Anda di halaman 1dari 20

Tugas Mata Kuliah Metode Penelitian Hukum

Kepastian Hukum dan Implementasi Asas Jujur dan Adil

Dalam Peneyelenggaraan Pemilu di Indonesia

Disusun Oleh:

Ahmad Rizqi Robbani Kaban ( 1906408983 )

Hukum Kenegaraan Sore

Pengajar:

Prof. Dr. Sulistyowati S, M.A

PROGRAM MAGSITER HUKUM

PASCA SARJANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS INDONESIA

TAHUN 2020
BAB I

DESAIN PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Kepastian Hukum serta


Implementasi Asas Jujur dan adil dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum
(Pemilu) di Indonesia. Melalui penelitian ini, penulis ingin menyampaikan dan
memaparkan bagaimana kepastian hukum dan implementasi “Asas Jujur dan Asas
Adil” dalam Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia sejak reformasi pemilu 1999
hingga pemilu 2019. Konstitusi Republik Indonesia, Undang Undang Dasasr 1945
(UUD 1945) pada Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 22E menyatakan bahwa
Pemilihan Umum (Pemilu) dilaksanakan berdasarkan asas-asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Pemaknaan
asas Jujur dan Adil dalam rangkaian asas pada Pasas 22E UUD 1945 tersebut
menjadi dasar norma yang selanjutnya di manifestasikan kedalam peraturan
dibawahnya yaitu Undang-Undang Pemilihan Umum. Pemaknaan dalam Undang-
Undang Pemilu selalu mengartikan Jujur dan Adil pada kata proporsional, yang
selanjutnya istilah proporsional menjadi suatu sistem yang dianut dalam
penylenggaraan Pemilu di Indonesia.

Gerakan Reformasi tahun 1998 telah berhasil meruntuhkan rezim Orde


Baru. Runtuhnya rezim Orde Baru telah membuka pintu demokratisasi di
Indonesia. Transisi demokrasi ditandai dengan pelaksanaan Pemilihan Umum
legislatif yang hingga saat ini telah berlangsung 5 (ima) kali, yaitu Pemilu tahun
1999, Pemilu tahun 2004, Pemilu tahun 2009, Pemilu Tahun 2014, dan Pemilu
tahun 2019. Peningkatan kualitas demokrasi menjadi keniscayaan dalam transisi
demokrasi yang didasarkan atas 2 (dua) dasar pemikiran, yaitu: Pertama, proses
demokrasi yang sedang berlangsung perlu dipertahankan, bahkan secara gradual
demokratisasi juga harus dapat melembaga dan terkonsolidasi. Kedua, pada saat
yang sama diperlukan pemerintahan yang efektif agar rakyat dapat menikmati
secara konkret hasil dari proses demokrasi dalam wujud kesejahteraan sosial-
ekonomi yang semakin baik.

Konsep pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh


rakyat dan untuk rakyat. Oleh karena itu, rakyat memiliki kekuasaan tertinggi
dalam Negara demokrasi. Pasal 1 ayat (2) UUD NKRI 1945 menegaskan bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar. Sebagai Negara demokrasi maka dapat dikatakan bahwa memilih dan
dipilih dalam pemilu adalah deviasi dari kedaulatan rakyat yang merupakan
bagian dari hak asasi setiap warga.1 Pemilu telah diakui secara global sebagai
sarana penyalur kedaulatan rakyat dalam bentuk partisipasi politik rakyat dalam
menggunakan hak pilihnya. Teori demokrasi minimalis, sebagaimana dijelaskan
oleh Joseph Shumpeter, menyebutkan bahwa pemilihan umum merupakan sebuah
arena yang mewadahi kompetisi antara aktor-aktor politik yang meraih kekuasaan
partisipasi politik rakyat untuk menentukan pilihan serta liberalisasi hak-hak sipil
dan politik warga negara.2 Menurut A.S.S Tambunan, Pemilu merupakan sarana
atas pelaksanaan kedaulatan rakyat yang pada hakekatnya merupakan pengakuan
dan perwujudan dari pada hak-hak politik rakyat dan sekaligus merupakan
pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat kepada wakil-wakilnya untuk
menjalankan pemerintahan, secara konseptual Pemilu merupakan sarana
implementasi kedaulatan rakyat.3

Dalam sejarah Pelaksanaan Pemilu di Indonesia, diawali pada tahun 1955


pada masa kepemimipinan presiden Soekarno hingga yang terakhir tahun 2019
yang lalu. Dalam perjalanannya, di setiap pelaksanaan pemilu yang
diselenggarakan di Indonesia selalu timbul sengketa antara para pihak peserta
pemilu maupun sengketa antara rakyat dan peserta pemilu yang diakibatkan dari

1
Nur Hidayat Sardini, Restorasi Penylenggaraan Pemilu di Indonsia, ( Yogyakarta : Fajar
Media Press, 2011), hal. 1.
2
P.Antonius Sitepu, Studi Ilmu Politik, (Yogyakarta: Graha ilmu, 2012), hal. 4.
3
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2011), hal. 331.
kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh para peseta pemilu secara langsung
maupun melalui simpatisannya.

Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945 telah menegaskan bahwa pelaksanaan pemilu
harus berdasarkan asas-asas, langsung, umum , bebas, raahasia, jujur, dan adil
setiap lima tahun sekali. Dari asas-asas yang menjadi fondasi dalam
penyelenggaaraan pemilu yang selanjtnya menjadi dasar norma pembuatan
produk hukum Undang-Undang Pemilu., terdapat dua asas yaitu “Asas Jujur dan
Asas Adil”, yang dalam prespektif penulis masih terdapat permasalahan dalam
kepastian hukumnya yang dimanifesstasikan melalui peraturan pelaksananya yaitu
Undang-Undang Pemilu, dan bagaimana asas Asas Jujur dan Asas Adil itu di
implementasikan oleh para pihak yang terlibat, baik Pemerintah terkait, DPR,
Penyelenggara Pemilu, Peserta Pemilu, dan Rakyat yang memilih.

Sebuah pelaksanaan Pemilu yang mendasari penyelenggaraannya sesuai


dengan amanat yang dmaksud pada asas-asas Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945 maka
dipercaya akan melahirkan Pemilu berkualitas yang juga akan melahirkan tokoh-
tokoh berkualitas serta memiliki kredibilitas yang sesuai dengan tujuan bernegara
Indonesia sebagaimana amanat alinea ke-4 Pembukaan Undang=Undang Dasar.
Namun apabila melihat realita yang terjadi saat ini, Angka Korupsi yang tinggi,
Permasalahan Masyarkat yang tak terselesaikan melalui Produk Hukum atau
Undang-Undang yang sejatinya menjadi tugas Dewan Perwakilan Rakyat, hingga
Konfigurasi Politik pembuatan Undang-Undang Pemilu yang cenderung
mementingkan kepentingan kelompok dalam mempertahankan kekuasaannya dan
bukan bagaimana dapat melahirkan sebuah Pelaksanaan Pemilu yang berkualitas
dan sesuai dengan tujuan dari diselenggarakan nya Pemilu berdasarkan UUD
1945

Dalam sejarah pemilu di Indonesia, sejak Pemilu tahun 1955 hingga 2019,
”Asas Jujur” yang dituangkan dalam Pasal 22 E UUD 1945 secara tegas tidak
pernah ditafsirkan secara langsung dalam setiap Undang-Undang Pemilu
mengenai apa maksud dan serperti apa asas jujur itu di implementasikan, namun
dalam penyelenggaraannya ”Asas Jujur” Pemilu dikonkritkan melalui sebuah
pelaksanaan sistem pemilu dengan sistem perwakilan proporsional (proportional
representation/PR system). Berdasarkan Undang-Undang Pemilu pasca reformasi
hingga Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang
menjadi dasar hukum Pemilu 2019, tampaknya sistem perwakilan proporsional
telah menjadi pilihan yang dianggap paling mungkin (feasible). Untuk dapat
mengukur tingkat kejujuran pelaksanaan pemilu dapat dilihat dari proporsionalitas
suara dan konversi suara dari setiap Peserta Pemilu. Sistem proporsional yang
diterapkan sejak Orde Baru hingga kini belum sepenuhnya dapat
memanifesatsikan ”Asas Jujur” sehingga belum menghasilkan wakil-wakil rakyat
yang murni mewakili kepentingan rakyat. Kelemahan-kelemahan tersebut secara
bertahap diperbaiki pada masa transisi sejak Pemilu 1999 dan Pemilu 2004.

Dalam pelaksanaannya, Pada Pemilu 1999, kendati telah diperbaiki


dibandingkan pemilu-pemilu Orde Baru, sistem pemilu masih belum dapat
menghasilkan wakil rakyat yang benar-benar representatif karena sistem
proporsional yang berlaku bersifat tertutup. Selanjutnya, Kelemahan pada
Undang-Undang Pemilu 1999 diperbaiki relatif agak mendasar pada UU Nomor
12 Tahun 2003, dengan ditetapkannya sistem proporsional terbuka. Akan tetapi
kehendak untuk menerapkan sistem proporsional terbuka tersebut cenderung
bersifat simbolik karena dalam praktiknya hampir semua calon anggota lembaga
legislatif (caleg) terpilih atas dasar nomor urut yang ditetapkan oleh pimpinan
partainya masing-masing. Namun, penerapan sistem proporsional terbuka pada
Pemilu 2004 juga masih menimbulkan masalah. Sekurang-kurangnya terdapat 3
hal yang menjadi kritik, yaitu: Pertama, sistem tersebut tidak menerjemahkan
secara menyeluruh preferensi publik. Kedua, sistem itu tidak membantu
mengurangi ketimpangan perwakilan gender dan minoritas dalam parlemen.
Ketiga, sistem tersebut kurang menciptakan suatu perwakilan pluralistik
sederhana yang cocok dengan “kebutuhan” sistem presidensial. Demokrasi
sebagai sebuah proses memang mengandung kontradiksi dalam dirinya, antara
governability (pemerintahan yang efektif) di satu pihak, dan representativeness
(keterwakilan) dipihak lain.4

Permasalahan-permaslaahan mengenai proporsionalitas pada Pemilu 1999


dan Pemilu 2004 tidak menjadi pelajaran bagi pembuat Undang-Undang, dalam
membuat Undang-Undang Pemilu pada Pemilu 2009, 2014, dan Pemilu 2019. Hal
itu dapat dilihat dari diterapkannya ambang batas parlemen (Parliementary
Threshold). Studi mutakhir tentang proporsionalitas hasil pemilihan umum di
Indonesia telah dilakukan oleh Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan
Demokrasi), yang menitikberatkan pada pengaruh penerapan Parliamentary
Threshold. Rekomendasi yang dihasilkan adalah bahwa peningkatan ambang
batas yang tinggi dimaksudkan sebagai upaya untuk menyederhanakan sistem
kepartaian, di lain pihak, peningkatan yang tinggi dan kurang wajar itu juga akan
menambah jumlah suara terbuang. Hal ini berakibat pada meningkatnya
disproporsionalitas hasil pemilu. Dengan kata lain, meskipun besaran ambang
batas pemilu dapat menahan laju indeks disproporsional akibat suara terbuang,
selain itu dapat pula mengurangi jumlah partai politik di parlemen sekaligus
menyederhanakan sistem kepartaian, hal itu juga menyebabkan indeks
disproporsional yang sudah tinggi menjadi semakin tinggi.5

Disamping, “Asas Jujur” yang dimanifestasikan menjadi pelaksanaan


Pemilu dengan sistem proposional masih menjadi permasalahan mendasar yang
berdampak luas terhadap penyelenggaraan negara di Indonesia. Kepastian hukum
dan Implementasi “Asas Keadilan” juga masih menjadi permasalahan. Bila dilihat
dari data hasil-hasil Pemilu sejak Pemilu 1999 hingga Pemilu 2019, ketika
melakukan konversi suara hasil pemilih menjadi kursi yang dapat diperoleh oleh
peserta pemilu di parlemen, masih meninggalkan bahkan menghilangkan sisa-sisa
suara rakyat yang tidak dapat terkonversi akibat adanya aturan ambang batas dan

4
Kristiadi, “Representativeness dan Governability,” dalam Jurnal CSIS: Penyempurnaan
Undang-Undang Politik Menuju Konsolidasi Demokrasi. Edition, Vol. 36 No. 2, Juni 2007.
5
Didik Supriyanto dan August Mellaz. 2011. Ambang Batas Perwakilan: Pengaruh
Parliamentary Threshold trhadap Penyederhanaan Sistem Kepartaian dan Proporsionalitas
Hasil Pemilu. Jakarta: Perludem. Hal. 97.
tidak adanya aturan berkaitan dengan hal tersebut pada setiap Undang-Undang
Pemilu sejak 1999 hingga Pemilu 2019.

Dari berbagai permasalahan yang telah diuraikan oleh penulis diatas, maka
dalam penelitian ini penulis berusaha membuat sebuah penelitian yang berkaitan
dengan permasalahan diatas dan diberi Judul dengan “ Kepastian Hukum dan
Implementasi Asas Jujur dan Asas Adil dalam Penyelenggaran Pemilu di
Indonesia”.

B. MASALAH PENELITIAN

Konsep yang akan penuis teliti pada penilitian ini adalah, Konsep tentang
Kepastian Hukum dan Implementasi Asas Jujur dan Asas Adil dalam
Penyelenggaraaan Pemilu di Indonesia.

Konsep mengenai Asas Jujur dan Asas Adil dalam penyelenggaraan


Pemilu di Indonesia sejatinya tidak dapat ditemukan tafsiran yang konkrit
mengenai apa maksud dan seperti apa Asas Jujur dan Asas Adil itu di
implementasikan hal itu selanjutnya di manifestasikan kedalam sebuah sistem
Pemilu yang menggunakan ssitem perwakilan proposional. Arend Litjphart
mengartikan sistem pemilu sebagai suatu kumpulan metode atau cara warga
masyarakat memilih para wakil mereka. Sistem pemilu menjadi sesuatu yang
sangat penting dalam sebuah negara demokrasi perwakilan karena beberapa faktor
yakni:

Pertama, sistem pemilu membawa konsekuensi yang sangat besar terhadap


proporsionali hasil pemilihan. Pengaruh tersebut antara lain terhadap sistem
kepartaian (jumlah partai dalam sistem kepartaian), sistem kabinet (dibentuk
berdasarkan koalisi atau tidak), tingkat akuntabilitas pemerintahan yang terbentuk
serta derajat keutuhan dan kesatuan partai politik. Kedua, sistem pemilu
merupakan dimensi yang paling mudah diutak-atik dibandingkan elemen lain dari
demokrasi.6 Litjphart menambahkan bahwa ada 3 (tiga) dimensi yang menjadi
kajian sistem pemilu, yakni: Pertama, dimensi yang paling penting dalam sistem
pemilu yang berkaitan dengan: (1) Formula Pemilihan (electoral formula), seperti
apakah formula pluralitas atau perwakilan berimbang. (2) Besaran Distrik (district
magnitude), yaitu jumlah wakil yang dipilih dari suatu distrik atau konstituen. (3)
Ambang Batas (threshold), yaitu jumlah minimum dukungan yang harus dipenuhi
oleh partai politik agar dapat menduduki kuri di lembaga perwakilan atau
legislatif.

Kedua, sistem pemilu yang berkaitan dengan beberapa hal, yakni: (1)
Struktur Pemilihan, yaitu apakah seorang pemilih dapat memilih lebih dari satu
partai politik atau kandidat dalam suatu pemilihan umum yang sama atau tidak;
(2) Malapportionment, yaitu suatu bentuk disproporsional dalam suatu sistem
pemilihan yang bisa berupa over representative atau under representatives. (3)
Garrymandering, yaitu suatu mekanisme untuk menentukan batas-batas distrik
yang dalam prosesnya sering memanipulasi batas-batas distrik untuk keuntungan
partai politik yang disukainya. (4) Apparentement, yaitu suatu hubungan formal
dari daftar partai yang diijinkan di dalam suatu sistem daftar –yang pada
umumnya berlaku di negara yang menerapkan formula pemilihan perwakilan
berimbang –seperti seseorang hanya boleh memilih satu partai, dua partai atau
sebanyaknya yang disukai. (5) Ukuran Badan Perwakilan Rakyat yaitu lebih
merujuk pada jumlah keanggotaan dan sistem legislatif, yakni satu atau dua
kamar.

Ketiga, adalah proses pengarahan pemilihan yang berkaitan dengan hak


pilih, persyaratan pendaftaran, akses terhadap tempat, pemungutan suara, prosedur
nominasi, peraturan keuangan kampanye, waktu pemilihan dan sebagainya.

Dari konsep-konsep teresbut maka selanjutnya penulis membuat beberapa


pertanyaan penelitian, yaitu :

6
Arend Litjphart. 1999. Pattern of Democracy, Government Forms and Performance in
Thirty Six Countries. Yale university, New Haven and London.
1. Bagaimana Kepastian Hukum dan Implementasi Asas Jujur dan Asas Adil
dalam Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia ?
2. Bagaimana Tingkat Kejujuran dan Keadilan Pemilu di Indonesia
berdasarkan Porporsionalitas suara dan konversi kursi di parlemen ?
3. Bagaimana Norma dibawah Undang-Undang Dasar 1945
memanifestasikan amanat pada Pasal 22 E ayat 1, dalam pelaksanaan
Pemilu melalui Undang-Undang Pemilu ?

Dari pernyatan penelitian tersebut, tujuan penelitian yang penulis ingin telaah
adalah mengenai Kepastian Hukum melalui Undang-Undang Pemilu sebagai
pertaruan pelaksana dari UUD 1945 mengenai Pemilu dan bagaimana
implementasi Asas Jujur dan Asas Adil dalam penyelenggaraan Pemilu di
Indonesia sejak Pemilu 1999 hingga Pemilu 2019. Adapun tujuan rincinya
sebagai. Berikut :

1. Menjelaskan mengenai kepastian hukum dan implementasi norma dasar


penyelenggaraan pemilu yaitu Asas Jujur dan Asas Adil dalam
Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia sejak Pemilu 1999 hingga Pemilu
2019.
2. Menjelaskan dampak dari Ketidakpastian Hukum melalui Undang-Undang
Pemilu dan pengimplementasian yang tidak tepat atas norma dasar Pemilu
yaitu Asas Jujur dan Asas Adil.
3. Menjelaskan Tingkat Disporposionalitas Pemilu di Indonesia sejak Pemilu
1999 hingga Pemilu 2019.

Sehingga dari capaian tujuan tersebut, peneliti berharap bahwa penelitian ini
dapat memberikan manfaat, sebagai berikut:

1. Memberikan masukan pada pihak berwenang pembuat kebijakan, panitia


penyelenggara Pemilu, Peserta Pemilu, serta rakyat yang memilih,
mengenai perbaikan Kepastian Hukum dan Implementasi Asas Jujur dan
Asas Adil dalam Penyelenggaraan Pemilu di indoneisa.
2. Memberikan alternatif sistem pelaksanaan Pemilu dalam rangka
memperbaiki tingginya angka disporposionalitas Pemilu di Indonesia.
3. Memberikan informasi kepada seluruh rakyat , para akademisi, praktisi
hukum, pihak berwenang pembuat kebijakan, pemerintah, penyelenggara
Pemilu, dan Peserta Pemilu tentang pentingnya Kepastian Hukum dan
Implementasi Asas Jujur dan Asas Adil dalam Penyelenggaraan Pemilu di
Indonesia.

C. KERANGKA TEORI

Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut, Penluis menggunakan pisau


analisis, sebagai berikut:

1. TEORI PROPOSIONALITAS PEMILU

Dalam literatur ilmu politik, hampir semua sarjana sepakat bahwa pemilu
merupakan kriteria penting dalam mengukur kualitas dan kadar demokrasi
modern sebuah sistem politik. Sedangkan demokrasi modern adalah suatu tahapan
dalam sejarah perkembangan demokrasi dari yang bersifat langsung menjadi
perwakilan. Seorang sarjana politik Robert A. Dahl pernah melakukan pemetaan
sejarah perkembangan demokrasi dengan memakai istilah transformasi demokrasi.
Transformasi demokrasi pertama, terjadi pada negara-negara demokrasi langsung
di Kota Yunani, sedang transformasi demokrasi kedua adalah demokrasi
perwakilan.7 Dengan demikian, ketika demokrasi mengalami evolusi dari yang
tradisional bersifat langsung menjadi modern yang bersifat perwakilan, maka
pemilu menjadi sangat penting dalam mewujudkan demokrasi modern.
Secara konseptual, setidaknya terdapat 2 (dua) mekanisme yang bisa
dilakukan untuk menciptakan pemilu yang bebas dan adil yang mencerminkan

7
Robert A. Dahl. 1992. Demokrasi dan Para Pengkritiknya (Jilid I dan II). Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
kebebasan politik rakyat dan menghasilkan sirkulasi kekuasaan dalam sistem
politik, sebagaimana dikemukakan oleh Hutington8, yaitu:
1. Menciptakan seperangkat metode atau aturan untuk mentransfer suara
pemilih ke dalam suatu lembaga perwakilan rakyat secara adil atau
yang oleh banyak kalangan ilmuwan politik menyebutnya sebagai
sistem pemilu.
2. Menjalankan pemilu sesuai dengan aturan main dan prinsip-prinsip
demokrasi, atau yang oleh banyak kalangan ilmuwan politik
menyebutnya sebagai proses pemilihan. Artinya, kunci bagi
pelaksanaan pemilu yang bebas dan adil terletak pada sistem pemilu
dan proses pemilihan.
Dari serangkaian konsep teoritis tersebut, maka Dari serangkaian konsep
teoretis tersebut, maka operasionalisasi dalam merancang sebuah sistem pemilu,
ada beberapa hal penting yang harus menjadi pertimbangan adalah: Pertama,
Pertimbangan Administrasi. Douglas Rae (1986) mengonsepsikan sebuah sistem
pemilu dalam bentuk teknis dengan menyebutkan tiga komponen utama dalam
sebuah sistem pemilu yakni: Daerah Pemilihan, Rumusan Perhitungan dan Desain
Surat Suara. Oleh karena itu , pilihan terhaddap sistem pemilu akan secara luas
memengaruhi rangkaian isu-isu administrasi sebagai berikut: (1) Penentuan
Daerah Pemilihan, (2) Pendaftaran Pemilih, (3) Desain Surat Suara, (4)
Pendidikan Pemilih, (5) Jumlah dan waktu Pemilu dan (6) Perhitungan Suara.
Kedua, Pertimbangan Konteks Sosial dan Politik. Pertimbangan konteks
sosial dan politik merancang sebuah sistem pemilu setidaknya menyangkut
pemenuhuan jawaban atas berbagai pertanyaan berikut, yakni: Bagaimana bentuk
dan struktur masyarakat baik dari sisi sosiologis, geografis maupun pemecahan
politik lainnya; Bagaimana sejarah sistem politik negara tersebut (demokrasi yang
telah mapan, demokrasi transisi atau perbaikan demokrasi). Sehingga, secara
spesifik pemenuhan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah dalam
bentuk pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: (1) Karakteristik Identitas
Kelompok, (2) Identitas Konflik, (3) Karakteritik Perseteruan, (4) Penyebaran
8
Samuel Hutington. 1992. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Pustaka Grafiti Utama, Jakarta.
Kelompok-Kelompok yang Berkonflik, (5) Karakteristik Negara, (6) Karakteristik
Sistem Kepartaian, dan (7) Kerangka Konstitusi Secara Keseluruhan.
Secara konsep teoretis maupun pertimbangan perancangan, sebuah sistem
pemilu dibangun berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) Membentuk
Badan Perwakilan yang Representatif, (2) Membuat Pemilu Terjangkau dan
Berarti, (3) Menyediakan Sarana bagi Persatuan, (4) Membantu terbentunya
Pemerintahan yang Stabil dan Efektif, (5) Memastikan Akuntabilitas
Pemerintahan dan Wakil Rakyat, (6) Mendukung Hidupnya Partai-Partai Politik
yang Terbuka, dan (7) Mendorong Adanya Oposisi di Parlemen.
Karena begitu penting dan strategisnya peran sebuah sistem pemilu dalam
implementasi demokrasi perwakilan, maka sistem pemilu dirancang setidaknya
untuk melaksanakan tiga tugas pokok, yakni: Pertama, menerjemahkan jumlah
suara yang diperoleh partai dalam pemilu menjadi kursi di lembaga perwakilan.
Kedua, sebagai wahana penghubung yang memungkinkan rakyat dapat menagih
tanggung jawab atau janji wakil yang mereka pilih. Ketiga, mendorong pada
pihak-pihak yang saling bersaing dalam pemilu agar melakukan hal atau cara yang
tidak sama. Lebih lanjut, sistem pemilu merupakan salah satu alat rekayasa
konstitusional yang akan digunakan dalam mengurangi konflik di tengah
masyarakat yang masih terpecah-pecah, misalnya terbelah menurut etnis.
Dengan menerjemahkan suara pemilih pada pemilihan umum menjadi kursi
dalam lembaga legislatif, pilihan sistem pemilu dapat secara efektif menentukan
siapa yang dipilih dan partai mana yang memeroleh kekuasaan. Bahkan dengan
jumlah suara yang tepat sama bagai partai-partai, sebuah sistem pemilu dapat
mengarahkan hasil sebuah pemerintahan koalisi atau pemerintahan partai tunggal
yang berpegang pada kontrol mayoritas. Sistem pemilu juga bisa mendorong atau
menghambat aliansi lintas partai. Mereka dapat memberikan insentif untuk
kelompok-kelompok agar lebih akomodatif, atau kesempatan bagi partai-partai
untuk mendasarkan mereka pada ikatan-ikatan etnik atau persaudaraan. Oleh
karena itu, pilihan sebuah sistem pemilu merupakan salah satu keputusan
institusional terpenting bagi masyarakat pasca konflik etnis dan golongan.
2. ANALISIS MODEL PROPOSIONALITAS
Model Analisis

Berangkat dari Latar Belakang, Maksud dan Tujuan Penelitian serta


Kerangka Konseptual di atas, maka penelitian ini mengembangkan Kerangka
Pemikirannya, seperti tergambar dalam skema berikut:

INDIKATOR PROPORSIONALITAS
SISTEM PEMILIHAN UMUM HASIL PEMILIHAN UMUM

District Magnitude
(Besaran Distrik) Gallager Index, G
Electoral Formula Loosemary-Harnby Index, LHI (D)
(Formulasi Pemilihan) Unfairness Index, UI
Votes-Seats Conversion
(Konversi Suara-Kursi)
Threshold
(Ambang Batas)

Definisi konsep yang digunakan dalam penelitian ini berangkat dari Kerangka
Teori yang dikemukakan pada bagian terdahulu. Variabel-variabel dalam
penelitian Disertasi ini adalah Indikator Sistem Pemilu dan Proporsionalitas Hasil
Pemilu. Indikator Sistem Pemilu merupakan Variabel Independen dan
Proporsionalitas Hasil Pemilu sebagai Variabel Dependen. Defenisi konsep dari
kedua variabel tersebut adalah sebagai berikut;
Pertama, sistem pemilu merupakan sebuah instrumen politik demokrasi
perwakilan yang dirancang menyangkut 4 dimensi yakni: Besaran Distrik
(District Magnitude), Formulasi Pemilihan (Electoral Formula), Konversi Suara
Menjadi Kursi (Votes-Seats Conversion), dan Ambang Batas (Threshold).
Kedua, Proporsionalitas Pemilu adalah instrumen pengukuran derajat
keselarasan suatu sistem pemilu proporsional yang diukur berdasar atas indeks
Gallagar dan Simpangan terhadap proporsional.
Definisi Opersional
Berdasarkan defenisi konsep yang telah ditetapkan di atas, maka
operasionalisasi konsep dalam penelitian ini, adalah:

VARIABEL INDIKATOR
SISTEM PEMILU
1. Besaran Distrik a. Batasan Wilayah Daerah
Pemilihan;
b. Alokasi Kursi Setiap Daerah
Pemilihan
2. Formulasi Pemilihan a. Cara Pencalonan Anggota
Legislatif;
b. Cara Rakyat Memilih
3. Konversi Suara-Kursi Pilihan sistem penghitungan suara
4. Ambang Batas Mekanisme Penetapan Calon Terpilih
PROPORSIONAL PEMILU
1. Indeks Gallager (G) Rerata simpangan mutlak antara
prosentase suara dengan prosentase
kursi
2. Simpangan terhadap Rerata simpangan mutlak antara
Proporsionalitas (D) prosentase kursi dengan prosentase
suara
3. Unfairness Index (Indeks Besaran yang digunakan untuk
Ketidakadilan Pemilu), UI mengukur tingkat ketidakadilan suatu
hasil pemilihan umum

Seperti terlihat dalam tabel di atas, maka operasionalisasi konsep dalam


penelitian ini dapat diterangkan sebagai berikut:

a. Variabel Indikator Sistem Pemilu


(1) Besaran Distrik (District Magnitude)
Besaran Distrik (Derah Pemilihan) adalah untuk melihat siapakah yang
diwakili oleh anggota lembaga legislatif yang terpilih? Dan, dari mana saja
suara yang digunakan untuk menentukan calon terpilih? Untuk mengukur
Besaran Daerah Pemilihan menyangkut 3 (tiga) indikator, yakni:
Pertama, Batas Daerah Pemilihan. Berfungsi menjadi batas geografis
penentu jumlah suara yang diperhitungkan untuk menentukan calon
terpilih, dan menentukan siapa yang diwakili oleh anggota lembaga
legislatif dan karena itu juga menunjukkan siapa saja yang dapat meminta
pertanggungjawaban kepada anggota legislatif yang mana. Batas daerah
pemilihan dapat ditentukan berdasarkan tiga mode, yaitu: Wilayah
Administrasi Pemerintahan (Negara, Propinsi, Kabupaten/Kota,
Kecamatan, Desa/Kelurahan), jumlah penduduk dalam batas toleransi
tertentu, atau kombinasi faktor wilayah dengan junlah penduduk.
Kedua, Alokasi Kursi Setiap Daerah Pemilihan. Terkait dengan alokasi
kursi yang ditetapkan untuk setiap lingkup Daerah Pemilihan, yaitu apakah
satu kursi untuk setiap daerah pemilihan (single-member-constituency)
ataukah lebih dari satu kursi untuk setiap daerah pemilihan (multi-
member-constituencies). Jumlah Kursi di setiap Daerah Pemilihan terbagi
dalam tiga kelas, yakni: Kelas Kecil (2 – 5 kursi), Kelas Sedang (6 – 10
kursi), dan Kelas Besar (di atas 10 kursi), untuk setiap daerah
pemilihannya.
Ketiga, Pertimbangan Model Besaran Distrik. Yakni merupakan pilihan
mengenai apakah satu kursi ataukah lebih untuk setiap lingkup daerah
pemilihan ditentukan oleh tujuan yang hendak dicapai. Lingkup daerah
pemilihan berdasarkan jumlah penduduk biasanya diwakili oleh satu kursi,
sedangkan lingkup daerah pemilihan berdasarkan wilayah administrasi
pemerintahan biasanya diwakili oleh lebih dari satu kursi.
Disebut biasanya karena ada juga negara yang menggunakan lingkup
daerah pemilihan berdasarkan jumlah penduduk, tetapi lebih dari satu
kursi (berwakil ganda), jika jumlah penduduk untuk satu daerah pemilihan
sangat besar. Bahkan, ada negara yang mengadopsi lingkup daerah
pemilihan berdasarkan jumlah penduduk, tetapi diwakili oleh dua kursi
saja, yaitu satu kursi diberikan kepada kandidat/partai yang memperoleh
suara terbanyak dan satu kursi lagi diberikan kepada kandidat/partai urutan
kedua (oposisi). Ketentuan seperti ini diadopsi demi (a) mencegah
terjadinya the winner takes all atau mencegah suara terbuang, dan (b)
untuk menjamin proporsionalitas hasil pemilihan umum. Demikian pula
ada negara yang mengadopsi lingkup daerah pemilihan berdasarkan
wilayah administrasi pemerintahan, tetapi hanya diwakili oleh satu kursi
saja bila wilayah administrasi pemerintahannya sempit.
(2) Formula Pemilihan (Electoral Formula)
Formula Pemilihan merupakan tata cara dalam pemilihan yang
menyangkut 2 (dua) indikator, yakni: Pertama, Cara Pencalonan Anggota
Legislatif. Hal ini merupakan mekanisme rekruitmen awal dari sebuah
pemilu. Apakah peran partai sangat dominan dengan tidak melibatkan
rakyat sama sekali, atau melibatkan rakyat pada tahap pencalonan,
misalnya dengan syarat dukungan awal untuk bisa menjadi calon atau
melalui mekanisme konvensi. Kedua, Cara Rakyat Memilih. Merupakan
tata cara pemilihan yang sangat krusial karena disinilah keterlibat rakyat
dapat diukur dalam sebuah sistem pemilu. Cara rakyat memilih
menyangkut desain kertas suara dan mekanisme mencoblos pada hari
pemungutan suara.
Dalam desain surat suara apakah bersifat Daftar Terbuka yang
menunjukkan nama dan/atau foto calon dan partai, atau Daftar Tertutup
hanya memuat nama dan gambar partai. Sedangkan mekanisme mencoblos
terkait dengan desain kertas suara tadi. Jika menggunakan Daftar Tertutup
biasanya mencoblos gambar partai, sedangkan jika menggunakan Daftar
Terbuka biasanya mencoblos nama/foto calon atau nama/foto calon dan
gambar partai.Pertimbangan Formula Pemilihan merupakan alasan atau
argumen perancang sistem pemilu dalam pengunaaan tata cara pencalonan
anggota legislatif dan cara rakyat memilih. Pertimbangan ini sangat
berimplikasi pada kulaitas orientasi Anggota Legislatif, apakah secara
dominan ke partai atau cenderung ke rakyat (konstituen).
(3) Ambang Batas (Threshold)
Ambang Batas merupakan dukungan minimal yang diperlukan sebuah
partai atau calon untuk dapat mengikuti permilu berikutnya atau
memperoleh kursi perwakilan, apakah diterapkan legal (formal), atau
semata-mata de facto secara matematis. Indikator Ambang Batas adalah
erat kaitannya dengan mekanisme penetapan calon terpilih, di mana
merupakan tahapan sistem pemilu untuk menentukan siapa calon yang
berhak mendapatkan mandat sebagai wakil rakyat. Dalam mekanisme ini,
apakah berdasarkan suara terbanyak, atau suara terbesar, atau nomor urut
dengan mengabaikan perolehan suara calon. Pertimbangan Ambang Batas
sangat berpengaruh pada jumlah suara yang terbuang, yakni suara yang
tidak terakomodir oleh calon terpilih, dan pada gilirannya sangat
berpengaruh pula pada derajat proporsionalitas hasil akhir suatu pemilu.
(4) Konversi Suara Kursi
Konversi Suara-kursi merupakan sebuah mekanisme teknis dalam
penghitungan jumlah suara yang diperoleh partai atau calon. Dalam tahap
teknis ini dikenal istilah Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP) atau juga juga
Kuota yakni sejumlah angka yang berfungsi sebagai pembagi total dari
jumlah suara. BPP bisa sama jumlahnya di setiap daerah Pemilihan atau
juga bisa berbeda.
Hal lain yang sangat berpengaruh dalam Konversi-Suara-Kursi adalah
pemilihan sistem penghitungan suara, yang biasanya berdasar atas pola
pembagi (divisor) dengan berbagai pilihan varian.

b. Variabel Proposionalitas Hasil Pemilu


Secara teoretis Proporsionalitas Pemilu dapat diukur berdasar atas indeks-
indeks tertentu. Biasanya, formulasi yang digunakan dalam mengukur
tingkat (derajat) proporsional dari suatu sistem pemilu yang menggunakan
sistem proporsional (representative system). Indeks-indeks itu adalah
Indeks Gallagar (G) dan Indeks Taagapera dan Shugart (D). Kedua
indeks ini secara umum dimaknai sebagai:
(1) Taagapera and Shugart Index (G)
Formulasi ini dikembangkan oleh Taagepera dan Shugart (1989), dikenal
dengan istilah Deviation from Proportionality Representation (D), yakni
nilai rerata dari jumlah mutlak dari selisih prosentase kursi yang diperoleh
dengan prosentase suara yang diperoleh suatu partai politik. Hal ini
didekati dengan formulasi sebagai berikut:
D = (1/2) ∑‌‌│si-vi│
Dalam perkembangannya indeks Disproporsional yang dikembangkan
Taagapera dan Shugart, oleh the Independent Commission on Voting
System Inggris atau sering disebut dengan Komisi Jenkin, diberi nama lain
sebagai Loosemore-Hanby Index (LHI).
Berdasarkan kategori ini, Kestelman, membagi tingkat proporsional hasil
pemilu menjadi tiga kategori, yaitu: pertama, dinyatakan proporsional
(full-proportional) jika indeksnya antara 4-8%, yang kemudian
dilonggarkan sampai di bawah 10%; kedua, bila indeks berada pada
kisaran nilai 10-15% disebut semiproporsional (semi-proportional), dan;
ketiga, bila nilai indeksnya berada di atas 15% disebut nonproporsional
(non-proportional).9
(2) Gallager Indeks (G)
Formulasi ini dikembangkan oleh Gallagar (dalam Lijphart, 1999), yang
dikenal dengan istilah Indeks Gallager (G). Nilai rerata dari jumlah mutlak
dari selisih prosentase suara yang diperoleh dengan prosentase kursi yang
diperoleh suatu partai politik. Hal ini didekati dengan formulasi sebagai
berikut:
G = √(½)∑(vi-si)²
(3) Unfairness Index (UI)
Berdasar atas nilai dari kedua indeks di atas selanjutnya akan diukur pula
indeks ketidakadilan pemilu (Unfairness Index, UI) yang dikembangkan
oleh seorang Basel N Asmar (2011)10. Asmar merumusakan persamaan-
persamaan sebagai berikut:

9
Philip Kestelman, ”Alternative Voting in Proportion”, (Voting matters, Issue 27), hlm.
27-28.
Basel N Asmar. 2011. Measuring Election Fairness: A New Approach. Research
10

Journal of Internatıonal Studıes - Issue 21 (October, 2011)


Ai= Si/Vi
Dimana:
UI = Unfairness Index
FI = Fairness Index
F = Keadilan Pemilu
Si = Prosentase Kursi (seat) Suatu Partai
Ai = Rasio Keberuntungan Suatu Partai
VR = Fraksi pemilih yang memilih partai yang memiliki kursi

Berdasar atas formulasi yang dibuat oleh Asmar bahwa nilai F


berkisar di antara 1 sampai tak berhingga. Sama dengan sifat dari rasio
keuntungan suatu partai (advantage ratio), nilai ideal bagi F adalah 1. Nilai
F yang lebih besar ( >) dari 1 menunjukkan bahwa sistem pemilihan umum
yang digunakan tidak adil, semakin besar nilai F, maka semakin tidak adil
sistem pemilu yang digunakan.
Dengan menggunakan Rumusan perhitungan diatas maka akan dapat
meghitung angka proposionalitas dan disproposionalitas Pemilu dan berkaitan
dengan Kepastian Hukum serta Implementasi Asas Jujur dan Asas Adil dalam
Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.

D. METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan pada penelitian ini dapat penulis sampaikan sebagai
berikut :

1. Untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang Kepastian Hukum dan


Implementasi Asas Jujur dan Asas Keadilan dalam Penyelenggaraan
Pemilu Indonesia, penulis menggunakan metode analisis pada penelitian
ini adalah socio legal, melalui bahan-bahan hukum yang berkaitan
dengan Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia serta penerapan Asas Jujur
dan Asas Pemilu dalam norma-norma yang terbesar di berbagai
peraturan perundang-undangan. Bahan-bahan hukum tersebut berisi
teori-teori, konsep-konsep, asas-asas tentang Penyelenggaraan Pemilu
khususnya Teori Pemilu, Teori Kepastian Hukum, Teori Asas Jujur dan
Asas Adil, Serta teori perhitungan proporsionalitas suara Pemilu.
Penulis juga aka menggunakan Konsititusi UUD 1945 sebagai dasar
pijakan, peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
penyelenggaraan Pemilu, serta peraturan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai