Anda di halaman 1dari 26

KONFLIK

SOSIAL
Disusun Oleh:

Febrina Wulandari
Marisa Merianti
Resty Natalia Putri
Richardo Fahala
Yuliyanti
Konflik Sosial

A. Pengertian Konflik Sosial


Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang
atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya.

Pengertian konflik sosial menurut para ahli :

1. Konflik sosial adalah alat untuk memperoleh hal-hal yang langka, seperti
status, kekuasaan, dan sebagainya. (Robert M.Z. Lawang)

2. Konflik sosial sebagai a fight, a collision, a struggle, a contest opposition of


interest, opinion or purposes, mental strife, agony. (Cassel Concise dalam
Lacey 2003).

Pengertian tersebut memberikan penjelasan bahwa konflik sosial adalah


suatu pertarungan, suatu benturan, suatu pergulatan, pertentangan
kepentingan, opini-opini atau tujuan-tujuan, pergulatan mental, penderitaan
batin.

3. Pertentangan atau pertikaian atau konflik adalah suatu proses yang dilakukan
orang atau kelompok manusia guna memenuhi tujuannya dengan jalan
menentang pihak lawan yang disertai ancaman dan kekerasan. (Soerjono
Soekanto 1989:86) Oleh karena itu, konflik diidentikkan dengan tindak
kekerasan.
4. Konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan
oleh seorang terhadap dirinya, orang lain, orang dengan kenyataan apa yang
diharapkan (Mangkunegara, 2001).

B. Macam-Macam Konflik
1. Konflik antara individu dengan individu
Konflik antara individu dengan individu adalah pertentangan yang terjadi
antara dua orang akibat perbedaan kepentingan, nilai-nilai, atau pandangan
hidup. Misalnya, konflik antara dua orang remaja atau konflik suami dengan
istrinya.

2. Konflik antara kelompok dengan kelompok


Konflik antar kelompok dengan kelompok adalah pertentangan yang terjadi
antara dua kelompok yang saling bertentangan karena perbedaan nilai-nilai,
pandangan, atau kepentingan. Misalnya, konflik antara dua kelompok pelajar
SMK yang menyebabkan tawuran.

Gambar 2.1: Tawuran antar pelajar.

Contoh lain, kerusuhan di Ambon dan Poso akibat sentimen keagamaan


antara kelompok penganut
agama Islam dengan penganut
agama Kristen.
Gambar 1.2 : Kerusuhan di Ambon.

Gambar 1.3 : Korban pembantaian dalam kerusuhan Ambon.

3. Konflik antar ras


Konflik antarras adalah pertentangan antara dua ras akibat perbedaan
nilai-nilai dan kepentingan. Sebagai contoh, konflik antara masyarakat ras
kulit putih dengan masyarakat kulit hitam di Afrika Selatan yang terkenal
dengan politik Aphartide yaitu perbedaan berdasarkan warna kulit. Di mana
bangsa kulit putih lebih berkuasa dari bangsa kulit hitam. Di Afrika Selatan,
konflik semacam ini memicu timbulnya kerusuhan sosial yang
berkepanjangan, bahkan menimbulkan peperangan yang menimbulkan
korban jiwa dan harta di kedua pihak.
4. Konflik antarkelas sosial
Konflik antarkelas sosial adalah pertentangan yang terjadi antar dua
kelas sosial yang berbeda. Sebagai contoh konflik antar orang kaya dengan
orang miskin, konflik antara bangsa penjajah dengan bangsa terjajah, dan
sebagainya. Konflik antarkelas sosial ini harus segera diatasi agar tidak
meluas menjadi kerusuhan sosial yang mengancam disintegrasi sosial.

5. Konflik antarelite politik


Konflik antarelite politik adalah pertentangan yang terjadi antara dua elite
politik akibat perbedaan kepentingan atau pandangan politik. Misalnya,
pertentangan antara pihak yang berkuasa dengan pihak oposisi, konflik
antara tokoh Golkar dengan tokoh PDI-Perjuangan, dan sebagainya. Konflik ini
bila tidak segera diatasi dapat menggangu jalanya roda pemerintahan dan
proses pembangunan.

C. Faktor Penyebab Konflik Sosial


1. Perbedaan kepentingan dan pandangan hidup
Setiap orang atau kelompok sosial mempunyai kepentingan dan
pandangan hidup yang berbeda. Misalnya, Febri lebih mengutamakan
menjenguk ibunya yang sedang sakit keras di rumah sakit daripada ikut
karyawisata bersama teman-temannya. Bagi Febri tidak ada yang lebih
penting selain menyayangi ibunya.

Perbedaan kepentingan dan pandangan hidup itulah yang kadang-kadang


menjadi penyebab timbulnya konflik sosial dalam kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, dalam pergaulan di masyarakat kita harus bersikap toleran
terhadap orang atau kelompok lain. Dengan demikian, hubungan baik dengan
sesama teman dan saudara akan dapat tetap terpelihara dan konflik sosial
dapat dihindari.
2. Perbedaan nilai dan norma sosial
Setiap individu atau kelompok sosial memiliki nilai-nilai, pandangan hidup,
dan norma-norma sosial yang berbeda-beda. Misalnya, dalam masyarakat
Sunda ada pandangan bahwa hidup menetap di daerah kelahiran dan dekat
dengan orangtua atau kerabat, lebih baik dan lebih aman daripada hidup
merantau di daerah suku bangsa lain. Sebaliknya, dalam masyarakat Batak
atau Minang, mereka memiliki pandangan bahwa hidup merantau lebih baik
daripada hidup di daerah kelahiran.

Perbedaan nilai dan norma sosial seringkali menjadi penyebab timbulnya


konflik sosial. Contoh, kerusuhan di Poso, kerusuhan di Ambon, dan
sebagainya. Dan sebagai masyarakat yang ber-Bhineka Tunggal Ika kita perlu
bersikap toleran terhadap perbedaan nilai-nilai dan norma-norma sosial.

3. Perbedaan nilai-nilai kebudayaan


Setiap kelompok masyarakat memiliki nilai-nilai atau kebudayaan yang
berbeda-beda. Perbedaan tersebut terlihat jelas dari perbedaan adat-istiadat,
agama, bahasa, mata pencaharian, kesenian daerah, dan paham politik.
Perbedaan kebudayaan dapat mendorong timbulnya persaingan dan konflik
sosial. Demikian pula dengan masuknya kebudayaan masyarakat luar yang
negatif, seringkali menjadi penyebab timbulnya konflik soisal. Masuk dan
berkembangnya budaya pornografi, pornoaksi, aborsi, mabuk minuman keras
dan narkoba telah menimbulkan pertentangan sosial dalam kehidupan
masyarakat.

4. Perbedaan status dan peran sosial


Satus sosial dan peran sosial setiap orang atau kelompok orang tidaklah
sama. Perbedaan tersebut dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial.
Misalnya, perbedaan status sosial antara si kaya dan si miskin, antara buruh
dan majikan, atau antara atasan dan bawahan seringkali menjadi penyebab
timbulnya konflik sosial.

Peran sosial merupakan perilaku yang diharapkan diperbuat oleh


seseorang atau kelompok orang sesuai dengan kedudukannya di masyarakat.
Dalam peran sosial, terdapat sejumlah hak dan kewajiban. Peran sosial
orangtua berbeda dengan peran sosial anak-anaknya.

Setiap orang dalam masyarakat menyandang sejumlah status sosial


tertentu. Sebagai contoh, Pak Ahmad di kantor sebagai direktur utama, di
rumah sebagai kepala keluarga, dan di masyarakat sebagai tokoh agama.
Berbagai status yang disandang Pak Ahmad itu berisi sekumpulan hak dan
kewajiban yang harus dilaksanakan. Sebagai direktur utama, Pak Ahmad
tentu saja mendapat tunjangan rumah dinas, mobil dinas, dan gaji yang
besar serta dihormati dan dipatuhi oleh bawahannya. Namun, Pak Ahmad
mempunyai tanggung jawab penuh terhadap maju mundurnya perusahaan,
termasuk peningkatan kesejahteraan karyawannya, membantu kelancaran
proyek-proyek pemerintah, dan sebagainya. Dari ilustrasi tersebut,
tampaklah bahwa status sosial yang dimiliki Pak Ahmad sangat kompleks dan
variatif.

5. Pengaruh perubahan unsur-unsur kebudayaan


Perubahan unsur-unsur kebudayaan mewarnai kehidupan masyarakat.
Pengaruh masuk dan berkembangnya unsur-unsur budaya global
menyebabkan terjadinya perubahan nilai-nilai dan unsur-unsur budaya
masyarakat Indonesia. Perubahan tersebut terlihat dari perubahan pola sikap
dan perilaku, nilai-nilai, pandangan hidup, kepercayaan, gaya hidup, dan
sebagainya. Perubahan tersebut seringkali menjadi faktor penyebab
terjadinya konflik sosial dalam masyarakat.

Masuknya pengaruh budaya global seiring dengan proses penyebaran


penduduk dunia, dinamakan difusi kebudayan (culture diffusion). Bentuk
tertua dari penybaran unsur-unsur sosial budaya global dari suatu tempat
lain di muka bumi ialah penyebaran (migrasi) manusia atau penduduk.

Pada zaman prakarsa, penyebaran unsur-unsur kebudayan berlangsung


dengan perpindahan kelompok manusia purba dari satu tempat ke tempat
lain. Bekas-bekas kehidupan mereka kini telah menjadi objek kajian ilmu
prehistori atau arkeologi. Dalam masa berikutnya, proses penyebaran unsur-
unsur kebudayaan dilakukan oleh pedagang dan pelaut. Penyebaran agama-
agama besar, seperti Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen dilakukan oleh para
pedagang. Bekas difusi kebudayaan oleh para pedagang dan pelaut dalam
proses penyebaran agama menjadi objek penelitian ilmu sejarah.

Pada masa kolonial, proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan


(Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang) dilakukan melalui penetrasi budaya
secara paksa. Berkembangnya budaya feodal, seperti liberalisme,
kapitalisme, diskriminasi, dan rasialisme, yaitu sebagai pengaruh dari
penetrasi budaya secara paksa. Masuknya pengaruh unsur-unsur sosial
budaya luar ke Indonesia menjadi semakin intensif berkat dicapainya
kemajuan di bidang teknologi komunikasi, informasi, dan transportasi.
Kuatnya pengaruh budaya global tentu saja semakin mempercepat
perubahan sosial budaya di Indonesia.

C. BENTUK PENGENDALIAN KONFLIK SOSIAL

1. Pengertian Pengendalian Sosial

Pengendalian sosial adalah proses mengatasi pertentangan sosial yang


terjadi dalam masyarakat. Menurut L. Berger (1978), pengendalian sosial adalah
cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggotanya yang
membangkang. Roucek (1965) menyebutkan, pengendalian sosial adalah istilah
yang mengacu pada proses mengembalikan perilaku menyimpang pada kebiasaan
yang sesuai dengan nilai dan norma sosial. Pengendalian sosial dan penyimpangan
sosial merupakan dua fenomena sosial yang mewarnai kehidupan masyarakat.
Dalam sistem sosial (masyarakat) terdapat sistem nilai dan sistem norma sosial.
Nilai dan norma social bersifat mengikat dan mengatur sikap dan perilaku warga
masyarakat. Apabila individu-individu berperilaku menyimpang dari sistem nilai dan
norma social, maka akan mengganggi keteraturan social. Agar warga masyarakat
tidak menyimpang, diperlukan proses pengendalian sosial. Proses mengembalikan
si penyimpang pada perilaku yang normal, dinamakan normalisasi sosial.

Pengendalian sosial macam-macam bentuknya, yaitu intimidasi (ancaman),


kekerasan fisik (hukuman kurungan), cemoohan, gosip, ostrisisme (diacuhkan),
fraudulens(ancaman oleh beking), teguran, hukuman, pendidikan, agama, dan
sejenisnya. Semua jenis pengendalian sosial dimaksudkan untuk mencegah dan
mengatasi agar individu-individu warga masyarakat tidak melakukan penyimpangan
sosial. Sehubung dengan usaha pengendalian sosial, maka dalam masyarakat
dibentuk lembaga pengendalian sosial seperti kepolisian, pengadilan, lembaga
kemasyarakatan, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan dan sebagainya.
Dengan adanya lembaga pengendalian sosial, maka berbagai penyimpangan sosial
dapat diatasi atau dikendalikan.

2. Cakupan Pengendalian Sosial

Siapa saja yang terlibat dalam pengedalian sosial. Mereka yang terlibat
dalam pengendalian sosial, bisa secara individu ataupun kelompok.

a. Pengendalian antarindividu
Contoh pengendalian sosial antarindividu:

1. Andika menyuruh adiknya berhenti berteriak-teriak;


2. Anton menasihati adiknya agar tidak bertengkar;
3. Polisi menyuruh memakai sabuk pengaman kepada pengemudi.
Dalam hal ini, Andika, Anton dan polisi bertindak sebagai pengendali
sosial, yang mengendalikan individu lainnya.

b. Pengendalian oleh individu kepada kelompok


Contoh pengendalian individu kepada kelompok:

1. Guru mengawasi ujian para siswa;


2. Polisi mengatur lalu lintas di jalan raya;
3. Seorang ibu menyuruh anak-anaknya agar belajar daripada bermain.
Guru, polisi, dan ibu bertindak individu yang melakukan pengendalian
sosial terhadap kelompok, yaitu murid, pengguna jalan raya, dan anak-
anak.

c. Pengendalian oleh kelompok kepada individu


Contoh pengendalian oleh kelompok kepada individu:

1. Orang tua (bapak dan ibu) selalu mengawasi kegiatan anak-anaknya;


2. Sekelompok orang menyuruh turun pada anak yang memanjat tiang
listrik;
3. Massa menghajar sampai babak belur seorang pencuri yang
tertangkap tangan.
4. dari contoh diatas, bapak dan ibu, sekelompok orang, dan massa
merupakan kelompok pengendali social terhadap seorang individu.
d. Pengendalian sosial antarkelompok
Contoh pengendalian sosial antarkelompok:

1. Dua perusahaan yang melakukan joint venture (patungan) saling


melakukan pengawasan;
2. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memeriksa keuangan Departemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas);
3. Dua negara kerjasama melakukan pengawasan terhadap peredaran
obat-obatan terlarang.
Jadi, dua perusahaan, BPK, dan negara merupakan kelompok pengendali
sosial kepada kelompok lainnya.

3. Sifat Pengendalian Sosial

Ada dua sifat pengendalian sosial, yaitu preventif dan represif.

a. Preventif

Pengendalian sosial preventif adalah pengendalian sosial yang dilakukan


sebelum terjadi pelanggaran. Dalam hal ini, pengendalian sosial bersifat
pencegahan agar tidak terjadi suatu pelanggaran atau penyimpangan.
Contoh pengendalian yang bersifat preventif:

1. Untuk mencegah anaknya bertengkar, Pak Ahmad melarang anaknya


bermain di luar rumah.
2. Guru menasihati murid-muridnya agar menghindari tawuran dan
narkoba.

b. Represif
Pengendalian sosial represif adalah pengendalian yang dilakukan setelah
terjadi penyimpangan. Cara ini bertujuan memulihkan keadaan seperti
sebelum terjadi penyimpangan. Contoh pengendalian sosial represif:

1. Hakim menjatuhkan hukuman 10 tahun kepada terpidana tindak


korupsi.
2. Guru menskor muridnya yang melanggar tata tertib sekolah.
4. Teknik Pengendalian Sosial

Ada dua teknik pengendalian sosial, yaitu persuasif dan koersif.

a. Persuasif
Teknik pengendalian sosial persuasif adalah teknik pengendalian sosial dengan
cara mengajak atau membimbing warga masyarakat agar bertindak sesuai
dengan peraturan atau norma-norma yang berlaku. Cara ini terkesan halus dan
sifatnya menghimbau. Contoh pengendalian sosial dengan cara persuasif.

1. Tokoh-tokoh masyarakat membina warganya dengan memberi nasihat agar


warga yang bertikai menghentikan perbuatannya. Kedua pihak dinasihati
agar selalu hidup rukun, menghargai sesame, menaati peraturan, menjaga
etika pergaulan, dsb.
2. Seorang guru dengan penuh rasa kesabaran dan kasih saying menasihati
muridnya yang ketahuan menyontek ketika ulangan. Guru memberi
pengertian, menyontek itu perbuatan tercela dan merugikan diri sendiri.
Perbuatan menyontek akan berakibat buruk bagi kehidupannya di masa
depan.
3. Seorang ayah menasihati anaknya yang ketahuan merokok. Dengan penuh
kesabaran, orang tua menanamkan pengertian, bahwa merokok merusak
kesehatan.

b. Koesif
Teknik pengendalian sosial koesif adalah teknik pengendalian sosial yang
lebih menekankan pada tindakan yang menggunakan kekerasan fisik.
Tujuannya agar si pelaku menjadi jera dan tidak berani mengulangi
perbuatannya. Cara ini terkesan tegas dan keras, yang umumnya merupakan
upaya terakhir setelah cara persuasif tidak berhasil.
Contoh pengendalian sosial dengan teknik koesif:

1. Agar para perampas handphone (HP) jera, ketika tertangkap,


masyarakat langsung mengeroyoknya. Cara main hakim sendiri ini
bertentangan dengan hukum. Namun, tetap dilakukan masyarakat
dengan maksud agar para perampas HP menjadi jera dan takut
mengulangi perbuatan serupa.
2. Penerapan peraturan hukum di negara islam yang menberlakukan
hukuman cambuk, rajam bahkan hukuman mati bagi pelaku kejahatan.
Tujuannya agar para pelaku kejahatan atau orang yang akan berniat
jahat menjadi jera dan takut melakukan tindak kejahatan.
5. Bentuk-bentuk pengendalian sosial dalam masyarakat

Dalam masyarakat, kita mengenal macam-macam bentuk pengendalin sosial,


seperti gosip, teguran, hukuman, pendidikan, agama, dan sejenisnya.

a. Gosip atau desas-desus


Gosip atau desas-desus adalah proses pengendalian sosial atau kontrol sosial
yang berupa kritik sosial yang dilontarkan secara terutup kepada individu-
individu atau kelompok masyarakat yang sikap dan perilakunya menyimpang
dari nilai-nilai dan norma-norma sosial. Pengendalian sosial yang berbentuk
gosip atau desas-desus seringkali kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari di
masyarakat. Apabila ada individu atau kelompok yang melakukan
penyimpangan sosial atau melanggar nilai-nilai dan norma-norma sosial,
maka ia akan menjadi bahan pembicaraan warga masyarakatnya.

Sebagai contoh, bila ada seorang gadis/remaja yang hamil sebelum


menikah, maka ia akan menjadi bahan pergunjingan teman-temannya.
Kehamilan gadis remaja tersebut merupakan penyimpangan sosial karena
melanggar norma kesusilaan dan norma agama yang berlaku dalam
kehidupan masyarakat. Berkembanglah desas-desus berlangsung secara
bisik-bisik dari mulut ke mulut, sehingga gosip tersebut akhirnya menyebar
luas di masyarakat. Contoh lain, bilaada seorang siswa SMK mabuk minuman
keras atau menyalahgunakan narkoba, maka ia akan menjadi bahan
pembicaraan atau gosip di antara teman-teman sekolahnya. Gosip tersebut
biasanya akan menyebar, sehingga menjadi bahan pergunjingan guru-guru,
orang tua, dan warga masyarakatnya.

Kontrol sosial atau kritik dalam bentuk gosip atau desas-desus ini
dapat berperan sebagai alat pengendalian sosial. Sebab, biasanya individu-
individu yang digosipkan akan malu atau merasa bersalah karena telah
melanggar nilai-nilai dan norma-norma sosial. Misalnya, bagi si gadis
remaja/pelajar yang hamil tanpa nikah tadi, ia akan merasa bersalah dan
merasa malu kepada masyarakat. Perasaan malu dan bersalah tersebut
kemudian mendorong gadis itu dan orang tuanya untuk mendesak laki-laki
menghamilinya agar segera menikahinya secara resmi sesuai ketentuan
hukum yang berlaku. Demikian pula bagi siswa SMK yang terlibat
penyalahgunaan narkoba, karena merasa malu dan takut, biasanya ia akan
berusaha menghentikan perbuatannya. Sebab, bila tidak menghentikan
perbuatannya, ia akan ditangkap dan dihukum penjara oleh pihak yang
berwajib sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

b. Teguran
Teguran merupakan peringatan yang ditujukan kepada pelaku pelanggaran.
Tujuan teguran ialah agar si pelaku sesegera mungkin menyadari
kesalahannya. Misalnya, seorang guru menegur muridnya yang sering
ngobrol pada waktu belajar di kelas. Adakalanya guru memberikan surat
panggilan kepada orang tuanya untuk datang kesekolah. Teguran adalah
bentuk pengendalian sosial atau kontrol sosial berupa kritik sosial yang
dilontarkan secara terbuka terhadap individu-individu warga masyarakat
yang berperilaku menyimpang. Teguran biasanya dilakukan oleh orang-orang
dewasa kepada orang yang lebih muda, oleh guru kepada muridnya, atau
oleh atasan kepada bawahan. Dengan ditegur dan dinasihatu, individu-
individu yang berperilaku menyimpang akan menghentikan perbuatannya
karena merasa malu dan takut.

Dari segi bentukny, teguran ada 2 macam, yaitu teguran lisan dan
teguran tulisan. Teguran lisan adalah teguran yang dilontarkan secara lisan
kepada individu yang berperilaku menyimpang. Misanya, teguran oleh orang
tua kepada anaknya yang malas sekolah, teguran ketua RT kepada warganya
yang tidak mau ikut bekerja bakti,dsb. Teguran tertulis adalah teguran yang
disampaikan secara tidak langsung, tetapi melalui tulisan atau surat teguran.
Teguran tertulis ini biasanya dilakukan dalam forum-forum yang resmi dari
atasan kepada bawahan. Seorang atasan biasanya akan megirimkan surat
teguran tertulis kepada bawahan yang melanggar peraturan. Teguran tertulis
ini dikeluarkan apabila teguran secara lisan tidak diperhatikan oleh pihak
yang ditegur.
c. Hukuman (punishment)

Hukuman merupakan sanksi keras yang diberikan para pelaku

pelanggaran, baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Pada lembaga foral,

hukuman dijatuhkan oleh pengadilan, sedangkan pada lembaga non formal

oleh lembaga adat. Dalam pratiknya, pengendalian social melalui cara-cara

gossip, pendidikan, dan agama dirasakan kurang nyata sanksinya terhadap

individu-individu yang berperilaku menyimpang. Sebab, ternyata ada

individu-individu yang tebal muka, sudah hilang rasa malunya, atau tidak

percaya adanya siksa Tuhan di akhirat nanti. Mereka itu tidak akan merasa

malu ataupun jera walaupun digosipkan, ditegur, atau diberikan pendidikan.

Oleh karena itu, diperlukan adanya alat pengendalian sosial yang lebih tegas

dan nyata sanksinya yaitu hukuman atau norma hukum, berupa hukuman

denda, hukuman penjara, pencabutan hak-haknya oleh masyarakat, atau

hukuman mati, yang setimpal dengan pelanggaran yang dilakukannya

dimasyarakat.

Dengan adanya sanksi hukuman yang tegas, biasanya akan membuat

jera bagi para pelanggarnya, sehingga mereka tidak berani lagi mengulangi

perbuatannya. Bahkan, pengaruh sanksi hukum yang keras ini tidak hanya

positif bagi pelakunya saja, tetapi juga terhadap individu lainnya. Jelaslah

bahwa hukuman merupakan alat pengendali sosial yang paling keras dan

tegas dibanding bentuk pengendalian sosial lainnya.

d. Pendidikan

Pendidikan adalah media pengendalian sosial yang telah melembaga

baik di lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Pendidikan


membimbing seseorang agar menjadi manusia yang bertanggungjawab dan

berguna bagi agama, nusa dan bangsanya. Seseorang yang berhasil didunia

pendidikan akan merasa kurang enak dan takut apabila melakukan perbuatan

yang tidak pantas atau menyimpang. Contoh: setelah Tono terpilih menjadi

pelajar teladan Ia sangat menjaga perilakunya dengan baik, untuk tidak

melanggar tata tertib, bertutur kata baik, serta mengerjakan tugas dan

kewajibannya sebagai pelajar dengan penuh rasa tanggungjawab.

Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses mempelajari dan

menghayati nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam kehidupan

masyarakat. Proses pendidikan dalam rangka mempelajari dan menghayati

nilai-nilai dan norma-norma sosial dilakukan melalui proses internalisasi,

sosialisasi, dan enkulturasi. Proses pendidikan itu berlangsung seumur hidup,

yaitu sejak individu dilahirkan sampai pada akhir hayatnya. Lingkungan

keluarga, sekolah, teman sepermainan, media massa dan masyarakat umum

merupakan tempat atau media berlangsungnya proses pendidikan. Pengaruh

pendidikan cukup kuat terhadap pembentukan sikap dan perilaku

(kepribadian) individu-individu masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan

berperan penting dan menentukan dalam proses pengendalian sosial. Sebab,

pendidikan dapat membina, mengarahkan, dan membentuk sikap serta

perilaku individu yang selaras dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial

budayanya. Menurut ilmu sosiologi atau psikologi, individu-individu yang

berpendidikan tinggi biasanya cenderung akan bersikap dan berperilaku lebih

intelek daripada mereka yang berpendidikan rendah.

Dengan demikian, pendidikan dapat berperan sebagai alat

pengendalian sosial. Oleh karena pengaruh pendidikan, maka individu atau


masyarakat menjadi pandai, terampil, dan bertanggungjawab, baik terhadap

diri sendiri mauun masyarakatnya. Berkat pendidikan ini pula seseorang

dapat mengetahui prinsip benar-salah, boleh-tidak boleh, baik-tidak baik dan

sejenisnya. Orang yang berpendidikan cukup baik biasanya akan dapat

menghindari sikap dan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai dan

norma-norma sosial.
e. Agama

Agama merupakan pedoman hidup untuk meraih kebahagiaan di dunia

dan akhirat. Sebagai umat beragama, seseorang harus menjalankan

kewajiban dan menjauhi larangan Tuhan. Contoh: apabila seseorang meyakini

dan patuh pada agamanya, maka dengan sendirinya perilakunya akan

terkendali. Orang yang taat beragama tidak akan memfitnah, korupsi,

berjudi, mencuri, dan sebagainya.

Ajaran agama mempengaruhi sikap dan perilaku para penganutnya.

Ajaran agama pada hakikatnya berisikan perintah, larangan dan anjuran dari

Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia dalam mmenjalani kehidupan di

masyarakat. Oleh karena itu, norma agama merupakan pedoman dan

pengarah bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku sehari-hari di

masyarakat. Bagi individu-individu penganut agama yang taat, biasanya ia

akan berusaha menghindari sikap dan perilaku yang dapat melanggar nilai-

nilai dan norma-norma ajaran agamanya. Itulah sebabnya pendidikan agama

menjadi sangat penting dan menentukan dalam pembentukan sikap dan

perilaku (kepribadian) yang baik dan sehat.

6. Peran lembaga pengendalian sosial

Peran lembaga pengendalian sosial sangat penting dan dibutuhkan. Dalam

masyarakat terdapat macam-macam lembaga pengendalian sosial, antara

lain kepolisian, pengadilan lembaga adat, lembaga kemasyarakatan, dan

sebagainya.

a. Lembaga Kepolisian
Lembaga kepolisian memiliki peran yang sangat penting dalam

pengendalian sosial. Dengan adanya lembaga kepolisian, maka berbagai

penyimpangan sosial dapat diatasi dan dikendalikan. Polisi sebagai aparat

kepolisian mempunyai peran menentukan dalam pengendalian sosial. Warga

masyarakat yang berperilaku menyimpang, seperti penyalah gunaan

narkoba, perusakan barang milik umum, pemerasan, penipuan,

pemerkosaan, perampokan, dan pembunuhan tentu saja akan ditangkap oleh

pihak kepolisian intuk disidik dan kemudian diajukan ke pengadilan.

b. Lembaga peradilan

Lembaga peradilan melalui aparat-aparatnya dapat berperan sebagai

alat pengadilan sosial. Hakim dan jaksa merupakan pengambilan tindakan

dan keputusan hukum terhadap warga masyarakat yang melakukan tindak

kajahatan. Putusan hakim yang dijatuhkan kepada seseorang yang setelah

melalui proses peradilan terbukti bersalah, terpidana wajib menjalani

hukuman di lembaga permasyarakatan sesuai lama waktu hukuman yang

harus dijalaninya.

c. Lembaga adat

Dalam kehidupan masyarakat terdapat lembaga adat. Lembaga adat

sangat berperan dalam proses pengendalian sosial. Pelanggaran terhadap

hukum adat biasanya akan diselesaikan melalui lembaga adat. Radliffe

Brown, seorang ahli antropologi menyebutkan bahwa keteraturan sosial atau

tertib sosial tanpa norma hukum akan tetap dapat terjaga, karena warga

masyarakat mempunyai ketaatan yang seolah-olah otomatis terhadap adat-


istiadat dan jika ada pelanggaran maka akan timbul reaksi dari masyarakat

untuk menghukum si pelanggar tersebut.

d. Lembaga masyarakat

Dalam kehidupan masyarakat terdapat macam-macam lembaga

masyarakat seperti RT, RW, karang taruna, dewan masjid, LKMD, dan

sebagainya. Lembaga masyarakat ini memiliki peran dalam proses

pengendalian sosial. Dalam lembaga masyarakat berkumpul sejumlah tokoh

yang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakatnya. Tokoh masyarakat

yaitu orang dewasa yang karena kelebihan dan kedudukannya dianggap oleh

masyarakat sebagai tokoh atau pemimpin. Sudah menjadi kebiasaan dalam

kehidupan sehari-hari di masyarakat bahwa jika terjadi kasus pelanggaran

nilai dan norma sosial, maka warga masyarakat akan meminta dan

menyerahkan si pelanggar kepada tokoh masyarakat untuk diberikan

pembinaan ataupun hukuman sesuai hukum adat yang berlaku.

e. Lembaga pendidikan

Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat dapat dijumpai bernagai

lembaga pendidikan, seperti TK, SD, SLTP, SLTA dan perguruan tinggi.

Berbagai lembaga pendidikan tersebut melalui aparat-aparatnya (guru dan

dosen) berperan sebagai alat pengendalian sosial. Dalam kegiatan

pendidikan ditanamkan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku

kepada peserta didik. Dengan pendidikan yang baik, maka masyarakat dapat

diarahkan menjadi individu-individu yang memiliki kesadaran dan

tanggungjawab.
f. Lembaga keagamaan

Di masyarakat terdapat bermacam-macam lembaga

keagamaan,seperti MUI, DGI, PHDI, Walubi, dan sebagainya. Lembaga

keagamaan berperan sebagai alat pengendalian sosial. Tokoh-tokoh agama,

seperti kiyai, pendeta, uskup, biksu, dan sebagainya berperan membimbing

dan mengarahkan umatnya untuk berperilaku sesuai dengan norma

keagamaan. Dalam kegiatan keagamaan, diajarkan nilai-nilai dan norma-

norma sosial yang bersumber dari ajaran agama dan firman Tuhan Yang Maha

Esa. Manusia yang beriman akan menyadari bahwa kehidupan dimuka bumi

ada yang mengaturnya, yaitu Tuhan Maha Pencipta. Keyakinan inilah yang

mendorong manusia mengembangkan pranata keagamaan sebagai tempat

ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan menjalankan aktivitas

keagamaan, maka kebutuhan rohaniah manusia menjadi terpenuhi.

D. Dampak Konflik Sosial

Pada awal reformasi, di ibukota Jakarta terjadi kerusuhan sosial, seperti Peristiwa
Trisakti, Peristiwa Semanggi, Kerusuhan Mei 1998, perkelahian massal antarsuku,
kerusuhan yang dipicu oleh unjuk rasa, dan sebagainya. Akibat konflik sosial
terhadap masyarakat, antara lain :

Bertambah kuatnya rasa solidaritas antar sesama anggota.


Hancurnya atau retaknya kesatuan kelompok.
Adanya perubahan kepribadian seorang individu.
Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia.
Kita harus menerima kenyataan bahwa kehidupan masyarakat Indonesia yang
multikultural rawan konflik sosial. Namun, berbagai konflik sosial dapat diatasi jika
kita bersikap toleran terhadap perbedaan yang ada.

1. Kasus Konflik Antaretnik di Sumatera Utara


Pada 7-9 Maret 2002 Conflict Resolution Studies Network (CRSN), Universitas
Sumatera Utara mengadakan Workshop Resolusi Konflik Etnik di Sumatera Utara.
Workshop tesebut dimaksudkan untuk menjadi wahana saling tukar gagasan dan
kerjasama dalam upaya mencari solusi terhadap persoalan-persoalan yang muncul
dalam hubungan antaretnik di Sumatera Utara.

Potensi konflik antaretnik di dalam suatu lingkungan sosial yang majemuk


seperti daerah Sumatera Utara sangat dimungkinkan terjadi karena banayk faktor,
salah satu di antaranya ialah distribusi sumber daya ekonomi maupun politik,
adanya dominasi kelompok etnik terhadap penguasaan sumber daya public cukup
potensial menjadi faktor penyebab disintegrasi sosial yang dapat memicu konflik
antaretnik.

Dengan menumbuhkan sikap saling terbuka, membangun dialog, saling


mengapresiasi, dan menghormati keberadaan kelompok lain yang berbeda-beda,
kompetensi dan konflik antaretnik bisa dikelola dengan baik, sehinga tidak
menghancurkan persatuan kebangsaan.

Ada 3 isu utama yang akan dibahas dalam workshop, yaitu :

1. Alokasi sumber daya ekonomi dan politik, yang meliputi :


Peta potensi konflik dalam distribusi sumber daya ekonomi dan politik
dalam masyarakat majemuk di Sumatera Utara (misalnya : peluang
berusaha, akses informasi, rotasi kepemimpinan, dan distribusi jabatan
publik).
Upaya pengendalian potensi konflik yang pernah ada, baik yang
dilakukan pemerintah maupun masyarakat.
Alternatif pemecahan konflik.
2. Simbol dan identitas budaya dalam sektor publik, meliputi :
Potensi konflik dalam ekspresi simbol dan identitas budaya.
Peran pemerintah local terhadap ekspresi simbol dan identitas budaya
(termasuk good practices yang pernah dilakukan).
Alternative pengendalian potensi konflik dalam ekspresi simbol dan
identitas budaya.
3. Multikulturalisme dalam wacana demokrasi, yang meliputi :
Kekuatan dan kelemahan keberagaman etnik dalam menumbuhka
kultur demokrasi.
Peluang dan hambatan keberagaman etnik dalam menumbuhkan
kultur demokrasi.
Ketiga isu utama masing-masing aspek tersebut dibahas dalam 3 level, yaitu
level komunitas, level institusi/organisasi, dan kebijakan. Dalam kaitannya dengan
persoalan konflik, maka ketiga isu utama tadi juga akan ditelaah dengan
memperhatikan tipe-tipe konflik yang dominan berikut ini :

1. Konflik hubungan, yaitu konflik yang muncul karena adanya


emosi negatif, mispersepsi, stereotipe, miskomunikasi, atau tindakan negatif
yang berulang-ulang, yang diwujudkan oleh suatu kelompok dalam
hubungannya dengan kelompok lain.
2. Konflik data, yang mengacu pada proses pertikaian
antarorang/kelompok yang muncul akibat kekurangan informasi yang
mendukung dalam proses pembuatan keputusan yang bijak, sehingga
menimbulkan pertentangan dan perbedaa-perbedaan prosedur.
3. Konflik kepentingan muncul akibat kompetisi kebutuhan yang
dipersepsikan tidak sesuai.
4. Konflik struktural, yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan di
luar kelompok.
5. Konflik nilai, yaitu suatu konflik yang disebabkan oleh sistem
keyakinan yang tidak kompatibel satu dengan yang lain.
Berdasarkan klasifikasi isu, level, dan tipe konflik tersebut, peserta workshop
dibagi ke dalam 3 kelompok, yaitu kelompok A mendiskusikan isu pada level
komunitas, B pada level institusi/organisai, dan C membahas isu yang sama pada
level kebijakan.

a. Tingkat Komunitas
Hubungan antaretnik, terutama antara pendatang dengan masyarakat
setempat mengalami disharmonisasi karena terjadi dominasi simbol budaya
etnik pendatang dalam hubungan sosial dengan masyarakat setempat. Untuk
mengeliminasi disharmonisasi, pendatang seharusnya menghormati budaya
etnik setempat. Selain itu, untuk mengurangi ketegangan antarkelompok etnik
diperlukan dialog lintas atnik guna mewadahi pembelajaran dan pengenalan
keberagaman kelompok etnik.

b. Tingkat Institusi
Untuk mengurangi potensi ketegangan antarkelompok etnik, rekruitmen
pegawai pemerintah dan rotasi kepemimpinan harus berdasarkan prinsip
meritokrasi, profesionalisme, keterbukaan, dan kecakapan. Adanya pemakaian
simbol budaya yang tidak sesuai dengan kultur area dapat menjadi potensi
ketegangan antaretnik. Untuk menghindari potensi ketegangan budaya, maka
pemakaian simbol-simbol budaya harus disesuaikan dengan kultur area.

c. Kebijakan
Kebijakan pemerintah terutama dalam pengelolaan sumber daya ekonomi
menimbulkan ketegangan antara pemerintah dan masyarakat di satu pihak dan
antarkelompok masyarakat di pihak lain. Hal ini bisa terjadi karena kelompok-
kelompok masyarakat yang berkepentingan dengan pengelolaan sumber daya
ekonomi tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan. Pemerintah perlu
melibatkan kelompok-kelompok masyarakat (stakeholders) dalam mengambil
keputusan. Multikulturalisme merupakan benih kultur demokrasi, tetapi
multikulturalisme masih disikapi sebagai gagasan penghilangan batas-batas
ikatan cultural kelompok etnik.

2. Konflik Sosial Antaretnik dan Agama

Benturan-benturan antara penduduk asli dengan penduduk pendatang


dimungkinkan trejadi mengingat latar belakang sosial, budaya, dan agama di antara
kelompok-kelompok tersebut berlainan atau bahkan bertentangan satu sama lain.
Benturan sosial, budaya, dan agama tentu saja akan menimbulkan konflik sosial jika
tidak segera saling dipertemukan dan dikelola untuk merumuskan konsensus
bersama agar terwujud integrasi sosial.

Benih-benih konflik masih bersifat laten, yakni berupa prasangka atau persepsi
negatif di antara kelompok etnik. Kondisi seperti inilah yang sering merupakan
sumber potensial terjadinya konflik manifes seperti yang pernah ada terjadi pada
era sebelum tahun 1980-an. Konflik hanya melibatkan beberapa anggota seperti
yang terjadi pada era sebelum tahun 1970-an antara etnik Minang dan Nias.
Penyebabnya kadang-kadang kelihatan begitu sepele seperti saling mengejek dari
masing-masing pihak dengan ungkapan stereotype. Namun karena sudah disertai
oleh faktor-faktor lain, seperti prasangka negatif terhadap masing-masing
kelompok, maka konflik pun mudah muncul.

Kesan dan prasangka negaif dalam kasus Nias dan Minang di atas seolah-olah
sudah diwariskan secara turun-temurun dari generasi di kalangan orang Minang.
Dalam pandangan orang-orang Minang, masyarakat Nias sudah menjadi stereotype.
Penggunaan bahasa daerah Nias dalam pergaulan sehari-hari di antara sesama
etnik Nias kadang-kadang juga bisa menjadi sumber konflik (pertengkaran)
terutama bila digunakan dalam lingkungan dimana terdapat orang-orang etnik
Minang.

Faktor lain yang menjadi penyebab timbulnya konflik antara kedua belah pihak
ialah masalah agama. Terpisahnya pemukiman orang-orang etnik Nias dengan
pemukiman orang-orang etnik Minang juga dianggap menghambat integrasi sosial.

Konflik sosial budaya yang terjadi sebenarnya dapat dinetralisasi dengan


menciptakan konsensus-konsensus. Hal ini bisa dilakukan apabila diciptakan
toleransi melalui proses komunikasi antara penduduk asli dengan penduduk
pendatang. Konsensus pada gilirannya dapat mengatasi perbedaan pendapat dan
kepentingan di antara anggota masyarakat, sehingga setiap ketegangan dan
penyimpangan yang terjadi akan selalu dapat dicarikan rujukannya di dalam
konsensus yang telah disepakati bersama.

Namun, kenyataannya dialog antara pemeluk agama Islam dengan pemeluk


agama Kristen dalam rangka mengintegrasi kedua belah pihak boleh dikatakan
sangat jarang terutama pada tingkat pemimpin sosial mereka. Hal ini tentu saja
akan menyebabkan semakin kurang harmonisnya hubungan sosial kedua belah
pihak. Selain itu, perlu pula lebih digiatkan dialog-dialog melalui atau
antarorganisasi sosial lintas agama dan etnik. Dengan dialog yang jujur dan
terbuka, diharapkan akan tumbuh saling pengertian dan menghilangkan prasangka
dan kecurigaan yang terjadi.

Pembauran Malakok merupakan pola pembauran yang sering terjadi dalam


lingkungan masyarakat Minang, yakni orang-orang dari etnik luar (selain Minang)
dapat diterima secara adat. Dalam hal ini orang-orang etnik luar diharuskan
mengadakan upacara adat dengan cara membayar uang adat, biasanya dalam
bentuk emas, dan menyembelih hewan korban, biasanya kerbau. Melalui upacara
adat seperti ini, maka orang luar etnik Minang akan diperlakukan dan mempunyai
kedudukan dan hak yang sama dalam adat Minangkabau. Melalui pola pembauran
ini, diharapkan benturan-benturan nilai budaya dan agama dapat dinetralisasi dan
diminimalisasi.

Kurangnya dialog dan sikap keterbukaan di antara kelompok-kelompok yang


berkonflik, pada dasarnya hanya akan memperlama masa konflik dan akan ikut
menghambat proses integrasi sosial. Di samping itu, suatu masyarakat yang
memiliki fanatisme agama dan budaya yang terlalu berlebihan cenderung memiliki
sikap prasangka (prejudice) terhadap masyarakat penganut agama maupun adapt
budaya lain.

Gejala sikap prejudice atau prasangka etnik, baik yang menyangkut agama
maupun adat budaya, bisa menjadi penghambat dalam interaksi sosial serta
pergaulan antarsuku bangsa dan pemeluk agama bahkan bisa menimbulkan konflik
sosial. Oleh karena itu, menjadi penting bagi masing-masing kelompok etnik yang
terlibat konflik untuk mengembangkan dan membina sikap keterbukaan dan saling
menghilangkan prasangka negatif dengan memperbanyak dialog antara kedua
belah pihak.

Disinilah pentingnya peran mediasi pemerintah atau negara untuk mendorong


usaha ke arah ini serta menyediakan sarana dan prasarana yang dapat menunjang
terciptanya dialog. Di samping itu, perlu dibentuk pola-pola hubungan bertali budi
atau bertali emas dan pembauran malakok untuk mendukung integrasi di
antara kelompok-kelompok etnik tersebut.

Anda mungkin juga menyukai