Anda di halaman 1dari 21

TUGAS

BLOK ENDOKRIN DAN METABOLIK


“Obat Hipoglikemik Oral”

Disusun Oleh :
Kelompok 1
Rani Nisaul Karomah 1408010001
Saskia Salsa N 1408010002
Hermariasi Panjaitan 1408010004
Theresia A. Nor 1408010005
Gloria Josephin T 1408010006
Dewa G. Eka Yudistira 1408010007
Samuel Yan Touw 1408010009
Ansieta V.C Bulu Olu 1408010010
Natalya Dethan 1408010011
Rendy C. Nunuhitu 1408010012
Sri J.W Adang Djaha 1408010013
Alexandro Valent H 1408010014
Imelda Maria Mauti 1408010015
Sofiana P. Go’o 1408010016
Maria P.M Letor 1408010017
Janet Edrina Ung 1408010018
Anastasya R. Lian 1408010019

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
2015/2016
DAFTAR ISI

A. Mekanisme Kerja Obat Hipoglikemik Oral..................................................................2


B. Klasifikasi Obat Hipoglikemik Oral.............................................................................2
Golongan Sulfonilurea..................................................................................................2
Golongan Meglitinide...................................................................................................6
Golongan Biguanida.....................................................................................................8
Penghambat Enzim Α-Glikosidase.............................................................................10
Tiazolidinedion Hypoglicemic Oral...........................................................................11
Inkretin Mimetik dan Penghambat DPP-4..................................................................14
Analog Anilin..............................................................................................................16
C. Terapi Kombinasi Obat Hipoglikemik Oral...............................................................17
D. Hal – Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Penggunaan Hipoglikemik Oral.............18
Obat Hipoglikemik Oral

Langkah pertama dalam mengelola diabetes mellitus selalu dimulai dengan


pendekatan non farmakologik, yaitu berupa perencanaan makan atau terapi nutrisi
medik, kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila didapati berat badan
lebih atau obes. Bila dengan langkah – langkah tersebut pengendalian diabetes
mellitus belum tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan obat atau
intervensi farmakologik.
Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologik perlu diperhatikan
titik kerja sesuai dengan macam penyebab terjadinya hiperglikemia atau dengan
kata lain pemilihan penggunaan intervensi farmakologik sangat tergantung pada
fase dimana diagnosis diabetes ditegakkan yaitu sesuai dengan kelainan dasar
yang terjadi, seperti :
1. Resistensi insulin pada jaringan lemak, otot dan hati
2. Kenaikan produksi glukosa oleh hati
3. Kekurangan sekresi insulin oleh pankreas

Obat antidiabetika oral digunakan untuk pengobatan diabetes melitus tipe 2. Obat
- obat ini hanya digunakan jika pasien gagal memberikan respon setidaknya 3
bulan terhadap diet rendah karbohidrat dan energi disertai aktivitas fisik yang
dianjurkan, dimana apabila setelah upaya perubahan pola hidup, kadar gula darah
tetap diatas 200 mg% dan HbAc1 diatas 8%.
Peranan obat hipoglikemik oral pada pengobatan diabetes mellitus dalam
hal mekanisme kerja OHO, klasifikasi, indikasi dan kontra indikasi, serta jenis-
jenis OHO.
A. Mekanisme Kerja Obat Hipoglikemik Oral
Pada dasarnya diabetes mellitus tipe II disebabkan oleh defek pada sekresi
insulin dan kerja insulin. Ada tidaknya hiperglikemia ditentukan oleh 3 faktor
yaitu sel beta pankreas yang mensekresi insulin, Hepatic glucose output hati satu
atau lebih dari ketiga faktor tersebut diatas. Sulfonilurea misalnya mempunyai
kerja terutama meningkatkan sekresi insulin, metformin bekerja diperifer pada
otot-otot dimana memperbaiki sensitivitas sel terhadap insulin, inhibitor alfa
glukosidase bekerja menekan penyerapan glukosa di usus, troglitazon bekerja
menekan produksi glukosa oleh hati dan repaglinide bekerja meningkatkan sekresi
insulin pada sel beta pankreas
B. Klasifikasi Obat Hipoglikemik Oral
1. Golongan Sulfonilurea
Merupakan salah satu dari Insulin Secretagogue. Dikenal 2 generasi dari
sulfonilurea, yaitu generasi I yang terdiri dari tolbutamid, tolazamid,
asetoheksimid dan klorpropamid. Sedangkan generasi II terdiri dari glibenklamid,
glipizid, gliklazid dan glimepirid. Perbedaan dari kedua generasi ini adalah
potensi hipoglikemik dari generasi II lebih besar daripada generasi I. Sulfonilurea
generasi I semakin sulit didapatkan, dan karena sulfonilure generasi II menjadi
obat generik dan lebih murah, produksi obat generasi pertama kemungkinan akan
dihentikan.
a. Mekanisme Kerja
Sulfonilurea bekerja dengan merangsang sekresi insulin dari granul sel – sel
β Langerhans pankreas. Rangsangannya terjadi melalui interaksi antara
sulfonilurea dengan ATP-sensitive K channel pada membran sel – sel β yang
menimbulkan depolarisasi membran dan keadaan ini akan membuka kanal Ca.
Dengan terbukanya kanal Ca, maka ion Ca ++ akan masuk ke sel β, merangsang
granula yang berisi insulin dan akan terjadi sekresi insulin dengan jumlah yang
ekuivalen dengan peptida-C.
Pada penggunaan jangka panjang atau dosis yang besar, sulfonilurea dapat
menyebabkan hipoglikemia yang dikarenakan peningkatan sekresi insulin yang
berlebihan.
b. Farmakokinetik
Berbagai sulfonilurea mempunyai sifat kinetik yang berbeda, tetapi absorpsi
melalui saluran cerna cukup efektif. Makanan dan keadaan hiperglikemia dapat
mengurangi absorpsi. Untuk mencapai kadar optimal dalam plasma, sulfonilurea
dengan massa paruh pendek akan lebih efektif bila diminum 30 menit sebelum
makan. Didalam plasma sendiri, sulfonilurea akan berikatan dengan albumin.
Sulfonilurea Generasi Pertama
Tolbutamid
Tolbutamid dapat diabsorpsi dengan baik namun cepat dimetabolisme oleh
hati. Lama kerjanya relatif pendek dengan waktu paruh eliminasi 4 – 5 jam, dan
paling baik diberikan dalam dosis terbagi. Sekitar 10 % dari metabolitnya
diekskresi melalui empedu dan keluar bersama tinja. Karena waktu paruhnya yang
pendek, obat ini menjadi golongan sulfonilurea yang paling aman digunakan pada
pasien diabetes lansia. Jarang ditemukan hipoglikemia yang berkepanjangan
akibat dari mengonsumsi obat ini.
Dosis : 250 mg – 2 g/ hari, diberi dengan jarak 8 – 12 jam (3 – 4 x/hari)
Efek samping : sakit perut, pusing, kehilangan nafsu makan, gatal- gatal,
rash, demam, dan lain lain
Klorpropamid
Mempunyai waktu paruh 24 - 48 jam, dan dimetabolisme secara perlahan di
hati menjadi produk yang masih memiliki aktivitas biologis. Kurang lebih 20 –
30% diekskresikan lewat urin. Obat ini dikontraindikasikan kepada penderita
insufisiensi hati atau ginjal. Dosis yang lebih tinggi dari 500 mg/hari akan
meningkatkan resiko terjadinya ikterus. Sebaiknya diberikan 30 menit sebelum
makan
Nama dagang : Diabinise
Dosis : tergantung usia. Dewasa : 250mg/hari, diturunkan atau dinaikan bila
perlu menjadi 125mg/hari, dengan interval 3 – 5 hari. Pasien yang lebih tua : 100-
125 mg/hari, diturunkan atau dinaikan bila perlu menjadi 50 – 125 mg/hari
dengan interval 3 – 5 hari.
Efek samping : sakit di daerah perut, kebingungan, hypoglikemia, sakit
kepala, depresi, dan lain – lain.
Tolazamid
Sebanding dengan klorpropamid dalam hal potensi, tetapi lama kerjanya
lebih pendek. Tolazamid diserap lebih lambat ketimbang sulfonilurea yang lain,
dan efeknya terhadap kadar gula darah tidak tampak untuk beberapa jam. Waktu
paruhnya 7 jam. Setelah dimetabolisme, tolazamid diubah menjadi beberapa
senyawa yang tetap mempunyai efek hipoglikemik yang cukup kuat, seperti p-
karbositolazamid, dan 4-hidroksimetiltolazamid.
Dosis : 100 – 250mg/hari atau tiap 12 jam (1 – 2x/hari). Bila gula darah
puasa <200 mg/dl : 100 mg/hari. Bila >200 mg/dl : 250 mg/hari. Untuk pasien
yang underweight, malnutrisi, atau lansia : 100 mg/hari
Efek samping : hypoglikemia, vertigo, konstipasi, muntah, dan lain- lain.
Sulfonilurea Generasi Kedua
Di AS, sulfonilurea generasi kedua diresepkam lebih sering daripada obat
generasi pertama karena efek samping dan interaksi obatnya yeng lebih jarang.
Senyawa sulfonilurea poten ini adalah gliburid, glipizid dan glimepirid. Namun
harus digunakan dengan hati – hati pada pasien dengan penyakit kardiovaskular
atau pasien lanjut usia karena kondisi hipoglikemia akan sangat membahayakan.
Gliburid
Dikenal juga dengan nama glibenklamid, memiliki potensi kurang lebih 200
x lebih kuat dari tolbutamid, dan memiliki masa paruh sekitar 4 jam.
Metabolismenya di hepar, dengan 25% metabolitnya diekskresi melalui urin.
Dosis : 2,5 – 5 mg/hari
Efek samping : angidema, urtikaria, rash, vaskulitis, hipoglikemia, dan lain
– lain.
Glipizid
Mempunyai waktu paruh terpendek, yaitu 2 – 4 jam. Diabsorpsi secara
sempurna, dan dimetabolisme di hepar menjadi metabolit yang tidak aktif, dan
sekitar 10 % diekskresi melalui ginjal dalam keadaan utuh. Untuk mendapatkan
efek maksimal dalam mengurangi gula dara postprandial, maka harus diberikan 30
menit sebelum sarapan, dikarenakan absorpsinya kan terlambat bila diberikan
bersama makanan.
Nama dagang : glucotrol
Dosis : 5mg/hari, dapat dinaikkan hingga 15mg/hari, sebagai dosis tunggal (
1 x/hari)
Efek samping : diare, konstipasi, kecemasan, hipoglikemi, pusing, dan lain –
lain.
Efek Samping
Sulfonilurea generasi I memiliki insidensi sekitar 4%, insidensnya lebih
rendah lagi pada generasi II. Reaksi hipoglikemia sampai koma, dapat timbul,
namun lebih mungkin terjadi kepada pasien usia lanjut dengan gangguan fungsi
hati atau ginjal, terutama yang menggunaan sediaan dengan masa kerja yang
panjang.
Gangguan saluran cerna dapat diantispasi dengan mengurangi dosis,
menelan obat bersama makanan, atau membagi obat dalam beberapa dosis.
Hipoglikemia dapat terjadi pada pasien yang tidak mendapat dosis yang
tepat, tidak makan cukup, atau pasien dengan gangguan fungsi hati atau ginjal.
Kecenderungan hipoglikemi pada orang tua disebabkan oleh mekanisme
kompensasi berkurang dan asupan makanan yang cenderung kurang.
c. Indikasi
Penentuan indikasi dari sulfonilurea adalah usia pasien saat penyakit DM
mulai timbul. Umumnya hasil yang baik diperoleh pada pasien yang diabetesnya
mulai timbul pada usia 40 tahun. Yang paling penting, sebelum menentukan
keharusan penggunaan sulfonilurea, harus dipertimbangkan kemungkinan untuk
mengatasi hiperglikemia hanya melalui pengaturan diet dan mengurangi berat
badan pasien.
Apabila hasil terapi yang baik tidak dapat dipertahankan dengan dosis 0,5 g
klorpropamid, 2 g tolbutamid, 1,25 g asetoheksamid, atau 0,75 g tolazamid,
sebaiknya dosis jangan ditambah lagi.
Pemeriksaan fisik dan laboratorium tetap harus dilakukan secara teratur, dan
pada keadaan yang gawat seperti stress, konplikasi, pembedahan, dan infeksi,
insulin tetap merupakan terapi standar.
d. Kontraindikasi
Sulfonilurea tidak boleh diberikan kepada pasien yan kebutuhan insulinnya
tidak stabil, DM dengan kehamilan, dan harus digunakan dengan sangat berhati –
hati pada pasien DM dengan gangguan fungsi hepar dan ginjal, insufisiensi
endokrin, keadaan gizi buruk, dan pada pasien dengan alkoholisme.
e. Interaksi
Obat yang dapat meningkatkan resiko hipoglikemia sewaktu penggunaan
hipoglikemia adalah insulin, alkohol, fenformin, sufonamid, salisilat dosis besar,
fenilbutazon, dan klorampenikol. Sulfonilurea, terutama klorporamid dapat
menurunkan toleransi alkohol.
2. Golongan Medlitinide
Umumnya senyawa obat hipoglikemik golongan meglitinida dan turunan
fenilalanin ini dipakai dalam bentuk kombinasi dengan obat-obat antidiabetik oral
lainnya. Meglitinid memiliki mekanisme kerja yang sama seperti sulfonilurea
dalam menstimulasi sekresi insulin,yaitu dengan mengikat subunit SUR1 dan
menghambat kanal k+/ATP sel β. Kedua golongan obat ini mengikat molekul
SUR1 pada daerah yang berbeda. Golongan metiglinid terdiri dari 2 macam
obat,yaitu repaglinid ( derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat fenilalanin)
dan kedua obat ini memerlukan adanya glukosa untuk menstimulasi kerja insulin.
Saat kadar glukosa maka stimulasi sekresi insulin juga berkurang .Kedua obat ini
di absorpsi dengan cepat memiliki waktu paruh yan pendek,serta signifikan
menurunkan glukosa postprandial. Pada pemberian oral absorpsinya cepat dan
kadar puncaknya dicapai dalam waktu 1 jam. Masa paruhnya 1 jam,karena harus
diberikan beberapa kali sehari,sebelum makan .Metabolisme utamanya di hepar.
Repaglinid dan nateglinid harus diberikan secara hati-hati pada pasien dengan
gangguan fungsi hati atau ginjal.
Repaglinide dan nateglinid merupakan golongan meglitinid yang
mekanisme kerjanya sama dengan sulfonilurea tetapi struktur kimianya sangat
berbeda. Golongan ADO ini merangsang insulin dengan menutup kanal K yang
ATP-independent di sel β pankreas.Struktur nateglinid dari D-phenylalanine
digantikan oleh tritiatedglibenclamide pada B-cells.
a. Repaglinida
Repaglinida (PRANDIN) adalah turunan asam benzoat. Obat ini diabsorpsi
secara cepat dari saluran gastointertinal; kadar puncak dalam darah dicapai dalam
waktu satu jam. Waktu paruh obat ini sekitar satu jam. Sifat obat ini
memungkinkan penggunaan multiple sebelum makan, seperti pendosisan sulfonil
urea klasik yakni sekali atau dua kali sehari. Repaglinida terutama di metabolisme
di hati. Metabolisme utamanya di hepar dan metabolitnya tidak aktif sekitar 10%
di metabolisme di ginjal. Pada pasien dengan gangguan fungsi hepar atau ginjal
harus diberikan secara hati-hati Efek samping utamanya hiperglikemia dan
gangguan saluran cerna.Reaksi alregi juga dapat terjadi.
Dosis awal : 500mg, dapat ditingkatkan tergantung pada repons pasien
dalam interval 1-2 minggu
Maksimal dosis : 16mg perhari. Untuk penggunaan dosis > 4mg, dapat
diberikan dalam dosis terbagi
Aturan pakai : Diminum sebelum makan, atau 15 menit sebelum makan
b. Nateglinida
Nateglinida (STARLIX) merupakan perangsangan sekresi insulin turunan
D-fenilalanin yang efektif secara ora. Seperti sulfonilurea dan repaglinida,
nateglinida menstimulasi sekresi insulin dengan cara memblok saluran kalium
sensitif-ATP Pada sel β pancreas. Nateglinida mendorong sekresi insulin lebih
cepat tapi kurang mempertahankannya dibandingkan senyawa antidiabetes oral
lainnya tersedia. Efek terpeutik utama obat ini adalah mengurangi peningkatan
glikemik setelah makan pada pasien DM tipe 2. Baru baru ini nateglinida telah
disetujui oleh Food and drug administration (FDA) USA untuk digunakan pada
pasien DM tipe 2 dan paling efektif jika diberikan antara 1 sampai 100 menit
sebelum makan dengan dosis 120 mg. Nateglinida terutama dimetabolisme oleh
hati, sehingga harus digunakan secara hati-hati pada pasien insufiensi hati. Sekitar
16% dosis yang diberikan diekskresika oleh ginjal sebagai obat yang tidak diubah.
Penyesuaian dosis tidak diperlukan pada pasien gagal ginjal. Penelitian awal
menunjukkan bahwa terapi nateglinida dapat menurunkan episode hipoglikemua
dibandingkan perangsang sekresi insulin oral lainnya yang tersedia.
Dosis awal : 120mg 3 kali sehari
Dosis maksimal : 180mg 3 kali sehari
Aturan pakai : Diminum 1-30 menit sebelum makan
3. Golongan Biguanida
Metformin adalah golongan dimetil biguanide merupakan OHO yang
dipakai untuk menurunkan kadar glukosa darah  pada pasien DM tipe 2,
penggunaanya bertujuan untuk menurunkan resistensi insulin dengan
memperbaiki sensitivitas insulin terhadap  jaringan. Dengan demikian metformin
diindikasikan sebagai obat pilihan pertama pada pasien DM tipe 2, gemuk yang 
mana dasar kelainannya adalah resistensi insulin. Walaupun cara kerja metformin
berbeda dengan SU  akan tetapi efek kontrol glikemik sama dengan golongan
sulfonilurea (SU). Sulfonilurea dapat menyebabkan kenaikan berat badan sedang
metformin tidak demikian. Selain itu efek hipoglikemik SU sering ditemukan
sedang dengan metformin jarang. Oleh karena itu metformin dikenal bekerja
sebagai anti hiperglikemi sedangkan SU sebagai obat  yang bekerja sebagai
hipoglikemik.
Kimia Dan Sediaan
Senyawa biguanid terbentuk dari dua molekul guanidin dengan kehilangan
satu molekul amonia. Sediaan yang tersedia ialah lenlormin, bulormin dan
metlorrnin (lihat Tabel 32-3)
Farmakologi
Derivat biguanid mempunyai mekanisme kerja yang berlainan dengan
derivat sulfonilurea, obat-obat tersebut kerjanya tidak melalui perangsangan
sekresi insulin tetapi langsung terhadap organ sasaran. Pemberian biguanid pada
orang nondiabetik tidak menurunkan kadar glukosa darah; tetapi sediaan biguanid
ternyata menunjukkan elek potensiasi dengan insulin' Pemberian biguanid tidak
menimbulkan perubahan ILA (tnsu-Iin-tike activity) di plasma, dan secara
morfologis sel pulau Langerhans juga tidak mengalami perubahan, Pada
penelitian in vitro ternyata bahwa biguanid merangsang glikolisis anaerob, dan
anaerobiosis tersebut mungkin sekali berakibat lebih banyaknya glukosa
memasuki sel otot.
Biguanid tidak merangsang ataupun menghambat perubahan glukosa
menjadi lemak. Pada penderita diabetes yang gemuk, ternyata pemberian biguanid
menurunkan berat badan dengan mekanisme yang belum jelas pula; pada orang
nondiabetik yang gemuk tidak timbul penurunan berat badan dan kadar glukosa
darah. Penyerapan biguanid oleh usus baik sekali dan obat ini dapat digunakan
bersamaan denganinsulin atau sulfonilurea. Sebagian besar penderila diabetes
yang gagal diobati dengan sulfonilurea
Intoksikasi
Preparat biguanid yang telah banyak digunakan ialah fenformin. Pada terapi
dengan lenlormin umumnya tidak terjadi efek toksik yang hebat. Beberapa
penderita mengalami mual, muntah, diare serta kecap logam (metailic taste) tetapi
dengan menurunkan dosis keluhan-keluhan tersebut segera hilang. Pada beberapa
penderita yang mutlak bergantung pada insulin luar, kadang - kadang biguanid
menimbulkan ketosis yang tidak disertai dengan hiperglikemia (starv ation
ketosts). Hal ini harus dibedakan dengan ketosis karena delisiensi insulin.
Pada penderita dengan gangguan lungsi ginjal atau sistem kardiovaskular,
pemberian biguanid dapat menimbulkan peninggian kadar asam laktat dalam
darah, sehingga hal ini dapat mengganggu keseimbangan elektrolit dalam cairan
tubuh.
Indikasi.
Sediaan biguanid tidak dapat menggantikan lungsi insulin endogen, dan
digunakan pada terapi diabetes dewasa. Dari berbagai derivat biguanid, data
fenformin yang paling banyak terkumpul tetapi sediaan ini kini dilarang
dipasarkan di lndonesia karena bahaya asidosis laktat yang mungkin
ditimbulkannya. Di Eropa lenformin digantikan dengan metformin yang kerjanya
serupa dengan lenlormin tetapi diduga lebih sedikit menyebabkan asidosis laktat.
Dosis metformin ialah 1-3 g sehari dibagi dalam dua atau 3 kali pemberian.
Kontraindikasi
Sediaan biguanid tidak boleh diberikan pada penderita dengan penyakit hati
berat, penyakit ginjal dengan uremia dan penyakit jantung kongestif. Pada
keadaan gawat sebaiknya juga tidak diberikan biguanid. Sedangkan pada
kehamilan, seperti juga dengan sediaan ADO lainnya sebaiknya tidak diberikan
biguanid, sampai terbukti bahwa obat ini lidak menimbulkan bahaya yang berarti.
Dosis
Metformin dosis 600-3000mg/hari 2-3 kali sehari. Bentuk sediaan tablet 500
mg.
4. Penghambat Enzim Α-Glikosidase
Obat golongan penghambat enzin α-glikosidase ini dapat memperlambat
absorbsi polisakarida (starch), dekstrin, dan disakarida di intestin. Dengan
menghambat kerja enzim α-glikosidase di brush border intestin, dapat mencegah
peningkatan glukosa plasma pada orang normal dan pasien DM.
Karena kerjanya tidak mempengaruhi sekresi insulin, maka tidak akan
menyebabkan efek samping hipoglikemia. Akarbose dapat digunakan sebagai
monoterapi pada DM usia lanjut atau DM yang glukosa postprandialnya sangat
tinggi. Di klinik sering digunakan bersama anti diabetik oral lain dan atau insulin.
Monoterapi dengan obat – obat ini dilaporkan berkaitan dengan penurunan
sedang (0,5 – 1%) kadar glikohemoglobin dan penurunan 20 -25 mg/dL kadar
glukosa puasa. Acarbose dan Miglitol telah disetujui oleh FDA untuk digunakan
pada orang dengan diabetes tipe 2 sebagai monoterapi dan dalam kombinasi
dengan sulfonilurea, efek glikemiknya bersifat aditif.
Obat golongan ini diberikan pada waktu mulai makan dan absorbsi buruk.
Akarbose, merupakan oligosakarida yang berasal dari mikroba dan miglitol suatu
derivat desoksi nojirimisin, secara kompetitif juga menghambat glukoamilase dan
sukrase, tapi efeknya pada α-amilase pankreas lemah. Kedua preparat dapat
menurunkan glukosa plasma postprandial pada DM tipe 1 dan 2, dan pada DM
tipe 2 dengan hiperglisemia yang dapat menurunkan hba1c secara bermakna. Pada
pasien DM dengan hiperglisemia ringan sampai sedang. Hanya dapat mengatasi
hiperglisemia sekitar 30%-50% dibandingkan anti diabetik oral lainnya (dinilai
dengan pemeriksaan HbA1c).
Efek samping yang bersifat dose-dependent, al, malabsorbsi, flatulen, diare,
dan abdominal bloating. Untuk mengurangi efek samping ini sebainya dosis
dititrasi, mulai dosis awal 25 mg pada saat mulai makan untuk selama 4-8
minggu, kemudian secara bertahap ditingkatkan setiap 4-8 minggu sampai dosis
maksimal 75 mg setiap tepat sebelum makan. Dosis yang lebih kecil dapat
diberikan dengan makanan kecil (snack)
Akarbose paling efektif bila diberikan bersama makanan yang berserat
mengandung polisakarida, dengan sedikit kandungan glukosa dan sukrosa. Bila
akarbose diberikan bersama insulin, atau dengan golongan sulfonilurea, dan
menimbulkan hipoglikemia, pemberian glukosa akan lebih baik daripada
pemberian sukrose, polisakarida atau maltosa.
5. Tiazolidinedion Hypoglicemic Oral
Tiga senyawa tiazolidinedion telah digunakan dalam praktik klinis
(troglitazon,rosiglitazon,dan pioglitazon). Namun,senyawa pertama yang
diperkenalkan (troglitazon) ditarik dari penggunaan karena menyebabkan toksitas
hati yang parah .
Efek
Efek dari tiazolidinedion pada glukosa darah memiliki onset yang lambat
,dan efek maksimum hanya bisa didapatkan 1-2 bulan setelah terapi.
Tiazolidinedion mereduksi output glukosa hati dan meningkatkan uptake glukosa
otot ,meningkatkan keefektifan dari dari endogenous insulin dan menurunkan
jumlah dari exogenous insulin yang dibutuhkan untuk mempertahankan glukosa
darah sekitar 30%. Penguranganjumlah glukosa darah sering diikuti dengan
pengurangan atau pereduksian jumlah asam lemak bebas dan jumlah insulin yang
bersirkulasi.Trigliserida mungkin mengalami penurunan, LDL atau HDL tidak
mengalami perubahan atau keduanya hanya mengalami peningkatan dalam
jumlah yang sedikit,dengan sedikit perubahan dari rasio HDL/LDL . Proporsi
jumlah dari partikel kecil LDL mengalami penurunan. Umumnya terjadi
peningkatan berat badan sebesar 1-4 kg ,dan kembali stabil dalam 6-12 bulan .
Biasanya peningkatan berat badan ini diakibatkan oleh retensi cairan :dengan
adanya peningkatan volume plasma sampai dengan 500 ml seiringan dengan
penurunan konsentrasi hemoglobin disebabkan oleh haemodilution,dan juga
dikarenakan oleh peningkatan cairan extravascular ,dan meningkatkannya lemak
subcutaneus .
Mekanisme Aksi
Tiazolidinedion berikatan dengan reseptor nucleus yang disebut dengan
peroxizome proliferator activated receptor – gamma(PPAR –ϒ) ,yang membentuk
kompleks dengan retinoid X receptor (RXR). PPARϒ ini ditemukan terutama di
jaringan lemak,tetapi juga terdapat pada otot dan hati. Ikatan itu memediasi
diferensiasi dari adiposit ,meningkatkan lipogenesis dan meningkatkan uptake
dari asam lemak dan glukosa. Endogenous agonist meliputi unsaturated fatty acids
dan macam-macam turunannya, termasuk prostalglandin J2 . Tiazolidinedion
adalah exogenous agonists. Mereka mengubah PPAR ϒ-RXR kompleks jadi
kompleks tersebut berikatan dengan DNA dan meningkatkan transkripsi dari
sejumlah gen yang menghasilkan produk yang penting untuk insulin signaling,
termasuk lipoprotein lipase ,fatty acid transporter protein, adipocyte fatty acid-
binding protein, Glut-4, phosphoenol pyruvate carboxy kinase,malic enzyme ,dan
lain-lain .
Selain membidik adiposity , miosit , dan hepatosit, Tzds juga berefek
signifikan pada endotel vascular , system imun , ovarium , dan sel tumor.
Sebagian dari respon ini mungkin tidak bergantung pada jalur PPAR-ϒ .Efek
onkogenik Tzd bersifat kompleks dan mungkin tumorigenik dan anti tumorigenik.
Aspek Farmakokinektik
Rosiglitazone dan pioglitazone sangat cepat terabsorbsi ,dan mencapai
puncak konsentrasi plasma kurang dari 2 jam. Keduanya terikat pada protein
plasma ,dan dimetabolisasi di hati menjadi metabolit kurang aktif , terutama oleh
CYP2C8 dan ,dengan derajat yang lebih rendah CYP2C9. Bagi populasi terbatas ,
rosiglita zone disetujui untuk digunakan pada diabetes tipe 2 sebagai monoterapi ,
dalam kombinasi ganda dengan suatu biguanid dan sulfonylurea, atau dalam
kombinasi rangkap empat dengan suatu biguanid,sulfonilurea,dan insulin, karena
rosiglita zone menimbulkan risiko kardiovaskular lebih tinggi dibandingkan
pioglita zone.
Efek Samping
Efek samping yang umum bagi kedua Tzd adalah retensi cairan , yang
bermanifestasi sebagai anemia ringan dan edema perifer , khususnya ketika obat-
obat ini dikombinasikan dengan insulin atau secret agogue insulin .Kedua obat ini
meningkatkan risiko gagal jantung . Banyak pemakai mengalami penambahan
berat (rata-rata 1-3 kg) yang dependen dosis dan mungkin terkait dengan retensi
cairan. Meskipun jarang, pernah dilaporkan timbulnya atau memburuknya edema
macula pada pemberian obat ini. Berkurangnya densitas mineral tulang dan
meningkatnnya fraktur tulang ekstremitas tipikal pada wanita pernah dilaporkan
pada kedua obat, yang dipostulasikan disebabkan oleh berkurangnya
pembentukan osteoblast. Terapi jangka panjang dilaporkan menyebabkan
penurunan trigliserida dan peningkatan ringan kolesterol HDL serta LDL.
Kontraindikasi
Obat golongan ini jangan digunakan pada wanita hamil dan pasien dengan
penyakit hati signifikan (ALT lebih daripada 2,5 kali batas atas normal) atau
dengan diagnosis gagal jantung. Karena Hepatotoksisistas yang diamati pada
pemberian troglitazon,Wanita dengan anovulasi mungkin mengalami pemulihan
ovulasi dan seyogyanya diberitahu mengenai kemungkinan kemungkinan
peningkatan risiko kehamilan.
Dosis
a. Piogliazon dapat diminum sekali sehari ,dosis awal yang lazim adalah 15-30
mg/hari dan maksimalnya adalah 45 mg/hari
b. Rosiglitazone diberikan sekali atau dua kali sehari ,dosis total lazim adalah
2-8 mg .

6. Inkretin Mimetik dan Penghambat DPP-4


Inkretin adalah hormon yang diproduksi oleh usus halus sebagai respons
terhadap peningkatan gula darah sesudah makan. rmon ini meningkatkan produksi
insulinyang lebih tinggi setelah pemberian glukosa oral dibanding dengan
pemberian glukosa intravena. Inkretin terdiri dari dua hormon, yaitu GIP
(Glucose-dependent Insulinotropic Polypeptide = Gastric Inhibitory Polypeptide)
yang diproduksi di duodenum dan GLP-1 (Glucagon like peptide-1) yang
diproduksi di bagian distal usus halus dan proksimal kolon. Selain meningkatkan
sekresi insulin, GLP-1 menghambat sekresi glukagon, sedangkan GIP tidak
mempengaruhi sekresi glukagon. Pada diabetes tipe 2 terjadi defisiensi GLP-1
sehingga respons insulin post prandial berkurang, sedangkan produksi GIP tidak
berkurang. Kedua hormon ini mempunyai waktu paruh yang singkat karena
dengan cepat dipecah oleh DPP-4 (Dipeptidyl Peptidase type 4).
Pendekatan terapi inkretin dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu dengan
pemberian inkretin mimmetik dan dengan menghambat degradasi inkretin
menggunakan penghambat DPP-4.
a. Inkretin Mimetik
Inkretin mimetik yang digunakan untuk terapi adalah analog GLP-1 yang
resisten terhadap DPP-4 sehingga memiliki waktu paruh cukup panjang.
Contohnya adalah eksenatid dan liraglutid. Kedua obat ini tidak diabsorpsi di
saluran cerna, sehingga harus diberikan secara injeksi. Obat ini
dikontraindikasikan pada ketoasidosis diabetik dan DM tipe 1.
Eksenatid
Diisolasi dari kelenjar liur Gila monster (Heloderma suspectum). Obat ini
meningkatkan sekresi insulin setelah pemberian glukosa per oral dan menekan
sekresi glukagon, memperlambat pengosongan lambung dan mengurangi asupan
makanan. Di samping itu, pada penelitian in vitro dan in vivo pada hewan,
eksenatid dilaporkan dapat meningkatkan proliferasi sel beta pankreas. Obat ini
diberikan secara subkutis dengan dosis 5 sampai 10 mcg 2 kali sehari, dan terbukti
secara bermakna menurunkan glukosa puasa, glukosa post prandial, dan HbA1C.
Berbeda dengan sulfonilurea dan insulin, eksenatid dilaporkan dapat menurunkan
berat badan secara bermakna. Obat ini telah diakui oleh FDA untuk pemakaian
klinis.
Efek samping: Eksenatid umumnya menimbulkan efek samping ringan berupa
mual yang dapat berkurang setelah pemakaian beberapa lama.
Liraglutid
Obat ini menunjukkan efek yang kira-kira sama dengan eksenatid, dapat
diberikan sekali sehari dengan dosis awal 0,6 mg subkutis, dapat ditingkatkan
menjadi 1,2 mg setelah satu minggu,dengan dosis maksimum 1,8 mg.
b. Penghambat DPP-4
Sitagliptin, Vildagliptin, Saxagliptin, Alogliptin, Linagliptin
Obat ini menghambat kerja DPP-4 sehingga mencegah degradasi GLP-1.
Efek berlangsung selama 12 jam, dan menurunkan kadar gula darah puasa dan
post prandial, tapi tidak mempengaruhi kadar insulin plasma. Obat golongan ini
tidak meningkatkan berat badan dan tidak ditemukan kejadian hipoglikemia.
Farmakokinetik
Sitagliptin dan Vildagliptin diabsorpsi dengan baik melalui saluran cerna
dengan bioavailabilitas oral sekitar 85%, dan dipengaruhi oleh keberadaan
makanan.
Sekitar 80% sitagliptin diekskresi dalam bentuk utuh melalui urin.
Metabolisme masih terjadi pada 15-20% oleh CYP3A4 dan CYP2C8. Waktu
paruh sitagliptin lebih kurang 12 jam. Sedangkan vildagliptin hanya sekitar 20%
diekskresi dalam bentuk utuh urin, sisanya mengalami metabolisme.
Posologi
Penghambat DPP-4 digunakan untuk diabetes tipe 2 sebagai monoterapi
atau kombinasi dengan metformin, sulfonylurea, atau tiazolidinedion. Dosis lazim
untuk sitagliptin adalah 100 mg per hari. Untuk gangguan fungsi ginjal ringan-
sedang (CCT 30-50 ml/menit) dosis diturunkan menjadi 50 mg/hari, sedangakan
untuk gangguan fungsi ginjal berat, dosis 25 mg/hari. Sitagliptin tersedia dalam
bentuk tablet 25, 50, dan 100 mg.
Vidagliptin digunakan dengan dosis 50 mg satu atau dua kali sehari, sebagai
obat tunggal atau kombinasi dengan metformin, sulfonylurea, atau
tiazolidinedion. Tersedia dalam bentuk tablet 50 dan 100 mg. Obat ini
dikontraindikasikan pada DM tipe 1, ketoasidosis, gangguan fungsi ginjal berat
dan gangguan fungsi hati (GOT, GPT > 2,5 kali normal).
Efek samping:
Sitagliptin menimbulkan efek samping ringan berupa mual dan gangguan saluran
cerna ringan.
Vildagliptin dilaporkan dapat menyebabkan batuk dan nasofaringitis.
Kontraindikasi/perhatian:
Penghambat DPP-4 dikontraindikasikan pada DM tipe 1, ketoasidosis,
gangguan fungsi ginjalatau gangguan fungsi hati berat.penggunaan pada wanita
hamiltidak direkomendasikan, walaupun data pada hewan tidak menunjukkan efek
teratogenik (resiko kehamilan kategori B). Obat ini diekskresi melalui ASI
sehingga penggunaan pada masa laktasi tidak dianjurkan.
7. Analog Anilin
Pramlintid, suatu analog sistem sintetik anilin adalah obat anti
hiperglikemik suntikan yang memodulasi kadar glukosa pasca makan serta telah
didisetujui untuk digunakan sebelum makan pada pasien dengan diabetes tipe 1
dan tipe 2. Obat ini diberikan sebagai tambahan untuk insulin pada mereka yang
tidak mampu mencapai target kadar gula darah pasca makan mereka. Pramlintid
menekan pelepasan glukagon melalui mekanisme yang belum diketahui, menunda
pengosongan lambung dan memiliki aktivitas anorektik melalui efek susunan
saraf pusat. Obat ini cepat diserap setelah penyuntikan subkutis, kadar memuncak
dalam 20 menit dan masa kerjanya tidak lebih dari 150 menit. Pramlintid
dimetabolisasi dan diekskresi oleh ginjal, tetapi bahkan pada klirens pada
ketersediaan hayati. Obat ini belum pernah dievaluasi pada pasien dialisis.
Penyerapan paling andal adalah dari abdomen dan paha, pemberian di lengan
kurang dapat diandalkan.
Pramlintid seyogianya disuntikan tepat sebelum makan, dosis berkisar dari
15 sampai 60 mcg subkutis untuk pasien dengan diabetes tipe 1 dan dari 60
sampai 120 mcg subkutis untuk orang dengan diabetes tipe 2. Terapi dengan obat
ini perlu dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dititrasi ke atas. Karena
risiko hipoglikemia, pemberian insulin kerja cepat atau singkat secara bersamaan
sewaktu makan perlu dikurangi hingga 50% atau lebih. Dosis secretagogue insulin
juga perlu dikurangi pada pasien dengan diabetes tipe 2. Pramlintid perlu selalu
disuntikan sendiri dengan tabung suntik terpisah, obat ini tidak dapat dicampur
dengan insulin. Efek samping utama pramlintid adalah hipoglikemia dan gejala
saluran cerna, termasuk mual, muntah dan anoreksia.

C. Terapi Kombinasi Obat Hipoglikemik Oral dan Obat Suntik


Terapi Kombinasi Pada Diabets Melitus Tipe 2
Kegagalan mempertahankan respon yang baik terhadap terapi dalam jangka
panjang karena pengurangan progresif massa sel beta, berkurangnya aktivitas
fisik, penurunan massa tubuh non lemak (lean body mass) atau peningkatan
pengendapan lemak ektopik masih menjadi masalah dalam penatalaksanaan DM
tipe 2. Mungkin diperlukam banyak obat untuk mencapai kontrol glikemik.
Kecuali jika terdapat kontraindikasi, terapi medis seyogianya dimulai dengan
suatu biguanid. Jika terjadi kegagalan klinis pada monoterapi metformin,
ditambahkan obat kedua atau insulin. Obat lini-kedua dapat berupa secretagogue
insulin, Tzd, terapi berbasis inkretin, analog anilin, atau suatu inhibitor
glukosidase. Yang dianjurkan adalah sulfonilurea atau insulin karena biaya, efek
samping, dan masalah keamanan. Terapi lini-ketiga mungkin mencakup
metformin, obat – obat lain, atau obat suntik non insulindan metformin seta terapi
insulin intensif. Terapi lini-keempat yang dianjurkan adalah terapi insulin intensif
dengan atau tanpa metformin atau Tzd.
a. Terapi Kombinasi dengan Agonis Reseptor GLP – 1
Eksenatid dan Liraglutid telah disetujui untuk digunakan pada pasien yang
gagal mencapai kontrol glikemik yang diinginkan dengan metformin, sulfonilurea,
metformin plus sulfonilurea atau (untuk liraglutid) metformin plus sulfonilurea
dan Tzd. Pemakaian agonis reseptor GLP – 1 dengan suatu secretagogue insulin
atau beresiko menyebabkan hipoglikemia. Dosis obat – obat yang terakhir perlu
dikurangi pada awal pengobatan dan kemudian dititrasi.
b. Terapi Kombinasi dengan Inhibitor DPP-4
Sitagliptin, saksagliptin, dan linagliptin telah disetujui untuk digunakan
pada pasien yang gagal mencapai kontrol glikemik yang diinginkan dengan
metformin, sulfonilurea, atau Tzd. Pemakaian inhibitor DPP-4 dengan suatu
secretagogue insulin atau dengan insulin beresiko menyebabkan hipoglikemia dan
mungkin diperlukan penyesuaian dosis obat yang terakhir untuk mencegah
hipoglikemia.
c. Terapi Kombinasi dengan Pramlintid
Pramlintid telah diberi izin untuk pengobatan yang diberikan ketika makan
bagi pasien dengan diabetes tipe 2 yang sedang diterapi dengan insulin,
metformin, atau sulfonilurea yang tidak mampu mencapai sasaran glukosa pasca
makan mereka. Terapi kombinasi ini menurunkan secara signifikan penyimpanan
kadar glukosa pasca makan dini. Dosis insulin atau sulfonilurea ketika makan
biasanya perlu dikurangi untuk mencegah hipoglikemia.

D. Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Penggunaan Obat


Hipoglikemik Oral
1. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan
secara bertahap.
2. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping
obat-obat tersebut.
3. Bila diberikan bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi
obat.
4. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah
menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal lagi, baru pertimbangkan
untuk beralih pada insulin.
5. Hipoglikemia harus dihindari terutama pada penderita lanjut usia, oleh
sebab itu sebaiknya obat hipoglikemik oral yang bekerja jangka panjang
tidak diberikan pada penderita lanjut usia.
6. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh penderita.
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association : Clinical Practice Recommendation. 2006


American Diabetes Association : Medical Management of Type 2 Diabetes Fifth
Edition. 2004
Ganiswarna, S. 1995. Farmakologi dan Terapi, edisi IV, 271-288 dan 800-810.
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik : alih bahasa, Brahm U.
Pendit ; Editor Bahasa Indonesia, Ricky Soeharsono ... [et al] – Ed. 12-
Jakarta : EGC, 2013

Anda mungkin juga menyukai