Penetapan Upah Minimum sampai saat ini umumnya masih jauh di bawah
Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Upah Minimum setidaknya dapat diarahkan
pada pencapaian upah yang sesuai dengan kebutuhan hidup minimum. Hal ini
dikarenakan pada faktor kemampuan perusahaan yang masih cukup kesulitan
apabila Upah Minimum disesuaikan dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL)
sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
Untuk itu sangat diperlukan adanya penetapan Upah Minimum sebagai
upaya melindungi para pekerja/buruh sehingga upah yang diterimanya dapat
menjamin kesejahteraan bagi dirinya maupun keluarganya dan para pekerja/buruh
tidak diperlakukan semena-mena oleh pengusaha yang mempunyai kewenangan
dan kekuasaan dibalik kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh para
pekerja/buruh.
Permasalahan utama yang terjadi mengenai penetapan Upah Minimum
adalah kekeliruan penafsiran tentang arti Upah Minimum. Sementara pengusaha
menafsirkan bahwa Upah Minimum adalah tingkat upah pekerja/buruh. Sehingga
apabila pengusaha telah membayar upah sebesar Upah Minimum tanpa
mempertimbangkan tingkat, masa kerja, dan lain sebagainya sudah dianggap
memenuhi ketentuan yang berlaku.
Sedangkan pengertian Upah Minimum sebenarnya adalah upah terendah,
bagi pekerja/buruh tingkat terbawah, dalam masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun.
Sehingga pekerja/buruh yang mempunyai tingkat lebih tinggi atau masa lebih dari
1 (satu) tahun seharusnya menerima upah lebih besar dari sekedar Upah
Minimum. Untuk itu maka perlu adanya skala upah pekerja perusahaan.
Dalam manajemen sumber daya manusia upah juga harus dilihat sebagai
investasi atau human investment. Sebagai human investment, kenaikan upah atau
kesejahteraan tenaga kerja dapat dilihat sebagai perbaikan atau peningkatan
kualitas SDM atau pekerja/buruh, yang hasilnya akan diperoleh kemudian.
Apabila upah dan kesejahteraan lebih baik, maka dimungkinkan adanya perbaikan
kesehatan dan gizi, perbaikan ketrampilan melalui tambahan pendidikan, latihan,
bacaan, perbaikan disiplin, perbaikan syarat kerja, peningkatan semangat kerja,
adanya ketenangan kerja dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut akan mendorong
naiknya produktivitas kerja.
Sementara itu, dalam peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor : PER-17/MEN/VIII/2005 yang dimaksud dengan
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi
oleh seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non
fisik dan sosial, untuk kebutuhan 1 (satu) bulan.
KHL sebagai dasar dalam penetapan Upah Minimum merupakan
peningkatan dari kebutuhan hidup minimum (KHM) yang besarnya diperoleh
melalui survei harga. Survei harga dilakukan oleh tim yang terdiri dari unsur
tripartit yang dibentuk oleh Ketua Dewan Pengupahan Propinsi dan/atau
Kabupaten/Kota. Dewan Pengipahan Propinsi atau Kabupaten/Kota adalah suatu
lembaga non struktural yang bersifat tripartit, dibentuk oleh
Gubernur/Bupati/Walikota dan bertugas memberikan saran serta pertimbangan
kepada Gubernur/Bupati/Walikota dalam penetapan Upah Minimum.
Pedoman Survey harga penetapan nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL)
dilakukan menggunakan pedoman sebagaimana yang telah ditetapkan oleh
Menteri Tenagakerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : PER-
17/MEN/VIII/2005 yaitu melalui tahapan sebagai berikut :
3. Waktu Survei
Penyedia jasa seperti tukang cukur/salon, listrik, air dan angkutan umum.
Pelaporan
– Dewan Pengupahan Kabupaten/ Kota atau Bupati/ Walikota menyampaikan
laporan hasil survei berupa form isian KHL kepada Dewan Pengupahan Propinsi
setiap bulan.
– Dewan Pengupahan Propinsi menyampaikan rekapitulasi nilai KHL seluruh
Kabupaten/Kota di Propinsi yang bersangkutan kepada Dewan Pengupahan
Nasional secara periodik setiap bulan.