat peraturan itu menciptakan wewenang pemerintahan baru dan

memberikanya pada organ pemerintah lainnya. Atribusi sebagai pemberian

wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ

pemerintah. Pembuat undang-undang itu ada yang bersifat asli adapula yang

bersifat delegasian

Kedua delegasi, berasal dari bahasa latin delegare yang artinya melimpahkan

yaitu pelimpahan membuat peraturan atau wewenang pemerintahan dan terkait

dengan pertanggungjawaban. Mereka yang mendapat delegasi berwenang atas

nama sendiri dan melaksanakan kekuasaanya sendiri.

Ketiga mandat, wewenang yang diperoleh melalui atribusi maupun delegasi

dapat dimandatkan kepada badan atau pegawai bawahan, apabila pejabat yang

memperoleh wewenang itu tidak sanggup melakukan sendiri.

J.B.J.M Ten Berge dan kawan-kawan mengatakan mandat yaitu bentuk

hukum dimana organ pemerintah memberikan tugas pada seseorang untuk

mengambil keputusan tertentu atas nama dan tanggung jawab organ

pemerintah yang telah memberikan tugas itu. 46

46
H. Nandang Alamsah dan Tim Penulis, Teori dan Praktek Kewenangang Pemerintahan, Unpad
Press, Bandung
46

Pandangan lain tentang cara memperoleh wewenang bahwa dalam

kepustakaan hukum administrasi terdapat dua cara utama untuk memperoleh

wewenang pemerintahan, yaitu atribusi dan delegasi dan kadang-kadang

mandate ditempatkan sebagai cara tersendiri, namun mandat bukan

pelimpahan wewenang seperti delegasi. Rumusan lain mengatakan bahwa

atribusi merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya

kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang

berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pembentukan wewenang dan distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam

UUD. Pembentukan wewenang pemerintahan didasarkan pada wewenang

yang ditetapkan dalam peraturan perundang—undangan.

Dalam hukum positif kita, contoh tentang pembentukan wewenang atribusi

antara lain dalam pasal 4 ayat 1 UUD 1945 yang menegaskan Presiden

Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang

Undang Dasar. Selanjutnya Pasal 25 Undang-Undang Nomor 32 Thun 2004

menyatakan kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang memimpin

penyelenggaraan pemerintahan daerah dst.

Kemudia Pasal 76 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

perlindungan pengelolaan lingkungan hidup menentukan Menteri, Gubernur

atau Bupati/Walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung

jawab usaha…dst.
47

Dalam hukum administrasi Belanda merusmuskan pengertian delegasi dalam

artikel 10.3 Alegemen Wet Bestuursrecht (AWB) diartikan sebagai peyerahan

wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan kepada pihak

lain dan wewenang tersebut menjadi tanggung jawab pihak lain tersebut. Yang

memberi/melimpahkan wewenang disebut delegans dan yang menerima

wewenang disebut delegataris.

Mandat merupakan suatu penugasan kepada bawahan misalnya untuk

membuat keputusan atas nama pejabat yang memberi mandat. Keputusan itu

merupakan keputusan pejabat yang memberi mandat. Dengan demikian

tanggung jawab jabatan tetap pada pemberi mandat. Atas dasar itu penerima

mandat tidak dapat menjadi tergugat dan sengketa Tata Usaha Negara. 47

Dalam hukum positif kita (Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014)

ditemukan istilah Atribusi, Delegasi dan Mandat sebagai cara memperoleh

kewenangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13,

dan Pasal 14.

d. Pembatasan Kewenangan.

Pengaturan kewenangan pemerintahan atau suatu institusi sangat penting agar

tindakan institusi tersebut didasarkan pada kewenangan yang diatur dalam

perundang-undangan. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi

penyimpangan dalam melaksanakan kewenangan melampaui dari kewenangan

yang telah diatur dalam Undang-Undang. Secara normatif kewenangan

dibatasi pada norma hukum dalam Undang-Undang.


47
Philipus M. Hadjon, Tatiek Sri Djatmiati, G.H. Addink, JBJM Ten Berge, ibid, Hal 11-13
48

Ruang lingkup legalits tindakan pemerintah meliputi: wewenang, prosedur,

dan substansi. Wewenang dan substansi merupakan landasan bagi legalitas

formal. Atas dasar legalitas formal lahirlah asas praduga tak bersalah. Tidak

terpenuhinya tiga komponen legalitas tersebut mengakibatkan cacat yuridis

suatu tindakan pemerintahan. Setiap tindakan pemerintah disyaratkan harus

bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga

sumber yaitu: Atribusi, Delegasi, dan Mandat.

Asas umum prosedur bertumpu atas tiga landasan utama hukum administrasi,

yaitu : Asas Negara Hukum, Asas Demokrasi, dan Asas Instrumenal.

Asas Negara Hukum utamanya berkaitan dengan perlindungan hak-hak dasar

misalnya, hak untuk tidak menyerahkan dokumen yang sifatnya privacy.

Asas Demokrasi berkaitan dengan asas keterbukaan dalam penyelenggaraan

pemerintahan.

Asas Intrumenal meliputi asas efesiensi, daya guna dan asas efektifitas/hasil

guna.

Kekuasaan pemerintahan yang berisi wewenang dan dibatasi secara

substansial sebagai contoh : wewenang menetapkan pajak bumi dan bangunan,

secara substansial dibatasi pada luas tanah dan bangunan dan tidak

menyangkut isi rumah tersebut.48

Penggunaan wewenang pemerintahan dalam penyelenggaraan peran dan

fungsi serta tugas pemerintahan perlu dibatasi. Hal ini penting agar dalam

48
Philipus M. Hadjon, Tatiek Sri Djatmiati, G.H. Addink, J.B.J.M Ten Berge, ovcid, Hal 17-19
49

tindakan atau perbuatan pemerintahan yang didasarkan pada wewenang

pemerintahan tidak terjadi suatu tindakan atau perbuatan pemerintahan yang

menyalahgunakan kewenangan dan melanggar hukum (detounement de

pouvoir en onrechmatige overheidsdaad). Menyimpang dari tujuan

diberikanya wewenang ini dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang. Asas

spesialitas dapat diketahui dengan membaca peraturan perundang-undangan

yang menjadi dasar dari kewenangan yang dilaksanakan.

Selanjutnya Aminuddin Ilmar mengemukakan bahwa kepentingan untuk

membatasi wewenang yang diartikan sebagai dasar melakukan tindakan atau

perbuatan pemerintahan tidak lain dimaksudkan untuk mencegah agar

tindakan atau perbuatan pemerintahan tersebut tidak di salahgunakan atau

menympang dari wewenang pemerintahan yang telah diberikan kepadanya49

Pembatasan kewenangan secara yuridis juga diatur dalam Pasal 15

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administarsi Pemerintahan

dalam Ayat 1 menegaskan bahwa wewenang badan dan/atau pejabat

pemerintahan dibatasi oleh: masa atau tenggang waktu wewenang, wilayah

atau daerah berlakunya wewenang, dan cakupan bidang atau materi wewenang
50

Pembatasan kewenangan KPK juga diatur dalam ketentuan Pasal 11

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

49
H. Nandang Alamsah D. dan Tim Penulis, ovcid, Hal 48-49
50
Indonesia. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, LN
Tahun 2014 Nomor 292, TLN Nomor 5601
50

Tindak Pidana Korupsi yang menegaskan bahwa KPK berwenang melakukan

penyelidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :

1) Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain

yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh

apparat penegah hukum atau penyelenggara negara.

2) Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

3) Menyangkut kerugian negara paling sedikiti Rp 1.000.000.000.00 (Satu

Miliar Rupiah)

Dalam penjelasan Undang-Undang tersebut pada Alinea ke-6 menyatakan:

pada saat sekarang pemberantasan tindak pidana korupsi sudah dilaksanakan

oleh berbagai institusi seperti kejaksaan dan kepolisian dan badan-badan lain

yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, oleh karena itu pengaturan

kewenangan KPK dalam undang-undang ini dilakukan secara berhati-hati agar

tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi tersebut51

Hal yang sama juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 11.

2 KORUPSI

a. Korupsi Menurut Para Ahli

Kita semua mengetahui bahwa korupsi sudah terjadi di setiap negara baik

negara itu sudah maju, terutama yang masih terbelakang. Dengan

51
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, LN Tahun 2002 Nomor 137, TLN Nomor
4250, Pasal 11 dan Penjelasan Umum
51

sendirinya Indonesia tidak terkecuali dilanda korupsi. Tetapi kalua negara-

negara yang berkembang seperti Indonesia dilanda wabah korupsi lebih

parah akibatnya, oleh karena dana pembangunan yang jumlahnya terbatas,

apabila dikorup lagi akan langsung menghambat pembangunan. Lain

halnya di negara-negara maju seperti Jepang yang dana pembangunannya

cukup, perbuatan korupsi relatif tidak begitu terasa akibatnya. Itulah

sebabnya di negara-negara maju yang dilanda korupsi pembangunannya

berjalan terus.

Menurut A. S. Hornby cs korupsi adalah penawaran/pemberian dan

penerimaan hadiah-hadiah berupa suap disamping diartikan juga decay

yaitu kebusukan/kerusakan. Yang busuk/rusak ialah moral atau akhlak

yang melakukan korupsi sesuai arti corruptus atau corruption.

Perbuatan-perbuatan terutama perbuatan manipulasi keuangan negara atau

yang merugikan perekonomian umum dapatlah kita namakan material

corruption (korupsi material).

David M. Chalmers menguraikan bentuk korupsi yang lain yaitu political

corruption (korupsi politik), antara lain korupsi pada pemilihan termasuk

memperoleh suara dengan uang, janji-janji tentang jabatan atau hadiah-

hadiah khusus, paksaan, intimidasi, dan campur tangan terhadap

kebebasan pemilih. Korupsi dalam jabatan melibatkan penjualan suara-

suara dalam legislatif, keputusan administratif atau keputusan pengadilan

atau pengangkatan/penunjukan oleh pemerintah.


52

Kesimpulan pengertian korupsi ialah suatu tindak pidana penyuapan dan

perbuatan melawan hukum yang merugikan/dapat merugikan keuangan

atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan atau kepentingan

rakyat52.

Korupsi dalam dunia modern dewasa ini sudah dapat terjadi dengan

bermotif ganda, yaitu kecuali korupsi itu bertujuan memperkaya diri, juga

sekaligus bertujuan untuk kepentingan politik. Contoh : Seorang pejabat

pada saat masih memangku jabatannya berusaha mendapat kesempatan

melakukan korupsi dengan tujuan agar uang yang dikorup itu akan

digunakan juga untuk mempertahankan atau mendapatkan jabatan yang

lebih penting dan sebagainya53

Pengertian korupsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

online adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan

dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. mengorupsi adalah

menyelewengkan atau menggelapkan (uang dan sebagainya)

54

Kata korupsi berasal dari Bahasa latin yaitu corruption atau corruptus.

Corruptio berasal dari kata corrumpere suatu bahasa latin yang lebih tua.

Dari bahasa latin tersebut kemudian dikenal istilah corruption, corrupt

(Inggris), corruption (Perancis), dan corruptive/korruptie (Belanda).

52
Baharuddin Lopa, Masalah Korupsi dan Pemecahannya, PT Kipas Putih Aksara, Jakarta, 1997,
Hal 1-4
53
Baharuddin Lopa, Ovcid Hal 6
54
https://kbbi.web.id/korupsi
53

Corruptus yaitu mengubah dari kondisi yang adil, benar, dan jujur menjadi

kondisi yang sebaliknya.

Corruptio berasal dari kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak,

menggoyahkan, memutar balik, menyogok, orang yang dirusak atau

disuap. Secara harfiah arti kata korupsi adalah kebusukan, keburukan,

kejahatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral dan penyimpangan

dari kesucian.

Pengertian lainnya adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang,

penerimaan uang sogok dan sebagainya.

Menurut Transparency International, korupsi adalah perilaku pejabat

publik, baik politikus maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan

tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengan

dirinya dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang

dipercayakan kepada mereka.55

Korupsi merupakan salah satu masalah paling besar di negara

berkembang dan masalah itu semakin menarik perhatian begitu kita

masuki degade terakhir abad ini. Sewaktu negara miskin terperosok

kedalam kesulitan ekonomi yang semakin dalam, kehancuran ekonomi dan

social yang ditimbulkan oleh korupsi yang makin meluas tak dapat

dihindari. Diseluruh dunia korupsi makin lama makin menjadi biang

keladi dalam pemberontakn rakyat dan kampanye-kampanye pemilihan

umum.

55
Anas Salahudin, Pendidikan Anti Korupsi, CV Pustaka Setia, Bandung, 2018, Hal 32
54

Korupsi ada apabila seseorang secara tidak halal meletakan kepentingan

pribadinya diatas kepentingan rakyat, serta cita-cita yang menurut sumpah

akan dilayaninya. Korupsi itu muncul dalam bentuk-bentuk dan

membentang dari soal sepele sampai soal yang amat besar.

Korupsi dapat menyangkut penyalahgunaan instrument-instrument

kebijakan seperti tarif dan kredit, sistim irigasi dan kebijakan perumahan,

penegakan hukum dan peraturan menyangkut keamanan umum,

pelaksanaan kontrak atau menyangkut prosedur-prosedur. Korupsi dapat

terjadi disektor swasta maupun disektor pemerintah dan sering sekaligus

keduanya.

Perilaku tidak halal berkembang manakala pegawai-pegawai mempunyai

kekuasaan monopoli terhadap klien, apabila para pegawai mempunyai

banyak kewenangan bertindak dan apabila pertanggungjawaban pegawai

terhadap atasan lemah. Unsur-unsur dasar korupsi adalah Korupsi sama

dengan Monopoli ditambah Kewenangan Bertindak kurang

Pertanggungjawaban. Renungkanlah keadaan dimana korupsi

berkembang, monopoli plus wewenang dan tiadanya pertanggunganjawab.

Suatu peraturan yang menciptakan monopoli akan menjadi sarana bagi

korupsi. Tetapi suatu aturan dapat digunakan untuk mengurangi

wewenang dengan demikian mengurangi korupsi misalnya seorang

pegawai pajak tidak diberi wewenang memutuskan pengurangan yang

diperbolehkan. Suatu peraturan dapat juga mempermudah pertanggungan

jawab yang kiranya akan menolong mengurangi korupsi. Dengan


55

demikian peraturan dapat menciptakan atau mengurangi sewa (rente).

Peraturan dapat membatasi atau meningkatkan kewenangan efektif,

peraturan dapat menolong atau menghambat pertanggungan jawab.

Peraturan secara inheren tidaklah baik atau buruk bagi korupsi56

Ciri-ciri korupsi diringkaskan sebagai berikut :

1) Suatu penghianatan terhadap kepercayaan.

2) Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta atau masyarakat

umumnya

3) Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan

khusus.

4) Dilakukan dengan rahasia kecuali dalam keadaan dimana orang-orang

yang berkuasa atau bawahanya menganggapnya tidak perlu

5) Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak

6) Adanya kewajiban dan keuntungan bersama dalam bentuk uang atau

yang lain.

7) Terpusatnya kegiatan korupsi pada mereka yang menghendaki

keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya.

8) Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk

pengesahan hukum.

9) Menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang

melakukan korupsi.

56
Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi (Controlling Corruptio), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
1998, Hal XVIII, XIX,99,117
56

Hal tersebut terakhir itu penting untuk membedakan korupsi dari jenis

tingkah laku jahat lainnnya. Tatkala seorang pejabat disuap untuk mengeluarkan

izin usaha, perbuatan mengeluarkan izin yang sesuai dengan peraturan dan tata

cara pengeluarannya adalah fungsi kedudukannya. Kepentingan pribadinya adalah

uang suap yang didapat melalui pemenuhan fungsi ini. Dia bertindak dalam

kapasitas ganda yang bertentangan dengan satu sama lain.

Dari segi tipologi korupsi dapat dibagi dalam tujuh jenis berlainan masing-masing

adalah:

1) Korupsi Transactive (Transsactive Corruption) adalah menunjukkan

kepada adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak

penerima demi keuntungang kedua belah pihak dan dengan aktif

diusahakan tercapainya keuntungan oleh kedua belah pihak. Korupsi jenis

ini biasanya melibatkan dunia usaha dan pemerintah atau masyarakat dan

pemerintah.

2) Korupsi Yang Memeras (Extortive Corruption) adalah jenis yang memeras

yaitu jenis korupsi dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna

mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentinganya atau

orang-orang dan hal-hal yang dihargainya.

3) Korupsi Investif (Investive Corruption) adalah pemberian barang atau jasa

tampa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain

keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh dimasa yang akan datang.

4) Korupsi Perkerabatan ( Nepotistie Corruption) adalah nepotisme

penunjukkan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk
57

memegang jabatan dalam pemerintahan atau tindakan yang memberi

perlakuan yang mengutamakan dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain

kepada mereka secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang

berlaku.

5) Korupsi Defensif ( Defensive Corruption) adalah perilaku kembar korupsi

dengan pemerasan dan korupsinya dalam rangka mempertahan diri.

Penyuapan defensive seperti tatkala para petani Rusia pada abad ke-18 dan

19 menyuap para pejabat untuk melindungi kepentingan mereka. Jenis

korupsi yang mengandung nilai positif adalah korupsi defensif, namun

orang tidak boleh dengan serta merta mengklasifikasi hanya sebagai

benar-benar korupsi, karena korban pemerasan tidak bertanggung jawab

untuk pemerasan itu dan karena korban tidak bersalah melakukan

pelanggaran sama sekali. Korban pencurian tidak melakukan pencurian.

Maka dapat disimpulkan bahwa korban korupsi bukan korupsi.

6) Korupsi Otogenik (Autogenic Corruption) adalah suatu bentuk korupsi

yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang saja.

Contoh yang diberikan oleh Brooks seorang anggota dewan perwakilan

(legislator) yang mendukung berlakunya sebuah undang-undang tanpa

menghiraukan akibatnya dan kemudian memtik keuntungan finansial

daripadanya, misalnya ketiak suatu Kawasan dinyatakan sebagai wilayah

pembangunan, maka pengetahuan yang lebih dahulu diperoleh anggota

dewan memungkinkan membisikan kepada teman-temannya diluar agar


58

membeli tanah di kawasan tersebut, karena niscaya akan naik pada waktu

keputusan akan dinaikkan.

7) Korupsi Dukungan (Supportive Corruption) adalah korupsi jenis ini tidak

secara langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalam bentuk

lain. Tindakan yang dilakukan adalah untuk melindungi dan memperkuat

korupsi yang sudah ada intrik dan kasak kusuk para pembesar didalam

mesin politik. Amerika Serikat merupakan contoh yang tepat seperti

misalnya pejabat untuk mengusir para pemilik yang jujur dari tempat

pemungutan suara, dibiarkan terjadinya huru-hara oleh para wali kota atau

gubernur karena takut kehilangan suara dalam pemilihan, menghambat

pejabat yang jujur dan cakap agar tidak menduduki posisi strategis dan

bahkan dari keinginan untuk menegakkan pemerintahan yang bersih

sebagai taktik dalam pemilihan umum sehingga khalayak lepas dari

pengaruh mereka.

Mustafa Ibn Abdullah (1609-1657) seorang cendikiawan Turki,

mengelompokan penyuapan kedalam tiga jenis, dalam rangka penilaian

bolrh tidaknya menurut moral, yaitu :

1) Penyuapan yang tiap pemberi maupun pihak penerima secara moral

bersalah, misalnya penyuapan terhadap hakaim agar mendapat vonis

yang menguntungkan.

2) Penyuapan yang boleh diberikan tetapi tidak boleh diterima, ini

adalah korupsi defensif, bila seorang penguasa yang kejam

menginginkan hak milik seseorang, tidak berdosalah memberikan


59

kepada penguasa tersebut Sebagian dari hart aitu untuk

menyelamatkan harta selebihnya

3) Penyuapan yang pihak pemberinya salah sedangkan tiap penerima

tidak bersalah, ini adalah korupsi investik yang direncanakan pihak

pemberi dengan tujuan untuk korup.57

Pendapat Mustafa Ibn Abdullah tentang jenis penyuapan pada huruf

A sama dengan penyuapan yang diatur dalam Pasal 419 KUHP yang

telah diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu dalam Pasal 5 Ayat 1 dan

Ayat 2 serta Pasal 12 Huruf a, b, dan c.

Mengenai jenis penyuapan pada huruf B diatas sama dengan

penyuapan yang diatur dalam Pasal 418 yang telah diadopsi dalam

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu dalam

Pasal 11 dan Pasal 13.

Pendapat lain tentang korupsi politik adalah tindakan melawan

hukum dan moral karena menyalahgunakan kekuasaan dan

kewenangan yang dimiliki seseorang untuk kepentingan dirinya,

kelompok atau pihak-pihak lain untuk saling mencari keuntungan

secara ekonomi maupun politik. Karena pelakunya adalah pejabat

publik maka perilakunya disebut sebagai korupsi politik (political

corruption).

57
S.H. Alatas, Korupsi, Sifat, Sebab, dan Fungsi, LP3ES, Jakarta, 1987, hlm VIII, IX, X, XI, XII
60

Menurut Artidjo Alkostra ada perbedaan antara korupsi politik dan

korupsi pemilu. Korupsi politik memberi perhatian kepada pencarian

yang tidak sah atau penyalahgunaan jabatan pemerintah, sedangkan

korupsi pemilu meliputi pembelian suara pemilih dengan uang,

menjanjikan jabataban atau kemudahaan fasilitas, hadiah khusus,

paksaan, intimidasi dan campur tangan pada pemilu yang bebas.58

Arbi Sarnit dalam Madat Korupsi Politik, menjelaskan bahwa klaim

korupsi politik bukan hanya menyalahgunakan otoritas publik oleh

agen dan prinsipalnya yang politisi dan penguasa jabatan publik,

melainkan juga karena secara praktis pertukaran koruptif itu

menyalahgunakan kekuasaan lembaga politik dan pemerintahan.

Koruptor politisi dan penguasa jabatan publik mengemasnya dengan

motif kebutuhan perjuangan kekuasaan. Karena itu korupsi politik

berwujud dalam bentuk korupsi kepartaian, korupsi pemilihan umum,

korupsi parlemen, korupsi pemerintah, korupsi politik peradilan dan

korupsi biroktasi pemerintahan. Lebih jauh korupsi berumah di

lembaga politik dan pemerintahan terlanggengkan melalui repetisi dan

tersebar kesegala penjuru dengn cara transformasi.59

Menurut Benveniste korupsi didefinisikan menjadi empat jenis

yaitu sebagai berikut :

58
Agus Riwanto, Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi, Setara Press, Jawa Timur, 2018, hlm
21-22
59
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Arah Pembangunan Hukum Nasional, Program
Penerbitan Buku Diseminasi KHN, Jakarta, 2012, hlm 108
61

1) Discretionery Corruption ialah korupsi yang dilakukan karena

adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun

nampaknya bersifat sah, bukanlah praktik yang dapat diterima oleh

para anggota organisasi. Contoh seorang pelayanan berizinan

tenaga kerja asing memberikan pelayanan yang lebih cepat kepada

calo atau orang yang bersedia membayar lebih, ketimbang para

pemohon yang biasa-biasa saja.

2) Illegal Corruption ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud

mengacaukan Bahasa atau maksdud-maksud hukum, peraturan dan

regulasi tertentu. Contoh didalam peraturan lelang dinyatakan

bahwa untuk pengadaan barang jenis tertentu harus melalui proses

pelelangan atau tender. Karena waktunya mendesak (turunnya

anggaran terlambat) maka proses tender itu tidak dimungkinkan.

Untuk itu pimpinan proyek mencari dasar hukum mana yang bisa

mendukung atau memperkuat pelaksanaan pelelangan, seperti

menggunakan pasal tentang keadaan darurat atau force mayeur

3) Mercenery Corruption ialah jenis korupsi yang dimaksud untuk

memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan

wewenang dan kekuasaan.

4) Ideological Corruption adalah jenis korupsi illegal maupun

discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.


62

Contoh penjualan asset BUMN untuk mendukung pemenangan

pemilihan umum dari partai politik tertentu.60

b. Penyebab Terjadinya Korupsi

Pada dasarnya korupsi merupakan sebuah fenomena sosilogis yang memiliki

implikasi ekonomi dan politik yang berkaitan dengan beberapa teori-teori berikut :

1) Teori Means-ends Scheme dipelopori oleh Robert Merton.

Teori ini menyatakan bahwa kprupsi merupakan perilaku manusia yang

diakibatkan tekanan sosial sehingga menyebabkan pelanggaran norma. Cara-cara

kotor atau menyimpang dari norma masyarakat terpaksa dilakukan demi

menyambung kehidupan atau melawan ketidakadilan yang menimpa mereka.

Pada prinsipnya teori Merton ini ditujukan untuk menjawab cara kebudayaan yang

terlalu menekankan sukses ekonomi, tapi membatasi kesempatan untuk

mencapainya yang akan menyebabkan tingkat korupsi yang tinggi.

2) Teori Solidaritas Sosial.

Teori ini dikembangkan oleh Emile Durkheim yang memandang bahwa

watak manusia sebenarnya bersifat pasif dan dikendalikan oleh masyarakatnya.

Menurut pandangan teori ini masyarakat mempunyai pengaruh yang lebih besar

dalam membentuk perilaku individu dari pada lingkungannya. Individu secara

moral bersifat netral, tapi masyarakatlah yang menciptakan kepribadiannya. Ia

juga mengontrol individu melalui fakta social yang dipelajarainya melalui

pendidikan dan lingkungan serta nilai masyarakat yang mengendalikan mereka.

60
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm 20-21
63

3) Teori Gome

Teori ini dihadirkan oleh Jack Bologne. Ilustrasi Gone Theory berkaitan

dengan factor-faktor yang menyebabkan terjadinya kecurangan atau korupsi yang

meliputi Greeds (keserakahan), Opportunities (kesempatan), Needs (kebutuhan),

dan Exposure (pengungkapan). Greed berkaitan dengan keserakahan para korupsi

yang tidak puas akan keadaan dirinya. Opportunities peluang untuk melakukan

korupsi diperluas dari keadaan organisasi atau masyarakat, sehingga membuka

kesempatan untuk melakukan kecurangan. Needs sikap mental yang tidak pernah

merasa cukup dan kebutuhan yang tidak pernah terpuaskan. Exposure hukuman

yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi tidak memberikan efek jera pelaku harta

orang lain.

Dalam buku Peran Parlemen Dalam Membasmi Korupsi (ICW:2000),

mengindentifikasi empat faktor penyebab korupsi yaitu :

1). Politik

Politik merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dilihat Ketika

terjadi instabilitas politik, kepentingan politis para pemegang kekuasaan, bahkan

ketiak meraih dan mempertahan kekuasaan, perilaku korup seperti penyuapan dan,

politik uang (money politik). Politik uang pada pemilihan anggota legislative atau

pejabat eksekutif, dana illegal untuk pembiayaan kampanye.

2) Hukum

Penyebab keadaan ini sangat beragam tapi yang dominan adalah, Pertama, tawar

menawar dan pertarungan kepentingan antara kelompok dan golongan di


64

parlemen sehingga memunculkan aturan yang bias dan diskriminatif. Kedua,

praktik politik uang dalam pembuatan hukum berupa suap menyuap, terutama

menyangkut perundang-undangan dalm bidang ekonomi dan bisnis. Akibatnya

timbul peraturan yang elastis dan multi tafsir serta tumpeng tindih dengan aturan

lain sehingga mudah dimanfaatkan untuk menyelamatkan pihak-pihak pemesan.

Tidak baiknya substansi hukum dengan mudah dapat ditemukan dalam aturan-

aturan yang diskriminatif, tidak adil ,dan tidak jelas dan tegas, sehingga multi

tafsir, kontradiksi dan overlapping denga peraturan lain, baik yang sederajat

maupun yang lebih tinggi.

3) Ekonomi

Faktor ini sebagai salah satu penyebab terjadinya korupsi dapat dijelaskan dari

pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi kebutuhan. Pendapat ini tidak mutlak

benar karena dalam teori kebutuhan Maslow, korupsi seharusnya hanya dilakukan

orang untuk memenuhi kebutuhan yang dilakukan oleh masyarakat yang kurang

mampu, namun saat ini korupsi dilakukan orang kaya dan berpendidikan tinggi.

4) Organisasi

Organisasi yang menjadi korban korupsi atau tempat korupsi memberi andil

terjadinya korupsi karena membuka peluang atau kesempatan untuk korupsi.

Penyebab terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi ini meliputi : kurang

adanya teladan dari pimpinan, tidak adanya kultur organisasi yang benar, system
65

akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai dan manajemen cenderung

menutupi korupsi dalam organisasinya.61

Menurut Ilham Gunawan, ada tiga faktor penyebab terjadinya korupsi di

Indonesia, yaitu sebagai berikut :

1) Faktor politik atau yang berkaitan dengan kekuasaan. Hal ini sesuai dengan

rumusan penyelewenagn penggunaan uang negara yang dipopulerkan oleh

Lord Acton yang menyatakan kekuasaan cenderung korupsi dan kekuasaan

yang absolut menyebabkan korupsi secara absolut.

2) Faktor Yuridis atau yang berkaitan dengan hukum seperti lemahnya sanksi

hukuman, aspek pertama adalah peranan hakim dalam menjatuhkan putusan

dimana hakim dapat keliru. Aspek kedua adalah sanksi yang lemah

berdasarkan bunyi pasal-pasal peraturan tindak pidana korupsi.

3) Faktor Budaya, karena korupsi merupakan peninggalan pandangan feodal

yang kemudian menimbulkan benturan kesetian antara kewajiban terhadap

keluarga dan kewajiban terhadap negara.

Secara sosiologis ada tiga jenis korupsi :

1) Korupsi Karena Kebutuhan.

Bagi karyawan dan pegawai rendahan pada umumnya korupsi yang mereka

lakukan karena kebutuhan.

2) Korupsi Untuk Memperkaya Diri.

61
Anas Salahudin, Pendidikan Anti Korupsi, Pustaka Setia, Bandung, 2018, hlm 66-71
66

Biasanya dilakukan oleh golongan pejabat eselon, didorong oleh sikap

serakah, melakukan mark-up terhadap pengadaan barang kantor dan melakukan

berbagai pungli. Penyebabnya karena gengsi, haus pujian dan kehormatan.

3) Korupsi Karena Ada Peluang.

Pejabat atau Sebagian anggota masyarakat ketiga mereka diberi peluang akan

meemanfaatkan keadaan tersebut karena penyelenggara negara khususnya

pelayanan public yang terlalu birokratis, manajemen yang amburadul dan pejabat

yang tidak bermoral62

Pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ada kata

pemberantasan, seakan-akan dengan undang-undang itu korupsi dapat diberantas,

padahal terbukti dalam sejarah tuntutan pidana atau pemidanaan tidak akan

memberantas kejahatan. Seperti telah diuraikan oleh Thomas Moore (1478/1535),

dalam 25 tahun ada 72.000 pencuri digantung di daerah yang penduduknya tiga

sampai empat juta orang saja, tetapi kejahatan terus saja merajalela. Menurut

Moore, dengan kekerasan saja tidak akan dibendung kejahatan.Untuk

memberanras kejahatan harus dicari sebabnya dan mernghapuskannya. Dengan

demikian, kejahatan seperti korupsi pun tidak akan terberantas atau berkurang

kecuali kalua kita dapat menemukan sebabnya, kemudian sebab itu dihapuskan

atau dikurangi. Tentang sebab orang melakukan korupsi di Indonesia, pelbagai

pendapat telah dilontarkan, ditambah dengan pengalaman selama ini membuat

asumsi atau hipotetis sebagai berikut:

62
Marwan Mas, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Ghalia Indonesia, Bogor, 2014, hal 11-12
67

1) Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandiingkan dengan

kebutuhan yang makin hari makin meningkat.

2). Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau

sebab meluasnya korupsi.

3) Manajemen yang kurang baik dan control yang kurang efektif dan efisien.

4) Modernisasi, menurut Huntingtong penyebab modernisasi

mengembangbiakkan korupsi sebagai berikut :

a) Modernisasi juga ikut mengembangkan korupsi karena modernisasi

membuka sumber kekayaan dan kekuasaan baru.

.b). Modernisasi merangsang korupsi karena perubahan yang diakibatkan

dalam kegiatan sistim politik63

Dengan dikeluarkannya beberapa kali perundang-undangan tindak pidana korupsi

sejak massa pemerintahan Presiden Soeakrno dan sampai saat ini, baik berupa

penggantian perundang-undangan maupun perubahan undang-undang tindak

pidana korupsi, ternyata korupsi bahkan semakin bertambah meluas dan sitematis

baik di Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Hal ini membuktikan bahwa

pemberantasan tindak pidana korupsi tidak dapat dilakukan hanya menggunakan

undang-undnag korupsi tetapi juga harus bisa ditemukan faktor-faktor penyebab

terjadinya korupsi untuk kemudian dihilangkan.

c.Korupsi Dalam Perspektif Perundang-Undangan

63
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, Hal 10, 11, 13-
21
68

Sejarah perkembangan pengaturan tindak pidana korupsi di Indonesia cukup

panjang, dimulai dengan berlakunya Wetboek van Strafrecht (kitab undang-

undang hukum pidana) yang diperlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918 pada masa

pemerintah Hindia Belanda. Dalam KUHP yang berhubungan dengan pidana

korupsi yaitu pada bab XXVIII, tentang kejahatan jabatan yaitu pada Pasal 415

(pejabat yang menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena

jabatannya) Pasal 416 (pejabat yang membuat pemalsuan data untuk pemeriksaan

administrasi) Pasal 418, 419, 420 (pejabat/hakim yang menerima hadiah atau

janji), Pasal 423, 425 dan 435 (pejabat yang menguntungkan diri sendiri atau

orang lain secara melawan hukum) serta BAB VIII tentang kejahatan terhadap

penguasa umum yaitu Pasal 209 dan 210 KUHP (pihak yang memberi atau

menjanjikan sesuatu kepada pejabat).

Merajalelanya korupsi di Indonesia sekitar tahun 1957-1958, dikaitkan dengan

ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi dalam KUHP ternyata kurang efektif

dalam menanggulangi korupsi, sehingga lahirlah peraturan penguasa militer

mengenai korupsi yaitu tanggal 9 April 1957 Nomor Prt/PM/06/1957 tentang

Pemberantasan Korupsi, dimana dalam konsiderans menyatakan bahwa

berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan

yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai

dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata cara kerja untuk dapat

menerobos kemacetan dalam usaha-usaha memberantas korupsi, selanjutnya

tanggal 27 Mei 1957 Nomor Prt/PM-08/1957 tentang Penilikan terhadap Harta

Benda dan Tanggal 1 Juli 1957 Nomor Prt/PM-011/1957 tentang Penyitaan dan
69

Perampasan Barang-Barang. Untuk menggantikan peraturan tersebut diatas terbit

peraturan penguasa perang pusat No. Prt/Peperpu/013/1958 Tanggal 16 April

1958, dalam konsiderans menimbang huruf d menegaskan bahwa usaha

pemberantasan korupsi yang diatur dalam peraturan tersebut diatas, sesungguhnya

mempunyai manfaat baik terhadap kesejahteraan rakyat dan negara dan oleh

karena itu sudah sewajarnya usaha pemberantasan korupsi dilanjutkan.

Bahwa peraturan penguasa perang pusat tersebut diatas bersifat darurat dan

temporer yang berlandaskan Undang Undang keadaan bahaya yaitu Undang-

Undang Nomor 74 Tahun 1957. Peraturan tersebut diatas diperlakukan pula pada

wilayah hukum Angkatan Laut dengan Surat keputusan Kepala Staf Angkatan

Laut Nomor Z/1/1/7, tanggal 17 April 1958. Dalam ketentuan tersebut yang

dimaksud dengan perbuatan korupsi pidana yaitu:

a. Unsur-unsurnya, melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran, memperkaya diri

sendiri, atau orang lain, atau satu badan yang secara langsung atau tidak langsung,

merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah, atau merugikan suatu

badan yang menerima bantuan dari keuangan negara.

b. Unsur-unsurnya, melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran, memperkaya

diri sendiri, atau orang lain, atau suatu badan, dilakukan dengan

menyalahgunakan kejahatan atau kedudukan.

c. Kejahatan dalam Pasal 41 sampai 50 peraturan ini dan Pasal 209, 210, 418, 419

dan 420 KUHP.


70

Sebagai pengganti dari peraturan tersebut diatas, kemudian lahirlah

Undang-Undang Nomor 24 (PRP) Tahun 1960 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, dimana perumusan tindak pidana korupsi yang

ada dalam peraturan penguasa perang pusat tersebut diambil alih

sepenuhnya oleh Undang-Undang Nomor 24 (PRP) Tahun 1960 dengan

sedikit perubahan yaitu pada sub C ditambah dengan Pasal 415, 416, 417,

423, 425, 435 KUHP.

Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang Tindak Pemberantasan

Korupsi kemudian mencabut Undang-Undang Nomor 24 (PRP) Tahun

1960. Terdapat dua alasan mengapa Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dibentuk. Pertama,

perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan/perekonomian negara dan

menghambat pembangunan nasional. Kedua, Undang-Undang Nomor 24

PRP Tahun 1960 perlu diganti berhubung dengan perkembangan

masyarakat kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil yang

diharapkan. Bila dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1971 terdapat beberapa perbedaan mendasar antara lain terutama dalam

ketentuan Pasal 1 UU Nomor 24 PRP Tahun 1960 terdapat kata “kejahatan

atau pelanggaran” sebelum frase memperkaya diri sendiri atau orang lain,

sedangkan dalam UU No. 3 tahun 1971 kata tersebut dihilangkan dan

diganti dengan kata “melawan hukum”, kemudian ada tambahan Pasal 387

dan Pasal 388 KUHP yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat 1 Huruf c.
71

Dalam konsiderans menimbang huruf a undang-undang tersebut menegaskan

bahwa perbuatan-perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan/perekonomian

negara dan menghambat pembangunan nasional.64 Pengertian umum tentang

tindak pidana korupsi ialah suatu tindak pidana penyuapan dan perbuatan

melawan hukum yang merugikan/dapat merugikan keuangan atau perekonomian

negara, merugikan kesejahteraan, atau kepentingan rakyat. Perbuatan yang

merugikan keuangan atau perekonomian negara adalah korupsi dibidang materiil.

Bahwa Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 hanya mengutamakan masalah

“material corruption” seperti hal nya peraturan-peraturan pemberantasan korupsi

sebelumnya antara lain Undang_Undang No.24 (PRP) Tahun 1960.65

Dengan terbentuknya kabinet Habibie pada tahun 1998, dicanangkan untuk

mempercepat penciptaan undang-undang, dimana undang-undang yang

diutamakan anatara lain, perubahan atau penggantian undang-undang Nomor 3

tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Rupanya anggapan bahwa yang kurang sempurna sehingga terjadi banyak korupsi

ialah undang-undangnya, padahal “orangnya dan sistemnya”.

Dalam pembahasan di Pansus DPR ditambahkan tentang pidana mati khusus

untuk delik yang tercantum dalam Pasal 2 dalam keadaan “tertentu” yang

kemudian dijelaskan apa yang dimaksud dengan keadaan tertentu itu, seperti

bencana alam nasional, keadaan bahaya, krisis moneter, dan ekonomi. Selain itu

64
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005. Hal 39-43.
65
Baharuddin Lopa, Op. Cit, Hal 4 dan 6.
72

ditambahkan pula tentang akan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi

dalam waktu 2 tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.66

Pada tanggal 16 Agustus 1999 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggantikan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1971. Selanjutnya pada tanggal 21 November 2001

diundangkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

Selanjutnya akan diuraikan pengertian korupsi menurut hukum positif Indonesia.

Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang- Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam Bab I

ketentuan umum pada Pasal 1 tidak dijelaskan pengertian korupsi melainkan yang

dijelaskan, yaitu :

1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi

baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

2. Pegawai negeri adalah meliputi :

a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang

tentang Kepegawaian;

b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-

undang Hukum Pidana;

66
Andi Hamzah, Op. Cit. Hal 74-75
73

c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau

daerah;

d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang

menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah ; atau

e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang

mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

Pengertian tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan

negara dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-undang nomor 20

tahun 2001 sebagai berikut :

Pasal 2 ayat 1 bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan

perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang

dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan

pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun

dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.

200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00

(satu miliar rupiah).

Pasal 2 ayat 2 bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Pasal 3 bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau

sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
74

keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara

seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20

(dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh

juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliyar rupiah).

Pasal 4 bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian

negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

Penjelasan undang-undang nomor 31 tahun 1999 yaitu :

Pasal 2 ayat 1 bahwa yang dimaksud dengan "secara melawan hukum" dalam

Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam

arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan

perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena

tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam

masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata

"dapat" sebelum frasa "merugikan keuangan negara atau perekonomian negara"

menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formal, yaitu adanya

tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang

sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

Pasal 2 ayat 2 bahwa yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan

ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila

tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai

dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional,
75

sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam

keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Pasal 3 bahwa kata dapat dalam ketentuan ini diartikan sama dengan Pasal 4

bahwa dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 dan Pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka

pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan

pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian keuangan

negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang

meringankan.67

Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya nomor

003/PUU-IV/2006 tanggal 26 Juli 2006 telah memutuskan bahwa penjelasan

Pasal 2 ayat 1 undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-undang nomor 20

tahun 2001, sepanjang frasa yang berbunyi “yang dimaksud dengan secara

melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti

formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur

dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap

tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan

sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana tidak

67
Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 L.N Tahun 1999 Nomor 140,
T.L.N Nomor 3874 dan L.N Tahun 2001 Nomor 134, T.L.N 4150.
76

mempunyai kekuatan hukum mengikat” karena bertentangan dengan undang-

undang dasar tahun 1945.68

Sedangkan unsur dapat merugikan negara, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

25/PUU|XIV/2016

Menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Penberantasan

Tindak Pindana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001

Nomor 134, Tanbahan Lembrana Negara Republik Indonesia Nomor 4150)

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat69.

Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan suap menyuap yaitu :

Pasal 5 ayat 1 bahwa dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)

tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua

ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau

penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau

68
Guse Prayudi, Tindak Pidana Korupsi Dipandang Dalam Berbagai Aspek, Pustaka Pena :
Jakarta, 2010 hal 44 – 45.
69
https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/25_PUU-XIV_2016 diakses pada 17
April 2023
77

penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu

dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan

kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Pasal 5 ayat 2 bahwa bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang

menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau

huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1).

Pasal 6 ayat 1 bahwa dipidana dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan

paling lama 15 (lima belas) tahun danpidana denda paling sedikit Rp

150.000.000,00 (seratus liam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp

750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk

mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk

diadili; atau

b. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat

untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk

mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung

dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.


78

Pasal 6 ayat 2 bahwa bagi hakim yang menerima pemberian pemberian atau janji

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima

pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana

dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 12 bahwa pidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara

paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana

denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);

a. Pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang menerima hadiah atau

janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji

tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak

melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan

kewajibannya;

b. Pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang menerima hadiah,

padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan

sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak

melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan

kewajibannya;

c. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut

diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi

putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.

d. Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan,


79

menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa

hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau

pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang

diserahkan kepada pegadilan untuk diadili;

Pasal 11 bahwa dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan

paling lama 5 (lima) tahun dana tau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00

(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima

puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negarayang menerima

hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau

janjitersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan

dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah

atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Pasal 13 bahwa setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai

negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan

atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada

jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3

(tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh

juta rupiah).

Pasal 12 B ayat 1 bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau

penyelenggaran negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan

jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan

ketentuan sebagai berikut :


80

a. yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,

pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap

dilakukan oleh penerima gratifikasi;

b. yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),

pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut

umum.

Pasal 12 B ayat 2 bahwa pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau

pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)

tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)

dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 12 C ayat (1) sampai dengan ayat (4) bahwa :

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku,

jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib

dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari

kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga

puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan

gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara. Ketentuan

mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam


81

ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.70

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 belum dikenal

gratifikasi, gratifikasi baru dikenal dalam Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001. Dalam penjelasan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 gratifikasi diartikan sebagai pemberian dalam arti luas yakni

meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa

bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,

pengobatan cuma cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang

diterima didalam negeri maupun diluar negeri dan yang dilakukan dengan

menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Seluruh pemberian tersebut dapat dikategorikan sebagai gratifikasi,

apabila ada hubungan kerja atau kedinasan antara pemberi dan dengan

pejabat yang menerima, dan atau semata mata karena keterikatan dengan

jabatan atau kedudukan pejabat tersebut.71

Gratifikasi merupakan salah satu bentuk korupsi yang selama ini

banyak dipraktekkan dalam birokrasi oleh pegawai negeri dan

penyelenggara negara, tetapi belum banyak tersentuh hukum. Padahal

dalam realitasnya, banyak mempengaruhi sikap pegawai negeri dan

penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.

Pengertian gratifikasi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang

70
Indonesia, Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, L.N Tahun 1999 Nomor
140, T.L.N Nomor 3874 dan L.N tahun 2001 Nomor 134, T.L.N Nomor 4150,
71
Guse Prayudi, Op. Cit hal. 104 - 105
82

disusun oleh W.Y.S adalah uang hadiah kepada pegawai diluar gaji yang

telah ditentukan.

Salah satu kebiasaan yang acapkali terjadi dalam kehidupan

masyarakat adalah pemberian tanda terima kasih atau hadiah atau

cenderamata atas jasa yang telah diberikan oleh seseorang, baik dalam

bentuk barang atau uang. Dalam realitasnya pemberian tanda terima kasih

sudah jadi kebiasaan dan dianggap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang

wajar. Tapi dalam rangka menciptakan pemerintahan yang bersih dan

berwibawa, pembuat undang-undang memandangnya sebagai sesuatu yang

bersifat negatif, lantaran berpotensi menimbulkan terjadinya korupsi yang

diawali dengan pengabaian terhadap tugas dan kewajibannya. Potensi

korupsi inilah yang sesungguhnya ingin dicegah, terutama jika pemberian

itu patut diduga berkaitan dengan jabatan atau kewenangan yang

dimiliki.72

Dalam praktek penegakan hukum tindak pidana korupsi pada

umumnya yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang

menimbulkan kerugian negara dan tindak pidana korupsi suap

sebagaimana telah diuraikan diatas, sedangkan tindak pidana korupsi

lainnya, tidak diuraikan dalm penelitian ini, yaitu yang berkaitan dengan

penggelapan dalam jabatan yang diatur dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10a,

b, dan c, dan korupsi yang terkait dengan perbuatan pemerasan yang diatur

Pasal 12 huruf e, g, dan f serta korupsi yang terkait dengan perbuatan

72
Marwan Mas, Op. Cit, hal 76
83

curang yang diatur dalam Pasal 7 Ayat 1a, b, c, dan d, Pasal 7 Ayat 2,

Pasal 12h.
84

BAB III.

METODOLOGI PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang

mengkaji peraturan perundang-undangan.73 Sebagai peneltian normatif

maka yang dikaji dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Dasar 1945,

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undnag-

Undang Nomor 30 Tahun 2002 juncto Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

Undang0Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa

Keuangan, KUHP dan KUHAP.

Penelitian hukum normatif bisa juga disebut sebagai penelitian

doctrinal, pada penelitian ini hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis

dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum yang

dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan

berperilaku, namun hukum juga dapat dikonsepsikan sebagai apa yang ada

dalam Tindakan (law in action). Law in book adalah hukum yang

seharusnya berjalan sesuai harapan, sering berbeda dengan hukum dalam

kenyataan.74 Dalam penelitian ini hukum yang diharapkan (das sollen)

adalah norma atau kaidah yang ada pada Undang-Undang Pembernatasan

73
Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2020, hlm 295
74
Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, ibid, hlm 124
85

Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undnag Komisi Pemberntasan Korupsi,

sedangkan pelaksanaan dalam penegakan hukum korupsi suap (das sollen),

terdapat permasalahan apabila terjadi ketidakperpaduan antara harapan dan

kenyataan.

2. Pendekatan Penelitian

Dalam kaitannya penelitian normatof dapat dipergunakan beberapa

pendekatan yaitu:

Pertama, pendekatan perundang-undangan (statute approach), suatu

penelitian normative tentunya harus menggunakan pendekatan perundang-

undangan karena yang akan diteliti berbagai aturan hukum yang menjadi

fokus dan tema sentral penelitian. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah

bagaimana dengan penelitian normative yang mengarahakan refelksinya

pada adanya kekosongan hukum positif atau adanya pengaturan norma yang

kabur dalam hukum positif.75 Penelitian hukum normative ini, akan meneliti

norma hukum yang kabur dan adanya kekosongan dalam Undang-Undnag

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang KPK, berkaitan

dengan korupsi suap dan kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi

suap.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

undang-undang, dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang

berkaitang dengan isu hukum yang sedang ditangani, untuk mempelajari

adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan

75
Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, ibid, hlm 131-132
86

undang-undang lainnya atau dengan Undang-Undang Dasar untuk

memecahkan isu yang dihadapi, peneliti perlu mencari ratio legis dan dasar

antologis lahirnya undang-undang tersebut, untuk menangkap kandungan

filosofi yang ada dibelakang undang-undang itu.76

Pendekatan perundang-undangan ini, meneliti mengenai pokok-pokok

pikiran yang menjadi latar belakang pembuatan peraturan perundang-

undangan serta tujuan dari pembentukan Undang-Undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang KPK.

Kedua, pendekatan analitis (analytical approach) maksud utama

mengadakan analisis terhadap bahan hukum adalah melakukan pemeriksaan

secara konsepsional atas makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang

digunakan dalam aturan perundang-undangan serta bagaimana

penerapannya dalam praktik.77 Penerapan analisis hukum secara normatif

yaitu terhadap kebijakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi dan

kewenangan KPK dalam penegakan hukum korupsi suap dan ketentuan

tindak pidana korupsi suap dan gratifikasi dalam undang-undang

pemberantasan tindak pidana korupsi dan undang-undang KPK.

Ketiga, pendekatan kasus (case approach), pendekatan kasus dalam

penelitian normative tujuannya dalah untuk mempelajari bagaimana

penerapan norma-norma hukum dilakukan dalam praktek hukum, kasus-

76
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenadamedia Group, 2016, Hal 133-134.
77
Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, ibid, hlm 138
87

kasus yang telah diputus terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus

penelitian adalah bermakna empiris.78

Melakukan penelitian terhadap kasus korupsi suap melalui OTT oleh

KPK dan putusan pengadilan yang terkait dengan isu hukum dalam rumusan

masalah.

3. Sumber Bahan Hukum Penelitian

Sumber bahan humum pada penelitian inii adalah sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, adalah bahan hukum yang berbentuk norma

hukum sehingga mempunyai sifat mengikat yaitu peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang diteliti

seperti:

(1) Undang-Undang Dasar 1945

(2) Ketetapan MPR nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggara

negara yang bersih dan bebas KKN

(3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembernatasan Tindak Pidana Korupsi

(4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dan Undang-Undang

Nomro 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantsan Tindak Pidana

Korupsi

78
Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, opcid, hlm 145
88

(5) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan

Negara

(6) KUHP dan KUHAP.

b. Bahan hukum sekunder, seperti buku-buku, dokumen yang dikeluarkan

oleh Lembaga yang berwenang seperti KPK, jurnal atau karya ilmiah

yang berkaitan dengan obyek penelitian

c. Bahan Hukum tersier, sebagai bahan penunjang terhadap bahan hukum

primer dan bahan hukum sekudner seperti kamus Bahasa Indonesia,

kamus hukum, surat kabar, majalah, serta bahan melalui teknologi

informasi.

4. Teknik pengumpulan bahan hukum

Penelitian ini dimulai dengan pengumpulan bahan hukum yang relevan

dengan penelitian berupa bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder. Bahan hukum primer mencakup semua peraturan perundang-

undnagan terkait dengan tindak pidana korupsi keuangan negara dan

korupsi suap serta kewenangan KPK dalam pembernatsan korupsi suap.

Adapun bahan sekunder meliputi beberapa buku yang berkaitan dengan

korupsi dan KPK, jurnal, artikel ilmiah, laporan tahunan KPK.

5. Analisis bahan hukum, sebagai penelitian normative maka bahan

hukum yang bersifat normative yang telah dikumpulkan diolah dan


89

dianalisis untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam

rumusan masalah, dengan tahapan sebagai berikut:

a. mengidentifikasi fakta hukum yang relevan dengan isu hukum

b. melakukan kajian atas bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder untuk menjawab isu hukum dalam rumusan masalah

c. menarik kesimpulan atas jawaban pertanyaan dalam rumusan

masalah, sebagai isu hukum

d. memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang dibangun

dalam kesimpulan mengenai apa yang seharusnya dilakukan dari hasil

penelitian. Saran yang diberikan terkait rekomendasi yang dilakukan

atau apa yang mesti diperbaiki atau diperbaharui baik mengenai norma

dalam undang-undang maupun penerapannya udalam praktek

penegakan hukum korupsi.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Disorientasi Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi :

1. Orientasi kewenangan komisi pemberantasan korupsi dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi


90

Secara sederhana negara dapat diberikan pengertian sebagai kekuasaan

terorganisir yang mengatur masyarakat hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan

tertentu demi kesejahteraan bersama. Tujuan negara dapat pula diartikan sebagai

visi negara yang secara umum ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan,

kemakmuran, dan kebahagian bagi rakyatnya79

Cita-cita luhur para pendiri bangsa untuk terwujudnya Indonesia merdeka yang

adil dan makmur sebagaimana dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

Alinea ke-2 yang menegaskan “ Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan

Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat Sentosa

mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pinti gerbang kemerdekaan negara

Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”

Untuk mencapai hal tersebut diatas, maka dibentuklah suatu pemerintahan

negara yang bertujuan sebagaimana dimaksud pada Alinea ke-4 Undang-Undang

Dasar 1945 yang selengkapnya sebagai berikut :

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia

yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan

ikut melaksanaan ketrtiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia

dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam

suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan

79
I. Gde PantjaAstawa dan Suprin Na’a, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara, PT Refika
Aditama, Bandung, 2015, Hal 4 dan 45
91

berdasar kepada Ketuhanan Ynag Maha Esa, Kemanusian Yang Adil dan

Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmah

Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan

suatu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonseia

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengandung pokok-pokok

pikiran yang dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal dibatang tubuh Undang-

Undang Dasar 1945 yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat, antara lain

sebagai berikut :

Pasal 23 ayat (1) bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud

dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-

Undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat.

Pasal 27 ayat (2) bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Pasal 28 H ayat (1) bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan

batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat

berhak memperoleh pelayanan kesehatan, dan ayat (3) bahwa setiap orang

berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara

utuh sebagai manusia yang bermartabat.

Pasal 33 ayat (3) bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung

didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.
92

Pasal 34 ayat (1) bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh

negara. Ayat (2) bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi

seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu

sesuai dengan martabat kemanusiaan. Ayat (3) bahwa negara bertanggung

jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan

umum yang layak. 80

Dengan demikian pemerintah negara Republik Indonesia bertanggung

jawab dan berkewajiban untuk mensejahterakan warganya dan mewujudkan

keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sudahkan kita sejahtera, sayangnya capaian kita belum banyak

membentuk substansi keinginan untuk mewujudkan kesejahteraan itu. Kita

sering kali terlena dengan capaian-capaian formal yang tidak berkorelasi

dengan cita-cita tersebut. Fakta empiris menunjukan bahwa bangsa kita masih

tertinggal dari bangsa lain dalam berbagai indikator pembangunan, walaupun

kita telah merdeka 73 tahun misalnya angka pendapatan per kapita (GPD per

kapita) baru mencapai $4.052 atau sekitar Rp. 56.728.500 per tahun, masih

jauh dibawah rata-rata dunia yang sudah mencapai $11.727 (IMF 2018).

Bahkan dibandingkan dengan Malaysia yang sudah mencapai $11.237, Brunei

Darussalam sebesar $33.233, dan Singapura sebesar $61.767, bahkan berada

dibawah negara yang baru merdeka seperi Bosnia Herzegovina: $5.806 dan

Czechnya $23.750. kondisi tersebut diperparah dengan kenyataan pahit bahwa

80 80
Tim Redaksi Pustaka Baru, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Pusta Baru Press, Yogyakarta, 2014, Hal 88, 100, 104, dan 109
93

negara kita masih diselimuti oleh persoalan korupsi yang tidak kunjung reda.

Bahkan Indonesia saat ini juga menduduki peringkat terkorup diantara negara

ASEAN, kecuali Filipina, Vietnam, dan Myanmar81

Tim jurnalisme data Harian Kompas menghitung biaya yang perlu

dikeluarkan orang Indonesia untuk membeli makan bergizi seimbang atau

sehat sebesar Rp 22.126 per hari atau Rp 663.791 per bulan. Harga tersebut

berdasar standar komposisi gizi Healthy Diet Basket (HDB), yang juga

digunakan Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture

Organization/FAO). Dengan biaya sebesar itu, ada 68 persen atau 183,7 juta

orang Indonesia yang tidak mampu memenuhi biaya tersebut. Hasil

analisis Kompas tidak jauh berbeda dari analisis FAO tahun 2021 yang

menunjukkan bahwa ada 69,1 persen penduduk Indonesia yang tidak mampu

membeli pangan bergizi. 82

Laporan Indonesia Poverty Assessment Pathways Economic Security,

Bank dunia menyarankan Indonesia mengubah ukuran garis kemiskinan dari

standar US$ 1,9 per orang per hari menjadi US$ 3.2 per orang per hari. Ukuran

yang dipakai Indonesia diberlakukan sejak 2011. Jika ukuran garis kemiskinan

dinaikkan, jumlah orang miskin Indonesia bisa membengkak menjadi 40 %

dari populasi, bisa sampai 110 juta orang. Saat ini jumlah orang miskin di

Indonesia bisa di tekan menjadi 9.57 %.83

81
Budi Setiyono, Model & Desain Negara Kesejahteraan, Nuansa Cendekia : Bandung, 2018 hal.
15-17.
82
https://www.kompas.id/baca/investigasi/2022/12/08 diakses 18 April 2023
83
Abdul Kohar, Rubrik Podium Berani Jujur Soal Kemiskinan, Media Indonesia, 13 Mei 2023,
Hal 2
94

Yang dimaksud dengan welfare (kesejahteraan) berkaitan dengan

kenyamanan, kebahagian, Kesehatan, kemakmuran, keamanan, ketertiban, dan

rasa percaya diri dalam menempuh kehidupan.

Isu kesejehteraan memiliki keterkaitan yang erat dengan masalah kemiskinan,

terminology sejahtera sendiri merupakan antitesa yang secara diametris

langsung berhadapan dengan terminology miskin. Kesejahteraan memiliki

konotasi keadaan tercukupinya/terpenuhinya kebutuhan seseorang , secara lahir

dan batin untuk menjalani kehidupan secara wajar, sedangkan kemiskinan

berkonotasi kepada kekurangan atau ketiadaan kebutuhan seseorang untuk

menjalani hidup secara wajar. 84

Apabila mengacu pada pengertian kesejahteraan tersebut diatas, dikaitkan

dengan hasil analis Kompas, maka Sebagian besar warga Indonesia belum

termasuk sejahtera, sehingga menjadi tugas dan tanggung jawab negara untuk

mensejahterakan rakyatnya sebagaimana amanat dalam konstitusi, termasuk

intitusi penegak hukum mempunyai tanggung jawab yang sama sesuai dengan

konsep negara hukum kesejahteraan, sebagaimana diamanatkan dalam

konstitusi.Republik Indonesia.

Indonesia adalah negara hukum, demikian bunyi ketentuan dalam Pasal 1 Ayat

3 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar tersebut,

menegaskan bahwa sistim pemerintahan negara dalam Undang-Undang Dasar

ialah :

84
Budi Setiyono, Ibid, Hal 32 dan 50
95

a. Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtsstaat) tidak berdasarkan

kekuasan belaka (Machtsstaat)

b. Pemerintah berdasar atas sistim konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat

absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)

Dalam konsep negara hukum, pemerintahsebagai penguasa termasuk institusi

lainnya seperti KPK, dimana tindakan pemerintah dan institusi lainnya harus

didasarkan atas hukum untuk mencegah adanya tindakan sewenang-wenang

dari pihak pemerintah. Apabila ketentuan Pasal 1 Ayat3 Undang-Undang Dasar

1945 dikaitkan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea ke

4 antara lain menegaskan bahwa membentuk suatu pemeritahan negara

Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan umum, maka berdasarkan

konstitusi, Indonesia adalah negara hukum dengan tujuan untuk kesejahteraan

rakyat atau dapat disingkat menjadi negara hukum kesejahteraan, dimana

hukum menjadi sarana untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat

Indonesia. Upaya negara untuk mencapai kesejahteraan umum menemui

permasalahan dan menghambat untuk terwujudnya negara kesejahteraan

(welfare state) karena makin meluasnya perbuatan korupsi diseluruh aspek

kehidupan negara dan masyarakat baik di Eksekutif, Legislatif, maupun

Yudikatif. Untuk itu pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan untuk

mencapai masyarakat adil, makmur, dan sejahtera.

Dalam konsep negara hukum kesejahteraan, dimana hukum dan

penegakan hukum tindak pidana korupsi sebagai sarana untuk mewujudkan

kesejahteraan rakyat seperti diuraikan dengan jelas dalam Undang-Undang


96

Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002 juncto Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Tindak

Pidana Pemberantasan Korupsi.

Konsep negara hukum kesejahteraan kompatibel (bersesuaian) dengan teori

hukum responsif dari Philippe Nonet dan Philip Selznick, dimana hukum

merespon secara fleksibel masalah dan tuntutan akan sebuah tertib hukum yang

responsif, yang lebih terbuka terhadap pengaruh sosial. Untuk mencapai tujuan

itu mendorong perluasan bidang-bidang yang memiliki keterkaitan dengan

hukum sehingga nalar hukum mencakup pengetahuan di dalam konteks sosial

dan memiliki pengaruh terhadap tindakan resmi para aparat hukum.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Undang-

Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi termasuk

hukum responsif karena Undang-Undang ini merespons kondisi sosial ekonomi

masyarakat yang masih memprihatikan dan tuntutan masyarakat untuk

meningkatkan pemberantasan korupsi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan

rakyat.

Uraian yang menjadi dasar pertimbangan pembentukan Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 dalam konsiderans menimbang huruf a dan b menegaskan

tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara dan perekonomian

negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas


97

dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila

dan UUD 1945. Bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat

pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi

tinggi. Dalam penjelasan umum alinea kedua Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 bahwa di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi

masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya

semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah

menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat

berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya

pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan

diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan

masyarakat.85

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999, dalam considerans menimbang huruf a menegaskan

bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya

merugikan keuangan negara, tapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-

hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi

perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan

secara luar biasa.86

85
Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, L.N Tahun 1999 Nomor 140, T.L.N Nomor 3874, Penjelasan Umum
86
Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, L.N. Tahun 2001 Nomor 134, T.L.N Nomor
4150.
98

Sesuai ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

mengamanatkan paling lambat dua tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku

(16 Agustus 1999) dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

artinya paling lambat 16 Agustus 2001 sudah dibentuk KPK melalui Undang-

Undang. Tapi kenyataannya KPK baru dibentuk dengan Undang-undang Nomor

30 Tahun 2002 pada tanggal 27 Desember 2002, sehingga pemerintah dan DPR

lalai atau terlambat membentuk KPK selama satu tahun lebih.

Ketentuan Pasal 43 tersebut mempunyai makna, bahwa selama ini instansi

kejaksaan dan kepolisian dianggap kurang mampu atau kurang berhasil

memberantas korupsi di Indonesia karena korupsi semakin meluas dan sitimatis,

sehingga perlu dibentuk lembaga baru yaitu KPK dengan kewenangan luar biasa.

Pada konsiderans menimbang Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 pada huruf

b yang menjadi salah satu pertimbangan dibentuknya KPK karena lembaga

pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara

efektif dan effisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Namun aneh

karena KPK dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi juga masih

menggunakan tenaga dari instansi kejaksaan dan kepolisian. Seharusnya KPK

mendidik sendiri tenaga professional yang mempunyai kemampuan dalam

penegakkan hukum tindak pidana korupsi, sesuai kewenanganya dalam Pasal 24

Ayat 2 dan 3, dimana KPK diberi kewenangannya untuk mengangkat pegawai

komisi pemberantasan korupsi.

Sedangkan yang menjadi dasar pertimbangan pembentukan Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 pada konsiderans menimbang huruf a dan b, menegaskan


99

bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah terjadi sampai

sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu,

pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional,

intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan

negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Dan

bahwa Lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi

belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana

korupsi. Selanjutnya dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002 pada alinea pertama bahwa tinak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas

dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik

dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari

segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya

yang memasuki aspek kehidupan masyarakat. Selanjutnya pada alinea kedua

diantaranya menegaskan bahwa meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak

terkendali akan membawa bencana tidak saja pada kehidupan perekonomian

nasional tapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya, maka

tindak pidana korupsi telah menjadi suatu kejahatan luar biasa sehingga upaya

pemberantasannya dituntut dengan cara yang luar biasa pula. Untuk itu diperlukan

metode penegakkan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan

khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan

manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Bahwa dalam alinea
100

keempat yaitu badan khusus tersebut yang selanjutnya disebut Komisi

Pemberantasan Korupsi yang memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan

supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, alenia

ketujuh bahwa KPK dapat Menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan

memperlakukan institusi yang telah ada sebagai konterpartner yang kondusif

sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efesien dan efektif,

tidak monopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan,

berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam

pemberantasan korupsi (trigger mechanism).87

Dasar pertimbangan pembentukan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019

tentang Perubahan Undang-Undang Tahun2022 Tentang Komisi Pemberantasan

Korupsi, dimana dalam konsiderans menimbang Huruf a menegaskan bahwa

dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, perlu penyelenggara negara yang bersih dari kolusi, korupsi, dan

nepotisme dan Huruf b menegaskan bahwa Kepolisian, Kejaksaan, dam Komisi

Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga yang menangani perkara tindak pidana

korupsi perlu ditingkatkan sinergitasnya sehingga masing-masing dapat berdaya

guna dan berhasil guna dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi

berdasarkan asas kesetaraan kewenangan dan perlindungan terhadap hak asasi

manusia.

87
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, L.N Tahun 2002 Nomor 137, T.L.N Nomor 4250, Penjelasan Umum
101

Selanjutnya dalam penjelasan umum Undang-Undang tersebut pada Alinea

ke-1 bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat.

Perkembangannya terus meningkat dari tahun-ketahun, baik dari jumlah kasus

yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas

tundak pidana yang dilakukan semakin sistimatis serta lingkupnya yang

memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Pada Alinea ke-2 menyatakan meningkatnya tindak pidana korupsi yang

tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan

perekonomian nasional tapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada

umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistimatis juga merupakan

pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat dan karena

itu semua tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan

biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitupun dalam upaya

pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tapi dituntut cara-cara

yang luar biasa88

Apabila mengacu pada kosiderans menimbang dan penjelasan umum

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001, maka kebijakan hukum (legal policy) atau orientasi kebijakan hukum

pemerintah bersama DPR dalam pemberantasan tindak pidana korupsi ternyata

lebih mengutamakan pemberantasan tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan

kerugian keuangan negara dan atau perekonomian negara dalam rangka

88
Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, LN Tahun
2019 Nomor 197, TLN Nomor 6409.
102

mewujudkan masyarakat adil dan makmur atau kesejahteraan umum sebagaimana

diamanatkan dalam pembukaan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Kalau

kita menyimak pokok-pokok pikiran dalam konsiderans menimbang dan

penjelasan umum yang memuat uraian secara sistematis mengenai latar belakang

pemikiran maksud dan tujuan penyusunan Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, sama sekali tidak

menemukan sedikitpun uraian tentang tindak pidana korupsi suap. Namun hal ini

tidak berarti penegak hukum seperti KPK, kejaksaan dan kepolisian tidak boleh

menangani perkara tindak pidana korupsi suap hal itu dapat saja dilakukan karena

tindak pidana korupsi suap juga diatur dalam beberapa pasal undang-undang

tersebut, tetapi yang mesti lebih diutamakan adalah perkara tindak pidana korupsi

yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, karena tindak pidana korupsi

sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat

pembangunan nasional.

Apabila mencermati Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi ada beberapa jenis tindak pidana korupsi yaitu korupsi yang berkaitan

dengan kerugian keuangan negara, suap meyuap, penggelapan dalam jabatan,

perbuatan pemerasan, perbuatan curang, dan benturan kepentingan dalam

pengadaan. Apabila hal tersebut dikaitkan dengan konsiderans menimbang dan

penjelasan umum Undang-Undang tersebut yang menjadi dasar pertimbangan

pembentukan Undang-Undang dimaksud, sebagaimana telah diuraikan diatas,

maka secara umum semua institusi penegak hukum yaitu KPK, Kejaksaan, dan
103

Kepolisian harus mengutamakan pemberantasan tindak pidana korupsi keuangan

negara.

Lebih khusus lagi hanya KPK yang diamanatkan dalam Undang-Undang

KPK hanya untuk menangani tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian

negara yang nilainya sebesar minimal satu milliar rupiah

Sedangkan orientasi atau arah kebijakan hukum pemerintah bersama DPR

dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 juncto Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2019 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana dalam

konsiderans menimbang dan penjelasan umum Undang-Undang tersebut diatas

adalah sama arah kebijakan hukum dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu lebih mengutamakan

pemberantasan tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan

negara atau perekonomian negara, dari pada tindak pidana korupsi suap dan

tindak pidana korupsi lainnya sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang

Penberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hal tersebut sejalan atau dipertegas dalam ketentuan Pasal 11 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang berbunyi bahwa dalam melaksanakan tugas

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi

berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana

korupsi yang :

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain

yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh

aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.


104

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat dan/atau

c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu

milliar rupiah)

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 Tahun2019 menyatakan bahwa :


1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e,

Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi yang:

a) Melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang

lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang

dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara;

dan/atau

b) Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00

(satu milyar rupiah).

2) Dalam hal Tindak Pidana Korupsi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi wajib

menyerahkan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kepada kepolisian

dan/atau kejaksaan.

3) Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan supervisi terhadap

penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2). 89

89 89
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, L.N Tahun 2002 Nomor 137, T.L.N
Nomor 4250, Penjelasan Umum, juncto Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, L.N. Tahun 2019
Nomor 197, T.L.N. Nomor 6409.
105

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, KPK hanya berwenang menangani

perkara tindak pidana korupsi yang menyangkut kerugian negara minimal satu

milliar rupiah, sedangkan perkara tindak pidana korupsi suap dan tindak pidana

korupsi lainnya KPK tidak berwenang menanganinya, karena uang yang

digunakan dalam perkara suap menyuap biasanya berasal dari uang pihak swasta,

bukan berasal dari keuangan negara, sehingga tidak menimbulkan kerugian

keuangan negara, seperti yang dipersyaratkan dalam ketentuan Pasal 11 Undang-

Undang KPK. Lain halnya apabila ketentuan dalam pasal tersebut berbunyi bahwa

KPK berwenang menangani perkara tindak pidana korupsi dengan nilai minimal

satu miliar rupiah maka maknanya berarti KPK berwenang menangani seluruh

tindak pidana korupsi yaitu korupsi keuangan negara, suap dan tindak pidana

korupsi lainnya.. Namun dalam praktek penegakkan hukum tindak pidana korupsi

oleh KPK juga menangani perkara tindak pidana korupsi suap.

Apabila mencermati penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

pada Alinea ke-4 menegaskan bahwa dalam rangka mewujudkan supermasi

hukum, pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat

dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut

tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantsan Korupsi. Demikian

pula dalam penjelasan pada Alinea ke-8 menegaskan bahwa dalam usaha

pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah didukung oleh ketentuan

yang bersifat strategis antara lain ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31


106

Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 dan Pasal 1 Undang-Undang tersebut menyatakan yang dimaksud dengan

tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999 tentang pemberantasan tindak pidana

korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001.90

Berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang tersebut bermakna bahwa

KPK melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi menggunakan dasar

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001, dimana dalam Undang-Undang tersebut mengatur tentang tindak pidana

korupsi keuangan negara, suap, dan tindak pidana korupsi lainnya, artinya KPK

seharusnya bisa menangani seluruh tindak pidana korupsi yang diatur dalam

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun penanganan

tindak pidana korupsi suap, tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 11 Undang-

Undang KPK dimana KPK hanya berwenang menangani perkara tindak pidana

korupsi yang menimbulkan kerugian negara minimal satu milliar rupiah. Kedepan

redaksi ketentuan Pasal 11 Undang-Undang KPK sebaiknya dirubah, yang

memberi kewenangan KPK untuk menangani tindak pidana kprupsi yang

menimbulkan keruguan negara sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 2

Ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan

90
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, L.N Tahun 2002 Nomor 137, T.L.N Nomor
4250, Penjelasan Umum dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, LN Tahun2019 Nomor 197,
T.L.N Nomor 6409
107

tindak pidana korupsi lainnya sebagaimana yang diatur dalam undang-undang

tersebut, karena kalau KPK secara normatif tidak diberi kewenangan untuk

menangani perkara tindak pidana korupsi suap maka akan percuma kewenangan

KPK untuk melakukan penyadapan karena pada umumnya operasi tangkap tangan

tindak pidana korupsi suap selalu didahului dengan penyadapan kepada pihak-

pihak yang terkait yang akan memberi dan menerima suap.

Berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan

Undang-Undang KPK, maka setidak-tidaknya ada tiga orientasi91 atau arah KPK

dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu :

a. Kewenangan KPK melakukan penyelidikan,penyidikan, dan penuntutan

tindak pidana korupsi lebih mengutamakan pemberantasan tindak pidana

korupsi yang merugikan keuangan negara dibanding tindak pidana

korupsi suap.

b. Memaksimalkan pengembalian kerugian keuangan negara.

c. Kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi dibatasi pada kasus

yang nilainya besar yaitu kerugian negara minimal satu milliar rupiah.

Selanjutnya akan diuraikan tentang pengertian keuangan negara dan kerugian

negara atau kerugian keuangan negara. Ketentuan dalam Undang-Undang Dasar

1945 yang terkait dengan keuangan negara diatur dalam Pasal 23 Ayat 1 yang

menyatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari

pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan

91
Pengertian orieantasi menurut KBBI 1 peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan
sebagainya) yang tepat dan benar; 2 pandangan yang mendasari pikiran, perhatian atau
kecenderungan, kbbi.web.id, diakses 21 April 2023
108

dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.

Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara pada

Pasal 1 Ayat 1 bahwa yang dimaksud keuangan negara adalah semua hak dan

kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa

uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan

pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dalam Pasal 2 menyatakan bahwa :

Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :

a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan

uang, dan melakukan pinjaman;

b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum

pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

c. Penerimaan Negara

d. Pengeluaran Negara

e. Penerimaan Daerah

f. Pengeluaran Daerah

g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh

pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak

lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang

dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah

h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka

penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum


109

i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas

yang diberikan pemerintah.92

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dalam penjelasan

umum menegaskan bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara

dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk

didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang

timbul karena :

a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban pejabat

lembaga negara, baik ditingkat pusat maupun di daerah.

b. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban Badan

Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum,

dan Perusahaan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang

menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Rumusan keuangan negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2003 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999 pada hakekatnya adalah sama,

yang berbeda hanya kalimat redaksinya saja

Arifin P. Soeriatmadja mengemukakan bahwa ketentuan konstitusi (Pasal 23)

tersebut memberikan pengertian keuangan negara dalam arti sempit, arti luas dan

penafsiran yang dilakukan melalui pendekatan sistimatik dan teleologis atau

sosiologis, yang pada pokoknya sebagai berikut :

92
Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, T.N. Tahun 2003
Nomor 47, T.L.N. Nomor 4286
110

a. Pengertian keuangan negara diartikan secara sempit yang hanya meliputi

keuangan negara yang bersumber pada APBN sebaga sub sistim keuangan

negara.

b. Keuangan negara dalam arti luas yang meliputi keuangan negara yang

berasal dari APBN, APBD, BUMN, BUMD, serta seluruh harta kekayaan

negara sebagai suatu sistem dalam keuangan negara.93

Mengenai penegertian kerugian negara atau kerugian keuangan negara tidak

diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 maupun Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001, demikian pula dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun2003 tentang

keuangan negara.

Pengertian kerugian Negara/Daerah menurut Pasal 1 Angka 22 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara adalah kekurangan

uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat

perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

Sedangkan pengertian kerugian keuangan negara dalam Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tidak dijelaskan, namun apabila dikaitkan dengan

pengertian kerugian menurut kamus KBBI Online menyatakan pengertian rugi

adalah kurang dari harga beli atau kurang dari modal, sedangkan pengertian

merugikan adalah sengaja menjual lebih rendah daripada harga pokok, dan

pengertian kerugian adalah menanggung atau menderita rugi.

93
Romli Atmasasmita, Hukum dan Penegakan Hukum, Kencana, Jakarta, 2021, Hal 9
111

Apabila pengertian tersebut dikaitkan dengan pengertian keuangan negara

dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, maka rumusan

kerugian keuangan negara adalah : berkurangnya seluruh kekayaan negara dalam

bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya

segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :

a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban pejabat

lembaga negara, baik ditingkat pusat maupun di daerah.

b. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban Badan

Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum,

dan Perusahaan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang

menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Kerugian keuangan negara dalam perspektif Undang-Undang memiliki pengertian

pada pokoknya sebagai berikut :

a. Kerugian negara dari perspektif hukum administrasi negara ialah

kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti

jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja

maupun lalai (Pasal 1 Angka 22 Undang-Undang Nomor I Tahun 2004

dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006). Terjadinya

kerugian negara seperti ini akan ditangani secara administratif yang

umumnya hanya berupa tuntutan ganti rugi.

b. Kerugian negara dari perspektif hukum perdata ialah berkurangnya

kekayaan negara/daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang,

surat berharga, atau saham, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat
112

dinilai dengan uang termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan

Negara/Daerah yang disebabkan perbuatan melanggar Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun2003 yang

akan diselesaikan dengan peradilan perdata.

c. Kerugian negara berdasarkan perspektif hukum pidana ialah suatu

perbutan yang menyimpang terhadap penggunaan dan pengelolaan

keuangan negara, sehingga dikualifikasikansebagai perbuatan merugikan

keuangan negara sebagai tindak pidana korupsi (Pasal 2 dan Pasal 3

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001, yang akan ditangani oleh Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi94

Sepengetahuan penulis pengertian kerugian negara hanya diatur dalam Pasal 1

Angka 22 Undang-Undang Nomor I Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara

dan Pasal I Angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan

Pemeriksa Keuangan.

Dalam praktek (in concreto) di pengadilan tindak pidana korupsi, penggunaan

terminologi “kerugiann negara” di interpretasikan atau di analogikan sama dengan

“kerugian keuangan negara” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3

UU No. 31/1992. Wilayah pengaturan kerugian negara yang termuat dalam Pasal

I Angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 adalah ranah hukum

94
Romli Atmasasmita, Ibid, Hal 12 dan 13
113

administrasi berbeda dengan pengaturan kerugian keuangan negara sebagai ranah

hukum pidana.95

Kerugian keuangan negara pada hakekatnya merupakan substansi kerugian

negara. Oleh karena itu kerugian negara meliputi kerugian keuangan negara dan

kerugian perekonomian negara, dengan demikian kerugian keuangan negara

merupakan bagian tak terpisahkan dari kerugian negara. Kerugian keuangan

negara adalah berkurangnya uang atau barang milik negara yang nyata dan pasti

jumlahnya sebagai akibat perbuatan yang tidak bersesuai dengan hukum yang

dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaian.96

Menurut penulis baik termonologi kerugian negara atau kerugian keuangan

negara semuanya dapat digunakan dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 2

Ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Apabila menengok sejarah perundang-undangan tindak pidana korupsi di

Indonesia sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, ternyata semuannya mengutamakan

pemberantasan tindak pidana korupsi keuangan negara yang akan diuraikan lebih

lanjut.

Peraturan penguasa militer mengenai korupsi yaitu tanggal 9 April 1957 Nomor

Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi, dimana dalam konsiderans

95
Hernold Ferry Makawimbang, Kerugian Keuangan Negara, Thafa Media, Yogyakarta,2014, Hal
19
96
Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, Hukum Keuangan Negara, PT Raja
grafindo Persada, Jakarta, 2017, Hal 122
114

menyatakan bahwa berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha

memberantas perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara

yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata

cara kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha-usaha memberantas

korupsi,

Hal penting untuk diketahui dari peraturan diatas, adanya usaha untuk

pertama kali memakai istilah korupsi sebagai istilah hukum dan memberi batasan

pengertian korupsi sebagai perbuatan yang merugikan keuangan dan

perekonomian negara.97

Peraturan pemberantasan korupsi penguasa perang pusat No.

Prt/Peperpu/013/1958, dalam konsiderans menimbang Huruf a peraturan tersebut

menegaskan bahwa untuk perkara-perkara pidana yang menyangkut keuangan

negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan atau

kelonggaran-kelonggaran lainnya dari masyarakat. Misalnya, bank. koperasi,

wakap, dan lain-lain yang bersangkutan dengan kedudukan sipembuat pidana

perlu diadakan tambahan aturan pidana, pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan

yang dapat memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut korupsi.

Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan,

dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, dalam konsiderans menimbang Huruf a

bahwa untuk perkara-perkara pidana yang menyangkut keuangan Negara dan

Daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan atau

97
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, Hal 41 dan 42
115

kelonggaran-kelonggaran lainnya dari negara atau masyarakat, bank, koperasi,

wakap, dan lain-lain atau yang bersangkutan dengan kedudukan sepetindak

pidana, perlu diadakan beberapa atauran khusus tentang pengusutan, penuntutan,

dan pemeriksaan yang dapat memberantas perbuatan itu disebut tindak pidana

korupsi.

Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korusi dalam konsiderans menimbang Hurtuf a dan b bahwa perbuatan korupsi

sangat merugikan keuangan/perekonomian negara dan menghambat pembangunan

nasional. Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960, berhubung dengan

perkembangan masyarakat kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil yang

diharapkan dan oleh karenanya Undang-Undang tersebut perlu diganti.98

Perbuatan-perbuatan terutama perbuatan manipulasi keuangan negara

atau yang merugikan perekonomian umum dapatlah kita namakan material

corruption (korupsi material). Undang-Undang Nomor 3 Tahun1971 hanya

mengutamakan masalah material corruption saja seperti halnya peraturan-

peraturan pemberantasan korupsi yang berlaku sebelumnya, antara lain Undang-

Undang Nomor 24 Prp 1960, peraturan penguasa perang pusat 16 April 1958 No.

Prt/Peperpu/013/1958.99

Dengan demikian seluruh perundang-undangan korupsi yang pernah ada

di Indonesia dan terakhir Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengutamakan

pemberantasan tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian negara

98
Prapto Soepardi, Tindak Pidana Korupsi, Usaha Nasional, Surabaya, 1990, Hal 120-130
99
Baharuddin Lopa, Masalah Korupsi dan Pemecahannya, PT Kipas Putih Aksana, Jakarta, 1997,
Hal 3 dan 6
116

dibanding tindak pidana korupsi suap dan tindak pidana korupsi lainnya. Sesuai

konsep negara hukum kesejahteraan sebagaimana diuraikan dalam konstitusi dan

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Undang-Undang

KPK dalam konsiderans menimbang, dimana undang-undnag tersebut sebagai

sarana untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Hal tersebut

dapat terwujud apabila :

a.Dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, KPK menggunakan

kewenangannya untuk memberantas korupsi dengan mengutamakan

pemberantasan korupsi keuangan negara yang nilainya besar, disbanding korupsi

suap dan memaksimalkan pengembalian kerugian keuangan negara, untuk

kesejahteraan rakyat.

b.Penegakan hukum tindak pidana korupsi diharapakan dapat memberikan efek

jera untuk tidak melakukan korupsi, untuk meminimalkan terjadinya korupsi

keuangan negara, sehingga penyelenggara negara tidak melakukan korupsi,

kolusi, dan nepotisme, sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.

Hal tersebut diatas sejalan dengan konsiderans menimbang Huruf a Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang

meyatakan bahwa keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam

penyelenggaraan pemerintahan negara dan mempunyai manfaat yang sangat

penting guna mewujudkan tujuan negara untuk mencapai masyarakat yang adil,

makmur, dan sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Huruf b. bahwa untuk
117

tercapainya tujuan negara sebagaimana dimaksud pada huruf a, pengelolaan dan

tanggung jawab keuangan negara memerlukan suatu lembaga pemeriksa yang

bebas, mandiri, dan profesional untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan

bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.100

Orientasi atau arah kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi oleh KPK

seharusnya lebih mengutamakan pemberantasan tindak pidana korupsi keuangan

negara yang nilainya besar, namun faktanya selama ini KPK dalam menggunakan

kewenanganya untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak

pidana korupsi lebih banyak menangani perkara tindak pidana korupsi suap

dibandingkan tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian negara yang

diatur dalam ketentuan Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga terjadi disorientasi

kewenangan KPK.

Pengertian disorientasi menurut KBBI adalah :

1. Kehilangan daya untuk mengenal lingkungan, terutama yang berkenaan

dengan waktu, tempat, dan orang.

2. Kekacauan kiblat.

3. Kesamaran arah.

Contoh: Disorientasi pandangan akan timbul apabila terdapat kesenjangan

antara organisasi sosial dan sistem nilai kebudayaan101. Berdasarkan

pengertian disorientasi tersebut, maka KPK dalam pemberantasan korupsi telah

100
Indonseia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan, L.N.
Tahun 2006 Nomor 85, T.L.N Nomor 4654
101
https://kbbi.lektur.id/, Diakses 24 April 2023
118

keliru arah atau salah arah menggunakan kewenanganya dalam penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi, karena KPK lebih banyak

menangani korupsi suap dibanding korupsi keuangan negara atau terjadi

disorientasi kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi yaitu

kesenjangan antara arah kebijakan hukum dan kewenangan KPK yang diatur

dalam Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-

Undang KPK, dengan pelaksanaan kewenangan KPK.

Perjalanan KPK selama 17 tahun terutama sejak KPK Jilid III telah

menyimpang dari tujuan awal pembentukan KPK yaitu harus memelihara dan

menjaga keseimbangan pelaksanaan pencegahan dan penindakan dengan tujuan

pengembalian kerugian negara secara maksimal serta melaksanakan fungsi trigger

mechanism melalui koordinasi dan supervisi terhadap kepolisian dan kejaksaan102.

Berbagai fakta dan data menunjukan bahwa selama ini KPK lebih banyak

menangani perkara korupsi suap melalui OTT dari pada perkara korupsi yang

merugikan keuangan negara.

Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi ada tiga besar perkara tindak pidana

korupsi periode 2015-2019 yang ditangani oleh KPK yaitu perkara penyuapan

sebanyak 475, perkara pengadaan barang/jasa 77, dan perkara tindak pidana

pencucian uang 21.103

102
Romli Atmasasmita, Ovcit, Hal 235
103
Koran Kompas, Senin 9 Desember 2019, Hal 8
119

Sumber kerugian keuangan negara yang berkaitan dengan aset meliputi

pengadaan barang dan jasa dan pelepasan aset yang ditangani KPK merupakan

perkara paling banyak ke-2 setelah penyuapan, dibandingkan dengan perkara-

perkara tindak pidana korupsi yang lain. Data KPK menunjukkan bahwa ada

sejumlah 106 perkara korupsi terkait pengadaan barang dan jasa dari Tahun 2004

hingga Tahun2012.104

Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi tentang penindakan

tindak pidana korupsi oleh KPK yang ditangani sejak Tahun2004 sampai 2020,

ternyata KPK lebih banyak menangani perkara tindak pidana korupsi suap,

disbanding perkara tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian keuangan

negara, sebagaimana diuraikan lebih lanjut.

KPK, Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Jenis Perkara Tahun 2004-2020


JENIS PERKARA 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Pengadaan 2 12 8 14 18 16 16 10 8 9
Barang/Jasa/KN

Perizinan 5 1 3 1 3

Gratifikasi/Penyuapan 7 2 4 13 12 19 25 34 50

Pungutan/Pemerasan 7 2 3 0 1

Penyalahgunaan 5 3 10 8 5 4 3
Anggaran

TPPU 2 7

Merintangi Proses 2
KPK

JUMLAH 2 19 27 24 47 37 40 39 49 70

104
Mahrus Ali dan Deni Setya Bagus Yuherawan, Delik-Delik Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2021,
Hal 45 dan 46
120

JENIS PERKARA 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 JUMLAH

Pengadaan 15 14 14 15 17 18 30 236
Barang/Jasa/KN

Perizinan 5 1 1 2 1 23

Gratifikasi/Penyuapan 20 38 79 93 169 119 55 739

Pungutan/Pemerasan 6 1 1 4 1 26

Penyalahgunaan 4 2 1 1 2 2 50
Anggaran

TPPU 5 1 3 8 6 5 3 38

Merintangi Proses 3 2 3 10
KPK

JUMLAH 58 57 99 121 199 145 91 1132

Sumber : Data diolah oleh penulis105

KPK Sudah Tangani 1.194 Kasus Korupsi, Mayoritas Penyuapan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tercatat telah menangani 1.194 kasus

tindak pidana korupsi sejak 2004 hingga 2021. Tercatat, jenis perkara tindak

pidana korupsi yang terbanyak adalah penyuapan yakni sebanyak 775 kasus.

Kasus penyuapan yang berhasil ditindak KPK terbanyak pada 2018 yakni

sebanyak 168 kasus. Diikuti tahun 2019 dan 2017 yang masing-masing sebanyak

119 kasus dan 93 kasus.

105
https://www.kpk.go.id diakses Tanggal Januari 2021
121

Pengadaan barang atau jasa merupakan tindak pidana korupsi yang tebanyak

ditangani KPK selanjutnya yakni 266 kasus. Lalu, sebanyak 50 kasus

penyalahgunaan anggaran telah ditangani KPK sejak 2004 hingga tahun lalu.

Kemudian, sebanyak 41 kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) telah

ditangani KPK. Pungutan atau pemerasan berada di posisi berikutnya yakni 26

kasus. Diikuti oleh perizinan dan perintangan penyidikan masing-masing

sebanyak 25 kasus dan 11 kasus.

Adapun KPK mencatat tindak pidana korupsi mayoritas dilakukan di instansi

pemerintah kabupaten/kota sebanyak 455 kasus sejak 2004 hingga 2021. Diikuti

oleh instansi kementerian/lembaga dan pemerintah provinsi masing-masing

sebanyak 395 kasus dan 158 kasus106

Ada 1.351 Kasus Tindak Pidana Korupsi yang Ditangani KPK Sepanjang 2004

hingga 2022

Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, lembaga

antirasuah tersebut telah menangani 1.351 kasus tindak pidana korupsi sepanjang

2004 hingga 2022.

Dalam 18 tahun terakhir, jumlah kasus korupsi yang ditangani lembaga

tersebut cenderung fluktuatif. KPK paling banyak menindak pidana korupsi pada

2018, yakni mencapai 200 kasus, sedangkan terendah pada 2004 hanya 2 kasus.

106
https://databoks.katadata.co.id/ Diakses 23 April 2023
122

Berdasarkan jenis perkaranya, tindak pidana korupsi yang paling banyak

ditangani KPK adalah penyuapan atau gratifikasi dengan 904 kasus sepanjang

2004 hingga 2022. Tercatat, kasus penyuapan yang berhasil ditindak KPK

terbanyak pada 2018 mencapai 168 kasus, diikuti tahun 2019 dan 2017 dengan

masing-masing 119 kasus dan 93 kasus.

Selanjutnya, pengadaan barang atau jasa merupakan tindak pidana korupsi yang

tebanyak ditangani KPK yaitu mencapai 277 kasus. Diikuti penyalahgunaan

anggaran, tindak pidana pencucian uang (TPPU), pungutan atau pemerasan,

perizinan, dan perintangan proses penyidikan.

Berikut rincian tindak pidana korupsi di Indonesia yang berhasil ditangani KPK

berdasarkan jenis perkaranya sepanjang 2004-2022:

 Gratifikasi/penyuapan: 904 kasus

 Pengadaan barang/ jasa: 277 kasus

 Penyalahgunaan anggaran: 57 kasus

 TPPU: 50 kasus

 Pungutan/pemerasan: 27 kasus

 Perizinan: 25 kasus

 Merintangi proses KPK: 11 kasus

Adapun menurut laporan KPK, mayoritas tindak pidana korupsi dilakukan di

instansi pemerintah kabupaten/kota yakni sebanyak 548 kasus sepanjang 2004


123

hingga 2022. Lalu, diikuti oleh instansi kementerian/lembaga dan pemerintah

provinsi masing-masing sebanyak 422 kasus dan 174 kasus.107

a. Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Jenis Perkara

Berikut merupakan hasil riset yang diperoleh oleh Lembaga KPK mengenai

jumlah tindak pidana korupsi berdasarkan jenis perkara di Indonesia selama 5

tahun terakhir (2014-2018).

Data KPK yang disajikan pada gambar di atas memperlihatkan jumlah tindak

pidana korupsi dengan perkara pengadaan barang atau jasa yang berada di

Indonesia selama 5 tahun terakhir. Terlihat bahwa tahun 2018 merupakan jumlah

tindak pidana korupsi dengan perkara pengadaan barang atau jasa dengan jumlah

107
https://databoks.katadata.co.id/ diakses Tanggal 23 April 2023
124

terbanyak selama 5 tahun terakhir sejumlah 17 tindak korupsi dan jumlah yang

terendah berada pada tahun 2015 dan 2016 dengan jumlah sebanyak 14 tindak

pidana korupsi.

Data KPK yang disajikan pada gambar di atas memperlihatkan jumlah tindak

pidana korupsi dengan perkara penyuapan di Indonesia selama 5 tahun terakhir.

Terlihat adanya peningkatan jumlah tindak pidana korupsi penyuapan di

Indonesia selama 5 tahun terakhirdi Indonesia, dengan jumlah tertinggi di tahun

2018 yang berjumlah 168 tindak korupsi dan terendah berada di tahun 2014

dengan jumlah 20 tindak pidana korupsi.


125

Data KPK yang disajikan pada gambar di atas memperlihatkan jumlah tindak

pidana korupsi dengan perkara perijinan di Indonesia selama 5 tahun terakhir.

Terlihat adanya penurunan jumlah tindak pidana korupsi penyuapan di Indonesia

selama 5 tahun terakhir di Indonesia, dengan jumlah tertinggi di tahun 2014 yang

berjumlah 5 tindak pidana korupsi dan terendah berada di tahun 2015, 2016 dan

2018 dengan jumlah 1 tindak pidana korupsi.


126

Data KPK yang disajikan pada gambar di atas memperlihatkan jumlah tindak

pidana korupsi dengan perkara penyalahgunaan anggaran di Indonesia selama 5

tahun terakhir. Terlihat adanya penurunan jumlah tindak pidana korupsi

penyuapan di Indonesia selama 5 tahun terakhir di Indonesia, dengan jumlah

tertinggi di tahun 2014 yang berjumlah 4 tindak pidana korupsi dan terendah

berada di tahun 2018 dengan tidak adanya tindak pidana korupsi.


127

Data KPK yang disajikan pada gambar di atas memperlihatkan jumlah tindak

pidana korupsi dengan perkara pemungutan yang berada di Indonesia selama 5

tahun terakhir. Terlihat bahwa tahun 2018 merupakan jumlah tindak pidana

korupsi dengan perkara pemungutan dengan jumlah terbanyak di tahun 2014

sejumlah 17 tindak pidana korupsi dan jumlah yang terendah berada pada tahun

2017 dengan tidak adanya tindak pidana korupsi.


128

Data KPK yang disajikan pada gambar di atas memperlihatkan jumlah tindak

pidana korupsi dengan perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang

berada di Indonesia selama 5 tahun terakhir. Terlihat bahwa tahun 2017

merupakan jumlah tindak pidana korupsi dengan perkara pemungutan dengan


108
jumlah terbanyak sejumlah 8 tindak pidana korupsi dan jumlah yang terendah

berada pada tahun 2015 sejumlah 1 tindak pidana korupsi.

108
http://www.psikogenesis.com/, diakses 23 April 2023

Berdasarkan hal tersebut diatas menunjukkan bahwa KPK dalam penegakan

hukum tindak pidana korupsi telah kehilangan orientasi atau keliru arah,

sehingga terjadi disorientasi kewenangn KPK dalam memberantas tindak pidana

korupsi, karena KPK tidak lagi berorientasi pada pemberantasan korupsi yang
129

Lebih mengutamakan pemberatasan tindak pidana korupsi yang menimbulkan

kerugian negara, tetapi lebih dominan pada pemberantasan korupsi suap.

Seluruh perundang-undangan tindak pidana korupsi yang pernah ada

di Indonesia dan terakhir Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Undang -

Undang Nomor 20 Tahun 2001 termasuk Undang-Undang KPK dimana

kebijakan hukum undang-undang tersebut dalam pemberantasan korupsi lebih

mengutamakan pemberantasan korupsi keuangan negara disbanding korupsi

suap. menurut penulis kebijakan hukum pembuat undang-undang tersebut

sudah tepat d engan dasar dan alasan sebagai berikut :

a. Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini sering

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara juga

menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional

yang menuntut efisiensi tinggi hal tersebut sejalan dengan konsiderans

menimbang Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 pada Huruf b yang

menjadi dasar pembentukan Undang-Undang tersebut. Terhadap

dampak buruk tindak pidana korupsi keuangan negara sepengetahuan

penulis tidak ada prokonta antara para ahli.


130

b. Masih terjadi prokontra para ahli tentang dampak buruk tindak

pidana korupsi suap. Ada dua pendapat ahli yang saling bertolak

belakang tentang dampak yang ditimbulkan korupsi suap.

Pandangan pertama mengemukakan sisi possitif praktek korupsi bahwa

korupsi yang terlembaga mampu mendorong efisiensi dan pertumbuhan

ekonomi nasional. Pakar ekonomi pembangunan seperti Left (Left Nahtaniel

1964, “Economic Development Through Bureucratic Corruption” American

Behavioral Scientist, Hal 8-14) dan pakar politik pembangunan Paul

Hungtington (Huntington, Samuel. P, 1968, Political Order In Changing

Societies, New Haven Connecticut. Yale University Press), antara lain

menyatakan korupsi terlembaga dapat meningkatkan efisiensi karena korupsi

mampu mengatasi kekakuan pemerintah dalam mengelola investasi dan

perekonomian nasional. Korupsi lewat suap menyuap melincinkan roda bisnis.

Beberapa riset ilmiah sekurang-kurangnya membenarkan hal ini. Indikator

efisiensi usaha diukur oleh level suap yang bisa ditawarkan oleh para peserta

bidder dalam setiap tender proyek-proyek pemerintah.

Hasil riset analisis pasar tersebut menunjukan bahwa selama era 1980 an, para

bidder yang sangat efisien mampu menawarkan suap lebih tinggi yang mendorong

efisiensi dengan memberikan pengelolaan proyek-proyek kepada perusahaan yang

sangat efisien dan umumnya menilai waktu sebagai “ The Greatest Value” dalam

strategi taktik bisnis, lewat mekanisme suap sebuah perusahaan dapat

meningkatkan alokasi sumber-sumber ekonominya.


131

Suap dapat pula menutup ketekoran gaji pegawai negeri. Ini manfaat lain

dari praktek korupsi suap yang terlembaga di Indonesia selama ini. Lagi pula

pemerintah Indonesia masih dapat mempertahankan tingkat pajak yang rendah

sekaligus mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi nasional. Selama era

tahun 1970 an sejumlah pakar hukum ekonomi lainya seperti Becker, Gary. S,

dan George J. Stigler, menyimpulkan hasil riset serupa.

Sedangkan pendapat berbeda tentang dampak negatif lanjutan dari praktek

korupsi terlembaga di Indonesia yaitu :

Pertama para pelaku bisnis yang mampu membayar suap paling tinng tidak

dengan sendirinya secara ekonomi sangat efisien. Kecuali para pelakunya dapat

mencapai keberhasilan dalam rent seeking, apalagi seandainya suap menyuap

dianggap investasi, maka pelaku bisnis yang menyuap menilai bahwa suap

termasuk jenis investasi.

Kedua praktek korupsi terlembaga mengurangi kemampuan pemerintah Indonesia

untuk menerapkan sistim pengawasan yang sangat diperlukan dalam manajemen

pemerintahan dan administrasi negara. Praktek suap misalnya mengurangi

kemampuan pemerintah mengawasi dan mengoreksi kegagalan pasar dalam

management perekonomian nasional.109

109
Servas Pandur, Kasus Indonseia : Institutionalizing Corruption, Majalah Media Hukum, Vol 2
No.11-22 Septembet 2002, Hal 69-70
132

Litelatur lain mengenai akibat korupsi ada dua pendapat. Ada yang

mengatakan korupsi itu tidak selalu berakibat negatif, kadang-kadang berakibat

positif. Ketika korupsi itu berfumgsi sebagai uang pelicin bagaikan tangki minyak

pelumas pada mesin. Pendapat pertama ini banyak dianut oleh peneliti barat.

Pendapat yang kedua mengatakan bahwa korupsi itu tidak pernah membawa

akibat positif, seperti Gunnar Myrdal yang mengatakan korupsi mengakibatkan

turunya disiplin sosial, uang suap itu tidak hanya dapat memperlancar prosedur

administrasi, tetapi biasanya juga berakibat adanya kesengajaan untuk

memperlambat proses administrasi agar dengan demikian dapat menerima uang

suap110

Litelatur lain tentang korupsi, terdapat pendapat pro kontra yaitu pandangan

pertama diwakili oleh Left, Huntington, Friedrich, dan Nye yang mengatakan

bahwa korupsi melumasi (greases) roda bisnis dan perdagangan dan memfasilitasi

pertumbuhan ekonomi dan investasi agar berjalan lancar. Studi ini dilakukan

tahun 1964 sampai tahun 1972. Sedangkan pendapat yang berbeda oleh

McMullan, Krueger, Myrdal, Shleifer, Vishny, Tanzi, Davoodi, dan Mauro

berpendapat bahwa korupsi justru memperlambat roda bisnis dan perdagangan,

menghambat pertumbuhan ekonomi, dan mendistorsi alokasi sumber daya serta

berdampak buruk bagi efisiensi.111

Dengan demikian masih terdapat pendapat pro kontra mengenai dampak

korupsi suap, ada yang berpendapat positif dan ada yang berpendapat negatif,

110
Andi Hamzah, Ob.cid, Hal 21-22
111
Malik Ruslan, Politik Antikorupsi Di Indonesia, LP3ES, Depok, 2017, Hal 61
133

sedangkan dampak korupsi keuangan negara yang menimbulkan kerugian

keuangan negara dan menghambat pembangunan. Sepengetahuan penulis tidak

ada pendapat pro kontra. Penulis sendiri berpendapat bahwa korupsi suap

berdampak buruk bagi masyarakat dan pembangunan, walaupun tidak seburuk

dampak korupsi keuangan negara yang menimbulkan kerugian keuangan negara

dan menghambat pembangunan, misalnya anggaran proyek pembangunan jalan

atau gedung pemerintah yang dibiayai dari keuangan negara senilai 100 milliar,

kemudian dikorupsi sebesar 25 milliar, maka otomatis anggaran pembangunan

tersebut menjadi berkurang yang berdampak menurunnya kualitas pembangunan

jalan atau gedung pemerintah tersebut, sehingga jalan atau gedung pemerintah

tersebut cepat mengalami kerusakan.

Korupsi suap yang berdampak buruk bagi masyarakat dan pembangunan

adalah korupsi suap yang diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi yaitu Pasal 5 Ayat 1 yang diadopsi dari Pasal 209 KUHP, Pasal 5

Ayat 2 yang diadopsi dari Pasal 419 KUHP, Pasal 6 Ayat 1 yang diadopsi dari

Pasal 210 KUHP, Pasal 6 Ayat 2 yang diadopsi dari Pasal 420 KUHP, Pasal 12

Huruf a, b, c, d dan Pasal 12B Tentang Suap Gratifikasi, korupsi suap ini

berdampak buruk karena uang suap yang diterima oleh pejabat dimaksudkan agar

pejabat yang menerima suap tersebut melakukan sesuatu yang berlawanan dengan

kewajibanya atau melanggar ketentuan perundang-undangan, misalnya suap untuk

pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dimana IMB diterbitkan walaupun

belum memenuhi syarat-syarat untuk penerbitan IMB. Sedangkan korupsi suap

yang tidak berdampak buruk bagi masyarakat dan pembangunan adalah korupsi
134

suap yang diatur dalam Pasal 11 yang diadopsi dari Pasal 418 KUHP dan Pasal 13

yang merupakan Pasal baru (tidak ada dalam KUHP) Undang-Undang Pidana

Tindak Pidana Korupsi.

Korupsi suap yang diatur dalam Pasal 11 tidak berdampak buruk karena

pegawai yang menerima hadiah atau janji yang berhubungan dengan kekuasaan

atau jabatanya tidak melakukan pelanggaran ketentuan perundang-undangan,

misalnya pejabat yang berwenang menerbitkan IMB karena memang telah

memenuhi prosedur dan syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan. Suap

yang diatur dalam Pasal 418 KUHP hanya penerima suap saja yang dihukum

dengan hukuman penjara maksimal 6 bulan, sedangkan pihak pemberi suap

menurut KUHP tidak dihukum. Bandingkan dengan korupsi suap yang diatur

dalam Pasal 419 KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun.

Menurut penulis filosofi KUHP yang tidak menghukum pemberi suap

seperti ini oleh karena penerbitan IMB tersebut tidak melanggar perundang-

undangan sehingga dianggap tidak bersalah apabila memberikan hadiah kepada

pejabat yang berwenang, tetapi pegawai negeri yang menerima hadiah uang itu

dianggap bersalah oleh karena dia sudah mendapatkan gaji dari negara untuk

memberikan pelayanan umum kepada masyarakat.

Pemberantasan korupsi yang menimbulkan kerugian negara dan

pengembalian kerugian negara merupakan tujuan utama pemberantasan korupsi

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002 juncto Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.


135

Membaca artikel La Ode (Kompas 23 Januari 2019), masih banyak

kelemahan atau luput dari perhatianya, belum memahami secara komprehensif

sejarah perundang-undangan anti korupsi yang telah diberlakukan sejak Tahun

1971 dan beberapa ketentuan pidana sejak Tahun 1955 perihal tindak pidana

ekonomi in case penyelundupan sehingga negara mengalami kerugian yang

sangat signifikan. Kerugian negara sejak era reformasi saja (2007-2012) mencapai

Rp 180 triliun, diselamatkakan hanya 20,82 %. KPK menyelamatkan kerugian

negara (2009-2014) atau sebesar Rp 728.445.149.242 atau tujuh ratus milliar

lebih. Adapun total anggaran belanja KPK (2009-2014) mencapai Rp

3.019.822.079.000 atau tiga triliun lebih (LHP BPK 2009-2014).

Menurut laporan lembaga pengkajian independent kebijakan publik Tahun

2016 menemukan data bahwa selama Tahun 2009-2014 KPK tidak dapat

melaksanakan tugas pengembalian keuangan negara yang maksimal yaitu hanya

sebesar RP 722.697.955.008 atau tujuh ratus milliar lebih, berbanding terbalik

dengan kepolisian sebesar RP 3.135.124.292. 282 atau tiga triliun lebih dan

kejaksaan sebesar Rp 6.637.161.971.801 atau enam triliun lebih.

Didalam laporan BPK Tahun 2017-2018, atas permintaan pansus KPK DPR RI

terdapat temuan bahwa manajemen penyelidikan KPK tidak dilandaskan pada

prinsip akuntabilitas, integritas, dan professional berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan publikasi tahunan Indonesian Corruption Watch (ICW) Tahun

2011-2016 tentang asset recovery tindak pidana korupsi oleh KPK sebagai berikut

:
136

2011 2012 2013 2014 2015 2016


Tindak pidana
Korupsi (kasus) 436 401 560 308 550 482
Kerugian
keuangan negara 2,1 10,4 7,3 5,3 3,1 1,45

Pengembalian
kerugian
keuangan n.a. n.a. n.a. 0,59 n.a. n.a.
negara (IDR
triliun)

Sumber : Diolah dari Publikasi Tahunan Indonesia Corruption watch (ICW)


(2011-2016

Pertanyaan selanjutnya terhadap data tersbut dari seorang mahasiswa tingkat

doctoral dalam penelitian disertasinya. Pertama, mengapa begitu sulit

memperoleh data pengembalian kerugian negara dari para pelaku tindak pidana

korupsi?. Kedua apakah ketiadaan data tersebut malahan tidak menimbulkan

dugaan publik dalam kaitanya dengan efektifitas pemberantasan korupsi terhadap

pengembalian kerugian keuangan negara. Dari deret waktu (time series) dalam

data itu, hanya Tahun 2014 yang mencantumkan data mengenai pengembalian
137

kerugian keuangan negara yang besarnya hanya 11, 13 % dari jumlah kerugian

keuangan negara tahun itu.112

Sesuai dengan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dan

undang-undang KPK arah kebijakan hukum atau orientasi dalam penegakan

hukum tindak pidana korupsi lebih mengutamakan pemberantasan korupsi

kerugian negara dengan memaksimalkan pengembalian kerugian keuangan negara

sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 17 dan 18 Huruf b Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatakan selain dapat dijatuhi

pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3…...dan seterusnya, juga

pidana tambahan yaitu pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-

banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

Dari data tersebut diatas menunjukan pengembalian kerugian keuangan

negara oleh KPK terabaikan, padahal pemberantasan tindak pidana korupsi bukan

sekedar menghukum pelakunya, tapi juga memaksimalkan penegmbalian kerugian

keuangan negara bahkan ternyata anggaran KPK jauh lebih besar disbanding

dengan uang negara yang berhasil diselamatkan, hal tersebut menunjukan

pemberantasan korupsi oleh KPK tidak efektif dan efisien.

Terabaikanya pengembalian kerugian keuangan negara menurut penulis

disebabkan hal-hal sebagai berikut :

a. Karena terjadi disorientasi kewenangan KPK dalam penegakan hukum untuk

memberatans korupsi yaitu lebih berorientasi pada tindak pidana korupsi suap

melalui operasi tangkap tangan (OTT), dibanding korupsi keuangan negara.

112
M. Adi Toegarisman, Pemberantasan Korupsi Dalam Proyek Strategis Nasional, PT Kompas
Media Nusantara, Jakarta, 2018, Hal 7-8
138

b. Telah terjadi overload (beban berlebihan) dalam prosses penegakan hukum

tindak pidana korupsi, dimana KPK terlalu banyak menangani perkara suap yang

nilainya kecil, sedangkan KPK kekurangan penyidik. 113

Kedepan diharapkan KPK dalam menggunakan kewenanganya untuk

melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi lebih

berorientasi pada pemberantasan korupsi keuangan negara dibanding perkara

korupsi suap, dengan memaksimalkan pengembalian kerugian keuangan negara,

agar tidak terjadi disorientasi kewenangan KPK dalam penegakan hukum.

Mahfud juga menyoroti isu lain soal penegak hukum Ia khawatir bila

negara tak mampu menegakkan hukum, akan terjadi disorientasi hingga

ketidakpercayaan masyarakat. “Kalau kita diam, negara ini menuju kejatuhannya.

Karena kalua hukum tak tegak, suatu negara tak mampu menegakkan hukum,

berarti disorientasi terhadap nilai Pancasila dan konstitusi. Kalau disorientasi dia

biarkan akan jadi public distrust, ketidakpercayaan masyarakat,” kata dia114

113
semakin banyak OTT kepercayaan warga kepada KPK semakin tinggi La Ode menuturkan
akibat keterbatasan penyidik, banyak laporan masyarakat yang belum ditindak lanjuti, La Ode
Muhammad Syarif Siap diomeli, Harian Kompas, 5 Agustus 2016
114
https://www.cnnindonesia.com/, Diakses 28 April 2023
139

2. Penegakan Hukum Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Melalui Operasi

Tangkap Tangan.

Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera,

dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk

mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut,

perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada

khususnya.

Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi

masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya

semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah

menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat

berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya

pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan

diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan

masyarakat.

Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengamanatkan dalam waktu

dua tahun sejak Undang-Undang Ini berlaku dibentuk Komisi Tindak Pidana

Korupsi yang mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan


140

supervise, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.115

Sesuai dengan ketentuan Pasal 43 tersebut, dibentuk Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.

Semakin meningkatnya korupsi di Indonesia, sehingga diperlukan badan

khusus yaitu KPK yang mempunyai kewenangan luas, sebagaimana ditegaskan

dalam Alinea ke-2 penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

bahwa Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan

pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan

karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai

kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun

dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi

dituntut cara-cara yang luar biasa.

Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan

secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu

diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan

suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas

dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang

pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, professional, serta

berkesinambungan.

115
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan penjelasan Umumu, LN Tahun 2002 Nomor 137. TLN Nomor 4250
141

KPK sebagai Lembaga yang mempunyai kewenangan yang luar biasa, dapat

dilihat dari tugas dan kewenangan KPK yang sangat luas, antara lain diatur dalam

Pasal-Pasal Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tersebut, yaitu sebagai

berikut :

Pasal 6 : Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:

a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemb

erantasan tindak pidana korupsi;

b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemb

erantasan tindak pidana korupsi;

c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

terhadap tindak pidana korupsi;

Pasal 7 : Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang

Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

tindak pidana korupsi;

Pasal 8 : (1) Dalam melaksanakan tugas supervise sebagaimana dimaksu

d dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pernberantasan Korupsi berw

enang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan

terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewen

angnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana

korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan

publik.
142

(2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada a

vst (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga men

gambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak

pidana korupsi yang sedang dilakuhan oleh kepolisian atau

kejaksaan.

Pasal 11 : 1. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal

6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melak

ukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana

korupsi yang :

a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara,

dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana

korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau

penyelenggara negara;

b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.

000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 12 : (1) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan,

dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :

melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002 kemudian direvisi dengan

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dimana terjadi

perubahan mengenai tugas dan kewenangan KPK.


143

Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6 : Komisi Pemberantasan Korupsi bertugas melakukan:

a. Tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi Tindak

Pidana Korupsi

b. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan instansi yang

bertugas melalsanakan pelayanan publik;

c. Monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara;

d. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

e. Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak

Pidana Korupsi;

Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7 : Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:

a. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan

harta kekayaan penyelenggara negara;

b. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;

Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8 : Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi

berwenang:
144

a. Mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9 : Dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :

a. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan

administrasi di semua lembaga negara dan lembaga

pemerintahan;

b. Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan

lembaga pemerintahan untuk melakukan perubahan jika

berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan

administrasi tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya

Tindak Pidana Korupsi; dan

c. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan

Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan

Korupsi mengenai usulan perubahan tidak dilaksanakan.

Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10 : 1. Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi

berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau

penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan

wewenangnya yang berkaitan dengan Pemberantasan Tindak


145

Pidana Korupsi.

Pasal 10A : 1. Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 10, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang

mengambil alih penyidikan dan/atau penuntutan terhadap

pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sedang dilakukan oleh

kepolisian atau kejaksaan.

Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11 : (1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang

melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

terhadap Tindak Pidana Korupsi yang:

a. Melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara

Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan

Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat

penegak hukum atau Penyelenggara Negara; dan/atau

b. Menyangkut kerugian negara paling sedikit

Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Dalam hal Tindak Pidana Korupsi tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan

Korupsi wajib menyerahkan penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan kepada kepolisian dan/atau kejaksaan.

(3) Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan supervisi

terhadap penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan


146

sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut

Pasal 12 : Dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi

Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan.

Pasal 12B : (1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1),

dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan

Pengawas

(2) Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilaksanakan berdasarkan permintaan secara tertulis dari

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

(3) Dewan Pengawas dapat memberikan izin tertulis terhadap

permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama

1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak

permintaan diajukan.

(4) Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas sebagaimana

dimaksud pada ayat (3), Penyadapan dilakukan paling lama 6

(enam) bulan terhitung sejak izin tertulis diterima dan dapat

diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.

Pasal 12C : (1) Penyelidik dan penyidik melaporkan Penyadapan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang sedang

berlangsung kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan


147

Korupsi secara berkala.

(2) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

12 ayat (1) yang telah selesai dilaksanakan harus

dipertanggungiawabkan kepada Pimpinan Komisi

Pemberantasan Korupsi dan Dewan Pengawas paling lambat

14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak Penyadapan

selesai dilaksanakan

Pasal 12D : (1) Hasil Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12

ayat (1) bersifat rahasia dan hanya untuk kepentingan

peradilan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(2) Hasil Penyadapan yang tidak terkait dengal Tindak Pidana

Korupsi yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan

Korupsi wajib dimusnahkan seketika.

(3) Dalam hal kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

tidak dilaksanakan, pejabat dan/atau orang yang menyimpan

hasil Penyadapan dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tugas dan wewaenang KPK yang diatur dalam Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002 secara substansi hamper

sama dengan tugas dan wewenang yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2009, bahkan ketentuan

mengenai kewenangan KPK dalam penyelidikan, penyidikan,

dan penuntutan tindak pidana korupsi dan ketentuan


148

mengenai penyadapan yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2019 lebih baik dibanding dengan yang

diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.

Ketentuan Pasal 11 Huruf b Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang kewenangan KPK dalam penegakan

hukum tindak pidana korupsi “yang mendapat perhatian

yang meresahkan masyarakat”, adalah pasal karet atau pasal

yang tidak jelas maknanya, walaupun dalam penjelasan Pasal

11 Huruf b disebutkan cukup jelas, karena semua perkara

korupsi menarik perhatian dan meresahkan masyarakat,

sehingga seharusnya Undang-Undang tersebut menjelaskan

maknanya. Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019

ketentuan Pasal 11 Huruf b Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 telah ditiadakan, sehingga lebih menjamin

adanya kepastian hukum

Pembahasan mengenai pemberantasan korupsi suap oleh

KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT), dibagi dalam

dua tahap, sebagai berikut :

a. Penyadapan

Akhir-akhir ini istilah penyadapan atau intersepsi menjadi hal yang biasa

diucapkan dan lumrah didengar ditengah-tengah masyarakat terutama setelah

kemunculan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan berbagai

problematikanya. Padahal KUHP yang berlaku sejak tahun 1918 sampai


149

dengan sekarang tidak mengenal bentuk tindak pidana “penyadapan”, sehingga

dalam KUHP sama sekali tidak didapat pengertian yuridis dari “penyadapan”

itu sendiri. Setali tiga uang dengan Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP),

yang diundangkan tahun 1981 juga sama sekali tidak mengenal Lembaga

penyadapan dalam proses penyelidikan, penyidikan dan persidangan suatu

tindak pidana.

UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dalam aturannya

melarang dengan tegas setiap orang untuk melakukan kegiatan penyadapan atas

informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun

(Pasal 40), dimana penyadapan tersebut terwujud dalam bentuk kegiatan

memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk

tujuan mendapatkan indormasi dengan cara tidak sah.

Dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang informasi transaksi elektronik (UU

ITE) juga dinyatakan larangan bagi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak

atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem

Elektronik tertentu mulik Orang Lain (Pasal 31 ayat 1). Ketentuan ini merujuk

pada Pasal 31 ayat (3) yang menyatakan, ”Kecuali intersepsi yang dilakukan

dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau

institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.116

Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak

pidana korupsi, sesuai ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor
116
Guse Prayudi, Op. Cit, hal. 159-160.
150

30 Tahun 2002 KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam

pembicaraan. Dalam ketentuan Undang-Undang tersebut tidak dijelaskan apa

yang dimaksud dengan penyadapan juga tidak dijelaskan bagaimana prosedur

penyadapan yang dapat dilakukan oleh KPK, namun dalam Pasal 12 Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2019 dijelaskan secara detail prosedur penyadapan.

Penggunaan teknologi intersepsi atau penyadapan merupakan suatu tindakan

yang biasa dilakukan oleh aparat penegak hukum maupun aparat intelijen baik

untuk dijadikan alat bukti dalam penanganan perkara dipengadilan maupun

kegiatan intelijen, success story Komisi Pemberantasan Korupsi dari berbagai

kasus yang diungkap dengan menggunakan tindakan penyadapan. Namun disisi

lain penyadapan juga dapat digunakan oleh oknum penegak hukum untuk

melakukan tindakan diluar penegakan hukum misalnya penyadapan yang

dilakukan oleh penyelidik KPK atas perintah Antasari Azhar (Ketua KPK pada

waktu itu) terhadap Nasruddin Zulkarnaen dan Rani Juliani oleh karena kedua

orang tersebut sering meneror pimpinan KPK, selama kurang lebih 3 bulan (6

Januari – 12 Maret 2009) atas perintah Antasari Azhar, tanpa ada alasan yang sah.

Kecenderungan penyalahgunaan penyadapan kemungkinan besar dapat terjadi

oleh karena sifat kerahasiaan dari penyadapan tersebut, dimana penyalahgunaan

penyadapan dapat relatif lebih mudah dilakukan ketika aturan hukum yang

melandasinya tidak sesuai dengan prinsip penghormatan atas hak asasi

manusia.117

117
Reda Manthovani, Op. Cit, hal. 203-204
151

Untuk kondisi sekarang ini hasil penyadapan bisa digunakan untuk menjadi

barang bukti yang diajukan KPK ke persidangan. Hasil penyadapan tersebut baru

mempunyai nilai atau manfaat jika memenuhi 2 syarat, pertama, informasi yang

diperoleh dari hasil penyadapan harus alami (natural evidence), kedua, substansi

dari informasi tersebut relevan dengan kasus yang sedang atau akan ditangani

oleh penyidik KPK. Dalam audit investigatif, auditor dengan intuisi atau

nalurinya, diberikan kebebasan menetapkan siapa saja yang harus disadap dan

kapan penyadapan dilakukan. Hal inilah yang mungkin bagi pihak-pihak tertentu

dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia.118

Dalam perkara tindak pidana korupsi, hasil penyadapan ini terakomodasi

menjadi alat bukti sesuai dengan ketentuan Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001, bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh

dari :

a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima,

atau disimpan secara elektronik dengan air optik atau yang serupa dengan

itu;

Penjelasan : yang dimaksud dengan “disimpan secara elektronik” misalnya

data yang disimpan dalam Micro Film, Compact Disk Read Only Memory

(CD ROM) atau Write Once Read Many (WORM).

118
Misra Dewita, Op. Cit, hal. 7-8
152

b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dijabat,

dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa

bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun

selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan,

suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi

yang memiliki makna.119

Hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan disidang pengadilan

tindak pidana korupsi pada dasarnya dilakukan sesuai dengan hukum acara pidana

yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini (Undang-Undang

Nomor 46 Tahun 2009). Kekhususan hukum acara tersebut antara lain mengatur

alat bukti yang diajukan didalam persidangan, termasuk alat bukti yang diperoleh

dari hasil penyadapan harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan

perundang-undangan.

Sesuai ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 bahwa

semua alat bukti yang diajukan didalam persidangan, termasuk alat bukti yang

diperoleh dari hasil penyadapan, harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Hakim menentukan sah tidaknya alat bukti yang

diajukan dimuka persidangan baik yang diajukan oleh penuntut umum maupun

oleh terdakwa.120

119
Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, L.N Tahun
2001 Nomor 134, T.L.N Nomor 4150.
120
Indonesia, Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi, L.N Tahun 2009 Nomor 155, T.L.N Nomor 5074
153

Persamaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

Undang-Undang KPK, Undang-Undang Pengadilan Tipikor, Undang-Undang

Narkotika, Undang-Undang Psikotropika, Undang-Undang Terorisme

menyatakan penyadapan merupakan bagian dari penyelidikan dan penyidikan

suatu tindak pidana. Perbedaannya yaitu Undang-Undang pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, Undang-Undang KPK, Undang-Undang Pengadilan Tipikor,

tidak diatur mengenai keharusan penyadapan perlu izin atau perintah dari pihak

manapun termasuk dari ketua pengadilan negeri, sedangkan Undang-Undang

Terorisme, penyadapan harus dilakukan atas perintah ketua pengadilan negeri.

Undang-Undang Narkotika, penyadapan dilakukan atas izin dari ketua pengadilan

dan jika telah dilakukan bisa minta persetujuan penyadapan. Undang-Undang

Psikotropika, penyadapan dilakukan atas perintah tertulis Kapolri atau pejabat

yang ditunjuknya.

Wacana penyadapan harus ada izin pengadilan bukan merupakan barang

tabuh dan bukan hal yang bertentangan dengan hukum bahkan praktek selama ini

izin pengadilan bukanlah sesuatu yang menghambat proses penanganan perkara,

bahkan izin pengadilan mempunyai nilai lebih dari nilai positif yakni adanya

lembaga penilai dan penyeimbang antara kewenangan penyidik dan hak asasi

manusia c.q orang yang disadap.121

Badan legislasi DPR mulai menysun draf rancangan Undang-Undang

tentang penyadapan. Dalam draf tersebut penegak hukum harus berkoordinasi

dengan pengadilan saat hendak menyadap. Dalam Pasal 5 ayat 2 bahwa

121
Guse Prayudi, Op. Cit, hal 171-172
154

pelaksanaan penyadapan dalam rangka penegakan hukum dikoordinasikan dengan

lembaga pengadilan. Didalam Pasal 10 menyebutkan bahwa pelaksanaan

penyadapan harus berdasarkan penetapan ketua pengadilan tinggi. Apabila

penyadapan akan dilakukan kepada pejabat yang memiliki kewenangan terkait

dengan penyadapan, penetapan diajukan kepada ketua Mahkamah Agung.

Wakil ketua baleg DPR (Sarmuaji) menyatakan penyusunan RUU

penyadapan ini merupakan amanat putusan Mahkamah Konstitusi yang

menyebutkan penyadapan harus diatur dengan Undang-Undang tersendiri.122

Keberhasilan KPK dalam mengungkap kasus-kasus korupsi khususnya korupsi

suap dengan operasi tangkap tangan (OTT) yang telah menyedot perhatian

masyarakat, sebagian besar didukung dari hasil penyadapan. Penyadapan pada

dasarnya merupakan salah satu teknik pemeriksaan untuk mendapatkan informasi

dalam upaya mengungkap kasus korupsi ataupun sebagai dasar menetapkan

langkah penyelidikan selanjutnya. Meskipun rekaman hasil penyadapan

berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak serta

merta dapat menjadi alat bukti hukum, namun informasi pada rekaman hasil

penyadapan terbukti sangat efektif untuk dapat memperoleh alat bukti menurut

sehingga mampu mengungkap terjadinya tindak pidana korupsi.123

Dalam perkembangannya sesuai ketentuan Pasal 26A UU Nomor 20 Tahun

2001 tentang perubahan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan

bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam

122
RUU Penyadapan Disusun, Kompas : Jumat 28 September 2018
123
Misra Dewita, Aspek Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Tindakan Penyadapan yang
Dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta: FH UI, 2011, Hal 6-7.
155

Pasal 188 Ayat 2 KUHAP juga dapat diperoleh alat bukti lain berupa informasi

yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat

optik atau yang serupa dengan itu termasuk setiap rekaman data atau informasi.

Penyadapan (intersepsi) merupakan senjata andalan aparat penegak hukum

dalam mengungkap kasus korupsi seperti kasus suap terhadap hakim PTUN

Medan yang menjerat pengacara OC Kaligis dan kasus penerimaan uang suap

oleh anggota DPR Dewi Yassin Limpo dari fraksi Hanura untuk proyek

pembangkit tenaga listrik di Sulawesi Selatan. Dua contoh kasus diatas

merupakan success story komisi pemberantasan korupsi dari berbagai kasus yang

berhasil diungkap dengan menggunakan tindakan penyadapan.124

Penyadapan atau intersepsi sebagai alat bantu KPK melakukan OTT dalam

rangka mengungkap kasus-kasus korupsi penyuapan merupakan senjata andalan

bagi KPK. Berkaitan dengan hal tersebut bahwa dalam kaitan dengan operasi

tangkap tangan (OTT) yang belakangan ini sering dilakukan KPK yang berujung

pada penetapan seorang pejabat sebagai tersangka, dapatkah dikatakan pejabat

tersebut tertangkap tangan?, perlu dijelaskan intinya adalah sebagai berikut:

Pertama, KPK sebelum melakukan OTT sudah pasti didahului tindakan

penyadapan, dimana hasil penyadapan merupakan bukti permulaan terjadinya

suatu tindak pidana. Kedua, berdasarkan Pasal 12 UU Nomor 30 tahun 2002

kewenangan KPK melakukan penyadapan pada tahap penyelidikan, artinya

penyadapan masih pada tahap menentukan ada tidaknya tindak pidana. Ketiga,

OTT hanyalah untuk mengkonkritkan serangkaian tindakan penyadapan yang


124
Reda Manthovani, Kumpulan Catatan Hukum, Jakarta: Buana Ilmu Populer, 2017, Hal 203.
156

telah dilakukan sebelumnya, artinya perkara tersebut sudah dapat diproses secara

pidana karena memiliki minimal dua alat bukti. Keempat, definisi tertangkap

tangan dalam Pasal 1 Angka 19 KUHAP, mungkin pejabat yang ikut ditangkap

dalam OTT tidak terdapat satu keadaan dalam Pasal tersebut karena dapat saja

barang bukti yang jadi objek suap belum ada atau tidak ada ditangan pejabat

tersebut, artinya tindak pidana penyuapan belum selesai atau masih dalam

percobaan.125

B. Operasi Tangkap Tangan Oleh KPK

1. Makna Operasi Tangkap Tangan

Delik tertangkap tangan berasal dari zaman Romawi yang disebut dengan

istilah delictum flagrans. Delik tertangkap tangan ini kemudian diadopsi hukum

pidana Perancis dengan istilah flagrant delit dan punya akibat hukum yang

berbeda dengan delik lain. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),

tertangkap tangan : tertangkap basah dalam percakapan sehari-hari, diartikan

sebagai kedapatan waktu melakukan kejahatan atau perbuatan yang tak boleh

dilakukan. Pengertian yang demikian tidak jauh berbeda dengan pengertian dalam

kamus hukum yang mendefinisikan tertangkap tangan sebagai kedapatan waktu

kejahatan sedang dilakukan atau tidak lama sesudah kejahatan dilakukan.126

Tertangkap tangan menurut ketentuan Pasal 1 ayat 19 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang

125
Eddy Os Hiariej, Memaknai Tertangkap Tangan, Kompas 29 September 2017.
126
Eddy Os Hiariej, Op. Cit, Kompas 29 September 2017
157

melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak

pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai

sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya

ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan

tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut

melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.127

Dalam kaitannya dengan operasi tangkap tangan (OTT) yang

belakangan ini sering dilakukan KPK, yang berujung pada penetapan

seseorang pejabat publik sebagai tersangka dapatkah dikatakan pejabat public

tersebut tertangkap tangan. Hal ini mengingat satu dari empat keadaan tidak

terdapat pada diri seorang pejabat publik saat KPK membawanya untuk

diinvestigasi lebih lanjut, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan. Pertama,

KPK sebelum melaksanakan OTT sudah pasti didahului serangkaian tindakan

penyadapan dalam jangka waktu tertentu. Hasil penyadapan pada dasarnya

bukti permulaan terjadi suatu tindak pidana. Kedua, berdasarkan Pasal 12

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, kewenangan KPK melakukan

penyadapan bukan pada tahap penyidikan melainkan penyelidikan.

Penyelidikan adalah tahap asal proses perkara pidana sebelum penyidikan.

Artinya penyadapan dilakukan masih pada tahap untuk menentukan ada

tidaknya suatu tindak pidana. Ketiga, OTT hanyalah untuk mengkonkritkan

serangkaian tindakan penyadapan yang telah dilakukan sebelumnya, sehingga

bukti permulaan yang telah diperoleh akan menjadi bukti permulaan yang

127
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, L.N Tahun
1981 Nomor 76, T.L.N Nomor 5145
158

cukup. Artinya perkara tersebut sudah dapat diproses secara pidana karena

memiliki minimal dua alat bukti.128

Maraknya penangkapan akhir-akhir ini yang dilakukan oleh KPK yang

dikenal dengan istilah Operasi Tangkap Tangan atau OTT memunculkan

polemik apakah sah atau tidak sah. Wacana ini muncul diawali dari intensnya

anggota DPR Fahri Hamzah mempermasalahkan OTT KPK di twitternya. Isu

OTT ini kemudian menjadi perdebatan antara dua orang guru besar hukum

pidana, Prof. Romli Atmasasmita dan Prof. Eddy Os Hiariej melalui kolom

opini di Kompas dan Koran Sindo.

Satu argumentasi yang muncul terkait Operasi Tangkap Tangan ini

dikaitkan dengan definisi Tertangkap Tangan dalam KUHAP. Pihak-pihak

yang menganggap bahwa OTT adalah ilegal mendasarkan pada argumentasi

bahwa tidak adanya istilah Operasi Tangkap Tangan dalam KUHAP, yang

ada hanyalah Tertangkap Tangan. Perbedaan tersebut kemudian disimpulkan

bahwa OTT adalah ilegal.

Apakah Operasi Tangkap Tangan sama dengan Tertangkap Tangan? Jelas

tidak. Operasi itu sendiri artinya menurut KBBI adalah pelaksanaan rencana

yang telah dikembangkan. Dari pengertian ini jelas bahwa Operasi Tangkap

Tangan memang tidak dimaksudkan sebagai sebuah istilah hukum apalagi

pelaksanaan sebuah norma, namun sebuah nama dari jenis operasi yang

dilakukan KPK.129

Apakah OTT KPK Legal atau Ilegal?


128
Eddy Os Hiariej, Op. Cit, Kompas 29 September 2017
129
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59e5e35ed4786/ftn2 diakses Tanggal 6 Februari
2019
159

Menurut Romli Atmasasmita Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran

bahwa fokus diskusi saya dan Prof. Eddy justru dalam tataran operasionalisasi

KPK dalam melaksanakan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan,

termasuk UU RI No 31 Tahun 1999 yang telah diubah UU RI Nomor 20 Tahun

2001 dan UU RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Salah satu diantaranya

pelaksanaan tugas dan wewenang KPK melakukan penyadapan tanpa izin

pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UU KPK yang digolongkan ke

dalam lex specialis. Ketika kasus MWK (alm) berusaha menyuap Khariansyah,

auditor BPK RI dalam pengadaan barang KPU tahun 2009, maka Khariansyah

menemui pimpinan KPK (Taufiequrachman Ruki cs) kemudian diatur strategi

penjebakan (entrapment).

Ketika Probosutedjo dimintai sejumlah uang oleh oknum pegawai MA,

maka diatur penjebakan dengan sejumlah uang senilai Rp 6 miliar (milik Pak

Probo) dan akhirnya pengacara Pak Probo yang ditangkap. Menurut

keterangan pengacara Pak Probo, Indra Syahnun Lubis, petugas KPK

bersembunyi di rumah Pak Probo untuk melakukan penangkapan. Peristiwa

tersebut mengawali proses bagaimana KPK melakukan ”operasi tangkap

tangan”.

Sebutan ini sekilas mirip pengertian ”tertangkap tangan” yang diatur

dalam Pasal 1 angka 19 UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana, yaitu ”…tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan

tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu

dilakukan, atau …sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga


160

keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang

menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau

membantu melakukan tindak pidana. ”

Penjebakan KPK dilanjutkan pada kasus UTG, mantan jaksa di Kejaksaan

Agung terkait penerimaan suap dari Artalyta, pegawai SYN-kasus BLBI.

Setelah peristiwa tersebut, masih banyak lagi kasus OTT KPK yang telah

berhasil menuntaskannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di PN Jakarta

Pusat. Kebiasaan praktik OTT KPK terus berlanjut sampai pada kasus Wali

Kota Batu di Malang yang menurut keterangan KPK telah ditangkap dalam

OTT. Sedangkan bersangkutan tidak sedang melakukan tindak pidana dan

menurut informasi yang bersangkutan baru selesai mandi di rumahnya.

Begitu pula kasus Bupati Kutai Kartanegara yang baru-baru ini ditangkap

dan menurut keterangan KPK juga ditangkap dalam OTT, sedangkan yang

bersangkutan sedang berada di Jakarta, bukan di Tempat Kejadian Perkara

(TKP).

Mengamati serangkaian proses yang dilakukan KPK, jelas peristiwa OTT

tersebut terjadi dalam proses penyelidikan karena sehari setelah kejadian,

ditetapkanlah yang dikenai OTT sebagai tersangka dan dilakukan penahanan

terhadap bersangkutan. Menyimak peristiwa OTT yang terjadi pada proses

penyelidikan KPK, dipastikan bahwa dasar formal OTT adalah Surat Perintah

Penyelidikan (Sprint-Lidik) bukan Sprint Dik atau yang saya dengar hanya

dengan surat tugas pimpinan KPK saja.


161

Aspek hukum dari serangkaian proses OTT tersebut adalah apakah

dibenarkan penangkapan (bukan tertangkap tangan) dalam proses

penyelidikan yang notabene sesuai KUHAP harus ditujukan untuk

menemukan peristiwa pidana sekalipun dalam UU KPK dalam penyelidikan

KPK dapat menemukan bukti permulaan yang cukup namun tidak mutatis

mutandis, penyelidik dapat menetapkan seseorang dijadikan tersangka. UU

KPK mewajibkan penyelidik melaporkan hasil lidik ke pada Pimpinan KPK

dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari untuk kemudian ditentukan

dilanjutkan ke tingkat penyidikan atau tidak dilanjutkan atau di hentikan.

Penetapan tersangka oleh KPK menurut UU KPK harus di lakukan oleh

pimpinan KPK dalam akhir tahap proses penyidikan (vide pertimbangan

Putusan Praperadilan atas nama Pe – mohon SN). Pendapat Prof

Eddy diharian ini kemarin menanggapi artikel saya telah menjelaskan bahwa

OTT bukan penjebakan, dalam kalimat, ”dengan demikian OTT yang

dilakukan KPK adalah mengonkretkan bukti yang telah diperoleh dari hasil

penyadapan. Tegasnya, OTT KPK adalah legal bukan hasil penyadapan”.

Penggunaan kalimat, ”mengonkretkan” untuk membenarkan OTT bukan

penyadapan. Langkah KPK ini tentu bertujuan ”membuat terang atau lebih

terang mengenai siapa yang terlibat, locus, dan tempus delicti,” melalui cara

pengintaian (interdiction) yang tidak diakui atau diatur, baik dalam UU

Tipikor No. 31 Tahun 1999 yang diubah UU No 20 tahun 2001 maupun UU

No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.


162

Dalam praktek KPK telah menggunakan hasil sadapan untuk melakukan

pengintaian (interdiction) terhadap calon tersangka dan kemudian dijadikan

barang bukti untuk bahan cross examination (pemeriksaan silang) dalam

pemeriksaan saksi dan tersangka. Masalah penyadapan yang dilanjutkan

dengan pengintaian dan penangkapan oleh KPK, sesungguhnya telah

menyimpang dari tugas dan wewenang KPK yang utama, yaitu koordinasi

supervisi (Pasal 6 huruf a dan b UUKPK). Karena itu, fungsi Lid, Dik, dan

Tut seharusnya dilakukan setelah fungsi korsup tidak efektif, karena

difungsikan menurut UU KPK sebagai lembaga ”trigger mechanism,” bukan

lembaga penyidikan dan penuntutan semata-mata.

Terkait wewenang penyadapan KPK, maka setelah putusan MK RI,

wewenang tersebut wajib diatur dan didasarkan pada ketentuan UU dan tidak

cukup memiliki alasan hukum dengan peraturan pimpinan KPK. Seharusnya

peraturan SOP penyadapan pimpinan KPK terbuka ke pada publik. Karena

KPK adalah lembaga penegak hukum, bukan badan intelijen negara di mana

akuntabilitas dan integritas menjadi taruhannya kepada publik, termasuk

mereka yang ditetapkan sebagai tersangka. Keterbukaan SOP penyadapan

harus jelas ditujukan terhadap siapa, alasan nya, berapa lama dan bagaimana

akuntabilitas dan kontrol didalam pelaksanaannya.130

1. Beberapa Kasus OTT Oleh KPK

130
https://nasional.sindonews.com/read/1364062/13/cetak-sejarah-ott-kpk-paling-banyak-tahun-
ini-1545202941, diakses Tanggal 6 Februari 2019
163

Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai dengan yang diatur dalam

Pasal 11 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, berwenang

melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi

yang menyangkut kerugian negara paling sedikit satu miliar rupiah.

Sesuai dengan penjelasan umum pada alinea 5 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 pembatasan kewenangan tersebut agar tidak terjadi

tumpang tindih kewenangan dengan instansi kejaksaan dan kepolisian.131

Namun faktanya banyak OTT yang dilakukan oleh KPK terhadap tindak

pidana korupsi suap banyak yang nilainya dibawah nilai satu miliar rupiah.

Sepanjang 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat

sejarah operasi tangkap tangan (OTT) terbanyak sejak lembaga tersebut

berdiri pada 2002. Kepala daerah, penegak hukum, anggota Dewan, pejabat

pajak, hingga kepala lapas satu per satu dicokok. Seperti menunggu giliran.

Ketua KPK Agus Rahardjo bahkan pernah mengatakan, jika pihaknya

memiliki tenaga yang cukup, KPK akan melakukan OTT setiap hari. OTT

terakhir kali digelar pada Rabu (12/12/2018). KPK menangkap Bupati

Cianjur Irvan Rivano Muchtar.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, penanganan kejahatan

korupsi di Indonesia masih membutuhkan perhatian yang serius dari banyak

pihak. "Banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Kasus-kasus yang

ditangani KPK menunjukkan korupsi masih terjadi dan jadi gejala di banyak

131
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, L.N Tahun 2002 Nomor 137, T.L.N
Nomor 4250, Pasal 11 dan Penjelasan
164

institusi," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK,

Jakarta, Rabu (28/11/2018).

Berikut rangkuman Kompas.com terkait OTT yang dilakukan KPK sepanjang

2018 ini yang nilainya dibawah 1 miliar rupiah sebagai berikut ;

1. Bupati Pakpak Bharat Remigo Yolando Berutu

Bupati Pakpak Bharat Remigo Yolando Berutu tertangkap tangan oleh KPK

pada Minggu (18/11/2018). Remigo menjadi tersangka karena diduga

menerima suap sekitar Rp 550 juta dari para kontraktor yang mengerjakan

proyek pada Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Pakpak Bharat.

2. Anggota DPRD Kalimantan Tengah

Pada Jumat (27/10/2018), KPK menggelar OTT di sejumlah titik di Jakarta.

Dalam operasi itu, KPK mengamankan 4 anggota DPRD Kalimantan Tengah dan

3 orang pihak swasta. Ketujuh orang tersebut ditetapkan menjadi tersangka.

Empat anggota DPRD itu adalah Ketua Komisi B DPRD Provinsi Kalteng Borak

Milton, Sekretaris Komisi B DPRD Provinsi Kalteng Punding LH Bangkan, serta

dua anggota komisi B DPRD Provinsi Arisavanah dan Edy Rosada. Sementara

tiga pihak swasta adalah Edy Sapurta Suradja selaku Direktur PT BAP atau Wakil

Direktur Utama PT Sinarmas Agro Resoirces and Technology, kemudian Willy

Agung Adipradhana selaku CEO PT Binasawit Abadi Pratama (BAP), dan Teguh

Dudy Syamsury Zaldy selaku Manager Legal PT BAP. Uang suap sejumlah Rp

240 juta diduga diberikan agar anggota DPRD tak lagi mempermasalahkan

sejumlah izin yang belum dikantongi PT BAP dalam menjalankan usaha sawit di

Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah.


165

3. Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra

Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra tertangkap tangan oleh KPK pada Rabu

(24/10/2018). Sunjaya menjadi tersangka karena diduga menerima hadiah atau

janji terkait mutasi jabatan, proyek, dan perizinan di Kabupaten Cirebon. Ia

diduga menerima uang sekitar Rp 100 juta dari Sekretaris Dinas PUPR Kabupaten

Cirebon Gatot Rachmanto. Diduga pemberian itu merupakan fee atas penetapan

Gatot sebagai Sekretaris Dinas PUPR Kabupaten Cirebon. Sunjaya juga diduga

menerima pemberian lain sebesar Rp 125 juta melalui ajudan dan sekretarisnya

dari pejabat-pejabat di lingkungan Kabupaten Cirebon.

4. Wali Kota Pasuruan, Setiyono

KPK melakukan OTT terhadap Wali Kota Setiyono pada Kamis (4/10/2018).

Setiyono ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima suap dari

pengusaha Muhammad Baqir. Dugaan suap itu terkait proyek belanja modal

gedung dan bangunan pengembangan pusat layanan usaha terpadu pada Dinas

Koperasi dan Usaha Mikro Pemkot Pasuruan. Pada 7 September 2018, setelah

Baqir ditetapkan sebagai pemenang lelang proyek, Baqir menyerahkan uang Rp

115 juta kepada Setiyono melalui pihak perantara.

5. Pejabat Pajak di Ambon

KPK pada Rabu (3/10/2018), menangkap pejabat pajak di Ambon, Maluku.

Dalam kasus ini, Kepala Kantor Pajak KPP Pratama Ambon La Masikamba

diduga menerima suap dari pengusaha Anthony Liando. Pemberian uang diduga

terkait kewajiban pajak wajib pajak orang pribadi Tahun 2016 di KPP Pratama

Ambon. Dalam operasi tangkap tangan, KPK menemukan pemberian terakhir


166

sebesar Rp 100 juta. Menurut KPK, diduga La Masikamba sudah menerima Rp

550 juta dari Anthony pada 10 Agustus 2018.

6. Bupati Lampung Selatan, Zainudin Hasan

Bupati Lampung Selatan Zainudin Hasan diamankan oleh KPK dalam OTT pada

Jumat (27/7/2018). Zainudin dan seorang pejabat Dinas PUPR diduga menerima

hadiah atau janji sebesar Rp 600 juta dari pemilik CV 9 Naga, Gilang Ramadhan,

yang meminta ditunjuk sebagai pelaksana proyek infrastruktur di Lampung

Selatan. Dalam pengembangan kasusnya, ia juga diduga melakukan tindak pidana

pencucian uang dengan menyamarkan hasil korupsinya ke dalam bentuk aset-aset

atas nama pribadi, keluarga atau pihak lainnya.

7. Bupati Labuhanbatu, Pangonal Harahap

Hari Selasa (17/7/2018) KPK menggelar OTT dan mengamankan Bupati

Labuhanbatu Pangonal Harahap. Pangonal diduga menerima suap terkait proyek-

proyek di lingkungan Labuhanbatu tahun anggaran 2018. Bukti transaksi sebesar

Rp 576 juta dalam kegiatan ini diduga merupakan bagian dari pemenuhan dari

permintaan Pangonal sekitar Rp 3 miliar dari pengusaha bernama Effendy

Sahputra.

8. Bupati Purbalingga, Tasdi

KPK menangkap Bupati Purbalingga Tasdi dalam OTT pada Senin (4/6/2018). Ia

diduga menerima gratifikasi Rp 100 juta dari kontraktor pemenang proyek

pembangunan Purbalingga Islamic Center tahap 2 tahun 2018.


167

9. Bupati Buton Selatan, Agus Feisal Hidayat

Tim penindakan KPK melakukan OTT di Kabupaten Buton Selatan, Sulawesi

Tenggara, Rabu (23/5/2018). Dalam OTT itu, KPK mengamankan Bupati Agus

Feisal Hidayat. Dalam kasus ini, ia diduga menerima gratifikasi sebesar Rp 409

juta dari kontraktor terkait proyek-proyek pekerjaan di Pemerintah Kabupaten

Buton Selatan.

10. Bupati Bengkulu Selatan, Dirwan Mahmud

KPK menggelar OTT di Bengkulu Selatan pada Selasa (15/5/2018) malam. Dari

operasi tersebut, KPK menangkap empat orang. Salah satunya adalah Bupati

Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud. Dirwan, istrinya Hendrati dan Kepala Seksi

pada Dinas Kesehatan Pemkab Bengkulu Selatan Nursilawati diduga menerima

suap dari seorang kontraktor bernama Juhari. Ketiganya diduga menerima suap

sebesar Rp 98 juta. Uang tersebut diduga sebagai fee atas proyek di Pemkab

Bengkulu Selatan yang akan dikerjakan oleh Juhari.

11. Bupati Jombang, Nyono Suharli Wihandoko

KPK menangkap Bupati Jombang, Jawa Timur, Nyono Suharli Wihandoko, di

Stasiun Solo Balapan, Jawa Tengah, pada Sabtu (3/2/2018), saat hendak menuju

Jombang.

Nyono terjerat dalam kasus suap terkait Dinas Kesehatan Kabupaten jombang

terkait perizinan dan pengurusan penempatan jabatan di Pemkab Jombang.

Nyono diduga menerima suap dari Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten

Jombang Inna Silestyanti.


168

Pada waktu itu, total suap yang diberikan kepada Nyono diperkirakan berjumlah

Rp 275 juta.132

12. Hakim Senior Wahyu Widya

Hakim Wahyu Widya Nurfitri terjaring OTT KPK dengan dugaan menerima suap

Rp 30 juta. Ini merupakan jumlah bukti terkecil untuk kelas hakim. Bagaimana

kariernya? Ia memulai karier sebagai calon hakim di PN Depok pada 1993. Di PN

Depok itulah Wahyu Widya berkarier selama 23 tahun. Dengan rentang waktu

yang cukup lama, Wahyu Widya meraih pangkat IV/a.

Namun apa lacur, karier 25 tahun Wahyu Widya hancur setelah ia menerima uang

Rp 30 juta. KPK yang mengendus transaksi itu langsung mencokoknya dengan

sejumlah bukti yang sangat kuat.

"Namun uang itu dinilai kurang dan akhirnya disepakati nilainya menjadi Rp 30

juta, kekurangan Rp 22,5 juta akan diberikan kemudian," ujar Wakil Ketua KPK

Basaria Panjaitan.133

Kepala Daerah yang Terjaring OTT KPK Selama 2017, antara lain sebagai

berikut :

132
https://nasional.kompas.com/read/2018/12/18/12352721/kaleidoskop-2018-daftar-29-ott-kpk-
sepanjang-2018?page=all diakses pada Tanggal 6 Februari 2019
133
https://news.detik.com/berita/d-3915659/terjaring-ott-rp-30-juta-ini-rekam-jejak-hakim-senior-
wahyu-widya?_ga=2.200046121.683364874.1552378387-363510360.1552378387, diakses
Tanggal 6 Februari 2019
169

1. Bupati Pamekasan

Bupati Pamekasan Achmad Syafii tertangkap tangan oleh KPK pada 2 Agustus

2017. Ia diduga terlibat kasus dugaan suap dalam pengurusan perkara pada

Kejaksaan Negeri Pamekasan.

Namun dalam kasus ini, ia diduga turut memberi suap sebesar Rp 200 juta kepada

Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan, Rudy Indra Prasetya. Uang itu diduga

sebagai upaya agar kejaksaan tidak mengusut laporan dugaan korupsi dana desa di

Pamekasan.

2. Wali Kota Tegal

Wali Kota Tegal Siti Masitha tertangkap tangan oleh KPK pada 29 Agustus 2017.

Siti ditangkap karena diduga menerima suap sebesar Rp 300 juta terkait

pengelolaan dana jasa kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah.

Ada dugaan Masitha sudah menerima uang sebesar Rp 1,6 miliar terkait

pengelolaan dana jasa kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah sejak

Januari hingga Agustus 2017. Selain suap terkait pengelolaan dana kesehatan di

RSUD Kardina, Masitha juga diduga menerima uang terkait proyek-proyek yang

ada di Pemerintahan Kota Tegal sebesar Rp 3,5 miliar.

3. Bupati Batubara

Pada tanggal 13 September 2017, KPK menangkap Bupati Batubara OK Arya

Zulkarnain. Dia ditangkap karena diduga menerima suap terkait sejumlah proyek

di daerah yang dia pimpin.

Diduga, suap yang diterima oleh OK Arya mencapai Rp 4,4 miliar. Suap itu

diduga terkait beberapa proyek infrastruktur di Kabupaten Batubara yakni yakni


170

pembangunan Jembatan Sentang senilai Rp 32 miliar, pembangunan Jembatan Sei

Magung senilai Rp 12 miliar, serta proyek betonisasi jalan Kecamatan Talawi

senilai Rp 3,2 miliar.

4. Bupati Nganjuk

Taufiqurrahman merupakan Bupati Nganjuk periode 2013-2018. Dia tertangkap

tangan oleh KPK di hotel Borobudur di Jakarta pada 25 Oktober 2017.

Taufiqurrahman ditangkap karena diduga menerima suap sebesar Rp 298 juta

terkait jual beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Nganjuk.

Sebelumnya, Taufiqurrahman juga pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK

pada Desember 2016 lalu. Dia diduga menerima gratifikasi serta melakukan

korupsi terkait proyek di Pemkab Nganjuk.

Taufiqurahman kemudian mengajukan gugatan praperadilan atas status

tersangkanya tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatannya tersebut

dikabulkan okeh hakim dan kasusnya dinyatakan harus dikembalikan ke

kejaksaan.
171

Gambar 3. Daftar OTT KPK dari tahun 2005 sampai 2017134

Sumber Data: www.viva.co.id (2017)

Operasi Tangkap Tangan KPK Sepanjang Tahun 2016

Fungsi penindakan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

sepanjang tahun 2016 dianggap sebagai bidang yang paling menonjol. Sejak

Januari hingga saat ini, KPK telah melakukan operasi tangkap tangan sebanyak 15

kali.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pada tahun ini KPK telah

menetapkan lebih dari 50 tersangka. Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif

mengatakan, KPK memang memiliki target untuk peningkatan jumlah kasus.

Dari rata-rata 60-70 kasus per tahun, KPK meningkatkan target menjadi 100 kasus

per tahun. Untuk tahun 2017, KPK menargetkan sekitar 200 kasus per tahun.

Meski kuantitas operasi tangkap tangan terbilang cukup tinggi, menurut Syarif,

KPK tetap mengupayakan adanya integrasi antara penindakan dan pencegahan.

Misalnya, KPK melakukan pendampingan pada instansi yang terkena penindakan

kasus korupsi agar hal serupa tidak terjadi lagi.

134
https://www.viva.co.id/berita/nasional/965440-daftar-ott-kpk-dari-tahun-ke-tahun-2017-paling-
sibuk, diakses pada Tanggal 10 Februari 2019
172

"Soal OTT tidak ditargetkan dari awal. Tapi bersyukur tim KPK bisa melakukan

OTT terbanyak selama sejarah KPK," kata Syarif kepada Kompas.com, Selasa

(13/12/2016).

Berikut beberapa daftar OTT yang dilakukan KPK sepanjang 2016 :

1. Andri Tristianto Sutrisna

Kepala Sub Direktorat Kasasi Perdata, Direktorat Pranata dan Tata Laksana

Perkara Perdata Mahkamah Agung, Andri Tristianto Sutrisna, ditangkap oleh

petugas KPK setelah menerima suap sebesar Rp 400 juta dari pihak yang

berperkara di Mahkamah Agung.

2. Bupati Subang

Ojang Sohandi ditetapkan sebagai tersangka karena diduga memberikan uang

sebesar Rp 528 juta kepada Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus korupsi

anggaran BPJS Kabupaten Subang tahun 2014. KPK menduga uang tersebut

diberikan agar Jaksa Penuntut meringankan tuntutan terhadap Jajang, dan

mengamankan Ojang agar tidak tersangkut kasus tersebut di persidangan.

3. Hakim Tipikor Bengkulu

KPK menetapkan lima orang tersangka setelah menggelar operasi tangkap tangan

di Bengkulu, Senin (23/5/2016).

Dua di antara lima tersangka, yakni Janner Purba dan Toton adalah hakim pada

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Bengkulu.

Janner dan Toton ditangkap karena diduga menerima suap sebesar Rp 650 juta

terkait perkara korupsi yang sedang ditangani keduanya di Pengadilan Tipikor.


173

Perkara yang dimaksud, yakni kasus korupsi penyalahgunaan honor dewan

pembina RSUD M Yunus di Bengkulu, untuk Tahun Anggaran 2011. Pemberi

suap kepada Janner dan Toton adalah dua orang terdakwa dalam persidangan

terkait korupsi di RSUD M Yunus.

Keduanya adalah mantan Kepala Bagian Keuangan Rumah Sakit Muhammad

Yunus, Syafri Syafii, dan mantan Wakil Direktur Keuangan RS Muhammad

Yunus, Edi Santroni.

4. Panitera PN Jakarta Utara dan Pengacara Saipul Jamil

Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara Rohadi terbukti menerima uang Rp 50

juta dari pengacara Saipul Jamil, Berthanatalia, untuk mengurus penunjukan

majelis hakim dalam perkara percabulan yang didakwakan kepada Saipul.

Selain itu, Rohadi menerima uang Rp 250 juta dari kakak Saipul Jamil, Samsul

Hidayatullah. Uang diserahkan melalui Bertha di depan Kampus Universitas 17

Agustus 1945, di Sunter, Jakarta Utara.

5. I. Putu Sudiartana

Anggota Komisi III DPR I Putu Sudiartana ditangkap setelah menerima suap

sebesar Rp 500 juta dari Kepala Dinas Prasarana Jalan, Tata Ruang dan

Permukiman Provinsi Sumatera Barat, Suprapto, dan pengusaha Yogan Askan.

Suap terkait pengurusan dana alokasi khusus (DAK) Provinsi Sumatera Barat.
174

1. Bupati Banyuasin

KPK menetapkan Bupati Banyuasin, Yan Anton Ferdian sebagai tersangka dalam

kasus suap terkait proyek di Dinas Pendidikan dan dinas lainnya di Kabupaten

Banyuasin.

Yan Anton diduga menerima suap terkait proses perencanaan, penganggaran dan

pelaksanaan proyek pengadaan barang dan jasa Dinas Pendidikan Kabupaten

Banyuasin.

2. Ketua DPD Irman Gusman

Irman ditangkap setelah menerima suap dari pengusaha Xaveriandy dan Memi

sebesar Rp 100 juta.

Suap tersebut terkait pengaturan kuota gula impor dari Perum Bulog untuk

disalurkan ke Sumatera Barat.

Irman diduga menggunakan pengaruhnya untuk mengatur pemberian kuota gula

impor dari Perum Bulog kepada perusahaan milik Xaveriandy.

3. Anggota DPRD Kebumen

KPK awalnya melakukan operasi tangkap tangan terhadap Ketua Komisi A

DPRD Kebumen, Yudhi Tri Hartanto dan Kepala Bidang Pemasaran pada Dinas

Pariwisata dan Kebudayaan Kebumen Sigit Widodo, pada Sabtu (15/10/2016) di

beberapa tempat di Kebumen, Jawa Tengah.

Yudhi dan Sigit diduga menerima suap terkait proyek di Dinas Pendidikan dan

Dinas Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Kebumen dengan total nilai proyek Rp

4,8 miliar untuk pengadaan buku, alat peraga dan peralatan teknologi informasi

dan komunikasi (TIK).


175

Pada saat operasi tangkap tangan, KPK mengamankan uang Rp 70 juta dari

tangan Yudhi, yang diduga sebagai bagian dari kesepatan.

4. Wali Kota Cimahi

KPK menetapkan Wali Kota Cimahi Atty Suharti dan suaminya M Itoc Tochija

sebagai tersangka.

Selain keduanya, KPK juga menetapkan dua orang pengusaha, yakni Triswara

Dhanu Brata dan Hendriza Soleh Gunadi sebagai tersangka pemberi suap.

Dalam pemeriksaan, para penyuap mengakui bahwa pemberian sebesar Rp 500

juta kepada Atty dan Itoc terkait proyek pembangunan tahap dua Pasar Atas Baru

Cimahi.

Kedua pengusaha ingin menjadi kontraktor proyek pembangunan pasar yang nilai

total proyeknya mencapai Rp 57 miliar.135

OTT KPK lainnya yang nilainya dibawah 1 miliar rupiah, sebagai berikut :

1. Pada tanggal 9 April 2013 KPK melakukan OTT terhadap Pargono Riyadi

pegawai kanwil Ditjen Pajak Jakarta Pusat dengan nilai uang sebesar Rp

75.000.000 yang diterima dari pengusaha swasta Asep Hendra yang berkaitan

dengan kasus perpajakan136.

2. Pada tanggal 14 Desember 2013 penyidik KPK melakukan OTT terhadap

seorang pengusaha bernama Lusita Ani Raak dan Kepala Kejaksaan Negeri Praya,

Lombok bernama Sabri, dalam OTT tesebut KPK mengamankan uang sebesar Rp

135

https://nasional.kompas.com/read/2016/12/14/11192801/kaleidoskop.2016.operasi.tangkap.ta
ngan.terbanyak.sepanjang.sejarah.kpk?page=4, diakses Tanggal 10 Februari 2019
136
https://nasional.sindonews.com/read/736315/13/ini-kronologi-ott-kpk-soal-pajak-1365518078
diakses pada tanggal 5 November 2018.
176

213 juta, terkait dengan kasus pengurusan perkara tindak pidana pemalsuan

dokumen sertifikat tanah137.

3. Pada tanggal 23 Agustus 2017 Tarmizi, panitera pengganti pengadilan negeri

jaksel terjaring OTT oleh KPK menerima uang sejumlah Rp 425juta dari Ahmad

dan dari Yusuf Nafik pengusaha swasta yang berkaitan dengan perkara perdata

yang ditangani oleh pengadilan negeri jaksel, Tramizi didakwa oleh KPK

menerima imbalan tersebut untuk menjadi penghubung kepada majelis hakim

yang menangani perkara138.

4. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan

(OTT) terhadap Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman dalam

kasus suap impor gula, pada Sabtu dini hari, 17 September 2016. Xaveriandy

Sutanto, adalah direktur dari CV SB. Bersama istrinya Memei ia menyambangi

kediaman Irman di Kuningan, Jakarta Selatan, pada Jumat, 16 September 2016,

pukul 22:15. Hadir pula adik lelaki Sutanto, Willy Susanto, dan anak pasangan

Sutanto-Memei. Pertemuan berakhir pukul 00:30, Sabtu dini hari, di mana mereka

diciduk di dalam mobil saat akan meninggalkan kediaman Irman Gusman, KPK

menemukan barang bukti Rp 100 juta di kamar tidur Irman139.

5. KPK menahan 22 anggota DPRD Kota Malang, tersangka kasus dugaan suap

dan gratifikasi dari Wali Kota Malang nonaktif Moch Anton. Sebelumnya, KPK

menetapkan 22 anggota DPRD Kota Malang sebagai tersangka suap dan

137
http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-V-24-II-P3DI-Desember-2013-
4.pdf diakses pada tanggal 5 November 2018.
138
https://nasional.kompas.com/read/2018/01/11/13154801/panitera-pengganti-pn-jaksel-didakwa-
terima-suap-rp-425-juta diakses pada tanggal 5 November 2018.
139
https://www.rappler.com/indonesia/146502-kpk-ott-anggota-dpd diakses pada tanggal 5
November 2018.
177

gratifikasi. Mereka diduga menerima duit Rp 12,5 Juta sampai 50 juta dari Wali

Kota Malang nonaktif Moch Anton, yang juga telah menjadi tersangka.140

Dalam kunjungan kerja ke Banda Aceh selasa 2 Agustus lalu wakil ketua

KPK Laode Muhammad Syarif menyampaikan kepada wartawan bahwa sejak

menjadi unsur pimpinan KPK, telepon selulernya sering berdering di tengah

malam. Jam 3 malam ada yang menanyakan, Pak ada OTT (Operasi Tangkap

Tangan). Banyak yang senang kalua ada OTT, sebab kepercayaan masyarakat

terhadap Lembaga itu salah satunya dipengaruhi oleh banyaknya penindakan.

Semakin banyak OTT kepecayaan warga kepada KPK semakin tinggi kata Laode.

Berdasarkan hasil survey internal KPK, masyarakat provinsi Riau memiliki

tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap KPK, mencapai 71%, karena sudah tiga

gubenur Riau ditangkap. Adapun provinsi dengan tingkat kepercayaan terendah

adalah Aceh, hanya 53% karena di Aceh belum pernah OTT.141

Dari uraian tersebut diatas, menunjukan KPK dalam memberantas tindak

pidana korupsi suap melalui OTT, banyak perkara yang nilainya kecil, dibawah

Satu Miliar Rupiah, bahkan ada yang dibawah Rp Seratus Juta Rupiah, padahal

KPK diamanatkan untuk menangani perkara tindak pidana korupsi yang nilainya

besar, yaitu minimal satu miliar rupiah, sehingga terjadi disorientasi kewenangan

KPK dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi suap yaitu tidak sesuai

dengan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang

menyatakan : dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6

140
https://www.cnnindonesia.com/, Diakses 30 April 2023
141
“Laode Muhammad Syarif Siap Diomeli” Harian Kompas Jumat 5 Agustus 2019.
178

huruf c, Komisi Pemberantasan korupsi berwenang melakukan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :

a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang

ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak

hukum atau penyelenggara negara;

b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Miliar

Rupiah).

Orientasi atau arah pemberantasan tindak pidana korupsi suap oleh KPK,

seharusnya sejalan dengan Pasal 11 Undang-Undang KPK tersebut, dengan lebih

fokus142 menangani perkara-perkara yang nilainya besar. Dengan kewenangan KPK

yang sangat luas, disayangkan kalau KPK banyak menangani perkara yang nilainya

kecil.

Pernyataan pimpinan KPK di Malang Jawa Timur pada tanggal 17 September 2017

yang menyatakan KPK tidak akan berhenti menggelar OTT pelaku korupsi dimana

nilai dari korupsi tidak akan dilihat, tapi dampak dari korupsi yang merugikan

masyarakat. Selama laporanya valid, itu harus ditangkap, namun jangan sampai

kepala daerah itu ditangkap dan berkantor di KPK, ujar Wakil Ketua KPK Laode

Syarif saat menjelaskan operasi tangkap tangan KPK di Batu Malang,143

142
Salah satu faktor penyuap kegagalan pemberantasan korupsi selama ini adalah lemahnya
orientasi, strategi dan focus pelaksanaanya. Diperlukan sebuah titik orientasi dan strategi yang
jelas untuk memudahkan focus pelaksanaanya. Lihat Eggi Sudjana, Republik Tanpa KPK Koruptor
Harus Mati, JP Books, Surabaya, 2008, Hal 47
143
Kompas, tanggal 18 September 2017
179

Pernyataan pimpinan KPK tersebut tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2002, sehingga KPK telah kehilangan orientasinya dalam penegakan

hukum tindak pidana korupsi dimana semua perkara korupsi akan ditangani

walaupun nilainya kecil, seharusnya KPK dengan kewenangan yang luar biasa

lebih fokus menangani perkara korupsi yang nilainya besar (minimal Satu Miliar

Rupiah), sedangkan untuk perkara korupsi yang nilainya kecil diserahkan kepada

kejaksaan atau kepolisian untuk ditangani, dimana KPK hanya melaksanakan

tugas koordinasi dan supervisi saja sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan

Undang-Undang KPK.

Kewenangan KPK dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi

sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 11 Undang-Undang KPK, selain

memiliki makna yuridis normatif, juga memiliki makna filosofis dalam konteks

Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang KPK.

Pembahasan pada penelitian ini fokus pada ketentuan Pasal 11 Huruf b dan c

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang menegaskan KPK berwenang

melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :

Huruf b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat dan/atau

Huruf c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (Satu

Milar Rupiah)

Dengan demikian kewenangan KPK dalam penegakan hukum bisa komulatif

pada ketentuan Pasal 11 Huruf b dan Huruf c, bisa juga bersifat alternatif antara

ketentuan Huruf b atau c. Maka makna yurudis normatif ketentuan Pasal 11 Huruf
180

b dan c Undang-Undang KPK yaitu kewenangn KPK dalam pemberantasan

korupsi dibatasi hanya pada perkara tindak pidana korupsi tertentu saja yaitu:

- yang mendapat perhataian yang meresahkan masyarakat dan menyangkut

kerugian negara minimal Satu Miliar Rupiah (komulatif Huruf b dan c)

Atau

- yang menarik perhatian yang meresahkan masyarakat atau yang menyangkut

kerugian negara minimal Satu Miiliar Rupiah (alternatif Huruf b atau c)

Sedangkan makna filosofis ketentuan Pasal 11 Undang-Undang KPK ada 2,

yaitu : pertama, dalam konteks Undang-Undang Dasar 1945, dimana hukum dan

penegakan hukum untuk memberantas korupsi dalam rangka mewujudkan

masyarakat adil, makmur, dan sejahtera sesuai dengan visi negara hukum

kesejahteraan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Konsep negara hukum

kesejahteraan juga nampak dalam konsiderans menimbang Huruf a Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang menjadi dasar pembentukan Undang-

Undang KPK, menyatakan bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang

adil, Makmur, dan sejahtera berdasarkan Pncasila dan Undang-Undang Dasar

1945, pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara

professional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan

keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional.

Kemudian dipertegas dengan ketentua Pasal 11 Huruf c Undang-Undang KPK

dimana KPK diamanatkan untuk menangani perkara korupsi yang menimbulkan

kerugian negara yang nilainya besar (minimal Satu Miliar Rupiah) dan
181

memaksimalkan pengembalian kerugian negara (asset recovery) untuk

kepentingan pembangunan.

Kedua makna filosofis ketentuan Pasal 11 Undang-Undang KPK adalah untuk

membatasi kewenagan KPK dalam pemberantasan korupsi, agar tidak terjadi

tumpang tindih kewenangan dengan instansi kepolisian dan kejaksaan dalam

penegakan hukum tindak pidana korupsi. Pemberian wewenang yang sangat besar

kepada KPK memang sangat mengkhawatirkan dapat terjadinya tumpang tindih

dengan kewenangan aparat lainnya dalam penanganan tindak pidana korupsi yaitu

kejaksaan dan kepolisian yang juga mempunyai kewenangan dalam penanganan

pemberantasan pidana korupsi. Hal tersebut juga disadari oleh pembuat Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002 dimana dalam penjelasan umum alinea kelima

dan keenam menyatakan : bahwa pada saat sekarang pemberantasan tindak

pidana korupsi sudah dilaksanakan oleh berbagai institusi seperti kejaksaan dan

kepolisian dan badan-badan lain yang berkaitan dengan pemberantasan tindak

pidana korupsi, oleh karena itu pengaturan kewenangan Komisi Pemberantasan

Korupsi dalam undang-undang ini dilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi

tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi tersebut.

Adanya kekhawatiran terjadinya tumpang tindih kewenangan antara kepolisian

dan kejaksaan dengan KPK dalam melakukan penegakan hukum terhadap tindak

pidana korupsi dapat diatasi dengan adanya ketentuan Pasal 11 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 yang menegaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi

berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana

korupsi yang :
182

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang

ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak

hukum atau penyelenggara negara.

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan atau

Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000 (satu miliar

rupiah).

Ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 juga membatasi

kewenangan KPK dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi yaitu hanya

yang meyangkut kerugian negara palin sedikit Satu Miliar rupiah

Bahwa kalau pembuat undang-undang saja sangat berhati-hati dalam menyusun

pengaturan kewenangan KPK dalam undang-undang tersebut agar tidak terjadi

tumpang tindih kewenangan dengan instansi penegak hukum seperti kepolisian

dan kejaksaan, sehingga dibuat ketentuan Pasal 11 dimaksud untuk membatasi

kewenangan KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, maka KPK juga

seharusnya berhati-hati dalm melaksanakan kewenangannya agar tidak

menyimpang dari ketentuan tersebut. Kalau KPK menangani semua perkara

tindak pidana korupsi tanpa perlu melihat jumlahnya sebagaimana yang

ditetapkan dalam ketentuan, maka akan terjadi tumpeng tindih dengan

kewenangan instansi penegak hukum lainnya.

Bahwa pernyataan pimpinan KPK di Malang Jawa Timur pada tanggal 17

September 2017 yang menyatakan KPK tidak akan berhenti menggelar OTT

pelaku korupsi dimana nilai dari korupsi tidak akan dilihat, tapi dampak dari
183

korupsi yang merugikan masyarakat,144 maka pernyataan tersebut tidak sejalan

dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, sehIngga kekhawatiran pembuat

undang-undang tentang kemungkinan terjadinya tumpang tindih kewenangan

KPK dengan pihak kepolisian dan kejaksaan benar-benar akan terwujud.

Banyaknya perkara suap melalui OTT yang nilainya kecil yang ditangani

KPK yang kemudian dibenarkan oleh pimpinan KPK, menunjukan KPK telah

kehilangan orientasi dalam pemberantasan korupsi, karena tidak konsinsten

melaksanakan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang KPK, padahal ketentuan Pasal

11 Huruf c tersebut sudah sangat jelas membatasi kewenangan KPK hanya pada

perkara korupsi yang menimbulkan kerugian negara minimal Satu Miliar Rupiah.

Apakah ketentuan Pasal 11 Hurf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

dapat dijadikan dasar bagi KPK, yang selama ini banyak menangani perkara suap

yang nilainya kecil dibawah Satu Miliar Rupiah, bahkan ada yang dibawah

Seratus Juta Rupiah. Pasal 11 Huruf b mengatakan, KPK berwenang melakukan

penelitian, penyidikan, dan penuntutan yang menarik perhatian yang

meresahkan masyarakat. Pasal tersebut merupakan pasal karet yang tidak jelas

sehingga bisa ditafsirkan secara benar bisa juga ditafsirkan secara keliru.

Penulis sendiri menafsirkan makna dari perkara korupsi yang menarik

perhatian dan meresahkan masyarakat adalah perkara korupsi yang ramai

diberitakan baik dalam media elektronik maupun media cetak sebelum perkara itu

ditangani oleh KPK. Hal senada juga dikemukakan dalam putusan praperadilan

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/PID.PRAP/2015/PN/JKT.SEL tanggal

144
Kompas, tanggal 18 September 2017
184

16 Februari 2015, yang akan diuraikan pada pembahasan terakhir sub bag ini.

Seharusnya pembuat Undang-Undang menjelaskan makna ketentuan Pasal 11

Huruf b tersebut agar tidak disalah tafsirkan oleh KPK dengan argumentasi bahwa

perkara suap yang nilainya kecil itu adalah perkara korupsi yang menarik

perhatian dan meresahkan masyarakat, karena setiap KPK melakukan OTT

perkara suap pasti ramai diberitakan baik di media cetak maupun elektronik.

Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan lembaganya bisa melakukan operasi

tangkap tangan (OTT) setiap hari jika jumlah personelnya cukup. Agus menyebut

diduga masih ada pejabat negara yang terlibat korupsi.145

Pernyataan Ketua KPK tersebut menunjukan telah terjadi disorientasi

kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi. Kalau KPK terbatas

personelnya, maka seharusnya KPK lebih fokus saja menangani perkara korupsi

yang nilainya besar, khususnya korupsi yang menyangkut kerugian negara.

Disamping itu KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi juga lebih

berorientasi pada hukum otonom dan hukum refresif, dimana hukum otonom

dimaksud menutup diri terhadap hal-hal di luar hukum seperti masalah ekonomi,

sedangkan hukum refresif lebih mengutamakan menghukum pelaku tindak pidana

korupsi dengan pidana penjara. Seharusnya KPK lebih responsif dalam penegakan

hukum, karena tujuan pemberantasan korupsi bukan hanya mempidanakan

pelakunya tapi lebih berorientasi untuk memaksimalkan pengembalian kerugian

keuangan negara untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat, dengan fokus

menangani perkara-perkara yang nilainya besar .

145
https://news.detik.com/, Diakses 1 Mei 2023
185

Pembentukan Pansus Hak Angket DPR sesungguhnya merupakan gugatan

parlemen terhadap dugaan judicial dictatorship oleh KPK. KPK sebagai Lembaga

“superbody” dalam pemberantasan korupsi, dianggap telah banyak melakukan

penyimpangan atas kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya (abuse of

power). Dugaan rekayasa bukti dan saksi kasus korupsi, operasi tangkap tangan

(OTT) tanpa disertai bukti fisik pengelolaan asset recovery yang tidak transparan,

penyalahgunaan wewenang penyadapan dan penanganan kasus-kasus korupsi

dengan jumlah kurang dari satu miliar rupiah, adalah dugaan-dugaan abuse of

power, yang telah dipublikasi oleh Pansus Hak Angket DPR dan telah menjadi

konsumsi publik.146

Kita perlu menyimak kembali apa yang pernah dikatakan oleh Kabareskrim

Polri Komjen Pol. Ari Dono Sukmanto agar KPK menangani kasus korupsi yang

nilainya besar, agar KPK bisa menyita aset milik para koruptor yang lebih besar

146
M. Adi Toegarisman, Pemberantasan Korupsi dalam Proyek Strategis Nasional, PT Kompas
Media Nusantara : Jakarta, 2018. Hal. 6 dan 7
186

yang bisa bermanfaat untuk negara, jangan yang ditangkap yang receh-receh saja

supaya negara jangan tambah rugi.147

Pendapat yang berbeda dari Indonesia Corruption Watch (ICW), yang

menyatakan bahwa kabar mengejutkan datang dari kepolisian. Melalui salah satu

petingginya, Kabareskrim, lahir gagasan dan kebijakan untuk “mengabaikan”

kejahatan korupsi yang dikategorikan kecil. Pengertian ini adalah apabila nilai

kerugian negara yang timbul lebih sedikit dari biaya yang dikeluarkan oleh aparat

penegak hukum untuk menangani perkaranya. Dalil yang digunakan untuk

mengusung kebijakan di ataas adalah perhitungan ekonomi atau kalkulasi untung

rugi. Artinya, negara diasumsikan mengalami kerugian apabila biaya menangani

perkara koeupsi dianggap lebih mahal dari kasus yang ditanganinya. Dalam

situasi semacam itu, negara dianggap tidak mendapatkan apapun secara ekonomi

saat menjalankan fungsinya untuk menegakan hukum. Pertanyaannya, sejak kapan

fungsi penegakan hukum atau fungsi untuk menegakkan aturan diukur dengan

pendekatan untung rugi secara ekonomi? Sejak kapan pula aparat kepolisian

berubah menjadi ekonom? Sebenarnya korupsi berkategori kecil tidak dapat

dijelaskan secara utuh. Aparat kepolisian menafsirkan korupsi kecil sebagai

perbuatan korupsi yang nilai kerugian negaranya lebih sedikit dari ongkos

penegakan hukumnya. Lalu, korupsi senilai berapa yang kemudian dianggap

kecil?148

147
https://www.merdeka.com/peristiwa/kabareskrim-ke-kpk-yang-ditangkap-jangan-receh-
receh.html
148
Adnan Topan Husodo (ICW), Keliru Pikir Pemberantasan Korupsi, Kompas, Selasa tanggal 27
Maret 2018.
187

Peneliti sendiri sependapat dengan pernyataan Kabareskrim Polri tersebut

agar KPK jangan menangani perkara yang nilainya kecil supaya negara jangan

tambah rugi, karena untuk perkara tindak pidana korupsi memang tidak dapat

dilepaskan kaitannya dengan keuangan negara dan perekonomian negara dimana

yang menjadi latar belakang perlunya pemberantasan tindak pidana korupsi

karena korupsi telah menimbulkan kerugian keuangan negara dan perekonomian

negara serta menghambat pembangunan nasional, tentunya dengan maksud untuk

pengembalian keuangan negara semaksimal mungkin dalam rangka kesejahteraan

rakyat dan jangan sampai penanganan tindak pidana korupsi justru menimbulkan

kerugian keuangan negara karena biaya perkara jauh lebih besar dibanding dengan

pengembalian keuangan negara. Bahwa pendapat dari ICW tersebut hanya dapat

dibenarkan untuk perkara-perkara tindak pidana umum seperti pembunuhan,

penganiayaan, penghinaan dan lain-lain yang tentunya tidak dapat dikaitkan

dengan untung ruginya negara.

Pendapat Kabareskrim Polri tersebut menunjukan bahwa dalam penegakan

hukum seharusnya lebih berorientasi pada visi negara hukum kesejahteraan dan

hukum respinsif, sedangkan ICW lebih berorientasi pada hukum otonom dan

refresif, dimana hukum dan penegakan hukum menutup diri dari aspek spsial dan

ekonomi, dengan lebih mengutamakan pemberian sanksi pidana penjara.

Berdasarkan APBN tahun 2012/13, biaya perkara untuk pemeriksaan perkara

tindak pidana korupsi di Kejaksaan telah dialokasikan sebesar Rp 250.000.000,-

(dua ratus lima puluh juta rupiah). Jika tindak pidana korupsi di wilayah Jakarta

Pusat, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 25..000.000,- sehingga


188

berdasarkan ketentuan Pasal 2 dan 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 (UU Tipikor

1999) Aparatur Penegak Hukum (APH) wajib mengembalikan uang segara

sebesar Rp 25.000.000,- dan menghukum pelakunya dengan sekurang-kurangnya

dengan ancaman hukuman 1 tahun atau 4 tahun dan seberat-beratnya 20 tahun.

Dari sudut pendekatan ekonomi, implementasi ketentuan tersebut untuk kerugian

negara jauh lebih kecil dari biaya perkara yang dialokasikan dalam APBN, dan

ditambah dengan biaya negara yang harus dikeluarkan selama pelaku menjalani

masa hukuman tersebut; jelas sangat tidak efisien.149

Bandingkan jika pengeluaran negara yang tidak sebanding dengan kerugian

negara yang berhasil diselamatkan digunakan untuk pembiayaan sarana dan

prasarana pendidikan dan kesehatan rakyat, tentu sangat bermanfaat dalam rangka

memperkuat langkah pemerintah untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Kenyataan

penyelamatan kerugian keuangan negara di atas juga membuktikan bahwa

penghematan pembiayaan negara dalam proses peradilan pidana sangat ditentukan

oleh seberapa efisien upaya pencegahan di sisi hulu (upstream) bukan ditentukan

dari seberapa jumlah (kuantitas) orang yang dijebloskan ke dalam penjara.

Analisis ekonomi mikro tentang pembiayaan negara dalam penegakan hukum

khusus pemberantasan korupsi telah membuktikan bahwa hukum yang represif

telah gagal memenuhi cita kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum bagi

seluruh rakyat Indonesia. Kini diperlukan perubahan orientasi dan landasan

berpijak dalam penegakan hukum khususnya pemberantasan korupsi, dari

149
Romli Atmasasmita dan Kodrat Wibowo, Op. Cit, hal. 91-92
189

orientasi hukum represif yang mengutamakan penjeraan (efek jera) kepada hukum

responsif.150

Substansi berikut yang terkait dengan konsep kerugian keuangan negara

adalah esensi teori analisis ekonomi atas hukum yang ditujukan untuk

menciptakan efisiensi dalam setiap keputusan hukum. Masalah efisiensi ini bukan

hanya sekedar untuk membandingkan rasionalitas perhitungan biaya penanganan

tindak pidana korupsi dari mulai penyelidikan hingga penuntutan yang rata-rata.

Akan tetapi, yang lebih penting adalah dalam penanganan tindak pidana korupsi,

negara tidak mengalami peningkatan jumlah kerugian keuangan negara akibat

nilai waktu dari uang, serta kehilangan kesempatan (opportunity lost) untuk

mencapai kesejahteraan masyarakat, akibat biaya pengorbanan yang hilang

sebagai akibat perbuatan korupsi.151

Perlu diketahui bahwa penggunaan analis ekonomi atas hukum hanya cocok

diterapkan terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan ekonomi. Secara umum

dapat dikatakan bahwa prinsip utama yang digunakan untuk memahami analisis

ekonomi terhadap hukum pidana adalah prinsip rasionalitas dan prinsip efisiensi.

Gary Becker mengemukakan konsep rasionalitas dihubungkan dengan hukum

pidana, berkaitan dengan analisis ongkos dan keuntungan (cost and benefit

analysis). Prinsip efisiensi mengandung makna penghematan, pengiritan,

ketepatan, atau pelaksanaan sesuai dengan tujuan. Efisiensi berkaitan dengan

tujuan dan sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan. Bila sarana yang ingin

dicapai membutuhkan lebih banyak biaya dibanding dengan tujuan yang ingin

150
Romli Atmasamita dan Kodrat Wibowo, Ibid, hal. 15-16
151
M. Adi Toegarisman, Op. Cit, hal. 154
190

dicapai, maka hal itu dikatakan tidak efisien. Sebaliknya jika penggunaan sarana

membutuhkan lebih sedikit biaya dibanding dengan tujuan yang ingin dicapai,

maka hal itu dikatakan efisien.152

Menurut Douglas N. Husak, perlunya efisiensi karena penyelenggaraan sistim

peradilan pidana menghabiskan banyak biaya yang sepenuhnya ditanggung oleh

negara. Dalam konteks perkara korupsi membutuhkan dan menghabiskan biaya

yang tidak sedikit. Di Kepolisian biaya penyelidikan dan penyidikan per perkara

korupsi sebesar RP 208.000.000,00, sedangkan di KPK pagu anggaran tahap

penyelidikan sebesar Rp.11.080.000.000,00 untuk proyeksi 95 perkara. Ditahap

penyidikan pagu anggaran Rp 13.451.000.000,00 untuk proyeksi 95 perkara dan

sebesar Rp 18.825.000.000,00 untuk penuntutan dan eksekusi perkara korupsi. Di

Kejaksaan total keseluruhan biaya penangan korupsi sebesar RP

300.388.000.000,00 untuk 2190 perkara. Biaya penangan perkara korupsi per

perkara di KPK sebesar Rp 443.000.000,00, sedangkan di Kejaksaan Agung

sebesar Rp137.000.000,00. Bukan hal yang mustahil jika kerugian keuangan

negara yang telah dikembalikan sebesar Rp300.000.000,00, sedangkan biaya

penanganan perkara mulai penyelidikan hingga eksekusi sebesar Rp

400.000.000,00. Praktik semacam ini tidak perlu dipertahan lagi hanya karena

alasan ingin membuat jera pelaku korupsi.153

Dari tataran empires terkait tindak pidana ringan dan tindak pidana korupsi.

Tindak pidana ringan (tipiring) dengan biaya perkara sebesar Rp 210.000.000,00

dan jumlah perkara tipiring pertahun sebanyak 250.000 perkara, maka terdapat
152
Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2011, Hal 187, 190, 191
153
Mahrus Ali dan Deni Setya Bagus Yuherawan, Delik-Delik Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2021,
Hal 61
191

total biaya negara yang dikeluarkan sebesar Rp 52.500.000.000.000 (Lima Puluh

Dua Triliun lebih) pertahun. Tindak pidana korupsi pertahun sebanyak 100.000

dan biaya perkara Tipikor sebesar Rp 250.000.000, maka total biaya negara

mencapai Rp 25.000.000.000.000 (Dua Puluh Lima Triliun) pertahun. Total biaya

penanganan perkara pidana pertahun adalah sebesar Rp 77.500.000.000.000

(Tujuh Puluh Tujuh Triliun lebih). Adapun khususnya untuk Tipikor, dalam kurun

waktu 2009-2014, penyelamatan kerugian negara oleh KPK sebesar Rp

728.000.000.000 (Tujuh Ratus Dua Puluh Delapan Miliar) dan oleh kejaksaan

sebesar Rp 6.000.000.000.000 (Enam Triliun). Perbandingan biaya negara untuk

penangan perkara Tipikor pertahun dan penyelamatan kerugian keuangan negara

oleh kedua lembaga penegak hukum tersebut selama lima tahun hanya mencapai

0,24% saja.154

Perbandingan antara hasil penyelamatan kerugian keuangan negara yang

berasal dari korupsi dan besaran dana APBN untuk KPK terlihat tidak sebanding

dan menimbulkan pertanyaan mengenai efektifitas dan kinerja KPK selama

periode 2009-2014 (lima tahun). Selama periode tersebut total nilai kerugian

negara yang diselamatkan KPK secara nominal adalah sebesar Rp 728,445 Miliar

dan besaran alokasi APBN yang terealisasi oleh KPK justru lebih besar yaitu RP

3, 02 Triliun.155

Dari data tersebut diatas untuk periode 2009-2014 ternyata dalam

pemberantasan korupsi instansi kejaksaan menyelamatkan kerugian keuangan

negara sebesar 6 Triliun Rupiah, sedangkan kerugian yang diselamatkan KPK


154
Romli Atmasamita, Ob.cid, Hal 95
155
Romli Atmasasmita, Rekontruksi Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Kompas Gramedia,
Jakarta, 2017, Hal 34-35
192

lebih kecil yaitu 728 Miliar Rupiah lebih. Hal tersebut menunjukan penanganan

perkara korupsi yang ditangani oleh KPK belum efektif dan efisien, termasuk

apabila dibandingkan antara besaran alokasi APBN yang terealisasi oleh KPK

sebesar Tiga Triliun Rupiah, lebih sedangkan kerugian negara yang diselamatkan

oleh KPK lebih kecil yaitu hanya sebesar 728 Miliar Rupiah lebih. Padahal

dibentuknya KPK karena dianggap instansi kepolisian dan kejaksaan dalam

memberantas korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien.

Menurut penulis, belum maksimalnya pengembalian kerugian negara oleh

KPK sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebabkan karena hal-hal sebagai berikut

a. Terjadi disorientasi kewenangan KPK dalam memberantas korupsi

yang lebih mengutamakan korupsi suap melalui OTT dibanding

tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian negara.

b. Dengan keterbatasan penyidik KPK menyebabkan terjadinya over

load (beban berlebih) dalam penanganan tindak pidana korupsi

karena terlalu banyak menangani perkara suap yang nilainya kecil

sehingga penanganan perkara korupsi yang menimbulkan kerugian

negara dan memaksimalkan penyelamatan kerugian negara (asset

recoveri) oleh KPK terabaikan.


193

Dalam Uraian sub bag ini pembahasan akan dibagi menjadi dua bagian,

pertama akan diuraikan mengenai hukum pidana korupsi suap dan kedua

mengenai penegakkan hukum tindak pidana korupsi oleh KPK melalui operasi

tangkap tangan.

Pertama, tindak pidana korupsi suap dalam hukum positif Indonesia, dirumuskan

dalam Pasal 5, 6, 11, 12, 13, dan 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun2001, yang rumusanya sebagai berikut :

- Pasal 5 Ayat 1 : Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun

dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua

ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara

negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut
194

berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan

kewajibannya; atau

b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau

berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau

tidak dilakukan dalam jabatannya.

- Pasal 5 Ayat 2 : Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima

pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b,

dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

- Pasal 6 (1) : Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan

paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp

150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp

750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk

mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau

b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan

peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri

sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat

yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada

pengadilan untuk diadili.

- Pasal 6 Ayat 2 : Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau

janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang

sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).


195

- Pasal 11 : Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan

paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00

(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima

puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima

hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji

tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan

jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji

tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

- Pasal 13 : Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri

dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau

kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat pada

jabatan atau kedudukan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3

(tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh

juta rupiah).

- Pasal 12 : Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara

paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana

denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji,

padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan

untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam

jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.


196

b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal

diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau

disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam

jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

c. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga

bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara

yang diserahkan kepadanya untuk diadili.

d. Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan

menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau

janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk

mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan

perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

- Pasal 12B Ayat 1 : Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau

penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan

jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan

ketentuan sebagai berikut:

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian

bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima

gratifikasi.

b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian

bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

- Pasal 12 B Ayat 2 : Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau
197

pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)

tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)

dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).156

Tindak pidana korupsi suap yang diatur dalam Pasal 5 Ayat 1 mengenai

korupsi suap kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara (pemberi suap)

diadopsi dari Pasal 209 KUHP (unsur-unsurnya sama). Pasal 5 Ayat 2 mengenai

pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima suap, diadopsi dari

Pasal 419 KUHP (unsur-unsurnya sama).

Tindak pidana korupsi suap yang diatur dalam Pasal 6 Ayat 1 mengenai

Pemberi suap kepada hakim atau advokat, diadopsi dari Pasal 210 KUHP (unsur-

unsurnya sama), Pasal 6 Ayat 2 mengenai hakim atau advokat yang menerima

suap diadopsi dari Pasal 420 KUHP. Pasal 11 mengenai pegawai negeri atau

penyelenggara negara yang menerima suap diadopsi dari Pasal 418 KUHP (unsur-

unsurnya sama). Pasal 13 mengenai pemberi suap kepada pegawai negeri atau

penyelenggara negara, merupakan pasal baru dari Undang-Undang Tindak Pidana

Korupsi (tidak diatur dalam KUHP). Pasal 12 Huruf a dan b mengenai pegawai

negeri atau penyelenggara negara yang menerima suap (pengulangan dari

ketentuan Pasal 5 Ayat 2). Pasal 12 Huruf c dan d mengenai hakim atau advokat

yang menerima suap (pengulangan dari Pasal 6 Ayat 2). Pasal 12B merupakan

pasal baru dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

156
https://jdihn.go.id/, Diakses 29 April 2023
198

Dari uraian tersebut diatas, ternyata pengaturan tindak pidana korupsi suap

dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bermasalah,

karena :

a. Terjadi tumpang tindih atau pengulangan yang serupa (duplikasi) terhadap

tindak pidana korupsi suap yang sejenis (unsur-unsurnya sama) yaitu

ketentuan Pasal 5 Ayat 2 (pegawai negeri atau penyelenggara negara yang

menerima suap), dengan ancaman pidana minimal 1 tahun dan maksimal 5

tahun, kemudian diatur lagi dalam Pasal 12 huruf a dan b dengan ancaman

pidana seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.

Demikian pula ketentuan Pasal 6 Ayat 2 mengenai hakim atau advokat

yang menerima suap, diancam pidana paling singkat 3 tahun dan paling

lama 15 tahun. Hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum tentang

pasal mana yang harus diterapkan dalam penegakan hukum tindak pidana

korupsi, sehingga tergantung subyektifitas penegakan hukum mengenai

pasal mana yang mau diterapakan, apakah yang ancaman pidananya ringan

atau ancaman pidananya yang berat.

b. Ancaman pidananya melanggar prinsip proporsionalitas karena ancaman

pidana dalam ketentuan Pasal 5 Ayat 1 (pemberi suap) adalah sama

dengan ancaman pidana dalam Pasal 5 Ayat 2 (pegawai negeri atau

penyelenggara negara) penerima suap yaitu masing-masing 5 tahun.

Seharusnya pegawai negeri atau peyelenggara negara penerima suap

ancaman pidananya lebih tinggi dari pihak pemberi suap yang biasanya

dari swasta karena pegawai negeri atau penyelenggara negara seharusnya


199

lebih berintregritas dan bertanggung jawab dibanding pihak swasta,

apalagi dikaitkan dengan ketentuan Pasal 52 KUHP yang menyatakan

bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana, melanggar

suatu kewajiban khusus dari jabatanya atau pada waktu melakukan

perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang

diberikan kepadanya karena jabatanya, pidananya dapat ditambah

sepertiga. 157

Demikian pula ketentuan Pasal 6 Ayat 1 Huruf a dan b (pemberi suap

kepada hakim atau advokat) dan ketentuan Pasal 6 Ayat 2 mengenai hakim atau

advokat yang menerima suap, ancaman pidananya sama yaitu minimal 3 tahun

dan maksimal 15 tahun. Seharusnya ancaman pidana bagi hakim lebih tinggi

dibanding pihak pemberi suap. Demikian pula ancaman pidana Pasal 12 Huruf a,

b, c, dan d juga melanggar prinsip proposionalitas, karena ancaman pidananya

sama dengan tindak pidana korupsi keuangan negara yang diatur dalam Pasal 2

dan 3, seharusnya ancaman pidana tindak pidana korupsi suap lebih rendah karena

korupsi suap tidak menimbulkan kerugian negara. Hal yang sama terjadi pada

ketentuan pada Pasal 2 dan 3 dimana anacaman pidana ketentuan Pasal 3 lebih

rendah daripada ketentuan Pasal 2, padahal seharusnya ketentuan Pasal 3

seharusnya ancaman pidananya lebih tinggi karena pelaku tindak pidana korupsi

dilakukan oleh pegawai negeri yang memiliki jabatan atau kewenangan, dikaitkan

dengan ketentuan Pasal 52 KUHP.

157
Moeljatno, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 2001, Hal 24
200

Penyusunan tindak pidana suap dalam KUHP jauh lebih bagus susunanya

bila dibanding dengan pengaturan tindak pidana korupsi suap dalam Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,

seperti sebagai berikut :

- Pasal 209 KUHP mengenai pemberi suap kepada pejabat berpasangan dengan

ketentuan Pasal 419 KUHP tentang pejabat yang menerima suap.

- Pasal 210 KUHP mengenai pemberi suap kepada hakim atau penasehat atau

adviseur untuk menghadiri siding pengadilan, berpasangan denagn Pasal 420

KUHP mengenai hakim atau adviseur yang menerima suap.

-Pasal 418 KUHP mengenai pejabat yang menerima suap yang tidak ada

pasanganya dalam KUHP, artinya pemberi suap ini tidak diancam pidana.

Pembuat rancangan undang-undang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

seharusnya memperhatika struktur penyusunan tindak pidana suap yang dalam

KUHP, yang pengaturanya sudah cukup bagus. Demikian pula ancaman

pidananya sesuai dengan prinsip proposionalitas dan logis, seperti ketentuan Pasal

209 KUHP tentang pemberi suap, ancaman pidananya maksimal 2 tahun 8 bulan,

sedangkan ancaman pidana ketentuan Pasal 419 KUHP mengenai pejabat yang

menerima suap dengan ancaman pidana paling lama 5 tahun.

Demikian pula ancaman pidana Pasal 210 KUHP mengenai pemberi suap kepada

hakim atau adviseur ancaman pidananya paling lama 7 tahun, sedangkan

ketentuan Pasal 420 KUHP mengenai hakim atau adviseur yang menerima suap

dengan ancaman pidana paling lama 9 tahun. Ketentuan Pasal 418 KUHP
201

mengenai pejabat yang menerima suap dengan ancaman pidana maksimal 6 bulan,

sedangkan pemberi suap tidak diancam pidana.


202
203

Efendi, Joanedi dan Johnny Ibrahim. (2016). Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
Kencana.

Fuady Munir. (2011). Teori Negara Hukum Modern. Bandung: PT Refika


Aditama

Latif, Abdul dan Hasbi Ali. (2016). Politik Hukum. Jakarta: Sinar Grafika

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ali, Achmad. (2009). Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.

Budiardjo. Miriam. (2019). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia


Pustaka Utama

Darmodiharjo, Darji. (2016). Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama

Daslani, Pitan. (2018). Menyibak Kebenaran. Jakarta: Bumi Aksara

Dewita, Misra (2011). Aspek Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Tindakan
Penyadapan yang Dilakukan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Jakarta:
Proposal FH UI.

Djaja, Ermansyah. (2010). Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: Sinar


Grafika

Limbong, Bernhard. (2013). Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Jakarta:


Margaretha Pustaka.

Lopa, Baharuddin. (1997). Masalah Korupsi dan Pemecahannya. Jakarta: PT


Kipas Putih Aksara.
204

Manthovani, Reda. (2017). Kumpulan Catatan Hukum. Jakarta: Bhuana Ilmu


Populer.

Marzuki, Peter Mahmud. (2016). Penelitian Hukum. Jakarta: Prenadamedia


Group.

MD, Mahfud. (1998). Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES.

Rahardjo, Satjipto. (2010). Sosiologi Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing.

Setiyono, Budi. (2018). Model & Desain Negara Kesejahteraan. Bandung:


Nuansa Cendekia

Sitabuana, Tundjung Herning. (2017). Berhukum di Indonesia. Jakarta: Konstitusi


Press.

Soekanto, Soerjdono dan Sri Mamudji. (2015). Penelitian Hukum Normatif.


Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Surachmin dan Suhandi Cahaya. (2011). Strategi & Teknik Korupsi. Jakarta: Sinar
Grafika.

Syaukani, Imam dan A. Aishin Thohari. (2018). Dasar-Dasar Politik Hukum,


Depok: PT. RajaGrafindo

Toegarisman, Adi M. (2018). Pemberantasan Korupsi dalam Proyek Strategis


Nasional. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara

Zudan Arif Fakrulloh. Bahan Kuliah Politik Hukum dan Kebijakan Publik,
2019/2020.

B. Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang Undang No.
31 Tahun 1999.

Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi.
205

Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-


Undang No. 30 Tahun 2002.

Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang No, 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan.

Putusan Praperadilan PN Jakarta Selatan No.04/PID.PRAP/2015/PN/JKT.SEL

C. JURNAL dan DISERTASI

Hikmawati, Puteri. Operasi Tangkap Tangan Dalam Penanganan Korupsi, Pusat


Penelitian Badan Keahlian DPR RI., 2018.

Herlambang, Formulasi Rumusan Tindak Pidana Penerima Hasil Korupsi dalam


Perspektif Kebijakan Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Program Doktor
Hukum, Universitas Brawijaya, Malang, 2011.

Indah, Harlina, Kedudukan dan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi


dalam Penegakan Hukum, disertasi Fakultas Hukum Program Pascasarjana
Universitas Indonesia, Jakarta, 2008.

Ino Susanti, Penegakan Hukum yang Berkeadilan oleh Komisi Pemberantasan


Korupsi dalam Memberantas Korupsi, Program Doktor Hukum, Universitas
Borobudur, Jakarta, 2020

Oly Viana Agustine, Erlina Maria Christin Sinaga, dan Rizkisyabana


Yulistyaputri,
Politik Hukum Penguatan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam Sistem Ketatanegaraan, Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara
Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2019.

D. Artikel/Surat Kabar

“KPK Tak Akan Hentikan OTT”, Kompas, 18 September 2017.

Bangun Sinergi, “Ciptakan Inovasi, Pencegahan Korupsi”. Kompas, 9 Desember


2019.

Stagnan 5 Tahun, Pemerintah dinilai belum serius, Kompas, 17 Maret 2020.


206

Perbaikan Sistem Anti Suap, Kompas 18 November 2019.

Bangun Sinergi, Ciptakan Inovasi Pencegahan Korupsi, Koran Kompas 9


Desember 2019.

Pandemi Tak Mengurangi Perilaku Korup Pejabat, Kompas 28 Februari 2021.

E. Website

http://indonesiabaik.id/infografis/tahun-2018-indeks-persepsi-korupsi-indonesia-meningkat,
diakses tanggal 23 Februari 2021

https://nasional.kompas.com/read/2021/01/28/14120521/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-
pada-2020-turun-jadi-37-peringkat-102-di diakses tanggal 23 Februari 2020
207

Anda mungkin juga menyukai