KERJA SAMA
DENGAN
1
Gurupendidikan.co.id/pengertian Konflik, diakses tanggal 14 November 2020.
cepat, dan berbagai factor lainnya. Factor-faktor tersebut terjadi hamper di semua negara di
dunia.
Dalam konteks Indonesia, konflik yang terjadi dipicu oleh beberapa factor, antara lain
keanekaragaman status sosial, ekonomi, suku, agama, ras, bahasa, politik, dan ideologi.
Pluralitas seperti ini, di satu sisi menjadi fungsional bagi integrasi sosial, tetapi dapat menjadi
disfungsional bagi integrasi sosial. Dalam perspektif sosiologi, aspek yang terakhir dikenal
sebagai konflik sosial. Konflik ini bisa muncul dalam bentuk yang laten (tersembunyi dan
tidak nampak di permukaan) maupun manifes (terbuka dan mudah diketahui).
Berbagai studi atau pendapat mengungkapkan bahwa konflik di Indonesia disebabkan
oleh berbagai faktor. Sajogyo dan Sajogyo mengidentifikasi sering terjadinya konflik antara
buruh tani dengan pemilik tanah dan/atau pemilik modal karena berkenaan dengan distribusi
kesejahteraan yang tidak merata. Yewangoe menyitir bahwa untuk Indonesia, relasi antar
agama pemeluk mayoritas dan minoritas menjadi beban yang harus ditanggung ketika
berbicara tentang kerukunan antar umat agama. Yulia Mirwati juga mengidentifikasi bahwa
konflik agraria masih ‘menghantui’ pelaksanaan pembangunan secara nasional sebagaimana
amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Aspek
yang tak kalah penting untuk ditelisik, yaitu konflik di masyarakat dapat disebabkan oleh
kebijakan pemerintah. Kasus tapal batas, misalnya, menjadi ilustrasi yang baik ketka terjadi
kebijakan pemekaran wilayah administrasi.
Sama seperti wilayah lainnya di Republik Indonesia, wilayah Provinsi Nusa Tenggara
Timur juga memiliki9 keragaman etnis, suku, agama, dan berbagai keragaman lainnya.
Keragaman ini di satu sisi dapat menjadi perekat dalam merajut kehidupan Bersama, tetapi di
sisi lain juga berpotensi menimbulkan Konflik.
Fenomena Konflik di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur umumnya berkaitan
dengan masalah sosial budaya, masalah ekonomi dan masalah Hankam dan politik. Ketiga
aspek ini yang akan dikaji dalam penelitian ini.
B. Rumusan Masalahan
Dalam ini, masalah konflik di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun tahun 2017 –
2019 diidentifikasi sebagai berikut:
Dengan demikian, permasalahan yang diidentifikasi dalam kajian pemetaan ini adalah
sebagai berikut:
1. Jenis Konflik apa saja yang terjadi di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun
2017-2020?
2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya Konflik di wilayah Provinsi Nusa
Tenggara Timur Tahun 2017-2020?
3. Bagaimana penanganan terhadap konflik yang terjadi di wilayah Probinsi Nusa Tenggara
Timur Tahun 2017-2020?
Pentingnya kerangka teoretis dalam suatu penelitian yakni selain untuk mempertajam konsep-
konsep penelitian juga sebagai acuan pokok dalam menganalisis persoalan penelitian. Berkaitan
dengan itu, dalam penelitian ini, menggunakan dua teori yakni teori-teori konflik modern dan
teori terjadinya konflik .
Teori ini mendeskripsikan suatu sistem, evaluasi, dan reaksi radikal terhadap bentuk konflik dan
dominasi dengan struktur sebagai berikut2 :
Teori konflik modern dalam sosiologi hukum terdiri atas dua model, yakni model sistematik dan
model naturalisitik3.
a. Model Sistematik
Teori konflik modern dengan model sistematik ini dipelopori oleh Ralf Dohrendorf dan C.
Wright Miils4. Menurut teori ini terjadinya konflik karena dipicu oleh faktor sosial 5. Dengan
memodifikasi teori Karl Marx, Dohrendorf membangun teorinya dengan separuh penerimaan
dan separuh penolakan. Penerimaan Dohrendorf pada teori konflik Karl Marx yakni ide
mengenai pertentangan kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial
2
Munir Fuady, Sosiologi Hukum Kontemporer, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 100
3
Ibid,, hlm. 101.
4
Ibid.
5
Ibid.
yang kemudian dimodifikasi berdasarkan perkembangan 6. Dohrendorf berasumsi bahwa di
manapun bisa terjadi perubahan sosial, konflik social, pemaksaan, dan kontribusi setiap elemen
tersebut terhadap perubahan dan disintegrasi masyarakat7. Menurutnya subkelompok masyarakat
sebagai elemen yang memiliki semangat ketertiban dan dibentuk oleh kepentingan laten. Di
bawah kondisi sosial tertentu, kepentingan tersebut diartikan ke dalam kepentingan konkret dan
konflik kelas 8. Dohrendorf berpendapat bahwa secara empiris pertentangan kelompok mungkin
paling mudah dianalsis apabila dilihat sebagai pertentangan legitimasi hubungan-hubungan
kekuasaan9.
C. Wright Miils sangat memperhatikan perkembangan imajinasi sosial yang memahami
pandangan sejarah yang lebih luas dan artinya bagi kehidupan dan karier di luar keanekaragaman
individu. Menurut Miils kenyataan social menggambarkan kombinasi, biografi, sejarah, dan
antar bagian dalam struktur sosial10 .
b. Model Naturalis
Teori ini dipelopori dan dikembangkan antara lain oleh Lewis Coser dan David Reisman11. Coser
lebih memusatkan perhatian pada fungsi konflik yang dapat membawa penyesuaian social yang
lebih baik dengan menggunakan pendekatan naturalis12. Menurut Coser suatu konflik akan
cenderung lebih meningkatkan penyesuaian sosial, adaptasi, dan memelihara batas-batas
kelompok. Coser berpendapat bahwa konflik merupakan perjuangan atas nilai-nilai dan
menuntut status yang langka, kekuasaan, dan sumber yang dapat menetralisir tujuan-tujuan
lawan untuk merusak atau mengeliminasi lawan-lawan mereka 13.
Berbeda dengan Coser, Reisman memusatkan perhatiannya pada tipe utama dari karakteristik
sosial masyarakat. Beberapa pokok pikiran Reisman berkaitan dengan konflik, yakni: 14
1. hubungan antara karakter social dan masyarakat dijumpai dengan cara memastikan
tingkat penyesuaian diri dari individu –individu;
6
Id.m.wikipedia.org,diakses hari Kamis 26 November pukul 07.00/
7
Munir Fuady, Op.Cit., hlm. 101.
8
Ibid.
9
Id,m Wikipedia org. diaksses hari Kamis 26 November pukul 07.10.
10
Munir Fuady, Op.Cit, hlm. 101-102.
11
Ibid. hlm, 102.
12
Ibid.
13
Ibid
14
Ibid, hlm. 103-104
2. cara penyesuaian dari karakter social bergantung pada demografi khusus atau perubahan
jumlah penduduk;
3. menggunakan metode kajian aplikasi demografi, teori-teori ekonomi, dan pertumbuhan
untuk tipe dari perubahan social, struktur social, atau penyesuaian dengan menggunakan
induksi sejarah.
Dengan membandingkan pandangan dari Coser dan Reisman, maka menurut Munir Fuady 15
struktur teori konflik naturalistik modern sebagai berikut:
Terdapat dua teori yang berkaiatan dengan penyebab terjadinya atau akar konflik, yaitu16:
15
Ibid, 104-105
16
H.A. Rusdiana, Manajemen Konflik, Penerbit Pusaka Setia, Bandung, 2015, hlm. 102- n107.
Konsep-konsep yang akan didefinisikan dan dideskripsikan dalam kerangka konsepsional
penelitian ini yakni definisi konflik, jenis Konflik, latar belakang atau sebab-sebab terjadinya
konflik atau sumber-sumber konflik, dan penanganan konflik. Konsep-konsep yang
didefinisikan dan dideskripsikan ini merupakan cakupan atau ruang lingkup penelitian ini.
a. Definisi Konflik
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik
Sosial, konflik sosial ( konflik )adalah:
“ perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau
lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan
ketidaknyamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan
menghambat pembangunan nasional”.
Dari definisi di atas terdapat beberapa elemen atau unsur penting agar suatu peristiwa dan
perbuatan dapat dikategorikan sebagai konflik:
a. bentuk tindakan atau perbuatan: perseteruan dan/atau benturan fisik;
b. dilakukan dengan kekerasan;
c. pelaku : dua kelompok masyarakat atau lebih;
d. durasi waktu: berlangsung dalam waktu tertentu; dan
e. akibat: tidak aman, disintegrasi sosial, mengganggu stabilitas nasional, dan menghambat
pembangunan nasional.
Dengan demikian tidak semua perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan
dikategorikan sebagai konflik. Benturan fisik dengan kekerasan antar individu dan benturan non
fisik tidak dapat dikategorikan sebagai konflik menurut UU Penanganan Konflik Sosial.
Menurut Taquiri sebagaimana dikutip H.A. Rusdiana17 konflik merupakan warisan kehidupan
sosial yang berlaku dalam berbagai keadaan akibat bangkitnya keadaan ketidaksetujuan,
kontroversi, dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih secara berterusan.
Berbeda dengan definisi UU No. 7 tahun 2012 yang menegaskan subjek pelaku perseteruan
yakni dua kelompok masyarakat atau lebih sedangkan Taquiri menegaskan konflk terjadi di
antara dua pihak atau lebih. Dua pihak di sini dimaknai bisa saja konflik antara individu dengan
individu atau antara kelompok masyarakat.
17
Ibid., 68.
Unsur-unsur dari kedua definisi di atas akan ditautkan dengan konflik di Provinsi Nusa Tenggara
Timur.
b. Jenis-jenis konflik
Umumnya terdapat tujuh Konflik yang terjadi di masyarakat, yakni18:
1. Konflik pribadi. Konflik ini terjadi antara individu dengan individua tau individu dengan
kelompok masyarakat.
2. Konflik rasial. Konflik ini terjadi antar ras yang berbeda.
3. Konflik agama. Konflik ini terjadi antara kelompok-kelompok yang memiliki agama dan
keyakinan berbeda.
4. Konflik antar kelas sosial. Konflik ini terjadi sebagai akibat dari adanya pengelompokan
kelas di dalam masyarakat.
5. Konflik Politik. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan pandangan di dalam
kehidupan politik.
6. Konflik Sosial. Konflik ini terjadi di dalam kehidupan sosial masyarakat, misalnya
masalah ekonomi, masalah pergaulan, komunikasi dan sebagainya.
7. Konflik Internasional, Konflik ini terjadi antar negara-negara.
Ke tujuh jenis Konflik di atas akan dikaji keterkaitannya dengan jenis Konflik yang terjadi di
wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Pasal 5 UU No. 7 tahun 2012 tentang Konflik Sosial menegaskan bahwa konflik dapat
bersumber dari:
18
Merdeka.com diakses pada hari Kamis, 16 N0vember 2020.
d. sengketa sumber daya alam antarmasyarakat dan/atau antarmasyarakat dengan pelaku usaha;
atau
e. distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang dalam masyarakat.
I. Perbedaan antara individu-invidu. Konflik antara individu dapat terjadi karena perbedaan
pendirian dan perasaan.
II) Perbedaan kebudayaan . Perbedaan kepribadian dari seseorang juga bergantung dari pola
kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan serta perkembangan kepribadian dari
orang tersebut.
III) Perbedaan kepentingan. Perbedaan kepentingan baik antar individu maupun kelompok
masyarakat yang bermacam-macam wujud atau bentuknya juga dapat menjadi sumber atau
penyebab konflik.
IV. Perubahan sosial. Perubahan social yang berlangsung dengan cepat dapat mengubah nilai-
nilai yang hidup dan ada di masyarakat. Perubahan ini mengakibatkan reorganisasi sistem
nilai yang berdampak pada terjadi perbedaan pendirian dan pandangan antara kelompok
masyarakat. Hal ini juga berpotensi menimbulkan konflik.
I ) Pertentangan pribadi.
II) Pertentangan rasial;
III) Pertentangan antara kelas-kelas sosial. Pertentangan ini umumnya terjadi karena perbedaan
kepentingan.
IV) Pertentangan politik, biasanya terjadi baik antaragolongan-gologan dalam masyarakat mau
pun antaranegara-negara yang berdaulat.
V ) Pertentangan yang bersifat internasional.
Pertentangan-pertentangan tersebut menimbulkan akibat seperti bertambahnya solidaritas in
group; retaknya persatuan kelompok; perubahan kepribadian pada individu; hancurnya harta
19
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan ketigapuluh dua, Penerbit PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2001, hlm. 107-108.
20
Ibid, hlm. 111 – 112.
benda dan jatuhnya korban manusia; dan akomodasi, dominasi, dan takluknya salah satu
pihak 21.
Akar penyebab konflik sebagaimana diuraikan di atas akan dikaji dan dianalisis keterkaitannya
dengan konflik di Provinsi Nusa Tenggra Timur.
d. Tipe-tipe Konflik
1. No Conflict ( tidak ada akar konflik dan tidak ada konflik dipermukaan)
2. Latent conflict ( ada akar konflik tetapi belum tampak atau muncul )
3. Surface conflict ( ada konflik di permukaan tetapi tidak ada akar konflik )
4. Open conflict ( ada akar konflik dan ada konflik terbuka ).
Keempat tipe konflik ini akan dikaji dan dianalisis relevansinya dengan konflik di Provinsi Nusa
Tenggara Timur.
e. Penanganan Konflik
Menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 7 tahun 2012 Penanganan Konflik adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada
saat, maupun sesudah terjadi Konflik yang mencakup pencegahan, penghentian, dan pemulihan
pascakonflik.
Mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan secara damai merupakan salah satu upaya
untuk mencegah terjadinya konflik ( Pasal 8 UU No. 7 tahun 2012 ). Pentingnya upaya
penyelesaian konflik secara damai juga dirumuskan dalam Pasal 36 ayat UU No. 7 tahun 2012.
Pasal ini mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan upaya pemulihan
pascakonflik secara terencana, terpadu, berkelanjutan, terukur yang meliputi rekonsiliasi,
rehabilitasi, dan rekonstruksi . Rekonsiliasi antara para pihak oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah atau Pranta Adat dan/atau Pranta Sosial atau Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
dilakukan dengan cara perundingan secara damai, pemberian restitusi, dan /atau pemaafan
21
Ibid, hlm 112-113.
22
Studihukum.wordpress,com, diakses hari Kamis tanggal 26 November 2020pukul 07.55.
( Pasal 37 ayat 1 dan 2 ). Hasil penyelesaian konflik oleh pranata adat dan / atau pranata sosial
diakui oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah ( Pasal 41).
Dengan demikian berdasarkan UU No. 7 tahun 2012 terdapat tiga lembaga yang menyelesaikan
konflik yang terjadi di masyarakat, yaitu:
Penyelesaian konflik yang dilakukan oleh ketiga lembaga di atas dikategorikan sebagai
penyelesaian konflik non litigasi. Selain penyelesaian konflik melalui jalur non litigasi ada juga
para pihak yang menyelesaikan konflik melalui jalur litigasi ( Pengadilan ).
Dalam konteks penanganan konflik di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang mau dikaji yaitu,
seberapa banyak keterlibatan lembaga-lembaga ini dalam menangani konflik.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Catatan Penelitan
Penelitian ini dilakukan berdasarkan kerjasama antara Badan Kessatuan Bangsa dan
Politik (Kesbangpol) Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan Lembaga Pengembangan Usaha
Mandiridan Kewirausahaan Universitas Katolik Widya Mandira. Konflik yang dipetakan
adalah jenis Konflik, penyebab Konflik dan penanganan konflik di wilayah Provinsi Nusa
Tenggara Timur yang terjadi dalam kurun waktu empat (4) tahun terakhir, yaitu 2017-2020.
Pengumpulan data dilakukan dalam dua tahap, yaitu (1) pengumpulan data pada level
Badan Kesbangpol Provinsi NTT, untuk menggali informasi atau data yang berkaitan
dengan jenis, penyebab dan penanganan Konflik, dan (2) pengumpulan data lapangan pada
setiap Badan Kesbangpol di seluruh kabupaten/kota se NTT. Pengumpulan data tersebut
dilakukan oleh Kesbangpol Provinsi Nusa Tenggara Timur.
1. Konflik Sosial
Data konflik sosial budaya di Provinsi NTT Tahun 2017-2020 disajikan pada Tabel
berikut.
Tabel 4.1: Jumlah Konflik Sosial Budaya Berdasarkan Kabupaten/Kota
di NTT Tahun 2017-2020
No Kabupaten/kota Jumlah Konflik
1 Kabupaten Manggarai Barat 3
2 Kabupaten Manggarai 3
3 Kabupaten Sumba Barat 13
4 Kabupaten Sumba Timur 7
5 Kabupaten Alor 3
6 Kabupaten Timor Tengah Utara 5
7 Kabupaten Timor Tengah Selatan 9
8 Kabupaten Kupang 1
9 Kabupaten Lembata 4
10 Kabupaten Belu 1
11 Kabupaten Flores Timur 1
12 Kabupaten Sikka 5
13 Kota Kupang 12
14 Kabupaten Ende 4
15 Kabupaten Rote Ndao 5
16 Kabupaten Ngada 1
Jumlah 76
Sumber: Data Primer, 2020
Data Tabel 4.1 menunjukkan bahwa Konflik sosial budaya di wilayah Provinsi NTT
tahun 2017 – 2020 hanya terjadi pada 15 kabupaten/kota dengan jumlah Konflik
sebanyak 77 kasus, dengan rincian sebagai berikut:
1. Kabupaten Sumba Barat memiliki kasus konflik sosial budaya tertinggi, yakni
sebanyak 13 kasus.
2. Posisi ke dua adalah Kota Kupang dengan jumlah konflik 12 kasus.
3. Kabupaten Timor Tengah Selatan menempati posisi ke tiga dengan jumlah 9 kasus.
4. Posisi ke empat yaitu Kabupaten Sumba Timur dengan jumlah 7 kasus.
5. Kabupaten Sikka, Kabupaten Timor Tengah Utara dan Kabupaten Rote Ndao
menempati posisi ke lima dengan jumlah Konflik masing-masing 5 kasus.
6. Posisi ke enam ditempati Kabupaten Ende dan Kabupaten Lembbata, masing-masing
4 kasus.
7. Kabupaten dengan jumlah masing-masing 3 kasus yakni Kabupaten Manggarai Barat,
Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Alor.
8. Kabupaten dengan jumlah Konflik terrendah dengan masing-masing 1 kasus yaitu
Kabupaten Kupang, Kabupaten Belu, Kabupaten Ngada dan Kabupaten Flores Timur.
Dari data di atas menunjukkan terdapat tujuh kabupaten yang tidak mengalami Konflik
sosial budaya selama Tahun 2017-2020, yakni Kabupaten Manggarai Timur, Kabupaten
Ngada, Kabupaten Nagekeo, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba Tengah,
Kabupaten Sabu Raijua dan Kabupaten Malaka.
2. Konflik Ekonomi
Data konflik ekonomi di wilayah Provinsi NTT Tahun 2017-2020 disajikan pada Tabel
berikut.
C. Penyebab Konflik
Penyebab terjadinya konflik di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2017-
2020 dipetakan berdasarkan kabupaten/kota, dengan rincian sebagai berikut:
1. Kabupaten Manggarai Barat. Konflik di Kabupaten Manggarai Barat Tahun 2017-2020
berjumlah 8 kasus, meliputi Konflik sosial budaya berjumlah tiga kasus dan Konflik
ekonomi sebanyak 5 kasus. Sedangkan Konflik Hankam dan politik tidak ada. Konflik
sosial budaya disebabkan oleh Tindakan pencemaran Hosti, kasus aliran khilafatul
muslimin yang bergabung dengan ISIS, Konflik kepemilikan ha katas tanah (sengketa
tanah adat antara masyarakat Kokor dengan masyarakat Nggieng Kecamatan Boleng
Kabupaten Manggarai Barat yang oleh masyarakat Nggieng dijual secara sepihak kepada
investor, masalah batas desa antara Kampung Bambor dan Kampung Rangga Watu,
masalah tanah kubur di Golo Langkas antara Kampung Mbarata dan Kampung Lemes,
Desa Macang Tanggar, masalah tanah TPA di Munting Anak antara Kampung Cumbi
Desa Warloka dengan Kampung Lemes Desa Macang Tanggar dan Kenari Desa Warloka,
dan masalah Bandara Komodo antara Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dengan 59
orang watga masyarakat). Dari data Konflik kepemilikan ha katas tanah, para pihak yang
terlibat adalah masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan investor, dan
masyarakat dengan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat. Kasus ekonomi disebabkan
oleh kebijakan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Manggarai Barat yang berkaitan
dengan penyerahan tanah adat, masalah pembagian lahan yang bukan merupakan hak
ulayat tapi milik perorangan dan masalah pembangunan sarana prasarana wisata alam
Geopark di Loh Buaya Pulau Rinca.
2. Kabupaten Manggarai. Konflik di Kabupaten Manggarai Tahun 2017-2020 berjumlah 6
kasus, meliputi Konflik sosial budaya berjumlah tiga kasus, Konflik ekonomi sebanyak 2
kasus, dan Konflik Hankam politik sebanyak 1 kasus. Konflik sosial budaya disebabkan
oleh sengketa kepemilikan lahan, perkelahian antara kelompok masyarakat karena
pengaruh minuman keras, masuknya aliran saksi yehova yang ditolak masyarakat,
masuknya aliran radikal di Kecamatan Reok yang ditolak masyarakat setempat. Konflik
Ekonomi di Kabupaten Manggarai disebabkan oleh Tindakan pungutan liar yang terjadi di
Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Manggarai yang mengundang
unjuk rasa mahasiswa. Konflik Hankam dan politik di Kabupaten Manggarai disebabkan
oleh perselisihan warga di Karot Kelurahan Tadong, Kecamatan Langke Rembong akibat
kesalapahaman.
3. Kabupaten Manggarai Timur. Konflik di Kabupaten Manggarai Timur Tahun 2017-2020
berjumlah 2 kasus, dan hanya kasus ekonomi. Penyebab Konflik ekonomi di Kabupaten
Manggarai Timur adalah distribusi bantuan sosial pemerintah yang tidak tepat sasaran
yang mengundang aksi protes dari masyarakat, sengketa tanah antara warga Kampung
Kadung dan Kampung Gongger Desa Satar Punda Barat Kecamatan Lamba Leda.
4. Kabupaten Ngada. Konflik di Kabupaten Ngada Tahun 2017-2020 berjumlah 5 kasus,
terdiri atas kasus sosial budaya 1 kasus dan Konflik ekonomi 4 kasus. Konflik sosial
disebabkan oleh pertentangan ppelaksanaan ritual reba yang merupakan adat Ngada.
Masalah ekonomi yang terjadi antara lain saling mengklaim status kepemilikan tanah,
penolakan Sebagian masyarakat terhadap pembagian bantuan sosial oleh pemerintah yang
dinilai tidak tepat sasaran, perebutan tanah ulayat milik suku Nio antara warga Desa
Libunio dan warga Desa Piga.
5. Kabupaten Nagekeo. Konflik di Kabupaten Nagekeoi Tahun 2017-2020 berjumlah 2
kasus, yaitu Konflik ekonomi dan Hankam politik masing-masing 1 kasus. Kasus ekonomi
disebabkan oleh pembangunan waduk oleh Pemerintah Kabupaten Nagekeo yang ditolak
oleh masyarakat Desa Labolewa, Desa Ulupulu dan Desa Rendu Butowe. Konflik
Hankam yaitu perkelahian/tawuran antara kelompok pemuda Desa Nanga Dero dengan
pemuda Desa Lape Penginanga Kecamatan Aesesa.
6. Kabupaten Ende. Konflik di Kabupaten Ende Tahun 2017-2020 berjumlah 6 kasus,
meliputi Konflik sosial budaya berjumlah empat kasus dan Konflik ekonomi sebanyak 2
kasus. Konflik sosial budaya disebabkan perkelahian antara kelompok masyarakat akibat
miras, klaim hak mosa laki di Desa Keli Sambi Kecamatan Ende, saling klaim hak mosa
laki di Desa Tenda Kecamatan Wolojita, penolakan pembangunan pos pelayanan jemaat
syalom Ende di Kelurahan Detusoko. Sedankan Konflik ekonomi, disebabkan oleh
pembagian bantuan sosial pemerintah yang tidak tepat sasaran dan sengketa batas tanah
ulayat antara warga Kelurahan Lokoboko, warga Kelurahan Rewarangga dengan PT. Yeti
Darmawan.
7. Kabupaten Sikka. Konflik di Kabupaten Manggarai Tahun 2017-2020 berjumlah 12 kasus,
meliputi Konflik sosial budaya berjumlah lima kasus dan Konflik ekonomi sebanyak 7
kasus, Konflik Hankam tidak ada. Konflik sosial budaya disebabkan oleh masalah
perekrutan TKI oleh perusahaan pengerah tenaga kerja, pencemaran Hostia yang berujung
pada aksi masa dengan latar belakang isu SARA, penyebaran aliran GBI Rock yang
berujung pada penganiayaan terhadap salah satu penganutnya oleh masyarakat Palue,
pendudukan tanah milik Pemkab Sikka oleh suku sogen dan suku gobang pada tanah eks
HGU PT. Krisrama, kegiatan dakwah Jemaah tabliq asal Provinsi Sulawesi Selatan yang
menimbulkan keresahan masyarakat, tokoh agama dan pemerintah. Konflik ekonomi
disebabkan oleh kebakaran lahan/kebun milik France Lakis yang menimbulkan kerugian
ekonomi, klaim lahan/tanah HGU yang dikelola oleh PT. Kris Rama oleh suku Sogen dan
suku Gobang, penolakan pembangunan bendungan Napun Gete oleh masyarakat adat,
beras oplosan yang dicampur zat kimia (kapur barus) yang menimbulkan keresahan
masyarakat.
8. Kabupaten Flores Timur. Konflik di Kabupaten Flores Timur Tahun 2017-2020 berjumlah
11 kasus, meliputi Konflik sosial budaya berjumlah satu kasus, Konflik ekonomi sebanyak
lima kasus, dan Konflik Hankam politik sebanyak 5 kasus. Konflik sosial budaya
disebabkan oleh perkelahian antara kelompok antara warga Desa Kawaliwu dengan warga
Desa Riangketek yang disebabkan oleh masallah pribadi. Konflik ekonomi disebabkan
oleh aksi protes warga di Kantor Desa Leraboleng karena tidak puas dengan data penerima
bansos dari pemerintah pusat yang tidak tepat sasaran, sengketa tanah HGU antara
masyarakat Desa Sukutukan dengan PT. Relolara, sengketa antara masyarakat adat dengan
individu di Desa Lewat. Konflik Hankam disebabkan oleh perkelahian antara pemuda
Desa Nubale dengan kelompok pemuda dari Desa Wewit disebabkan konsumsi,
perkelahian sekelompok pemuda dari Desa Lambunga Kecamatan Klubagolit dengan
Kepala Desa Sagu yang melibatkan warga Sagu yang membela kepala desanya, yang
dipicu oleh ketersinggunan pemuda Desa Lambunga atas tulisan Kepala Desa Sagu di
medsos, perang tanding antara warga suku Kwaelaga dengan suku Lama Tokan yang
disebabkan oleh saling klaim kepemilikan lahan.
9. Kabupaten Lembata. Konflik di Kabupaten Lembata Tahun 2017-2020 berjumlah 6 kasus,
meliputi Konflik sosial budaya berjumlah empat kasus, Konflik ekonomi sebanyak 2
kasus, sedangkan Konflik Hankam politik tidak ada. Konflik sosial budaya disebabkan
oleh aksi unjuk rasa menentang kebijakan pemerintah yang menyetujui pembukaan pasar
TPI, unjuk rasa pemangunan sarana infrastruktur yang mubazir, Konflik batas tanah Desa
Puor B dengan Desa Puor, klaim kepemilikan tanah ulayat, batas administrasi desa,
Konflik antara masyarakat Desa Larawutun dengan masyarakat Kelurahan Lewoleba
Timur terkait pembangunan pilar batas desa. Konflik rencana eksplorrasi tambang antara
Pemkab dan investor dengan masyarakat pemilik hak ulayat di Kecamatan Omesuri dan
Lebatukan, penolakan masyarakat Desa Jontona terhadap pembudidayaan Mutiara di
wilayah laut Desa Jontona,
10. Kabupaten Alor. Konflik di Kabupaten Alor Tahun 2017-2020 berjumlah 6 kasus,
meliputi Konflik sosial budaya berjumlah tiga kasus, Konflik ekonomi sebanyak satu
kasus, dan Konflik Hankam politik sebanyak dua kasus. Konflik sosial budaya disebabkan
oleh beroperasinya warung makan yang dipergunakan sebagai tempat prostitusi yang
menimbulkan penolakan dari masyarakat, penolakan Jemaah ahmadya oleh warga Wolwal
Kecamatan Abad, Konflik pembangunan Gereja GKII. Konflik ekonomi di Kabupaten
Alor disebabkan oleh keracunan air mineral kemasan flow berukuran gelas yang dialami
oleh para siswi dan guru, Konflik Hankam dan politik disebabkan perkelahian antara
kelompok pemuda Desa Pante Deere dengan pemuda Desa Lawahing dan keributan antar
pemuda Beangonong Kampung atas dengan Beangonong Kampung Bawah.
11. Kabupaten Rote Ndao. Konflik di Kabupaten Rote Ndao Tahun 2017-2020 berjumlah 7
kasus, Konflik sosial budaya berjumlah lima kasus, Konflik ekonomi sebanyak 2 kasus,
sedangkan Konflik Hankam politik tidak ada. Konflik sosial budaya di Kabupaten Rote
Ndao disebabkan oleh masalah data base ppengangkatan tennaga honorer K1 dan K2 oleh
Pemkab Rote Ndao yang menimbulkan aksi protes masyarakat, masalah aliran
kepercayaan saksi-saksi yehova Indonesia yang tidak diterima oleh pemuda GMIT, protes
pemuda GMIT terhadap kegiatan jemaah tabliq, masala pertanahan antara pemilik tanah,
masyarakat, Pemkab dan BPN. Konflik ekonomi di Kabupaten Rote Ndao disebabkan
oleh sengketa tanah antara keluarga Tungga dengan keluarga Lilo Henuk, pemboman ikan
demi keuntungan ekonomi oleh nelayan di Desa Hundihuk Barat.
12. Kabupaten Sabu Raijua. Konflik di Kabupaten Sabu Raijua Tahun 2017-2020 berjumlah 2
kasus, yaitu Konflik ekonomi, sedangkan kasus sosial budaya dan Hankam politik tidak
ada. Konflik ekonomi di Kabupaten Sabu Raijua disebabkan oleh Tindakan penimbunan
BBM yang menyebabkan protes warga, protes warga masyarakat terhadap penyaluran
bantuan sosial ppemerintah yang tidak tepat sasaran
13. Kota Kupang. Konflik di Kota Kupang Tahun 2017-2020 berjumlah 27 kasus, meliputi
Konflik sosial budaya berjumlah 12 kasus, Konflik ekonomi sebanyak 12 kasus, dan
Konflik Hankam politik sebanyak 3 kasus. Konflik sosial budaya di Kota Kupang
disebabkan oleh penolakan dengan kekerasan keberadaan kelompok HTI oleh Brigade
MEO, pengusiran dan penghadangan terhadap 9 orang Jemaah tabliq dari Makassar oleh
Brigade MEO, aksi oleh Brigade MEO yang mengecam unjuk rasa Ormas Islam di Jakarta
terkait kasus penistaan agama oleh Ahok, penolakan dan pembubaran secara paksa
kegiatan ibadah Jemaah saksi-saksi yehova oleh Brigade MEO, penolakan peresmian
musola dan peletakan batu pertama pembangunan madrasah diniyah wali nusantara oleh
warga RT 09 Kelurahan Penkase Kecamatan Alak, penolakan aliran saksi-saksi yehova
oleh 38 denominasi Gereja dan elemen masyarakatpenolakan kelompok HTI oleh warga
masyarakat. Konflik ekonomi di Kota Kupang disebabkan oleh peredaran uang plsu di
Oesapa Barat yang meresahkan masyarakat, protes yang dilakukan oleh mitra grab
Kupang terkait penurunan biaya insentif oleh pihak grab pusat, aksi unjuk rasa oleh front
perjuangan rakyat untuk menyikapi suplai air irigasi dari bendungan Linanmutu yang
tidak berjalan normal disebabkan petugas PPA POB tidak bekerja secara maksimal dalam
menjalankan tanggungjawabnya, penolakan eksekusi lahan milik Pemprov NTT terhadap
30nbangunan rumah oleh kuasa hukum penggugat, sengketa tanah milik keluarga suku
Konay di Kelurahan Oesapa Timur dan Oesapa Selatan, sengketa tanah antara keluatga
Akmone dengan PT. Semen Kupang Indonesia, sengketa lahan di Jl. Lasitarda antara
Elimelek Konay cs dengan Marten Litik cs, sengketa kepemilikan asset tanah Stadion
Merdeka antara Pemerinta Provinsi NTT dengan pihak keluarga Koroh. Konflik Hankam
dan politik di Kota Kupang disebabkan oleh tawuran antara pemuda Kelurahan Namosain
dengan pemuda Rumah tujuh, tawuran antara pemuda asal suku Sumba dengan pemuda
asal suku Alor.
14. Kabupaten Kuppang. Konflik di Kabupaten Kupang Tahun 2017-2020 berjumlah 12
kasus, meliputi Konflik sosial budaya berjumlah 1 kasus, Konflik ekonomi sebanyak 6
kasus, dan Konflik Hankam politik sebanyak 5 kasus. Konflik sosial Budaya Kabupaten
Kupang disebabkan oleh aksi saling serang atau tawuran antar pengikut perguruan PSHT
dengan kera sakti. Konflik ekonomi disebabkan oleh masalah sertifikasi tanah bagi warga
eks Timor Timur di Desa Oebelo, masalah sengketa batas tanah antara warga masyarakat
Desa Baumata Barat dengan TNI Aangkatan Udara, sengketa kepemilikan lahan antara
keluarga suku Bety dengan Pemkab Kupang, peredaran uang palsu di Desa Pokdale yang
meresahkan masyarakat. Konflik Hankam politik dipicu oleh kasus perkelahian antara
warga Dusun 3 dengan wargsa Dusun 4 Desa Oebola Kecamatan Fatule’u, penemuan
mayat yang menyebabkan Konflik antar warga eks Timor Timur dengan pemuda local di
Desa Tuapukan, perkelahian antara kelompok pemuda eks Timor Timur, Konflik antar
warga di Desa Tanah Merah, perkelahian antar pemuda dari lingkungan Oli’o Kelurahan
Merdeka dengan pemuda dari Desa Tuapukan.
15. Kabupaten Timor Tengah Selatan. Konflik di Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun
2017-2020 berjumlah 16 kasus, meliputi Konflik sosial budaya berjumlah 9 kasus, Konflik
ekonomi sebanyak 6 kasus, dan Konflik Hankam politik sebanyak 1 kasus. Konflik sosial
budaya di Kabupaten Timor Tengah Selatan dipicu oleh antara lain dugaan penistaan
agama, penolakan ajaran saksi-saksi yehova oleh jemaat GMIT Efata Soe. Konflik
ekonomi dipicu oleh penolakan masyarakat terhadap rombongan dari Pemprov NTT dan
Kodim 1621 TTS yang melakukan peninjauan lokasi Besipae, penghalangan terhadap
pekerja dari Dinas Peternakan Provinsi NTT yang akan melakukan penyiraman tanaman
di lokasi Besipae oleh sengketasekelompok warga masyarakat setempat, aksi penolakan,
pelemparan dan pemukulan yang dilakukan oleh sekelompok warga masyarakat setempat
terhada para pekerja dari Dinas Peternakan Provinsi NTT di lokasi Besipae, penyerangan
oleh masyarakat okupasi hutan Pubabu/Besipae terhadap para pekerja ternak ayam yang
dipicu oleh sengketa lahan. Konflik Hankam politik dipicu oleh penemusn senjsts spi
rskitsn di salah satu rumah warga Besipae.
16. Kabupaten Timor Tengah Utara. Konflik di Kabupaten Timor Tengah Utara Tahun
2017-2020 berjumlah 10 kasus, meliputi Konflik sosial budaya berjumlah 5 kasus, Konflik
ekonomi sebanyak 5 kasus, sedangkan Konflik Hankam politik tidak ada. Konflik sosial
budaya dipicu oleh penolakan pembangunan Gereja Oeluan oleh masyarakat Bijeli dengan
alasan tidak memiliki ijin sesuai SKB dua Menteri, penolakan pembangunan mushola oleh
elemen masyarakat di PLBN Wini dengan alasan tidak sesuai kesepakatan, masalah tanah
pembangunan Kapela Letkase antara pihak Gabriel Lim dan suku Bano. Konflik ekonomi
dipicu oleh antara lain unjuk rasa oleh aliansi Gerakan mahasiswa di Unimor yang
memperjuangkan turunnya uang kuliah tunggal (UKT) dan penyaluran BLT bagi
mahasiswa, aksi unjuk rasa oleh keluarga mahasiswa Matoup Mavit Noemutyi (KM3N),
masyarakat desa Bijeli, dan masyarakat Desa Nifuboke yang menuntut pembongkaran
kolam pemandian hutan wisata alam Oeluan, sengketa tanah antara suku Tobe Oeleu
dengan suku Tobe Naitili, sengketa tanah antara masyarakat Seunbam Desa Maubesi
dengan masyarakat Desa Tuamau Desa Bannae.
17. Kabupaten Belu. Konflik di Kabupaten Belu Tahun 2017-2020 berjumlah 4 kasus,
meliputi Konflik sosial budaya berjumlah 1 kasus, Konflik ekonomi sebanyak 3 kasus,
sedangkan Konflik Hankam politik tidak ada. Konflik sosial politik di Kabupten Belu
dipicu oleh perkelahian antara kelompok PSHT dengan kera sakti dengan latar belakang
persaingan antara kelompok.Konflik ekonomi dipicu oleh aksi pemblokiran atau
penutupan jalan (sengketa lahan) antara keluarga Laurensius Bauk dengan pihak Bina
Marga, Sengketa tanah antara Nikolaus Kardoso dengan suku Umametan Tahan Latan,
kasus illegal logging.
18. Kabupaten Malaka. Selama Tahun 2017-2020 Kabupaten Malaka tidak menglami Konflik,
baik Konflik sosial budaya, ekonomi maupun Hankam dan politik.
19. Kabupaten Sumba Barat. Konflik di Sumba Barat Tahun 2017-2020 berjumlah 21 kasus,
meliputi Konflik sosial budaya berjumlah 13 kasus, Konflik ekonomi sebanyak 2 kasus,
dan Konflik Hankam politik sebanyak 6 kasus. Konflik soail budaya di Kabupaten Sumba
Barat dipicu oleh masalah-masalah antara lain sengketa perbatasan Kabupaten Sumba
Barat dan Sumba Barat Daya yang terletak di Desa Wetana Kecamatan Laboya Barat
Kabupaten Sumba Barat dengan Desa Karang Indah Kecamatan Kodi Balaghar Kabupaten
Sumba Barat Daya, kasus tapal batas antara Kabupaten Sumba Barat dengan Kabupaten
Sumba Tengah, masalah tapal batas antara Kecamatan Lamboya dan Kecamatan
Lamboya Barat, Konflik antara kelompok masyarakat di Kelurahan Wekarou Kecamatan
Loly akibat sengketa tanah. Konflik ekonomi yang dihadapi di Kabupaten Sumba Barat
lebih didominasi oleh masalah klaim atas kepemilikan lahan yang sedikit banyak
berkorelasi dengan masalah sosial dan keamanan seperti diuraikan di atas.
20. Kabupaten Sumba Barat Daya. Konflik di Sumba Barat Daya Tahun 2017-2020 berjumlah
5 kasus, Konflik ekonomi sebanyak 1 kasus, dan Konflik Hankam politik sebanyak 4
kasus, sedangkan Konflik sosial budaya tidak ada. Konflik ekonomi di Kabupaten Sumba
Barat Daya dipicu oleh antrian Panjang pengisian BBM yang disebabkan oleh
pengurangan kuota dari Pertamina dan pengisian berulang-ulang oleh masyarakat, yang
berdampak pada terganggunya arus lalu lintas, gangguan Kamtipmas, aksi pencopetan dan
main hakim sendiri. Konflik Hankam politik dipicu oleh saling serang antara kelompok
warga di Kampung Pu’ukaniki Kelurahan Waitabula Kecamatan Kota Tambolaka, saling
serang antara dua kelompok di Kampung Gollu Kadonga Desa Tema Tana Kecamatan
Wewewa Timur, tawuran antara Kampung Weri A dengan Kampung Weri B Desa Ole
Ate Kecamatan Kodi, dan saling serang antara dua kelompok di Kampung Kabanda Desa
Waiha, Kecamatan Kodi Balagar.
21. Kabupaten Sumba Tengah. Konflik di Sumba Tengah Tahun 2017-2020 berjumlah 1
kasus, yaitu kasus ekonomi. Sedangkan Konflik sosial budaya dan Hankam politik tidak
terjadi di Kabupaten Sumba Tengah Tahun 2017-2020. Kasus ekonomi dipicu oleh
sengketa lahan yang berujung pada aksi penyerangan di Desa Anapalu Kecamatan Umbu
Ratunggai Barat.
22. Kabupaten Sumba Timur. Konflik di Timur Tahun 2017-2020 berjumlah 12 kasus,
meliputi Konflik sosial budaya berjumlah 7 kasus dan Konflik ekonomi sebanyak 5 kasus,
sedangkan Konflik Hankam dan politik ada. Konflik sosial budaya dipicu oleh sengketa
tanah dengan latar belakang saling mengklaim hak milik di Desa Murtu Ngora Kecamatan
Pahungga Lodu, sengketa tanah dengan latar belakang saling mengklaim hak milik di
Dusun Bunga Padang-Maidang, sengketa tanah suku dengan latar belakang saling
mengklaim hak milik di Desa Hambapraing Kecamatan Kanatang, sengketa tanah dengan
latar belakang saling mengklaim hak milik di Desa Lainjanji Kecamatan Waijelu antara
suku Anahumba, suku Rodang dengan Kabuhil Ratu, Ndawa Lu Wunang dan Katanga
Teu Rawa, sengketa tanah dengan latar belakang saling mengklaim hak milik di Desa
Palakahembi Kecamatan Pandawai, sengketa tanah dengan latar belakang saling
mengklaim hak milik di Pantai Yela Desa Wangga, sengketa status tanah antara Kodim
1601 dengan para penggarap di Lokasi Persawahan Lambanapu, dan sengketa tanah di
Kelurahan Temu Kecamatan Kenatang. Konflik ekonomi di Kabupaten Sumba Timur
antara lain dipicu oleh penyalahgunaan aturan terkait dengan kemasan bibit padi, yang
seharusnya terdapat kemasan 10 kg, diubah menjadi ukuran karung 50 kg yang berdampak
pada protes kelompok tani, penolakan pembukaan lahan oleh warga Desa Kaliuda
Kecamatan Pahungalodu, karena adanya perluasan lahan baru oleh PT. MSM,
D. Penanganan Konflik
Penanganan Konflik dalam penelitian ini berkaitan dengan upaya yang dilakukan oleh
berbagai pihak dalam menyelesaikan Konflik. Dari temuan hasil penelitian menunjukkan
bahwa Sebagian besar Konflik yang berkaitan dengan aspek sosial budaya dan ekonomi
diselesaikan melalui jalur non litigasi antara lain melalui mediasi yang melibatkan berbagai
pihak yang berkepentingan, seperti pemerintah kabupaten, kepolisian, pemerintah kecamatan,
pemerintah desa, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan para pihak yang berkonflik.
Sedangkan Konflik Hankam selain diselesaikan melalui upaya damai juga diselesaikan
melalui jalur hukum.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hasil penelitian tentang peta konflik di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam
kurun waktu 2017-2020 menunjukkan:
1. Jenis Konflik yang paling banyak terjadi adalah Konflik sosial budaya sebanyak 77 kasus
yang menyebar di 16 kabupaten/kota. Konflik sosial budaya tertinggi terjadi di Kabupaten
Sumba Barat yakni sebanyak 13 kasus, dan yang terrendah dengan 1 kasus masing terjadi
di Kabupaten Kupang, Kabupaten Belu, Kabupaten Ngada dan Kabupaten Flores Timur.
Konflik ekonomi berada di posisi ke dua yaitu 75 kasus yang menyebar di 21
kabupaten/kota. Konflik ekonomi paling banyak terjadi di Kota Kupang dengan jumlah 12
kasus, dan yang paling rendah di Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Nagekeo,
Kabupaten Sumba Tengah, dan Kabupaten Alor, masing-masing 1 konflik. Jenis Konflik
yang paling rendah adalah Konflik Hankam yaitu sejumlah 29 kasus yang menyebar di 9
kabupaten/kota. Konflik Hankam tertinggi dengan 6 kasus terjadi di Kabupaten Kupang
dan Kabupaten Sumba Barat. Sedangkan yang terrendah dengan jumlah 1 kasus terjadi di
Kabupaten Manggarai, Kabupaten Nagekeo, dan Kabupaten Timor Tengah Selatan.
2. Konflik sosial ekonomi disebabkan oleh sengketa kepemilikan ha katas tanah dan, Konflik
batas wilayah administrasi antar kabupaten, antar kecamatan dan antar desa, Konflik
seremonial adat, dan Konflik SARA. Konflik ekonomi disebabkan oleh penyaluran bantuan
sosial yang tidak tepat sasaran, penyimpangan ukuran kemasan bibit padi yang disalurkan
ke kelompok tani, pengurangan distribusi BBM oleh Pertamina, dan perluasan lokasi oleh
perusahaan tanpa sosialisasi kepada masyarakat. Konflik Hankam lebih disebabkan oleh
kepentingan kelompok, ketersinggunan dan salah paham.
3. Penanganan terhadap ketiga jenis Konflik diselesaikan melalui jalur damai dan jalur hukum
B. Saran
Dari temuan penelitian, maka saran yang dapat diberikan untuk memecahkan masalah
Konflik di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur ke depan adalah:
1. Pemerintah disarankan untuk mengutamakan pencegahan Konflik di setiap daerah dengan
cara membuat produk hukum daerah
2. Menghidupkan kembali hukum lokal/kearifan local yang berkaitan dengan penyelesaian
Konflik, dengan cara memperkuat Lembaga atau pranata adat.
3. Memperjelas status kepemilikan ha katas tanah dengan dengan sertifikasi.
4. Meningkatkkan peran Lembaga-lembaga agam dalam mencegah Konflik SARA.
DAFTAR PUSTAKA
Munir Fuady, Sosiologi Hukum Kontemporer, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial, LN RI Tahun 2012
Nomor 116