Anda di halaman 1dari 5

UJIAN TENGAH SEMESTER

HUKUM KEUANGAN PUBLIK

RESIKO FISKAL
DALAM PERATURAN PEMERINTAH NO. 5 TAHUN 2018 TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NO. 34 TAHUN 2014
TENTANG
PENGELOLAAN DANA HAJI

Di susun Oleh:

AHMAD RIZQI ROBBANI KABAN


1906408983

PASCASARJANA ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
2019
RESIKO FISKAL DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 5 TAHUN
2018 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 34 TAHUN
2014 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN HAJI

A. Latar Belakang Pengelolaan Keuangan Haji dan Dana Abadi Umat

Bedasarkan Pasal 1 PP NO.5 tahun 2018, mendefinisikan


Keuangan Haji adalah semua hak dan kewajiban Pemerintah Pusat
yang dapat dinilai dengan uang terkait dengan penyelenggaraan Ibadah
Haji serta semua kekayaan dalam bentuk uang atau barang yang dapat
dinilai dengan uang sebagai akibat pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut, baik yang bersumber dari Jemaah Haji maupun sumber lain
yang sah dan tidak mengikat.
Selanjutnya terdapat Dana Abadi Umat (DAU), yaitu sejumlah
dana yang sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014
Tentang Pengelolaan Keuangan Haji diperoleh dari hasil
pengembangan DAU dan/atau sisa biaya operasional penyelenggaraan
Ibadah Haji serta sumber lain yang halal dan tidak mengikat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyelenggaraan
Haji sendiri adalah suatu rangkaian kegiatan pengelolaan pelaksanaan
Ibadah Haji yang meliputi pelaksanaan, pembinaan, pelayanan, dan
perlindungan Jemaah Haji yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Jemaah Haji sendiri adalah Warga Negara Indonesia yang
beragama Islam yang telah mendaftarkan diri untuk menunaikan
Ibadah Haji dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Selanjutnya,
Pemerintah membuat suatu Badan Hukum untuk melakukan
pengelolaan DAU atau dana keuangan haji yang di kenal dengan Badan
Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH) yang dibuat berdasarkan Undang-
Undang Nomor 34 Tahun 2014. BPKH bertanggung jawab kepada
Presiden melalui Menteri, pengelolaan dana oleh BPKH adalah
korporatif dan nirlaba.
Setiap tahunnya jumlah dana yang didapat dan yang
dialokasikan berubah-ubah seiring kebutuhan dan regulasi yang
dibuat oleh pihak-pihak yang berwenang. Untuk penyelenggaraan
Ibadah Haji tahun 2020, Indonesia mendapat Kuota Haji sebesar
231.000.000 (dua tarus tiga puluh satu ribu) jiwa dari Kerajaan Arab
Saudi, 212.520.000 (dua ratus dua belas ribu lima ratus dua puluh
ribu) jiwa jamaah haji reguler dan 18.480 (delapan belas ribu empat
ratus delapan puluh) jiwa untuk haji khusus.
Akhir Januari 2020, Komisi VIII DPR RI bersama dengan
Kementrian Agama telah menyepakati Biaya Penyelenggaraan Ibadah
Haji sebesar Rp.35.235.602 (Tiga Puluh Lima Juta Dua Ratus Tiga
Puluh Lima Ribu Enam Ratus Dua Rupiah). Melalui Bagian Anggaran-
Bendahara Uum Negara (BA-BUN) APBN, pemerintah mengeluarkan
dana sebesar Rp. 353,7 Miliar (Tiga Ratus Lima Puluh Tiga Koma Tujuh
Miliar Rupiah), dana itu peruntukan untuk tambahan 10.000 Jamaah
Haji yang pada tahun 2019 kuota Jamaah Haji hanya 221.000.000
(Dua Ratus Dua Puluh Satu) Jiwa . Dari Total Rp.353,7 Miliar, dana
Rp.183,7 Miliar diambil dari APBN BA-BUN, Rp.65 Miliar dari Dana
hasil efisiensi Pengadaan Saudi Arabian Riyal oleh Badan Pengelola
Keuangan Haji (BPKH), realokasi efisiensi pengadaan akomodasi
mekah Rp.50 Miliar, dan dari dana efisiensi dan tambahan nilai
manfaat BPKH Rp.55 Miliar.

B. Resiko Fiskal terhadap Pengelolaan Keuangan Haji

Resiko fiskal berhubungan dengan tanggung jawab negara


(dalam menjalankan pemerintahan dan pelayanan publik tanpa
kecuali) yang akan menjadi beban keuangan negara secara langsung
ataupun tidak langsung akan berdampak pada keberlangsungan
anggaran negara. Resiko Fiskal memiliki tujuan untuk menutupi
keraguan pemerintah atas kemungkinan terjadinya hambatan,
gangguan, dan kegagalan dalam pelaksanaan kegaitan pemerintahan
dalam pelayanan publik yang menjadi salah satu tugasnya, resiko
fiskal bertujuan mendorong efisiensi anggaran negara, memperkuat
kredibilitas pemerintah, dan menjamin kesinambungan anggaran.
Menurut P. Simatupang, resiko fiskal mengandung unsur:
1) Adanya tujuan bernegara
2) Perbuatan publik negara
3) Adanya kemungkinan merugikan negara
4) Adanya hubungan kausal antara kerugian negara tersebut
dengan tanggung jawab negara
Sesuatu ditetapkan menjadi resiko fiskal dalam rangka
mempertahankan kapasitas negara dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan mencapai
keadilan sosial sesuai dengan tujuan bernegara yang ditetapkan dalam
Konstitusi. Hal yang ditetapkan sebagai resiko fiskal secara konseptual
merupakan tanggung jawab negara, sehingga menjadi wajar apabila
ada sejumlah biaya yang harus ditanggung oleh Negara.
Konstitusi Indonesia yaitu UUD 1945 memberikan amanat
untuk Pengelolaan APBN agar dapa mencapai tujuan bernegara yaitu
salah satunya kesejahteraan yang berkeadilan sosial, menurut T.
Marshall, Hak dasar masyarakat atas pelayanan dasar minimum, dan
negara dituntut untuk berperan aktif mewujudkan hal tersebut. APBN
harus mampu memberikan kesejahteraan yang berkeadilan sosial,
maka negara harus hadir dan dirasakan fungsinya oleh rakyat.
Mayoritas Penduduk Indonesia atau Mayoritas Warga Negara
Indonesia beragama Islam, Penyelenggaraan Ibadah Haji yang di
selenggarakan oleh Pemerintah dapat dikatakan Kebutuhan Dasar bagi
mayoritas penduduk Indonesia. Apabila melihat makna kesejahteraan
yang berkeadilan sosial, maka kewajiban dari Pemerintah Indonesia
adalah memberikan akses serta kemudahan bagi warga negara yang
ingin melaksanakan Ibadah Haji. Tiap tahunnya, Kuota Jamaah Haji
Indonesia bertambah, Dana Ibadah haji pada dasarnya bukanlah dana
yang di bebankan kepada ABPN untuk memberangkatkan Ibadah Haji
seseorang melainkan dana yang ditabung sendiri oleh setiap warga
negara yang selanjutnya dana tersebut dikumpulkan oleh Pemerintah,
yang dana tersebut dapat dikelola guna kepentingan Penyelenggaraan
dan Pemberangkatan Ibadah Haji.
Apabila melihat Besaran Dana yang harus dikumpulkan setiap
warga negara yang ingin Ibdah Haji dengan Suntikan APBN melalui
BA-BUN, maka perbandingannya masih lebih banyak Dana Abadi
Umat yang berasal dari warga negara yang ingin berangkat Haji.
Disamping itu, Dana Abadi Umat dan Dana Ibadah Haji melalui PP
No.5 Tahun 2018 dan UU No 34 Tahun 2014 dapat dikelolah oleh
peemerintah melalui Badan Hukum yang bersifat korporatif dan
nirlaba, tidak menutup kemungkinan dana tersebut dapat dipakai oleh
pemerintah untuk Investasi terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
Tujuan Bernegara.
Maka dapat disimpulkan bahwa, Pengelolaan Keuangan Haji
nyatanya tidak perlu melalui kajian Resiko Fiskal. Hal itu dikarenakan,
Dana yang terkumpul dari Warga Negara Indonesia yang beragama
Islam tidak membebankan APBN. Adapun Dana yang dikeluarkan dari
APBN adalah dana dari Kementian Agama yang selanjutnya diambil
dari BA-BUN APBN yang tidak membebani APBN, ada atau tidak nya
bantuan dari APBN tidak mempengaruhi keuangan Haji namun
Pemerintah. Tiap tahunnya Pemerintah dengan DPR RI melakukan
rapat untuk menetapkan Besaran Biaya Ibadah Haji yang harus
dikeluarkan oleh setiap Warga yang ingin melakukan Ibadah Haij.
Apabila ditelaah lebih dalam , sesungguhnya tanpa ada bantuan
dari APBN sejatinya penyelenggaraan Ibadah Haji dapat tetap berjalan
karena, hal-hal tekhnis seperti Warga Negara Meninggal Sebelum
keberangkatan, sisa dana dari penyelenggaraan Ibadah Haji tahun
sebelumnya, dapat membantu menutupi kekurangan-kekurangan
dalam penyelenggaraan ibadah Haji Tahun selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai