Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Berbagai tragedi kemanusiaan berlangsung di dalam kehidupan manusia. Tragedi


kemanusiaan di masa lalu yang disertai oleh kekerasan antara sesama manusia menorehkan
ingatan sosial yang berkembang di dalam masyarakat. Upaya perubahan yang berkaitan dengan
sikap manusia senantiasa diuji dalam kemajuan zaman. Sikap manusia bukan sepenuhnya
terbentuk berdasarkan sebuah sistem yang kaku seperti dalam birokrasi pemerintahan. Sikap
manusia teraktualisasi di dalam proses pengembangan daya kreativitas di dalam diri sendiri serta
interaksinya dengan masyarakat sekitar.
Pada bagian awal akan dijelaskan terlebih dahulu dasar teoritis dari program filsafat
untuk anak yang telah dijalankan di berbagai negara di Eropa dan Amerika Serikat. Kemudian
dijelaskan juga argumen filsafat sebagai pendidikan nilai untuk anak-anak. Untuk memperjelas
argumen ini juga dipaparkan program filsafat untuk anakanak yang telah diterapkan di beberapa
negara bagian di Jerman. Setelah itu dipaparkan beberapa kemungkinan penerapan untuk konteks
Indonesia. Beberapa catatan kritis atas program filsafat untuk anak juga akan diberikan. Di
bagian akhir tulisan akan dirumuskan kesimpulan.

B.Tujuan
1. Mengulas isi jurnal.
2. Mencari dan mengetahui informasi yang ada pada jurnal.
3. Melatih untuk berfikir kritis dalam mencari informasi dalam jurnal.

C. Rumusan Masalah
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan
2. Menambah pengetahuan tentang bagaimana penerapan filsafat dalam pendidikan.
3. Mengetahui keunggulan dan kelemahan isi jurnal.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Identitas Jurnal

Jurnal 1

Judul Jurnal : JATIDIRI MANUSIA BERDASARKAN FILSAFAT TINDAKAN


ANNA ARENDT PERSPEKTIF FILSAFAT MANUSIA

Nama Jurnal : Jurnal Filsafat

Penulis Jurnal : Astrid Veranita Indah

Vol/No Jurnal : Vol. 25 / No. 2

Tahun : 2015

Jurnal 2

Judul Jurnal : PENDIDIKAN FILSAFAT UNTUK ANAK

Nama Jurnal : Jurnal Filsafat

Penulis Jurnal : Reza A. A. Wattimena

Vol/No Jurnal : Vol. 26 / No. 2

Tahun : 2016

B. RINGKASAN JURNAL
2
1. Jurnal 1

JATIDIRI MANUSIA SEBAGAI PERSOALAN FILSAFAT MANUSIA

Tujuan filsafat manusia adalah mendalami hakikat manusia. Manusia dengan mendalami
esensi manusia, maka akan menemukan jatidirinya. Menurut Hadi (1996: 25) bahwa jatidiri
manusia mempunyai pengertian ganda. Pertama, jatidiri manusia mengandaikan adanya kesatuan
yang utuh di dalam diri manusia. kesatuan ini begitu mutlak sehingga terasa begitu jelas
ketunggalan di dalam dirinya sendiri yang tidak bisa dibagi-bagi. Kedua, manusia yang terdiri
dari bagian-bagian dan aspek-aspek yang begitu kaya. Manusia terdiri dari badan dan jiwa, yang
masing-masing mempunyai kegiatan, kemampuan, dan gaya, serta perkembangannya sendiri.
Jatidiri manusia memuat aspekaspek unitas kompleksitas, aspek historisitas dan aspek sosialitas.

Aspek-aspek di atas merupakan persoalan-persoalan filsafat manusia, yang sekaligus


unsur-unsur yang memuat jatidiri manusia. Aspek unitas-kompleksitas memuat persoalan badan
dan jiwa manusia. Aspek historisitas dalam dinamika sejarah, dari masa lalu, masa sekarang dan
masa depan. Aspek sosialitas, di mana manusia yang memiliki keunikan bersosialisasi dengan
masyarakat

BIOGRAFI HANNAH ARENDT

Kehidupan filsafat Arendt dimulai dari ketika mulai mempelajari studi klasik dan teologi
Kristen di University of Berlin. Saat berusia 18 tahun, ia mulai belajar fenomenologi pada Martin
Heidegger di Marburg University. Arendt pergi ke University of Heidelberg pada tahun 1925
untuk belajar bersama filsuf eksistensialis Karl Jaspers. Arendt menulis tesis doktoral tentang
konsep cinta St. Augustine di bawah pengawasan Jaspers (Owens, 2010: 40-41). Karya pertama
Arendt setelah Disertasi yang berjudul Love and Saint Augustine adalah riset Arendt tentang
keluarga Yahudi.

Arendt memulai riset untuk sebuah biografi Rahel Varnhage. Buku ini pertama kali
diterbitkan di London tahun 1958 sebagai Rahel Varnhagen: The Life of Jews. Nama keluarga
Rahel adalah Lewin, terkenal karena salon intelektualnya. Riset buku ini telah menggiring
Arendt menelaah asal-usul antisemitisme dan sejarah yahudi Jerman (Ettinger, 2005: xxxi). Riset
3
tentang salah satu keluarga Yahudi di situ merupakan sebuah riset di mana orang Yahudi
berkumpul, membicarakan persoalan mulai dari ekonomi, politik bahkan kehidupan privasi
seseorang di sebuah salon. Salon menjadi tempat penting dalam memperkuat komunitas Yahudi
di tengah masyarakat yang plural.

FILSAFAT TINDAKAN HANNAH ARENDT

Filsafat tindakan berasal dari konsep vita activa. Konsep vita activa merumuskan tiga
aktivitas manusia, antara lain : kerja, karya dan tindakan. Hannah Arendt (1958: 7) menjelaskan
bahwa: “With the term vita activa, I propose to designate three fundamental human activities:
labor, work and action. They are fundamental because each corresponds to one of the basic
conditions under which life on earth has been given to man. Labor is the activity which
corresponds to the biological process of the human body. Work is the activity which corresponds
to unnaturalness of human existence, which is not imbedded in, and whose mortality is not
compensated by, the species ever-recurring life cycle. Action, the only activity that goes on
directly between men without the intermediary of things or matter, corresponds to the human
condition plurality, to the fact that men, not Man, live on the earth and inhabit the world”

Istilah vita activa merupakan istilah yang memiliki muatan tradisi, di mana tradisi
tersebut sama tuanya dengan tradisi pemikiran politik. Secara historis, istilah vita activa berasal
dari pemikiran Aristoteles biospolitikos. Istilah biospolitikos ini digunakan pada filsafat Abad
Pertengahan oleh Agustinus dengan istilah vita negotiosa atau actosa dengan makna “a life
devoted to public-political matters” (mempersembahkan hidup untuk urusan politik-publik)
(Arendt , 1958: 12). Manusia dibedakan dari makhluk lain, terutama dengan kemampuan
manusia berpikir. Berpikir bukan hanya berpikir seperti hal-hal praktis yang telah diatur dalam
sebuah sistem, seperti birokarsi. Berpikir merupakan aktivitas di mana terjadi dialog antara diri
dengan suara batin, sehingga berpikir memerlukan aspek kesadaran, bukan hanya dengan
menghayati namun dengan bertindak.

JATIDIRI MANUSIA DALAM FILSAFAT TINDAKAN ARENDT

A. Badan dan Jiwa; Jiwa dan Pikiran

4
Jatidiri manusia memiliki beberapa aspek, antara lain : aspek unitas kompleksitas, aspek
historisitas dan aspek identitas diri. Aspek unitas-kompleksitas di dalam filsafat tindakan Arendt
terdapat pada pemahaman bahwa manusia terdiri dari jiwa dan pikiran. Hubungan jiwa dan
pikiran dijelaskan Arendt (1971: 1/123) bahwa: Without the breath of the life the human body is
corpse. Without thinking the human mind is dead. Kalimat ini mengandaikan hubungan antara
jiwa dan pikiran. Jiwa dan pikiran membentuk sebuah kesatuan utuh, yang terdiri dari bagian-
bagian dan aspek-aspek. Jiwa mendukung pikiran dalam membentuk kepribadian manusia.
Manusia di dalam berpikir senantiasa memerlukan kehendak dan pertimbangan, di dalam
kesatuan kemampuan mental manusia

B. Historisitas Manusia

Manusia berkembang dari masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Masa lalu dan masa
sekarang ditempuh untuk membentuk masa depan. Arendt menjelaskan bahwa penekanan pada
becoming, yaitu bukan being tapi becoming terinspirasi dari Hegel. Hal ini berarti bahwa masa
depan lebih penting melebihi masa sekarang dan masa lalu (Arendt, 1971: 11/47). Manusia
dilihat perkembangan kehidupan yang selalu berproses, sehingga manusia adalah pribadi yang
selalu terlahir kembali. Keterlahiran membuka kemungkinan untuk melakukan pembaharuan.
Pembaharuan mampu memberikan kesempatan baru bagi tindakan manusia.

Kesadaran berpikir penting digunakan dalam kehidupan manusia. Situasi kehidupan manusia
yang cenderung berubah-ubah, diperlukan kesadaran berpikir dalam setiap tindakan yang
dilakukan manusia. Kesadaran berpikir mampu menghindari tindak kejahatan karena kelemahan
manusia dalam bertindak. Kelemahan tindakan manusia antara lain antara lain: pertama, adanya
tindakan yang tidak dapat dikembalikan ke titik nol, dan selalu menorehkan ingatan sosial.
Kedua, tindakan yang tidak dapat diprediksi hasilnya. Arendt menjelaskan bahwa dengan
memberikan ampunan dan janji, maka manusia mampu mengatasi kelemahan tindakan tersebut.

C. Nilai-nilai Sosialitas Manusia

Manusia adalah makhluk sosial. Sosialitas manusia tidak terlepas dari kehidupan manusia
dengan orang lain. Manusia di dalam kehidupan, diciptakan berbeda-beda. Keberbedaan

5
menuntut rasa saling menghargai dan menghormati antara sesama manusia, dan tercipta
persahabatan. Arendt (1971: II/ 98) menjelaskan bahwa: “The paradigm for a mutually
predicated relatinship of independent “substances” is friendship: two men who are friends can be
said to be “independent substances” insofar as they are related to themselves; they are friends
only relatively to each other. A pair of friends froms a unity, a one, insofar and as long as they
are friends; the moment the friendship ceases they are again two “substances,” independent of
each other.”

Jatidiri manusia di dalam filsafat tindakan Arendt, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Manusia terdiri dari aspek unitaskompleksitas. Manusia terdiri dari aspek-aspek yang
utuh, masingmasing aspek salaing terkait, sehingga tidak dapat hanya dengan
mengandalkan pikiran tanpa jiwa atau sebaliknya.
2. Identitas manusia mengandaikan bahwa manusia berkembang dan berproses dalam
kehidupan. Manusia selalu berkembang menjadi, artinya bahwa identitas diri dapat
diketahui di akhir kehidupan manusia.
3. Keunikan manusia yang tercermin dari kemampuannya membangun persahabatan di
dalam kehidupan yang plural. Keberbedaan bukan halangan untuk membangun
komunitas, dengan berbeda maka akan terbentuk sebuah komunitas yang di dalamnya
terdapat beragam keunikan diri.

Kesimpulan tersebut mengandaikan bahwa jatidiri manusia dalam filsafat tindakan Arendt
adalah adanya kepribadian yang utuh, yang terdiri dari pikiran dan jiwa; identitas diri yang selalu
mengalami perubahan; dan adanya sikap menghargai dan menghormati dengan membangun
persahabatan. Pemahaman berdasarkan jatidiri manusia di dalam filsafat tindakan, mampu
memberikan jawaban alternatif dalam kasus Genosida dalam Kamp Konsentrasi.

Jurnal 2

PENDASARAN TEORITIS

6
Mengapa filsafat itu penting untuk anak-anak? Anak-anak, menurut Maughn Gregory
(Stiftung, 2007: 35-36), pada dasarnya, adalah filsuf alamiah. Artinya, mereka selalu menjadi
seorang filsuf yang mempertanyakan segala sesuatu, termasuk hal-hal yang sudah jelas bagi
orang dewasa. Seringkali, anak-anak menanyakan pertanyaan yang mengandung unsur politis,
metafisis bahkan etis. Jawaban atas pertanyaan tersebut membutuhkan pemahaman tentang
sejarah, politik dan metafisika yang cukup dalam. Anak-anak sudah memiliki semacam intuisi
filosofis yang sudah ada secara alamiah di dalam dirinya. Berbagai penelitian, seperti dikutip
oleh Gregory, menyatakan, bahwa pemahaman dan gaya berpikir filsafat yang diberikan sejak
usia dini dapat meningkatkan kemampuan berbahasa (linguistik), kemampuan berhubungan
dengan orang lain (sosial), kemampuan untuk berhadapan dengan kegagalan (psikologis), dan
kemampuan untuk berpikir terbuka anak (ilmiah), sehingga ia bisa menerima pelajaran dari luar
dengan lebih cepat dan mendalam. Dengan keempat kemampuan ini, anak pun bisa
mengungkapkan perasaan dan pikirannya kepada orang lain dengan lancar.

Dimana peran orang dewasa di dalam proses ini? Orang dewasa di sini, menurut
Gregory, berperan sebagai fasilitator sekaligus pengatur lalu lintas dari pertanyaan dan diskusi.
Orang ini harus mencintai dunia pemikiran. Ia harus sadar, bahwa ia tidak tahu segalanya. Ia
melihat dirinya sebagai pencari yang bekerja sama dengan anak-anak, guna menemukan sudut
pandang baru atas pertanyaan-pertanyaan lama. Ia menjadi "contoh" dari bagaimana orang harus
berfilsafat itu sendiri. Ia memberikan contoh, bagaimana mengajukan pertanyaan yang baik. Ia
juga menjadi contoh, bagaimana mengajukan jawabanjawaban yang bersifat terbuka, yang
merangsang pertanyaan berikutnya. Ia mengajarkan, bagaimana merumuskan sudut pandang
baru atas masalah-masalah lama. Ia memberikan kritik dan saran, tanpa bersifat menjatuhkan
atau menghina. Ia juga mampu menghubungkan berbagai aliran ide yang ada, sehingga diskusi
tidak berujung pada kebingungan. Ia menantang jawaban-jawaban dangkal yang memberikan
kepastian mutlak atas pertanyaan-pertanyaan yang ada. Ia sendiri juga bersikap kritis pada
pendapat-pendapatnya sendiri.

PENDIDIKAN NILAI

Sebagai bagian dari pendidikan nilai, menurut Zeitler, banyak orang meragukan peran
filsafat untuk perkembangan pemikiran dan nilai-nilai hidup anak (Stiftung, 2007: 45-52).
Filsafat memang dikenal sebagai pengetahuan yang abstrak dan kering, yang kerap kali tidak
7
memiliki hubungan langsung dengan kehidupan manusia. Sulit membayangkan, bahwa
pemahaman semacam ini memiliki peran di dalam pendidikan nilai anak-anak. Bahkan, para
professor filsafat di berbagai perguruan tinggi, baik di Jerman maupun AS (mungkin juga di
Indonesia?), juga memiliki pendapat serupa. Dasarnya argumennya adalah, bahwa anak-anak
belum memiliki kemampuan berpikir yang cukup untuk mengembangkan pendapat dan
membangun penjelasan yang seringkali bersifat abstrak. Mereka juga dianggap belum mampu
menjaga jarak dari pikiran mereka sendiri, guna mengembangkan sikap kritis terhadap dirinya
sendiri. Apakah pendapat ini bisa dibenarkan? Rheinhard Meiners (1997) dalam hal ini mencoba
memberikan jembatan atas berbagai pandangan ekstrem tentang kaitan antara pola berpikir anak
dan pola berpikir filosofis.

Zeitler berusaha menanggapi pendapat tersebut. Di dalam penelitian yang ia lakukan, ia


menemukan, bahwa anak-anak memiliki kemampuan untuk mengajukan pendapat dan berpikir
kritis. Dua kemampuan ini amat penting di dalam proses berfilsafat. Mereka juga memiliki rasa
ingin tahu yang amat besar, yang amat berguna untuk menggali pemahaman lebih dalam tentang
suatu hal. Berpijak pada rasa ingin tahu itu, mereka lalu bertanya, mengajukan kemungkinan
jawaban, lalu membongkar jawaban tersebut dengan pertanyaan lebih jauh. Proses diskusi
filsafat bisa mempertajam rasa ingin tahu tersebut dan meningkatkan kemampuan untuk
menggali pemahaman melalui tanya jawab yang berlangsung secara terbuka. Hasilnya adalah
keterbukaan pikiran dan kesadaran diri di dalam berhadapan dengan dunia yang semakin rumit.
Dengan dua kemampuan ini, anak diajak untuk belajar berpikir dan mengambil keputusan sendiri
dengan berpijak pada apa yang terjadi di dalam hidupnya. Ia tidak diperbudak oleh cara berpikir
dogmatis atau relativisme.

CONTOH DARI JERMAN

Proyek filsafat untuk anak-anak telah lama diterapkan di berbagai sekolah dasar di
Jerman (Brüning, tt: 115-121). Di lima negara bagian Jerman, program ini ditawarkan bersamaan
dengan pelajaran agama. Bagi mereka yang tidak memiliki agama resmi, mereka bisa mengambil
mata pelajaran etika sebagai ganti dari pelajaran agama. Anakanak yang memiliki agama resmi
8
juga bisa mengambil mata kuliah etika, dan tidak mengambil mata pelajaran agama. Ini sesuai
dengan undang-undang dasar Jerman yang menegaskan kebebasan setiap orang untuk memilih
mengikuti pelajaran agama, atau tidak. Yang menjadi penekanan adalah pendidikan nilai. Agama
pun dilihat di sini sebagai bagian dari pendidikan nilai. Beberapa negara bagian di Jerman
lainnya melihat proyek filsafat untuk anak-anak sebagai bagian dari seni dan prinsip mengajar.
Artinya, ia tidak hanya menjadi satu mata pelajaran tersendiri, melainkan digunakan sebagai
metode mengajar juga untuk pelajaran-pelajaran lainnya.

Di dalam pelajaran etika dan filsafat, anak diajak untuk memahami penerapan konsep
keadilan, kebaikan, kejahatan, persahabatan dan hidup bersama (Friedrich, 2013: 27). Konsep-
konsep tersebut dianalisis dalam konteks pekerjaan sehari-hari. Anak juga diajak berdiskusi
terkait dengan persoalan lingkungan hidup (Kuenheim Stiftung, 2012). Dengan demikian, di
sekolah-sekolah dasar di Jerman, mata kuliah etika dan filsafat menyentuh setidaknya dua
dimensi. Materi ajar semacam ini diresmikan dalam bentuk peraturan mengajar yang berlaku di
masing-masing negara bagian di Jerman. Ada empat prinsip yang digunakan, yakni: (1)
merumuskan konsep secara jernih; (2) menyampaikan pendapat secara jelas dan sistematik; (3)
mengajukan pertanyaan secara jelas dan sistematik; dan (4) mengajukan kemungkinan-
kemungkinan jawaban yang kreatif, kritis dan rasional.

Program filsafat untuk anak di Jerman juga mendorong anak untuk berpikir kreatif.
Semua bentuk pengetahuan dan informasi yang ada tidak dijadikan sebagai kepastian mutlak,
melainkan sebagai sarana untuk menemukan cara-cara baru di dalam berpikir dan bertindak.
Inilah yang disebut sebagai eksperimen berpikir (Gedankenexperiment). Yang menjadi tujuan
disini bukanlah kepastian pendapat, melainkan kemungkinan-kemungkinan baru yang
sebelumnya tak terpikirkan. Program filsafat untuk anak telah menjadi bagian integral dari sistem
pendidikan dasar di beberapa negara bagian di Jerman. Program ini juga diterapkan di luar
program resmi sekolah, seperti di dalam pengembangan bakat dan persiapan untuk belajar di
universitas. Guru-guru untuk program ini juga dilatih untuk berpikir secara filosofis di berbagai
universitas di Jerman. Salah satu contoh rencana ajar resmi program filsafat untuk anak adalah
Rahmenplan Grundschule Philosophieren mit Kindern, Ministerium für Bildung, Wissenschaft
und Kultur des Landes Mecklenburg-Vorpommern.

9
UNTUK INDONESIA

Guna melihat kemungkinan penerapan program filsafat untuk anak di Indonesia, kita
setidaknya harus memahami terlebih dahulu keadaan pendidikan Indonesia sekarang ini. Sejauh
pengamatan saya, dunia pendidikan Indonesia saat ini dijangkiti oleh dua bentuk dogmatisme.
Dalam arti ini, dogmatisme adalah pandangan yang melihat satu nilai tertentu sebagai nilai
mutlak yang tidak dapat dipertanyakan lagi. Siapapun yang tidak mengikuti nilai ini pantas unutk
mendapat hukuman. Bentuk dogmatisme pertama adalah dogmatisme nilai akademik. Nilai
akademik menjadi tolok ukur seluruh proses pendidikan. Anak yang mendapat nilai jelek akan
mengalami kesulitan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Ia juga akan dicap sebagai
pemalas dan bodoh. Ini akan mempengaruhi kepercayaan diri sekaligus kesehatan mentalnya
sebagai manusia.

Bentuk dogmatisme kedua adalah dogmatisme agama. Ajaranajaran agama tertentu


diselipkan di dalam berbagai mata pelajaran sebagai kebenaran mutlak yang tidak boleh
dipertanyakan. Segala bentuk pertanyaan dan sikap kritis dianggap sebagai musuh agama, maka
harus dihilangkan. Anak dipaksa untuk menghafal segala yang ada di buku dan yang diucapkan
guru, lalu diminta untuk memuntahkannya kembali di dalam ujian. Pikiran kritis dan kreatif pun
tidak berkembang, namun justru mati di dalam proses pendidikan. Dogmatisme nilai akademik
dan dogmatisme agama ini menyebar begitu luas sekaligus tertanam begitu dalam di dalam dunia
pendidikan di Indonesia. Dogmatisme di tingkat cara berpikir dan korupsi di tingkat sistem
politik pendidikan Indonesia membuatnya tidak mampu membentuk sumber daya manusia yang
bermutu.

Ada sembilan hal yang kiranya perlu diperhatikan yaitu :


1. Jika diterapkan sejalan dengan semangat revolusionernya, filsafat bisa mengajarkan orang
keterampilan hidup yang amat penting, yakni kemampuan menganalisis dan menyelesaikan
masalah melalui proses berpikir yang rasional, kritis, reflektif dan sistematik.
2. Filsafat juga menjadi alat untuk melakukan pendidikan nilai di Indonesia. Perlu ditekankan,
bahwa nilai disini bukan berarti nilai agama atau tradisi tertentu.
3. Filsafat juga bisa menjadi sarana untuk mengembangkan keterbukaan berpikir di Indonesia.

10
Keterbukaan berpikir adalah suatu keutamaan yang tidak datang dari teori ataupun khotbah-
khotbah moral, melainkan dari kebiasaan.
4. Di sisi lain, dengan keterbukaan berpikir serta sikap yang tidak dogmatis, filsafat juga bisa
melatih orang untuk membuat keputusan-keputusan yang masuk akal dalam hidupnya.
5. Indonesia adalah bangsa yang multikultur. Ada begitu banyak cara hidup yang berkembang di
dalamnya. Ini merupakan fakta sejarah yang selalu menempel di dalam identitas bangsa
Indonesia.
6. Sikap kritis dan rasional yang menjadi ciri utama filsafat bisa menjadi alat penangkal dari
berkembangnya budaya konsumtivisme. Konsumtivisme adalah paham yang menyatakan,
bahwa tujuan utama dari semua tindakan manusia adalah meningkatkan kemampuannya untuk

membeli barang-barang yang ada


7. Indonesia adalah negara demokratis. Di dalam masyarakat demokratis, setiap keputusan
dibangun di atas dialog dan kesepakatan bersama. Filsafat mengajarkan orang untuk mampu
berpikir, berdialog, berpendapat dan mencapai kesepakatan secara bersama.
8. Untuk membuat keputusan yang tepat, orang membutuhkan informasi yang tepat. Orang juga
harus mampu menganalisis berbagai informasi tersebut secara kritis dan rasional.
9. Inti dari program filsafat untuk anak yang sudah diterapkan di berbagai negara Eropa adalah
metode Sokrates. Inti dari metode ini adalah dukungan kepada anak untuk berpikir mandiri
dan menemukan jawabannya sendiri atas pertanyaan-pertanyaan yang ia miliki.

BAB III
PEMBAHASAN CRITICAL JURNAL REVIEW

1. Kelebihan dan kekurangan dalam Jurnal 1

Kelebihannya yaitu abstrak yang ditulis penulis sangat jelas, manfaat gaya bahasa
tersebut beragam antara lain mampu menciptakan efek estetis dalam penejelasan jurnal,

11
memberikan efek penegasan, memberikan kekhasan atau mengikuti trend tertentu pada
sebuah tulisan, memberikan penguatan pada isi jurnal, mengkonkretkan hal-hal yang
bersifat abstrak, memperjelas maksud dalam penelitian, waktu saat penilitian dilakukan
dijelaskan dalam jurnal dan kekurangannya yaitu masih ada kata perkata yang kurang
huruf.

2. Kelebihan dan kekurangan dalam Jurnal 2

Kelebihannya yaitu abstrak yang disususn oleh peneliti jelas, sehingga pembaca
bisa dengan mudah memahami hasil penelitian yang dapat menambah wawasan bagi
yang telah membaca jurnal karena isi jurnal sesuai dengan judul dan pembahasan dalam
jurnal, didalam Jurnal di jelaskan tentang pentingnya pendidikan filsafat yang dimulai
dari anak-anak bahkan dewasa beserta contohnya sehingga memudahkan pembaca dalam
memahaminya dan kekurangannya yaitu tanda baca dalam jurnal terlalu berlebihan
sehingga membingungkan bagi yang melihat dan membaca jurnal tersebut, tidak dijelaskan
saat penelitian di lakukan.

BAB IV
PENUTUP

1. Kesimpulan :
Dari kritikal jurnal yang saya lakukan saya dapat menyimpulkan bahwa jurnal
tersebut dapat menambah wawasan bagi mahasiswa atau pembaca lainnya tentang
pentingnya filsafat bagi pendidikan baik pada anak-anak bahkan orang dewasa
sekalipun, filsafat juga sangat penting bagi negara. Jurnal tersebut juga sangat

12
bermanfaat bagi mahasiswa karena dalam jurnal dijelaskan tentang bagaimana cara
untuk melihat hasil kemampuan siswa ataupun mahasiswa lainnya.

2. Saran
Saran saya bagi penulis jurnal supaya lebih memperhatikan penulisannya baik
dari tanda baca jangan berlebihan dan digunakan seperlunya saja supaya tidak
membingungkan pembaca saat membaca jurnal tersebut. Dan penulis jurnal juga
lebih baik membedakan jenis tulisan antara nama atau narasumber dengan penjelasan
jurnal supaya lebih menarik saat dibaca dan memudahkan pembaca dalam mengingat
isi jurnal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Indah Astrid Veranita, Jurnal Filsafat, JATIDIRI MANUSIA BERDASARKAN FILSAFAT


TINDAKAN ANNA ARENDT PERSPEKTIF FILSAFAT MANUSIA, 2015,
Volume.25 Nomor. 2

Wattimena Reza A. A, Jurnal Filsafat, PENDIDIKAN FILSAFAT UNTUK ANAK, 2016,


Volume.26 Nomor. 2

13
14

Anda mungkin juga menyukai