Anda di halaman 1dari 10

Makalah peristiwa Santa Cruz

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latarbelakang Masalah

Tragedi Santa Cruz adalah salah satu tragedi berdarah yang pernah terjadi di negeri tercinta
Timor Leste (TL). Sebuah tragedi yang timbul dari rasa solidaritas dan persaudaraan sebagai
sesama anak bangsa, atas tewasnya salah seorang pemuda bernama Sebatião Gomes satu bulan
sebelumnya karena dibunuh oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada waktu itu. Saat ini, 17
tahun telah berlalu, TL pun telah tumbuh dan mulai berkembang sebagai sebuah bangsa yang
beradab. Tentu, penulis dan mungkin ratusan ribu masyarakat TL lainnya merasakan hal yang
sama, bahwa TL bisa "ukun rasik an" saat ini, adalah salah satunya karena pengorbanan oleh
ratusan atau mungkin ribuan pemuda, mahasiswa, dan pelajar yang telah memberikan jiwa dan
raga mereka untuk memberikan pesan kepada dunia internasional bahwa perjuangan rakyat
bangsa ini tidak akan berhenti sampai memperoleh hak "ukun rasik an".

1.2 Perumusan Masalah

1. Insiden Santa Cruz dan berakhirnya karier Sintong


2. De-Benny-isasi
3. Insiden Santa Cruz
4. Sabotase oleh Kelompok Prabowo
5. Penghargaan Terhadap Korban 12 Nopember (SANTA CRUZ)
6. Mari Lanjutkan Perjuangan

1.3 Tujuan

Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Sejarah dan untuk
dapat menambah pengetahuan serta wawasan pembaca mengenai Peristiwa Santa Cruz. Selain
itu dapat pula dijadikan sebagai referensi bacaan bagi para siswa dan siswi SMA Negeri 1
Surade

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Insiden Santa Cruz dan berakhirnya karier Sintong


Memasuki dasawarsa 1990-an, nampak Soeharto mulai cemas terhadap loyalis tentara.
Sidang Umur MPR 1988 diwarnai interupsi oleh Fraksi ABRI. Mereka menolak penetapan
Sudharmono SH sebagai Wakil Presiden. Padahal ia favorit Soeharto. Kelihatannya, Fraksi
ABRI lebih menyukai calonnya sendiri, waktu itu tidak ada yang lebuh mungkin dibandingkan
Jenderal LB Moerdani.
Loyalitas adalah hal yang dicemaskan Soeharto. Soeharto paham betul bagaimana tentara
melakukan insubordinasi secara diam-diam terhadap penguasa. Sebab ia berpengalaman
melakukannya, dari tahun 1965 sampai 1967. Karena itu, ia menyiapkan langkah-langkah khusus
untuk melindungi dirinya. Jika Soeharto pada Tahun 1960-an mencoba menyeimbangkan
kekuatan AD, PKI dan dirinya sendiri; maka pada awal dekade 90-an Soeharto mencoba
menyusun keseimbangan antara AD, Islam dan dirinya sendiri.
Jika tidak dikendalikan, tentara akan berkembang sebagai kekuasaan tersendiri yang bisa
merepotkan kekuasaan. Untuk mengeliminasinya, Soeharto melirik pada potensi Islam. Gerakan
Islam modernis yang sedang bangkit di perkotaan, adalah momentum yang ingin dimanfaatkan
oleh Soeharto. Setelah kecewa dengan CSIS, Soeharto pun mendukung prakarsa pendirian ICMI
(Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Gagasan tentang ICMI itu sendiri sebenarnya
kontroversial. Sebab membawa kaum intelektual ke ranah sektarian. tapi di awal tahun 1990-an,
upaya itu disambut hangat. Soeharto memberikan dukungannya. Tapi kelihatannya, sebagian
perwira ABRI tidak begitu menyukai kehadiran ICMI. Tapi ada pula yang menyatakan dukungan
dengan tidak terlalu mencolok di depan publik.

2.2 De-Benny-isasi
Di sekeliling dirinya, Soeharto menempatkan jenderal-jenderal yang dia yakin loyal
kepadanya. Upaya-upaya dilakukan untuk mengikis pengaruh Benny Moerdani di ABRI,
khususnya di kalangan perwira aktif.
Terkait dengan gerakan de-Benny-isasi, Sintong menyimpulkan bahwa dalam ABRI
ternyata ada tiga kelompok yang diperlakukan secara berbeda. Pertama ialah mereka yang dekat
dengan Soeharto; kedua ialah mereka yang biasa saja; sedangkan ketiga ialah mereka yang
masuk kelompok LB Moerdani, atau kelompok yang kurang dipercaya oleh Soeharto.
Apabila kelompok pertama membuat kesalahan, mereka selalu dilindungi. Jika kelompok
dua berbuat kesalahan, fifty-fifty. Namun, jika kelompok tiga membuat kesalahan, "tiada maaf
bagimu." Sebagai tindak lanjut gerakan "de-Benny-isasi", orang-orang dekat LB Moerdani
banyak yang tersingkir atau mendapat kartu mati. Luhut dan Sintong digolongkan sebagai anak
emas LB Moerdani. Namun menurut pengakuan Luhut, hubungan antara Luhut dengan LB
Moerdani tidak lain hanya atas dasar pertimbangan profesionalisme. Sintong juga mengutarakan
hal yang serupa. Ia tidak pernah masuk dalam kelompok di lingkungan ABRI, tetapi sebagian
kalangan memasukan dirinya dalam kelompok LB Moerdani. Menurut Sintong, ia mencapai
pangkat tinggi bukan karena LB Moerdani. Bukan pula LB Moerdani yang membuat Sintong
terkenal. "Tetapi tugas operasi antiteror di Don Muang, Bangkok, dapat saya laksanakan dengan
baik, sehingga nama Pak Benny juga terangkat. Jangan dibalik!" tegasnya. (Seperti dikutip dari
buku Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, halaman 464-466)
Ketidakberdayaan Try Sutrisno membersihkan pendukung Benny Moerdani telah
membuat Soeharto kecewa. Jenderal Try memang bukan orang Benny, tapi juga bukan orang
yang berseberangan frontral dengan Benny. dia menampakan independensinya, dan cukup loyal
terhadap Soeharto.
Bagi kelompok Prabowo cs, kinerja Try Sutrisno dianggap mengecewakan. Menurut
Kivlan Zen, Jenderal Try Sutrisno tidak berdaya dan tetap mengangkat pendukung Benny
Moerdani pada jabatan strategis, seperti Letjen Harsudiono Hartas sebagai Kassospol, Letjen
Sahala Rajagukguk untuk jabatan Wakasad, dan ia tidak menaikkan perwira yang dekat dengan
Prabowo.
Soeharto kurang percaya pada Jenderal Edi Sudradjat, karena hasil seminar TNI-AD
tahun 1990 merekomendasikan pergantian pimpinan nasional mulai lurah ke atas. "Keberanian"
pihak tentara untuk membicarakan masalah kepemimpinan nasional menular ke kalangan sipil.
Pada dekade 90-an, isu suksesi kepemimpinan nasional mulai mengemuka. Presiden Soeharto
semakin merasa gerah.
Musim haji 1991, seluruh keluarga besar Soeharto yang terdiri dari anak, menantu dan
cucu, termasuk Letjen Wismoyo Arismunandar (ipar Soeharto, saat itu menjabat Pangkostrad).
Orang dekat Soeharto semuanya tidak ada di Jakarta. Sementara itu Menhankam dijabat LB
Moerdani, Panglima ABRI diduduki Jenderal Try Sutrisno, dan KSAD oleh Jenderal Edi
Sudradjat. Kivlan Zen memunculkan pertanyaan penting: apakah Presiden Soeharto sedang
menguji kesetiaan ketiga orang tersebut.
Ketakutan Prabowo muncul lagi. Dia khawatir, akan terjadi manuver dari musuh-musuh
politik Presiden Soeharto. Sebelum turut berangkat ke tanah suci, Prabowo mengumpulkan
rekan-rekannya untuk mengadakan brainsorming dan menyusun rencana mengatisipasi yang
terburuk. Jika kemungkinan paling buruk terjadi, dia dan Letjen Wismoyo akan terbang ke tanah
air dengan menggunakan private jet yang akan mendarat di Nusa Wungu, Cilacap.
Sekali lagi, kekhawatiran itu tidak terbukti. Namun itu bukan berarti upaya de-Benny-
isasi berhenti. Diperkirakan Benny masih memiliki pengaruh. Dia sempat berusaha keras
menggagalkan Munas ICMI. Benny Moerdani dikabarkan membenci BJ Habibie, karena yang
bersangkutan menolak masuk CSIS (Center for Strategic and International Studies). Karena itu,
kelompok Prabowo masih terus berusaha melawan pengaruh grup Benny.
De-Benny-isasi mulai memperoleh hasil efektif setelah terjadi Insiden Santa Cruz, 12 November
1991.

2.3 Insiden Santa Cruz

Peristiwa tragis ini terjadi tanggal 12 November 1991 di pekuburan umum Santa Cruz,
Dili. Ribuan warga Timor berunjuk rasa tepat dua pekan setelah kematian Sebastiao Gomez
Rangel, pemuda Timor Leste yang di bunuh milisi prointegrasi di Gereja Motael, Dili. Jenasah
Sebastiao akan di makamkan ulang di Santa Cruz dalam sebuah prosesi yang diperkirakan
mengundang kerumunan massa luar biasa besar.
Allan Nairn, jurnalis Amerika Serikat yang saat itu ada di Dili menuturkan, "Seusai misa
di gereja Motael, pemuda-pemuda Timor mengeluarkan spanduk dan poster dari balik baju
mereka dan mulai bergerak ke arah pemakaman. Sekitar pukul delapan pagi, massa makin padat.
Komandan Sektor C/Khusus Dili Kolonel Aruan memerintahkan pasukan Brigade Mobil
menyekat massa dengan membentuk barikade di belakang demostran. Pasukan Indonesia terus
bergerak maju, mendekati massa yang terkepung. Komandan Kompi Gabungan Letda Sugiman
Mursanib berteriak memerintahkan pasukannya melepas tembakan peringatan ke udara.
Mendadak serentetan tembakan terdengar. Massa di bagian belakang roboh.
Demostrasi yang dilakukan dalam Peristiwa 12 November 1991 di Dili diyakini Sintong
bukanlah demonstrasi biasa. Ada unsur pembrontakan terhadap pemerintah. Para demonstran di
dapati membawa senjata api laras panjang, pistol, granat tangan, senjata tajam dan pentungan,
selain bendera Fretilin maupun Falintil. Di sekitar pekuburan umum Santa Cruz ditemukan
barang bukti berupa sepucuk senapan serbu Heckler & Koch G3 dengan delapan butir peluru,
dua pucuk senapan Mauser dengan 13 butir peluru, sepucuk pistol FN dengan 12 butir peluru,
sepucuk pistol Smith & Wesson dengan empat butir peluru, enam buah granat tangan, 26 bilah
parang, 70 bilah pisau dan berbagai jenis senjata lainnya seperti tombak, kapak, sabit, dan pipa
besi sebagai pentungan.

Meletusnya Insiden Santa Cruz tidak lepas dari kebijakan pemerintah Jakarta. Dalam
analisinya, Sintong Panjaitan mengatakan bahwa semua ini tidak lepas dari kebijakan Presiden
Soeharto. Keberhasilan operasi teritorial selama satu setengah tahun mendorong Presiden
Soeharto memutuskan bahwa Timtim dinyatakan sebagai daerah terbuka, seperti 26 provinsi
lainnya. Menurut Sintong, keputusan Soeharto pada tahun 1990 itu tergesa-gesa. Keputusan itu
menimbulkan gejolak sosial yang mengarah kepada perpecahan di masyarakat. Membanjirnya
pendatang di Timtim menimbulkan bibit pertentangan yang bersifat SARA. Di kalangan
penduduk asli Timtim telah muncul perasaan tidak senang dengan kedatangan suku Makassar
dan Bugis yang di anggap sebagai kelompok penghisap baru dan menghambat kehidupan
ekonomi mereka. Para pendatang menguasai perdagangan sampai tingkat kecamatan. Kondisi
sosial politik masyarakat Timor Timur saat itu mirip jerami kering yang siap dibakar.

2.4 Sabotase oleh Kelompok Prabowo


Mayjen Sintong Panjaitan tahu Peristiwa 12 November 1991 pada saat ia sedang bersama
KSAD Jenderal Edi Sudrajat mengikuti rapat Akmil, Magelang. Esok harinya ia langsung
terbang ke Dili untuk mengambil alih pimpinan. Bagi Sintong ini adalah titik balik dari karier
militernya yang cemerlang. (Diberitakan Sintong kedepan akan mendapat tugas baru sebagai
Asisten 2/operasi Panglima ABRI dalam buku Hendo Subroto, 2009, Sintong Panjaitan:
Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando.
Sintong merasa dalam Insiden 12 November di Dili, terdapat unsur sabotase. Menurut
Sintong, "Memang benar ada orang-orang, mereka itu tentara juga, tetapi mereka berpakaian
preman atau berpakaian seragam militer tidak teratur yang berada di luar komando, ikut
menembak juga di situ." Keadaan orang-orang yang tidak di kenal itu, dibenarkan oleh Kolonel
Binsar Aruan sebagai Komandan Sektor C berdasarkan masukan informasi tentang orang-orang
tak dikenal yang berada di sekitar pekuburan umum Santa Cruz.
Dalam Laporan yang diliris April 2008, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste
menemukan sejumlah kesaksian yang menyebutkan penembakan dilakukan oleh belasan prajurit
dari Kompi A Batalyon 303. Menurut laporan itu, sejumlah tentara bertelanjang dada menembak
dari dalam Taman Makam Pahlawan Seroja yang berseberangan dengan pekuburan Santa Cruz.
Sintong mengaku tidak mengerti mengapa para prajurit itu ada di lokasi. Sebagian anggota
batalyon itu sedang diistirahatkan dari operasi karena stres dan jenuh di hutan. Mengapa mereka
ada di Santa Cruz?
Dikabarkan bahwa kecurigaan Sintong mengarah kepada Prabowo. Hubungan keduanya
memang sudah tak akur sejak 1985. Sintong curiga karena Prabowo sering datang ke Dili,
menemui Letkol Sjafrie Sjamsoeddin--Wakil Komandan Satgas Intel Kolakops Timor Timur,
padahal Prabowo sudah tidak bertugas disana. Selain itu, Prabowo juga sering menemui tokoh
kelompok prointegrasi garis keras, seperti Bupati Manatuto, Abilio Jose Osorio Soares.
Sintong Panjaitan merasa ada yang melaporkan kesalahannya kepada Presiden Soeharto.
Menurut Sintong, Mabes ABRI pernah memberitahukan kepadanya bahwa pada waktu itu Mabes
ABRI belum menyampaikan laporan resmi tentang Peristiwa 12 November di Dili kepada
Presiden Soeharto. Namun, memang sudah banyak laporan masuk ke Presiden, berasal dari
Prabowo dan Letkol Sjafrie Sjamsoeddin, Wakil Komandan Satgas Intel Kolakops Timor Timur.
Insiden Santa Cruz membawa perubahan bagi persaingan internal tentara. Karena tekanan
dunia internasional, ABRI harus bersikap tegas. Maka dibentuklah Dewan Kehormatan Perwira
(DKP) untuk menuntaskan insiden ini. Mayjen Feisal Tanjung terpilih sebagai Ketua DKP.
Sidang DKP memutuskan untuk memberhentikan Mayjen Sintong Panjaitan dari Jabatam
Pangdam Udayana. Sedangkan Brigjen R.S. Warouw dicopot dari jabatan Pangkoopskam
Timtim dan dipensiunkan

Karier militer Mayjen Sintong Panjaitan pun berakhir, Dia memang tidak serta merta
dipecat, tetapi mustahil baginya mendapatkan jabatan strategis dan prestisius. Sangat
bertentangan dengan ramalan banyak pihak sebelum Insiden Santa Cruz, bahwa Sintong
memiliki peluang dengan untuk menjadi Panglima ABRI. Kelak Sintong pensiun dengan pangkat
Letnan Jenderal. Pangkat yang persis sama dengan Prabowo Subianto. Nasibnya juga sama--
difavoritkan untuk jabatan KSAD dan kemudian Pangab, tetapi kariernya harus ditentukan oleh
sidang dewan kehormatan Perwira Enam setengah tahun kemudian, Sintong Panjaitan dan
Prabowo Subianto akan bertemu kembali dalam situasi dan kondisi yang sangat berbeda.

2.5 Penghargaan Terhadap Korban 12 Nopember (SANTA CRUZ)


Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Meskipun TL
merupakan sebuah negara kecil, namun penulis percaya rakyatnya memiliki jiwa besar untuk
mau dan akan selalu mengakui dan mengenang para pahlawan bangsa, baik yang telah
meninggal dunia maupun yang saat ini masih hidup dan terus mendedikasikan hidup mereka
untuk kemajuan bangsa ini. Negara pun menghargai mereka dengan memberikan santunan-
santunan atas dedikasi dan pengorbanan yang telah mereka berikan pada waktu itu. Tulisan ini
tidak bermaksud untuk menjustifikasi bahwa para korban 12 Nopember 1991 adalah satu-
satunya pahlawan bangsa ini. Penulis sadar, perjuangan panjang bangsa TL mengapai ukun rasik
an, tidak ditentukan hanya oleh satu peristiwa itu. Perjuangan bangsa ini telah dimulai sejak
jaman kolonialisme Portugal hingga pada jaman pendudukan Indonesia. Tapi penulis mengakui
bahwa, tragedi 12 Nopember 1991, merupakan salah satu tonggak penting dari perjuangan
bangsa TL mengapai kemerdekaan. Dan menurut penulis, para korban dalam tragedi tersebut
pantas menerima apresiasi yang tinggi dari seluruh rakyat TL.
Pertanyaan yang kemudian timbul dalam benak penulis adalah apresiasi macam apa yang
patut dan pantas diberikan kepada para korban tragedi 12 Nopember? Memberikan santunan
berupa bantuan dana atau misalnya memberikan pekerjaan tetap kepada para korban? Jika
memberikan santunan berupa bantuan dana, siapakah yang lebih berhak mendapatkanya?
Kriteria apa yang digunakan oleh pemerintah atau negara untuk memberikan bantuan, sehingga
bantuan tersebut menjadi tidak salah sasaran? karena sadar atau tidak, di jaman kemerdekaan
seperti ini, tentu banyak orang yang tiba-tiba merasa sebagai pejuang dan yang paling banyak
berkorban. Penulis mengajak para pembaca semua untuk memberikan argumen dan opininya
masing-masing mengenai hal ini. Namu demikian, penulis percaya, jika memang harus
memberikan santunan berupa bantuan kepada para korban tragedi 12 Nopember 1991, tentu
negara telah mempunyai kriteria tersendiri untuk menilai atau menjustikfikasi kepantasan
seseorang.
2.6 Mari Lanjutkan Perjuangan
Perjuangan panjang rakyat dan para pejuang bangsa ini telah melahirkan sebuah negara
baru di abad milenium. Sebuah bangsa kecil yang eksis dengan nama Republica Democratica De
Timor Leste (RDTL). Dalam perjalanannya bangsa ini selalu mengalami berbagai problematika.
Mulai dari sikap para elit politik yang lebih mementingkan kepentingan partai atau golongannya,
sampai pada pertikian antara suku dan ras yang timbul akibat dari keserakahan para pemimpin
bangsa yang nota bene merupakan para pendiri bangsa ini (krisis 2006-2007).
Saat ini, krisis itu telah berlalu. Rakyat TL kembali merajut mimpi mereka. Rakyat telah
sadar dan paham, segala yang terjadi saat ini adalah karena moral para pemimpin yang terlalu
memikirkan kepentingan mereka sendiri. Rakyat sadar, bahwa pengorbanan yang telah diberikan
oleh para pahlawan yang telah gugur, tidak harus menjadi sia-sia, karena kepentingan segelintir
elit politik yang menodai hasil perjuangan dan pengorbanan anak bangsa.
Sebagai salah satu anak muda dari sekian ribu anak muda yang lain, penulis yakin dan
percaya bahwa masa-masa suram itu akan berlalu dengan cepat. Rakyat dan pemuda bangsa ini
akan kembali bersatu, berjuang dengan segenap jiwa dan raga mereka seperti pada masa-masa
perjuangan sebelumnya, dengan satu tujuan mencapai TL yang adil,makmur dan sejahtera.
Perjuangan para kaum muda TL saat ini bukan lagi mengunakan kekuatan fisik, tapi
mengunakan kekuatan intelektual. Perjuangan bukan lagi untuk mengusir penjajah, tapi untuk
mengusir kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan.
Banyak pemuda dan pemudi TL saat ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Indonesia,
Portugal, Australia, Cuba, dan banyak negara lainnya, merupakan tempat di mana ribuan pemuda
berada hanya untuk satu tujuan yaitu membekali diri dengan ilmu pengetahuan, agar di masa
depan mampu membawa TL menjadi sebuah bangsa yang dapat dibanggakan. Dengan kenyataan
ini, penulis yakin kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan yang saat ini menghimpit rakyat
bangsa ini akan segera berlalu.
Dengan mengenang 17 tahun tragedi Santa Cruz, penulis mengajak kita semua para
pemuda, pelajar, dan seluruh mahasiswa Timor Leste di mana pun berada untuk terus
mempererat tali persatuan, bulatkan tekad, melanjutkan perjuangan para pendahulu kita. Jika
para pemuda, pelajar dan mahasiswa pada masa itu telah bersatu dan mampu membuka mata
dunia bahwa bangsa Timor Leste masih ada dan akan terus eksis dalam perjuangan mereka
mengapai kemerdekaan, maka saat ini kita pun bisa melakukan hal yang sama, yaitu membuka
mata dunia bahwa kita pun bisa mengurus negara, bangsa, dan rakyat kita sendiri. Kita tidak
akan pernah menjadi sebuah negara gagal, yang hanya selalu mengemis kepada kedermawanan
bangsa lain. Kita adalah bangsa kecil yang memilik potensi untuk bisa menjadi lebih baik dan
lebih hebat dari bangsa manapun.
Marilah kita belajar dengan sungguh-sungguh, membekali diri kita dengan ilmu
pengetahuan sesuai dengan bidang keilmuan yang telah kita pilih, agar kelak kita tidak menjadi
intelektual "tanpa isi". Kita semua adalah masa depan bangsa. Jika kita mau dan sungguh-
sungguh, maka tidak ada yang tidak mungkin.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pemerintah pusat segera bertindak untuk menyelidiki insiden tersebut. 6 hari setelah
insiden tersebut, dibentuk Komisi Penyelidik Nasional. Komisi ini dibentuk berdasarkan Keppres
no 53/1991. Komisi yang dikenal sebagai KPN Tim-Tim, diketuai oleh Djaelani, seorang Hakim
Agung di MA yang juga pensiunan ABRI, dengan anggota berjumlah 6 orang. Hasil dari komisi
ini relatif ‘lunak’ dan menyatakan ‘hanya’ 50 orang yang menjadi tewas dan 96 orang luka
parah.
ABRI pun membentuk tim bayangan untuk menyelidiki peristiwa ini. Mereka segera
membentuk Dewan Kehormatan Militer (DKM) yang diketuai oleh Mayjen Feisal Tanjung,
Komandan Seskoad pada waktu itu. DKM ini beranggotakan sembilan mayjen, delapan brigjen
dan tujuh kolonel. DKM memeriksa berbagai institusi terkait insiden ini: aparat keamanan sektor
C, kodim, satgas intel, korem, kolakops dan kodam. Sebagai hasil dari penyelidikan DKM,
seluruh pejabat terkait diganti dan sebagian besar dari mereka ‘diparkir’ di Mabesad dan karirnya
mentok.
Menlu Ali Alatas mencoba meredam isu tersebut dengan ungkapan yang terkenal: bahwa
masalah Tim-Tim itu ‘kerikil dalam sepatu Indonesia’. Ungkapan ini ditimpali oleh
MenluAustralia, Gareth Evans, bahwa masalah Tim-Tim telah menjadi ‘batu karang’
bagi Indonesia.
Reaksi dunia internasional mengecam terjadinya insiden ini.Para aktivis di seluruh dunia
menggalang solidaritas terhadap rakyat Tim-Tim. Tapol, sebuah NGO berbasis di Inggris yang
selama ini dicap sebagai anti-Indonesia, meningkatkan jaringannya di Tim-Tim. Di AS,
terbentuk East Timor Action Network (ETAN). Beberapa kelompok solidaritas juga muncul
diPortugal, Australia, Jepang, Jerman, Malaysia, Irlandia dan Brasil.
3.2 Saran
Makalah ini tentunya jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu masukan serta saran dari
para pembaca sangat kami harapkan demi tercapainya kesempurnaan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

1. http://jadihansiplah.blogspot.com/2009/02/timor-timur-12-november-1991.html
2. http://forum-haksesuk.blogspot.com/2008/11/santa-cruz-mari-lanjutkan-perjuangan.html
3. General Board of Global Ministries, The United Methodist Chruch.
4. http://gbgm-umc.org/country_profiles/country_mission_profile.cfm?Id=14 (26 October
2004)

5. http://www.etan.org/lh/bulletins/bulletinsv4n1b.html (5 November 2004)

6. http://65.54.187.250/cgi-
bin/linkrd?_lang=EN&lah=614e34b5aecbea86a233d5db7182395c&lat=1095670642&h
m___action=http%3a%2f%2fwww%2eabc%2enet%2eau%2fasiapacific%2ffocus%2fasi
a%2fGoAsiaPacificFocusAsiaStories_1152106%2ehtm (20 September 2004)

Anda mungkin juga menyukai