Mahkamah Agung (MA) melansir putusan soal kasus pengupahan tersebut dalam
websitenya, Jumat (28/4/2017). Putusan atas nama terpidana Bagoes Srihandojono
yang juga Direktur PT Panca Puji Bangun dan sudah berkekuatan hukum tetap.
Kasus bermula saat PT Panca Puji Bangun itu mempekerjakan 35 orang karyawan
di pabriknya di Jalan Tanjung Anom, Surabaya pada 2004. Nah, kurun 2004-
2010, PT Panca Puji Bangun menggaji buruhnya di bawah UMR. Yaitu:
1. Upah terendah yaitu Rp 680 ribu sebanyak 10 orang
2. Upah tertinggi sebesar Rp 1,2 juta.
3. Selain itu, buruh mendapatkan tunjangan tidak tetap yang besarnya
bervariasi, berupa yang hadir, uang makan dan uang premi.
Bagoes selaku Direktur PT Panca Puji Bangun dilaporkan telah melanggar Pasal
Pasal 90 ayat (1) dan (2) dan pasal 91 ayat (1)
(1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
(2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.
Tidak terima dengan putusan itu, Bagoes mengambil langkah hukum luar biasa
yaitu mengajukan peninjauan kembali (PK). Bagoes berdalih dirinya hanyalah
karyawan di perusahaan tersebut. Tapi apa kata MA?
"Menolak permohonan pemohon PK," ucap majelis yang terdiri dari Timur
Manurung, Prof Dr Surya Jaya dan Suhadi.
Alasan Bagoes yang mengaku hanya karyawan ditepis MA. Sebab, sebagai
direktur, mempunyai kemampuan untuk menyatakan sistem penggajian di
perusahaan telah melanggar perundangan yang berakibat pidana, yang tidak boleh
dilanggar oleh perusahaan dan harus dipatuhi.
Analisis :
Tujuan diadakannya Perjanjian kerja bersama (PKB) dibuat oleh dan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha secara musyawarah mufakat ialah agar seluruh
hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha termasuk didalamnya
upah, diatur dan disepakati oleh kedua belah pihak. Dengan adanya perjanjian
kerja bersama tersebut diharapkan proses hubungan industrial dapat berjalan
dengan baik dan harmonis karena segala hak dan kewajiban masing-masing pihak
telah disepakati bersama.
Permasalahan utama yang terjadi mengenai penetapan Upah Minimum adalah
kekeliruan penafsiran tentang arti Upah Minimum. Sementara pengusaha
menafsirkan bahwa Upah Minimum adalah tingkat upah pekerja/buruh. Sehingga
apabila pengusaha telah membayar upah sebesar Upah Minimum tanpa
mempertimbangkan tingkat, masa kerja, dan lain sebagainya sudah dianggap
memenuhi ketentuan yang berlaku.
Sedangkan pengertian Upah Minimum sebenarnya adalah upah terendah, bagi
pekerja/buruh tingkat terbawah, dalam masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun.
Sehingga pekerja/buruh yang mempunyai tingkat lebih tinggi atau masa lebih dari
1 (satu) tahun seharusnya menerima upah lebih besar dari sekedar Upah
Minimum. Untuk itu maka perlu adanya skala upah pekerja perusahaan.
Suwarto dalam bukunya yang berjudul Hubungan Industrial dalam Praktek
(2003, hal.186) mengatakan bahwa Upah merupakan salah satu aspek yang
sensitif di dalam hubungan kerja dan hubungan industrial. Antara 70 – 80 % kasus
yang terjadi dalam hubungan kerja dan hubungan industrial mengandung masalah
pengupahan dan berbagai segi yang terkait, seperti tunjangan, kenaikan upah,
struktur upah, skala upah dan lain sebagainya. Oleh karena itu tidak mustahil
apabila manajemen perusahaan senantiasa memberikan perhatian yang cukup
besar mengenai pengupahan di perusahaan masingmasing.
Dalam prakteknya banyak perusahaan yang belum memahami secara benar sistem
pengupahan. Ada sementara yang beranggapan bahwa dengan melaksanakan
Upah Minimum sudah merasa memenuhi ketentuan pengupahan yang berlaku,
sehingga mereka berharap tidak akan terjadi masalah yang berkaitan dengan upah
pekerja/buruh. Pemahaman semacam ini perlu diluruskan dengan mendalami
makna dan pengertian Upah Minimum dan system pengupahan secara
keseluruhan.
Idealnya tingkat upah ditetapkan di masing-masing perusahaan melalui
perundingan antara pekerja/buruh dengan pimpinan perusahaan. Untuk dapat
melakukan perundingan secara efektif, maka pekerja/buruh sebaiknya diwakili
oleh Serikat Pekerja/Serikat Buruh, sehingga perundingan dapat dilakukan dengan
menggunakan mekanisme baku untuk membentuk Perjanjian Kerja Bersama
(PKB). Kendala utama yang cukup besar adalah kemampuan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh masih terbatas untuk melakukan perundingan PKB dengan
pengusaha. Oleh karena itu pengaturan pengupahan secara intern perusahaan
dinilai belum cukup efektif.