1) Toleransi;
Toleransi berasal dari Bahasa latin tolerare yang berarti sabar terhadap sesuatu, toleransi
merupakan sikap atau perilaku manusia yang mengikuti aturan dimana manusia tersebut harus
saling menghormati terhadap perilaku manusia lain. Toleransi dalam konteks sosial budaya dan
agama memiliki makna sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap
kelompok atau golongan yang berbeda dalam suatu lingkungan masyarakat, misalnya dalam hal
toleransi beragama, kelompok agama mayoritas harus memberikan tempat kepada kelompok
agama minoritas untuk hidup di lingkunganya. (Abu Bakar. 2015). Pemahaman tentang konsep
toleransi masih dianggap kontroversi dan ramai kritikan dari berbagai kalangan baik kaum liberal
maupun kaum konservatif. Namun demikian toleransi antar umat beragama merupakan sikap
untuk dapat menghormati kelompok agama lain.
Pemahaman dan pemantapan terhadap agamanya masing-masing, serta menghargaai agama lain.
Toleransi dapat ditunjukan dari sikap menghormati dan menghargai sesama pemeluk agama dan
antar pemeluk agama. Nilai toleransi sudah ditanamkan sejak didalam keluarga masing-masing
warga, kemudian masing-masing warga menerapkan sikap toleransi dalam kehidupan
bermasyarakat. Sosialisasi dan transformasi nilai tidak terlepas dari peran tokoh agama, tokoh
adat, dan pemerintah desa dalam memasyarakatkan nilai-nilai toleransi, baik di Desa Balun,
Medowo dan dusun Ngepeh.
2) Damai
Damai berarti kondisi masyarakat yang dapat hidup rukun, harmonis, dan sebisa mungkin
terhidar dari potensi terjadinya konflik. Perdamaian menjadi suatu keniscayaan didalam
komunitas masyarakat majemuk. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa
dipisahkan dari komunitas, baik komunitas sosial, politik, budaya maupun kelompok agama
(Ritaudin. 2011). Perdamaian dalam masyarakat plural dapat terwujud apabila setiap warga dapat
meminimalisir timbulnya sikap kecemburuan sosial, menghilangkan sikap, pandangan, dan
anggapan bahwa agama yang dianut yang paling benar sendiri, sedangkan yang lain dianggap
salah. Hal ini tidak terlepas dari peran penting tokoh agama untuk membangun suasana yang
sejuk yang dapat membuat rasa nyaman, aman dan tenang dalam beribadah.
Keadaan damai di desa Medowo, Balun dan dusun Ngepeh tercermin pada kehidupan sehari-hari
masyarakat setempat yang tidak pernah terjadi konflik sosial yang disebabkan oleh perbedaan
agama. Masyarakat menyadari jika timbul konflik maka dapat berakibat merusak kerukunan dan
menghilangkan kedamaian, sehingga masyarakat merasakan situasi yang aman dan nyaman.
3) Solidaritas
Tenggangrasa dalam istilah jawa tepa slira. Tepa berarti tepak atau proporsional, slira berarti
awak atau badan. Ini berarti setiap orang harus mampu merasakan perasaan yang sedang dialami
orang lain. Ketika orang lain merasakan kesusahan, maka orang lainya ikut merasakan kesusahan
juga. Pepatah jawa lain mengatakan Ngono yo ngono ning ojo ngono, pepatah ini memiliki
makna bahwa manusia boleh melakukan apapun tetapi harus menghargai dan sebisa mungkin
tidak menyakiti manusia lain atau merugikan orang lain.
Tenggang rasa dalam Bahasa arab disebut tasamuh yang berarti sama-sama berlaku baik, lemah
lembut dan saling pemaaf, secara umum istilah tasamuh adalah sikap akhlak terpuji dalam
pergaulan, dimana terdapat rasa saling menghargai antar sesama manusia dalam batas-batas yang
digariskan oleh ajaran agama. (Jamarudin. 2016)
Tenggangrasa merupakan cerminan sikap dan perilaku untuk menyamakan orang lain dengan
dirinya sendiri yang dilandasi sikap simpati, empati dan ikatan batin yang kuat. Implementasi
sikap tenggang rasa ditunjukan dengan tidak memaksakan kehendak kepada pihak lain, merasa
senasib sepenanggungan, tidak saling mengganggu, toleran terhadap sesama.
5) Kesetaraan
Dalam konteks pluralisme, kesetaraan berarti memberikan hak yang sama kepada semua
penganut agama didepan hukum tanpa membedakan status sosial, etnis, warna kulit, bahasa ibu,
dan keyakinan. (Sahfutra. 2014). Pemberian hak dan kewajiban yang sama dalam berpartisipasi
dan berperan serta dalam pembangunan desa khususnya untuk menciptakan kerukunan.
Pemberian kebebasan dalam menjalankan ibadah. Nilai keadilan dapat digambarkan dengan
ungkapan berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Untuk menjamin kerukunan hidup
masyarakat, maka tidak lepas dari peran pemerintah desa, untuk memberikan rasa keadilan
kepada seluruh masyarakat tanpa adanya stigma mayoritas-minoritas.
6) Gotong royong
Gotong royong dalam kehidupan sehari-hari diwujudkan seperti adanya kebersamaan, tidak ada
paksaan, atau muncul karena adanya kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi melalui rasa
saling memiliki. Gotong royong akan berkaitan dengan solidaritas yang tentunya akan
memberikan pengaruh dalam masyarakat, baik secara individu maupun pengaruh secara
kelompok. Bagaimana peranan solidaritas berjalan tentunya didukung oleh bagaimana
masyarakat menyikapi setiap nilai yang ada dalam gotong royong yang tertanam di
lingkungannya, meskipun hidup bersama, dalam menyikapinya akan berbeda karena disesuaikan
dengan rasa solidaritas yang ada. (Meta Rolitia. 2016)
Makna gotong royong identik dengan peribahasa berat sama dipikul ringan sama dijinjing,
holopis kuntul baris, rambate ratahayo, Rukun agawe santoso, crah agawe bubrah, sabaya pati
sabaya mukti, sepi ing pamrih, rame ing gawe, yang dilandasi semangat kekeluargaan. Filosofi
tersebut sudah tertanamkan pada Masyarakat di desa Medowo, Balun dan dusun Ngepeh dalam
kehidupan bersama. Jiwa kekeluargaan menjadi faktor perekat kohesivitas masyarakat yang
guyub rukun dan harmonis.
7) Demokratis
Sejatinya demokrasi dan agama sama-sama mencita-citakan nilai-nilai luhur seperti kebebasan
kejujuran, keadilan, toleransi, dan saling menghormati satu sama lain. (Wahib. 2013). Praktik dari
demokrasi dalam kehidupan masyarakat Medowo, Balun dan Ngepeh diwujudkan dalam bentuk
musyawarah untuk mufakat. Masyarakat terlibat atau berperan aktif dalam pengambilan suatu
keputusan, adanya keikutsertaan semua kelompok masyarakat dalam forum rembug desa, BPD,
LKMD, kartar, PKK, FKUB dan adanya kebebasan menentukan pilihan ketika pilkades, pemilu,
serta memberikan kesempatan yang sama tanpa memandang background agamanya. Artinya
semua pemeluk agama diperbolehkan menggunakan hak pilih dan dipilih dalam suatu kontestasi
politik ditingkat desa. Hal ini dibuktikan bahwa di ketiga tempat tersebut pernah ada kepala desa
atau kepala dusun yang bukan dari Islam saja atau sebaliknya.
8) Sadar akan perbedaan.
Permasalahan terhadap pluralitas biasanya muncul karena masyarakat belum memahami bahwa
keberagaman adalah anugerah dari Tuhan, agar manusia saling mengenal satu dan lainya. Masalah
lain muncul ketika masyarakat memiliki sifat pragmatis, menolak keragaman dan mengehndaki
keseragaman. Menyadari bahwa keberagaman adalah karunia tuhan adalah bentuk dari sikap
sadar akan perbedaan.
Masyarakat di ketiga lokasi penelitian, menyadari betul bahwa keberagaman merupakan anugerah
dari Tuhan yang harus dipelihara dan dikelola dengan baik, agar tercipta suasana harmoni dalam
kehidupan masyarakat. Dalam praktiknya, masyarakat di ketiga lokasi penelitian saling
menghormati eksistensi pemeluk agama lain. Penghormatan atas perbedaan diaktualisasikan
dengan cara antara lain : ikut serta menyemarakan hari besar keagamaan, pada waktu umat Islam
merayakan Idul Fitri, umat kristiani dan umat Hindu berkunjung ke rumah pemeluk agama Islam,
begitu pula sebaliknya. Demikian juga ketika ada kematian dari salah satu pemeluk agama, maka
semua warga dengan serta merta ikut dalam upacara pemakaman sebagai bentuk penghormatan.
Bahkan di ketiga lokasi penelitian ini, pemakaman warga berada dalam satu komplek makam
desa, maka tak heran jika melihat kondisi pemakaman di ketiga lokasi penelitian, banyak
dijumpai berbagai bentuk batu nisan sebagai ciri penanda perbedaan.
Kedelapan nilai kearifan lokal tersebut di atas, ditransformasikan dan disosialisasikan melalui :
a. Perilaku Individu
Adanya kesadaran individu untuk menghargai individu lain yang berbeda agama dalam
interaksi sosial dan komunikasi sosial di Desa Medowo, Desa Balun dan Dusun Ngepeh,
adalah suatu kekhasan yang dapat mengurangi potensi konflik antar individu berbeda
agama. Keharmonisan dapat dibangun apabila setiap individu memiliki kesadaran dan
pemahaman bahwa ada kerjasama antar individu untuk saling membantu, masing-masing
individu memahami dan menyadari bahwa dirinya itu sebagai makhluk sosial.
Setiap individu merasa terpanggil untuk menjunjung tinggi perilaku sopan santun dan
beretika dalam bersosialisai. Dengan demikian setiap individu dapat menyeimbangkan
dan menyelaraskan eksistensinya sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial.
b. Perilaku Keluarga
Pada dasarnya fungsi masyarakat (kelompok) dibedakan menjadi dua, yaitu : a) fungsi
organisasi formal dan b) fungsi kebutuhan individual. Sosialisasi dan transformasi nilai
dalam masyarakat terjadi sebab Individu yang telah terbentuk dari lingkungan keluarga
kemudian dipraktikan dalam kehidupan bermasyarakat. Terdapat peran penting tokoh
agama, adat, pemerintah desa dalam memberikan arahan dan upaya pemertahanan
kedelapan nilai kearifan lokal sebagai rujukan berinteraksi sosial dan berkomunikasi
sosial dalam masyarakat dari generasi ke generasi dan dari waktu ke waktu. Maka para
pemimpin lokal mengaktualisasikan kedelapan nilai kearifan lokal berpedoman pada
falsafah Ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.
SIMPULAN
Ketiga lokasi penelitian memiliki simbol identitas kearifan lokal, bahwa desa medowo terdapat
makam mbah Panjang (mbah dowo) yang kemudian menjadi nama desa Medowo. Desa Balun
memilki simbol identitas akan keberadaan tokoh mbah Alun (mbah Sin Arih) yang kemudian
menjadi nama desa Balun. dan dusun Ngepeh tidak terlepas dari ketokohan seorang belanda
bernama Tuan Coolen yang mengelola lahan dan bendungan air (dam/ waduk) yang kemudian
disebut peh sehingga dusun ini diberi nama Ngepeh. Tuan Coolen sendiri merupakan pemimpin
dan cikal bakal penyiaran Kristen kejawen didaerah tersebut.
Terbentuknya Harmonisasi di ketiga lokasi penelitian, dilandasi dengan delapan nilai kearifan
lokal yang diaktualisasikan, disosialisasikan, ditransformasikan dan dilestarikan melalui interaksi
sosial dan komunikasi sosial antar individu, keluarga dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar. 2015. Konsep Toleransi dan Kebebasan Beragama. Jurnal Media Komunikasi Umat
Beragama. Vol.7 No.2 Juli-Desember 2015.
Hasbullah 2012. REWANG: Kearifan Lokal dalam Membangun Solidaritas dan Integrasi Sosial
Masyarakat di Desa Bukit Batu Kabupaten Bengkalis. Jurnal Sosial Budaya Vol.9
No.2 Juli-Desember 2012.
Jamarudin. 2016. Membangun Tasamuh keberagaman dalam perspektif Al-Quran. Jurnal Media
Komunikasi Umat Beragama. Vol.8 No.2 Juli-Desember 2016.
Maksum. Ali. 2011. Pluralisme dan Multikulturalisme paradigma baru Pendidikan islam di
Indonesia. Malang: Aditya Media Publishing.
Moleong, Lexy. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Ritaudin. 2011. Damai Ditengah masyarakat multikultur dan multi agama. Jurnal Al-Adyan Vol.6
No. 6 Juli-Desember 2011Rustanto. Bambang. 2015. Masyarakat Multikultur di
Indonesia. Bandung: PT. Remaja Rusda Karya.
Sahfutra. 2014. Gagasan Pluralisme Agama Gusdur Untuk Kesetaraan dan Kerukunan. Jurnal
Religi Vol. 1 Januari 2014 hal 89 – 113.
Sugiyono. 2011. Metode penelitian, kuantitatif, kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Umi Sumbulah. 2013. Pluralisme Agama makna dan lokalitas pola kerukunan antarumat
beragama. Malang: UIN Maliki Pers
.