Anda di halaman 1dari 25

Rudi Fitrianto, [18/11/2023 6:10]

“Bunda, kok foto profil hape Ayah foto tante-tante? Ini foto siapa, Bun?”

Apa?

Aku tersentak mendengar pertanyaan Giska, anakku satu-satunya yang berusia 7 tahun.

Segera, aku membuka kontak ponsel Mas Agung di aplikasi berwarna hijau dan mengeklik foto profilnya.

Benar saja. Ada foto seorang wanita muda berpakaian seksi dengan rambut sebahu. Segera saja aku
simpan foto itu di galeriku.

“Oh, itu mungkin teman sekantor Ayah, Gis. Biasa, teman-teman Ayah suka pada iseng,” jawabku
mencari alasan yang tepat agar dia tak berburuk sangka pada ayahnya.

Untung saja aku sempat menyimpan foto tersebut karena sekitar tiga menit kemudian, foto profil itu
telah berganti menjadi gambar kaligrafi. Mungkin saja tadi Mas Agung salah pencet. Tapi kenapa dia bisa
menyimpan foto wanita itu? Lalu siapa sebenarnya wanita itu? Aku harus menyelidikinya.

Aku pun mengirim foto tersebut menggunakan aplikasi hijau kepada seseorang.

[Do, tolong cek ini foto siapa. Cepet, nggak pake lama.]

Dido adalah teman sekantor suamiku. Dia adalah orang kepercayaan Om Beni, sang direktur utama. Om
Beni sendiri adalah sahabat dekat almarhum Papa. Sejak aku kecil, Om Beni sangat menyayangiku. Atas
bantuan Om Benilah Mas Agung yang hanya lulusan SMA bisa mendapatkan pekerjaan dan jabatan yang
bagus di perusahaan itu.

Hanya saja Mas Agung tidak menyadarinya.

[Ini sih foto si Yuyun, Ra. Karyawan di sini. Tapi belum lama dia kerja di sini dan belum menjadi karyawan
tetap pula. Emang kenapa, Ra?]

[Tolong kirim nomor ponselnya ke aku, Do.]

Setelah Dido mengirim nomor ponsel si Yuyun, segera aku simpan. Kulihat foto profil wanita itu persis
sama dengan foto profil ponsel suamiku di aplikasi hijau. Tulisan kaligrafi yang sama.

Aneh. Kok bisa sama?

Aku memutuskan untuk menghubungi suamiku.

“Halo. Asalamualaikum, Mas.”

Hening.

Diangkat. Tapi tidak ada suara.


“Halo? Kamu di mana Mas?”

“Halo? Maaf, i-ni dengan s-siapa?” Terdengar sahutan dari seberang sana.

Deg. Suara perempuan. Siapa dia?

“Halo, ini siapa? Kenapa ponsel suami saya ada pada Anda?” tanyaku gusar.

Tut ... tut ... tut.

Kok dimatikan? Aku jadi makin penasaran. Apa mungkin kamu mengkhianatiku, Mas?

***

Suara mobil memasuki halaman. Sepertinya Mas Agung pulang. Tumben masih siang sudah pulang.

“Asalamualaikum.”

“Wa alaikum salam, Mas. Kok tumben sudah pulang?”

“Dek, lihat ponsel Mas, nggak? Sejak tadi dicari-cari nggak ketemu. Sampai-sampai Mas ikut meeting
dengan Pak Beni sejak tadi pagi nggak pegang ponsel.”

Apa? Mas Agung sejak pagi meeting dengan Om Beni?

Diam-diam aku minta Dido untuk mengecek kebenarannya.

[Pak Agung sejak pagi memang meeting bareng Pak Beni, Ra. Ada apa sih sebenarnya?]

Aku sedikit lega membaca jawaban Dido.

“Kamu yakin, Mas, nggak tahu ponselnya di mana?” selidikku.

“Iya, Dek. Tapi kalau nggak ada di rumah, mungkin di kantor. Tadi Mas buru-buru diajak Pak Beni ke
lapangan.” Sepertinya Mas Beni tidak berbohong.

“Hm ... kayaknya ... ponsel Mas dipegang Yuyun,” ujarku hati-hati.

“Hah? A-apa?” Raut wajah suamiku tampak begitu cemas.

“Kenapa, Mas? Kok kaget gitu?”

“Wah, bahaya kalau ponsel aku sama dia, Dek. Dia wanita nggak bener.” Mas Agung kelihatan bingung.
Ia mondar-mandir.

“Maksud Mas?”
“Di-Dia beberapa kali menggodaku di kantor. Bukan cuma aku, tapi beberapa teman di kantor pernah
dia ganggu. Bahkan Pak Bandi sampai ribut sama istrinya. Tapi kamu tenang aja. Aku sudah lapor ke Pak
Beni. Kemungkinan dia akan di keluarkan bulan depan.”

Aku merasa lega mendengar penjelasan suamiku. Walaupun belum percaya seratus persen. Hal ini bisa
aku cek lagi nanti dengan Dido dan Om Beni.

“Ayo, Dek, ikut.”

“Loh, ke mana, Mas?”

“Aku tahu kamu belum yakin dengan penjelasan Mas tadi. Pasti si Yuyun sudah bikin kamu nggak
tenang. Sekarang kamu ikut aku ke kantor. Biar kamu yang mintain ponselku ke Yuyun.”

Mas Agung menggandengku ke mobil. Kami pun pergi menuju kantornya.

Rudi Fitrianto, [18/11/2023 6:10]

Semoga suamiku benar-benar tidak tergoda oleh Yuyun si pelakor itu.

Tidak ada percakapan selama perjalanan menuju kantor. Rasa penasaranku pada wanita yang bernana
Yuyun itu makin menjadi karena melihat kegelisahan pada sikap suamiku. Mobil ini ber-AC, tapi dia
berkeringat. Ia membawa mobilnya pun dengan kecepatan rendah. Apa dia sengaja?

“Selamat sore, Pak Agung,” sapa sekuriti kantor saat kami memasuki pintu utama.

“Sore, Pak Amir. Apa semua karyawan sudah pulang?”

“Sebagian sudah, Pak. Tapi Pak Beni dan beberapa karyawan masih ada di lantai atas. Oh ya, Pak. Ini tadi
ada titipan ponsel milik Bapak dari Mbak Yuyun sebelum dia pulang tadi.” Pak Amir memberikan amplop
cokelat yang berisi ponsel suamiku.

Aku melihat senyum kelegaan pada wajah Mas Agung. Entah lega karena ponselnya ditemukan atau
karena aku tidak jadi bertemu dengan si Yuyun itu.

“Oh ya, terima kasih, Pak Amir,” jawab suamiku.

“Dek, aku ke lantai atas dulu ya.”

“Ya. Mas.”

Aku duduk di depan resepsionis. Sudah lama sekali aku tidak ke sini. Om Beni banyak mengubah kantor
ini menjadi lebih bagus dan tertata rapi.

“Seraaa!” Dido histeris terkejut saat melihatku. Sepertinya Ia baru saja dari luar.
Mataku membelalak melihatnya. Segera aku kedipkan sebelah mataku dengan maksud memberi kode.
Syukurlah Dido langsung paham. Karena tidak ada satu pun yang mengetahui persahabatanku dengan
Dido, termasuk suamiku. Hanya Om Beni seorang yang tahu. Karena Dido diterima kerja di kantor ini
atas rekomendasiku.

Akhirnya Dido hanya tersenyum dan mengangguk sambil berlalu dari hadapanku. Beruntung tidak ada
karyawan lain yang melihat.

Tiba-tiba ponselku berbunyi. Ternyata ada panggilan masuk dari Om Beni.

“Sera, kamu naik ke ruangan Om sebentar ya.”

“Tapi Om—”

“Sudah nggak apa-apa, naik aja,” sela Om Beni. “Kantor juga sudah sepi.”

“Baiklah, Om. Sera ke sana sekarang.”

Aku segera menuju ruangan Om Beni yang berada di lantai atas.

“Bagaimana kabarmu, Sera?” Om Beni memulai percakapan. Tampak wajahnya serius.

“Sera baik, Om,” jawabku yang duduk di hadapannya kini.

Ruangan Om Beni sepi. Di lantai ini sudah tidak ada karyawan. Mungkin mereka sudah pulang. Mas
Agung pun tak terlihat batang hidungnya. Di lantai 2 aku hanya melihat Dido dan dua orang karyawan.

“Sera, Om sudah tua. Sudah tidak sanggup memimpin perusahaan bapakmu ini. Perusahaan ini sudah
berkembang cukup pesat. Membutuhkan pemimpin yang lebih muda dan produktif. Sudah saatnya Om
kembalikan padamu.”

Sebenarnya Om Beni memang sudah mulai sakit-sakitan. Mungkin benar sudah saatnya aku memimpin
langsung perusahaan ini.

“Baiklah, Om. Tapi aku mohon hal ini tetap dirahasiakan dulu. Jangan sampai Mas Agung tahu dulu
bahwa sebenarnya aku pemilik perusahaan ini.”

“Kalau memang itu maumu, Om ikuti permainanmu saja. Jadi, kapan kamu mulai bisa aktif? untuk
laporan keuangan dan lainnya kamu bisa minta Dido kirim e-mail ke kamu.”

“Sera akan kabari secepatnya.” Aku berdiri. “Kalau begitu Sera pamit ya, Om. Takut nanti Mas Agung
nyariin.”

Aku segera pamit untuk keluar menemui Mas Agung. Namun, tiba-tiba—

Ting!

Sebuah pesan dari Dido masuk.


[Ra, Aku lihat suamimu lagi berdua sama Yuyun di belakang kantor.]

Apa? Bukannya tadi Yuyun sudah pulang? Sebaiknya aku cek sendiri sekarang. Dido tidak mungkin
bohong.

Dengan langkah cepat, aku langsung menuju ke belakang kantor. Di sana sebenarnya adalah tempat
parkir motor karyawan, sedangkan mobil Mas Agung ada di depan kantor. Berarti dia memang sengaja
menemui pelakor itu.

Aku menatap nanar sepasang manusia yang sedang berbicara di bawah pohon besar itu. Dari tempatku
berdiri ini tidak jelas apa yang mereka bicarakan. Namun, tampak keakraban yang tak wajar di antara
mereka.

Wanita itukah yang bernama Yuyun? Masih muda, tapi menurutku tidak begitu cantik. Meskipun begitu,
sikapnya berbicara dengan suamiku seperti wanita penggoda. Sesekali mereka saling menyentuh. Hebat
kamu, Mas. Pintar sekali kamu menutupi kelakuanmu selama ini.

Rudi Fitrianto, [18/11/2023 6:10]

Baiklah, Mas. Silakan lanjutkan permainanmu. Kamu akan pingsan jika tahu siapa aku sebenarnya. Tidak
salah aku merahasiakan ini semua selama delapan tahun. Tunggu pembalasanku.

“Dek, ayo pulang!” Mas Agung menghampiriku di ruang resepsionis yang sudah sepi.

Dengan langkah gontai, aku pun mengikuti suamiku menuju mobilnya. Sekuat tenaga emosi ini kuredam.
Biarlah nanti saatnya tiba akan kuhancurkan mereka.

Selama perjalanan pulang, Mas Agung tampak bahagia. Ia senyum-senyum sendiri. Persis seperti orang
sedang jatuh cinta. Tapi lebih mendekati seperti orang gila, menurutku.

Sementara aku sedang berkirim pesan dengan Corri, asisten pribadiku yang pastinya tidak pernah
diketahui Mas Agung.

Corri mengurus semua bisnisku. Termasuk bisnis properti yang selama ini aku jalani secara diam-diam.
Teknologi dan alat komunikasi yang canggih sangat membantuku menjalankan bisnis ini dari rumah.
Tentunya di saat Mas Agung ke kantor dan pekerjaan rumah terselesaikan.

Mobil memasuki halaman. Kami pun sampai di depan rumah ibu mertua. Ya, sejak menikah kami
memang menumpang dengan mertua. Mas Agung selalu beralasan tabungannya belum cukup setiap
aku memintanya untuk membeli rumah.

“Sera, kamu dari mana saja? Ibu cari-cari kamu dari tadi. Ini Giska juga nanyain kamu terus.” Ibu sudah
berdiri di pintu saat kami tiba.
“Maafin Sera Bu, tadi Mas Agung mendadak ngajakin ke kantor. Sera tadi mau pamit, tapi ibu lagi tidur.”

“Halah alasan aja kamu. Tuh, rumah berantakan belum ada yang beresin.”

“Iya, Bu.”

Aku mulai merapikan rumah. Mulai dari dapur yang berantakan. Heran, tadi sebelum aku pergi semua
masih rapi dan bersih. Kenapa banyak sekali piring dan gelas yang kotor menumpuk. Di rumah ini hanya
ada aku, Mas Agung, Ibu, dan Giska.

“Bu, apa tadi ada tamu? Kenapa banyak sekali piring dan gelas yang kotor?” tanyaku.

“Tadi Lastri ke sini sama anak-anaknya. Lastri, kan, sekarang kerja. Jadi dia nggak sempat masak. Tadi dia
makan di sini”

Apa? Jangan-jangan masakanku di meja sudah habis.

Segera aku pergi ke ruang makan dan membuka tutup saji. Lemas rasanya, melihat masakanku sudah
tak bersisa. Padahal aku dan Mas Agung belum makan sama sekali.

“Bu, Mbak Lastri itu kalau nggak sempat masak kenapa nggak beli aja sih? Kok malah ngabisin makanan
di sini. Mana nggak mau nyuci piring lagi sehabis makan,” kataku kesal.

“Kamu itu kok perhitungan sekali. Ingat, Sera! kamu itu cuma menantu yang numpang di sini. Agung aja
yang nyari duit nggak masalah,” sahut ibu dengan suara yang meninggi seperti biasanya, setiap bicara
denganku.

“Iya, Dek. Nggak apa-apalah sekali-sekali mbak Lastri makan di sini,” sela Mas Agung.

Percuma rasanya berdebat dengan mereka. Semoga Mbak Lastri, kakak tertua Mas Agung itu, besok
tidak makan di sini lagi. Dia memang tinggal hanya beberapa meter dari rumah Ibu.

“Sera, sekarang kamu masak. Ibu lapar.”

“Aku capek Bu. Ini rumah juga masih berantakan. Kita pesan makanan online aja ya.”

“Jangan boros-boros, Dek. Kamu masak aja sana,” seru Mas Agung dari dalam kamar.

Huh! Aku membuang napas kasar.

Baiklah, Mas. Sekarang aku masih mau disuruh-suruh oleh keluarga yang tidak punya hati ini. Akan
tetapi, nanti, suatu saat mereka akan kejang-kejang jika tahu siapa aku.

Malam telah larut. Lelah pun menyapa. Seperti biasa aku menemani Giska tidur di kamarnya. Sambil
membaca e-mail dari Dido dan Corri. Berlanjut mengecek saldo rekeningku.

Aku tersenyum puas melihat angka yang fantastis hasil keuntungan penjualan beberapa apartemen
minggu ini.
Malam ini aku memutuskan untuk tidur di kamar Giska. Biarlah Mas Agung tidur sendiri malam ini.
Sejujurnya aku masih sangat kecewa atas kelakuannya di kantor tadi sore.

Hm ... Yuyun, bersiaplah menerima pembalasanku, wahai pelakor.

Hari ini aku sengaja masak pagi-pagi sekali. Rencananya sepulang mengantar Giska ke sekolah, aku akan
rapat dengan Om Beni dan beberapa pemegang saham perusahaan.

Rudi Fitrianto, [18/11/2023 6:10]

Om Beni mengadakan rapat di salah satu kantor cabang. Bersyukur nanti aku tidak bertemu dengan Mas
Agung atau pun dengan si Yuyun yang berada di kantor pusat.

“Asalamualaikum.” Terdengar ucapan salam dari luar.

Siapa yang pagi-pagi sudah bertamu? Suaranya seperti tidak asing di telingaku.

Lalu terdengar riuh suara anak-anak di ruang tamu.

Dengan rasa penasaran, aku melangkah ke depan melihat siapa yang datang.

Mataku membelalak melihat Mbak Lastri dan Mas Joko, suami Mbak Lastri, serta ketiga anaknya yang
langsung duduk di meja makan. Tanpa rasa malu mereka ikut sarapan bersama Mas Agung, Ibu, dan
Giska.

Apa-apaan ini! Makin lama mereka makin seenaknya.

Untunglah aku sudah sarapan duluan di belakang. Aku melongo melihat tamu-tamu tak diundang itu
makan tanpa perasaan. Masakan yang aku masak pagi-pagi tadi habis tak bersisa.

Aku yakin, setelah ini Mbak Lastri tidak akan mau membereskan piring bekas makan anak-anaknya.

“Giska, ayo berangkat. Nanti kesiangan,” ajakku pada Giska yang sudah selesai sarapan.

“Giska biar diantar sama Agung. Kamu di rumah saja beres-beres, Sera!” perintah Ibu.

“Maaf, Bu. Sera ada rapat di sekolah Giska. Mungkin Mbak Lastri bisa bantu merapikan meja dulu
sebelum berangkat kerja.” Aku melirik pada Mbak Lastri yang langsung melotot padaku.

“Enak aja kamu. Kamu nggak lihat aku sudah rapi dan cantik kayak gini? Masa disuruh cuci piring. Nanti
kalau baju aku kotor bagaimana?” jawabnya dengan suara meninggi.

Sombong sekali kakak iparku ini. Entah apa pekerjaan barunya, sampai begitu tebal riasan wajahnya.
Aku membuang napas kasar. Sudah kuduga dia tak akan mau membantu merapikan piring-piring kotor
itu. Kakak iparku itu hanya tahu makan saja, sedangkan untuk masak dan beres-beres, dia tak pernah
mau turun tangan.

“Ya sudah. Nanti biar Sera yang beresin pulang dari sekolah Giska. Aku pergi dulu, Mas, Bu .”

Aku pamit menyalami Ibu dan Mas Agung yang masih saja duduk santai. Padahal Ia harus sudah sampai
kantor sebelum pukul 8.00 pagi. Tapi ini sudah pukul 6.30 pagi saja dia belum mandi. Hampir setiap hari
seperti itu. Sungguh kinerja yang buruk. Bagaimana perusahaan mau berkembang jika karyawannya
seperti ini? Seharusnya sejak awal Mas Agung sudah mendapat peringatan dari Om Beni. Namun, entah
mengapa Om Beni tidak menghiraukannya.

Aku tiba di sekolah Giska. Setelah mengantarnya ke kelas, aku memastikan pada wali kelasnya bawah
mulai hari ini Giska akan ikut mobil antar jemput sekolah. Tak lupa juga aku memesan katering sehat
untuk makan siangnya tiap hari di sekolah nanti.

Aku tidak ingin Giska terlantar karena kasibukanku yang makin bertambah.

Setelah urusan Giska di sekolah selesai, Aku segera meluncur ke kantor cabang dengan menggunakan
taksi online. Beruntung letak kantor cabang yang aku tuju tidak begitu jauh.

Sepuluh menit kemudian, aku tiba di sana. Dido sudah mempersiapkan semuanya. Para pemegang
saham pun sudah menungguku di ruang meeting.

Om Beni menyambutku saat aku masuk di ruang yang cukup luas dengan meja panjang di tengah-tengah
ruangan. Para peserta rapat yang mengelilingi meja sontak berdiri ikut menyambutku.

“Selamat datang CEO baru kita. Ibu Sera.”

Aku mengangguk hormat dan menyalami mereka satuper satu. Kemudian memperkenalkan diri.

“Selamat pagi. Saya Serani Gunawan, sebagai CEO baru di perusahaan yang didirikan almarhum Bapak
saya, Bapak Heri Gunawan. Semoga nantinya kita semua bisa bekerjasama dengan baik.”

Untungnya mereka sangat ramah. Aku yang baru pertama kali masuk ke dunia kerja awalnya tentu
sangat gugup. Namun mereka sangat menghargai aku.

Sangat banyak yang harus aku pelajari tentang perusahaan. Mungkin nanti aku akan belajar banyak
dengan Dido.

Meeting berjalan lancar. Om Beni memintaku untuk mulai aktif di kantor pusat mulai bulan depan.

Berarti mulai bulan depan aku akan sekantor dengan Mas Agung. Dan tiap hari akan melihat si Yuyun itu.
Jika memang Mas Agung benar-benar menghianatiku, aku akan membuktikannya. Dan jika itu terbukti.
Aku akan bertindak.

Diam-diam aku menyusun rencana untuk memberi kejutan untuk mereka.


Rudi Fitrianto, [18/11/2023 6:10]

Siang menjelang sore aku sudah sampai di rumah. Benar saja, setibanya di rumah, aku mendapatkan
pemandangan luar biasa. Rumah seperti kapal pecah. Anak-anak Mbak Lastri berlari ke sana kemari.

Aku ternganga melihat dapur dengan piring dan gelas yang hampir habis karena kotor semua. Sampah
berada di mana-mana. Sepertinya mereka tadi memasak mi instan. Karena makanan untuk siang yang
aku masak tadi pagi sudah ludes.

Aku menghampiri Giska yang sedang belajar di kamarnya.

“Giska sudah makan?”

“Sudah, Bunda. Tadi makan katering di sekolah.” jawabnya.

“Bagaimana? Menu kateringnya Giska suka?”

Giska mengangguk.

“Alhamdulilah. Kalau begitu Giska bantu Bunda beres-beres rumah, yuk,” ajakku.

“Oke, Bun”

Giska memang aku ajari mandiri sejak dini. Aku tidak mau anakku seperti anak-anak Mbak Lastri yang
bisanya membuat rumah selalu berantakan tanpa diajari untuk bertanggung jawab membereskannya
kembali. Padahal usia mereka lebih tua dari pada Giska.

Aku segera memulai merapikan rumah. Sebelum ibu mertua terbangun dari tidur.

“Seraaa ...!”

Namun, tidak berapa lama, Ibu terbangun.

“Ya, Bu?”

“Kamu ke mana aja, sih? Ibu laper. Pusing kepala liat rumah berantakan. Anak-anaknya Lastri itu nakal-
nakal banget.” Ibu yang baru bangun tidur berjalan keluar kamar menghampiriku.

“Rumah sudah aku rapikan, Bu. Ibu sabar ya. Masakan sebentar lagi matang.”

“Dasar si Lastri seenaknya aja nitip anaknya di sini,” gumam Ibu.

Sungguh uniknya ibu mertuaku ini. Jika di depan Mbak Lastri, Ibu pasti tidak akan berani bicara seperti
itu. Walau begitu, bagaimanapun juga aku tetap harus menyayangi dan menghormati beliau.

Setelah selesai memasak, aku mengajak Ibu untuk makan bersama di meja makan. Ibu mertuaku itu
pasti sudah sangat lapar.
“Bu! Ibu!” Terdengar teriakan Mbak Lastri dari luar.

“Kalau masuk ke rumah itu ucapkan salam. Jangan malah teriak-teriak,” gumamku seraya menikmati
makan siang yang masih hangat.

“Hei, ini rumahku. Suka-suka aku dong. Kamu cuma numpang di sini. Nggak usah ngatur,” ucap Mbak
Lastri dengan ketus sambil melotot ke arahku.

“Santai, Mbak. Itu muka udah serem, jangan diserem-seremin lagi,” jawabku tenang tanpa menoleh lagi
padanya.

“Eh ... Lastri, Joko. Ayo sini makan sekalian,” sambut Ibu yang juga sedang makan bersamaku.

“Nggak usah, Bu. Lastri buru-buru mau pergi arisan. Ini mau ambil anak-anak,” jawab Mbak Lastri sambil
melangkah ke dapur.

Eh, Kok tumben. Biasanya nyari gratisan melulu. Alhamdulilah masakanku aman.

Tidak lama kemudian Mbak Lastri muncul dari dapur dengan membawa beberapa lembar plastik kiloan.

“Itu plastik untuk apa, Mbak? tanyaku dengan kecurigaan yang meronta-ronta.

“Buat bungkus lauk sama nasi. Nanti aku makan di rumah aja,” jawabnya seraya membungkus lauk di
meja tanpa perasaan. Padahal jelas-jelas Ibu dan aku masih makan. Namun, meja sudah ia bersihkan,
lauknya.

Terdengar ibu membuang napas dengan kasar. Aku lirik beliau dengan sudut mataku. Tidak ada senyum
seperti ketika Mbak Lastri datang tadi. Ibu pasti kesal melihat kelakuan anak tertuanya itu. Namun,
entah mengapa beliau tak pernah bisa untuk menegurnya.

Untung saja aku sudah antisipasi, memisahkan lauk untuk Giska dan Mas Agung makan malam nanti.

Setelah puas membungkus nasi dan lauk pauk di meja hingga tak bersisa, Mbak Lastri dan anak-anaknya
pamit pulang. Ibu hanya menatap kepergian mereka dengan wajah tak menentu.

Selama ini Ibu selalu membela anak-anaknya di depanku. Jadi Ibu tak akan pernah mengungkapkan
kekesalannya terhadap Mbak Lastri di depanku.

Meskipun begitu, jelas terlihat raut marah bercampur sedih dari wajah yang sudah tak muda itu.

Apakah saat ini pun, Ibu tidak akan berkomentar apa-apa?

***

Malam sudah larut. Ibu dan Giska sudah terlelap. Namun, Mas Agung belum juga pulang. Aku coba
hubungi ponselnya, tapi tidak aktif.
Lagi-lagi terbayang wajah si Yuyun. Aku coba membuka profil kontak pelakor itu. Masih foto tulisan
kaligrafi.

Rudi Fitrianto, [18/11/2023 6:10]

Aku cek statusnya di aplikasi warna hijau, Betapa terkejutnya aku melihat ada foto suamiku sendiri di
sana, dengan caption, “Jadikan aku yang pertama.”

Entah apa maksudnya.

Mas Agung memang tampan. Wajahnya memiliki rahang tegas, mata sedikit sipit, dan rambut ikal. Ada
jambang yang tumbuh di sekitar pipi dan dagu, membuat wajahnya makin menawan. Tidak menutup
kemungkinan para wanita di luar sana akan menggodanya.

Apalagi Mas Agung saat ini cukup beruntung. Hanya sebagai lulusan SMA, bisa menjadi manajer di
kantor. Tentu saja ini ada campur tangan Om Beni. Walau aku yakin jabatan yang didapat Mas Agung
bukan karena cara kerjanya yang bagus.

Kembali aku melihat status di kontak si Yuyun.

Huh! Dasar pelakor tidak tahu malu. Pasang status kok foto suami orang. Apa jangan-jangan mereka
sedang jalan bareng?

Menjelang tengah malam Mas Agung baru saja pulang.

“Asalamualaikum.”

“Wa alaikum salam. Malam sekali, Mas.”

Tanpa menjawab, Mas Agung masuk dan langsung membersihkan diri.

Aku mencoba sabar untuk mendengar penjelasannya.

“Mau aku siapin makan?”

Ia menggeleng. “Aku capek. Seharian meeting di luar. Aku Mau istirahat,” ujarnya, lantas naik ke
pembaringan.

Aku mengernyitkan dahi. Apa benar ada meeting hingga larut malam begini? Rasanya tidak mungkin.

Terdengar dengkuran halus Mas Agung. Pertanda ia sudah pulas.

Perlahan aku membuka ponselnya. Sayangnya terkunci. Ini mencurigakan. Karena sebelumnya ia tidak
pernah pakai angka sandi. Suamiku ini sangat pelupa untuk hal-hal demikian.
Tiba-tiba ada notifikasi pesan masuk. Walau tidak bisa dibuka, tapi terlihat nama si pengirim pesan
dengan nama Yuyun. Sepertinya mereka sebelumnya saling berkirim pesan. Atau malah mereka baru
saja bertemu?

Karena rasa penasaranku yang begitu membara, aku mencoba terus membuka ponsel suamiku. Namun,
angka sandi apa pun tidak berhasil. Dari mencoba tanggal ulang tahun Giska, aku, dan Mas Agung. Tidak
ada yang berhasil.

Aku coba mengirim pesan ke Dido.

[Do, lo tahu tanggal lahirnya Yuyun nggak?]

Lama tidak dibalas. Akhirnya aku mencoba melakukan panggilan ke ponsel Dido berkali-kali. Dan
akhirnya pesanku di balasnya.

[Lo gila! Tengah malam telepon gue cuma buat nanyain gituan.]

[Gue pecat lo! Ngatain CEO gila. Udah buruan cari tahu!]

Aku ngakak guling-guling, puas ngerjain Dido.

Tak lama kemudian, pesan dari Dido masuk. Ia memberikan tanggal lahir itu.

A-apa? Tanggal 8 Mei? Berarti hari ini dong?

Yuyun hari ini berulang tahun?

Tanpa menunggu lama aku mencoba membuka kunci ponsel Mas Agung.

Ternyata—

Terbuka.

Mataku membelalak melihat pesan dari Yuyun berada paling atas. Langsung aku buka, ternyata hanya
ada satu pesan dan belum dibaca.

[Oke, sampai besok ya, Mas.]

Ini seperti pesan balasan. Berarti sebelumnya mereka saling berkirim pesan. Tapi sepertinya sudah
dihapus lebih dulu oleh Mas Agung. Sungguh licik suamiku itu.

Aku membuang napas kasar. Kecurigaanku memang belum terbukti, tapi aku tidak akan berhenti sampai
di sini. Aku akan bongkar semua kebohonganmu, Mas.

“Dek, matikan lampunya. Sudah malam.”


Aku terlonjak mendengar suara Mas Agung. Perlahan aku letakkan kembali ponselnya ketempat semula,
lalu mematikan lampu dan berbaring di samping Mas Agung.

***

Pagi ini, seperti biasa kegiatan rutinku sudah menanti. Memasak, merapikan rumah, mengurus Giska
dan Mas Agung.

Mungkin mulai bulan depan aku akan mencari asisten rumah tangga. Agar ada yang lebih fokus untuk
mengurus Giska. Aku tak mau sampai Giska tak terurus gara-gara aku terjun ke perusahaan. Setidaknya
aku bisa bekerja lebih tenang di kantor jika Giska ada yang menemani dan memenuhi kebutuhannya.

Aku mendengar Ibu sedang berbincang dengan Mas Agung di ruang makan. Sepertinya sangat serius.
Jiwa kepoku makin meronta-ronta. Akhirnya aku mendekat dengan membawa nasi goreng saus tiram
untuk mereka sarapan.

Rudi Fitrianto, [18/11/2023 6:10]

“Kamu masih ingat dengan Tante Sania, sahabat Ibu yang di Bandung, Gung?”

“Ya, Bu. Ingat.”

“Anak perempuannya ternyata kerja di Jakarta ini. Kemarin kos di dekat kantornya tidak betah. Tante
Sania mau menitipkan anaknya di sini,” jelas Ibu kepada Mas Agung.

“Kalau aku terserah Ibu aja,” sahut Mas Agung sambil terus mengunyah makanannya.

“Tapi, kan, tidak baik kalau ada perempuan tinggal di sini, Bu. Bukan muhrim dengan Mas Agung,”
selaku keberatan.

“Eh, Sera, kamu kok bisa-bisanya ngomong begitu. Ini rumah Ibu dan Agung. Kamu tuh di sini cuma
menantu yang numpang!” protes Ibu tidak terima.

Aku menghela napas panjang.

Selalu saja begitu jawabannya. Mentang-mentang aku numpang di sini. Sebenarnya bisa saja aku segera
pindah ke apartemen mewahku yang berada di lokasi segitiga emas kota ini. Tapi belum saatnya aku
membuka siapa diriku sebenarnya.

“Lagian anaknya Tante Sania akan tinggal di paviliun samping. Bukan satu rumah dengan kita. Sore ini
dia akan membawa barang-barangnya ke sini,” jelas Ibu lagi.

Syukurlah kalau memang tinggalnya di paviliun. Namun, entah kenapa, tetap saja perasaanku tidak
enak. Firasatku mengatakan akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

“Ya, Bu. Nanti sore aku usahakan pulang lebih cepat,” sahut Mas Agung.
“Buat apa pulang cepat, Mas?” tanyaku heran.

“Kamu kenapa sih, Dek? Curiga terus. Aku cuma mau temani Ibu menerima tamu.” Mas Agung tampak
kesal. Matanya melotot menatapku.

Ya sudah, biar saja kalau dia mau pulang cepat. Justru bagus. Jadi tidak ada kesempatan untuk bertemu
dengan Yuyun di luar.

“Dek, Giska sekarang naik jemputan. Kenapa kamu tidak kompromi dulu denganku?” Tiba-tiba Mas
Agung bertanya saat ia selesai sarapan.

“Oh, ya Mas. Mulai bulan depan aku akan bekerja. Lebih aman jika Giska pakai mobil antar jemput
sekolah,” jawabku, membuat Mas Agung menaikkan alisnya, seakan tak percaya dengan yang aku
katakan.

“Sebenarnya aku mau membicarakannya padamu. Tapi akhir-akhir ini kamu selalu pulang larut malam,”
lanjutku.

“Halah, sok-sok mau kerja segala. Kamu iri ya dengan Lastri? Kalau si Lastri wajar dia kerja. Dia pernah
kursus setelah lulus SMK. Jadi bisa diterima di kantoran. Lah kamu? Nggak jelas lulusan apa? Gaya-
gayaan mau kerja.” Ibu dan Mas Agung tertawa terbahak-bahak.

Silakan tertawa yang puas kalian sekarang. Awal bulan depan kalian akan ternganga melihat siapa aku.
Gemas aku.

“Terserah kamu, Dek. Asalkan kamu sendiri yang bayar ongkos antar jemput Giska nanti.”

Dasar! Jadi suami perhitungan banget.

***

Sejak siang tadi Ibu begitu repot mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut kedatangan
tamunya. Aku diminta masak makanan lebih banyak. Juga membersihkan paviliun samping yang telah
lama kosong.

Beberapa macam masakan sudah siap aku hidangkan di meja makan. Tak lupa dua macam kue sebagai
kudapan aku siapkan di dalam stoples.

Alas tempat tidur di paviliun pun sudah aku ganti dengan yang baru. Lantainya juga sudah aku pel dan
wangi.

“Asalamualaikum.”

Sepertinya tamu yang ditunggu-tunggu Ibu sudah datang.

Aku masih di dapur mendengar Ibu yang begitu senang menerima tamunya. Aku jadi penasaran.
Perlahan aku ke depan dengan membawa dua gelas teh dan dua stoples cemilan.
“Bagaimama kabar Mama?”

“Alhamdulilah baik, Tante. Mama kirim salam buat Tante,” sahut wanita itu.

Kenapa aku merasa sangat familier dengan wajah wanita itu? Seperti kenal. Tapi di mana?

“Jangan panggi Tante. Panggil Ibu saja. Biar lebih akrab. Sera, kenalkan ini anak tante Sania. Namanya
Yuyun.”

Yuyun ...?

Pantas saja aku kok seperti pernah lihat.

“Kok malah diam saja, Sera? Nggak sopan banget kamu sama tamu!” ujar Ibu kesal melihatku terdiam
karena terkejut.

Oke, baiklah. Sepertinya aku harus lebih waspada menghadapi pelakor seperti Yuyun ini.

“Kenalkan, saya Yuyun.” Wanita itu menyodorkan tangannya padaku. Terlihat kuku-kuku panjangnya
yang berwarna merah menyala.

Rudi Fitrianto, [18/11/2023 6:10]

“Saya Sera.” Akhirnya aku bersalaman juga dengannya.

“Ternyata kamu cantik sekali, Yuyun. Persis ibu kamu waktu muda dulu,” puji Ibu membuat wanita itu
tersenyum bangga.

Baiklah. Yuyun memang memiliki wajah cantik dan berkulit putih. Tubuhnya tinggi dan langsing. Namun,
sayangnya kelebihan yang ia miliki digunakan untuk menggoda suami orang.

Apa Mas Agung sudah tahu kalau tamunya adalah si Yuyun?

Terdengar suara mobil memasuki halaman. Sepertinya Mas Agung baru saja pulang. Aku sangat
penasaran melihat ekspresi Mas Agung saat melihat Yuyun nanti.

“Asalamualaikum.” Suara Mas Agung mengucapkan salam dari luar.

“Wa alaikum salam.” Kami serempak menjawab salam.

“Loh, kok Mas Agung ada di sini?”

“Yuyun ...?”

Mas Agung dan Yuyun tampak terkejut dan saling menunjuk.


Sepertinya mereka memang benar-benar tidak menyangka akan bertemu di sini.

Wajah wanita dengan riasan tebal itu tampak berbinar ketika melihat suamiku.

“Syukurlah kalau kalian saling kenal,” ujar ibu dengan wajah bahagia. “Yuyun ini anaknya tante Sania,
Gung.”

“Oh ya? Yuyun ini satu kantor denganku, Bu,” jelas Mas Agung

“Wah hebat kamu bisa kerja di kantoran,” puji Ibu kepada Yuyun.

“Udah cantik, kerja di kantoran pula.” Ibu tak henti-hentinya memuji pelakor itu.

“Gung, tolong bawa barang-barang Yuyun ke paviliun samping,” pinta Ibu kemudian.

Mas Agung membawa barang-barang wanita itu ke paviliun, lewat pintu tembus yang ada di ruang
makan.

“Yuyun di kantor divisi apa?” tanyaku.

“Emang kalau Yuyun jawab kamu paham, Ra?” serobot Ibu dengan senyum mengejek.

“Paham dong, Bu.” jawabku yakin. Jelaslah aku paham dengan perusahaanku sendiri.

“Memang Mbak Sera kerja di mana?” tanya Yuyun dengan senyum miring meremehkan.

“Perusahaan properti,” jawabku

“Pasti jadi sales ya hahaha?” tebaknya seraya tertawa.

“Silakan diminum. Aku ke kamar dulu.” Sebelum emosiku memuncak, lebih baik aku meninggalkan
mereka. Belum saatnya aku membalas si pelakor itu. Biarlah sekarang ia tertawa puas.

Saat di kamar, aku bertanya pada Mas Agung, “Mas, si Yuyun itu yang kamu pernah bilang perempuan
nggak bener, yang suka ganggu laki-laki di kantormu, kan?”

“I-i-iya. Tapi ternyata aku salah sangka. Yuyun itu wanita baik-baik, kok.”

“Sepertinya Mas kenal dekat dengannya?” pancingku.

Mas Agung tampak mulai emosi.

“Kamu kenapa sih? Cemburu ya? Makanya, Dek. Kamu itu harus pandai merias diri seperti si Yuyun itu,
wangi dan menarik.”

Aku terhenyak mendengar ucapan Mas Agung barusan.

“Tega sekali kamu membanding-bandingkan aku dengan perempuan itu, Mas,” seruku setengah
berteriak. “Kalau kamu mau aku dandan cantik dan wangi, ya modalin dong. Asal kamu tahu, uang yang
kamu kasih selama ini hanya cukup untuk makan semua keluarga ini. Belum lagi kalau kakakmu itu
sering makan gratis di sini satu keluarga.”

Emosiku makin meluap-luap.

Sungguh keterlaluan kamu Mas.

Aku memang tidak pernah berdandan berlebihan. Namun, untuk perawatan tubuh dan wajah, rutin aku
lakukan. Itu pun dengan uang sendiri.

“Nggak usah bawa-bawa Mbak Lastri. Memang dasar kamu saja yang nggak bisa mengatur uang dengan
baik,” sahutnya seraya berjalan keluar kamar.

Awas kamu, Mas. Tidak lama lagi semua ini akan berakhir. Aku mencoba untuk lebih bersabar saat ini.

***

Pagi ini Dido akan memperkenalkan aku dengan seseorang yang akan menjelaskan semua tentang
perusahaan.

Selama ini aku memang terlalu cuek dan tidak peduli. Bersyukur orang-orang kepercayaan Papa tidak
ada yang berkhianat.

Setelah semua pekerjaan rumah rapi dan Giska pun sudah berangkat ke sekolah. Aku segera bersiap-
siap.

Sepertinya aku harus membeli banyak baju untuk bekerja nanti. Baju yang biasa aku pakai memang
hanya gamis dan hijab instan model bergo yang praktis.

Aku memang jarang membelanjakan uangku sendiri. Khawatir Mas Agung dan Ibu curiga. Aku hanya
memakai uangku sendiri untuk perawatan rutin di salon.

Rudi Fitrianto, [18/11/2023 6:10]

Mas Agung sepertinya sudah berangkat. Mungkin Yuyun juga berangkat bareng dengan Mas Agung.
Sengaja aku tidak keluar. Masih terasa kesal dan sakit hati mengingat perkataannya semalam.

“Bu, aku berangkat dulu.”

Ibu tampak terkejut melihat aku berpakaian sangat rapi dan memakai riasan wajah. Padahal riasan
wajahku tidak setebal Yuyun ataupun Mbak Lastri.

“Mau ke mana kamu?”

“Aku diminta datang ke kantor yang menerimaku kerja, Bu.”


Ibu tampak tercengang mendengar jawabanku.

“Ka-kamu!?”

***

Aku baru saja sampai di kafe tempat aku dan Dido akan bertemu. Tadi, aku tidak terlalu menanggapi
respons Ibu dan buru-buru berpamitan.

Baru melihatku mau berangkat kerja saja sudah seperti itu, apalagi nanti kalua tahu aku pemilik
perusahaan tempat putranya bekerja?

Sebuah pesan masuk ke ponselku. Dari Dido.

[Langsung masuk aja. Gue udah di dalam.]

Aku melangkah memasuki kafe yang terbilang mewah ini. Di sudut, tampak Dido dengan seorang pria
memakai jas berwarna abu.

“Sera ... sini!”

Ampun deh si Dido nggak ada sopan-sopannya sama CEO.

“Hai, Sera, Apa kabar?” sapa laki-laki yang duduk di sebelah Dido.

Suaranya ... kenapa aku sangat mengenali suara itu?

“Kamu pasti lupa denganku, Rani.” Laki-laki itu tersenyum.

“Ka-kamu ... Arief?” tebakku seperti mengingat seseorang di masa lalu. Satu-satunya pria yang
memanggilku Rani.

“Hahaha. Betul. Kamu makin cantik saja, Rani.”

“Ra, Arief ini ternyata anak Pak Ilham. Salah satu pemilik saham di perusahaan kita.”

Sejenak terlintas bayangan masa lalu. Ketika Arief dan aku berpisah setelah lulus SMA. Saat itu aku
memutuskan melanjutkan pendidikan di Jerman.

Dulu kami sangat dekat. Aku, Arief, dan Dido.

“Aku nggak menyangka kalau pemilik perusahaan ini adalah ayahmu, Ran.” Arief menyeruput latte
kesukaannya sejak dulu.
“Aku juga nggak menyangka kamu ikut andil mengembangkan perusahaan papaku, Rief,” sahutku sambil
mengaduk lemon tea panas kesukaanku. Aromanya menguar menyegarkan.

“Yang nggak habis pikir itu gue, tahu. Selama bertahun-tahun kerja bareng. Baru ini tahu kalau Arief
Budiman yang katanya anak Pak Ilham itu ternyata Arief teman satu SMA gue,” lanjut Dido.

Kami tertawa. Sungguh kebetulan yang luar biasa bagi kami. Tiga sekawan di waktu SMA, kembali
bersama setelah sekian tahun lamanya.

“Maklumlah. Selama ini gue belum pernah ikut meeting bareng direksi,” ujar Dido.

“Tapi mulai sekarang, lo jadi asisten gue, Do! Ini perintah,” tegasku.

“Siap, Bu CEO.”

Arief ternyata sangat menguasai seluk beluk perkembangan perusahaanku. Pak Ilham, ayah Arief selama
ini juga sangat berjasa pada kemajuan perusahaan.

“Rief, aku minta kamu dampingi aku dulu selama beberapa bulan ke depan. Bisa?”

“Siap, Cantik. Apa sih yang nggak buat kamu,” jawab Arief seraya mengedipkan sebelah matanya.

“Woi, bini orang tuh,” sela Dido.

“Apa? Kamu udah menikah, Ran?” Arief terkejut mendengar ucapan Dido. Ia menatapku tajam seakan
tak percaya.

“Iya, aku juga sudah punya anak,” jawabku.

Kenapa aku seperti melihat kekecewaan pada raut wajah Arief. Ah, mungkin hanya perasaanku saja.

“Oke. Meeting kali ini sudah selesai. Tinggal persiapan acara malam perpisahan untuk Pak Beni minggu
depan. Aku serahin semua pada Dido. Aku ingin semua karyawan dari semua divisi kita undang.”

“Baik, Ra.”

“Aku pamit ya.” Aku berdiri dan menyalami dua pria di hadapanku.

“Ran, kamu bawa mobil?” tanya Arief.

Aku menggeleng. Sebenarnya Om Beni menawarkanku untuk membawa mobil inventaris perusahaan.
Tapi aku menolak. Belum saatnya.

“Ya sudah. Ayo aku antar,” ajak Arief.

“Apa nggak merepotkan?”

“Tidak ada yang repot buat kamu, Rani.” Arief menjawil hidungku.
“Hei! Kebiasaanmu dari dulu nggak berubah ya. Masih aja seneng jawilin hidung cewek-cewek.”

Arief terbahak- bahak melihat aku melotot.

“Cewek-ceweknya juga nungguin minta aku jawilin. Hahaha. Mana ada yang bisa menolak pesona orang
tampan kayak gini.”

Rudi Fitrianto, [18/11/2023 6:10]

“Dasar tuan sok tampan!” gerutuku. Walau sebenarnya aku mengakui Arief memang sangat tampan
memesona. Dulu aku pikir dia akan menjadi artis atau model.

“Kebiasaan dari dulu juga lo berdua. Kalau udah berduaan, lupa sama gue.”

Kali ini aku yang terkikik melihat wajah kesal Dido.

Kami berpisah dengan Dido di area parkir.

Aku menaiki mobil mewah milik Arief.

Ia membukakan pintu mobilnya untukku. Sikapnya masih seperti dulu. Manis.

Sepanjang jalan kami lebih banyak berbincang mengenang masa lalu. Banyak hal indah dan lucu yang
telah kami lewati bersama. Arief juga bercerita bahwa hingga kini dia belum menikah. Entah siapa nanti,
wanita beruntung yang akan mendapatkan pria baik dan tampan seperti dirinya.

Karena masih siang, aku minta Arief menurunkanku di mal yang tidak jauh dari rumah. Aku ingin
membeli beberapa pakaian kerja dan perlengkapan make up. Mulai saat ini aku harus siap jika sewaktu-
waktu ada panggilan rapat di kantor. Aku harus menyesuaikan penampilanku sebagai seorang CEO.

“Makasih tumpangannya.”

Arief mengangguk. Ia tersenyum.

“Hati-hati, Ran,” ucap Arief saat aku keluar dari mobilnya.

“Oke. Dah!” Aku melambaikan tangan padanya.

Mobil Arief pun berlalu dan aku masuk ke dalam mal, kemudian menuju beberapa toko.

Aku melihat sosok yang sangat familier. Baju yang dipakai laki-laki itu tampak tidak asing bagiku. la
menggandeng seorang wanita muda. Karena cukup jauh dari jarak tempat aku berdiri, wajah mereka
tidak begitu jelas.

Karena penasaran, perlahan aku mendekat untuk memastikannya. Namun, ramainya pengunjung
membuatku kesulitan mendekati mereka. Dan akhirnya aku kehilangan jejak.
Aku tersadar bahwa ini adalah jam makan siang. Pantas saja pengunjung sangat ramai.

Setelah lelah berbelanja. aku putuskan untuk pulang. Karena sore ini Bu RT akan memperkenalkan
saudaranya yang akan menjadi ART di rumah.

Ketika turun dari taksi. Aku melihat mobil Mas Agung pun baru saja masuk ke halaman rumah.
Sepertinya ia pulang lebih cepat hari ini.

Rumah tampak ramai. Ternyata ada Mbak Lastri dan anak-anaknya.

Mas Agung turun dari mobil. Mataku membelalak saat melihat pelakor itupun turun dari mobil suamiku.

Dan ... aku tambah terkejut lagi, saat melihat baju yang dipakai Mas Agung dan Yuyun persis sama
dengan sosok yang aku lihat di mall tadi.

Dengan bangganya Yuyun melangkah menjinjing belanjaan yang begitu banyak. Namun, barang-barang
itu bukan barang-barang branded seperti yang aku jinjing saat ini. Aku tahu dari kemasan plastiknya, itu
adalah barang-barang diskon yang ada di pameran bazar lantai dasar mal tadi.

“Kamu sama Yuyun habis belanja, Mas?” tanyaku kesal.

“Iya. Sekalian lewat pulang kerja tadi Yuyun minta diantar mampir di mal. Apa salahnya aku antar
sebentar?” jawabnya santai.

Sakit hatiku melihat Mas Agung yang merasa tidak bersalah.

“Kamu dari mana, Dek? Uang dari mana kamu belanja begitu banyak?” Mas Agung menatapku heran.
Mungkin ia baru menyadari penampilanku yang berbeda hari ini.

“Dari tempat kerja,” jawabku malas.

Dengan langkah gontai aku masuk ke dalam rumah. Sepertinya Mbak Lastri sedang berbicara serius
dengan Ibu.

Wajah keduanya tampak tegang. Apalagi Mas Joko yang terlihat bingung di sudut ruangan.

Ada apa gerangan?

“Asalamualaikum”

“Wa alaikum salam.” Ibu menjawab salamku.

Aku menyalami Ibu yang matanya tak lepas dari barang-barang bawaanku. Sementara Mbak Lastri juga
melotot. Ia pasti paham tas belanjaanku bertuliskan merk barang-barang branded yang ada di dalamnya.

Aku pura-pura tidak peduli, lalu sengaja meletakkan semua belanjaanku di atas meja makan.
Mas Agung menyusulku ke kamar.

“Dek, uang dari mana kamu belanja begitu banyak, hah?” tanyanya dengan wajah memerah.

“Ya uangku dong,” jawabku tegas.

“Dari mana uang segitu banyak? Yang kamu beli ini barang-barang mahal, kan?”

“Kamu gimana sih, Mas? Kemarin kamu bilang aku nggak bisa beli baju-baju bagus karena tidak pandai
mengatur uang. Sekarang aku sudah beli kamu malah marah-marah. Kamu, kan, yang menyuruh aku
berubah menjadi cantik.” Aku mencoba lebih tenang.

Rudi Fitrianto, [18/11/2023 6:10]

Mas Agung terdiam.

“Gung, sini!” Terdengar teriakan Ibu memanggil dari ruang tamu.

Mereka sepertinya terlibat pembicaraan serius.

“Rumah ini satu-satunya harta milik keluarga kita, Mbak. Aku nggak setuju jika dijadikan jaminan di
bank.” Terdengar suara Mas Agung mulai emosi.

“Tapi Mas Joko butuh modal untuk buka usaha. Kami sudah tidak kerja lagi sekarang.” Terdengar
sahutan Mbak Lastri dengan nada suara yang juga sudah mulai meninggi.

Apa? Mbak Lastri sudah berhenti bekerja? Kenapa? Bukankah dia baru pindah ke tempat kerja yang
baru?

“Bagaimana kalau usaha Mas Joko gagal? Mau bayar pakai apa?” tanya Mas Agung.

Semua terdiam. Aku yang masih di dalam kamar mencoba mengintip dari balik pintu. Wajah semuanya
terlihat tegang.

“Aku akan cari kerja lagi. Barangkali di perusahaanmu ada lowongan, Gung?” tanya Mbak Lastri
kemudian.

Mas Agung membuang napas kasar. “Aku nggak bisa janji,” jawabnya malas.

Sepertinya Ia sangat berat jika rumah Ibu dijadikan jaminan bank. Apalagi saat ini Mas Agung belum bisa
membeli sebuah rumah.

“Permisi.”

“Eh, Yuyun, sini!” panggil ibu ketika Yuyun masuk lewat pintu tembus dari paviliun.
“Lastri, kenalin ini Yuyun, anaknya Tante Sania. Ternyata dia sekantor sama Agung, lho,” jelas Ibu pada
Mbak Lastri.

“Yuyun.” Pelakor sok cantik itu mengulurkan tangannya kepada Mbak Lastri.

“Lastri,” sahut kakak iparku menerima uluran tangan Yuyun dengan senyuman.

“Yun, di kantormu ada lowongan nggak? Aku mau ngelamar dong,” tanya Mbak Lastri.

Halo? Bosnya tuh di sini, lo. Bukan si Yuyun. Aku terkikik sendiri di dalam kamar.

“Bikin lamaran aja, Mbak. Nanti aku bawa ke kantor. Aku banyak kok kenal bos-bos di kantor.”

APA? Yuyun banyak kenal bos-bos katanya? Wow! Aku spontan menutup mulutku menahan tawa.

“Waaah, makasih banyak ya, Yun.” Mbak Lastri terdengar sangat senang.

Aku tersenyum sendiri. Sepertinya aku punya ide untuk ngerjain balik kakak iparku yang satu itu.

Aku segera menghubungi Dido.

***

“Asalamualaikum, Bu Sera!” Sepertinya suara Bu RT memanggilku.

“Wa alaikum salam. Eh, ada Bu RT. Mari masuk!” Ibu mempersilakan masuk Bu RT dan seorang wanita
yang sepertinya berumur kisaran 40 tahun.

Aku keluar menghampiri mereka.

“Bu Sera, ini Bik Sum yang mau kerja di sini.”

Mata ibu membulat menatapku mendengar ucapan Bu RT. Beliau seakan-akan minta penjelasan.

“Oh ya. Bik Sum kenalkan ini Ibu mertua saya.” Kemudian, aku mencoba menjelaskan pelan-pelan pada
Ibu. “Bu ... aku minta Bu RT membawakan orang untuk bantu-bantu kita di sini selama aku kerja nanti.”

“Kamu nggak salah, Sera? Memangnya gaji kamu berapa? Sok-sokan mau pakai jasa ART,” sela Mbak
Lastri dengan gaya sombongnya.

“Itu urusanku, Mbak,” jawabku kesal.

“Tapi dia tidak menginap di sini, Bu. Datang pagi-pagi dan pulang sore atau malam setelah aku pulang
kerja,” jelasku lagi.

Bagaimanapun juga aku harus tetap izin dengan Ibu. Walau sikap Ibu kurang baik padaku selama ini.
Namun, beliau satu-satunya orang tuaku saat ini.
“Ibu terserah kamu sajalah. Asalkan kamu yang bertanggung jawab membayar gajinya. Jangan sampai
membebani suamimu,” jawab Ibu dengan nada ketus, seperti biasanya.

“Ibu tidak usah khawatir masalah itu.” Aku tersenyum. Ibu telah memberi izin.

“Baiklah, Bu RT. Mulai besok Bik Sum sudah mulai bisa bekerja di sini. Agar dapat menyesuaikan dulu
dengan pekerjaan serta anggota keluarga di sini.”

Setelahnya, Bik Sum dan Bu RT pamit pulang.

Aku melihat Mbak Lastri dan Mas Agung masih bersitegang membicarakan sertifikat rumah Ibu yang
akan di jadikan sebagai jaminan. Aku melihat kesedihan dari raut wajah Ibu. Sepertinya Ibu pun tidak
setuju. Namun, selama ini Ibu selalu mengikuti kemauan anak-anaknya. Beliau tidak bisa berbuat apa-
apa.

Pada akhirnya, dengan berat hati Mas Agung menyetujui permintaan Mbak Lastri.

Kakak iparku dan suaminya pulang dengan wajah berbinar membawa sertifikat rumah Ibu.

Rudi Fitrianto, [18/11/2023 6:10]

Seandainya keadaannya tidak seperti sekarang ini. Seandainya mereka selalu bersikap baik dan
menghargai aku sebagai anggota keluarga di sini. Seandainya Mas Agung tidak mengkhianatiku.
Tentunya dengan senang hati aku akan membantu kesulitan yang dialami keluarga ini.

Namun, aku hanyalah manusia biasa yang punya perasaan dan harga diri. Selama delapan tahun sudah
mereka bersikap seenaknya padaku. Selama itu pula aku berusaha sabar. Karena untuk membantah pun
percuma. Justru akan memperuncing keadaan.

Aku adalah tipikal orang yang tidak suka ribut. Namun, justru hal inilah yang sering dimanfaatkan oleh
mereka.

Sudah saatnya kini aku memulai permainan ini. Ingin rasanya membuat mereka ternganga. Aku yang
selama ini siang malam mereka suruh-suruh seenaknya. Aku yang selama ini menjadi istri yang mudah di
bohongi oleh suamiku sendiri.

Mulai minggu depan. Di acara perpisahan Om Beni, Aku akan diperkenalkan diri sebagai CEO baru di
depan seluruh karyawan. Sungguh tidak sabar melihat raut wajah mereka nanti.

***

Sejak pukul 6.00 pagi, Bik Sum sudah datang. Giska tampaknya cocok dengannya. Bik Sum sangat telaten
dan cekatan mengurus Giska dan membantu pekerjaan lainnya.
“Bik Sum di sini fokus mengurus Giska, Ibu, dan kerjaan rumah saja ya. Selain itu nggak usah dikerjakan.
Apalagi kalau ada yang nyuruh-nyuruh selain saya dan Ibu,” jelasku.

“Baik, Bu Sera,” sahut Bik Sum seraya mengangguk.

Aku dan Bik Sum sedang memasak di dapur. Terdengar suara Mbak Lastri dari ruang tamu. Karena
penasaran aku mencoba mendekat.

“YUYUN!”

“Ya, Mbak Lastri.”

“Ini aku sudah bawa lamaranku. Tolong dibantu ya. Makasih lo, kamu baik banget mau nolongin aku.
Coba dari dulu kamu ketemu sama Agung. Pasti enak punya adik ipar baik kayak kamu, Yun.”

Yuyun terlihat senyum-senyum tidak jelas. Mungkin dia kegeeran.

Kakak iparku yang cantik. Tenang aja, kamu pasti diterima di perusahaanku. Karena aku juga ingin
mellihat wajah cantikmu ternganga bertemu denganku nanti.

Aku juga sudah mempersiapkan posisi yang sangat cocok dan pas untukmu, Mbak Lastri.

“Tunggu saja.”

Anda mungkin juga menyukai