Anda di halaman 1dari 10

Harmoni Keberagaman Berbasis Kearifan Lokal

Timo Cahyo Nugroho1, Dwi Fathurohman. S.Pd2, Dr. Kustomo. M.Pd3


Abstrak
Secara empirik pluralitas merupakan realita sosial yang ada di masyarakat. Pluralitas sebagai
kontraposisi dari singularitas yang mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari
kejamakan, dan bukan ketunggalan. Artinya, dalam masyarakat Indonesia dapat dijumpai
berbagai subkelompok masyarakat, yang tidak bisa disatukelompokkan satu dengan yang
lainnya. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk itu, ada dua istilah yang penting dipahami
yaitu kemajemukan (pluralitas) dan keanekaragaman (heterogenitas). Keberagaman merupakan
modal sosial (social modal) yang harus dikelola secara baik dan bijak, apabila menghendaki
masyarakat itu ingin hidup harmonis dalam keberagaman. Untuk mewujudkan harmonisasi
tersebut maka perlu berpijak pada nilai-nilai kearifan lokal, antara lain : 1) toleransi; 2) damai; 3)
solidaritas; 4 tenggangrasa; 5) kesetaraan; 6) gotong royong; 7) demokratis dan 8) sadar akan
perbedaan.
Kata kunci : harmoni, keberagaman, kearifan lokal.
PENDAHULUAN
Indonesia dibentuk oleh realitas kemajemukan, keragaman suku, agama, bahasa, dan budaya
yang dapat dijumpai diseluruh penjuru negeri, dan keragaman ini pula juga menjadikan negeri ini
menjadi Negara Kesatuan Republik Indoneisa (Maksum, 2011: 79). Kesadaran historis semacam
ini menegaskan bahwa kemajemukan sebagai sebuah kenyataan sosio-kultural bangsa ini.
Menurut Rustanto (2015: 34) mengutip pendapat Geertz (1995) yang menyatakan bahwa
masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub-sistem yang kurang
lebih berdiri sendiri-sendiri, yang mana masing-masing subsistem terkait ke dalam oleh ikatan-
ikatan yang bersifat primordial. Adapun ciri-ciri masyarakat majemuk antara lain : a) Terjadinya
segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali memiliki sub kebudayaan yang
berbeda satu sama lain; b) Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga
yang bersifat non-komplementer; c) Kurang mengembangkan konsensus diantara para
anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar; d) Secara relatif seringkali mengalami
konflik-konflik diantara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain; e) Secara relatif
integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi; dan
e) Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain. Pluralitas
masyarakat Indonesia adalah keragaman dalam sebuah perwujudan persatuan bangsa.
Keragaman, keunikan, dan parsial merupakan realitas yang tak terbantahkan di Indonesia.
Di Jawa Timur sendiri terdapat desa yang dapat dijadikan contoh sebagai desa yang dapat disebut
sebagai desa pluralis, karena di desa tersebut terdapat kemajemukan masyarakat yang beragam
agama, namun dapat hidup rukun dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal. Desa
tersebut diantaranya adalah Desa Medowo Kecamatan Kandangan Kabupaten Kediri, Dusun
Ngepeh Kecamatan Ngoro Kabupaten Jombang, dan Desa Balun Kecamatan Turi Kabupaten
Lamongan. Ketiga desa tersebut terdapat kehidupan masyarakat yang harmonis meskipun
masyarakat memilki keyakinan atau agama yang berbeda, hal ini dikarenakan masyarakat masih
menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal yang ada.
Penulisan artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan delapan nilai-nilai kearifan lokal yang
menurut peneliti berkembang dikehidupan masyarakat, kedelapan nilai-nilai kearifan lokal
tersebut adalah 1) toleransi; 2) damai; 3) solidaritas; 4 tenggangrasa; 5) kesetaraan; 6) gotong
royong; 7) demokratis dan 8) sadar akan perbedaan.
Pluralisme berasal dari kata plural yang berarti jamak atau lebih dari satu (Moeliono, 1990)
dalam Umi (2013). Pluralis yaitu bersifat jamak (banyak). Pluralisme adalah hal yang
mengatakan jamak atau tidak satu; kebudayaan: berbagai kebudayaan yang berbeda-beda di
suatu masyarakat. Dalam kamus teologi, pluralisme adalah pandangan filosofis yang tidak
mereduksikan segala sesuatu pada satu prinsip terakhir, melainkan menerima adanya keragaman.
Pluralisme dapat menyangkut bidang kultural, politik dan religius. Pluralisme adalah upaya
membangun tidak saja kesadaran bersifat teologis tetapi juga kesadaran sosial. Hal itu
berimplikasi pada kesadaran bahwa manusia hidup di tengah masyarakat yang plural dari segi
agama, budaya, etnis, dan berbagai keragaman sosial lainnya. Karena dalam pluralisme
mengandung konsep teologis dan konsep sosiologis.
Atas pendapat tersebut di atas, maka Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan
bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama yang
justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi bukan pluralisme. Pluralisme harus dipahami
sebagai pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Pluralisme adalah bentuk
kelembagaan dimana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau
dunia secara keseluruhan.
Masalah pluralisme atau paham kemajemukan masyarakat di Indonesia menurut Nurcholis
Madjid masih dipahami kurang mendalam. Pluralisme dipahami hanya sepintas saja tanpa
memaknai secara mendalam. Padahal istilah pluralisme selain telah menjadi ketetapan Allah
SWT, namun juga telah menjadi wacana umum masyarakat Indonesia. Lebih lanjut Nurcholis
Madjid mengakui bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang paling plural dan majemuk di
dunia.
Pluralisme menjadi tantagan modernitas yang nyata, hal ini sebenarnya tidak menjadi persoalan
pada generasi awal, baik bagi umat Islam, Kriten maupun Yahudi. Generasi islam awal
cenderung toleran jika dibandingkan generasi islam yang lebih belakangan. Semangat toleransi
telah diwujudkan dalam kegiatan praktis sehari-hari pada masa-masa awal antara kaum Muslim,
Kriten dan Yahudi. Meskipun mereka menganut agama yang berbeda, namun mereka dapat
membentuk masyarakat tunggal yang didalamnya perkawanan antar pribadi, kemitraan dalam
bisnis, hubungan guru-murid dalam kehidupan ilmu pengetahuan, dan bahkan sangat umum.
Keberagaman dan kearifan lokal adalah satu hal yang saling berkaitan, karena dalam
keberagaman dapat disatukan dari kebiasaan yang telah ada pada masyarakat itu sendiri. Paham
tentang kearifan lokal (local wisdom) menjadi sebuah pandangan hidup dan pengetahuan serta
sebagai strategi kehidupan yang berwujud aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam
memenuhi kebutuhan mereka.
Terdapat delapan nilai kearifan lokal utama yang peneliti anggap ada dikehidupan masyarakat,
kedelapan nilai-nilai kearifan lokal tersebut adalah 1) toleransi; 2) damai; 3) solidaritas; 4
tenggangrasa; 5) kesetaraan; 6) gotong royong; 7) demokratis dan 8) sadar akan perbedaan.
Delapan nilai kearifan lokal tersebut, khususnya pada masyarakat jawa masih dijadikan sebagai
filsafat hidup, berupa ungkapan (paribasan) yang tumbuh dan berkembang di kehidupan
masyarakat.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis.
Penelitian kualitatif adalah penelitian terhadap fenomena atau populasi tertentu yang diperoleh
peneliti dari subjek yang berupa individu, organisasional atau perspektif yang lain. Adapun
tujuannya adalah untuk menjelaskan aspek yang relevan dengan fenomena yang diamati dan
menjelaskan karakteristik fenomena atau masalah yang ada (Moleong. 2002:135). Pengumpulan
data dilakukan pada kondisi yang alamiah, sumber data primer, dan teknik pengumpulan data
lebih banyak pada observasi, wawancara yang mendalam dan dokumentasi (Sugiyono, 2011:225)
Jenis penelitian yang digunakan adalah field research (studi lapangan). Penggunaan metode ini
karena secara empiris yang menginvestasikan fenomena sementara dalam konteks kehidupan
yang nyata, ketika batas antara fenomena dan kontek tidak tampak secara jelas dan sumber-
sumber fakta ganda yang digunakan. Penelitian terhadap latar belakang dan kondisi dari
individu, kelompok, atau komunitas tertentu dengan tujuan untuk memberikan gambaran lengkap
mengenai subjek atau kejadian yang diteliti. Penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci,
dan mendalam terhadap suatu organisme, lembaga atau gejala tertentu.
Lokasi penelitian dipilih dengan pertimbangan karakteristik yang disesuaikan dengan fokus
penelitian. Penelitian ini dilakukan di Desa Balun Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan, Desa
Ngepeh Kecamatan Ngoro Kabupaten Jombang dan Desa Medowo Kecamatan Kandangan
Kabupaten Kediri. Lokasi tersebut dipilih dengan pertimbangan kekhasan, kemenarikan dan
sesuai dengan topik dalam penelitian ini. Lokasi menunjukan bahwa ketiga desa tersebut
menjunjung tinggi pluralitas yang dapat dilihat dari keharmonisan kehidupan antar warga yang
memiliki kepercayaan yang berbeda, namun tetap dapat hidup rukun dan berdampingan.
Pengambilan subjek dalam penelitian ini dilakukan dengan cara purposive sampling, artinya
pengambilan sampel sumber data dengan subjek penelitian yang telah ditentukan oleh peneliti.
Pada penelitian kualitatif peneliti memasuki situasi sosial tertentu, melakukan observasi dan
wawancara kepada orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi sosial tertentu, penentuan
sumber data pada orang yang diwawancarai dilakukan secara purposive (Sugiyono, 2011:216).
Subjek pada penelitian ini yang berlaku sebagai informan dalam proses wawancara yaitu kepala
desa, sekertaris desa, perangkat desa, tokoh agama, tokoh adat, dan masyarakat. Sementara
dalam proses observasi dan studi dokumen peneliti menggunakan 2 objek yaitu Kantor Desa, dan
lingkungan masyarakat desa.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Deskripsi Singkat Sejarah Lokasi Penelitian
Desa Balun terletak di Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan, terdapat 10 RT (rukun tetangga)
dengan jumlah penduduk sekitar 4600 jiwa yang terdiri dari beragam agama. Pemeluk Islam di
desa balun sekitar 70%, Kristen sekitar 18% dan sisanya adalah pemeluk agama Hindu. Sejarah
desa balun tidak terlepas dari ketokohan Mbah Alun, seorang tokoh yang diyakini sebagai
pembabat alas (cikal bakal) desa Balun. Mbah Alun merupakan raja Blambangan yang
bersembunyi di desa sekitar candi Pari (Porong). Dalam masa persembunyianya, mbah alun
menyebarkan agama Islam hingga akhir hayatnya, sehingga mbah alun mendapat julukan sebagai
Sunan Tawang Alun, dan mendapat julukan dengan nama Sin Arih karena dia menyembunyikan
identitasnya sebagai raja. Kemudian setelah tahun 1965 pasca meletusnya peristiwa G30S, mulai
berkembang agama Kristen dan Hindu di Desa ini. Namun masuknya agama lain selain Islam
tidak membuat masyarakat terpecah belah, justru masyarakat mampu menerima perbedaan dan
hidup rukun berdampingan. Kehidupan harmonis berdasar nilai kearifan lokal memunculkan
interaksi sosial yang khas berbeda dengan desa lain. Keistimewaan lain dari desa ini adalah
diperolehnya predikat sebagai desa Pancasila oleh seorang tokoh nasional yang merupakan
anggota dewan pertimbangan presiden karena dapat dijadikan contoh model kehidupan
berbhinneka.
Desa medowo merupakan salah satu dari 12 desa di wilayah Kecamatan Kandangan Kabupaten
Kediri yang terletak 10 Km kea rah timur dari kecamatan. Desa Medowo memiliki luas wilayah
seluas 997 Ha. Sejarah berdirinya desa medowo tidak terlepas dari seorang Pendiri desa medowo
yaitu mbah Panjang yang merupakan salah satu pengikut pangeranBenowo seorang pembesar
Mataram. Menurut cerita tokoh masyarakat, mbah Panjang ditinggalkan di pedukuhan Medowo,
lalu pangeran Benowo melanjutkan perjalanan kea rah selatan untuk mencari tanah yang subur.
Penamaan desa medowo dikarenakan kampung tersebut membujur memanjang dari arah barat ke
timur (Dowo, Bahasa jawa dari Panjang) maka disebutlah Medowo.
Dusun Ngepeh adalah dusun yang terletak di desa Rejoagung kecamatan Ngoro Kabupaten
Jombang. Jumlah penduduk di dusun ini berdasarkan data profil desa Rejoagung tahun 2018
sebanyak 2.250 jiwa. Penamaan dusun ngepeh karena disekitar dusun tersebut terdapat Peh
istilah bendungan dalam Bahasa Jawa yang merupakan peninggalan kolonial belanda masa
penguasaan Tuan Coolen yang kemudian diteruskan oleh Mbah Kam, karena itu masyarakat
sekitar menambahi dengan awalan Nge- sehingga menjadi Ngepeh dan kemudian menjadi
penamaan daerah tersebut. Dusun Ngepeh dikenal banyak orang karena di dusun ini masyarakat
multi agama dapat hidup rukun berdampingan. Jumlah pemeluk agama Islam sebanyak 84%,
Kristen 11%, Hindu 3% dan Budha 2%. Dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, warga
dusun mampu berinteraksi tanpa memandang status agama. Hal ini menjadikan dusun ngepeh
banyak dikunjungi akademisi dan praktisi untuk melakukan studi tentang keberagaman.
B. Wujud Nilai Kearifan Lokal

1) Toleransi;

Toleransi berasal dari Bahasa latin tolerare yang berarti sabar terhadap sesuatu, toleransi
merupakan sikap atau perilaku manusia yang mengikuti aturan dimana manusia tersebut harus
saling menghormati terhadap perilaku manusia lain. Toleransi dalam konteks sosial budaya dan
agama memiliki makna sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap
kelompok atau golongan yang berbeda dalam suatu lingkungan masyarakat, misalnya dalam hal
toleransi beragama, kelompok agama mayoritas harus memberikan tempat kepada kelompok
agama minoritas untuk hidup di lingkunganya. (Abu Bakar. 2015). Pemahaman tentang konsep
toleransi masih dianggap kontroversi dan ramai kritikan dari berbagai kalangan baik kaum liberal
maupun kaum konservatif. Namun demikian toleransi antar umat beragama merupakan sikap
untuk dapat menghormati kelompok agama lain.
Pemahaman dan pemantapan terhadap agamanya masing-masing, serta menghargaai agama lain.
Toleransi dapat ditunjukan dari sikap menghormati dan menghargai sesama pemeluk agama dan
antar pemeluk agama. Nilai toleransi sudah ditanamkan sejak didalam keluarga masing-masing
warga, kemudian masing-masing warga menerapkan sikap toleransi dalam kehidupan
bermasyarakat. Sosialisasi dan transformasi nilai tidak terlepas dari peran tokoh agama, tokoh
adat, dan pemerintah desa dalam memasyarakatkan nilai-nilai toleransi, baik di Desa Balun,
Medowo dan dusun Ngepeh.

2) Damai

Damai berarti kondisi masyarakat yang dapat hidup rukun, harmonis, dan sebisa mungkin
terhidar dari potensi terjadinya konflik. Perdamaian menjadi suatu keniscayaan didalam
komunitas masyarakat majemuk. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa
dipisahkan dari komunitas, baik komunitas sosial, politik, budaya maupun kelompok agama
(Ritaudin. 2011). Perdamaian dalam masyarakat plural dapat terwujud apabila setiap warga dapat
meminimalisir timbulnya sikap kecemburuan sosial, menghilangkan sikap, pandangan, dan
anggapan bahwa agama yang dianut yang paling benar sendiri, sedangkan yang lain dianggap
salah. Hal ini tidak terlepas dari peran penting tokoh agama untuk membangun suasana yang
sejuk yang dapat membuat rasa nyaman, aman dan tenang dalam beribadah.
Keadaan damai di desa Medowo, Balun dan dusun Ngepeh tercermin pada kehidupan sehari-hari
masyarakat setempat yang tidak pernah terjadi konflik sosial yang disebabkan oleh perbedaan
agama. Masyarakat menyadari jika timbul konflik maka dapat berakibat merusak kerukunan dan
menghilangkan kedamaian, sehingga masyarakat merasakan situasi yang aman dan nyaman.
3) Solidaritas

Solidaritas berarti kebersamaan, kekompakan, kesetiakawanan, empati, simpati, tenggang hati


dan tenggang rasa (Depdiknas 2009 dalam Hasbullah 2012). Sebuah filosofi jawa mengatakan
Tuna sathak bathi sanak yang artinya rela kehilangan harta untuk mendapatkan persaudaraan.
Pada filosofi ini terdapat makna bahwa ikatan batin yang kuat pada setiap manusia, akan menjadi
dasar sebagai rasa persaudaraan yang kuat. Meskipun bukanlah saudara sekandung atau masih
ada ikatan darah, namun ketika seseorang memiliki rasa ikatan batin yang kuat akan menganggap
bahwa semua anggota komunitas itu adalah saudara yang harus saling menjaga, bahkan jika
harus mengorbankan harta benda maupun nyawa.
Solidaritas yang dimaksud adalah bertujuan untuk memperkuat persatuan. Sikap solidaritas
ditunjukan dengan partisipasi dan peran serta segenap warga dalam suatu kegiatan, misalnya
ritual adat bersih desa, upacara kematian, hajatan, kerja bakti membangun rumah, memperbaiki
fasilitas umum dan pembangunan/ perbaikan rumah ibadah. Solidaritas sosial merupakan teori
utama yang dibahas oleh emil Durkheim sebagai sumber moral dalam membentuk tatanan sosial
di tengah masyarakat. Durkheim menyatakan bahwa asal-usul moralitas harus ditelusuri sampai
pada sesuatu yang agak samar yang disebut masyarakat.
4) Tenggangrasa

Tenggangrasa dalam istilah jawa tepa slira. Tepa berarti tepak atau proporsional, slira berarti
awak atau badan. Ini berarti setiap orang harus mampu merasakan perasaan yang sedang dialami
orang lain. Ketika orang lain merasakan kesusahan, maka orang lainya ikut merasakan kesusahan
juga. Pepatah jawa lain mengatakan Ngono yo ngono ning ojo ngono, pepatah ini memiliki
makna bahwa manusia boleh melakukan apapun tetapi harus menghargai dan sebisa mungkin
tidak menyakiti manusia lain atau merugikan orang lain.
Tenggang rasa dalam Bahasa arab disebut tasamuh yang berarti sama-sama berlaku baik, lemah
lembut dan saling pemaaf, secara umum istilah tasamuh adalah sikap akhlak terpuji dalam
pergaulan, dimana terdapat rasa saling menghargai antar sesama manusia dalam batas-batas yang
digariskan oleh ajaran agama. (Jamarudin. 2016)
Tenggangrasa merupakan cerminan sikap dan perilaku untuk menyamakan orang lain dengan
dirinya sendiri yang dilandasi sikap simpati, empati dan ikatan batin yang kuat. Implementasi
sikap tenggang rasa ditunjukan dengan tidak memaksakan kehendak kepada pihak lain, merasa
senasib sepenanggungan, tidak saling mengganggu, toleran terhadap sesama.
5) Kesetaraan

Dalam konteks pluralisme, kesetaraan berarti memberikan hak yang sama kepada semua
penganut agama didepan hukum tanpa membedakan status sosial, etnis, warna kulit, bahasa ibu,
dan keyakinan. (Sahfutra. 2014). Pemberian hak dan kewajiban yang sama dalam berpartisipasi
dan berperan serta dalam pembangunan desa khususnya untuk menciptakan kerukunan.
Pemberian kebebasan dalam menjalankan ibadah. Nilai keadilan dapat digambarkan dengan
ungkapan berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Untuk menjamin kerukunan hidup
masyarakat, maka tidak lepas dari peran pemerintah desa, untuk memberikan rasa keadilan
kepada seluruh masyarakat tanpa adanya stigma mayoritas-minoritas.
6) Gotong royong

Gotong royong dalam kehidupan sehari-hari diwujudkan seperti adanya kebersamaan, tidak ada
paksaan, atau muncul karena adanya kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi melalui rasa
saling memiliki. Gotong royong akan berkaitan dengan solidaritas yang tentunya akan
memberikan pengaruh dalam masyarakat, baik secara individu maupun pengaruh secara
kelompok. Bagaimana peranan solidaritas berjalan tentunya didukung oleh bagaimana
masyarakat menyikapi setiap nilai yang ada dalam gotong royong yang tertanam di
lingkungannya, meskipun hidup bersama, dalam menyikapinya akan berbeda karena disesuaikan
dengan rasa solidaritas yang ada. (Meta Rolitia. 2016)
Makna gotong royong identik dengan peribahasa berat sama dipikul ringan sama dijinjing,
holopis kuntul baris, rambate ratahayo, Rukun agawe santoso, crah agawe bubrah, sabaya pati
sabaya mukti, sepi ing pamrih, rame ing gawe, yang dilandasi semangat kekeluargaan. Filosofi
tersebut sudah tertanamkan pada Masyarakat di desa Medowo, Balun dan dusun Ngepeh dalam
kehidupan bersama. Jiwa kekeluargaan menjadi faktor perekat kohesivitas masyarakat yang
guyub rukun dan harmonis.
7) Demokratis

Sejatinya demokrasi dan agama sama-sama mencita-citakan nilai-nilai luhur seperti kebebasan
kejujuran, keadilan, toleransi, dan saling menghormati satu sama lain. (Wahib. 2013). Praktik dari
demokrasi dalam kehidupan masyarakat Medowo, Balun dan Ngepeh diwujudkan dalam bentuk
musyawarah untuk mufakat. Masyarakat terlibat atau berperan aktif dalam pengambilan suatu
keputusan, adanya keikutsertaan semua kelompok masyarakat dalam forum rembug desa, BPD,
LKMD, kartar, PKK, FKUB dan adanya kebebasan menentukan pilihan ketika pilkades, pemilu,
serta memberikan kesempatan yang sama tanpa memandang background agamanya. Artinya
semua pemeluk agama diperbolehkan menggunakan hak pilih dan dipilih dalam suatu kontestasi
politik ditingkat desa. Hal ini dibuktikan bahwa di ketiga tempat tersebut pernah ada kepala desa
atau kepala dusun yang bukan dari Islam saja atau sebaliknya.
8) Sadar akan perbedaan.
Permasalahan terhadap pluralitas biasanya muncul karena masyarakat belum memahami bahwa
keberagaman adalah anugerah dari Tuhan, agar manusia saling mengenal satu dan lainya. Masalah
lain muncul ketika masyarakat memiliki sifat pragmatis, menolak keragaman dan mengehndaki
keseragaman. Menyadari bahwa keberagaman adalah karunia tuhan adalah bentuk dari sikap
sadar akan perbedaan.
Masyarakat di ketiga lokasi penelitian, menyadari betul bahwa keberagaman merupakan anugerah
dari Tuhan yang harus dipelihara dan dikelola dengan baik, agar tercipta suasana harmoni dalam
kehidupan masyarakat. Dalam praktiknya, masyarakat di ketiga lokasi penelitian saling
menghormati eksistensi pemeluk agama lain. Penghormatan atas perbedaan diaktualisasikan
dengan cara antara lain : ikut serta menyemarakan hari besar keagamaan, pada waktu umat Islam
merayakan Idul Fitri, umat kristiani dan umat Hindu berkunjung ke rumah pemeluk agama Islam,
begitu pula sebaliknya. Demikian juga ketika ada kematian dari salah satu pemeluk agama, maka
semua warga dengan serta merta ikut dalam upacara pemakaman sebagai bentuk penghormatan.
Bahkan di ketiga lokasi penelitian ini, pemakaman warga berada dalam satu komplek makam
desa, maka tak heran jika melihat kondisi pemakaman di ketiga lokasi penelitian, banyak
dijumpai berbagai bentuk batu nisan sebagai ciri penanda perbedaan.

C. Aktualisasi Perilaku Melalui Transformasi Dan Sosialisasi

Kedelapan nilai kearifan lokal tersebut di atas, ditransformasikan dan disosialisasikan melalui :
a. Perilaku Individu

Adanya kesadaran individu untuk menghargai individu lain yang berbeda agama dalam
interaksi sosial dan komunikasi sosial di Desa Medowo, Desa Balun dan Dusun Ngepeh,
adalah suatu kekhasan yang dapat mengurangi potensi konflik antar individu berbeda
agama. Keharmonisan dapat dibangun apabila setiap individu memiliki kesadaran dan
pemahaman bahwa ada kerjasama antar individu untuk saling membantu, masing-masing
individu memahami dan menyadari bahwa dirinya itu sebagai makhluk sosial.
Setiap individu merasa terpanggil untuk menjunjung tinggi perilaku sopan santun dan
beretika dalam bersosialisai. Dengan demikian setiap individu dapat menyeimbangkan
dan menyelaraskan eksistensinya sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial.
b. Perilaku Keluarga

Keluarga merupakan faktor penting dalam penyemaian nilai karakter. Bagaimanapun


keluarga adalah tempat pertama dan utama manusia mengalami proses pembelajaran.
Pada masyarakat Desa Medowo, Desa Balun dan Dusun Ngepeh penanaman kedelapan
nilai-nilai kearifan lokal sudah dilakukan disetiap keluarga. Keluarga sudah mengajarkan
bagaimana menghargai, merawat dan melestarikan nilai-nilai kearifan lokal yang
dijadikan milik bersama. Berdasarkan hasil temuan di lapangan ada keunikan di ketiga
tempat tersebut, ditemukan beberapa keluarga yang anggota keluarganya memiliki agama
yang berbeda tetapi bisa guyub rukun. Ada yang satu keluarga anggota keluarganya
menganut Islam dan Kristen, ada pula satu keluarga yang anggota keluarganya penganut
Islam dan Hindu. Hubungan persaudaraan, kekerabatan, keturunan dan kekeluargaan
yang menjadi faktor perekat keharmonisan kehidupan keluarga.
c. Perilaku Masyarakat

Pada dasarnya fungsi masyarakat (kelompok) dibedakan menjadi dua, yaitu : a) fungsi
organisasi formal dan b) fungsi kebutuhan individual. Sosialisasi dan transformasi nilai
dalam masyarakat terjadi sebab Individu yang telah terbentuk dari lingkungan keluarga
kemudian dipraktikan dalam kehidupan bermasyarakat. Terdapat peran penting tokoh
agama, adat, pemerintah desa dalam memberikan arahan dan upaya pemertahanan
kedelapan nilai kearifan lokal sebagai rujukan berinteraksi sosial dan berkomunikasi
sosial dalam masyarakat dari generasi ke generasi dan dari waktu ke waktu. Maka para
pemimpin lokal mengaktualisasikan kedelapan nilai kearifan lokal berpedoman pada
falsafah Ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.

SIMPULAN
Ketiga lokasi penelitian memiliki simbol identitas kearifan lokal, bahwa desa medowo terdapat
makam mbah Panjang (mbah dowo) yang kemudian menjadi nama desa Medowo. Desa Balun
memilki simbol identitas akan keberadaan tokoh mbah Alun (mbah Sin Arih) yang kemudian
menjadi nama desa Balun. dan dusun Ngepeh tidak terlepas dari ketokohan seorang belanda
bernama Tuan Coolen yang mengelola lahan dan bendungan air (dam/ waduk) yang kemudian
disebut peh sehingga dusun ini diberi nama Ngepeh. Tuan Coolen sendiri merupakan pemimpin
dan cikal bakal penyiaran Kristen kejawen didaerah tersebut.
Terbentuknya Harmonisasi di ketiga lokasi penelitian, dilandasi dengan delapan nilai kearifan
lokal yang diaktualisasikan, disosialisasikan, ditransformasikan dan dilestarikan melalui interaksi
sosial dan komunikasi sosial antar individu, keluarga dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar. 2015. Konsep Toleransi dan Kebebasan Beragama. Jurnal Media Komunikasi Umat
Beragama. Vol.7 No.2 Juli-Desember 2015.
Hasbullah 2012. REWANG: Kearifan Lokal dalam Membangun Solidaritas dan Integrasi Sosial
Masyarakat di Desa Bukit Batu Kabupaten Bengkalis. Jurnal Sosial Budaya Vol.9
No.2 Juli-Desember 2012.
Jamarudin. 2016. Membangun Tasamuh keberagaman dalam perspektif Al-Quran. Jurnal Media
Komunikasi Umat Beragama. Vol.8 No.2 Juli-Desember 2016.
Maksum. Ali. 2011. Pluralisme dan Multikulturalisme paradigma baru Pendidikan islam di
Indonesia. Malang: Aditya Media Publishing.
Moleong, Lexy. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Ritaudin. 2011. Damai Ditengah masyarakat multikultur dan multi agama. Jurnal Al-Adyan Vol.6
No. 6 Juli-Desember 2011Rustanto. Bambang. 2015. Masyarakat Multikultur di
Indonesia. Bandung: PT. Remaja Rusda Karya.
Sahfutra. 2014. Gagasan Pluralisme Agama Gusdur Untuk Kesetaraan dan Kerukunan. Jurnal
Religi Vol. 1 Januari 2014 hal 89 – 113.
Sugiyono. 2011. Metode penelitian, kuantitatif, kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Umi Sumbulah. 2013. Pluralisme Agama makna dan lokalitas pola kerukunan antarumat
beragama. Malang: UIN Maliki Pers
.

Anda mungkin juga menyukai