Anda di halaman 1dari 280

& yangllahi,Jilid 1

Alam,Kebudayaan
Turunan, Percabangan,dan pengingkarandaiam Teori-Teori
Sosial Budava
O padapenuiis

penulis:lbny Rudyansjah
Editor: FaisalKamandobat
perancangsampul : Geger
Riyanto
PenataLetak: Mapa
GambarCover:"sanrpahMarah"KaryaNasirun

Diterbitkar.roleh
Titian Budaya
JaianCakraRayaNo. L-3,Limo,
Depok 16515,r et p ( 021)7 5 3 1 6 8 8

Bckerjasamadengan:
ProgramPascasarjana DepartemenAntropologl
_
Fakultasllnru Sosialdan Ilmu poiitik Universitas
lnclonesia

Ilak cipta dilindungioleh undang-undangAl/ RightsReserved


Dilarangmengutipatau ilemperbanyaksebagian
atau seluruhisi bukr: ini tanpa izin tertulisdari penerbit

Cetakan Pertama, Juni201i


x v i i i+ 2 5 5 h l m .;l 5 x 23 cm
ISBN: 978-602-990 13-t-3
Alam, Kebudayaan
& Yang Ilahi
Turunan, Percabangan, dan Pengingkaran
dalam Teori-Teori Sosial Budaya

~i~
~ii~
Alam, Kebudayaan
& Yang Ilahi
Turunan, Percabangan, dan Pengingkaran
dalam Teori-Teori Sosial Budaya

Tony Rudyansjah

Titian Budaya
Bekerjasama dengan:
Program Pascasarjana Departemen Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

~iii~
Alam, Kebudayaan & Yang Ilahi, Jilid 1
Turunan, Percabangan, dan Pengingkaran dalam Teori-Teori Sosial Budaya
© pada penulis

Penulis: Tony Rudyansjah


Editor: Faisal Kamandobat
Perancang sampul : Geger Riyanto
Penata Letak : Mapa
Gambar Cover: “Sampah Marah” Karya Nasirun

Diterbitkan oleh
Titian Budaya
Jalan Cakra Raya No. L-3, Limo,
Depok 16515, telp (021) 7531688

Bekerjasama dengan:
Program Pascasarjana Departemen Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang All Rights Reserved


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit

Cetakan Pertama, 2011


xvi +212 hlm.; 15 x 23 cm
ISBN:

~iv~
To my teacher, Raymond Smith
A Small Gift to Ofer
~vi~
Kata Pengantar
Iwan Gardono Sujatmiko Ph.D1

Buku berjudul Alam, Kebudayaan & Yang Ilahi, jilid 1, hasil


karya Dr. Tony Rudyansjah, seorang antropolog, merupakan
buku yang unik. Jika dilihat dari judulnya maka buku ini
membahas berbagai topik yang bukan menjadi fokus yang lazim
para antropolog. Demikan pula ilmuwan yang dibahas dalam
jilid 1 lebih banyak berasal dari disiplin ilmu ilsafat, politik,
ekonomi dan sosiologi seperti homas Hobbes, John Locke,
dan Karl Marx. Selain itu pada jilid 2 (akan terbit) akan dibahas
pula Max Weber, Emile Durkheim, dan Pierre Bourdieu. Namun
penulis juga tetap membahas antropolog terkemuka seperti Frans
Boas, Cliford Geertz, Gregory Bateson, dan David Schneider.
Dalam buku ini sepertinya penulis berusaha menyampaikan
pesan dan harapan pada komunitas akademis dan juga publik.
Penulis, walaupun berasal dari disiplin antropologi, sangat ingin
untuk menembus batas-batas kaku yang terbuat dan dibuat
secara sadar maupun tidak sadar oleh para ilmuwan pada
disiplin masing masing. Buku Alam, Kebudayaan & Yang Ilahi ini
sebenarnya dapat dikatakan dipengaruhi oleh buku sebelumnya
yakni Kekuasaan, Sejarah & Tindakan (2009). Dalam buku
tersebut penulis mencoba mengkombinasikan Antropologi dan

1
Ph.D dalam bidang Sosiologi dari Harvard University. Sekarang
bekerja sebagai dosen Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Indonesia (catatan dari Penerbit)
vii
viii alam, Kebudayaan & yang IlahI

Sejarah namun otonomi dan kelebihan masing masing tetap


dijaga. Dalam hal ini telah terjadi sinergi—bukan sintesis—dan
penulis tidak menggunakan lensa Antropologi Sejarah melainkan
Antropologi dan Sejarah.
Dalam buku Alam, Kebudayaan & Yang Ilahi dapat kita
temukan berbagai hal yang menarik dan dapat mengundang para
ilmuwan sosial dan humaniora untuk lebih relektif dan mencoba
alternatif baru. Dengan kata lain, ilmuwan ditantang untuk
keluar dari “sarang” mereka (“out of the box”) guna memajukan
pengetahun dan sekaligus menawarkan solusi dan kebijakan bagi
publik. Rasa ragu ragu yang dapat muncul hendaknya disikapi
bahwa kita perlu untuk berpikir positif dan optimistik (“beneit
of the doubt”).
Dalam buku ini terdapat tiga pokok pikiran yang menarik
untuk diperhatikan. Pertama, buku ini mencoba menjembatani
fokus pemikiran yang sangat berjarak seperti kosmos yang jauh
dan abstrak dengan dinamika masyarakat di mana manusia
berada. Penulis mencoba membuat peta untuk memahami gejala
tersebut dan dalam peta tersebut terdapat tiang penunjuk jalan
yang didirikan oleh para pelopor ilmu pengetahuan alam, ilmu
pengetahuan sosial dan humaniora dari berbagai disiplin. Dalam
buku ini akan kita dapati para pemikir sosial dan humaniora yang
pada saat itu seringkali tidak terkotak kotakkan dalam displin ilmu
yang sempit. Mereka mempelajari ilsafat, agama, dan budaya
serta beragam ilmu lainnya. Dalam buku ini penulis membahas
fokus lintas disiplin yakni bagaimana ”kosmologi teologis berubah
menjadi pandangan yang evolusionis tentang alam dunia” dan
”ilsafat teologis yang materialis mempengaruhi gagasan bahwa
masyarakat manusia menjadi subyek yang tunduk pada hukum
alam” (halaman 3). Dalam membahas fokus tersebut mereka
dapat berdialog dengan rekan mereka yang berasal dari ilmu lain,
namun mereka dapat pula berdialog dengan diri mereka sendiri
yang menguasai berbagai ilmu. Sebagai seorang antropolog,
Tony Rudyansjah ix

penulis tidak hanya membatasi dan mendalami penunjuk jalan


yang dibuat oleh para antropolog baik yang berada pada masa
lalu (mereka yang berkarya seperti antropolog) maupun masa
kini. Dalam buku ini dibahas bagaimana kaitan antara ilmu
pengetahun alam yang membahas kosmos dan isika (Newton),
biologi (Darwin) dan ilmu sosial (Marx). Pembagian fokus ilmu
antara manusia-masyarakat dengan alam maupun tuhan menjadi
cair dan masing masing disiplin dapat saling memberi manfaat.
Hendaknya kerjasama pada awal perkembangan ilmu modern
tersebut tidaklah diartikan hanya sebagai sejarah ilmu. Proses
kerjasama tersebut yang terjadi pada masa lampau seringkali
terlupakan untuk dilanjutkan dengan berbagai format baru pada
masa kini. Singkatnya buku ini membahas multi tokoh ilmu
pengetahuan yang mempunyai fokus yang saling terkait.
Kedua, buku ini membahas multi disiplin dan dapat
membantu mendekatkan berbagai disiplin ilmu atau beragam
“logos” beserta metodologinya. Pembahasan topik yang biasanya
dilakukan dari sudut analisis disiplin tertentu sebenarnya akan
menjadi lebih kaya jika dibantu dengan teori dan pemikiran
dari berbagai disiplin ilmu lainnya. Pola seperti ini relatif jarang
dilakukan di Indonesia karena egoisme sektoral maupun lemahnya
percaya diri para ilmuwan. Dalam realitanya ilmu yang tadinya
tergabung berkembang terpecah pecah menjadi berbagai cabang
ilmu dan sebenarnya memerlukan upaya reintegrasi untuk lebih
utuh menjelaskan beragam gejala yang kompleks. Sebagai contoh,
masalah lingkungan menunjukkan bagaimana peran ilmuwan
dari berbagai disiplin dari ilmu pengetahuan alam, sosial dan
budaya perlu bekerjasama untuk menghasilkan penjelasan dan
kebijakan yang paling optimal bagi manusia dan alam.
Pesan ini sepertinya sangat tepat untuk komunitas ilmu
sosial dan humaniora di Indonesia di mana seringkali tidak
terjadi interaksi yang sinergis sehingga kurang menghasilkan
kualitas data, metode, dan teori yang lebih baik. Sebenarnya di
x alam, Kebudayaan & yang IlahI

berbagai negara upaya ini dilakukan dengan adanya major dan


minor sehingga wawasan mahasiswa lebih luas. Demikian juga
beberapa negara telah mengembangkan pusat penelitian (Research
Center atau Institute) yang mempunyai fokus pada berbagai topik
lintas disiplin di mana para peneliti, dosen dan mahasiswa dari
berbagai disiplin bekerjasama dan saling melengkapi.
Ketiga, buku ini menyumbang dengan menunjukkan bahwa
studi dan ilmuwan pada disiplin antropologi mempunyai potensi
yang dapat dikembangkan. Buku ini menegaskan kembali
bahwa antropologi bukanlah hanya disiplin ilmu tentang studi
masyarakat sederhana yang seringkali dibayangkan oleh publik
maupun sebagian komunitas akademis. Penulis mencoba
menunjukkan bahwa antropologi dapat membahas manusia
(anthropos) dalam memaknai dan merespon alam yang abstrak
dan misterius maupun masyarakat yang empirik dan kompleks.
Studi tentang manusia dapat dilihat dari aspek kejiwaan
(psikologi) atau kesehatan (kedokteran) namun dapat pula
dilihat secara lebih luas dengan relasi yang saling melintas dan
mempengaruhi dari berbagai disiplin. Antropologi dapat menjadi
“hub” bagi studi yang “anthropocentric”, yang saling terkait
dengan “cosmocentric” maupun “ecocentric.” Keragaman analisis
dalam kesatuan ini sepertinya semakin langka. Kita dapat belajar
hal ini dari kearifan lokal seperti Tri Hita Karana di Bali yang
melihat hubungan kompleks antara manusia, alam dan tuhan
dalam suatu kesatuan.
Upaya memperkenalkan antropologi sebagai ilmu tentang
manusia (anthropos) yang dapat hadir dalam setiap pembahasan
ilmu merupakan upaya yang bermanfaat walaupun tidak mudah.
Hal ini telah dilakukan oleh Cliford Geertz yang menunjukkan
bagaimana antropologi—dengan analisis simbolnya—
mempunyai potensi yang besar dalam menjelaskan dinamika
manusia dan masyarakat. Usaha ini meningkatkan penggunaan
antropologi diluar komunitas antropolog dan sumbangan Geertz
Tony Rudyansjah xi

(antropologi simbolik)—dengan berbagai kritik padanya—


dirasakan oleh para ilmuwan dalam disiplin seperti sosiologi,
ilmu politik dan ekonomi. Mereka menjadi lebih mampu untuk
memahami perilaku masyarakat baik yang sederhana maupun
yang kompleks.
Pengantar singkat ini hanya mencoba untuk melihat
berbagai potensi yang bermanfaat bagi pembaca dan komunitas
akademis. Pembahasan yang lebih mendalam dengan mengkritisi
buku ini serta melihat sumbangannya dan keterbatasannya sangat
dinantikan dalam bentuk tinjauan buku dan diskusi. Kegiatan
tersebut diharapkan akan dapat mengembangkan pesan dan
harapan penulis tentang pentingnya kerjasama antar disiplin ilmu
guna merespon dan mengantisipasi gejala dalam masyarakat dan
alam yang telah, sedang (dan selalu akan) dijelaskan dan dimaknai
oleh manusia.
~xii~
PraKata

Buku ini merupakan jilid pertama dari dua buah buku yang
saling berkaitan namun dapat dibaca secara terpisah. Kedua buku
tersebut berusaha menelusuri akar dari perkembangan teori-
teori sosial dan budaya dari masa klasik hingga masa modern
beserta berbagai turunan dan percabangannya. Usaha tersebut
saya lakukan karena adanya dorongan yang terus mengganggu
kesadaran saya sebagai pengajar yang menyaksikan sebuah
kecenderungan yang halus namun kian meluas di kalangan para
mahasiswa di masa kini, yaitu kegemaran bermain-main dengan
kecanggihan teori-teori paling mutakhir namun sayangnya
acapkali tidak memiliki pemahaman tentang landasan dari
berbagai pemikiran teoritis yang sedang mereka gemari, baik
asal muasal kelahirannya maupun turunan dan percabangannya,
sehingga mereka seringkali sangat canggih dalam membahas
tema-tema khusus yang menjadi “barang jualan” (stock-in-trade)
dari teori-teori mutakhir tersebut, namun celakanya menjadi
sangat gagap ketika ditantang untuk menganalisis dan memahami
persoalan-persoalan kemanusian secara utuh dan padu, sekaligus
tanpa kehilangan pijakan fundamentalnya. Ibarat menikmati
sebuah pohon, kita telah dibuat terlelap oleh satu atau dua jenis
daun yang sedang mekar di musim tertentu namun melupakan
keseluruhan unit-unit lain yang menumbuhkan daun tersebut
seperti cabang, batang, dan terlebih kekuatan dan daya jalar akar-
akarnya.

xiii
xiv alam, Kebudayaan & yang IlahI

Tanpa sepenuhnya disadari, kita pun menjadi terkungkung


ke dalam pandangan yang spesiik dan seringkali kehilangan
pandangan yang lebih bersifat mendasar dan komprehensif.
Pandangan yang bersifat spesialisasi bukannya keliru, namun hal
itu harus dibarengi dengan pandangan yang bersifat utuh dan padu,
sehingga manusia yang tengah digambarkan dapat hadir dengan
segala keseluruhan manusiawinya dan bukan malah diringkus
dalam kesempitan optikal para akademisi spesialis. Atas dasar itu,
kita memerlukan sebuah buku yang mampu memberikan peta
bagaimana berbagai disiplin ilmu pengetahuan pada hakekatnya
berangkat dari beberapa persoalan yang sama, baik yang lahir dari
perenungan teoritis, spekulatif dan aspirasi manusia maupun yang
lahir dari hasil pengamatan atas berbagai persoalan praktis dan
konkrit di sekitar mereka, dan lalu dijawab secara berulang-ulang
dan berbeda-beda oleh para pemikir dari satu zaman ke zaman
lain sesuai aspirasi, kebutuhan, keprihatinan dan perspektifnya
masing-masing, namun itu semua masih berpijak dan lahir
sebagai respon terhadap pemikiran sebelumnya dari berbagai
disiplin ilmu. Pemikir-pemikir di masa itu tidak terkotak-kotak
dalam spesialisasi yang sempit, melainkan masih berpikir lintas
disiplin. Pengertian seperti itu akan sangat membantu bagaimana
keterkaitan berbagai disiplin ilmu itu akan menjadi lebih mudah
dipahami, dan sekaligus membekali kita dengan semacam pelajaran
bagaimana upaya integratif antar disiplin ilmu itu pernah dicapai
di masa lampau, dan dengan begitu sangat mungkin untuk bisa
diupayakan kembali di masa kini dengan konteks dan dimensi
yang sudah pasti jauh lebih rumit dan kompleks daripada di masa
lampau itu. Secara pribadi saya meyakini petunjuk yang telah
dibuat oleh para pemikir di masa lalu bukannya diabaikan apalagi
dibuang begitu saja, melainkan mesti tetap dicermati relevansinya
untuk mengetahui batas-batas di mana sebuah teori dapat terus
dikembangkan, dan ruang di mana sebuah proposisi teoritis lawas
mesti ditinggalkan dan suatu teori yang anyar mesti dikreasi lagi
dalam rangka mampu menjelaskan dan menjawab persoalan
Tony Rudyansjah xv

dan isu kemanusian di masa kini yang semakin sulit dan rumit.
Penjelajahan bagaimana proses pemikiran seperti itu dilaksanakan
oleh pemikir-pemikir di masa lampau, dengan segala keunggulan
dan kelemahannya, merupakan satu pelajaran berharga yang
seharusnya senantiasa kita pahami untuk kita petik pelajarannya
di masa kini. Sejauh pengamatan saya cukup teliti, buku yang
menguraikan bagaimana penjelajahan pemikiran itu dilakukan
oleh pemikir-pemikir di masa lampau sangat langka di tanah
air kita. Dan berangkat dari keprihatinan itulah saya berusaha
membaca dan membongkar ulang berbagai bahan bacaan yang
pernah saya geluti ketika mengambil program doktoral di
Departemen Antropologi Universitas Chicago, dan lalu membaca
kembali dan sekaligus mereleksikan ulang berbagai materi bacaan
tersebut untuk dapat dituangkan ke dalam buku yang sekarang
sedang Anda simak.
Akhir kata, sebagai penulis buku ini, saya merasa tidak
mungkin dapat merampungkan buku ini tanpa dorongan,
bantuan dan saran berbagai pihak, sama seperti daun yang
tidak mungkin tumbuh dan mekar tanpa sari-sari yang diserap
oleh akar dari kedalaman tanah. Pertama, ucapan terima kasih
saya haturkan untuk sosok yang di balik kesederhanaan dan
kerendahan hatinya tersimpan kedalaman dan keluasan pemikiran
yang tak habis diselami, yang bagi saya hampir seperti menyimak
bait-bait dalam puisi Rainer Maria Rilke: Prof. Raymond Smith
yang banyak membimbing saya untuk dapat memahami peta
teori-teori sosial budaya dari masa klasik hingga masa modern.
Kedua, saya ucapan terima kasih saya sampaikan kepada kolega
saya yang hangat dan tekun dari Departemen Sosiologi UI,
Dr. Iwan Gardono Sudjatmiko, yang telah banyak meluangkan
waktu untuk membaca, mengkritisi dan memberikan kata
pengantar untuk buku ini, sehingga membuat buku ini dapat
lebih mudah dipahami. Ketiga, kepada sahabat saya Dr. Iwan
Tjitradjaja selaku Ketua Departemen Antropologi, dan Prof. Dr.
xvi alam, Kebudayaan & yang IlahI

Sulistyowati Irianto, yang keduanya dengan kearifannya telah


memberi kelonggaran waktu di sela-sela kesibukan saya sebagai
tenaga struktural di program pascasarjana Antropologi FISIP-UI
untuk menyelesaikan buku ini; untuk itu saya ucapkan banyak
terima kasih. Keempat, ucapan terima kasih saya sampaikan
kepada rekan saya Geger Riyanto dan Irfan Zakki Ibrahim, yang
dengan ketekunan dan kreativitasnya telah banyak membantu
proses pengeditan dan penerbitan buku ini. Kelima, kepada dua
mahasiswa saya, yakni Faisal Kamandobat ( si penyair “liar”)
dan Sarah Monica (si lugu dengan kemampuan berbahasa yang
indah–begitu kata teman-temannya), yang banyak membantu
memperbaiki kalimat saya yang cenderung terlalu panjang dan
rumit menjadi lebih gampang dibaca dan dipahami. Dan yang
terakhir, kepada anggota keluarga saya, istri saya tercinta Mieke
Zuraida dan dua anak saya, Muhammad Emilio Valeri dan
Natasya Soraya Syahrizad, yang tidak pernah bosan dan lelah
mendorong saya untuk menyelesaikan dan merampungkan buku
ini. Dan terakhir, ucapan terimakasih saya sampaikan kepada para
pembaca, yang kebesaran hatinya telah merelakan buku ini hadir
di tengah kehidupan mereka, dan yang kecerdasan pikirannya
memberi dorongan kritis yang dapat menghindarkan buku ini
agar tidak menjadi dogma melainkan hasil kerja ilmiah yang
dapat terus diperbaiki dan menjadi lebih sempurna.

Depok, Maret 2011


Tony Rudyansjah
Daftar IsI

Kata Pengantar
Iwan Gardono Sujatmiko ..................................................vii
Prakata ...................................................................................xii
Daftar Isi .............................................................................. xvii

Bab 1
Jatuh dari Langit, Mengangkasa dari Bumi: Kelahiran
Ilmu Alam Tentang Masyarakat ..............................................1
Pendahuluan ......................................................................1
Mitos Tentang Penelitian Lapangan ...................................4
Beberapa Oposisi yang Timbul dalam Pemikiran
Antropologi Karena Adanya Perbedaan Antara Masyarakat
Eropa Dengan Masyarakat di Luar Eropa .........................6
Oposisi-Oposisi Yang Lahir dari Perhatian Teoritis ............9
Rasio, Hukum Alam dan Perubahan Kosmologi
Dunia Barat ................................................................12
Kelahiran Ilmu Alam Tentang Masyarakat .......................25

Bab 2
Konsepsi Tentang Masyarakat dan Kebudayaan:
Transformasi dari Agama Menuju Moralitas, Politik
dan Ekonomi .........................................................................56
Ekonomi Sebagai Satu Keutuhan yang Menyeluruh.........61
Emansipasi dari Politik ....................................................72
Dari Sifat Buruk menjadi Kebajikan Sosial ......................83
Akhirnya Ekonomi, Sebuah Emansipasi dari Moralitas ....88

xvii
xviii alam, Kebudayaan & yang IlahI

Bab 3
Karl Marx: Ketegangan Antara Kebebasan
dan Keniscayaan Tindakan Manusia ..................................118
Pendahuluan ..................................................................118
Latar Belakang Pemikiran Marx .....................................120
Masa Studi dan Pengaruhnya Terhadap Karl Marx .........133
Teori Marx tentang Religi, Politik, Ekonomi: Kritik
terhadap Hegel ..........................................................135
Alienasi, Gattungswesen dan Konsepsi Materialis
tentang Sejarah .........................................................152
Ideologi dan Hakekat Manusia ......................................180

Daftar Pustaka .....................................................................241


Indeks...................................................................................251
1

Jatuh DarI LangIt,


MengangKasa DarI BuMI:
KeLahIran ILMu aLaM tentang
MasyaraKat

Pendahuluan
Satu subjek dari aktivitas ilmiah lazimnya tidak dapat
dikatakan sudah memiliki satu otonomi sebagai ilmu pengetahuan
sebelum subyek itu diajarkan di universitas. Demikian kurang lebih
pernyataan yang diberikan E.E. Evans-Pritchard dalam sebuah
kuliah umum di Universitas Oxford, Inggris, berkenaan dengan
masa depan disiplin antropologi.1 Namun apabila kita sepakat
dengan Cliford Geertz bahwa untuk memahami perkembangan
satu disiplin ilmu pengetahuan, yang dalam konteks kita tentu
saja adalah ilmu sosial pada umumnya dan antropologi pada
khususnya, maka yang perlu diperhatikan terutama bukan pada
teori ataupun temuan-temuan para teorisinya, dan bukan juga
pada apa yang dikatakan oleh para apologists yang menelurkan
dan mengembangkan teori ataupun temuannya itu, melainkan

1
E.E. Evans-Pritchard, ‘Social Anthropology: Past and Presents’, dalam
Essays in Social Anthropology, London: Faber and Faber, 1962, hlm. 14
1
2 alam, Kebudayaan & yang IlahI

lebih pada apa yang dilakukan oleh para praktisinya di lapangan.2


Apa yang dilakukan praktisi dalam disiplin antropologi adalah
melakukan etnograi, dan di aspek inilah kita dapat memahami
apa sesungguhnya antropologi itu sebagai satu disiplin ilmu
pengetahuan.
Memang sulit untuk dapat mengatakan kapan disiplin antro-
pologi secara diinitif dilahirkan, namun kebanyakan penulis
menegaskan bahwa ilmu-ilmu sosial, termasuk antropologi,
merupakan “anak” dari Zaman Pencerahan (Enlightenment), dan
dengan demikian dianggap berasal dari abad ke-18. Di Perancis
orang-orang seperti Montesquieu, d’Alembert, Condorcet, Turgot
(kesemuanya terkenal sebagai the Encyclopædists) sampai kepada
Saint-Simon (pemikir yang pertama kali menggagas secara cukup
jelas satu ilmu mengenai masyarakat) seringkali dilihat sebagai
penggagas awal dari ilmu sosial. Sedangkan di Inggris para ilosof
moral dari Skotlandia seperti David Hume, Adam Smith, homas
Reid, Frances Hutcheson, Dugald Steward, Adam Ferguson, Lord
Kames dan Lord Monboddo, yang kesemuanya terinspirasi oleh
Bacon, Newton dan Locke disamping oleh Descartes, adalah para
tokoh yang dianggap sebagai penggagas kelahiran ilmu-ilmu sosial.
Namun apabila kita kembali lagi kepada butir yang
dikemukakan Geertz bahwa yang penting dalam disiplin
antropologi adalah doing ethnography, yang sebetulnya sudah
dilakukan orang jauh sebelum abad ke-18, maka sangatlah
bermanfaat apabila pembahasan bab ini dimulai dengan satu
diskusi mengenai lahirnya satu pandangan tentang masyarakat
manusia sebelum akhir abad ke-18. Tentu saja sangat menarik
apabila kita bisa membahas secara terperinci tulisan-tulisan para
ahli pada abad ke-15 dan ke-16. Manfaat utama yang dapat diambil
dari diskusi semacam itu adalah pemahaman mengenai apakah
di dalam kajian dan pandangan ilmiah tentang manusia terdapat

2
Cliford Geertz, he Interpretation of Cultures, 1973, hlm. 5
Tony Rudyansjah 3

penelitian di masa kini yang sungguh-sungguh dapat dikatakan


baru dibandingkan dengan masa sebelumnya. Kendati demikian,
konsultasi langsung kepada karya Arthur O. Lovejoy he Great
Chain of Being, karya Margaret T. Hodgen Early Anthropology in
the 16th & 17th Century, ataupun karya Clarence J. Glacken Traces
on the Rhodian Shore akan sangat bermanfaat bagi para pembaca
yang ingin secara lebih rinci dan lebih mendalam mengetahui
(1) antikuitas dari persoalan-persoalan yang ada di dalam ilmu-
ilmu sosial; dan (2) konteks sosial dan budaya yang menjadi
dasar landasan dari pengaruh–pengaruh pemikiran terhadap
persoalan-persoalan itu. Karya-karya tersebut, selain memberikan
perspektif mengenai antikuitas dari perhatian dan persoalan yang
ada di dalam ilmu-ilmu sosial, juga memberikan kita pemahaman
tentang berbagai oposisi yang senantiasa muncul dalam ilmu-
ilmu sosial hingga masa kini, sehingga oposisi-oposisi tersebut
penting untuk selalu kita perhatikan dan ditelusuri kembali. Dua
di antaranya adalah: (1) oposisi antara satu konsepsi yang bersifat
teologis tentang rasionalitas dengan satu konsepsi ilmu alam
tentang rasionalitas tersebut; dan (2) oposisi antara positivisme
dengan romantisisme yang merupakan reaksi atasnya.
Dalam pembahasan di buku ini saya hanya akan mendis-
kusikan dua pertanyaan utama, yakni: (1) bagaimana satu
kosmologi yang bersifat teologis bisa berubah menjadi satu
pandangan yang bersifat evolusionis tentang alam dunia; dan (2)
bagaimana satu ilsafat yang bersifat materialis bisa mempengaruhi
munculnya satu gagasan bahwa masyarakat manusia dapat
diperlakukan sebagai satu entitas yang alami sekaligus bersifat
“pasti”, atau, dengan kata lain, sebagai satu subyek yang tunduk
pada hukum-hukum alam. Untuk bisa menjawab dua pertanyaan
kunci itu, kita perlu untuk terlebih dahulu memahami sedikit
tentang latar belakang dari perkembangan ilmu-ilmu sosial,
terutama disiplin antropologi.
4 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Mitos Tentang Penelitian Lapangan


Pandangan bahwa dalam ilmu sosial dan terutama
antropologi, kegiatan penelitian lapangan3 dimulai oleh Bronislaw
Malinowski di kepulauan Trobriand dan Franz Boas di Indian
Eskimo sesungguhnya merupakan juga satu mitos. Adam Kuper,
misalnya, ketika membahas Malinoski, mengungkapkan bahwa
Malinowski beserta murid-muridnya merasa bahwa diri mereka
adalah pendiri dari profesi antropologi sosial.
“… Malinowski, and many of his students, felt that he was
much more than a pioneer in method…. He claimed to
be the creator of an entirely new academic discipline…. A
whole generation of his followers were brought up to believe
that social anthropology began in the Trobriand islands in
1914.”4
[“… Malinowski dan banyak dari murid-muridnya merasa
bahwa ia lebih dari sekedar seorang pelopor di dalam ranah
metode… Ia menyatakan dirinya sebagai pencipta dari satu
disiplin akademik yang baru…. Keseluruhan generasi dari
para pengikutnya dididik untuk percaya bahwa antropologi
sosial dimulai di kepulauan Trobriand pada tahun 1914.”]

Tanpa mengecilkan sumbangan yang diberikan oleh


Malinowski dan Boaz, Pandangan dan kepercayaan seperti itu
perlu dipertanyakan ulang. Kita dapat mengetahui melalui
catatan-catatan yang dibuat oleh Joseph Marie Degerando yang
hidup dari tahun 1771 hingga 1842 bahwa usaha mengamati dan
mencatat secara ilmiah adat-istiadat berbagai macam masyarakat
manusia di luar Eropa sudah dilakukan oleh banyak ahli jauh

3
satu usaha mencatat secara hati-hati dan terperinci mengenai adat-
istiadat masyarakat manusia, yang kemudian membentuk klaim
ilmiah disiplin antropologi, dan secara umum disepakati oleh para
ilmuwan sosial khususnya antropolog sebagai etnograi, sekaligus
yang membedakan disiplin antropologi dari disiplin ilmu-ilmu sosial-
humaniora lainnya.
4
Adam Kuper, Anthropology and Anthropologist, 1983, hlm. 1.
Tony Rudyansjah 5

sebelum masa hidup Degerando sendiri.5 Bahkan pendapat


bahwa Auguste Comte dan Edward Burnett Tylor masing-
masing adalah the founding father dari sosiologi dan antropologi
patut untuk dipertanyakan kembali. Margaret T. Hodgen dalam
bukunya mendiskusikan bagaimana para penjelajah dunia seperti
Caius Julius Solinus, Pomponius Mela, Pliny, Berosus, Isodore,
Fransiscan Bartholomaeus Anglicus, dan Marco Polo melakukan
perjalanan mereka, dan bagaimana laporan-laporan yang mereka
tulis tersebar secara luas di Eropa, terutama baik di kalangan
para ahli agama yang tertarik melakukan usaha-usaha misionaris,
maupun di kalangan para usahawan yang tertarik akan dunia
perdagangan di Timur Jauh dan Timur Tengah.
Semua informasi historis di atas tentu sudah pernah kita
dengar, namun satu hal perlu diingat adalah bahwa pengamatan
dan pencatatan secara ilmiah itu sudah dilakukan jauh sebelum
abad ke-19, tepatnya sejak abad ke-13, atau bahkan sejak abad
ke-5 sebelum Masehi, seandainya Anda tidak keberatan dengan
memasukkan Herodotus sebagai salah seorang etnografer.
Pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan para penjelajah dunia
pada abad ke-13 itu tidak jauh berbeda dengan pertanyaan-
pertanyaan yang seringkali diajukan oleh para ilmuwan sosial
“modern”—khususnya antropologi—di masa kini.6 Di antaranya,
bagaimana kebudayaan masyarakat itu? Bagaimana pakaian yang
mereka kenakan? Bagaimana tempat tinggal mereka dibangun?
Apa yang mereka makan? Bagaimana makanan disiapkan?
Bagaimana mereka hidup, dari bertani, dari beternak, atau dari
menangkap ikan sebagai nelayan? Dari mana pasangan hidup
diambil? Berapa banyak istri yang bisa dimiliki seorang laki-
laki? Dari kategori kerabat bagaimana seorang istri atau suami

5
Catatan Joseph Marie Degerando diterbitkan kembali pada tahun
1969 di London oleh Routledge & Kegan Paul dengan judul he
Observation of Savage Peoples.
6
Margaret T. Hodgen Early Anthropology in the 16th & 17th
Century,1971, hlm. 60.
6 alam, Kebudayaan & yang IlahI

dipilih? Apakah seorang janda dikawinkan kembali? Bagaimana


warisan dilimpahkan? Bagaimana kepercayaan keagamaan yang
mereka miliki? Kesemua pertanyaan itu mirip dengan daftar Notes
and Inquiries in Anthropology, yang biasanya dijadikan pegangan
pokok bagi setiap ahli antropologi yang mau melakukan penelitian
lapangan. Namun apabila kita menyadari bahwa kesemua itu
telah ditulis lebih dari 700 tahun yang lalu, atau sekitar tahun
1250-an, maka bisa dimaklumi bahwa di dalam ilmu ilmu sosial,
sesungguhnya kita belum terlalu banyak membuat kemajuan
yang berarti. Jauh sebelum Colombus melakukan perjalanan
perdagangan ke Timur Jauh, Marco Polo sudah melakukan
perjalanan untuk satu ekspedisi perdagangan ke Mongolia, Cina
dan sebagian dari India pada saat ia masih berusia 21 tahun.7
Meskipun laporan yang diterbitkan Marco Polo pada hakekatnya
merupakan buletin ekonomis dan komersial, ia sudah secara
sungguh-sungguh belajar bahasa-bahasa lokal dari masyarakat-
masyarakat yang disinggahinya supaya bisa memahami dan
mengamati secara baik kebiasaan-kebiasaan dari masyarakat-
masyarakat itu.

Beberapa Oposisi Yang Timbul Dalam


Pemikiran Antropologi Karena Adanya
Perbedaan Antara Masyarakat Eropa Dengan
Masyarakat Di Luar Eropa
Tradisi untuk membuat eksiklopedia etnologis dan upaya
mengumpulkan bahan-bahan peragaan untuk meseum mulai
berkembang dengan pesat dan subur pada pertengahan abad
ke-16, ketika laporan-laporan tentang dunia baru di luar Eropa
banyak diterbitkan orang. Kesemua laporan itu pada dasarnya
merupakan satu konstelasi berbagai macam sumber mengenai
kehidupan dan kebudayan dari berbagai bangsa di dunia masa

7
Marco Polo he Travels of Marco Polo, 1946 [1559]. Diterjemahkan
dan diedit oleh William Marsden, London: Everyman’s Library.
Tony Rudyansjah 7

itu. Namun sebagaimana dikemukakan Margaret T. Hodgen,


minat utama pada masa itu masih sebatas kategori di dalam mana
bahan-bahan etnologis itu mungkin untuk bisa disusun. Dengan
kata lain, para pengamat Eropa pada masa itu masih menekankan
perbedaan-perbedaan yang ada antara masyarakat mereka sendiri
dengan masyarakat di luar Eropa yang sedang mereka amati dalam
hal perkawinan, rumah tangga, ritus-ritus upacara dan agama,
peperangan, senjata, pengertian keadilan, maupun mas kawin.
Dalam konteks ini, kita sudah dapat menemukan asumsi yang
kemudian muncul dalam diri ahli-ahli seperti Adam Fergusson dan
bahkan Henry Sumner Maine pada abad ke-19, bahwa keluarga
merupakan dasar dan bentuk yang paling awal dari masyarakat
manusia. Perhatian para pengamat di masa itu sudah diarahkan
pada perbedaan antara masyarakat yang anggota-anggotanya
kawin dengan anggota dari dalam kelompoknya sendiri di satu
sisi dibandingkan dengan masyarakat yang anggota-anggotanya
kawin dengan anggota dari luar kelompoknya di sisi lain. Dengan
demikian, perhatian sesungguhnya sudah dicurahkan kepada
masyarakat yang bercorak endogamis, eksogamis, monogamis,
poligamis, maupun poliandris, walaupun istilah-istilah itu sendiri
sebagai satu istilah teknis belum ditemukan pada masa itu.
Hal lain yang juga sudah diamati secara serius adalah
perbedaan antara masyarakat di mana mas kawin merupakan satu
hal yang umum dilaksanakan dengan masyarakat di mana mas
kawin tidak lazim dikenal. Bahkan sejak awal abad ke-16, para
penjelajah Eropa itu sudah mencatat arti penting teori tentang
konsepsi dalam masyarakat Arab. Dalam masyarakat Arab,
konsepsi mengenai ketidaksahan anak tidak dikenal orang, karena
apa yang selalu diperhitungkan orang dalam melihat keturunan
adalah si ayah, sedangkan si ibu hanya dianggap sebagai sesuatu
yang memberi wadah perlindungan dan makanan bagi sang bayi.
Dengan demikian, setiap bayi merupakan anak yang sah dari si
ayah (si lelaki), meskipun si bayi tersebut dilahirkan dari seorang
8 alam, Kebudayaan & yang IlahI

budak wanita. Hal ini merupakan satu situasi yang sangat kontras
berbeda dengan situasi yang berkembang di daerah koloni-koloni
Eropa dari abad ke-17 hingga abad ke-19, di mana status dari
anak selalu diperhitungkan melalui garis ibunya. Yang patut
dicatat di sini adalah bahwa perbedaan-perbedaan itulah yang
justru menarik perhatian orang-orang Eropa ketika mengamati
masyarakat-masyarakat di luar Eropa kala itu. Teori tentang arti
penting konsepsi terhadap legitimasi dan ilegitimasi keturunan
sudah dikembangkan lebih kurang 400 tahun jauh sebelum
Malinowski mengembangkan satu teori yang disebutnya dengan
istilah ‘ignorance of physiological paternity’ di kalangan masyarakat
kepulauan Trobriand.
“he correlation of the mystical with the physiological aspects
in pregnancy belief—of the origin of the child in Tuma and
its journey to the Trobriands with the subsequent processes
in the maternal body, the welling up of the blood from the
abdoment to the head and down again from the head to the
womb—provides a co-ordinated and self-contained, though
not always consistent, theory of the origin of human life. It
also gives a good theoretical foundation for matriliny; for the
whole process of introduction new life into a community lies
between the spirit world and the female organism. here is
no room for any sort of physical paternity.” 8
[Korelasi antara aspek mistik dengan aspek isiologis dalam
soal kepercayaan tentang kehamilan—seperti asal usul
bayi dari Tuma dan pengembaraan si bayi di kepulauan
Trobriand yang diikuti oleh proses selanjutnya di dalam
badan si ibu, termasuk mengalirnya darah dari perut ke
kepala dan dari kepala ke rahim—memberikan satu teori
yang terkoordinasikan dan berdiri sendiri tentang asal usul
kehidupan manusia, meskipun teori itu tidak selalu bersifat
konsisten. Hal ini memberikan juga satu landasan teoritis
yang baik tentang matrilini, karena keseluruhan proses
penghantaran sebuah kehidupan baru ke dalam komunitas
terletak di antara dunia roh dan organisme wanita. Dalam
konsepsi ini tidak terdapat ruang bagi paternitas isikal.”]

8
Bronislaw Malinoski, he Sexual Life of Savages, 1987, hlm. 153
Tony Rudyansjah 9

Masalah ini (baca: ‘ignorance of physiological paternity’)


pernah menjadi satu topik pembicaraan yang popoler dalam
pesta-pesta mewah kalangan jetset di London pada tahun 1920-an,
dan Malinowski senantiasa menjadi bintang yang selalu menarik
perhatian banyak orang manakala menceritakan subyek itu di
dalam berbagai cocktail parties. Perbedaan-perbedaan observasi
biasa inilah yang justru menarik perhatian para pengamat Eropa
yang memperhatikan masyarakat di luar Eropa. Disamping
masalah-masalah yang bersifat empiris tersebut, ada juga oposisi-
oposisi yang lahir dalam pemikiran antropologi karena keasyikan
yang bersifat teoritis.

Oposisi-Oposisi Yang Lahir Semata-Mata dari


Perhatian Teoritis
Di halaman atas kita telah mendengar nama si petualang
Marco Polo. Seperti lazim diketahui, ia tertarik terhadap eksplorasi
etnograis dan etnologis, namun juga perlu dicatat—dan ini yang
jarang ditekankan—Marco Polo juga seorang yang giat dalam
mengumpulkan keterangan-keterangan ekonomis masyarakat, dan
hal ini ada hubungannya dengan situasi yang ada di Eropa semasa
hidupnya Marco Polo sendiri. Di Eropa, prinsip-prinsip ekonomi
yang dicoba dipahami orang pada dasarnya sudah berkembang jauh
sebelum masa monastery (kebiaraan) terjadi. Pada dasarnya seluruh
sejarah perkembangan ilmu ekonomi menempatkan Aristoteles di
posisi yang sangat terhormat sebagai seorang tokoh pemikir yang
meletakkan dasar bagi kategori analitis ekonomi, seperti perbedaan
antara berbagai bentuk pertukaran, yang pada hakekatnya dapat
disamakan dengan perbedaan yang lebih terkenal di masa kemudian
sebagai ‘use- value’ dan ‘exhange-value’. Telah sejak lama gereja
Kristiani di Eropa sudah berperan sebagai “penjaga” dari teori sosial
dan ekonomi. Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa teori
sosial dan ekonomi sudah sejak dari dahulu kala telah terkristalisasi
ke dalam dogma-dogma moral dan agama.
10 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Sebagaimana lazimnya semua gerakan yang bersifat


kharismatik, maka gereja awal Kristiani menentang juga berbagai
macam bentuk kekayaan yang bersifat duniawi. Namun sebagaimana
semua gerakan kharismatik, gereja pun harus bersentuhan dengan
dunia nyata dan sekaligus harus menjadikan dirinya satu organisasi
yang kompeten dan profesional. Dalam sebuah buku yang terbit
pada tahun 1983 berjudul he Development of Family and Marriage
in Europe, Jack Goody berusaha menunjukkan bagaimana gereja
pada sekitar tahun 580 Masehi berhasil memiliki sebagian besar
tanah di Eropa, melalui monopoli yang dipegangnya berkenaan
dengan proses penyelamatan jiwa manusia. Dapat dikatakan
bahwa gereja menjadi tuan tanah terbesar di Eropa pada masa
itu terutama dikarenakan para janda yang saleh mengalihkan
segala perhatian dan tenaganya yang semula untuk urusan dan
kepentingan keluarga menjadi dicurahkan untuk kepentingan
gereja pada saat ditinggal pergi oleh suaminya pada saat sang suami
meninggal dunia. Dengan demikian, gereja tidak hanya menjadi
pusat teoritis pemikiran ekonomis, namun sekaligus menjadi juga
pusat praktis kegiatan ekonomis, atau praktek-praktek ekonomi
praktis, yang pada awalnya sangat erat berkaitan dengan urusan-
urusan intern tatanan monastik. Dan barang siapa menyimak
tulisan Max Weber Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism,
akan diingatkan dengan pernyataannya yang sangat dramatis saat
menyatakan bahwa adalah semangat dari ketentuan-ketentuan
monastik yang menyusup ke dalam kehidupan sekuler dan pasar
itulah yang menjadi dasar utama dari masyarakat burjuis yang
kapitalis. Tak dinyana lagi sangat banyak praktek-praktek dan
teori-teori sosial dan ekonomi yang berkembang dalam konstilasi
serupa itu. Kesemua itu telah terlebih dahulu mengumandangkan
bagaimana pemikiran-pemikiran yang lebih kemudian berkembang
pada dasarnya lahir dari praktek-praktek yang bersifat praktis. Dua
permasalahan utama yang menarik perhatian saya di sini adalah:
(1) peranan unsur-unsur ideologis, kultural dan intelektual yang
secara mendalam bergulir dalam sistem konsepsual masyarakat
Tony Rudyansjah 11

Barat, dan (2) interpretasi mengenai praktek sosial yang sedang


mengalami perubahan itu. Unsur-unsur ideologis, kultural dan
intelektual itulah yang mengalir sebagai pokok bahasan utama di
dalam buku Hodgen yang telah saya sebut. Hal serupa muncul
kembali di dalam analisisnya George W. Stocking mengenai sejarah
pemikiran antropologis.9
Semua topik permasalahan di atas itu merupakan isu yang
didiskusikan dengan brilyan oleh Lovejoy dalam opusnya, he
Great Chain of Being. Tercakup dalam isu-isu tersebut pertanyaan-
pertanyaan mengenai (1) hubungan antara Ilahi yang sempurna
dan transcenden di satu sisi, dengan ketidak-sempurnaan dan
kompleksitas yang beranekaragam dari dunia nyata di sisi lain;
(2) hubungan antara cerita biblikal tentang asal usul dunia
dengan fakta yang didasarkan atas pengamatan tentang adanya
perbedaan-perbedaan rasial, linguistik dan agama umat manusia;
dan (3) oposisi abadi antara hirarki dan kesetaraan. Pertanyaan-
pertanyaan ini secara tak terhindarkan selalu dihadapi oleh setiap
umat Kristen di Eropa pada saat mereka mulai memperluas
cakrawala kosmosnya sekaligus mulai bertemu dengan orang-
orang yang berasal dari kebudayaan yang berbeda: Siapakah
orang-orang ini sebenarnya? Apakah mereka pria dan wanita?
Apakah mereka hamba-hamba Allah (children of God)? Produk
dari berbagai percobaan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan
ini tersebar kembali di pusat-pusat kaum terpelajar Eropa di
mana pertanyaan-pertanyaan teologis mulai menjadi bahan
perdebatan masyarakat. Di sana—di pusat kalangan terpelajar
itu—berbagai pertanyaan tersebut dihubungkan satu sama lain,
dan kesemuanya dikaji kembali sebagai tujuan inti dari minat
intelektual kaum terpelajar Eropa ketika itu. Dengan kata lain,
kesemua itu terkemas ke dalam satu konsep yang terkenal sebagai,
dalam frasa yang anggun dari Lovejoy, “the great chain of being”
(mata rantai raksasa dari segala yang ada) dari semesta ini.

9
Lihat George W. Stocking, Race, Culture, and Society, 1982
12 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Rasio, Hukum Alam dan Perubahan Kosmologi


Dunia Barat
Diskusi yang dipaparkan Lovejoy tentang cara bagaimana
masyarakat Eropa mengkonfrontir pertanyaan mengenai hubungan
antara Tuhan yang Maha Sempurna dengan dunia yang tidak
sempurna, dan cara bagaimana problema ini menjadi sesuatu yang
konstan dalam proses pemikiran tradisi Kristen di pusat kebudayaan
Eropa, merupakan satu model bagaimana satu analisis kultural
dapat kita lakukan. Di sini kita berhadapan dengan apa yang oleh
Braudel disebut sebagai struktur dari longue durée.
“For us historians, a structure is of course a construct, an
architecture, but over and above that it is a reality which
time uses and abuses over long periods. Some structures,
because of their long life, become stable elements for an
ininite number of generations: they get in the way of
history, hinder its low, and in hindering it shape it….
As hindrances they stand as limits (“envelopes,” in the
mathematical sense) beyond with man and his experiences
cannot go. Just think of the diiculties of breaking out of
certain geographical framework, certain biological realities,
certain limits of productivity, even particular spiritual
constrains: mental frameworks too can form prisons of the
longue durée.”10
[Bagi kita sejarawan, sebuat struktur tentu saja merupakan
sebuah konstruksi, sebuah arsitektur, namun di atas segalanya,
ia merupakan sebuah realitas yang memperlakukan waktu
dalam sebuah periode yang panjang. Beberapa struktur,
karena memiliki kehidupan yang panjang, menjadi elemen
yang bersifat stabil untuk beberapa generasi dengan
cakupan waktu yang panjang: stuktur dengan demikian
mempengaruhi sejarah dan bahkan menjadi tembok
penghalang arah geraknya, dan dalam menghalanginya,
ia juga mempengaruhi bentuk sejarah. Sebagai tembok
penghalang, mereka berperan sebagai pembatas (amplop
dalam pengertian matematis) di luar mana manusia dan
pengalaman manusia tidak mungkin untuk bisa melakukan

10
Fernand Braudel, On History, 1980, hlm. 31.
Tony Rudyansjah 13

penjelajahan. Pikirkan saja bagaimana sulitnya kita bisa


keluar dari bingkai geograis, realitas biologis tertentu,
batas-batas produktivitas tertentu, atau bahkan hambatan-
hambatan spiritual tertentu: kerangka mentalpun dapat
membentuk penjara dari longue durée.]

Dengan begitu struktur dari longue durée dapat disimpulkan


juga sebagai sistem gagasan yang tetap stabil dalam bentangan
waktu yang panjang sekaligus berperan menjadi unsur-unsur
yang stabil dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tentu saja
persoalan bagaimana sistem gagasan semacam itu diproduksi
dan diproduksi kembali dari satu generasi ke generasi berikutnya
merupakan sebuah tugas yang lebih sulit daripada sekedar
menelusuri kontinuitas dari sistem gagasan tersebut. Kecuali kita
percaya bahwa gagasan bisa mempunyai kehidupan tersendiri
yang lepas dari kehidupan manusia, maka persoalan bagaimana
sistem gagasan diproduksi dan diproduksi kembali dari satu
generasi ke generasi berikutnya mau tak mau merupakan sebuah
pokok permasalahan penting yang harus dijawab.
Pada dasarnya masalah intelektual yang dihadapi insan
Kristiani di Eropa sangat sederhana, yaitu bagaimana Sesuatu yang
Maha Sempurna dan Maha Kuasa dapat menciptakan satu dunia
yang tidak sempurna dengan berbagai macam makhluk hidup
yang “dungu” dan “perusuh”—satu dunia yang membutuhkan
reproduksi/kelahiran dan kematian. Kesemua ini merupakan
pertanyaan yang dihadapi banyak agama, sebuah masalah yang
disebut Max Weber sebagai the problem of evil. Masalah ini tetap
menghantui banyak orang hingga sekarang.
Salah satu solusi yang ditawarkan untuk menjawab pertanyaan
yang menghantui itu adalah dengan cara mengajukan satu gagasan
akan adanya dekadensi dan fallen angel dalam kehidupan umat
manusia. Dengan meminjam gagasan St. Augustine (354 – 430
Masehi), pertanyaan bagaimana Tuhan yang bersifat absolut bisa
menciptakan satu dunia yang tidak sempurna dijawab pada akhir
Abad Pertengahan dengan seperangkat gagasan yang mempunyai
14 alam, Kebudayaan & yang IlahI

baik konsekuensi logis maupun praktis. Seperangkat gagasan awal


dari St. Augustine inilah yang menjadi dasar bagi gagasan-gagasan
yang kemudian berkembang dalam pemikiran modern. Salah
satu yang paling penting dari sistem gagasan ini adalah apa yang
disebut Lovejoy sebagai principle of plenitude, yang mengandung
rumusan di mana Satu hal yang Maha Sempurna mempunyai
keharusan memperluas dirinya sendiri ke dalam berbagai bentuk
kehidupan yang ada dengan cara menghasilkan dunia pengalaman
dan inderawi yang beragam dan yang kelihatannya tidak begitu
sempurna. Pernyataan ini kelihatannya tidak begitu logis, namun
hal itu selama beberapa abad mewujudkan konsep rasionalitas.
Rasionalitas, sebagaimana dapat kita lihat, merupakan satu
konsep yang sangat sulit, meskipun menduduki posisi yang sangat
sentral dalam berbagai teori sosial. Konsep rasionalitas diselimuti
oleh sebuah kompleks persoalan yang sangat beragam dan rumit.
Reason atau akal diargumentasikan terdapat dalam pikiran Yang
Maha Sempurna. Oleh sebab itu, reason dipahami harus terungkap
di dalam semua karyaNya. Memahami reason berarti memahami
Yang Ilahi itu sendiri. Reason merupakan sebuah prinsip di mana
segala hal dapat dikembalikan dan dipahami. Sebagai sebuah
ilustrasi, maka dapat dikemukakan di sini bahwa rasionalitas me-
rupakan satu bagian yang hakiki dari doktrin gereja Kristen yang
menegaskan bahwa nilai dari segala hal yang ada di dunia sudah
pasti dan tetap di hadapan hukum-hukum alam. Hukum-hukum
alam diartikan sebagai hukum Tuhan. Dengan demikian, nilai
segala sesuatu merupakan satu nilai yang sudah adil adanya, bahkan
dengan mengacu kepada reason, karena reason pada hakekatnya
merupakan sesuatu yang terdapat dalam pemikiran Ilahi.
Dengan begitu, pertanyaan sosial di atas (baca: kenapa
Tuhan yang Maha Kuasa dapat menciptakan sebuah dunia yang
tidak sempurna), sebagai satu pokok penelaahan, merupakan
suatu hal yang pada dasarnya bersifat teologis dan hakiki bagi
makna Ilahi yang ada di balik berbagai penampilan dari segala
Tony Rudyansjah 15

apa yang ada di alam semesta. Tentu saja uraian ini biasanya
merupakan juga bukti yang diajukan dalam argumentasi bahwa
kapitalisme sesungguhnya sudah ada jauh sebelum timbulnya
Reformasi Protestanisme yang dipelopori oleh Martin Luther
dalam perlawanannya terhadap hegemoni gereja Romawi pada
tahun 1517. Di samping hal-hal yang bersifat teoritis, seperti
konsep teologis tentang nilai yang adil, maka kota Florence sudah
merupakan pusat perbankan dan perdagangan jauh sebelum
adanya Reformasi Protestantisme itu sendiri. Meskipun begitu,
terdapat sebuah perbedaan yang sangat hakiki antara penyesuaian
hukum-hukum agama dalam pengakomodasian barang-barang
perdagangan di satu sisi dan di sisi lain, dukungan sepenuhnya
hukum-hukum agama terhadap pengejaran keuntungan materiil
itu sendiri. Santo homas Aquinas (1225-1274) dalam bukunya
Summa heologica berupaya merumuskan hukum-hukum alam
Abad Pertengahan. Menurutnya, oleh karena segala sesuatu tunduk
kepada Amanat Ilahi, dan diatur serta diukur oleh hukum-hukum
abadi sesuai dengan faktanya, maka segala sesuatu mengambil
bagian di dalam hukum-hukum abadi, sejauh mereka semua
mengarahkan kecenderungan-kecenderungan masing-masing
pada tindakan yang tujuannya merupakan tindakan dan tujuan
mereka yang sebenarnya. Di antara semuanya yang lain, makhluk
yang rasional tunduk kepada Amanat Ilahi dalam cara yang
paling sempurna sejauh mereka sebagai makhluk yang rasional
mengambil bagian dalam Amanat itu dengan menjadikan dirinya
sendiri sebagai Amanat itu baik buat dirinya sendiri maupun buat
yang lainya. Dengan demikian, makhluk yang rasional mengambil
bagian dalam eternal reason yang menyebabkannya mempunyai
kecenderungan alami menuju kepada tindakan dan tujuannya
yang semestinya. Partisipasi dari makhluk-makhluk rasional
dalam hukum-hukum yang abadi inilah yang disebut sebagai
hukum alam. Menurut theodisi ini, segala hal, termasuk apa yang
kelihatannya buruk (evil), harus dipahami sebagai bagian yang
hakiki dari Yang Maha Tahu. Di dalam Abad Pertengahan, nama
16 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Aristoteles (384 - 322 Sebelum Masehi) sangat dihormati karena


sudut pandang ilosoisnya dapat secara elok dikombinasikan
dengan pikiran Kristiani masa itu—satu sintesa yang kemudian
dapat disempurnakan secara mengagumkan oleh homas
Aquinas. Carl Becker dalam bukunya he Heavenly City of the
Eighteenth Century Philosophers (1932) menegaskan bahwa Santo
homas Aquinas menulis berpuluh-puluh buku hanya untuk
meyakinkan dunia terhadap persoalan theologis yang rumit ini.
Lovejoy mengutip Macrobuis untuk menyimpulkan teori
Neoplatonis mengenai principle of plenitude, yang rumit itu,
dengan rumusannya:
“Since, from the Supreme God Mind arises, and from Mind,
Soul, and since this in turn creates all subsequent things
and ills them all with life, and since this single radiance
illuminate all and is relected in each, as a single face might
be relected in many mirrors places in a series; and since
all things follow in continues succession, degenerating in
sequence to the very bottom of the series, the attentive
observers will discover a connection of parts, from the
Supreme God down to the last dregs of things, mutually
linked together and without a break.”11
[Oleh karena, dari Yang Maha Ilahi lahir Akal, dan dari
Akal lahir Roh, dan oleh karena hal ini pada gilirannya
menciptakan segala hal yang berikutnya ada, dan memenuhi
kesemuanya itu dengan kehidupan, dan oleh karena cahaya
yang tunggal ini memancarkan segala hal dan dipantulkan
kembali dalam hal itu masing-masing bak sebuah wajah
yang bisa dipantulkan kembali di dalam sejumlah kaca-
kaca yang ditempatkan secara berurutan; dan oleh karena
segala hal yang ada terdapat dalam sebuah rangkaian yang
berkesinambungan menurun sampai pada dasarnya yang
paling bawah dari rangkaian itu, maka pengamat yang jeli
akan menemukan adanya satu koneksi dari bagian-bagian
itu yang berasal dari Yang Maha Ilahi menurun sampai
pada ampas-ampas terakhir dari segala hal yang ada itu,
kesemuanya berkaitan satu sama lain tanpa terputus.]

11
Arthur O. Lovejoy, he Great Chain of Being. 1964, hal. 63.
Tony Rudyansjah 17

Kutipan ini mengingatkan kita akan cerita yang sering


dikutip oleh para ahli antropologi, seperti Cliford Geertz12,
ketika seorang Indian ditanya oleh seorang Inggris mengenai
bagaimana alam raya dibangun di dalam berbagai macam tingkat
di mana dunia bertengger di atas sebuah panggung yang pada
gilirannya berada di atas pundak seekor gajah, yang mana gajah
itu pada gilirannya berada di atas punggung kura-kura. Si Inggris
itu bertanya di mana kura-kura itu berdiri, dan dijawab oleh si
Indian bahwa kura-kura itu berdiri di atas kura-kura yang lain. Si
Inggris bertanya lagi, bagaimana dengan kura-kura yang lain itu,
dan dijawab oleh si Indian bahwa kura-kura itu tumpah tindih
ke bawah sampai pada dasar yang paling dalam. Cerita ini mirip
dengan gambaran tentang ampas-ampas terakhir dari segala yang
ada dalam kutipan dari Lovejoy di atas.
Pemahaman Kristiani mengenai plenitude dan rasionalitas
menuntut bahwa dunia yang nyata berisi juga dengan berbagai
tingkat ketidaksempurnaan. Meskipun kita mudah tergoda
untuk mengkaji topik ini secara panjang lebar, namun untuk
memotong cerita yang panjang ini menjadi lebih singkat, maka
kita dapat menyimpulkan bahwa dunia nyata berisi segala tingkat
ketidaksempurnaan, karena telah merupakan bagian yang hakiki
dari segala keanekaragaman bentuk-bentuk kehidupan yang
dihasilkan oleh Yang Maha Kuasa yang pada hakekatnya adalah
menghasilkan keanekaragaman (diversitas) itu sendiri. Yang
Ilahi mengisi segala sesuatu dari yang paling tinggi turun sampai
kepada ampas terakhir dari segala yang ada itu. Tidak ada celah
pemisah di antara ciptaanNya. Terdapat satu mata rantai raksasa
dari segala yang ada mulai dari Ilahi turun ke ampas terakhir
itu. Tidak terdapat ruang pemisah antara satu jenis keberadaan
dengan satu jenis keberadaan lainnya. Dengan lain perkataan,
Allah yang Maha Kuasa memperluas dirinya menuju kepada
segala hal, bahkan kepada planet-planet lain yang dipercayai juga

12
Cliford Geertz, he Interpretation of Cultures, 1973, hlm. 28-29.
18 alam, Kebudayaan & yang IlahI

berisi berbagai makhluk hidup. Tidaklah kebetulan bila orang


bisa berpendapat bahwa gagasan mengenai plenitude belum habis
riwayatnya pada masa kini, karena beberapa ahli ekologi modern
masih menganut pendapat bahwa yang paling beranekaragam
adalah bentuk-bentuk dari kehidupan, namun yang paling stabil
adalah ekosistem di mana semua bentuk kehidupan itu mungkin
untuk bisa dihadirkan. Gagasan mengenai prinsip plenitude masih
ada dan hadir hingga masa kini. Meskipun gagasan mengenai
the great chain of being dan gagasan plenitude yang menyertainya
bisa saja menimbulkan banyak kebingungan, segala hal yang ada
dalam mata rantai raksasa itu tertata ke dalam satu hirarki dari
yang paling bawah dari bentuk-bentuk kehidupan yang paling
rendah sampai kepada berbagai aneka macam manusia naik ke
atas menuju malaikat yang sampai kemudian kepada Yang Ilahi
itu sendiri.
Namun, dan ini yang ganjil, meskipun gagasan-gagasan
ini merupakan sesuatu yang sudah ada sejak dahulu kala,
dan secara mendalam tertanam dalam pemikiran Kristiani,
gagasan-gagasan ini ironisnya baru pada abad ke-18 digunakan
di dalam pembentukan pandangan dunia abad ke-18, yakni
satu pandangan dunia yang dalam banyak hal sangat ilmiah
dan sangat anti agama. Perkembangan gagasan ini sangatlah
mengagumkan apabila kita ingat bahwa konsepsi the great chain
of being dan plenitude itu tidak mendapat dukungan apapun dari
pengamatan empiris. Sekali saja dunia diamati, kita dengan cepat
menyadari bahwa terdapat satu lubang besar yang menganga di
antara segala hal yang ada di dunia ini. Oleh karena itu, kajian
untuk mencari mata rantai yang hilang (missing link) di antara
segala hal yang ada di dunia ini menjadi sebuah lahan kajian yang
sangat popular pada abad ke-19. Hal ini memdemonstrasikan
kekuatan teori di atas pengamatan. Salah satu solusi yang acapkali
diajukan adalah bahwa mata rantai yang hilang di dalam the great
chain of being berada di planet-planet lain di dalam alam raya ini.
Tony Rudyansjah 19

Yang Maha Kuasa barangkali meletakkan mereka di planet lain


itu, dan bahkan mungkin ada di Mars, sehingga kita tidak bisa
menemukan beberapa rangkaian dalam mata rantai itu di planet
bumi kita ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pencarian
mata rantai yang hilang itu pada dasarnya dirangsang bukan oleh
ilmu pengetahuan, melainkan oleh semata-mata doktin agama.
Gagasan tentang the great chain of being pada awalnya
merupakan seperangkat asumsi tidak ilmiah mengenai hakekat
dari alam dunia. Gagasan ini mempunyai pengaruh yang bersifat
merangsang pencarian pengetahuan dengan cara mendorong
para pengamat untuk mendekomentasikan catatan-catatan yang
lengkap mengenai pokok kajian yang dilakukan, dan sekaligus
bisa memberikan sebuah prinsip yang bisa digunakan untuk
menata berbagai hasil pengamatan itu. Tanpa prinsip itu, maka
hasil pengamatan itu menjadi sangat tidak konsisten. Dengan
demikian, gagasan paling utama dari hirarki dalam the great chain
of being adalah untuk memberikan sebuah prinsip penataan.
Salah satu hasil yang bisa dikatakan kebetulan dari prinsip
plenitude, yang sangat menarik perhatian saya, adalah pandangan
tentang konlik yang terdapat di dalam prinsip plenitude
itu sendiri. Para pengamat biasa sudah pasti suatu saat akan
menemukan bahwa dunia yang nyata penuh berisi berbagai
macam aktivitas yang sulit sekali untuk dapat dicocokkan dengan
gagasan mengenai Tuhan yang Maha Sempurna. Meskipun begitu,
senantiasa diargumentasikan oleh orang-orang pada abad ke-18,
seperti William King and Alexander Pope, bahwa segala sesuatu
yang ada adalah untuk yang terbaik di antara yang terbaik dari apa-
apa yang mungkin ada di dalam alam semesta ini. Perputaran dari
segala apa yang ada di alam semesta ini tentu saja menyebabkan
kita akan mempertanyakan dasar dari benturan dan konlik yang
terjadi itu. Si jenius Bishop King yang pernah menjadi gurubesar
ilsafat di Universitas Cambridge mengemukakan argumentasi
sebagai berikut:
20 alam, Kebudayaan & yang IlahI

“here necessarily follows a division and disparity of parts,


clashing and opposition, comminution, concretion and
repulsion, and all those evils which we behold in generation
and corruption…. he mutual clashing of these concretions
could therefore not be avoided, and as they strike upon one
another a concussion of the parts and a separation from
each other would be necessarily produced.”13
[Sudah merupakan keniscayaan bahwa terdapat satu divisi
dan kesenjangan di antara berbagai bagian yang ada di alam,
sekaligus perbenturan dan pertentangan, perceraiberaian,
peleburan dan penolakan, dan segala ketidakbecusan itu yang
kita lihat dalam kelahiran dan kerusakan…. Perbenturan
dari massa-massa itu satu sama lain dengan demikian tidak
dapat dihindari, dan sebagaimana mereka berbenturan satu
sama lain, maka goncangan dan pemisahan satu sama lain
niscaya senantiasa terjadi.]

Dalam argumentasi ini kita sudah dapat melihat adanya satu


teori dialektik mengenai the great chain of being yang ditangkap
dalam pergolakannya. Namun meskipun terdapat gagasan
mengenai gerakan semacam itu, pandangan dunia mengenai the
great chain of being masih tetap bersifat statis sampai pada abad ke-
18. Dunia masih digambarkan stabil di mana segala hal dan semua
manusia ditanggapi mempunyai sebuah status yang statis sifatnya.
Tahap selanjutnya dalam perkembangan gagasan mengenai
the great chain of being mulai muncul dalam abad ke-19 dengan
adanya apa yang disebut Lovejoy sebagai the temporalizing of the
great chain of being. Tahap selanjutnya ini terjadi ketika gagasan
tentang hirarki dari segala apa yang ada dimasukkan ke dalam
sebuah proses perkembangan dalam bentangan waktu. Perubahan
gagasan ini membawa beberapa dampak penting buat ilmu sosial
modern, dan persoalan itu akan menjadi bahasan kita.
Sebelum mencapai tahap the temporalizing of the great chain
of being, satu-satunya makna yang dapat diberikan terhadap
progress (kemajuan) adalah melalui kemungkinan naiknya suatu

13
Lovejoy, op.cit, hlm. 217-218.
Tony Rudyansjah 21

hal (individu) dalam hirarki akibat adanya sesuatu hal/individu


lain yang punah atau mati. Ini merupakan sebuah masalah yang
besar, karena meskipun teologi Kristiani menempatkan seluruh
alam raya, termasuk berbagai makhluk hidup dan, bahkan,
berbagai makhluk supernatural, ke dalam satu hirarki dengan
satu tempat yang pasti, teologi semacam ini tidak mempunyai
satu mekanisme yang menyediakan satu logika menakjubkan,
seperti reinkarnasi dalam Hinduisme, yang mempunyai fungsi
mempertahankan satu tatanan sosial yang statis melalui sebuah
dinamika kosmologi. Persoalan ini akan kita bahas secara lebih
rinci dalam bagian mengenai Max Weber dalam kajiannya
tentang agama di dalam jilid kedua dari buku ini. Perlu
disampaikan di sini bahwa Lovejoy pernah membahas dengan
panjang lebar bagaimana masalah yang dihadapi satu masyarakat
yang menerima ketidakberdayaan pandangan hidup serupa itu.
Ia, Lovejoy, memberikan argumentasi bahwa dalam masyarakat
Barat, keburukan/kejahatan (evil) ditanggapi merupakan bagian
yang hakiki dan penting dari Kesempunaan itu sendiri, dan oleh
karenanya merupakan sesuatu yang tidak mungkin dihindari.
Namun dalam pembahasan Lovejoy itu, sangat sulit untuk bisa
memahami kenapa masalah ini secara tiba-tiba menjadi sebuah
persoalan yang khas abad ke-19, dan kenapa satu jawaban buat
persoalan itu secara tiba-tiba saja bisa ditemukan. Meskipun
ia sudah menyentuh pokok-pokok yang relevan, faktor-
faktor langsung yang berperan dalam usaha masyarakat Barat
memecahkan persoalan itu tidak dikemukakannya secara jelas.
Carl Becker, di dalam bukunya he Heavenly City of the
Eighteenth Century Philosopher,14 membuat satu poin penting
mengenai gagasan-gagasan tersembunyi di balik istilah-istilah

14
Buku ini sebetulnya merupakan kumpulan bahan kuliah yang
diberikan Carl Becker di Universitas Yale, Amerika Serikat, yang
kemudian dipublikasikan tahun 1932, atau 2 tahun sebelum buku
Lovejoy he Great Chain of Being diterbitkan.
22 alam, Kebudayaan & yang IlahI

yang kelihatannya begitu nyata sehingga berbagai gagasan itu


jarang atau hampir tidak pernah diperiksa keberannya secara teliti.
Ia mengemukakan bahwa dalam setiap kurun waktu tertentu
terdapat sejumlah karya-karya yang lahir dari pengulangan-
pengulangan sejumlah gagasan secara terus menerus yang
mengakibatkan kekayaan makna metaforikal dari gagasan-gagasan
itu sedikit demi sedikit tergerus dan kemudian menjelma menjadi
“ideologi”, sehingga tanpa disadari gagasan-gagasan tersebut pada
akhirnya ditanggapi sebagai sebuah kenyataan obyektif tanpa
banyak dipertanyakan lagi. Dalam abad ke-13, kata kunci yang
diterima secara alami tanpa pernah diperiksa keberanannya tak
pelak lagi adalah kata-kata seperti penyelematan (salvation) dan
surga (heaven). Dalam abad ke-19, kata-kata kunci itu adalah
fakta, evolusi dan kemajuan (progress). Dalam abad ke-20. kata-
kata kunci itu adalah penyesuaian (adjustment), konlik, fungsi
dan proses. Dalam abad ke-21, kata-kata kunci itu barangkali
adalah borderless, world system dan connectivity. Sedangkan dalam
abad ke-18, yang menurut Carl Becker merupakan satu dunia
yang masih dikungkung oleh teori teologi, maka kata-kata
kunci itu adalah kata-kata seperti alam (nature), hukum-hukum
alam, penyebab pertama (irst cause), akal (reason), sentimen,
humanitas, dan perfektibilitas (kesempurnaan). Tiga kata-kata
yang terakhir, yakni sentimen, humanitas dan perfektibilitas,
memang sangat diperlukan pada saat itu buat perkembangan
pemikiran humanitarian yang sedang menguasai abad itu.
Konsep mengenai hukum alam sudah ada sejak lama sekali.
Sejauh yang saya tahu konsep mengenai hukum alam pertama
kali dikemukakan oleh Saint Augustine yang hidup dari tahun
354 hingga tahun 430. Namun pada abad ke-18, konsep ini
mengalami pergeseran makna karena logika deduktif yang
digunakan untuk membangun konsep itu harus berhadapan
dengan hasil observasi dan eksperimen yang tumbuh subur pada
abad ke-18, yang hasilnya sangat bertentangan dengan apa-apa
Tony Rudyansjah 23

yang disimpulkan dari logika deduktif. Sebelum abad ke-18,


akal dan makna dari alam (meaning of nature), yang keduanya
merupakan unsur penting dalam konsep mengenai hukum-
hukum alam, terbelenggu dalam Pikiran Ilahi (mind of God).
Kita bisa melihat jelas hal ini dalam diskusi bahwa dunia sensasi
yang misterius hanya bisa dipahami melalui ekskursi teologis
(theological excursion) ke alam theistik yang lebih tinggi, seperti
melalui meditasi, kontemplasi, disiplin religius dan doa. Dalam
abad ke-18, alam kemudian ditransformasikan menjadi seakan
sebuah mesin yang nampak lebih jelas dan lebih bisa dipahami,
sekaligus bisa diukur, diamati, dan bahkan, dikalkulasi, sebelum
kemudian, dijelajahi and ditaklukkan. Sebagaimana Carl Becker
menegaskan, dengan mengutip David Hume, bahwa sejak abad
ke-18 itu tidak mungkin lagi untuk menyimpulkan bahwa alam
harus rasional semata-mata karena Tuhan adalah akal yang abadi
(eternal reason). Hume lebih suka menyimpulkan bahwa Tuhan
sudah pasti adalah seorang Insinyur atau Perancang Maha Besar;
oleh karena itu alam adalah sebuah mesin :
“…ancient God of miracles, grace, exclusive revelations,
and inexplicable mysteries was largely abandoned in favour
of the Great Designer.”15
[…Tuhan masa purba yang penuh dengan keajaiban,
keanggunan dan berbagai misteri yang tak terjelaskan
ditinggalkan sepenuhnya dan digantikan oleh Tuhan
sebagai Perancang Maha Besar.]

John Locke, sebagai pemikir besar berikutnya di pertengahan


antara abad ke-17 dan ke-18, memberikan penghargaan atas
perubahan pandangan mengenai dunia seperti itu kepada Newton
yang digambarkannya telah menuntaskan kontribusinya terhadap
teologi dengan cara mengungkapkan rahasia-rahasia kreasi Tuhan
yang begitu mengagumkan. Ungkapan penyair Alexander Pope

15
Peter Millican dalam pengantarnya untuk buku David Hume berjudul
An Enquiry Concerning Human Understanding, 2007, hlm. xxiv.
24 alam, Kebudayaan & yang IlahI

yang begitu terkenal dapat secara gamblang menggambarkan


suasana hati dan alam pikiran zaman itu
“Nature and Nature’s laws lay hid in night:
God said, Let Newton be! and all was light.”16
[Alam dan hukum Alam bersemayam di balik gelapnya
malam:
Kemudian Tuhan bersabda, Newton, lahirlah! Dan
segalanya menjadi terang.]

Untuk merekapitulasi apa yang ingin disampaikan di sini


maka dapat dikatakan bahwa hukum-hukum alam mengalami
transformasi dari hasil sebuah logika deduktif menjadi sebuah
perilaku harmonis dari kaidah-kaidah dari berbagai obyek
material yang diamati. Hal itu melahirkan satu kontras yang
sangat menyolok antara gagasan tentang kebenaran yang lazimnya
dikemukakan pada Abad Pertengahan sebagai satu titik cahaya
yang bersinar dari ufuk cakrawala lembah surgawi yang hanya
dapat diraih melalui kontemplasi, doa serta disiplin religius di
satu sisi dan di sisi lain, gagasan tentang kebenaran yang hanya
dapat dicapai sebagai sebuah dalil yang dihasilkan dari arus
pengalaman manusia ( panta rhei of human experience), sehingga
kebenaran kemudian mirip sepotong roti yang harus senantiasa
diperbaharui setiap pagi. Akal (reason) ditinggalkan orang
sebagai pembenaran terhadap teologi, dan kebenaran tertinggi/
wahyu (revelation) yang tadinya dicapai melalui kepercayaan
atau keyakinan, pada abad ke-18 harus dicapai melalui observasi.
Perubahan yang nampak jelas ini merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari keseluruhan perubahan teori yang sebenarnya
sudah berlangsung sejak abad ke-17 hingga awal abad ke-18, yang
awalnya ditandai oleh penemuan teoritis dan eksperimental dari
Galileo dan Newton. Pada abad ke-18 itu, nama Newton begitu
terkenal sama seperti nama Darwin pada abad ke-20. Banyak

16
Peter Millican dalam pengantarnya untuk buku David Hume berjudul
An Enquiry Concerning Human Understanding, 2007, hlm. xxiv.
Tony Rudyansjah 25

orang pada abad ke-20 yang merasa tidak canggung menerima


teori Darwin tanpa pernah membaca satupun karyanya. Hal yang
serupa juga berlaku buat abad ke-18. Banyak orang pada abad ke-
18 yang merasa tidak perlu harus membaca karya Newton untuk
menerima gagasan bahwa ada sebuah cara baru untuk mengenali
Tuhan, yaitu melalui cara memahami karyaNya. Pada saat yang
bersamaan, orang mulai menoleh kepada Galileo dan Newton
dalam menyimpulkan berbagai gagasan tentang moral yang
mengalami paralelisme dengan apa yang terjadi terhadap bidang
astronomi, yaitu mengalami perubahan dari mistisisme ke agama
dan akhirnya menjadi ilmu pengetahuan.

Kelahiran Ilmu Alam Tentang Masyarakat


homas Hobbes (1588 –1679) dan John Locke (1632-
1704) seringkali diberikan penghargaan sebagai tokoh yang
meletakkan dasar bagi perkembangan ilmu sosial. homas
Hobbes merupakan salah seorang pertama yang mengembangkan
teori tentang moral dalam sebuah cara yang sepenuhnya bersifat
mekanistik. Sangatlah berguna dalam konteks ini apabila kita
membaca bukunya Leviathan17 bukan dalam rangka memahami
teorinya tentang negara dan peranan penguasa, namun dalam
kerangka memahami teorinya tentang kognisi dan persepsi,
atau persoalan bagaimana pancaindera mengolah informasi dan
menentukan cara yang dapat dilakukan individu dalam mengejar
apa yang disebut oleh Hobbes sebagai felicity: maksimalisasi dari
kenikmantan (pleasure) dan minimalisasi dari kesengsaraan (pain).
Pada awal abad ke-17, susunan dan struktur masyarakat
Eropa Abad Pertengahan mulai mengalami gonjangan. Berbagai
gagasan baru, bentuk organisasi ekonomi baru, penemuan dunia
baru, dan doktrin religius yang baru, kesemuanya mulai bergabung
menjadi satu dalam rangka meruntuhkan tradisi di Eropa. Hobbes

17
Pertama kali dipublikasikan pada tahun 1651 dan kemudian
diterbitkan oleh Pelican Books pada tahun 1968.
26 alam, Kebudayaan & yang IlahI

dilahirkan tahun 1588. Ia dibesarkan oleh seorang pamannya


yang kaya, dan disekolahkan di Oxford sebelum memutuskan
dirinya menjadi guru pribadi satu keluarga bangsawan tinggi di
Inggris, yakni William Cavendish dari Devonshire. Pekerjaan
ini memberikan kesempatan besar baginya untuk menulis,
karena ia seringkali diajak bepergian oleh keluarga bangsawan
itu, sehingga ia mempunyai banyak kesempatan mengunjungi
banyak perpustakaan di berbagai negara di Eropa. Pengabdian
terhadap keluarga bangsawan ini menyebabkannya dekat dengan
jantung politik baik di daratan Eropa maupun di Inggris. Ia
berhasil mempertahankan hidupnya selama perang saudara dan
restorasi di Inggris, walaupun tulisannya tentang politik sangat
provokatif. Selama perang saudara dari tahun 1640 hingga 1651,
ia meninggalkan Inggris dan baru kembali setelah unsur-unsur
radikal kekuatan revolusi berhasil ditumpas. homas Hobbes,
dengan demikian, dapat dikatakan bukan seorang akademisi
melainkan seorang man of afairs.
Pada masa hidup Hobbes, anggapan bahwa dunia material
dijalankan dan dikendalikan oleh Tuhan masih kuat dianut
masyarakat Eropa. Meskipun demikian, sudah mulai terjadi
perubahan dalam rancang bangun dari masyarakat Inggris.
Sebagai contoh, perasaan takut terhadap penguasa masih kuat
mengungkung, dan masyarakat masih mengabdikan dirinya
untuk melayani penguasa, namun pada saat yang bersamaan
gagasan mengenai kesetaraan (equality) sudah mulai tumbuh
dan menyebar dalam kehidupan masyarakat. Meskipun begitu,
gagasan tentang ranking dan tatanan dalam hirarki the great chain
of being tidak secara otomatis menghilang.
Buku Leviathan tidak diterbitkan hingga tahun 1651
manakala homas Hobbes telah mencapai usia 63 tahun, atau
hanya berselang 2 tahun setelah raja Charles I dihukum mati—
sebuah peristiwa penting dalam sejarah Inggris yang secara tegas
memperlihatkan mulai timbulnya penolakan terhadap doktrin
Tony Rudyansjah 27

tentang hak raja yang dianggap berasal dari Tuhan. Peristiwa


sejarah ini menandai dimulainya sebuah era baru di Inggris.
Sebelumnya adalah merupakan hal yang lumrah apabila seorang
raja memenggal kepala seorang rakyat biasa. Sebaliknya, rakyat
kebanyakan memenggal kepala seorang raja sudah pasti merupakan
satu peristiwa yang besar. Hal itu menandai dimulainya penolakan
terhadap gagasan tentang hak berkuasa raja atas nama Tuhan.
Sesungguhnya buku Leviathan homas Hobbes sudah
mengandung gagasan serupa. Leviathan sudah menolak gagasan
mengenai hak istimewa raja yang berasal dari Tuhan, namun
Hobbes dalam buku itu tetap mendukung gagasan tentang arti
penting monarki. Dengan cara serupa itu, Hobbes secara cerdik
bisa melayani situasi yang ada dalam paruh pertama abad ke-17
di Inggris. Dengan cara itu, ia dapat bermain di dalam dua sisi,
yakni melayani kepentingan monarki di satu sisi dan menolak
gagasan tentang hak istimewa raja yang berasal dari Tuhan yang
mulai lahir di kalangan orang banyak di sisi lain.
Lepas dari pokok persoalan itu, kalau kita kembali kepada
teori sosial yang dikembangkan Hobbes, maka dapat dikatakan
bahwa minat utama kita terhadap homas Hobbes terletak
pada pandangannya yang bersifat revolusioner tentang hakekat
manusia dan masyarakat. Barangkali hanya Machiavelli yang
mendekati posisi homas Hobbes mengenai gagasan realisme
sosial dan penolakan terhadap tatanan normatif hak istimewa
raja yang berasal dari Tuhan. Berkenaan dengan realisme sosial,
Hobbes pernah menyatakan bahwa:
“(there is no conception in a mans mind which hath no at
irst, totally, or by parts, been begotten upon the organs of
sense.) he rest are derived from that originall.”18
[(tidak ada konsepsi dalam pikiran manusia, baik secara kese-
luruhan maupun secara sebagian, yang awalnya tidak berasal
dari organ panca indera). Kesemua hal lain berasal dari itu]

18
homas Hobbes, Leviathan, 194, hlm. 85.
28 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Setiap konsepsi dalam pikiran manusia, dengan demikian,


bermuasal dari hal berikut: obyek menimbulkan sejumlah gerakan
(motions) terhadap badan kita, dan gerakan-gerakan itu ditangkap
oleh panca indera dan kemudian ditransmisikan ke otak. Karena
proses itu, maka ada obyek yang bisa diraba, dirasa/dikecap,
dilihat, didengar, dicium, atau beberapa kombinasi darinya. Satu
konsep paling penting tentang pandangan ini adalah ide me-
ngenai prudence, yaitu tinjauan ke masa depan yang berasal dari
kombinasi antara ingatan mengenai sensasi yang pernah terjadi di
masa lampau di satu sisi dengan antisipasi terhadap masa depan
di sisi lain. Berkenaan dengan ini, terdapat seperangkat gerakan
dalam otak yang disebut Hobbes sebagai passion (gairah), yang
sesungguhnya merupakan respons kita terhadap pencitraan ingatan.
Apabila pencitraan ingatan menghasilkan gerakan mendekat
kepada obyek pencitraan itu, maka hal itu disebut sebagai hasrat
(desire). Sebaliknya, apabila sejumlah pencitraan ingatan mengha-
silkan sebuah gerak yang menjauh dari obyek pencitraan itu, maka
hal itu disebut keengganan (aversion). Obyek-obyek yang menim-
bulkan hasrat pada satu individu disebut sebagai sesuatu yang baik
(good), dan sebalik obyek-obyek yang menimbulkan keengganan
bagi individu yang bersangkutan disebut buruk (evil).19
Hobbes menjelaskan pengertian baik dan buruk sepenuhnya
secara mekanistik tergantung pada bagaimana reaksi seorang
individu terhadap keengganan atau hasrat yang timbul atas
obyek-obyek yang ada di sekelilingnya. Bagi Hobbes, tidak ada
satupun hal yang sepenuhnya baik atau buruk, tidak ada satupun
yang secara intrinsik baik atau buruk, karena baik atau buruk itu
sesungguhnya adalah sesuatu derivasi dari sikap seseorang yang
sangat pribadi sifatnya. Sejumlah laki-laki dan perempuan yang
berbeda-beda bisa menginginkan atau menolak berbagai hal
yang berbeda pada saat yang berbeda-beda. Apa yang seseorang

19
Ibid, hlm. 120.
Tony Rudyansjah 29

kehendaki hari ini bisa jadi sangat ia benci keesokan harinya. Bagi
Hobbes sama sekali tidak ada satu etika yang mutlak sifatnya,
ataupun moralitas yang menyeluruh sifatnya. Ia mengemukakan di
bagian awal dari bukunya bahwa pada hakekatnya tidak mungkin
untuk mengetahui pikiran dan hasrat orang lain. Yang dapat kita
ketahui adalah pengetahuan kita sendiri mengenai pikiran dan
hasrat orang lain setelah memperbandingkannya dengan apa yang
terjadi pada diri kita sendiri.
“But there is another saying not of late understood, by
which they might learn truly to read one another, if they
would take the pains; and that is, Nosce teipsum, Read thy
self: which was not meant, as it is now used, to countenance,
… But to teach us, that for the similitude of the thoughts
and Passions of one man, to the thoughts, and Passions of
another, whosoever looketh into himself, and considereth
what he doth, when he does think, opine, reason, hope,
feare, &c, upon what grounds; he shall thereby read and
know, what are the thoughts, and Passions of all other men,
upon the like occasions. I say the similitude of Passions,
which are the same in all men, desire, feare, hope, &c; not
the similitude of the objects of the Passions, which are the
things desired, feared, hoped, &c: for these the constitution
individuall, and particular education do so vary, and
they are so easie to be kept from our knowledge, that the
characters of mans heart, blotted and confounded as they
are, with dissembling, lying, counterfeiting, and erroneous
doctrines, are ligible onely to him that searcheth hearts.
And though by mens action wee do discover their designe
sometimes; yet to do it without comparing them with our
own, and distinguishing all circumstances, by which the
case may come to be altered, is to decipher without a key,
and be for the most part deceived,..”20
[Namun terdapat kata bijak lain, yang tidak terlambat untuk
dipahami, yang dapat membantu mereka untuk belajar satu
sama lain, seandainya bersedia menanggung kesulitannya,
yakni Nosce teipsum, Bacalah Dirimu Sendiri, yang bukan
berarti, sebagaimana biasanya diartikan sekarang ini,

20
homas Hobbes, Ibid, hlm. 82-83
30 alam, Kebudayaan & yang IlahI

sebagai persetujuan moral kita, …. Melainkan untuk


mengajari kita, bahwa bagi penampakan luar dari pikiran
dan gairah seseorang hingga pikiran dan gairah orang lain,
barangsiapa melihat ke dalam dirinya sendiri apa-apa yang
telah ia lakukan dan sedang pikirkan, nalarkan, harapkan,
takutkan dan lain sebagainya, dan bentangkan kesemuanya
ke dalam pijakan yang sama, maka kita dapat membaca
dan mengetahui apa yang menjadi pikiran dan gairah
semua orang lain pada saat berada dalam kondisi yang
serupa. Kutegaskan bahwa penampakan luar dari gairah,
yang sama bagi semua orang, yakni hasrat, ketakutan
dan harapan, dan bukannya obyek dari gairah itu, hal-hal
yang dihasrati, ditakuti, diharapkan dan lain sebagainya,
dan karena kesemua itu merupakan hal-hal yang yang
individual sifatnya, hasil pendidikan yang sifatnya
sangat bervariasi, dan karena hal-hal itu mudah untuk
disembunyikan dari pengetahuan kita, dan karena karakter
dari hati nurani manusia, sebagaimana acapkali dinodai
dan dikacaukan dengan dusta, ketertutupan, tipu muslihat,
dan doktrin yang keliru, maka kesemua itu hanya dapat
dijangkau oleh orang yang melihat hati nuraninya sendiri.
Meskipun begitu, dengan jerih payah usaha kita, kita dapat
kadangkala menemukan rancang bangun hal tersebut.
Namun melakukan itu tanpa memperbandingkannya
dengan apa yang ada dalam diri kita, dan membedakan
situasi-situasinya yang dalam banyak kasus sangat mudah
berubah, adalah merupakan satu upaya memecahkan teka-
teki tanpa kunci petunjuk apapun, dan untuk sebagian
besar hasilnya adalah satu tipu daya semata…]

Lebih lanjut Hobbes mengemukakan


“But let one man read another by his actions never so
perfectly, it serves him onely with his acquaintance, which
are but few. He that is to govern a whole Nation, must
read in himself, not this, or that particular man; but Man-
kind: which though it be hard to do, harder than to learn
any Language, or Science; yet, when I shall have set down
my own reading orderly, and perspicuously, the pains left
another, will be onely to consider, if he also ind not the
same in himself. For this kind of Doctrine, admitteth no
Tony Rudyansjah 31

other Demonstration.”21
[Tetapi biarkan seorang makhluk manusia membaca
makhluk manusia lainnya dengan upayanya yang tidak
pernah sepenuhnya sempurna. Hal itu hanya melayaninya
dengan sesuatu yang sudah diketahuinya, yang sebenarnya
juga tidak terlalu mengungkapkan banyak hal. Pemimpin
satu bangsa harus membaca bukan dalam diri individu
ini atau individu itu, melainkan membaca di dalam Umat
Manusia, yang meskipun sangat sulit untuk bisa dilakukan,
bahkan lebih sulit daripada belajar satu bahasa ataupun ilmu
pengetahuan; namun manakala saya berusaha mengkaji
“bacaan” saya sendiri secara teratur dan secara tajam, maka
berbagai kesulitan itu akan lenyap, dan sebagai gantinya
bertahan sesuatu yang patut untuk dipertimbangkan,
seandainyapun ia tidak menemukan hal yang sama di
dalam dirinya sendiri. Karena doktrin semacam ini tidak
mengakui pembuktian lain apapun.]

Apa yang dicoba dikemukakan oleh Hobbes adalah bahwa


realitas hanya dapat dipahami melalui pemahaman mengenai
psikologi umum tentang egoisme dan hakekat yang bersifat
acak dari tujuan yang ingin dicapai diri kita sebagai manusia.
Pencapaian pemahaman yang dikemukakan Hobbes seperti itu
berasal dari pergulatan pemikiran Hobbes yang pada dasarnya
sangat dipengaruhi, pertama, oleh metode tentang kepastian
dalam geometri dari Euclid, dan kedua oleh hipotesa dari ilmu
alam mengenai ‘gerak’ (motion) yang dikembangkan oleh Galileo
dalam kaidahnya tentang kelembaman (inertia).
Metode tentang kepastian dalam geometri Euclid membekali
Hobbes dengan satu metode yang memungkinkan seseorang
untuk membuktikan kebenaran berbagai hal yang tadinya sangat
komplek, dan pada awalnya merupakan satu proposisi yang
tidak mungkin, berdasarkan pada beberapa proposisi yang pada
dasarnya sangat sederhana kendati memiliki kebenaran yang tak
terbantahkan bagi setiap orang.

21
homas Hobbes, Ibid, hal 83
32 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Sedangkan Galileo mengajarkan Hobbes bahwa segala


sesuatu, termasuk sensasi manusia, disebabkan oleh gerak,
atau lebih tepatnya, perbedaan dalam gerak. Sebelum Galileo
mengemukakan itu, diam dianggap merupakan keadaan alami
dari segala hal di alam semesta. Galileo menjungkirbalikkan
konsepsi ini dan merumuskan prinsip inertia-nya yang terkenal,
yakni bahwa gerak merupakan keadaan alami dari segala hal.
Segala sesuatu senantiasa bergerak kecuali ada sesuatu lain yang
menghentikannya.22 Tanpa ada gaya tarik bumi maka segala benda
yang ada di sana akan terhambur lepas dari pusat tarikannya dan
melayang bebas di angkasa.
Prinsip bahwa segala sesuatu senantiasa dalam gerak, menurut
Hobbes, merupakan semacam doktrin yang tidak membutuhkan
pembuktian (demonstration) lain apapun, seperti dikemukakannya
dalam kutipan di atas, karena hal itu merupakan satu kebenarannya
yang tak terbantahkan buat siapapun. Kaidah Galileo itulah yang
diambil-alih oleh Hobbes dan diaplikasikannya lebih lanjut untuk
bisa memahami dan menjelaskan dunia, manusia dan masyarakat.
Dengan menerapkan prinsip itu, Hobbes mengembangkan
satu sistem yang memungkinkannya menjelaskan gerak manusia
satu sama lain, sekaligus mengemukakan satu kesimpulan
mengenai bentuk pemerintahan yang memungkinkan manusia
untuk mempertahankan dan memaksimalkan geraknya.
Berkenaan dengan itu, Hobbes merancang satu ilsafat sistematis
yang sangat ilmiah yang dibaginya ke dalam tiga bagian besar,
yakni: (1) tentang body—dalam pengertian sebagai wujud
materiil, di mana ia membentangkan prinsip pertama yang
dikembangkannya tentang gerak; (2) tentang manusia, yang
diperlakukannya sebagai wujud materiil (body) dalam gerak,

22
Untuk rincian lebih mendalam mengenai pengaruh metode geometri
Euclid dan Fisika Galileo dalam pemikiran homas Hobbes, lihat
Kata Pengantar (Introduction) yang diberikan oleh C.B. Macpherson
untuk karyahomas Hobbes, ibid, hlm. 17-20.
Tony Rudyansjah 33

sehingga berbagai sensasi manusia, hasrat dan perilaku manusia


dianggap berasal baik dari berbagai gerak yang sifatnya internal
dalam diri manusia maupun pengaruh dari berbagai gerak dari
luar diri manusia terhadap gerak yang ada dalam diri manusia;
dan (3) tentang warga masyarakat, di mana Hobbes menguraikan
bagaimana berbagai gerak tersebut akan mengarah ke arah-arah
tertentu dan bagaimana pengetahuan mengenai itu semua bisa
digunakan untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik (baca:
kehidupan warga masyarakat yang damai).
Menurut Hobbes, satu-satunya pijakan yang tak terbantahkan
adalah pengetahuan kita tentang diri sendiri. Berbagai gerak dalam
pikiran menjadi pencitraan ingatan tentang sesuatu, baik buruk
maupun baik, yang secara berurutan seringkali disepadankan
oleh Hobbes dengan istilah penderitaan (pain) dan kenikmatan
(pleasure). Berdasarkan pemahaman itu, ia mengembangkan
sebuah gambaran tentang manusia sebagai satu makhluk yang
senantiasa mengejar kesenangan, yang diistilahkannya sebagai
felicity, melalui kekuasaan yang ada ditangannya. Kerumitannya
adalah bahwa makhluk manusia tidak selalu bisa mengejar
kenikmatan itu di dalam kenyataannya, karena seorang makhluk
manusia selalu berhadapan dengan makhluk manusia lain yang
juga mengejar tujuan serupa, sehingga yang terjadi adalah
perbenturan di antara mereka dan menjadikan mereka berubah
sebagai musuh satu sama lainnya. Di dalam kenyataan hidupnya,
manusia seringkali berhadapan dengan keharusan menggunakan
makhluk manusia lainnya sebagai alat untuk mencapai felicity
yang dikejarnya. Oleh karena mereka relatif berukuran sama
dan memiliki kekuatan yang lebih kurang setara, maka mereka
satu sama lain berupaya menundukkan yang lainnya. Makhluk
manusia memang memiliki rasio, namun rasio itu menjadi
pelayan, dan bukan tuan, dari gairah nafsunya. Situasi inilah yang
disebut oleh Hobbes sebagai kondisi manusia yang senantiasa
dicirikan oleh perang antara yang satu dengan yang lainnya. Satu
34 alam, Kebudayaan & yang IlahI

kondisi di mana dalam keadaan alaminya manusia, menurut


Hobbes, adalah makhluk yang kasar, egois, penyendiri (solitaire)
dan menjijikkan. Hobbes berpendapat kondisi serupa itu bukan
karena terlemparnya umat manusia keluar dari surga atau the fall
of race, melainkan satu kondisi alami dari manusia yang tidak
mungkin dapat disembuhkan melulu dengan doa.
Berpijak pada posisi teoritis seperti itu, maka Hobbes dapat
mengajukan kerumitan kehidupan manusia itu secara gamblang.
Menurutnya, terdapat satu konlik yang radikal antara hakekat
dari manusia dan kondisi alami dari manusia itu sendiri. Dan
oleh karena itu, bukanlah karena dosa asal atau kebejatan moral
manusia yang menyebabkan kerumitan kemanusian itu, keadaan
alami manusia sendiri sudah merupakan pencipta dari kehancuran
dirinya. Masalah utama bagi Hobbes, dengan demikian, adalah
bagaimana menciptakan satu keteraturan dalam masyarakat,
apabila masyarakat itu sendiri terdiri dari berbagai individu yang
masing-masing menggunakan pihak lainnya sebagai alat untuk
mengejar tujuan pribadinya.
Jawaban terhadap masalah itu adalah keteraturan, yang
menurut Hobbes, yang terjadi sebagai akibat dari kesepakatan
yang dicapai setiap orang untuk bersedia menahan tindakannya
masing-masing terhadap satu sama lain, sehingga gangguan
terhadap yang lain dapat dihentikan. Anehnya dalam pikiran
Hobbes itu, tidak terdapat satupun usulan bahwa manusia pada
dasarnya mungkin untuk melakukan kerja sama dalam rangka
mencapai tujuan bersama. Dalam logika Hobbes, manusia
pada hakekatnya adalah makhluk yang solitaire (menyendiri),
dan oleh karenanya, masyarakat adalah sesuatu yang bersifat
artiicial yang berdasarkan semata-mata atas satu kontrak yang
berasal dari rasa ketakutan makhluk manusia satu sama lain,
sehingga mereka bersedia meyerahkan kekuasaan yang ada di
tangan mereka masing-masing kepada seorang penguasa tunggal.
Hobbes terdorong baik oleh logika dari argumentasinya maupun
Tony Rudyansjah 35

kecenderungan politiknya kepada satu solusi yang bersifat mutlak


di mana monarki dianggap merupakan satu representasi valid
bagi setiap warga dalam satu masyarakat sipil sekaligus sumber
dari berbagai pertimbangan moral, hukuman maupun doktrin
dari pemerintahan.
Solusi itu tentu saja tidak hanya memiliki banyak implikasi
terhadap teori tentang masyarakat, yang dianggap terbentuk dari
individu-individu yang pada hakekatnya setara satu sama lainnya,
dan yang hidup dalam ruang yang sama, namun tidak memiliki
satupun tujuan dan nilai sosial bersama yang mungkin untuk
dianut insan manusia. Masalah inilah yang kemudian menjadi
perhatian John Locke yang berupaya menjawabnya dengan
cara merumuskan pengertian tentang bahasa dan sekaligus
satu ideologi tentang nilai kepemilikan (property value) yang
berdasarkan pada satu prinsip material yang sama seperti yang
diajukan oleh homas Hobbes.
Locke hidup semasa dengan Hobbes, meskipun berusia jauh
lebih muda. Ia lahir pada tahun 1632 saat Hobbes telah mencapai
umur 44 tahun dan belum banyak dikenal orang. Pada saat
menjadi sarjana di Oxford, Locke menulis sebuah artikel, yang
meskipun jelas mendapat pengaruh dari Hobbes, ia menyatakan
secara jelas di sana bahwa ia bukan seorang Hobbesian (pengikut
Hobbes). Locke tidak menganut pandangan Hobbes yang suram
tentang kehidupan manusia manakala hakekat manusia dibiarkan
berkembang secara leluasa tanpa satupun penguasa absolut yang
membatasi kecenderungan alaminya.
Berangkat dari satu prinsip mengenai manusia yang kurang
lebih sama seperti Hobbes, yaitu bahwa manusia adalah makhluk
yang rasional dan senantiasa melakukan sebuah kalkulasi untuk
mencapai tujuan pribadinya, Locke mengemukakan pendapat
bahwa apabila kita menyingkirkan berbagai kondisi khusus dari
lingkungan manusia dan sejarahnya, maka yang kita temukan
dibalik rupa manusia adalah seorang insan alami yang tidak
36 alam, Kebudayaan & yang IlahI

sepenuhnya buruk seperti gambarannya Hobbes. Mahkluk


manusia jauh lebih cerdik daripada apa yang dibayangkan oleh
Hobbes. Ia tidak pergi ke sana ke mari untuk bertengkar dan
berkelahi dengan yang lainnya, hanya untuk mengejar tujuan
pribadinya, karena manusia adalah insan yang cukup cerdik
dan cukup rasional untuk memahami bahwa ia dapat mengejar
kepentingan pribadinya dengan tetap pada saat yang bersamaan
menghargai kepentingan orang lain.
Tentu saja Hobbes juga tidak menyangkal bahwa rasionalitas
merupakan satu hal yang utama dalam kehidupan manusia.
Bahkan Hobbes berpendapat bahwa manusia tidak hanya rasional
dalam mengejar tujuan pribadinya, mereka juga mengambil satu
keputusan yang rasional untuk menyerahkan kekuasaan yang
dimiliki masing-masing kepada seorang penguasa yang bisa
menjamin kedamaian mereka semua. Dalam membahas perkara
ini, Hobbes dapat dikatakan bahkan jauh lebih cermat dan lebih
teliti daripada Locke.
Sebaliknya dalam menjelaskan persoalan itu, Locke hanya
mengandalkan kepada satu pendapat bahwa terdapat pada
dasarnya satu identitas alami dari berbagai kepentingan manusia
dalam masyarakat yang memungkinkan mereka untuk merancang
satu cara hidup bersama yang damai. Untuk membuktikan itu,
Locke mengutip satu tulisan mengenai orang Indian Amerika yang
memperlihatkan bahwa manusia “primitif ” pada dasarnya adalah
makhluk yang cinta damai meskipun mereka adalah makhluk
yang pada hakekatnya penyendiri (solitaire). Dalam buku he
Structure of Social Action, Talcott Parsons memaparkan sebuah
diskusi yang sangat menarik mengenai isu tentang pengaruh
Hobbes dan Locke terhadap doktrin utilitarian dalam ilmu-ilmu
sosial.23 Di sana Parsons mengemukakan bahwa Hobbes meskipun

23
Doktrin Utilitarian adalah dokrin yang cukup dominan meresapi
pikiran ilmu-ilmu sosial di awal perkembangannya dan beranggapan
bahwa tujuan dari segala tindakan moral, sosial maupun politik adalah
Tony Rudyansjah 37

merupakan seorang pemikir yang jauh lebih cermat dan teliti,


namun Locke lebih berpengaruh di dalam pembentukan doktrin
utilitarian.24
Tentu saja terdapat berbagai elemen pemikiran yang menarik
di dalam pandangan Locke mengenai hakekat makhluk manusia.
Locke adalah salah seorang pakar teori tentang Revolusi 1688
di Inggris25, dan ia secara tegas menyatakan bahwa tujuan dari
penulisannya adalah untuk memantapkan sebuah prioritas
moral dari otoritas penguasa yang dikondisikan dan dibatasi
oleh kewajiban-kewajiban terhadap individu-individu makhluk
manusia serta kemaslahatan umum (the Good of the publick).
“the diference betwixt a King and a Tyrant (consists) only in
this, hat one makes the Laws the Bounds of his Power, and
the Good of the Publick, the end of his Government; the
other makes all give way to his own Will and Appetite.”26
[Perbedaan antara seorang Raja dan seorang Tirani terdapat
hanya dalam hal ini, yaitu yang pertama membuat hukum
sebagai batas dari kekuasaannya, dan Kemaslahatan
Umum, termasuk batas dari tujuan Pemerintahannya;
sedangkan yang kedua atau tirani membuat segalanya
untuk melancarkan semua kepentingan pribadi dan hawa
nafsunya.]

Serupa dengan Hobbes, Locke juga banyak terlibat


dengan banyak persoalan politik di negaranya. Relevansi dari
keterlibatannya ini tercermin di dalam watak dari logikanya yang

keseimbangan terbesar yang paling mungkin antara kesenangan/


kenikmatan di atas penderitaan; atau, dengan kata lain, dalam rangka
kebahagian terbesar dari sebagian besar umat manusia. Dokrin ini
dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John John Stuart Mill di
bawah pengaruh dari John Locke.
24
Talcott Parson, he Structure of Social Action, Vol 1, 1968, hlm. 97
25
Revolusi 1688 di Inggris adalah revolusi yang terjadi di Inggris
pada tahun 1688, yang diprakarsai oleh Persatuan antara anggota
Parliamentarian dengan tentara yang dipimpin oleh Penguasa Belanda
Willian III dari Orange-Nassau. Revolusi ini berhasil menjatuhkan
Raja James II dari Inggris tanpa adanya pertumpahan darah.
26
John Locke, Two Treatises of Government, 1988, hlm. 418
38 alam, Kebudayaan & yang IlahI

lugas dalam berargumentasi dengan menggunakan akal sehat yang


secara politis bisa sangat bermanfaat meskipun acapkali tak begitu
konsisten. Hal itu terlihat dalam argumentasi yang dihasilkannya,
yang seringkali realistik dan sangat bermanfaat secara politis, namun
kelihatan tidak begitu logis manakala ditinjau dari sisi konstruksi
teoritisnya. Dan itu tercermin tidak hanya dalam interpretasinya
mengenai pemerintahan, namun juga dalam argumentasinya
tentang manusia, kerja (labour) dan hak milik (property). Yang lebih
relevan untuk dibahas saat ini adalah teori Locke mengenai ide dan
bahasa sebagaimana hal-hal itu dikemukakannya di dalam An Essay
concerning Human Understanding.
Teorinya tentang ide dan bahasa itu telah menjadi satu topik
dari banyak perdebatan ilsafat yang menyoalkan apakah Locke
percaya bahwa kita mungkin atau, sebaliknya, tidak mungkin
untuk mengetahui obyek-obyek materiil sebagaimana apa
adanya, karena ia secara tegas menyatakan bahwa apa yang dapat
kita ketahui adalah apa yang dapat kita amati, dan pengetahuan
kita tentang obyek materiil yang dapat kita amati itupun selalu
melalui perantaraan ide atau gagasan. Jadi tidak ada hubungan
yang sifatnya langsung (immediate) antara obyek materiil dengan
pengetahuan yang kita miliki tentangnya. Biarkanlah kepastian
soal topik ini menjadi tugas para ilmuwan yang lebih kompeten
untuk menjawabnya. Satu pokok persoalan yang lebih relevan
untuk pokok bahasan kita adalah persoalan bahwa Locke sangat
menentang doktrin ide-ide bawaan (innate ideas), yaitu pendapat
bahwa semua makhluk manusia dilahirkan dengan ide-ide
bawaan—berbagai gagasan yang ditanamkan dalam pikiran kita
oleh Tuhan atau hanya dapat kita peroleh dengan melakukan
komunikasi denganNya. Bahkan ide mengenai Tuhan sendiri,
buat Locke, bukan merupakan sesuatu yang bersifat bawaan
(innate), melainkan lebih sebagai sesuatu yang akan ditemukan
atau diperoleh oleh sebuah pikiran rasional yang secara serius
melakukan releksi terhadap berbagai kreasi-kreasiNya yang ada
Tony Rudyansjah 39

di alam semesta. Menurutnya, mengapa Tuhan menyia-nyiakan


upayaNya melengkapi diri manusia dengan pengetahuan yang
bersifat bawaan (innate knowledge) manakala manusia dapat
memperoleh pengetahuan serupa melalui kemampuan yang sang
Pencipta itu sendiri telah anugrahkan kepada manusia sebagai
hakekat utama dari diri mereka.
Bagi Locke, pengetahuan dan kebenaran terbuka bagi setiap
orang yang diperoleh melalui pengamalan bersama atas releksi,
sensasi, nalar pikiran dan pengolahan pancaindera yang dapat
dilakukan oleh setiap insan manusia. Doktrin bawaan ini bersifat
esoterik, oleh karenanya berpeluang mengandung kecenderungan
eksploitasi represif dari orang-orang yang berada dalam posisi
memiliki autoritas berdasarkan satu klaim bahwa mereka adalah
penjaga terarkhir dari kebenaran tersembunyi itu—satu poin
yang seringkali ditegaskan oleh Locke dalam pembukaan dari
bukunya Essay concerning Human Understanding. Hume, dalam
nada suara yang lebih ekstrim, pernah secara keras menegaskan
bahwa nalar manusia (human reason) pada dasarnya sama dengan
yang dimiliki makhluk hidup lainnya (seperti binatang), yakni
lebih berdasarkan pada insting daripada suatu pemahaman yang
bersifat kuasi ilahi (quasi-divine insight) terhadap benda-banda
yang ada di dunia sekeliling manusia. Oleh karena itu, menurut
Hume, ilmu pengetahuan harus lebih bekerja berdasarkan
landasan eksperimen dan sistimasi pengamatan daripada spekulasi
apriori ataupun metaphysical theorizing.27
Penolakan terhadap ide bawaan ini secara langsung
melibatkan Locke dalam satu kontroversi yang panas dengan para
teolog yang berpendapat bahwa argumentasi Locke merupakan
bidah (ancaman) bagi keyakinan agama dan keutuhan disiplin
gereja. Locke menegaskan bahwa klaim kebenaran melalui wahyu

27
Untuk pendapat Hume itu, lihat pengantar dari Peter Millican dalam
buku David Hume An Essay concerning Human Understanding, 2007,
hlm. ix.
40 alam, Kebudayaan & yang IlahI

yang bersifat pribadi (personal) merupakan sesuatu yang kosong


dan secara sosial bersifat merusak. Merupakan sesuatu pendapat
yang lazim pada abad ke-17 untuk mengemukakan bahwa para
malaikat, dan bahkan, nabi Adam sebelum dikeluarkan dari surga,
adalah makhluk dengan pengetahuan yang sempurna karena hal
itu bersifat bawaan. Dalam pendapat itu, model dari kebenaran
hanya terdapat di masa lampau—di masa awal dunia—dan
kemajuan pengetahuan, dengan demikian, hanya dimungkinkan
dengan mengembalikan makna/tujuan moral dan spiritual di
balik keluarnya manusia dari surga dan terlemparnya mereka ke
bumi. Kebenaran, dengan kata lain, menjadi satu isu yang religius
sifatnya. Locke menolak keterkaitan antara masa awal sebelum
kejatuhan manusia dari surga (prelapsarian beginning) dengan masa
kini. Sebagai ganti dari isu ‘kembali ke situasi stasis yang hampa
waktu (timeless stasis), Locke menawarkan proses dan kemajuan
sebagai alternatif yang ia anggap lebih masuk akal. Ia secara tegas
menyatakan bahwa pengalaman merupakan sumber dari semua
pengetahuan. Semua ide, menurutnya, datang dari sensasi manusia.
“Let us then suppose the Mind to be, as we say, White Paper,
void of all Characters, whithout any Ideas; How comes it to
be furnished? Whence comes it by that vast store, which the
busy and boundless Fancy of Man has painted on it, with
an almost endless variety? Whence has it all the material
of Reason and Knowledge? To this I answer, in one word,
From Experience: In that, all our knowledge is founded;
and from that it ultimately derives it self. Our Observation
employ’d either about external, sensible Objects; or about the
internal Operation of Our Minds, perceived and relected on
by our selves, is that, which supplies our Understandings with
all the materials of thinking. hese two are the Fountains
of Knowledge, from whence all the Ideas we have, or can
naturally have, do spring.”28
[Marilah kita anggap bahwa Pikiran, sebagaimana kita bisa
katakan, sebagai secarik kertas putih bersih, tanpa tulisan

28
John Locke, An Essay concerning Human Understanding, 1985, hlm.
104.
Tony Rudyansjah 41

apapun, tanpa gagasan apapun. Bagaimana pikiran itu


dapat terisi dan dilengkapi? Darimana datangnya tempat
penyimpanan yang begitu besar dengan berbagai variasi
yang tak terhingga, yang fantasi tak terbatas manusia telah
goreskan atasnya? Darimana datangnya semua material dari
Akal dan Pengetahuan itu? Atas pertanyaan ini, saya jawab,
dengan satu kata, Dari Pengalaman. Dari Pengalaman,
semua pengetahuan itu mendapatkan dasarnya, dan dari
Pengalamanlah pengetahuan berasal. Pengamatan kita yang
ditujukan baik mengenai berbagai obyek eksternal yang
dapat diamati pancaindera, maupun mengenai cara kerja
pikiran yang internal sifatnya, dirasakan dan direleksikan
oleh diri kita sendiri, itu semualah yang menyediakan
pemahaman kita dengan berbagai materi dari pemikiran.
Kedua hal itu merupakan sumber dari pengetahuan,
darimana datangnya semua gagasan yang kita miliki, dan,
tentu saja, yang bisa kita miliki berasal.]

Lebih lanjut Locke mengemukakan bahwa ide/gagasan


adalah apa-apa yang pikiran dapat bayangkan atau nalarkan dalam
dirinya sendiri, atau sebagai sesuatu obyek yang secara langsung
ada dalam persepsi, pikiran dan pemahaman makhluk manusia.
Sebuah bola salju, sebagai contoh, dapat menghasilkan dalam
diri Anda semua satu gagasan tentang putih, dingin atau bundar;
dan kesemua itu, sebagaimana mereka adalah sensasi, persepsi di
dalam pemahaman diri Anda, adalah ide.29
Dari konsepsi serupa itu Locke kemudian mengembangkan
satu klasiikasi yang sangat rinci mengenai hakekat dari ide dan
cara bekerjanya pikiran manusia, yang dikembangkannya di
bagian buku II (mengenai kata-kata dan bahasa) di dalam An
Essay concerning Human Understanding, yang tentu saja sangat
menarik banyak perhatian para ahli linguistik. Pokok kajian yang
lebih relevan untuk pembahasan di sini adalah bagaimana Locke
mengkaitkan bahasa dengan gagasan dan pengalaman individual
manusia. Meskipun Locke bukan seorang yang religius, ia tetap

29
John Locke, op.cit, hlm. 134.
42 alam, Kebudayaan & yang IlahI

memberi penghormatan yang tinggi terhadap agama, dan ini


terlihat dalam argumentasinya tentang bahasa sebagai satu
pertalian sosial.
“GOD having designed Man for a sociable Creature, made
him not only with inclination, and under a necessity to have
fellowship wih those of his own kind; but furnished him
also with Language, which was to be the great Instrument,
and Common Tye of Society.”30
[TUHAN telah menciptakan manusia sebagai makhluk
sosial, menjadikan manusia tidak hanya dengan satu
kecenderungan dan, bahkan, di bawah satu keharusan,
untuk menjalin persahabatan dengan sesama jenisnya,
melainkan dilengkapi juga dengan satu Bahasa, yang
merupakan satu instrument utama sekaligus satu pertalian
bersama yang penting dari satu Masyarakat.]

Bunyi di dalam dirinya sendiri memang merupakan sesuatu


yang bersifat acak, namun bunyi yang diciptakan manusia
merupakan satu tanda (sign) dari satu konsepsi dari dalam diri
manusia, sehingga dengan itu seorang makhluk manusia mungkin
untuk menyampaikan pemikiran yang ada dalam pikirannya
kepada orang lain. Namun apabila setiap kata yang diucapkan
manusia hanya ada untuk hal-hal khusus yang ada pada satu
manusia itu saja, maka komunikasi pada dasarnya tidak mungkin
bisa terjadi. Oleh karena itu, manusia harus mengembangkan
sejumlah istilah umum (general terms), di dalam mana setiap kata
yang dirancang bisa digunakan untuk menandai sejumlah besar
eksistensi khusus manusia. Dan meskipun istilah umum telah ada,
masih banyak berbagai hal lain yang harus dipersiapkan manusia
untuk bisa mempertahankan basis pengalaman dari kata-kata
yang diciptakannya. Lebih banyak lagi yang harus dipersiapkan
untuk kata-kata yang memiliki pemaknaan yang bersifat musykil
atau sulit dipahami, seperti roh atau spirit.

30
John Locke, op.cit, hlm. 402.
Tony Rudyansjah 43

Situasi akan semakin rumit apabila diingat bahwa meskipun


pemaknaan yang musykil seperti spirit merupakan pemaknaan
primer, dalam arti sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh riil
bagi orang yang mengalaminya, tetap saja cara kerja internal dari
pikiran manusia harus dikomunikasikan dengan sejumlah kata-
kata, yang bermuasal pada derivasi asal dari pengalaman inderawi
masing-masing individu yang sedang menggunakannya.
Kata-kata, dengan lain perkataan, tidak pernah memiliki satu
pertalian yang bersifat intrinsik dengan gagasan yang diacunya.
Apabila terdapat pertalian intrinsik semacam itu, maka yang ada
hanyalah satu bahasa untuk seluruh umat manusia. Meskipun
pertalian antara kata dengan gagasan bersifat acak, tetap saja
terdapat satu pertalian yang bersifat langsung (immediate) antara
sebuah kata yang digunakan seseorang dengan gagasan yang
ada dalam pikiran orang yang sedang menggunakan kata itu,
sehingga Locke berusaha untuk tetap mempertahankan bahwa
individu harus tetap dilihat sebagai titik pijakan utamanya. Ia
menegaskan bahwa kata-kata merupakan tanda-tanda inderawi
bagi sejumlah gagasan dari individu yang menggunakannya.
Kata-kata tidak mewakili apa-apa selain sejumlah gagasan dalam
pikiran orang yang mengucapkan kata-kata itu. Bagi Locke, tidak
terdapat pemaknaan sosial yang bersifat abstrak dari kata-kata.
Kata ‘hantu” hanya mengacu kepada apa yang ada dalam pikiran
dari orang yang mengunakannya. Apabila Anda mendengar orang
lain mengujarkan kata itu, maka apa yang dikomunikasikan oleh
kata itu adalah apa yang Anda ketahui mengenai “hantu” dari
pengalaman diri Anda sendiri.
Locke mengembangkan satu diskusi yang sangat menarik
berkenaan dengan perbedaan antara kata-kata yang kita gunakan
untuk mencatat pikiran kita sendiri dengan kata-kata yang
dimaksudkan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Untuk
kasus yang pertama, saat kita berbicara dengan diri sendiri, maka
kata-kata apapun dapat digunakan. Oleh karena bunyi bersifat
44 alam, Kebudayaan & yang IlahI

acak sepanjang yang dipersoalkan adalah tentang maknanya,


maka kita semua dapat mengujarkan bunyi apapun kepada diri
kita sendiri. Namun pada saat berkomunikasi dengan orang
lain, kata-kata menjadi tidak efektif apabila kata-kata itu tidak
menimbulkan gagasan yang sama seperti yang dimaksudkan oleh
si pembicaranya di dalam pikiran si pendengarnya.
Lebih lanjut, Locke membentangkan berbagai sumber dari
berbagai kesulitan komunikasi antar manusia. Meskipun apa
yang disebutnya sebagai propriety, yakni penggunaan bersama
dari bahasa, dapat memiliki manfaat untuk tujuan percakapan
bersama (common conversation), hal itu tetap memiliki kekurangan
untuk wacana ilsafat dan ilmu pengetahuan yang membutuhkan
ketepatan makna yang sangat tinggi dari apa-apa yang ingin
disampaikan. Masalah utamanya adalah bahwa tidak terdapat
satu standar yang ada di alam di dalam mana ide dapat mengacu.
Meskipun sejumlah kata manakala digunakan bagi diri sendiri
mungkin untuk tidak menimbulkan kesalahan (error) sejauh
penggunaan individual kata-kata itu dimaksudkan semata-mata
untuk mencatat pikiran individu yang bersangkutan, penggunaan
bahasa untuk komunikasi dengan orang lain memiliki
kecenderungan kuat untuk keliru karena kata-kata hanya memiliki
pertalian yang sifatnya konvensional dengan gagasan kita sendiri,
di samping tidak adanya hubungan langsung antara kata-kata itu
dengan hal-hal yang diacunya.
he Chief End of Language in Communication being to be
understood, Words serve not well for that end, neither in
civil, nor philosophical Discourse, when any Word does not
excite the Hearer, the same Idea which it stand for in the
Mind of the Speaker. Now since Sounds have no natural
connexion with our Ideas, but have all their signiication
from the arbitrary imposition of Men, the doubtfulness and
uncertainty of their signiication, which is the Imperfection
we here are speaking of, has its cause more in the Ideas they
stand for, than in any incapacity there is in one Sound,
more than in another, to signify any Idea:...Words having
Tony Rudyansjah 45

naturally no signiication, the Idea which each stands for,


must be leaned, and retained by those, who would exchange
houghts, and hold intelligible Discourse with others.”31
[Tujuan utama dari bahasa dalam komunikasi adalah agar
dapat dipahami, dan Kata-kata tidak begitu baik untuk
tujuan itu, tidak hanya bagi diskursus publik namun juga
bagi diskursus ilsafat, manakala sebuah kata tidak dapat
membangkitkan di telinga Pendengarnya sebuah gagasan
yang sama seperti yang dimaksudkan di dalam pikiran si
Pembicaranya. Oleh karena bunyi tidak memiliki hubungan
alami dengan gagasan-gagasan, melainkan karena semua
pemaknaan dari bunyi itu berasal dari imposisi (ketentuan)
acak yang datang dari manusia, maka ketidaksempurnaan
dari apa yang sedang kita bicarakan ini, lebih bermuasal
pada Ide yang bunyi dapat wakilkan, ketimbang pada
ketidakmampuan satu kata, manakala dibandingkan
dengan kata-kata lainnya, untuk mewakili satu gagasan
tertentu. Kata-kata yang secara alami tidak mengandung
pemaknaan apapun, dan oleh karena itu, pemaknaan yang
kata-kata itu representasikan harus dipelajari sekaligus
dipertahankan bagi siapa-siapa yang mau menukarkan
berbagai pikirannya ataupun melakukan satu percakapan
yang dapat dipahami dengan pihak lain.]

Justru karena tidak terdapat satu hubungan alami antara satu


kata dengan gagasan yang diwakilinya, dan juga karena secara
a fortiori tidak terdapat hubungan langsung antara kata yang
bersangkutan dengan benda (hal) yang diacunya, maka kita tidak
dapat secara mudah mengandaikan bahwa pihak yang lain akan
memberi pemaknaan yang sama terhadap kata-kata yang sedang
kita gunakan. Dan karena kata-kata kita tidak memiliki pertalian
alami dengan benda-benda yang sedang dibicarakan, melainkan
menampikan pemaknaannya hanya melalui perantaraan ide-
ide dari kata-kata yang menjadi wakil dari benda-benda yang
bersangkutan—di mana kata-kata itu sendiri merupakan sesuatu
yang ditentukan secara sukarela oleh manusia, dan sedangkan ide-
ide itu sendiri berada tersembunyi di balik pikiran individu masing-

31
John Locke, op.cit, hlm. 476-477.
46 alam, Kebudayaan & yang IlahI

masing, maka meskipun bahasa dapat dianggap merupakan satu-


satunya alat untuk mengkomunikasikan gagasan/ide, kita tidak
dapat dengan serta merta menanggapinya sebagai satu medium
yang bersifat transparan: ia tidak dapat memberikan kita satu
akses langsung terhadap ide dari orang lain.
Meskipun begitu, satu hal perlu diingat bahwa bahasa
juga memiliki satu pengertian lain, yaitu sebagai satu imposisi/
ketentuan yang bersifat sukarela atas realitas. Dengan kata lain,
dalam rangka dapat berkomunikasi dengan orang lain, kita harus
setuju menggunakan satu skema klasiikasi yang sama; namun
sayangnya alam tidak pernah mendikte kita tentang skema
klasiikasi apa yang harus digunakan, dan oleh karenanya, kita
dengan berbagai upaya yang dilakukan harus dapat menjamin
terwujudnya satu kesepakatan bersama mengenai satu skema
klasiikasi yang serupa.
Subyek bahasan seperti itu tentu saja sangat relevan bagi para
ahli antropologi yang biasanya tertarik untuk mempelajari dan
memahami skema klasiikasi dari komunikasi antar manusia dalam
satu masyarakat. Sayangnya Locke tidak banyak mendiskusikan
bagaimana hal ini dapat dilakukan. Pelajaran utama dari bahasan
yang dilakukannya adalah bahwa bahasa adalah sesuatu yang
diimposisikan secara sukarela, oleh karena itu kita harus secara
cermat dan teliti mengontrol dan menggunakannya. Tersurat
dalam kajiannya bahwa pemecahan atas masalah propriety atau
penggunaan bersama dari bahasa adalah dengan cara penggunaan
bahasa yang bermuara kepada gagasan dari pemaknaan bersama,
atau bahkan menuju kepada pemaknaan kultural bersama (shared
cultural meaning)
“For Words, especially of Languages already framed,
being no Man’s possession, but the common measure of
Commerce and Communication, ‘tis not for any one, at
pleasure, to change the Stamp they are current in; nor alter
Tony Rudyansjah 47

the Ideas they are aixed to…”32


[Oleh karena kata-kata, dan terutama Bahasa-Bahasa
merupakan sesuatu yang sudah terbingkaikan, maka
kesemua hal itu tidak berada di bawah satu kepemilikan
seseorang individu saja, melainkan menjadi alat ukur
bersama dari perdagangan dan komunikasi, maka hal
tersebut tidak terserah kepada satu orangpun untuk dapat
secara sesukanya merubahnya maupun mengganti Ide-ide
yang melekat dengannya…]

Dengan pendapat serupa itu maka Locke berusaha


meyakinkan kita semua bahwa tidak cukup bagi insan manusia
hanya menentukan secara hati-hati kata-kata yang menjadi tanda
dari gagasan yang mau disampaikan, kita semua juga harus
mengaplikasikan setiap kata-kata yang kita sedang gunakan sedekat
mungkin dengan berbagai gagasan yang mau ditampilkannya
dalam kerangka sebagai satu penggunaan bersama bagi perluasan
diri kita semua di dalam berhadapan dengan berbagai realitas
yang ada di dunia. Pendapat Locke, bahwa sangat bermanfaat
untuk melakukan satu kompilasi raksasa dari berbagai deinisi
mengenai berbagai nama-nama dari substansi yang ada di alam
semesta, yang diakuinya memang merupakan satu proyek yang
tidak mungkin dilakukannya oleh satu orang individu saja, sangat
menginspirasi para pembuat kamus dan para French Encyclopedia,
seperti d’Alembert, Diderot dan Voltaire.
Setelah satu uraian yang panjang tentang berbagai tingkat dari
kepastian pengetahuan, yang berdasarkan pada pengetahuan yang
bersifat langsung, inferensi, probabilitas, kesepakatan bersama,
dan lain sebagainya, Locke akhirnya sampai pada satu diskusi
tentang analogi, yang sekaligus dipilihnya untuk memberikan
semacam contoh pada apa yang telah kita sebut sebagai the Great
Chain of Being.
“hus inding in all parts of the Creation, that fall under
Humane Observation, that there is a gradual connexion

32
John Locke, op.cit, hlm. 514
48 alam, Kebudayaan & yang IlahI

of one with another, without any great or discernable gaps


between, in all that great variety of hings we see in the
World, which are so closely linked together, that, in the
several ranks of Beings, it is not easy to discover the bounds
betwixt them, we have reason to be perswaded, that by such
gentle steps hings ascend upwards in degrees of Perfection.
“tis an hard Matter to say where Sensible and Rational begin,
and where Insensible and Irrational end: and who is there
quick-sighted enough to determine precisely, which is the
lowest Species of living hings, and which the irst of those
which have no life? hings, as far as we can observe, lessen,
and augment, as the quantity does in a regular Cone, where
though there be a manifest odds betwixt the bigness of the
Diameter at remote distance: yet the diference between the
upper and under, where they touch one another, is hardly
discernable. he diference is exceeding great between
some Men, and some Animals: But if we will compare the
Understanding and Abilities of some Men, and some Brutes,
we shall ind so little diference, that ‘twill be hard to say,
that that of the Man is either clearer or larger. Observing,
I say, such gradual and gentle descents downwards in those
parts of the Creation, that are beneath Man, the rule of
Analogy may make it probable, that it is so also in hings
above us, and our Observation; and that there are several
ranks of intelligent Beings, excelling us in several degrees of
Perfection, ascending upward towards the ininite Perfection
of the Creator, by gentle steps and diference, that are every
one at no great distance from the next to it.”33
[Jadi menemukan di dalam semua bagian dari penciptaan,
yang dapat diamati manusia, terdapat satu koneksi yang
bertingkat-tingkat antara yang satu dengan yang lainnya
tanpa adanya jarak yang besar atau dapat dilihat di antara
keanekaragaman yang begitu besar dari benda-benda
di dunia, yang begitu dekat bertalian satu sama lain,
dan bahwa di antara beberapa tingkatan dari makhluk
hidup, tidak dapat ditemukan adanya batas pembeda di
antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga dengan
adanya pentahapan yang begitu halus kita tergoda untuk
berpikir bahwa benda-benda itu juga naik ke atas di dalam

33
John Locke, op.cit, hlm. 666.
Tony Rudyansjah 49

tahap-tahap kesempurnaannya. Merupakan perkara sulit


mengatakan di mana makhluk dengan akal sehat dan
rasional di mulai dan di mana makhluk irasional dan tidak
dengan akal sehat berakhir: dan siapa dengan pengamatan
cukup cepat dan tangkas menentukan secara tepat apa
yang merupakan jenis terendah dari makhluk hidup dan
apa yang pertama-tama di antara berbagai hal yang ada
yang tidak memiliki kehidupan. Sejauh dapat kita amati,
benda-benda bertumbuh dan berkurang layaknya sejumlah
horen es krim biasa yang meskipun terdapat dari kejauhan
keganjilan-keganjilan yang nyata di antara besaran-
besaran garis tengahnya, namun perbedaan antara yang di
atas dengan yang di bawah hampir tidak kelihatan mata
manakala mereka saling bertumpang-tindih satu sama
lain. Perbedaan menjadi semakin kentara antara sejumlah
manusia dengan sejumlah binatang. Tetapi manakala
kita bandingkan pemahaman dan kemampuan beberapa
manusia dengan beberapa binatang, kita akan menemukan
perbedaan yang begitu kecil, sehingga sulit untuk bisa
mengatakan bahwa manusia adalah yang lebih halus dan
lebih baik. Mengamati proses menurun ke bawah yang
begitu halus dan begitu bertahap-tahap di dalam bagian-
bagian dari penciptaan itu yang berada di bawah tingkatan
manusia, maka dengan aturan analogi serupa dimungkinkan
satu probabilitas bahwa gejala yang sama terdapat di
antara benda-benda di atas kita, bahwa terdapat beberapa
tingkatan makhluk intelejen, yang jauh mengungguli kita
di beberapa tingkat kesempurnaan, menaik ke atas menuju
kesempurnaan tak terhingga dari sang Pencipta, yang
dengan tahapan yang begitu halus dan bertingkat-tngkat
hampir tidak memperlihatkan adanya perbedaan di antara
yang satu dengan yang lainnya.]

Berdasarkan analogi seperti itu Locke mencoba meyakinkan


kita semua bahwa sangat mungkin terdapat makhluk hidup yang
jauh lebih cerdas dan lebih sempurna daripada kita makhluk
manusia, dan barangkali kita bisa dengan mudah terjebak
membuat satu analogi lain bahwa makhluk yang lebih cerdas itu
hidup dan berada sekarang ini di planet-planet lain yang ada selain
planet Bumi di hamparan alam raya yang maha luas. Hipotesa
50 alam, Kebudayaan & yang IlahI

seperti itu dibangun berdasarkan pada prinsip probabilitas, dan


Locke menyebutnya sebagai ‘a wary Reasoning from Analogy’ (satu
penalaran berdasarkan analogi yang dilakukan secara cermat).
“his sort of Probability, which is the best conduct of
rational Experiments, and the rise of Hypothesis, has also
its Use and Inluence; and a wary Reasoning from Analogy
leads us often into the discovery of Truth, and useful
Productions, which would otherwise lie concealed.”34
[Probabilitas semacam ini, yang merupakan satu prak-
tek eksperimen rasional terbaik, dan hipotesa yang diha-
silkannya, memiliki juga kegunaannya dan pengaruhnya;
dan penalaran berdasarkan analogi yang dilakukan secara
cermat sering membawa kita pada satu penemuan mengenai
Kebenaran-Kebenaran beserta berbagai manfaat ikutannya,
yang tanpanya barangkali akan tetap tersembunyi sela-
manya.]

Lepas dari persoalan benar atau tidaknya pendapat yang ditarik


Locke dari azas probabilitas yang dikembangkannya mengenai
apa yang disebut Lovejoy sebagai the Great Chain of Being, serta
kesimpulan yang bisa ditarik orang dari prinsip probabilitas Locke
ini tentang adanya makhluk yang lebih cerdas daripada manusia
yang hidup di planet lain di alam semesta, satu hal patut dicatat
bahwa Locke secara tegas menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
harus memiliki manfaat bagi kehidupan bersama manusia. Ia
dapat dikatakan merupakan seorang tokoh dalam ilmu-ilmu sosial
yang memiliki percampuran yang unik antara empirisisme and
rasionalisme. Bahkan, ia dapat juga dikatakan memiliki pengaruh
yang jauh lebih besar daripada Hobbes ataupun Descartes. Bagi
Locke, alam semesta diatur oleh akal pikiran (reason), oleh karena
itu, ketrampilan menerapkan pengetahuan dimaksudkan tidak
hanya untuk mengejar tujuan-tujuan demi kepentingan diri pribadi
secara sempit, seperti yang dikembangkan oleh Hobbes, melainkan
yang lebih penting lagi ditujukan untuk menemukan prinsip dan

34
John Locke, op.cit, hlm. 666-667
Tony Rudyansjah 51

azas tentang hak alami dari orang lain.


Locke beranggapan telah menemukan prinsip dan azas itu
di dalam rumusan yang disebutnya sebagai the natural identity
of interest. Namun sebagaimana telah saya sebutkan, Parsons
menegaskan the natural identity of interest itu tidak lebih dari
sekedar seperangkat alat yang digunakan di dalam berbagai
pemikiran utilitarian untuk menghilangkan problema Hobbes,
yakni war of all against all dari makhluk homo homini lupus—
perang semua terhadap semua dari makhluk manusia yang
merupakan serigala bagi manusia lainnya. Bagi Parsons, Locke
merupakan contoh yang baik dari seorang pemikir yang memiliki
pengetahuan yang jauh lebih unggul daripada teori yang berhasil
dikembangkannya. Meskipun Locke jauh lebih berpengaruh
daripada Hobbes, Parsons beranggapan bahwa Hobbes jauh lebih
cermat dan konsisten di dalam pemikiran yang dikembangkannya.
Hobbes, yang berbeda secara kontras dengan Locke dalam
perkara ini, membentangkan secara konsisten tentang prinsip-
prinsip beroperasinya pikiran manusia serta perilaku mereka
dalam keadaan alaminya. Ia membentangkan semua prinsip-
prinsip itu tanpa mengambil satu kesimpulan apapun. Bagi
Hobbes, tidak terdapat satupun dalam kehidupan manusia yang
bisa menyatukan mereka untuk hidup bersama, kecuali oleh
sesuatu yang bersifat buatan (artiicial) yang berasal dari luar diri
mereka sendiri. Di dalam teorinya, Hobbes tidak memberikan
satupun petunjuk akan adanya elemen sociability dari manusia.
Locke juga menggunakan elemen-elemen teori yang serupa
dengan Hobbes, namun perbedaannya adalah ia berupaya
menyeludupkan berbagai bentuk sociability manusia di dalam
narasi dari teori yang dikembangkannya.
Perkembangan besar selanjutnya dalam teori sosial di Inggris
adalah dengan mengambil-alih bagian-bagian tertentu dari karya
Hobbes dan Locke tanpa memecahkan berbagai kesulitan yang
telah diwariskan dan disisakan oleh teori dari kedua tokoh besar ini.
52 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Persoalan ini akan dibicarakan secara mendalam di bab 2. Dalam


kesempatan yang tersisa di sini, saya mencoba menyampaikan dua
hal lain, yakni kemajuan dan evolusi, yang menurut saya sangat
berkaitan juga dengan pokok persoalan utama yang sudah kita
bahas sejauh ini. Perspektif yang lebih kemudian di dalam aliran
evolusi misalnya, yang juga masih terilhami oleh Materialisme
dan ilsafat alam abad ke-17 dan 18, nampaknya mengangkat
lagi sudut pandang serupa yang menganggap keburukan (evil)
merupakan suatu keniscayaan dan sekaligus merupakan bagian
yang tak terpisahkan dan intrinsik dari kehidupan manusia. Temuan
terakhir dari ilmu eksperimental memperlihatkan bahwa dalam
tingkat tertentu semua yang ada di alam semesta adalah harmonis
dan teratur, oleh karena itu seharusnya tidak ada alasan untuk
mengangap bahwa hakekat sosial dan spiritual manusia sangat
berbeda dengan dunia isik alam semesta. Meskipun demikian,
kenyataan menunjukkan bahwa kemakmuran tidak dengan
sendirinya menghilangkan berbagai keburukan (evil) yang ada di
dunia. Apabila dunia seharusnya harmonis dan baik, bagaimana
mungkin keburukan (evil) masih bisa tetap bertengger di dunia.
Di sinilah isu tentang the Great Chain of Being menjadi kembali
relevan, sebagaimana hal itu pernah diutarakan oleh Carl Becker
“…maybe the world was after all neither completed drama
nor perfected machine, but rather something is still in the
making, something that is still being created. he Great
Chain of Being was not something stretching from God
down the the lowest dregs of creation in here and now,
with everything and everybody having an assigned place in
hierarchy; but it was something laid down through time.”35
[..barangkali dunia bukanlah drama yang tuntas maupun
mesin yang sempurna, melainkan lebih sebagai sesuatu
yang masih dalam proses pembuatan, sesuatu yang masih
mengalami proses penciptaan. Mata Rantai Raksasa dari
Segala yang ada bukan sesuatu yang membentang dari

35
Carl Becker, he Heavenly City of the Eighteenth Century Philosophers,
1932, hlm. 102.
Tony Rudyansjah 53

Tuhan turun ke bawah sampai pada tangga terendah dari


Pencintaan di dunia saat ini dan di sini, dengan berbagai hal
dan berbagai orang mendapatkan tempat khusus masing-
masing dalam hirarki itu, melainkan lebih sebagai sesuatu
yang dihamparkan dalam bentangan waktu.]

Perspektif yang lebih mutathir tentang hakekat alam dan


kaidah-kaidah alam seperti itu nampaknya masih berjalan
beriringan dengan pendapat para leluhur dan pendiri ilmu sosial
dunia maupun para ahli ilsafat Abad Pencerahan pada abad ke-
18, seperti d’Alembert, Voltaire, Montesquieu, Rousseau, Diderot,
dan Condorcet di Perancis, serta Adam Ferguson dan Adam
Smith di Inggris, dan Jeferson dan Franklin di Amerika, maupun
Liebniz, Lessing dan Herder di Jerman. Walaupun perbedaan
terwujud di antara mereka, semuanya masih asik dan terpaku
pada sejumlah pertanyaan yang sama, dan yang essensial dari
semua pertanyaan itu adalah masalah bagaimana satu masyarakat
yang baik bisa diwujudkan. Salah satu kalimat pembuka dalam
buku Rousseau Social Contract adalah
“..man is born free; and everywhere he is in chains.”36
[…manusia terlahirkan bebas, namun di mana-mana
mereka terbelunggu.]

Bagaimana perubahan drastis seperti yang diutarakan Rousseau


itu mungkin terjadi? Suasana opini yang berkembang pada Abad
Pencerahan dalam menjawab persoalan itu terlihat dari jawaban
retoris yang diberikan oleh Rousseau sendiri dalam buku yang sama.
“I don’t know.”37
[Saya tidak tahu.]

Meskipun begitu jawaban yang disampaikannya, Rousseau


sangat mungkin tidak terlalu peduli terhadap pertanyaan itu,
karena dalam kenyataannya ia tidak pernah menaruh ketertarikan

36
Jean-Jacques Rousseau he Social Contract and Discourses, 1979, hlm. 165.
37
Jean-Jacques Rousseau, op.cit, hal 165.
54 alam, Kebudayaan & yang IlahI

pada isu tentang asal-usul manusia sebagaimana hal itu kemudian


menjadi tujuan utama kajian ilmiah abad ke-19.
Para pemikir Abad Pencerahan pada dasarnya sudah
mengantungi jawaban atas pertanyaan itu: manusia memang
terlahir bebas, namun terbelenggu di mana-mana; dan hal itu
dikarenakan akal manusia dirusak oleh agama, pencerahan
pikiran manusia dihancurkan oleh takhyul, dan manusia sendiri
diperbudak oleh persepsi yang sangat tidak jelas dan kabur sifatnya.
Pemikir abad ke-18 menganggap dirinya sudah mengetahui
permasalahannya, sehingga mereka lebih tertarik untuk bisa
memisahkan fakta-fakta yang umum dari fakta-fakta yang khusus
di dalam kehidupan makhluk manusia, serta berusaha memahami
bagaimana manusia mulai tercemar oleh berbagai keburukan sosial
(social evils) yang berlawanan dari hakekat manusia sesungguhnya,
dan sekaligus menemukan jawaban bagaimana keburukan sosial
itu dapat dihilangkan atau paling tidak dikurangi.
Rousseau, sebagai contoh lagi, pernah mengutarakan
bahwa kita harus memisahkan apa-apa yang menjadi variasi
dari hakekat manusia dengan apa-apa yang merupakan unsur
essensial dari makhluk manusia. Makna dari pernyataan ini sama
dengan kiasan yang sudah lama dikenal di negeri kita, yakni
‘lain ladang lain belalang’: hakekat manusia di manapun sama
saja, yang berbeda hanyalah adat istiadatnya. Pada poin inilah
kita sesungguhnya sampai pada konsep tentang hakekat manusia
dan konsep tentang akal pikiran manusia dari Abad Pencerahan,
yang begitu tajam diperolok-olokkan oleh Geertz dalam artikel
‘he Impact of Culture on the Concept of Man’.38 Keasyikan
para pemikir abad ke-18 pada hakekat manusia yang universal—
dengan keseragaman/kesamaan dibalik berbagai perbedaan yang
terwujud antar manusia—sangat drastis berbeda dengan perhatian
para pemikir abad sebelumnya yang sangat tertarik justru pada

38
Cliford Geertz he Interpretation of Cultures. 1973
Tony Rudyansjah 55

perbedaan, yang menghasilkan bukan hakekat manusia yang


paling dasar melainkan apa yang disebut oleh Lovejoy the Great
Chain of Being: berbagai makhluk hidup yang masing-masing
memiliki ceruk berbeda dan sekaligus tempat yang sudah
ditentukan di dalam keanekaragaman alam semesta.
Para pemikir abad ke-18 memang tidak naik turun
menjelajahi kontur permukaan bumi hanya dalam rangka
memahami bagaimana bekerjanya hakekat kemanusiaan,
melainkan lebih terdorong oleh misi memperlihatkan bahwa
dibalik berbagai perbedaan dalam adat istiadat dan kebiasaan
manusia terdapat satu hakekat kemanusiaan yang berlaku umum.
Hal itu sangat gamblang terlihat ketika Hume menegaskan bahwa
makhluk manusia begitu serupa di berbagai belahan muka dunia,
sehingga sejarah dan ilmu pengetahuan sebetulnya tidak terlalu
banyak bisa memperlihatkan sesuatu yang sesungguhnya betul-
betul baru di bawah kolong langit dunia. Tujuan utama ilmu
pengetahuan, katanya lagi, adalah untuk menemukan prinsip-
prinsip yang konstan dan universal mengenai hakekat manusia.
Satu hal penting yang perlu dicatat dalam konteks ini adalah
isu mengenai bagaimana gagasan tentang penciptaan dan diversitas
manusia itu kemudian bisa melahirkan gagasan rasisme, yang
merupakan salah satu bahasan kita tentang evolusi di jilid kedua
dari buku ini. Namun izinkanlah saya di bab 2 mendiskusikan
terlebih dulu beberapa karya sejumlah ahli ilsafat, ekonomi politik
dan sosial pada abad ke-18 dan 19 dalam rangka memperlihatkan
perbedaan pandangan yang begitu beraneka ragam dan luas
mengenai manusia serta kebudayaan dan masyarakat yang
dihasilkan mereka. Variasi pandangan yang beraneka ragam dan
luas tentang manusia itu tercermin dalam pergeseran pandangan
mereka tentang masyarakat dan kebudayaan yang tadinya dilihat
sebagai releksi dari satu entitas yang bersifat religius dan moral,
menjadi politik dan akhirnya ekonomi.
2

transforMasI DarI agaMa


Ke MoraLItas, PoLItIK
Dan eKonoMI

“Who now reads Spencer?


It is diicult for us to realize how great a stir he made in the
world.”1
[Siapa yang sekarang membaca Spencer?
Sulit bagi kita bisa menyadari kekuatan gunjangan yang ia
buat di dunia.]

Pernyataan di atas dipaparkan oleh Crane Brinton dalam


buku English Political hought in the Nineteenth Century untuk
mengambarkan dampak besar yang dibuat Herbert Spencer
terhadap pemikiran politik Inggris pada abad ke-19. Talcott Parsons
dalam nada yang hampir serupa memilih Spencer sebagai contoh
tahap perkembangan sistem pemikiran utilitarian dan positivistik
mengenai manusia dan masyarakat, yang memainkan begitu
banyak peranan dalam sejarah intelektual masyarakat-masyarakat
yang berbahasa Inggris.2 Parsons tidak menyebutkan nama Spencer

1
Crane Brinton, English Political hought in the Nineteenth Century.
1933, hlm. 226.
2
Talcott Parsons, Structure of Social Action, vol. I, 1968, hlm. 3.
56
Tony Rudyansjah 57

dalam buku he Structure of Social Action dalam rangka mengulas


secara mendalam bagaimana dampak ataupun kontribusi yang
telah diberikan Spencer terhadap pemikiran politik pada abad ke-
19, tidak juga dalam rangka mendiskusikan bagaimana hal itu bisa
dilakukannya, melainkan lebih mengulas tokoh ini dalam rangka
menampilkan sebuah contoh dari tradisi pemikiran utilitarian dan
positivistik. Parsons berupaya menemukan batas dari positivisme
sebagai satu cara analisa teoritis dan sekaligus memperlihatkan
bagaimana berbagai kontradiksi yang ada di dalam positivisme
kemudian mendorong kelahiran dari apa yang disebutnya sebagai
teori voluntaristik mengenai tindakan manusia.3
Hal inilah yang menjadi tema sentral Parsons dalam buku
itu. Saya tidak akan mengulang kembali di sini apa yang telah
diulas Parsons dengan begitu baik, melainkan lebih memusatkan
perhatian pada persoalan bagaimana tradisi pemikiran yang tadinya
sangat naturalistik dan mekanistik, seperti yang dilakukan Hobbes
dan Locke, kemudian bisa bertransformasi atau bergeser menjadi
utilitarian dengan tokoh-tokohnya seperti Herbert Spencer dan
Adam Smith. Menggambarkan bagaimana transformasi atau
pergeseran itu terjadi tentu saja merupakan suatu perkara yang
jauh lebih kompleks daripada sekedar menggambarkan secara
terpisah dan sendiri-sendiri kepudaran sesuatu yang lama dan
usang, serta kemunculan sesuatu yang baru. Pergeseran tradisi
pemikiran itu tentu saja tidak berlangsung dalam sekejap,
melainkan lebih berproses melalui akumulasi sejumlah sistem
gagasan yang dikembangkan oleh sejumlah banyak tokoh pemikir
sebelumnya.

3
Teori voluntaristik mengenai tindakan manusia beranggapan bahwa
manusia bertindak secara sukarela karena nilai yang diyakininya secara
kuat. Jadi tindakan manusia dilihat berorientasi dan ditujukan pada
nilai itu sendiri, dan bukannya pada pertimbangan pragmatis maupun
ekonomis lainnya. Teori voluntaristik ini sangat bertentangan dengan
pemikiran utilitarian yang membingkai tindakan manusia di dalam
azas guna.
58 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Saya ingin mendiskusikan masalah tersebut, sekaligus


memperlihatkan beberapa dimensi penting dari teori sosial
tentang masyarakat dan kebudayaan yang berdasarkan pada
tradisi pemikiran utilitarian tersebut. Secara ringkas dapat
disebutkan di sini, sebagai pengantar awal dari satu pembahasan
yang panjang, bahwa pemikiran positivistik dan utilitarian
kemudian mengalami perkembangan ke berbagai arah. Pertama
adalah teori positivistik yang melihat masyarakat dan kebudayaan
manusia dengan menekankan pada para anggota masyarakat
sebagai aktor yang rasional (rational actors). Kedua adalah teori
positivistik yang memandang masyarakat dan kebudayaan sebagai
entitas yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Dan yang
ketiga, melihat masyarakat dan kebudayaan sebagai perwujudan
dari prinsip evolusi. Ketiga arah perkembangan dari tradisi
pemikiran positivistik dan utilitarian seperti itu sesungguhnya
tidak sungguh-sungguh berbeda satu sama lain, dan hal ini akan
menjadi pokok bahasan kita dalam bab-bab selanjutnya dari buku
ini. Untuk memperjelas persoalan ini mari kita mulai pembahasan
ini melalui tiga isu penting berkaitan dengannya, yakni uang,
kekuasaan dan tuhan.
Pada masa kini di mana uang, ketenaran, dan kekuasaan
begitu dipuja-puja orang, sangat sulit untuk dapat memahami
bagaimana Santo Augustine bisa begitu keras mengutuk: (1) nafsu
akan kekayaan materiil (uang), (2) nafsu akan kekuasaan, dan (3)
nafsu akan birahi seksual, sekaligus memperlakukan semuanya
sebagai dosa besar bagi manusia. Hampir tidak ada seorangpun
di masa kini yang berpendapat bahwa uang dan kekuasaan
adalah dosa. Transformasi nilai sosial mengenai pengejaran
keuntungan dari yang tadinya ditanggapi sebagai satu dosa besar
menjadi sebuah kebajikan moral tentu saja merupakan sebuah
revolusi besar di dalam kehidupan masyarakat. Perkembangan
industri dan sikap mengejar keuntungan ataupun membuat uang
sebanyak-banyaknya memang tak dapat disangkal mendapatkan
Tony Rudyansjah 59

dukungan dari teori mekanistik tentang masyarakat sebagaimana


dikembangkan Hobbes maupun Locke. Meskipun demikian,
perubahan sikap itu mengandung hal yang jauh lebih kompleks
daripada apa yang sering dibayangkan orang.
Pemikiran ekonomik klasik di masa awal zaman modern
pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 mencakup hal-hal
yang jauh lebih luas dan kompleks daripada apa-apa yang dicakup
oleh gagasan ekonomik modern pada abad ke-20. Tercakup
dalam perkembangan pemikiran ekonomik klasik itu adalah
keseluruhan total dari pemikiran tentang masyarakat, moral, dan
manusia pada umumnya—satu cara berpikir yang sekarang telah
menjadi bagian integral dari common sense, tidak hanya dari dunia
Barat namun juga dari banyak masyarakat dunia pada abad ke-
21. Apa yang terkandung dalam tulisan-tulisan para komentator
ekonomi politik pada abad ke-18 adalah gagasan psikologi yang
agak sederhana bahwa manusia dikendalikan oleh gairah nafsu
(passion), dan permasalahan yang dihadapi oleh setiap masyarakat
manusia adalah bagaimana kemungkinan untuk tetap dapat
mempertahankan berbagai gairah nafsu manusia dengan cara
menekan mereka atas nama satu kebajikan yang lebih tinggi.
Banyak orang meyakini bahwa, meskipun sulit untuk dapat
dikendalikan, berbagai gairah nafsu manusia itu justru harus
digunakan satu sama lain agar dapat melahirkan berbagai hasil
yang bermanfaat.
Hobbes dengan psikologi materialistik yang sangat
deterministik tetap saja menyediakan ruang bagi gairah nafsu
manusia. Bahkan dalam perkembangan pemikirannya, ia percaya
bahwa gairah nafsu dapat diarahkan untuk melahirkan hasil sosial
yang bermanfaat bagi keseluruhan masyarakat, yang sebelumnya
tidak dapat diantisipasi hanya dengan melihat tindakan
individunya semata. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
penggunaan dan pembenturan satu per satu berbagai gairah nafsu
manusia dalam rangka untuk dapat melahirkan suatu hasil yang
60 alam, Kebudayaan & yang IlahI

didambakan merupakan dasar di balik berbagai teori rasionalitas


yang berbeda-beda itu.
Teori rasionalitas itulah, melalui tokoh-tokohnya seperti
homas Hobbes, John Locke, David Hume, Adam Smith dan,
yang sebelumnya tidak pernah saya sebutkan, François Quesnay,
dapat memunculkan satu cara baru dalam melihat gejala
masyarakat dan kebudayaan, sekaligus menggoreskan satu bidang
tersendiri yang sekarang ini disebut dengan istilah ekonomi dalam
kanvas percaturan dunia ilmu pengetahuan manusia.
Apabila kita cermati kesinambungan antara para pemikir
Kristiani dari Abad Pertengahan (biasanya disebut sebagai
Scholastics dan Canonists) dengan penulis berikutnya pada
abad ke-18, maka baru pada abad ke-18 apa yang saat ini kita
sebut sebagai ilmu ekonomi mulai memperoleh wujudnya yang
deinitif, meskipun belum dapat dikatakan telah memiliki status
otonom yang terpisah sama sekali dari sudut pandang dan disiplin
pengetahuan yang telah ada sebelumnya, dan yang sekaligus
telah berperan serta dalam mendorong kelahirannya ilmu
ekonomi, seperti ilsafat, teologi, dan politik. Oleh karena itu,
tidak begitu mengherankan meski para Scholastics dan Canonists
telah mengajukan sejumlah pertanyaan tentang kemaslahatan
umum (public good) dari berbagai benda yang mengandung hajat
hidup orang banyak, seperti lahan tanah, yang sekarang ini dapat
dideinisikan sebagai ekonomi, namun pertanyaan-pertanyaan
tersebut tidak begitu berhubungan satu sama lainnya dan masih
diperlakukan bukan dari satu sudut pandang yang lebih spesiik
ekonomis melainkan hanya dari satu sudut pandang yang umum
sifatnya. Hal serupa terjadi pada para Mercantilists4 pada abad ke-

4
Mercantilists adalah para teoritisi dan praktisi yang mengembangkan
satu sistem ekonomi pada masa terjadinya sentralisasi kekuasaan
menyusul gejala kehancuran feodalisme di Eropa pada Abad ke-17
dan ke-18, dan yang bertujuan terutama untuk menyatukan dan
memperkuat kemampuan kekayaan moneter satu bangsa melalui
peraturan pemerintah bagi seluruh ekonomi nasional, misalnya
Tony Rudyansjah 61

17 dan ke-18 yang masih mencampuradukkan kajian ekonomi


dengan politik dan mengistilahkannya sebagai ‘political economy’.
Dalam sudut pandang Mercantilist, tujuan dari kajian
political economy adalah kesejahteraan dan kekuatan satu negara.
Jadi politial economy merupakan suatu kajian yang dianggap masih
terfokus hanya pada cara-cara ekonomis untuk mencapai tujuan
tersebut. Baru pada era Adam Smith (1723-1790) dengan buku
he Wealth of Nations, kajian ekonomi memperoleh bentuknya
yang lebih deinitif. Salah seorang yang mempengaruhi Smith
dalam soal pentingnya memperhatikan konsistensi internal dari
kajian ekonomis adalah Quesnay, dan poin ini menghantarkan
kita untuk dapat memahami bagaimana ekonomi mampu meraih
satu keutuhan yang menyeluruh.

Ekonomi Sebagai Satu Keutuhan Yang


Menyeluruh
François Quesnay lahir di Merey, satu kota kecil dekat
Paris, Perancis, pada tahun 1694, dari suatu keluarga tuan
tanah yang cukup berpengaruh. Ayahnya seorang ahli hukum,
sedangkan Quesnay sendiri menuntaskan pendidikannya dalam
bidang kedokteran. Awalnya ia berkarier sebagai sekretaris dari
satu lembaga yang cukup bergensi di Perancis saat itu, yakni the
academy of surgery (akademi bedah), lalu bekerja sebagai dokter ahli
bagi raja-raja di istana Versailles. Ketertarikannya dalam bidang
ekonomi muncul pada sekitar tahun 1750 pada saat Perancis
menghadapi kebankrutan perbankan dalam skala nasional. Dalam
pandangan Quesnay, kebankrutan perbankan nasional Perancis
itu bisa terjadi karena orang tidak memahami bahwa pada
dasarnya, peredaran ekonomis berbagai komoditas berjalan serupa

kebijakan yang menjamin akumulasi emas dan perak dalam


jumlah yang besar, keseimbangan perdagangan yang didambakan,
perkembangan perdagangan dan manufaktur, serta pemantapan
monopoli perdagangan.
62 alam, Kebudayaan & yang IlahI

dengan cara bekerjanya peredaran darah yang dipompa paru-paru


manusia. Inspirasi dari analogi semacam itu tentu saja berasal dari
bidang keahlian kedokteran yang digelutinya, dan persoalan inilah
yang menghantarkan ketertarikan dan pergelutan pemikirannya
atas masalah ekonomi yang kemudian mendorongnya melahirkan
karya besar Tableau économique (Economic Table) yang diterbitkan
pada tahun 1758. Karya ini kemudian dinilai telah memberikan
dasar pemikiran bagi para Physiocrats.5 Quesnay sendiri kemudian
wafat pada 16 Desember 1774.
Kembali pada pokok permasalahan utama kita, maka perlu
ditegaskan di sini bahwa pemisahan disiplin “ekonomi” dari
disiplin lainnya, seperti teologi, politik, dan ilsafat, baru dapat
terwujud apabila pokok bahasan ekonomi sudah dapat dirasakan
dan dipandang orang sebagai satu sistem dengan satu keutuhan
tersendiri yang bersifat menyeluruh. Untuk dapat memenuhi
ketentuan sebagai suatu sistem dengan suatu keutuhan tersendiri
yang bersifat menyeluruh itu, maka sistem tersebut harus bisa
dilihat orang sudah memiliki suatu konsistensi internal di dalam
dirinya sendiri. Apabila tidak, maka hal itu tidak dapat memenuhi
persyaratan sebagai suatu sistem yang berdiri sendiri dan terpisah
dari yang lain. Dalam sejarah perkembangan disiplin ekonomi,
para ahli sepakat bahwa Quesnay dan para pengikutnya, Physiocrat,
adalah para pemikir yang banyak meletakkan dasar penting bagi
konsitensi internal bagi disiplin ekonomi.6

5
Pengikut dari pemikiran Quesnay kemudian terkenal dengan
istilah Physiocrats. Sistem dari doktrin politik dan ekonomi mereka
berdasarkan pada supremasi tatanan alami yang sangat menekankan
kemampuan alam sebagai sumber dari kesejahteraan publik dan
nasional sekaligus sebagai satu-satunya sumber yang tepat bagi
pendapatan publik. Selain itu, mereka juga sangat menekankan agar
pemerintah tidak turut campur terhadap jalannya hukum-hukum
alam yang mempengaruhi hubungan dan proses antara masyarakat
dan industri.
6
Lihat, misalnya, buku Gunnar Myrdal (1953) dan Joseph Schumpeter
(1954).
Tony Rudyansjah 63

Figur Quesnay sebagai seorang tokoh pemikir menampilkan


begitu banyak paradoks dalam dirinya. Sebagaimana telah
disebutkan, ia dilahirkan di Perancis—satu negara yang bukan
paling progresif secara ekonomi masa itu di Eropa apabila
dibandingkan dengan Inggris—namun pemikiran “ekonomi”
yang dilahirkannya justru merupakan satu langkah maju yang
sangat luar biasa di zamannya. Di samping itu, paradoks juga
terlihat dalam doktrin “ekonomi” yang dikembangkannya:
berbeda dengan pandangan umum yang dianut orang, industri
dan perdagangan dipandang Quesnay sebagai sesuatu yang
rendah, sedangkan pertanian ia pandang berada dalam posisi
yang sangat tinggi. Paradoks dalam diri dan pemikiran Quesnay
sebagai penggagas dari Physiocracy dilihat dan ditangkap oleh
banyak para ahli, dan Marx adalah salah seorang di antaranya
yang beranggapan bahwa Quesnay merupakan kombinasi antara
feodalisme dan borjuis/modern.
“Physiocracy is in a direct sense the economic decomposition
of feudal property, but for this reason it is equally directly
the economic transformation, the reestablishment of this
same feudal property, with the diference that its language
is no longer feudal but economic. All wealth is reduced to
land and cultivation [agriculture].”7
[Dalam pengertian yang lugas, Physiocracy merupakan satu
pembusukan ekonomis ciri-ciri feudal, namun berdasarkan
nalar serupa, Physiocracy secara langsung merupakan juga
transformasi ekonomis, pemantapan kembali ciri-ciri feudal,
namun dengan pembeda yang terletak dalam bahasanya
yang tidak lagi feudal namun ekonomis. Semua kekayaan
direduksi ke tanah dan pertanian.]

Mengembalikan semua kekayaan pada lahan tanah dan


pertanian tentu saja menampilkan secara gamblang unsur tradisi-
onal atau feudal. Pertanyaannya kemudian adalah: apakah elemen

7
Karl Marx, he Economic and Philosophic Manuscripts of 1844,
diterjemahkan oleh T.B.Bottomore, dalam Erich Fromm, ed., Marx’s
Concept of Man, 1961, hlm. 121.
64 alam, Kebudayaan & yang IlahI

yang tradisional dalam pemikiran Quesnay itu merupakan satu


kebetulan, atau, sebaliknya, merupakan satu keniscayaan yang me-
ngandung kontribusi penting bagi perkembangan disiplin ekono-
mi? Jawabannya tentu saja bersifat airmatif, dan saya menampilkan
di sini apa yang dikutip Dumont dari satu kalimat panjang Marx
untuk mengemukakan arti penting sumbangsih Quesnay.
“… this ettempt: to represent the whole process of production
of capital as process of reproduction, and circulation as the
mere form of this process of reproduction, the circulation
of money only as an element [Moment] of the circulation
of capital; to encompass within this process of reproduction
the origin of revenue, the exchange between capital and
revenue, the relation between reproductive consumption
and deinitive consumption; to encompass within the
circulation of capital the circulation between consumers
and producers [actually between capital and revenue];
inally to represent the circulation between two great
divisions of productive labor, production of raw materials
and industry, as moments in the process of reproduction; to
group all that, in the second third [Marx: “irst third’] of the
eighteenth century, in the infancy of political economy, in a
table of ive lines with six points of departure or arrival, this
was an extremely genial idea, no doubt the most genial idea
that economics has put to its account until now.(Translated
from Werke, 26. 1:319)”8
[…upaya ini: untuk menampilkan keseluruhan proses
produksi modal sebagai suatu proses reproduksi, dan
peredaran sebagai bentuk proses reproduksi ini semata,
peredaran uang hanya sebagai satu elemen [momen]
dari peredaran modal; untuk memayungi asal usul
pendapatan, pertukaran antara modal dan pendapatan,
serta relasi antara konsumsi reproduksi dengan konsumsi
deinitif ke dalam proses reproduksi ini; melingkupi
peredaran antara konsumer dan produser [sesungguhnya
antara modal dan pendapatan] ke dalam peredaran
modal; kemudian pada akhirnya menampilkan peredaran
antara dua pembagian besar dari tenaga produktif di
satu sisi dengan produksi dari bahan-bahan mentah dan

8
Louis Dumont, From Mandeville to Marx, 1983, hlm. 40-41.
Tony Rudyansjah 65

industri di sisi lainnya, sebagai peristiwa di dalam proses


reproduksi; untuk mengelompokkan semua itu di kwartal
kedua [Marx: kwartal pertama] abad ke-18, di masa awal
lahirnya ekonomi politik, ke dalam tabel lima garis dengan
enam titik keberangkatan dan titik kedatangan berbagai
peredaran ekonomis merupakan satu gagasan cemerlang,
tak diragukan lagi merupakan satu gagasan cemerlang yang
disiplin ekonomi harus masukkan ke dalam perhitungannya
hingga sekarang.]

Paparan di atas merupakan gambaran Marx mengeni


sumbangsih tabel ekonomis (Tableau économique) yang dibuat
oleh Quesnay. Schumpeter dengan nada yang hampir serupa,
menyatakan bahwa Quesnay dengan Tableau économique-nya
merupakan tokoh pemikir yang pertama kali merumuskan secara
eksplisit masalah dasar disiplin ekonomi (the fundamental problems
of economics) sebagai masalah keseimbangan statis antara sejumlah
kuantitas yang saling tergantung satu sama lain.9
Melalui pemikiran Quesnay itu, sudut pandang ekonomis
untuk pertama kalinya ditampilkan bukan sebagai satu seri dari
sejumlah hasil pengamatan, sejumlah korelasi ataupun sejumlah
aspek yang tidak berhubungan satu sama lain, melainkan sebagai
satu keseluruhan yang tertata, satu sistem inter-relasi logis yang
melingkupi keseluruhan wilayah kajiannya. Sudut pandang
holistik semacam itu tentu saja awalnya tidak dapat muncul
hanya dari sudut pandang ekonomis itu sendiri, melainkan harus
berasal dari sesuatu yang berada di luar sudut pandang ekonomis,
yakni konsepsi umum tentang alam semesta sebagai suatu
tatanan apik menyeluruh yang kemudian diproyeksikan ke dalam
tataran ekonomis. Hal inilah yang sesungguhnya terjadi pada
sudut pemikiran Quesnay, oleh sebab itu, pemikirannya secara
jelas mengandung pula suatu komponen yang sangat tradisional
sifatnya.

9
Joseph Schumpeter, History of Economic Analysis, 2006, hlm. 245-
247.
66 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Apabila kita cermati secara lebih dalam lagi, maka apa


sesungguhnya yang dikembangkan Quesnay dengan Tableau
économique adalah suatu teori “hukum alam”, atau lebih tepatnya,
suatu teori sosial-cum-politik yang berlaku umum dan berazaskan
pada hukum alam yang lazim dianut di dalam sudut pandang
pikiran zaman itu dengan sebuah penambahan baru, yakni
suatu penekanan kuat pada dimensi ekonomisnya, yang pada
keseluruhannya kemudian dirajut ke dalam suatu sistem yang
logis. Dengan kata lain, Quesnay berupaya menggambarkan suatu
masyarakat yang lama dengan satu sudut pandang yang baru.
Teori sosiologi dan politiknya dalam banyak hal sesungguhnya
tradisional, namun ia memasukkan ke dalam kerangka teori itu
sebuah sistem ekonomi yang agak modern. Aspek tradisionalnya
terutama tampak jelas di dalam pendirian yang ia kemukakan
bahwa kekayaan yang sebenarnya (real wealth) terletak pada
tanah yang pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan
pemiliknya atas sejumlah manusia yang menempati tanah
tersebut—sesuatu yang sangat kontras dengan harta bergerak
lainnya. Tanah merupakan sumber satu-satunya dari kekayaan,
dan pemilik tanah di masa Quesnay selalu mengembangkan
fungsi politik yang diikuti sejumlah hak, tanggungjawab serta
beban, termasuk di dalamnya pengadministrasiaan berbagai
persoalan keadilan bagi rakyat. Oleh sebab itu wajar apabila pajak
atas tanah merupakan suatu bentuk pemasukan bagi sang pemilik.
Atas dasar sudut pandang tersebut, maka dapat dimengerti
apabila pertanian dipandang sebagai sesuatu yang bersifat sangat
nasional, sedangkan perdagangan sebagai sesuatu yang bersifat
internasional dan karenanya, dianggap sebagai suatu kepentingan
yang anti nasional.
Di dalam tatanan kosmis yang dianggap alami sifatnya, raja
dipandang sebagai pemilik tertinggi dari tanah: pemasukan raja
berasal dari hak berbagai pungutan pajak atas tanah miliknya.
Dengan demikian, hukum alam dianggap dan diperlakukan
Tony Rudyansjah 67

sebagai satu-satunya pengatur tertinggi di atas segala-galanya.


Negara tidaklah boleh ikut campur dalam perkara hukum alam,
dan harus menjadi tugas negara untuk menjadikan hukum alam
sebagai subyek yang wajib diajarkan kepada publik. Melalui
pokok pikiran itu, para Physiocrats tanpa ragu-ragu menyebut
rejim politik yang didukungnya dengan istilah “legal despotism”.
Kerangka pemerintahan semacam itu menjelaskan kekayaan
beredar melalui cara yang sangat teratur dan harmonis. Sumber
tunggal dari kekayaan adalah alam, atau lebih tepatnya, lahan
tanah yang telah mendapatkan sentuhan aktivitas dan inisiatif
manusia. Kondisi paling dasar dari tatanan ekonomi dalam
tatanan politik seperti itu adalah hak milik pribadi, dan sebagai
hasilnya adalah kebebasan dalam arti tidak adanya campur tangan
maupun peraturan secara langsung ataupun tidak langsung dari
negara. Apa yang dapat kita temukan di sini merupakan satu
kombinasi dari holisme dan individualisme, yakni holisme dalam
pengertian bentuk religius dan politiknya yang sangat tradisional,
serta individualisme pada tataran ekonomisnya. Dengan kata lain,
perolehan status ekonomi sebagai suatu sistem yang konsisten
justru dicapai dengan menempatkannya ke dalam suatu sistem yang
sesungguhnya tradisional, yaitu suatu holisme yang berdasarkan
pada suatu tatanan kosmis yang sangat tradisional sifatnya. Pada
konteks ini ada satu poin penting yang perlu dicatat bahwa negara
atau kerajaan memainkan peranan di satu sisi dan hukum alam di
sisi lainnya. Di satu sisi, negara atau kerajaan dianggap berfungsi
sebagai batasan moral maupun isik dari sistem ekomoni itu,
sehingga hasil bumi setiap tahun ditampilkan dalam Tableau
économique-nya Quesnay layaknya sebuah peredaran makanan
(nutrisi) ke seluruh kerajaan (negara) —ibarat peredaran darah
di dalam tubuh manusia. Sedangkan hukum alam, yang dalam
pemahaman Quesnay mencakup pengertian moral maupun isik,
merupakan keteraturan atau tatanan dunia sebagaimana telah
ditetapkan sebelumnya oleh Tuhan. Dengan demikian, dapat
68 alam, Kebudayaan & yang IlahI

dikatakan bahwa sistem atau tatanan ekonomi seperti itu sangat


tergantung pada wujud politik maupun orientasi teleologis yang
berlaku umum, sekaligus telah merasuki seluruh aspek kehidupan
masyarakat pada masa itu.
Berdasarkan pada kerangka pikir itu, maka dapat dimengerti
apabila ranah dari sistem ekonomi mungkin bisa dipahami
sebagai sesuatu yang bersifat utuh menyeluruh di satu sisi,
sekaligus sebagai sesuatu yang otonom di sisi lainnya. Hal itu
sesuai dengan konsepsi tentang keteraturan sebagaimana Quesnay
merumuskannya di dalam deinisinya mengenai hukum alam.
“Natural laws are either physical or moral. We understand
here by physical law the regular course [cours réglé] of
any physical event of the natural order obviously the most
advantageous to the human genus. We understand here by
moral law the rule [la réglé] of any human action of the moral
order in conformity with [conforme á] the physical order
obviously the most advantageous to the human genus. hese
laws together form what is called the natural law.”10
[Hukum-hukum alam bersifat isik maupun moral. Kita
mengartikan hukum isik di sini sebagai peredaran biasa
dari berbagai peristiwa isik tatanan alam yang memberikan
begitu banyak keuntungan bagi makhluk manusia. Dan
kita mengartikan hukum moral sebagai aturan bagi setiap
tindakan manusia dari satu tatanan moral yang sesuai dengan
tatanan isik yang memberikan begitu banyak keuntungan
bagi makhluk manusia itu. Kesemua hukum ini membentuk
apa yang diistilahkan sebagai hukum alam]

Konsepsi keteraturan seperti itu sejalan dengan pemikiran


para Scholastics yang berpendapat bahwa meskipun ia merupakan
satu subyek yang bebas manusia di dalam tatanan teleologis
tetap merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari alam;
dan oleh karenanya, kepatuhan dan persetujuan makhluk
manusia terhadap perkara itu merupakan suatu keharusan agar

10
Dikutip dari terjemahan Dumont (1983, hlm. 43) dari bahasa
Perancis ke bahasa Inggris.
Tony Rudyansjah 69

keteraturan alam itu dapat juga menaungi berbagai perkara


manusia. Hukum alam hanya akan terwujud manakala tindakan
manusia selaras dengannya. Buku Tableau économique merupakan
suatu gambaran ideal tentang perkara itu. Quesnay menelusuri
berbagai konsekuensi buruk dari pengabaian keharusan hukum
alam tersebut. Kebijakan yang tepat dari negara merupakan
suatu kondisi yang tidak dapat dihindari demi terwujudnya
suatu keteraturan ekonomis. Perlu ditambahkan di sini bahwa
yang dimaksudkan Quesnay dengan kebijakan yang tepat dari
negara adalah justru ketidak-turut campuran negara atas jalannya
ekonomi. Negara hanya memiliki segelintir kecil tugas, yakni
memberikan dan menjamin perlindungan terhadap gangguan
yang datang dari luar, memelihara jaringan komunikasi, merawat
orang-orang miskin, menarik pajak atas pendapatan dari tanah,
menyediakan pendidikan tentang hukum alam bagi rakyat.
Apa yang menjadi pusat perhatian utama Quesnay adalah
berupaya mereformasi praktek-praktek negara yang tercela,
sehingga reformasi baginya, berarti suatu situasi di mana negara
tidak ikut andil di dalam perkara-perkara ekonomi. Di aspek inilah
paradoks dari igur Quesnay tampak jelas: konsistensi dari ranah
ekonomi itu secara eksplisit dirumuskan untuk pertama kalinya
tidak oleh seorang pemikir yang memisahkan ekonomi dari politik,
moral maupun agama, melainkan oleh seseorang yang justru
mengajukan argumen dari konsistensi menyeluruh alam dunia
(termasuk perkara-perkara manusia dan moral) menuju kepada
konsistensi kondisional dari satu ranah khusus tertentu. Dengan
begitu, perumusan tatanan ekonomi Quesnay bukan bermuasal
dari satu subyek individual, maupun dari suatu terminologi
prinsip-prinsip sebab-akibat, melainkan dari suatu keteraturan atau
tatanan teleologis yang menaungi sekaligus menjamin kebebasan
setiap makhluk manusia sebagai seorang individu.
Tak dapat disangkal bahwa Adam Smith sangat berhutang
budi pada Quesnay dalam butir pikiran semacam itu, meskipun
70 alam, Kebudayaan & yang IlahI

tetap perlu dicatat di sini bahwa Smith kemudian melangkah


lebih jauh lagi dibandingkan Quesnay sendiri. Adam Smith tidak
puas hanya dengan menyatakan bahwa negara tidak mesti turut
andil dalam perkara-perkara ekonomi. Ia mengajukan sebuah
argumentasi penting lain bahwa keteraturan ekonomis di dalam
substansinya jauh lebih mandiri dan otonom dari keputusan-
keputusan manusiawinya. Hal ini berarti jauh melampaui apa
yang dibayangkan oleh Quesnay.
Suatu unsur mendasar di mana ekonomi klasik berhutang
budi pada Quesnay adalah pemahaman bahwa sangat esensial
untuk memisahkan produksi dari sirkulasi, karena sejauh nilai
surplus (“surplus value”) hanya ditelusuri ke dalam ranah produksi
dan dianggap tidak terpisah dari sirkulasi, maka kemajuan tidak
mungkin dapat diharapkan terjadi dalam disiplin ekonomi.
Pemisahan itu pada awalnya hanya mungkin dilakukan di dalam
sektor pertanian. Hanya di dalam sektor pertanianlah nilai surplus
nampak jelas terlihat manakala produksi atau reproduksi hasil bumi
kotor setiap tahunnya dapat dibedakan secara jelas dari hasil bumi
bersih atau netto setelah hasil bumi kotor dikurangi semua biaya
investasi untuk menggarap tanah itu, sehingga nilai surplusnya
kemudian dapat ditentukan. Karena alasan itulah maka pertanian
menduduki tempat yang sangat penting di kala pemisahan antara
produksi dan sirkulasi pertama kali dicetuskan orang.
Quesnay-lah yang secara cermat memisahkan dua proses
utama dalam perkara ini: pertama, hasil bumi per tahun haruslah
mengandung nilai yang lebih besar daripada nilai keseluruhan nilai
investasi, sehingga hasil bumi netto—dalam terminologi Marx
dapat disamakan dengan nilai surplus—dapat diperoleh melalui
pengurangan hasil bumi oleh keseluruhan nilai investasi. Kedua
adalah proses distribusi atau sirkulasi dari produk. Pengertian
itu secara drastis sangat berseberangan dengan semangat para
Mercantilist yang menjunjung tinggi perdagangan. Bagi Quesnay
sangat penting untuk menekankan apa yang menjadi unsur utama
Tony Rudyansjah 71

dari kekayaan sesungguhnya (real wealth), yang adalah pertanian.


Pertanian, menurut Quesnay, merupakan pencipta kekayaan
yang sesungguhnya. Atas dasar itu, ia menyebutkan pertanian
sebagai suatu hal yang produktif, sedangkan usaha-usaha lainnya
dianggap tidak produktif. Dengan merancang pemisahan seperti
itu, tentu saja Quesnay membuat sebuah value judgement
berdasarkan pendangan hidup yang ada pada masanya, yaitu
bahwa alat subsistensi manusia serta obyek-obyek konsumsi
manusia merupakan barang-barang yang sangat esensial. Quesnay
sesungguhnya telah memodiikasi ajaran dari Cantilon dan Petty
yang hidup sebelum masanya, di mana mereka memisahkan tanah
dan tenaga kerja sebagai sumber “kembar” dari kekayaan, dengan
mengembalikan penciptaan kekayaan sesungguhnya (the creation
of real wealth) pada pertanian. Ketimbang memperhitungkan
berbagai persamaan dan derajat korespendensi dari kedua faktor itu
(tanah dan tenaga kerja), Quesnay secara cerdik mengungkapkan
keduanya ke dalam salah satu terminologi darinya, yaitu tanah,
sekaligus menempatkannya ke dalam suatu tatanan yang
bersifat hirarki: tanah merupakan faktor produktif—kesuburan
alami tanah itu sendiri yang menyebabkan pertambahan di
dalam kekayaan sesungguhnya (real wealth) melalui proses
pertumbuhan alami dari benih menjadi panen—sedangkan
tenaga kerja dan inisiatif manusia hanya merupakan faktor yang
memfasilitasi proses tersebut. Kerangka pikir semacam itu sejalan
dengan gagasan mengeai hukum alam sebagai hukum moral
sekaligus isik. Secara keseluruhan proses ekonomi pada dasarnya
merupakan sebuah proses pertambahan dalam kekayaan, atau
dengan kata lain, produksi. Rahasia dari pertambahan itu terletak
pada tanah sebagai seperangkat kekuatan alam: sebuah entitas
berdiri sendiri (self-suiceint) yang mampu melanggengkan dan
menjamin rationale dari proses ekonomi.
Di dalam Tableau économique, pembicaraan tentang
ekonomi sesungguhnya pembicaraan mengenai produksi, dan
72 alam, Kebudayaan & yang IlahI

pembicaraan tentang produksi sesungguhnya pembicaraan


mengenai tanah. Melalui satu proses hirarkisasi yang tradisional,
yaitu alam memiliki kemampuan medikte moralitas, sedangkan
tanah mendikte tenaga kerja, maka kemudian kita pada dasarnya
sampai pada suatu langkah awal dalam mengindentiikasikan
ekonomi melalui satu faktor esensial (satu substansi) dengan
suatu kehidupan penyebab tersendiri, atau sui generis dalam istilah
Durkheim.11 Perkembangan selanjutnya dalam disiplin ekonomi
tetap berkisar pada batu pijakan ini. Cara pemikiran seperti itu
tentu saja sangat individualistik. Individu ditanggapi sebagai satu
entitas atau substansi yang self-suicient. Namun karena segi ini
baru separuh jalan dikembangkan, maka meskipun Quesnay
telah dapat melihat ekonomi sebagai satu kesatuan yang utuh,
disiplin itu relatif masih belum sungguh-sungguh modern apabila
dibandingkan dengan perkembangannya yang kemudian.
Ciri yang sangat menonjol dalam pemikiran Quesnay
adalah bahwa keteraturan mendikte hak milik, kemudian hak
milik mendikte kebebasan; sehingga kesimpulannya, keteraturan
mendikte hak milik dan kebebasan. Konigurasi semacam itu
nampak semakin jelas apabila kita beralih melihat pemikiran
John Locke, dan hal itu tidak mengherankan karena John Locke
memang sangat mempengaruhi pikiran Quesnay.

Emansipasi dari Politik


Dari kecenderungan cara pikir di mana individualisme masih
terkungkung di dalam tatanan tradisi seperti yang terjadi dalam
pemikiran Quesnay, kita sekarang menuju pada titik pembahasan
tentang cara pikir di mana tataran tradisi yang bersifat holisme
mulai terurai dan digantikan oleh individualisme. Karena alasan
itulah maka saya mulai membahas Quesnay sebelum Locke,
meskipun itu tidak berarti, sebagaimana telah saya kemukakan

11
Akan dibahas dalam bagian Durkheim yang merupakan bab tersendiri
dari jilid kedua buku ini.
Tony Rudyansjah 73

sebelumnya bahwa Quesnay tidak dipengaruhi oleh Locke.


Urutan pembahasan seperti ini dilakukan semata-mata untuk
mempermudah pemahaman bahwa baik pemikiran Locke
maupun Quesnay pada dasarnya menjadi komponen yang sangat
penting dalam pemikiran Adam Smith yang akan saya bahas di
bagian akhir bab ini.
Tidak ada satupun tuntutan terhadap pembebasan dimensi
ekonomi dari politik pada abad ke-17 yang memperoleh
pengejawantahannya yang lebih jelas daripada buku Locke Two
Treatises of Government. Meskipun pada abad ke-17 istilah ekonomi
sebagai satu disiplin ilmu belum lahir, kita secara retrospeksi
dapat mengatakan bahwa buku itu penuh dengan berbagai ulasan
mengenai dimensi ekonomi yang diupayakan secara keras oleh
Locke agar bisa dipisahkan dari dimensi politik. Apabila perkara
itu merupakan isu sentralnya, maka ulasan mengenai ekonomi
merupakan hanya satu aspek dari sebuah konigurasi gagasan-
gagasan yang jauh lebih luas cakupannya. Oleh sebab itu, sangatlah
beresiko menghilangkan pemahaman yang lebih utuh apabila kita
memisahkan buku Two Treatises of Government dari pokok pikiran
ilsafat umum Locke lainnya, yang mencakup juga moralitas dan
agama. Hal ini menjadi sangat penting mengingat moralitas
sangat lekat dengan kelahiran disiplin ekonomi, sebagaimana
hal itu akan semakin jelas dipahami dalam pembahasan tentang
Mandeville di bawah nanti.
Seperti yang telah saya uraikan pada bab sebelumnya,
dimensi politik sangat erat berkaitan dengan dimensi agama, yang
lalu diikuti oleh sebuah tahap di mana politik kemudian justru
memisahkan diri dari agama. Pada poin inilah kita sampai pada
tahap selanjutnya dari proses pemisahan itu, yakni pemisahan
antara ekomoni dari politik. Proses ini dapat kita lihat secara
gamblang dalam polemik yang dilakukan Locke terhadap seorang
tokoh yang bernama Sir Robert Filmer di dalam buku Two
Treatises of Government.
74 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Ketika menyatakan bahwa Adam merupakan seorang raja


patriarkal yang pertama, Filmer sesungguhnya merumuskan
sebuah kesinambungan antara otoritas seorang ayah dalam
keluarga dengan otoritas raja dalam masyarakat. Tersirat dalam
rumusan Filmer itu sebuah pandangan tentang satu tatanan sosial
yang utuh menyeluruh dengan sejumlah komponen sebagai
berikut:
• Suatu penekanan pada masyarakat/kelompok sebagai suatu
kesatuan menyeluruh yang dibangun atas dasar subordinasi,
di mana seorang raja ataupun ayah memerintah berdasarkan
sebuah delegasi dari Sang Pencipta sebagai Penguasa Tertinggi
Dunia.
• Gagasan tentang subordinasi diaplikasikan tidak hanya kepada
makhluk manusia, melainkan kepada semua makhluk yang
berada di atas permukaan bumi, yang secara eksplisit telah
diperintahkan oleh Tuhan untuk tunduk kepada perintah
manusia (nabi Adam, atau lebih tepatnya, nabi Nuh). Nabi
Adam yang diberikan kekuasaan atas segala makhluk hidup
ditafsirkan Filmer sebagai seorang raja/ayah dengan kekuasaan
yang mencakup baik terhadap makhluk manusia maupun
terhadap makhluk hidup lainnya. Hubungan manusia dengan
binatang dan benda lainnya dipikirkan di sini berdasarkan
kerangka sebuah model hubungan seorang raja dengan rakyat
bawahannya maupun subyek lainnya yang lebih rendah. Hal
ini menampilkan sebuah pandangan tradisional di mana
ekonomi belum terpisahkan dari ranah politik (atau tepatnya,
ranah politik-ekonomi) yang bercirikan adanya sebuah
subordinasi. Dengan demikian subordinasi ditanggapi sebagai
suatu keniscayaan alami, sebuah prinsip utama yang melampui
pembedaan antara manusia dan non manusia, serta sekaligus
menaungi hubungan yang ada di antara keduanya.

Berbeda dengan tradisionalisme Filmer, inovasi Locke


terletak pada upayanya menyingkirkan subordinasi serta relasi
Tony Rudyansjah 75

antara manusia dengan manusia lainnya, dan sekaligus mengurai


lebih lanjut relasi antara manusia dengan makhluk hidup lebih
rendah lainnya. Dalam pikiran Locke, pemisahan di antara
keduanya diupayakan untuk dimantapkan, atau lebih tepatnya,
diinstitusionalisasikan. Hubungan antara manusia dengan
makhluk hidup lebih rendah lainnya dimantapkan sebagai sebuah
pertalian yang bersifat kepemilikan (ownership). Artinya Tuhan
dibayangkan telah menganugrahkan bumi kepada manusia untuk
dimanfaatkan—sebagaimana dalam kerangka pikir yang sama,
manusia juga dianggap sebagai ciptaan dan menjadi hak milik dari
Tuhan. Namun dalam kerangka pikir Locke ini, hubungan antara
manusia dengan manusia lainnya dilihat tidak mengandung adanya
sebuah perbedaan apapun: tidak ada satu hirarki apapun di dalam
hubungan manusia dengan manusia lainnya. Tidak ada satupun
perbedaan antara satu manusia dengan manusia lainnya; mereka
semua bebas sekaligus setara di mata Tuhan. Hirarki baru terwujud
ketika adanya perbedaan dalam status antara manusia dengan
makhluk hidup lainnya yang menyebabkan timbulnya kepemilikan
manusia atas makhluk hidup lebih rendah lainnya itu.
“…there cannot be supposed to be any such Subordination
among us, that may Authorize us to destroy one another, as
if we were made for another’s uses, as the inferior ranks of
Creature are for ours.12
[tidak dapat dianggap terdapat satu Subordinasi semacam itu
di antara kita, yang memberikan otoritas kepada kita untuk
menghancurkan satu sama lain, sebagaimana layaknya kita
diciptakan untuk digunakan oleh yang lainnya sebagai hal
itu terjadi dalam tingkatan makhluk yang lebih rendah
yang merupakan hak milik kita semua.]

Namun karena beberapa macam subordinasi di antara


manusia secara empiris memang tidak dapat terhindarkan, maka
hal tersebut harus dibangun berdasarkan persetujuan suara

12
John Locke, Two Treatises of Government, 1988, II, $ 7: 16-19 (hlm.
271).
76 alam, Kebudayaan & yang IlahI

bulat dari keseluruhan konstituen dari satu tatanan kehidupan


bersama manusia. Pandangan hukum tentang dunia dari Locke
menggambarkan alam semesta di bagi ke dalam tiga tingkatan:
Tuhan, makhluk manusia, dan makhluk hidup rendah lainnya, di
mana kesetaraan hanya terdapat di dalam lapis tingkatan makhluk
manusia, sedangkan pertalian antara lapis yang lebih tinggi dengan
lapis yang lebih rendah ditanggapi berazaskan pada hubungan
kepemilikan. Tatanan serupa ini tentu saja lebih simplistik
dan reduksionis daripada hirarki alam dunia dan surgawi abad
pertengahan maupun abad kuno sebelumnya. Tatanan dari Locke
itu semata-mata lebih berpusat hanya pada proses penguatan dan
uniikasi species manusia manakala dihadapkan dengan alam dan
makhluk hidup lainnya di muka bumi, atau dualisme manusia
versus alam yang dijamin berdasarkan kerangka rujukan kepada
Sang Penciptanya.
Transformasi yang dilakukan Locke ini pada hakikatnya
merupakan pergeseran pemahaman yang cukup menyeluruh
tentang kehidupan sosial dan politik yang sebelumnya berbasiskan
pada suatu pandangan holistik dengan satu titik pusat pada
subordinasi yang berperan menangkupi segalanya, termasuk
fenomena ekonomi, yang kemudian berubah menjadi suatu
pandangan yang berpusat pada ekonomi, atau lebih tepatnya,
pada individu dan ekonomi, di mana politik kemudian ditanggapi
hanya sebagai elemen tambahan yang bersifat marjinal.
Konsep kepemilikan (property) menempati posisi penting
dalam pemikiran politik Locke. Teori Locke berkenaan dengan
kepemilikan yang berkaitan erat dengan kerja, terdapat dalam
buku Two Treatises of Government:
“though the Earth, and all inferior Creatures be common
to all men, yet every Man has a Property in his own Person.
his no Body has any Right to but himself. he Labour
of his Body, and the work of his Hands, we may say, are
properly his. Whatsoever then he removes out the State
that Nature hath provided, and left it in, he hath mixed
Tony Rudyansjah 77

his labour with, and joined to it something that is his own,


and thereby makes it his Property. It being by him removed
from the common state Nature placed it in, it hath by this
labour something annexed to it, that excludes the common
right of other Men. For this labour being unquestionable
Property of the Labourer, no Man but he can have a right to
what is once joined to, at least where there is enough, and as
good left in common for others.”13
[Meskipun bumi dan semua makhluk lebih rendah lainnya,
dimiliki bersama oleh semua makhluk manusia, setiap
insan manusia memiliki satu hak milik di dalam dirinya
sendiri. Tidak ada orang lain yang berhak atasnya, kecuali
dirinya sendiri. Hal itu adalah kerja dari badannya, dan
kerja dari tangannya, yang dapat kita tegaskan, merupakan
hak miliknya. Barangsiapa telah mengambil dari apa-apa
yang alam telah sediakan, mengolah dengan kerjanya, dan
menggabungkannya dengan sesuatu yang merupakan hak
miliknya, maka hal itu dengan demikian telah menjadi hak
miliknya. Dengan melepaskan dari keadaan bersama yang
alam telah sediakan, dan menaikkan nilainya dengan kerja
yang dicurahkan untuk mengolahnya, maka hal itu telah
menyingkirkan kepemilikan orang lain atasnya. Karena
kerja tak dinyana lagi merupakan hak milik dari insan yang
bersangkutan, maka tidak ada orang lain selain dirinya
sendiri yang memiliki apa yang telah dihasilkan oleh
kerjanya, sejauh barang-barang yang diolahnya dari alam
itu masih cukup persediannya dan tetap tersisa secara baik
untuk yang lainnya]

Kalimat di atas itu kemudian dipandang banyak orang


memberikan inspirasi terhadap teori nilai yang dikembangkan
Adam Smith. Berdasarkan atas kalimat itu, Locke nampaknya
mendukung gagasan bahwa hak milik merupakan sebentuk nilai
yang telah diolah dari kerja atas alam, sebagaimana segala sesuatu
yang terdapat pada alam itu dianugerahkan kepada manusia
secara bersama-sama, dan nilai itu sendiri berasal dari kerja yang
telah mereka curahkan untuk menghasilkan sesuatu yang disebut
sebagai hak milik itu sendiri. Tidak ada seseorangpun yang

13
John Locke, Two Treatises of Government, 1988, hlm. 287-288.
78 alam, Kebudayaan & yang IlahI

berhak merampas apa yang telah menjadi hak miliknya—tidak


juga monarki atau raja. Satu hal terpenting bahwa dalam tahap
awal perkembangan pemikirannya, Locke masih mengaitkan
kepemilikan yang berasal dari kerja individu untuk perlu dibatasi
dan sekaligus diorientasikan pada kebutuhan sosial secara
keseluruhan, yakni harus tetap mempertimbangkan kepentingan
individu lain secara merata. Konteks pemikiran Locke ini masih
sejalan beriringan dengan konsepsi Abad Pertengahan, di mana
pada abad ke-14 Paus menjelaskan kepada para rahib dari
Ordo Fransiskus bahwa sop dan keju yang mereka hasilkan dari
keringat kerja mereka adalah hak milik mereka, apa yang mereka
hasilkan dari alam merupakan milik mereka, untuk itu mereka
harus bertanggungjawab atas keberlangsungan apa-apa yang telah
mereka ambil dari alam tersebut.14
Pemikiran Locke mengalami perkembangan di tahap
berikutnya ketika ia memberi pembenaran terhadap hak
kepemilikan yang tak terbatas. Pada kedua tahap perkembangan
pemikirannya, Locke sama-sama mendasarkan pengertian
hak milik pada kerja yang dilakukan individu, bukan pada
kebutuhannya individu, hal ini sesungguhnya merupakan suatu
yang bersifat sangat modern. Perbedaan tahap awal dengan
tahap selanjutnya dari pemikiran Locke soal hak milik hanya
terletak pada soal pembatasan penggunaan langsungnya yang
terdapat pada tahap awal konsepsinya Locke. Sehingga sejak
saat itu, benih-benih perbedaan antara ‘hak pakai’ dan ‘hak
kepemilikan’ dalam pengertian modern sudah mulai tumbuh dan
muncul dalam pemikiran Locke. Kembali ke pokok persoalan,
maka bukannya jauh dari sikap skeptis maupun anti terhadap
kapitalisme, individualisme dari Locke dalam kenyataannya
justru sangat mendukung ideologi kapitalis. Berkenaan dengan
ini, Karl Marx menjadi pengkritik Locke maupun Adam Smith
yang paling keras, kendati di saat yang bersamaan ia juga sangat

14
Louis Dumont, From Mandeville to Marx, 1883, hlm. 51.
Tony Rudyansjah 79

berhutang budi pada mereka. Locke sendiri tidak terlalu peduli


untuk mendamaikan teori kerjanya tentang nilai (labour theory
of value) dengan kesimpulan lain yang bisa disimpulkan orang,
yakni sesuatu yang kontradiktif antara hakekat legal dari nilai
kepemilikan dengan hak untuk memiliki lahan tanah melebihi
dari apa dibutuhkan oleh seorang individu. Secara khusus,
kesimpulan semacam itu tentu saja dapat mendukung nilai
kepemilikan yang melimpah dan berkelebihan. Ia memang
telah berupaya membuat berbagai variasi, dengan menggunakan
berbagai rekaan historis, tentang penemuan uang sebagai alat
tukar, yang telah juga didiskusikan oleh Hobbes dan Aristoteles.
Akan tetapi bahasan ini akan kita diskusikan di bab lain mengenai
teori kerja dari nilai dalam pikiran Marx.
Jika dikembalikan pada pokok pembahasan utama, maka
Locke menjadi seorang pioner inovator dengan menempatkan
kembali pengertian kepemilikan pada keadaan alaminya, yang
mendasarkan hal itu pada aktivitas hasil kerja manusia. Atas dasar
itu, maka tidak mengherankan apabila Macpherson memberi label
terhadap teori Locke sebagai possessive individualism.15 Secara lebih
rinci, kepemilikan dalam pemikiran Locke meliputi pengertian
yang sangat luas dan mencakup: kehidupan, kebebasan, dan estate
(tingkatan hidup yang telah dimiliki) seseorang. Menurutnya,
sejumlah orang yang bergabung masuk ke dalam suatu himpunan
yang disebut masyarakat adalah dalam rangka:
“mutual Preservation of their Lives, Liberties and Estates,
which I call by the general Name, Property”16
[pelestarian bersama kehidupan, kebebasan, dan tingkatan
hidup yang sudah dimiliki mereka, yang kesemuanya
saya dapat sebut dengan satu nama yang umum sebagai
Kepemilikan]

15
C.B Macpherson he Political heory of Possesive Individualism. 1962
16
John Locke, 1988, II, $ 123: 14-16 (hlm. 350).
80 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Lebih lanjut Locke menguraikan bahwa:


“By Property I must be understood here, as in other places,
to mean that Property which men have in their Persons as
well as Goods.”17
[Dengan menyebutkan Kepemilikan, saya harus dipahami
mengartikannya, sebagaimana juga di tempat-tempat
lainnya, sebagai Kepemilikan yang dimiliki orang-orang
atas dirinya dan barang-barangnya.]

Peter Laslett dalam pengantarnya untuk buku Locke


Two Treatises of Government, mendiskusikan bahwa meskipun
pendeinisian yang dibuat Locke itu kelihatannya lazim dan normal
bagi para pembacanya pada abad ke-17, hal itu sesungguhnya
berperan sangat fungsional bagi kerangka pemikiran yang hendak
dikokohkan Locke.18 Dengan cara itu, Locke, menurut Laslett,
berhasil mendasarkan kepemilikan atas barang-barang pada
tenaga kerja manusia, dan dengan demikian, memberi jusiikasi
bagi adanya hak atas hal-hal yang berada di luar diri seseorang
justru berdasarkan pada apa yang sesungguhnya berada dalam diri
individu yang bersangkutan, yaitu badan dan usaha jerih payahnya.
Berdasarkan pokok pikiran itu, maka relasi juridis antara manusia
dengan barangnya dilihat bukan lagi berasal dari keniscayaan
tatanan sosial, melainkan lebih berasal pada ciri instrinsik
manusia sebagai seorang individu yang mandiri. Kepemilikan di
sini bukan merupakan suatu kategori ekonomi yang murni dalam
dirinya sendiri, melainkan lebih menjadi suatu kategori ekonomi
yang belum terputus pertaliannya dengan pusatnya yang religius
dan politis. Dengan kata lain, hal itu telah menampilkan suatu
esensi yang penting, yaitu bahwa dengan pengertian kepemilikan
seperti itu maka sesuatu yang sepenuhnya tergantung pada
seorang individu ditempatkan dalam posisi sentral di dalam suatu
tatanan sosial yang sebelumnya sangat holistik dan hirarkis. Poin

17
John Locke, 1988, II, $ 173: 4-6 (hlm. 383).
18
Peter Laslett di dalam John Locke, 1988, Introduction, hlm. 100-
102.
Tony Rudyansjah 81

ini menegaskan bahwa kepemilikan bukan merupakan suatu hasil


kebetulan historis semata dari suatu gejala permanen yang kita
sebut dengan individualisme, melainkan justru dari balik topeng
kepemilikan itulah individualisme muncul, menerobos, bahkan
menghancurkan dinding pertahanan lawan tandingnya yang
berasal dari tatanan kepatuhan dan hirarki sosial dunia lama yang
nampaknya sudah mulai usang, sehingga individualisme pada
akhirnya berhasil meneguhkan dirinya sebagai penguasa tunggal
di atas takhta kosong yang telah ditinggalkan penguasa lamanya.
Ada semacam suatu sintesa orisinil antara moralitas
dengan politik, dan juga antara politik dengan ekonomi di
dalam pemikiran Locke di atas. Kecerdikan Locke terletak pada
kelihaiannya dalam mereduksi politik hanya menjadi elemen
tambahan yang marjinal sifatnya dari moralitas dan ekonomi.
Moralitas dan ekonomi menopang sekaligus menjadi basis yang
kokoh di mana politik harus dikonstruksikan. Sebagaimana telah
saya diskusikan, subordinasi sebagai satu prinsip sosial kehilangan
tumpuannya dalam pemikiran politik Locke, yang mana kemudian
posisi tersebut ia gantikan dengan kewajiban moral. Dengan
cara itu, Locke berhasil mencegah jatuhnya kebebasan manusia
(liberty)—yang ditanggapinya sebagai suatu hak milik manusia
yang sangat berharga—ke dalam derajat hina, karena moralitas
mampu menyediakan satu macam padanan dari keteraturan
sosial, yakni internalisasi secara langsung ke dalam diri individu
masing-masing berbagai nilai sosial yang ada, sehingga kehidupan
bersama sejumlah individu manusia dalam satu sistem sosial
mungkin untuk tetap dijamin keberlangsungannya. Pergantian
ini, mengubah manusia sebagai makhluk sosial (social being)
menjadi makhluk individual (individual being) dimungkinkan,
karena Kristianiti (agama panutan Locke) menjamin individu
sebagai makhluk moral (moral being).
Dalam argumentasinya, Locke berpendapat bahwa manusia
pada dasarnya bersifat sudah terlahirkan dalam relasinya dengan
82 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Tuhan dan sesamanya. Manusia ini dicirikan baik oleh sejumlah


relasi isik yang terhubungkan dengan berbagai hal di luar
dirinya, maupun oleh sejumlah relasi batiniah di dalam dirinya.
Oleh sebab adanya relasi manusia dengan Tuhannya—suatu
relasi yang sesungguhnya bersifat abstrak—, maka padanan
semacam itu dapat juga digunakan untuk menjadi pengganti
dari berbagai pertautan konkrit yang sebelumnya ada dalam
komunitas manusia, sehingga masyarakat kemudian dapat lebih
mudah ditanggapi sebagai himpunan yang lebih bersifat abstrak
dari sejumlah individu-individu. Dasar dari kesepakatan sejumlah
individu untuk hidup dalam satu sistem bersama itu tentu saja
tetap sama, yakni berdasarkan pada keyakinan (faith) atas
adanya suatu pertalian semua manusia di hadapan mata Tuhan,
sehingga kewajiban moral setiap individu tetap terjaga dengan
baik, yang pada gilirannya memungkinkan untuk menjamin
keberlangsungan hidup manusia secara bersama.
Pergulatan rumit dari pemikiran Locke tersebut sebetulnya
menggambarkan benturan antara ideologi lama (hirarki sosial)
yang mulai runtuh dengan ideologi baru (individualisme) yang
belum sepenuhnya terbentuk. Arti penting ideologi baru ini
akan semakin jelas terlukiskan dalam pembahasan mengenai
Adam Smith di akhir bab ini. Satu aspek yang sangat menonjol
dari konigurasi pemikiran politik Locke adalah bahwa dengan
mengartikan semua kepemilikan dalam arti yang luas (termasuk
kehidupan dan kebebasan) berasal dari dalam diri individu, ia
tidak hanya mensejajarkan atau menyamakan ekonomi dengan
politik, melainkan membuat ekonomi menduduki tingkatan
yang lebih tinggi daripada politik. Pada hakekatnya hal itu—
meski tidak terlalu banyak disinggung orang—memiliki banyak
kemiripan dengan pemikiran Karl Marx yang menganggap bahwa
infrastruktur jauh lebih penting daripada superstruktur.
Tony Rudyansjah 83

Dari Sifat Buruk menjadi Kebajikan Sosial


Sebelumnya ulasan mengenai Hobbes dan Locke telah
disajikan untuk memperlihatkan bagaimana pengaruh mereka
di dalam merumuskan dan menyebarkan suatu ideologi
individualistik yang berdasarkan pada sebuah ilsafat materialis.
Namun hanya tulisan Bernard Mandeville yang barangkali dapat
dilihat sebagai contoh paling dramatis dari cara bagaimana abad
ke-18 mulai menganut gagasan yang merubah individual selishness
menjadi sebuah kebajikan sosial.
Mandeville adalah seorang dokter kelahiran Belanda yang
kemudian tinggal di Inggris. Ia seorang dokter ahli dalam bidang
amnesia psikosomatik. Karya kecilnya, sebuah sajak dengan
judul he Fable of the Bees; or, Private Vices, Publick Beneits
sangat menggemparkan masyarakat Inggris sewaktu diterbitkan
pada tahun 1714. Karya ini pada awalnya berasal dari sebuah
sajak satire yang berjudul he Grumbling Hive; or, Knaves Turn’d
Honest, yang diterbitkan pada tahun 1705. Sajak yang pada
edisi berikutnya menjadi semakin tebal dalam bentuk he Fable
of the Bees; or, Private Vices, Publick Beneits dengan banyaknya
penambahan catatan kaki dalam rangka menjawab berbagai
kritik yang datang atas karya sebelumnya. Sajak tersebut bercerita
mengenai sekawanan sarang lebah yang hidup layaknya manusia.
Beberapa baris sajak Mandeville yang banyak dikutip orang ialah
sebagai berikut:
Vast Numbers throng’d the fruitfull Hive;
Yet those vast numbers made ‘em thrive;
Millions endeavoring to supply
Each other’s Lust and Vanity;19
[Sejumlah besar kawanan mengerumuni sarang yang subur;
Namun sejumlah besar kawanan itu membuat mereka sejahtera;
Berjuta-juta berupaya memenuhi
Keserakahan dan Keangkuhan masing-masing;]

19
Bernard Mandeville, he Fable of the Bees, Vol. 1, the Online Library
of Liberty, 2005, hlm. 67.
84 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Mandeville kemudian mengulas berbagai macam profesi


seperti tentara, ahli hukum, dokter, juru tulis, tukang besi,
pendeta, dan bahkan, pencopet, layaknya sekerumunan lebah di
dalam mana berbagai kecurangan, korupsi, kekeliruan, kerakusan,
dan ketamakan bisa timbul dalam sarangnya. Namun ia akhirnya
menyimpulkan:
THUS every Part was full of Vice,
Yet the whole Mass a Paradise;20
[Jadi setiap bagian penuh dengan sifat buruk,
Namun keseluruhannya adalah sebuah surga;]

Sajak ini juga mengulas bahwa manakala Tuhan memutuskan


untuk mengakhiri semua sifat buruk dan kelicikan manusia, maka
yang kemudian terjadi justru bencana. Dengan sangat gamblang,
Mandeville ingin menyampaikan pesannya bahwa hal-hal yang kita
anggap sebagai sifat buruk individu, seperti kerakusan, hawa nafsu,
ketamakan, cinta kemewahan, dan bahkan, sifat jahat, merupakan
sesuatu yang esensial bagi perkembangan dan kesejahteraan suatu
masyarakat maupun bangsa. Reformasi yang dibangun dengan
maksud melenyapkan sifat buruk manusia tersebut, menurut
Mandeville, hanya akan mendatangkan kerugian.
THEN leave Complains: Fools only strive
To make a Great an Honest Hive
T’ enjoy the World’s Conveniencies,
Be fam’d in War, yet live in Ease,
Without Great Vices, is a vain
Eutopia seated in the Brain.
Fraud, Luxury and Pride must live
While we the Beneits receive:21
[Kemudian daun mengeluh: si dungu hanya berupaya
membuat sarang yang jujur menjadi besar
Menikmati keademan dunia
Terkenal di medan perang, namun hidup dalam kesahajaan

20
Bernard Mandeville op.cit, hlm. 69.
21
Bernard Mandeville, op.cit, hlm. 74.
Tony Rudyansjah 85

Tanpa Sifat Buruk adalah kesia-siaan


Utopia hanya mendekam di dalam Pikiran
Kecurangan, Kemewahan dan Keangkuhan harus ada
Manakala kita yang menerima berbagai manfaatnya:]

Pesan Mandeville dalam sajak itu jelas bahwa mengenyahkan


sifat buruk manusia hanya akan mengakibatkan kehancuran.
Karenanya, tidak diperlukan adanya reformasi moral. Dengan
kata lain, biarkan kelicikan, cinta kemewahan, dan sifat buruk
tetap ada sepanjang masa apabila kita semua pada akhirnya
justru menerima manfaatnya. Melalui sajaknya, Mandeville
secara eksplisit mengungkapkan keyakinannya bahwa pengejaran
kesenangan pribadi yang dilakukan seorang individu akan
membawa kebaikan serta kebahagiaan bagi sejumlah besar orang
lain, bahkan kesejahteraan manusia seluruhnya.
Sajak itu secara jelas mengeluarkan pengejaran kepentingan
pribadi dari cangkang moralitas, sekaligus menggeser penekanan
yang biasanya hadir dalam teori-teori sosial sebelumnya, yaitu
pergeseran dari keutamaan relasi manusia dengan manusia
ataupun relasi manusia dengan tuhan menuju kepada keutamaan
relasi manusia dengan barang, karena pesan yang terkandung
dalam sajak tersebut mengungkapkan bahwa apabila seorang
individu selalu berupaya memburu kepentingan materiilnya,
maka moral dari satu masyarakat akan tetap terjamin.
Pergeseran penekanan keutamaan hubungan semacam itu
diulas oleh Albert O. Hirschman dalam buku he Passions and
the Interests saat menyatakan bahwa hanya dibutuhkan satu
langkah yang sangat kecil untuk menggantikan kata-kata seperti
gairah (passions) dan sifat buruk (vice) dengan kata-kata seperti
kepentingan (interests) dan keuntungan (advantages). Begitu
populernya kata-kata kepentingan dan keuntungan, sehingga
istilah-istilah itu kemudian memenuhi berbagai halaman tulisan
dari ilmu ekonomi klasik.
Hirschman juga menegaskan bahwa pandangan tentang
86 alam, Kebudayaan & yang IlahI

masyarakat sebagai hasil dari pengejaran kepentingan pribadi


seorang individu merupakan sebuah pandangan mengenai suatu
dunia yang lebih terprediksi, yang pada masa sebelumnya tidak
pernah dialami manusia.22 Sejak saat itu, gairah dari setiap orang
berperan menggantikan gairah absolut sang raja. Gairah seorang
raja yang absolut digantikan oleh gairah komersial para individu di
dalam masyarakat yang berlangsung di satu institusi perdagangan
dan komersialisasi yang justru jauh lebih kompleks daripada
institusi feodalisme yang telah ada sebelumnya. Di dalam monarki
absolut yang ditopang oleh gereja, ideologi mengejar kepentingan
pribadi yang individualistik tidak pernah memperoleh tempatnya.
Setiap individu harus bekerja dan berbakti kepada raja maupun
para bangsawan sebagai tuan mereka. Selain itu, penggunaan
istilah kepentingan (interests) adalah untuk bisa menggambarkan
manusia secara lebih konstan, dan, oleh karenanya, menjadi lebih
dapat diprediksi daripada istilah gairah manusia. Sebagaimana
perkara tersebut pernah dinyatakan oleh Spinoza:
“Men may difer in nature from one another insofar as
they are agitated by…passions, and insofar as one and
the same man is agitated by passions is he changeable and
inconstant.”23
[Manusia dapat berbeda satu sama lainnya sejauh mereka
digerakkan oleh… gairah, dan sejauh seseorang, dan seorang
yang sama, digerakkan oleh gairah maka dia berubah-rubah
dan tak konstan.]

Bandingkan kontras yang terjadi pada abad ke-17 ketika


kepentingan (interests) dibayangkan banyak orang di Eropa sebagai
suatu pepatah politik yang populer masa itu, yakni ‘Interest Will
Not Lie’.24 Kepentingan tidak akan berbohong, sehingga ia pun
ditanggapi tidak akan bisa menipu siapapun, dan karena tidak bisa
menipu siapapun, maka ia dapat dianggap aset untuk kehidupan

22
Albert O. Hirschman, he Passions and the Interest, 1981, hlm. 48-55.
23
Benedict Spinoza, he Political Works, 1958, Prop. 33.
24
Albert O. Hirschman, op.cit, hlm. 49.
Tony Rudyansjah 87

politik maupun kehidupan sosial bersama, sebagaimana hal itu


tercermin dalam pernyataan Sir James Steuart:
“Were miracles wrought every day, the laws of nature would
no longer be laws: and were everyone to act for the public,
and neglect himself, the statesman would be bewildered….
… were people to become quite disinterested: there would
be no possibility of governing them. Everyone might
consider the interest of his country in a diferent light,
and many might join in the ruin of it, by endeavoring to
promote its advantages.25
[apabila berbagai keajaiban bertahta setiap hari, maka
hukum alam tidak akan bisa lagi sebagai hukum alam,
dan apabila setiap orang bertindak demi publik, dan
mengabaikan dirinya sendiri, maka negarawan akan
menjadi bingung….
…apabila berbagai orang menjadi tidak berkepentingan,
maka menjadi tidak mungkin untuk memerintah mereka.
Setiap negarawan bisa menganggap kepentingan negaranya
dalam cara yang berbeda-beda, dan banyak orang akan
bergabung di dalam kehancurannya, melalui cara berupaya
memajukan keuntungannya sendiri-sendiri.]

Berdasarkan pernyataan di atas, tentu saja individualisme


Mandeville tidak dapat dikatakan menjelma menjadi satu teori
sosial hanya dalam semalam. Permasalahan teoritis yang rumit
ialah memperhitungkan “fakta ajaib” yang diungkapkan oleh
Mandeville, bahwa setiap bagian penuh dengan sifat buruk,
namun keseluruhannya merupakan sebuah surga; bagaimana
hal tersebut bisa berlangsung seperti itu? Suatu tradisi panjang
di mana suatu macam sentimen sebelumnya yang jauh berbeda
dibandingkan suatu sentimen baru yang sedang muncul, tidak
akan lenyap begitu saja dari suatu komunitas. Oleh sebab itu tentu
banyak terdapat berbagai ketidak-konsistenan dalam rumusan
awal teori ilmiah tentang masyarakat berdasarkan sudut pandang

25
Sir James Steuart, Inquiry into the Principles of Political Oeconomy,
1767 [1966], hlm. 143-144.
88 alam, Kebudayaan & yang IlahI

sentimen yang baru itu. Adam Smith adalah tokoh pemikir lain
yang dapat disebut sebagai wakil utama pendukung sentimen
yang berdasarkan pada the virtue of selishness dari Mandeville.

Akhirnya Ekonomi, Sebuah Emansipasi


dari Moralitas
Dalam pembahasan tentang Locke di atas, kita telah
mendiskusikan bahwa ekonomi tidak mungkin dapat menegaskan
dirinya tanpa membebaskan dirinya sendiri dari politik. Perkara
yang serupa juga berlaku pada ekonomi dalam kaitannya dengan
moralitas. Namun dalam konteks moralitas ini, persoalan
emansipasi yang dihadapi ekonomi jauh lebih kompleks, karena
yang dihadapi ekonomi tidak melulu hanya soal moralitas.
Tindakan ekonomi harus bisa dibuktikan memiliki orientasi
tidak hanya kepada sesuatu yang menguntungkan secara materiil,
tetapi mengandung juga suatu kebajikan moral, atau dengan
kata lain, mengandung suatu karakter moral tersendiri. Hanya
melalui cara itulah, ekonomi mampu menghindarkan dirinya
dari gugatan penilaian moral yang diluncurkan orang kepadanya
dengan tuduhan tidak mengandung satu kebajikan apapun.
Perkembangan pemikiran Adam Smith, yang menulis tidak
hanya he heory of Moral sentiments, namun juga he Wealth of
Nation, harus didiskusikan di sini untuk memahami bagaimana
masalah pelik tersebut dapat diatasi. Dalam he heory of Moral
sentiments, Smith masih sangat menegaskan bahwa ciri utama
dari manusia adalah melekatnya sentiment dalam diri manusia.
Berdasarkan pada sentimen itulah, bentuk simpati antara satu
individu dengan individu lainnya sesungguhnya dapat ditumbuh-
kembangkan.
…how selish soever man may be supposed, there are
evidently some principles in his nature, which interest
him in the fortune of others, and render their happiness
necessary to him, though he derives nothing from it except
Tony Rudyansjah 89

the pleasure of seeing it.26


[bagaimanapun egoisnya manusia diasumsikan, tetap saja
terdapat beberapa prinsip di dalam hakekat dirinya, yang
menyebabkannya memiliki ketertarikan pada kebahagiaan
orang lain, sehingga kebahagiaan orang lain itu merupakan
juga satu keniscayaan bagi dirinya, meskipun ia tidak
mendapatkan apapun selain kesenangan semata dalam
melihat kebahagiaan orang lain.]

Berdasarkan kalimat itu, yang mana sering dikutip orang


dengan tujuan membuktikan Smith sebagai penganut social
individuality, para ilmuwan pada umumnya sepakat bahwa
konsep paling dasar dalam he heory of Moral sentiments adalah
simpati. Berdasarkan konsep inilah Smith mengembangkan
pandangan antropologisnya mengenai individualitas sosial
manusia. Dalam teorinya tentang tindakan komunikatif (theory
of communicative action)—yang meskipun Smith sendiri tidak
pernah menggunakan kata itu (baca: theory of communicative
action) —, namun istilah tersebut tetap digunakan di sini, karena
Smith memang dapat dianggap mengembangkan teori semacam
itu. Smith menegaskan bahwa setiap bentuk individualisme
egoistik (egoistic individualism) pada akhirnya harus runtuh
karena adanya fakta bahwa setiap pemahaman antara satu individu
terhadap individu lainnya mempersyaratkan adanya pertukaran
situasi yang senantiasa berubah antara satu pelaku dengan pelaku
lainnya, yang dimungkinkan terwujud melalui perantaraan
imajinasi masing-masing.
Dengan demikian, prakondisi mutlak bagi seseorang untuk
bisa menempatkan dirinya di dalam situasi orang lain adalah
penanggalan terlebih dahulu berbagai kepentingan, perasaan, dan
hasrat pribadinya. Tanpa prakondisi seperti itu, tidak mungkin
dapat terjalin pemahaman satu orang terhadap orang lainnya
(mutual understanding), dan tanpa adanya pemahaman satu

26
Adam Smith, he heory of Moral Sentiment, 2004, hlm. 11.
90 alam, Kebudayaan & yang IlahI

terhadap lainnya tidak mungkin dapat terwujud komunikasi antar


manusia. Singkat kata, Smith berpendapat bahwa manusia harus
mengembangkan simpati satu sama lain. Berdasarkan prinsip
awal ini, pandangan antropologis tentang makhluk manusia
dalam kerangka pikir Smith dilihat sebagai social individuality
(individualitas sosial). Menurut prinsip awal tersebut, manusia
akan merasakan dan mencapai kebahagian manakala melihat
sesamanya bahagia. Manusia menikmati kebahagiaan orang lain
tanpa mengharapkan apapun, kebahagiaan itu sendiri diperoleh
saat melihat sesamanya bahagia. Pandangan Smith ini tentu
saja seakan-akan begitu simplistik, namun dibaliknya terdapat
persoalan teoritis yang sangat rumit dan kompleks.
Pandangan antropologis mengenai manusia sebagai social
individuality, di mana sentimen menduduki posisi yang utama, adalah
satu pandangan yang memang bersifat normatif tentang hakekat
manusia. Hal itu lebih merupakan satu asumsi antropologis yang
dikembangkan Smith dalam he heory of Moral Sentiments tentang
konstitusi diri manusia (constitution of self). Smith mengembangkan
teori tentang konstitusi diri seperti itu sebagai satu upaya menjawab
persoalan dualisme antara individu dan masyarakat, yang kemudian
menjadi persoalan utama ilsafat modern sejak kemunculan buku
Edmund Husserl Cartesian Meditation, terkenal dengan istilah
constitution of self. Persoalan utama ilsafat modern jika dijelaskan
secara lebih tepat adalah persoalan kemampuan kita untuk bisa
memberikan jawaban bagaimana kognisi dan pengetahuan seorang
individu, atau bagaimana sudut pandang seorang subjek yang
sedang melakukan kemampuan kognisi, dapat dikatakan sahih atau
valid secara objekif.
Sejak masa Descartes, permasalahan utama yang dihadapi
ilsafat modern ialah permasalahan tentang constitution of self
dan pertanyaan tentang impartiality (tanpa kepentingan atau nir
pamrih), keduanya menduduki posisi sentral sebagai permasalahan
utama. Artinya, di satu sisi apa yang dapat kita katakan sebagai
Tony Rudyansjah 91

fondasi dan perangkat dari kognisi tentang diri sendiri dan diri
orang lain, serta di sisi lain, apa yang dapat kita katakan menjadi
fondasi dan perangkat dari penilaian mengenai diri sendiri dan
diri orang lain. Sehingga penilaian kita itu pada akhirnya dapat
dikatakan tanpa pamrih atau nir kepentingan, yang dengan
demikian dapat dikatakan sahih. Smith berupaya menjawab
persoalan utama ilsafat modern itu dengan suatu cara yang
sangat unik melalui sebuah deskripsi yang sangat komprehensif
mengenai kondisi manusia di tingkat mikro dari relasi sosialnya.
Dalam teori tentang konstitusi diri, Smith menggunakan
suatu pendekatan inter-subjektif. Ia memulai eksplorasinya
dengan sejumlah pertanyaan berkenaan dengan konstitusi
diri orang lain. Pertanyaan Smith perihal bagaimana kita
mengenali dan memahami orang lain, mau tidak mau mencakup
juga pertanyaan apa yang kita pahami dari orang lain. Kedua
pertanyaan itu, dengan demikian, tak mungkin dipisahkan.
Dalam tradisi teoritis berkenaan dengan konstitusi diri, kita dapat
membedakan para ahli ilsafat yang mengembangkan teorinya
dengan mengetengahkan diri sendiri sebagai titik pijakannya di
satu sisi, dengan para ahli ilsafat yang menjadikan diri orang lain
sebagai titik pijakan utamanya, di sisi lain.
Untuk memahami dua tradisi yang berbeda ini ada baiknya
apabila kita mengikuti pembedaan yang dibuat oleh Jacques Lacan,
yakni yang pertama adalah tradisi Cogito yang dikembangkan oleh
Rene Descartes,27 dan yang kedua adalah tradisi Cermin (Mirror)
yang dikembangkan oleh Gottfried Leibniz. Pembedaan antara
kedua tradisi inilah yang sesungguhnya merupakan persoalan
epistemologis sekaligus ontologis tentang kondisi manusia yang
dicoba diatasi Smith, dan dalam hal tertentu apa yang dilakukan
Smith jauh lebih kompleks daripada apa yang dikembangkan
Lacan. Bagaimana kompleksnya pendekatan metodologis yang

27
Tradisi Cogito dari Descartes ini sering juga disebut dengan istilah
tradisi Cartesian.
92 alam, Kebudayaan & yang IlahI

dikembangkan Smith dalam menjawab persoalan rumit ini dapat


kita dipahami dengan memulai pembahasan tentang tradisi
Cogito beserta berbagai kesulitan yang menyertainya.
Titik pijakan Descartes dalam teorinya tentang konstitusi
diri (constitution of the self) berangkat dari dalil cogito ergo sum,
yang berarti ‘saya berpikir, oleh karena itu saya ada’. Titik
pijakan awalnya adalah diri sendiri (self), sedangkan Smith,
adalah orang lain (other self). Teori Descartes, karenanya dapat
dikatakan merupakan self-referential theory tentang konstitusi
diri. Dalam rangka mengkonstitusikan dirinya, seseorang tidak
membutuhkan referensi apapun dari orang lain, termasuk
pengertian tentang jati dirinya. Tradisi Cartesian itu pada abad
ke-18 kemudian diambil-alih oleh Kant, yang pada gilirannya
tertarik untuk mengembangkan suatu fondasi pengetahuan murni
(foundation of pure knowledge), yaitu suatu bentuk pengetahuan
yang merupakan abstraksi dari setiap bentuk pengalaman dan
persepsi inderawi. Berdasarkan dalil Descartes tersebut, maka
dapat diutarakan bahwa kesulitan yang dihadapi self-referential
theory tentang konstitusi diri ialah:
• Apa yang semata-mata menjadi subjek tidak mungkin dapat
menjadi objek dari releksi, karena apa yang bisa diperlakukan
sebagai objek membutuhkan eksistensinya dari sesuatu yang
lain yang berada jauh melampui keberadaannya melulu hanya
sebagai sesuatu yang sedang dipikirkan dalam benak semata.
• Bagaimana subjek yang berpikir dapat memikirkan dirinya
tanpa dunia yang bersifat eksternal. Atau dengan kata lain,
bagaimana subjek mungkin untuk dapat menegaskan bahwa
‘saya adalah saya, karena saya adalah saya’ tanpa mengaitkan
kebenaran penegasan itu dengan relasinya dengan pihak/orang
lain.
• Bagaimana mungkin seorang subjek yang sedang berpikir bisa
memastikan bahwa apa yang sedang dipikirkannya bukan
merupakan sesuatu ilusi atau khayalan semata.
Tony Rudyansjah 93

Bagi Descartes, berbagai kerumitan itu tidak relevan,


karena apa yang menjadi permasalahan utamanya adalah ‘saya
berpikir, dan sejauh saya berpikir, maka saya dapat memastikan diri
saya bahwa saya ada’. Semua pertanyaan lain, seperti isu benar
tidaknya dan kepastian penilaian seorang subjek merupakan
persoalan yang sekunder bagi Descartes. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa Descartes berpendapat cogito ergo sum (‘saya
berpikir, oleh karena itu saya dapat menyatakan diri saya ada’)
tanpa peduli apakah saya berpikir secara benar atau sesungguhnya
sedang keliru. Apa yang dipentingkan Descartes adalah fakta
bahwa diri sedang dikonstitusikan, sedangkan bagaimana diri itu
dikonstitusikan merupakan satu persoalan yang dianggapnya
tidak penting. Dalam kenyataan sesungguhnya di dunia riil,
pertanyaan tentang apakah saya berpikir hampir tidak dapat
dipisahkan dari pertanyaan apa yang sedang saya pikirkan, dan
lebih lanjut bagaimana saya melakukan pemikiran itu.
Kerumitan utama tradisi Cartesian adalah penyingkiran
orang lain di dalam kerangka teori yang dikembangkan Descartes.
Persoalan bagaimana seorang subjek yang bersifat absolut di dalam
dirinya sendiri mungkin untuk bisa memiliki keprihatinan dan
sadar akan orang lain manakala subjek melulu bersifat self-referential
merupakan persoalan penting yang harus dijawab dalam sejarah
ilsafat Eropa sejak masa Descartes: bagaimanakah seorang subjek
seharusnya melihat orang lain apabila subjek itu telah menetapkan
dan meneguhkan dirinya sendiri sebelum mengkonstitusikan diri
orang lain dengan berbagai kerangka nilai, kriteria, dan tastes yang
semata-mata berasal dari diri subjek itu sendiri? Singkatnya, tradisi
Cartesian tidak mampu memberikan sebuah transmisi terhadap
orang lain. Apabila diri subjek mendekati diri orang lain hanya
berdasarkan nilai dari diri subjek sendiri, maka subjek itu akan
memaksakan nilainya sendiri terhadap orang lain itu tanpa mampu
meraih nilai apapun dari orang lain dalam pertimbangannya.
Konsekuensi logis dari tradisi Cartesian ini adalah gambaran
94 alam, Kebudayaan & yang IlahI

homo humini lupus dari Hobbes: keadaan alami manusia bukanlah


toleransi dan pengakuan satu sama lain, melainkan suatu keadaan
dari hasrat manusia untuk senantiasa berupaya memperoleh
kekuasaan demi kekuasaan itu sendiri, sehingga yang terjadi
kemudian adalah perang semua terhadap semua.
Selanjutnya Smith merumuskan teorinya tentang konstitusi
diri sebagai argumentasi terhadap tradisi Cogito dari Descartes
di atas. Prinsip utama teori Smith adalah melihat diri sendiri
sebagaimana layaknya orang lain melihat diri kita.
“When we have to give up our cogito-principle as soon as
we are confronted with the other selves and therefore must
see ourselves as others would or likely to see us, then, cogito
cannot serve as the point of departure. herefore, why do
we not put this principle of to see ourselves as others would
see us at the begin of our theory of the constitution of the
self, which would provide to our judgements more solid,
that is, more objective foundation and by this we may
be prevented from passing subjectivist judgements upon
others and upon us.”28
[Sewaktu kita menanggalkan prinsip cogito kita manakala
kita berhadapan dengan orang lain, dan dengan demikian,
harus melihat diri kita sendiri sebagaimana orang lain
melihat diri kita, maka cogito tidak dapat digunakan sebagai
titik pijakan. Oleh karena itu, kenapa kita tidak meletakkan
prinsip melihat diri sendiri sebagaimana orang lain melihat
diri kita sebagai awal dari teori kita tentang konstitusi diri,
yang mampu memberikan satu landasan yang lebih solid
dan objektif pada penilaian kita, dan dengan demikian
dapat melindungi kita dari penilaian yang bersifat subjektif
baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri.]

Teori Smith itu pada dasarnya adalah Teori cermin tentang


diri. Kebanyakan para ahli kemudian menelusuri asal usulnya pada
pengaruh David Hume terhadap Smith. Di buku Hume dengan
judul A Treatise of Human Nature, Hume memang menegaskan
bahwa:

28
Adam Smith, he heory of Moral Sentiment, 2004, hlm. 5-6.
Tony Rudyansjah 95

“In general we may remark, that the minds of men are


mirrors to one another, not only because they relect each
others emotions, but also because those rays of passions,
sentiments and opinions may be often reverberated, and
may decay away by insensible degrees.”29
[Umumnya kita dapat menyatakan pikiran-pikiran orang
pada dasarnya merupakan cermin satu sama lain, tidak
hanya karena pikiran-pikiran itu mereleksikan emosi
masing-masing satu sama lain, melainkan juga karena
untaian kegairahan, sentimen dan opini tersebut seringkali
bisa dikumandangkan dan sekaligus bisa menghilang dalam
taraf yang tidak sepenuhnya dapat disadari.]

Editor dari buku Smith he heory of Moral Sentiments


merujuk kutipan ini sebagai bukti bagi asal muasal pengaruh
Hume terhadap pemikiran Smith.30 Meskipun begitu, saya
berpendapat bahwa pengaruh Hume terhadap Smith dalam soal
ini sangat minimal berdasarkan pada dua alasan utama:
• Referensi Hume terhadap Teori Cermin sangat kebetulan
sifatnya, karena apabila kita cermati agnosticisme dan
individualisme epistemologis Hume, maka kita dapat
mengatakan bahwa Hume nampaknya tidak sepenuhnya
sadar atas arti penting Teori Cermin bagi epistemologi, ilsafat
moral, maupun teori politik dan sosialnya yang lain. Sangat
berbeda kontras dengan Hume, Smith justru menggunakan
dan menerapkan Teori Cermin secara sangat konsisten pada
keseluruhan karyanya.
• Terlepas dari fakta bahwa Teori Cermin berasal dari ilsafat
Yunani Kuno, di zaman modern Teori Cermin ini telah
dimantapkan jauh sebelum Hume melalui tokoh-tokoh
pemikir seperti Leibniz berdasarkan satu prinsip metaisikal
idealis, maupun oleh Locke berdasarkan pada landasan yang
sifatnya materialis.

29
David Hume, A Treatise of Human Nature, 1978, hlm. 365.
30
Adam Smith, he heory of Moral Sentiments, 2004, hlm. 110n.
96 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Di bawah ini kita akan fokus membahas pengaruh Teori


Cermin Leibniz terhadap Smith.
Leibniz merumuskan Teori Cermin dalam tingkat yang
sangat metaisik dan sangat mendasar. Ia memperlakukan teori
ini sebagai suatu prinsip penting bagi landasan utama semua ilmu
pengetahuan. Kesamaan utama antara Teori Cermin Leibniz dan
Smith terletak pada perhatian mereka berdua terhadap preposisi
dialektik Stoik yang menegaskan bahwa semua substansi,
termasuk monad, adalah bersifat partikular, namun berinterrelasi
dan saling tergantung satu sama lain. Liebniz memformulasikan
Teori Cermin dalam kerangka konsepsinya tentang monad dan
substansi. Teorinya diandaikan bisa diterapkan dalam arti seluas-
luasnya baik kepada ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial.
Liebniz nampaknya bekerja dengan dua konsepsi yang
bersifat kontradiktoris tentang monad, yaitu segala sesuatu yang
memiliki kapasitas igurasi31 dan perluasan (extension) di satu
sisi, dan segala sesuatu yang tidak memiliki kapasitas igurasi
dan perluasan di sisi lain. Perbedaan antara kedua konsepsi ini
berasal dari konsepsi Leibniz tentang substansi. Serupa dengan
monad, Leibniz nampaknya juga bekerja dengan dua konsepsi
yang bersifat kontradiktoris tentang substansi, yakni substansi
yang bersifat corporeal (isikal/materiil) dan substansi yang
bersifat inkorporeal (non isikal/non materiil). Pendeinisian
seperti itu tentu saja memiliki dampak terhadap seluruh sistem
pemikirannya, dan mengantarkan ia ke dalam sistem pemikiran
tentang satu dikotomi yang tidak begitu nampak terlihat antara
materialisme dan idealisme, yang merupakan suatu persoalan
yang sesungguhnya dicoba atasi oleh Leibniz.
Dalam eksplorasinya tentang konsepsi substansi dan monad,
Leibniz tidak berada hanya dalam tingkat abstrak seperti di
atas. Dalam artikelnya yang berjudul Discourse on Metaphysics,

31
Kapasitas igurasi artinya kapasitas suatu benda atau hal memiliki
pola, bentuk atau igur.
Tony Rudyansjah 97

ia menggunakan istilah substansi dan monad dalam pengertian


serupa, yakni dalam arti ‘benda’ yang mengimplikasikan sesuatu
yang riil. Leibniz menggunakan juga istilah substansi atau monad
dengan pengertian yang sama untuk subjek dan diri pribadi
(person), yakni dalam arti sebagai seorang agen atau satu pribadi
manusia. Di konteks ini Leibniz secara jelas mendeinisikan
manusia sebagai substansi dan monad, yang tentu saja sangat
relevan juga bagi kita untuk melihat dan memahami pengaruh
Liebniz terhadap Teori Cermin Smith, sebagaimana hal itu
kemudian diaplikasikan Smith ke dalam kerangka teori sosialnya.
Perbedaannya dengan Leibniz, Smith menerapkan Teori Cermin-
nya semata-mata hanya bagi makhluk hidup, dan membatasinya
hanya kepada makhluk hidup yang telah mengembangkan sedikit
banyaknya suatu kapasitas intelektual. Dengan lain perkataan,
Smith tidak menerapkan Teori Cermin kepada alam inorganik,
bahkan ia menerapkan teorinya itu kepada makhluk binatang non-
human hanya kalau sangat terpaksa karena tuntutan komparatif.
Di dalam ilsafat alamnya, sebagaimana juga di dalam teori
sosial dan politiknya, Smith menggunakan satu pendekatan
relasional sebagai satu perangkat metodologis yang universal
sifatnya, meskipun harus dicatat di sini bahwa pendekatan relasional
itu diterapkan dalam bentuk yang sepenuhnya sangat kontras
ketika digunakan dalam ranah ilsafat alam dengan dibandingkan
saat digunakan dalam ranah sosial dan politik dunia makhluk
manusia.32 Dalam ilsafat alamnya, Smith mendeinisikan relasi
antara objek alam dalam tradisi Aristotelian, yakni dengan cara
memperhatikan baik kualitas eksternal maupun internal isiknya.
Sedangkan dalam ranah teori sosial dan politiknya, termasuk juga
epistemologinya, pendekatan relasional itu menjadi berbeda dan
sekaligus menjadi semakin kompleks manakala konsepsi tentang
agen mulai memainkan satu peranan penting. Dalam konteks

32
Pendekatan relasional ini juga sangat penting untuk Karl Marx, lihat,
misalnya, pembahasan Bertell Ollman, Alienation, 1988.
98 alam, Kebudayaan & yang IlahI

terakhir ini, pendekatan relasional Smith lebih berdasarkan pada


prinsip simpati.
Kesamaan antara Leibniz dan Smith, sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya, berasal dari ketertarikan dan perhatian
mereka berdua terhadap keunikan dan kesalingtergantungan
substansi dan monad satu sama lain, sesuatu yang pada hakekatnya
berasal dari preposisi dialektikal kalangan Stoik di masa Yunani
kuno. Preposisi dialektikal Stoik itu diungkapkan Leibniz di
dalam penegasannya sebagai berikut:
“this mutual dependence consists in the fact that everything
is linked everything else, like a chain.”33
[Kesalingtergantungan ini terdapat dalam fakta bahwa
segala sesuatu terhubungkan kepada suatu yang lain laksana
satu rantai.]

Smith tentu saja menganut pula tradisi dialektikal Stoik


itu. Namun berbeda dengan Leibniz, Smith lebih menegaskan
airmasi dan sekaligus kritiknya terhadap tradisi Stoik itu:
“he Ancient Stoics were of the opinion, that as the world
was governed by the all-ruling providence of a wise, powerful,
and good God, every single event ought to be regarded, as
making a necessary part of the plan of the universe, and
as tending to promote the general order and happiness of
the whole: that the vices and follies of mankind, therefore,
made as necessary a part of this plan as their wisdom or their
virtue; and by that eternal art which educes good from ill,
were made to tend equally to the prosperity and perfection
of the great system of nature.”34
[Stoik kuno berpendapat bahwa dunia diatur oleh perintah
yang mengatur segalanya yang berasal dari Tuhan yang
maha baik, maha kuasa dan maha bijaksana, sehingga
segala peristiwa yang terjadi harus ditanggapi sebagai satu
keniscayaan dari satu perencanaan alam semesta, dan
cenderung mendorong keteraturan umum dan kebahagian

33
Gottfried W. Leibniz, On Destiny or Mutual Dependence’, di dalam
Selections, 1951, hlm. 570.
34
Adam Smith, he heory of Moral Sentiments, 2004, I. ii. 3.4.
Tony Rudyansjah 99

bagi semua: bahwa sifat buruk dan kedunguan makhluk


manusia, dengan demikian, diciptakan sebagai keniscayaan
satu bagian dari satu perencanaan sebagaimana juga
kebijaksanaan dan kebaikan sifat manusia; dan melalui
seni abadi yang akan melahirkan kebaikan dari keburukan,
kesemuanya dibuat secara merata untuk kesejahteraan
dan kesempurnaan dari satu sistem maha besar dari alam
semesta.]

Kalimat itu tentu saja mengingatkan kita kembali tentang


konsepsi the Great Chain of Being-nya Lovejoy yang telah kita
bahas di bab pertama buku ini. Berkenaan dengan tradisi Stoik
ini, kita dapat menyimpulkan bahwa Smith memiliki dua
posisi yang berbeda. Di satu sisi, ia menyetujui pendapat bahwa
terdapat satu interrelasi universal antara sesuatu dengan sesuatu
yang lain, dan terdapat satu kesalingtergantungan universal
antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Di sisi yang lainnya,
Smith sangat menolak keyakinan Stoik tentang predestinasi sifat
buruk (vice) dan kebajikan (virtue). Para Stoik, dalam hemat
Smith, beranggapan bahwa sifat buruk dan kebajikan merupakan
suatu bagian yang tak terhindarkan dan menjadi keniscayaaan
bagi perencanaan alam semesta, serta memiliki kecenderungan
mendorong tata tertib dan kebahagian yang berlaku umum bagi
semua. Terhadap keyakinan Stoik seperti ini, Smith dengan kritis
menolaknya, ia menegaskan bahwa:
“No speculation of this kind’, how deeply soever it might be
rooted in the mind, could diminish our natural abhorrence
for vice.”35
[Tidak ada spekulasi semacam ini, meskipun hal itu sangat
kuat berakar dalam pikiran, yang dapat menghilangkan
kebenciaan alami kita terhadap sifat buruk manusia.]

Pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa Smith dan


Liebniz menganut pendapat yang serupa tentang posisi Stoik
terhadap interrelasi dan kesalingtergantungan universal. Namun

35
Adam Smith, he heory of Moral Sentiments. 2004, I, ii, 3.4.
100 alam, Kebudayaan & yang IlahI

berbeda dengan Leibniz, Smith sangat menolak konsepsi Stoik


tentang Pradestinasi (takdir) maupun tentang harmoni yang telah
terberikan dan termantapkan sebelumnya.
Seandainya kita mau menguraikan persoalan di atas terlepas
dari implikasi kosmologis dan ilsafat alam, serta menurunkan
uraian Leibniz dan Smith ke dalam kerangka yang lebih
antropologis, maka mereka berdua pada dasarnya dapat dikatakan
sedang menegaskan bahwa keseluruhan kemanusiaan saling
berrelasi dan saling bergantung satu sama lain. Smith merujuk
pada semua manusia yang kontemporer maupun dari masa
lampau—sebagai bagian dari satu species yang sama. Judul dari
karya utamanya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth
of Nations menegaskan asumsi tersebut bahwa terdapat hubungan
yang essensial di antara semua manusia dan bangsa (ingat ketika
Smith menggunakan kata Nations dalam bentuk jamak), sehingga
pengalaman mereka semua sepanjang sejarah dapat dihubungkan
satu sama lain melalui suatu mediasi yang menghubungkan semua
yang ada. Tanpa adanya asumsi dasar seperti itu tidak mungkin
ada Teori Cermin. Interrelasi dan saling ketergantungan inilah
yang memungkinkan berbagai monad menampilkan sekaligus
mencerminkan kembali semesta dunia ke dalam kekhususan dan
keunikan sudut pandang masing-masing. Liebniz menegaskan
gagasan tersebut dalam tulisannya ‘Monadology’:
“this connection, or this adaptation, of all created things
to each and of each to all, brings it about that each simple
substance has relations which express all the others, and
that, consequently, it is a perpetual living mirror of the
universe.’36
[koneksi atau adaptasi dari semua hal yang diciptakan
antara yang satu dengan yang lainnya, maupun antara yang
satu dengan kesemuanya yang lain, menyebabkan bahwa
satu substansi yang sederhana tetap memiliki berbagai relasi
yang mengekspresikan kesemuanya yang lain, dan dengan

36
Gottfried W. Leibniz, ‘he Monadology’, hlm. 544, §56.
Tony Rudyansjah 101

demikian merupakan cermin hidup yang langgeng dari


alam semesta.]

Oleh karena mengeskpresikan semua yang lain, maka itu


juga berarti mencerminkan semua yang lain. Dari perspektif
khususnya, berbagai monad secara keseluruhan mereleksikan
dunia, atau lebih tepatnya, semesta dunia secara utuh dan padu.
Leibniz kemudian menguraikan apa yang dimaksudkannya
dengan pernyataan bahwa melalui perspektif khususnya berbagai
monad mereleksikan semesta dunia secara utuh dan padu melalui
metaphor sebagai berikut:
“the same city looked at from diferent sides appears entirely
diferent, and is as if multilied perspectively; so also it
happens that, as a result of the ininite universes, which are
nevertheless only the perspectives of a single one, according
to the diferent points of view of each monad.”37
[Kota yang sama yang dilihat dari sudut yang berbeda
akan terlihat secara berbeda, dan nampak dilipatgandakan
berdasarkan perspektifnya; demikian juga akan terjadi
bahwa sebagai akibat dari semesta yang tak terhingga yang
sesungguhnya hanya merupakan berbagai perspektif dari
sesuatu yang tunggal sifatnya, yang dipandang dari berbagai
sudut pandang yang berbeda dari masing-masing monad.]

Smith menguraikan gagasan yang sama di dalam konteks yang


lebih antropologis dalam buku he heory of moral Sentiments:
“If the very appearances of grief and joy inspire us with some
degree of the like emotions, it is because they suggest to us
the general idea of some good or bad fortune that has befallen
the person in whom we observe them: and in these passions
this is suicient to have some little inluence upon us.”38
[apabila penampakan kepedihan dan keceriaan menginspi-
rasikan kita dengan sejumlah emosi yang sama, itu
disebabkan karena kesemua hal itu mengesankan dalam
diri kita satu gagasan yang berlaku umum dari sejumlah
nasib baik atau nasib buruk yang menimpa seseorang yang

37
Gottfried W. Leibniz, op.cit, hlm. 544, §57.
38
Adam Smith, he heory of Moral Sentiments, 2004, I.i.1.8.
102 alam, Kebudayaan & yang IlahI

sedang kita amati: dan di dalam semua kegairahan itu


sangatlah mungkin menimbulkan sejumlah pengaruh kecil
tertentu terhadap diri kita.]

Kutipan di atas mesti dicermati secara hati-hati, karena


Smith tidak bermaksud mengatakan bahwa kita dapat memahami
penderitaan dan keceriaan orang lain semata-mata karena ekspresi
khususnya sebagai efek langsung dari penderitaan dan keceriaan
yang sedang berlangsung atau sedang akan berakhir dalam diri
seseorang yang merasakan perasaan itu. Kita juga tidak memahami
hal tersebut dengan cara menyimpulkannya dari perasaan khusus
yang muncul dalam diri kita sendiri sebagai efek langsung dari
berakhirnya perasaan itu dalam diri kita. Melainkan Smith lebih
menegaskan bahwa kita dapat memahami satu sama lain, ataupun
kita akan dapat memahami perasaan, emosi, dan kegairahan orang
lain, dengan cara menyimpulkannya dari suatu gagasan umum
(general idea) yang mendapatkan ekspresi khususnya dari berbagai
perasaan, emosi dan kegairahan tertentu dari diri orang lain tersebut.
Gagasan umum (general idea) dengan keniscayaannya
senantiasa terejawantahkan dalam perasaan, emosi, dan
kegairahan khusus tertentu yang memungkinkan kita semua bisa
berkomunikasi satu sama lain berdasarkan perspektif khusus dari
masing-masing sudut pandang pelaku. Berbeda dengan Leibniz
yang berpendapat bahwa semua monad, termasuk makhluk
manusia, dapat berhubungan dan berkomunikasi satu sama lain,
dan bisa memperoleh kekhususan masing-masing berdasarkan
satu landasan yang sama di mana mereka semua disatukan dan
dipadukan karena adanya pengaruh dari Tuhan, maka Smith tidak
merujuk kepada Tuhan sebagai mediasi untuk komunikasi antar
manusia, melainkan lebih merujuk kepada kemampuan manusia
untuk berimajinasi dan bersimpati.
Makhluk manusia, menurut Smith, mampu untuk berko-
munikasi satu sama lainnya dengan bantuan kemampuan simpati
yang dimilikinya, yang dalam kerangka teori Smith selalu ia kaitkan
Tony Rudyansjah 103

dengan konsepsi tentang persepsi dan imajinasi. Pembahasan


tentang pokok permasalahan ini membawa kita pada satu diskusi
tentang ‘impartial spectator’ atau ‘impartiality’ sebagai satu konsep
penting untuk memahami dasar bagaimana proses pengkonsitusian
diri manusia satu sama lain mungkin untuk diwujudkan, serta
bagaimana penilaian kita terhadap diri sendiri ataupun orang
lain dapat dikatakan tanpa kepentingan (‘impartiality’), dan oleh
sebab itu dapat dikatakan juga sahih (valid).
Konsepsi Smith tentang ‘impartiality’ sangat berkaitan dengan
konsepsi tentang interest, yang pada gilirannya juga berkaitan
erat dengan konsepsi tentang situasi dan simpati. Teori Smith
mengenai situasi mempertimbangkan tidak hanya situasi langsung
dari tindakan komunikatif dalam arti luas, namun mencakup pula
keseluruhan proses bagaimana makhluk manusia disosialisasikan.
Dengan demikian, kata ‘situasi’ dalam teori Smith mengandung
tiga komponen yang saling melengkapi. Menurut Smith, di dalam
relasi sosialnya, makhluk manusia senantiasa terlekatkan ke dalam
satu situasi yang bersifat: (1) umum, (2) konkrit, dan (3) aktual.
Situasi umum dan konkrit mencakup keseluruhan totalitas, baik
tindakan manusia dalam ruang dan waktu, maupun kondisi
pengalaman subjektif dan objektifnya para pelaku. Situasi umum
dan konkrit, dengan demikian, merujuk pada baik kondisi sosial
dan material, tingkat sosial (social rank) dan kelas sosial, maupun
sosialisasi dalam arti luas termasuk pendidikan. Kedua situasi ini
membentuk kapasitas emosional dan intelektual yang bisa bertahan
lama, sekaligus mengaktualisasikan dirinya sendiri di setiap
situasi tindakan baru dalam perwujudan penilaian tentang benar
atau kelirunya suatu tindakan tertentu. Situasi kedualah (baca:
konkrit) yang memberikan suatu peralihan khusus tertentu kepada
kecenderungan-kecenderungan emosional dan intelektual yang
bertahan lama, dan menempatkannya ke dalam suatu hubungan
saling mempengaruhi terhadap suatu tindakan komunikatif seketika
dan unik, yang jarang dapat kembali diulangi para pelakunya.
104 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Berdasarkan kecenderungan-kecenderungan emosial dan


intelektual yang bertahan lama ini, setiap orang melakukan
tindakannya sesuai dengan situasi konkrit dan aktual dari
tindakan komunikatif masing-masing, serta berupaya memenuhi
pemuasan kebutuhan dan kegairahan yang bersifat jasmani
maupun intelektual dari masing-masing pelakunya. Smith
menegaskan bahwa makhluk manusia mampu melakukan
kognisi dan memahami satu sama lain secara penuh dan otentik
berdasarkan pada latar belakang keseluruhan total dari situasi yang
terpadu secara dialektik dan sekaligus kompleks ini. Pemahaman
komprehensif tentang orang lain merupakan sebuah prakondisi
untuk bisa mengenali dan memahami diri sendiri.
Smith lebih lanjut mendeinisikan dunia internal manusia
sebagai cermin dunia sosial maupun dunia alami yang bersifat
historis dan eksternal. Ia mendeinisikan hal ini dalam konteks
teorinya tentang karakter. Menurutnya, karakter individual
setiap makhluk manusia mencerminkan baik situasi material,
situasi relasi sosial, maupun situasi alami yang terdapat dalam
suatu masyarakat pada satu masa tertentu. Serupa dengan monad
dalam pengertian Leibniz, karakter makhluk manusia, di dalam
pendekatan Smith, mencerminkan relasi sosial dan relasi alami
historis dari sudut pandang perspektif khusus para pelaku masing-
masing. Perspektif khusus tertentu dari setiap pelaku lahir dan
berasal dari situasi masing-masing.
Uraian di atas tidak boleh diartikan bahwa dunia internal
(dunia batiniah) manusia identik atau hanya merupakan tiruan
naïf dari dunia eksternal. Dunia internal manusia bisa sangat
berbeda dari dunia eksternalnya atau, bahkan, sangat kontradiktif
dengannya. Meskipun begitu, hal ini tidak dengan sendirinya
menggugurkan pandangan bahwa dunia eksternal manusia
merupakan satu-satunya dasar objektif dari berbagai perasaan,
emosi, kegairahan, dan pikiran dari manusia. Pada saat kita
berupaya memahami orang lain dan memberi penilaian terhadap
Tony Rudyansjah 105

orang lain, atau dengan kata lain, mengkonstitusikan orang lain


pada satu dasar yang sedikit banyak bisa dikatakan objektif,
maka kita tidak dapat melakukannya hanya dengan melihat
pada kegairahan, perasaan, dan emosi manusianya, melainkan
kita harus melakukannya dengan cara mengembalikan hal itu
semua kepada landasan-landasan yang bersifat objektif dari
situasi di dalam mana berbagai kegairahan, perasaan dan emosi
manusia tersebut muncul dan terreleksikan. Simpati, dengan
demikian, tidak muncul hanya dengan memperhatikan perasaan
dan kegairahan manusia semata, melainkan lebih muncul dan
berkembang dari situasi yang menyebabkan timbulnya perasaan
dan kegairahan tersebut.
Untuk dapat memahami orang lain dan mengkonstitusikan
orang lain, dalam kerangka teori Smith, kita harus menempatkan
diri kita ke dalam situasi orang lain melalui kemampuan imajinasi
yang kita miliki. Dengan kemampuan imajinasi yang dimiliki
setiap manusia, kita memiliki kemampuan untuk membawa
kasus-kasus mereka ke dalam ranah batiniah kita. Dengan
demikian mengambil-alih perspektif dari cerminan dunia relasi
sosial dan dunia alami mereka yang historis sifatnya. Kita harus
berupaya memandang segala sesuatu dari looking-glass mereka, dan
mampu melihat dunia dari perspektif mereka. Hanya melalui cara
itu kita dapat menempatkan diri kita ke dalam situasi mereka—
setelah membawa “pulang” untuk diri kita sendiri berbagai
keadaan rinci di dalam mana mereka semua ditempatkan, atau
setelah mengambil-alih keseluruhan kasus-kasus dengan berbagai
kejadian detilnya, kita mulai dapat merasakan perasaan, emosi
dan kegairahan yang sama, serta mampu berpikir dalam pikiran
yang sama dan juga memiliki berbagai project yang sama sesuai
dengan situasi yang dihadapi pelakunya sendiri.
Ini, menurut Smith,merupakan satu-satunya cara di mana
kita dapat berfungsi sebagai suatu cermin bagi yang lainnya.
Smith menyimpulkan proses pengambil-alihan perspektif ini, atau
106 alam, Kebudayaan & yang IlahI

menempatkan diri ke dalam looking-glass dari si pelaku, dengan


istilah ‘simpati’ atau ‘fellow-feeling’ dalam pengertian deskriptif, yaitu
dalam arti bahwa hal itu menggambarkan proses menempatkan diri
seseorang ke dalam situasi orang lain dan dengan demikian mampu
menjadi pribadi yang serupa dengan diri orang lain tersebut.
Manakala di dalam imajinasi, kita menempatkan diri kita sendiri
ke dalam situasi seorang pelaku yang lain, lalu sewaktu kita pada
saat yang bersamaan menjadi pribadi yang sama dengan pelaku
itu, dan berupaya memandang berbagai hal dengan penalaran dan
penilaian si pelaku yang bersangkutan pada saat itu, maka akan
timbul suatu korespondensi antara sang pelaku itu dengan dunia
internal atau dunia batiniah kita. Pada saat itulah akan muncul di
antara si pelaku dan si pengamat sejumlah sentimen simpatetik
(sympathetic sentiments), emosi simpatetik (sympathetic emotions),
dan kegairahan simpatetik (sympathetic passions).
Hanya setelah kita mampu memperoleh ini semua baru kita
bisa memulai mengkonstitusikan orang lain, yaitu dengan kata lain,
mengkognisi, memahami dan memberikan penilaian terhadap
orang lain. Apabila semua persyaratan ini setidak-tidaknya sudah
sedikit banyak terpenuhi, baru kita dapat menyatakan bahwa
kita telah mulai mengkonstitusikan orang lain di dalam empat
dimensi dari ruang dan waktu mereka, yakni mengkonstitusikan
pihak lain (orang lain) dalam keterkaitannya dengan masa
lampau, masa kini, dan masa depan mereka sendiri melalui
sudut pandang khusus mereka dalam keseluruhan totalitasnya.
Ini merupakan sebuah pandangan yang sangat penting bagi para
ahli antropologi yang mau memahami tindakan manusia melalui
sudut pandang si pelakunya (subjective actor’s point of view), yang
dalam disiplin antropologi seringkali disebut dengan pendekatan
emik. Menurut Smith, hal ini merupakan tingkat pertama dari
proses mengkonstitusikan orang lain.
Tingkat yang kedua berkenaan dengan kognisi dan
pemahaman tentang diri sendiri dalam kaitannya dengan orang
Tony Rudyansjah 107

lain. Tentu saja Smith mengusulkan bahwa setelah tingkat pertama


di atas dilalui, maka kita harus mengembalikannya pada perspektif
diri kita sendiri, agar kita dapat mengenali dan memahami diri
kita sendiri secara objektif. Meskipun begitu usulannya, hal itu
tidak berarti bahwa kita mesti kembali kepada prinsip Cartesian
tentang cogito. Smith tetap sangat konsisten dengan pendekatan
teoritis cermin beserta segala aplikasinya. Dengan demikian, hal
itu, menurut Smith, tidak berarti semata-mata hanya kembali
kepada perspektif diri kita sendiri. Itu lebih merupakan upaya
kembali ke perspektif diri kita melalui sudut pandang orang lain.
Melalui orang lain, atau lebih tepatnya sudut pandang orang lain,
kita menjadi sadar akan kualitas diri kita.
Di dalam pendekatan teoritisnya tentang cermin, Smith
membuat dua penegasan penting. Pertama, ia mendeinisikan
orang lain sebagai sumber dari berbagai nilai yang kita anut.
Semua nilai yang kita anut, menurutnya, tidak dihasilkan dari
dalam diri sendiri secara pribadi sebagaimana diimplikasikan oleh
prinsip Cogito, melainkan lebih diperoleh dari luar diri pribadi
seorang dan diinternalisasikannya melalui proses kritisisme yang
berasal dari orang lain. Kritisisme kita terhadap penampilan
dan perilaku orang lain tidak hanya berakhir dalam diri kita
semata. Kritisisme kita itu akan direleksikan kembali dalam diri
seorang pelaku lain sehingga si pelaku yang bersangkutan dapat
mengembangkan pencitraan tentang diri pribadinya sendiri
dalam kaitannya dengan diri kita. Kedua, proses yang sama terjadi
juga dalam kaitannya dengan diri kita sendiri. Orang yang lain
mengembangkan nilai mereka dengan cara mengamati bentuk,
perilaku dan penampilan kita. Berdasarkan kritisisme terhadap
diri kita yang berasal dari kritisisme mereka terhadap kita, yakni
dengan cara mereleksikan kembali diri kita sendiri melalui
kritisisme orang lain yang kemudian dikembalikan kepada diri
kita sendiri, kita mengembangkan pencitraan tentang diri kita
dalam kaitannya dengan orang lain.
108 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Smith mengambarkan proses dari pengembangan pencitraan


diri satu sama lain ini dalam satu prinsip yang cukup unik, dan
bahkan untuk sudut pandang masa kini, yakni prinsip melihat
diri sendiri sebagaimana pihak lain mau melihat diri kita.
Ini merupakan satu perangkat di dalam mana kita mungkin
untuk menjadikan diri kita sendiri sebagai objek dari penilaian
kita: melihat diri sendiri sebagaimana orang lain melihat diri
kita. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kita dapat
mengkognisi, memahami dan memberikan penilaian terhadap
diri sendiri secara metodologis serupa dengan bagaimana kita
mengkognisi, memahami dan memberikan penilaian terhadap
orang lain. Melalui perspektif yang bersifat dialektikal dan
dialogikal inilah memungkinkan proses sosial dari objektiikasi
pengetahuan dapat secara terbuka sungguh-sungguh terjadi dalam
realitas kehidupan kita sehari-hari. Hal ini tentu saja penting bagi
setiap ahli antropologi yang ingin mengetahui bagaimana satu
kebudayaan yang dianut bersama (a shared culture) mungkin untuk
terwujud dan terobjektiikasikan ke dalam berbagai tindakan dan
interaksi para pelaku yang menjadi pendukung kebudayaan yang
bersangkutan. Tanpa hal itu, menurut Smith, tidak mungkin akan
terjadi komunikasi antar manusia. Sebagai satu contoh, ujaran
diri kita merupakan suatu bentuk tindakan yang dikeluarkan dari
dalam diri kita, yang mana berarti menjadi suatu upaya membuka
dunia batiniah kita dan berusaha memediasikannya kepada orang
lain. Ini yang disebut sebagai suatu dorongan kepada sebuah
kebenaran dalam istilahnya Feuerbach, atau, dalam istilahnya
Smith, suatu dorongan bersimpati kepada orang lain yang bisa
menyatukan kita semua.
Terlepas dari pandangan antropologis mengenai konstitusi
diri manusia sebagaimana yang digambarkan oleh Smith itu, tetap
saja penafsiran dominan orang terhadap pemikiran Smith adalah
pandangan tentang situasi makhluk manusia dalam masyarakat
komersial, yang digambarkan Smith sebagai makhluk yang sangat
Tony Rudyansjah 109

egoistik, individualistik dan hanya peduli kepada diri sendiri.


Maka dari itu tidak sulit untuk memahami bagaimana mudahnya
pemikir seperti Milton Friedman dan Rose Friedman memahkotai
Adam Smith dengan penafsiran neo-liberal mereka sendiri, dan
menegaskan Smith sebagai tokoh pemikir yang mendukung egoistic
individualism, pasar bebas, privatisasi pelayanan publik, privatisasi
sistem pendidikan, maupun privatisasi pelayanan kesehatan.39
Perkembangan pemikiran Smith dari he heory of moral
Sentiments ke Wealth of Nation jelas menampakkan perbedaan yang
sangat drastis, tatkala ia membeberkan bahwa aktivitas ekonomi
merupakan suatu aktivitas manusia yang tidak membutuhkan
apapun selain kecintaan terhadap diri sendiri (self-love): hanya
dengan mengejar kepentingan khusus demi diri sendiri itulah,
manusia sesungguhnya tanpa sengaja telah bekerja demi kebaikan
bersama. Dalam he Wealth of Nations, Smith memulai uraiannya
tentang deskripsi dari “universal opulence” (kekayaan universal)
yang menurutnya merupakan ciri utama dari bangsa-bangsa
yang telah “beradab” (“civilized’). Kekayaan atau kemakmuran
itu, menurutnya, menembus hingga lapisan terendah dalam
masyarakat, dan itu sesungguhnya merupakan konsekuensi dari
produktivitas tenaga kerja manusia (labour).
Di dalam kerangka pemikiran Smith, kerja merupakan
sebuah konsep yang berperan sebagai fondasi dari semua relasi
sosial, karena meskipun kebutuhan (needs) dapat dianggap sebagai
pendorong bagi tindakan manusia, yang mungkin pemenuhannya
bisa melalui pertukaran dari komoditas yang dibutuhkan masing-
masing, akan tetapi dalam beberapa kasus tertentu kebutuhan-
kebutuhan di dalam diri sendiri itu tidak dapat dipertukarkan
satu sama lain dengan yang orang lain miliki. Sebagai ilustrasi:
jadi meskipun saya memiliki kebutuhan untuk minum karena
haus, dan orang lain memiliki kebutuhan untuk makan karena

39
Lihat misalnya buku M. dan Rose Friedman, Free to Choose, 1980.
110 alam, Kebudayaan & yang IlahI

lapar, maka saya tidak dapat begitu saja mengatakan kepada


orang lain itu: “Berikan hausmu kepadaku, dan aku akan berikan
laparku kepadamu”. Dalam banyak kasus, dibutuhkan unsur
ketiga yang bisa berperan sebagai mediasi di atara berbagai
komoditas yang saling dipertukarkan. Dengan demikian, apabila
kita ingin menemukan fondasi baik untuk perbedaan maupun
juga kesetaraan di antara relasi-relasi pertukaran, maka kita harus
mencarinya di dalam labour atau kerja manusia.
“Labour, therefore, it appears evidently, is the only universal,
as well as the only accurate measure of value, or the only
standart by which we can compare the values of diferent
commodities at all times and at all places.”40
[kerja, dengan demikian, nampak secara jelas merupakan
satu-satunya alat ukur yang universal dan akurat dari
nilai, atau satu-satunya standar melalui mana kita dapat
membandingkan berbagai komoditas yang berbeda di
semua tempat dan waktu.]

Smith menegaskan lebih lanjut bahwa meskipun labour


dengan pembagian kerjanya tidak hanya menyebabkan pemisahan
antara satu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya, bahkan menye-
babkan semacam isolasi ekonomik dari para individu satu sama
lainnya, di mana masing-masing dari mereka kemudian hanya
bekerja secara individual demi kepentingannya sendiri-sendiri.
Sehingga relasi harta pribadi antar individu akan muncul sebagai
konsekuensinya, division of labour secara keseluruhan tetap akan
membawa kesejahteraan universal bagi semua. Lapisan masyarakat
yang termiskin dalam masyarakat “beradab” melalui pembagian
kerjanya akan jauh lebih berkecukupan bila dibandingkan
dengan para bangsawan ataupun raja di masyarakat yang belum
“beradab”.
“[A] common day labourer in Britain or in Holland is
superior in luxury to many Indian Prince.”41

40
Adam Smith, he Wealth of Nations, I, v. hlm. 17.
41
Adam Smith, Early Draft of Part of he Wealth of Nations, I, hlm. 5.
Tony Rudyansjah 111

[Seorang buruh harian biasa di Inggris atau di Belanda


berada jauh lebih mewah daripada seorang pangeran India.]

Dalam konteks pemikiran seperti inilah, konsep “Invisible


Hand” yang terkenal muncul ke permukaan. Di dalam doktrin
ini—yang kemudian lebih dikenal orang dengan istilah natural
harmony of interests—penilaian moralitas mulai dimungkinkan
untuk diabaikan dan digantikan oleh self-love. Sebelum pengabaian
ini terjadi, moralitas mengajarkan bahwa self-love haruslah tunduk
kepada tujuan-tujuan yang lebih baik dan tinggi. Invisible Hand-
nya Adam Smith memainkan peranan penting yang tidak terlalu
banyak diperhatikan orang. Peranannya itu seolah-olah dapat
dilafalkan dalam metafor sebagai berikut: “HambaKu, janganlah
takut untuk melanggar apa yang nampaknya menjadi perintahKu.
Aku telah mengatur segalanya agar kamu-kamu sekalian dibenarkan
untuk melanggar moralitas dalam perkara ini.”
Konsep Invisible Hand dan doktrin natural harmony of
interests memperoleh singgasana dalam kerangka pikir Smith.
Menurutnya, dalam interaksinya dengan manusia lain, manusia
menggunakan dua modus dalam mengkonstitusikan diri orang
lain. Yang pertama adalah apa yang disebut Smith dengan istilah
‘impartial spectator within’, lalu yang kedua adalah ‘impartial
spectator without’. Perbedaan kedua mode ini terdapat di dalam
fakta bahwa pelaku yang berperilaku sebagai impartial spectator
without menggunakan penilaiannya berdasarkan pada prinsip what
is, atau apa yang secara kenyataannya terjadi; sedangkan impartial
spectator within berdasarkan pada prinsip what ought to be, atau
apa yang seharusnya. Smith mempermudah penjelasan ini dengan
menggunakan ilustrasi yang disebutnya sebagai ‘kelayakan pujian’
(‘praise worthiness). Orang yang menggunakan impartial spectator
without, ialah orang-orang yang terpaku pada kecenderungan
untuk mendapatkan pujian semata, sedangkan orang yang
menggunakan impartial spectator within ialah orang yang memiliki
kecenderungan tidak hanya untuk mendapatkan pujian, melainkan
112 alam, Kebudayaan & yang IlahI

juga ingin mewujudkan dirinya sebagai suatu objek yang tepat


dari pujian tersebut. Dengan kata lain, impartial spectator within
ingin mengejewantahkan kualitas dari apa yang menjadi pujian
orang terhadap dirinya; ia tidak hanya ingin mendapat pujian
ataupun dihormati sebagai pengusaha sukses, melainkan juga
ingin mewujudkan dirinya sebagai kualitas dari suskes itu sendiri.
Ia ingin dihormati karena nilai sukses itu sendiri telah melekat
di dalam dirinya. Sebaliknya, apabila impartial spectator within
membenci sebuah perilaku yang ditampilkan seseorang pada saat
tertentu, maka hal itu lebih disebabkan oleh perilaku yang memang
mewujudkan nilai dari sesuatu yang patut dibenci.
MAN naturally desires, not only to be loved, but to be
lovely; or to be that thing which is the natural and proper
object of love. He naturally dreads, not only to be hated,
but to be hateful; or to be that thing which is the natural
and proper object of hatred. He desires, not only praise,
but praise-wothiness; or to be that thing which, though it
should be praised by nobody, is, however, the natural and
proper object of praise. He dreads, not only blame, but
blame-worthiness; or to be that thing which, though it
should be blamed by nobody, is, however, the natural and
proper object of blame.42
[Manusia tentu saja mengidamkan, tidak hanya dicintai,
melainkan juga menjadi satu perwujudan cinta itu sendiri,
jadi sesuatu yang merupakan objek yang tepat dan alami
dari cinta itu sendiri. Ia tentu saja tidak saja takut dibenci,
melainkan juga takut menjadi kebenciaan itu sendiri, atau
menjadi sesuatu yang merupakan objek yang tepat dan
alami dari kebencian itu. Ia mengidamkan tidak hanya
diagungkan, melainkan juga memang patut diagungkan,
atau jadi sesuatu yang merupakan objek yang tepat dan
alami dari keagungan itu sendiri, meskipun tidak ada
seorangpun yang mengagungkannya. Ia takut tidak hanya
disalahkan, melainkan juga memang patut disalahkan, atau
jadi sesuatu yang merupakan objek yang tepat dan alami
dari apa yang disebut kesalahan itu sendiri.]

42
Adam Smith, he heory of Moral Sentiments, III.2.1.
Tony Rudyansjah 113

Di sinilah Smith merujuk kepada konsep authenticity,


menegaskan bahwa kita semua tidak hanya berkeinginan dicintai
orang lain, melainkan berkeinginan juga memang patut dicintai
karena kita memang memiliki kualitas cinta itu sendiri. Begitu pula
hal bahwa kita tidak hanya mengidamkan untuk dihormati orang,
melainkan mengidamkan juga memiliki kualitas kehormatan itu
sendiri, sehingga kita sekaligus dapat menghormati diri sendiri
pula—mengidamkan dihormati dalam dirinya sendiri (in
themselves) dan bagi dirinya sendiri (for themselves). Apabila rasa
hormat yang disampaikan orang lain tidak diikuti oleh adanya
nilai kehormatan dalam diri kita sendiri, maka kita tidak akan
mungkin mendapatkan kepuasan dari hal tersebut dalam jangka
panjang. Smith menegaskan bahwa pujian yang sangat tuluspun
tidak akan membawa kepuasan batin sedikitpun apabila pujian
tulus itu tidak dapat dianggap semacam bukti dari ‘kelayakan
pujian’ itu sendiri.
Pada saat kita hanya mengikuti apa yang orang lain puji
terhadap diri kita, maka kita bisa terjebak mengikuti dan
melakoni kehidupan yang ditentukan serta diarahkan oleh orang
lain. Akhirnya, oleh sebab itu kita tidak dapat dikatakan sungguh-
sungguh menjalani kehidupan kita, karena kehidupan semacam
itu merupakan kehidupan yang sesungguhnya asing buat kita,
atau dengan kata lain, tidak otentik. Melakoni suatu kehidupan
yang sesungguhnya, dan dihormati karena adanya kualitas yang
memang didambakan untuk dihormati di dalam diri kita sendiri—
kehidupan yang digerakkan oleh dorongan authenticity—maka
kita mesti menoleh kepada impartial spectator within di dalam
diri kita. Untuk menghindari hidup yang tidak otentik, kita
harus mendengar pada hati nurani (conscience) kita. Atas dasar
alasan inilah maka Smith beranggapan bahwa penilaian hati
nurani (impartial spectator within) harus ditempatkan lebih tinggi
daripada penilaian impartial spectator without. Setiap anggota
masyarakat, menurut Smith, harus bisa melepaskan dirinya dari
114 alam, Kebudayaan & yang IlahI

jeratan standar-standar umum yang ada dalam masyarakat, dan


mereka semua mesti bisa mempertanyakan moralitas konvensional
yang ada dalam masyarakat di mana mereka disituasikan. Melalui
cara ini, manusia tidak hanya mampu memeriksa dan menilai
tindakan-tindakan individual seorang pelaku, melainkan juga
mampu untuk mempertanyakan berbagai aturan yang berlaku
umum dan sudah mapan dalam suatu masyarakat tertentu.
Dengan the impartial spectator within, kita dapat menemukan
sejumlah kriteria normatif lainnya dalam menilai intensionalitas
situasi yang sedang dihadapi, yang memungkinkan kita semua
mengatasi kekangan dan batasan dari what is. Karena adanya
mekanisme seperti itu maka berbagai kepentingan egoistik
manusia dapat dicek dan dikendalikan, sehingga peningkatan diri
(self-betterment) untuk perbaikan (improvement) senantiasa terjadi
dan terealisasikan dalam kehidupan manusia.
Lebih lanjut, Smith tidak mendeskripsikan situasi manusia
dalam masyarakat komersial, seperti masyarakat Barat, ke dalam
satu terminologi tunggal, melainkan mengejewantahkan dalam
satu pergerakan yang sangat kompleks sekaligus rumit. Smith
belajar dari Stoikisme, yang kemudian digunakannya untuk
mengkritisi Hutcheson dan Plato, bahwa psikologi diri manusia
tidak secara hirarkis tertata, sehingga tidak mungkin untuk
mengatakan bahwa beberapa aspek psikologis seperti nalar atau
kebajikan menguasai semua aspek psikologis lainnya. Sumber
motivasi dari perilaku manusia bersifat heterogen, yang berarti
tidak dapat dengan secara mudah direduksi kepada hanya beberapa
prinsip tertentu saja. Tidak mungkin terwujudnya tindakan
kebajikan tanpa kegairahan; tanpa rasa takut, tidak mungkin
dapat dijelaskan dorongan untuk pertahanan diri (self-defense)
dan kehati-hatian; tanpa rasa marah (resentment), tidak mungkin
dapat dijelaskan dorongan untuk menghukum (to punish); tanpa
kehormatan (pride), tidak dapat dijelaskan harga diri (self-esteem);
tanpa kekaguman (wonder,) tidak akan timbul pengetahuan
Tony Rudyansjah 115

(knowledge). Sangat tidak masuk akal menyatakan bahwa berbagai


kegairahan jiwa di atas mungkin untuk dapat ditata secara hirarkis
tanpa mengaburkan dan mereduksi kompleksitas warna warni
kehidupan manusia yang sangat unik itu. Cara seperti itu akan
menjauhkan masyarakat dari suatu sumber yang sangat esensial
bagi tindakan para anggota masyarakatnya.
Tujuan utama Smith adalah untuk mendemonstrasikan
bahwa hakekat alam dunia mendorong kita untuk menemukan
berbagai kebaikan di dalam semua kegairahan jiwa manusia, dan
tidak ada satu percermatan terhadap kebaikan tatanan hidup
masyarakat yang dapat mengabaikan pertimbangan tersebut. Di
samping itu, semua kegairahan jiwa dan unsur-unsur psikologi
alami pada dasarnya bersifat ambigu dan bercampur-aduk.
Beberapa kebajikan tertentu mungkin untuk dikatakan tidak
terkualiikasi sebagai sesuatu yang mengandung kebaikan;
sebaliknya ada sesuatu lain yang tidak terkualiikasi sebagai
sesuatu yang mengandung kebaikan dianggap merupakan suatu
keniscayaan. Dengan kata lain, arti penting berbagai kegairahan
jiwa manusia, yang dalam kerangka Smith disebut sebagai
kegairahan mementingkan diri sendiri dan tidak sosial (unsosial
and selish passions): seperti rasa marah, jengkel dan cinta diri
(self-love), tidak dapat ditentukan semata-mata pada deskripsi
kegairahan jiwa itu sendiri, melainkan harus dicermati dengan
mempertimbangkan keterkaitannya pada situasi spesiik tertentu.
Menurut Smith, setiap kegairahan jiwa adalah unik, sehingga jika
hanya mendeskripsikannya kembali dalam kerangka kepentingan
diri saja sangat mengaburkan hakekatnya yang sebenarnya.
Memang benar bahwa arus pergerakan dari kehidupan ekonomi
sangat tergantung pada kepentingan diri (self-interest): pembeli
merespon tingkat harga, tenaga kerja merespon perubahan dalam
upah, kewiraswastaan merespon kesempatan, karena mereka
semua dipedomani oleh kepentingan diri (self-interest). Meskipun
demikian, dalam Wealth of Nations, Smith menegaskan bahwa
116 alam, Kebudayaan & yang IlahI

dalam masyarakat komersial ada semacam dorongan lain terhadap


self-betterment yang memiliki fungsi memberikan suatu dasar yang
baik bagi perluasan sistem perdagangan dan manufaktur.
Prinsip tersebut mengayomi lahirnya pembagian kerja,
yang kemudian memberikan dinamika bagi kehidupan sosial
melalui cara menyediakan energi yang dapat menimbulkan
sumber daya demi keberlangsungan kesejahteraan sosial bagi
semua orang. Prinsip ini merupakan pusat dari equilibrium
kehidupan ekonomi, yang diistilahkan orang sebagai ‘Invisible
Hand’. Meskipun memang dapat diargumentasikan bahwa modal
bergerak ke arah di mana tingkat marjin keuntungan tertinggi
berada, atau bahwa kompetisi mengembalikan harga ke tingkat
keberlangsungan alaminya, namun demikian tetap saja terdapat
dorongan terhadap self-betterment yang bekerja mendukung
kemajuan alami berbagai hal menuju kepada titik penyempurnaan
(improvement). Wealth of Nations, maka dari itu dapat dikatakan
berupaya mendemonstrasikan bahwa usaha menghilangkan
berbagai hambatan terhadap tenaga kerja, harga, dan persediaan
barang akan melahirkan kebebasan serta keluasan kepentingan
diri (self-interests). Hal ini pada akhirnya akan dapat melahirkan
kesejahteraan bagi semua.
Apabila kita perbandingkan Adam Smith dengan pemikir-
pemikir yang telah kita bicarakan sebelumnya, akan nampak
sejumlah perbedaan mencolok. Pada Hobbes yang menjadi motif
kuat dari pembahasan spekulasi politiknya adalah artiicialism,
yaitu gagasan bahwa kita hanya dapat mengetahui secara benar
apa yang kita buat, karena segala sesuatu pada dasarnya senantiasa
bergerak, sehingga hanya prinsip dan akibat dari gerak-gerak itu
yang dapat dipahami secara natural dan mekanistik. Sedangkan
pada Locke, motif dari spekulasi politiknya lebih berdasarkan pada
gagasan: hanya ide di dalam pikiran kita yang dapat kita ketahui.
Kedua pendekatan tersebut, meskipun berbeda, mengandung
kesamaan: hal-hal yang bersifat normatif senantiasa hadir dari
Tony Rudyansjah 117

awal sampai akhir pembahasan.


Hal yang kontradiktif muncul ketika ilmu ekonomi lahir
sebagai semacam ilmu alam (natural science), yakni ketika ilmu
itu berusaha mempelajari apa yang terjadi di luar sana sebagai
suatu fenomena alam. Dengan demikian, ia menuntut pergeseran
dari norma ke fakta. Namun karena pergeseran itu, sebagaimana
seringkali lazim terjadi dalam setiap bidang keilmuan, tidak dapat
sepenuhnya direalisasikan. Maka ilmu ekonomi harus dapat
merekayasa normanya sendiri, dan hal itu hanya dapat dipenuhi
dengan baik melalui doktrin natural harmony of interests yang
kemudian berjaya dalam disiplin ekonomi.
Sebagai penutup pembahasan bab 2 ini, sebuah paragraf
terkenal dalam Wealth of Nation cukup kiranya ditampilkan di
sini untuk mendemonstrasikan bagaimana kekuatan norma dan
argumentasi doktrin tersebut:
“It is not from the benevolence of the butcher, the brewer,
or the baker that we expect our dinner, but from their
regard to their own interests.”43
[Bukanlah berasal dari kebajikan tukang daging, pembuat
bir, ataupun tukang roti, kita mengharapkan mendapatkan
makan malam kita, melainkan lebih berasal dari kepentingan
mereka masing-masing hal itu bisa kita dapatkan.]

43
Adam Smith, Wealth of Nation, I, ii; 1904, hlm. 16.
3

KarL Marx:
Ketegangan antara KeBeBasan
Dan KenIscayaan tInDaKan
ManusIa

“…Marxism has become the accepted creed or religion


for countless millions of mankind, and he Communist
Manifesto must be counted as a holy book, in the same class
as the Bible or the Koran. Nearly every sentence is a sacred
text, quoted or acted on by devotees, who often no doubt
do not know the source of their belief.”1
[…Marxisme sudah menjadi sebuah keyakinan atau religi
bagi jutaan umat manusia, dan buku Communist Manifesto
mesti diperlakukan sebagai sebuah kitab suci, sama
seperti Alkitab dan Al Qur’an. Hampir semua kalimatnya
merupakan teks suci, yang dikutip dan dipatuhi oleh
para penghayatnya, yang tak dinyana lagi acapkali tidak
mengetahui sumber dari kepercayaannya itu.]

Pendahuluan
Sebagaimana diutarakan oleh A.J.P. Taylor dalam pengantar
untuk buku dari Marx dan Engels he Communist Manifesto,
tulisan-tulisan Karl Marx diperlakukan orang laksana kitab suci

1
‘Introduction’ yang diberikan oleh A.J.P. Taylor dalam Karl Marx dan
Friedrich Engels, he Communist Manifesto, 1985, hlm. 7
118
Tony Rudyansjah 119

agama. Banyak sekali komentar serta ulasan yang cukup subjektif


bermunculan dari berbagai pihak, baik dari para pengikutnya,
para ilmuwan, para ahli ilsafat, dan bahkan para ahli agama.
Satu pembahasan menyeluruh tentang keseluruhan interpretasi
pemikiran Marx, dengan demikian, tidak mungkin dapat saya
lakukan dalam ruang terbatas di hanya satu buku, yang mencakup
juga banyak hal selain hanya membicarakan pemikiran Marx. Apa
yang mungkin bisa saya lakukan di sini adalah mencoba mengulas
secara rinci pemikiran Marx tentang hakekat manusia, tindakan
manusia dan relavansinya bagi antropologi.
Sebagai satu kesatuan yang bersifat menyeluruh, tulisan
Marx dapat dikatakan meliputi banyak sekali ulasan mengenai
beranekaragam pokok permasalahan, dan beberapa di antaranya
memang tidak dimaksudkan pada masa hidup Marx (1818–
1883) untuk dipublikasikan kepada khalayak ramai. Tulisan-
tulisan Marx tersebut memperoleh berbagai macam ulasan
maupun tanggapan dengan beranekaragam perspektif, penafsiran
dan pendekatan, dan apabila tetap bersikukuh berkeinginan
mengerjakannya, seseorang tentu saja dapat menghabiskan
seluruh masa hidupnya hanya untuk mengulas dan mempelajari
berbagai ulasan dan tulisan tentang Marx itu. Mengingat
komplesitas perkara itu, maka dengan resiko melakukan semacam
simpliikasi dan reduksi, kita dapat mengatakan bahwa terdapat
dua macam cara penting dalam membaca tulisan-tulisan Marx.
Pertama adalah cara membaca dari sejumlah ahli yang melihat
Marx pernah mengalami masa muda yang penuh dengan
romantisisme dan idealisme, sehingga perhatiannya terhadap
agama, ide, harta kekayaan manusia (human wealth) dan alienasi
merupakan keasyikan utama Marx dalam tulisan-tulisannya.
Para ahli itu kemudian menegaskan bahwa Marx dalam periode
tertentu mengubah secara drastis dan fundamental arah dari
pemikirannya, dan sekaligus berupaya mengembangkan satu
posisi teoritis yang konsisten dan sangat ketat terstrukturkan.
120 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Meskipun terdapat pandangan yang berbeda-beda mengenai apa


dan bagaimana posisi teoritis Marx yang lebih kemudian tersebut,
namun posisi teoritis itu biasanya diistilahkan sebagai historical
materialism (materialisme historis)—sesuatu yang kemudian,
menurut mereka, mencapai puncaknya saat dikembangkan lebih
lanjut oleh Friedrich Engels (1820–1895) melalui satu sudut
pandang yang sangat gamblang dan jelas, meskipun pada saat
yang bersamaan menjadi sangat deterministik.
Aliran cara membaca kedua berpendapat dan sekaligus
memberikan argumentasi bahwa Marx tidak pernah sematerialistik
seperti apa yang nampak dalam tafsiran dan tulisan Engels. Mereka
yang berasal dari aliran cara membaca kedua ini menegaskan
bahwa Marx tidak pernah meninggalkan posisi idealismenya.
Dengan demikian, mereka beranggapan bahwa Marx tidak
pernah menanggalkan beberapa aspek tertentu dari Hegelianisme,
sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat sebuah kesinambungan
antara tulisan-tulisan Marx di masa muda dengan di masa tuanya.
Secara pribadi saya lebih dekat dengan pandangan aliran kedua
ini, meskipun saya masih bisa mengapresiasi berbagai pandangan
yang beranggapan bahwa terdapat satu epistemological break di
antara tulisan Marx di masa awalnya dibandingkan dengan masa
akhirnya2, dan ini, menurut hemat saya, tidak berarti sebagai
satu keterputusan pemikiran Marx masa awal dengan masa akhir
hidupnya.

Latar Belakang Pemikiran Marx


Ada baiknya pembahasan di sini dimulai dengan satu uraian
ringkas mengenai latar belakang pemikiran yang mempengaruhi
Marx, karena ia memang berangkat dari satu tradisi pemikiran
yang banyak memiliki perbedaan dibandingkan tradisi pemikiran
yang kita telah bahas dalam bab-bab sebelumnya. Latar belakang

2
Lihat misalnya Louis Althusser, For Marx, 1979.
Tony Rudyansjah 121

pemikiran Marx itu perlu diketahui untuk mempermudah


pemahaman kita tentang konsep-konsep penting dalam teori
Marx, seperti tindakan sosial, ideologi, alienasi, dan praxis.
Pembahasan serupa itu sudah tentu meliputi juga kajian
terhadap apa yang pada masa kini disebut sebagai karya-karya
awal Marx, sebelum kita kemudian beralih pada karyanya yang
lebih materialistik pada saat ia mulai mengkaji transformasi yang
terjadi dalam masyarakat Eropa. Melalui cara seperti itu, kita
memiliki kesempatan memahami berbagai teori lain sebagaimana
dikembangkan Marx dalam magnum opusnya Capital3, seperti
teori tentang asal usul kapitalisme, fetisisme komoditas, dinamika
konsentrasi modal, siklus produksi, dan jatuhnya tingkat
keuntungan, di samping teori-teori di masa awal karyanya, seperti
agama, ide, harta kekayaan manusia dan alienasi, sebagaimana
telah disebutkan sebelumnya.
Meskipun Karl Marx seringkali ditampilkan sebagai
penggagas dan penulis dari a natural theory of society (sebuah teori
alam tentang masyarakat), masalah yang dihadapinya bukanlah
mengembangkan satu teori tentang a natural science of society á
la Auguste Comte, Herbert Spencer, Emil Durkheim maupun
Alfred Reginald Radclife-Brown. Pemikiran Marx harus dilihat
dan dipahami dalam kerangka perkembangan pemikiran sosial
dan ilsafat Jerman. Titik pijakan dan sumber inspirasi pikiran
Marx adalah Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831).
Untuk memahami perkembangan pemikiran sosial dan ilsafat
Jerman secara cukup utuh, termasuk pemikiran Hegel, kita mau
tidak mau harus memulai pembahasan dengan Immanuel Kant
(1724-1804).

3
Karl Marx hanya menyelesaikan jilid I dari buku Capital, yang
pertama kali diterbitkan pada tahun 1867. Jilid II dan III diselesaikan
oleh Engels dari draft yang ditinggalkan Marx, dan diterbitkan pada
tahun 1885 untuk jilid II dan tahun 1895 untuk jilid III.
122 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Buku terkenal Critique of Pure Reason, yang pertama kali


diterbitkan dalam bahasa Jerman tahun 1781, ditulis Kant untuk
memerangi empirisisme dan menyelamatkan penalaran (reason)
sebagai pedoman bagi pengalaman, dan sekaligus tentu saja sebagai
satu kemampuan di dalam mana pengalaman mungkin dihasilkan
manusia. Kant sependapat dengan John Locke yang menyatakan
bahwa pengalaman adalah fondasi dari berbagai pengetahuan
manusia. Perbedaannya dengan Locke adalah bahwa Kant
mengajukan juga sebuah argumentasi tambahan melalui satu cara
yang sangat kuat dan meyakinkan di tempat mana ia menegaskan
bahwa pengalaman manusia ditata dan diatur oleh sejumlah prinsip
atau kategori, seperti ‘ruang’, ‘waktu’, ‘bilangan’ (number), efek,
kausalitas, resiprositi, kontinyuitas, substansi, dan ‘daya’ (force),
yang kesemuanya merupakan ciri-ciri universal dari penalaran
manusia. Prinsip-prinsip atau kategori-kategori ini disebut Kant
dengan istilah a priori principles atau a priori categories.
Lebih lanjut, Kant tidak hanya berpendapat bahwa prinsip-
prinsip atau kategori-kategori—di dalam mana kita dimungkinkan
untuk berpikir— sudah terberikan sebelum pengalaman, karena
a priori categories itulah yang sesungguhnya memungkinkan kita
dapat mengapresiasi, memahami dan mengalami kaidah-kaidah
yang mengatur dunia material, namun ia juga mengajukan
sebuah argumentasi tambahan lainnya bahwa a priori principles
itu tidak mungkin untuk dapat menyediakan basis bagi penilaian
moral (moral judgement). Penilaian moral itu, menurutnya, harus
berlandaskan pada hati nurani (conscience).
Kant menegaskan bahwa tidak mungkin ada satu ilmu
pengetahuan tentang moral (a science of moral), ataupun
pengetahuan tentang masyarakat sebagai sesuatu yang juga
bersifat moral, karena moralitas berada dan berlangsung dalam
sebuah ranah kebebasan (a realm of freedom), sehingga prinsip-
prinsip atau kaidah-kaidah pengetahuan ilmiah tidak mungkin
untuk bisa diaplikasikan pada bidang itu. Dengan lain perkataan,
Tony Rudyansjah 123

Kant membuat sebuah pemisahan radikal antara teori, atau dalam


istilah yang digunakannya theoretical reason di satu sisi, yang
merupakan cara untuk memahami realitas fenomenal melalui
ilmu pengetahuan, dengan praktis, atau dalam istilah yang
digunakannya practical reason di sisi lain, yang merupakan ranah
dari ilsafat moral, dan oleh karenanya tidak mungkin dapat
berlandaskan pada teori. Perlu untuk ditegaskan bahwa istilah
practical reason di sini jangan disalah-artikan menurut kerangka
teori positivistik tentang utility sebagaimana pernah diulas
Marshall Sahlins dalam buku Culture and Practical Reason.
Dengan demikian, apa yang dilakukan Kant adalah
menggeser ‘pengejaran yang dilakukan setiap individu manusia
akan kebahagiaan’—‘a pursuit of felicity’ (dalam istilah homas
Hobbes)4—yang tadinya bersifat sepenuhnya materialistik menjadi
suatu prinsip moral yang terbebaskan sepenuhnya dari kendali
alam, dan sekaligus ditempatkan Kant sebagai sesuatu yang bersifat
universal, meskipun pada saat yang bersamaan bersifat kosong dari
kandungan khusus apapun, yang tidak lebih dari sekedar tindakan
manusia yang sepenuhnya diatur hanya oleh sejumlah prinsip
yang bersifat universal (universal principles), sehingga hal itu dapat
dilihat semata-mata sebagai sekedar ekpresi dari sejumlah kaidah-
kaidah yang bersifat universal (universal laws). Argumentasi Kant
itu dapat ditelusuri dalam karyanya Critique of Pure Reason maupun
dalam tulisannya yang lebih pendek dan padat dengan judul ‘he
Metaphysical Foundation of Morals’.5
Pemisahan radikal antara theoretical reason dan practical reason
dalam kerangka pemikiran Kant itu diikuti lagi dengan sebuah
pemisahan radikal lainnya antara ilmu pengetahuan analitis
(analytic science) dan pengertian kultural subjektif (subjective
cultural understanding). Hal ini sangat drastis berseberangan
dengan pemikiran Abad Pertengahan di mana dunia fenomenal

4
Sudah kita bahas di bab sebelumnya.
5
Diterbitkan Immanuel Kant dengan edisi bahasa Jerman tahun 1785.
124 alam, Kebudayaan & yang IlahI

(dunia riil) dianggap dihuni oleh sebuah spiritualitas, sehingga


alam dianggap digerakkan oleh kekuatan-kekuatan mistis.
Namun sebagaimana telah didiskusikan di bab sebelumnya, cara
berpikir dari Abad Pertengahan itu mulai memudar dan mulai
usang, dan sebagai gantinya satu pandangan baru tentang dunia
mulai muncul sejak abad ke-18. Dalam pandangan baru ini,
alam ditanggapi sebagai sebuah mesin raksasa yang dilepaskan
dan ditanggalkan dari berbagai paham animisme dan sejumlah
pemaknaan intrinsiknya, sehingga individu manusia kemudian
dilihat sebagai satu-satunya wadah (locus) dari pemaknaan—
satu-satunya sumber dari subjektivitas yang masih tersisa di
dunia. Pandangan baru ini tentu saja melahirkan satu pandangan
tentang individualisme yang sangat radikal, dan sekaligus menjadi
satu pokok permasalahan yang memaksa setiap pemikir dan ahli
ilsafat harus menentukan sikap dan pandangannya.
Kita dapat melihat bahwa Johann Gottfried von Herder
(1744-1803) adalah justru seorang wakil dari para pemikir
yang sangat kuat menentang teori ilmiah abad ke-18 tentang
masyarakat manusia serta kebudayaan dan etika itu, seperti yang
juga digambarkan Kant, yang memisahkan secara radikal dunia
objektif dari makhluk subjektif/subjective being (baca: makhluk
manusia) yang melakukan kontemplasi terhadap dunia. Bagi
Herder, kebudayaan adalah sebuah kesatuan ekspresif yang padu
sekaligus menyeluruh di dalam wadah mana manusia terlekatkan
dan mewujudkan dirinya. Teori-teori, pemaknaan-pemaknaan
dan tujuan-tujuan hidup dari manusia dianggap tidak hanya
berada dan berlangsung di dalam pikiran individu, melainkan
diberlangsungkan juga dalam satu kebudayaan tertentu.
Dengan demikian, kebudayaan, di satu sisi, merupakan ekspresi
menyeluruh penuh makna dari keberadaan yang bersifat total,
sedangkan manusia, di sisi lain, merupakan makhluk ekspresif
yang diasuh, dibentuk dan diberlangsungkan oleh kebudayaan
dari satu komunitas di mana manusia itu berada. Dengan kata
Tony Rudyansjah 125

lain, setiap kebudayaan, di mana kita dimungkinkan untuk dapat


menggapai satu entitas isik, seperti ras atau bangsa (nation),
memiliki sebuah konigurasi unik yang harus dipahami sebagai
sebuah pola yang bersifat padu serta menyeluruh. Di dalam
pandangan Herder, dunia manusia (the world of man) dan dunia
alam (the world of nature) tidak secara radikal terpisahkan—setiap
kebudayaan merupakan gabungan dan perpaduan antara alam dan
spirit ke dalam satu konigurasi unik di wadah mana bahasa, musik,
puisi, dan kesenian merupakan ekspresi tertingginya. Berdasarkan
pandangan ini, maka sejarah manusia tidak lagi dipahami sebagai
bidang (realm) dari berbagai anak tangga yang sedang menapaki
kemajuan, seperti dipahami para ahli evolusionis, melainkan lebih
dipahami sebagai sebuah perpaduan dari beraneka ragam ekspresi
spirit manusia ke dalam beranekaragam bentuk budaya yang
dianggap tergantung pada bahasa, yang pada gilirannya bahasa
itu juga diberlangsungkan di dalam satu kebudayaan unik yang
sesungguhnya merupakan sebuah wahana di mana setiap insan
manusia dimungkinkan untuk memperoleh realisasi dirinya.
Pandangan Herder itu memiliki beberapa kesamaan dan sekaligus
perbedaan dengan pemikiran Hegel.
Hegel dilahirkan tahun 1770 di Jerman. Ia menghabiskan
usia mudanya pada saat atmosir intelektual Jerman sangat kuat
dipengaruhi oleh pikiran Kantian6 maupun pikiran romatisisme
á la Herder. Apa yang dicoba dilakukan Hegel kemudian adalah
berupaya menyingkirkan pemisahan radikal antara apa yang
diistilahkannya sebagai what is dengan what ought to be. Atau,
secara lebih tepat, ia berupaya menyingkirkan pemisahan yang
dibuat Kant antara theoretical reason dan practical reason.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Kant berupaya
mengatasi problema individualisme radikal itu ke dalam bentuk
materialistik, namun, di saat yang bersamaan, ia meninggalkan

6
Pikiran Kantian adalah tradisi pikiran yang dikembangkan oleh
Immanuel Kant
126 alam, Kebudayaan & yang IlahI

dan membiarkan moralitas menjadi sesuatu yang kosong tanpa


kandungan apapun, dan sekaligus sepenuhnya terpisahkan dari
masyarakat dan dimensi politik. Dalam latar belakang konteks
pemikiran Kant seperti itu, Hegel berupaya pada hakekatnya
menghapuskan pemisahan radikal yang dibuat Kant itu, dan
pada saat yang bersamaan Hegel juga tidak ingin membiarkan
penalaran (reason) terpendam dan tersingkirkan ke dalam
kekumuhan ekspresionisme subjektif sebagaimana digambarkan
para pemikir romantis seperti Herder.
Hegel mengemukakan argumen bahwa pemahaman tentang
pemisahan radikal antara subjek dan objek, atau antara subjek yang
mengetahui dan objek yang diketahui, pada dasarnya merupakan
satu bentuk alienasi di tempat mana pikiran manusia menjadi
sesuatu yang terasing dan bahkan terpisahkan dari realitas yang
diciptakan manusia sendiri. Oleh karena itu penalaran, dalam
pemikiran Hegel, tidak dipandang semata-mata sebagai sesuatu
yang dihasilkan analisis sebagai pemahaman teoritis, melainkan
lebih sebagai sebuah proses melalui cara mana subjek manusia
bisa masuk merasuki alam dan sejarah.
Menurut Hegel, sejauh penalaran, di satu sisi, masih
terlekatkan di dalam alam, dan sejauh manusia masih bersifat
alami, maka manusia tidak akan relektif dan masih menjadi
subjek dari hukum alam. Sedangkan, di sisi lain, esensi dari
kemanusiaan adalah perpindahan dari alam ke kebudayaan, dan
perpindahan ini mencakup satu perubahan politik yang sangat
mendasar sebagaimana diargumentasikan Herder juga. Tulisan
Herder dan para tokoh romantis lainnya melihat kebudayaan
sebagai tahap ekspresif dari keberadaan yang dikaruniai secara
spiritual, sedangkan Hegel mengajukan argumentasi bahwa
penalaran menjadi terbelah dan terbagi-bagi, pemikiran manusia
menjadi sesuatu yang terpisahkan, terasing dan teralienasi, dan
meskipun manusia sudah sadar akan dirinya sendiri namun ia
masih tetap berada dan terbelenggu ke dalam bentuk-bentuk
Tony Rudyansjah 127

kultural yang dangkal.


Konsep reason seperti ini berbeda kontras dengan apa yang
dikemukakan Sahlins dalam karyanya yang disebutkan di atas,
di mana ia mengutip pendapat para ilosof zaman Pencerahan
di Perancis, dan para ahli ilmu sosial yang lahir daripadanya,
yang mengemukakan argumentasi bahwa penalaran (reason)
memiliki kemampuan rasionalitas karena penalaran mampu
mengungkapkan dan menyingkirkan berbagai kekeliruan dan
keputusasaan manusia.
Sedangkan bagi Hegel, penalaran adalah proses realisasi atau
manifestasi bertahap di dalam realitas, dan bukannya sebuah
proses manifestasi tentang realitas (manisfestation in reality,
and not manifestation about reality), sehingga penalaran lebih
merupakan sebuah modus dari satu keberadaan objektif dan
subjektif sekaligus.
Lebih lanjut, Hegel menegaskan bahwa penalaran mencakup
kebebasan, yang sebenarnya merupakan aspek terpenting dari
penalaran, dan kebebasan sendiri berarti kemampuan yang
dimiliki manusia untuk bertindak dan membentuk realitas,
tidak hanya berdasarkan hakekat di mana alam dibayangkan
berdasarkan kaidah-kaidah deduktif ilmu pengetahuan, melainkan
lebih merupakan kemampuan manusia untuk membentuk
alam berdasarkan potensi yang dimilikinya. Dengan demikian,
penalaran mesti dilihat dan ditemukan di dalam suatu proses
tiada henti melalui cara mana manusia berusaha memahami apa
yang ada (what exists) dan berubahnya. Penalaran adalah daya diri
kreatif yang bertalian erat dengan alam, yang sekaligus dikaruniai
dengan satu dorongan untuk sepenuhnya sadar akan dirinya
sendiri. Penalaran yang sadar akan dirinya sendiri itu disebut
dengan istilah spirit, mind ataupun geist. Berdasarkan pada
pengertian itu maka penalaran merupakan satu kekuatan sejarah,
dan sedangkan sejarah manusia harus dilihat sebagai proses
manifestasi—atau membuat riil—berbagai pertarungan melalui
128 alam, Kebudayaan & yang IlahI

cara mana spirit merealisasikan dirinya sendiri, terutama untuk


mencapai kebebasan dan sekaligus kesadaran diri total (total self-
consciousness), yang merupakan satu tahap keberadaan di tempat
mana alienasi dapat sepenuhnya tersingkirkan.
“Spirit is self-creative energy imbued with a drive to
become fully conscious of itself as spirit. Nature is spirit
in its self-objectiication in space; history is spirit in its
self-objectiication as culture—the succession of world-
dominant civilizations from the ancient Orient to modern
Europe. Spirit actualizes its nature as self-conscious
being by the process of knowing. hrough the mind of
man, philosophical man in particular, the world achieves
consciousness of itself as spirit. his process involves the
repeated overcoming of spirit’s “alienation” (Entfremdung)
from itself, which takes place when spirit as the knowing
mind confronts a world that appears, albeit falsely, as
objective, i.e., as other than spirit. Knowing is recognition,
whereby spirit destroys the illusory otherness of the objective
world and recognizes it as actually subjective or selbstisch.
he prosess terminates at the stage of “absolute knowledge,”
when spirit is inally and fully “at home with itself in its
otherness,” having recognized the whole of creation as spirit
…”7
[Spirit adalah daya kreatif diri yang dikaruniai dengan satu
dorongan menjadi sepenuhnya sadar akan dirinya sendiri
sebagai spirit. Alam adalah spirit dalam bentuk objektiikasi
dirinya di dalam ruang; sejarah adalah spirit dalam
objektiikasi dirinya sebagai kebudayaan—urut-urutan dari
peradaban dunia yang dominan dari Timur Kuno hingga
Eropa Modern. Spirit mengaktualisasikan hakekatnya
sebagai sebuah makhluk yang sadar akan dirinya melalui
proses pengetahuan. Melalui pikiran manusia, atau pikiran
ahli ilsafat pada khususnya, dunia mencapai kesadaran
akan dirinya sebagai spirit. Proses ini mencakup upaya
yang berulang-ulang untuk mengatasi keterasingan spirit
dari dirinya sendiri, yang terjadi manakala spirit sebagai
pikiran yang mengetahui berhadapan dengan satu dunia
yang nampak sebagai sesuatu yang objektif, yakni sebagai

7
Robert C. Tucker, he Marx-Engels Reader,1978, hlm. xxi.
Tony Rudyansjah 129

sesuatu yang berbeda dari spirit itu sendiri, meskipun


hal itu sebenarnya keliru. Mengetahui sebetulnya berarti
mengenali, sehingga dengan itu spirit bisa menghancurkan
ilusi mengenai aspek otherness dari dunia objektif dan
mengenalinya sebagai sesuatu yang sesungguhnya
subjektif. Proses ini baru berakhir di tahap pengetahuan
absolut manakala spirit akhirnya sepenuhnya berasa ‘at
home” dengan dirinya sendiri di dalam “otherness’ itu, dan
mengenali keseluruhan penciptaan sebagai spirit… ]

Ini merupakan sebuah pandangan tentang sejarah dunia yang


pada dasarnya sangat religius dan sekaligus sangat berbeda dengan
pandangan positivistik seperti yang digambarkan teori evolusionis.
Di sini sejarah dunia bukanlah pengejawantahan dari hukum-
hukum alam, yang sekali ditemukan oleh investigasi ilmiah, maka
akan berlaku sahih (valid) bagi semua waktu dan tempat, dan
sekaligus tidak berubah-ubah. Sejarah dunia lebih dilihat sebagai
sebuah proses di tempat mana alam merupakan hanya wahana
material untuk tempat manusia berkarya dan bekerja, dan melalui
mana kebebasan manusia diekspresikan dan dicapai. Dengan
demikian, penalaran bukanlah sesuatu seperti yang dipresentasikan
oleh prinsip-prinsip efesiensi, karena penalaran sangat mungkin
dieskpresikan dalam berbagai cara yang berbeda-beda dan sepotong-
potong (parsial), sehingga setiap tahap dari sejarah dunia harus
dilihat sebagai fase atau momen di dalam realisasi atau perwujudan
inal dari penalaran, gagasan ataupun spirit.
Berdasarkan pandangan itu, setiap fase dari sejarah memiliki
satu tahap integral sebuah keberadaan tersendiri dengan institusi,
pengetahuan, agama dan ilsafat tersendiri, atau, dalam istilah
antropologi, memiliki kebudayaannya tersendiri. Tidak dinyana
lagi, ini mengandung hakekat teoritis yang pada`dasarnya bersifat
sangat religius, metaisik dan sekaligus mengandung progresivisme,
karena pada ujungnya produk akhir (realisasi absolut) dari spirit
adalah perpaduan dan penyatuan dunia dengan spirit dalam
bentuknya yang inal.
130 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Pandangan sejarah dan penalaran seperti itu dipancarkan


bersamaan dengan satu pandangan tentang realitas yang
sangat berbeda dari positivisme ataupun ilmu pengetahuan
positivistik. Dalam ilmu pengetahuan positivistik, seperti ilmu
pasti dan ilmu alam, fakta adalah dasar paling penting bagi
pengetahuan—realitas yang mempresentasikan dirinya sendiri
pada observasi merupakan data paling inal bagi veriikasi, atau,
dengan kata lain, skeptikisme ilmu pasti dan ilmu alam semacam
itu mempersyaratkan kita menunda dahulu penilaian kita (our
judgement) sampai observasi yang kita lakukan berakhir, dan baru
setelah itu kita bisa mengembangkan atau melakukan veriikasi
atas hipotesa secara lebih rinci dan tepat.
Apa yang dilakukan Hegel adalah sebaliknya. Seperti
diargumentasikan Herbert Marcuse, ilsafat Hegel bukanlah
bersifat positivistik, melainkan negatif, dalam arti sangat
ditekankan adanya sebuah perbedaan antara penampakan
dari segala objek yang nampak, di satu sisi, dan sumber hakiki
sebenarnya, di sisi lainnya. Dengan lain perkataan terdapat satu
perbedaan di antara kedua hal itu, sehingga apa yang harus kita
pikirkan adalah negasi atas destruksi berbagai fakta sebagaimana
mereka nampak terlihat—negasi (penolakan) terhadap
pengrusakan ataupun pengkaburan berbagai fakta sekedar sebagai
penampakannya saja. Kebenaran bukannya harus ditemukan
melalui akumulasi berbagai fakta sebagaimana mereka nampak,
melainkan kebenaran lebih merupakan satu proses melalui mana
semua fakta, yang merupakan hanya penampakan bersifat parsial,
dihubungkan satu sama lain di dalam sebuah proses menyeluruh
dari negasi dan transformasinya, sehingga apa yang nampak
sebagai fakta sesungguhnya hanyalah satu bagian dari satu totalitas
sebenarnya, yang hanya dapat kita capai melalui satu proses yang
bersifat progresif. Sebagaimana setiap cerita mengandung banyak
sisi, maka fakta juga mengandung banyak oposisinya, dan hanya
melalui totalitasnya sebuah pemahaman yang menyeluruh dapat
Tony Rudyansjah 131

dilahirkan. Di sini kita sampai pada satu perbedaan terkenal yang


dibuat Hegel antara realitas, yang bersifat parsial, dan aktualitas,
yang merupakan realisasi inal berbagai kemungkinan dari
realitas-realitas melalui sejumlah manifestasi yang berurutan, serta
transformasi yang berbeda-beda, sehingga gejala seperti Kristianiti,
baik Lutherian, Calvinisme, atau Keuskupan, merupakan hanya
sebuah realisasi dari secuil manifestasi yang masih bersifat parsial
dalam proses sejarah.
Berkenaan dengan pokok pikiran di atas, dua butir utama
tentang sejarah dunia dari Hegel perlu disinggung di sini.
Pertama, tidak seperti Herder, yang melihat dunia laksana sebuah
kebun maha besar yang secara subur ditumbuhi beranekaragam
perpaduan dan persilangan dari berbagai kebudayaan dan
bahasa di dalam sebuah tatanan yang sangat unik dan sekaligus
beranekaragam, Hegel mengembangkan satu pandangan tentang
sejarah dunia, di mana berbagai kebudayaan manusia bermunculan,
berkonlik satu sama lain, dan digantikan satu sama lain oleh
sebuah kebudayaan yang telah mencapai tingkat perkembangan
yang lebih tinggi melalui cara menginkorporasikan berbagai
tingkat perkembangan kebudayaan yang telah ada sebelumnya.
Pandangan Hegel itu bukanlah merupakan sebuah pandangan
yang statis tentang pluralisme kebudayaan dan relativisme
kebudayaan, seperti Herder, melainkan lebih merupakan sebuah
teori yang sangat dinamik di tempat mana berbagai igur sejarah
dunia memainkan peranan penting dalam sejarah manusia—
sebuah spirit yang absolut telah ada jauh sebelum perwujudannya
terrealisasi di dalam realitas, dan proses perwujudan hal itu
sejatinya merupakan bahan utama dari sejarah itu sendiri.
Kedua, Hegel banyak memberikan pendapat tentang negara.
Dalam pandangan romantik tentang kebudayaan sebelum Hegel,
dunia atau komunitas manusia yang memiliki bahasa yang sama
menduduki satu posisi penting, dan hal itu dapat kita pahami
sebagai reaksi terhadap pandangan Abad Pencerahan tentang
132 alam, Kebudayaan & yang IlahI

manusia universal. Salah satu konsekwensi dari pandangan


romantik itu adalah tersingkirkannya pandangan tentang negara
ke latar belakang, dan sekaligus terkaburkan oleh berbagai
pembahasan utama lainnya, sehingga pandangan tentang
peranan negara menjadi sangat problematik di dalam pemikiran
para romantisisme. Problematik ini juga terkandung dalam
pemikiran Herder. Hegel-lah yang gencar mulai mengemukakan
isu negara dalam pandangannya tentang kebudayaan. Sedangkan
problema yang dihadapi Hegel adalah mengidealisasikan negara
dan menganggap negara birokratik modern sebagai perwujudan
tertinggi dari penalaran (the highest embodiment of reason)—satu
posisi yang banyak ditantang oleh pengikut Hegel sendiri. Perkara
ini tidak dapat kita diskusikan lebih jauh di sini, karena hal itu
membutuhkan pembahasan dalam sebuah buku tersendiri.
Kembali ke isu pokok diskusi semula, maka hal penting dari
Hegel yang perlu ditekankan di sini dalam rangka memahami lebih
mudah pemikiran Marx adalah bahwa Hegel telah menyelamatkan
penalaran praktis (practical reason) dari satu macam abstraksi
spekulatif Immanuel Kant melalui cara memperlakukan moralitas
sosial sebagai sebuah proses aktual dari realitas sosial politik
sebagaimana realitas sosial politik itu berkembang melalui sebuah
proses historis tertentu. Meskipun memang benar bahwa Hegel
menfokuskan konsentrasinya baik pada spirit atau ide, sebagai
sebuah penalaran yang sadar akan dirinya sendiri dan sekaligus bebas,
maupun pada institusi sosial dan politik untuk suatu maksud dan
tujuan yang transenden dalam dirinya sendiri, namun konsentrasi
spekulatifnya tetap ditujukannya baik pada proses historis, maupun
berbagai rincian dari organisasi negara modern dan masyarakat
sipil, sehingga pemikiran Hegel menjadi tetap menarik perhatian
kalangan terpelajar yang tertarik pada politik dan ilmu sosial. Hegel
meletakkan dasar bagi masyarakat birokratis, yang pada hakekatnya
merupakan satu pemutusan radikal dari tradisi Kantian, dan yang
sekaligus sangat berbeda dari pandangan ilmu pengetahuan alam
Tony Rudyansjah 133

yang telah kita diskusikan panjang lebar sebelumnya. Lebih penting


lagi, Hegel juga mendobrak pandangan akal sehat (common-sense
idea) tentang kedalaman objek dalam kehidupan sosial, dan sekaligus
memperkenalkan sebuah prinsip untuk tidak hanya melihat fakta
sosial sebagai sebuah “benda” (thing), melainkan sebagai sebuah
totalitas yang rancang bangunnya tidak hanya terdiri dari “benda-
benda” sebagaimana mereka nampaknya, tetapi sebagaimana mereka
akan menjadi—sebuah totalitas yang terdiri dari kontradiksi dan
transformasi. Ia menegaskan perlunya kita bersikap kritis dalam arti
beranggapan bahwa penalaran dan rasionalitas harus ditemukan
bukan pada spekulasi yang bersifat abstrak, melainkan pada proses
aktual dari berbagai praktek sosial dan politik manusia.8

Masa Studi dan Pengaruh terhadap


Karl Marx
Karl Marx dilahirkan tanggal 5 Mei tahun 1818 di Tier,
ibu kota provinsi Rhineland yang kala itu masih merupakan
bagian dari kerajaan Prussia (sebuah kerajaan yang berada di
wilayah Jerman Barat). Pada tahun 1818 itu jugalah Hegel
diangkat sebagai professor ilsafat di Universitas Berlin. Masa tua
Marx dihabiskan di London dan meninggal di sana tanggal 14
Maret 1883. Pendidikan pada tingkat sekolah menengah Atas
diselesaikan di Tier sebelum Marx melanjutkan kuliah dalam ilmu
hukum di Universitas Bonn tahun 1835, dan kemudian pindah
untuk belajar bidang yang sama (ilmu hukum) ke Universitas
Berlin tahun 1836. Kala Marx pindah ke Universitas Berlin itu,
Hegel telah sekitar 5 tahun wafat, meskipun “ruh” intelektual
Hegel masih kuat bergentayangan di lorong-lorong dan ruang-
ruang kuliah di sejumlah universitas utama di Jerman, termasuk
salah satunya Universitas Berlin.

8
Untuk uraian tentang Hegel dan negara modern, baca Charles Taylor,
Hegel and Modern Society, 1988.
134 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Di Universitas Berlin itu, Marx, selain belajar hukum,


menekuni juga dengan intensitas yang sama berbagai bidang lain,
seperti ilsafat, sejarah, bahasa Inggris dan bahasa-bahasa Itali. Dan
di kota inilah Marx bergabung ke dalam ‘Berlin Doctor’s Club’,
sebuah kelompok belajar bagi para siswa doktoral yang banyak
mengkaji pemikiran Hegel. Marx tidak pernah menyelesaikan
doktornya dalam bidang Hukum di Universitas Berlin, karena ia
pindah ke Universitas Jena dari tahun 1839 sampai tahun 1841,
dan menulis di sana sebuah disertasi dalam subjek ilsafat Yunani
dengan judul he Diference Betwen the Democritean and Epicurean
Philosophies of Nature.
Dalam disertasi itu, Marx memperbandingkan dua ahli
ilsafat Yunani Kuno dan menunjukkan bahwa Demokritus
membangun sebuah teori isika yang sangat deterministik sifatnya
berdasarkan sebuah pemahaman bahwa atom bergerak hanya
dalam garis yang linear, sedangkan Epikurus merancang sebuah
pandangan dunia yang lebih utuh dan lengkap, yang memberikan
ruang tidak hanya bagi determinisme melainkan juga kebebasan,
berdasarkan sebuah pemahaman bahwa atom mungkin untuk
melakukan sebuah pergerakan yang menyimpang dari garis
lurus.9 Menurut Marx, pandangan Epikurus memberikan sebuah
ilsafat kehidupan yang lebih dalam dan luas daripada yang
diberikan Demokritus. Berdasarkan biograi seperti itu, tidaklah
terlalu sulit bagi kita memahami bahwa masalah kebebasan dan
keniscayaan—determinisme merupakan juga satu bentuk lain
dari keniscayaan—merupakan masalah utama yang telah menarik
perhatian Marx sejak masa awal karier akademisnya. Bagaimana
kuatnya pergulatan pemikiran Marx dalam rangka menjawab
ketegangan antara dua hal itu, yakni kebebasan dan keniscayaan,
merupakan sebuah leitmotiv yang mewarnai keseluruhan karya

9
Dirk J. Struik, dalam pengantar yang diberikannya dalam buku Karl
Marx, he Economic & Philosophic Manuscripts of 1844, 1973, hlm.
14.
Tony Rudyansjah 135

Marx, dan pemahaman tentang perihal ini hanya bisa semakin


jelas dengan berjalannya uraian-uraian yang akan dipaparkan di
keseluruhan bab ini.
Setelah memperoleh tingkat doktoral, Marx pindah ke
Universitas Bonn dengan harapan bisa mendapatkan posisi sebagai
pengajar, yang tidak berhasil diperolehnya karena teman dekat
dan sekaligus mentornya, Bruno Bauer, yang kala itu menjadi
pengajar teologi di sana dipecat dari jabatannya sebagai pengajar
karena kritik tajam yang ia lontarkan terhadap status quo religius
kerajaan Prussia, sehingga Marx pada akhirnya meninggalkan
keinginan tersebut dan memilih menjadi penulis pertama dan
kemudian redaktur dari majalah Rheinische Zeitung. Profesi itu
memungkinkan Marx relatif lebih mudah menghindari sensor
pemerintah Prussia Jerman dengan cara mengelana dan hidup di
beberapa negara di Eropa.
Jalan karier seperti itu barangkali sangat menguntungkan
bagi sejarah ilmu pengetahuan, karena dengan begitu Marx bisa
sangat aktif menulis beranekaragam subjek pembahasan dengan
cakupan yang sangat luas variasinya—satu aktivitas yang sulit bisa
dilakukannya apabila ia sebagai pemikir demokrasi yang radikal kala
itu menjadi seorang pengajar tetap dengan berbagai tugas mengajar
yang padat di satu universitas yang menganut tradisi pemikiran
idealisme yang konservatif. Seandainya menempuh karir sebagai
pengajar tetap di universitas, Marx sudah tentu harus tunduk dan
patuh pada ketentuan kontrol dan sensor sangat ketat pemerintah
Prussia terhadap pengajar universitas yang dituntut harus senantiasa
membela propaganda dan status quo pemerintah kerajaan Prussia.

Teori Marx tentang Religi, Politik, Ekonomi:


Kritik terhadap Hegel
Teori Marx yang pertama kali dilontarkan merupakan sebuah
kritik terhadap Hegel, yang dikembangkan pada tahun 1843
ketika ia menulis sebuah komentar tentang karya Hegel Philosophy
136 alam, Kebudayaan & yang IlahI

of Right.10 Kritik terhadap Hegel ini dirangsang oleh sebuah


inspirasi yang Marx peroleh dari pemikiran Ludwig Andreas
Feuerbach (1804–1872), atau persisnya, yang terutama berasal
dari tulisan-tulisan Feuerbach dengan judul ‘Provisional heses
for the Reformation of Philosophy’11, he Essence of Christianity12
dan Principles of the Philosophy of the Future13. Dalam salah satu
tulisannya, Feuerbach mengemukakan argumentasi bahwa ilsafat
Hegel hanyalah satu bentuk lain dari religi, hanya satu proyeksi
fantastik tentang Tuhan (absolute being) ke dalam ranah pemikiran
tentang kekuasaan dan realitas.
“And, according to Hegel, only the negation of the negation
is the true airmation. In the end, we are again at the point
from which we started—in the bosom of Christian theology.
hus, we already have in the main principle of Hegel’s
philosophy the principle and outcome of his philosophy
of religion, namely, that philosophy does not negate the
dogmas of theology, but only restores and mediates them
through the negation of rationalism. he secret of the
Hegelian dialectic lies, in the last analysis, only in the fact
that it negates theology by philosophy and then, in turn,
negates philosophy by theology. heology constitutes the
beginning and the end … ”14
[Dan, menurut Hegel, hanya negasi dari negasi yang
merupakan airmasi sesungguhnya. Pada akhirnya kita
sampai lagi pada titik di mana kita mulai—dalam pangkuan
dada teologi Kristen. Jadi, kita telah memiliki prinsip dan
hasil akhir ilsafat agamanya di dalam prinsip utama dari

10
Buku Hegel’s Philosophy of Right merupakan terjemahan dari buku
pada tahun 1821 dengan judul ganda dalam bahasa Jerman Naturrech
und Staatswissenschaft im Grundrisse dan Grundlinien der Philosophie
des Rechts.
11
Diedit dan diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Lawrence C.
Stepelvitch dalam sebuah buku dengan judul he Left Hegelians: An
Anthology, 1983.
12
Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Jerman tahun 1841.
13
Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Jerman tahun 1983.
14
Ludwig Feuerbach, Principles of the Philosophy of the Future, 1957,
hlm. 33.
Tony Rudyansjah 137

ilsafat Hegel, yaitu bahwa ilsafat Hegel itu tidak menegasi


dogma teologi, melainkan hanya meneguhkan kembali
dan memediasikannya melalui negasi rasionalisme. Rahasia
dialektik Hegel terdapat, pada akhirnya, pada fakta bahwa
ia menegasi teologi melalui ilsafat, dan, pada gilirannya,
menegasi ilsafat melalui teologi. Teologi merupakan titik
awal dan titik akhir…]

Dalam kerangka ilsafat antropologis Feuerbach15, proyeksi


fantastik itu pada dasarnya hanyalah proyeksi esensi manusia
sendiri.
“In short, man transforms his thoughts and even his emotion
into thoughts and emotions of God, his essence and his
viewpoint into the essence and viewpoint of God … God
is self-contradictory, for he is supposed to be a non-human
and superhuman being; yet in truth he is—according to all
his determination—a human being.”16
[Singkatnya, manusia mentransformasikan pikiran dan
bahkan emosinya menjadi pikiran dan emosi Tuhan,
esensi dan sudut pandang dirinya menjadi esensi dan
sudut pandang Tuhan… Tuhan bersifat kontradiktif,
karena Ia diandaikan bukan manusia melainkan lebih
sebagai makhluk superhuman; namun di dalam kenyataan
sesungguhnya, Ia, berdasarkan keseluruhan ketentuannya,
adalah seorang makhluk manusia]

Dengan rumusan yang agak berbeda Feuerbach menegaskan


poin yang sama dalam he Essence of Christianity.
“Man—this is the mystery of religion—projects his being
(Wesen) into objectivity and then again makes himself an
object of this projected image of himself thus converted
into a subject, a person; he thinks of himself, is an object

15
Karena sudut pandangnya yang sangat antropologis, maka pendekatan
ilsalat Feuerbach biasa juga disebut dengan istilah ‘antropologisme’
(lihat misalnya “Introduction” yang diberikan homas E. Warterberg
di buku Principles of the Philosophy of the Future dalam edisi bahasa
Inggris, 1986, hlm. xvii).
16
Ludwing Feuerbach, Principles of the Philosophy of the Future, 1986,
hlm. 11.
138 alam, Kebudayaan & yang IlahI

to himself, but as the object of an object, of another being


than himself.”17
[Manusia—inilah misteri dari agama—memproyeksikan
keberadaannya sendiri ke dalam objektivitas, lalu membuat
dirinya sendiri sebagai objek dari citra yang diproyeksikan
itu dan mengubahnya menjadi seorang subjek, seorang
pribadi. Ia memikirkan tentang dirinya sendiri sebagai
sebuah objek bagi dirinya, sebagai objek dari sebuah objek
yang berbeda dari dirinya sendiri]

Pada akhirnya yang terjadi, menurut kritik materialistik


Feuerbach terhadap agama, adalah:
“… men have created God in their own idealized image and
then treated their own creation as their lord and master and
fallen down before it.”
[manusia menciptakan Tuhan sesuai dengan citra ideal
mereka sendiri, dan lalu memperlakukan ciptaan mereka
sendiri sebagai tuhan mereka dan berlutut dihadapannya.]

Untuk mengatasi kekurangan pemikiran sosial dan ilsafat


Jerman seperti itu, yang terutama sangat dipengaruhi pemikiran
Hegel, maka apa yang harus dilakukan, menurut Feuerbach,
adalah membalik prioritas Hegel, dan mencermati pertama-tama
apa yang sungguh-sungguh terjadi di dalam diri manusia dan
masyarakat modern di Jerman saat itu.
“What in religion is a predicate we must make into a subject,
what is a subject, into a predicate … that is, invert the
oracles of religion while at the same time seizing them as
counter-truth—thus do we arrive at the truth.”18
[Apa yang dalam agama adalah kata sifat, kita harus jadikan
subjek, dan apa yang subjek harus kita jadikan kata sifat…
yakni dengan cara membalik keajaiban agama dan di saat
yang bersamaan mengambil counter-truth, lalu meraih
kebenarannya]

Dengan metode pembalikan seperti itu, maka apa yang

17
Ludwing Feuerbach, he Essence of Christianity, 1957, hlm. 29-30.
18
ibid, hlm. 60.
Tony Rudyansjah 139

kita temukan bukanlah perwujudan inal dari Absolut dan


Penalaran (reason) seperti dibayangkan Hegel, melainkan sebuah
keadaan penderitaan dan kesengsaraan manusia modern, yang
sesungguhnya disembunyikan oleh semacam mesin raksasa
yang bernama agama. Apa yang dilakukan Hegel, dalam
hemat Feuerbach, adalah melestarikan keadaan itu dengan cara
merekayasa satu pencitraan yang diproyeksikan tentang spirit
absolut yang dianggap akan merealisasikan dirinya sendiri ke dalam
pranata negara modern. Cara kerja ilsafat seperti itu, menurut
Feuerbach, adalah keliru: kita harus memulainya dengan manusia
dan pengalaman inderawi riilnya, dan bukan memulainya dengan
sebuah konsep á priori tentang kebenaran absolut dan universal
yang dianggap telah ada sebelum realitas itu sendiri.
“he real in its reality and totality, which is the object of
the new philosophy, is also the object only of a real and
complete being. he new philosophy has, therefore, as its
principle of cognition and as its subject, not the ego, the
absolute, abstract mind, in short, not reason for itself alone,
but the real and whole being of man. Reality, the subject of
reason, is only man. Man thinks, not the ego, not reason.
hus, the new philosophy does not rest on the divinity,
that is, the truth, of reason for itself alone; it rests on the
divinity, that is, the truth, of the whole man. Or, to put it
in another way, the new philosophy does indeed rest also
on reason, but on that reason whose essence is the human
being; namely, it rests not on a beingless, colorless and
nameless reason, but on reason saturated with the blood of
man. Hence, whereas the old philosophy declared that only
the rational is the true and real, the new philosophy, on the
other hand, declares that only the human is the true and
real, for only the human is the rational; man is the measure
of reason.”19
[Kenyataan dalam realitas dan totalitasnya, yang merupakan
objek dari ilsafat baru, adalah hanya objek dari makhluk
yang utuh dan sebenarnya. Dengan demikian, ilsafat baru

19
Ludwig Feuerbach, Principles of the Philosophy of the Future,
diterjemahkan oleh Manfred Vogel, 1986, hlm. 66-67.
140 alam, Kebudayaan & yang IlahI

menegaskan keberadaan manusia yang sebenarnya dan


seutuhnya, dan bukannya ego ataupun pikiran abstrak
dan absolut, dan bukan juga nalar dalam dirinya sendiri,
yang merupakan prinsip kognisi dan subjek kajiannya.
Kenyataan, ataupun subjek penalaran, hanyalah manusia
itu sendiri. Manusialah yang berpikir, bukannya ego dan
bukan juga nalar dalam dirinya sendiri. Singkatnya, ilsafat
baru tidak tergantung pada keilahiaan atau kebenaran
dari nalar dalam dirinya sendiri, melainkan tergantung
pada keilahian atau kebenaran dari manusia yang dilihat
secara utuh. Atau dengan kata lain, ilsafat baru tentu saja
tergantung pada nalar, namun dalam pengertian sebagai
nalar yang esensi utamanya adalah makhluk manusia.
Dengan begitu, ia tidak tergantung pada nalar yang tak
beraga, nalar yang tak berwarna, ataupun nalar yang tak
bernama, melainkan nalar yang dijejali dengan darah
manusia. Apabila ilsafat lama menegaskan hanya yang
rasional yang merupakan kebenaran dan kenyataan, maka
ilsafat baru menegaskan hanya manusia yang merupakan
kebenaran dan kenyataan, karena hanya manusialah yang
rasional dan hanya manusialah yang menjadi tolak ukur
dari penalaran]

Berdasarkan prinsip itu, yang sesungguhnya adalah prinsip


ke-50 dari sejumlah 65 prinsip yang dicetuskannya, Feuerbach
menegaskan bahwa pemikiran timbul dari keberadaan (being),
dan keberadaan tidak timbul dari pemikiran. Pandangan ini
memiliki banyak kemiripan dengan positivistisme yang kita telah
bicarakan dalam bab-bab sebelumnya. Dan fakta bahwa Marx
pernah menegaskan bahwa “kehidupan tidaklah ditentukan
oleh kesadaran, melahirkan kesadaran yang ditentukan oleh
kehidupan”20, menyebabkan Marx kelihatan nampak bagi
kebanyakan orang sebagai penganut positivisme—suatu pendapat
umum yang tidak sepenuhnya benar. Pandangan yang nampak
seperti positivism itu dikembangkan Marx lebih lanjut dalam
bukunya Capital.

20
Karl Marx & Frederick Engels, he German Ideology, 1988, hlm. 47.
Tony Rudyansjah 141

“he sum total of these relations of production constitute


the economic structure of society… the real foundation, on
which rises a legal and political superstructure and to which
correspond deinite forms of social consciousness.”21
[Keseluruhan berbagai relasi produksi ini merupakan
struktur ekonomi masyarakat…fondasi sesungguhnya di
tempat mana lahir sebuah superstruktur legal dan politik,
dan padanyalah berkaitan berbagai bentuk kesadaran sosial
tertentu]

Meskipun begitu, Marx berbeda dari Feuerbach, dan dalam


hal tertentu bahkan lebih dekat dengan Hegel daripada dengan
Feuerbach. Marx memang menerima prioritas apa yang riil di
atas ide/gagasan—prioritas pada aktivitas di atas kontemplasi-
-sebagaimana yang diajukan Feuerbach, tetapi Marx menolak
upaya Feuerbach untuk menciptakan a natural philosophy
berdasarkan pengalaman inderawi individual manusia semata
(individual sense experience)—sebuah cara yang dianut Feuerbach
untuk mendekati posisi positivisme.
Pada tahun 1843 Marx menulis sebuah naskah yang tidak
pernah selesai dituntaskan dengan judul ’A Critique of Hegel’s
philosophy of Right’, dan dalam karya itu, dibahas pandangan
Hegel bahwa negara modern adalah perwujudan inal dari prinsip
universal sebenarnya yang akan menandai berakhirnya proses
dialektik dari sejarah—produk akhir dari instansiasi penalaran.
Menurut Marx, konsepsi Hegel seperti itu adalah sebuah
konsepsi yang berasal dari pandangan religi tradisional. Negara
modern, yang dianggap Hegel merupakan sebuah bentuk yang
representatif dari pemerintahan, serta konstitusi dan demokrasi
dengan berbagai fungsi apparatus birokratik dan instrument yang
sempurna untuk mencapai inalisasi orang banyak menjadi citizen
sebagai satu kesatuan yang menyuluruh (masyarakat sipil/civil
society), dalam hemat Marx, tidak lebih dari satu bentuk lain

21
Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, 1904
(1859), hlm. 11-12.
142 alam, Kebudayaan & yang IlahI

dari alienasi yang menyebabkan atribut manusia sebagai satu


keseluruhan ditransformasikan kepada hanya satu kelas khusus
tertentu saja.
Kritik terhadap hubungan antara negara modern, civil
society dan konstitusi demokrasi dari Hegel seperti itu juga
tercantum dalam tulisan Marx yang lain ‘On the Jewish Question’
dan ‘Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right:
Introduction’. Dalam salah satu karya itu, Marx mengatakan bahwa
untuk Jerman, kritik terhadap religi pada garis besarnya memang
nyaris rampung, namun ia menegaskan agar kita tidak berpuas
diri hanya dengan mengatakan bahwa manusia menciptakan
religi, serta religi tidak menciptakan manusia, dan hanya berhenti
di situ, seperti yang dilakukan Feuerbach. Fakta yang harus lebih
diperhatikan, menurut Marx, adalah
“… man is not an abstract being, squatting outside the
world. Man is the human world, the state, society. his
state, this society, produces religion which is an inverted
world consciousness, because they are an inverted world.
Religion is the general theory of this world, its encyclopedic
compendium, its logic in popular form, its spiritual
point d’honneur, its enthusiasm, its moral sanction, its
solemn complement, its general basis of consolation and
justiication. It is the fantastic realization of the human being
inasmuch as the human being possesses no true reality. he
struggle against religion is, therefore, indirectly a struggle
against that world whose spiritual aroma is religion.”22
[bahwa manusia bukanlah makhluk abstrak yang sedang
berlenggang di luar dunia, manusia adalah dunia manusia
seperti negara dan masyarakat. Negara dan masyarakat
menghasilkan religi yang berada dalam sikap yang
berbalikan dari dunia manusia, karena religi dalam dirinya
sendiri merupakan dunia yang terbalik. Religi adalah
teori umum tentang dunia manusia itu, kompedium
ensiklopediknya, logikanya dalam bentuk yang popular,

22
Karl Marx, ‘Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of
Right: Introduction’, di dalam Robert C. Tucker, he Marx-Engels
Reader, 1978, hlm. 53-54.
Tony Rudyansjah 143

titik pijakan kehormatan spiritualitasnya, entusianismenya,


sangsi moralnya, komplemasi khusuknya, dasar umum dari
konsolasi dan justiikasinya. Ini merupakan realisasi fantastik
makhluk manusia sejauh makhluk manusia tidak memiliki
realitas sesungguhnya. Pertarungan terhadap religi, dengan
demikian, secara tidak langsung merupakan pertarungan
terhadap sebuah dunia yang aroma spiritualitasnya adalah
agama.]

Menurut Marx, penderitaan religius pada saat yang


bersamaan merupakan sebuah ekspresi dari, dan sekaligus sebuah
protes terhadap, penderitaan manusia yang sesungguhnya.
“Religion is the sigh of the oppressed creature, the sentiment
of a heartless world, and the soul of soulless condition. It is
the opium of the world.”23
[Agama adalah keluh-kesah dari makhluk yang tertindas,
sentimen dari dunia tanpa hati, jiwa dari kondisi tak
berjiwa, itu adalah candu dunia]

Dengan kritik itu, Marx sesungguhnya tidak menyerang


agama, melainkan menyerang kondisi masyarakat yang
menawarkan bukannya kebahagian sejati, melainkan hanya sebuah
ilusi dari kebahagian manusia. Seruan untuk meninggalkan ilusi
yang menawarkan kebahagian semu itu sebetulnya merupakan
juga sebuah seruan untuk meninggalkan kondisi yang melahirkan
ilusi tersebut. Dengan perkataan lain, kita pada akhirnya, menurut
Marx, harus dapat mengatakan bahwa
“he criticism of religion is, therefore, the embryonic
criticism of this vale of tears of which religion is the halo.”24
[Kritik terhadap agama, dengan demikian, merupakan
kritik awal terhadap mayapada penderitaan ini di mana
agama merupakan lingkaran keramatnya.]

23
Karl Marx, ‘Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of
Right: Introduction’, di dalam Robert C. Tucker, he Marx-Engels
Reader, 1978, hlm. 54.
24
ibid, hlm. 54.
144 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Berdasarkan sudut pandangan itu, maka tugas ilsafat adalah


melucuti kedok alienasi manusia dalam bentuk sekulernya, yang
sampai sejauh ini masih hingga tahap melucuti kedok alienasi
manusia dalam bentuk sakralnya, dan oleh karenanya, menurut
Marx, harus dilanjutkan ke berbagai ranah lainnya.
“hus the criticism of heaven is transformed into the
criticism of earth, the criticism of religion into the criticism
of law, and the criticism of theology into the criticism of
politics.”25
[Jadi kritik terhadap surga diubah menjadi kritik terhadap
dunia, kritik terhadap agama menjadi kritik terhadap
hukum, dan kritik terhadap teologi menjadi kritik terhadap
politik.]

Marx memberikan sebuah argumentasi bahwa ilsafat


Jerman membutuhkan sebuah praxis dalam rangka menandingi
kemampuan kritisnya, karena, menurutnya, tidak cukup hanya
pikiran yang berusaha mewujudkan realisasi dirinya, namun realitas
itu sendiri harus diupayakan agar sesuai dengan pemikiran manusia.
Dalam ‘On the Jewish Question26, ia mengajukan argumentasi
bahwa emansipasi masyarakat Yahudi dari diskriminasi politik
tidak dengan sendirinya membebaskan mereka dari agama. Dengan
kata lain, membuat semua orang setara dihadapan hukum sebuah
negara—yang merupakan alasan kenapa Hegel berpendapat negara
modern demokratik merupakan perwujudan inal dari penalaran
manusia—tidak dengan serta merta membuat manusia bebas dari
berbagai perbedaan yang penuh dengan ketidaksetaraan, karena
apa yang sesungguhnya dilakukan oleh negara pada saat yang
bersamaan adalah membiarkan masyarakat sipil tetap ada dengan
berbagai perbedaan yang memisahkan satu manusia dari manusia
lainnya, satu kelas dengan kelas lainnya, satu profesi dengan profesi
lainnya, satu pendidikan dengan pendidikan lainnya, pemilikan atas

25
ibid, hlm. 54.
26
Karl Marx, ‘On the Jewish Question’, di dalam Robert C. Tucker, he
Marx_Engels Reader, 1978, hlm. 26-52.
Tony Rudyansjah 145

sejumlah harta tertentu dengan pemilikan sejumlah harta tertentu


yang lain, ataupun satu agama dengan agama lainnya, sehingga
apa yang sesungguhnya dilakukan negara dengan menciptakan
superstruktur birokratik itu, yang kelihatannya menjamin
kesetaraan, dalam kenyataannya adalah relasi dominasi dan konlik.
Dengan kata lain, apa yang kita lakukan sepertinya
menghilangkan perbedaan di dalam arena politik formal, namun
dalam kenyataan sesungguhnya perbedaan itu tetap berlangsung
terus, sehingga pada akhirnya masyarakat dan hakekat sesung-
guhnya dari manusia sebagai species being (gattungswesen)27
menjadi suatu yang terpisah dari diri manusia sebagaimana
tercermin dalam teori klasik tentang kontrak yang menempatkan
individu sebagai unit utama dari citizen sebuah negara. Selain itu,
Marx juga mengajukan argumentasi bahwa perbedaan itu tak
ayal lagi akan mempengaruhi apa yang seharusnya merupakan
relasi yang setara di dalam masyarakat politik, karena apa yang
terjadi di dalam kenyataan sesungguhnya adalah hanya orang

27
Istilah species being (bahasa Jermannya: gattungswesen) berasal dari
Feuerbach. Dalam buku he Essence of Christianity, Feuerbach
mendiskusikan hakekat dari manusia yang harus dibedakan dari
makhluk hidup lainnya (binatang) tidak hanya berdasarkan pada
kesadaran secara umum, melainkan lebih pada satu bentuk khusus
dari kesadaran manusia. Dengan kata lain, manusia tidak hanya
sadar akan dirinya sebagai seorang individu, melainkan ia juga
sadar akan dirinya sebagai anggota dari species manusia, sehingga ia
dapat memahami esensi manusia yang serupa tidak hanya terdapat
dalam dirinya melainkan juga dalam diri orang lain. Kondisi atau
situasi kehidupan bersama manusia yang didasarkan pada kesadaran
serupa itu disebut dengan istilah gattungsleben. Menurut Feuerbach,
kemampuan memahami hakekat species being itu merupakan unsur
fundamental dari kemampuan penalaran manusia: ilmu pengetahuan
pada dasarnya adalah kesadaran akan species serupa itu. Marx
menggunakan istilah dari Feuerbach itu dalam konteks yang lebih
luas, karena dalam deinisi Marx, kesadaran akan species itu (“species
consciousness) menentukan hakekat dari manusia: manusia hanya
hidup dan bertindak secara autentik, atau dengan kata lain, sesuai
dengan hakekatnya, manakala ia hidup dan bertindak secara sungguh-
sungguh sebagai species being, yakni sebagai seorang makhluk sosial.
146 alam, Kebudayaan & yang IlahI

kaya yang dapat memiliki dan meraih berbagai medium untuk


persuasi politik, dan hanya orang yang berpendidikan yang dapat
memahami politik secara sungguh-sungguh. Dengan demikian,
negara sebagai locus dari kesetaraan dapat dikatakan merupakan
sebuah ilusi semata.
Dalam karya awalnya, Marx mengajukan pertanyaan tentang
relasi antara ideologi dan praktik sosial (social practice). Dalam
pembahasan perkara itu, ia mengindikasikan relasi dua hal itu jauh
lebih kompleks dari sekedar hanya sebuah releksi. Atau, dengan
kata lain, ideologi mengandung pengertian jauh lebih kompleks
daripada hanya sekedar releksi dari praktik sosial. Ketika membahas
relasi dua hal itu, ia menghubungkannya dengan diskusi mengenai
problem tentang transformasi masyarakat Jerman.
Tidak seperti Perancis, Jerman di masa lampaunya, menurut
Marx, tidak pernah mengalami revolusi. Atau, dengan kata
lain, kelas revolusioner Jerman sebelum masa ia hidup hanya
bersifat teoritis. Mereka, atau kelas revolusioner yang bersifat
teoritis itu, misalnya pada periode Reformasi di Jerman, hanya
merupakan sebuah reklamasi atau upaya protes. Menurut Marx,
pada masa lampau (baca: periode reformasi28) revolusi berasal
dan berlangsung hanya dalam pikiran para rahib atau monk,
sedangkan pada masa hidup Marx sendiri revolusi terjadi dalam
pikiran para ilosofnya. Martin Luther dengan Protestanismenya
tanpa dinyana lagi memang berhasil mengatasi perbudakan
yang berdasarkan pada pengabdian keagamaan (devotion).
Namun sayangnya Luther berhasil mengatasi hal itu dengan
menggantikannya kemudian dengan sebuah perbudakan lain
berdasarkan pada keyakinan (conviction). Luther, menurut Marx,

28
Periode Reformasi keagamaan di Eropa terjadi pada abad ke-16,
yang berupaya mengoreksi pandangan yang dianggap keliru dari
gereja Katolik Roma, dan yang pada akhirnya sampai pada upaya
melepaskan diri dari supremasi Kepausan Roma dan lahirnya gereja
Protestan.
Tony Rudyansjah 147

sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengatasi problema


tersebut, namun ia menunda merampungkannya. Marx secara
keras mengajukan argumentasi bahwa Luther
”… shattered the faith in authority by restoring the
authority of faith. He transformed the priests into laymen
by turning laymen into priests. He liberated man from
external religiosity by making religiosity the innermost
essence of man. He liberated the body from its chains
because he fettered the heart with chains.”29
[…menghancurkan keyakinan terhadap otoritas dengan
cara meneguhkan kembali otoritas terhadap keyakinan.
Ia berubah pendeta menjadi orang biasa dan orang biasa
menjadi pendeta. Ia membebaskan manusia dari religiusitas
yang bersifat eksternal dengan cara menjadikan religiusitas
sebagai esensi yang paling batiniah dari manusia. Ia membe-
baskan badan manusia dari belenggu (agama) karena ia
membelenggu hati manusia dengan belenggu (agama).]

Luther dengan Protestantismenya memang berhasil


mengubah setiap orang awam Jerman menjadi pendeta (priest)—
orang awam menjadi pendeta untuk dirinya sendiri—dengan cara
menggugat serta menghancurkan keyakinan dan kepatuhan orang
terhadap otoritas kepausan, dan menggantikannya dengan cara
mematri otoritas terhadap keyakinan di dalam batin manusia.
Ketika setiap orang Jerman biasa yang berperilaku ibarat seorang
pendeta (priestly German layman) dibebaskan, maka mereka
seharusnya akan juga membebaskan seluruh masyarakat Jerman.
Namun revolusi ternyata lebih merupakan satu proses yang sangat
dipengaruhi dan, sedikit banyaknya, ditentukan oleh kelas-kelas
yang ada dalam masyarakatnya, dan masyarakat Jerman saat itu
tidak memiliki satu kelas dengan keberanian yang cukup untuk
melaksanakan dan mengemban misi revolusi tersebut.

29
Karl Marx, ‘Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of
Right: Introduction’, di dalam Robert C. Tucker, he Marx-Engels
Reader, 1978, hlm. 60.
148 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Pertanyaan yang kemudian menghantui Marx adalah bagai-


mana proses revolusi itu bekerja dan apa-apa yang menjadi prakon-
disi yang harus dipenuhinya. Pertama, sebuah revolusi politik, yang
berarti sebuah revolusi yang hanya bersifat parsial, memang bisa saja
terjadi manakala satu segmen dari masyarakat sipil bangkit secara
massal dalam satu momen yang penuh dengan entusianisme di
mana mereka dapat mengasosiasikan dan menyatukan diri mereka
dengan masyarakat secara keseluruhan, serta dapat merasakan
dirinya sebagai representasi dari masyarakat, dan sekaligus mampu
dikenali orang lain dalam pengertian yang serupa itu.
“Its aims and interests must genuinely be the aims and
interests of society itself, of which it becomes in reality
the social head and heart. It is only in the name of
general interests that a particular class can claim general
supremacy.”30
[Tujuan dan minatnya harus secara tulus merupakan tujuan
dan minat masyarakat itu sendiri, sehingga ia dapat menjadi
“pikiran” dan “nurani” sosial. Hanya atas nama itu, sebuah
kelas tertentu dapat menegaskan supremasi umumnya.]

Meskipun begitu, kelas dengan klaim seperti itu, yang


memiliki daya revolusi dan kesadaran atas kekuatan diri sendiri,
sekaligus mempunyai arah politik atas nama keseluruhan segmen
masyarakatnya, tidak mencukupi untuk bisa menduduki sebuah
posisi yang mampu membebaskan keseluruhan masyarakat.
Sebuah prakondisi lain (prakondisi kedua) harus juga dipenuhi,
agar sebuah revolusi populer dan sebuah emansipasi yang
dilancarkan satu kelas khusus tertentu yang berasal dari satu
masyarakat sipil dapat menyelaraskan dan mempresentasi dirinya
atas nama keseluruhan masyarakat, maka diperlukan adanya satu
kelas lain yang dianggap mengonsentrasikan ke dalam dirinya
berbagai keburukan dan kejahatan dari masyarakat, sehingga ada
kelas lain yang kemudian lebih mempresentasikan dirinya sebagai
penghambat dan pembatas kemaslahatan umum.

30
ibid, hlm. 62.
Tony Rudyansjah 149

“A particular social sphere must be regarded as the notorious


crime of the whole society, so that emancipation from this
sphere appears as a general emancipation. For one class to be
the liberating class par excellence, it is necessary that another
class should be openly the oppressing class.”31
[sebuah bidang sosial khusus tertentu harus dianggap sebagai
kejahatan besar bagi seluruh masyarakat, sehingga sebuah
pembebasan darinya nampak sebagai sebuah pembebasan
yang berlaku bagi semua. Agar sebuah kelas dapat menjadi
sebuah kelas yang secara sempurna membebaskan, maka
dibutuhkan satu kelas lain yang secara terbuka menjadi
kelas yang bersifat menindas.]

Apabila dua prakondisi di atas dapat dipenuhi, maka kelas


yang berfungsi membebaskan itu akan dapat meraih ideologi
yang dikembangkan mereka atas nama revolusi, dan sekaligus
mencapai tujuan dari revolusi itu sendiri. Meskipun begitu,
dan ini yang diperingatkan Marx secara keras, manakala tujuan
revolusi tercapai, maka kelas khusus itu tentu saja membebaskan
masyarakat secara keseluruhan, namun dengan satu persyaratan
bahwa setiap orang yang dibebaskannya memiliki posisi yang serupa
dengan kelas khusus yang membebaskan tersebut. Dalam kasus
revolusi borjuis Perancis, sebuah kasus yang dikemukakan Marx
untuk menegaskan poin ini, semua orang memang dibebaskan ke
dalam sebuah kesetaraan formal, dan satu negara yang dihasilkan
daripadanya adalah satu negara dengan sebuah kesetaraan formal.
Namun kesetaraan formal itu baru akan menjadi sesuatu yang
riil atau sungguh-sungguh nyata ada, manakala semua orang
yang bersangkutan memiliki situasi inansial dan sosial yang sama
dengan kelas borjuis Perancis itu.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebuah
proses perubahan melalui revolusi kelas sesungguhnya tidaklah
terlalu rumit dan mengandung pengertian berikut: (1) sebuah
kelas revolusioner bangkit; (2) bergabung dengan keseluruhan

31
ibid, hlm. 63.
150 alam, Kebudayaan & yang IlahI

masyarakatnya; (3) mempresentasikan dirinya sebagai seorang


jawara atas nama masyarakat secara keseluruhan dalam rangka
menghadapi dan melawan kelas lain yang menindas; (4) dan
manakala mereka atas nama masyarakat secara keseluruhan
berhasil menghancurkan kelas yang menindas, maka kesetaraan
hanya akan terwujud apabila kita semua berada dalam posisi yang
sama dengan kelas yang dominan itu, yakni kelas revolusioner
yang tadinya berhasil melakukan revolusi. Meskipun begitu, Marx
menawarkan sebuah solusi lain paling hakiki bagi Jerman dalam
rangka merespon antusiasme akan revolusi itu. Solusi lain ini
ditawarkan Marx, karena Jerman tidak memiliki kelas dengan ciri-
ciri seperti kelas borjuis di Perancis, yang siap untuk bangkit atas
nama masyarakat secara keseluruhan, serta tidak ada kelas yang
bisa mewujudkan dirinya dan bangkit dengan logika di dalam
dirinya sebagai representasi keseluruhan masyarakat, dan tidak
ada juga kelas lainnya yang bisa mewakili seluruh keburukan dan
kejahatan masyarakatnya. Marx merancang satu kemungkinan
baru bagi formasi masyarakat Jerman:
“… is there, then, a real possibility of emancipation in
Germany? his is our reply. A class must be formed which
has radical chains, a class in civil society which is not a class
of civil society, a class which is the dissolution of all classes, a
sphere of society which has a universal character because its
suferings are universal, and which does not claim a particular
redress because the wrong which is done to it is not a particular
wrong but wrong in general. here must be formed a sphere of
society which claims no traditional status but only a human
status, a sphere which is not assumptions of the German
political system; a sphere, inally, which cannot emancipate
itself without emancipating itself from all the other spheres
of society, without, therefore, emancipating all these other
spheres, which is, in short, a total loss of humanity and which
can only redeem itself by a total redemption of humanity. his
dissolution of society, as a particular class, is the proletarian.
(susunan paragraph diubah)”32

32
ibid, hlm. 64
Tony Rudyansjah 151

[… terdapatkah satu kemungkinan sesungguhnya bagi


emansipasi di Jerman? Inilah jawaban kami. Sebuah kelas,
yang memiliki belenggu keradikalan mesti dibentuk, sebuah
kelas dalam masyarakat sipil yang bukan sebuah kelas dari
masyarakat sipil, sebuah kelas yang merupakan pemusnahan
semua kelas yang ada, satu ranah dari masyarakat yang
mengandung karakter universal, karena penderitaan yang
dialaminya bersifat universal, sebuah kelas yang tidak
mengklaim satu kedok khusus apapun, karena kesalahan yang
ditimpakan kepada mereka bukanlah kesalahan yang khusus,
melainkan kesalahan pada umumnya. Mesti dibentuk satu
ranah dari masyarakat yang mampu mengklain bukannya
status tradisional, melainkan status kemanusiaan, sebuah
ranah yang bukan merupakan asumsi sistem politik Jerman,
sebuah ranah, yang pada akhirnya, tidak akan dapat
membebaskan dirinya sendiri tanpa membebaskan dirinya
dari semua ranah yang ada dari masyarakatnya. Dengan
demikian, tidak dapat membebaskan dirinya sendiri,
tanpa membebaskan semua ranah lain yang ada dalam
masyarakat, atau, yang singkatnya, merupakan kehilangan
total kemanusiaan. Dan yang hanya dapat membebaskan
dirinya sendiri melalui pembebasan total kemanusiaan.
Pemusnah masyarakat, sebagai satu kelas khusus, adalah
kaum proletariat.]

Pernyataan di atas itu kedengarannya tentu sangat masuk


diakal dan sangat menawan. Namun tentu saja sangat penting
untuk mencermati kenyataan kenapa Marx memilih proletariat
sebagai “pembebas” dari masyarakat Jerman. Namun sayangnya
Marx tidak terlalu menjelaskan bagaimana mekanisme
“pembebasan” seperti itu bisa terjadi. Satu perkara penting
yang perlu dicermati dari usulan emansipasi yang ditawarkan
Marx adalah bahwa berdasarkan pemikiran seperti itu, Marx
menegaskan posisinya untuk mempertahankan keutuhan dan
kesatuan antara teori/pemikiran dengan tindakan.
“Just as philosophy inds its material weapons in the
proletarian, so the proletarian inds its intellectual
weapons in philosophy…. Philosophy is the head of this
emancipation and the proletarian is its heart. Philosophy
152 alam, Kebudayaan & yang IlahI

can only be realized by the abolition of the proletarian, and


the proletarian can only be abolished by the realization of
philosophy. (sususan paragraph diubah)”33
[Sebagaimana ilsafat mendapatkan senjata materiilnya
dalam proletariat, maka proletariat mendapatkan senjata
intelektualnya dalam ilsafat…Filsafat merupakan kepala
dari emansipasi ini dan proletariat merupakan hatinya.
Filsafat hanya dapat diwujudkan dengan menghilangkan
proletariat, dan proletariat hanya dapat disingkirkan
dengan merealisasikan ilsafat.]

Alienasi, GATTUNGSWESEN dan Konsepsi


Materialistik tentang Sejarah
Tahun 1843 merupakan tahun yang sangat menyibukkan
bagi Marx, dan salah satu kesibukannya adalah menikah dengan
Jenny von Westphalen, putri seorang Baron di Jerman yang
sekaligus merupakan seorang sahabat dan mentor dari Marx
sendiri. Keluarga besar von Westphalen adalah keluarga Protestan,
sedangkan Marx sendiri berasal dari satu keluarga Yahudi Jerman
yang awalnya menganut agama Judaisme dan kemudian beralih
menjadi Protestan. Ini relevan dan penting untuk dipahami
bahwa Marx sesungguhnya mengalami sendiri apa-apa yang
dibicarakan, dipikirkan dan dibahasnya. Pada bulan Oktober
1843, Marx dan istrinya pindah ke Paris, Perancis, dan selama
di sana ia menulis banyak sekali karya. Banyak dari karya yang
ditulisnya selama periode itu tidak diterbitkan sebelumnya, dan
baru ditemukan kembali tahun 1931 pada saat industri tentang
penafsiran atau interpretasi tulisan-tulisan Marx mulai menjamur
subur, yang pada akhirnya diterbitkan dengan judul ‘Economic
and Philosophical Manuscript of 1844’.34
Mengenai perpindahan Marx ke Paris itu, terdapat sebuah
diskusi sangat menarik yang diberikan Jefrey C. Alexander dalam

33
ibid, hlm. 65.
34
Naskah ini dapat ditemukan dalam Robert C. Tucker, he Marx-
Engels Reader, 1978, hlm. 66-125.
Tony Rudyansjah 153

bukunya yang berjudul he Antinomies of Classical hought:


Marx and Durkheim. Pembahasan Alexander mengenai alienasi
sangat menarik di dalam buku itu. Ia menyampaikan pendapat
bahwa pada tahap perpindahannya ke Paris, Marx mengolah
pengertian alienasi bukan dalam arti sebagai sesuatu yang berasal
dari keberadaan private property, melainkan lebih bermuasal pada
tahap subjektif para pekerja itu sendiri, yang pada kenyataannya
kemudian menghasilkan kapitalis (baca: pihak pemodal), namun
diproyeksikan para pekerja sebagai sesuatu yang terasing dan
sekaligus memiliki kekuasaan terhadap diri mereka (baca: para
pekerja/buruh).
“… although private property appears to be the basis
and cause of alienated labour, it is rather a consequences
of the latter…Alienation ultimately depends, therefore,
on the perception of the actor himself. In deining “what
constitutes the alienation of labor,” Marx’s analysis depends
heavily on whether or not an actor actually feels estranged…
it is the self-alienation of the worker himself that actually
allows this capitalist to come into being. Psychologically
and morally degenerated, the worker creates the capitalist
as a projection of his own internal need for domination.”
(susunan paragraph diubah)35
[… meskipun harta pribadi nampak sebagai dasar dan
penyebab dari kerja yang teralienasi, sesungguhnya hal
itu merupakan konsekwensi daripadanya… Alienasi pada
akhirnya tergantung, dengan demikian, pada persepsi
dari si pelakunya sendiri. Dalam menentukan “apa yang
merupakan alienasi dari sebuah aktivitas kerja,” Marx
menganalisisnya sangat tergantung pada apakah seorang
pelaku merasakan terasing… adalah alienasi diri si pekerja
itu sendiri yang sesungguhnya menyebabkan lahirnya si
kapitalis itu. Terendahkan secara psikologis dan moral, si
pekerja menciptakan para kapitalis sebagai sebuah proyeksi
akan kebutuhan batinnya sendiri atas dominasi.]

35
Jefrey C. Alexander, he Antinomies of Classical hought: Marx and
Durkheim, 1982, hlm. 36-37.
154 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Analogi paragraf di atas sama halnya seperti manusia


menciptakan citra tentang Tuhan, lalu manusia berlutut di
hadapannya dan menyembah citra yang diciptakannya sendiri.
Marx mengajukan argumentasi bahwa dalam dirinya sendiri
penghapusan private property tidak akan menyebabkan berakhirnya
alienasi. Berakhirnya alienasi membutuhkan sebuah transformasi
ide atau gagasan—sebuah transformasi tidak hanya dari sudut
pandang objektif kondisi dan situasi kerja melainkan juga dari
sudut pandang subjektif si pekerja sendiri, sehingga pekerja tersebut
memperoleh kembali arti penting dan harkat kemanusiaan dirinya.
“If capitalism and private property rest upon alienation,
and if alienation is the result of self-estrangement, then
the transformation of capitalism cannot depend upon the
elimination of private property alone….it is not enough
simply to reform external environment of action; rather, it
is the nature of action itself which must be transformed…
he problem, then, with the demand for the “abolition of
private property’ is that it focuses only on mere ‘”physical
possession” rather than on “the personality of man.” To
transform personality is to transform “all his [man’s]
human relations to the world,” his powers of thinking,
feeling, observing, and acting. It is the “subjective aspect,”
then, which must become the focus of activity in creating a
communist society. (susunan paragraph diubah)36
[Apabila kapitalisme dan harta pribadi bermuasal pada
alienasi, dan apabila alienasi merupakan akibat dari
keterasingan diri sendiri, maka transformasi terhadap
kapitalisme tidak bisa bergantung pada pemusnahan
harta milik pribadi semata… adalah tidak mencukupi
hanya mereformasi lingkungan eksternal dari tindakan;
melainkan, hakekat dari tindakan itu sendirilah yang harus
diubah… Masalahnya, kemudian, adalah bahwa tuntutan
akan penghapusan harta milik pribadi hanya memfokuskan
pada “pemilikan isik” semata, dan bukannya pada
“kepribadiaan manusianya”. Mengubah kepribadian berarti
mengubah “semua relasi manusia terhadap dunianya”, daya
pikiran, perasaan, pengamatan dan tindakannya. Adalah

36
Jefrey C. Alexander, op.cit, hlm. 37-38.
Tony Rudyansjah 155

aspek subjektif ini, dengan demikian, yang mesti menjadi


focus semua aktivitas dalam rangka menciptakan sebuah
masyarakat komunis.]

Tahap berikutnya dari pemikiran Marx mulai terjadi pada


bulan Januari 1845, saat Marx diusir keluar dari Paris lalu menetap
di Brussel, Belgia. Pada fase inilah Marx mengembangkan
pemikirannya yang tertuang dalam karya ‘German Ideology’ dan
‘heses on Feuerbach’. Naskah pendek yang terkenal sekarang
sebagai ‘heses on Feuerbach’ ditemukan Engels dari kumpulan
naskah yang ditinggalkan Marx pada saat meninggal dunia, sebelas
tesis singkat dan padat ini kemudian bertransformasi ibarat sebuah
teks sakral yang harus dibaca dan dipahami para mahasiswa yang
hendak menguasai pemikiran Marx. Dalam sebuah kuliah yang
diberikannya,37 Raymond Smith pernah menyampaikan bahwa
di Universitas Manchaster, manakala Departemen Antropologi
baru didirikan dan diketuai oleh Max Gluckman, ‘heses on
Feuerbach’38 menjadi bacaan wajib bagi seluruh mahasiswa yang
masuk ke departemen antropologi itu. Para mahasiswa itu,
menurut Smith, harus membaca dan memahami kesebelas tesis
itu ke dalam berbagai cara dan metode penafsiran layaknya teks
dari God’s Commandments (Sepuluh Perintah Allah). Beberapa
dari tesis itu yang sering dikutip orang adalah:
“… human essence is no abstraction inherent in each single
individual. In its reality it is the ensemble of the social
relations”39
[…esensi manusia bukanlah sebuah abstraksi yang inheren
terdapat di dalam setiap individu manusia secara sendiri-
sendiri. Dalam realitasnya, esensi manusia itu adalah
himpunan dari relasi-relasi sosial manusia.]

37
Kuliah itu saya ikuti di Universitas Chicago ketika saya menjadi
mahasiswa tingkat doktoral di sana pada tahun 1987.
38
Naskah dapat ditemukan dalam Robert C. Tucker, he Marx-Engels
Reader, 1978, hlm. 143-145.
39
ibid, hlm. 145.
156 alam, Kebudayaan & yang IlahI

“Social life is essentially practical. All mysteries which lead


theory to mysticism ind their rational solution in human
practice and in the comprehension of this practice.”40
[semua kehidupan sosial pada hakekatnya adalah bersifat
praktikal. Semua misteri yang mengarahkan teori pada
mistisisme memperoleh pemecahan rasionalnya di dalam
praktek manusia dan di dalam pemahamanan akan praktek
itu.]
“he philosopher have only interpreted the world, in various
ways; the point is to change it.”41
[Para ilosof hanya menafsirkan dunia dalam berbagai cara;
masalah sebenarnya adalah mengubahnya.]

Gagasan dari teks heses on Feuerbach itu lalu diinkorporasikan


ke dalam sebuah naskah lain yang lebih panjang, yaitu ‘German
Ideology’, yang sesungguhnya berisi lebih kurang 700 halaman,
namun hanya bagian pertamanya yang terdiri dari lebih kurang
56 halaman yang kemudian diterbitkan.42 Dalam karya ini,
Marx dan Engels menentang para ahli ilsafat yang berpendapat
bahwa ilsafat spekulatif dapat mengabaikan situasi materiil di
tempat mana pikiran ilsafat spekulatif tersebut dilahirkan dan
dikembangkan. Di karya inilah Marx dan Engels menegaskan
secara jelas dan gamblang mengenai arti penting produksi materiil
dalam kehidupan sosial manusia.
Althusser mengemukakan argumentasi bahwa tahun 1845
merupakan tahun yang penting bagi perkembangan pemikiran
Marxis, karena pada saat itulah Marx melakukan sebuah pemutusan
drastis dari pemikirannya sebelumnya—sebuah pemutusan yang
mereleksikan “penemuan” Marx (Marx’s discovery) akan kelas
buruh yang terorganisir secara baik di Perancis. Penemuan Marx
ini bersamaan juga waktunya dengan penemuan Engels mengenai

40
ibid, hlm. 145.
41
ibid, hlm. 145.
42
Bagian I dari ‘German Ideology’ dapat ditemukan dalam Robert C.
Tucker, he Marx-Engels Reader, 1978, hlm. 146-200.
Tony Rudyansjah 157

kelas buruh di Inggris. Melalui penemuan mereka masing-masing


inilah, Marx dan Engels memulai kolaborasi yang berlangsung
hingga akhir hayat mereka.
Secara singkat, penemuan akan kelas buruh ini menandai
pemahaman baru Marx bahwa kelas proletariat adalah sebuah
kekuatan politik, bukan sekedar sebuah kategori hipotetis.
Berdasarkan perkara inilah, maka Althusser berpendapat bahwa
Marx membawa kembali berbagai pengalaman dan pemahaman
baru yang diperolehnya dari negara-negara lain ke Jerman, yang
sekaligus berupaya melakukan sebuah penetrasi ke dalam kehidupan
masyarakat berdasarkan sebuah asumsi bahwa masyarakat dapat
diperbaharui atau direformasi melalui sebuah tindakan penalaran
(act of reason), yang akan menyingkirkan mitos tentang abstraksi
ideologis dalam rangka mencapai materialisme historis. Althusser
lebih lanjut menegaskan bahwa bersamaan dengan penulisan heses
on Feuerbach dan German Ideology, Marx menemukan sebuah teori
baru tentang politik dan sejarah yang berdasarkan pada konsep-
konsep baru yang radikal, yakni konsep seperti social formation,
relation of production, productive forces, superstructure, ideology,
determination of life by economy, dan lain sebagainya. Kita tentu
saja tidak dapat membahas semua konsep baru Marx tersebut,
namun satu poin penting yang hendak disampaikan di sini adalah
bahwa dalam karya German Ideology itu, Marx dan Engels menolak
gagasan ilsafat spekulatif a la Hegel yang mengabaikan situasi
materiil yang merupakan wahana di tempat mana pikiran ilsafat
itu sendiri dilahirkan dan dikembangkan. Secara lebih tegas, Marx
dan Engels mengatakan bahwa manusia
“… produce their means of subsistence… his production
only makes its appearance with the increase of population.
In its turn this presupposes the intercourse [Verkehr] of
individuals with one another. he form of this intercourse
is again determined by production.” (susunan paragraf
158 alam, Kebudayaan & yang IlahI

diubah)43
[… menghasilkan peralatan untuk hidup. Produksi
peralatan untuk hidup ini hanya dapat muncul dengan
bertambahnya jumlah penduduk, yang pada gilirannya
juga sangat tergantung pada interaksi antara satu individu
dengan individual lainnya. Bentuk dari interaksi ini juga
ditentukan pada akhirnya oleh produksi.]

Jadi kehidupan manusia sangat terikat dengan proses


sirkulasi dari produksi, social intercourse dan relasi sosial yang
mendasarinya. Berdasarkan kerangka pikir itu, banyak para ahli
yang berpendapat bahwa Marx sampai pada sebuah tahap penting
dalam pengembangan sebuah teori yang sangat instrumental
sifatnya di mana tindakan individu sebagai suatu elemen yang
sesungguhnya merupakan sebuah ranah yang bersifat otonom dan
mandiri, menjadi terbelenggu ke dalam sebuah kerangka means
and ends dalam pencapaian eisiensi produksi semata. Menurut
Alexander, dalam tahap ini Marx melihat bahwa hakekat individu
sangat tergantung oleh kondisi materiil yang sangat menentukan
produksi yang dihasilkan individu. Intensionalitas subjek menjadi
terpinggirkan dari kerangka utama analisisnya, dan tindakan
individu sebagai sesuatu yang bersifat instrumental dalam rangka
mencapai eisiensi produksi menjadi satu hal yang menonjol
secara dominan. Dengan kata lain, Marx menggeser dan sekaligus
mentransformasi alienasi sebagai sebuah ciri dari individu,
sebagaimana dilakukannya dalam karya awalnya, menjadi suatu
bagian yang bersifat intrinsik dari analisis materiil itu sendiri. Perkara
ini memberikan kerumitan tersendiri bagi arsitektur pemikiran
seorang tokoh lain, yaitu Durkheim, mengenai pembagian
kerja, sehingga Durkheim terpaksa harus merekayasa satu istilah
tersendiri untuk mengatasi masalah itu, yakni ‘abnormal division of
labour—satu pokok persoalan yang akan kita bicarakan secara lebih
rinci dalam bab tentang Durkheim dalam jilid kedua buku ini.

43
Karl Marx dan Frederick Engels, he German Ideology, 1988, hlm.
42-43.
Tony Rudyansjah 159

Poin yang perlu ditegaskan di sini adalah memahami bagaimana


historical materialism ditampilkan dalam bentuknya yang paling
vulgar dan kasar (rude) yang seringkali diambilalih orang lain dari
pernyataan dan analisis yang dilakukan Marx di atas.
Tentu saja harus diingat bahwa Marx tidak membuat
sebuah interpretasi materialistik tentang sejarah, dan harus
diingatkan pula di sini bahwa dalam kenyataannya Marx sangat
banyak menghabiskan pikiran dan tenaganya untuk memerangi
materialisme. Kejeniusannya justru terletak dalam cara Marx
menghasilkan sebuah arsitektur teori yang mengombinasikan
dengan baik berbagai dimensi materialistik dan kemudian
memadukannya dengan keseluruhan pemikiran ilsafat Jerman.
Apa yang sesungguhnya dilakukan Marx adalah mengambilalih
berbagai kategori dari political economy (yang untuk sebagian besar
berasal dari pikiran para ahli di Inggris), sebagai sebuah rujukan
bagaimana memahami bekerjanya kapitalisme, lalu memodiikasi
sesuai dengan kebutuhannya, dan kemudian mengejawantahkannya
ke dalam sebuah pandangan yang lebih bersifat komprehensif akan
sebuah totalitas mengenai sejarah manusia.
Meskipun demikian, teori Marxis tentang perubahan
acapkali direduksi orang ke dalam beberapa proposisi atau prinsip
berikut di bawah ini—dapat kita istilahkan barangkali sebagai
vulgar materialist theory of history—yang tentu saja memang dapat
ditemukan dalam berbagai pernyataan yang dibuat Marx, namun
harus diperhatikan bahwa semua pernyataan Marx yang diambil
dan dipilih orang itu belum tentu secara keseluruhan merupakan
pernyataan yang memadai untuk diperlakukan sebagai teori yang
utuh dari Marx sendiri:
• Sejarah dari masyarakat manusia di manapun merupakan
sejarah dari pertarungan kelas.
• Kelas sosial terdiri dari himpunan berbagai person/pribadi
yang memiliki fungsi yang serupa dalam pengorganisasian
produksi.
160 alam, Kebudayaan & yang IlahI

• Hakekat relasi produksi dari satu masyarakat dijelaskan


berdasarkan tingkat perkembangan dari daya/kekuatan
produksinya (productive forces), yang biasanya diartikan
sebagai peralatan teknologi.
• Konlik antar kelas sosial melekat secara inheren dalam
masyarakatnya, karena masing-masing kelas sosial memiliki
tingkat kontrol yang berbeda atas berbagai alat produksi.
• Setiap pola tertentu dari relasi produksi dan kekuatan
produksi menghasilkan pola kelas dan relasi sosial tertentu
yang keseluruhannya membentuk satu formasi sosial tertentu
juga. Jadi formasi sosial merupakan pola dari kelas sosial yang
dihasilkan dari pengaplikasian seperangkat alat produksi dan
kekuatan produksi dalam sebuah relasi sosial tertentu.
• Perubahan terjadi dalam tingkat relasi produksi dan manakala
ini terjadi maka relasi sosial dan kelas menjadi kadaluwarsa,
sehingga sebuah kelas revolusioner akan tampil ke muka
untuk melaksanakan sebuah tindakan politik dalam rangka
mengenyahkan si penindas yang berasal dari kelas yang
dominan.44 Dalam versi vulgar Marxis ini jelas apa yang meru-
pakan perubahan dan apa yang merupakan keteraturan: sebuah
kelas memperoleh kekuasaan, karena kelas yang bersangkutan
lebih diuntungkan oleh kekuatan produksi yang ada. Ini serupa
dengan pandangan sosialisme dari Saint-Simon.
• Pada akhirnya kelas revolusioner itu pada gilirannya menjadi
kelas yang menindas sampai revolusi inal dari kelas pekerja
industrial tersebut menjelma menjadi sebuah instrumen
yang berhasil menyingkirkan kelas itu sendiri untuk selama-
lamanya.

Meskipun disebut sebagai versi Marxis yang vulgar, argu-


mentasinya tetap sangat kompleks, sekaligus dimaksudkan

44
Untuk uraian lebih rinci tentang perkara ini, lihat pembahasan di
halaman 147-150 buku ini.
Tony Rudyansjah 161

untuk bisa menjelaskan sejarah manusia di masa lampau, di


masa kini dan di masa depan. Sudut pandang vulgar Marxis ini
agak berbeda dengan perhitungan yang ditampilkan Marx di
dalam karya awalnya ‘Contribution to the Critique of Hegel’s
Philosophy of Right: Introduction’. Dalam hemat saya, sudut
pandang vulgar Marxis ini sangat mudah dipadukan dengan
kebutuhan sudut pandang fungsionalisme struktural melalui cara
mentransformasikan analogi organiknya fungsionalisme struktural
tentang masyarakat, lalu membungkusnya ke dalam terminologi-
terminologi Marxisme, dan sekaligus menampilkan Marx sendiri
pada akhirnya sebagai seorang structural functionalist. Peter M.
Worsley, misalnya, menyampaikan bahwa ia pernah bertemu
dengan seorang Profesor Sosiologi dari Leningrad di Rusia yang
berupaya keras meyakinkannya bahwa Marx merupakan seorang
structuralist-functionalist yang pertama di dalam ilmu-ilmu sosial.45
Raymond Firth juga pernah mengemukakan bahwa Godelier,
seorang antropolog Perancis, pernah menyatakan bahwa
“…the essence of the treatment of Capital is its perception
of structure in terms not of visible relationships but of their
hidden logic; hence Marx is clearly a forerunner of the
modern structuralist movement.”46
[… esensi dari ulasan Capital adalah persepsi akan struktur
bukan dalam terminologi relasi yang nampak kelihatan,
melainkan lebih dalam terminologi dari logika yang
tersembunyinya; Dengan demikian, Marx secara gamblang
adalah pencetus dari gerakan strukturalis modern.]

Celah penafsiran terhadap Marxisme seperti itu sangat


dimungkinkan, karena Engels dalam tahun-tahun terakhir
hidupnya memang mengembangkan teorinya ke arah fung-
sionalisme evolusionis, dan Marx-pun tidak pernah secara keras

45
Peter M. Worsley, Marxism and Culture: he Missing Concept, dalam
Dialectical Anthropology, 1981, 6(2), catatan kaki no. 9, hlm 120.
46
Raymond Firth, ‘heSceptical Anthropology? Social Anthropology
and Marxist View on Society’, dalam Maurice Bloch, editor, Marxist
Analyses and Social Anthropology, 1984, hlm. 46.
162 alam, Kebudayaan & yang IlahI

menentangnya. Meskipun demikian, pada saat Marx dan Engels


menulis karyanya Comunist Manifesto, di tempat mana mereka
menegaskan pernyataan bahwa sejarah masyarakat manusia adalah
sejarah pertarungan antar kelas, maka pernyataan itu berangkat
dari satu asumsi ilosois yang sangat jauh berbeda daripada apa
yang diasumsikan oleh fungsionalisme seperti yang dapat kita
temukan dalam Herbert Spencer dan A.R. Radclife-Brown.
Pertimbangan semacam itu menyertakan beberapa komplikasi
bagi teori yang bersifat vulgar tentang Marxisme. Ideologi borjuis
yang berkembang pada abad ke-18 menggambarkan bahwa kelas
borjuasi terbentuk dari tindakan individu yang terisolasikan dari
yang lain, yang semata-mata mengolah apa yang telah diberikan
oleh Tuhan kepada manusia, yakni alam, dan karena aktivitas
dari kerjanya maka apa yang dihasilkan mereka dari alam dapat
dianggap menjadi haknya dan dilepaskan dari kepemilikan
pihak lainnya, atau menjadi hak milik pribadi mereka—inilah
pendapat yang dapat kita temukan pada John Locke. Pandangan
Locke itu berbeda dengan pandangan para mercantilists di era
sebelumnya yang menganggap logam berharga, seperti emas dan
perak, sebagai sumber harta kekayaan, dan sekaligus berbeda juga
dengan para physiocrats, dengan François Quesnay sebagai tokoh
utamanya, yang memandang lahan tanah sebagai sumber dari
harta kekayaan.
Menurut Marx, hanya melalui para ahli ekonomi modern,
seperti Adam Smith, kerja (labour) diakui sebagai sumber dari
harta kekayaan, yang tidak lagi dikaitkan dengan sebuah elemen
khusus lain seperti logam berharga dan lahan tanah. Dalam
kerangka pikiran Adam Smith, semua harta kekayaan adalah
harta kekayaan industrial, dan industri sesungguhnya adalah
tenaga kerja dalam bentuk perkembangannya yang paling tinggi.
Jadi sangat berbeda dengan para mercantilist dan physiocrats
yang mendudukkan dan memperlakukan esensi harta kekayaan
berada di luar diri manusia, seperti pada logam berharga bagi
Tony Rudyansjah 163

mercantilist maupun pada lahan tanah bagi physiocrats, sehingga


para mercantilist dan physiocrats nampak di mata Marx sebagai
fetish worshippers yang menyembah hasil kreasi manusia sendiri
dan mengganggapnya sebagai sesuatu yang asing di luar dirinya.
Adam Smith disebut Marx sebagai ‘Luther dari disiplin
Ekonomi Politik, karena serupa dengan Protestanisme yang
menentang paganism Katolik dan mengembalikan agama
kepada diri manusia sendiri, maka Adam Smith menyerang dan
menghancurkan berbagai pengertian tipologi harta kekayaan yang
dianggap berasal dari luar diri manusia, lalu menginkorporasikan
kembali harta kekayaan ke dalam diri manusia sendiri.47 Sangat
erat berkaitan dengan ini adalah pendapat para ahli classical
political economy yang memandang bahwa kesejahteraan manusia
semakin berkembang ke arah yang lebih baik karena adanya
pembagian kerja yang menyebabkan bertambahnya juga eisiensi
dalam mengolah produksi. Senasib dengan Luther yang berhasil
membuat agama menjadi urusan batin diri manusia secara pribadi,
tetap saja Luther tidak berhasil menghapuskan institusi agama yang
bobrok dan menyebarkan berbagai delusi kepada kehidupan sosial
manusia, maka Adam Smith juga tidak berhasil menghapuskan
harta kekayaan pribadi. Adam Smith hanya berhasil menjadikan
harta kekayaan sebagai perkara di dalam diri manusia dalam
bentuk tenaga kerja. Pencapaian yang sudah dilakukan Smith
adalah meletakkan manusia di dalam bingkai harta kekayaan
pribadi, sehingga ia sudah mampu mengenali peranan tenaga
kerja yang bisa menjurus kepada proses dehumanisasi, karena di
dalam sistem kapitalisme manusia pada akhirnya dilihat semata-
mata hanya sebagai esensi dari harta kekayaan.
Classical political economy memang berhasil mengungkapkan
“kerangkeng” yang memenjarakan manusia akibat dari adanya harta
kekayaan pribadi, namun ia tetap menampilkan horor dari harta

47
Karl Marx, Early Writings, terjemahan T.B. Bottomore, 1963, hlm.
147-148.
164 alam, Kebudayaan & yang IlahI

kekayaan pribadi itu sebagai sesuatu keniscayaan alami kehidupan


modern manusia, sehingga mereka pada saat yang bersamaan
masih bisa mengungkap berbagai kebebasan, kemandirian dan
esensi kemanusiaan di dalam sistem kapitalisme. Namun alienasi
dalam kerangka pemikiran Marx dapat dikatakan terlekatkan
pada pembagian kerja, serta tak terpisahkan daripadanya, sehingga
menelurkan gugatan-gugatan dan komplikasi-komplikasi teoritis
cukup berat bagi pandangan dan ideologi borjuis seperti itu.
Dengan kata lain, Marx memutuskan pertaliannya dengan
classical political economy, dan mengambil-alih sebuah sudut
pandang yang sepenuhnya berasal dari kelas pekerja. Ketimbang
memberi justiikasi pada bentuk masyarakat sipil ataupun borjuis,
Marx bahkan menyerangnya, dan mengungkapkan karakter tidak
manusiawinya dengan cara melakukan analisis terhadap tiga
bentuk pendapatan dalam sistem kapitalisme yang sangat tidak
adil, yakni upah kerja yang sangat merugikan namun ditanggapi
sebagai sesuatu yang alami; keuntungan modal yang cenderung
menurun (falling rate of proit); dan penyewaan tanah. Namun
sebelum membahas dua hal utama dari tiga hal itu, yakni upah
kerja dan keuntungan modal yang semakin menurun, mari kita
lihat dulu perkara alienasi secara lebih dalam.
Dalam kerangka pemikiran Marx, alienasi adalah sebuah proses
di mana manusia memproyeksikan satu kekuasaan (power) yang
berada pada suatu yang sesungguhnya merupakan hasil ciptaannya
sendiri, dan lalu menganggap kreasinya itu sebagai suatu benda
yang berada di luar dirinya. Awal dari alienasi dimulai dengan
lahirnya harta pribadi (private property) yang muncul akibat adanya
pembagian kerja. Dalam analisis inalnya Marx, private property
tidak lain adalah alienated labour. Dengan mendeinisikan alienasi
seperti itu, Marx berhasil melakukan dua hal utama. Pertama, ia
berhasil mentransformasikan alienasi dari suatu kualitas individu
dan mengubahnya menjadi suatu fakta sosial. Dan kedua, ia juga
mentransformasi property menjadi suatu fenomena yang jauh
Tony Rudyansjah 165

lebih kompleks dan komprehensif daripada apa yang dilakukan


oleh vulgar Marxists, dan sekaligus memperlakukan property tidak
hanya sebagai objek, melainkan, dan ini yang lebih penting,
mengkaitkannya dengan aktivitas manusia.
Berkenaan dengan asal usul kekayaan (property) terdapat
satu konsep penting dalam berbagai penafsiran yang dilakukan
orang terhadap Marxisme, yakni labour theory of value—sebuah
konsep yang sesungguhnya tidak berasal dari Marx, melainkan
lebih sebagai satu kategori political economy dari Adam Smith,
yang menganggap bahwa kerja adalah sesuatu yang memberikan
nilai pada satu objek. Konsep labour theory of value itu dalam
kenyataan sesungguhnya merupakan sebuah konsep yang tidak
terlalu diminati Marx sendiri.
Labour theory of value merupakan sebuah “currency” yang
sangat populer dalam konsepsi pemikiran orang pada permulaan
abad ke-19, dan dalam satu pertemuan para anggota Communist
League di London pada bulan November 1847, yang kebetulan
juga dihadiri oleh Marx, dicetuskan sebuah resolusi bahwa kerja
(labour) adalah sumber dari segala harta kekayaan (property).
Tanpa adanya pelayanan yang diberikan oleh tenaga kerja tidak
mungkin akan muncul kekayaan yang dihasilkan dan akumulasi
dari harta kekayaan, sehingga hasil akhir dari setiap peraturan
legislasi haruslah menjamin hak yang ada dari pekerja terhadap
setiap harta kekayaan yang sesungguhnya mengandung juga hasil
jerih payah para pekerja.
Jadi Marx sesungguhnya tidak menemukan atau menciptakan
gagasan tentang keterkaitan antara harta kekayaan dan kerja,
karena perkara itu sudah merupakan currency pemikiran akal
sehat orang biasa pada saat itu—sebuah pertanda dari kuatnya
pengaruh pemikiran Adam Smith di Eropa kala itu. Hal yang
lebih menarik bagi Marx adalah perkara alienasi manusia.
Meskipun alienasi merupakan sebuah konsep yang tidak
terlalu berarti bagi para pekerja saat itu, dan Marx sendiri
166 alam, Kebudayaan & yang IlahI

baru berusia 20 tahun kala itu, namun konsep alienasi yang


dikembangkan Marx merupakan sebuah modiikasi penting
bagi a simple materialist labour theory of value, dan ini tercermin
dalam dua hal berikut. Pertama, Marx memiliki sebuah
pandangan yang sangat jelas bahwa manusia dan kehidupannya
merupakan gattungswesen dan gattungsleben. Sepasang konsep
itu sesungguhnya berasal dari Feuerbach,48 dan digunakan Marx
untuk mengacu pada pengertian manusia yang sadar bahwa
dirinya sebagai bagian dari satu jenis (species) yang sama dengan
makhluk manusia lainnya. Oleh karena itu Gattungswesen dalam
edisi terjemahan dalam bahasa Inggris sering diterjemahkan
sebagai species being, generic being atau social being. Kehidupan
manusia yang didasarkan pada kesadaran sebagai species being
disebut dengan istilah gattungsleben, dan inilah saat di mana
manusia tidak merasa terasing dengan dirinya sendiri, sesamanya,
dan dunia di sekelilingnya.
Jadi, dengan kata lain sepasang konsep ini digunakan
Marx dalam arti sebagai sebuah kondisi di mana manusia tidak
mengalami alienasi. Jadi beranggapan bahwa manusia tidak
mengalami alienasi merupakan satu perkara bagi Marx, dan
mengembangkan sebuah konsep tentang alienasi merupakan
sebuah perkara yang lain lagi. Bagi Marx, manusia pada dasarnya
adalah social being dan keberadaan dari situasi mahluk manusia
seperti itu akan terwujud dalam bentuknya yang paling inal
dalam masyarakat komunis di mana harta pribadi, pembagian
kerja dan alienasi diri akan sepenuhnya tersinggirkan dari
kehidupan manusia, yang dianggap Marx merupakan kembalinya
manusia secara sadar kepada dirinya sendiri, yang sesungguhnya
adalah social being. Gagasan penting yang dibangun Marx adalah
bahwa diperlukan sebuah proses perkembangan dari masyarakat
komunis primitif, melalui alienasi dan perkembangan harta

48
Robert C. Tucker, he Marx-Engels Reader, 1978, hlm. 33, catatan
kaki nomor 1.
Tony Rudyansjah 167

kekayaan pribadi, menuju kepada masyarakat komunis paska


kapitalis di mana alienasi akan hilang, yang kesemuanya dapat
dianggap merupakan sebuah proses transformasi menuju kepada
ranah kebebasan sosial dan individual manusia. Dan Marx
mengingatkan bahwa kelas merupakan sebuah kekuatan sentral
yang dinamis dalam proses itu. Diskusi mengenai alienasi akan
kita bahas lebih mendalam di akhir bab ini.
Tahun 1848 merupakan tahun yang sangat menyibukkan
Marx, karena setahun sebelumnya, yakni 1847, Eropa dilanda
depresi ekonomi yang sangat mendalam. Depresi ekonomi Eropa
itu dipicu oleh krisis besar akibat terjadinya kelaparan di seluruh
pelosok Eropa berkaitan dengan gagalnya panen gandum dan
kentang di seluruh Eropa pada akhir tahun 1847. Meskipun ada
beberapa faktor penting lainnya yang turut bermain, keruntuhan
ekonomi Eropa merupakan satu alasan utama kenapa Eropa
dalam periode tahun 1848 sampai dengan tahun 1851 ditandai
dengan berbagai gejolak revolusioner yang terjadi dari Austria dan
Jerman sampai ke Perancis dan Italia.
Dalam kondisi seperti itu, Marx memainkan peranan penting
sebagai salah seorang pemimpin dalam Comunist League yang
memiliki anggota-anggota yang cukup radikal dalam menggalang
gerakan-gerakan revolusi di beberapa kota besar di Eropa. Marx
dan Engels sebagai intelektual radikal dari Communist League
menantikan bahwa revolusi akan terjadi pada tahun 1848, dan
revolusi 1848 itu diramalkan mereka akan menghilangkan kelas
borjuis dan menghapuskan harta pemilikan pribadi. Serupa dengan
168 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Revolusi Perancis tahun 1830,49 yang berhasil menghancurkan


kelas bangsawan (aristocrat) dan menggantikan masyarakat feudal
dengan masyarakat kapitalis, maka Marx memprediksi bahwa
revolusi 1848 akan berhasil menghilangkan kelas borjuis dan
kepemilikan pribadi atas modal, sekaligus menggantikannya
dengan satu masyarakat komunis—satu masyarakat tanpa kelas
yang dicirikan dengan kepemilikan bersama atas modal/kapital.
Dalam kaitan dengan antisipasi datangnya revolusi di tahun
1884, yang diramalkan Marx dan Engels akan menggantikan
masyarakat kapitalis dengan masyarakat komunis, Marx menulis
sebuah pamlet yang kemudian terkenal sebagai Communist
Manifesto. Pamlet itu diselesaikan Marx di Brussel pada tanggal
1 Februari 1848, pada hari batas waktu di mana ia harus
menuntaskan dan menyerahkan tulisannya kepada Komite Liga
Komunis di London untuk diterbitkan pada akhir bulan Febuari
itu juga di kota London.
Pamlet itu ditulis Marx untuk publik dalam rangka
menegaskan peranan yang dimainkan Communist League dalam
revolusi tahun 1848. Secara lebih tepat, he Communist Manifesto
terdiri dari 2 bagian utama: (1) penjelasan tentang bagaimana
masyarakat manusia telah berkembang dan bagaimana ia akan
berkembang di masa depan; (2) Penjelasan tentang siapa komunis
itu dan peranan apa yang harus mereka mainkan di dalam
perkembangan masyarakat manusia. Ketika gegap gempitanya
gejolak-gejolak revolusioner dan panasnya aktivitas di Eropa pada

49
Di penghujung abad ke-18 dan permulaan abad ke-19, beberapa
gejolak dengan dampak yang besar melanda Eropa. Jatuhnya istana
Bastille pada tanggal 14 Juli 1789 mengakhiri masa monarki absolut,
dan tanggal 10 Agustus 1792 menandai berakhirnya monarki
konstitusional di Perancis. Selanjutnya Revolusi Perancis tahun 1830
berhasil menghancurkan kelas aristokrat dan sistem masyarakat
feodalisme, dan menggantikannya dengan kelas borjuis dan sistem
masyarakat kapitalis. Sedangkan Reform Bill tahun 1832 di Inggris
menandai kemenangan kelas menengah atas kelas dengan hak
istimewa dari para aristokasi Inggris.
Tony Rudyansjah 169

tahun 1848 itu berakhir dengan sebuah “babak penutup sunyi”


dari sebuah kegagalan revolusi tanpa perubahan sosial apapun
dalam masyarakat, hal itu tentu saja merupakan sebuah pukulan
telak bagi Marx. Tulisan-tulisan politik dan jurnalistik Marx
setelah tahun 1848 memperlihatkan bagaimana ia berusaha keras
menjelaskan kegagalan revolusi tahun 1848 itu.50
Terlepas dari prediksi yang dikemukakan Marx, he
Communist Manifesto telah menampilkan penjelasan mengenai
kemunculan dari kapitalisme, suatu penjelasan yang juga diberikan
Marx dalam bentuk yang lebih canggih dalam he German
Ideology. Klasiikasi tentang perkembangan sejarah masyarakat
manusia yang diajukan Marx dalam he Communist Manifesto
sangat sederhana. Marx memulai dengan masyarakat tribal (tribal
society), yang dianggap merupakan perluasan dari keluarga,
yang kemudian diikuti oleh masyarakat komunal kuno (ancient
communal society) dan state ownership yang mengkombinasikan
beberapa sukubangsa (tribe) menjadi kota, seperti kota Yunani
dan Roma, lalu masyarakat feudal, masyarakat borjuis, masyarakat
kapitalis dan akhirnya masyarakat komunis. Dalam fase pemikiran
berikutnya, Marx memasukkan kategori Asiatic society atau
Oriental society sebagai perkembangan khusus dari masyarakat
tribal sebagaimana ditemukan di Asia, seperti China dan India.
Marx menganggap bahwa gerakan masyarakat kapitalis bersifat
progresif. Dengan kata lain, sejarah memperlihatkan bahwa
masyarakat kapitalis akan berkembang sampai titik puncaknya,
dan kemudian digantikan oleh masyarakat komunis.
Berdasarkan pada kerangka perkembangan masyarakat
manusia seperti itu, dapatkah kita melihat Marx sebagai seorang
evolusionis? Jawaban atas pertanyaan itu, bisa airmatif dan bisa
juga tidak. Marx memang sangat terkesan akan tulisan Charles
Darwin he Origin of Species. Jilid pertama dari buku Marx dengan

50
Lihat karya-karya Karl Marx dengan judul he Class Struggles in
France dan he Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte.
170 alam, Kebudayaan & yang IlahI

judul Capital memperlihatkan banyak sekali pengaruh Darwin.


Marx, bahkan, pernah berusaha untuk mendedikasikan bukunya
Capital kepada Charles Darwin.51 Namun Darwin, yang sudah
memperoleh banyak kritikan dan sekaligus masalah dari berbagai
kalangan politikus dan gereja, karena kontroversi yang ditimbulkan
bukunya he Origin of Species, tidak lagi mau mendapatkan
tambahan beban masalah dan menolak permohonan Marx.
Dokumen Capital dibiarkan Darwin tergeletak rapi di atas meja
kerjanya tanpa pernah dibuka dari bungkusannya, sebagai tanda
tak pernah dibaca oleh Darwin sendiri sampai akhir hayatnya.
Kendati Marx berpendapat bahwa he Origin of Species-
nya Darwin penting untuk memahami biologi, sebagaimana
karyanya sendiri Capital merupakan satu karya yang penting
untuk memahami masyarakat, Marx tetap sadar bahwa teori dari
Darwin itu masih merupakan, dalam pengertian tertentu, satu
proyeksi dari kategori masyarakat kapitalis ke dalam alam dunia.
Marx tidak melihat he Origin of Species sebagai sebuah studi yang
sepenuhnya objektif terhadap alam dunia. Pada tahun 1862, ia
menulis surat kepada Engels dan mengutarakan bahwa:
“It is remarkable how Darwin recognizes among beasts
and plants his English society with its division of labor,
competition, opening up of new markets, “inventions,”
and the Malthusian “struggle for existence.” It is Hobbes’s
“bellum omnium contra omnes,” and one is reminded of
Hegel’s Phenomenology, where civil society is decribed as a
“spiritual animal kingdom,” while in Darwin the animal
kingdom igures as civil society.”52
[Sangatlah mengagumkan bahwa dengan melihat berbagai
satwa liar dan tanaman, Darwin dapat mengenalinya sebagai
perwujudan dari masyarakat Inggrisnya dengan berbagai
pembagian kerja, kompetisi, dan pembukaan pasar-pasar
baru, “penemuan-penemuan baru” dan “struggle for

51
Maurice Bloch, Marxism and Anthropology, 1985, hlm. 5.
52
Dikutip dari Alfred Schmidt, he Concept of nature in Marx, 1971,
hlm. 46.
Tony Rudyansjah 171

existence” Malthus. Itu merupakan “bellum omnium


contra omnes”-nya Hobbes, dan seseorang diingatkan
akan fenomenologinya Hegel, di mana masyarakat sipil
digambarkan sebagai “kerajaan makhluk binatang yang
bersifat sangat spiritual”, sedangkan dalam Darwin,
kerajaan binatang digambarkan sebagai masyarakat sipil.]

Menurut Marx, kategori dari masyarakat borjuis modern


memunculkan diri ke permukaan dengan cukup jelas di dalam
konsep Darwin the struggle of existence.
Sebagaimana kita telah sebutkan di atas, penafsiran Marxis
terhadap masyarakat non-Eropa tidak terlalu menarik dan
mengesankan, dan klasiikasi yang ditawarkan Marx untuk
menganalisis masyarakat non Eropa itu masih sangat sederhana.
Lepas dari kekurangan seperti itu, cara terbaik untuk menilai
hakekat dari teori Marxis tentang perkembangan sosial dan
historis dari masyarakat, menurut hemat saya, adalah dengan cara
mencermati bagaimana Marx menganalisis masyarakat modern
kapitalis di Eropa, dan sekaligus memperhatikan bagaimana Marx
mengangkat isu tentang peranan dari perkembangan teknologi
terhadap masyarakat Eropa—satu hal penting bagi antropologi
dan arkeologi, karena teori ‘technological determination’
memainkan peranan vital di dalam kedua disiplin ini. Melalui
cara itu, kita dapat lebih mudah memahami Marx bukanlah
seorang evolusionis seperti dalam pengertian Herbert Spencer.
Apabila kita cermati isi dari jilid pertama Capital, maka kita
dapat memahami bahwa proses perkembangan masyarakat Eropa
dari masyarakat feudal menuju ke masyakat kapitalis tidaklah
sesederhana seperti yang dibayangkan oleh para penganut vulgar
Marxist version of historical materialism. Kemunculan masyarakat
kapitalis dari masyarakat feudal dan prakapitalis, bukanlah
disebabkan oleh pengenalan teknologi baru dalam masyarakat
Eropa, melainkan lebih disebabkan oleh perubahan yang terjadi
dalam pengorganisasiaan produksi (changing in the organization
of production) yang meliputi hal-hal seperti komoditas, modal,
172 alam, Kebudayaan & yang IlahI

uang dan inilah yang menjadi faktor kunci utama dalam proses
perubahan masyarakat Eropa itu. Jilid pertama dari Capital sangat
penting dan relevan buat disiplin antropologi, bukan karena ia
mengimplementasikan prinsip-prinsip dari vulgar Marxist version
of historical materialism, sebagaimana saya telah gambarkan garis
besarnya,53 melainkan lebih pada pelajaran yang harus dipetik
darinya tentang bagaimana sebuah analisis yang baik mengenai
satu proses perubahan sosial, seperti yang terjadi di Eropa, harus
dilaksanakan.
Jilid pertama dari Capital dimulai dengan sebuah diskusi
mengenai komoditas dan uang, dan analisis ini berisi berbagai
ciri-ciri teoritis penting mengenai bagaimana satu analisis tentang
masyarakat kapitalis seharusnya dilakukan. Komoditas, menurut
Marx, adalah satu benda atau objek yang dengan segi-segi yang
dimilikinya akan memuaskan atau memenuhi keinginan manusia
(human wants). Dibandingkan dengan bentuk masyarakat yang
mendahuluinya, masyarakat kapitalis, dengan satu kekhususan
modus produksi (mode of production) yang dimilikinya,
memungkinkannya untuk menampilkan dirinya secara mencolok
sebagai sebuah pengakumulasian besar-besaran dari komoditas.
Hal ini kedengarannya sangat sederhana dan biasa, namun
sesungguhnya merupakan satu hal yang sangat rumit dan
kompleks. Dalam masyarakat kapitalis, komoditas memiliki dua
sisi: (1) di satu sisi, ia merupakan objek yang memiliki nilai guna
(use-value), karena ia dinilai berguna dan (2) di sisi lain, ia memiliki
juga nilai di dalam pertukaran, sehingga ia memiliki nilai tukar
(exchange-value). Ini memang merupakan sebuah pembedaan
yang penting dan mendasar dalam pandangan ekonomi politik
klasik. Selain itu, Marx juga sependapat dengan Adam Smith
dan David Ricardo yang menyatakan bahwa nilai satu komoditas
setara jumlah kerja yang dicurahkan untuk menghasilkan objek
dari komoditas itu. Dengan cara pandang seperti itu, maka

53
Lihat halaman 159-162 buku ini.
Tony Rudyansjah 173

nilai setiap komoditas dimungkinkan memiliki alat ukur karena


adanya kerja (labour) yang dapat dianggap merupakan sumber
dari segala nilai dan sekaligus sebagai alat ukur universal dari
semua nilai. Marx menyetujui pandangan ekonomi politik klasik
itu, namun memodiikasinya sedikit dengan cara memasukkan
elemen alienasi di dalamnya.
Dalam konteks itu, alienasi mesti dipahami setidak-tidaknya
dalam dua cara. Pertama, dalam masyarakat sebelum masyarakat
kapitalis, objek senantiasa dihasilkan manusia untuk digunakan
secara langsung, dan terdapat relasi yang padu dan unik antara
si pembuat (producer) dengan objek yang dihasilkannya.
Karakteristik dari masyarakat kapitalis terletak pada adanya
karakteristik baru yang terdapat pada komoditas, yakni komoditas
memiliki tidak hanya nilai guna, melainkan juga, dan ini yang
menjadi lebih penting, nilai tukar, dan ini dimungkinkan muncul
karena komoditas itu kemudian dipisahkan dan diasingkan
dari si pembuatnya (the producer). Dalam masyarakat kapitalis,
tindakan manusia, disatu sisi, berhenti sebagai satu keterlibatan
yang sepenuhnya bersifat subjektif dengan objek dari tindakan
manusia itu, dan, di sisi lain, tindakan manusia diubah menjadi
semata-mata bersifat utilitarian dan instrumental.
Dalam masyarakat borjuis, sebagaimana ditampilkan dalam
pandangan homas R. Malthus, James Mill, dan Jeremy Bentham,
semua relasi sosial menjadi relasi yang semata-mata bertumpu
pada azas manfaat (utility)—menjadi semata-mata satu abstraksi
yang dijauhkan dari hakekat sebenarnya dari interaksi manusia,
dan diproyeksikan kembali kepada dirinya, agar supaya dapat
dijelaskan, sebagai sesuatu yang sepenuhnya bersifat rasional dan
instrumental. Subjektivitas, dengan demikian, diasingkan dari
tatanan sosial yang deterministik, dan berjalan berdasarkan hal
lain yang memiliki gerak dan kaidahnya tersendiri. Pendapat
Marx ini sangat tepat untuk menggambarkan masyarakat
borjuis kapitalis, karena ia mengambil teori yang berasal dari
174 alam, Kebudayaan & yang IlahI

kategori masyarakat borjuis itu sendiri (baca: dari kategori yang


berasal dari ekonomi politik klasik, seperti Smith dan Ricardo),
dan secara memadai menggunakannya untuk menganilisis
dan menjelaskan masyarakat borjuis itu sendiri. Setiap pelaku
dalam masyarakat borjuis kapitalis, baik yang mengeksploitasi
maupun yang dieksploitasi, berperilaku sebagaimana yang
mereka lakukan, karena mereka tidak memiliki pilihan lainnya
dan harus berperilaku secara demikian. Alienasi dari perasaan
subjektif hanya dapat dilenyapkan ketika sebuah kekuatan
sosial melakukan sebuah revolusi di tempat mana manusia akan
memperoleh kembali kebebasannya.
Namun dalam buku Capital itu ada hal yang lebih luas
daripada hanya isu di atas. Capital membahas juga pertanyaan
mengenai mekanisme yang sesungguhnya dari perkembangan
kapitalisme. Setiap objek yang dimaksudkan untuk pertukaran
(komoditas), memiliki nilai yang berasal dari kerja yang
dicurahkan untuk menghasilkan objek itu. Melalui cara seperti
itu, berbagai objek yang berbeda bisa dihasilkan, namun
terdapat satu pengecualian dari kaidah umum ini. Pengecualian
ini berkaitan dengan kenyataan bahwa kerja itu sendiri dalam
prosesnya kemudian menjelma menjadi komoditas, sehingga
ketika para pengusaha (employers) membeli dan mendapatkan
kerja (labour) di pasar bebas, mereka memperoleh nilai yang
lebih besar daripada nilai yang dibelanjakannya, karena apa yang
sesungguhnya mereka beli bukanlah kerja (labour), melainkan
tenaga kerja (labour power). Kerja yang sesungguhnya sangat
bermacam-macam dengan berbagai keunikan dan kekhususan
pribadinya masing-masing, namun yang menarik ketika kerja
masuk ke dalam pasar, maka kerja harus diabstraksikan dan
disingkirkan dari keunikannya dan kekhususan pribadinya
masing-masing yang sesungguhnya, dan dijadikan kerja yang
abstrak dan homogen sebagai suatu komoditas yang bisa
dipertukarkan, sehingga yang dibeli pengusaha di pasar bukanlah
Tony Rudyansjah 175

berapa jam dari seorang pembuat sepatu atau berapa jam dari
seorang pembuat keju, melainkan satuan tenaga kerja (unit of
labour). Jadi yang didapatkan seorang pengusaha adalah tenaga
kerja (labour power) yang memiliki nilai guna (use-value) yang
dapat pada gilirannya menghasilkan nilai tukar (exchange-value)
yang lebih besar daripada nilai yang dibayar oleh si pengusaha
itu.54
Yang menarik dari konteks itu adalah bahwa proses yang aktual
dari produksi itu sendiri sesungguhnya tidak harus berbeda antara
apa yang terjadi dalam masyarakat kapitalis dengan masyarakat
sebelum kapitalis. Sebagai ilustrasi yang baik untuk perihal itu
adalah proses aktual dari produksi yang terjadi pada alat pemintalan
benang, di mana di satu tahap masyarakat (baca: masyarakat
sebelum kapitalis) kita menemukan orang memintal benang dan
di tahap masyarakat berikutnya (baca: masyarakat kapitalis) kita
tetap melihat orang memintal benang. Dengan kata lain, tidak ada
sesuatu yang berubah dalam proses produksi antara masyarakat
kapitalis dengan masyarakat sebelum kapitalis, karena yang kita
lihat adalah orang melakukan hal yang sama. Yang sesungguhnya
berubah adalah spirit pembuatan katun itu telah berubah menjadi
sebuah spirit produksi komoditas, karena relasi di mana produksi
itu dilangsungkan telah berubah, dan bukannya teknologinya
itu sendiri. Dengan demikian, eksploitasi, dalam pikiran Marx,
mendapatkan parameter dan ekspresi yang sesungguhnya dalam
bentuk pengambilan nilai lebih (surplus value) yang diberikan oleh
kerja, dan hal ini mungkin terjadi karena adanya pergeseran spirit
dalam proses produksi yang dilakukan manusia.
Dengan demikian, kapitalisme tidak hanya berkenaan dengan
tahap perkembangan teknologi, melainkan lebih berkenaan dengan
cara bagaimana masyarakat dikelola dan diatur, atau, dengan kata

54
Pembahasan tentang pokok permasalahan ini dapat juga ditemukan
dalam tulisan liannya, yakni Karl Marx, Grundrisse, 1973, hlm. 267,
272, 282, 293.
176 alam, Kebudayaan & yang IlahI

lain, modus produksi (mode of production). Marx menggunakan


istilah fetishism of commodity untuk mendeskripsikan proses
misterius bagaimana objek biasa yang tadinya hanya memiliki
nilai guna menjadi satu komoditas.
“he mysterious character of the commodity-form consists
therefore simply in the fact that the commodity relects
the social characteristics of men’s own labour as objective
characteristics of the products of labour themselves, as
the socio-natural properties of these things. Hence it also
relects the social relation of the producers to the sum total
of labour as a social relation between objects, a relation
which exists apart from and outside the producers. …the
commodity-form, and the value-relation of the products of
labor within which it appears, have absolutely no connection
with the physical nature of the commodity and the material
(dinglich) relations arising out of this. It is nothing but
the deinite social relation between men themselves which
assumes here, for them, the fantastic form of a relation
between things. In order, therefore, to ind an anology we
must take light into the misty realm of religion. here
the products of the human brain appear as autonomous
igures endowed with a life of their own, which enter into
relations both with each other and with the human race. …
So it is in the world of commodities with the products of
men’s hands. …this fetishism of the world of commodities
arises from the peculiar social character of the labour which
produces them.”(susunan paragraph diubah)55
[Karakter misterius bentuk komoditas semata-mata terdapat
pada kenyataan bahwa komoditas itu mereleksikan karakter
sosial tenaga kerja manusia sebagai karakter objektif dari
produk tenaga kerja itu sendiri, sebagai ciri sosial-alami dari
benda itu sendiri. Dengan demikian, ia mereleksikan relasi
penciptanya dengan keseluruhan total tenaga kerja sebagai
sebuah relasi antar barang, sebuah relasi yang berada
di luar dan terpisah dari para penciptanya. … bentuk
komoditas, dan relasi makna produk kerja di tempat mana
ia menampakkan dirinya, tidak memiliki pertalian dengan
hakekat isik dan relasi materiil yang muncul darinya. Ia

55
Karl Marx, Capital Volume 1, 1982, hlm. 164-165.
Tony Rudyansjah 177

bukanlah apa-apa selain relasi sosial antar manusia itu


sendiri, yang di sini terandaikan dihadapan mata manusia
sebagai bentuk fantastik dari sebuah relasi antar barang.
Dalam rangka menemukan sebuah analoginya maka kita
mesti menjelajah ke dalam ranah agama yang penuh kabut.
Di sanalah hasil pikiran otak manusia nampak sebagai
satu igur mandiri yang memiliki kehidupannya sendiri,
dan sekaligus merasuk baik ke dalam relasi antara igur itu
dengan igur lainnya, maupun ke dalam relasi antara igur
itu dengan ras manusia. … Begitulah yang terjadi di dalam
dunia komoditas dengan produk hasil tangan manusia. …
fetisisme dunia komoditas ini muncul dari karakter khusus
dan sosial tenaga kerja yang menghasilkannya.]

Sebagaimana saya telah sampaikan sebelumnya, dalam teori


yang sangat deterministik mengenai revolusi seperti itu, sangatlah
fundamental sifatnya bahwa tanpa adanya mediasi dalam bentuk
apapun semua pelaku yang terlibat dalam masyarakat kapitalis itu
memainkan peranannya masing-masing dalam menyumbangkan
terjadinya revolusi. Atau, dengan kata lain, sistem kapitalisme itu
sendirilah yang menggiring kepada munculnya revolusi itu yang
berjalan dengan sendirinya sesuai dengan kaidahnya tersendiri.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana hal itu bisa
terjadi, dan untuk bisa menjawab pertanyaan itu, kita harus
mendiskusikan teori tentang siklus dagang (trade cycle) dan falling
rate of proit. Secara garis besar, berjalannya sistem tersebut dapat
kita uraikan sebagai berikut. Dalam situasi pada masyarakat
borjuis kapitalis terdapat para produsen sebagai pemilik modal
yang menghasilkan barang-barang, dan pada satu tingkat tertentu
timbul jumlah permintaan yang besar terhadap barang. Manakala
itu terjadi, maka timbullah permintaan yang besar terhadap tenaga
kerja, sehingga sebagai akibatnya akan terdapat juga semakin
banyak orang yang mendapatkan pekerjaan. Sebagai akibat dari
semakin banyaknya orang yang mendapatkan pekerjaan, maka
kesejahteraan semakin banyak orang juga semakin meningkat,
yang pada gilirannya menimbulkan pengkonsentrasiaan para
178 alam, Kebudayaan & yang IlahI

pekerja yang kemudian memilih tinggal di kota.


Akibat dari peningkatan kesejahteraan orang banyak itu,
terjadi juga peningkatan permintaan terhadap barang-barang
yang harus tersedia di pasar bebas. Dan sebagai akibat adanya
permintaan yang semakin besar, maka para produsen menghasilkan
barang dalam jumlah yang semakin besar lagi, sehingga persediaan
barang di pasar menjadi berlebih, dan pasar kemudian mengalami
kejenuhan, sehingga keuntungan dari barang-barang yang dijual
ke pasar kemudian mengalami penurunan. Pada saat itu terjadi,
maka kompetisi antar para produsen menjadi semakin ketat, dan
mereka pada gilirannya dipaksa berusaha sekuat mungkin untuk
mendapatkan cara berproduksi seefesien dan seintensif mungkin.
Cara-cara yang bisa ditempuh para produsen adalah dengan cara
memperpanjang waktu kerja bagi para buruhnya; membuat koperasi
di mana berbagai pekerja yang tadinya mandiri dan terpisah-pisah
dimungkinkan bekerja di bawah satu atap sehingga proses produksi
dapat lebih mudah dikontrol secara lebih ketat; dan pengenalan
pembagian kerja dengan kontrol dan otoritas yang hirarkis sifatnya.
Pada tahap adanya kompetisi yang semakin keras antara para
produsen, maka akan timbul situasi di mana hanya produsen
yang paling eisien yang bertahan hidup, sebaliknya produsen
yang tidak dan kurang eisien dengan sendirinya akan bangrut
dan tersingkirkan. Sedangkan yang paling eisien adalah para
produsen yang menginvestasikan secara progresif kapitalnya
lebih kepada mesin-mesin produksi daripada kepada tenaga
kerja. Akibat dari hal ini, maka akan terjadi konsentrasi kapital
yang semakin besar di satu pihak pada sejumlah pemilik modal
yang makin lama makin sedikit dengan tersingkirnya para
produsen yang tidak eisien dari gelanggang kompetisi. Dan
kapitalis yang paling eisien adalah mereka-mereka yang lebih
banyak menginvestasikan kapitalnya pada mesin-mesin, dan
ini pada akhirnya mengakibatkan terjadinya penurunan dalam
keuntungan, karena, di satu sisi, keuntungan pada hakekatnya
Tony Rudyansjah 179

lebih mudah diperoleh dari eksploitasi tenaga kerja, dan, di sisi


lain, tindakan para produsen menginvestasikan modalnya pada
mesin menyebabkan mereka terperangkap ke dalam situasi di
mana mereka harus secara terus menerus menginvestasikan
semakin banyak modalnya pada mesin-mesin tersebut—satu
kaidah yang disebut Marx dengan istilah ‘law of the progressive
increase in constant capital’56, yang mengakibatkan penurunan
pada tingkat keuntungan yang bisa diperoleh si produsennya.
Penurunan keuntungan ini mengakibatkan adanya sema-
kin banyak pengurangan dan pemecatan para pekerja, yang
menyebabkan semakin besarnya jumlah ‘industrial reserve army’
yang tidak hanya bisa berfungsi sebagai ‘back-up’ untuk mengisi
kebutuhan yang secara drastis bersifat naik turun dari tenaga kerja
di sektor industri, melainkan juga sebagai cadangan tenaga kerja
yang bisa dipekerjakan dengan upah yang sangat murah. Hukum
besi dari perkembangan kapitalisme—di mana baik pihak yang
mengeksploitasi maupun pihak yang dieksploitasi (baca: para
kapitalis dan para pekerja) suka atau tidak suka harus berperilaku
sebagaimana mereka harus berperilaku tanpa ada pilihan lain—
menyebabkan pada satu titik tertentu dinamika masyarakat borjuis
kapitalis menimbulkan sebuah kondisi kehidupan yang sangat
menyengsarakan para proletariatnya ke tingkat yang demikian
sulit dan berat, sehingga para proletaris itu kemudian semakin
memiliki kesadaran akan posisi dan kondisi buruk kehidupan
bersama mereka yang difasilitasi oleh adanya komunikasi yang
semakin intensif di antara mereka karena adanya konsentrasi
pemukiman mereka di wilayah yang sama, yakni daerah terkumuh
di kota-kota industri, dan semua ini pada akhirnya berujung pada
sebuah kebangkitan dalam diri mereka untuk melakukan sebuah
revolusi sosial dalam masyarakatnya.
Cukup kiranya kita memahami secara garis besar bagaimana

56
Karl Marx, Capital Volume 1, hlm. 480.
180 alam, Kebudayaan & yang IlahI

teori dinamik tentang masyarakat kapitalis itu diuraikan Marx.


Sekarang yang lebih perlu kita cermati adalah persoalan apakah
peranan ideologi dalam teori Marx, dan sekaligus berupaya
memahami bahwa apa yang dikembangkan Karl Marx pada
hakekatnya bukanlah sebuah natural science of society sebagaimana
digambarkan oleh pengikut vulgar Marxist, dan bukan juga sebuah
teori utilitarian tentang manusia sebagaimana ditafsirkan oleh
Marshal Sahlins dan Jefrey C. Alexander. Untuk memahami itu
semua, maka kita mau tidak mau harus mendiskusikan bagaimana
hakekat dari manusia digambarkan Marx dalam teorinya.

Ideologi dan Hakekat Manusia


Pokok persoalan utama yang mau secara cermat kita bahas
di sini adalah konsepsi Marx mengenai hakekat manusia, peranan
ideologi sebagai satu kekuatan untuk transformasi sosial, dan
sekaligus memahami bagaimana konsep ideologi dalam kerangka
pemikiran Marx mengalami beberapa pergeseran pengertian,
yang gaungnya mengandung relevansi dan dampak yang cukup
penting bagi antropologi komtemporer. Dua pertanyaan penting
yang saya mau ajukan berkenaan dengan pokok pembahasan ini
adalah: (1) apakah Marx dalam karyanya yang lebih materialistik
(baca: Capital) mengalami sebuah pergeseran dan pemutusan
dengan pemikirannya yang lebih awal; dan (2) apakah dalam tahap
yang lebih akhir ini, Marx mengembangkan sebuah teori di mana
subjektivitas disingkirkan dari kerangka konsepsi materialisme
historisnya.
Dalam bukunya he Antinomis of Classical hought: Marx
and Durkheim, Jefrey C. Alexander mengatakan bahwa
“Despite his utopian explorations and his critical description
of capitalism’s moral bankruptcy, Marx has not developed a
theory that transcends the limitations of utilitarian thought.
Tony Rudyansjah 181

He has described the broader human ramiications of the


laws of capitalism but not denied in any way their causal
eicacy.”57
[terlepas dari eksplorasi utopis dan deskripsi kritisnya
terhadap kebankrutan moral kapitalisme, Marx tidak
mengembangkan sebuah teori yang mampu melampui
sekat-sekat dari pemikiran utilitarian. Ia memang telah
menggambarkan berbagai percabangan dan persimpangan
arah kemanusian yang cukup luas dari hukum-hukum
kapitalisme, namun ia pada akhirnya sama sekali tidak
menyangkal efektivitas kausal dari hukum-hukum
kapitalisme tersebut.]

Mengikuti argumentasi yang disampaikan Alexander dalam


buku itu, Marx digambarkan sama sekali tidak memberikan
sebuah landasan teoritis apapun yang dapat berfungsi sebagai
jalan tengah yang mampu menjembatani kekangan (coercions)
yang merupakan hambatan total bagi tindakan manusia yang
berasal dari kondisi-kondisi di luar diri manusia, di satu sisi, dan,
di sisi lain, kebebasan, yang dalam teori Marx dideinisikan tidak
lebih daripada ketiadaan menyeluruh dari kekangan terhadap
tindakan manusia. Dengan kata lain, menurut Alexander, Marx,
dalam teori yang dikembangkannya, menolak memberikan ruang
bagi elemen apapun selain elemen-elemen penentu tindakan
manusia yang berasal dari kekangan-kekangan eksternal hukum
besi sistem kapitalisme.
Marshal Sahlins, dalam cara yang agak berbeda, juga sampai
pada kesimpulan yang serupa bahwa Marx adalah seorang
utilitarian. Sahlins mengajukan argumentasi bahwa teori Marx
tentang pengetahuan adalah cacat karena teori tersebut tidak
sepenuhnya berhasil menjadi simbolik.
“Yet the paradigm was never fully symbolic. One way of
seeing this incompleteness is to note that by determining
the concept (the idea, the category) as a representation of

57
Jefrey C. Alexander, he Antinomis of Classical hought: Marx and
Durkheim, 1985, hlm. 202.
182 alam, Kebudayaan & yang IlahI

concrete experience, as the actuality of the world as worked-


upon, Marx generates meaning by a property speciically
opposite to its symbolic quality; that is, as “stimulus
free.” he experiential process by which, in Marx’s view,
the concept comes into being is just the reverse of what
characterizes its existence as meaning—that it is not bound
to any concrete objective situation. When Marx turned in
his later work to the analysis of society and history per se,
when he developed his materialistic conception of history,
this theory of knowledge could become a serious defect.
For meaning would then turn into a variety of naming,
and cultural concepts would be referred on one hand to
a logic of instrumental efectiveness and on the other to a
pragmatics of material self-interest (class ideology).”58
[Namun paradigmanya tidak pernah sepenuhnya simbolik.
Salah satu cara melihat ketidaklengkapan ini adalah
mencatat bahwa dengan konsep/gagasan/kategori sebagai
sebuah representasi pengalaman konkrit, sebagai sebuah
aktualitas dunia sebagaimana digarap manusia, Marx
menghasilkan pemaknaan dari sebuah ciri yang secara
spesiik berlawanan dengan kualitas simboliknya, yakni
sebagai “sesuatu yang bebas dari stimulus luar”. Di dalam
pandangan Marx, proses pengalaman di tempat mana
konsep-konsep memperoleh perwujudannya merupakan
kebalikan dari apa yang merupakan karakter keberadaannya
sebagai makna—yakni tidak terikat oleh situasi objektif
konkrit apapun. Saat Marx di dalam karya berikutnya
beralih kepada analisis masyarakat dan sejarah, manakala ia
mengembangkan konsepsi materialistiknya tentang sejarah,
teori pengetahuan ini menjadi sangat keliru. Karena
pemaknaan kemudian berubah menjadi sejumlah variasi
penamaan, dan konsep-konsep budaya dirujuk, di satu
sisi, kepada logika sebuah keefektifan instrumental, dan, di
sisi lain, kepada pragmatik kepentingan diri yang bersifat
materiil (ideologi kelas).]

Sangatlah menarik untuk memperhatikan bagaimana dalam


kutipan kalimat itu Sahlins menyamakan ideologi kelas—sebuah
konsep penting dari Marx yang akan kita bahas di bawah ini—

58
Marshall Sahlins, Culture and Practical Reason, 1976, hlm. 127-128.
Tony Rudyansjah 183

dengan pragmatik kepentingan diri yang bersifat materiil, tanpa


adanya penjelasan tambahan apapun. Namun perlu dicatat di
sini bahwa sebelum sampai pada kesimpulan bahwa Marx adalah
seorang utilitarian, Sahlins mengutip banyak sekali kalimat-
kalimat dari Marx dalam rangka memperlihatkan bukti bahwa
Marx sangat menentang teori mekanistik yang melihat tindakan
manusia bermuasal dan ditentukan oleh ketentuan dan tuntutan
teknologi, hambatan dunia material, termasuk populasi penduduk,
maupun pencapaian kepentingan individual (economistic
individualism) yang diandaikan sudah ada sebelum tindakan
manusia. Dengan kata lain, Sahlins berupaya menampilkan bahwa
Marx bukanlah vulgar Marxist, bukan technological determinist,
bukan economistic individualist dan bukan juga social ecologists,
dengan cara mengutip banyak sekali kalimat-kalimat dari Marx
untuk membuktikan poin tersebut.
Sadar sepenuhnya akan resiko pengutipan kalimat-kalimat
Marx keluar dari konteksnya, maka Sahlins mengemukakan
berbagai argumentasi yang disusun secara hati-hati dalam rangka
membuktikan bahwa Marx bukanlah hal itu semua (baca: bukan
vulgar Marxist, bukan technological determinist, bukan economistic
individualist dan bukan juga social ecologists). Dengan argumentasi
yang disusun secara hati-hati itu, Sahlins pada akhirnya sampai
pada posisi mendiskualiikasi Marx sebagai antropolog dengan
alasan bahwa Marx tidak memiliki perspektif Boasian tentang
mediasi logika budaya antara manusia dan alam.
“It proves incorrent to suppose that Marx’s concept of the
historical mediation between men and nature amounts to
an interposed cultural logic, as in the Boasian perspective.”59
[Terbukti keliru menganggap bahwa konsep Marx tentang
mediasi historis antara manusia dan alam serupa dengan
logika budaya sebagaimana di dalam perspektif Boas.]

Dengan kesimpulan seperti itu, Sahlins mendiskualiikasi

59
ibid, hlm. 134.
184 alam, Kebudayaan & yang IlahI

keanggotaan Marx sebagai seorang antropolog. Menurut Sahlins,


mediasi historis yang bekerja di dalam kerangka teori materialistik
Marx bukanlah sesuatu yang bersifat kultural. Berdasarkan
penafsiran Sahlins, mediasi yang ada dalam tahap/momen akhir
dari kerangka teori Marx
“… is the rational and material logic of efective production
brought to bear by reason in the service of her own intentions,
whatever the historical character of these intentions.”60
[… adalah logika rasional dan material dari produksi
efektif yang muncul oleh penalaran dalam rangka melayani
berbagai maksudnya, apapun ciri historis dari berbagai
maksud tersebut.]

Posisi dan momen Marx seperti itu, menurut Sahlins lagi,


membawa konsekwensi yang sangat dalam dan membatalkan
janji-janji yang bisa diberikan disiplin antropologi.
“At this moment the promise of a cultural anthropology
seems undone. Marx’s paradigm is metamorphosed into
the reverse of the cultural. Now organization grows out
of behavior, and the language of men is the voice of their
concrete experience. he cultural concept appears as the
consequence rather than the structure of productive activity.
Use-values—those desires and pleasures which spring
from society—lose out to the objective means of their
achievement. And ‘history” is accordingly dissolved by the
acid logic of practicality, to exchange its theoretical position
of sedimented being for a transcended past and a fugitive
becoming. he decisive grounding of historical materialism
in work, and of work in its material speciications, robs the
theory of its cultural properties and leaves it to the same fate
as the anthropological materialism. he practical experience
of men is untranscendable, and from it they construct a
world.”61
[Pada momen ini janji antropologi budaya nampaknya
tidak jadi terampungkan. Sejak saat itu, organisasi muncul
dari perilaku, dan bahasa manusia menjadi hanyalah suara

60
ibid, hlm. 134.
61
ibid, hlm. 134-135.
Tony Rudyansjah 185

pengalaman konkrit manusia. Konsep budaya nampak


lebih sebagai sebuah akibat daripada sebagai sebuah struktur
aktivitas produksi manusia. Nilai guna—hasrat-hasrat dan
kesenangan-kesenangan yang berasal dari masyarakat—
jadi menghilang ke dalam makna-makna objektif dari
pencapain-pencapaiannya. Dan sejarah, dengan demikian,
dilarutkan ke dalam logika praktikalitas yang hambar, dan
dengan demikian mengganti baik masa lampau transenden
maupun proses mengada yang diburu makhluk manusia
dengan sebuah posisi teoritis mengenai makhluk yang
tersedimentasikan. Landasan utama materialisme historis
di dalam kerja, dan mengenai kerja di dalam kekhususan
materiilnya, menjarah ciri-ciri kultural dari teorinya, dan
membiarkannya berada dalam sebuah takdir yang sama
dengan materialisme antropologis. Pengalaman praktikal
manusia menjadi tak terlampaui, dan darinya sebuah dunia
dikonstruksikan.]

Permasalahan yang penting untuk dicermati di sini adalah


bagaimana Sahlins menemukan bukti untuk bisa sampai pada
penafsiran mengenai Marx seperti itu, yang sangat jauh berbeda
dengan penafsirannya yang pertama saat menyimpulkan bahwa
Marx bukanlah vulgar Marxist, bukan technological determinist,
bukan economistic individualist dan bukan juga social ecologists.
Sahlins mengemukakan buktinya dengan cara mengemukakan
pendapat Marx yang menyatakan bahwa organisasi memiliki
ketentuannya sendiri, dan ini ditemukan Sahlins dalam tulisannya
Marx dan Engels dalam he German Ideology di halaman 46-47.
“Empirical observation must in each separate instance
bring out empirically, and without any mystiication and
speculation, the connection of the social and political
structure with production. he social structure and the
State are continually evolving out of the life-process of deinite
individuals, but of individuals, not as they may appear in
their own or other people’s imagination, but as they really are;
i.e., as they operate, produce materially, and hence as they
work under deinite material limits, presuppositions and
186 alam, Kebudayaan & yang IlahI

conditions independent of their will.”62 (penekanan garis


miring berasal dari Marshall Sahlins)
[Observasi empiris di setiap perwujudannya masing-masing
semestinya secara empiris menghasilkan, tanpa mistiikasi
dan spekulasi, pertalian antara struktur sosial dan politik,
di satu sisi, dengan produksi, di sisi lain. Struktur sosial
dan negara secara terus menerus bergerak dari proses hidup
individu-individu tertentu, tetapi individu-individu yang
bukan nampak di dalam imajinasi diri sendiri ataupun
diri orang lain, melainkan sebagaimana mereka sebenarnya;
yakni sebagaimana mereka beroperasi, berproduksi secara
materiil, dan, oleh karenanya, sebagaimana mereka bekerja
dalam kungkungan materiil tertentu, rekaan dan kondisi
tertentu yang tidak terikat dengan kemauan mereka.]

Lebih dari itu, Sahlins berupaya menegaskan konsekwensi


lebih lanjut dari analisis Marx dalam momen/tahap kedua ini,
dan mengistilahkannya sebagai momen natural dalam teori Marx.
“… in the context of the concrete analysis of social order,
Marx’s pragmatic notion of meaning would be positivized
and functionalized. he categories as well as relations of
production embody the instrumental logic of a given state
of the productive forces, a logic that also has a secondary
reincarnation as the functional ideology maintaining a
given type of class domination. his combined play of
continuity and discontinuity helps account for what I have
called “cultural and natural moments” in Marx’s theory and,
more important, for the evident contradiction between the
social constitution of the material logic, which follows from
Marx’s permanent conception of a humanized nature, and
his material constitution of the social logic—which became
the dominant notion of the “historical materialism.”63
[Dalam konteks analisis konkrit tatanan sosial, pemahaman
pragmatis Marx tentang pemaknaan menjadi positivistik dan
fungsionalistik. Kategori-kategori dan relasi-relasi produksi
mewujudkan logika instrumental keadaan daya produktif
tertentu, sebuah logika yang mengandung juga sebuah

62
ibid, hlm. 135.
63
ibid, hlm. 137.
Tony Rudyansjah 187

reinkarnasi sekunder sebagai ideologi yang secara fungsional


mempertahankan tipe dominasi kelas tertentu. Kombinasi
pertarungan antara kontinyuitas dan diskontinyuitas mem-
bantu memahami baik apa yang saya istilahkan sebagai
momen kultural dan momen alami dalam teori Marx, ma-
upun, dan ini yang lebih penting, kontradiksi yang jelas
nampak antara konstitusi sosial logika material, yang
bermuasal dari konsepsi permanen Marx tentang alam yang
dimanusiawikan, dengan konstitusi material logika sosial,
yang bermuasal dari pengertian meterialisme historis yang
dominan.]

Berdasarkan penafsiran terhadap Marx seperti itu, Sahlins


menegaskan juga bahwa Marx mendahului Durkheim dalam
mengemukakan konsepsi tentang kemungkinan terjadinya derivasi
antara kategori pemikiran dengan pengalaman sosial manusia.
Persoalannya buat Marx dan para pengikut Marxisme kemudian
adalah bahwa kategori pemikiran manusia bisa terwujud dalam
bentuk ideologi yang bisa mengaburkan hakekat realitas sosial
sebenarnya, yang dalam kehidupan riil sebuah masyarakat bisa
mengandung banyak sekali kontradiksi. Ini akan kita bahas di
dalam diskusi mengenai ideologi di bagian akhir bab ini.
Kembali kepada pokok persoalan utama kita, maka analisis
Sahlins mengenai aspek kultural dan aspek materialistik dari
tulisan-tulisan Marx di atas, menurut hemat saya, merupakan
proyeksi antropologis dari diri Sahlins sendiri di dalam mengenali
komplesitas teoritis dalam tulisan-tulisan Marx, sebuah
komplesitas teoritis yang menurut Sahlins berujung kepada
apa yang disebutnya sebagai anthropological disappointment.64
Pertanyaan yang patut kita kemukakan di sini adalah kekecewaaan
(disappointment) siapa? Tentu itu bukan kekecewaan seluruh
antropolog, sebagaimana dituduhkan Sahlins. Atau, itu barangkali
lebih tepat merupakan kekecawaan Sahlins sendiri? Lepas dari isu
anthropological disappointment itu, perkara yang ingin didiskusikan

64
ibid, hlm. 138.
188 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Sahlins, yang merupakan topik dari perdebatan yang hangat di


kalangan ilmuwan, adalah penegasan Marx mengenai prioritas
produksi di atas komsumsi karena alasan tidak adanya kepastian
dari bentuk dan isi dari konsumsi manusia.
“he former imply an indeterminacy of form and content
that allows Marx to ind the true deinition of the object,
and the real beginning of the process, in the production
rather than consumption.”65
[yang awal mengimplikasikan sebuah ketidakpastian bentuk
dan isi yang memungkinkan Marx untuk menemukan
sebuah deinisi sesungguhnya mengenai objek, dan awal
sesungguhnya dari sebuah proses, yakni di dalam produksi
daripada di dalam konsumsi.]

Kontras dengan prioritas yang diberikan Marx terhadap


produksi dengan akibat mengabaikan konstitusi simbolis dari
konsumsi, Sahlins menegaskan prioritas tatanan simbolis di atas
produksi.66 Sahlins memang masih mengakui, dan berutang
budi kepada insight yang diberikan Marx, bahwa berbeda
dengan binatang yang hanya menghasilkan dan memanfaatkan
apa yang memang secara langsung dibutuhkan mereka, maka
apa yang dikerjakan dan dihasilkan manusia mengandung
pengertian yang jauh lebih dalam daripada apa yang dihasilkan
dan dimanfaatkan binatang. Sahlins mengemukakan pendapat
tersebut di halaman 149 dalam karyanya Culture and Practical
Reason dengan mengutip kalimat Marx yang ada dalam Economic
and philosophical manuscripts of 1844.
“An animal produces only itself, whilst man reproduces the
whole of nature. An animal’s product belongs immediately
to its physical body, whilst man freely confronts his product.
An animal forms things in accordance with the standart
and the need of the species to which it belongs, whilst man
knows how to produce in accordance with the standart
of every species, and knows how to apply everywhere the

65
ibid, hlm. 154.
66
ibid, hlm. 148-149.
Tony Rudyansjah 189

inherent standard to the object. Man therefore also forms


things in accordance with the laws of beauty.”67
[Seekor binatang menghasilkan dirinya sendiri, sedangkan
manusia menghasilkan kembali keseluruhan dunianya.
Apa yang dihasilkan seekor binatang termaktub secara
langsung kedalam jasad isiknya, sedangkan manusia bisa
secara bebas menghadapi apa yang dihasilkannya. Seekor
binatang membentuk barang-barang sesuai dengan standar
dan kebutuhan spesies di mana ia termasuk, sedangkan
manusia mahfum bagaimana menghasilkan barang
menurut standar spesies apapun, mengetahui bagaimana
menerapkan standar inheren dari objeknya di manapun
adanya. Manusia, dengan demikian, membentuk benda-
benda menurut kaidah keindahan.]

Dengan cara mengutip pendapat Marx di atas itu, Sahlins


lebih lanjut mendeklarasikan bahwa ia (baca: Sahlins) lebih
tertarik dan memusatkan perhatian pada konstitusi simbolik dari
budaya.
“It is not to the beauty that I appeal, but to the determination
of a production that is undertaken within a symbolic order,
within culture.”68
[bukanlah kepada keindahan saya tertarik, melainkan kepada
perkara ketentuan sebuah produksi yang dilaksanakan di
dalam sebuah tatanan simbolik, dalam sebuah kebudayaan]

Menurut Sahlins lagi, kebudayaanlah—sebagai sebuah konsti-


tusi simbolik dari semua keinginan (wants)—yang pada akhirnya
menentukan dan mengendalikan proses-proses produksi manusia.
Berbeda dengan Habermas, yang beranggapan bahwa
analisis praxis Marx dalam Capital memperhitungkan baik kerja
maupun interaksi sosial yang diatur oleh elemen normatif yang
berasal dari sebuah tradisi budaya, Sahlins berpendapat bahwa
jika kita membaca tulisan Marx dengan cermat maka kita akan

67
Karl Marx, he Economic & Philosopic Manuscripts of 1844, 1973,
hlm. 113-114.
68
Marshall Sahlins, Culture and Practical Reason, 1976, hlm. 149.
190 alam, Kebudayaan & yang IlahI

dapat menemukan sebuah benang merah yang merupakan satu


kontinuitas yang dapat menghubungkan semua karya Marx
dari awal sampai yang paling akhir, dan itu tidak lain daripada
rasionalitas utilitarianisme (rationality of utilitarianism) dan
bourgeois economizing.69 Dalam hatinya Marx tidak lebih daripada
seorang bourgeois utilitarian, menurut Sahlins.70 Posisi Sahlins
tentu saja sangat berbeda dari Marx. Sahlins menganut pandangan
yang bersifat relativistik. Sahlins memiliki pendapat bahwa
praktikalitas dan efektivitas material dari proses-proses produksi
tidak terdapat dalam satu pengertian yang mutlak, namun hanya
ada dalam bentuk dan tolak ukur yang diproyeksikan oleh
sebuah tatanan budaya. Apa yang dimaksudkan Sahlins dengan
pendapat yang dirumuskan secara hati-hati itu adalah bahwa
praktikalitas memang tetap diperhatikan, dipertimbangkan dan
diwujudkan dalam setiap tindakan manusia, namun tidak dalam
satu pengertian yang absolut. Lebih lanjut Sahlins menegaskan:
“Selecting its material means and ends from among all
possible ones, as well as the relations under which they are
combined, it is society which sets productive intentions
and intensities, in a manner and measure appropriate to the
entire structural system.”71
[Memilih tujuan dan cara yang dapat diambilnya dari
berbagai kemungkinan yang ada, sebagaimana juga pilihan
berbagai relasi di mana mereka sebaiknya dikombinasikan,
tetap saja pada ujungnya masyarakat yang menentukan
bagaimana maksud-maksud dan intensitas berproduksi
seharusnya ditata dalam cara dan tolak ukur yang seharusnya
sesuai dengan keseluruhan sistem strukturalnya.]

Kutipan dari Sahlins itu semestinya dibaca dalam dua cara.


Pertama, apabila yang dimaksudkan Sahlins itu dengan kata ‘sistem
struktural’ itu, di mana semua maksud dan prakarsa berproduksi
harus disesuaikan, sama artinya dengan cultural gestalt, maka

69
ibid, hlm. 161.
70
ibid, hlm. 163-164.
71
ibid, hlm. 164.
Tony Rudyansjah 191

pandangan itu tentu saja sangat berbeda dengan pandangan Marx.


Namun apabila hal itu dimaksudkan, dan ini adalah cara kedua,
adalah sebuah sistem strukural yang sedikit banyak dikekang oleh
efektivitas material dan logika dari relasi produksi, maka pengertian
itu sesungguhnya sama dengan pengertian Marx. Namun yang
dimaksudkan Sahlins cukup jelas adalah dalam pengertian yang
pertama, karena bagi Sahlins, satu-satunya yang bisa dianggap
sebagai logika untuk kesemua hal itu hanyalah sistem pemaknaan
dari sebuah kebudayaan tertentu, yang dalam kasus masyarakat
Barat adalah logika dari kebudayaan borjuis yang memayungi dan
melingkupi setiap orang. Pandangan seperti itu tentu saja sangat
mereleksikan pandangan khusus literati yang tidak pernah puas
dengan ‘stubborn polity’ dari materialisme natural dengan berupaya
melakukan sesuatu. Kritik Sahlins terhadap Marx itu, yang
menukik pada isu yang paling mendasar dari struktur konsepsi dari
pemikiran Marx, sesungguhnya bermuara pada adanya pemisahan
yang dibuat Marx antara ide dengan apa yang riil, atau idealisme
dan realisme, yang dalam diskusi Sahlins melalui kedok simbol dan
aktivitas/tindakan.
Gagasan abstrak Marxis mengenai relasi sosial yang diekspre-
sikan secara sangat abstrak sesungguhnya tidak dimaksudkan
untuk menyingkirkan subjektivitas dari relasi sosial. Sejak dari
awal, subjektivitas sesungguhnya telah diinkorporasikan dalam
sistem dari relasi produksi yang terbentuk secara historis. Namun
dalam kasus masyarakat Barat, hal itu terwujud dalam bentuk
kreativitas yang teralienasi di satu sisi, dan dalam bentuk kesadaran
palsu (false consciousness) di sisi lain. Sahlins berpendapat lagi
bahwa Marx dengan membuat pernyataan bahwa subjektivitas
dalam masyarakat kapitalis terwujud dari adanya kreativitas
yang teralienasi di satu sisi dan, di sisi lain, kesadaran palsu,
sesungguhnya telah mentransformasikan suatu pembedaan
struktural antara aktivitas, di satu sisi, dengan kesadaran, di sisi
lain, menjadi suatu hipotesa yang bersifat temporal.
192 alam, Kebudayaan & yang IlahI

“…”history” here consists of the speculative transformation


of a structural relation between base and superstructure
into a temporal priority. he procedure actually involves
several logical phases, beginning essentially in a functional
priority. Marxt irst transposes the human necessity of
gaining a livelihood into the structural dominance of
production, then posit the primacy of production as an
actual precedence in time. Marx would thus draw from
the functional imperative that “man must be able to live
in order to make history” the conclusion that “life involves
before everything else eating and drinking,” and thereupon
project this temporal sequence into a real historical event—
“the irst historical act is thus the production of means to
satisfy these needs.” In brief, Marx turns a theoretical space
into a hypothetical time.”72
[…”sejarah” di sini mengandung arti transformasi
spekulatif relasi struktural antara base dan superstructure
ke dalam sebuah prioritas temporal. Prosedurnya, pada
kenyataannya, melibatkan beberapa fase logis, yang pada
hakekatnya dimulai dari sebuah prioritas fungsional.
Pertama-tama, Marx berubah urutan keniscayaan manusia
memperoleh kehidupan ke dalam dominasi produksi yang
bersifat struktural, lalu mengandaikan keutamaan produksi
sebagai sesuatu yang secara aktual lebih utama dalam urutan
waktu. Jadi, Marx menarik kesimpulan bahwa “kehidupan
melibatkan makan dan minum sebelum yang lainnya”
dari sebuah tuntutan fungsional bahwa “manusia mesti
bisa hidup dalam rangka bisa menciptakan sejarah”, dan
dengan demikian, memproyeksikan urutan temporal ke
dalam sebuah peristiwa sejarah yang sebenarnya—tindakan
historis pertama adalah produksi alat-alat untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Singkatnya, Marx mengubah ruang
teoritis menjadi sebuah waktu hipotetis.]

Pendapat Sahlins dalam kutipan di atas mengenai Marx itu


barangkali ada benarnya, namun sangatlah berlebihan untuk
mengatakan bahwa Marx, sebagaimana diutarakan Sahlins dalam
kutipan berikut di bawah, terjerebab ke dalam kekusutan teoritis
seperti yang dialami fungsionalis dan dualis.

72
ibid, hlm. 146.
Tony Rudyansjah 193

“here is again the fault, shared by Marx with certain


functionalist-dualists, of limiting symbol to “ideology,” thus
allowing action to slip into the kingdom of the pragmatic.
Dealing with meaning only in its capacity as the expression
of human relations, Marx lets escape through the theoretical
mesh the meaningful constitution of these relation.”73
[Terdapat sekali lagi kesalahan, yang dianut oleh Marx
bersama-sama dengan sejumlah fungsionalis dan dualis,
yang membatasi simbol hanya pada “ideologi”, sehingga
mengakibatkan tindakan terjerebab ke dalam kekuasaan
pragmatis. Mengkaji pemaknaan hanya dalam kapasitasnya
sebagai ungkapan relasi manusia, Marx membiarkan
kaburnya konstitusi penuh makna relasi-relasi manusia ke
dalam sebuah kekusutan teoritis.]

Hanya karena Marx tidak memiliki sebuah teori yang


eksplisit mengenai simbol, ataupun tidak mengembangkan
sebuah teori tentang semiotik, sangatlah tidak adil kalau kita
kemudian menganggap Marx terjatuh ke dalam sebuah kekusutan
teoritis, sebagaimana dituduhkan Sahlins. Lepas dari tuduhan itu,
saya mendiskusikan Sahlins panjang lebar di sini karena Sahlins
mengemukakan isu penting yang harus kita perhatikan ketika
membaca tulisan Marx, yaitu isu mengenai relativitas dan praxis.

Kritik Sahlins sesungguhnya merupakan satu kritik khas yang


acapkali dilontarkan kepada Marx, yang sebenarnya merupakan
satu analisis mengenai dinamika internal dari kapitalisme, namun
orang memperlakukannya lebih sebagai sebuah teori yang bersifat
menyeluruh mengenai tindakan sosial ketimbang sebagai sebuah
teori kritis dialektikal yang secara khusus memusatkan perhatiannya
untuk mengungkapkan kontradiksi yang secara internal terdapat
dalam kapitalisme yang pada akhirnya tak terhindari akan
bermuara pada negasi terhadap sisten kapitalisme itu sendiri.
Menurut hemat saya, isu krusial untuk dipertanyakan adalah:
apakah status teori Marx itu sendiri dalam historical materialism?

73
ibid, hlm. 139.
194 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Saya memang tidak berniat menjawab pertanyaan yang sulit dan


jelimet itu di sini, namun dengan hanya mempertimbangkannya
saja kita segera dapat menyadari bahwa pertanyaan itu mencakup
banyak sekali aspek persoalan, dan kita dapat memulainya dengan
menyoal apa status kebudayaan dan ideologi dalam teori Marxis,
dan ini merupakan pokok bahasan utama kita berikut ini.
Steurt Hall, seorang India yang kemudian tinggal dan
berkarier di Inggris, mengatakan bahwa ideology merupakan
sebuah kata yang tidak terlalu mudah dicocokkan dengan lidah
orang Inggris, sehingga mungkin karena alasan itu para ahli
antropologi lebih suka menggunakan kata culture (kebudayaan),
dan kadang-kadang menyamakan keduanya serta mengaburkan
berbagai pemaknaan yang mungkin dari ideologi. Berbagai
komplikasi pemaknaan antara ideologi dan kebudayaan
berkaitan dengan pengertian pertama dari istilah ideologi yang
diungkapkan secara baik olah Raymond Geuss dalam buku
kecilnya dengan judul he Ideas of A Critical heory, yaitu ideologi
dalam pengertian deskriptif yang mencakup sebuah pandangan
umum dan empiris mengenai cara hidup sekelompok orang yang
seringkali dibagi ke dalam ekonomi, teknologi, struktur sosial
dan ideologi. Dengan demikian, ideologi dapat juga dibagi ke
dalam ideologi kekerabatan, dan ideologi ekonomi. Oleh karena
itu, ideologi dan kebudayaan seringkali disamakan ketika para
ahli antropologi menyoal prinsip-prinsip paling generatif dari
satu budaya. Louis Dumont, misalnya, menggunakan kedua kata
itu secara bergantian karena ia percaya ia sedang mendiskusikan
aspek yang paling fundamental dari kehidupan sosial manusia
(social structuring of human life), yakni hirarki dan egalitarian
individualistik.
Untuk menghindari redundancy seperti itu, maka sangat
masuk akal pembedaan ideologi dalam arti pejoratif (negatif ) dan
ideologi dalam arti positif, sebagaimana diusulkan Geuss. Contoh
klasik dari ideologi dalam arti pejoratif adalah kesadaran palsu
Tony Rudyansjah 195

(false consciousness), yaitu sebuah bentuk kesadaran yang tidak


hanya mengaburkan keadaan aktual dari berbagai hal, melainkan
dipergunakan juga untuk memberikan legitimasi dan sekaligus
memungkinkan adanya dominasi satu kelompok terhadap
kelompok lainnya. Ideologi bisa juga diartikan dalam arti negatif
saat mengacu kepada berbagai hal yang berasal dari kesalahan dan
kekeliruan manusia (human false and errors). Sedangkan ideologi
dalam arti positif adalah sesuatu yang secara sengaja direkayasa
untuk tujuan memenuhi tujuan dan kebutuhan satu kelompok
tertentu. Tulisan What is to be done dari Lenin, misalnya, merupakan
sebuah upaya yang dilaksanakan secara sengaja dan sadar untuk
menciptakan seperangkat keyakinan dan sikap yang dianggap
cocok untuk situasi aktual yang dihadapi para proletarian. Contoh
lainnya adalah inovasi keagamaan yang dilakukan sekelompok
orang, sebagaimana digambarkan Weber mengenai spirit dari
Calvinism. Berbagai pengertian ideologi seperti itu penting
dikemukan di sini untuk memahami komplikasi pemikiran Marx
saat membicarakan hal-hal tersebut, sehingga kita tidak keliru
dalam mengartikan apa yang sesungguhnya dimaksudkan Marx.
Sekarang saya ingin membicarakan hakekat manusia,
dan ini mengandung makna yang penting mengingat konsepsi
Marx mengenai hakekat manusia itu dapat memperlihatkan
kepada kita bahwa titik pijak analitis Marx sangat berbeda dari
pandangan utilitarian. Saya telah menjelaskan pandangan Marx
mengenai manusia sebagai makhluk kolektif yang menggarap
dan menghasilkan dunia material berdasarkan modus produksi
tertentu, yang merupakan sebuah kehidupan yang lebih daripada
hanya sekedar reproduksi dari keberadaan isikal semata—sebuah
pandangan yang ia kemukakan dalam he German Ideology.
Dalam pandangan Marx itu, tenaga kerja merupakan ciri esensial
yang sangat menentukan hakekat manusia. Kerja (labour) adalah
sebuah proses yang menjembatani manusia dengan alamnya, di
mana melalui kerja itu manusia merubah alam sekelilingnya,
196 alam, Kebudayaan & yang IlahI

namun pada saat yang bersamaan ia juga merubah hakekat dari


diri manusia itu sendiri.
Pandangan yang serupa mengemukan kembali dalam
tulisan-tulisan Marx yang lain, yakni Pre-Capitalist Economic
Formations dan Grundrisse—tujuh buku catatan Marx yang
ditulisnya di British Mesum pada periode 1857-1858. Dalam
tulisan itu, terutama Pre-Capitalist Economic Formations, Marx
menguraikan bahwa reproduksi niscaya pada saat yang bersamaan
adalah produksi hal-hal baru, dan sekaligus penghancuran dari
bentuk-bentuk yang lama:
“he act of reproduction itself changes not only the
objective conditions—e.g. transforming village into town,
the wilderness into agricultural clearings, etc. —but the
producers change with it, by the emergence of new qualities,
by transforming and developing themselves in production,
forming new powers and new conceptions, new modes of
intercourse, new needs, and new speech.”74
[tidak hanya kondisi objektif diubah dalam aktivitas
produksi, misalnya desa berubah menjadi kota, atau lahan
kosong tak bertuan menjadi lahan pertanian, melainkan
diri si pelaku yang melakukan aktivitas produksi itu pada
saat yang bersamaan juga diubah, dan itu memunculkan
berbagai kualitas baru dalam dirinya, melalui transformasi
dan perkembangan dirinya dalam berproduksi, si pelaku
membentuk berbagai kemampuan politik yang baru,
konsepsi-konsepsi baru, modus interaksi yang baru,
kebutuhan-kebutuhan baru, dan logat berbahasa yang baru.]

Kemampuan manusia untuk mentransformasikan dunia


sekelilingnya, dan bahkan melampaui bentuk-bentuk fenomenal
konkritnya inilah yang disebut Marx dengan istilah aufhebung.75
Dunia, dan termasuk didalamnya manusia sendiri, dimusnahkan
dan sekaligus dilampaui melalui cara mengangkatnya ke

74
Karl Marx, Pre-Capitalist Economic Formations, 1984, hlm. 93.
75
Shlomo Avineri, he Social and Political hought of Karl Marx, 1980,
hlm. 36-38 dan 84.
Tony Rudyansjah 197

tingkat yang lebih tinggi, meskipun pada saat yang bersamaan


tetap mempertahankan kandungan utamanya. Dialektika dari
aufhebung inilah yang menjamin kontinum yang bersifat semakin
meluas dan progresif dari kemampuan manusia untuk tidak hanya
mengalami dan mengenali dunianya, melainkan juga untuk secara
sadar menciptakan dan membentuknya. Dengan demikian, Marx
tidak menganut satu pandangan yang statis mengenai hakekat
manusia, karena hakekat manusia itu sendiri ditransformasikan
di dalam proses produksi sosial dan reproduksi sosial.

Dengan kata lain, Marx membuat pembedaan antara natural


man dan species being (generic being) untuk memperlihatkan
bahwa pandangannya mengenai hakekat manusia bukanlah
sebuah reduksi dari makhluk sosial manusia menjadi hanya
sebagai natural man semata-mata, dan bukannya juga sebuah
pemutlakan manusia hanya semata-mata sebagai makhluk yang
memiliki pemikiran dan konsep, dan dengan begitu melupakan
bahwa manusia juga adalah makhluk biologis yang memiliki
kebutuhan yang sama dengan makhluk hidup lainnya. Secara
singkat, natural man adalah sekumpulan kebutuhan dan fungsi
isikal yang manusia miliki bersama-sama dengan makhluk hidup
lainnya, namun manusia membedakan dirinya dengan makhluk
hidup lainnya, karena manusia sadar akan dirinya sendiri sebagai
species being dengan kemampuan khusus yang berbeda dan jauh
lebih besar daripada hanya natural power. Species power (gattung
power), sama seperti natural power, memantapkan relasi manusia
dengan alam di sekelilingnya, dan antara manusia dengan manusia
lainnya di dalam proses kehidupan sosialnya.
Dengan demikian, kita tidak dapat melihat manusia hanya
sebagai himpunan dari individu yang terisolasi satu sama lainnya,
sehingga hal-hal yang nampak alami, seperti seks dan lapar—
kebutuhan dasar yang dijadikan Malinowski sebagai fondasi dari
teorinya mengenai kebudayaan—mesti dilihat hanya sebagai satu
elemen, di antara elemen-elemen lainnya, di dalam kerangka
198 alam, Kebudayaan & yang IlahI

pemahaman manusia sebagai species being (generic being). Apa


yang membedakan Marx dari Feuerbach adalah penekanan yang
diberikan Marx pada keberadaan manusia sebagai makhluk yang
memiliki kesadaran sebagai makhluk kolektif.
Pendapat yang menyatakan bahwa Marx pada periode
setelah 1845 adalah seorang materialistik yang memindahkan
ide mengenai pemikiran manusia ke dalam tempat yang derivatif
sebagai semata-mata sebuah superstructure, yang dikendalikan
berdasarkan relasi ekonomis riil, seperti proses produksi dan relasi
lingkungan teknologis, adalah sangat keliru.
Konsep kunci dalam pandangan Marx tentang proses
sosial adalah praxis, di tempat mana ia berupaya mensintesakan
antara idealisme dengan materialisme—sejauh mana ia berhasil
merupakan suatu hal yang bisa dapat diperdebatkan orang. Di satu
sisi, praxis berarti practice sebagai lawan dari teori. Namun di sisi
lain, Marx juga memberikan arti yang jauh lebih luas cakupannya
daripada hanya pengertian seperti itu. Marx memberikan
argumentasi bahwa pandangan meterialistik mengenai sejarah
mesti mengalami perubahan, baik karena adanya perubahan dari
kondisi di mana tindakan berlangsung, maupun karena adanya
perubahan yang disebabkan oleh pendidikan, atau perubahan
dalam kedewasaan dan kematangan diri manusia akibat adanya
akumulasi dari pengetahuan. Meskipun begitu, kita tidak mesti
lupa, sebagaimana Marx kemukakan dalam tesis ke 3 dari ‘heses
on Feuerbach”, bahwa manusialah yang mengubah situasi itu,
dan oleh karenanya para pendidik juga harus dididik.
“he materialist doctrine concerning the changing of
circumstances and upbringing forgets that circumstances
are changed by men and that it is essential to educate the
educator himself.”76
[Doktrin materialistik mengenai perubahan lingkungan

76
Karl Marx & Frederick Engel, he German Ideology, dalam ‘heses on
Feuerbach’ dalam supplementary text, 1988, hlm. 121.
Tony Rudyansjah 199

dan pengasuhan melupakan bahwa lingkungan diubah


oleh manusia, dan bahwa esensial bagi para pendidik untuk
mendidik dirinya sendiri.]

Kalimat dari Marx itu tidak muncul hanya dari fantasi


Marx belaka, melainkan sesuatu yang sangat cermat dipikirkan.
Jadi perubahan harus sebaiknya dilihat sebagai sebuah proses di
mana tindakan merupakan baik sebagai cara memformulasikan
gagasan, maupun sebagai cara menguji gagasan dengan cara
membentangkannya ke dalam tindakan. Henri Lefebvre dalam
bukunya he Sociology of Marx mengulas bahwa praxis dalam
pemikiran Marx terdiri dari tiga level, yakni repetitive praxis dan
innovative praxis, serta sebuah perantara di antara keduanya yang
disebut Lefebvre sebagai mimetic praxis.77
Repetitive praxis terdiri dari peragaan berulang dari tindakan
dalam sebuah siklus tertentu—sebuah konsep yang sangat
diakrabi para ahli antropologi, dan biasanya disebut mereka
dengan istilah ‘tradisi’. Memetic praxis merupakan sebuah modus
tindakan yang lebih disadari daripada repetitive praxis, dan
meskipun sudah lebih kreatif namun tetap saja masih bersifat
peniruan (imitative), misalnya peragaan kembali berbagai bentuk
kepatuhan politik dan sosial melalui seragam, gesture dan retorics.
Sedangkan creative praxis atau innovative praxis melibatkan
transformasi total keseluruhan cara hidup, yang bisa terjadi dalam
sebuah kebudayaan maupun pengetahuan, namun memperoleh
ekspresinya yang paling jelas dalam sebuah revolusi politik.
Dalam revolusi politik seperti itu, praxis merupakan sebuah
transformasi sosial dengan dampak yang besar yang mengeja-
wantahkan baik gagasan Hegel mengenai proses sejarah melalui
oposisi dialektik, maupun gagasan Saint-Simon mengenai kontra-
diksi yang semakin lebar antara ide dan bentuk pengaturan sosial
(social arrangement). Melalui praxis yang bersifat revolusioner

77
Henry Lefebvre, he Sociology of Marx, 1982, hlm. 52.
200 alam, Kebudayaan & yang IlahI

seperti itu, perubahan dengan dampak yang luas dan mendalam,


di tempat mana masyarakat mempresentasikan dirinya sendiri,
dibawa Marx ke dalam berbagai aktualitas dari relasi sosial. Dalam
pengertian praxis dengan berbagai level seperti itu, Marx melihat
praxis sebagai sebuah pengejawantahan yang kompleks baik dari
berbagai ide/gagasan maupun berbagai tindakan yang diikuti oleh
berbagai kontradiksi, polarisasi, tingkatan, dan resolusi berbagai
konlik.
Tony Rudyansjah 201

Dalam Grundrisse, Marx menegaskan bahwa makhluk


manusia hanya bisa menjadi individu melalui sebuah proses
sejarah, dan, secara lebih tepat, pertukaran yang terjadi dalam
masyarakat itu sendiri merupakan cara utama untuk dapat
mencapai individuasi diri manusia.78 Dengan kata lain, species
being dari makhluk manusia merupakan sebuah konsepsi yang
membedakan keberadaan makhluk manusia dari keberadaan
binatang ataupun tanaman, karena hanya sebagai akibat dari
pertukaran yang dilakukan antar manusia, maka manusia sejatinya
dapat menjadi seorang individu.
Kita, dengan demikian, tidak dapat memulai analisis
mengenai hakikat manusia dengan semata-mata hanya melihat
keseluruhan penjumlahan dari individu, sebagaimana terlihat
dalam novel karangan Defoe yang menggambarkan tokoh utama
yang bernama Robinson Crusoe, yang tanpa sengaja terlempar ke
dalam sebuah himpunan sosial melalui sebuah pertukaran.
Pemikiran Marx mengenai hakikat manusia lebih mirip
dengan pandangan Fergusson daripada Defoe. Dalam kerangka
pemikiran serupa itu, kebutuhan manusia tidak hanya dipuaskan
manusia melalui sebuah proses historis penciptaan berbagai bentuk
kehidupan yang berbeda-beda, melainkan kebutuhan manusia
juga diciptakan dalam proses historis itu sendiri. Kebutuhan
manusia tidak secara serta merta terberikan dengan sendirinya di
dalam alam semesta. Oleh karena itu, keinginan dan kebutuhan
manusia harus diukur dalam terminologi dari modus produksi di
tempat mana keinginan dan kebutuhan manusia itu muncul.
Dalam konteks pemahaman seperti itu, Marx pernah juga
mendiskusikan teori mengenai populasi dan mengemukakan
argumentasi bahwa kita tidak mungkin memiliki teori yang berlaku
umum mengenai populasi tanpa mempertimbangkan berbagai
tahap perkembangan khusus dari masyarakat-masyarakat yang

78
Karl Marx, Grundrisse, 1973, hlm. 83-84.
202 alam, Kebudayaan & yang IlahI

sedang kita bahas.79 Pemikiran Marx mengenai hakikat manusia


mewariskan kepada kita dua problema penting berkaitan dengan
keinginan dan kebutuhan manusia. Dua problema tersebut, yang
sedikit banyak mencuat ke permukaan akibat diskusi Sahlins
mengenai Marx dalam Culture and Practical Reason, sangat
penting untuk antropologi Marxis kontemporer masa kini.
Problema pertama berkaitan dengan derivasi dari
kemampuan manusia untuk memenuhi kebutuhannya manakala
kebutuhan itu sendiri dihasilkan dalam proses aktivitas praktis.
Nampak dalam pengertian teori Marxis seperti itu, kebutuhan dan
keinginan manusia dihasilkan dalam kesadaran manusia melalui
aktivitasnya. Jika begitu kasusnya, bagaimana kesadaran mungkin
untuk dapat menentukan kebutuhan dan keinginan manusia?
Dan bagaimana kesadaran mungkin memiliki kapasitas untuk
beroperasi sebelum tindakan atau aktivitas itu sendiri terjadi?
Atau dengan kata lain, apabila kesadaran merupakan produk
dari tindakan, dan bukannya prasyarat dari tindakan, bagaimana
kesadaran bisa menentukan kebutuhan atau keinginan manusia
sebelum tindakan manusia itu sendiri berlangsung dan terwujud
dalam kenyataan?
Diskusi mengenai isu ini memiliki relevansi yang sangat
tinggi bagi antropologi sebagaimana terlihat di dalam pertukaran
gagasan yang terjadi dalam perdebatan melalui korespondensi
antara Cliford Geertz dan David M. Schneider mengenai prioritas
relatif dari kebudayaan di atas tindakan bagi Geertz dan prioritas
tindakan sosial di atas kebudayaan bagi Schneider.80 Marx sendiri
pernah mendiskusikan problema ini dalam berbagai tulisannya,
dan dalam manuskripnya yang berjudul ‘Preface to A Contribution
to the Critique of Political Economy’, Marx mengemukakan

79
Karl Marx, Grundrisse, 1973, hlm. 100-101.
80
Untuk ulasan mengenai perdebatan ini, lihat tulisan Richard Feinberg
dengan judul ‘Schneider’s Symbolic Cultural heory: An Appraisal’
dalam Current Anthropology, Vol. 20, No. 3, September 1979.
Tony Rudyansjah 203

“… mankind always sets itself only such tasks as it can


solve; since looking at the matter more closely, it will always
be found that the task itself arises only when the material
conditions for its solution already exist or are at least in the
process of formation.”81
[… umat manusia senantiasa menetapkan dalam dirinya
sendiri hanya berbagai macam tugas yang dapat diatasinya,
karena manakala diamati secara lebih cermat, maka selalu
dapat ditemukan bahwa tugas itu sendiri hanya muncul
manakala kondisi material untuk pemecahan tugas
itu sudah tersedia atau setidaknya sudah dalam proses
pembentukannya.]

Atau dalam Volume 1, Marx lebih lanjut mengemukan


sebuah argumentasi yang juga sudah sangat terkenal, dan
karenanya sangat sering dikutip orang.
“Labour is, irst of all, a process between man and nature, a
process by which man, through his own actions, mediates,
regulates and controls the metabolism between himself and
nature. He confronts the materials of nature as a force of
nature. He sets in motion the natural forces which belong
to his own body, his arms, legs, head and hands, in order to
appropriate the materials of nature in a form adapted to his
own needs. hrough this movement he acts upon external
nature and changes it, and in this way he simultaneously
changes his own nature. He develops the potentialities
slumbering within nature, and subjects the play of its forces
to his own sovereign power. We are not dealing here with
those irst instinctive forms of labour which remain on the
animal level. An immense interval of time separates the
state of things in which a man brings his labour-power to
market for sale as a commodity from the situation when
human labour had not yet cast of its irst instinctive form.
We presuppose labour in a form in which it is an exclusively
human characteristic. A spider conducts operations which
resemble those of the weaver, and a bee would put many
a human architect to shame by the construction of its

81
Karl Marx, Preface to A Contribution to the Critique of Political
Economy, dalam Robert C. Tucker, he Marx-Engels Reader, 1978,
hlm. 5.
204 alam, Kebudayaan & yang IlahI

honeycomb cells. But what distinguishes the worst architect


from the best of bees is that the architect builds the cell in his
mind before he constructs it in reality. At the end of every
labour process, a result emerges which had already been
conceived by the worker at the beginning, hence already
existed ideally. Man not only efects a change of form in the
materials of nature; he also realizes (verwirklicht) his own
purpose in those materials.”82
[Kerja merupakan sebuah proses di antara manusia dan
alam semesta, sebuah proses di mana manusia melalui
tindakannya mampu untuk memediasi, mengatur dan
mengendalikan metabolisme antara dirinya dengan
alam. Ia menghadapi materi-materi di alam sebagai daya-
daya dari alam. Ia memanfaatkan melalui gerakannya
berbagai daya alam, yang termasuk juga badannya sendiri,
lengannya sendiri, kakinya sendiri, kepalanya sendiri dan
tangannya sendiri dalam rangka memanfaatkan materi-
materi di alam ke dalam sebuah bentuk yang disesuaikan
dengan kebutuhan diri manusia. Melalui pergerakan itu,
ia bertindak terhadap dunia eksternal dan mengubahnya,
dan melalui cara ini, ia secara bersamaan juga mengubah
hakekat dirinya sendiri. Ia mengembangkan potensi-
potensi yang masih tertidur di dalam alam semesta, dan
menundukkan permainan daya alam demi kedaulatan
manusia. Di sini kita tidak bersinggungan dengan bentuk
instingtif awal dari kerja yang masih berada dalam
level binatang. Sebuah interval waktu yang luas sekali
memisahkan keberadaan hal-hal yang menjadi wahana di
mana manusia membawa tenaga kerja ke pasar untuk dijual
sebagai komoditas, di satu sisi, dengan, di sisi lain, situasi
di mana tenaga manusia masih belum menanggalkan
bentuk instingtif awalnya. Kita mengandaikan kerja dalam
sebuah bentuk yang secara ekslusif bercirikan manusia.
Seekor laba-laba menyelenggarakan kegiatannya yang
menyerupai apa yang dilakukan seorang tukang tenun, dan
seekor tawon membuat sangat malu para arsitek dengan
konstruksi sel sarang tawon yang dibuatnya. Namun apa
yang membedakan seorang arsitek yang paling buruk
dengan seekor tawon yang paling baik adalah bahwa si

82
Karl Marx, Capital Volume 1, hlm. 283-284.
Tony Rudyansjah 205

arsitek membangun selnya di dalam pikiran dulu sebelum


mengkonstruksikannya dalam kenyataan. Pada akhir setiap
proses kerja, muncul satu hasil yang sudah dibayangkan di
awalnya oleh si pekerjanya, dan, dengan demikian, sudah
ada secara ideal. Manusia tidak hanya mempengaruhi
sebuah perubahan bentuk materi-materi di alam semesta,
namun ia juga merealisasikan tujuan dirinya di dalam
materi-materi itu.]

Dengan mengalih-maksudkan dan hanya mengutip sebagian


dari paragraf terakhir di atas, Sahlins mengemukakan bukti dari
apa yang disebutnya sebagai ‘cultural moment’ dari Marx, yakni
ketika Marx dianggap Sahlins sebagai seorang ahli antropologi
yang baik. Pertanyaan yang merupakan permasalahan penting
yang kemudian dapat kita diskusikan di sini adalah bagaimana
makhluk sosial manusia mungkin untuk dapat mengembangkan
sebuah model dari aktivitas kerja di dalam imajinasinya sebelum
hal itu ia ciptakan secara aktual dalam kenyataan riil di dunia,
apabila diingat kesadaran manusia itu sendiri ditentukan oleh
keberadaan sosial makhluk manusia. Jawaban bahwa kesadaran
bukanlah merupakan releksi semata-mata dari suatu hal,
meskipun barangkali memang ditentukan oleh keberadaan sosial
manusia itu, dan bukannya sesuatu yang sudah ada sebelum
tindakan mengada, melainkan bahwa kesadaran lebih merupakan
sebuah kekuatan yang aktif dalam tindakan dan, dengan
demikian, tidak dapat dipisahkan dari tindakan itu sendiri, sudah
tentu sangat jelas bagi kita. Namun dengan menjawab begitu,
kita tetap saja belum dapat memecahkan problema bagaimana
menterjemahkan analisis mengenai praktis tindakan manusia
seperti itu ke dalam kenyataan riil. Dan sayangnya lagi, Marx
dalam berbagai tulisannya juga tidak menguraikan secara jelas
prosedur bagaimana hal tersebut dapat dilaksanakan.
Problema kedua terkandung dalam pandangan Marx
lainnya mengenai hakekat manusia, yakni yang berkaitan dengan
perkembangan dari kategori pemikiran manusia. Problema ini
206 alam, Kebudayaan & yang IlahI

bermuasal dari diskusi Marx tentang kemungkinan penerapan


dari kategori teoritis para ahli political economics klasik. Marx
mengajukan sebuah argumentasi bahwa kategori teoritis yang telah
dikembangkan dalam rangka menjelaskan masyarakat borjuis,
yakni kategeori dari Classical Polical Economics sebagaimana hal
itu dikembangkan oleh Smith dan Ricardo, tidak dapat digunakan
untuk menjelaskan masyarakat di luar masyarakat borjuis tanpa
dilakukan modiikasi terlebih dahulu.
Pandangan Marx seperti itu berkaitan dengan gagasannya
mengenai hakekat manusia yang memiliki kesadaran, dan
kesadaran itu sendiri merupakan sebuah produk dari tindakan
sosial dalam sebuah kondisi historis khusus tertentu. Kecuali kita
adalah penganut setia paham evolusi yang sangat kuat meyakini
adanya akumulasi pengetahuan, maka sangat sulit bagi kita untuk
dapat memahami bagaimana gagasan dari satu zaman tertentu
bisa digunakan untuk memahami formasi sosial satu zaman lain
yang berbeda. Berdasarkan pemikiran Marx itu, maka gagasan
mengenai harta milik atau kekayaan (property) tidak mungkin
dapat dipahami dengan memisahkannya dari formasi sosial
ekonomi di mana kategori dari harta milik itu terlekatkan.
Dalam Grundrisse, Marx kembali mendiskusikan
pokok permasalahan ini dengan mencermati kemungkinan
pengaplikasian kategori kerja (labour) yang diberlakukan secara
umum. Ia mengemukan sebuah teori bahwa
“As a rule, the most general abstractions arise only in the
midst of the richest possible concrete development, where
one thing appears as common to many, to all. hen it ceases
to be thinkable in a particular form alone. On the other
side, this abstraction of labour as such is not merely the
mental product of a concrete totality of labours. Indiference
towards speciic labours corresponds to a form of society in
which individuals can with ease transfer from one labour to
another, and where the speciic kind is a matter of chance
Tony Rudyansjah 207

for them, hence of indiference.83


[Sebagai sebuah aturan, abstraksi yang paling umum hanya
muncul di tengah-tengah perkembangan konkritnya yang
paling mungkin, di tempat mana satu hal nampak sebagai
sesuatu yang umum bagi banyak hal yang lainnya, bagi
semua hal lainnya. Saat itulah, ia berhenti terpikirkan dalam
bentuk khususnya saja. Di sisi lain, abstraksi kerja semacam
ini bukanlah produk mental dari totalitas kerja konkrit
semata. Tak tertarik terhadap kerja khusus yang berkaitan
dengan sebuah bentuk masyarakat di tempat mana para
individunya dapat dengan mudah mempertukarkan satu
kerja dengan kerja lainnya, dan di tempat mana sebuah
macam yang khusus lebih merupakan persoalan kebetulan
bagi mereka, dan, dengan demikian, tak berbeda.]

Marx tegaskan lagi bahwa hanya di Amerika Serikat, kerja


berkembang menjadi tidak hanya sebuah kategori dengan
keberlakuan yang paling umum, melainkan juga kerja di dalam
kenyataan sehari-hari telah menjadi sebuah cara yang secara
konkrit paling berkembang untuk menghasilkan kekayaan yang
berlaku bagi siapa saja, dan tidak lagi secara organik hanya
berlaku bagi individu tertentu saja. Meskipun begitu, Marx tetap
mengingatkan kita semua bahwa kemungkinan aplikasi kategori
kerja itu harus diperlakukan secara hati-hati, karena meskipun
kerja merupakan kategori yang paling abstrak, dan sekaligus
mengandung kesahihannya, ia tetap saja merupakan produk
dari relasi historis tertentu, dan oleh karenanya, kesahihannya
secara mutlak hanya untuk dan di dalam kerangka relasi historis
tertentunya tersebut. Lebih lanjut Marx menegaskan bahwa
“Bourgeois society is the most developed and the most
complex historic organization of production. he categories
which express its relations, the comprehension of its
structure, thereby also allows insights into the structure and
the relations of production of all vanished social formations
out of whose ruins and elements it built itself up, whose
partly still unconquered remnants are carried along within

83
Karl Marx, Grundrisse, 1973, hlm. 104.
208 alam, Kebudayaan & yang IlahI

it, whose mere nuances have developed explicit signiicance


within it, etc. Human anatomy contains a key to the
anatomy of the ape. he intimation of higher development
among the subordinate animal species, however, can be
understood only after the higher development is already
known. he bourgeous economy thus supplies the key
to the ancient, etc. But not at all in the manner of those
economists who smudge over all historical diferences and
see bourgeois relations in all forms of society. One can
understand tribute, tithe, etc., if one is acquainted with
ground rent. But one must not identify them.”84
[Masyarat borjuis adalah organisasi historis paling
berkembang dan paling kompleks dari produksi. Kategori-
kategori yang mengekspresikan relasinya, pemahaman akan
strukturnya, dengan demikian memungkinkan juga sebuah
pemahaman ke dalam struktur dan relasi produksi semua
formasi sosial yang telah punah, yang dari reruntuhan
dan berbagai unsurnya masyarakat borjuis membangun
dirinya, dan yang sebagian sisanya yang tak tertundukkan
masih terbawa bersamanya, yang nuansa-nuansanya telah
mengembangkan arti penting tersurat di dalam dirinya,
dan seterusnya. Anatomi manusia mengandung sebuah
kunci bagi anatomi kera. Dengan demikian, keintiman
terhadap perkembangan lebih tinggi di kalangan spesies
binatang yang lebih rendah hanya dapat dipahami setelah
perkembangan yang lebih tinggi telah diketahui. Jadi,
ekonomi borjuis memberikan kunci ke masa purba, dan
seterusnya. Namun tidak sama sekali dalam cara para ahli
ekonomi yang menodai semua perbedaan historis dan
melihat relasi borjuis di dalam semua bentuk masyarakat.
Seseorang hanya dapat memahami upeti, zakat bagi gereja,
dan seterusnya, manakala seseorang telah mengetahui sewa
tanah. Namun seseorang mestinya tidak menyamakannya.]

Dalam rangka menghindari sebuah posisi yang bersifat


relativistik, Marx melakukannya dengan cara mengadopsi
pandangan Hegel mengenai sejarah sebagai sebuah proses
realisasi diri yang mengandung di dalam dirinya semua tahap
keberadaan manusia sebelumnya di dalam sebuah bentangan

84
Karl Marx, Grundrisse, 1973, hlm. 105.
Tony Rudyansjah 209

pencapaian utuh yang bersifat universal. Pada konteks inilah


Marx memperlihatkan kontinyuitas pemikirannya dengan tradisi
pemikiran Hegelian. Melalui kalimat dalam paragraf di atas, yang
sulit dipahami karena merupakan buku catatan pribadi yang
tidak dimaksudkan untuk publikasi, Marx tidak mengatakan
bahwa masyarakat borjuis modern mengandung di dalam dirinya
sendiri semua tahap keberadaan masyarakat sebelumnya tanpa
sedikitpun mengalami perubahan, sehingga seorang anggota
masyarakat borjuis dapat dengan mudah memahami berbagai
bentuk masyarakat sebelumnya yang sangat spesiik sifatnya,
tanpa mengeluarkan jerih payah apapun, misalnya hanya dengan
mengandaikan terdapatnya berbagai prinsip universal yang sahih
di segala waktu.
Andaikan saja Marx mengatakan hal itu, maka posisi Marx
persis sama dengan Auguste Comte dan Herbert Spencer dalam
melihat hakekat manusia dan sejarah masyarakat manusia. Di
dalam Grundrisse, meskipun mengkritik masyarakat borjuis
secara keras, Marx secara spesiik mengemukakan bahwa
masyarakat borjuis masih mungkin meraih kemampuan untuk
bisa memahami relasi mereka dengan bentuk masyarakat
sebelumnya, namun bukan dalam pengertian seperti metafor
seseorang menapaki tahap-tahap berbagai anak tangga menuju
kepada kemajuan (progression), melainkan lebih merupakan upaya
panjang dan berliku-liku yang menghabiskan banyak tenaga dan
waktu melalui sebuah sikap self-criticism yang tinggi. Berikut
inilah pernyataan Marx mengenai hal tersebut
“… since bourgeois society is itself only a contradictory
form of development, relations derived from earlier form
will often be found within it only in an entirely stunted
form, or even travestied. For example, communal property.
Although it is true, therefore, that the categories of
bourgeois economics possess a truth for all other forms of
society, this is to be taken only with a grain of salt. hey
210 alam, Kebudayaan & yang IlahI

can contain them in a developed, or stunted, or caricatured


form etc., but always with an essential diference. he so-
called historical presentation of development is founded, as
a rule, on the fact that the latest form regards the previous
ones as steps leading up to itself, and, since it is only rarely
and only under quite speciic conditions able to criticize
itself – leaving aside, of course, the historical periods which
appear to themselves as times of decadence – it always
conceives them one-sidely. he Christian religion was able
to be of assistance in reaching an objective understanding
of earlier mythologies only when its own self-criticism had
been accomplished to a certain degree… Likewise bourgeois
economics arrived at an understanding of feudal, ancient,
oriental economics only after the self-criticism of bourgeois
society had begun. In so far as the bourgeois economy did not
mythologically identify itself with altogether with the past,
its critique of the previous economies, notably of feudalism,
with which it was still engaged in direct struggle, resembled
the critique which Christianity leveled against paganism, or
also that of Protestantism against Catholicism.”85
[… oleh karena masyarakat borjuis hanya merupakan
sebuah bentuk perkembangan yang kontradiktif, maka
berbagai relasi yang berasal dari bentuk yang lebih awal
dapat ditemukan di dalamnya hanya dalam bentuk
kerdilnya, atau bahkan, karikaturnya. Sebagai satu contoh
adalah harta milik komunal. Dengan demikian, meskipun
benar bahwa kategori ekonomi borjuis memiliki kebenaran
bagi semua bentuk masyarakat lainnya, kebenaran itu
mesti diraih secara susah payah. Kategori ekonomi borjuis
memang dapat mengandung mereka dalam bentuk yang
telah berkembang, atau bentuk yang kerdil, atau bentuk
karikatur, namun selalu dengan sebuah perbedaan yang
esensial. Apa yang disebut orang sebagai presentasi
perkembangan yang historis didasarkan, sebagai sebuah
tolak ukur, pada kenyataan bahwa bentuk yang lebih akhir
akan memperlakukan bentuk yang lebih awal sebagai
tahapan-tahapan menuju dirinya, dan oleh karena sangat
jarang dan hanya dalam kondisi yang sangat khusus
mampu mengkritisi dirinya sendiri—dan menyingkirkan,

85
Karl Marx, Grundrisse, 1973, hlm. 105-106.
Tony Rudyansjah 211

untuk sementara, sejumlah periode historis yang nampak


bagi mereka sebagai masa-masa kemunduran—maka
kebenaran itu selalu mereka bayangkan hanya satu sisi.
Agama Kristiani memang dapat membantu memperoleh
pemahaman objektif tentang mitologi-mitologi masa
sebelumnya apabila sebuah kritik terhadap diri sendiri telah
dilakukan. … begitu juga ekonomi borjuis dapat menggapai
pemahaman mengenai ekonomi feudal, ekonomi masa
purba, atau ekonomi masyarakat Timur hanya setelah kritik
diri terhadap masyarakat borjuis telah mulai dilakukan.
Sejauh ekonomi borjuis tidak mengidentiikasikan dirinya
sendiri secara mitologis dengan masa lampau, maka
kritiknya terhadap ekonomi masa lampau, terutama
ekonomi feudalism, di mana mereka masih melakukan
pertarungan secara langsungnya, menyerupai kritik yang
dilancarkan agama Kristiani terhadap paganisme, atau
agama Protenstan terhadap agama Katolik.]

Atau penegasan lainnya yang diberikan Marx di halaman


berikutnya dari buku catatan yang sama.
“It would therefore be unfeasible and wrong to let the
economic categories follow one another in the same
sequence as that in which they were historically decisive.
heir sequence is determined, rather, by their relation to
one another in modern bourgeois society, which is precisely
the opposite of that which seems to be their natural order
or which corresponds to historical development. he point
is not the historic position of the economic relations in the
succession of diferent forms of society.”86
[Dengan demikian, tidak layak dan keliru membiarkan
kategori-kategori ekonomis beriringan satu sama lain dalam
sebuah urutan yang sama layaknya mereka memang begitu
meyakinkan secara historis. Urutannya semestinya lebih
ditentukan oleh pertalian mereka satu sama lain di dalam
masyarakat borjuis modern, yang justru berada dalam posisi
yang berlawanan dengan apa yang nampak sebagai tatanan
alaminya, atau yang berkenaan dengan perkembangan
historisnya. Pokok persoalannya bukanlah posisi historis
sejumlah relasi ekonomi dalam urutan bentuk-bentuk

86
Karl Marx, Grundrisse, 1973, hlm. 107.
212 alam, Kebudayaan & yang IlahI

masyarakat yang berbeda.]

Lebih lanjut Marx mengatakan bahwa dalam setiap


masyarakat atau kebudayaan terdapat satu macam produksi
khusus tertentu yang menentukan dan sekaligus memberi warna
pada berbagai macam hal lainnya.
In all forms of society there is one speciic kind of production
which predominates over the rest, whose relations thus
assign rank and inluence to the others. It is a general
illumination which bathes all the other colours and modiies
their particularity. It is a particular ether which determines
the speciic gravity of every being which has materialized
within it. For example, with pastoral peoples (mere
hunting and ishing peoples lie outside the point where real
development begins). Certain forms of tillage occur among
them, sporadic ones. Landed property is determined by
this. It is held in common, and retains this form to a greater
or lesser degree according to the greater or lesser degree of
attachment displayed by these people to their tradition, e.g.,
the communal property of the Slavs. Among peoples with a
settled agriculture – this settling already a great step – where
this predominates, as in antiquity and in the feudal order,
even industry, together with its organization and the forms
of property corresponding to it, has a more or less landed-
proprietary character; is either completely dependent on it,
as among the earlier Romans, or, as in the Middle Ages,
imitates, within the city and its relations, the organization
of the land. In the Middle Ages, capital itself – apart
from pure money-capital – in the form of the traditional
artisans’ tools etc., has this landed proprietary character. In
bourgeois society it is the opposite. Agriculture more and
more becomes merely a branch of industry, and is entirely
dominated by capital. Ground rent likewise.”87
[Dalam semua bentuk masyarakat, ada satu macam
produksi khusus tertentu yang lebih dominan di atas
yang lainnya, yang pertaliannya menentukan tingkatan
dan pengaruh terhadap yang lainnya tersebut. Itu adalah
penerangan umum yang menyinari berbagai warna lainnya,

87
Karl Marx, Grundrisse, 1973, hlm. 106-107.
Tony Rudyansjah 213

dan yang memodiikasi kekhususannya. Itu merupakan


eter yang menentukan gravitasi khusus setiap benda yang
mewujudkannya. Sebagai contoh adalah masyarakat peternak
(masyarakat nelayan dan masyarakat pemburu dikeluarkan
dari pokok persoalan ini, karena telah terjadi perkembangan
sebenarnya). Beberapa bentuk persemaian tanah telah terjadi
di antara mereka, meskipun dalam bentuknya yang sporadis.
Hak milik atas tanah ditentukan oleh hal ini. Hak milik atas
tanah dikuasai secara bersama-sama, dan sampai tingkat-
tingkat tertentu dipertahankan demikian sesuai dengan
besar atau tidaknya pertalian orang-orang bersangkutan pada
tradisinya, misalnya hak milik komunal masyarakat Slav.
Di kalangan masyarakat dengan pertanian menetap—ini
telah mencapai tahap yang penting—saat mereka dominan
sebagaimana dalam tatanan kuno atau feudal, atau, bahkan,
industri bersamaan dengan berbagai pengorganisasian dan
bentuk hak milik yang bertalian dengannya, maka sedikit
banyaknya terdapat karakter pemanfaatan tanah. Bisa
sepenuhnya tergantung padanya, seperti pada masyarakat
Romawi kuno, atau seperti masyarakat Abad Pertengahan,
dengan kota-kotanya beserta berbagai pertaliannya, meniru
pengorganisasian lahan tanah. Di masa Abad Pertengahan,
bahkan kapital dalam bentuk peralatan pertukangan
tradisional, dan lain sebagainya, mengandung karakter
pemanfaatan tanah itu. Di masyarakat borjuis yang terjadi
kebalikannya. Pertanian semakin lama semakin menjadi
hanya cabang dari industri, dan sepenuhnya didominasi oleh
modal. Begitu juga sewa tanah.]

Paragraf Marx di atas itu tidak hanya memberikan pencerahan


tentang sebuah argumentasi mengenai kemungkinan beberapa
modus produksi secara bersamaan hidup berdampingan dalam
satu masyarakat, melainkan meresonansikan apa yang satu abad
kemudian dirapalkan Dumont di era modern masa kini sebagai
sebuah struktur hirarki yang dominan di India, yang meskipun
memiliki berbagai bentuk pengorganisasian lainnya, tetap saja
214 alam, Kebudayaan & yang IlahI

menentukan dan mewarnai berbagai hal lainnya di India, karena


semua hal lain itu pada dasarnya dilingkupi oleh sebuah prinsip
hirarki yang bersifat encompassing.
Meskipun terdapat berbagai ketidaksepakatan di kalangan
para ahli mengenai pandangan Marx tentang proses historis
manusia, dan bahkan ada beberapa ahli Marxis yang mengatakan
bahwa Marx adalah seorang evolusionis88, namun satu hal jelas
dari berbagai uraian mengenai kemunculan berbagai kategori
dan bagaimana bentuk kemunculannya dalam masyarakat
kontemporer bahwa Marx beranggapan semua kategori itu
hanyalah sebuah pemahaman yang bersifat satu sisi dan parsial
dibandingkan pemahaman awalnya di masa lampau. Marx lebih
lanjut mengemukakan argumentasi bahwa apa yang tersisa dalam
masyarakat Eropa di masa kapitalisme seperti ‘zakat untuk gereja’
memiliki pemaknaan yang sangat berbeda dengan pengertian
‘zakat untuk gereja’ di masyarakat Eropa prakapitalisme.
Dalam rangka menghindari sebuah pandangan yang
bersifat evolusionis, dan sekaligus berupaya pada saat yang
bersamaan menghindari juga posisi yang bersifat relativistik,
Marx mengartikan sejarah sebagai sebuah proses yang senantiasa
mengalami perubahan di mana manusialah yang sesungguhnya
merupakan si pencipta (creator) dari proses itu, dan sekaligus
diciptakan (created) oleh proses itu. Satu-satunya faktor yang
senantiasa konstan dalam setiap proses historis adalah kemampuan
sosial manusia untuk berkreasi itu sendiri (socially creative ability).
Dengan demikian, kerja itu sendiri (labour) merupakan sumber,
daya dan sekaligus isi dari kehidupan historis manusia. Mengenai
pandangan Marx tentang sejarah seperti itu, Avineri secara
menawan merumuskannya
“What is not changing and not modiied is historical creation
as constant anthropogenesis, deriving from man’s ability to

88
Pandangan seperti itu dianut oleh, sebagai contoh, Marvin Harris.
Tony Rudyansjah 215

create objects in which he realizes his subjectivity.”89


[Apa yang tidak berubah dan tidak dimodiikasi adalah
kreasi historis sebagai antropogenesis yang bersifat konstan,
yang berasal dari kemampuan manusia menciptakan objek
melalui wadah mana mereka merealisasikan dirinya sendiri.]

Meskipun pandangan Marx mengenai sejarah itu merupakan


satu langkah maju yang jauh melampui gagasan positivis tentang
perkembangan mental manusia, dan meskipun barangkali dapat
membekali kita untuk dapat menghargai dan memahami beberapa
insight yang jauh melampui daripada sekedar kaidah-kaidah yang
bersifat deterministik mengenai alam semesta, namun tetap saja
meninggalkan banyak masalah lain di hadapan kita yang belum
terjawab sepenuhnya. Dan saya sendiri tentu saja tidak memiliki
pretensi untuk mampu memecahkannya. Apa yang dapat saya
lakukan hanyalah sekedar mencatat problema tersebut di sini
untuk pemikiran selanjutnya.
Hal lain yang perlu dicatat di sini adalah bahwa pandangan
Marx mengenai alienasi sesungguhnya memiliki pertalian yang
sangat erat dengan problema tersebut. Sebagaimana kita telah
diskusikan sebelumnya, Marx mempertentangkan konsep alienasi
dengan hakekat manusia sebagai gattungswesen di mana kebebasan
merupakan ciri utama manusia, dan sekaligus membentangkan
keseluruhan perkembangan masyarakat manusia dari primitive
communism menuju kepada masyarakat kapitalis dan akhirnya
komunis.
Menurut Marx, sejarah manusia hanya dimulai dengan
alienasi, dan sejarah, dengan demikian, merupakan catatan
mengenai perkembangan dari alienasi manusia, di mana
manusia pada awalnya berada dalam kondisi yang bebas dan
tidak teralienasi (free and unalienated), kemudian menjadi tidak
bebas dan teralienasi (unfree and alienated), dan lalu berupaya

89
Shlomo Avineri, he Social & Political hought of Karl Marx, 1980,
hlm. 85.
216 alam, Kebudayaan & yang IlahI

untuk meraih kembali kebebasannya (freedom). Oleh karena itu,


problema utama bagi Marx bukanlah menjelaskan relasi antara
manusia dengan alam, melainkan menjelaskan kenapa dan
bagaimana dua hal itu, yakni manusia dan alam, mungkin untuk
bisa dipikirkan sebagai hal yang terpisah dan tidak berkaitan.
Keterasingan atau alienasi manusia itu, menurut Marx, tidak
diakibatkan oleh adanya pembagian kerja itu sendiri, melainkan
lebih diakibatkan adanya satu bentuk khusus yang melekat dalam
proses kerja yang ada dalam masyarakat dengan kelas sosial. Dan
untuk memahami hal itu dengan baik, kita pertama-tama mesti
mengajukan pertanyaan apa yang tercakup dalam proses historis
dari alienasi dan realisari diri manusia melalui kerja di dalam
masyarakat kapitalis, dan pokok ini membawa kita kembali pada
pembahasan tentang ideologi.
Dalam bagian sebelumnya, saya telah mendiskusikan
dinamika dari konsentrasi modal dan menurunnya tingkat
keuntungan (the falling rate of proit) yang berujung pada
hancurnya sistem kapitalis dan peneguhan kembali ranah
kebebasan manusia. Satu hal yang menyolok dari berbagai diskusi
yang dilakukan orang terhadap Marx, seperti yang terlihat dalam
pembahasan yang diberikan Sahlins dan Alexander tentang
aspek utilitarianisme pemikiran Marx, adalah besarnya peranan
begitu fundamental dari teori tentang revolutionary praxis dalam
pemikiran Marx. Untuk dapat memahami hal itu, kita mesti
memperhitungkan kontradiksi tersembunyi yang dapat kita
temui baik dalam pemikiran fungsionalisme struktural maupun
utilitarianisme tentang masyarakat.
Semua masyarakat dalam sejarah manusia, kecuali masyarakat
primitif, memiliki kelas, dan kelas adalah komunitas di mana
anggotanya memiliki perasaan solidaritas terhadap sesama
anggota lain di dalam kelasnya, dan karena alasan itulah mengapa
kita dapat memahami mereka semua termasuk ke dalam satu
kelas yang sama. Marx nampaknya tidak terlalu memperhatikan
Tony Rudyansjah 217

bentuk solidaritas lain yang terdapat dalam entitas seperti bangsa,


agama, bahasa dan pertetanggaan, namun jelas dapat dipahami,
dari terminologi diskusi teoritisnya, kenapa Marx tidak terlalu
menekankan bentuk solidaritas lain tersebut, karena ia bermaksud
melihat semua bentuk solidaritas itu, termasuk kelas, baik sebagai
satu bentuk terselubung sebuah kesadaran palsu (disguised form
of false consciousness) maupun sebagai sebuah ideologi hegemonik
yang berfungsi menyembunyikan realitas kelas sesungguhnya.
Oleh karena adanya antagonisme inheren di dalam dirinya sendiri,
kelas hanya mungkin mencapai stabilitas manakala ideologi kelas
dominan diterima sebagai sesuatu yang alami, yakni pada saat
ideologi kelas dominan itu diterima sebagai kebudayaan bagi
seluruh anggota masyarakat.
Untuk dapat memahami bagaimana hal itu mungkin
terjadi, kita mesti melihat proses perubahan di tempat mana satu
pengaturan kelas seperti itu dapat dicapai. Saya tidak hendak
mengulang uraian sebelumnya di mana untuk bisa mencapai
proses itu sebuah segmen dari masyarakat yang menjadi motor
dari perubahan sadar akan kondisi sosial yang dihadapinya, dan
lalu bangkit, menantang dan menggulingkan posisi dominan kelas
yang berkuasa, kemudian memproklamirkan diri mereka sendiri
sebagai representasi dari seluruh masyarakat, dan dilihat orang lain
juga sebagai representasi dari diri mereka semua. Apa yang saya
ingin lebih tekankan di sini adalah bahwa manakala esensi dari
semua kehidupan sosial adalah kelas yang berdasarkan pada relasi
produksi, maka kasus yang solid dari sebuah bentuk kehidupan
semacam itu senantiasa dihiasi oleh berbagai institusi, yang
mewujudkan gagasan mengenai dunia, tuhan, dan kehidupan,
dan yang sekaligus berdampingan bersama dengan bentuk-
bentuk politik lainnya, mulai dari berbagai kesenian, organisasi
politik sampai organisasi agama, berperan sebagai superstructure,
sehingga realitas dari berbagai struktur ekonomi ditampilkan
di hadapan orang banyak sebagai sebuah bentuk kebudayaan
218 alam, Kebudayaan & yang IlahI

yang pada akhirnya dianggap memiliki kehidupan tersendiri


lepas dari kendali manusia, dan sekaligus mampu memainkan
pengaruh terhadap tindakan manusia, meskipun basis dari relasi
ekonomisnya sendiri sesungguhnya telah berubah. Inilah yang
dimaksudkan Saint-Simon sebagai adanya kesenjangan antara
gagasan (ideas) dengan berbagai bentuk pengaturan sosial (social
arrangement), yang sesungguhnya juga menjadi salah satu pusat
perhatian utama Marx.
Sebagaimana didiskusikan sebelumnya, sebuah segmen dari
masyarakat mulai sadar akan peranan politiknya dan bangkit
sebagai sebuah kelas baru yang siap menantang kelas yang
dominan, dan manakala mereka berhasil, maka mereka akan
menyingkirkan sistem yang lama, dan sekaligus memantapkan
sebuah superstructure dari pemerintahan mereka sebagai sebuah
institusi yang baru. Lepas dari persoalan bagaimana posisi itu
dapat dicapai sebuah kelas yang baru, maka kesuksesan dari
sebuah superstructure harus diukur dalam konteks seberapa jauh
superstructure itu nampak sebagai sesuatu yang alami tidak hanya
bagi anggota-anggota dari kelas yang dominan, namun bagi setiap
orang yang ada dalam sistem itu.
Dalam karyanya Capital, Marx mendiskusikan bagaimana
keseluruhan sistem dari upah (wages) dan relasi pasar
diinstitusionalisasikan sedemikian rupa, sehingga semua orang
berperilaku berdasarkan pada sistem itu, dan anehnya kemudian
ditanggapi mereka semua sebagai bagian dari alam itu sendiri.
Dengan lain kata, kita sampai di sini pada sebuah pembahasan
bagaimana ide dari superstructure itu menjelma menjadi sebuah
institusi yang terintegrasi secara utuh, dan kemudian mempunyai
kemampuan untuk memproduksi, memperkuat dan memproduksi
kembali keseluruhan sistem relasi sosial tersebut.
Ketidak-integrasian sistem itu hanya terjadi pada dua hal,
Tony Rudyansjah 219

yakni saat: (1) dinamika dari sistem itu sendiri mengarah pada
instrumentalitas dari siklus perdagangan yang berujung pada
munculnya kontradiksi di dalam sistem itu, dan pada akhirnya
kehancuran sistem itu sendiri; dan (2) meskipun realitas tempat
kerja dikedoki oleh apa yang nampak sebagai kesetaraan di
dalam ranah pasar melalui tampilan masyarakat sipil, realitas dari
sistem itu sendiri pada akhirnya cenderung memihak pada kaum
proletariat ketika mereka menjadi lebih terorganasir, lebih disiplin,
dan lebih sadar akan peranan historisnya, yang mendorong
mereka pada akhirnya untuk melakukan sebuah tindakan politis
yang penting.
Pertanyaan besar kemudian adalah bagaimana hal itu dapat
terjadi, dan apa peranan yang dimainkan oleh teori Marxis dalam
keseluruhan proses dari transformasi sosial tersebut. Pertanyan
ini menghadirkan beberapa isu teoritis dengan pengaruh yang
sangat besar. Karl Marx sendiri meninggalkan pokok permasalahan
ini tanpa terlalu banyak dikembangkan, dan menjadi tugas
para pengikutnya untuk menuntaskan dan menjawab pokok
permasalahan tersebut. Dan nampaknya sudah menjadi takdir dari
seorang pemikir dengan kreativitas sekaliber Marx apabila berbagai
ungkapan dan pernyataan dalam karyanya mungkin untuk bergerak
dan berkembang ke berbagai arah yang berbeda, sehingga para
pengikutnya bisa menggunakan aspek-aspek tertentu dari tulisan
Marx, dan sekaligus menganut berbagai titik pijakan yang berbeda
sebagai titik tolak pemikiran mereka, yang kesemuanya pada
akhirnya seringkali bisa saling berkontradiksi satu sama lainnya.
Salah satu pokok permasalahan yang pada dasarnya sangat
relevan untuk antropologi, misalnya isu tentang relasi antara
kebudayaan dengan perilaku sosial, relasi antara struktur gagasan
dengan struktur relasi sosial, ataupun relasi antara struktur
dan sejarah. Tradisi yang dominan dalam pemikiran Marxisme
berkenaan dengan pokok permasalahan ini secara ketat adalah
Materialisme Historis yang melihat ideologi dalam terminologi
220 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Marxisme mengenai citra yang terbalik (a la Feuerbach), yang


sudah dibahas,90 yaitu bahwa ideologi adalah distorsi yang
direkayasa untuk mengaburkan hakekat sebenarnya dari realitas
sosial, dan sekaligus menutupi kontradiksi. Meskipun sudah cukup
banyak residu Hegelian dalam pemikiran Marx yang mungkin
untuk melahirkan lagi beberapa arah pemikiran berbeda mengenai
pokok permasalahan ini, saya masih ingin menyebutkan di sini
beberapa pemikir Marxis yang memberikan lagi gaung ke arah yang
berbeda-beda mengenai pokok permasalahan ini. Dan saya ingin
memulainya dengan pembahasan mengenai kesadaran palsu.
Orang mengalami penderitaan karena kesadaran palsu
ideologis, seperti saat kaum proletarian menerima kealamian
(naturalness) dari sistem relasi komoditas, yang pada hakekatnya
sangat menipu dan mendelusikan mereka mengenai kepentingan
mereka sesungguhnya (their true interests). Dengan demikian,
sudah merupakan tujuan dari analisis kritis mengenai ideologi
untuk memberikan pencerahan akan kepentingan mereka
sesungguhnya itu. Meskipun begitu, tujuan ini secara serta
merta menimbulkan satu permasalahan pelik, yakni bagaimana
bisa memastikan sesuatu sebagai kepentingan sebenarnya. Ini
merupakan permasalahan umum yang dihadapi para peneliti
sosial, terutama ahli antropologi, ketika mereka bermaksud di
dalam penelitiannya lebih daripada hanya sekedar melaporkan
fakta mengenai masyarakat yang sedang dipelajarinya. Dan
permasalahan itu dapat secara lebih kurang dirumuskan sebagai
berikut: memperhatikan tidak hanya apa yang masyarakat maui,
melainkan lebih memperhatikan juga apa sesungguhnya yang
mereka butuhkan? Apa yang masyarakat maui dapat ditelusuri
dengan mengamati apa yang menjadi preferensi (preferences),
keinginan (wants), gagasan (ideas), hasrat (desires) dan keyakinan
(beliefs) mereka. Namun apa yang seringkali ditemui para peneliti
di lapangan adalah bahwa hal itu semua, seperti preferensi dan

90
Lihat halaman 136-140 dari buku ini.
Tony Rudyansjah 221

keyakinan yang diutarakan secara lisan, sangat bertentangan


dengan perilaku masyarakatnya. Inilah kepelikan utama yang
seringkali dihadapi para peneliti.
Tidak jarang apabila kita membaca literaty relective
anthropology maka kita akan mendapatkan banyak sekali
uraian yang mengkritisi bagaimana para peneliti memaksakan
konsepsi yang berasal dari diri mereka sendiri kepada masyarakat
yang sedang ditelitinya, sehingga kita pada akhirnya bisa
berkesimpulan bahwa mereka pada kenyataannya tidak pernah
melakukan penelian yang sesungguhnya. Dalam kondisi rumit
serupa itu, maka yang seringkali dilakukan peneliti, sebagaimana
diutarakan Geuss91, adalah merancang sebuah konstruksi teoritis
yang mampu baik menutupi berbagai bukti yang fragmentaris
sifatnya, maupun mengatasi berbagai kontradiksi antara apa yang
dikatakan masyarakat secara lisan dengan apa yang ditampilkan
mereka dalam perilakunya, meskipun konstruksi ini pada
akhirnya dapat berujung pada sebuah deskripsi mengenai sebuah
masyarakat berdasarkan pada perilaku, keinginan dan hasrat
yang tidak ada satupun anggotanya sadar maupun secara lisan
dan tegas menyatakan persetujuannya. Sesuatu hal yang dapat
dimaklumi, karena para peneliti biasanya tidak mungkin untuk
bisa menyangkal apa yang secara lisan dikatakan masyarakat,
dan tidak juga bisa mengatakan bahwa masyarakat itu bersifat
hipokrit, karena adanya perbedaan antara apa yang diucapkan
dengan apa yang dilakukan, sehingga para peneliti itu biasanya
terperangkap dengan sebuah konstruksi teoritis seperti di atas,
dan itu terpaksa dilakukan mereka dalam rangka membuat masuk
akal (make sense) apa yang mereka lihat dan dengar di lapangan.
Konstruksi teoritis semacam itu mereka rekaciptakan melalui
sebuah agenda fungsionalis yang biasanya menggunakan secara
dominan metafor oganisme yang berfungsi secara sehat manakala
mendeskripsikan sebuah masyarakat. Dan ini terutama terlihat

91
Raymond Geuss, he Ideas of a Critical heory, 1982, hlm. 45-45.
222 alam, Kebudayaan & yang IlahI

pada kecenderungan kita semua, termasuk para peneliti, ketika


menyatakan bahwa
“’Needs’ are deined relavite to the successful functioning
of an individual or social organism; if the ‘needs’ of the
organism are not satisied, it will malfunction.”92
[‘Kebutuhan’ dideinisikan relatif pada kesuksesan fungsi
individu atau organisme sosial; manakala ‘kebutuhan
organisme tidak terpenuhi, maka ia tak berfungsi.]

Dan tentu saja sangat sulit bagi kita untuk dapat


menentukan apakah satu organisme itu sehat, atau, sebaliknya,
sedang tidak sehat, dan lebih sulit lagi bisa menentukan apakah
sebuah masyarakat sehat atau tidak sehat, namun secara pasti
apa yang diangkat kembali oleh Geuss dalam karyanya adalah
pertanyaan penting berkenaan dengan relasi antara keinginan
(wants) dan pemikiran orang setempat (native wants and think),
atau antara hasrat individual dengan kesejahteraan sosial (social
well-being). Pertanyaan penting tersebut, diuraikan dalam karya
Geuss, sebagai satu pembahasan yang dilakukan ‘Teori Kritis’
(Critical heory) mengenai ideologi, yang pada hakekatnya sangat
mirip dengan pembahasan tentang pokok permasalahan serupa
yang jauh sebelumnya telah dilakukan oleh Jeremy Bentham.
Meskipun di permukaan Geuss nampaknya menguraikan sebuah
argumentasi yang bersifat fungsionalisme mengenai sebuah varian
dari teori Marxis, ia pada hakekatnya berupaya mengemukakan
gagasan Frankfurt School mengenai Critical heory—sebuah
aliran pemikiran, yang berasal dari Marxisme, dan sekaligus
lebih merupakan sebuah kritik yang berupaya mencari dan
mampu memberikan pedoman bagi tindakan sosial yang “benar”
(“correct”), sehingga dilihat dari maksud/tujuannya aliran ini
memiliki kedekatan tertentu dengan positivisme klasik, terlepas
dari hutang budinya yang sangat besar terhadap Marx.
Daripada hanya sekedar menginkorporasikan hasil observasi

92
Raymond Geuss, op.cit., hlm. 45.
Tony Rudyansjah 223

ke dalam kerangka teori seperti lazimnya dilakukan aliran


positivisme, posisi teoritis aliran pemikiran Frankfurt membedakan
dirinya dari positivisme melalui cara yang mereka lakukan dalam
menginkorporasikan self-relection serta intersubjective discussion
and agreement ke dalam kerangka teorinya. Saya tidak memiliki
ruang cukup untuk mendiskusikan kompleksitas yang menarik
dari pemikiran Frankfurt School, namun pelajaran penting yang
dapat ditarik dari aliran ini, sebagaimana dikemukan Geuss,
adalah sangat tidak mungkin bagi para peneliti untuk menerima
begitu saja the self-evidence of interests, dan aliran ini pada akhirnya
menyimpulkan bahwa real interests adalah kepentingan yang hanya
dapat dicapai manusia manakala ia berada dalam satu kondisi
pengetahuan yang sempurna (perfect knowledge) dan kebebasan
yang sempurna (perfect freedom). Dan oleh karena manusia
tidak hidup dalam utopia seperti itu, maka cukup kiranya bagi
kita untuk mengenali bagaimana kita mesti bertindak untuk
bisa menghindari sejumlah kekangan (coercions) yang membuat
kita mengalami penderitaan, dan sekaligus mampu bergerak
ke arah menuju satu kondisi pengetahuan dan kebebasan yang
optimal, dan tugas utama dari teori kritis (critical theory) adalah
untuk menunjukkan kepada kita cara/jalan mana yang harus
kita tempuh. Dalam konteks ini, relevan dan menarik untuk
memperhatikan bagaimana teori Marxis melihat dan menilai
dirinya sendiri.
Bagi anggota dari Frankfurt School, setiap teori sosial
dituntut harus relektif—satu pandangan yang semakin lama
semakin menjadi sebuah orthodoxy dalam disiplin antropologi.
Oleh karena itu, teori Marxis dianggap merupakan satu macan
ilmu baru yang berbeda dengan ilmu empiris justru karena teori
224 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Marxis, sebagaimana dikemukakan Frankfurt School, merupakan


sebuah critical theory yang bercirikan oleh self-relective, dan yang
sekaligus mampu membekali setiap pelaku dalam masyarakat
dengan sebuah pengetahuan yang dalam dirinya sendiri mampu
menghasilkan sebuah emansipasi dan pencerahan diri.
Dengan kata lain, Marx dianggap memberikan sebuah teori
yang mengakomodasikan baik struktur sosial yang ada secara
objektif maupun kepercayaan yang dianut masyarakat, serta
memaparkan sejumlah perhitungan mengenai teknologi dan
mengantisipasi penggunannya oleh masyarakat—ia membekali
semacam model tentang apa yang ideal itu seharusnya. Atau
dengan kata lain, teori Marx itu sendiri adalah sebuah critical
theory, dan sekaligus sebuah transisi dari tahap yang ada sekarang
menuju ke sebuah tahap inal yang mungkin secara objektif
terwujud hanya apabila si pelaku transformasi sosial (baca: anggota
masyarakat yang melakukan transformasi sosial) mengadopsi
critical theory mengenai kesadaran diri sendiri, sehingga menjadi
sadar akan keberadaan sebenarnya dari dirinya sendiri, dan
lalu mengambil tindakan sesuai dengannya. Itulah esensi dari
kesadaran diri yang mengandung emansipasi dan pembebasan
diri. Sedangkan, kesadaran palsu (false consciousness) merupakan
hal yang sebaliknya.
Kesadaran palsu merupakan sebuah proposisi yang penting
dalam teori Marxis, dan mengandung pengertian yang jauh
berbeda daripada apa yang dimaksudkan oleh proposisi ini di
dalam teori sosial lainnya yang biasanya mengartikannya ke dalam
kerangka relativisme budaya di mana segala sesuatu secara merata
dianggap sahih dan bermanfaat. Dan justru inilah yang merupakan
keberatan utama teori Marxis. Marx mengartikan kesadaran palsu
dalam kerangka problema relasi antara kebudayaan dan konteks
tindakan dari kebudayaan tersebut. Itulah problema utama yang
dikemukakan Marx secara gamblang ketika ia menyatakan di
salah satu tulisan masa mudanya bersama Engels.
Tony Rudyansjah 225

“It is not a question of what this or that proletarian, or


even the whole proletarian, at the moment regards as its
aim. It is a question of what the proletarian is, and what, in
accordance with this being, it will historically be compelled
to do. Its aim and historical action is visibly and irrevocably
foreshadowed in its own life situation as well as in the
whole generation of bourgeois society today. here is no
need to explain here that a large part of the English and
French proletarian is already conscious of its historic task
and is constantly working to develop that consciousness
into complete clarity.93
[Perkaranya bukanlah pertanyaan apakah yang dianggap
menjadi tujuan dari proletariat ini atau itu, atau bahkan
kaum proletariat secara keseluruhan pada satu masa
tertentu. Poinnya adalah pertanyaan apa proletariat itu,
dan berdasarkan keberadaannya itu, apa yang hal itu
paksa mesti dilakukan mereka secara historis. Tujuan dan
tindakan historis mereka secara gamblang dan tak terhindari
tergambarkan baik di dalam situasi kehidupan mereka
sendiri maupun di dalam keseluruhan generasi masyarakat
borjuis hari ini. Tidak ada kebutuhan untuk menjelaskan di
sini bahwa sebagian terbesar kaum proletariat Inggris dan
Perancis telah sadar akan tugas historis mereka, dan secara
terus menerus menggarap perkembangannya ke tahap
kejelasan yang utuh.]

Georg Lukács mengambil isu ini sebagai judul utama dari


bukunya yang terkenal History and Class Consciousness: Studies
in Marxist Dialectics, dan mengulas secara rinci problema
mengenai kesadaran maupun status teoritis dari ideologi. Dalam
karyanya yang lebih awal, heory of the Novel, ia secara sangat
keras mengkritisi peradaban Barat modern. Karya awal ini ditulis
Lukács pada masa Perang Dunia Pertama manakala masyarakat
Barat sangat kuat diselimuti pesimisme situasi dunia dan masa

93
Karl Marx dan Frederick Engels, he Holy Family, 2000, Chapter 4,
hlm. 13. Lihat juga Loyd D. Easton dan Kurt h. Guddat (editor dan
penterjemah), Writing of the young Marx on Philosophy and Society,
1967, hlm. 368; dan Robert C. Tucker (editor), he Marx-Engels
Reader, 1978, hlm. 134-135.
226 alam, Kebudayaan & yang IlahI

depannya, dan pesimisme inilah yang diungkapkan Lukács di


situ berdasarkan temuannya mengenai situasi komunisme di
Rusia. Kendati ia sangat kuat dipengaruhi oleh Hegel, prosedur
metodologis dan teoritis dari Lukács, terutama di karya awalnya
ini, sangat penting dan menarik dilihat dari sudut pandang
antropologi, karena prosedur itu dilakukannya berdasarkan
sebuah intepretasi yang intuitif mengenai kebudayaan—sebuah
intepretasi yang mengambil satu atau lebih ciri kebudayaan
yang diperoleh secara intuitif, dan lalu menarik kesimpulan dan
pandangan yang bersifat komprehensif mengenai kebudayaan
atau peradaban itu, tanpa menghiraukan apa yang disebut Lukács
sendiri sebagai fondasi subjektif pelaku kebudayaannya sendiri.
Pengaruh Hegel nampak kuat terlihat bila kita perhatikan
modus totalitas dari Hegel saat Lukács mengkaji dan
mendiskusikan etika, seni drama dan dunia orang Yunani
dalam bab 1 dari buku heory of the Novel yang berjudul
‘Integrated Civilisations’. Ia menghasilkan sebuah parodi
mengenai penilaian antropologis tentang keutuhan yang padu
(perfection) sebuah kebudayaan, karena ia secara meyakinkan
berhasil mendemontrasikan bagaimana susahnya bagi seorang
pemikir modern untuk bisa menangkap dan memahami hakekat
pemikiran orang Yunani, sehingga si pemikir yang bersangkutan
acapkali memaksakan dan memproyeksikan pertanyaan dirinya
sendiri, drama dirinya sendiri, dan penderitaan dirinya sendiri ke
dalam dunia pemikiran orang Yunani. Nasib serupa masih sering
terjadi pada ahli antropologi di masa modern yang memaksakan
kategorinya sendiri pada masyarakat yang ditelitinya, sehingga
Franz Boas terdorong melontarkan kritiknya terhadap rekan-
rekan sejawatnya di dalam disipilin antropologi yang acapkali
memperlakukan masyarakat yang dikajinya sebagai proyeksi dari
masyarakatnya sendiri, kategorinya sendiri dan problemanya
sendiri.94 Hal itu melahiran bukannya pemahaman yang lebih

94
Franz Boas, ‘History and Science in Anthropology: a Reply’ dalam
Tony Rudyansjah 227

baik, melainkan sebuah distorsi yang sangat mengaburkan


hakekat dari kenyataan sosial masyarakat yang mau dipelajarinya.
Bagi Lukács, dunia orang Yunani adalah
It is a homogeneous world, and even the separation between
man and world, between ‘I’ and ‘you’, cannot disturb its
homogeneity. Like every other component of this rhythm,
the soul stands in the midst of the world; the frontier that
makes up its contours is not diferent in essence from the
contours of things: it draws sharp, sure lines, but it separates
only relatively, only in relation to and for the purpose of a
homogeneous system of adequate balances. For man does
not stand alone, as the sole bearer of substantiality, in the
midst of relexive forms: his relations to others and the
structures which arise therefrom are as full of substance as he
is himself, indeed they are more truly illed with substance
because they are more general, more ‘philosophic’, closer
and more akin to the archetypal home: love, the family, the
state.95
[sebuah dunia yang homogen, dan pemisahan yang ada
antara diri manusia dengan dunianya, antara “saya” dan
“kamu”, tidak merusak dunia yang bersifat homogenous
dari orang Yunani. Serupa dengan setiap komponen lain
dari ritme ini, jiwa berdiri di tengah-tengah dunia, pinggiran
yang membentuk konturnya tidak berbeda dalam esensinya
dengan kontur dari berbagai benda, itu menarik garis yang
tegas dan pasti, namun pemisahannya hanya bersifat relatif
pada maksud dari sistem perimbangan memadai yang
homogen. Oleh karena manusia tidak berdiri sendiri di atas
dunia ini sebagai satu-satunya pemilik substantialitas di
tengah-tengah bentuk releksif: pertaliannya dengan orang
lain, dan struktur yang muncul darinya, merupakan sebuah
substansi yang utuh sebagaimana diri mereka sendiri. Tentu
saja mereka utuh secara substansi, karena mereka lebih
bersifat umum, lebih ilosois, lebih dekat dan berkerabat
dengan rumah lama mereka: cinta, keluarga, negara.]

Lukács mendeskripsikan secara panjang lebar baik tentang

American Anthropologist, n.s., XXXVIII, 1936.


95
Georg Lukács, he heory of the Novel, 1971, hlm. 3.
228 alam, Kebudayaan & yang IlahI

koherensi yang sempurna dari dunia orang Yunani, maupun


tentang kurangnya individuasi diri dalam dunia orang Yunani itu.
Ia lalu menggambarkan sebuah kontras antara dunia masyarakat
Yunani dengan dunia masyarakat Barat modern, dan akhirnya
menguraikan kenapa dunia Barat modern berbeda dari dunia
masyarakat Yunani itu
…the circle whose closed nature was the transcendental
essence of their life has, for us, been broken; we cannot
breathe in a closed world. We have invented the productivity
of the spirit: that is why the primaeval images have
irrevocably lost their objective self-evidence for us, and our
thinking follows the endless path of an approximation that is
never fully accomplished. We have invented the creation of
forms: and that is why everything that falls from our weary
and despairing hands must always be incomplete. We have
found the only true substance within ourselves: that is why
we have to place an unbridgeable chasm between cognition
and action, between soul and created structure, between
self and world, why all substantiality has to be dispersed
in relexivity on the far side of that chasm; that is why our
essence had to become a postulate for ourselves and thus
create a still deeper, still more menacing abyss between us
and our ownselves. Our world has become ininitely large
and each of its corners is richer in gifts and dangers than
the world of the Greeks, but such wealth cancels out the
positive meaning— the totality—upon which their life was
based. (susunan paragraph diubah).96
[… lingkaran yang hakekat tertutupnya adalah esensi
transcendental kehidupan mereka, bagi kita, telah terputus
dan rusak; kita tidak dapat lagi bernafas dalam sebuah
dunia yang tertutup. Kita telah menemukan produktivitas
jiwa: inilah alasan kenapa pencitraan masa kuno tak dapat
dihindari lagi telah kehilangan bagi kita bukti objektif
dirinya, dan pemikiran kita mengikuti jalur perkiraan
tanpa henti yang tidak pernah mencapai bentuknya. Kita
telah menemukan kreasi berbagai bentuk: itulah sebabnya
mengapa semua yang terjatuh dari tangan kita yang letih
dan putus asa mesti tidak pernah lengkap dan rampung.

96
Georg Lukács, he heory of the Novel, 1971, hlm. 3.
Tony Rudyansjah 229

Kita menemukan substansi sebenarnya hanya di dalam diri


sendiri: itulan sebabnya kenapa kita mesti menempatkan
sebuah pemisah yang tak terjembatani antara kognisi dan
tindakan, antara jiwa dan struktur yang direkayasa, antara
diri dan dunia, itulah sebabnya kenapa semua substansialitas
mesti disebarkan ke dalam releksivitas di berbagai sisi
terjauh dari pemisahan itu. Itulah sebabnya kenapa esensi
kita harus menjadi postulat/rumusan bagi diri sendiri, dan,
dengan demikian, melahirkan sebuah lubang menganga
yang semakin dalam dan semakin mengancam antara
kita dan diri kita. Dunia kita semakin membesar, dan
setiap sudutnya semakin kaya dengan anugrah dan bahaya
daripada dunia orang Yunani, tetapi kekayaan semacam itu
menunda pemaknaan positif—yakni totalitas—di tempat
mana dunia orang Yunani bersandar.]

Dengan memahami bahwa kata ‘kita’ (we) dalam paragraf di


atas mengacu kepada masyarakat Barat modern, maka apa yang
sesungguhnya Lukács ingin sampaikan adalah bahwa masyarakat
Barat modern telah kehilangan pemahaman dari totalitas itu
(a sense of totality), di tempat mana masyarakat Yunani justru
dapat menempatkan individuasi dirinya. Gambaran Lukács
itu tentu saja sangat idealistis, namun ia berhasil menghindari
kemutlakan relativisme, dan mempertahankan argumentasinya
melalui sebuah cara yang disebutnya sebagai dialectic of literary
genre yang dihasilkan layaknya oleh seorang seniman kreatif yang
tak berumah,97 ketimbang dengan cara membentangkan jalinan
satu simpul dengan simpul lainnya di dalam satu kebudayaan
sebagaimana dilakukan oleh ahli antropologi Ruth Benedict
dalam karyanya Patterns of Culture.
Saya menyinggung semua di atas itu, karena hal itu
mengandung relevansi yang tinggi dengan buku Lukács lainnya,
History and Class Consciousness. Lukács menganut sebuah teori

97
Lukács pada saat menulis he heory of the Novel hidup layaknya
seorang seniman yang berpindah-pindah dari satu negera ke negara
lain.
230 alam, Kebudayaan & yang IlahI

tentang kebudayaan yang sangat erat berkaitan dengan konsepsinya


tentang totalitas dan sejarah, dan ia menggunakan pengertian
semacam itu dalam rangka menafsirkan pemikiran Marx. Lukács
mengajukan sebuah argumentasi bahwa pengetahuan sejarah
tentang kaum proletariat mesti berdasarkan pada pengalaman
kaum proletariat, dan berupaya mengaplikasikan kategori yang
bersifat menentukan bagi pengalaman mereka itu sendiri ke dalam
analisisnya. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa pengetahuan
empiris masyarakat borjuis adalah sebuah kesadaran palsu (false
consciousness)—sebuah sistem yang kompleks dari berbagai
kategori bersifat reiikasi yang lahir dari fetisisasi komoditas.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, berbagai kategori dan
pengetahuan dalam masyarakat kapitalis bermuasal dari aktivitas
kerja manusia.98 Dengan demikian kategori itu, sebagai sebuah
kategori, sesungguhnya merupakan sebuah abstraksi yang berasal
dari aktivitas manusia. Namun hasil dari aktivitas kerja itu,
yang dalam kasus masyarakat kapitalisme telah berubah fungsi
menjadi komoditas, ditanggapi sebagai sesuatu yang berada di
luar diri manusia, dan sekaligus dianggap bahkan memiliki suatu
kekuatan yang mampu memainkan peranan mempengaruhi
serta mengendalikan tindakan manusia. Dengan mengutip
Marx, Lukács menegaskan kembali problema kesadaran palsu
masyarakat borjuis.
“To them, their own social action, … takes the form of the
action of objects which rule the producers instead of being
ruled by them.”99
[Bagi mereka, tindakan sosial mereka sendiri mengambil
bentuk sebagai tindakan dari objek yang mampu menguasai
si penciptanya, ketimbang, sebaliknya, dikuasai oleh si
penciptanya.]

Oleh karena itu, berbagai kategori dalam masyarakat borjuis

98
Lihat halaman124-126 buku ini.
99
Georg Lukács, History and Class Consciousness, 1985, hlm. 49.
Tony Rudyansjah 231

menjadi bersifat reiikasi dan sangat menyesatkan, karena anggota


masyarakat didelusikan olehnya. Ini merupakan ciri utama dari
kapitalisme. Meskipun demikian, berbagai tipologi, rasionalisasi,
generalisasi dan berbagai pencarian lainnya terhadap kaidah-
kaidah berlaku umum yang kita temukan dalam masyarakat
borjuis tidak sekedar kekeliruan semata, atau kesadaran yang
terreiikasi, melainkan berbagai pemikiran borjuis itu merupakan
juga sebuah prakondisi yang memang dibutuhkan bagi
kemunculan kesadaran kaum proletarian. Dan bagi Lukács, akhir
dari periode alienasi yang memang dibutuhkan ini, atau akhir
dari dominasi dari kaidah-kaidah ilmiah abstrak borjuis, hanya
akan tiba manakala kaum proletariat berhasil meraih pengetahuan
diri mereka sesungguhnya yang diperoleh dari kesadaran kelas
mereka. Ini tentu saja tak lazim karena kaum borjuislah yang
nampaknya memiliki berbagai macam keuntungan dari semua
bentuk organisasi dan pengetahuan yang ada, dan kenapa
kemudian justru kaum proletariat yang bisa berperan sebagai
wahana bagi perubahan. Jawabannya, menurut Lukács, adalah
karena kaum proletariat-lah yang mampu melihat masyarakat
dari titik pusatnya sebagai sebuah keutuhan yang koheren.
“As the bourgeoisie has the intellectual, organizational and
every other advantage, the superiority of the proletarian must
lie exclusively in its ability to see society from the center, as a
coherent whole. his means that it is able to act in such a way
as to change reality; in the class consciousness of the proletarian
theory and practice coincide and so it can consciously throw
the weight of its actions onto the scales of history…100
[Oleh karena kaum borjuis memiliki keunggulan
intelektual, organisasi dan keunggulan lainnya, kelebihan
kaum proletariat secara ekslusif mesti terdapat di dalam
kemampuan mereka melihat masyarakat dari titik pusatnya
sebagai sebuah keutuhan yang koheren. Ini berarti bahwa
mereka mampu bertindak sedemikian rupa sehingga
bisa mengubah realitas; di dalam kesadaran kelas kaum

100
Georg Lukács, History and Class Consciousness, 1985, hlm. 69.
232 alam, Kebudayaan & yang IlahI

proletariat, teori dan praktek menjadi satu, sehingga


mereka bisa secara sadar mengungkit tindakan mereka ke
tingkatan-tingkatan sejarah]

Kutipan di atas menampilkan secara jelas bahwa Lukács


menekankan kembali semacam pemahaman tentang totalitas
yang didapatnya dari totalitas dunia orang Yunani. Ia
mengemukakan argumentasi bahwa kaum proletariat mengada
bukanlah dalam rangka untuk bertindak bagi kepentingan
dirinya sendiri, melainkan kaum proletariat senantiasa bertindak
dalam keterkaitannya dengan kaum borjuis, dan sekaligus
mampu menghindarkan dirinya dari tindakan parsial yang hanya
merupakan pengejaran kepentingan ekonomi diri mereka semata.
Dalam konteks ini, ideologi, dalam bentuknya sebagai kesadaran
kelas kaum proletariat, memainkan peranan sentral dalam sebuah
perubahan sosial. Jadi ideologi di sini tidak sekedar hanya gagasan
keliru, yang melekat dalam diri kaum proletariat, dalam rangka
menghancurkan berbagai rintangan yang menjadi benteng
pertahanan kekuatan kaum penindas. Kesadaran kelas yang
sebenarnya dari kaum proletariat bukanlah sebuah ideologi yang
bersifat parsial, melainkan lebih merupakan sebuah kesadaran
tentang totalitas dari berbagai relasi sosial yang ada.
Pemikir Marxis banyak yang beranggapan bahwa kesadaran
kelas kaum proletariat adalah kesadaran inal dan akhir dari
sejarah manusia—ideologi Marx terakhir yang terejawantahkan
dalam kesadaran kelas kaum proletariat, dan bahkan ada beberapa
ahli Marxis yang tergoda mengatakannya sebagai ‘kebenaran yang
inal’. Sedangkan Lukács sendiri merapalkannya sebagai berikut.
“For that reason its consciousness, the last class consciousness
in the history of mankind, must both lay bare the nature of
society and achieve an increasingly inward fusion of theory
and practice. ‘Ideology’ for the proletarian is no banner to
Tony Rudyansjah 233

follow into battle, nor is it a cover for its true objectives: it


is the objective and the weapon itself.”101
[Untuk alasan itu kesadarannya, kesadaran kelas terakhir di
dalam sejarah umat manusia mesti mengungkapkan baik
hakekat masyarakat maupun mencapai perpaduan yang
semakin baik antara teori dan praktis. ‘Ideologi’ bagi kaum
proletariat bukanlah panji yang harus diusung dalam medan
perang, bukan juga sebuah kedok bagi tujuan sebenarnya,
melainkan tujuan dan senjata itu sendiri.]

Bagi Lukács, ideologi adalah kesadaran sebagai satu totalitas


yang mampu menciptakan sebuah tatanan yang baru. Ini adalah
dasar pijakan utama Lukács dalam karyanya History and Class
Consciousness di tempat mana kemauan dan motif individu yang
aktif dalam sejarah dilihatnya hanya menempati arti penting
yang sekunder. Dan inilah maksudnya kenapa ia tidak terlalu
memperhatikan fondasi subjektif dari para pelaku kebudayaannya
sendiri, sebagaimana saya telah sebutkan di atas.
“the many individual wills active in history for the most
part produce results quite other than those intended—
often quite the opposite; their motives, therefore, in relation
to the total result are likewise of only secondary importance.”102
[banyaknya kemauan individual yang aktif dalam sejarah,
untuk sebagian besar, membuahkan hasil yang sangat
berbeda daripada yang dimaksudkan—dan acapkali bahkan
sangat berlawanan dengannya; motif-motif mereka, dengan
demikian, dalam kaitannya dengan hasil keseluruhannya
hanyalah menempati arti penting yang sekunder sifatnya]

Apa yang mesti dilakukan, menurut Lukács, adalah


menemukan berbagai daya historis yang mentransformasikan
dirinya sebagai motif utama di dalam pikiran para pelaku sejarah.
“… the historical causes which transform themselves into
these motives in the brain of the actors … driving forces
ought themselves to be determined, in particular those

101
ibid, hlm. 70.
102
ibid, hlm. 47.
234 alam, Kebudayaan & yang IlahI

which “set in motion great masses, whole peoples and again


whole classes of the people; and which create a lasting
action resulting in a great transformation.” he essence of
scientiic Marxism consists, then, in the realization that
the real motor forces of history are independent of man’s
(psychological) consciousness of them.”103
[… sebab-sebab historis yang mentransformasikan dirinya
sendiri menjadi motif di dalam pikiran para pelaku sejarah…
daya-daya penggerak ini mesti ditemukan, khususnya
daya-daya penggerak yang mendorong massa secara luas,
keseluruhan masyarakat dan keseluruhan kelas-kelas dalam
masyarakat, yang mampu menghasilkan tindakan abadi
yang mengakibatkan sebuah transformasi besar.” Hakekat
dari Marxisme ilmiah terdapat, dengan demikian, di dalam
pengakuan bahwa daya penggerak sesungguhnya dari
sejarah tidak berkaitan dan tergantung pada kesadaran
psikologis manusia tentang sejarahnya.]

Kesemua pengertian di atas tentu saja sangat menarik,


namun persoalannya adalah apa yang harus dilakukan orang saat
Lukács di masa Perang Dunia I, di satu sisi, telah menuliskan
dan merapalkan “amanah pembebasan” yang akan dilakukan
kaum proletariat bagi kemanusian, sedangkan, di sisi lain,
kaum proletariat tidak memperlihatkan tanda-tanda melakukan
“terobosan” (breakthrough) menuju kepada tahap selanjutnya itu.
Pada situasi seperti itu, apa yang harus dilakukan? Apakah hanya
diam dan menunggu saja hingga kaum proletariat menemukan
kesadaran kelas mereka sebenarnya? Berkenaan dengan isu pelik
ini, Lukács mengajukan argumentasi bahwa
“… the essence of history lies pricesely in the changes
undergone by those structural forms which are the focal
points of man’s interaction with environment at any given
moment and which determine the objective nature of both
his inner and outer life.”104
[… hakekat dari sejarah justru terletak di dalam perubahan-

103
ibid, hlm. 47.
104
ibid, hlm. 153.
Tony Rudyansjah 235

perubahan yang dialami oleh bentuk-bentuk struktural yang


merupakan titik sentral dari interaksi manusia pada waktu
tertentu dengan lingkungannya, dan yang menentukan hake-
kat objektif dari kehidupan lahiriah dan batiniah manusia.]

Dan rahasia yang harus dipecahkan orang dalam rangka


mengatasi persoalan pelik di atas, menurut Lukács, adalah dengan
cara menemukan bentuk-bentuk struktural itu. Namun persoalan
lainnya adalah bagaimana hal itu dapat ditemukan? Orang tidak
dapat melakukannya melalui sebuah proses aprehensi/pemahaman
langsung. Lukács sendiri secara jelas menyebutkan bahwa
“… neither the people who experience it nor the historians
have direct access to immediate reality in these, its true
structural forms.”105
[… bukan orang-orang yang mengalaminya dan bukan
juga sejarawan yang dapat memiliki akses kepada kenyataan
langsung dari bentuk-bentuk struktural sesungguhnya ini.]

Oleh karena bentuk-bentuk struktural ini sangat sulit untuk


dapat secara langsung diketahui dan ditemukan orang, maka
Lukács memberikan petunjuk bagaimana itu mesti dilaksanakan.
“It is irst necessary to search for them and to ind them—
and the path to their discovery is the path to a knowledge
of the historical process in its totality.”106
[Adalah pertama penting untuk mencari dan
menemukannya—dan jalan untuk penemuannya adalah
jalan kepada satu pengetahuan dari proses historis dalam
totalitasnya.]

Kemudian ia mengemukakan uraian yang menarik mengenai


bentuk perubahan sosial yang pada dasarnya tergantung pada
apakah kita melihatnya dalam kerangka sebagai satu bentuk yang
secara langsung terberikan dari objeknya semata, sebagaimana
dipahami oleh para ahli positivisme borjuis, atau apakah lebih
berdasar pada sebuah pandangan bersifat total/menyeluruh

105
ibid, 1985, hlm. 153.
106
ibid, hlm. 153.
236 alam, Kebudayaan & yang IlahI

yang mampu mengungkapkan relasi sebenarnya dari semua


objek yang ada. Dalam kerangka konsepsi Lukács, kaum borjuis
didiskualiikasi sebagai kelompok yang mampu menggapai
pandangan yang bersifat total itu. Oleh karena posisi historisnya,
yang sangat kuat terlekatkan dengan sebuah kesadaran yang
terreiikasi, maka kaum borjuis hanya dapat melihat berbagai hal
secara parsial. Ini secara khusus sangat ironis, karena justru kaum
borjuis satu-satunya kelas dalam sejarah yang menginkorporasikan
faktor-faktor ekonomi secara langsung ke dalam ideologinya,
namun sayangnya kesadaran mereka itu sendiri terdistorsi oleh
idologi individualitasnya. Sebaliknya hanya kaum proletariat,
yang meskipun digerakkan oleh kepentingan kelas tertentu yang
khusus, mampu mencapai satu moral dari masa kini, yang pada
saat bersamaan merupakan sebuah moral totalitas sejarah—dan
mulai pada momen itulah segala sesuatu dalam sejarah manusia
mulai bergerak ke tahap selanjutnya.
Masalahnya kemudian adalah bahwa Lukács sendiri bukanlah
anggota dari kelas proletariat, dan dalam kenyataan ia adalah
anak dari seorang bankir di Hungaria. Begitu juga Marx sendiri
bukanlah anggota dari kelas proletariat. Namun orang dapat
mengambil bagian dalam sesuatu hal yang lain, meskipun orang
yang bersangkutan tidak berasal dari sesuatu hal yang lain itu. Jadi
untuk memasuki kesadaran kaum proletariat, orang tidak mesti
menjadi kaum proletariat terlebih dahulu. Lukács mengajukan
argumentasi bahwa ilsafat Jerman Klasik berhasil mengangkat diri
mereka ke satu tingkat kemajuan dari berbagai pokok persoalan
sekarang ini dengan berangkat dari sejumlah pokok persoalan yang
tidak dapat diangkat oleh dunia orang Yunani ke tahap kesadaran
mereka (baca; orang Yunani). Lukács lebih lanjut sampai pada
sebuah kesimpulan bahwa melalui sebuah releksi ilosois yang
cermat, kita akan dapat mempertalikan ke dalam kelas proletariat
sebuah kesadaran—sebuah kesadaran sebenarnya, yang bukan
merupakan penjumlahan keseluruhan dan bukan juga nilai rata-
Tony Rudyansjah 237

rata dari unsur-unsur individualnya.


Tentu saja teori Lukács di atas itu dapat dilihat sebagai
sesuatu yang bersifat sirkuler. Ia menganut pendapat bahwa kelas
proletariatlah yang dapat membawa dampak terhadap akhir dari
sejarah manusia, karena teorinya mengenai sejarah adalah teori
Marxis, dan Marx-lah yang mempertalikan kesimpulan mengenai
akhir sejarah manusia seperti itu terhadap kelas proletariat. Dan
orang mengetahui bahwa kaum proletariat merupakan kelas
revolusioner sebenarnya, karena Marx mengatakannya begitu.
Singkatnya, di sini kita sampai pada sebuah sirkularitas yang komplit
dari sebuah teori. Lukács mengkaji kembali gagasan seperti itu
pada saat Stalin memulai propagandanya untuk kepentingan rejim
pemerintahannya (baca: Stalin) di Rusia. Satu-satunya kesalahan
Stalin, menurut Lukács, adalah menggantikan sebuah apresiasi
sesungguhnya mengenai satu determinasi ekonomi dengan sebuah
determinasi yang bersifat totalitas bagi segala-galanya. Satu poin
perlu disampaikan di sini bahwa karya Lukács History and Class
Consciousness merupakan sebuah case study yang penting mengenai
apa yang di dalam disiplin antropologi disebut sebagai analisis
kultural. Dan analisis kultural seperti itu sesungguhnya ditulis
Lukács dalam rangka melawan ‘scientiic historical materialism’ di
akhir abad ke-19, yang berupaya mengkaji kesadaran manusia
semata-mata dari basis materiilnya saja.
Lawan yang lebih radikal dari teori praxis justru lebih
mencurahkan perhatian dan serangannya terhadap korpus
Hegelian mengenai proses pengejawantahan ide/gagasan sebagai
suatu bentangan metaisik murni tentang satu keniscayaan historis
yang tak dapat dihindari, ketimbang memberikan perhatian
kepada apa yang disebut Sahlins sebagai logika instrumental
murni dari tindakan berkreasi manusia. Bagi para penganut setia
pemikiran Marx yang lebih materialistik, teori praxis ditanggapi
dapat juga mengakomodasikan citra tentang manusia yang
menciptakan dirinya sendiri di dalam satu kerangka voluntarisme
238 alam, Kebudayaan & yang IlahI

individualistik tak-berstruktur. Hasil pengakomodasian itu


acapkali tidak lebih daripada sebuah varian Marxisme mengenai
subjektivisme borjuis, yang biasanya ditampilkan dalam wujud
“keputus-asaan” (“despair”) yang sama halnya seperti dalam karya
awal Lukács, dan bagi mereka ideologi tidak lebih daripada sebuah
kesadaran palsu yang hanya dapat dienyahkan oleh sebuah correct
science. Sebuah posisi yang membuat mereka lebih dekat dengan
ilmu positif, sebagaimana diperlihatkan oleh Frankfurt School.
Penulis Marxis lain yang jauh berbeda dari Lukács adalah
Louis Althusser. Ia adalah seorang ahli Marxisme Struktural
Perancis yang sangat banyak terpengaruh oleh Antonio Gramsci.
Dalam rangka mempermudah rangkaian argumentasi dari bab
ini, maka sangat bermanfaat apabila kita mendiskusikan sumber
pemikirannya lansung dari Gramsci.
Karya Gramsci sangat besar menarik perhatian pada ahli
antropologi, karena Gramsci mengkaji baik gagasan mengenai
formasi sosial sebagai sebuah totalitas ekspresif seperti Lukács,
maupun gagasan mengenai reduksionisme ekonomik dan, ini
yang lebih menarik, ia mengkombinasikan keduanya dengan cara
membentangkan secara cermat dan teliti komplesitas relasi antara
base dan superstructure, atau relasi antara produksi dan elemen-
elemen superstrukturnya, sekaligus mengeksplorasi fungsi
ideologi sebagai perekat keutuhan sosial tanpa terperangkap ke
dalam “bui” ideologi dominan a la Lukács, yang dianggap Lukács
mampu menyelimuti berbagai kesadaran semua kelas sosial yang
lalu diperlakukan hanya ibarat selimut peraduan putih bersih yang
sebelumnya tak terkena sentuhan berbagai kesan dan pengaruh
luar apapun layaknya tabula rasa dari Locke.
Lebih jauh Gramsci juga mengeksplorasi realitas resistensi
terhadap dominasi ideologis. Masalah dalam karya Lukács,
apabila diteropong melalui kacamata pemikiran Gramsci, adalah
tidak adanya sesuatu yang berperan menjadi mediasi di antara
kesadaran borjuis yang terreiikasi, yang cenderung menyelimuti
Tony Rudyansjah 239

keseluruhan anggota masyarakat, dan kesadaran kelas sebenarnya


dari kelas pekerja yang aktif secara politik, yang meskipun berada
dalam posisi yang terbelakang, namun mampu mencapai kesadaran
yang sesungguhnya. Dengan kata lain, pemikiran Lukács tidak
memberikan ruang akan adanya konsepsi mengenai ideologi
yang terstrukturkan dan lalu terdiferensiasikan ke dalam sebuah
himpunan formasi sosial yang kompleks beserta segala varian
kelasnya, fragmentasi kelasnya, tingkat kesadaran ideologinya,
struktur simbolisnya, yang kesemuanya terlekatkan pada berbagai
situasi kehidupan yang berbeda-beda. Gramsci melakukan kajian
mengenai semua problema itu, dan meskipun menggunakan
kata ideologi dalam pengertian sebagai sistem pemikiran, bentuk
kesadaran dan konsepsi mengenai dunia, ia mengabstraksikannya
sebagai common-sense. Dengan kata lain, Gramsci mengambil-
alih gagasan Marx dan mengembangkan seperangkat kategori
yang lebih canggih, seperti berbagai kategori mulai dari Global
Weltanshauung (Pandangan Hidup Global) hingga berbagai
bentuk kesadaran yang spesiik dan terdiferensiasi, dan ia pada
akhirnya puas dengan pendapat bahwa ideologi, melalui berbagai
aspek hegemonisnya, telah menjadi satu kekuatan materiil dalam
sejarah manusia.
Konsep hegemoni mengandung sebuah pengertian yang
jauh lebih kompleks daripada yang biasanya dipahami orang
hanya sebagai satu dominasi gagasan dari kelas penguasa terhadap
semua gagasan dari kelas lainnya—sebuah konsepsi yang pada
hakekatnya bersumber dari Marx. Gramsci tidak selalu jelas
dengan apa yang dimaksudkannya dengan hegemoni. Namun
apa yang membuat Gramsci menarik bagi para ahli antropologi
adalah perhatian yang diberikannya terhadap kompleksitas
gagasan-gagasan di dalam berbagai relasi sosial di seputar berbagai
kehidupan aktual yang nyata, misalnya, persoalan bagaimana
berbagai gagasan dimanfaatkan, diformulasikan dan dijadikan
bagian dari common-sense. Selain itu, ia juga sangat prihatin
240 alam, Kebudayaan & yang IlahI

dengan keseluruhan susunan berbagai bentuk sosial di antara


negara dan kelas-kelas sosial, seperti, misalnya, keluarga (family),
persekutuan dagang, organisasi keagamaan, konsepsi feminitas,
posisi dari wanita dan pers, dan di dalam keseluruhan susunan
itu, Gramsci melihat bahwa kelas sesungguhnya merupakan satu
kontestasi kekuasaan. Ia menganut pendapat bahwa common-
sense bukanlah satu entitas yang terartikulasi secara koheren dan
sistematis, sebagaimana orang biasanya menganggap kebudayaan
dengan cara serupa itu, ataupun dalam cara orang biasanya
memahami kata ideologi.
Common-sense, menurut Gramsci, mengandung berbagai
kebenaran yang kontradiktif sifatnya, sehingga masing-masing
bisa memiliki status yang berdiri sendiri berdasarkan situasi
historisnya, yang bisa jadi dicirikan oleh ketiadaannya sebuah
kesadaran kesejarahan atau historisitas tertentu. Dan relasi antara
common-sense dan ideologi dominan bukanlah dalam pengertian
sebagai satu imposisi simplistik dari ideologi dominan terhadap
common-sense, sebagaimana hal itu lazim dipahami dalam banyak
teori yang lain, melainkan lebih di dalam pengertian bahwa relasi
keduanya, dan serta bentuk rancang bangunnya, pada dasarnya
digerakkan dan ditentukan oleh kontradiksi yang ada dalam
ideologi dominan itu sendiri, dan common-sense dari para anggota
kelas pekerja bereaksi secara berbeda-beda terhadap ideologi
dominan, karena reaksi mereka lebih didasarkan oleh pengalaman
langsung dari masing-masing para pekerja itu sendiri. Dan
kesemua ini didiskusikan Gramsci dalam konteks kehidupan
riil ketimbang sebuah diskusi abstrak tentang teori. Di poin
inilah, Gramsci berada dalam posisi yang berseberangan dengan
Althusser, karena Althusser lebih bergerak ke arah yang berbeda,
yaitu keluar dari jalur Marx yang diistilahkan baik sebagai momen
humanisme Marx maupun sebagai momen historisitas Marx.
Althusser lebih memilih untuk mengembangkan satu pandangan
yang sangat strukturalis sifatnya.
Apa yang dapat kita simpulkan dari diskusi di atas adalah
bahwa tulisan-tulisan dan pemikiran-pemikiran Marx lebih
berkisar disekitar problema antara kehendak bebas (free will) versus
determinisme, dan sekaligus mengangkat berbagai isu turunannya,
seperti relasi pemikiran dengan tindakan, atau kebudayaan dengan
praktek-praktek sosial, dan kesemua hal itu dilakukan oleh
Marx dengan menggunakan satu pendekatan yang sangat ketat
terdisiplinkan. Pertanyaan apakah Marx dapat ditafsirkan sebagai
seorang yang menganut paham utilitarian dalam melihat tindakan
manusia, yang kemudian ditinggalkannya, dan lalu beralih
menganut satu posisi yang lebih semiotik, sebagaimana diuraikan
Sahlins, menurut saya, bukanlah satu persoalan yang krusial.
Dalam hemat saya, isu yang lebih krusial adalah apakah
kita dapat mempertahankan sebuah konsep tentang ideologi
yang tidak mesti disamakan sepenuhnya dengan kebudayaan
sebagai satu totalitas gagasan-gagasan—kekeliruan inilah yang
justru dilakukan Sahlins ketika mengkritisi Marx—dan pada saat
yang bersamaan tetap dapat secara efektif dipergunakan untuk
memahami tindakan sosial manusia. Dalam konteks inilah Gramsci
memperoleh perhatian besar di kalangan ahli antropologi. Dan
saya mendiskusikan juga Lukács di sini karena ia memiliki ainitas
yang erat dengan modus pemikiran antropologis sebagaimana ada
di masa kini. Dan apabila Lukács pada akhirnya mempertautkan
kesadaran kelas pada kaum proletariat yang tadinya tercerai-berai,
dan tidak memiliki landasan untuk memahami proses pemikiran
mereka sendiri, maka hal ini sangat mirip dengan ahli antropologi
yang dengan prosedur kerja dan metode yang berasal dari, atau
setidak-tidaknya terinspirasi, oleh metode dan prosedur kerja
ilmu-ilmu alam, berupaya mengkonstruksikan kembali sebuah
sistem pemaknaan bagi satu masyarakat, yang tentu saja memang
ada di kenyataan masyarakat di lapangan, namun karena subjek
dari sistem pemaknaan yang dicoba direkonstruksikan oleh
ahli antropologi itu memiliki hakekat yang sangat jauh berbeda

241
dari objek kajian dan analisis dari ilmu-ilmu alam, maka hasil
konstruksi kembali sistem pemaknaan itupun menjadi sesuatu hal
yang sangat problematis secara metodologis, dan tak jarang tidak
dipahami lagi oleh anggota masyarakatnya sendiri.
Semua problema ini merupakan hal yang sangat serius, dan
tidak hanya suatu hal teoritis dalam pengertian abstrak, melainkan
lebih merupakan satu pokok persoalan pelik yang senantiasa dihadapi
setiap peneliti saat terlibat dalam satu proses penginvestigasian satu
masyarakat. Akhirulkalam, pembahasan tentang perkara rumit ini
membawa kita pada satu pokok persoalan yang berada di luar ruang
lingkup kajian utama diskusi kita disini, dan sekaligus membutuhkan
diskusi tersendiri dalam sebuah buku yang berbeda.107 Oleh karena
itu, diskusi panjang kita mengenai bab terakhir dari buku ini dapat
kiranya penulis sudahi sampai di sini.

107
Diskusi tentang pokok persoalan ini akan menjadi topik kajian dari
jilid kedua buku ini.
242
Daftar PustaKa

Alexander, Jefrey C. 1982. he Antinomies of Classical hought:


Marx and Durkheim. Berkeley: the University of California
Press.
Althusser, Louis. 1979. For Marx, London: Verso Editions.
Atkins, E.M dan R.J. Dodaro. 2001. Augustine Political Writings.
Cambridge: Cambridge University Press
Augustine, St. 1930. Select Letters. London: William Heinemann
Ltd.
______________, 2004. he Confessions. Ebook:
Collegebookshelf.Net
Aquinas, St. homas. 1949. On Spiritual Creatures. Diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris oleh Mary. C. Fitzpatrick.
Milwaukee: Marquette University Press.
_____________, 2005. Disputed Questions on the Virtues.
Cambridge: Cambridge University Press.
Avineri, Shlomo. 1980. he Social & Political hought of Karl
Marx. Cambridge: Cambridge University Press.
Becker, Carl. 1932. he Heavenly City of the Eighteenth-Century
Philosophers. New Haven: Yale University Press.
Benedict, Ruth. 1961. Pattern of Culture. Boston: Houghton
Milin.
Berlin, Isaiah. 1976. Vico and Herder: Two Studies in the History of
Ideas. London: Chatto & Windus.

243
244 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Bloch, Maurice, editor. 1984. Marxist Analyses and Social


Anthropology, London: Tavistock Publications.
Bloch, Maurice. 1985. Marxism and Anthropology, Oxford:
Oxford University Press.
Boas, Franz. 1936. ‘History and Science in Anthropology: a
Reply’ dalam American Anthropologist, n.s., XXXVIII, 1936.
Braudel, Fernand. 1980. On History, Chicago: the Univ of
Chicago Press.
Brinton, Crane. 1933. English Political hought in the Nineteenth
Century. London: Ernest Benn
Cassirer, Ernst. 1981. Kant’s Life and hought, New Haven: Yale
University Press
Chappell, Vera (ed.). 1999. he Cambridge Companion to Locke.
Cambridge: Cambridge UP
Degerando, Joseph Marie. 1969. he Observation of Savage
Peoples. London: Routledge & Kegan Paul
Descartes, Rene. 1977. Keys Philosophical Writings. Hertfordshire:
Wordsworth editions
Dumont, Louis. 1983. From Mandeville to Marx: he Genesis and
Triumph of Economic Ideology. Chicago: the Univ of Chicago
Press
Durkheim, Émile. 1956. Education and Sociology. Glencoe:
the Free Press
___________, 1958. Socialism and Saint-Simon. Ohio: the
Antioch Press
___________, 1960 Émile Durkheim, 1858-1917: A Collection
of Essays, with Translations and a Bibliography, edited by Kurt
H. Wolf. Ohio: Ohio State University Press.
___________, 1961. Moral Education. New York: the Free Press
___________, 1965. Sociology and Philosophy. London: Cohen
& West
Tony Rudyansjah 245

___________, 1969. he Division of Labor in Society. New York: the


Free Press
___________, 1975. Suicide. London: Routledge & Kegan Paul
___________, 1976. he Elementary Forms of the Religious Life.
London: George Allen & Unwin.
___________, 1982. he Rules of Sociological Methods and Selected
Texts on Sociology and its Method. New York: the Free Press
Durkheim, Émile dan Marcel Mauss. 1963. Primitive Classiication.
Chicago: the University of Chicago Press
Dyson, R.W. 2004. Aquinas: Political Writings. Cambridge:
Cambridge University Press.
Evans-Pritchard, Edward Evan. 1962. ‘Social Anthropology: Past
and Presents’, dalam Essays in Social Anthropology, London:
Faber and Faber, 1962.
Feinberg, Richard. 1979. ‘Schneider’s Symbolic Cultural heory:
An Appraisal’ dalam Current Anthropology, Vol. 20, No. 3,
September 1979.
Feuerbach, Ludwig. 1957. he Essence of Christianity, New York:
Harper Torchbooks
___________, 1986. Principles of the Philosophy of the Future.
Indianapolis: Hackett Publishing Company.
Firth, Raymond. 1984. ‘heSceptical Anthropology? Social
Anthropology and Marxist View on Society’, dalam Maurice
Bloch, editor, Marxist Analyses and Social Anthropology,
London: Tavistock Publications.
Friedman, Milton and Rose.1980. Free to Choose, Harmondsworth:
Penguin Books
Fromm, Erich, ed. 1961. Marx’s Concept of Man. New York:
Frederick Ungar
Gadamer, Hans-Georg. 1976. Hegel’s Dialectics. New Haven: Yale
University Press.
246 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Geertz, Cliford. 1973. he Interpretation of Cultures. New York:


Basic Books
Geuss, Raymond. 1982. he Idea of a Critical heory. Cambridge:
Cambridge University Press
Giddens, Anthony. 1978. Durkheim. Glasgow: Fontana/Collins
Goody, Jack. 1983. he Development of Family and Marriage in
Europe. Cambridge: Cambridge University Press.
Gramsci, Antonio. 1987. he Modern Prince & Other Writings.
New York: International Publishers.
_____________, 1987. Prison Notebooks. New York: International
Publishers.
Hanneman, Samuel. 2010. Émile Durkheim. Depok: Kepik Ungu
Hegel, Ludwig Friedrich. 1967. Hegel’s Philosophy of Right,
Oxford: Oxford University Press
___________, 1956. he Philosophy of History. New York: Dover
Publications, Inc.
_____________-, 1967. he Phenomenology of Mind. New York:
Harper Torchbooks.
_____________, 1968. Hegel’s Science of Logic. Atlantic
Highlands: Humanities Press International, Inc.
Hirschman, Albert O. 1981. he Passions and the Interests: Political
Arguments for Capitalism before Its Triumph. Princeton:
Princeton University Press
Hobbes, homas. 1985. Leviathan. New York: Penguin
Books
Hodgen, Margaret T. 1971, Early Anthropology in the 16th & 18th
Century. Philadelphia: University of Pennsylvania Press
Hume, David. 1978. A Treatise of Human Nature. London:
Oxford University Press
___________, 2007. An Essay concerning Human Understanding.
Oxford: Oxford UP
Tony Rudyansjah 247

Husserl, Edmund. 1999. Cartesian Meditation. Dordrecht:


Kluwer Academic Publisher
Jay, Martin. 1984. Marxism & Totality, Berkeley: University of
California Press.
Kant, Immanuel. 1949. he Philosophy of Kant: Immanuel Kant’s
Moral and Political Writings, diedit oleh Carl J. Friedrich,
New York: he Modern Library.
___________, 1951. Critique of Judgement, diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris oleh J.H. Bernard, New York: Harper
Press
___________, 1959. Critique of Pure Reason, diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris oleh J.M.D. Meiklejohn, London:
J.M. Dent & Sons Ltd.
___________, 1997. Critique of Practical Reason. Cambridge:
Cambridge University Press
Kuper, Adam. 1983. Anthropology and Anthropologist. London:
Routledge & Kegan Paul.
Lacan, Jacques. 2001. ‘he Mirror Stage as Formative of the
Function of the I as Revealed in Psycho Analytic Experience’,
dalam Écrits: A Selection. New York: Norton
Lefebvre, Henri. 1982. he Sociology of Marx. New York: Colombia
University Press.
Lenzer, Gertrud. 1975. Auguste Comte and Positivism. New York:
Harper Torchbooks
Lévi-Strauss, Claude. 1987. Introduction to the Works of Marcel
Mauss. London: Routledge & Kegan Paul.
Liebniz, Gottfried W. 1951. ‘Discourses on Metaphysics’, dalam
Selections. New York: Scribner’s
___________, 1951. ‘On Destiny or Mutual Dependence’,
dalam Selections. New York: Scribner’s
___________, 1951. ‘he Monadology’, dalam Selections. New
248 alam, Kebudayaan & yang IlahI

York: Scribner’s
Locke, John. 1985. An Essay concerning Human Understanding.
Oxford: Clarendon Press
___________, 1988. Two Treatises of Government. Oxford:
Clarendon Press
Lovejoy, Arthur O. 1964. he Great Chain of Being. Cambridge:
Harvard University Press
Lukács, Georg. 1971. he heory of the Novel. London: he
Merlin Press.
___________, 1985. History and Class Consciousness. Cambridge:
he MIT Press.
Lukes, Steven. 1981. Émile Durkheim. New York: Penguin Books
Macpherson, C.B. 1962. he Political heory of Possessive
Individualism: Hobbes to Locke. Oxford: Oxford University
Press
Maine, Henry Sumner. 1986 [1864]. Ancient Law. Tucson:
University of Arizona Press
Malinowski, Bronislaw. 1987. he Sexual Life of Savages. Boston:
Beacon Press
Mandeville, Bernard. 2005. he Fable of the Bees, Vol. 1, the
Online Library of Liberty
Marx, Karl. n.d. [1869] he eighteenth bruimaire of Louis
Bonaparte. Moscow: Foreign Languages Publishing House
(2d ed., Hamburg, 1869).
___________, 1904 [1859] A Contribution to the Critique of
Political Economy, Chicago: Kerr.
___________,1962. he Class Struggles in France, 1848-1850,
dalam Marx dan Engels: Selected Works I, Moscow: Foreign
Languages Publishing House
___________, 1963. Early Writings, terjemahan T.B. Bottomore,
London: Mcgraw-Hill
Tony Rudyansjah 249

___________, 1970. A Contribution to the Critique of Political


Economy, Moscow: Progress Publishers.
___________, 1973. he Economic & Philosophic Manuscripts of
1844, New York: International Publishers
___________, 1973. Grundrisse. New York: Vintage Books
___________, 1978. Preface to A Contribution to the Critique of
Political Economy, dalam Robert C. Tucker, he Marx-Engels
Reader, New York: W.W. Norton & Company
___________, 1982. Capital, 3 jilid, Harmondsworth: Penguin
Books
___________, 1984[1964]. Pre-Capitalist Economic Formations.
New York: International Publishers
___________, 1988. he German Ideology, New York:
International Publishers.
___________, 2000. he Holy Family. Diunduh dari www.
marxists.org
Marx, Karl dan Frederick Engels.1985. he Communist Manifesto,
Harmondsworth: Penguin Books.
Maula, Rudyansjah, Prahara, dan Ratri. 2011. Kesepakatan Tanah
Wolio: Ideologi Kebhinekaan dan Eksistensi Budaya Bahari di
Buton. Jakarta: Titian Budaya
Maurer, Armand A. 1979. St. homas and Historicity. Milwaukee:
Marquette University Press.
Mauss, Mauss. 1954. he Gift. London: Cohen & West
Myrdal, Gunnar. 1953. he Political Elements in the Development
of Economic heory. London: Routledge & Kegan Paul Ltd
O’Connell, Robert. 1994. Soundings in St. Augustine’s Imagination.
New York: Fordham University Press.
Parsons, Talcott. 1968. he Stucture of Social Action, Volume I,
New York: he Free Press
Pasnau, Robert. 2004. homas Aquinas on Human Nature.
250 alam, Kebudayaan & yang IlahI

Cambridge: Cambridge University Press.


Polo, Marco. 1946 [1559]. he Travels of Marco Polo, diterjemahkan
dan diedit oleh William Marsden, London: Everyman’s
Library.
Rousseau, Jean-Jacques. 1979. he Social Contract and Discourses.
New York: Anchor Books
Rudyansjah, Tony. 2009. Kekuasaan, Sejarah & Tindakan. Jakarta:
Rajawali Press
___________, 2009. ‘Umstrittene Indentitäten, Hierarchische
Beziehungen und Machtdiskurse auf Buton, Südost-Sulawesi’
dalam Martin Slama, ed. Konlikte–Mächte–Indentitäten.
Wien: Österreichischen Akademie der Wissenschaften.
Sahlins, Marshall. 1976. Culture and Practical Reasons. Chicago:
the University of Chicago Press
Schmidt, Alfred. 1971. he Concept of nature in Marx, London:
NLB.
Schumpeter, Joseph A. 2006 [1954]. History of Economic Analysis.
London: Routledge
Smith, Adam. 1904. An Inquiry into the Nature and Causes of the
Wealth of Nations. Indianapolis: Liberty Fund
___________, 1982. Lectures on Jurisprudence. Indianapolis:
Liberty Fund
___________, 1985. Lectures on Rhetoric and Belles Lettres.
Indianapolis: Liberty Fund
___________, 2004 [1759]. he heory of Moral Sentiments.
Cambridge: Cambridge University Press
Spinoza, Benedict. 1958. he Political Works, Oxford: Clarendon
Press.
Stepelvitch, Lawrence C. 1983. he Left Hegelians: An Anthology,
London: Cambridge University Press.
Steuart, Sir James.1966 [1767]. Inquiry into the Principles of
Tony Rudyansjah 251

Political Oeconomy, Chicago: Univ of Chicago Press


Stocking, George W. 1982. Race, Culture, and Society, Chicago:
the Univ of Chicago Press
Taylor, Charles. 1988. Hegel and Modern Society, Cambridge:
Cambridge University Press.
___________, 1988 Hegel, Cambridge: Cambridge University
Press
Tucker, Robert C. 1978. he Marx-Engels Reader, New York:
W.W. Norton & Company.
Vico, Giambattista. 1975. he New Science of Giambattista
Vico, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh homas
Goddard dan Max Harold Fisch, Ithaca: Cornell University
Press.
Wartofsky, Marx W. 1982. Feuerbach, Cambridge: Cambridge
University Press
Weber, Max. 1976. he Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.
London: George Allen & Unwin Ltd.
William, Raymond. 1977. Marxism and Literature. Oxford:
Oxford University Press.
Worsley, Peter M. 1981. ‘Marxism and Culture: he Missing
Concept,’ dalam Dialectical Anthropology, 6(2), hal. 103-
121.
~252~
Tony Rudyansjah 253

InDeKs

A Class 97, 120, 121, 122, 147, 137,


151, 181, 184, 185, 186,
Abnormal division of labour 129 187, 190, 198
Absolut 11, 29, 70, 76, 105, 106, Cogito 75, 76, 77, 87, 88
108, 113, 114, 136, 154 Commodity 143, 164
Absolute being 111 Comte, Auguste 4, 100, 168, 198
Action 24, 30, 46, 55, 73, 125, 156, Consciousness 105, 115, 116, 118,
180, 183, 185, 187, 199 155, 157, 174, 180, 181,
Aktualitas 107, 148, 162 184, 185, 186, 187, 190, 198
Alexander, Jefrey C. 16, 20, 124, Constitution of self 73, 74
125, 128, 146, 147, 174, 195
Alienasi xvi, 98, 99, 103, 105, 116, D
117, 124, 125, 129, 133,
134, 135, 140, 141, 173, 185 Degerando, Joseph Marie 4
Althusser, Louis 99, 127, 128, 191, Descartes, Rene 2, 41, 74, 75, 76,
193, 195 77, 195
Analytic science 101 Desire 23, 24
A priori categories 100 Despotism 54
Aquinas, homas 12, 13 Determinisme 110, 193
Aufhebung 159 Division of labour 90, 129
Augustine, St. 11, 19, 48 Dumont, Louis 52, 56, 64, 157,
Aversion 23 171, 196
Avineri, Shlomo 159, 172, 195 Durkheim, Émile vii, 59, 100, 124,
125, 129, 146, 147, 151,
B 195, 196, 197, 198

Benedict, Ruth 70, 184, 195, 200 E


Berlin, Isaiah 109, 110, 195
Bloch, Maurice 131, 138, 195, 196 Emansipasi xvi, 59, 72, 118, 121,
Boas, Franz vii, 3, 149, 182, 195 122, 123, 180
Bottomore, Tom B. 52, 132, 198
Braudel, Fernand 10, 195 Engels, Frederick 97, 98, 99, 105,
Brinton, Crane 46, 195 115, 116, 117, 119, 124,
126, 127, 128, 131, 135,
136, 138, 150, 163, 180,
C 181, 198, 199, 200
Cassirer, Ernst 195
Eternal reason 13, 19
Category 147
Evans-Pritchard, Edward Evan 1,
Chappell, Vera 195
196
Civil society 115, 116, 122, 138
254 alam, Kebudayaan, dan yang IlahI

Exchange-value 140, 142 102, 103, 104, 107, 108, 195


Highest embodiment of reason 108
F Hirarki 9, 15, 16, 17, 22, 42, 58,
False consciousness 155, 157, 174, 61, 62, 66, 67, 157, 172
180, 184 Hirschman, Albert O. 70, 71
Feinberg, Richard 163, 196 Historical materialism 98, 129, 139,
Felicity 21, 27, 101 149, 151, 157, 190
Fergusson, Adam 6, 162 Hobbes, homas vii, 21, 22, 23, 24,
Fetishism of commodity 143 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31,
Feuerbach, Ludwig Andreas 89, 41, 42, 47, 48, 49, 64, 67,
111, 112, 113, 114, 115, 76, 95, 101, 138, 197
116, 118, 126, 127, 128, Hodgen, Margaret T. 2, 4, 5, 9
135, 160, 161, 176, 196, 200 Holisme 55, 59
Firth, Raymond 131, 196 Homo humini lupus 76
Freedom 101, 173, 179 Hukum alam viii, xv, 3, 10, 12, 13,
Friedman, Rose 89, 196 18, 19, 20, 51, 53, 54, 55,
Friedman, Milton 89, 196 56, 58, 71, 104, 106
Fromm, Erich 52, 197 Hume, David 2, 19, 20, 32, 44, 49,
77, 78, 197
G Husserl, Edmund 74, 197

Gairah nafsu 48, 49 I


Galileo 20, 26
Geertz, Cliford vii, x, 1, 2, 14, 44, Ideologi xvi, 18, 29, 64, 67, 70, 99,
163, 197 119, 121, 132, 133, 146,
Geist 104 148, 151, 152, 156, 157,
Generic being 135, 159, 160 158, 173, 174, 176, 177,
Gerak 23, 26, 27, 95, 141 179, 181, 186, 187, 191,
Giddens, Anthony 197 192, 193
Glacken, Clarence J. 2 Ideologi borjuis 133
Goody, Jack 8 Ideology 115, 126, 127, 128, 137,
Great Chain of Being 2, 9, 18, 38, 147, 150, 151, 156, 157,
40, 42, 44, 81 158, 161, 187, 196, 199
Ignorance of physiological paternity
H 6, 7
Impartiality 74, 84
Hak kepemilikan 64 Impartial spectator 84, 91, 93
Hak pakai 64 Impartial spectator within 91, 93
Hanneman, Samuel 197 Impartial spectator without 91, 93
Hegel, Wilhelm Friedrich 100, 103, Individualism 55, 59, 64, 65, 66,
104, 106, 107, 108, 109, 67, 71, 73, 78, 89, 102, 103,
110, 111, 112, 113, 115, 148
116, 117, 118, 119, 128, Inertia 26
131, 138, 161, 168, 181, Innovative praxis 161
197, 200 Interests 70, 71, 90, 91, 95, 96,
Herder, Johann Gottfried von 43,
Tony Rudyansjah 255

120, 177, 179 Liebniz, Gottfried W. 43, 78, 79,


Inverted world consciousness 116 81, 82, 198
Invisible Hand 90, 91, 95 Locke, John vii, 2, 19, 21, 29, 30,
31, 32, 33, 34, 35, 36, 37,
J 38, 39, 40, 41, 42, 47, 48,
Jay, Martin 197 49, 59, 60, 61, 62, 63, 64,
65, 66, 67, 72, 78, 95, 100,
K 132, 191, 195, 198
Longue duree 10, 11
Kant, Immanuel 75, 100, 101, 102, Lovejoy, Arthur O. 2, 9, 10, 11, 13,
103, 108, 195, 197 14, 16, 17, 18, 40, 44, 81
Kebahagiaan 69, 72, 73, 101 Lukács, Georg 181, 182, 183, 184,
Kebahagian semu 117 185, 186, 187, 188, 189,
Kebudayaan iv, vii, xv, 4, 9, 10, 45, 190, 191, 192, 194, 198
47, 49, 88, 102, 103, 104, Lukes, Steven 198
105, 107, 108, 153, 154,
157, 160, 161, 163, 170, M
174, 175, 176, 180, 181,
182, 184, 192, 193 Malinowski, Bronislaw 3, 4, 6, 7,
Kebutuhan xii, 63, 85, 89, 90, 125, 160
131, 145, 153, 156, 158, Mandeville, Bernard 52, 60, 64, 68,
159, 160, 162, 163, 164, 69, 71, 196, 198
178, 181 Marx, Karl vii, viii, xvi, 51, 52, 53,
Kehendak bebas 193 57, 64, 67, 80, 97, 98, 99,
Keinginan 110, 140, 153, 162, 163, 100, 105, 108, 109, 110,
177, 178 111, 115, 116, 117, 118,
Kelas borjuasi 132 119, 120, 121, 122, 123,
Kelas pekerja 130, 133, 192, 193 124, 125, 126, 127, 128,
Kelas revolusioner 119, 122, 130, 129, 130, 131, 132, 133,
190 134, 135, 136, 137, 138,
Kelas sosial 84, 130, 173, 191, 192 139, 140, 141, 142, 143,
Keniscayaan xvi, 97 145, 146, 147, 148, 149,
Kuper, Adam 3, 197 150, 151, 152, 153, 154,
155, 156, 157, 158, 159,
160, 161, 162, 163, 164,
L 165, 166, 167, 168, 169,
170, 171, 172, 173, 174,
Labour 63, 90, 134, 164 175, 176, 177, 179, 180,
Labour theory of value 64, 134, 135 181, 184, 185, 186, 189,
Lacan, Jacques 74, 75, 197 190, 191, 192, 193, 194,
Law of the progressive increase in 195, 196, 197, 198, 199, 200
constant capital 145 Masyarakat xv, xvi, 1, 5, 21, 34
Lefebvre, Henri 161, 197 Masyarakat kapitalis 136, 137, 138,
Legal despotism 54 139, 140, 142, 144, 146,
Lenzer, Gertrud 198 155, 173, 185
Lévi-Strauss, Claude 198
256 alam, Kebudayaan, dan yang IlahI

Masyarakat komunis 126, 135, 136, Practical reason 101, 103, 108, 147,
137 152, 153, 163
Masyarakat sipil 28, 108, 115, 118, Praxis 99, 117, 153, 156, 160, 161,
120, 121, 123, 133, 138, 176 162, 174, 190, 191
Materialisme 42, 79, 98, 128, 129, Principle of plenitude 11, 13
146, 150, 155, 160, 176 Proletarian 122, 123, 158, 177,
Materialist theory of history 129 180, 181, 185, 186, 187
Mauss, Marcel 196, 198, 199 Property 29, 31, 52, 62, 63, 65,
Mercantilists 50, 132 124, 125, 134, 147, 166,
Metode pembalikan 113 169, 170, 171
Mimetic praxis 161 Property value 29
Mind 13, 19, 23, 33, 36, 81, 104, Propriety 36, 38
105, 114, 164 Prudence 23
Mind of God 19 Psikologi materialistik 49
Monad 78, 79, 80, 82, 83, 85 Pursuit of felicity 101
Moral judgement 100
Myrdal, Gunnar 51, 199 Q

N Quesnay, François 49, 50, 51, 52,


53, 54, 55, 56, 57, 58, 59,
Natural harmony of interests 90, 132
91, 96
Natural man 159, 160 R
Negara ix, 21, 50, 51, 54, 55, 56, Radclife-Brown, Alfred Reginald
57, 108, 109, 111, 113, 115, 100, 132
116, 118, 119, 121, 127, Rasionalitas 3, 12, 14, 29, 49, 104,
150, 183, 184, 192 109, 153
Negasi 107, 112, 157 Rationality 154
Negation 111, 112 Realitas 10, 26, 37, 38, 88, 101,
Nilai guna 140, 142, 143 103, 104, 106, 107, 108,
Nilai kepemilikan 29, 64 111, 114, 116, 117, 151,
P 174, 175, 176, 186, 191
Real wealth 54, 58
Parsons, Talcott 30, 41, 46, 47, 199 Reason 12, 13, 18, 19, 20, 24, 32,
Pemikiran utilitarian 41, 46, 47, 33, 39, 41, 52, 100, 101,
147 103, 104, 108, 113, 114,
Perubahan sosial 137, 139, 186, 128, 147, 149, 152, 153,
189 163, 186, 197
Physiocrats 132 Repetitive praxis 161
Physiocrats 51, 54 Revolusi 22, 30, 48, 119, 120, 121,
Plenitude 11, 13, 14, 15, 16 122, 130, 136, 137, 141,
Polo, Marco 4, 5, 7, 8, 199 144, 146, 161
Positivisme 3, 47, 106, 115, 179, Revolusi kelas 122
189 Revolutionary praxis 174
Possessive individualism 65 Rousseau, Jean-Jacques 43, 44, 199
Tony Rudyansjah 257

Rudyansjah, Tony i, iii, iv, xiv, 207 Spirit 8, 7, 35, 102, 103, 104, 105,
106, 107, 108, 113, 142,
S 158, 183
Sahlins, Marshall 101, 104, 146, Stepelvitch, Lawrence C. 111, 200
147, 148, 149, 150, 151, Steuart, Sir James 71, 200
152, 153, 154, 155, 156, Stocking, George W. 9, 200
163, 165, 174, 191, 193, 194 Subjective cultural understanding
Saint-Simon 2, 130, 161, 175, 196 101
Schmidt, Alfred 138, 199 Surplus value 57, 142
Schneider, David vii, 163, 196 Sympathetic sentiments 87
Schumpeter, Joseph A. 51, 53, 199 T
Science of moral 100
Self 7, 24, 33, 58, 59, 73, 74, 75, Taylor, Charles 97, 109, 200
76, 77, 89, 91, 93, 94, 95, Temporalizing of the great chain of
105, 112, 124, 125, 147, being 17
168, 169, 179, 180, 183 Teori Cermin 78, 79, 82
Self-consciousness 105 Teori “hukum alam” 53
Self-love 89, 91, 94 Teori mekanistik tentang masyarakat
Self-referential theory 75 48
Sentiments 72, 73, 77, 87 Teori positivistik 47, 101
Sentiments 73, 78, 80, 81, 83, 89, Teori rasionalitas 49
92, 199 Teori voluntaristik mengenai tinda-
Smith, Adam 2, 43, 47, 49, 50, 57, kan 47
59, 63, 64, 67, 71, 72, 77, heoretical reason 101, 103
78, 80, 81, 83, 89, 90, 91, heory of communicative action 73
92, 95, 96, 132, 133, 134, Totalitas 84, 107, 109, 129, 166,
140 181, 184, 186, 187, 189,
Smith, Raymond v, xiii, 126 190, 191, 193
Sociability 41 Transformasi sosial 146, 161, 176,
Social 1, 3, 30, 43, 44, 46, 66, 72, 180
73, 84, 115, 119, 120, 121, True interests 177
126, 128, 131, 135, 143, Tucker, Robert C. 105, 116, 117,
148, 150, 151, 157, 159, 119, 124, 126, 127, 135,
161, 167, 172, 175, 178, 163, 181, 199, 200
185, 196, 199
Social being 66, 135 U
Social formation 128 Utilitarianism 154
Social relation 143 Utilitarianisme 154, 174
Species being 118, 135, 159, 160,
162 V
Species consciousness 118
Spencer, Herbert 46, 47, 100, 132, Value 8, 29, 57, 58, 64, 90, 134,
139, 168 135, 140, 142, 143
Spinoza, Benedict 70, 200 Vico, Giambattista 195, 200
Voluntarisme 191
258 alam, Kebudayaan, dan yang IlahI

W
Wartofsky, Marx W. 200
Wealth 50, 52, 54, 58, 72, 82, 89,
90, 94, 95, 96, 98, 183, 199
Weber, Max vii, 8, 11, 17, 158
Wolf, Kurt H. 196
Worsley, Peter M. 131, 200
Rernr

l. Halaman 49 baris ke-10 dari bawah,ditulis: ..begitu halus dan


bertiingkat-mgkat.... Seharusnya:.
. . begituhalusdanbertingkat-
tingkat....
2 . Halaman 50 bariske-8 dan ke-7 dari bawah,ditulis: ...antara
empirisismeand rasionalisme.
Seharusnya:
...anraraempirisisme
dan rasionalisme.
3 . Halaman 53, baris ke-10 dari bawah ditulis: mereka
terbelunggu.Seharusnya:
... ia terbelenggu.
I
a. Halaman 71 bariske-9 dari bawah,ditulis: ... gagasanmengeai
hukum alam... Seharusnya:... gagasanmengenaihukum alam...

5. Haiaman 88 bariske-8 dari bawah,ditulis, kata: ... melekatnya


sentiment... Seharusnya:
... melekatnyasentimen.. .
6 . Halaman 92, bariske-l dan ke-2 dari atasditulis: ... dapat kita
dipahamidengan... . Seharusnya:
...dapatkita pahamidengan...

7. Halaman 137, baris ke-6 dan ke-7 dari atas, ditulis: Teologi
merupakan titik awal dan titik akhir ... . Seharusnya:
Teologi
membentuk titik awaldan titik akhir... .
8 . Halaman 141, bariske-5 dan ke-6 dari atas,ditulis: Keseluruhan
berbagai relasi produlai ini merupakan struktur ekonomi
masyarakat... Seharusnya:Keseluruhanberbagairelasiproduksi
ini membentukstruktur ekonomi masyarakat...
9 . Halaman L47, baris ke-ll dari atas ditulis: ... meneguhkan
kembaliotoritasterhadapkeyakinan.Seharusnya:
....meneguhkan
kembali otoritaskeyakinan.
l0.Halaman 148, baris ke-16 dari bawah, ditulis: Hanya atasnama
itu, ... Seharusnya:Hanya atas nama berbagai kepentingan
umum itu, ... .
11.Halamanl53, baris ke-8 danke-7 dari bawah, ditulis: Dalam
menentukan "apa yang merupakan alienasi dari sebuah aktivitas
kerja," .. . Seharusnya:Dalam menentukan "apayang membentuk
alienasidari sebuahaktivitas kerja," .. .
i2. Halaman 183, baris ke-14 dari bawah, ditulis: "It provesincorrent
to supposethat ... . Seharusnya:"It proves incorrect to supPose
that ... .

Anda mungkin juga menyukai