Disusun Oleh:
Pengajar:
UNIVERSITAS INDONESIA
TAHUN 2020
BAB I
DESAIN PENELITIAN
1
Nur Hidayat Sardini, Restorasi Penylenggaraan Pemilu di Indonsia, ( Yogyakarta : Fajar
Media Press, 2011), hal. 1.
2
P.Antonius Sitepu, Studi Ilmu Politik, (Yogyakarta: Graha ilmu, 2012), hal. 4.
3
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2011), hal. 331.
kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh para peseta pemilu secara langsung
maupun melalui simpatisannya.
Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945 telah menegaskan bahwa pelaksanaan pemilu
harus berdasarkan asas-asas, langsung, umum , bebas, raahasia, jujur, dan adil
setiap lima tahun sekali. Dari asas-asas yang menjadi fondasi dalam
penyelenggaaraan pemilu yang selanjtnya menjadi dasar norma pembuatan
produk hukum Undang-Undang Pemilu., terdapat dua asas yaitu “Asas Jujur dan
Asas Adil”, yang dalam prespektif penulis masih terdapat permasalahan dalam
kepastian hukumnya yang dimanifesstasikan melalui peraturan pelaksananya yaitu
Undang-Undang Pemilu, dan bagaimana asas Asas Jujur dan Asas Adil itu di
implementasikan oleh para pihak yang terlibat, baik Pemerintah terkait, DPR,
Penyelenggara Pemilu, Peserta Pemilu, dan Rakyat yang memilih.
Dalam sejarah pemilu di Indonesia, sejak Pemilu tahun 1955 hingga 2019,
”Asas Jujur” yang dituangkan dalam Pasal 22 E UUD 1945 secara tegas tidak
pernah ditafsirkan secara langsung dalam setiap Undang-Undang Pemilu
mengenai apa maksud dan serperti apa asas jujur itu di implementasikan, namun
dalam penyelenggaraannya ”Asas Jujur” Pemilu dikonkritkan melalui sebuah
pelaksanaan sistem pemilu dengan sistem perwakilan proporsional (proportional
representation/PR system). Berdasarkan Undang-Undang Pemilu pasca reformasi
hingga Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang
menjadi dasar hukum Pemilu 2019, tampaknya sistem perwakilan proporsional
telah menjadi pilihan yang dianggap paling mungkin (feasible). Untuk dapat
mengukur tingkat kejujuran pelaksanaan pemilu dapat dilihat dari proporsionalitas
suara dan konversi suara dari setiap Peserta Pemilu. Sistem proporsional yang
diterapkan sejak Orde Baru hingga kini belum sepenuhnya dapat
memanifesatsikan ”Asas Jujur” sehingga belum menghasilkan wakil-wakil rakyat
yang murni mewakili kepentingan rakyat. Kelemahan-kelemahan tersebut secara
bertahap diperbaiki pada masa transisi sejak Pemilu 1999 dan Pemilu 2004.
4
Kristiadi, “Representativeness dan Governability,” dalam Jurnal CSIS: Penyempurnaan
Undang-Undang Politik Menuju Konsolidasi Demokrasi. Edition, Vol. 36 No. 2, Juni 2007.
5
Didik Supriyanto dan August Mellaz. 2011. Ambang Batas Perwakilan: Pengaruh
Parliamentary Threshold trhadap Penyederhanaan Sistem Kepartaian dan Proporsionalitas
Hasil Pemilu. Jakarta: Perludem. Hal. 97.
tidak adanya aturan berkaitan dengan hal tersebut pada setiap Undang-Undang
Pemilu sejak 1999 hingga Pemilu 2019.
Dari berbagai permasalahan yang telah diuraikan oleh penulis diatas, maka
dalam penelitian ini penulis berusaha membuat sebuah penelitian yang berkaitan
dengan permasalahan diatas dan diberi Judul dengan “ Kepastian Hukum dan
Implementasi Asas Jujur dan Asas Adil dalam Penyelenggaran Pemilu di
Indonesia”.
B. MASALAH PENELITIAN
Konsep yang akan penuis teliti pada penilitian ini adalah, Konsep tentang
Kepastian Hukum dan Implementasi Asas Jujur dan Asas Adil dalam
Penyelenggaraaan Pemilu di Indonesia.
Kedua, sistem pemilu yang berkaitan dengan beberapa hal, yakni: (1)
Struktur Pemilihan, yaitu apakah seorang pemilih dapat memilih lebih dari satu
partai politik atau kandidat dalam suatu pemilihan umum yang sama atau tidak;
(2) Malapportionment, yaitu suatu bentuk disproporsional dalam suatu sistem
pemilihan yang bisa berupa over representative atau under representatives. (3)
Garrymandering, yaitu suatu mekanisme untuk menentukan batas-batas distrik
yang dalam prosesnya sering memanipulasi batas-batas distrik untuk keuntungan
partai politik yang disukainya. (4) Apparentement, yaitu suatu hubungan formal
dari daftar partai yang diijinkan di dalam suatu sistem daftar –yang pada
umumnya berlaku di negara yang menerapkan formula pemilihan perwakilan
berimbang –seperti seseorang hanya boleh memilih satu partai, dua partai atau
sebanyaknya yang disukai. (5) Ukuran Badan Perwakilan Rakyat yaitu lebih
merujuk pada jumlah keanggotaan dan sistem legislatif, yakni satu atau dua
kamar.
6
Arend Litjphart. 1999. Pattern of Democracy, Government Forms and Performance in
Thirty Six Countries. Yale university, New Haven and London.
1. Bagaimana Kepastian Hukum dan Implementasi Asas Jujur dan Asas Adil
dalam Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia ?
2. Bagaimana Tingkat Kejujuran dan Keadilan Pemilu di Indonesia
berdasarkan Porporsionalitas suara dan konversi kursi di parlemen ?
3. Bagaimana Norma dibawah Undang-Undang Dasar 1945
memanifestasikan amanat pada Pasal 22 E ayat 1, dalam pelaksanaan
Pemilu melalui Undang-Undang Pemilu ?
Dari pernyatan penelitian tersebut, tujuan penelitian yang penulis ingin telaah
adalah mengenai Kepastian Hukum melalui Undang-Undang Pemilu sebagai
pertaruan pelaksana dari UUD 1945 mengenai Pemilu dan bagaimana
implementasi Asas Jujur dan Asas Adil dalam penyelenggaraan Pemilu di
Indonesia sejak Pemilu 1999 hingga Pemilu 2019. Adapun tujuan rincinya
sebagai. Berikut :
Sehingga dari capaian tujuan tersebut, peneliti berharap bahwa penelitian ini
dapat memberikan manfaat, sebagai berikut:
C. KERANGKA TEORI
Dalam literatur ilmu politik, hampir semua sarjana sepakat bahwa pemilu
merupakan kriteria penting dalam mengukur kualitas dan kadar demokrasi
modern sebuah sistem politik. Sedangkan demokrasi modern adalah suatu tahapan
dalam sejarah perkembangan demokrasi dari yang bersifat langsung menjadi
perwakilan. Seorang sarjana politik Robert A. Dahl pernah melakukan pemetaan
sejarah perkembangan demokrasi dengan memakai istilah transformasi demokrasi.
Transformasi demokrasi pertama, terjadi pada negara-negara demokrasi langsung
di Kota Yunani, sedang transformasi demokrasi kedua adalah demokrasi
perwakilan.7 Dengan demikian, ketika demokrasi mengalami evolusi dari yang
tradisional bersifat langsung menjadi modern yang bersifat perwakilan, maka
pemilu menjadi sangat penting dalam mewujudkan demokrasi modern.
Secara konseptual, setidaknya terdapat 2 (dua) mekanisme yang bisa
dilakukan untuk menciptakan pemilu yang bebas dan adil yang mencerminkan
7
Robert A. Dahl. 1992. Demokrasi dan Para Pengkritiknya (Jilid I dan II). Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
kebebasan politik rakyat dan menghasilkan sirkulasi kekuasaan dalam sistem
politik, sebagaimana dikemukakan oleh Hutington8, yaitu:
1. Menciptakan seperangkat metode atau aturan untuk mentransfer suara
pemilih ke dalam suatu lembaga perwakilan rakyat secara adil atau
yang oleh banyak kalangan ilmuwan politik menyebutnya sebagai
sistem pemilu.
2. Menjalankan pemilu sesuai dengan aturan main dan prinsip-prinsip
demokrasi, atau yang oleh banyak kalangan ilmuwan politik
menyebutnya sebagai proses pemilihan. Artinya, kunci bagi
pelaksanaan pemilu yang bebas dan adil terletak pada sistem pemilu
dan proses pemilihan.
Dari serangkaian konsep teoritis tersebut, maka Dari serangkaian konsep
teoretis tersebut, maka operasionalisasi dalam merancang sebuah sistem pemilu,
ada beberapa hal penting yang harus menjadi pertimbangan adalah: Pertama,
Pertimbangan Administrasi. Douglas Rae (1986) mengonsepsikan sebuah sistem
pemilu dalam bentuk teknis dengan menyebutkan tiga komponen utama dalam
sebuah sistem pemilu yakni: Daerah Pemilihan, Rumusan Perhitungan dan Desain
Surat Suara. Oleh karena itu , pilihan terhaddap sistem pemilu akan secara luas
memengaruhi rangkaian isu-isu administrasi sebagai berikut: (1) Penentuan
Daerah Pemilihan, (2) Pendaftaran Pemilih, (3) Desain Surat Suara, (4)
Pendidikan Pemilih, (5) Jumlah dan waktu Pemilu dan (6) Perhitungan Suara.
Kedua, Pertimbangan Konteks Sosial dan Politik. Pertimbangan konteks
sosial dan politik merancang sebuah sistem pemilu setidaknya menyangkut
pemenuhuan jawaban atas berbagai pertanyaan berikut, yakni: Bagaimana bentuk
dan struktur masyarakat baik dari sisi sosiologis, geografis maupun pemecahan
politik lainnya; Bagaimana sejarah sistem politik negara tersebut (demokrasi yang
telah mapan, demokrasi transisi atau perbaikan demokrasi). Sehingga, secara
spesifik pemenuhan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah dalam
bentuk pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: (1) Karakteristik Identitas
Kelompok, (2) Identitas Konflik, (3) Karakteritik Perseteruan, (4) Penyebaran
8
Samuel Hutington. 1992. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Pustaka Grafiti Utama, Jakarta.
Kelompok-Kelompok yang Berkonflik, (5) Karakteristik Negara, (6) Karakteristik
Sistem Kepartaian, dan (7) Kerangka Konstitusi Secara Keseluruhan.
Secara konsep teoretis maupun pertimbangan perancangan, sebuah sistem
pemilu dibangun berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) Membentuk
Badan Perwakilan yang Representatif, (2) Membuat Pemilu Terjangkau dan
Berarti, (3) Menyediakan Sarana bagi Persatuan, (4) Membantu terbentunya
Pemerintahan yang Stabil dan Efektif, (5) Memastikan Akuntabilitas
Pemerintahan dan Wakil Rakyat, (6) Mendukung Hidupnya Partai-Partai Politik
yang Terbuka, dan (7) Mendorong Adanya Oposisi di Parlemen.
Karena begitu penting dan strategisnya peran sebuah sistem pemilu dalam
implementasi demokrasi perwakilan, maka sistem pemilu dirancang setidaknya
untuk melaksanakan tiga tugas pokok, yakni: Pertama, menerjemahkan jumlah
suara yang diperoleh partai dalam pemilu menjadi kursi di lembaga perwakilan.
Kedua, sebagai wahana penghubung yang memungkinkan rakyat dapat menagih
tanggung jawab atau janji wakil yang mereka pilih. Ketiga, mendorong pada
pihak-pihak yang saling bersaing dalam pemilu agar melakukan hal atau cara yang
tidak sama. Lebih lanjut, sistem pemilu merupakan salah satu alat rekayasa
konstitusional yang akan digunakan dalam mengurangi konflik di tengah
masyarakat yang masih terpecah-pecah, misalnya terbelah menurut etnis.
Dengan menerjemahkan suara pemilih pada pemilihan umum menjadi kursi
dalam lembaga legislatif, pilihan sistem pemilu dapat secara efektif menentukan
siapa yang dipilih dan partai mana yang memeroleh kekuasaan. Bahkan dengan
jumlah suara yang tepat sama bagai partai-partai, sebuah sistem pemilu dapat
mengarahkan hasil sebuah pemerintahan koalisi atau pemerintahan partai tunggal
yang berpegang pada kontrol mayoritas. Sistem pemilu juga bisa mendorong atau
menghambat aliansi lintas partai. Mereka dapat memberikan insentif untuk
kelompok-kelompok agar lebih akomodatif, atau kesempatan bagi partai-partai
untuk mendasarkan mereka pada ikatan-ikatan etnik atau persaudaraan. Oleh
karena itu, pilihan sebuah sistem pemilu merupakan salah satu keputusan
institusional terpenting bagi masyarakat pasca konflik etnis dan golongan.
2. ANALISIS MODEL PROPOSIONALITAS
Model Analisis
INDIKATOR PROPORSIONALITAS
SISTEM PEMILIHAN UMUM HASIL PEMILIHAN UMUM
District Magnitude
(Besaran Distrik) Gallager Index, G
Electoral Formula Loosemary-Harnby Index, LHI (D)
(Formulasi Pemilihan) Unfairness Index, UI
Votes-Seats Conversion
(Konversi Suara-Kursi)
Threshold
(Ambang Batas)
Definisi konsep yang digunakan dalam penelitian ini berangkat dari Kerangka
Teori yang dikemukakan pada bagian terdahulu. Variabel-variabel dalam
penelitian Disertasi ini adalah Indikator Sistem Pemilu dan Proporsionalitas Hasil
Pemilu. Indikator Sistem Pemilu merupakan Variabel Independen dan
Proporsionalitas Hasil Pemilu sebagai Variabel Dependen. Defenisi konsep dari
kedua variabel tersebut adalah sebagai berikut;
Pertama, sistem pemilu merupakan sebuah instrumen politik demokrasi
perwakilan yang dirancang menyangkut 4 dimensi yakni: Besaran Distrik
(District Magnitude), Formulasi Pemilihan (Electoral Formula), Konversi Suara
Menjadi Kursi (Votes-Seats Conversion), dan Ambang Batas (Threshold).
Kedua, Proporsionalitas Pemilu adalah instrumen pengukuran derajat
keselarasan suatu sistem pemilu proporsional yang diukur berdasar atas indeks
Gallagar dan Simpangan terhadap proporsional.
Definisi Opersional
Berdasarkan defenisi konsep yang telah ditetapkan di atas, maka
operasionalisasi konsep dalam penelitian ini, adalah:
VARIABEL INDIKATOR
SISTEM PEMILU
1. Besaran Distrik a. Batasan Wilayah Daerah
Pemilihan;
b. Alokasi Kursi Setiap Daerah
Pemilihan
2. Formulasi Pemilihan a. Cara Pencalonan Anggota
Legislatif;
b. Cara Rakyat Memilih
3. Konversi Suara-Kursi Pilihan sistem penghitungan suara
4. Ambang Batas Mekanisme Penetapan Calon Terpilih
PROPORSIONAL PEMILU
1. Indeks Gallager (G) Rerata simpangan mutlak antara
prosentase suara dengan prosentase
kursi
2. Simpangan terhadap Rerata simpangan mutlak antara
Proporsionalitas (D) prosentase kursi dengan prosentase
suara
3. Unfairness Index (Indeks Besaran yang digunakan untuk
Ketidakadilan Pemilu), UI mengukur tingkat ketidakadilan suatu
hasil pemilihan umum
9
Philip Kestelman, ”Alternative Voting in Proportion”, (Voting matters, Issue 27), hlm.
27-28.
Basel N Asmar. 2011. Measuring Election Fairness: A New Approach. Research
10
D. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan pada penelitian ini dapat penulis sampaikan sebagai
berikut :