DISUSUN OLEH:
DOSEN PENGAMPU:
FAKULTAS PSIKOLOGI
JAKARTA
2021
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah tuhan semesta alam yang telah memberikan kemudahan
kepada kami untuk bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “MANUSIA DALAM
FILSAFAT HUMANISME” makalah ini kami susun dengan sedemikian mungkin dan
kami juga menyadari bahwa makalah yg kami susun jauh dari kata sempurna, kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun kami harapkan untuk kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata kami ucapkan terimakasih kepada allah kami mohon ampun dan
kepada semua pihak kami minta maaf apabila ada penulisan kata yang salah dalam
makalah ini dan semoga Allah SWT senantiasa meridhoi usaha kita.
Penulis
2
DAFTAR ISI
DAFTAR
ISI ......................................................................................................................iv
A. Kesimpulan ...........................................................................................................20
B. Saran .....................................................................................................................20
1
BAB I PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Berdasrkan latar belakang di atas, tulisan ini dimaksudkan untuk memaparkan
permasalahan dalam penulisan paper ini adalah:
1. Sejarah humanisme dan renaisance
2. Pengertian filsafat humanisme
3. Relasi spirit humanisme
4. Madzhab psikologi humanistik
C. Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk menjelaskan tentang :
1. Sejarah humanisme dan renaisance
2. Pengertian filsafat humanisme
3. Relasi spirit humanisme
2
4. Madzhab psikologi humanistik
BAB II PEMBAHASAN
B. Filsafat Humanisme
Humanisme adalah ahli waris gerakan Renaisans. Istilah ini berasal dari kata
human yang berarti manusia. Aliran pemikiran ini menjunjung tinggi nilai dan
martabat manusia, serta menjadikan kepentingan manusia sebagai tolak ukur
kebenaran mutlak. Humanisme dilandaskan konsep kebebasan filsafat eksistensialisme
Jean Paul Sartre, yaitu bahwa kebebasan adalah sesuatu yang mutlak bagi diri manusia.
Setiap manusia menginginkan kebebasan dalam berkehendak, sebab kebebasan
merupakan suatu fakta bagi manusia untuk memperoleh kemanusiaannya. Humanisme
juga memiliki beberapa tema, yaitu:
1. Kebebasan
Banyak institusi pada abad pertengahan seperti gereja, feudalisme, dan
kekaisaran telah mencetak pandangan masyarakat pada satu kosmik serta
mengekang kebebasan berpikir. Gerakan humanisme adalah usaha untuk
meruntuhkan otonomi kekuasaan tersebut.
2. Naturalisme
Pandangan bahwa manusia adalah bagian terpenting dari alam semesta.
Meskipun theis Humanisme mengangkat jiwa manusia sebagai kekuatan untuk
pembebasan, namun pendukungnya tidak pernah melupakan badan dan kesenangan
lahiriah lewat penaklukan terhadap alam sebagai objek dari proyek-proyek manusia,
dengan menangguhkan perhatian terhadap hal-hal yang bersifat meta alam.
3. Perspektif Sejarah
Kaum humanis Eropa menemukan kesadaran untuk bangkit lewat cara
penggalian terhadap nilai-nilai rasional filsafat Yunani. Mereka berusaha
menemukan seni berpikir dan bertindak lewat penalaran Aristoteles dan dukungan
metodologi sains modern untuk rekayasa masa depan.
4. Pengagungan Terhadap Sains
Bahwa kesulitan manusia lebih banyak ditimbulkan oleh kelemahan dalam
memahami dan menaklukkan alam, maka eksplorasi dan eksperimentasi sains
ilmiah dan penemuan yang dihasilkannya dianggap lebih utama daripada doktrin
gerejani yang tidak rasional.
Filsafat Humanisme memiliki nilai yang disebut nilai humanisme. Nilai ini yaitu
4
menurunkan ego demi menyelamatkan nyawa makhluk lain, saling tolong-menolong,
saling menyemangati di kala susah, menjadi keluarga yang kompak meskipun tidak
saling mengenal.
Filsafat humanisme memiliki banyak mazhab/aliran, contohnya yaitu:
a) Idealisme, yaitu pendapat bahwa hakikat kenyataan dunia adalah ide yang
bersifat rohani. Aliran ini dibagi lagi menjadi idealisme subjektif dan idealisme
objektif. Idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah rohani, bukan
materi. Pengetahuan yang dipelajari dari panca indera adalah tidak pasti dan
tidak lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap, seperti segala apa yang
dikatakan baik, bagus, atau buruk secara fundamental tidak berubah dari
generasi ke generasi.
b) Realisme, yaitu pendapat yang memandang realitas secara dualitas dengan
membagi hakikat realitas menjadi dunia fisik dan dunia rohani. Realisme
membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan
mengetahui dan realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek
pengetahuan manusia.
c) Materialisme, yaitu pendapat bahwa kenyataan yang sebenarnya adalah alam
semesta badaniah. Aliran ini tidak mengakui adanya kenyataan spiritual. Aliran
materialisme memiliki dua variasi yaitu materialisme dialektik dan
materialisme humanistis. Filsafat materialisme berpandangan bahwa hakikat
realitas adalah materi, bukan rohani.
d) Pragmatisme, yaitu pendapat yang tidak bersikap mutlak dan tidak doktriner,
tetapi relatif tergantung kepada kemampuan manusia. Aliran ini dipandang
sebagai filsafat Amerika asli, namun sebenarnya berpangkal pada filsafat
Empirisme Inggris yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa
yang ia alami.
e) Eksistensialisme yaitu pendapat yang memfokuskan pada pengalaman-
pengalaman seorang individu. Secara umum, eksistensialisme menekankan
pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia, dan tindakan konkrit dari
keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakikat manusia atau
realitas.
5
Pada dasarnya kerja humanisme adalah memanusiakan manusia. Manusia dianggap
sebagai manusia yang memiliki hak dan kebebasan dalam bertindak bukan sebuah objek yang
tak dapat bertindak apapun. Dalam kamus filsafat Lorens Bagus humanisme merupakan
filsafat yang ; (1) memandang individu rasional sebagai nilai tertinggi, (2) memandang
individu sebagai sumber tertinggi, (3) ditujukan untuk membina perkembangan moral individu
dengan cara yang bermakna dan rasional tanpa menunjuk pada konsep supranatural. Manusia
memiliki nilai otonomi sebagai ukuran dalam segala bentuk pemahaman dan penilaian
terhadap realitas dan sebagaimana yang kemudian menjadi basis paradigma kemunculan dunia
Barat modern.
1. Eksistensialisme
Adalah sebuah gerakan filosofis yang luas, di mana gerakannya mulai terkenal di
pertengahan abad ke-20. Filsafat ini mendalilkan kalau manusia adalah individu yang
menciptakan makna dan esensi kehidupan mereka secara pribadi. eksistensialisme
sebagai, “Penolakan untuk menjadi bagian dari aliran pemikiran, penolakan terhadap
kepercayaan apa pun (terutama sistem), dan ketidakpuasan yang nyata terhadap filsafat
tradisional yang dangkal, akademis, dan jauh dari kehidupan.” Menurut para
eksistensialis, manusia harus membuat pilihan mereka sendiri dalam kehidupan dan
menemukan maknanya sendiri, dengan atau tanpa Tuhan. Para filsuf eksistensialisme
berkisar dari yang religius (Kierkegaard) hingga yang anti-religius (Nietzsche) Terkait
dengan eksistensi, dalam humanisme manusia dipandang sebagai pusat dari realitas.
Prinsip ini membawa perubahan pada abad pertengahan awal dimana dogma-dogma
gereja mengatur fitrah manusia atau membelenggu eksistensi manusia. Belenggu otoritas
gereja disadari mematikan potensi manusia , otonomisasi, kreativitas dan kemerdekaan
berpikir. Gereja memasung rasionalitas manusia melalui dogmanya.Sehingga muncul
resistensi untuk lepas dari belenggu ini melalui perlawanan para filsuf. Gerakan inilah
yang membangunkan manusia dari dogmatis yang menyadarkan bahwa manusia bukan
sebagai viator mundi (peziarah dimuka bumi) melainkan vaber mundi (pekerja atau
pencipta dunianya) (Zainal Abidin, 2000). Gerakan ini merupakan gambaran gerakan
renaisance pada abad ke-14 hingga 16 M yang diawali di Italia dan menyebar secara
pervasive ke seluruh benua eropa. Kemudian semangat humanisme ini terus diwariskan
dan dikembangkan melalui media pendidikan yang berasas liberal dengan prinsip bahwa
manusia pada dasarnya adalah makhluk bebas dan berkuasa penuh atas eksistensinya
sendiri dan masa depannya artinya manusia diberikan ruang sebebas-bebasnya.
2. Marxisme
Kebangkitan radikalisme antiotoritarian di ujung abad ke-20 ditandai dengan
adanya perkembangan beragam gerakan politik baru, di antaranya adalah kelompok-
kelompok anarkis dalam beragam variannya dan juga kelompok-kelompok politik lainnya
6
yang menyerap kecenderungan Marxian. Marxis Otonomis berawal dari kelompok-
kelompok Marxis Italia yang mengidentikkan gerakan mereka sebagai “operaismo” atau
“buruh-isme”, di mana kekuatan revolusioner bertumpu pada beragam inisiatif buruh
untuk melakukan swaaktivitas yang bebas dari intervensi serikat buruh atau pihak luar
lainnya. Swaaktivitas ini beragam; mulai dari pencurian, perlambatan kerja, sabotase,
mogok liar (wildcat strikes), hingga pendudukan pabrik. Kenaikan upah dan pengurangan
jam kerja merupakan tuntutan yang sangat familiar bagi gerakan pekerja, baik dalam
gerakan tradisional maupun kontemporer. Pekerja selalu ingin meningkatkan
kesejahteraan; mulai dari memiliki lebih banyak sumber daya untuk memenuhi beragam
kebutuhan hingga memiliki lebih banyak waktu luang untuk melakukan beragam aktivitas
di luar jam kerja. Reorganisasi kapital sebagai respons terhadap tuntutan tersebut adalah
diterapkannya konsep upah berdasarkan tingkat produktivitas. Penerapan apa yang disebut
“productivity deal” ini merupakan reaksi kapital terhadap tuntutan kenaikan upah. Tingkat
upah disesuaikan dengan tingkat produktivitas pekerja. Analisis Antonio Negri dan Mario
Tronti terhadap “productivity deal” di Italia pada 1960’an memunculkan dorongan lebih
lanjut pada perkembangan teori otonomis yaitu tentang penolakan kerja. Pertama mereka
menyadari bahwa “productivity deal” merupakan suatu respons terhadap kekuatan
resistensi kelas pekerja dengan tuntutan-tuntutannya. Mereka juga menyadari bahwa
ledakan tuntutan untuk menaikkan upah dan berkembangnya penolakan kerja merupakan
penyebab runtuhnya “productivity deal” dan terjadinya krisis ekonomi Italia. Krisis yang
terjadi di Italia tersebut menimbulkan suatu gejolak politik yang signifikan. Kelompok-
kelompok Otonomis seperti Potere Operaio (PO) menyerang Partai Komunis yang
mendukung kebijakan kapitalis dengan penerapan “productivity deal”-nya. PO
mendukung strategi otonom kelas pekerja untuk menuntut kenaikan upah dan
pengurangan kerja (pengurangan produktivitas) —suatu strategi yang terang-terangan
menolak konsep “productivity deal”.
Marxisme menjunjung tinggi kebebasan dan terbebas dari otoritarianisme, ia
mendudukan manusia (masyarakat dan buruh) sebagai pusat kehidupan yang secara
teoritis harus dijunjung tinggi martabat dan kemanusiaannya. Filsafat ini dirumuskan oleh
Karl Marx dan Friedrich Engels 150 tahun yang lalu dan terus berkembang, filsafat ini
telah mendominasi dalam membebaskan manusia (buruh) dari produksi dan kerja.
Menurut Marx Negara merupakan alat penindasan bagi kelas penguasa terhadap kelas
buruh. Menurut Marx, Negara menjadi milik kaum borjuis kapitalis, dan kaum proletar
atau kaum buruh tidak memiliki Negara karena mereka terus ditindas oleh kaum borjuis-
kapitalis. Marxisme menjadi gerakan kaum buruh untuk mewujudkan cita-cita
kebersamaan, memberantas ketidakadilan, penindasan dan sebagainya.
3. Pragmatisme
7
Secara etimologis, kata pragmatisme berasal dari bahasa Yunani “pragma”, adapula
yang menyebut dengan istilah “pragmatikos”, yang berarti tindakan atau aksi.
Pragmatisme berarti filsafat atau pemikiran tentang tindakan. Filsafat ini menyatakan
bahwa benar tidaknya suatu kebenaran bergantung pada berfaedah tidaknya bagi manusia
dalam penghidupannya. Dengan demikian, ukuran untuk segala perbuatan adalah
manfaatnya dalam praktek dan hasil yang memajukan hidup. Benar tidaknya sesuatu hasil
pikir, dalil maupun teori, dinilai menurut manfaatnya dalam kehidupan atau menurut
berfaedah tidaknya teori itu dalam kehidupan manusia. Atas dasar itu, tujuan berfikir versi
pragmatisme adalah memperoleh hasil akhir yang dapat membawa hidup kita lebih maju
dan lebih berguna. Sesuatu yang menghambat hidup kita adalah tidak benar.
Aliran filsafat ini mencuat ke permukaan selama seratus tahun terakhir dan
dikaitkan dengan nama-nama berikut: Charles Sanders Peirce (1839-1914), William
James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).3 Filsafat-filsafat tradisional bersifat
statis dan cenderung melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Pada paruh terakhir
abad XIX terlihat adanya perubahan yang tak terduga setelah revolusi industri meluncur
dengan cepat. Industrialisasi, urbanisasi, dan migrasi penduduk secara besar-besaran
merupakan faktor sentral dalam alam kehidupan bangsa Amerika. Perubahan menjadi ciri
sentral dari eksistensi manusia. Dalam kancah intelektual, teori biologis sosial
Darwinisme telah berkembang dan secara luas diakui sebagai pengetahuan umum
masyarakat untuk merasionalkan dan menyetujui tentang konsep perubahan. Pragmatisme
(sering juga disebut eksperimentalisme dan instrumentalisme) adalah reaksi filosofis
terhadap fenomena ini.William James merumuskan pragmatisme sebagai “sikap
memalingkan muka dari segala sesuatu, prinsip-prinsip, kategori-kategori, keniscayaan-
keniscayaan awal, untuk kemudian beralih pada segala sesuatu, hasil-hasil, konsekuensi-
konsekuensi, serta fakta-fakta baru.” Pragmatisme bersifat kritis terhadap sistem-sistem
filsafat lama, yang menurut penganut pragmatisme, telah membuat kesalahan mencari
sesuatu yang puncak (ultimate), mutlak, dan esensi-esensi abadi. Para penganut
pragmatisme menekankan sains empiris, dunia yang berubah dan masalah-masalahnya,
dan alam sebagai seluruh realitas inklusif di luar keyakinan ilmiah tidak mendapat tempat
Pragmatisme mempunyai pijakan intelektual dalam pemikir-pemikir Yunani,
seperti Heracleitos (abad V SM) yang mempostulatkan keniscayaan perubahan5 dan para
penganut empirisme Inggris6 (abad XVII dan XVIII) yang menandaskan bahwa orang
hanya dapat mengetahui apa yang dialami indera mereka. Pragmatisme memiliki tiga ciri,
yaitu: (1) memusatkan perhatian pada hal-hal dalam jangkauan pengalaman indera
manusia, (2) apa yang dipandang benar adalah apa yang berguna atau berfungsi, dan (3)
manusia bertanggung jawab atas nilai-nilai dalam masyarakat. Tiga poin penting dalam
filsafat pragmatisme adalah : Pertama, dari perspektif penganut pragmatisme, kita hidup
8
dalam sebuah dunia pengalaman. Dalam perjalanan waktu, pengalaman manusia tersebut
berubah dan karenanya konsep pragmatisme tentang kenyataanpun juga berubah. Di luar
pengalaman manusia, tak ada kebenaran atau kenyataan yang sesungguhnya. Dengan
demikian, penganut pragmatisme menolak pemikiran metafisika. Bagi mereka, tidak ada
hal yang absolut, tidak ada prinsip apriori atau hukum alam yang tidak berubah. Kedua,
pragmatisme pada dasarnya adalah sebuah pemikiran epistemologis. Pengetahuan,
menurut kaum pragmatis, berakar pada pengalaman. Manusia mempunyai pemikiran yang
aktif dan eksploratif, bukan pasif dan reseptif. Manusia tidak hanya menerima
pengetahuan, ia juga membuat pengetahuan itu sebagai hasil interaksinya dengan
lingkungan, kebenaran bersifat relatif dan apa yang benar di hari ini bisa tidak benar di
waktu mendatang atau dalam konteks situasi yang berbeda. Ketiga, manusia bertanggung
jawab atas nilai-nilai dari masyarakat. Nilai-nilai bersifat relatif dan tidak ada prinsip-
prinsip absolut yang dapat dipedomani. Sebagaimana budaya berubah, demikian juga
nilai-nilaipun berubah. Ini tidak berarti bahwa moralitas tidak mengalami pasang surut
dari hari ke hari, akan tetapi ini berarti bahwa tidak ada aturan aksiologis yang dapat
dianggap sebagai hal yang mengikat secara universal. Menurut kaum pragmatis, apa yang
secara etis baik adalah apa yang berguna dan berfungsi. Oleh karena itu pandangan
pragmatisme hampir serupa dengan filsafat humanistik yang mana menjadikan indera
manusia sebagai tolak ukur, patokan utama dalam memahami sebuah realitas.
AKTUALISASI
DIRI
(Kebenaran, Kebaikan,
Keindahan, Sifat Hidup,
Individualitas, Kesempurnaan,
Sifat Penting, Kepenuhan,
Keadilan, Ketertiban,
Kesederhanaan, Sifat Kaya,
Sifat Penuh Permainan, Sifat
Tanpa Usaha, Sifat Mencukupi
Diri, Sifat Penuh Makna)
KEBUTUHAN
PENGHARGAAN
(Penghargaan Dari Orang Lain)
CINTA DAN RASA
MEMILIKI
1. Kebutuhan – Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan yang paling dasar, paling kuat, dan paling jelas di antara sekian
banyak kebutuhan manusia adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya
secara fisik. Pemuasan terhadap kebutuhan-kebutuhan itu sangat penting untuk
kelangsungan hidup. Karenanya kebutuhan-kebutuhan tersebut merupakan yang
terkuat dari semua kebutuhan. Seseorang yang mengalami kekurangan makanan,
harga diri, dan cinta, pertama-tama dia akan memburu makanan terlebih dahulu.
Ia akan mengabaikan atau menekan dulu semua kebutuhan lain sampai
kebutuhan fisiologisnya itu terpuaskan.
13
Ketika kebutuhan fisiologis dan rasa aman sudah terpenuhi, kebutuhan
lapisana ketiga pun muncul. Seseorang setelah mencapai tingkat tertentu dari
rasa aman, lalu dia mulai merasa butuh teman, sahabat dekat, atau kekasih,
semuanya digerakkan untuk memuaskan kebutuhan akan memiliki dan dimiliki,
mencintai dan dicintai. Mereka dapat menggabungkan diri dengan suatu
kelompok atau perkumpulan, menerima nilai-nilai, dan sifat-sifat, atau memakai
pakaian seragam tertentu dengan maksud supaya merasakan perasaan memiliki.
Orang memuaskan kebutuhan akan cinta dengan membangun suatu hubungan
akrab dan penuh perhatian dengan orang lain, dengan orang-orang pada
umumnya. Dalam hubungan-hubungan yang demikian, perasaan memberi cinta
dan menerima cinta adalah sama penting.
Maslow menemukan dalam berbagai telaah penelitiannya, bahwa tanpa
cinta maka pertumbuhan dan perkembangan kemampuan orang akan terhambat.
Baginya cinta menyangkut suatu hubungan sehat dan penuh kasih msera antara
dua orang, ternasuk sikap saling percaya.
4. Kebutuhan-Kebutuhan Akan Penghargaan
Apabila seseorang cukup berhasil mencintai dan memiliki, maka dia juga
membutuhkan perasaan penghargaan. Maslow membedakan dua macam
kebutuhan akan penghargaan, yaitu (a) penghargaan yang berasal dari orang
lain, dan (b) penghargaan terhadap diri sendiri atau harga diri. Penghargaan
yang berasal dari orang-orang lain adalah yang utama, jelas sulit bagi kita
untuk berfikir baik tentang diri kita sendiri kecuali kita merasa bahwa orang-
orang lain berpikir baik tentang diri kita.
Penghargaan yang berasal dari orang lain meliputi pengakuan, penerimaan,
perhatian, kedudukan, prestise, reputasi, nama baik serta penghargaan atas
sejumlah keberhasilan dalam masyarakat yaitu semua sifat dari bagaimana
orang-orang lain berpikir dan bereaksi terhadap kita. Sedangkan penghargaan
terhadap diri sendiri meliputi kebutuhan akan kepercayaan diri, kompetensi,
penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan, dan kebebasan.
Fromm membagi kebutuhan manusia menjadi dua hal yaitu kebutuhan akan kebebasan
serta keterikatan dan kebutuhan akan memahami serta berkreativitas.
a) Kebutuhan kebebasan dan keterkaitan. Kebutuhan-kebutuhan ini terdiri atas berikut
ini,
Keterhubungan (relatedness)
Kebutuhan mengatasi perasaan kesendirian dan terisolasi dari alam dan
dari dirinya sendiri. Kebutuhan untuk bergabung dengan makhluk lain yang
dicintai dan menjadi bagian dari sesuatu. Dalam hal ini akan muncul keinginan
irasional untuk mempertahankan hubungan yang pertama, yakni hubungan
dengan ibu, yang diwujudkan kedalam perasaan solidaritas dengan orang lain.
Hubungan yang memuaskan akan bernilai positif apabila hubungan tersebut
didasarkan pada cinta, perhatian, tanggung jawab, pengharagaan, dan pengertian
dari orang lain, dapat juga berfikir negatif apabila hubungan tersebut didasarkan
kepada kepatuhan atau kekuasaan.
Keberakaran (rootedness)
Kebutuhan keberakaran adalah kebutuhan untuk memiliki ikatan-ikatan
yang membuatnya merasa nyaman didunia (merasa seperti dirumahnya).
Manusia menjadi asing dengan dunia nya karena dua alasan. Pertama,dia
direnggut dari akar-akar keterhubungannya oleh situasi (ketika manusia
17
dilahirkan, dia menjadi sendirian dan kehilangan ikatan alaminya).
Kedua,pikiran dan kebebasan yang dikembangkannya sendiri justru memutus
ikatan alami dan menimbulkan perasaan isolasi/tak berdaya. Keberakaran adalah
kebutuhan untuk mengikat diri dengan kehidupan. Setiap saat, orang dihadapkan
kepada dunia baru, yang mengharuskan dia tetap aktif dan kreatif
mengembangkan perasaan menjadi bagian yang integral dari dunia. Dengan
demikian dia akan tetap merasa aman, tidak cemas, berada ditengah-tengah
dunia, yang penuh ancaman. Orang dapat membuat ikatan fiksasi yang tidak
sehat, yakni mengidentifikasikan diri dengan satu situasi, dan tidak mau bergerak
maju Untuk membuat ikatan dengan dunia baru.
Menjadi pencipta (transcendency)
Karena induvidu menyadari diri sendiri dari likungannya, mereka
kemudian mengenali betapa kuat dan menakutan alam semesta itu, yang
membuatnya merasa tak berdaya. Orang ingin mengatasi perasaan takut dan
ketidakpastian menghadapi kemarahan dan ketidakmenetuan semesta. Orang
membutuhkan peningkatan diri, berjuang untuk menghadapi sifat pasif dari
penguasaan alam menjadi aktif, bertujuan dan bebas, berubah menjadi mahluk
ciptaan menjadi pencipta. Seperti hal nya keterhubungan, transendensi bisa
positif( menciptakan sesuatu) atau negatif ( menghancurkan sesuatu).
Kesatuan (unity)
Kebutuhan ini bertujuan untuk mengatasi eksistensi keterpisahaan antara
hakikat binatang dan non binatang dalam diri seseorang. Keterpisahan, kesepian,
dan isolasi semuanya bersumber dari kemandirian dan kemerdekaan “ untuk apa
orang mengejar kemandirian dan kemerdekaan kalau hasilnya justru kesepian
dan isolasi ?”. Dari dilema ini muncul kebutuhan unitas orang dapat mencapai
unitas, memperoleh kepuasaan (tanpa menyakiti orang lain dan diri sendiri)
kalau hakikat kebinatangan dan kemanusiaan itu bisa didamaikan, dan hanya
berusaha hanya jadi manusia seutuhnya dengan cara berbagi cinta kerja sama
dengan orang lain.
Identitas (Identity)
Kebutuhan untuk menjadi “ aku”, kebutuhan untuk sadar dengan dirinya
sendiri sebagai suatu yang terpisah, manusia harus merasakan kemampuan untuk
mengontrol nasib nya sendiri, harus bisa membuat keputusan, dan merasa hidup
nya nyata-nyata miliknya sendiri. Misalnya, orang primitif mengidentifikasikan
diri dengan sukunya, sehingga dia tidak melihat dirinya sebagai yang terpisah
dari kelompok nya.
b) Kebutuhan untuk memahami dan beraktivitas, kebuthan-kebutuhan ini terdiri atas
berikut ini:
Kerangka orientasi atau (frame of orientation)
Kerangka orientasi adalah seperangkat keyakinan mengenai eksistensi
hidup, perjalan hidup tingkah laku bagaimana yang harus dikerjakan nya yang
mutlak dibutuhkan untuk memperoleh kesehatan jiwa.
Kebutuhan untuk menyadari eksistensi diri melawan perasaan tidak mampu dan
melatih kompetensi atau kemampuan.
19
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa filsafat humanisme ini
menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia, serta menjadikan kepentingan
manusia sebagai tolak ukur kebenaran mutlak. Maka dengan mempelajari filsafat
manusia kita menjadi tau apa dan siapa manusia berasal dan memudahkan kita
dalam mengambil keputusan-keputusan praktis atau dalam menjalankan berbagai
aktivitas hidup sehari-hari. Manusia dianggap sebagai manusia yang memiliki hak
dan kebebasan dalam bertindak bukan sebuah objek yang tak dapat bertindak
apapun.
B. Saran
oleh karena itu kita sebagai manusia harus memiliki nilai yaitu menurunkan ego
demi menyelamatkan nyawa makhluk lain, saling tolong-menolong, saling
menyemangati di kala susah, menjadi keluarga yang kompak meskipun tidak saling
mengenal. Kemudian humanisme ini memiliki keterhubungan dengan marxisme,
pragmatisme, dan eksistensialisme . Manusia dianggap sebagai manusia yang
memiliki hak dan kebebasan dalam bertindak bukan sebuah objek yang tak dapat
bertindak apapun.
20
DAFTAR PUSTAKA
Agresti, L., Agustina, E., & Canrhas, A. (2018). Analisis Nilai-Nilai Humanisme dalam Novel Rembulan
Tenggelam di Wajahmu Karya Tere Liye. Jurnal Ilmiah KORPUS, 2(3).
Khair, N. (2020). Konsep Humanisme Spiritual dalam Filsafat Mulla Sadra. Kalimah: Jurnal Studi
Agama dan Pemikiran Islam, 18(1).
Abidin, Zainal. (2000). Filsafat Manusia, Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung:
Remaja Rosdakarya
Muhmidayeli. (2014). Filsafat Analitik Kritik Epistemologi Ide Analitik Logis Bertrand Russell.
Jurnal UIN Sultan Syarif Kasim. Pekanbaru.
https://ganangdekartz.wordpress.com/author/ganangdekartz/
https://www.kompasiana.com/www.zahrotut.com/54f7880ca333111a738b46a6/manfaat-
mempelajari-filsafat-manusia
Rahmat Hidayat, Dede (2015). Psikologi Kepribadian Dan Konseling. Bogor: Ghalia Indonesia
Rumini, S. dkk. 1993. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Yogyakarta
21