Anda di halaman 1dari 3

3.

Pembebasan Irian Barat (1945-1963)


Salah satu isu politik luar negeri yang terus menjadi pekerjaan rumah kabinet RI adalah
masalah Irian Barat. Wilayah ini telah menjadi bagian RI yang diproklamasikan sejak 17
Agustus 1945. Akan tetapi dalam perundingan KMB tahun 1950 masalah penyerahan Irian Barat
ditangguhkan satu tahun dan berhasil dicapai dalam suatu kompromi pasal di Piagam Penyerahan
Kedaulatan yang berbunyi :

“Mengingat kebulatan hati pihak-pihak yang bersangkutan hendak mempertahankan azas


supaya semua perselisihan yang mungkin dan ternyata kelak akan timbul diselesaikan
dengan jalan patuh dan rukun,maka status quo kerasidenan Irian (New Guinea) tetap
berlaku secara ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan
kedaulatan Indonesia Serikat, masalah kedudukan kenegaraan Irian akan diselesaikan
dengan jalan perundingan antara Rebublik Indonesia Serikat dan kerajaan Netherlands.”

Upaya yang dilakukan sesuai dengan piagam penyerahan kedaulatan adalah melalui
konferensi uni yang dilakukan secara bergilir di Jakarta dan di Belanda. Namun upaya
penyelesaian secara bilateral ini telah mengalami kegagalan dan pemerintah kita mengajukan
permasalahan ini ke Sidang Majelis Umum PBB. Namun upaya-upaya diplomasi yang dilakukan
di forum PBB terus mengalami kegagalan. Indonesi pun kemudian mengambil jalan diplomasi
aktif dan efektif yang puncaknya dilakukannya Konferensi Asia Afrika. Langkah ini cukup
efektif dalam menggalang kekuatan untuk menyokong perjuangan diplomasi Indonesia di tingkat
internasional yang memaksa Belanda melunakkan sikapnya dan mau berunding bilateral untuk
menyelesaikan permasalahan Irian.
Karena jalan damai yang ditempuh selama satu dasawarsa belum berhasil membebaskan
Irian Barat, maka Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menempuh jalan lain. Dalam rangka
itu, pada tahun 1957 dilancarkan aksi-aksi pembebasan Irian di seluruh tanah air, yang dimulai
dengan pengambil-alihan perusahaan Belanda di Indonesia oleh kaum buruh dan karyawan.
Untuk mencegah anarki dan menampung aspirasi rakyat banyak, maka Kepala Staf Angkatan
Darat, Jenderal Nasution memutuskan untuk mengambil alih semua perusahaan milik Belanda
dan menyerahkannya kepada pemerintah. Ketegangan antara Indonesia dan Belada mencapai
puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1960. Pada tahun itu Indonesia secara resmi memutus
hubungan diplomatik dengan Pemerintah Belanda.
Presiden Soekarno dalam pidatonya tanggal 30 September 1960 di depan Sidang Majelis Umum
PBB menegaskan kembali sikapnya tentang upaya mengembalikan Irian Barat ke pangkuan RI.
Dalam pidato yang berjudul Membangun Dunia Kembali, Soekarno menegaskan bahwa :

“Kami telah berusaha untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Kami telah berusaha
dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran dan penuh toleransi dan penuh
harapan. Kami telah berusaha untuk mengadakan perundingan-perundingan bilateral
…… Harapan lenyap, kesabaran hilang, bahkan toleransi pun mencapai batasnya.
Semuanya itu kini telah habis dan Belanda tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali
memperkeras sikap kami.”

Pidato Presiden Soekarno itu, membawa dampak kepada dibuka kembalnya perdebatan
Irian Barat di PBB. Usulan yang muncul dari perdebatan itu adalah agar pihak Belanda
menyerahkan kedaulatan Irian Barat ke Indonesia . Penyerahan ini dilakukan melalui PBB dalam
waktu dua tahun. Usulan ini datang dari wakil Amerika Serikat di PBB. Usulan itu secara prinsip
disetujui oleh PemerintahIndonesia namun dengan waktu yang lebih singkat. Sedangkan
Pemerintah Belanda lebih menginginkan membentuk negara Papua terlebih dahulu. Keinginan
pemerintah Belanda ini disikapi oleh Presiden Soekarno dengan “Politik Konfrontasi disertai
dengan uluran tangan. Palu godam disertai dengan ajakan bersahabat”.
Setelah upaya merebut kembali Irian Barat dengan diplomasi dan konfrontasi politik dan
ekonomi tidak berhasil, maka pemerintah RI menempuh cara lainnya melalui jalur konfrontasi
militer. Dalam rangka persiapan militer untuk merebut irian melalui jalur konfrontasi,
Pemerintah Indonesia mencari bantuan senjata ke luar negeri. Pada awalnya senjata diharapkan
diperoleh dari negara-negara Blok Barat, khususnya Amerika, tetapi tidak berhasil. Kemudian
usaha pembelian senjata dialihkan ke Uni Soviet,
Di pihak lain, Belanda mulai menyadari apabila Irian Barat tidak segera diserahkan
kepada Indonesia, maka lawannya akan berusaha membebaskan Irian dengan kekuatan militer.
Belanda tidak tinggal diam melihat persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Indonesia. Awalnya
mereka mengajukan protes kepada PBB dengan menuduh Indonesia melakukan agresi.
Selanjutnya Belanda memperkuat kedudukannya di Irian dengan mendatangkan bantuan dan
mengirimkan kapal perangnya ke perairan Irian di antaranya kapal induk Karel Doorman.

Pada tanggal 19 Desember 1961, pemerintah mengeluarkan Tri Komando Rakyat


(Trikora) yang berisi:

1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda


2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan
tanah air dan bangsa.

Dengan diucapkannya Trikora maka dimulailah konfrontasi melawan Belanda. Pada


tanggal 2 Januari 1962, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan No. 1 tahun 1962 untuk
membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat.
Awalnya Belanda meremehkan persiapan-persiapan Komando Mandala tersebut. Mereka
menganggap pasukan Indonesia tidak mungkin dapat masuk ke wilayah Irian. Akan tetapi
setelah operasi-operasi infiltrasi dari pihak Indonesia berhasil yang di antaranya terbukti dengan
jatuhnya Teminabuan ke tangan Indonesia, maka Belanda akhirnya bersedia untuk duduk di meja
perundingan. Tidak hanya Belanda, dunia luar yang dulunya mendukung posisi Belanda di
Forum PBB mulai mengerti bahwa Indonesia tidak main-main.
Pemerintah Belanda juga banyak mendapat tekanan dari Amerika Serikat untuk berunding.
Desakan ini untuk mencegah terseretnya Unni Soviet dan Amerika Serikat ke dalam suatu
konfrontasi langsung di Pasifik, di mana masing-masing pihak memberi bantuan kepada
Indonesia dan Belanda. Sehingga, pada tanggal 15 Agustus 1962, ditandatangani suatu perjanjian
antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda di New york.
Perjanjian New York dibuat berdasarkan prinsip-prinsip yang diusulkan oleh Delegasi
Amerika Serikat, Ellsworth Bunker, yang oleh Sekretaris Jenderal PBB diminta untuk menjadi
penengah. Persoalan terpenting dari perjanjian ini adalah mengenai penyerahan pemerintahan di
Irian Barat dari pihak Kerajaan Belanda kepada PBB. Untuk kepentingan tersebut maka
dibentuklah United Nation Temporary Excecutive Authority (UNTEA) yang pada waktunya akan
menyerahkan Irian Barat ke Indonesia sebelum tanggal 1 Mei 1963.
Sementara Indonesia mendapat kewajiban untuk mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat di
irian sebelum akhir 1969, dengan ketentuan bahwa: kedua belah pihak, Indonesia dan Belanda,
akan menerima hasil referendum itu.  Dedangkan pemulihan hubungan diplomatik keduanya
akan dilakukan npada tahun 1963 itu juga, dengan pembukaan Kedutaan Besar Indonesia di Den
Haag dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta.
Sesuai dengan perjanjian New York, pada tanggal 1 Mei 1963 secara resmi dilakukan
penyerahan kekuasaan Pemerintah Irian Barat dari UNTEA kepada Pemerintah Republik
Indonesia di Kota Baru/Holandia/Jayapura. Kembalinya Irian ke pangkuan RI berakhirlah
perjuangan memperebutkan Irian Barat.
Sebagai tindak lanjut dari perjanjian New York, Pemerintah Indonesia melaksanakan
tugas untuk melaksanakan Act Free Choice/Penentuan Pendapat Rakyat (pepera). Pemerintah
Indonesia menjalankan dalam tiga tahap. Tiga tahapan ini sukses dijalankan oleh pemerintah
Indonesia dan hasil dari Pepera kemudian dibawa oleh Duta Besar Ortis Sanz ke New York
untuk dilaporkan ke Sidang Umum Dewan Keamanan PBB. Pada tanggal 19 November 1969,
Sidang umum PBB ke-24 menerima hasil Pepera yang telah dilakukan Indonesia karena sudah
sesuai dengann isi Perjanjian New York. Sejak saat itulah Indonesia secara de jure dan de facto
memperoleh kembali Irian Barat sebagai bagian dari NKRI

Anda mungkin juga menyukai