Anda di halaman 1dari 21

Cerita Saudagar Abdullah

Di suatu negeri tinggallah saudagar Abdullah dengan ibunya. Ayahnya sudah tiada dan ia pun
belum memiliki isteri. Saudagar Abdullah merupakan seorang miskin. Pada suatu waktu
Abdullah bertanya kepada ibunya mengenai harta yang ditinggalkan ayahnya. Sebab di rumah
tersebut ia tidak melihat harta yang ditinggalkan oleh ayahnya.
Ibunya berkata kepada anaknya, “anakku dahulu ayahmu meninggalkan beberapa
barang. Pertama, ayahmu meninggalkan satu helai baju, sebuah kopiah, sebuah seruling,
dan uang yang berjumlah sepuluh sen. Mendengar penjelasan tersebut saudagar Abdullah
berkata kepada ibunya, “besok wahai ibuku, aku hendak berbelanja ke pasar.” “Baiklah,” kata
ibunya.
Kemudian esok harinya berangkatlah saudagar Abdullah berbelanja ke pasar.
Saudagar Abdullah dan memakai baju dan membawa uang yang diwariskan ayahnya.
Sesampainya di pasar, ia membeli kacang panjang seharga tiga sen, bawang merah tiga sen,
dan minyak goreng tiga sen. Uangnya hanya tersisa satu sen. Ia hendak memanfaatkan
uangnya tersebut untuk berbelanja barang yang kira-kira harganya satu sen. Ia pun mulai
bertanya barang yang satu dan yang lainnya tetapi tidak ada yang sesuai dengan uang yang ia
miliki sampai akhirnya bertemu dengan seorang penjual roti bulat. Penjual roti itu adalah orang
Cina. Harga roti bulat tersebut hanya satu sen. Dibelinya sepotong roti itu. Namun, pada saat
saudagar Abdullah membayar roti tersebut, penjualnya tidak berani menyentuh uang
saudagar Abdullah tersebut. Karena uang tersebut terlampau besar jumlahnya kira-kira seribu
dinar. Sekarang engkau saudagar, hanya membeli satu buah roti saja, apabila engkau
mengambil semua rotiku ini, masih engkau mendapat kembaliannya dan aku tidak sanggup
untuk mengembalikan uangmu, berkata orang China tersebut.
Saudagar Abdullah sendiri pun merasa heran, karena ia merasa uangnya hanya
tinggal satu sen saja. Setelah ia kembali ke rumah kemudian ia bercerita kepada ibunya
tentang kejadian yang dialaminya. Kemudian barulah ibunya menceritakan kepadanya
khasiat dari baju tersebut.
Pada malam harinya iapun berbicara kepada ibunya, siapakah wanita yang paling cantik
yang ada di negeri tersebut kata saudagar Abdullah. Ibunya menjawab anaknya tuan Imam,
itulah wanita yang paling cantik dan paling baik tingkah lakunya. Akan tetapi untuk sampai
di rumah tersebut sangat sulit sekali. “Ibuku bagaimanakah caranya aku agar sampai ke rumah
tuan imam.” Kata saudagar Abdullah. “Ada satu jalan agar kamu sampai ke rumah tersebut,”
kata ibunya. “Ada sebuah songkok yang ada didalam peti peninggalan ayahmu kamu dapat
memakainya, untuk masuk ke rumah tuan Imam.” Imbuh ibunya.
Pada malam itu berangkatlah saudagar Abdullah ke rumah tuan Imam untuk melihat
anak tuan Imam. Setibanya di rumah tuan Imam, ia melihat orang sedang membaca al-Quran
di sana. Kemudian ia memasang songkoknya, iapun mulai melangkah masuk ke dalam rumah
tersebut. Anehnya, tidak ada seorang yang melihatnya sampai saudagar Abdullah mendekati
putri tuan Imam yang sedang duduk di atas sofa. Saudagar Abdullah pun menghampiri
putri tuan imam tersebut dan duduk di dekatnya. Namun, putri tuan Imam tidak menyadari
kehadiran saudagar Abdullah. Saudagar Abdullah terkagum-kagum melihat kecantikannya.
Saudagar Abdullah melepaskan songkok yang ada di atas kepalanya. Tiba-tiba putri tuan
Imam pun merasa terkejut melihat ada seseorang yang ada di sampingnya.
Menyadari ada seseorang di sampingnya, putri tuan Imam bertanya kepada saudagar
Abdullah. “Mengapa engkau ke sini wahai saudagar Abdullah, kalau engkau diketahui oleh
ayahku maka engkau akan dihukum olehnya,” kata putri tuan Imam.
Saudagar Abdullah hanya terdiam saja dan kemudian berlalu sebab
kedatangannya hanya untuk melihat putri tuan Imam tersebut. Tanpa berkata sepatah pun
saudagar Abdullah kembali ke rumahnya. Sesampai di rumah, saudagar Abdullah mencari akal
untuk dapat membawa anak tuan Imam tersebut ke rumahnya. Ia mengutarakan maksud
kepada ibunya, “bagaimana saya dapat membawa anak tuan imam ke sini,” kata saudagar
Abdullah.
Ibunya berkata, “jangan khawatir, kalau engkau mau membawanya ke sini ada
sebuah barang yang ayahmu tinggaIkan berupa seruling. Bila engkau meniupnya maka
seruling itu akan menjadi seorang jin. Jin tersebut dapat menolongmu membawa putri tuan
Imam ke rumah ini.” Setelah itu, saudagar Abdullah pun meniup seruling tersebut dan
memerintahkan jin untuk mengangkat anak tuan Imam dan membawa ke rumahnya.
Singkatnya sampailah putri tuan Imam ke rumah saudagar Abdullah. Setelah sampai di
situ, anak tuan Imam menjadi heran mengapa ia tiba-tiba bangun dari tidur dan sudah berada
di rumah saudagar Abdullah. Putri tuan Imam pun tidak bertanya kepada saudagar Abdullah,
pagi harinya putri tuan Imam memasak air di dapur dan membuat minuman untuk saudagar
Abdullah. Setelah Abdullah meminum minuman tersebut ia pun menjadi mabuk dan tidak
sadar dengan apa yang ia ucapkan.
Melihat kondisi seperti ini, putri tuan Imam memanfaatkan saudagar Abdullah agar
dapat menjelaskan kenapa ia dapat tidur di rumah saudagar tersebut. Saudagar menjelaskan
mengapa putri tuan Imam dapat sampai di rumahnya. Mendengar penjelasan itu, putri tuan
Imam mengambil semua peralatan yang saudagar Abdullah gunakan dalam hidupnya, seperti
satu helai baju, satu buah songkok, dan sebuah seruling peninggalan ayah saudagar. Putri tuan
Imam meniup seruling dan memerintahkan kepada jin untuk melemparkan saudagar Abdullah
jauh dari negerinya, kira-kira tujuh puluh tahun perjalanan pulang kembali ke negerinya.
Singkat cerita, saudagar Abdullah terdampar di negeri jauh dan kemudian berusaha
kembali ke negerinya. Beruntung saudagar Abdullah, dalam waktu yang sangat singkat, ia dapat
kembali ke negerinya karena dibantu seseorang yang ia temui di dalam perjalanannya. Sesampai
di negerinya, ia melihat segala harta miliknya habis dan ibunya yang terbaring sakit karena
rindu dengan saudagar. Saudagar datang ke rumah tuan Imam dan membawa tiga biji kurma
dan menyuruh tuan Imam, istri beserta anaknya memakan buah kurma bawaannya tersebut
secara serentak. Setelah mereka makan buah kurma itu dari mulut mereka keluar tunas kurma
dan semakin hari semakin membesar dan tidak ada seorangpun yang dapat menyembuhkan hal
tersebut. Hanya saudagar yang dapat menyembuhkanya. Namun saudagar memiliki
syarat yang harus dipenuhi yaitu putrinya harus mengembalikan seluruh barang-barangnya
yang dibawa oleh anak tuan Imam itu. Kemudian ia melamar anak tuan Imam untuk menjadi
istrinya. Akhirnya menikahlah saudagar Abdullah dengan putri tuan Imam.
Cerita Selukup

Selukup memiliki tujuh orang saudara. Tujuh orang fsaudara tersebut semuanya laki-
laki. Keenam bersaudara tersebut sudah ingin sekali untuk berumah tangga dan ingin menikah
dengan putri raja. Secara kebetulan juga raja sedang mencari menantu. Raja menetapkan
persyaratan bagi yang meminang putrinya tersebut. Barang siapa yang melanggar perjanjian
akan dijual oleh raja. Di antara keenam bersaudara tersebut, selain Selukup telah dijual oleh
raja karena tidak mampu untuk memenuhi syarat yang diajukan oleh raja. Tinggallah Selukup
yang masih bersama dengan orang tuanya.
Ketika Selukup beranjak dewasa ia pun bertanya kepada ibunya, “wahai ibuku,
kemanakah saudara-saudaraku yang lain?” Mereka semuanya telah dijual oleh raja karena
mereka ingin menikah dengan puteri raja. Akan tetapi mereka tidak mampu untuk
memenuhi persyaratan yang disyaratkan oleh raja,” kata ibunya.
“Kalau begitu, aku harus meminang puteri raja tersebut!” “Jangan wahai anakku, nanti
engkau pun akan dijual oleh raja kata ibunya.” Selukup terus meminta kepada ibunya untuk
meminang anak raja tersebut sampai berhari-hari. Akhirnya luluh juga hati ibu selukup. Demi
memenuhi keinginan anaknya, berangkatlah ibu Selukup ke rumah raja tersebut untuk
meminang anaknya. Lamaran Selukup ditolak oleh raja.
Mendengar jawaban dari raja tersebut Selukup tidak berputus asa. Ia masih meminta
ibunya untuk datang pada hari berikutnya ke istana raja untuk meminang puteri raja lagi.
Esok hari datang lagi ibu Selukup ke istana raja. Melihat kegigihan Selukup, raja akhirnya
menerima lamaran tersebut dan meminta Selukup agar datang ke rumahnya.
Esok harinya datanglah Selukup ke istana untuk memenuhi permintaan raja. Setiba di
istana raja Selukip diminta membuat perjanjian. Isi perjanjiannya Selukup dan raja tidak boleh
marah. Siapa yang mararah terlebih dahulu, maka ia yang akan dijual. Selukup menyetujui
perjanjian tersebut. Esok harinya Selukup disuruh oleh raja ke peternakan sapinya, kalau ada
lalat atau binatang lain yang hinggap, di atas badan sapi harus ditembak dengan senjata yang
diberikan raja.
Setelah Selukup sampai di peternakan sapi milik raja, Selukup pun mulai
menembak sapi milik raja tersebut, bukannya menembak lalat ataupun serangga lain. Setelah
sapi itu terkena tembakannya kemudian ia sembelih dan ia jual. Melihat kejadian tersebut raja
memanggilnya dan memerintahkan Selukup untuk pergi ke taman bunga, untuk
menmbersihkan taman tersebut. Sebenarnya, raja pada saat melihat sapi miliknya telah banyak
yang mati, ia hampir saja ingin memarahi Selukup akan tetapi karena ia teringat perjanjian
mereka, maka ia tidak jadi untuk memarahinya.
Esok harinya Selukup pun pergi ke kebun bunga milik raja tersebut, kemudian ia mulai
membersihkan taman tesebut. Anehnya, bukan hanya rumput yang ia siangi, namun seluruh
bunga yang ada di kebun tersebut habis disiangi dan kemudian dijual ke pasar. Setelah beberapa
waktu berada di kebun bunga itu, Selukup kembali dipanggil oleh raja untuk menghadapnya.
Melihat pekerjaan yang dilakukan oleh Selukup, raja hampir saja memarahinya namun ia
teringat kembali dengan perjanjian. Akhirnya raja mengurungkan niatnya untuk memarahi
Selukup.
Banyak sekali pekerjaan yang diberikan oleh raja, namun Selukup selalu dapat
mengerjakan tersebut dengan penuh kesabaran. Maksud Selukup menjual barang-barang milik
raja adalah untuk mengumpulkan uang karena ingin membeli kembali saudara-saudaranya yang
telah dijual oleh raja.
Sampai pada akhirnya, Selukup dinikahkan oleh raja pada puterinya. Pada saat pesta
pernikahan, para tamu diberikan oleh Selukup dengan piring yang bagus sedangkan raja, yang
tidak lain mertuanya diberikan wadah dengan tempurung. Merasa dipermalukan di depan
umum, raja tidak mapu lagi mengendalikan marahnya. Raja marah sejadi-jadinya kepada
Selukup.
“Kurang ajar sekali engkau Selukup,” kata raja. Melihat raja marah, Selukup pun
mengambil surat perjanjian dan mengantarkannya kepada raja Surat. Karena raja marah, maka
raja pun dijual oleh Selukup, untuk menebus saudara-saudaranya tersebut. Karena raja sudah
dijual, Selukup diangkat menjadi seorang raja di negeri itu.
Cerita Raja
Pada zaman dahulu di suatu negeri, hiduplah seorang raja yang bernama Bulu
Pejarum. Suatu hari Raja Bulu Pejarum tersebut menikah. Setelah lama menikah raja pun
berangkat untuk menempuh suatu perjalanan yang panjang. Sebelum ia berangkat, ia
berkata kepada istrinya, “wahai istriku, kalau engkau melahirkan anak kita nanti, jika laki-laki
engkau pelihara dia tetapi apabila perempuan maka harus dibunuh.”
Setelah lama raja tersebut meninggalkan negeri, istrinya melahirkan seorang anak
perempuan. Karena anaknya perempuan istrinya tidak tega untuk membunuh anaknya
sendiri. Istri raja menitipkan anaknya kepada seseorang yang ada di pedalaman negeri tersebut.
Untuk mengelabui suaminya, ia menguburkan sebuah lesung seolah-oleh kuburan anaknya.
Setelah beberapa lama, raja pun kembali ke negerinya dan ia pun bertanya kepada istrinya.
“Istriku apakah engkau telah melahirkan anak kita?” kata raja. “Sudah,” jawab
istrinya, “akan tetapi saya melahirkan anak perempuan dan telah saya kebumikan sesuai dengan
perintahmu,” sambung istrinya. Raja pun pergi ke tempat yang telah ditunjukkan oleh istrinya
tersebut, untuk memberikan penghormatan kepada putrinya yang telah meninggal dunia.
Sesampainya di tempat tersebut, raja pun melakukan upacara sembahyang di tempat itu.
Di tempat tersebut ada seekor burung gagak, gagak tersebut pun bersuara.
“Gak geriung raja nyembahyang lesung.”
“Eh .... ini manusia apa lesung?” gumam raja. Lagi-lagi gagak berkata yang sama, “Gak
geriung raja nyembahyang lesung.”
Setelah selesai ziarah dan sembahnyangnya, raja pun kembali ke istananya.
Kemudian raja menceritakan kejadian di kuburan anak mereka kepada istrinya. “Tadi gagak
berbicara padaku,” kata raja. Ia mengatakan, “gak geriung raja nyembahyang lesung,” jadi
bukan anak kita yang saya sembahyangi. Istrinya tidak menjawab apa-apa.
Setelah beberapa lama kemudian, anak yang dititipkan oleh istri raja kepada orang
pedalaman dihanyutkan oleh orang yang menjaganya dan diberi nama Dayang Lidi. Dayang
Lidi dibekali dengan dayung yang sudah dan tongkat. Belum berapa jauh perahunya hanyut,
seekor pelanduk bertemu dengan Dayang Lidi. Pelanduk berkata, “hendak kemanakah engkau
Dayang Lidi?” “Aku telah dibuang oleh kedua orang tuaku entah kemanakah arahku, aku
tidak tahu,” kata Dayang Lidi. “Apakah aku boleh ikut denganmu kata pelanduk?” “boleh
saja,” kata Dayang Lidi.
Setelah lama mereka menempuh perjalanan mengikuti arus sungai, banyak sekali yang
mereka temui seperti, babi, elang, kijang, buaya, dan kebomang. Semua makhluk tersebut
menumpang perahu Dayang Lidi. Jadi sekarang perahu tersebut telah terisi tujuh makhluk.
Perjalanan mereka semakin ringan karena banyak yang mengayuh. berikutnya mereka
bertemu dengan Raja Timah. Raja Timah bertanya kepada pelanduk karena mengetahui bahwa
yang mereka bawa adalah keponakannya anak dari Raja Bulu Pejarum. “Kami mengikuti
Abang Lidi,“ kata pelanduk. “Itu bukan abang Lidi, akan tetapi dayang Lidi, dia kan
keponakan saya,” kata Raja Timah. “E…” kata pelanduk, “jangan melawan ini Abang Lidi!!”
“Kalau begitu mari kita menguji apapun bentuk ujian kalian akan kami terima,” kata
pelanduk. “Baiklah,” kata pelanduk kita uji dengan makan keladi satu keranjang satu orang,
jika kami tidak dapat menghabiskan maka akan kalah dan harus menyerahkan
Abang/Dayang Lidi. Selanjutnya, Raja Timah berkata, “kalau kalian menang negeri ini akan
kami serahkan kepada kalian.” “Baiklah,” kata pelanduk.
Esok harinya mereka mulai melakukan pertandingan makan keladi, wakil dari
kelompok pelanduk dan Dayang Lidi adalah seekor babi. Sedangkan lawannya seorang manusia.
Setelah pertandingan selesai, ternyata pertandingan dimenangkan oleh kelompok pelanduk dan
kawan-kawannya. Sudah satu negeri yang mereka dapatkan, mereka pun melanjutkan perjalanan
lagi.
Perjalanan mereka melewati beberapa negeri seperti negeri raja Besi, raja Emas,
sampai tujuh raja yang mereka kalahkan dengan pertandingan yang mereka buat. Akhirnya
seluruh negeri yang mereka lalui dapat mereka taklukan.
Cerita Anak dan Ibunya yang Miskin

Pada suatu kampung yang jauh dari keramaian, tinggallah seorang ibu dan anaknya
yang miskin. Karena ibunya sudah tua tidak dapat bekerja lagi, anaknya selalu pergi ke sungai
untuk memancing ikan. Kalau ada hasil dari memancing ikan tersebut maka ada yang mereka
makan, dan sebagian lagi mereka jual ke pasar untuk keperluan sehari-hari. Namun, sebaliknya
kalau tidak ada hasilnya maka pada hari itu mereka harus berpuasa, karena tidak ada sesuatu
yang dapat dimakan.
Rumah mereka yang kecil, dengan lantainya tujuh keping dan atapnya tiga kajang.
Itulah sebabnya mereka disebut sebagai orang yang miskin. Pada suatu ketika, karena si miskin
ini sudah bosan untuk memancing ikan. Datanglah ia ke rumah saudagar yang sangat kaya. Si
miskin ini berbicara kepada saudagar. Saudagar katanya, saya sering mancing ke sungai,
namun sekarang saya sudah bosan dan ingin cara dari saudagar. Cara yang bisa membuat hidup
saya lebih senang dan nyaman dari sebelumnya. Baik, kata saudagar, saya akan memberimu
cara yang mungkin berguna buatmu. Diambil oleh saudagar, sebuah pancing dan sebuah tali
gulungan, kemudian disiapkan oleh saudagar. Mata pancing tersebut diikat dengan tali,
kemudian diberikan kepada si miskin.
Ini miskin, alat yang dapat aku berikan padamu, kata saudagar. Mengapa ini kata
miskin? Inilah yang sering aku kerjakan setiap hari. Aku minta cara yang lain selain daripada
ini, kalau alat ini, inilah yang sering aku gunakan setiap hari, kata miskin. Inilah cara yang aku
dapat berikan padamu, kalau itu kan hanya pengetahuan kamu, namun ini adalah pemberian
dariku, bukan cara yang engkau dapatkan sendiri, kata saudagar. K alau engkau tidak percaya
dengan aku, tidaklah engkau meminta cara padaku tambahnya lagi. Hampir saja si miskin tidak
mau, selalu meminta cara yang lain. Namun, akhirnya si miskin mau karena penjelasan dari
saudagar tadi. Sampai suatu pagi, datanglah si miskin ke tempat yang biasanya ia pergi
memancing.
Kira-kira pukul 07.00 ia mulai mengulurkan pancingnya, ketika hari sudah siang
sampai menjelang sore pukul 03.00, belum juga pancingnya dimakan oleh ikan. Namun suatu
ketika, pada saat hari sudah sore kira-kira pukul 03.30 menit barulah pancing yang diberikan
oleh saudagar ditangkap oleh ikan.
Ketika mata pancingnya ditangkap oleh ikan, tali yang digunakannya sampai habis
diulurkannya, dibawa oleh ikan memutari sungai. Ia tidak dapat mengangkatnya. Ia tidak dapat
membawanya ke atas. Kira-kira hari sudah hampir malam, barulah pancing yang ia ulurkan
bisa ditarik ke atas, sedikit demi sedikit sampailah ke atas setelah benang pancing yang
diulurnya dibawa oleh ikan tersebut ke seluruh sungai.
Setelah pancing tersebut diangkat ke atas, si miskin kaget melihat apa yang
didapatnya. Ia bukan mendapatkan ikan, namun seorang wanita tua yang lebih tua dari
ibunya sendiri. Dibukanya pancing yang sudah melekat ke mulut wanita tersebut, kemudian
wanita tua itu bicara dengan miskin.
Aku, miskin katanya, terlampau tersiksa diulur dan ditarik oleh engkau, sudah berapa
lama aku berjalan kesana kemari. Miskin katanya lagi, hari ini engkau suami aku besok
engkau juga suami aku katanya. Mendengarkan hal tersebut, tidak dihiraukan oleh miskin, ia
juga tidak menegur wanita tua tersebut.
Ketika hari sudah gelap, si miskin pulang ke rumahnya, dan wanita tua tersebut ikut di
belakangnya. Ketika sampai ke rumah, yang lantainya hanya tujuh keping dan atap tiga kajang,
ia melihat ibunya sedang tidur, si miskin datang ke rumahnya tidak ada membawa apa-apa,
karena tidak ada yang ia dapatkan. Berhari-hari itu mereka tidak makan apa-apa, dan mereka
harus kelaparan pada hari itu.
Wanita tua yang ikut bersamanya duduk juga di lantai tujuh keping tersebut. Setelah
larut malam, si miskin tertidur tanpa menghiraukan wanita tua tersebut. Setelah itu, dalam
malam tersebut wanita tua itupun memohon kepada Allah agar dihadirkan sebuah rumah
bertingkat tiga di tempat si miskin tersebut. Dan lagi dalam rumah tersebut dipenuhi dengan
segala lampu yang indah dan perabotan yang lengkap. Seperti pakaian, piring, mangkok,
seluruh barang yang ada di dalam rumah tersebut lengkap semuanya tanpa kekurangan sesuatu
apapun juga. Si miskin dan ibunya tertidur tidak menyadari apa yang sedang terjadi di
rumahnya, karena mereka terlelap dalam tidurnya.
Setelah beberapa lama kemudian, si miskin terjaga dari tidurnya. Ia merasa ada yang
aneh di rumahnya, tidurnya lain daripada biasanya. Setelah matanya terbuka, ia melihat
rumah yang ditidurinya telah berubah menjadi sebuah rumah yang mewah, bertingkat tiga
dan dihiasi oleh lampu yang menerangi semua ruangan yang ada. Si miskin ini merasa
perutnya teramat kelaparan.
Setelah ia bangun dari tempat tidurnya, ia melihat sebuah tutup saji yang ada di tengah
ruangan, ia sendiri selama itu tidak pernah melihat barang seperti itu. Karena ia sudah amat
sangat kelaparan, si miskin tadi langsung menuju ke tengah ruangan tersebut, ia hanya
melihat seekor kucing yang sedang mengelilingi tutup saji tersebut, wanita tua yang ia
dapatkan dan sungai tidak kelihatan lagi. Entah kemana ia pergi, si miskin pun tidak tahu.
Setelah ia datang ke dekat tutup saji tersebut, ia hanya melihat seekor kucing yang
sedang mengelilingi tutup saji. Setelah ia membuka tutup saji tersebut, ia melihat berbagai jenis
makanan ada di dalamnya. Si miskin hanya ingin makan nasi saja. Berbagai jenis makanan
yang ada di situ seperti bermacam-macam roti, nasi, beserta lauk pauk lengkap di dalamnya,
ada ikan, sapi, dan lain sebagainya. Setelah itu makanlah si miskin karena melihat barang
tersebut yang bisa dimakannya.
Kucing hanya bisa melihatnya saja, dan selalu mengelilingi si miskin makan. Ketika
kucing itu berada di sebelah kanannya ditolaknya ke kiri, ketika kucing itu lewat dari
sebelah kirinya ditolak nya juga ke kanan. Ketika berada di depannya lain ditendangnya.
Begitu seterusnya. Setelah si miskin kenyang, ia menutup kembali tutup saji dengan rapat, si
miskin tidak menghirau kucing tersebut ia tidak mau memberi kucing itu makan.
Setelah ditutupnya dengan rapat tutup saji itu, duduklah si miskin dengan perut yang
sudah kenyang. Setelah ia duduk dengan baik, datanglah seorang wanita dan duduk di
sampingnya, wanita tersebut adalah wanita yang didapatkannya pada saat memancing di
sungai tadi. Namun wujudnya telah berubah menjadi seorang wanita yang sangat cantik. Di
negeri mereka tidak ada yang sebanding dengan wanita tersebut. Setelah itu berkatalah ia
kepada si miskin.
Miskin katanya, engkau makan, sampai hati engkau seumur hidupmu tidak pernah
engkau makan sebanyak ini dan seumur hidupmu juga belum pernah kamu mendapatkan
rumah sebagus ini. Engkau makan, katanya lagi, apa yang engkau inginkan semuanya ada,
seumur hidupmu tidak pernah kamu memakan sebanyak ini. Aku menggoda engkau, dengan
menyerupai seperti kucing, mengapa ketika kucing sibuk mengelilingimu, engkau tolak ke
sana kemari, yang ditendang olehmu. Sedikit engkau tidak mau memberinya makan. Itu
bukan hartamu, itu semuanya hasil dariku, cintaku, kekasihku dengan engkau miskin,
kekayaan aku, kepintaran aku, yang aku hidangkan buatmu. Sekarang hanya seekor kucing
saja tidak kau berikan makan. Padahal apa yang engkau makan masih terlalu banyak dan tidak
mungkin dapat engkau habiskan.
Maka tidak ada gunanya engkau kaya, apalagi semuanya itu engkau dapatkan dari
jerih payahmu, maka tidak ada seorangpun yang datang mengharapkan kasihmu yang
mendapatkannya, karena engkau terlampau kikir dengan hartamu. Maka daripada itu tidak ada
gunanya engkau menjadi orang kaya. Sekarang aku pulang ke alamku.
Setelah hari mulai gelap wanita itupun pergi meninggalkan si miskin. Tinggalah si miskin,
duduk di rumah yang telah berubah seperti sedia kala, lantai tujuh keping dan atap tiga kajang.
Cerita Ikan Gabus

Pada sebuah danau yang sudah kering airnya, terdapatlah seekor ikan gabus yang besar
yang telah ditinggal mati anak dan cucunya. Air yang ada di danau tersebut hanya tersisa
sedikit, hanya ada di bawah dadanya saja.
Suatu ketika, datanglah seekor burung pekaka, yang sering mencari mangsanya
yaitu ikan. Setelah berkeliling ke seluruh danau, sampailah burung itu ke tengah danau yang
tinggal ceruk-ceruknya sedikit. Ia melihat seekor gabus yang hidup di tengah ceruk-ceruk danau
tersebut. Nah ... berkata burung pekaka dapatlah saya mangsa hari ini, itu ada seekor gabus
yang besar, yang ada di sebuah danau yang airnya sudah kering.
Ya... gabus itu berkata, jangan engkau memakan aku dahulu, dimakan oleh engkau aku mati
tidak dimakan aku juga akan mati kata gabus dalam danau yang airnya sudah kering. Anak
cucu aku sudah habis mati, coba lihat belakangku telah kering airnya tertinggal sedikit di bawah
dadaku katanya lagi. Tapi, nanti engkau memakanku, dengar dulu timangku. Baiklah kata burung
pekaka.
Kemudian ditimang oleh ikan gabus tersebut dengan nada yang merdu, begini
katanya:
"Anak Angang burung Pekaka tingang mengawang dalam rima', menuk boruk nungal perdukala
ular lidi naga jentera, urang tua berbalit muda, patut lah Pekaka menjadi raja".
Dengan senang hati si pekaka mendengar timang ikan gabus itu, ia ditimang akan menjadi
seorang raja. Terbang ke sana ke mari, mengelilingi danau, ia belum memakan gabus ini.
Terbang ke sana ke mari kegirangan karena akan menjadi seorang raja. Tanpa sadar ada sebuah rotan
yang berduri di lintasan terbangnya. Leher burung pekaka tersangkut di rotan berduri.
Burung pekaka mati sebelum sempat memakan ikan gabus tersebut.
Setelah itu, datang lagi seekor burung enggang. Setelah burung ini terbang berkeliling, ia
mencari ikan juga. Ia terbang di seluruh penjuru danau, dari tepi ke tepi sambil mengeluarkan
suaranya, a...a...a...akhirya datang ke tengah danau melihat ada sedikit air yang ada di ceruk
danau tersebut. Ia melihat seekor gabus, iapun bersuara. Eh…katanya besar sekali gabus
yang ada di sini. Pastilah kenyang aku memakannya. Ya, kata gabus menjawabnya, dimakan
engkau aku mati tidak dimakan aku juga akan mati katanya. Anak cucuku sudah habis mati
karena ditinggal air yang sudah kering. Tapi, nanti engkau memakan aku, katanya lagi, engkau
dengar dulu aku akan menimangmu, engkau dengar ya tingang, katanya. Ya, kata tingang.
Tingang mendengar gabus menimang sebelum makan gabus tersebut. Ditimang oleh gabus itu:
"Anak Angang burung Pekaka tingang mengawang dalam rima', menuk boruk nungal perdukala
ular lidi naga jentera, urang tua berbalit muda, patut lah Tingang menjadi raja".
Tingang terbang dengan suara khasnya, dan berputar di sekeliling danau dan hutan
sekitarnya, kesana-kemari. Setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi karena senangnya dipangkat
akan menjadi raja. Akhirnya tangkung dari tingang itu tertusuk sebuah kayu bercabang yang
ada di rimba tersebut, sehingga tembus dan iapun jatuh ke tanah dan mati.
Setelah tingang tersebut mati, datang lagi seekor boruk tungal (beruk, sejenis kera)
mencari mangsa apa saja yang bisa ia makan, sambil mengelilingi danau. Kemudian setelah
menempuh perjalanan yang cukup jauh, sampailah ia ke tengah danau yang airnya sudah
kering dan melihat seekor gabus yang besar.
Kemudian berkatalah beruk itu, nah kenyanglah aku hari ini mendapat seekor gabus yang
besar ini, aku tidak mungkin akan kelaparan, katanya lagi. Gabus tersebut lagi-lagi menjawab
seperti biasanya, ya, kata gabus menjawabnya, dimakan engkau aku mati tidak dimakan aku
juga akan mati katanya. Anak cucuku sudah habis mati semuanya, karena di tinggal air yang
sudah kering, tinggallah aku seorang diri yang masih bisa bertahan hidup di sini. Tapi, nanti
dulu sebelum engkau memakanku, engkau dengar aku akan menimangmu, sudikah engkau
mendengarnya boruk tungal? katanya. Ia berkata, boruk tungal baiklah cobalah engkau
menimang, aku akan mendengarmu. Baiklah, kata gabus dengarkan timanganku:
"Anak Angang burung Pekaka tingang mengawang dalam rima', menuk boruk nungal perdukala
ular lidi naga jentera, urang tua berbalit muda, patut lah Boruk Tungal menjadi raja".
Lalu boruk itu tadi, senang dengan mengeluarkan suaranya, ruk…ruk..ruk, katanya.
Melompat ke sana ke mari ke seluruh penjuru danau. Ia senang karena akan menjadi seorang
raja, akhirnya ia melompat ke sebuah pohon yang tinggi dan tersangkut pada sebuah dahan
yang sudah rapuh. Dahan itu patah, iapun terjatuh ke tanah, perutnya pecah dan iapun mati.
Setelah itu datang seekor ular naga, berjalan kesana kemari . Ia mencari mangsa.
Akhirnya datang ke tengah danau itu dan melihat seekor gabus. Eh, kata ular naga
kenyanglah aku makan hari ini, dimakan sekali dari kepala sampai ke ekor. Ditelan sekali
langsung habis, katanya. Lagi-lagi gabus menjawab senada dengan sebelumnya, dimakan
engkau, aku mati tidak dimakan aku juga akan mati katanya. Anak cucuku sudah habis mati
semuanya karena ditinggal air yang sudah kering.
Tapi, nanti engkau memakan aku, katanya lagi. Engkau dengar aku akan menimangmu,
engkau dengar ya? Katanya kepada ular naga. Mendengar gabus menimang dan ia belum
memakan gabus tersebut. Ditimang oleh gabus itu, ular naga mendengarkan dengan seksama:
"Anak Angang burung Pekaka tingang mengawang dalam rima', menuk boruk nungal perdukala
ular lidi naga jentera, urang tua berbalit muda, patut lah Ular Naga menjadi raja".
Karena, senangnya ular naga itu, karena diiming-imingkan akan menjadi seorang
raja, ia merayap ke sana ke mari dengan gesitnya, karena senang. Akhirnya, ia meluncur ke tepi
danau dengan kurang waspada. Ular itu lalu menabrak sebuah batu, dan kepalanya pecah. Iapun
mati di tempat itu.
Berselang beberapa waktu, kemudian ada seorang laki-laki tua yang sedang mencari
ikan di danau. Sebagaimana biasanya kalau air telah kering, terdapat ikan yang ada di sana.
Setelah sampai di ceruk danau tersebut, ia melihat seekor gabus yang besar ada di sana. Oh,
katanya dalam hati, ada ikan gabus rupanya di sini. Setelah itu, dilepasnya sabit (sejenis alat
untuk mengambin barang dsb.) yang ada di belakangnya. Kemudian diambilnya gabus itu dan
dimasukkannya ke dalam sabit tersebut. Kepala gabus menhadap ke atas dan ekornya ke
bawah. Setelah itu, dibawanya pulang menyusuri tepi sungai.
Setelah jalannya agak lama, dan desanya pun sudah kelihatan. Tiba-tiba terdengar suara dari
dari belakangnya. Hai orang tua, kata gabus. Orang tua itu diam saja dan tidak menyahutnya,
panggilan kedua belum juga. Diselidikinya sumber suara itu. Rupanya gabus yang di dalam
sabitnya yang bersuara. Orang tua itu bergumam dalam hati, seperti dari tempat yang dekat,
dipanggil lagi oleh gabus itu ketiga kalinya. Hai orang tua, katanya. Oh..kata orang tua itu,
mau kah engkau mendengar timanganku kata gabus itu. Boleh, kata orang tua sambil berjalan
terus, baiklah kata gabus dengarkan: "Anak Angang burung Pekaka tingang mengawang dalam
rima', menuk boru' nungal perdukala ular lidi naga jentera, urang tua berbalit muda, patut lah
urang tua menjadi raja".
Mendengar timangan tersebut, orang tua itu lupa diri dan menabrak akar kayu di
bawahnya. Ia terjatuh dan ikan gabus itu meloncat ke sungai, karena tidak jauh dari sungai.
Orang tua itu melihat ke belakangnya, tidak ada lagi gabus di situ. Kemudian ia melihat ke
sungai itu, gabus telah berenang dengan bebas. Akhirnya bebaslah gabus itu.
Cerita Apang Sekumang dan Apang Saji

Tersebutlah pada zaman dahulu di sebuah perkampungan yang terletak di perhuluan


sungai Embau. Di perkampungan tersebut terdapat dua buah rumah yang tidak berjauhan. Di
sebuah rumah tersebut tinggallah seseorang yang bemama Apang Sekumang dan bertetangga
dengan Apang Saji sekeluarga. Suatu ketika Apang Sekumang bermaksud hendak mencari
binatang buruan ke sebuah tempat di perhuluan sungai yang dikenal dengan nama Titin
Kedingkil.
Pada suatu sore, Sekumang berkunjung ke rumah tetangganya Apang Saji. Ia ingin
memberitahukan kepada tetangganya bahwa esok harinya ia akan pergi ngelangai (memasang
perangkap binatang) ke Tintin Kedingkil. Pada saat berada di rumah tersebut, Sekumang
berbicara kepada tetangganya Apang Saji. Pak, saya bermaksud hati akan pergi ngelangai ke
Titin Kedingkil katanya, kalau saya belum mendapat apa yang saya inginkan saya belum
mau pulang, sambungnya lagi. Kalau terjadi apa-apa dengan rumahku, seperti kebakaran dan
ataupun terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan, saya minta tolong agar apa' mau melihatnya.
Baiklah, kata Apang Saji saya akan menjaganya sesuai dengan apa yang engkau
inginkan. Tiba masanya, berangkatlah Sekumang ke tempat yang menjadi tujuannya, dengan
menggunakan perahu besar. Dalam perjalanan mudik, di sebuah tanjung pertama yang ia
lewati ia bertemu dengan seekor pelanduk. Pelanduk itu bisa berbicara, dan memanggilnya.
Mau kemanakah engkau sami' (Tuan)? Kata pelanduk itu. Saya mau pergi ngelangai ke
Tintin Kedingkil, Sekumang menjawabnya. Pelanduk itu berkata lagi, bolehkah saya ikut
denganmu? Boleh, daripada sendiri lebih baik berdua, ajak Sekumang. Naiklah si pelanduk ke
dalam perahu tersebut, dan mereka mendayung perahu bersama-sama. Sekumang di kemudi dan
pelanuk di depannya.
Setelah perahu mereka berjalan terus melewati tanjung demi tanjung. Mereka melewati
tanjung berikutnya dan bertemu dengan seekor kura-kura. Kura-kura tersebut juga memanggil
mereka berdua. Hendak kemanakah sami' Kumang, pelanduk?, kura-kura itu berkata. Kami
berdua hendak pergi ke Titin Kedingkil, kami hendak pergi ngelangai. Sekumang
menjawabnya. Kura-kura ini berkata lagi, apa bolehkah saya ikut dengan kalian berdua?
Mengapa tidak, daripada berdua lebih baik bertiga, dengan senang hati Sekumang
menjawabnya. Sekarang sudah mereka bertiga yang berada dalam perahu itu, mereka
mendayung perahu dengan kompaknya. Setelah jauh mereka mendayung, pada tanjung
berikutnya mereka bertiga bertemu dengan kijang. Kijang tersebut juga menyapa mereka.
Hendak kemanakah tujuan sami' bertiga, kata si kijang. Seperti biasanya senada dengan apa
yang mereka jawab sebelumnya. Kami akan pergi ke Tintin Kedingkil hendak ngelangai ke
sana mencari lauk pauk untuk keperluan sehari-hari, Sekumang menjawabnya. Kata kijang
itu lagi, bolehkah aku mengikuti kalian bertiga? Dari pada bertiga lebih baik berempat, kata
Sekumang.
Kemudian naiklah si kijang ke dalam perahu itu mengikuti mereka bertiga. Dan
jumlah mereka sekarang menjadi empat di dalam perahu itu. Karena tujuannya masih begitu
jauh, mereka terus mangayuh perahu itu dengan gesit.
Pada saat mereka melewati tanjung berikutnya, mereka bertemu dengan seekor rusa.
Rusa itu juga menyapa mereka. Kemanakah tujuan kalian berempat? Berkata rusa. Kami hendak
ngelangai ke Tintin Kedingkil, Sekumang selalu menjawabnya. Rusa itu berkata lagi,
bolehkah aku ikut bersama kalian? Mengapa tidak boleh, daripada berempat lebih baik berlima,
kata Sekumang. Naiklah rusa ke dalam perahu mereka, dan ikut bersama-sama mendayung
perahu itu. Beban yang mereka rasakan semakin ringan karena banyak yang membantu
mengayuh perahu tersebut. Pada tanjung berikutnya mereka bertemu lagi dengan seekor
banteng. Banteng itu juga menyapa mereka. Hendak pergi kemanakah kalian? kata banteng itu.
Kami hendak pergi ke Tintin Kedingkil guna ngelangai burung dan binatang lain, kata
Sekumang. Bolehkah saya bersama kalian? Mengapa tidak, daripada berlima lebih baik berenam.
Sekarang mereka sudah berenam yang ada di perahu itu, kemudian mereka mulai berangkat
lagi menuju tempat yang menjadi tujuan mereka semula.
Kemudian pada tanjung berikutnya mereka bertemu dengan seekor harimau. Harimau
itu memanggil mereka. Kemanakah tujuan kalian berenam?, katanya. Kami hendak pergi ke
Tintin Kedingkil, untuk ngelangai mencari burung dan lainnya. Bolehkah saya turut ikut
dengan kalian, kata harimau lagi. Daripada berenam lebih baik bertujuh. Setelah itu, turutlah
harimau itu bersama mereka dan mereka meneruskan perjalanan mereka lagi.
Setelah menempuh perjalanan yang panjang sampailah mereka ke tempat tujuan
yaitu ke Titin Kedingkil. Setelah sampai di sana, mereka membuat pondok untuk mereka
bermalam di sana. Ada yang mencari kayu buat tiangnya, ada yang mencari daun untuk atap,
akar untuk mengikatnya dan lain sebagainya. Setelah selesai, mereka membuat pondok tersebut.
Esok harinya mereka pergi ngelangai, ada yang memasang bubu ke sungai dan lain sebagainya.
Setelah mereka pulang dari pekerjaan mereka itu, mereka membawa hasil yang banyak.
Selain dimakan mereka sebagai keperluan sehari-hari, ada yang disalai. Pada hari berikutnya,
sebelum berangkat Sekumang berkata, siapakah yang akan menunggu salai yang masih ada di
atas tempat pengasapan?, kata Sekumang. Kata harimau dan banteng, kalau melihat besar dan
gesitnya, kami berdualah yang pantas untuk menjaganya. Baiklah, kata Sekumang, tapi kalau
ada yang mau mengambilnya jangan dikasih, harus dijaga dengan hati-hati. Baiklah, kata
mereka berdua. Setelah itu berangkatlah mereka, pergi mencari lagi untuk menambah hasil,
yang telah meraka dapatkan. Tinggallah harimau dan banteng yang menjaga salai mereka,
yang ada di tempat pengasapan tersebut.
Pada suatu ketika, datang seseorang Antu Panyang (hantu panjang), dan bertanya kepada
mereka berdua. Apa yang sedang kalian berdua lakukan, sami' banteng, harimau? Kata Antu
Panyang. Kami berdua sedang menjaga salai, yang kami dapatkan kemarin. Bolehkah saya
memintanya? Tidak boleh, kata mereka berdua, kalau engkau memintanya apa yang akan kami
makan. Kalau begitu, kata Antu Panyang, ini saya rampas dengan paksa. Diambil oleh Antu
Panyang salai yang ada di atas parak tersebut. Kemudian ditendang oleh harimau dan
banteng, namun Antu Panyang membalasnya, dan tidak dapat mereka kalahkan. Akhirnya,
salai yang ada di atas para' dirampas semua tersebut oleh Antu Panyang, kemudian pergi
meninggalkan banteng dan harimau, yang sudah kalah melawannya.
Kemudian, setelah lama, datanglah Sekumang dan kawan-kawan. Salai mereka sudah
tidak ada lagi. Setelah itu, bertanya Sekumang kepada banteng dan harimau. Hilang kemanakah
salai yang ada di parak kita ini ? Kata Sekumang. Banteng dan harimau menjawab, sudah
habis diambil oleh Antu Panyang. Dia sangat kuat, kami berdua tidak dapat melawannya. Ya
Allah, besok saja kami membalasnya, kata rusa, babi dan kijang . Kita bertiga besok pagi
menjaga salai. Mustahil kita bertiga bisa kalah dengan satu orang.
Esok harinya, mereka berangkat, kecuali rusa, babi dan kijang. Dalam perjalanan harimau
dan banteng bercerita. Bagaimanakah kesudahan mereka bertiga? Kita berdua saja kelabakan
melawannya, aka besar dan tandukku juga panjang, kata benteng. Engkau kuat, kukumu
tajam, taringmu juga panjang, tidak mampu melawan Amu Panyang, kata mereka berdua.
Setelah kembali dari ngelangai, mereka mendapatkan kejadian serupa. Salai mereka
habis. Sekumang kembali bertanya, kemana perginya salai mereka? Mereka yang bertugas
menunggu salainya berkata, Antu Panyang memang kuat dan tidak mampu kami
melawannya, yang satu melempar ke sana dan ke sini, namun Antu Panyang terlalu kuat buat
kami, sampai akhirnya kami kalah melawannya.
Sudah dua parak yang dibawa pergi oleh Antu Panyang. Tidak ada makanan yang
tersisa lagi selain yang mereka dapatkan pada hari itu. Ya, sudahlah, besok kata kura-kura dan
pelanduk, kami berdua si bodoh ini yang akan menjaga salai kita. Eh..kata yang lain, yang kecil
seperti kalian yang mau menjaganya. Sedikit saja disentuh oleh Antu Panyang di pegang leher
diangkat langsung mati, remeh mereka. Eh..kata kura-kura dan pelanduk, lihat saja nanti, belum
tentu. Baiklah, kata Sekumang, besok giliran kalian berdua, untuk menjaganya, tapi hati-
hati saja. Baiklah, kata mereka berdua.
Seperti biasanya, Sekumang dan kawan-kawan pada hari berikutnya pergi untuk mencari
tambahan penghasilan mereka, agar bisa dibawa mereka pulang ke tempat masing-masing.
Setelah mereka pergi, pelanduk berbincang dengan kura-kura. Kura-kura, katanya, tolong
ikatkan kakiku ini. Baiklah, kata kura-kura itu. Setelah beberapa waktu kemudian, datanglah
Antu Panyang. Lagi-lagi hantu itu bertanya. Apa yang kalian berdua sami' pelanuk dan kura-kura
lakukan? Katanya. Kami berdua ditugaskan menjaga salai ini, kata mereka berdua. Bolehkah
saya meminta salai kalian? Kata antu Panyang. Boleh, kata mereka berdua, tapi jangan
dihabiskan, kalau dihabiskan tidak ada yang kami makan. Setelah Antu Panyang itu selesai
makan salai dilihatnya pelanduk yang sedang terikat kakinya. Apa yang sedang engkau lakukan
sami' pelanduk?, kata Antu Panyang. Kaki saya sakit, saya minta diikat oleh kura-kura supaya
kaki saya bisa lurus kembali, kata pelanduk. Oh...kalau begitu, aku juga mau begitu, karena kaki
dan tangan saya juga sakit, kata Antu Panyang. Maukah kalian berdua menolong mengikatkan
tali ke kaki dan tanganku? Biar bisa sembuh. Baiklah, kata pelanduk dan kura-kura. Diikat oleh
mereka berdua kaki dan tangan Antu Panyang. Setelah diikat dengan kuat dan tidak bisa
dibuka lagi kemudian mereka mengambil sebuah damar yang biasa digunakan untuk orang
menghidupkan api. Damar tersebut dibakar oleh mereka. Kemudian, damar itu akan
dilelehkan ke mata Antu Panyang. Antu Panyang berkata, kalian berdua mau membunuh
aku? Nanti aku mati, dilelehkan dengan itu, katanya lagi. Oh..kata pelanduk dan kura-kura,
mengapa kamu sering mencuri salai kami, sudah dua para' yang engkau ambil. Kalau engkau
tidak member tahu di mana engkau menyimpan salai kami, engkau akan kami bunuh, kata,
mereka lagi. Baiklah, kata Antu Panyang, saya menyimpannya di sebuah tempat, yang tidak
begitu jauh dari sini. Di situ terdapat sebuah pohon besar, di sanalah aku menyimpannya. Ambil
saja ke sana.
Setelah Antu Panyang memberitahukan itu, diambil mereka damar tersebut yang sudah di
bakar dengan api, kemudian dilelehkan ke mata dan ke seluruh tubuh Antu Panyang. Dan akhirya
Antu Panyang mati. Setelah mati hantu itu diseret mereka berdua ke belakang pondok mereka.
Setelah sore, Sekumang dan kawan-kawan kembali ke pondok. Mereka heran, tidak
seperti biasanya. Salai mereka masih utuh. Mereka berkata, mungkin Antu Panyang tidak
datang ke sini hari ini. Mereka bertanya kepada kura-kura dan pelanuk. Apa kabar, kura-kura
dan pelanduk? Kata mereka. Eh..kabar baik, kata mereka berdua. Apakah Antu Panyang tidak
datang datang kemari hari ini? Nanti dulu ceritanya, kalian semua. Tolong ambil salai kita yang
ada di sebuah kayu yang besar yang ada di dekat sini, Antu Panyang menyimpannya di sana.
Ah..kata mereka, yang benar saja ada di sana? Lihat saja kalian ke sana, kata mereka berdua.
Berangkatlah mereka mencari, tempat yang telah disebutkan. Setelah sampai ke tempat itu,
ternyata memang benar, mereka menemukan salai yang telah dibawa oleh Amu Panyang beberapa
hari yang lalu. Setelah itu, mereka membawanya ke pondok. Mereka bertanya, karena penasaran.
Dimanakah Antu Panyang sekarang? Kata mereka. Kalau kalian ingin melihat Antu Panyang, dia
sekarang ada di belakang pondok kita, dia sudah mati sekarang, kata pelanduk dan kura-kura.
Setelah itu datanglah mereka ke belakang pondok tersebut, untuk melihat Antu Panyang.
Setelah tiba di sana betapa terkejutnya mereka, melihat Antu Panyang telah tewas dibunuh oleh
kura-kura dan pelanduk. Mereka berkata, dengan takjubnya, kepada sesama teman mereka.
Pelanduk dan kura-kura, kalau kita lihat dari badan mereka betapa kecilnya, dan betapa lemahnya,
kalau dibandingkan dari kita. Namun karena mereka banyak akalnya, mereka justru bisa lebih kuat
dari kita, berkata harimau, banteng, rasa dan yang lainnya.
Setelah itu, mereka berencana akan kembali pulang ke tempat masing-masing, karena telah
banyak salai yang mereka dapatkan. Dalam perjalanan pulang, masing-masing mereka singgah di
tempat mereka masing-masing. Masing-masing membawa bagian hasil mereka ngelangai.
Tinggallah Sekumang yang masih ada di perahu besar tersebut. Ia kembali mendayung menyusuri
arus sungai. Akhirnya sampailah ia ke rumahnya.
Pada saat ia sampai ke rumah, ia mengasap kembali salai yang dibawanya. Karena ada
sebagian dan bawaannya ada yang belum matang. Setelah ia mengasap salainya, Apang Saji
tetangganya melihat ada asap yang berasal dari rumah Apang Sekumang. Melihat itu Apang Saji
memanggil isterinya. Oi...Konyi'-Konyi', berkata Apang Saji memanggil isterinya, rumah Apang
Sekumang kebakaran, habislah rumah apang Sekumang termakan api, mari kita berdua ke sana,
tambahnya lagi.
Berangkatlah mereka berdua menuju ke rumah Apang Sekumang, dan sesampainya di sana
di potong oleh mereka ubi, pohon pisang agar tidak hangus terbakar. Eh..kata Apang Sekumang,
mengapa semuanya di potong, sekarang aku dah sampai katanya. Benar-benar saja, kata Apang
Saji. Eh..kata apang Sekumang cobalah bapak naik ke atas rumahku. Setelah Apang Saji dan
isterinya naik ke rumah Apang Sekumang, mereka melihatnya sedang mengasap salai. Dan
Apang Saji berkata kepada isterinya. Eh...Konyi' berkata Apang Saji? betapa banyaknya Apang
Kumang dapat, puaslah makan. A... pak, ambil saja apa yang bapak inginkan, salai atau lauk
yang lain.
Setelah mereka pulang dan membawa pemberian Sekumang. Apang Saji berkata pada
isterinya. Eh..katanya, ya Allah, Konyi', lusa aku berencana berangkat. Ngikut Apang
Sekumang banyak dapatnya, puas makan. Yang benar saja mau ngikut seperti Apang
Sekumang, apakah bisa nantinya, kata isterinya. Eh..katanya lagi, aku lebih tua dari Apang
Sekumang, apa kalau Apang Kumang katanya lagi, aku ini lebih tua darinya. Tidak ada yang bisa
melawan aku, kata Apang Saji.
Esok hariya, berangkatlah Apang Saji dengan membawa persiapan seperlunya. Ia
berangkat menggunakan sebuah perahu yang besar ke Tintin Kedingkil. Pada saat ia mulai
mendayung perahunya, di sebuah tanjung pertama ia bertemu dengan seekor pelanduk. Dan
pelanduk itu memanggilnya. "Kemana Apang Saji?, kata pelanduk". "Aku mau ke Tintin
Kedingkil seperti Sekumang, ngelangai ke sana mencari lauk, kata Apang Saji". Kalau begitu,
aku mau ikut denganmu. Boleh saja, daripada sendiri lebih baik berdua. Naiklah pelanduk ke
dalam perahu dan ikut dengan Apang Saji. Ketika ke pelanduk itu naik ke dalam perahunya,
terlintas di dalam pikiran Apang Saji, pantaslah Apang Sekumang banyak mendapatkan
hasil, pelanduk ini besar, naik sendiri ke perahu. Pisau sudah di dekatnya, di pegangnya
pisau tersebut, kemudian perlahan-lahan ia menikam pelanduk itu dengan pisaunya dari
belakang. Kemudian karena terkejutnya pelanduk itu, melihat Apang Saji mau menikamnya,
cepat-cepat ia melompat ke tepi sungai.
Eh..kata Apang Saji, lepas pula pelanduk itu.
Setelah itu, ia kembali mengayuh perahunya, dan bertemu dengan kura-kura. Begitu naik
ke perahunya juga akan dibunuh olehnya untuk lauk. Kemudian bertemu dengan kijang, rusa
semuanya mau dibunuhnya, namun ia tidak pernah berhasil. Setelah itu, pada tanjung
berikutnya, Apang Saji bertemu dengan banteng. Ketika itu, ia mau menikam banteng
dengan pisaunya, banteng tersebut mengelakknya dan ditendang oleh banteng tersebut dan
kepalanya dihentakkan ke batu-batu kerikil yang ada di tepi sungai. Kepalanya sudah
seperti enggang bulan, ia hanya mampu terbangun dan menimba perahunya, ia kemudian
terbaring mengikuti arus.
Apang Saji belum sempat sampai ke tujuannya telah kembali dalam keadaan setengah
mati. Setibanya di rumah, ia disambut oleh anak-anaknya, Seduk, Seliuk, Selangkung dan
Selanak. Anak-anaknya memanggil ibu mereka. “Umak, Apang bawa enggang bulan, kata
mereka. Mendengar perkataan anak-anaknya, dalam keadaan setengah sadar, Apang Saji
menjawab, "mata buruk, mata lojit" enggang bulan apa, ini kepalaku, sudah hampir pecah,
diinjak banteng. Akhirnya Apang Saji dibawa masuk ke rumah tanpa membawa hasil dan
kemudian diobati.

Anda mungkin juga menyukai