Anda di halaman 1dari 10

Handphone Dari Bapak

Poetrichor
Kata Pengantar

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Berkat limpahan
karunia-Nyaa, kami dapat menyelesaikan penulisan cerpen berjudul “Handphone Dari Bapak”
dalam rangka Lomba menulis Cerpen bertema keluarga. Dalam penyusunan cerpen ini, penulis
telah berusaha semaksimal mungkin menyesuaikan dengan kemampuan penulis. Namun sebagai
manusia biasa, penulis tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan baik dari segi teknik penulisan
maupun tata bahasa.

  Cerpen “Handphone Dari Bapak” ini dibuat sedemikian rupa semata-mata untuk
membangkitkan kembali minat baca masyarakat dan sebagai motivasi dalam berkarya khususnya
karya tulis. Untuk itu penulis hanya bisa menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua
pihak yang terlibat,  sehingga kami bisa menyelesaikan cerpen ini.

       Demikian semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca
pada umumnya.

 
Garut, 30 Juli 2021

Penyusun
Handphone Dari Bapak

“Bapak, kapan aku akan dibelikan hp? Sudah sepuluh hari aku ketinggalan pelajaran
sekolah,”

“Tunggu ya Sur, kamu tahu sendiri sekarang Bapak belum ada uang untuk
membelikanmu hp.”

Begitulah isi percakapanku dengan bapak di pagi hari. Aku melihat raut wajah Bapak
yang terlihat kalut, bingung. Setiap hari aku memintanya untuk segera membelikanku
handphone. Bukan tanpa sebab, aku meminta Bapak membelikanku handphone agar bisa
kugunakan bersekolah. Walaupun aku tahu, pasti Bapak merasa terbebani dengan permintaanku
ini.

Ketika Corona muncul di awal bulan Maret, semua aktivitas terhenti, mulai dari sekolah,
bekerja, bahkan beribadah pun dilakukan di rumah. Sejak saat itu, aku mulai bersekolah dari
rumah. Teman-temanku sangat senang dengan sistem belajar dari rumah ini. Mereka bisa
mengerjakan tugas sekolah tanpa kesulitan, bahkan mereka bisa mengerjakannya sambil
bermain. Namun, itu tidak berlaku bagiku. Aku seorang anak dari keluarga miskin yang bahkan
untuk makan saja keluargaku harus bekerja keras seharian. Bapakku seorang pedagang telor
gulung, ia biasanya berjualan di depan sekolahku. Namun, karena sekolah dari rumah sampai
waktu yang belum ditentukan membuat Bapak berhenti berjualan karena tidak mendapatkan
modal dari manapun. Akhinya, Bapak memutuskan untuk bekerja serabutan demi memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari.

“Assalamu’alaikum…”

Seseorang datang ke rumahku.

“Wa’alaikumsalam, eh Pak Sofyan, silahkan masuk Pak,” jawab bapak.

“Tidak apa-apa Pak Amin saya hanya datang sebentar. Begini, Pak Amin bisa
memperbaiki pipa air?”

“Ya saya bisa Pak, memangnya pipa air di rumah Bapak rusak?”

”Oh bukan.. bukan pipa air di rumah saya, tapi di rumah Pak Soleh. Katanya, Pak Soleh
butuh orang yang bisa memperbaiki pipa, siang ini Pak Amin bisa?”

“Siang ya? Baik bisa Pak.”

“Ya sudah nanti siang langsung saja ke rumah Pak Soleh. Itu saja Pak, saya permisi ,
Assalamu’alaikum.”
”Wa’alaikumsalam.”

Bapak pun menutup pintu, lalu ia berjalan menghampiriku yang sedang mengerjakan
tugas sekolah.

“Surya, nanti siang Bapak mau pergi ke rumahnya Pak Soleh, kalau mau makan bapak
sudah buatkan singkong rebus. Bapak taruh di meja makan ya.”

“Iya pak.”

Bapak pun mempersiapkan segala peralatan yang dibutuhkan. Bapakku hebat, walaupun
pekerjaannya seorang pedagang telor gulung, tapi ia juga bisa memperbaiki benda yang rusak
hingga dipercaya banyak orang.

Siang hari, Bapak pun pergi ke rumah Pak Soleh. Tak lupa ia memakai masker sebagai
bentuk patuhnya pada protokol kesehatan. Bapak berpamitan padaku. Aku pun kembali
melanjutkan tugas sekolah.

***

Sore hari menjelang maghrib Bapak tiba di rumah. Ia pulang dengan wajah yang berseri-
seri. Aku pun dibuat heran dengan Bapak.

“Bapak kenapa? Wajah Bapak terlihat seperti sedang bahagia.”

“Bagaimana bisa Bapak tidak bahagia, hari ini Bapak membawakan sesuatu untukmu.”

Bapak pun menyodorkan sebuah handphone padaku. Aku terkejut. Baru saja tadi pagi
aku minta dibelikan handphone sekarang Bapak membelikannya. Handphone itu bagus sekali,
ada tiga kamera besar di belakangnya. Handphone ini lebih bagus dari handphone teman-
temanku.

“Ini untuk Surya Pak?”

“Iya itu untukmu, sudah lama kan kamu ingin Bapak belikan hp,”

“Tapi hp jenis ini mahal Pak, bagaimana bisa Bapak membelinya?”

“Sudah tak usah dipikirkan, sana pakai itu untuk belajar.”

Senangnya diriku bukan kepalang. Aku langsung menghambur pelukan pada Bapak
sambil mengucapkan terima kasih padanya. Terlihat raut wajah Bapak sama senangnya seperti
diriku.

“Hp punya siapa itu Sur?” tanya kakakku, Kak Azis.

“Punyaku lah, Bapak membelikannya untukku,”


“Wah lagaknya kamu, awas kalau kamu tidak rajin belajar, susah payah Bapak beli hp itu
untukmu,”

“Iya aku tahu.”

***

“Sedang apa kamu Sur?” Bapak bertanya padaku sambil menghampiriku dan duduk di
sebelahku.

“Aku sedang mengerjakan tugasku yang belum selesai Pak,”

“Kamu senang Bapak memberikan hp untukmu?”

“Ya senanglah Pak, aku ingin sekali dari dulu punya hp. Mana sekarang belajar juga pake
hp kan. Kalau Bapak mau Bapak boleh kok pakai hp ini, siapa tahu Bapak butuh hiburan,”

“Tak usah Sur, hp itu kamu pakai saja. Kalau sudah beres mengerjakan tugasnya kamu
tidur ya,”

“Iya Pak.”

Malam ini aku tidak bisa tidur. Ingin sekali tangan ini bermain handphone baru itu,
namun Kak Azis melarangku bermain handphone terus.

“Kak?”

“Apa?”

“Kakak sudah tidur?”

“Belum Surya, ada apa? Kamu lapar?”

“Tidak, Surya hanya ingin bertanya saja,”

“Bertanya apa?” Kak Azis berbalik menghadapku yang awalnya tidur membelakangiku.

“Kakak merasa aneh tidak Bapak bisa membelikanku hp?

“Mungkin Bapak menabung Sur, sudahlah bukannya kamu senang Bapak membelikan hp
untukmu?”

“Iya aku senang, tapi aku hanya merasa aneh saja. Hp itu kan mahal sekali harganya Kak,
tapi Bapak dengan mudahnya membeli hp itu untukku.”

Terlihat kedua alis Kak Azis bertaut, seperti ikut merasa aneh dengan Bapak hari ini. Apa
yang aku katakan ada benarnya juga. Handphone itu, ia tahu kalau harganya mahal sekali, tapi
hari ini Bapak berhasil membelikannya.
“Sudahlah Sur, tak usah dipikirkan. Seharusnya kamu bersyukur Bapak berhasil
membelikanmu hp. Ingat! Gunakan hp itu sebaik mungkin, gunakan hanya untuk belajar saja
jangan dipakai untuk hal yang tidak penting,” ucap Kak Azis.

“Baik Kak.”

Kami pun kembali berpunggungan, bergelut dengan pikiran masing-masing sampai


akhirnya tertidur.

***

Keesokan paginya aku bersemangat sekali. Tak sabar ingin segera belajar daring. Kali ini
aku tidak akan kesusahan lagi, karena sekarang aku punya handhpone. Teman-temanku kaget
karena aku mempunyai handphone yang lebih bagus dari mereka. Ada yang memujiku, namun
ada juga yang iri kepadaku.

Ketika aku sedang belajar, datanglah Pak Soleh dan Kak Ahmad, anaknya. Aku pun
langsung berlari menghampiri Bapak, memberi tahunya bahwa ada tamu yang ingin bertemu
dengannya.

“Ada apa ya?” tanya Bapak pada mereka.

“Pak Amin, bisa kita bicara sebentar?” tanya Kak Ahmad.

Bapak pun mempersilahkan mereka masuk. Bapak menyuruhku untuk masuk ke kamar.
Karena penasaran, aku pun mengintip dibalik bilik kamarku yang berlubang.

“Pak Amin, apa benar Bapak mengambil handphone milik Ayah saya?”

Bapak tersentak kaget, terlihat dari matanya yang membulat besar. Bapak pun terdiam.

“Pak Amin, kemarin Ayah kehilangan hp yang disimpan di atas meja di ruang tamu.
Setelah saya coba lacak, ternyata hp ayah saya ada di lokasi ini, tepat di rumah ini.” ucap Kak
Ahmad.

Setelah terdiam beberapa saat, Bapak pun menjawab,

“Ya, saya yang mengambil hp milik Pak Soleh.” Jawab Bapak dengan kepala menunduk.

Apa? Jadi, handphone yang kemarin Bapak berikan padaku adalah hasil curian? Aku
sangat terkejut. Aku tidak menyangka. Bapak yang selama ini selalu menasihatiku agar menjadi
orang baik, ternyata malah mencuri yang jelas-jelas bukan perilaku terpuji.

Aku sangat kecewa sekaligus malu pada diriku sendiri. Aku malu karena aku yang
memaksanya untuk membelikanku handphone agar bisa belajar. Seharusnya aku sadar, kalau
kondisi keluargaku jauh dari berkecukupan.
“Syukurlah kalau Bapak jujur. Tenang saja kami tidak akan memperpanjang masalah ini
ke ranah hukum, kami mengerti dengan kondisi Bapak.”

Bapak mendongakkan kepalanya. Ia kaget sekaligus heran. Begitu juga denganku.


Kenapa Pak Soleh tidak menuntut Bapak yang jelas-jelas mencuri handphone miliknya?

“Sebenarnya, kemarin malam saya kesini karena lokasi hp Ayah saya berada disini.
Awalnya memang saya sangat marah setelah tahu kalau Pak Amin yang mengambil hp Ayah
saya. Namun, setelah melihat kondisi dari keluarga Pak Amin, saya jadi sedih. Bagaimana bisa
saya tidak mengetahui kondisi keluarga Bapak selama ini. Saya pun teringat, kalau pun Bapak
memang murni mencuri, kenapa laptop yang ada dipinggir hp Ayah saya yang harganya lebih
mahal tak ikut diambil? Akhirnya saya mengatakan hal ini pada Ayah, dan beliau memilih untuk
mencabut laporan ke kantor polisi. Ayah saya masih percaya pada Bapak.”

Betapa senangnya Bapak karena keluarga Pak Soleh masih percaya padanya. Begitu juga
denganku. Ia begitu menangis tersedu-sedu terharu akan perlakuan keluarga Pak Soleh
kepadanya. Padanya, padahal Bapak sudah mengambil barang berharga miliknya. Kemudian,
Bapak meminta maaf pada Pak Soleh dan Kak Ahmad sambil menangis.

“Maafkan saya pak, saya mengaku saya gelap mata saat itu. Saya hanya teringat dengan
keadaan anak saya yang kesulitan dalam proses belajar dari rumah ini Pak. Saya meminta maaf
yang sebesar-besarnya,” ucap Bapak dengan suara yang bergetar sambil bersujud di kaki Pak
Soleh.

“Saya maafkan Pak Amin. Saya mengerti kondisi keluarga Pak Amin ditambah dengan
dampak adanya Corona sekarang. kita semua memang mengalami kesulitan saat ini. Tidak apa-
apa, bangunlah.”

Bapak pun bangun dari sujudnya. Kemudian, ia memanggilku untuk mengembalikan


handphone-nya. Aku yang sedang mengintip segera menghampiri Bapak dan mengembalikan
handphone tersebut serta tak lupa meminta maaf pada Pak Soleh. Setelah semuanya selesai,
mereka pun berpamitan pada bapak untuk pulang.

Selepas itu, Bapak menghampiriku yang sedang berdiri di belakangnya. Ia menyentuh


pundakku sambil berjongkok menyesuaikan dengan tinggi badanku.

“Surya, maafkan Bapak ya karena telah mengecewakanmu. Kemarin Bapak khilaf,


teringat akan kamu, sekali lagi maafkan Bapak ya,” ucap Bapak sambil menangis tersedu-sedu
memelukku.

“Tidak Bapak, harusnya aku yang meminta maaf karena terus memaksa Bapak
membelikanku hp, harusnya aku sadar kalau keluarga kita tengah serba kekurangan, maaf ya
Bapak.”
Aku pun membalas pelukan Bapak, mengusap punggungnya agar kembali tenang, bahwa
semuanya baik-baik saja.

***

Keesokan harinya, tamu pun datang kembali. Kali ini Pak Camat datang ke rumah. Selain
itu, ada juga perwakilan dari Dinas Pendidikan, Kejaksaan, dan Kodim. Ternyata mereka
mengetahui apa yang terjadi di rumahku kemarin. Mereka mengetahuinya karena Kak Ahmad
mengirim e-mail ke Pak Camat langsung. Setelah mendengar langsung kejadian kemarin dari
mulut Bapak, mereka merasa terharu. Mereka merasa iba pada keluargaku. Kami mendapatkan
bantuan berupa sembako dan peralatan sekolah. Aku mendapatkan handphone baru dari Kejari
untuk digunakan belajar daring. Begitu juga Kakakku, dia akan di sekolahkan di sekolah PKBM
agar bisa bersekolah sambil bekerja di tempat cuci steam motor. Selain itu, tahun 2021 rumahku
akan diperbaiki agar lebih layak ditinggali.

Kami tidak bisa berkata apa-apa lagi selain mengucapkan terima kasih sebanyak-
banyaknya atas bantuan yang telah diberikan kepada kami. Tak lupa kami juga mengucap syukur
pada Yang Mahakuasa atas segala berkah yang telah diberikan-Nya pada kami.

Referensi

Cerpen ini terinspirasi berita pada www.ruber.id tanggal 6 Agustus 2020


Tentang Penulis
Penulis yang memiliki nama pena Poetrichor ini lahir di Garut, 18 September 2002. Ia
menyukai hal-hal menulis sejak duduk di bangku SD. Sejak dulu, ia dipercaya untuk mengisi
mading sekolah dengan karya-karyanya.

Saat ini, penulis baru memasuki bangku perkuliahan. Ia berharap semoga hasil karyanya
ini dapat dinikmati banyak orang.

Anda mungkin juga menyukai