Anda di halaman 1dari 16

TUBUH: SEBUAH KONSTRUKSI

(Kajian epistemologi Buku The Body Social: Symbolism, Self


and Society, Karya Anthony Synnott)

A. Pendahuluan
The body is the first and most natural tool of man –Marcel Mauss
(1979)
Tubuh seperti yang didefinisikan oleh Marcel Mauss diatas adalah
tubuh sebagi alat pertama dan paling alami yang dimiliki manusia.
Manusia merasakan, mengalami, menciptakan, dan menggunakan
tubuhnya untuk hidup dan bertahan hidup sejak terlahir di dunia. Tubuh
muncul pertamakali dalam sebuah struktur fisik yang terdiri dari kepala,
badan dan kaki dengan organ-organ dalam dan indera-indera yang
melekat didalamnya. Tubuh dianggap juga sebagai mesin yang
menakjubkan. Otak, organ yang berperan sebagai pusat control tubuh.
Jantung, organ yang paling keras bekerja dimana setiap sel dalam tubuh
bergantung pada organ ini. Sistem pencernaan, organ yang bertugas
memberi makan tubuh yang menjadi pabrik bahan bakar bagi tubuh. Paru-
paru, organ yang memberikan nafas kehidupan bagi tubuh, dan kulit,
bagaimana bagian ini melindungi tubuh dari sinar matahari dan benda-
benda asing yang menyentuh tubuh dan bagaimana waktu mempengaruhi
strukturnya. Namun demikian, keberadaan tubuh tidak berhenti pada
pembahasan fisiologis sebagai sebuah organism utuh, tapi tubuh yang
dimaknai sebagai representasi dari identitas sosial budaya dan fenomena
historis.
Tradisi epistemologi pada tubuh itu merupakan sebuah konstruksi
budaya dan historis. Penulis mengambil buku mengenai tubuh tulisan
Anthony Synott yang berjudul The Body Social: Symbolism, Self and
Society, yang menyebutkan tubuh tidak sekedar hadir secara alamiah, ia
terlahir dalam sebuah ruang penuh makna dan tubuh ibarat spon yang
menyerap makna-makna tersebut. Setiap bagian dan atribut tubuh

1
sesungguhnya bersifat sosial. Warna kulit, berat badan, cacat fisik, genital,
rambut, tahi lalat mempengaruhi respon sosial terhadap diri yang mau tak
mau juga mempengaruhi kehidupan pemilik tubuh (2007: 2).
Anthony Synnott adalah seorang professor emeritus di jurusan
sosiologi antropologi di Universitas Concordia, Kanada yang memiliki
keahlian dalam topic laki-laki dan maskulinitas, nilai-nilai, serta tubuh dan
Indera. Dia telah menulis banyak karya dalam artikel jurnal dan buku-
buku, antara lain “The beauty Mistique” (2006), “Senses, Sensibilities, and
Sensualities” (2006), Aroma: The Cultural History of Smell(1994), dan The
Body Social: Symbolism, Self and Society(1993). Dalam bukunya
pertamanya The Body Social: Symbolism, Self and Society, ia
memfokuskan pembahasan tubuh sebagai pusat sosiologi menjadikannya
sebagai pusat kehidupan sosial dan indera manusia.

B. Landasan Teori
Paradigma Ilmu Sosial-budaya diawali dengan asumsi-asumsi dasar
yang menurut Ahimsa “pandangan-pandangan mengenai suatu hal
(benda, ilmu pengetahuan, tujuan sebuah disiplin) yang tidak
dipertanyakan lagi kebenarannya atau sudah diterima kebenarannya” (4).
Asumsi-asumsi dasar menjadi sebuah fondasi dalam kerangka pemikiran,
begitu pula dalam kerangka teori ilmu sosial-budaya. Asumsi-asumsi
dasar diketahui namun sering tidak disampaikan secara eksplisit. Asumsi-
asumsi dasar sering dianggap telah dipahami oleh semua orang jadi tidak
perlu lagi untuk diungkapkan secara gamblang. Namun, Ilmuwan yang
kritis menurut Ahimsa harus menelaah dulu asumsi-asumsi dasar dari
teori yang dikemukaan. Asumsi-asumsi dasar muncul juga dalam tajuk
“ilmiah”, antara lain kegiatan ilmiah, tulisan ilmiah atau karya ilmiah.
Komponen kedua sebuah paradigma ilmu sosial-budaya adalah nilai-
nilai. Nilai-nilai ini merupakan patokan mengenai baik atau buruk, benar
atau salah. Dari dasar ini, ilmuwan mengetahui bahwa penelitiannya benar
atau salah. Nilai-nilai ini sama dengan asumsi-asumsi dasar. Mereka ada

2
disadari dan menjadi dasar dalam kegiatan ilmiah namun tidak
disampaikan secara eksplisit, sebagai contoh nilai-nilai tentang penelitian
ilmiah yang disampaikan Ahimsa (8) “penelitian ilmiah yang baik adalah
yang dilakukan dengan prosedur yang runut dan metode yang tepat.
Model-model sebagai komponen ketiga sebuah paradigma ilmu
sosial-budaya dasar merupakan sebuah perumpamaan bisa analogi atau
kiasan tentang gejala yang dipelajari (Ahimsa, 8). Yang disebut sebagai
Model dalam sebuah paradigma menurut Ahimsa, adalah uraian yang
berupa kata-kata, bisa gambar yang memudahkan seorang peneliti dalam
mempelajari gejala. Model adalah bentuk sederhana dari sebuah gejala
yang akan dipelajari. Model muncul karena ada karakteristik yang sama
dari unsur satu dengan yang lain. Menurut Ahimsa, model bisa
menyesatkan, karena bisa saja model itu tidak benar. Model dilihat dari
produktifitasnya, yaitu bagaimana sebuah model menghasilkan iplikasi
teoritis dan metodologis (Inkeles dalam Ahimsa, 9). Ilmuwan sangat
memerukan model dalam ilmu sosial-budaya karena gejala-gejala sosial
budaya merupakan gejala yang sangat kompleks yang juga harus
dipahami dalam realitas kompleksnya. Untuk menyederhanakan
kekompleksan gejala tersebut, diperlukan model, walaupun sudah dalam
bentuk gambar, uraian atau skema, model menurut Ahimsa tidak
disampaikan secara eksplisit (24).
Sebuah paradigma mengungkap sebuah gejala atau permasalahan
yang berkaitan dengan asumsi-asumsi dasar dan nilai-nilai. Permasalahan
tersebut dirumuskan dalam rumusan masalah. Rumusan masalah ini
berupa “pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab dan hipotesa yang
akan diuji kebenarannya” (Ahimsa, 10). Menurut Ahimsa, kita akan
mendapatkan asumsi-asumsi dasar dari pertanyaan-pertanyaan atau
hipotesa yang dirumuskan. Selanjutkan kita juga akan menemukan model-
model yang digunakan untuk mempelajari gejala sosial-budaya.
Komponen kelima paradigma adalah konsep-konsep pokok.
Konsep, menurut Ahimsa, adalah “istilah-istilah atau kata-kata yang diberi
makna tertentu sehingga membuatnya dapat digunakan untuk

3
menganalisa, memahami, menafsirkan dan menjelaskan peristiwa atau
gejala sosial-budaya yang dipelajari” (12). Ketika sebuah istilah diberi
makna tertentu (didefinisikan) oleh seorang ilmuwan untuk menjelaskan
sebuah gejala dengan melakukan kajian pustaka yang komprehensif,
maka istilah tersebut disebut “konsep”.Berbeda dengan asumsi-asumsi
dasar, nilai-nilai maupun model, konsep setingkat lebih tinggi karena dapat
dijelaskan secara eksplisit. Menurut Ahimsa, Konsep merupakan pikiran-
pikiran atau pandangan-pandangan manusia yang dapat diwujudkan.
Pada paradigma fenomenologis yang menjadi objek kajiannya
adalah kesadaran, intersubjektif, makna, kebudayaan, agama, simbol,
empiris, dan ghaib. Fenomenologi sebagai pendekatan yang didefinisikan
sebagai ilmu pengetahuan tentang kesadaran. Kesadaran yang dimaksud
adalah kesadaran akan sesuatu yang terarah, ada maksud, tujuan yang
membentuk seperangkat makna. Manusia sebagai makhluk invidual dan
sosial berada dalam dunia kehidupan yang merupakan dunia
intersubjective (Ahimsa: 275). Manusia berada dalam dunia yag saling
berhubungan, kesadaran yang terbentuk bersifat sosial. Manusia menurut
Ahimsa, memiliki kualitas kemampuan berbeda dengan binatang, yaitu
menggunakan symbol untuk melakukan komunikasi. Singkat kata, agama
didefinisikan “sebagai pedoman tentang dunia yang berlawanan (gaib dan
empiris), dan bagaimana manusia sebagai bagian dunia empiris yang
dapat menjalin hubungan simbolik dengan dunia gaib tersebut” (294).
Deskripsi dunia empiris dalam kesadaran agama dapat dilihat dari
perilaku-perilaku khas individu, sedangan dunia gaib memusatkan subjek-
subjek yang ada dalam dunia gaib seperti “malaikat”, “bidadari” (295).
Dalam menjelaskan konsep konsep tersebut, Ahimsa memberikan
deskripsi jelas sebelum menarik definisi setiap konsep tersebut. Dalam
mendefinisikan konsep manusia, Ahimsa hanya menuliskan bahwa
manusia merupakan makhluk pengemban kebudayaan. Ia menambahkan
konsep manusia dalam tataran biologis, yang membedakan manusia
dengan binatang. Berkaitan dengan symbol, Ahimsa menyampaikan juga

4
bahwa yang membedakan manusia dengan binatang adalah
kemampuaannya menggunakan simbol (termasuk didalamnya
menciptakan dan mengembangkan simbol) (287). Konsep-konsep lain
telah terdefinisikan dengan jelas.
Tubuh muncul dan dikaji dalam berbagai sudut pandang. Dari dasar
filsafatis tentang tubuh dan jiwa (dualism Cartesian), tubuh adalah Mesin
(decartes) sampai pada kajian antropologis melalui karya-karya Mary
Douglas, John Blacking, Paul Ekman, Judith Hanna, Andrew Strathern.
Sejak paham rasionalisme berkembang, orang-orang Barat menganggap
tubuh sebagai obyek belaka yang (mungkin) dipisahkan dari pikiran atau
jiwa. Secara khusus pandangan sosiologi mengangkat isu dualisme
pikiran-tubuh. Dualisme menjadi rintangan utama isu-isu sentral seperti
agensi, identitas dan sifat praktik sosial. Dualisme Cartesian secara
implisit menerima dikotomi pikiran / tubuh ketika filsafat kontemporer
sebagian besar telah meninggalkan perbedaan tersebut. (Shilling,1993:
1). Dikotomi pikiran-tubuh tradisional dan pengabaian perwujudan
manusia adalah masalah teoritis dan praktis utama dalam ilmu sosial.
(Shilling, 1993:2). Pemisahan pikiran dari tubuh: bersama dengan
sejumlah dualisme lainnya, telah memberikan pengaruh yang besar dan
bermasalah pada cara berpikir tradisi barat. Namun demikian, ilmu sosial
kemudian meninggalkan tubuh dan pikiran dan lebih fokus pada 'agen',
'praktik', 'perilaku', 'tindakan' dan 'aktor', yang semuanya memperlihatkan
struktur terpadu.
C. Pembahasan
1. Asumsi-asumsi dasar dalam buku Synnott ini adalah
a. Tubuh adan indera dikontsruksikan secara sosial dengan
berbagai cara oleh berbagai populasi yang berbeda atas
beragam organ, proses, dan atribut tubuh.
b. Tubuh tidak hanya telah ada secara “alamiah”, tetapi juga
menjadi sebuah kategori sosial dengan maknanya yang
berbeda yang dihasilkan dan dikembangkan setiap zaman oleh

5
populasi yang beragam. Dengan kata lain, tubuh mirip spon
dalam hal kemampuannya dalam menyerap makna, selain
sangat bernuansa politis.
c. Seperti organ dan bagian tubuh, atribut tubuh
sesungguhnyajuga bersifat sosial, usia, gender, dan warna kulit
merupakan penentu utama hidup dan identitas sosial individu
menjadi titik utama bagi konsep diri dan konsep kelompok dari
suatu individu. Dengan cara yang sama, atribut-atrlbut unik
mengenal kecantikan, ketidak menarikan, tinggi badan badan,
berat badan, dan cacat fisik, jika ada, tidak hanya memengaruhi
berbagai respons sosial atas diri, melainkan juga memengaruhi
kesempatan hidup individu. Dengan demikian, tubuh menjadl
simbol utama diri dan penentu diri yang utama.
d. Identitas tubuh dan diri diilustrasikan melalui perubahan tubuh.
Perubahan diri nampak jelas jika perubahan diri terjadi tiba-tiba
dan tidak diharapkan, seperti kecelakaan yang menyebabkan
luka di wajah. Perubahan tubuh yang membawa keajaiban pada
tubuh seperti bedah plastic.
Tubuh manusia tidak hanya berisi bagian seperti kepala, mata,
bibir, dada, paha, anus , usus, dan jantung. Ide, citra, makna, gagasan
tentang sistem biologis bersama-sama dengan tubuh fisik merupakan
representasi utuh dari tubuh. Synnot (2007: 1-2) menuliskan tubuh
dimuati simbolisme budaya, publik dan pribadi, politik dan ekonomi,
seksual, moral dan kadang kontraversial. Tubuh dan indera
dikonstruksikan secara sosial dalam berbagai populasi atas beragam
organ, proses dan atribut tubuh. Usia, gender, dan warna kulit merupakan
atribut tubuh yang menjadi penentu identitas dan status sosial dalam
masyarakat. Tubuh menjadi simbol utama diri dan penentu diri yang
utama.
Dalam mengambarkan tubuh Synnot mengambil filsafat dari
pemikir-pemikir besar seperti plato, decartes, santo paulus, dan satre.
Pertama synnot mengeksplorasi pendapat plato tentang tubuh sebagai

6
penjara jiwa. Filsafat yunani yang memisahkan tubuh dan jiwa dimulai dari
socrates yang menggambarkan jiwa sebagai tawanan yang tidak berdaya
dengan tangan dan kaki dirantai, dipaksa untuk melihat realitas secara tak
langsung, melainkan melalui jeruji penjara. Plato mengukuhkan pendapat
sang guru dengan mengangungkan jiwa diatas tubuh, hingga tubuh hanya
baying-bayang semata (2007: 14). Dualisme tubuh ini bersifat permanen
dan total yang disebut Plato sebagai pemurniaan. Dualisme ini sangat
mempengaruhi sejarah filsafat eropa. Bahkan ketika jaman kekristenan,
tubuh digambarkan sebagia bait Allah. Dalam kekristenan awal, mereka
membedakan tubuh menjadi tubuh fisik, spiritual dan mistis.
Synnot mengambil pendapat besar Rene Decartes sebagai Bapak
filsafat modern, dengan prinsip pertama filsafatnya “Cogito, Ergo Sum”
yang diartikan “aku berpikir maka aku ada”. Aku disini adalah jiwa, dengan
aku menjadi aku, sesuatu yang sama sekali berbeda dengan tubuh.
Decartes menjawab bahwa dirinya menyadari dia ada pertama-tama
karena dia memiliki wajah, tangan, lengan, dan seluruh mesih yag terbuat
dari daging dan tulang (2007:34).
2. Konsep-konsep yang diperkenalkan Synnot dalam bukunya
meliputi konsep tubuh, gender, kecantikan, wajah, rambut, dan
indera.
Pertama, Synnott menanyakan apa itu tubuh? Dan ia
memperkenalkan berbagai pendapat filsuf-silsuf besar tentang tubuh
namun pada akhirnya menyimpulkan bahwa makna tubuh telah
diperdebatkan selama berabad-abad namun belum ada tanda kesepakan
yang universal. Setiap abad terlihat mencipta dan merekonstruksi tubuh
menurut gambaran dan pendapatnya sendiri. Karenanya sekarang
terdapat banyak paradigma mengenai tubuh yang salin melengkapi, atau
bertentangan. Pernyataan Mari Douglas bahwa tubuh sosial memaksakan
suatu cara agar tubuh fisik dapat diterima (1996:93) sebagian cocok,
karena tubuh sosial dan berbagai persepsi atas tubuh fisik terus-menerus
berubah, dan sebab itu bisa menjadi sangat bermacam-macam.

7
Tubuh dikonstruksikan dengan cara yang jumlahnya hamper sama
dengan jumlah individu itu sendiri. Konstruksi apapun atas tubuh menjadi
sebuah konstruksi diri yang bertubuh, karena kita tidak membicarakan
tentang bagaimana tubuh diperlakukan, tetapi juga bagaimana kehidupan
dijalani di dalamnya. Beberapa orang mencintainya, beberapa
membencinya, memamerkannya, menyembunyikannya. Saat ini tidak ada
konsensus tentang makna tubuh dan dalam masyarakat yang majemuk,
tidak ada konsensus yang bisa diharapkan. Berbagai konstruksi
merefleksikan nilai-nilai yang bukan hanya berasal dari budaya namun
juga berasal dari subbudaya dan individu-individu yang khusus, dimana
semuanya berubah (2007: 57).
Bagian berikutnya, Synnott berpendapat tentang gender. Bahwa
gender bukan persoalan biologis, namun lebih pada perjuangan untuk
berkuasa. Apa yang diyakini sebagai laki-laki dan perempuan merupakan
konstruksi cultural yang relative. Laki-laki menjustifikasi hegemoninya dan
ketidaksejajaran lai-laki-perempuan dengan sejumlah cara dan dalam
setiap disiplin ilmu. Waktu berubah, begitupula masyarakat. Dualisme
sebagai ideology yang meyakinkan dan dikotomis menjadi persoalan
tersendiri. Ideology diperlukan agar pada akhirnya berbagai struktur dapat
disamakan dan menjadi lebih manusiawi. Gender tetap menjadi atribut
kritis terhadap politik tubuh, sama seperti warna kulit dan usia, serta
kecantikan.
Wajah menjadi bagian tubuh yang juga dimaknai. Kecantikan
wajah menjadi daya tarik keindahan, dan kejelekan menjadi aspek yang
dibenci kemudian diinstitusionalkan dalam masyarakat sehingga menjadi
sumber ketidakadilan. Synnot berpendapat tidak ada hal khusus yang
terkait dengan penampakan fisik atau cacat (kecuali sejauh terkait
dengan"ras, warna kulit, dan jenis seks"),dan tidak menyadari pengaruh
multi dimensional pra sangka estetik dan diskriminasi. Rasisme, seksisme,
usia, dan pra sangka serta diskriminasi kelas telah"dibongkar"semuanya,
didiskusikan, dan diteliti oleh para sosiolog, politisi, jurnalis, guru, pendeta,

8
dan para siswa selama beberapa dekade. Memang tidak semua
persoalan sosial dapat dipecahkan, namun minimal kita dapat memahami
duduk persoalan sesungguhnya. Pengejaran kecantikan, di sisi lain,
diterima luas sebagai sebuah investasi yang sempurna dengan
keuntungan- keuntungan substansi fisik, sosial dan ekonomi, dan karena
alasan ini, ia meningkat secara mencolok di Eropa, Amerika Utara dan
diseluruh dunia (2007: 156) .
Kecantikanisme dan kebalikannya, kejelekanisme (penciptaan
sebuah dunia yang jelek), kita, dan sering kali terdapat di datam jalan-
jalan yang halus dan sukar dipahami, datam hal-hal kecil maupun datam
hal-hal besar. Relasi-relasi estetik mungkin sama signifikannya dengan
relasi-relasi kelas, gender, atau etnik sebagai faktor penentu kesempatan-
kesempatan hidup dan stratifikasi estetik menjadi sama kuatnyadengan
stratifikasi kelas, gender, atau etnik. Kekuatan relasi-relasi estetik,
minimal sebagian, berasal dari polivalensi. Masing-masing usia
tampaknya mengkonstruksikan makna dan nilai kecantikan secara
berbeda, dan sesungguhnya sekalipun masyarakat menggemakan satu
sama lain, masing-masing individu tampaknya dapat menerima kecantikan
secara berbeda-beda. Kecantikan merupakan sesuatu yang bermacam-
macam bagi banyak orang. Di satu sisi, kecantikan diterima secara positif
namun dengan cara yang bermacam-macam sebagai kebaikan dan
simbol kebaikan sebagai kesenangan dan sesuatu yang baik bagi jiwa ;
sebagai kebenaran, sebuah simbol status dan kesenangan seksual ;
sebagai relasi-relasi subjektif, objektif, dan kultural ; fisik dan metafisik
hadiah dari Tuhan perolehan dan pembelajaran; sebagai kehidupan dan
keabadian (2007: 158). Synnott menambahkan kecantikan bisa dianggap
bukan sebuah kebaikan, melainkan kejahatan, bukan insvestasi
melainkan penyia-yiaan dan bukan sebuah solusi melainkan persoalan
sosial yang paling utama. Semuanya itu ditilik dari gerakan-gerakan
perempuan yang muncul untuk menentang perangkap kecantikan.

9
Berikutnya, bagian tubuh yang dibahas oleh Synnott adalah
rambut. Rambut menjadi symbol diri yang sangat kuat. Rambut bukan
hanya menyimbolkan diri namun, dalam maknanya yang paling riil, ia
adalah diri karena ia tumbuh dari dan menjadi bagian tubuh fisik manusia ;
lebih jauh lagi rambut"abadi"karena ia menyelamatkan kematian.
Meskipun demikian norma rambut sangat aneh, bagi laki-laki konvensional
rambut wajah dicukur bersih, namun rambut kepala dibiarkan moderat,
sementara rambut tubuh dibiarkan. Bagi perempuan, rambut tubuh di
tempat dihilangkan, atau dirapikan di wilayah lainnya, sementara rambut
kepala dijadikan"mahkota kehormatan . Bagaimanapun juga rambut
signifikan tidak hanya dalam etnografi budaya populer, namun juga dalam
teori yang lebih umum mengenai tubuh dan teori simbolisme. Pertama,
datam kaitannya dengan sosiologi tubuh, sosiologi rambut memberikan
perhatian kepada relasi yang dekat antara tubuh fisik dan tubuh sosial
dalam dua aspek gender dan ideology (2007: 198).
Gender dan ideologi"dihidupkan"dalam rambut, ditunjukkan dengan
orang yang setuju mendukung atau mereka yang menyimpang dari-
norma, bahkan ada juga yangmenyimpang dari norma yang telah
menyimpang, dengan demikian rambut menyimbolkan identitas religius,
politik, seksual, sosial, profesi, dan idiosinkratik. Mary Douglas adalah
salah seorang yangmeneorisasikan pertama kali hal ini :"Pengalaman fisik
tubuh...menopang suatu pandangan tertentu atas masyarakat"(1973 : 93)
Rambut yang merupakan fenomena fisiologis bisa juga menjadi
fenomena sosial simbol identitas diri dan kelompok, model yang penting
bagi ekspresi diri dan komunikasi. Sekalipun banyak sekali gaya rambut,
di samping pewarnaan, pemameran dan penyembunyian rambut, semua
tetap bisa dipahami sebagai pola dan proses berdasarkan sudut pandang
tentang tiga kutub oposisi : gender (laki-laki-perempuan), ideologi (kiri-
kanan), dan biologi (kepala-tubuh). Dengan demikian rambut membuat
pembedaan dan perubahan sosial bisa disimbolkan. Dan pembagian
masyarakat kita yang disimbolkan dalam rambut-gender, jabatan, usia,

10
iman, kepercayaan, etnisitas, status sosio-ekonomi, dan orientasi politis---
sebenarnya sama baiknya dengan pembedaan identitas-identitas
individual lainnya-suasana hati, citarasa personal, atau sekadar untuk
bersenang-senang. Namun terkadang rambut hanyalah rambut.(2007:
201)
Selama berabad-abad manusia bermain dengan teka-teki
mengenai indera. Reduksi indera menjadi lima jenis diungkapkan
pertamakali oleh Aristoteles yang lebih melihat pada kerapian jumlah
daripada pada aspek fisiologis. Synnott berpendapat jumlah indera di satu
sisi, secara ilmiah jumlah indera lima, enam, atau tujuh belas bukan
masalah besar bagi kebanyakan orang. Kita umumnya menerima lima
indera yang telah dikonstruksikan datam budaya selama ini. Di sisi lain
penyebutan jumlah indera, yang sama artinya dengan pemaknaannya,
lebih merupakan konstruksi sosial daripada konstruksi biologis. Pemikiran
terbaru tentang indera cenderung menekankan bukan hanya
permasalahan jumlah indera namun juga kekeliruan manfaatnya, bukan
sekadar bahaya moral melainkan juga relativitas historis dan budaya kita
selama ini, serta bukan hanya sebagai hierarki, atau ekonomi politik
linear, melainkan lebih menjadi dimensi-dimensi holografiknya (2007:
244).
Indera tidak sama dari individu ke individu : beberapa buta atau
perlu penglihatan, beberapa tuli atau sebagainya, tukang masak, tukang
cicip, dan ahli anggur memiliki kemampuan istimewa datam citarasa, ahli
parfum dan pembauan, musisi dalam pendengaran, seniman dan
fotografer datam penglihatan, dan penyembuh datam srentuhan. Kita
melihat sesuatu dengan cara yang berbeda, mendengar hal-hal yang
berbeda, mengecap berbagai hal, lebih suka beberapa bau ketimbang bau
lainnya, beberapa orang jauh lebih canggung dibandingkan dengan yang
lain. sebagai tambahan. Kita semua hidup di datam dunia indera yang
sangat berbeda-laki-laki, bebeda dari perempuan, anak-anak dari orang
dewasa, kemakmuran dari pekerja yang dihewankan', kata Marx. Dengan

11
cara yang sama, konsep tentang indera berubah dari satu budaya ke
budaya lain (2007: 245).
Pada akhirnya synnott menyimpulkan bahwa setiap sosiolog dan
antropolog tampaknya mengkonstruksikan sosiologi tubuh-nya sendiri-
sendiri; belum lagi setiap budaya mengkonstruksikan tubuh secara
berbeda-beda. Dengan kata lain, kita masih jauh dari pengembangan teori
raksasa yang sederhana mengenai sebuah tubuh, sekalipun teori seperti
itu memungkinkan, atau berguna, atau diharapkan. Meskipun demikian
para sosiolog dan antropolog telah menempuh jalan panjang dalam
teorisasi. Tubuh sosial terus-menerus berubah, seperti masyarakat juga
terus berubah.
Tubuh terletak di jantung Juga menjadi jantung bagi identitas
pribadi. Pengakuan formal atas peranan penting tubuh inderawi sebagai
pusat di dalam ilmu-sosial terkadang belum muncul, meski pengakuan itu
telah ada sejak yang terpisah, dengan bermacam-macam otoritas yang
kadang-kadang bertentangan satu dengan yang lainnya dan sering kali
terlupakan, atau sering kali, dengan meninjaunya kembali ke belakang,
saling melengkapi. secara kumulatif, berbagai pandangan mengenai relasi
antara tubuh, diri, dan masyarakat memiliki makna teoritis dan praktis
yang dalam (2017: 414).
Studi tentang diri yang bertubuh, dan mengenai bermacam-macam
atribut, organ, proses, dan indera yang mengkonstitusikan keberadaan
kebertubuhan kita, studi tentang tubuh sebagai suatu sistem simbolik dan
proses semiotik, fenomenologi tubuh, yang secara subjektif dan cultural
men ci ptakan makna-makna tu buh, studi tentang sosialisasi seumur
hidup dan kontrol politis atas diri di datam, dengan, dan melalui tubuh
hingga meninggal, juga antropologi, sejarah, dan psikologi tubuh serta,
kita menyebutnya dalam istilah-istilah posmodernis, politik tubuh
(Foucault), ekonomi tubuh (Ong), dan geometri tubuh Turner ).Sebagai
tambahan, sosiologi tubuh berbicara tentang bagaimana kita menjadi
tubuh, bagaimana kita hidup didalamnya dan di dalam indera, dan

12
bagaimana kita menggunakan sekaligus membunuhnya selama ini.(2007:
415)
Ini bukan wilayah baru ilmu, sekalipun demikianlah adanya.
Sosiologi tubuh berusaha menjawab pertanyaan :"Apakah tubuh?
"Pertanyaan ini tidak sesederhana kelihatannya, karena tubuh tidak
hanya"fisik": di mana semua objek dihubung-hubungkan secara kultural.
Ini sebabnya mengapa terdapat, dan selalu demikian, jurang yang tebar
atas jawaban-jawaban yang terus-menerus berubah. Para antropolog
telah mengembangkan berbagai konsep yang jauh lebih jetas mengenai
realitas kultural dan makna tubuh. Pemahaman sektoral dari para peneliti
awal secara kumulatif telah memberikan banyak kontribusi bagi suatu
pemahaman yang lebih dalam tentang individu yang bertubuh, dan
tentang masyarakat yang ditubuhkan di dalam diri. Para sosiolog secara
bertahap membangun ilmu sosial yang berdasarkan dan berakar, ·
bertubuh", di dalam pengalaman manusia dan di dalam kehidupan
kebertubuhan manusia yang berinteraksi satu sama lain bukan hanya
sebagai binatang rasional (yang diduga selama ini), atau binatang politis,
kota, atau keluarga, namun sebagai binatang-binatang dan makhluk
"berindera". Kita bisamengetahui dengan lebih baik dari budaya lain,
wilayah kemungkinan dan pilihan somatic serta indra lainnya.(2007: 416)
Dengan demikian tubuh yang mengindera memiliki banyak makna.
Seperti banyak ditulis para ahli, tubuh relatif ditolak di dalam sosiologi,
meski tidak total. Banyak dari para pendiri sosiologi menghubungkan diri
mereka dengan tubuh dan indera. Lebih jauh, banyak topik tradisional di
dalam sosiologi terkait dengan tubuh sosialyang menyoroti berbagai
peranan gender dan seks, gerontologi, relasi ras, sosiologi kedokteran,
khususnya penyimpangan dan Psikologi sosial. Meskipun demikian tubuh
sosial tetap saja merupakan istilah umum bagi semua wilayah inti yang
pokok tersebut : ini adalah konsep utama yang menyatukan dan
menyokong semua wilayah lainnya. Karena itu indera, sebagai sistem
utama pengetahuan dan komunikasi, layak memeroleh perhatian terbesar

13
bukan sebagaisistem psikologis melainkan sebagai sistem sosial. Jiwa
tidak habis-habisnya dipelajari, namun tidak dengan wajah, sekalipun kaki
yang lelah harus mampu menahan semua bangunan sosio-fisik ini
tetapberdiri atau akhirnya jatuh juga. (2007:417)

D. Penutup
Tubuh merupakan sesuatu yang aneh yang mampu menampung
sebuah wilayah yang sangat luas dari makna yang terus berubah. Ia
menjadi unsur pokok identitas personl dan sosial sekalipun ada bias dan
diskriminasi, pro dan kontra tumbuh bersama di dalam tubuh. Tubuh-tubuh
terpolarisasi secara besar-besaran dalam istilah-istilah moral: laki-
laki/perempuan, tua/muda, cantik/jelek, kurus/gemuk, hitam/putih, dan
sebagainya dengan valensi yang bergantung pada nilai-nilai personal dan
cultural. Selain itu tubuh juga terpolarisasi secara internal, antara bagian-
bagian public seperti wajah dan bagian-bagian privat seperti genital.
Polarisasi yang sama dengan dikotomi konvensional seperi baik dan
buruk, tinggi dan rendah.
Kalau begitu, tubuh dengan semua organ, atribut, fungsi, kondisi,
dan inderanya tidak banyak merupakan kondisi biologis, melainkan
merupakan penciptaanan sosial dengan kompleksitas yang luas dan
hampir-hampir tak terbatas jenis, kekayaan, dan kekuasaannya.
Bagaimanapun juga, penciptaan dan pembelajaran tubuh sebagai sebuah
fenomena sosial beragam dari budaya ke budaya dan bahkan di dalam
budaya"kita sendiri”. Tubuh sosial menunjukan banyak hal: symbol utama
diri dan masyarakat: sesuatu yang dimiliki, sekaligus menunjukan seperti
apa diri kita: menjadi subjek dan objek pada saat yang bersamaan:
bersifat individual dan personal, sama uniknya dengan sidik jari atau bau
badan, sekallipun ia juga umum bagi semua kemanusiaan dengan semua.
sistemnya. Tubuh adalah kreasi individual, secara fisik dan
fenomenologis, sekaligus produk budaya: Ia milik personal sekaligus
milik Negara.

14
E. Daftar Pustaka

Ahimsa Putra, Heddy Shri. Paradigma Ilmu Sosial-Budaya “ Sebuah


Pandangan

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2012. Fenomenologi Agama: Pendekatan


Fenomenologi untuk Memahami Agama. Walisongo: vol. 20. No.20

Douglas, Mary. 1996. Natural Symbols: Explorations in Cosmology. New


York: Routledge.

Downing, Lisa. 2012. “Safewording! Kinkphobia and Gender


Normativity in Fifty Shades of Gre”y.
https://doi.org/10.1080/19419899.2012.740067

Fiske, John. 2011. Memahami Budaya Populer. Ter. Asma Bey


Mahyuddin. Cet. I. Yogyakarta: Jalasutra.

Foucault, Michel. 1979. Discipline and Punish. Trans. Alan Sheridan. New
York: Vintage Books

Reischer, Erica & Koo, Kathryn S. 2004. “The Body Beautiful: Symbolism
and Agency in the Social World”. Annual Review of Anthropology
Vol. 33 (2004), hal. 297-317

Scheper-Hughes, Nancy dan Margaret M. Lock. “The Mindful Body: A


Prolegomenon to Future Work in Medical Anthropology”. Medical
Anthropology Quarterly, New Series, Vol. 1, No. 1 (Mar., 1987), pp.
6-41 diterbitkan oleh: Blackwell Publishing atas permintaan the
American Anthropological Association,
http://www.jstor.org/stable/648769 diunduh 20 November 2017

Shilling, Chris. 1993. Body and Social Theory. Great Britain. Giddles Ltd.

Synnott, Anthony. 2007. Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat.


Terj. Pipit Maizier. Cet. II. Yogyakarta: Jalasutra.

TUGAS AKHIR FILSAFAT


TUBUH: SEBUAH KONSTRUKSI

15
(Kajian Epistemologis pada Buku The Body Social: Symbolism,
Self and Society, Karya Anthony Synnott)

INDRI KUSTANTINAH
18/435461/SSA01022
DOKTOR ILMU-ILMU HUMANIORA

FAKULTAS ILMU BUDAYA


UNIVERSITAS GADJAH MADA JOGJAKARTA
2019

16

Anda mungkin juga menyukai