Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum mempunyai kaitan yang sangat erat dengan msyarakat. Hukum adalah
salah satu instrumen pengendalian sosial. Oleh karena itu, di mana ada masyarakat di situ
ada hukum. Hukum dengan demikian adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan
masyarakat manusia. Betapapun primitifnya, masyarakat senantiasa berada dalam
kehidupan yang dikendalikan oleh sistem hukum tertentu. Namun persepsi masyarakat
terhadap hukum tidak selalu sama. Persepsi masyarakat terhadap hukum, bagaimanapun,
dipengaruhi oleh filsafat dan nilai-nilai, dan persepsi itu untuk selanjutnya membentuk
sikap dan kesadaran terhadap hukum. Persepsi yang tepat terhadap hukum akan
menimbulkan rasa hormat dan kesadaran hukum yang positif.
Idealnya hukum itu mesti berfungsi sebagai “agent of change” atau “alat at-
taghyir” (sarana pembentuk, penentu, pelopor dan perubah) terhadap prilaku masyarakat.
Hal ini akan tercapai bila hukum tersebut terlebh dahulu mengambil tempat sebagai
social control dan social enginering. Suatu hal yang fital dalam mewujudkan idealitas
adalah kesadaran hukum. Terlepas dari hal itu semua, ada hal terpenting yang tidak boleh
terabaikan yakni jika ingin memberlakukan suatu hukum pada suatu wilayah atau negara,
maka terlebih dahulu hukum itu diproses menjadi hukum yang positif dalam arti “legis”,
“legality”, dan “Qanuniyah”, yang dalam istilah hukum Islam disebut dengan at-Taqnin.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Taqnin?
2. Apa saja bidang-bidang pentaqninan?

C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami tentang Taqnin.
2. Mengetahui dan memahami bidang-bidang pentaqninan.

D. Manfaat
Secara kasat mata kita dapat menerima manfaat dari pembelajaran materi ini
yaitu mengetahui dan memahami tentang bidang-bidang pentaqninan dari pembelajaran
Ilmu Fiqh, serta dapat menjadi referensi bagi pembaca khususnya dikalangan mahasiswa.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Taqnin
At-taqnin seakar kata dengan qanun yang berasal dari bahasa Yunani “canon”,
kemudian masuk ke dalam bahasa Arab melalui bahasa Siryani). Secara etimologis, qanun
berarti “ukuran segala sesuatu” (al-mistarah). Dalam perkembangan selanjutnya kata ini
digunakan untuk menyebut “suatu peraturan” (al-qaidah). Pengertian inilah yang masyhur
dan umum digunakan sampai sekarang di Eropa.
Ulama fiqh mengemukakan bahwa secara terminologis at-taqnin bisa diartikan
sebagai penetapan –oleh penguasa- sekumpulan Undang-Undang yang mempunyai daya
dan memaksa dalam mengatur hubungan sesama manusia dalam suatu masyarakat” atau
bisa juga diartikan secara khusus sebagai “penetapan –oleh penguasa- sekumpulan undang-
undang untuk mengatur masalah tertentu.
Selanjutnya Imam Muhammad Abu Zahrah, seorang pakar hukum Islam Mesir
dan mantan rektor Universitas al-Azhar, mendefinisikannya sebagai hukum-hukum Islam
dalam bentuk buku atau kitab undang-undangg yng tersusun rapi, praktis dan sistematis,
kemudian ditetapkan dan diundang-undangkan secara resmi oleh kepala negara, sehingga
mempunyai kekuatan hukum yang megikat dan wajib dipatuhi serta dilaksanakan oleh
suluruh warga negara.

B. Sejarah dan Perkembangan Taqnin


Pemikiran tentang at-taqnin dalam Islam sebenarnya telah dimulai sejak zaman al-
khulfa ar-Rasyidun (empat khalifah besar), ketika Umar bin al-Khattab mengajukan usulan
kepada khalifah Abu Bakar Siddiq untuk membukukan Alquran. Kemudian pada zaman
Umar bin Abdul Aziz, khalifah Bani Umayyah, dilakukan pula at-taqnin terhadap sunah
Rasulullah SAW.
Adapun ide a-taqnin terhadap hukum Islam (fiqh) pertama kali dicanangkan oleh
Abu Muhammad “Ibnu al-Muqaffa”, sekretaris negara di zaman pemerintahan Abu Ja’far
al-Mansur (memerintah tahun 137 – 159 H) dari Bani Abbasyiah. Ide ini diajukan oleh
Ibnu al-Muqaffa kepada khalifah karena menurut pengamatannya terdapat kekacauan
hukum dan peradilan ketika itu.
Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam at-taqnin tersebut, antara lain :
1. untuk memberikan batasan jelas tentang hukum sehingga mudah disosialisasikan di
masyaraka;

2
2. dan untuk membantu para hakim dalam merujuk hukum yang akan diterapkan terhadap
kasus yang dihadapi, tanpa harus melakukan “Ijtihad lagi.
Inilah yang mendorong Ibnu al-Muqaffa sebagai sekretaris khalifah ketika itu
untuk mengajukan usul kodifikasi hukum Islam, melalui bukunya ar-risalah as-Sahabah.
Dalam buku tersebut, Ibnu al-Muqaffa berharap kekacauan hukum dan
subyektifitas hakim di lembaga peradiln dapat dihindari dengan adanya kodifikasi hukum
Islam. Dalam kodifikasi hukum Islam yang diinginkan Ibnu al-Muqaffa terkandung usulan
agar hukum yang dikodifikasi tidak hanya berasal dari satu mazhab fikqh, melainkan diplih
dan ditarjih dari berbagai pendapat mazhab fiqh yang lebih sesuai dengan kondisi dan
kemashlahatan yang menghendaki. Usulan ini secara otomatis berupaya menghilangkan
sekap ta’asub (fanatik) mazhab yang merajalela ketika itu.
Salah satu pendorong diperlukannya pembukuan hukum Islam adalah
perkembangan wilayah Islam yang semakin meluas, sehingga tidak jarang menyebabkan
timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para
Ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk
dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Akan tetapi, ide ini tidak mendapatkan dukungan dari pihak penguasa karena
dikhawatirkan akan terjadi kesalahan berijtihad di satu pihak dan keharusan bertaklid di
pihak lain. Artinya, apabila hukum telah dikodifikasi, maka keterpakuan pada hukum yang
teelah dikodifikasi merupakan bentuk taklid lain dan pemilihan hukut yang tepat dari
berbagai mazhab ketika itu tudak mungkin pula dapat menghindarkan unsur subyektifitas
sebagian ulama fiqh. Atas dasar ini, pihak penguasa tidak menanggapi serius usulan Ibnu
al-Muqaffa tersebut.
Selanjutnya, Abu Ja’far al-Mansur ketika bertemu dengan Imam Malik, meminta
kepadanya untuk menuliskan sebuah buku yang mencakup semua persoalan fiqh. Semula
Imam Malik secara diplomatis menolak permintaan khalifah tersebut dengan mengatakan :
“Penduduk Irak tidak mungkin menerapkan pendapat saya tersebut”. Teapi, khalifah Abu
Ja’far al-Mansur meyakinkan Imam Malik bahwa kitb yang akan disusun itu akan
diberlakukan si seluruh wilayah Abbasiyahdan mempunyai kekuatan hukum mengikat
untuk seluruh warganya. Ia memberi waktu bagi Imam Malik untuk menyelesaikan buku
tersebut selama satu tahun kamariah. Untuk memenuhi permintaan tersebut, Imam Malik
menyusun kitabnya yang terkenal al-muwatta.
Sesuai dengan waktu yang ditentukan, buku itu diserahkan kepada Muhammad
bin al-Mahdi, utusan khalifah. Menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, buku al-Muwatta’
ini merupakan bentuk kodifikasi fiqh ketika itu, akan tetapi, sesuai dengan jawaban Imam

3
Malik diatas, keinginan khalifah untuk hanya memberlakukan hukum yang terkandung
dalam kitab al-Muwatta’ dalam menyelesaikan berbagai kasud diberbagai tempat dan
budaya, tidak berjalan mulus.
Kodifikasi hukum Islam (fiqh) baru terealisasi pada tahun 1293 H/1876 M oleh
kerajaan Turki Usmani (kerajaan Ottoman) dengan lahirnya kodifikasi hukum Islam
pertama dalam mazhab hanafi, yang disebut Majallah al-Ahkam al-adliyyah (Hukum
perdata kerajaan Turki Usmani), yang diberlakuakn disegenap wilayah kekuasaan Turki
Usmani ketika itu sampai dasawarsa abad ke-20. majallah al-ahkam al-adliyah memuat
1.851 pasal yang tersebar dalam 16 bab. Akan tetapi, kodifikasi hukum yang dihimpun
oleh ulama fiqh di zaman turki Usmani ini hanya mencakup bidang muamalah dan berasal
dari satu mazhab saja, yaitu mazhab Hanafi. Mesir dan Suriah, yang tidak tunduk kepada
kerajaan Turki Usmani, tidak menerima kodifikasi hukum fiqh tersebut karena mayoritas
umat Islam di kedua daerah itu bermazhab Syafi’i.[6]
Setelah perang Dunia II, bermunculan kodifikasi hukum di berbagai negara Arab.
Sebelumnya, kodifikasi hukum Islam diawali oleh Mesir pada tahun 1875 dan diikuti pula
dengan kodifikasi tahun 1883. kodifikasi hukum di Mesir ini merupakan campuran antara
hukum Islam dan hukum Barat (Eropa). Setelah itu pada tahun 1920, Muhammad Qudri
Pasya, seorang pakar hukum Mesir, membuat kodifikasi hukum Mesir di bidang perdata
yang diambil secara murni dari hukum Islam (fiqh). Lebih lanjut kodifikasi hukum di
Mesir mengalami berbagaii perubahan antara lain pada tahun 1920, 1929, 1946 dan 1952.
di irak pun muncul kodifikasi hukum Islam yaitu pada tahun 1951 dan 1959. kodifikasi
hukum Islam di yordania pertama kali dilakukan pada tahun 1951 dan mengalami
perubahan pada tahun 1976. Libanon, yang merupakan bagian kerajaan Turki Usmani,
melakukan kodifikasi pula pada tahun 1917 dan 1934. kemudian suriah mulai
mengkodifikasi hukum Islam pada tahun 1949, Libya pada tahunn 1953, Maroko pada
tahun 1913, Sudan pada tahun 1967 dan negara-negara Islam lainnya.[7]
Sekalipun yang disebutkan di atas hanya sebagian yang berlaku di negara-negara
tersebut, khususnya di bidang hukum keluarga, perlu dicatat bahwa ide Ibnu al-Muqaffa
tentang kodifikasi hukum (taqnin) baru mendapatkan jawaban setelah negara-negara Islam
dijajah oleh Barat. Dalam upaya menghindari pengaruh hukum Eropa, ulama dan pakar
hukum Islam di berbagao negara tersebut berupaya untuk melakukan kodifikasi hukum
Islam, walaupun tidak meliputi seluruh aspek.

4
C. Sisi Positif dan Negatif Taqnin
Ide Ibnu al-Muqaffa untuk melakukan kodifikasi hukum Islam (taqnin) tidak
terlepas sama sekali dari analisis ulama di zamannya dan ulama sesudahnya. Mereka
melakukan berbagai penelitian dan pembahasan mengenai sisi negatif serta positif
kodifikasi hukum Islam yang diajukan Ibnu al-Muqaffa tersebut.
Dalam pembahasan para ahli fiqh, dikemukakan beberapa sisi negatif kodifikasi
hukum Islam tersebut antara lain:
1. Munculnya kekakuan hukum. Manusia dengan segala persoalan kehidupannya
senantiasa berkemdang dan perkembangan ini sering kali tidak diiringi dengan hukum
yang mengaturnya. Dalam persoalan ini ulama fiqh menyatakan, “Hukum bisa terbatas,
sedangkan kasus yang terjadi tidak terbatas.” Di sisi lain, fiqh Islam tidak dimaksudkan
untuk berlaku sepanjang masa, tetapi hanya untuk menjawab persoalan yang timbul
pada suatu kondisi, masa dan tempat tertentu. Oleh karena itu, hukum senantiasa perlu
disesuaikan dengan kondisi, tempat dan zaman yang lain. Tidak jarang diteukan bahwa
peristiwa yang menghendaki hukum lebih cepat berkembang dibandingkan dengan
hukum itu sendiri. Oleh karena itu, kodifikasi hukum bisa memperlambat
perkembangan hukum itu sendiri
2. Mandeknya upaya ijtihad. Kodifikasi hukum Islam dapat mengakibatkan kemandekan
upaya ijtihad dikalangan ulama fiqh. Seorang ulama atau hakim bisa saja terpaku pada
fiqh yang telah dikodifikasi tersebut sehingga perkembangan berpikirnya pun mandek.
3. Munculnya persoalan taklid baru. Kodifikasi. Kodifikasi hukum Islam bisa
memunculkan persoalan taklid baru karena warga negara yang terikat pada kodifiksi
hukum tersebut hanya terikat pada satu pendapat. Padahal fiqh Islam masih dapat
berkembang, berbeda antara satu pendapa dan pendapat lainnya, sehingga setiap orang
dapat mengikuti pendapat mana saja selama belum mampu berijtihad sendiri. Hal ini
juga memberikan kesan mengenai sempit dan sulitnya fiqh, serta berlawanan dengan
ungkapan iktilaf ala al-aimmah rahmah li al-ummah (perbedaan pendapat dikalangan
ulama merupakan rahmat bagi umat). Apabila suatu hukkum telah dikodifikasi, maka
hukum itu harus dipatuhi olehh seluruh warga negara dan bersifat mengikat bagi para
pelaku hukum. Apabila hakim menentukan hukum secara berbeda daengan hukum yang
telah dikodifikasi, maka hakim tersebut melanggar perundang-undangan yang sah.

Disamping sisi negatif di atas, ulama fiqh juga mengemukakan sisi positif adanya
kodifikasi hukum Islam tersebut, antara lain :

5
1. memudahkan para praktisi hhukum untuk merujuk hukum sesuai dengan keinginannya.
Kitab-kitab fiqh yag tersebar di dunia Islam penuh dengan perbedaan pendapat yang
kadang-kadang membingungkan dan menyulitkan. Dengan adanya kodifikasi hukum,
para praktisi hukum tidak perlu lagi mentarjih berbagai pendapat dalam literatur fiqh.
2. Mengukuhkan fiqh Islam dengan mengemukakan pendapat paling kuat. Fiqh Islam
penuh dengan perbedaan pendapat, bukan hanya antar mazhab, tetapi juga perbedaan
antarulama dalam mazhab yang sama, sehingga sulit untuk menentukan pendapat
terkuat dari sekian banyak pendapat dalam satu mazhab. Keadaan seperti ini sangat
menyulitkan praktisi hukum (apalagi orang awam) untuk memilih hukum yang akan
diterapkan, belum lagi meneliti apakah orang itu bermazhab Hambali atau Syafi’I,
sehingga hasil ijtihad Mazhab Hanafi atau Maliki tidak diterapkan kepadanya. Dalam
kaitan ini, kodifikasi hukum Islam yang sesuai dengan pendapat yang kuat akan lebih
prakti dan mudah dirujuk oleh para praktisi hukum, apabila di zaman modern ini para
hakim pada umumnya belum memenuhi syarat-syarat mujtahid, sebagaimana yang
ditetapkan oleh ulama.
3. menghindari sikap taklid mazhab di kalangan praktis hukum, yang selama ini menjadi
kendala dalam lembaga-lembaga hukum.
4. Menciptakan unifikasi hukum bagi lembaga – lembaga peradilan. Apabila hukum dalam
suatu negara tidah hanya satu, maka akan muncul perbedaan keputusan antara satu
peradilan dan peradilan lainnya. Hal ini bukan hanya membingungkan umat, tetapi juga
mengganggu stabilitas keputusan yang saling bertentangan antara satu peradian dan
peradilann lainnya. Dalam kaitan ini, Wahbah Zuhaili, ahli fiqh dan usul fiqh
kontemporer Suriah berkomentar bahwa kodifikasi hukum di zaman sekarang
merupakan tuntutan zaman dan tidak dapat dihindari karena tidak semua orang mampu
merujuk kitab-kitab fiqh dalam berbagai mazhab, khususnya orang yang tidak
menguasai bahasa Arab. Namun demikian, menurutnya, kodifikasi hukum Islam tidak
bersifat kaku. Artinya, kalau dikemudian hari ternyata tuntutan zaman dan perubahan
masyarakat menghendaki hukum lain dan penerapan sebagian materi hhukum yang
telah dikodifikasi tidak sesuai lagi dengan kemaslahatan masyarakat, maka pihak
pemerintah harus melakukan perubahan materi hukum tersebut.[8] Dalam kaitan dengan
ini, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah berlaku kaidah, “Perubahan hukum sesuai
perubahan situasi dan kondisi masyarakat dan lingkungannya.

Sekalipun ada kecemasan terhadap sisi – sisi negatif kodifikasi hukum Islam tersebut,
seperti mandeknya ijtihad dan tidak berkembangnya hukum, akhirnya ulama Islam di

6
zaman modern lebih banyak mendukung ide kodifikasi hukum di negeri masing-masing
karena terdesak oleh situasi dan kondisi sosio – kultural dan politik. Bahkan di berbagai
negara Islam, kodifikasi hukum disesuaikan dengan kebutuhan zaman dan bidangnya
masing-masing, seperti kodifikasi bidang hukum perdata, pidana perseorangan serta
keluarga, peradilan, tata usaha negara, administrasi negara dan keuangan negara.

D. Taqnin (Kodifikasi hukum Islam) di Indonesia


Kodifikasi hukum untuk umat Islam di Indonesia sudah ada sejak zaman
penjajahan, tetapi statusnya masih berada di bawah dominasi hukum adat karena teori
resepsi sangat berpengaruh dalam hukum saat itu. Karenanya dapat dikatakan bahwa
kodifikasi tersebut dimulai pada tahun 1974 dengan munculnya kodifikasi Undang-Undang
Perkawinan (UU No. 1/1974) dengan peraturan pelaksanaannya (PP No. 9/1979 dan PP
No. 10/1983), yang mengatur secara khusus persoalan perkawinan dan perceraian bagi
pegawai negeri sipil dan ABRI.
Kemudian muncul lagi Undang-Undang peradilan agama (UU No. 7/1989).
Undang – undang ini pada dasarnya merupakan tuntutan dari UU No. 14/1970 tentang
pokok-pokok kekuasaan kehakiman yang mengakui adanya empat macam peradilan di
Indonesia, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara dan
Peradilan Agama. Keempat peradilan ini memiliki kedudukan samam dan wewenang
secara mandiri mengadili perkara-perkara yang menjadi wewenangnya.
Selanjutnya, keluar pula Inpres RI No. 1/1991 tentang Kompilasi hukum Islam
dibidang hukum perkawinan, perceraian, waris, wakaf, wasiat dan hibah. Lahirnya
kompilasi hukum Islam di Indonesia (KHI), merupakan rangkaian lanjutan dalam upaya
penyajian referensi materi hukum Islam yang seragam bagi semua hakim di lingkungan
peradilan Agama dan instansi terkait, khususnya bidang Hukum Perkawinan, Hukum
Kewarisan, dan Hukum Perwakafan. Dengan adanya KHI tersebut semua produk hukum
yang keluar dari lingkungan Peradilan Agama harus berpedoman dan mengacu kepada
KHI tersebut.[9]
Sebelum muncul UU No. 1/1974, UU No 7/1989, dan Inpres RI No. 1/1991, di
Indonesia telah ada peraturan yang mengatur peradilan agama serta materi hukumnya,
namun semua itu adalah produk dari zaman pemerintahan Hindia Belanda. Ketiga
kodifikasi hukum Islam diatas merupakan produk putra-putra Indonesia, yang menyangkut
hukum Islam di Indonesia.

7
E. Bidang-Bidang Pentaqninan
1. Al-Ahwal Al-Syakhsiyah (Hukum Keluarga)
Hukum keluarga ini adalah hukum yang telah dilaksanakan di dunia
islam,bahkan telah menjadi hukum adat mereka. Sehingga kesadaran untuk menerapkan
hukum keluarga di dunia islam sangatlah tinggi, bukan saja di negara islam atau negara
dengan mayoritas penduduk islam tetapi di negara sekkuler tempat minoritas umat islam
pun tetap dipakai.
Pentaqninan di bidang al-ahwal al- syaksiyah ini merupakan contoh dimana
pengaruh hukum barat terhadap materi hukum islam relatif kecil bahkan tidak ada.
Disimi bidang al-ahwal-al-syaksiyah diperkenalkan oleh para ulama kepada masyarakat
melalui dakwahnya dan sekaligus memberikan contoh pelaksanaannya di dalam
kehidupan keluarga. Sosialisasi ini lama-kelamaan meningkatkan kesadaran hukum
masyarakat dan menjadikan hukum islam ini menjadi hukum adatnya. Pada masa kini
hampir seluruh negara islam sudah mempunyai hukum keluarganya,contohnya Timur
Tengah,Turki,Pakistan,dan di Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Di Mesir misalnya:
Undang-Undang perkawinan dikeluarkan pada tahun 1936;
Undang-Undang waris tahun 1943;
Undang-Undang wasiat dan wakaf 1946.
Di Syiria: Undang-Undang Hukum keluarga pada tahun 1953;
Di Yordania: Undang-Undang hukum keluarga pada tahun 1927
Di Irak: Undang-Undang perkawinan pada tahun 1959 dengan 88 pasal yang
memuat tentang waris,wakaf,dan wasiat didalamnya
Di Indonesia dengan keluarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tentang
Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik, Mendorong kebutuhan untuk pen-taqnin-an di dalam hokum keluarga, di tambah
dengan keluarnya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama yang di
dalam Bab III Pasal 49 Undang-undang tersebut dinyatakan:

“Pengadilan agama bertugas dan berwewenang memeriksa, memutuskan dan


menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang:
a. Perkawinan,
b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hokum islam,
c. Wakaf dan Sedekah”

8
Kenyataan di lapangan, hokum Islam yang di terapkan di lingkungan peradilan
agama yang menuju kepada kitab-kitab fiqh terdapat banyak perbedaan pendapat di
kalangan ulama’, untuk mengatasi hal ini diperlukan adanya satu buku-buku hokum
yang menghimpun semua hokum terapan yang berlaku bagi lingkungan peradilan
agama yang dapat dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya,
sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hokum.
Penggegas komplikasi hukum islam ini adalah Prof.H.Busttanul Arifin S.H,
ketua muda mahkamah agung urusan peradilan lingkungan agama yang kemudian
menjadi pemimpin umum pelaksana proyek. pembentukan kompikasi humum ini yaitu
dengan:
a. Pengumpulan data dengan penelahaan kitab-kitab dari 38 kitab yang diteliti ternyata
tidak semua berasal dari mahzab Safii meskipun 1/3nya atau 13 buku merupakan
mahzab syafii, selebihnya ada dari mahzab Maliki, hanbali,hanafi dan bahkan
Dhahiri dan kitab Muqaranah
b. Dengan Wawancara terhadap ulama-ulama yang berpengetahuan cukup dan
berwibawa yang dilakukan di 10 lokasi
c. Dengan penelitian yurisprudensi, putusan peradilan agama dengan studi banding di
Manako,Turki,,Mesir karena ketiga negara ini sudah memiliki undang-undang
hukum keluarga

Hasil dari proses komplikasi hukum keluarga diatas menghasilkan rancangan Kompilasi
Hukum Islam yang terdiri dari tiga buku yaitu:
a. buku I tentang Hukum Perkawinan,
b. buku II tentang Hukum Kewarisan, dan
c. buku III tentang Hukum Perwakafan,
Ketiga buku ini diterima baik oleh para ulama Indonesia dengan lokakarya di
Jakarta pada tanggal 2-5 Februari 1988, kemudian diberlakukannya denganinstruksi dari
presiden Republik Indonesia No. 1 tanggal 10 Juni 1991.
sampai saat ini para ulama masih ingin meningkatkan kekuatan peraturan
tersebut. dari instruksi presiden menjadi UU.
Dari sudut lingkup makna the ideal law, kehadiran kompilasi Hukum Islam
(KHI) merupakan rangkaian sejarah hokum nasional yang dapat mengungkapkan ragam
makna kehidupan masyarakat Islam Indonesia, terutama tentang:
a. adanya norma hokum yang hidup dan ikut serta bahkan mengatur interaksi sosial,

9
b. aktualnya dimensi normatif akibat terjadnya eksplanasi fungsional ajaran islam yang
mendorong terpenuhinya tuntutan kebutuhan hokum
c. response structural yang dini melahirkan rangsangan KHI, dan
d. alim ulama’ Indonesia mengantisipasi ketiga hal di atas dengan kesepakatan bahwa
KHI adalah rumusan tertulis hokum Islam yang hidup seiring dengan kondisi hokum
dan masyarakat Indonesia.
Selaras dengan wewenang utama Peradilan Agama, yang diterima baik oleh
para ulama’ dan sarjana Hukum Islam seluruh Indonesia dalam lokakarya yang
diselenggarakan di Jakarta tanggal 2 sampai dengan 5 Februari 1988, melalui Intruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 telah ditentukan sebagai pedoman
bagi instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan
masalah-masalah di ketiga bidang hokum tersebut.
Kompilasi Hukum Islam, yakni kumpulan atau himpunan kaidah-kaidah
hokum islam yang disusun secara sistematis tersebut terdiri dari tiga buku. Masing-
masing buku dibagi ke dalam beberapa bab dan pasal, dengan sistematika sebagai
berikut:
a. Buku I : Hukum Perkawinan terdiri dari 19 bab dengan 170 pasal ( 1 - 170)
b. Buku II: Hukum Kewarisan terdiri dari 6 bab dengan 44 pasal (171 - 214)
c. Buku III: Hukum Perwakafan terdiri dari 5 bab dengan 14 pasal (215 - 228)
Selanjutnya bagian hukum keluarga adalah wakaf, pemwakafan hanya dikenal
dalam hukum islam sedangkan dalam istilah barat wakaf adlah hukum adat. Dalam
hukum wakaf tercermin hubungan manusia dengan allah tetapi juga dengan aspek
ekonomi dan sosial.Wakaf itu ada yang disebut wakaf benda tetap (iqad) dan benda
bergerak (manqul).
Benda wakaf ada 2 yaitu benda bergerak dan tidak bergerak. benda tidak
bergerak meliputi: tanah,bangunan,tanaman,hak milik rumah susundll sedangkan benda
bergerak meliputi, uang,logam mulia,surat berharga,hak sewa dll.
Di Indonesia sejak dikeluarkannya UU Agraria maka pemerintah pun
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.28 tahun 1977 tentang pemwakafan tanah
milik. Kemudian dengan dikeluarkannya Inpres no 1 tahun 1991 pemwakafan di
Indonesia diatur lebih lengkap lagi, kemudian MUI memfatwakan tentang wakaf uang
pada tahun 2002. Dalam keputusan MUI disebutkan bahwa wakaf uang adalah wakaf
yang dilakukan oleh seorang kelompok orang,lembaga, atau badan hukum dalam bentuk
uang.,surat-surat berharga juga termasuk ke dalam bentuk uang,wakaf uang hukumnya

10
jawaz/boleh, wakaf uang hanya boleh digunakan kepada kepentingan yang syar'i,nilai
pokok uang harus terjamin kelestariannya tidak boleh dijual.
Sekarang telah keluar UU R.I No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf tanggal 27
Oktober 2004. lembaga negara Indonesia tahun 2004 No. 159.
Perkembangan benda yang bisa diwakafkan di Indonesia jelas dari yang
asalnya hanya tanah (PP no.28 tahun 1977) kemudian d sampingg tanah juga benda
bergerak ( Inpres No1 tahun 1991). hal ini menunjukan bahwa hasil fatwa atau fiqh
tetap menjadi bahan untuk pentaqninan.
selanjutnya pentaqninan di bidang zakat juga sudah mulai berlaku diberbagai
dunia islam,misalnya :
Di Libya: Undang-Undang zakat no 89 tahun 1971 dengan 47 pasal dengan sanksi bagi
yang tidak mengeluarkan zakatnya yaitu denda senilai dengan zakat yang harus
dikeluarkan ( pasal 36 ayat 1)
Di Bahrain: Undang-undang no 8 tahun 1979 tentang zakat
Di Kuwait: Undang-undang no 5 tahun 1982 tentang zakat
Di Yordania: Undang-undang zakat no 35 tahun 1944pada era raja Abdullah bin Husein
Di Indonesia sendiri belum ada undang-undang tentang zakat tetapi baru hanya ada
undang-undang tentang pengelolaan zakat yaitu UU no 38 tahun 1999 dan
pelaksanannya yaitu dengan keputusan menteri agama no 582 tahun 1999.

2. Pentaqninan di Bidang Mu’amalah


Pen-taqnin-an di Bidang Muamalah dalam arti sempit dimulai sejak
dikeluarkannya Majalah Al-Ahkam al-Adliyah pada zaman kekhalifahan Turki Usmani,
yang dimulai pada tahun 1869 dan selesai tahun 1876. Majalah al-Ahkam ini terdiri dari
16 buku dengan 1851 pasal, yang dimulai dengan 99 kaidah fiqh yaitu dari mulai pasal
2 sampai dengan pasal 100. Sebelum munculnya majalah al ahkam kekhalifahan Turki
Usmani dihadapkan kepada keberagaman keputusan dari lembaga peradilan perdatanya,
karena setiap pengadilan mengambil bahan pertimbangan hukumnya dari berbagai
macam kitab fiqh yang sangat banyak macamnya walaupun sama sama bersumber dari
mahzab hanafi namun tetap memiliki perbedaan.
Maka untuk lebih meenjamin kepastian hukum, kekhalifahan Turki Usmano
membentuk kepanitiaan yang terdiri dari ulama besar dan ahli hukum islam atau fuqoh
yang diketuai oleh Ahmad junat Basya. Oleh karena itu terwujudlah sebuah pencapaian
yaitu, kodifikasi hukum perdata islam yang bersumber dari al-quran dan hadist serta

11
kitab-kitan fiqh standar mahzab hanafi yang menjadi peganhan hakim perdata diseluruh
negara wilayah kekuasaan kekhalifahan Turki Usmani.

Kemudian bahasan-bahasannya tentang :


a. Kepemilikan benda akad seperti jual beli (al-ba’i),
b. tanggungan (al-kafalah),
c. perpindahan utang (al-hiwalah),
d. gadai (al-rahn),
e. hak membeli kembali (ba’I al wafa),
f. titipan (wadi’ah),
g. pinjaman (I’arah),
h. pemberian (hibah),
i. pembagian harta campuran (qismah),
j. kerja sama (syirkah),
k. kerja sama modal usaha (mudlarabah),
l. investasi dalam pertanian (muzara’ah),dan
m. musaqah perwakilan (wakalah),
n. perdamaian (al-sulhu),
o. perwasitan dalam memutus perkara (al-tahkim),
p. pinjaman yang sekali pakai (al-qard),
q. kesepakatan dalam penghapusan akad (al-iqalah).

Subyek hukum baik individu manusia maupun subyek hokum yang berupa
badan hokum.
Satu hal baru lagi di bidang fiqh muamalah adalah munculnya lembaga-lembaga
ekonomi baru di dunia islam, diantaranya yang paling penting, karena perannya di
bidang keuangan adalah Perbankan Syari’ah. Di Indonesia baru tahun 1992 didirikan
Bank Muamalah Indonesia, dan kemudian bermunculan Bank Syari’ah lain di Indonesia
seperti Bank Syari’ah Mandiri, BNI Syari’ah, BRI Syari’ah, Bank Danamon Syari’ah,
Bank JFJ Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah.
Dalam islam landasan filosofinya : keseimbangan kehidupan antara materi dan
spiritual antara dunia dan akhirat dengan landasan akidah. Dan bertujuan untuk
kesejahteraan baik individu maupun masyarakat yang ddiiwai dengan nilai-nilai
keadilan, kerahmatandan kemaslahatan, diniati dengan ibadah menuju keridloan Allah
SWT. Di dlam Maqasid al-Syari’ah hal ini terkait dengan hifdh al-mal dan hifdh al-

12
ummah, dalam artinya yang paling luas. Dengan munculnya majalah al-ahkam, ada
perkembangan baru dalam hukum islam yaitu:
a. berpindahnya kewenangan penetapan hukum dari ijtihad fardi ke ijtihad jama'i
(dari ijtihad perorangan ke ijtihad kolektif),
b. adanya kepastian hukum yang menjadi pegangan hakim dan masyarakat, sehingga
keputusan hakim tidak jauh berbeda,
c. terkodifikasi hukum islam dalam satu kitab undang-undang tidak tersebar di dalam
berbagai kitab fiqh yang tidak mudah dipelajari.

Satu hal baru lagi dalam fiqh muamalah adalah munculnya lembaga-lembaga ekonomi
baru dalam islam ialah perbankan syariah di negara lain disebut dengan istilah islamic
banking. Selain perbankan syariah diantaranya:
a. asuransi tafakul,
b. koperasi syariah,
c. bank perkreditur syariah,
d. obligasi syariah,
e. pasar modal syariah
f. ,reksadana syariah dll.
Kemudian Perbankan Syari’ah dipertegas lagi dalam Undang-Undang No. 10
tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang
Perbankan. Di dalam undang-undang No. 10 tahun 1998 ini dalam pasal 6 (m)
disebutkan: “Menyediakan pembiayaan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia”.
Di dalam pasal 1 ayat 33 disebut pula tentang mudharabah, musyarakah,
murabahah, ijariah, wa iqtina. Pada pasal 1 (1) dan passal 1 (m) disebutkan tentang
Dewan Syari’ah Nasional dan Dewan Pengawas Syari’ah yang ditempatkan pada Bank
yang melakukan kegiatan usaha Syari’ah.
Setelah keluar Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan ternyata
perkembangan cukup pesat, baik dalam jaringan perbankan syariah maupun dalam
jumlah aset danpembiayaan. Dari tahun 1992 dengan jumlah kantor bank baru ada 1,
sampai tahun 2003 dengan jumlah kantor bank menjadi 255. Dan jumlah asset pada
tahun 200 sekitar 2 Triliun, sedang pada tahun 2003 menjadi 5 Triliun.[10]
Di Indonesia terdapat legislasi hukum untuk bank syariah yakni, UU No.7 tahun
1992 tentang perbankan pasal 6 yang menyebutkan "Bank umum dan BPR adalah
menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan

13
ketentuan peraturan pemerintah. Kemudian di pertegas lagi oleh UU no 10 tahun 1998
atas perubahan terhadap UU no 7 tahun 1992 menjadi "Bank umum dan BPR adalah
menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia." Di pasal 1 ayat 33 juga disebutkan tentang
mudarabah,musyarakah,ijarah dan iqtima. Perkembangan bank syariah sangat pesat
pada tahun 1992 kantor nya hanya 1 namun pada tahun 1998 kantor bank syatiah
berjumlah 40 tahun 2002 berjumlah 138 dan terus berkembang hingga saat ini.

3. Pentaqninan di Bidang Siyasah


Di sini akan diperkenalkan pen-taqnin-an di Bidang Siyasah Dusturiyah, yaitu yang
berhubungan dengan Undang-undang Dasar suatu negara.
Setelah dunia Islam bebas dari penjajahan dan membentuk negara nasionalnya
masing-masing, negara dihadapkan kepada pilihan yang sulit. Mau mengadopsi
keseluruhan aturan hukum penjajah tidaklah Islami, dan mau mengambil keseluruhan
aturan fiqh sering tidak realitas, akhirnya dari ijtihad masing-masing negara, memunculkan
3 tipe besar yaitu:
1. Mengambil keseluruhan hukum barat, seperti Turki.
2. Mengambil sumber dari hukum Islam secara ketat, seperti Saudi Arabia dan Iran.
3. Mencari kompromi di antara keduanya, seperti Mesir, Indonesia, Malaysia, meskipun
tipe ketiga ini di dalam rinciannya berbeda, ada yang menetapkan Islam sebagai agama
resmi negara, seperti Malaysia, Libia, Mesir, dan ada pula yang tidak menetapkan Islam
sebagai agama resmi negara, seperti Indonesia, kedua kecenderungan ini mempunyai
pengaruh di dalam kehidupan keagamaan masyarakat masing-masing negara.
Memang Al-Qur’an sudah tertulis, kitab-kitab hadits tertulis, hasil ijtihad sudah
tertulis pula di dalam ribuan kitab fiqh, akan tetapi untuk membuat konstitusi yang tertulis
(written constitution) tidak mudah, ada beberapa kesulitan yang harus dihadapi, kesulitan-
kesulitan tersebut antara lain:
1. Aspek peristilahan: sesungguhnya banyak istilah-istilah yang erat kaitannya dengan
Undang-undang Dasar (konstitusi), akan tetapi istilah-istilah tersebut asing di kalangan
kaum muslimin umumnya, seperti istilah Malik, Sulthon, Hukum (pemerintah),
Amir,Wilayah, meskipun istilah itu sudah jadi bahasa Indonesia, akan tetapi sering
memiliki pengertian yang berbeda.
2. Di dalam kitab-kitab fiqh yang lama jarang ditemukanbahasan khusus dalam satu bab
atau pasal tertentu tentang konstitusi. Dengan pengecualian beberapa ulama dahulu
membagi bab-bab kitab fiqh kepada: ibadah munahakat, muamalat,dan jinayah,

14
bidang dusturiyahhanya disinggung sedikit-sedikit di dalam kitab: al-qadla, siyar,hudud,
selain itu istilah-istilah yang mereka gunakan juga tidak seragam, sering berbeda antara
seorang ulama’ dengan ulama’ lainnya. Baru dikalangan ulama-ulama sekarang
menggunakan istilah dustur untuk Undang-Undang Dasar, tidak mustahil kata Undang-
Undang Dasar (bahasa Indonesia) berasal dari kata dustur itu.
3. Aspek pendidikan: banyak para ahli di Bidang Al-Qur’an, Hadits, fiqh tapi kurang
memahami kenyataanperkembangan ilmu di dunia luar. Untuk hal ini, maka disamping
perbandingan madzhab maka penting pula perbandingan hukum untuk dipelajari.
Selain apa yang di kemukakan oleh Abu al-ala al- maududi di atas, ada kesulitan
lain yaitu:
1. Per-taqnin-an suatu hukum dan menetapkannya berlaku untuk ditaati dianggap sebagai
bertentangan dengan kebebasan berpikir dan berijtihad, bahkan dianggap menutup pintu
ijtihad.
2. Untuk bidang hukum publik yang berlaku untuk semua warga negara yang memiliki
mayoritas agama, masalah yang berhubungan dengan akidah juga menjadi penghambat
di dalam pen-taqnin-an.
Untuk sebagian hukum keluarga seperti dikemukakan di atas, pada umumnya di
dunia Islam ditempuh kebijakan differensi, akan tetapi untuk hukum publik ditempuh
kebijakan unifikasi, sulit ditempuh kebijakan differensiasi sebab bisa menimbulkan
kekacauan hukum untuk suatu negara, untuk negara-negara seperti Saudi Arabia, Iran, dan
negara-negara yang sejenis, tidaklah terlalu menjadi masalah.
Akan tetapi, untuk negara seperti Indonesia, Mesir, dan negara- negara yang setipe
dengan itu, hal ini sulit dicari jalan keluarnya. Memang ada alternatif pemecahan yaitu
dengan menggunakan common denominator. Artinya dari hukum Islam yang bisa masuk
hanyalah: prinsip-prinsip asas-asas dan kaidah-kaidahnya saja, itupun kalau ada persamaan
dengan sistem hukum lain. Selebihnya tergantung kepada budaya masyarakat dan kekuatan
sosual politik yang mengusahakannya.
Pada masa sekarang, negara-negara di dunia Islam telah memiliki Undang-Undang
Dasarnya sendiri dan pada umumnya mengambil bentuk negara kesatuan (bab I Pasal 1
ayat 1 UUD Pakistan). Dengan sistem Pemerintahan Republik, kecuali Saudi Arabia,
Yordania, dan Brunei Darussalam yang mengambil sistem Pemerintahan Kerajaan.
Di dalam pembagian kekuasaan di negara-negara republik menggunakan Trias
Politika, dalam arti ada lembaga legislatif (al- sulthah al- tanfidiyah), dan yudikatif (al-
sulthah al-qadlaiyah), ketiga lembaga ini di dalam sejarah ketatanegaraan Islam (Fiqh
Dusturi) akarnya sudah dikenal baik di dalam tulisan-tulisan maupun di dalam praktik,

15
hanya sajaa ketiga lembaga tersebut belum benar-benar terpisah, kewenangannya masih
overlapping.
Mungkin karena prinsip musyawarah yang sangat kuat. Sebagai contoh sejak
dahulu sudah ada "ahlul halli wal 'aqdi' yang mirip dengan lembaga legislatif. Sudah ada
lembaga-lembaga peradilan pada zaman kekhalifaan Abasiyah, yang pada tingkat pertama
dikenal dengan "Qodli" dan tingkat akhir dengan "Qodli" al-Qudlat", dan sudah ada
"khalifah atau Imam", yang memimpin lembaga eksekutif. Bisa dipastikan yang berbeda
dengan trias politika di dalam aspek filosofinya.
Di dalam praktik meskipun Saudi Arabia pemerintahannya kerajaan, ternyata juga
dibatasi oleh Syari'ah Islamiyah, dalam Pasal I ayat 1 konstitusi Saudi Arabia disebutkan:
"The kingdom of Saudi Arabia is a Sovereign Arab Islanic State with Islam as its religion;
God's Book and Sunnah of his Prophet, God's Prayers and peaca be upon him, are is
constitution, Arabic is its language and Riyadh is its Capital".
Saudia Arabia meskipun tidak sama dengan lembaga legislatif yang kita kenal
sekarang tapi memiliki "Consultive Council", yang disebut Dewan Syura (the Shura
Council) yang terdiri dari 60 anggota dan satu orang ketua; dan tetap bertanggung jawab
kepada Raja. Tugas pokoknya melayani kepentingan umat, memperkokoh kesatuan umat,
dan negara.
Beda dengan Pakistan, Majelis Syura di Pakistan sama dengan parlemen. Di
beberapa negara di dunia Islam ada menyebutkan Islam sebagai agama resmi negara (din
al-daulah) seperti Saudi Arabia, Libya (Bab 1) Pasal 2 (Constitusi Republik Libia), Mesir
(Bab I Pasal I ayat 2) ada juga yang mensyaratkan kepala negaranya harus beragama lslam,
seperti di Siria, berdasarkan Undang-Undarng Dasar tahun 1950, dan di Mauritania (bab II
Pasal 23 Konstitusi Republik Islam Mauritania, 1991). Tapi ada juga yang tidak
menjadikan Islam sebagai agama resmi negara atau agama kepala negara seperti Indonesia.
Tapi di dalam Pancasila, sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti
diketahui dalam sejarah pembentukan UUD 1945, Ketuhanan Yang Maha Esa asalnya, di
dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya Tujuh kata terakhir dianggap diskriminatif oleh
wakil-wakil Protestan dan Katolik, akhirnya diganti dengan: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain itu di dalam bab XI Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa:
1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

16
Karena perubahan sosial yang cepat, apalagi dengan munculnya globalisasi yang
membuat dunia ini menjadi sempit, maka dihampir seluruh dunia Islam terjadi perubahan-
perubahan dan mengamandemen Undang-Undang Dasarnya masing-masing termasuk di
Saudi Arabia yang dianggap paling ketat terhadap perubahan, tahun 1993 membentuk
Dewan Syura dan Dewan Menteri, bahkan di Pakistan sampai tahun 1998 telah terjadi 15
kali amandemen terhadap Undang-Undang Dasarnya. Dan di Indonesia telah terjadi 4 kali
amandemen dengan tetap tidak mengubah muqadimah Undang-Undang Dasarnya, setelah
lebih dari 55 tahun tidak pernah diamandemen , Amerika sampai sekarang telah 27 kali
mengamandemen konstitusinya.
Walaupun terjadi amandemen, tampaknya di dunia Islam tetap memegang kearifan
kaidah fiqh: "memelihara yang lama yang maslahat dan mengambil yang baru yang lebih
maslahat" (al Muhafadhah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdau bi al-jadid al- Ashlah).

4. Pentaqninan di Bidang Qadla


Ruang lingkup Majlis Qadla (Lembaga Yudikatif) yang dalam terminologi hukum
Islam dikenal dengan istilah qadla yang maknanya disiratkan oleh pengakuan atas
kedaulatan de jur dari Tuhan Yang Maha kuasa. Ketika Islam mendirikan negaranya sesuai
dengan prinsip-prinsip abadinya, Rasulullah saw sendirilah yang menjadi hakim pertama
negara tersebut, dan beliau melaksanakan fungsi ini dengan sangat selaras dengan hukum
Tuhan. Orang-orang yang melanjutkannya tidak memiliki alternatif lain kecuali
mendasarkan keputusan mereka pada hukum Tuhan sebagaimana yang telah disampaikan
oleh Rasulullah saw kepada mereka.
Mengenai Majlis Qadha (Lembaga Yudikatif) ulama banyak berbeda pendapat
utamanya mengenai syariah yang tidak menerangkan secara detail salah satu sistem
pengadilan, namun dalam syariah itu sendiri hanya memberikan batasan pada undang-
undang pokok secara umum yang menyangkut susila pengadilan (termasuk cara dimana
hakim harus bertindak). Adapun undang-undang dari pengadilan, yaitu dapat dikatakan
bahwa susunan dan sistem pembinaannya diserahkan saja kepada keinginan masyarakat,
dengan kata lain diserahkan kepada ijtihad pada masa itu. Oleh karena itu nyatalah bahwa
konstitusi bebas untuk membuat sistem apa saja terhadap pengadilan yang dapat
mendatangkan maslahah pada zaman itu dengan syarat hukum itu diatur sesui dengan dasar
syari’at. Namun sekiranya jika syari’at itu benar-benar akan dijadikan Undang-Undang
Umum, misalnya negara kita harus menjadi negara Islam maka sudah seharus tiap hakim
sudah menjadi hakim syara’ artinya ia tidak hanya menguasai Undang-undang yang telah
ditetapkan oleh Majlis Taqnin (legeslatif) tetapi juga ia harus menguasai semua peraturan

17
yang telah ditetapkan oleh Qur’an dan Sunnah. Oleh karena semua sistem Undang-Undang
harus di pengaruhi oleh prinsip syari’ah, yang dimulai dengan undang-undang yang
berdasarkan aturan yang jelas yang berasal dari Qur’an dan Sunnah yang berkaitan dengan
hal-hal umum dan selanjutnya perkembangan undang-undang yang datang dari legeslatif
yang semua permasalahannya tidak diterangkan oleh syari’ah.
Jika Majlis Qadla kita selaraskan dengan Lembaga Yudikatif saat ini maka
kemandirian Yudikatif akan menjamin perdamaian dalam negeri suatu negara dan
ketentaraman rakyat. Tidak akan ada jumlah hak atau hak-hak istimewa yang tertulis
dalam undang-undang, yang dapat memberikan kepuasan jika pengadilan-pengadilan ini
masih di interfensi oleh yang berkuasa. Akibatnya jika ada campur tangan dari pihak yang
lebih berkuasa maka sangat susah untuk mengelola keadilan dalam lembaga pengadilan
tersebut. Karena esensi kebaradaan negara sangat bergantung pada kepuasan rakyatnya.
Pada saat ini negara di dunia ,Islam telah memiliki lembaga peradilannya masing-
masing.Pembentukan peradilan agama sangat bergantung pada kondisi sosial politik di
negaranya masing-masing.Di Indonesia ini sendiri dalam Undang-Undang No.14 Pasal 10
ayat 1 dinyatakan “bahwa kekuasan kehakiman di laksanakan oleh Peradilan
Umum,Peradilan Agama,Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara”.
Pada prinsipnya keempat lembaga peradilan tersebut ada di negara Islam meskipun
dalam hal-hal tertentu ada perbedaan.Adapun tingkatan-tingkatan lembaga peradilan pada
umumnya, yaitu tingkat pertama,tingkat banding, dan kasasi.Dalam hal ini Pengadilan
Agama merupakan tingkat pertama,lalu Pengadilan Tinggi Agama merupakan pengadilan
tingkat banding dan yang terakhir Mahkamah Agung pada tingkat kasasi.
Badan-badan di Saudi Arabia,istilah untuk lembaga peradilan pada zaman
kekhalifahan Abasiyah masih seperti: Dewan al-Madlalim yang digunakan untuk orang
setingkat menteri.Di Saudi Arabia di dalam Undang-Undangnya disebutkan bahwa para
Hakim di Pengadilan memiliki kebebasan didalam memutuskan perkara,tidak ada
kekuasaan lain yang bisa mempengaruhi selain Syariah Islamiyah dan perundang-
undangan yang telah ditentukan dan tidak boleh seorang pun mencampuri urusan
peradilan.
Itulah yang menarik mengenai pengadilan ini karena independensi para hakim di
pengadilan dari lembaga-lembaga lain.
Adapun juga di beberapa negara independensi lembaga yudikatif dinyatakan dalam
Undang-Undang Dasarnya.

18
Jika kita menelusuri sepintas tentang sejarah Peradilan Islam tampak bahwa pen-
taqni-an di bidang Qadla ini tidak lain adalah pengembangan peradilan pada masa
kekhalifahan.
Jika kita tari pada zaman Nabi dalam urusan peradilan ini, badan pengadilan Nabi
saw mengikut perintah Allah swt. Sebagaimana firman-Nya “Dan hendaklah engkau
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah
(kepadamu), dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka...” (surah al Maidah ayat
49).
Sekalipun pada zaman Rasulullah SAW semua Bidang pemerintahan mulai dari
kewenangan dan keputusan itu berada di tangan beliau, tetapi dalam proses penyelesaian
masalah Rasulullah SAW selalu melibatkan para sahabatnya/perwakilan masyarakat, yang
kemudian di selesaikan di suatu tempat melalui musyawarah. Atas dasar inilah kemudian
kita mengenal konsep syura dalam Islam.
Demikain halnya dengan masalah peradilan bertugas. Karena begitu seriusnya
masalah peradilan ini, Rasulullah saw mengangkat Rasyid bin Abdullah sebagai amir
untuk keperluan pengadilan dan mencegah kezaliman. Namun, kadang-kadang tugas ini
dipegang sendiri oleh Rasulullah saw. Selain tugas-tugas peradilan di atas, ada “qadla al
hisbah”, yang langsung mengadili pelakunya. Pada masa Rasulullah saw, Sa’id bin Al Ash
bertugas di pasar Makkah sedangkan Umar bertugas di pasar Madinah. Badan pengadilan
in bertugas menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara sesama masyarakat, atau
mencegah hal-hal yang dapat merugikan hak jama’ah, atau mengatasi perselisihan yang
terjadi antara warga masyarakat dengan pegawai pemerintah, baik Khalifah, pejabat atau
pegawai lainnya.
Namun pada intinya penyelenggaraan mekanisme negara dalam tatanan sistem
politik pada umumnya, khususnya lembaga-lembaga negara, Al-Qur’an mengemukakan
ada empat prinsip penggunaan kekuasaan politik yang dapat dipandang sebagai asas-asas
pemerintahan/kekuasaan dalam sistem politik. Keempat asas tersebut adalah:
1. Asas amanah,
2. asas keadilan (keselarasan),
3. asas ketaatan (disiplin), dan
4. asas musyawarah dengan refrensi Al-Qur’an dan Sunnah.
Keempat asas ini sangat Relevan dan signifikan untuk di jadikan pondasi dasar pada
setiap kebijakan dan keputusan yang berakhir pada realisasi/aplikasi di masyarakat. Jika
demikian nyatanya bisa saja Masyarakat akan hidup damai dan sejahtera di dunia dan
akhirat.

19
Pada zaman Nabi peradilan ditangani oleh Nabi sendiri, ketika zaman Umar Ibnu
Khatab kekuasaan peradilan mulai tampak dengan memeriksa dan memutus perkara-
perkara,perselisihan,menetapkan hak-hak,penyelewengan benda wakaf,melaksanakan
wasiat,menjatuhkan hukuman had, dan sanksi-sanksi lainnya.
Ini semua dilakukan dalam suatu lembaga peradilan yang disebut “wilayah al-
Madhalim” ,lalu kekuasaan ini menjadi indipenden pada zama Usman bin Affan.Pada
zaman ini sudah ada pemisah antara pengadilan yang memeriksa dan memutuskan perkara
di bidang perdata dan di bidang pidana.Lalu muncullah “wilayah Hisbah” ini merupakan
semacam lembaga yang mengawasi agar tidak terjadi penipuan di pasar-pasar,mengawasi
timbangan,lalu lintas kapal,para pengajar di sekolah-sekolah yang mirip dengan polisi.
Lalu diantara prinsip-prinsip di pengadilan pada masa itu adalah independensi
hakim ,hukum harus sesuai dengan kaidah syariah yaitu seperti mempersamakan
kedudukan antara penggugat dan tergugat atau terdakwa.Didalam konteks ini manusia
pada awalnya tidak bersalah oleh karena itu harus dibuktikan kesalahannya di muka sidang
pengadilan dengan meyakinkan penggugat harus menunjukan bukti-bukti yang didasarkan
pada dasar-dasar peradilan dan pokok-pokok hukum.
Pada konteks ini agama memang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap
kebebasan (independensi) peradilan ,karena agama menyentuh aspek ketakwaan dan hati
serta memerintahkan berlaku adil, menjaga hak-hak individu dan masyarakat, menjaga
jiwa dn harta serta kehomatan manusia.
Lalu pada zaman kekhalifahan terakhir yaitu khalifah Turki Usmani, peradilan ini
dibagi menjadi tiga bagian yang memiliki kekuasannya masing-masing, yaitu :
1. Mahkamah Syariah, yang bertugas untuk memeriksa dan memutuskan masalah-
masalah hukum keluarga (al-Ahwal al-Syakhshiyah).
2. Mahkamah Nidlomiyah, yang bertugas untuk memutus perkara-perkara
pidana,perdata,ekonomi dan peradilan ini bertingkat (bidayah,isti’naaf, dan tamjiz).
3. Mahkamah Khasah, yaitu peradilan yang mengadili masalah-masalah khusus yang
dilakukan oleh orang-orang asing atau mengadili kasus hukum keluarga (al-Ahwal al-
Syakhshiyah) di kalangan warga negara yang nonmuslim.
Di dalam islam ada suatu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang sisebut tahkim (arbitrase).Arbitrase ini memilki dasar yangdapat dilihat dalam
al-qu’ran surat al-hujarat ayat 9 dan lebih di khusukan lagi dalam surat an-nisa ayat
35.Arbitir di dalam istilah hukum islam disebut Hakam.
Di Indonesia ini sendiri MUI telah menandatangani pendirian Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia.Kedudukan Abitrase ini sebagai cara penyelesaian sengketa perdata di

20
Indonesia, diperjelas dan di pertegas dengan keluarnya Undang-Undang No.30 Tahun
1999.
Pada umumnya lembaga Abitrase ini memiliki kelebihan di bandingkan lembaga
peradilan. Kelebihan tersebut yakni:
1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak.
2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan oleh hal prosedural dan administratif.
3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengetahuan,pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah
disengketakan,jujur dan adil.
4. Para pihak dapat memilih hukum apa yang di tetapkan untuk menyelesaikan
masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan abitrase.
5. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata
cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.

21
DAFTAR PUSTAKA

A. Djazuli. 2012. Ilmu Fiqh, Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam.
Jakarta: Prenada Media Group.

http://makalahlaporanterbaru1.blogspot.com/2012/05/taqnin.html

22

Anda mungkin juga menyukai