Alam,Kebudayaan
Turunan, Percabangan,dan pengingkarandaiam Teori-Teori
Sosial Budava
O padapenuiis
penulis:lbny Rudyansjah
Editor: FaisalKamandobat
perancangsampul : Geger
Riyanto
PenataLetak: Mapa
GambarCover:"sanrpahMarah"KaryaNasirun
Diterbitkar.roleh
Titian Budaya
JaianCakraRayaNo. L-3,Limo,
Depok 16515,r et p ( 021)7 5 3 1 6 8 8
Bckerjasamadengan:
ProgramPascasarjana DepartemenAntropologl
_
Fakultasllnru Sosialdan Ilmu poiitik Universitas
lnclonesia
~i~
~ii~
Alam, Kebudayaan
& Yang Ilahi
Turunan, Percabangan, dan Pengingkaran
dalam Teori-Teori Sosial Budaya
Tony Rudyansjah
Titian Budaya
Bekerjasama dengan:
Program Pascasarjana Departemen Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
~iii~
Alam, Kebudayaan & Yang Ilahi, Jilid 1
Turunan, Percabangan, dan Pengingkaran dalam Teori-Teori Sosial Budaya
© pada penulis
Diterbitkan oleh
Titian Budaya
Jalan Cakra Raya No. L-3, Limo,
Depok 16515, telp (021) 7531688
Bekerjasama dengan:
Program Pascasarjana Departemen Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
~iv~
To my teacher, Raymond Smith
A Small Gift to Ofer
~vi~
Kata Pengantar
Iwan Gardono Sujatmiko Ph.D1
1
Ph.D dalam bidang Sosiologi dari Harvard University. Sekarang
bekerja sebagai dosen Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Indonesia (catatan dari Penerbit)
vii
viii alam, Kebudayaan & yang IlahI
Buku ini merupakan jilid pertama dari dua buah buku yang
saling berkaitan namun dapat dibaca secara terpisah. Kedua buku
tersebut berusaha menelusuri akar dari perkembangan teori-
teori sosial dan budaya dari masa klasik hingga masa modern
beserta berbagai turunan dan percabangannya. Usaha tersebut
saya lakukan karena adanya dorongan yang terus mengganggu
kesadaran saya sebagai pengajar yang menyaksikan sebuah
kecenderungan yang halus namun kian meluas di kalangan para
mahasiswa di masa kini, yaitu kegemaran bermain-main dengan
kecanggihan teori-teori paling mutakhir namun sayangnya
acapkali tidak memiliki pemahaman tentang landasan dari
berbagai pemikiran teoritis yang sedang mereka gemari, baik
asal muasal kelahirannya maupun turunan dan percabangannya,
sehingga mereka seringkali sangat canggih dalam membahas
tema-tema khusus yang menjadi “barang jualan” (stock-in-trade)
dari teori-teori mutakhir tersebut, namun celakanya menjadi
sangat gagap ketika ditantang untuk menganalisis dan memahami
persoalan-persoalan kemanusian secara utuh dan padu, sekaligus
tanpa kehilangan pijakan fundamentalnya. Ibarat menikmati
sebuah pohon, kita telah dibuat terlelap oleh satu atau dua jenis
daun yang sedang mekar di musim tertentu namun melupakan
keseluruhan unit-unit lain yang menumbuhkan daun tersebut
seperti cabang, batang, dan terlebih kekuatan dan daya jalar akar-
akarnya.
xiii
xiv alam, Kebudayaan & yang IlahI
dan isu kemanusian di masa kini yang semakin sulit dan rumit.
Penjelajahan bagaimana proses pemikiran seperti itu dilaksanakan
oleh pemikir-pemikir di masa lampau, dengan segala keunggulan
dan kelemahannya, merupakan satu pelajaran berharga yang
seharusnya senantiasa kita pahami untuk kita petik pelajarannya
di masa kini. Sejauh pengamatan saya cukup teliti, buku yang
menguraikan bagaimana penjelajahan pemikiran itu dilakukan
oleh pemikir-pemikir di masa lampau sangat langka di tanah
air kita. Dan berangkat dari keprihatinan itulah saya berusaha
membaca dan membongkar ulang berbagai bahan bacaan yang
pernah saya geluti ketika mengambil program doktoral di
Departemen Antropologi Universitas Chicago, dan lalu membaca
kembali dan sekaligus mereleksikan ulang berbagai materi bacaan
tersebut untuk dapat dituangkan ke dalam buku yang sekarang
sedang Anda simak.
Akhir kata, sebagai penulis buku ini, saya merasa tidak
mungkin dapat merampungkan buku ini tanpa dorongan,
bantuan dan saran berbagai pihak, sama seperti daun yang
tidak mungkin tumbuh dan mekar tanpa sari-sari yang diserap
oleh akar dari kedalaman tanah. Pertama, ucapan terima kasih
saya haturkan untuk sosok yang di balik kesederhanaan dan
kerendahan hatinya tersimpan kedalaman dan keluasan pemikiran
yang tak habis diselami, yang bagi saya hampir seperti menyimak
bait-bait dalam puisi Rainer Maria Rilke: Prof. Raymond Smith
yang banyak membimbing saya untuk dapat memahami peta
teori-teori sosial budaya dari masa klasik hingga masa modern.
Kedua, saya ucapan terima kasih saya sampaikan kepada kolega
saya yang hangat dan tekun dari Departemen Sosiologi UI,
Dr. Iwan Gardono Sudjatmiko, yang telah banyak meluangkan
waktu untuk membaca, mengkritisi dan memberikan kata
pengantar untuk buku ini, sehingga membuat buku ini dapat
lebih mudah dipahami. Ketiga, kepada sahabat saya Dr. Iwan
Tjitradjaja selaku Ketua Departemen Antropologi, dan Prof. Dr.
xvi alam, Kebudayaan & yang IlahI
Kata Pengantar
Iwan Gardono Sujatmiko ..................................................vii
Prakata ...................................................................................xii
Daftar Isi .............................................................................. xvii
Bab 1
Jatuh dari Langit, Mengangkasa dari Bumi: Kelahiran
Ilmu Alam Tentang Masyarakat ..............................................1
Pendahuluan ......................................................................1
Mitos Tentang Penelitian Lapangan ...................................4
Beberapa Oposisi yang Timbul dalam Pemikiran
Antropologi Karena Adanya Perbedaan Antara Masyarakat
Eropa Dengan Masyarakat di Luar Eropa .........................6
Oposisi-Oposisi Yang Lahir dari Perhatian Teoritis ............9
Rasio, Hukum Alam dan Perubahan Kosmologi
Dunia Barat ................................................................12
Kelahiran Ilmu Alam Tentang Masyarakat .......................25
Bab 2
Konsepsi Tentang Masyarakat dan Kebudayaan:
Transformasi dari Agama Menuju Moralitas, Politik
dan Ekonomi .........................................................................56
Ekonomi Sebagai Satu Keutuhan yang Menyeluruh.........61
Emansipasi dari Politik ....................................................72
Dari Sifat Buruk menjadi Kebajikan Sosial ......................83
Akhirnya Ekonomi, Sebuah Emansipasi dari Moralitas ....88
xvii
xviii alam, Kebudayaan & yang IlahI
Bab 3
Karl Marx: Ketegangan Antara Kebebasan
dan Keniscayaan Tindakan Manusia ..................................118
Pendahuluan ..................................................................118
Latar Belakang Pemikiran Marx .....................................120
Masa Studi dan Pengaruhnya Terhadap Karl Marx .........133
Teori Marx tentang Religi, Politik, Ekonomi: Kritik
terhadap Hegel ..........................................................135
Alienasi, Gattungswesen dan Konsepsi Materialis
tentang Sejarah .........................................................152
Ideologi dan Hakekat Manusia ......................................180
Pendahuluan
Satu subjek dari aktivitas ilmiah lazimnya tidak dapat
dikatakan sudah memiliki satu otonomi sebagai ilmu pengetahuan
sebelum subyek itu diajarkan di universitas. Demikian kurang lebih
pernyataan yang diberikan E.E. Evans-Pritchard dalam sebuah
kuliah umum di Universitas Oxford, Inggris, berkenaan dengan
masa depan disiplin antropologi.1 Namun apabila kita sepakat
dengan Cliford Geertz bahwa untuk memahami perkembangan
satu disiplin ilmu pengetahuan, yang dalam konteks kita tentu
saja adalah ilmu sosial pada umumnya dan antropologi pada
khususnya, maka yang perlu diperhatikan terutama bukan pada
teori ataupun temuan-temuan para teorisinya, dan bukan juga
pada apa yang dikatakan oleh para apologists yang menelurkan
dan mengembangkan teori ataupun temuannya itu, melainkan
1
E.E. Evans-Pritchard, ‘Social Anthropology: Past and Presents’, dalam
Essays in Social Anthropology, London: Faber and Faber, 1962, hlm. 14
1
2 alam, Kebudayaan & yang IlahI
2
Cliford Geertz, he Interpretation of Cultures, 1973, hlm. 5
Tony Rudyansjah 3
3
satu usaha mencatat secara hati-hati dan terperinci mengenai adat-
istiadat masyarakat manusia, yang kemudian membentuk klaim
ilmiah disiplin antropologi, dan secara umum disepakati oleh para
ilmuwan sosial khususnya antropolog sebagai etnograi, sekaligus
yang membedakan disiplin antropologi dari disiplin ilmu-ilmu sosial-
humaniora lainnya.
4
Adam Kuper, Anthropology and Anthropologist, 1983, hlm. 1.
Tony Rudyansjah 5
5
Catatan Joseph Marie Degerando diterbitkan kembali pada tahun
1969 di London oleh Routledge & Kegan Paul dengan judul he
Observation of Savage Peoples.
6
Margaret T. Hodgen Early Anthropology in the 16th & 17th
Century,1971, hlm. 60.
6 alam, Kebudayaan & yang IlahI
7
Marco Polo he Travels of Marco Polo, 1946 [1559]. Diterjemahkan
dan diedit oleh William Marsden, London: Everyman’s Library.
Tony Rudyansjah 7
budak wanita. Hal ini merupakan satu situasi yang sangat kontras
berbeda dengan situasi yang berkembang di daerah koloni-koloni
Eropa dari abad ke-17 hingga abad ke-19, di mana status dari
anak selalu diperhitungkan melalui garis ibunya. Yang patut
dicatat di sini adalah bahwa perbedaan-perbedaan itulah yang
justru menarik perhatian orang-orang Eropa ketika mengamati
masyarakat-masyarakat di luar Eropa kala itu. Teori tentang arti
penting konsepsi terhadap legitimasi dan ilegitimasi keturunan
sudah dikembangkan lebih kurang 400 tahun jauh sebelum
Malinowski mengembangkan satu teori yang disebutnya dengan
istilah ‘ignorance of physiological paternity’ di kalangan masyarakat
kepulauan Trobriand.
“he correlation of the mystical with the physiological aspects
in pregnancy belief—of the origin of the child in Tuma and
its journey to the Trobriands with the subsequent processes
in the maternal body, the welling up of the blood from the
abdoment to the head and down again from the head to the
womb—provides a co-ordinated and self-contained, though
not always consistent, theory of the origin of human life. It
also gives a good theoretical foundation for matriliny; for the
whole process of introduction new life into a community lies
between the spirit world and the female organism. here is
no room for any sort of physical paternity.” 8
[Korelasi antara aspek mistik dengan aspek isiologis dalam
soal kepercayaan tentang kehamilan—seperti asal usul
bayi dari Tuma dan pengembaraan si bayi di kepulauan
Trobriand yang diikuti oleh proses selanjutnya di dalam
badan si ibu, termasuk mengalirnya darah dari perut ke
kepala dan dari kepala ke rahim—memberikan satu teori
yang terkoordinasikan dan berdiri sendiri tentang asal usul
kehidupan manusia, meskipun teori itu tidak selalu bersifat
konsisten. Hal ini memberikan juga satu landasan teoritis
yang baik tentang matrilini, karena keseluruhan proses
penghantaran sebuah kehidupan baru ke dalam komunitas
terletak di antara dunia roh dan organisme wanita. Dalam
konsepsi ini tidak terdapat ruang bagi paternitas isikal.”]
8
Bronislaw Malinoski, he Sexual Life of Savages, 1987, hlm. 153
Tony Rudyansjah 9
9
Lihat George W. Stocking, Race, Culture, and Society, 1982
12 alam, Kebudayaan & yang IlahI
10
Fernand Braudel, On History, 1980, hlm. 31.
Tony Rudyansjah 13
apa yang ada di alam semesta. Tentu saja uraian ini biasanya
merupakan juga bukti yang diajukan dalam argumentasi bahwa
kapitalisme sesungguhnya sudah ada jauh sebelum timbulnya
Reformasi Protestanisme yang dipelopori oleh Martin Luther
dalam perlawanannya terhadap hegemoni gereja Romawi pada
tahun 1517. Di samping hal-hal yang bersifat teoritis, seperti
konsep teologis tentang nilai yang adil, maka kota Florence sudah
merupakan pusat perbankan dan perdagangan jauh sebelum
adanya Reformasi Protestantisme itu sendiri. Meskipun begitu,
terdapat sebuah perbedaan yang sangat hakiki antara penyesuaian
hukum-hukum agama dalam pengakomodasian barang-barang
perdagangan di satu sisi dan di sisi lain, dukungan sepenuhnya
hukum-hukum agama terhadap pengejaran keuntungan materiil
itu sendiri. Santo homas Aquinas (1225-1274) dalam bukunya
Summa heologica berupaya merumuskan hukum-hukum alam
Abad Pertengahan. Menurutnya, oleh karena segala sesuatu tunduk
kepada Amanat Ilahi, dan diatur serta diukur oleh hukum-hukum
abadi sesuai dengan faktanya, maka segala sesuatu mengambil
bagian di dalam hukum-hukum abadi, sejauh mereka semua
mengarahkan kecenderungan-kecenderungan masing-masing
pada tindakan yang tujuannya merupakan tindakan dan tujuan
mereka yang sebenarnya. Di antara semuanya yang lain, makhluk
yang rasional tunduk kepada Amanat Ilahi dalam cara yang
paling sempurna sejauh mereka sebagai makhluk yang rasional
mengambil bagian dalam Amanat itu dengan menjadikan dirinya
sendiri sebagai Amanat itu baik buat dirinya sendiri maupun buat
yang lainya. Dengan demikian, makhluk yang rasional mengambil
bagian dalam eternal reason yang menyebabkannya mempunyai
kecenderungan alami menuju kepada tindakan dan tujuannya
yang semestinya. Partisipasi dari makhluk-makhluk rasional
dalam hukum-hukum yang abadi inilah yang disebut sebagai
hukum alam. Menurut theodisi ini, segala hal, termasuk apa yang
kelihatannya buruk (evil), harus dipahami sebagai bagian yang
hakiki dari Yang Maha Tahu. Di dalam Abad Pertengahan, nama
16 alam, Kebudayaan & yang IlahI
11
Arthur O. Lovejoy, he Great Chain of Being. 1964, hal. 63.
Tony Rudyansjah 17
12
Cliford Geertz, he Interpretation of Cultures, 1973, hlm. 28-29.
18 alam, Kebudayaan & yang IlahI
13
Lovejoy, op.cit, hlm. 217-218.
Tony Rudyansjah 21
14
Buku ini sebetulnya merupakan kumpulan bahan kuliah yang
diberikan Carl Becker di Universitas Yale, Amerika Serikat, yang
kemudian dipublikasikan tahun 1932, atau 2 tahun sebelum buku
Lovejoy he Great Chain of Being diterbitkan.
22 alam, Kebudayaan & yang IlahI
15
Peter Millican dalam pengantarnya untuk buku David Hume berjudul
An Enquiry Concerning Human Understanding, 2007, hlm. xxiv.
24 alam, Kebudayaan & yang IlahI
16
Peter Millican dalam pengantarnya untuk buku David Hume berjudul
An Enquiry Concerning Human Understanding, 2007, hlm. xxiv.
Tony Rudyansjah 25
17
Pertama kali dipublikasikan pada tahun 1651 dan kemudian
diterbitkan oleh Pelican Books pada tahun 1968.
26 alam, Kebudayaan & yang IlahI
18
homas Hobbes, Leviathan, 194, hlm. 85.
28 alam, Kebudayaan & yang IlahI
19
Ibid, hlm. 120.
Tony Rudyansjah 29
kehendaki hari ini bisa jadi sangat ia benci keesokan harinya. Bagi
Hobbes sama sekali tidak ada satu etika yang mutlak sifatnya,
ataupun moralitas yang menyeluruh sifatnya. Ia mengemukakan di
bagian awal dari bukunya bahwa pada hakekatnya tidak mungkin
untuk mengetahui pikiran dan hasrat orang lain. Yang dapat kita
ketahui adalah pengetahuan kita sendiri mengenai pikiran dan
hasrat orang lain setelah memperbandingkannya dengan apa yang
terjadi pada diri kita sendiri.
“But there is another saying not of late understood, by
which they might learn truly to read one another, if they
would take the pains; and that is, Nosce teipsum, Read thy
self: which was not meant, as it is now used, to countenance,
… But to teach us, that for the similitude of the thoughts
and Passions of one man, to the thoughts, and Passions of
another, whosoever looketh into himself, and considereth
what he doth, when he does think, opine, reason, hope,
feare, &c, upon what grounds; he shall thereby read and
know, what are the thoughts, and Passions of all other men,
upon the like occasions. I say the similitude of Passions,
which are the same in all men, desire, feare, hope, &c; not
the similitude of the objects of the Passions, which are the
things desired, feared, hoped, &c: for these the constitution
individuall, and particular education do so vary, and
they are so easie to be kept from our knowledge, that the
characters of mans heart, blotted and confounded as they
are, with dissembling, lying, counterfeiting, and erroneous
doctrines, are ligible onely to him that searcheth hearts.
And though by mens action wee do discover their designe
sometimes; yet to do it without comparing them with our
own, and distinguishing all circumstances, by which the
case may come to be altered, is to decipher without a key,
and be for the most part deceived,..”20
[Namun terdapat kata bijak lain, yang tidak terlambat untuk
dipahami, yang dapat membantu mereka untuk belajar satu
sama lain, seandainya bersedia menanggung kesulitannya,
yakni Nosce teipsum, Bacalah Dirimu Sendiri, yang bukan
berarti, sebagaimana biasanya diartikan sekarang ini,
20
homas Hobbes, Ibid, hlm. 82-83
30 alam, Kebudayaan & yang IlahI
other Demonstration.”21
[Tetapi biarkan seorang makhluk manusia membaca
makhluk manusia lainnya dengan upayanya yang tidak
pernah sepenuhnya sempurna. Hal itu hanya melayaninya
dengan sesuatu yang sudah diketahuinya, yang sebenarnya
juga tidak terlalu mengungkapkan banyak hal. Pemimpin
satu bangsa harus membaca bukan dalam diri individu
ini atau individu itu, melainkan membaca di dalam Umat
Manusia, yang meskipun sangat sulit untuk bisa dilakukan,
bahkan lebih sulit daripada belajar satu bahasa ataupun ilmu
pengetahuan; namun manakala saya berusaha mengkaji
“bacaan” saya sendiri secara teratur dan secara tajam, maka
berbagai kesulitan itu akan lenyap, dan sebagai gantinya
bertahan sesuatu yang patut untuk dipertimbangkan,
seandainyapun ia tidak menemukan hal yang sama di
dalam dirinya sendiri. Karena doktrin semacam ini tidak
mengakui pembuktian lain apapun.]
21
homas Hobbes, Ibid, hal 83
32 alam, Kebudayaan & yang IlahI
22
Untuk rincian lebih mendalam mengenai pengaruh metode geometri
Euclid dan Fisika Galileo dalam pemikiran homas Hobbes, lihat
Kata Pengantar (Introduction) yang diberikan oleh C.B. Macpherson
untuk karyahomas Hobbes, ibid, hlm. 17-20.
Tony Rudyansjah 33
23
Doktrin Utilitarian adalah dokrin yang cukup dominan meresapi
pikiran ilmu-ilmu sosial di awal perkembangannya dan beranggapan
bahwa tujuan dari segala tindakan moral, sosial maupun politik adalah
Tony Rudyansjah 37
27
Untuk pendapat Hume itu, lihat pengantar dari Peter Millican dalam
buku David Hume An Essay concerning Human Understanding, 2007,
hlm. ix.
40 alam, Kebudayaan & yang IlahI
28
John Locke, An Essay concerning Human Understanding, 1985, hlm.
104.
Tony Rudyansjah 41
29
John Locke, op.cit, hlm. 134.
42 alam, Kebudayaan & yang IlahI
30
John Locke, op.cit, hlm. 402.
Tony Rudyansjah 43
31
John Locke, op.cit, hlm. 476-477.
46 alam, Kebudayaan & yang IlahI
32
John Locke, op.cit, hlm. 514
48 alam, Kebudayaan & yang IlahI
33
John Locke, op.cit, hlm. 666.
Tony Rudyansjah 49
34
John Locke, op.cit, hlm. 666-667
Tony Rudyansjah 51
35
Carl Becker, he Heavenly City of the Eighteenth Century Philosophers,
1932, hlm. 102.
Tony Rudyansjah 53
36
Jean-Jacques Rousseau he Social Contract and Discourses, 1979, hlm. 165.
37
Jean-Jacques Rousseau, op.cit, hal 165.
54 alam, Kebudayaan & yang IlahI
38
Cliford Geertz he Interpretation of Cultures. 1973
Tony Rudyansjah 55
1
Crane Brinton, English Political hought in the Nineteenth Century.
1933, hlm. 226.
2
Talcott Parsons, Structure of Social Action, vol. I, 1968, hlm. 3.
56
Tony Rudyansjah 57
3
Teori voluntaristik mengenai tindakan manusia beranggapan bahwa
manusia bertindak secara sukarela karena nilai yang diyakininya secara
kuat. Jadi tindakan manusia dilihat berorientasi dan ditujukan pada
nilai itu sendiri, dan bukannya pada pertimbangan pragmatis maupun
ekonomis lainnya. Teori voluntaristik ini sangat bertentangan dengan
pemikiran utilitarian yang membingkai tindakan manusia di dalam
azas guna.
58 alam, Kebudayaan & yang IlahI
4
Mercantilists adalah para teoritisi dan praktisi yang mengembangkan
satu sistem ekonomi pada masa terjadinya sentralisasi kekuasaan
menyusul gejala kehancuran feodalisme di Eropa pada Abad ke-17
dan ke-18, dan yang bertujuan terutama untuk menyatukan dan
memperkuat kemampuan kekayaan moneter satu bangsa melalui
peraturan pemerintah bagi seluruh ekonomi nasional, misalnya
Tony Rudyansjah 61
5
Pengikut dari pemikiran Quesnay kemudian terkenal dengan
istilah Physiocrats. Sistem dari doktrin politik dan ekonomi mereka
berdasarkan pada supremasi tatanan alami yang sangat menekankan
kemampuan alam sebagai sumber dari kesejahteraan publik dan
nasional sekaligus sebagai satu-satunya sumber yang tepat bagi
pendapatan publik. Selain itu, mereka juga sangat menekankan agar
pemerintah tidak turut campur terhadap jalannya hukum-hukum
alam yang mempengaruhi hubungan dan proses antara masyarakat
dan industri.
6
Lihat, misalnya, buku Gunnar Myrdal (1953) dan Joseph Schumpeter
(1954).
Tony Rudyansjah 63
7
Karl Marx, he Economic and Philosophic Manuscripts of 1844,
diterjemahkan oleh T.B.Bottomore, dalam Erich Fromm, ed., Marx’s
Concept of Man, 1961, hlm. 121.
64 alam, Kebudayaan & yang IlahI
8
Louis Dumont, From Mandeville to Marx, 1983, hlm. 40-41.
Tony Rudyansjah 65
9
Joseph Schumpeter, History of Economic Analysis, 2006, hlm. 245-
247.
66 alam, Kebudayaan & yang IlahI
10
Dikutip dari terjemahan Dumont (1983, hlm. 43) dari bahasa
Perancis ke bahasa Inggris.
Tony Rudyansjah 69
11
Akan dibahas dalam bagian Durkheim yang merupakan bab tersendiri
dari jilid kedua buku ini.
Tony Rudyansjah 73
12
John Locke, Two Treatises of Government, 1988, II, $ 7: 16-19 (hlm.
271).
76 alam, Kebudayaan & yang IlahI
13
John Locke, Two Treatises of Government, 1988, hlm. 287-288.
78 alam, Kebudayaan & yang IlahI
14
Louis Dumont, From Mandeville to Marx, 1883, hlm. 51.
Tony Rudyansjah 79
15
C.B Macpherson he Political heory of Possesive Individualism. 1962
16
John Locke, 1988, II, $ 123: 14-16 (hlm. 350).
80 alam, Kebudayaan & yang IlahI
17
John Locke, 1988, II, $ 173: 4-6 (hlm. 383).
18
Peter Laslett di dalam John Locke, 1988, Introduction, hlm. 100-
102.
Tony Rudyansjah 81
19
Bernard Mandeville, he Fable of the Bees, Vol. 1, the Online Library
of Liberty, 2005, hlm. 67.
84 alam, Kebudayaan & yang IlahI
20
Bernard Mandeville op.cit, hlm. 69.
21
Bernard Mandeville, op.cit, hlm. 74.
Tony Rudyansjah 85
22
Albert O. Hirschman, he Passions and the Interest, 1981, hlm. 48-55.
23
Benedict Spinoza, he Political Works, 1958, Prop. 33.
24
Albert O. Hirschman, op.cit, hlm. 49.
Tony Rudyansjah 87
25
Sir James Steuart, Inquiry into the Principles of Political Oeconomy,
1767 [1966], hlm. 143-144.
88 alam, Kebudayaan & yang IlahI
sentimen yang baru itu. Adam Smith adalah tokoh pemikir lain
yang dapat disebut sebagai wakil utama pendukung sentimen
yang berdasarkan pada the virtue of selishness dari Mandeville.
26
Adam Smith, he heory of Moral Sentiment, 2004, hlm. 11.
90 alam, Kebudayaan & yang IlahI
fondasi dan perangkat dari kognisi tentang diri sendiri dan diri
orang lain, serta di sisi lain, apa yang dapat kita katakan menjadi
fondasi dan perangkat dari penilaian mengenai diri sendiri dan
diri orang lain. Sehingga penilaian kita itu pada akhirnya dapat
dikatakan tanpa pamrih atau nir kepentingan, yang dengan
demikian dapat dikatakan sahih. Smith berupaya menjawab
persoalan utama ilsafat modern itu dengan suatu cara yang
sangat unik melalui sebuah deskripsi yang sangat komprehensif
mengenai kondisi manusia di tingkat mikro dari relasi sosialnya.
Dalam teori tentang konstitusi diri, Smith menggunakan
suatu pendekatan inter-subjektif. Ia memulai eksplorasinya
dengan sejumlah pertanyaan berkenaan dengan konstitusi
diri orang lain. Pertanyaan Smith perihal bagaimana kita
mengenali dan memahami orang lain, mau tidak mau mencakup
juga pertanyaan apa yang kita pahami dari orang lain. Kedua
pertanyaan itu, dengan demikian, tak mungkin dipisahkan.
Dalam tradisi teoritis berkenaan dengan konstitusi diri, kita dapat
membedakan para ahli ilsafat yang mengembangkan teorinya
dengan mengetengahkan diri sendiri sebagai titik pijakannya di
satu sisi, dengan para ahli ilsafat yang menjadikan diri orang lain
sebagai titik pijakan utamanya, di sisi lain.
Untuk memahami dua tradisi yang berbeda ini ada baiknya
apabila kita mengikuti pembedaan yang dibuat oleh Jacques Lacan,
yakni yang pertama adalah tradisi Cogito yang dikembangkan oleh
Rene Descartes,27 dan yang kedua adalah tradisi Cermin (Mirror)
yang dikembangkan oleh Gottfried Leibniz. Pembedaan antara
kedua tradisi inilah yang sesungguhnya merupakan persoalan
epistemologis sekaligus ontologis tentang kondisi manusia yang
dicoba diatasi Smith, dan dalam hal tertentu apa yang dilakukan
Smith jauh lebih kompleks daripada apa yang dikembangkan
Lacan. Bagaimana kompleksnya pendekatan metodologis yang
27
Tradisi Cogito dari Descartes ini sering juga disebut dengan istilah
tradisi Cartesian.
92 alam, Kebudayaan & yang IlahI
28
Adam Smith, he heory of Moral Sentiment, 2004, hlm. 5-6.
Tony Rudyansjah 95
29
David Hume, A Treatise of Human Nature, 1978, hlm. 365.
30
Adam Smith, he heory of Moral Sentiments, 2004, hlm. 110n.
96 alam, Kebudayaan & yang IlahI
31
Kapasitas igurasi artinya kapasitas suatu benda atau hal memiliki
pola, bentuk atau igur.
Tony Rudyansjah 97
32
Pendekatan relasional ini juga sangat penting untuk Karl Marx, lihat,
misalnya, pembahasan Bertell Ollman, Alienation, 1988.
98 alam, Kebudayaan & yang IlahI
33
Gottfried W. Leibniz, On Destiny or Mutual Dependence’, di dalam
Selections, 1951, hlm. 570.
34
Adam Smith, he heory of Moral Sentiments, 2004, I. ii. 3.4.
Tony Rudyansjah 99
35
Adam Smith, he heory of Moral Sentiments. 2004, I, ii, 3.4.
100 alam, Kebudayaan & yang IlahI
36
Gottfried W. Leibniz, ‘he Monadology’, hlm. 544, §56.
Tony Rudyansjah 101
37
Gottfried W. Leibniz, op.cit, hlm. 544, §57.
38
Adam Smith, he heory of Moral Sentiments, 2004, I.i.1.8.
102 alam, Kebudayaan & yang IlahI
39
Lihat misalnya buku M. dan Rose Friedman, Free to Choose, 1980.
110 alam, Kebudayaan & yang IlahI
40
Adam Smith, he Wealth of Nations, I, v. hlm. 17.
41
Adam Smith, Early Draft of Part of he Wealth of Nations, I, hlm. 5.
Tony Rudyansjah 111
42
Adam Smith, he heory of Moral Sentiments, III.2.1.
Tony Rudyansjah 113
43
Adam Smith, Wealth of Nation, I, ii; 1904, hlm. 16.
3
KarL Marx:
Ketegangan antara KeBeBasan
Dan KenIscayaan tInDaKan
ManusIa
Pendahuluan
Sebagaimana diutarakan oleh A.J.P. Taylor dalam pengantar
untuk buku dari Marx dan Engels he Communist Manifesto,
tulisan-tulisan Karl Marx diperlakukan orang laksana kitab suci
1
‘Introduction’ yang diberikan oleh A.J.P. Taylor dalam Karl Marx dan
Friedrich Engels, he Communist Manifesto, 1985, hlm. 7
118
Tony Rudyansjah 119
2
Lihat misalnya Louis Althusser, For Marx, 1979.
Tony Rudyansjah 121
3
Karl Marx hanya menyelesaikan jilid I dari buku Capital, yang
pertama kali diterbitkan pada tahun 1867. Jilid II dan III diselesaikan
oleh Engels dari draft yang ditinggalkan Marx, dan diterbitkan pada
tahun 1885 untuk jilid II dan tahun 1895 untuk jilid III.
122 alam, Kebudayaan & yang IlahI
4
Sudah kita bahas di bab sebelumnya.
5
Diterbitkan Immanuel Kant dengan edisi bahasa Jerman tahun 1785.
124 alam, Kebudayaan & yang IlahI
6
Pikiran Kantian adalah tradisi pikiran yang dikembangkan oleh
Immanuel Kant
126 alam, Kebudayaan & yang IlahI
7
Robert C. Tucker, he Marx-Engels Reader,1978, hlm. xxi.
Tony Rudyansjah 129
8
Untuk uraian tentang Hegel dan negara modern, baca Charles Taylor,
Hegel and Modern Society, 1988.
134 alam, Kebudayaan & yang IlahI
9
Dirk J. Struik, dalam pengantar yang diberikannya dalam buku Karl
Marx, he Economic & Philosophic Manuscripts of 1844, 1973, hlm.
14.
Tony Rudyansjah 135
10
Buku Hegel’s Philosophy of Right merupakan terjemahan dari buku
pada tahun 1821 dengan judul ganda dalam bahasa Jerman Naturrech
und Staatswissenschaft im Grundrisse dan Grundlinien der Philosophie
des Rechts.
11
Diedit dan diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Lawrence C.
Stepelvitch dalam sebuah buku dengan judul he Left Hegelians: An
Anthology, 1983.
12
Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Jerman tahun 1841.
13
Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Jerman tahun 1983.
14
Ludwig Feuerbach, Principles of the Philosophy of the Future, 1957,
hlm. 33.
Tony Rudyansjah 137
15
Karena sudut pandangnya yang sangat antropologis, maka pendekatan
ilsalat Feuerbach biasa juga disebut dengan istilah ‘antropologisme’
(lihat misalnya “Introduction” yang diberikan homas E. Warterberg
di buku Principles of the Philosophy of the Future dalam edisi bahasa
Inggris, 1986, hlm. xvii).
16
Ludwing Feuerbach, Principles of the Philosophy of the Future, 1986,
hlm. 11.
138 alam, Kebudayaan & yang IlahI
17
Ludwing Feuerbach, he Essence of Christianity, 1957, hlm. 29-30.
18
ibid, hlm. 60.
Tony Rudyansjah 139
19
Ludwig Feuerbach, Principles of the Philosophy of the Future,
diterjemahkan oleh Manfred Vogel, 1986, hlm. 66-67.
140 alam, Kebudayaan & yang IlahI
20
Karl Marx & Frederick Engels, he German Ideology, 1988, hlm. 47.
Tony Rudyansjah 141
21
Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, 1904
(1859), hlm. 11-12.
142 alam, Kebudayaan & yang IlahI
22
Karl Marx, ‘Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of
Right: Introduction’, di dalam Robert C. Tucker, he Marx-Engels
Reader, 1978, hlm. 53-54.
Tony Rudyansjah 143
23
Karl Marx, ‘Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of
Right: Introduction’, di dalam Robert C. Tucker, he Marx-Engels
Reader, 1978, hlm. 54.
24
ibid, hlm. 54.
144 alam, Kebudayaan & yang IlahI
25
ibid, hlm. 54.
26
Karl Marx, ‘On the Jewish Question’, di dalam Robert C. Tucker, he
Marx_Engels Reader, 1978, hlm. 26-52.
Tony Rudyansjah 145
27
Istilah species being (bahasa Jermannya: gattungswesen) berasal dari
Feuerbach. Dalam buku he Essence of Christianity, Feuerbach
mendiskusikan hakekat dari manusia yang harus dibedakan dari
makhluk hidup lainnya (binatang) tidak hanya berdasarkan pada
kesadaran secara umum, melainkan lebih pada satu bentuk khusus
dari kesadaran manusia. Dengan kata lain, manusia tidak hanya
sadar akan dirinya sebagai seorang individu, melainkan ia juga
sadar akan dirinya sebagai anggota dari species manusia, sehingga ia
dapat memahami esensi manusia yang serupa tidak hanya terdapat
dalam dirinya melainkan juga dalam diri orang lain. Kondisi atau
situasi kehidupan bersama manusia yang didasarkan pada kesadaran
serupa itu disebut dengan istilah gattungsleben. Menurut Feuerbach,
kemampuan memahami hakekat species being itu merupakan unsur
fundamental dari kemampuan penalaran manusia: ilmu pengetahuan
pada dasarnya adalah kesadaran akan species serupa itu. Marx
menggunakan istilah dari Feuerbach itu dalam konteks yang lebih
luas, karena dalam deinisi Marx, kesadaran akan species itu (“species
consciousness) menentukan hakekat dari manusia: manusia hanya
hidup dan bertindak secara autentik, atau dengan kata lain, sesuai
dengan hakekatnya, manakala ia hidup dan bertindak secara sungguh-
sungguh sebagai species being, yakni sebagai seorang makhluk sosial.
146 alam, Kebudayaan & yang IlahI
28
Periode Reformasi keagamaan di Eropa terjadi pada abad ke-16,
yang berupaya mengoreksi pandangan yang dianggap keliru dari
gereja Katolik Roma, dan yang pada akhirnya sampai pada upaya
melepaskan diri dari supremasi Kepausan Roma dan lahirnya gereja
Protestan.
Tony Rudyansjah 147
29
Karl Marx, ‘Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of
Right: Introduction’, di dalam Robert C. Tucker, he Marx-Engels
Reader, 1978, hlm. 60.
148 alam, Kebudayaan & yang IlahI
30
ibid, hlm. 62.
Tony Rudyansjah 149
31
ibid, hlm. 63.
150 alam, Kebudayaan & yang IlahI
32
ibid, hlm. 64
Tony Rudyansjah 151
33
ibid, hlm. 65.
34
Naskah ini dapat ditemukan dalam Robert C. Tucker, he Marx-
Engels Reader, 1978, hlm. 66-125.
Tony Rudyansjah 153
35
Jefrey C. Alexander, he Antinomies of Classical hought: Marx and
Durkheim, 1982, hlm. 36-37.
154 alam, Kebudayaan & yang IlahI
36
Jefrey C. Alexander, op.cit, hlm. 37-38.
Tony Rudyansjah 155
37
Kuliah itu saya ikuti di Universitas Chicago ketika saya menjadi
mahasiswa tingkat doktoral di sana pada tahun 1987.
38
Naskah dapat ditemukan dalam Robert C. Tucker, he Marx-Engels
Reader, 1978, hlm. 143-145.
39
ibid, hlm. 145.
156 alam, Kebudayaan & yang IlahI
40
ibid, hlm. 145.
41
ibid, hlm. 145.
42
Bagian I dari ‘German Ideology’ dapat ditemukan dalam Robert C.
Tucker, he Marx-Engels Reader, 1978, hlm. 146-200.
Tony Rudyansjah 157
diubah)43
[… menghasilkan peralatan untuk hidup. Produksi
peralatan untuk hidup ini hanya dapat muncul dengan
bertambahnya jumlah penduduk, yang pada gilirannya
juga sangat tergantung pada interaksi antara satu individu
dengan individual lainnya. Bentuk dari interaksi ini juga
ditentukan pada akhirnya oleh produksi.]
43
Karl Marx dan Frederick Engels, he German Ideology, 1988, hlm.
42-43.
Tony Rudyansjah 159
44
Untuk uraian lebih rinci tentang perkara ini, lihat pembahasan di
halaman 147-150 buku ini.
Tony Rudyansjah 161
45
Peter M. Worsley, Marxism and Culture: he Missing Concept, dalam
Dialectical Anthropology, 1981, 6(2), catatan kaki no. 9, hlm 120.
46
Raymond Firth, ‘heSceptical Anthropology? Social Anthropology
and Marxist View on Society’, dalam Maurice Bloch, editor, Marxist
Analyses and Social Anthropology, 1984, hlm. 46.
162 alam, Kebudayaan & yang IlahI
47
Karl Marx, Early Writings, terjemahan T.B. Bottomore, 1963, hlm.
147-148.
164 alam, Kebudayaan & yang IlahI
48
Robert C. Tucker, he Marx-Engels Reader, 1978, hlm. 33, catatan
kaki nomor 1.
Tony Rudyansjah 167
49
Di penghujung abad ke-18 dan permulaan abad ke-19, beberapa
gejolak dengan dampak yang besar melanda Eropa. Jatuhnya istana
Bastille pada tanggal 14 Juli 1789 mengakhiri masa monarki absolut,
dan tanggal 10 Agustus 1792 menandai berakhirnya monarki
konstitusional di Perancis. Selanjutnya Revolusi Perancis tahun 1830
berhasil menghancurkan kelas aristokrat dan sistem masyarakat
feodalisme, dan menggantikannya dengan kelas borjuis dan sistem
masyarakat kapitalis. Sedangkan Reform Bill tahun 1832 di Inggris
menandai kemenangan kelas menengah atas kelas dengan hak
istimewa dari para aristokasi Inggris.
Tony Rudyansjah 169
50
Lihat karya-karya Karl Marx dengan judul he Class Struggles in
France dan he Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte.
170 alam, Kebudayaan & yang IlahI
51
Maurice Bloch, Marxism and Anthropology, 1985, hlm. 5.
52
Dikutip dari Alfred Schmidt, he Concept of nature in Marx, 1971,
hlm. 46.
Tony Rudyansjah 171
uang dan inilah yang menjadi faktor kunci utama dalam proses
perubahan masyarakat Eropa itu. Jilid pertama dari Capital sangat
penting dan relevan buat disiplin antropologi, bukan karena ia
mengimplementasikan prinsip-prinsip dari vulgar Marxist version
of historical materialism, sebagaimana saya telah gambarkan garis
besarnya,53 melainkan lebih pada pelajaran yang harus dipetik
darinya tentang bagaimana sebuah analisis yang baik mengenai
satu proses perubahan sosial, seperti yang terjadi di Eropa, harus
dilaksanakan.
Jilid pertama dari Capital dimulai dengan sebuah diskusi
mengenai komoditas dan uang, dan analisis ini berisi berbagai
ciri-ciri teoritis penting mengenai bagaimana satu analisis tentang
masyarakat kapitalis seharusnya dilakukan. Komoditas, menurut
Marx, adalah satu benda atau objek yang dengan segi-segi yang
dimilikinya akan memuaskan atau memenuhi keinginan manusia
(human wants). Dibandingkan dengan bentuk masyarakat yang
mendahuluinya, masyarakat kapitalis, dengan satu kekhususan
modus produksi (mode of production) yang dimilikinya,
memungkinkannya untuk menampilkan dirinya secara mencolok
sebagai sebuah pengakumulasian besar-besaran dari komoditas.
Hal ini kedengarannya sangat sederhana dan biasa, namun
sesungguhnya merupakan satu hal yang sangat rumit dan
kompleks. Dalam masyarakat kapitalis, komoditas memiliki dua
sisi: (1) di satu sisi, ia merupakan objek yang memiliki nilai guna
(use-value), karena ia dinilai berguna dan (2) di sisi lain, ia memiliki
juga nilai di dalam pertukaran, sehingga ia memiliki nilai tukar
(exchange-value). Ini memang merupakan sebuah pembedaan
yang penting dan mendasar dalam pandangan ekonomi politik
klasik. Selain itu, Marx juga sependapat dengan Adam Smith
dan David Ricardo yang menyatakan bahwa nilai satu komoditas
setara jumlah kerja yang dicurahkan untuk menghasilkan objek
dari komoditas itu. Dengan cara pandang seperti itu, maka
53
Lihat halaman 159-162 buku ini.
Tony Rudyansjah 173
berapa jam dari seorang pembuat sepatu atau berapa jam dari
seorang pembuat keju, melainkan satuan tenaga kerja (unit of
labour). Jadi yang didapatkan seorang pengusaha adalah tenaga
kerja (labour power) yang memiliki nilai guna (use-value) yang
dapat pada gilirannya menghasilkan nilai tukar (exchange-value)
yang lebih besar daripada nilai yang dibayar oleh si pengusaha
itu.54
Yang menarik dari konteks itu adalah bahwa proses yang aktual
dari produksi itu sendiri sesungguhnya tidak harus berbeda antara
apa yang terjadi dalam masyarakat kapitalis dengan masyarakat
sebelum kapitalis. Sebagai ilustrasi yang baik untuk perihal itu
adalah proses aktual dari produksi yang terjadi pada alat pemintalan
benang, di mana di satu tahap masyarakat (baca: masyarakat
sebelum kapitalis) kita menemukan orang memintal benang dan
di tahap masyarakat berikutnya (baca: masyarakat kapitalis) kita
tetap melihat orang memintal benang. Dengan kata lain, tidak ada
sesuatu yang berubah dalam proses produksi antara masyarakat
kapitalis dengan masyarakat sebelum kapitalis, karena yang kita
lihat adalah orang melakukan hal yang sama. Yang sesungguhnya
berubah adalah spirit pembuatan katun itu telah berubah menjadi
sebuah spirit produksi komoditas, karena relasi di mana produksi
itu dilangsungkan telah berubah, dan bukannya teknologinya
itu sendiri. Dengan demikian, eksploitasi, dalam pikiran Marx,
mendapatkan parameter dan ekspresi yang sesungguhnya dalam
bentuk pengambilan nilai lebih (surplus value) yang diberikan oleh
kerja, dan hal ini mungkin terjadi karena adanya pergeseran spirit
dalam proses produksi yang dilakukan manusia.
Dengan demikian, kapitalisme tidak hanya berkenaan dengan
tahap perkembangan teknologi, melainkan lebih berkenaan dengan
cara bagaimana masyarakat dikelola dan diatur, atau, dengan kata
54
Pembahasan tentang pokok permasalahan ini dapat juga ditemukan
dalam tulisan liannya, yakni Karl Marx, Grundrisse, 1973, hlm. 267,
272, 282, 293.
176 alam, Kebudayaan & yang IlahI
55
Karl Marx, Capital Volume 1, 1982, hlm. 164-165.
Tony Rudyansjah 177
56
Karl Marx, Capital Volume 1, hlm. 480.
180 alam, Kebudayaan & yang IlahI
57
Jefrey C. Alexander, he Antinomis of Classical hought: Marx and
Durkheim, 1985, hlm. 202.
182 alam, Kebudayaan & yang IlahI
58
Marshall Sahlins, Culture and Practical Reason, 1976, hlm. 127-128.
Tony Rudyansjah 183
59
ibid, hlm. 134.
184 alam, Kebudayaan & yang IlahI
60
ibid, hlm. 134.
61
ibid, hlm. 134-135.
Tony Rudyansjah 185
62
ibid, hlm. 135.
63
ibid, hlm. 137.
Tony Rudyansjah 187
64
ibid, hlm. 138.
188 alam, Kebudayaan & yang IlahI
65
ibid, hlm. 154.
66
ibid, hlm. 148-149.
Tony Rudyansjah 189
67
Karl Marx, he Economic & Philosopic Manuscripts of 1844, 1973,
hlm. 113-114.
68
Marshall Sahlins, Culture and Practical Reason, 1976, hlm. 149.
190 alam, Kebudayaan & yang IlahI
69
ibid, hlm. 161.
70
ibid, hlm. 163-164.
71
ibid, hlm. 164.
Tony Rudyansjah 191
72
ibid, hlm. 146.
Tony Rudyansjah 193
73
ibid, hlm. 139.
194 alam, Kebudayaan & yang IlahI
74
Karl Marx, Pre-Capitalist Economic Formations, 1984, hlm. 93.
75
Shlomo Avineri, he Social and Political hought of Karl Marx, 1980,
hlm. 36-38 dan 84.
Tony Rudyansjah 197
76
Karl Marx & Frederick Engel, he German Ideology, dalam ‘heses on
Feuerbach’ dalam supplementary text, 1988, hlm. 121.
Tony Rudyansjah 199
77
Henry Lefebvre, he Sociology of Marx, 1982, hlm. 52.
200 alam, Kebudayaan & yang IlahI
78
Karl Marx, Grundrisse, 1973, hlm. 83-84.
202 alam, Kebudayaan & yang IlahI
79
Karl Marx, Grundrisse, 1973, hlm. 100-101.
80
Untuk ulasan mengenai perdebatan ini, lihat tulisan Richard Feinberg
dengan judul ‘Schneider’s Symbolic Cultural heory: An Appraisal’
dalam Current Anthropology, Vol. 20, No. 3, September 1979.
Tony Rudyansjah 203
81
Karl Marx, Preface to A Contribution to the Critique of Political
Economy, dalam Robert C. Tucker, he Marx-Engels Reader, 1978,
hlm. 5.
204 alam, Kebudayaan & yang IlahI
82
Karl Marx, Capital Volume 1, hlm. 283-284.
Tony Rudyansjah 205
83
Karl Marx, Grundrisse, 1973, hlm. 104.
208 alam, Kebudayaan & yang IlahI
84
Karl Marx, Grundrisse, 1973, hlm. 105.
Tony Rudyansjah 209
85
Karl Marx, Grundrisse, 1973, hlm. 105-106.
Tony Rudyansjah 211
86
Karl Marx, Grundrisse, 1973, hlm. 107.
212 alam, Kebudayaan & yang IlahI
87
Karl Marx, Grundrisse, 1973, hlm. 106-107.
Tony Rudyansjah 213
88
Pandangan seperti itu dianut oleh, sebagai contoh, Marvin Harris.
Tony Rudyansjah 215
89
Shlomo Avineri, he Social & Political hought of Karl Marx, 1980,
hlm. 85.
216 alam, Kebudayaan & yang IlahI
yakni saat: (1) dinamika dari sistem itu sendiri mengarah pada
instrumentalitas dari siklus perdagangan yang berujung pada
munculnya kontradiksi di dalam sistem itu, dan pada akhirnya
kehancuran sistem itu sendiri; dan (2) meskipun realitas tempat
kerja dikedoki oleh apa yang nampak sebagai kesetaraan di
dalam ranah pasar melalui tampilan masyarakat sipil, realitas dari
sistem itu sendiri pada akhirnya cenderung memihak pada kaum
proletariat ketika mereka menjadi lebih terorganasir, lebih disiplin,
dan lebih sadar akan peranan historisnya, yang mendorong
mereka pada akhirnya untuk melakukan sebuah tindakan politis
yang penting.
Pertanyaan besar kemudian adalah bagaimana hal itu dapat
terjadi, dan apa peranan yang dimainkan oleh teori Marxis dalam
keseluruhan proses dari transformasi sosial tersebut. Pertanyan
ini menghadirkan beberapa isu teoritis dengan pengaruh yang
sangat besar. Karl Marx sendiri meninggalkan pokok permasalahan
ini tanpa terlalu banyak dikembangkan, dan menjadi tugas
para pengikutnya untuk menuntaskan dan menjawab pokok
permasalahan tersebut. Dan nampaknya sudah menjadi takdir dari
seorang pemikir dengan kreativitas sekaliber Marx apabila berbagai
ungkapan dan pernyataan dalam karyanya mungkin untuk bergerak
dan berkembang ke berbagai arah yang berbeda, sehingga para
pengikutnya bisa menggunakan aspek-aspek tertentu dari tulisan
Marx, dan sekaligus menganut berbagai titik pijakan yang berbeda
sebagai titik tolak pemikiran mereka, yang kesemuanya pada
akhirnya seringkali bisa saling berkontradiksi satu sama lainnya.
Salah satu pokok permasalahan yang pada dasarnya sangat
relevan untuk antropologi, misalnya isu tentang relasi antara
kebudayaan dengan perilaku sosial, relasi antara struktur gagasan
dengan struktur relasi sosial, ataupun relasi antara struktur
dan sejarah. Tradisi yang dominan dalam pemikiran Marxisme
berkenaan dengan pokok permasalahan ini secara ketat adalah
Materialisme Historis yang melihat ideologi dalam terminologi
220 alam, Kebudayaan & yang IlahI
90
Lihat halaman 136-140 dari buku ini.
Tony Rudyansjah 221
91
Raymond Geuss, he Ideas of a Critical heory, 1982, hlm. 45-45.
222 alam, Kebudayaan & yang IlahI
92
Raymond Geuss, op.cit., hlm. 45.
Tony Rudyansjah 223
93
Karl Marx dan Frederick Engels, he Holy Family, 2000, Chapter 4,
hlm. 13. Lihat juga Loyd D. Easton dan Kurt h. Guddat (editor dan
penterjemah), Writing of the young Marx on Philosophy and Society,
1967, hlm. 368; dan Robert C. Tucker (editor), he Marx-Engels
Reader, 1978, hlm. 134-135.
226 alam, Kebudayaan & yang IlahI
94
Franz Boas, ‘History and Science in Anthropology: a Reply’ dalam
Tony Rudyansjah 227
96
Georg Lukács, he heory of the Novel, 1971, hlm. 3.
Tony Rudyansjah 229
97
Lukács pada saat menulis he heory of the Novel hidup layaknya
seorang seniman yang berpindah-pindah dari satu negera ke negara
lain.
230 alam, Kebudayaan & yang IlahI
98
Lihat halaman124-126 buku ini.
99
Georg Lukács, History and Class Consciousness, 1985, hlm. 49.
Tony Rudyansjah 231
100
Georg Lukács, History and Class Consciousness, 1985, hlm. 69.
232 alam, Kebudayaan & yang IlahI
101
ibid, hlm. 70.
102
ibid, hlm. 47.
234 alam, Kebudayaan & yang IlahI
103
ibid, hlm. 47.
104
ibid, hlm. 153.
Tony Rudyansjah 235
105
ibid, 1985, hlm. 153.
106
ibid, hlm. 153.
236 alam, Kebudayaan & yang IlahI
241
dari objek kajian dan analisis dari ilmu-ilmu alam, maka hasil
konstruksi kembali sistem pemaknaan itupun menjadi sesuatu hal
yang sangat problematis secara metodologis, dan tak jarang tidak
dipahami lagi oleh anggota masyarakatnya sendiri.
Semua problema ini merupakan hal yang sangat serius, dan
tidak hanya suatu hal teoritis dalam pengertian abstrak, melainkan
lebih merupakan satu pokok persoalan pelik yang senantiasa dihadapi
setiap peneliti saat terlibat dalam satu proses penginvestigasian satu
masyarakat. Akhirulkalam, pembahasan tentang perkara rumit ini
membawa kita pada satu pokok persoalan yang berada di luar ruang
lingkup kajian utama diskusi kita disini, dan sekaligus membutuhkan
diskusi tersendiri dalam sebuah buku yang berbeda.107 Oleh karena
itu, diskusi panjang kita mengenai bab terakhir dari buku ini dapat
kiranya penulis sudahi sampai di sini.
107
Diskusi tentang pokok persoalan ini akan menjadi topik kajian dari
jilid kedua buku ini.
242
Daftar PustaKa
243
244 alam, Kebudayaan & yang IlahI
York: Scribner’s
Locke, John. 1985. An Essay concerning Human Understanding.
Oxford: Clarendon Press
___________, 1988. Two Treatises of Government. Oxford:
Clarendon Press
Lovejoy, Arthur O. 1964. he Great Chain of Being. Cambridge:
Harvard University Press
Lukács, Georg. 1971. he heory of the Novel. London: he
Merlin Press.
___________, 1985. History and Class Consciousness. Cambridge:
he MIT Press.
Lukes, Steven. 1981. Émile Durkheim. New York: Penguin Books
Macpherson, C.B. 1962. he Political heory of Possessive
Individualism: Hobbes to Locke. Oxford: Oxford University
Press
Maine, Henry Sumner. 1986 [1864]. Ancient Law. Tucson:
University of Arizona Press
Malinowski, Bronislaw. 1987. he Sexual Life of Savages. Boston:
Beacon Press
Mandeville, Bernard. 2005. he Fable of the Bees, Vol. 1, the
Online Library of Liberty
Marx, Karl. n.d. [1869] he eighteenth bruimaire of Louis
Bonaparte. Moscow: Foreign Languages Publishing House
(2d ed., Hamburg, 1869).
___________, 1904 [1859] A Contribution to the Critique of
Political Economy, Chicago: Kerr.
___________,1962. he Class Struggles in France, 1848-1850,
dalam Marx dan Engels: Selected Works I, Moscow: Foreign
Languages Publishing House
___________, 1963. Early Writings, terjemahan T.B. Bottomore,
London: Mcgraw-Hill
Tony Rudyansjah 249
InDeKs
Masyarakat komunis 126, 135, 136, Practical reason 101, 103, 108, 147,
137 152, 153, 163
Masyarakat sipil 28, 108, 115, 118, Praxis 99, 117, 153, 156, 160, 161,
120, 121, 123, 133, 138, 176 162, 174, 190, 191
Materialisme 42, 79, 98, 128, 129, Principle of plenitude 11, 13
146, 150, 155, 160, 176 Proletarian 122, 123, 158, 177,
Materialist theory of history 129 180, 181, 185, 186, 187
Mauss, Marcel 196, 198, 199 Property 29, 31, 52, 62, 63, 65,
Mercantilists 50, 132 124, 125, 134, 147, 166,
Metode pembalikan 113 169, 170, 171
Mimetic praxis 161 Property value 29
Mind 13, 19, 23, 33, 36, 81, 104, Propriety 36, 38
105, 114, 164 Prudence 23
Mind of God 19 Psikologi materialistik 49
Monad 78, 79, 80, 82, 83, 85 Pursuit of felicity 101
Moral judgement 100
Myrdal, Gunnar 51, 199 Q
Rudyansjah, Tony i, iii, iv, xiv, 207 Spirit 8, 7, 35, 102, 103, 104, 105,
106, 107, 108, 113, 142,
S 158, 183
Sahlins, Marshall 101, 104, 146, Stepelvitch, Lawrence C. 111, 200
147, 148, 149, 150, 151, Steuart, Sir James 71, 200
152, 153, 154, 155, 156, Stocking, George W. 9, 200
163, 165, 174, 191, 193, 194 Subjective cultural understanding
Saint-Simon 2, 130, 161, 175, 196 101
Schmidt, Alfred 138, 199 Surplus value 57, 142
Schneider, David vii, 163, 196 Sympathetic sentiments 87
Schumpeter, Joseph A. 51, 53, 199 T
Science of moral 100
Self 7, 24, 33, 58, 59, 73, 74, 75, Taylor, Charles 97, 109, 200
76, 77, 89, 91, 93, 94, 95, Temporalizing of the great chain of
105, 112, 124, 125, 147, being 17
168, 169, 179, 180, 183 Teori Cermin 78, 79, 82
Self-consciousness 105 Teori “hukum alam” 53
Self-love 89, 91, 94 Teori mekanistik tentang masyarakat
Self-referential theory 75 48
Sentiments 72, 73, 77, 87 Teori positivistik 47, 101
Sentiments 73, 78, 80, 81, 83, 89, Teori rasionalitas 49
92, 199 Teori voluntaristik mengenai tinda-
Smith, Adam 2, 43, 47, 49, 50, 57, kan 47
59, 63, 64, 67, 71, 72, 77, heoretical reason 101, 103
78, 80, 81, 83, 89, 90, 91, heory of communicative action 73
92, 95, 96, 132, 133, 134, Totalitas 84, 107, 109, 129, 166,
140 181, 184, 186, 187, 189,
Smith, Raymond v, xiii, 126 190, 191, 193
Sociability 41 Transformasi sosial 146, 161, 176,
Social 1, 3, 30, 43, 44, 46, 66, 72, 180
73, 84, 115, 119, 120, 121, True interests 177
126, 128, 131, 135, 143, Tucker, Robert C. 105, 116, 117,
148, 150, 151, 157, 159, 119, 124, 126, 127, 135,
161, 167, 172, 175, 178, 163, 181, 199, 200
185, 196, 199
Social being 66, 135 U
Social formation 128 Utilitarianism 154
Social relation 143 Utilitarianisme 154, 174
Species being 118, 135, 159, 160,
162 V
Species consciousness 118
Spencer, Herbert 46, 47, 100, 132, Value 8, 29, 57, 58, 64, 90, 134,
139, 168 135, 140, 142, 143
Spinoza, Benedict 70, 200 Vico, Giambattista 195, 200
Voluntarisme 191
258 alam, Kebudayaan, dan yang IlahI
W
Wartofsky, Marx W. 200
Wealth 50, 52, 54, 58, 72, 82, 89,
90, 94, 95, 96, 98, 183, 199
Weber, Max vii, 8, 11, 17, 158
Wolf, Kurt H. 196
Worsley, Peter M. 131, 200
Rernr
7. Halaman 137, baris ke-6 dan ke-7 dari atas, ditulis: Teologi
merupakan titik awal dan titik akhir ... . Seharusnya:
Teologi
membentuk titik awaldan titik akhir... .
8 . Halaman 141, bariske-5 dan ke-6 dari atas,ditulis: Keseluruhan
berbagai relasi produlai ini merupakan struktur ekonomi
masyarakat... Seharusnya:Keseluruhanberbagairelasiproduksi
ini membentukstruktur ekonomi masyarakat...
9 . Halaman L47, baris ke-ll dari atas ditulis: ... meneguhkan
kembaliotoritasterhadapkeyakinan.Seharusnya:
....meneguhkan
kembali otoritaskeyakinan.
l0.Halaman 148, baris ke-16 dari bawah, ditulis: Hanya atasnama
itu, ... Seharusnya:Hanya atas nama berbagai kepentingan
umum itu, ... .
11.Halamanl53, baris ke-8 danke-7 dari bawah, ditulis: Dalam
menentukan "apa yang merupakan alienasi dari sebuah aktivitas
kerja," .. . Seharusnya:Dalam menentukan "apayang membentuk
alienasidari sebuahaktivitas kerja," .. .
i2. Halaman 183, baris ke-14 dari bawah, ditulis: "It provesincorrent
to supposethat ... . Seharusnya:"It proves incorrect to supPose
that ... .