Anda di halaman 1dari 79

Source hanaoki.wordpress.

com
Convert Pdf By navaseil@gmail.com
KELUARGA TERCINTA

EDDY D. ISKANDAR
Cetakan pertama
Cetakan kedua : Januari 1987 Penerbit ; GULTOM Agency Jakarta Hak Cipta
Dilindungi oleh Undang-undang AU rights reserved

RINDU hamil di luar pernikahan. Kuliahnya terbeng kalai. Dokter Irawan menikah dengan gadis
Bali. Giri menghamili Ningrum. Sebuah keluarga, dilanda kemelut.
Kejadian demi kejadian, kian memperuncing kon flik suami-isteri Pak Husni dan Farida.
'Tapi semua gara-garamu! Kalau kau tidak gampang terpengaruh, kalau kau tidak gampang
terbujuk, kalau kau berwibawa, pasti takkan terjadi hal seperti ini! Atau, karena memang kau
menginginkan anak-anakmu seperti kelakuanmu di masa lalu?"
"Bapa kira, aku saja yang salah? Bapa pikir, Bapa saja yang benar? Sejak peristiwa itu aku telah
bertobat. Ketika kau memaafkan perbuatanku, sesung guhnya aku bahagia sekali. Karena kau
telah menyelamatkan aku dari kehancuran. Aku bangga sekali akan keluhuran budimu. Tapi apa
yang kudapat sesungguhnya? Kau ternyata masih menyimpan dendam! Kau telah mengacuhkanku.
Kau menyapaku, mengajakku bicara, hanya karena basa-basi di hadapan anak-anak atau di
hadapan famili dan tamu ke nalanmu' Selebihnya, yang nampak adalah keadaan hatimu yang
sesungguhnya!"
Ketegangan telah dimulai sejak awal. Dan tetap mencekam, hingga mencapai klimax.
Sebuah KELUARGA TERCINTA; Pak Husni Farida, dengan enam orang anak: Irawan, Rindu. Pai
gunadi, Giri, Setyawati, dan Puri. Semua, mewujud kan sebuah kisah yang layak buat disimak.
betapa pun jauh betapa pun rimbun tetap harus kutempuh ke batas angan-angan
puncak yang tak terusik membenamkan keasingan alam silam yang tenggelam kini mencair di
sanubari
siaoa tahu kabut berlalu tersingkap di balik misteri purba dan mereka yang kehilangan jejak
kembali menemui satu titik
Untuk tiga terkasih EVI KUSMIATI DINI HANDAYANI NOVELIA G ITA NUR ANI ASRI KEM
BANGKASIH

BAGIAN KESATU
RINDU memejamkan mata. Bening berguling lewat pipinya. Di luar. hujan masih
rintik-rintik.
"Apa yang telah terjadi. Rin°" tanya Farida -ibunya.
"Semua di luar dugaan saya. Saya hilap." "Katakan saja. apa yang terjadi0" "'Saya
telah melakukannya dengan Mas Han-doko."
"Kau hamil0" "Iya."
Farida tersentak. Menghela nafas. Tidak. Ia tidak berani menyalahkan anaknya.
Tidak berani memarahi Rindu. Ia terlalu sayang pada Rindu, la' tak berani menyakiti
perasaannya.
9
"Sudah berapa bulan0"
"Dua......."
Farida menggelengkan kepala. "Maafkan saya. Bu."
"Yah. segalanya sudah terjadi, mau apa lagi." "Saya takut bapa."
"Kenapa rnesti takut? Kau harus berani menanggung resiko."
**Saya takut bapa berbuat kasar "
Farida menghampiri Rindu, makin dekat di belakangnya.
"Rin."
Rindu menoleh. Keduanya bertatapan dalam jarak dekat. Wajah Rindu pucat
ketakutan. Ini membuat Farida iba.
"Berterus terang saja kepada bapamu. Kalau a<l i apa-apa. Ibu juga tidak akan
tinggal diam. Kau haru segera menikah."
Rindu menangis. Farida terpaku. Tiba-tiba nah nya goyah. Benarkah apa yang
diucapkannya barusan ke luar dari hati nuraninya yang murni? Benarkah k a lau
Husni - suaminya berbuat kasar terhadap Runi» anak kandungnya, ia akan membela?
Beranikah 11 membela anaknya yang salah? Kenapa aku membtl.i nya? Bukankah
dengan begitu, berarti aku membenar kan perbuatan Rindu? Bukankah dengan
begitu, aku
10
telah menjerumuskan Rindu? Kenapa aku tidak memarahi Rindu, waktu Rindu
mengakui sedang hamil? Mengapa?
Tuhan! Salahkah aku, bila aku mengasihi anakku begitu berlebihan? Salahkah aku,
bila aku mengharapkan anakku selalu bahagia? Jangan ada nestapa yang
merundungnya'
Rindu membaringkan tubuhnya kc atas ranjang. Telungkup memeluk bantal. Farida
memandangnya, tidak bergerak.
Terlintas lagi dalam bayangan Farida. Enam belas tahun yang silam, saat ia
memutuskan untuk menikah dengan Husni. Husni membawa tiga anak yang masih
kecil, dua lelaki dan satu perempuan: Irawan Palgunadi, dan Setyawati. Husni
berpisah dengan istrinya, karena isterinya meninggal dunia aalam suatu kecelakaan
lalu-lintas. Sedangkan Farida yang bercerai dengan suaminya, juga membawa tiga
orang, anak, dua perempuan dan satu lelaki; Rindu. Giri, dan Puri.
"Ida, aku memilihmu jadi isteriku, karena aku yakin kau bisa mengurus anak-anakku.
Semua, anakmu, anakku, harus kau didik sama. Jangan dibeda-bedakan. Jangan
sampai mereka mempertanyakan kesan pilih kasih.**
Farida menggigit bibir. Tiba-tiba seperti ada se-
11
suatu yang menusuk perasaannya. Sesuatu >ang lelah ditebus dengan
pengorbanannya untuk mengurus anak-anak Husni. Membesarkannya.
Tapi. mengapa ia selalu merasa aaa jarak dengan Irawan, Palgunadi. dan Setyawati?
Mengapa ia begitu kecut, waktu mendengar Irawan lulus jadi dokter0
Suara bel berdering. Farida tersentak. Baru saja ke luar kamar, ia melihat Puri sedang
membuka pintu. Yang muncul ternyata Palgunadi. Sore ini, Palgunadi baru pulang
les bahasa Inggeris. Ia kuliah di Fakultas Sastra Inggens - tingkat tiga.
"Giri belum pulang. Gun?" tanya Farida.
Giri satu universitas dengan Palgunadi. tapi beda jurusan. Giri mengambil jurusan
fakultas publisistik..
"Saya tak jumpa Giri, Bu.*'
"Kang Giri katanya kan sedang praktek di surat-kabar. Mungkin pulangnya malam "
sahut Puri.
Palgunadi langsung ke kamarnya, menyimpan buku. Ketika ia hendak ke kamar
mandi, tampak ayahnya sedang membetulkan lampu.
"Kenapa. Pa?" tanya Palgunadi.
"Mungkin putus," jawab pak Husni pelan.
"Bantu Bapamu, Gun!" perintah Farida.
"Coba, Pa!" Palgunadi naik ke atas kursi, sedangkan ayahnya langsung turun.
Palgunadi mencopot bohlam lampu, menggun-
can g-guncangkan ny a.
'Tadi Bapa jumpa Pak Sudiro. Direktur PT EVER GREEN yang mengurus
penyediaan keperluar alat-alat hotel. Katanya, dia perlu pegawai. Nanti kalau kau
sudah selesai kuliahmu, lak ada salahnya kau kerja bersama Pak Diro. Orangnya
baik, kepercayaan menteri perhubungan." Farida menghela nafas. Palgunadi diam
saja, tak memberi reaksi. "Bahasa lnggerismu bagaimana? Sudah lancar?" "Yaa...
lumayan. Bapa," jawab Palgunadi pelan. Bohlam dipasang lagi. Ternyata menyala.
Palgunadi turun, langsung ke kamar mandi.
Pak Husni menatap Puri yang tengah membuka-buka koran mingguan
"Riri! Kalau lulus SMA nanti, sebaiknya kau melanjutkan ke bagian akuntan. Atau
kursus bon A dan bon B, soalnya sekarang banyak perusahaan yang membutuhkan
tenaga ahli macam itu." Puri diam saja.
"Puri maunya ke bagian sekertaris, Pa," jawab Fa rida.
"Kalau bisa, usahakan jangan ambil jurusan sekertaris. Jadi sekertaris sekarang ini
gampang. Yang penting, asal wajah cantik dan cukup lancar mengetik."
Puri masih diam.
n
Farida cuma menelan ludah.
Setyawati muncul, tubuhnya basah oleh keringat.
"Dari mana?" tanya Farida.
"Habis pingpong, di rumah Tante Isna."
Setyawati langsung ke kamar mandi, tapi urung lagi, karena di dalam ada Palgunadi.
"Kalau masih berkeringat begitu, jangan dibiasakan langsung mandi. Nanti bisa sakit
bronchitis. Sudah SMA. masa tidak tahu tentang menjaga kesehatan!" kata Pak
Husni.
"Nggak. Saya nggak akan mandi. Pa! Ingin kencing." sahut Setyawati jengkel.
"Bapamu cuma menasihati, Wati!" kata Farida.
Pak Husni mengambil rokok Wismilak. ternyata habis.
"Si Somad mana?" tanya Pak Husni.
"Ada di dapur." sahut Puri.
"Suruh beli rokok," kata Pak Husni sambil mengeluarkan uang lima ratus rupiah.
Puri menerima uang itu. lalu ke dapur, menghampiri pembantu yang sedang makan.
"Rindu kenapa di kamar terus? Ini kan hampir Magrib." kata Pak Husni.
Farida tersentak, agak gelagapan.
'Tadi juga sudah kubangunkan, tapi katanya kurang enak badan. Masuk angin
barangkali."
4
"Ini waktu Magrib. Mestinya sembahyang dulu. kata Pak Husni
Palgunadi ke luar dari kamar mandi. Pak Husni bangkit. Terdengar beduk Magrib,
disambung suara adzan. Pak Husni berjalan ke kamar mandi, hendak wudlu.
"Rindu sakit apa sih. Bu?" tanya Wati. "Mungkin pusing." "Siapa tahu lagi ngidam."
Farida tersentak. Matanya nyalang memandang Setyawati.
"Jangan ngomong sembarangan!" "Sorry Bu. Saya kan cuma berkelakar saja Soalnya
Rindu lengket bener sama Mas Handoko!" Puri menghampiri.
"Eh. Bu. Seminggu yang lalu. saya melihat Ceu Rindu masuk ke kamar Mas Handf
"Lihat di mana kamu?"
"Waktu itu. saya diajak Ceu Rindu ke rumah Mas Handoko."
Farida menghela nafas
"Jangan suka berprasangka buruk."
Tapi Ibu harus waspada."
"iya."
Pak Husni ke luar kamar mandi, menuju ke kamarnya.
"Sajadah di mana. Bu?" tanya Pak Husni dari dalam kamar.
"Di atas bupet." iut Farida.
Terdengar suara i ^unadi mengaji.
"Ayo. kalian nggaK se.nbahyang?" tanya Farida.
"Lagi palang merah, Bu!" sahut Setyawati.
"Kamu?M suara Farida kepada Puri.
"Senasib1"
Farida menghela nafas, ia bangkit. Menuju ke ka mar Rindu.
"Ibu sendiri nggak solat.'' kata Puri.
"Siapa tahu lagi palang merah juga." sahut Setyawati.
"Ibu memang belang-bentong koq!"
Wajah Farida terkesiap, menyaksikan Rindu duduk di tepi ranjang dengan wajah
pucat.
"Rin! Kau tak usah mengurung dalam kamar. Ini sudah Magrib. Ayo, mandi dulu.
Nanti bapamu curiga."
"Saya tak kuat mandi air dingin Bu. Mau muntah." sahut Rindu 3gak tersendat.
"Kalau nggak kuat, ya pakai air hangat saja. Su ruh B i Minah untuk
menyediakannya."
"Bapa sudah tahu, Bu?"
"Tahu apa?"
"Tentang saya."
16
Farida menggelengkan kepala.
"Kau sendiri yang mesti bicara. Tapi sebaiknya kau mandi dulu, biar segar!"
Rindu bangkit. Seperti tak ada gairah.
"Cepat mandi. Nanti tidur lagi kalau memang pusing "
Rindu ke luar kamar, berjalan malas. Farida duduk di kursi. Tercenung. Bangkit lagi.
"Riri! Bikin teh manis buat bapa!" perintah Farida.
"Ya. Bu." sahut Puri.
Setelah sembahyang, Pak Husni duduk di ruang tengah. Mereguk teh manis. Farida
menghampiri. Duduk berhadapan.
"Rindu sudah bangun?"
"Sudah. Sedang mandi."
"Kalau sakit, bawa saja ke dokter cepat-cepat."
Palgunadi ke luar kamar, menghampiri Puri dan Setyawati yang sedang ngobrol di
ruang belakang.
Rindu yang baru habis mandi, berjalan melewati mereka. Batuk-batuk. Ketiganya
melirik.
"Kenapa, Rin° Sakit?" tanya Setyawati.
Rindu menganggukkan kepala, bergegas masuk ke dalam.
*\neh. akhir-akhir ini dia sering benar sakit." kata Pun.
17
"Hubungannya dengan Mas Handoko makin lengket lagi," kata Setyawaci.
"Kau pernah ke rumah Handoko?" tanya Palgunadi.
"Pernah," sahut Puri. "Di mana?"
"Itu tuh... di kompleks rumah orang gedean. Dia anak orang kaya, bapanya kerja di
sebuah perusahaan jasa perjalanan. Jadi managernya."
"Dia sendiri kerja di mana?"
"Nggak tahu. Kata Rindu sih di Hotel. Dia kan pernah kuliah di Akademi
Perhotelan."
Palgunadi menghela nafas.
"Si Rindu itu memalukan. Teman-temanku banyak yang tahu kelakuan dia. Banyak
yang sudah me-macarinya."
"Jangan cepat percaya, Kang Gun! Siapa tahu cuma gossip," sahut Setyawati.
"Gossip apaan? Ini serius."
"Iya, tapi kenapa Kang Gun diam saja kalau tahu Rindu begitu?"
"Urusan menasihati, itu urusan bapa dan ibu! Bukan urusanku. Lagi pula dia kan
sudah gede. Sudah tahu memilih mana yang baik buat dirinya, dan mana yang tidak."
Giri muncul membawa jagung rebus, diikuti Pak
18
Husni dan Farida. Ketiganya segera menyerbu
"Wah, tumben! Lagi banyak uang nih." kata Setyawati.
"Honor praktikum, ya?" kata Farida
"Saya tadi diajak teman ke Lembang, pulangnya
dibelikan jagung rebus ini."
Pak Husni mengambil satu, masih hangat. "Bagaimana kursus mengetiknya, sudah
selesai?"
tanya Pak Husni. /
"Sudah, Pa." /
"Sudah bisa dua puluh jari, kan?" kata Puri. / "Tapi sayang, mesin tiknya belum ada!"
kata Fb-
rida.
"Di kantor ada mesin tik nganggur. Kalau memang perlu, nanti Bapa bawa ke
rumah."
"Lho, Ceu Rindu ke mana?" tanya Giri.
"Ada di dalam kamar. Dia sakit," sahut Farida.
"Jagungnya masih banyak tuh."
"Antarkan saja ke kamarnya, Riri!" perintah Farida.
Puri mengambil dua buah jagung yang sudah dikupas daunnya, lalu menghampiri
Rindu di kamarnya.
Rindu nampak sedang berbaring. "Sakit apa sih?" tanya Puri. "Pusing."
19
"Kalau pusing, makan saja jagung ini. Pasti cepat sembuh„" kata Pufi sambil
memberikan piring yang berisi jagung.
"Jagung dari siapa?"
"Dari Mas Handoko," sahut Puri berkelakar Rindu tersentak. "Dari Mas Handoko?"
"Eh, koq kaget?" "Yang bener, Riri." "Kalau benar memangnya kenapa?" "Dia ke
mari?" Puri tersenyum.
"Dia ke mari dalam mimpi Ceu Rindu." "Ngaco."
"Tapi jagung ini enak. Manis. Yang. bawanya Kang Giri. Coba saja. siapa tahu
benar-benar berkhasiat."
Rindu mengambil satu buah. Puri meletakkan piring ui atas toilet. Kemudian ke luar
kamar.
Malam merayap kian kelam. Jam dinding berdentang sepuluh kali. Farida tampak
gelisah Pak Husni asyik dengan pekerjaannya, duduk dengan wajah serius. Meja
kerjanya diterangi lampu duduk. Yang lain, nonton t'"* di rumah belakang.
Faria. mengambil sebuah majalah wanita, mencoba membaca, tapi tak mau
konsentrasi. Pikirannya terus teriibat dengan persoalan Rindu. Tepatkah ka-
lau malam ini aku berterus terang? Bbik hati Farida. Atau Rindu saja yang berterus
terang di hadapan Pak Husni?
Hati Farida gemuruh, gelisah, dagdigdug. la seakan sudah membayangkan apa yang
bakal terjadi, seandainya suaminya tahu Rindu sudah hamil 2 bulan.
"Coba, Bu. Jangan beri kesempatan Rindu bergaul rapat dengan pemuda itu.
Penampilannya saja su;-dah memuakkan. Kayak krosboy. Sebagai seorang ibu, kau
mesti tahu memilih yang terbaik untuk anak-anak kita. Jangan terlalu membebaskan
anak. Aku ingin Rindu menyelesaikan kuliahnya dulu di Akademi Industri Niaga,"
ucapan Pak Husni terngiang lagi. Dan saat itu, ia berusaha membela diri, membela
Rindu.
"Bapa jangan terlalu berprasangka buruk. Tidak semua yang Bapa bilang jelek itu,
jelek pula kenyataannya. Jangan melihat orang dari penampilannya, tapi lihat pula
pribadinya."
"Aku bukan anak kemarin, Bu. Aku tahu, mana yang baik dan mana yang
menjerumuskan."
"Tapi Rindu kan sudah dewasa. Sudah mahasiswi. Sudah pantas punya pendamping."
"Aku tidak melarang dia punya pendamping. Aku harap, kau tidak mengukur
kedewasaan seseorang itu
21
dari usianya! Aku tidak menyetujui dia bergaul dengan lelaki itu, karena aku
memikirkan masa depannya. Aku ingin semua anak-anak kita bahagia. Semua
berhasil. Aku ingin menikmati masa tuaku dengan penuh ketenangan."
"Handoko anak baik, Pa. Ia sopan. Lagipula dia dari keluarga terpandang."
Pak Husni hanya memandang sekilas kepada Fari-"da.
"Terserah kau. Bu. Terserah. .Aku ingin lihat saja, sampai di mana kebenaran
penilaianmu terhadap pemuda itu!"
Farida tersentak, ketika mendengar suara gelak -tawa dari ruang belakang.
Jantungnya serasa copot. Mereka tak tahu menahu persoalan ini! Bisik hati Farida.
Mereka tenggelam dengan keasyikannya menonton tivi. Dan Rindu? Kasihan kau,
Rin! Aku mengerti perasaanmu! Aku mengerti kenapa kau segan ke luar kamar!
Mata Farida berkaca-kaca.
Bayangan masa lalu itu kian lekat di hadapannya.
Pada suatu malam, ia melakukan pekerjaan terkutuk itu ui sebuah hotel. Di luar
dugaan, tunangannya memergoki dia. Apa yang terjadi kemudian, benar-benar sangat
memukul perasaannya. Kendatipun tidak terjadi perkelahian, tapi tunangannya saat
itu
juga menjatuhkan vonis kepada dia.
"Aku mencintaimu, Ida. Tadinya aku telah berjanji, hanya engkau wanita yang bisa
mendampingiku sampai aku mati. Tapi kau telah menggerogoti kepercayaanku. Aku
mulai mencurigai alasan-alasanmu kalau kuajak bepergian. Aku banyak mendengar
kelakuanmu. Sampai ada orang yang memberitahu tempat kencanmu di sini. Ingat,
Ida. Ini merupakan penghinaan besar bagiku. Aku takkan melupakan
pengkhianatanmu. Dan jalan yang terbaik, kita berpisah. Aku tak ada ikatan apa-apa
lagi denganmu. Aku tak mau mengingatmu dan tak mau kenal kau lagi!"
Setelah itu. tunangan Farida ke luar kamar. Farida terpaku sejenak. Tapi
kekalutannya segera sirna, mendengar janji kekasihnya.
"Sudahlah, Ida. Kini persoalannya beres. Aku pasti akan menikahimu."
" Dan perkawinan itu terjadi. Masa berkencan yang penuh rayuan dan angan muluk,
cuma sekejap. Setelah lahir anak pertama, Farida mulai melihat belangnya janji
suami. Apalagi ketika lahir anak kedua dan ketiga. Farida merasa dihina. Terutama
jika mengenang lagi kebaikan tunangannya dulu. la tak mau diam. la balas sikap
suaminya, dan ia juga bermain gila dengan lelaki lain. Anak-anaknya terlantar. Masih
untung ada ibunya, yang setia mengurus.
23
Sampai kemudian ia berkenalan dengan Husni. Duda beranak tiga.
Setetes air-mata jatuh ke pangkuan. nda
menjerit dalam hatinya.
Tuhan! Kenapa masa laluku, mesti terjadi laci pada puteriku? Aku tak ingin ia seperti
aku! Aku tak ingin ia disakiti siapa pun! Aku berani berbuat apa saja, asal ia tak
menderita!
Pak Husni menoleh ke arah Farida.
"Bu." panggil Pak Husni.
Farida tersentak. Segera menyimpan majalah yan.i dibacanya. Bangkit menghampiri
suaminya. "Ada apa°"
"Tolong ambilkan air putih. Haus."
Farida bergegas ke belakang.
Pak Husni bangkit, menuju tempat tape-recorder Ia mengambil sebuah kaset
keroncong. Irama musik kesayangannya. Kemudian dibunvikan. Farida datang
membawa segelas air putih, disimpan di dekai pekerjaan Pak Husni.
Irama keroncong mulai mengalun. Pak nusn meneguk air putih sampai habi^.
"Kerjanya jangan terlalu diporsir, Pa. Kau kan pu nya penyakit ginjal. Jangan duduk
terus." kata Farida.
lu«ni hanya menghela nafas. Tak -mberi
reaksi.
*Kau kenapa belum tidur. Bu°" tanya Pak Husni. "Belum ngantuk." jawab Farida
pelan. Pak Husni mulai menulis lagi. Farida masuk ke kamar Rindu. Rindu nampak
sudah tidur, di samping Setyawati. Farida merasa lega. Suasana terasa sunyi.
Acara tivi mungkin tak menarik lagi. karena sudah dimatikan
Farida masuk ke dalam kamar. Perasaannya masih tak menentu. Masih goyah. Masih
was-was.
Sekaranglah saatnya! Semua sudah tidur! Bisik hari Farida. Tapi aku kasihan kepada
suamiku! Ia kelihatannya tenang. Aku tak mau mengganggu kete nangannya!
Farida duduk di depan cermin. Ia melihat keriput-keriput ketuaan kian memudarkan
kecantikannya. Tiba-tiba wajahnya mendadak pucat. Dalam cermin, seolah
bergantian muncul beberapa orang lelaki yang pernah berkencan dengannya.
Farida tak tahan. Ia menutupi wajahnya dengan kedua belah telapak tangan. Suara-
suara keras seakan menuding ke arah Farida.
- Kamu tidak jujur! -
- Kamu pengkhianat! -
- Kamu perempuan rendahan! -
- Kamu tak tahu perasaan! Kamu menjerumuskan anakmu sendiri! -
Farida bangkit. Membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Telentang menatap langit-
langit.
"Ida, aku hanya ingin titip anak-anakku padamu. Mungkin aku banyak keluar rumah,
kaulah yang paling sering mengurusnya," terngiang lagi suara Husni, beberapa tahun
yang silam.
Kenapa Husni begitu meragukan sikapku kepada anak-anaknya? Dan aku sendiri,
apakah telah membeda-bedakan kasih sayang itu dibandingkan apa yang kuberikan
terhadap anak-anakku sendiri?
Suara pintu terdengar berderit. Farida tersentak. Pak Husni muncul masuk kamar.
"Belum tidur juga, Bu? Kelihatannya kau seperti gelisah?*' tanya Pak Husni sambil
membuka bajunya, mengganti dengan baju piyama.
'Tidak tahu, rasanya tidak ngantuk. Mungkin, aku terlalu banyak pikiran.'*
"Memikirkan apa?" tanya Pak Husni sambil berbaring di samping Farida.
"Anak-anak kita sudah besar, Pa. Aku selalu memikirkan masa depan mereka."
"Tugasku rasanya hampir selesai, Bu. Aku hanya berhasil ingin mewariskan bekal
ilmu kepada mereka. Paling rendah, mereka sudah SMA. Irawan yang
tertua sudah jadi dokter, walaupun bertugas di Surabaya. Dia bisa jadi penggantiku
kelak."
*Tapir mereka belum ada yang menikah, Pa."
"Ya... barangkali itulah yang masih harus jadi perhatianku. Setidaknya, aku ingin
melihat mereka berbahagia dalam menempuh hidup berkeluarga. Bahkan kalau
mampu, aku ingin memilihkan pasangan yang serasi buat mereka. Kalau wanita, aku
ingin wanita yang bukan saja kelakuannya baik, juga bisa mendorong karier
suaminya. Kalau lelaki, ia harus lelaki yang bertanggung jawab, berkelakuan baik,
dan punya masa depan."
Farida menggigit bibir. Seakan ada sesuatu yang membentur perasaannya.
""*pfc.. dalam soal jodoh, kita tidak bisa banyak campur tangan. Mereka pasti punya
pilihan masing-masing."
"Aku tidak akan ikut campur. Sebagai orangtua, bukankah kita berhak menunjukkan
jalan terbaik buat anak-anak kita? Buat kebahagiaan mereka?*'
Farida terdiam lagi.
"Kalau Tuhan memperkenankan, aku ingin melihat semua anakku berhasil dalam
studi, juga menyaksikan pernikahan mereka," kata Pak Husni.
"Kau masih kelihatan muda, Pa."
"Usiaku sudah tua. Lebih tua darimu, Bu. Bah-
"»7
kan akhir-akhir ini kesehatanku sering terganggu. Rasanya kondisi badanku banyak
menurun."
"Aku bilang, kerjamu jangan diporsir, Pa "
"Aku mencintai pekerjaanku. Sudah puluhan tahun aku bekerja di bagian akuntan.
Lagi pula, dengan kedudukanku seperti sekarang ini, aku tak ingin mengecewakan
atasanku."
*"Jerih payahmu tidak sia-sia. Kini kita telah punya rumah besar, kendaraan, dan
sawah."
"Tapi masa depan, jangan diandalkan pada peninggalan semacam itu. Aku harus
tetap memburu masa depan untuk kebahagiaan anak-anak kita. Kadangkala suka
timbul bayangan buruk. Rasanya aku ingin segera menjual harta kekayaan ktta,
seperti sawah itu."
"Kenapa0"
"Warisan seringkah jadi penyebab suatu pertengkaran, suatu perpecahan dalam satu
keluarga "
Farida menghela nafas. Merasa seakan tersindir. Apakah suamiku meragukan
kejujuranku? Bisik hati Farida. Apakah dia menganggap, warisan akan memecah
belah anak-anakku dengan anak-anaknya?
"Aku ingin masa tuaku tenteram. Tidak ada rongrongan lagi. Kita bisa memilih hidup
di kampung, seperti jaman kanak-kanakku dulu. Terlalu lama di kota, rasanya makin
menyesakkan."
28
"Kau pikir, kita sudah punya rumah di kampung. Pa°"
"Aku sedang berusaha untuk memilih tempat yang baik."
"Lantas, rumah ini mau di kemanakan?"
"Jika anak-anak sudah jadi orang semua, apa salahnya kita jual. Kita usaha di
kampung."
Farida mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Terbayang, Irawan sudah jadi dokter. Sudah jadi orang. Sedangkan anak tertua dari
dia Rindu, malah hamil sebelum nikah. Suatu kenyataan yang kontras. Tiap
direnungkan, senantiasa menghentakkan perasannya.
1 gejolak hati Farida kembali bergema. Seka-ranglan saatnya! Aku harus mengatakan
apa yang menimpa Rindu. Tapi ketika melihat Pak Husni menguap panjang, kembali
Farida mengurungkan niatnya. Dalam suasana lelah dan ngantuk, tidak mustahil
justru akan mendatangkan amarah besar.
Ketika Pak Husni sudah lelap tidur, Farida masih membuka mata. Tidak ada
rangsangan untuk ngantuk Berkali-kali dinandangi wajah suaminya, dan berbagai
macam pe i bergalau dalam benaknya.
>i luar, malam kian sepi dan kelam.
BAGIAN KEDUA
HANDOKO anak bungsu dari keluarga Kardiman. Dua orang kakak lelakinya telah
jadi sarjana. Darmc insinyur sipil ITB. bekerja di sebuah perusahaan asing. Dan
Bambang sarjana ekonomi, bekerja di sebuah bank. Kedua kakaknya sudah
berkeluarga
Sore itu, di rumah orangtuanya yang mewah, Handoko sedang menghadapi Rindu.
Berdua saja di ruang depan. Rumah besar itu, seringkah sepi.
"Jadi sudah dua bulan?"
Rindu menganggukkan kepala. Handoko tampak serba salah.
"Orangtuamu sudah tahu?"
Rindu mengangguk lagi.
'Tapi aku hanya bilang pada ibu."
30
Handoko menyibakkan rambutnya.
"Kalau masih bisa diakali, apa tidak lebm baik digugurkan saja ?"
Rindu tercenung.
"Bagaimana mungkin..."
"Mungkin saja kalau mau."
"Apa Mas Handoko menyesal karena aku hamil?"
Handoko terdiam sejenak. Lalu menggelengkan kepala, setengah terpaksa.
Tadinya, aku belum mengharapkan kau hamil. Aku tak menyangka sama sekali.
Rasanya terlalu cepat jika kita punya anak. Ya... sesungguhnya aku tidak ingin segera
menikahimu "
Rindu menggigit bibir.
"Cepat atau lambat, bukankah sama saja?"
'Tadinya, aku ingin sekolah lagi di luar negeri."
"Mas kan sudah punya pekerjaan. Sudah cukup. Apalagi yang diharapkan?"
Handoko terdiam lagi. Ia merasa tersudut.
"Tapi... kalau kau benar-benar menyayangiku, coba usahakan dulu. siapa tahu
kandunganmu bisa digugurkan."
Rindu merundukkan kepala. Pedih.
"Kau jangan salah sangka, Rin. Ini demi kebaha» giaan kita juga."
Mata Rindu berkaca-kaca. Jauh dalam lubuk hati-
31
nya Rindu merasa kecewa karena sikap Handoko sama sekali di luar dugaannya.
Tadinya ia menduga, apa yang akan terlontar dari mulut Handoko, adalah hasrat
untuk segera melamarnya. Tapi... ini menyuruh menggugurkan kandungan!
Kandungan yang sudah berjalan dua bulan. Kandungan yang telah membentuk ianin.
Mestikah aku membunuh anak dalam kandunganku atas nama kasih-sayang yang
dituntut Mas Handoko0
Dalam telinga Rindu terngiang lagi ucapan seorang sahabatnya.
"Kalau suatu saat kau mengalami kecelakaan seperti yang pernah kualami, ingat,
Rin! Jangan kau gugurkan! Kau akan menyesal seumur-umur. Bukan hanya
menanggung sakit jasmani, tapi juga rohani. Kau akan dibayangi rasa dosa yang tak
berkesudahan. Lebih dari itu, ada yang pernah menggugurkan kandungan, setelah
berkeluarga ia tak bisa punya anak.'*
Tiba-tiba bulu kuduk Rindu serasa bergidik. Tidak! Bagaimanapun juga, aku tidak
akan menggugurkan anak kandungku! Kalau aku menggugurkan kandungan ini
seperti yang dikehendaki Mas Handoko, aku bukannya menunjukkan rasa sayang
kepada Mas Handoko, tapi aku telah membunuh buah kasih sayang!
Handoko memperhatikan Rindu yang dianggap-
nya Kebingungan.
•'Tidak usah ragu-ragu, Rin. Kau harus nekad. Jangan terlalu banyak pertimbangan.
Semua pasti berjalan lancar."
'Tidak..." sahut Rindu agak tersekap.
Handoko tersentak.
'Jadi kau tak menyayangiku, Rin?"
Rindu menatap Handoko dengan tegar.
"Aku sayang, aku cinta. Kalau tidak, buat apa aku mau menyerahkan segalanya
kepada Mas. Tapi untuk membunuh buah kasih sayang, buah cinta kasih ini. aku tak
mau. Tidak... aku tak bisa melakukannya."
"Siapa yang mau membunuh0 Kubilang kan cuma gugurkan saja."
'Aku bukan anak kecil. Mas. Menggugurkan kandungan, bukankah berarti
melenyapkan pertumbuhan janin dalam rahim seorang wanita. Apa bedanya dengan
membunuh0 Keduanya sama-sama dilenyapkan lengan sengaja "
"Lantas, apa maumu, Rin?"
"Mestinya itu tak perlu kautanyakan lagi. Mestinya Mas mengerti apa yang harus
Mas perbuat."
"Aku benar-benar tak mengerti. Katakan saja terus terang, apa maumu0"
"Apakah tidak terlintas dalam pikiran Mas untuk
33
segera melamarku, sebelum aib ini diketahui semua orang?"
"Justru aku belum berpikir ke arah itu, makanya aku mengusulkan agar kau mau
menggugurkan kan-dunganmu."
"Inikah arti cinta Mas terhadapku?" sahut Rindu kesal.
"Baiklah. Baiklah, Rin. Jadi aku mesti segera melamarmu? Baik. Baik kalau itu yang
kau kehendaki?"
"Mestinya... mestinya... itu datang dari hati nurani Mas sendiri. Bukan terpaksa
karena aku."
Ketika Rindu meninggalkan rumah Handoko, Handoko masih sempat memburunya.
"Rin. Aku tidak memaksa. Tapi coba kau pikirkan baik-baik. jika kau berani
menggugurkan kan-dunganmu itu, kupikir segalanya akan lebih baik."
Kini Rindu menatap Handoko dengan nyalang.
"Kalau saja Mas mengerti bagaimana penderitaan perempuan menerima suatu aib,
pasti Mas akan tahu menghargai wanita. Seandainya aku menggugurkan kandungan,
yang tersiksa itu bukan Mas, tapi aku lagi. Bahkan tidak mustahil penderitaanku akan
terus beruntun...."
Kemudian; Rindu melangkah meninggalkan Handoko. Sementara Handoko berdiri
termangu
***
34
P'jRl 0.an Setyawati sudah berkab-Kah merner--okJ Rindu sedang muntah di kamar
mandi. Terutama Uaiau sedang tak ada Pak Husni dan kedua kakak lelakinya. Hal ini
menimbulkan tanda tanya. Suatu senja, ket:ka Puri. Setyawati, Giri dan Palgunadi
sedang duduk di beranda, masalah itu dikemukakan oleh Puri.
"Aneh. Masa penyakit pusing tak sembuh-sembuh. " kata Puri.
"Yang bilang pusing itu siapa?" tanya Palgunadi.
"Ibu. Kalau aku memergoki Rindu sedang muntah muntah, ibu suka buru-buru
menghampiri, lalu bilang bahwa Rindu masuk angin. Aku suka disuruh ngerok."
"Dan Rindu, tidak pernah mencernakan apa-apa kepadamu?" tanya Giri.
"Paling-paling hanya bilang, sering pusing dan mual," kata Setyawati. "Bahkan aku
pernah menyarankan untuk diperiksa dokter. Tapi Rindu tak memberi reaksi apa-apa.
Biasanya, kalau sakit, Rindu kan suka segera ke dokter."
"Iya, ya. Tidak mustahil dia itu hamil," gumam Palgunadi.
Semua terdiam sejenak, seakan menimbang-nimbang dulu perkataan Palgunadi.
"Kalau hamil, pasti dia bilang," kata Giri.
35
"Mana berani!" sahut Setyawati.
"Iya. Bapa pasti marah besar. Yang kena semprot tidak mustahil kita juga," kata Puri.
"Mengapa mesti kena semprot? Kita tidak bersalah "
"Siapa tahu bapa lantas mengeluarkan peraturan ketat buat kita, biar kita tidak
seperti Rindu..."
"Kita kan sudah gede. Kalau kita juga jadi sasaran apa salahnya protes," kata
Setyawati.
"Iya, kita jangan lantas disamaratakan," tambah Puri.
"Misalnya kalau benar Rindu hamil, dan kita sudah mengetahuinya, tapi bapa saja
yang belum tahu. apa yang mesti kita lakukan?" tanya Setyawati.
"Aku sih bilang saja terus terang," sahut Palgunadi.
"Kupikir jangan dulu. Bapa bisa shock. Rindu bakal jadi bulan-bulanan kemarahan
bapa Apalagi Rindu itu kesayangan ibu. Akibatnya bisa gawat. Bagaimana kalau
bapa bertengkar dengan ibu?" kata Giri.
"Biar saja. Kita kan mengemukakan fakta yang sesungguhnya. Resikonya jelas mesti
ditanggung Rindu Kalau ibu membela, berarti ibu membenarkan perbuatan yang
tidak benar," kata Puri.
"Tapi, bagaimanapun kita harus hati-hati. Jangan
36
bertindak gegabah. Apa tidak lebih baik ibu saja yang mengatakan segalanya kepada
bapa, atau kalau berani, Rindu sendiri yang mesti berterus terang kepada bapa," kata
Setyawati.
"Iya, itu lebih bagus. Lebih aman." kata Giri.
"Yang kutakutkan, seandainya ibu tak berani bilang kepada bapa,- juga Rindu.
Sedangkan perut hamil, kan tidak akan stabil dalam posisi yang kempes," kata
Palgunadi.
Ketiga saudaranya tersenyum.
"Eh, ngomong-ngomong. kita kan belum tahu pasti apa benar Rindu itu hamil," kata
Puri.
Tiba-tiba mereka terdiam, ke'tika Rindu muncul, pulang dari rumah Handoko.
Wajahnya pucat seperti habis menangis. Berjalan agak merunduk. Tentu saja mereka
keheranan.
"Kenapa, Rin? Kelihatannya seperti sakit." kata Palgunadi.
"Nggak," sahut Rindu, lalu bergegas masuk ke dalam, langsung ke kamarnya.
Mereka saling berpandangan, kian heran. "Pasti ada sesuatu," bisik Setyawati.
***
37
PELAN-PELAN, Farida membuka pintu kamar Rindu, lalu menutupnya lagi. Rindu
tampak sedang telungkup. Farida menatapnya sejenak. Hatinya selalu luruh, jika
melihat Rindu bersedih.
Salahkah bila aku begitu menyayangi Rindu lebih dari siapa pun, ya Allah? bisik hati
Farida.
Bayangan masa lalu itu, lekat kembah dalam benaknya. Saat mengandung Rindu,
adalah saat paling menderita bagi Farida. Suaminya sering tak di rumah, meski
Farida masih begitu percaya akan kejujuran suaminya, dengan alasan suaminya sibuk
dengan pekerjaan. Sampai melahirkan anak pertama, suaminya tak hadir juga, Farida
masih tak punya prasangka buruk. Ia membiayai sendiri kelahiran Rindu, dengan
bantuan orangtuanya.
Dan pada suatu hari, ketika usia Rindu belum juga setahun, ia memergoki apa yang
diperbuat suaminya sesungguhnya. Ia memergoki suaminya sedang menggandeng
seorang wanita. Sejak itu, hati Farida benar-benar terpukul, la berusaha
mempertahankan kelanggengan keluarganya, sambil ia juga membalas perlakuan
suaminya. Ia main gila dengan lelaki lain. Rindu terlantar. Rindu tak terurus. Bahkan
suatu malam, Rindu hampir terenggut nyawanya, waktu terserang step. Hanya ibunya
yang mengatasi kemelut itu.
38
Sedangkan kelahiran Giri dan Puri. adalah buah dari kebencian kepada suaminya,
tapi tetap harus tunduk kepada aturan kewajiban isteri melayani suami.
Perlahan, tubuh Rindu menggeliat. Dan lamunan Farida buyar. Kini perhatiannya
kembali tertuju pada tubuh telungkup yang menggeliat itu Rindu telentang. Ia
tersentak, tatkala bertatapan dengan ibunya. Rindu segera bangkit. 'Bu.. "
Farida menghampiri, duduk di tepi ranjang. "Kau jangan murung terus. Rin. Itu tidak
baik bagj kesehatanmu "
"Kenapa Ibu belum bilang juga pada bapa'1" Farida menghela nafas. 'Mesti cari saat
yang tepat, Rin." "Ibu takut'1"
Farida terdiam sejenak, lalu menggelengkan kepala pelan.
"Saya takut... perut saya makin lama makin..." "Itu sudah pasti."
"Saya ingin segera agar bapa mengetahuinya." "Kau berani menanggung resiko
kemarahan bapa-
mu?
Rindu menggigit bibir "Berani?" ibunya meyakinkan
39
"Iya," sahut Rindu pelan.
"Bapamu sangat baik. Rin. Tapi bapamu orang yang keras akan prinsipnya. Itu
sebabnya, Ibu harus carT suasana yang tepat buat membicarakan persoalan ini."
Rindu merundukkan kepala. "Bagaimana dengan Handoko?" Rindu masih runduk,
tak menjawab. Farida jadi heran.
"Handoko sudah tahu, kan?" Rindu menganggukkan kepala. "Bagaimana reaksinya?"
Rindu terdiam. Mestikah aku bilang terus terang reaksi yang sesungguhnya kepada
ibu? bisik hati Rindu. Mestikah aku bilang, bahwa Handoko acuh tak acuh? Bahwa
Handoko malah menyuruh aku menggugurkan kandungan0 Bahwa Handoko belum
ingin berkeluarga0 Padahal aku begitu percaya akan rayuan Handoko. Begitu percaya
bahwa Handoko baik. Begitu percaya, bahwa Handoko akan bertanggung jawab
"Koq diam°"
"Mas Handoko menunggu. Bu," jawab Rindu pelan.
"Menunggu apa?"
"Dia... dia akan menikahi saya," suara Rindu kian
40
pelan, seakan ia tak begitu yakin akan ucapannya sendiri
Farida tercenung, seperti masih ada yang merisaukan hatinya. Tapi kemudian ia
tersenyum.
"Sudahlah. Rin. Kalau begitu, memang tinggal menunggu saat yang tepat untuk
berbicara dengan bapa."
Farida agak kaget, ketika pintu kamar ada yang membuka. Ternyata yang muncul
adalah Puri.
"Bu! Bapa pulang," kata .Puri.
Farida bangkit. Puri masuk ke kamar, menghampiri kakaknya.
"Sakit? Koq sering benar sakit. Ceu Rin. Ke dokter dong. masa takut sama dokter."
Rindu tak memberi reaksi atas gurauan adiknya.
"Jangan ganggu kakakmu, Riri. Biarkan dia istirahat," kata Farida sambil ke luar
kamar. Puri juga segera mengikuti ke luar kamar.
Farida menghampiri Pak Husni yang sudah berganti pakaian, sedang mereguk
minuman.
"Koq pulangnya telat, Pa?"
'*Jalanannya macet."
"Mau makan sekarang?"
"Nanti saja. habis Magrib "
Pak Husni memandang ke kamar Rindu.
41
"Rindu masih sakit?" "Iya."
"Sudah ke dokter?"
"Dia bandel Tak mau ke dokter."
"Maeam anak kecil saja, pakai takut sama dokter."
Pak Husni berjalan ke kamar Rindu.
Jantung Farida berdegup kencang.
Pak Husni membuka pintu kamar, Farida diam-diam mengikuti dari belakang. Rindu
agak terkejut, melihat ayahnya menghampiri. Ia berusaha mengatasi kegugupannya.
Tangan kanan Pak Husni meraba kening Rindu. Memandang Rindu dengan seksama.
"Kalau pusing terus, periksalah ke dokter, sebelum penyakitmu gawat," kata Pak
Husni.
Rindu diam saja.
"Nah, apa kata bapamu, Rin. Kau bandel sih, tak mau menuruti perintahku. Besok,
cobalah ke dokter. Minta diantar Giri atau Riri," sahut Farida.
Pak Husni menoleh, menatap Farida, lalu kembali memperhatikan wajah Rindu.
Ketika Pak Husni ke luar kamar, rasanya Rindu terlepas dari beban yang
mengharupit perasaannya, kendatipun cuma sejenak, karena ketakutan itu kembali
menguntit.

Farida makin gelisah. Seperti akan ada sesuatu


42
yang meledak dalam rumah yang selama ini adem-ayem itu.
***
MENJELANG tengah malam, ketika suasana sepi. Pak Husni menghampiri Fariria
yang tengah membaca sebuah novel karya pengarang wanita.
"Belum tidur, Bu?" tanya Pak Husni.
"Tanggung. Ceritanya mengasyikkan."
"Kau ini, dari dulu selalu akrab dengan buku cerita."
"Ya... habis hiburan apa lagi? Nonton film jarang, rekreasi jarang... daripada
nganggur di rumah terus."
Pak Husni terdiam. Ucapan isterinya. dirasakan seperti memukul dirinya. Ya! Sama
sekali tidak salah, kalau isterinya bilang jarang nonton, jarang rekreasi. Selama ini, ia
jarang memberi hiburan kepada isterinya. Selama ini, ia memberi tugas kepada
isterinya tak lebih dari seorang penunggu rumah dan pengurus anak.
"Maafkan, Bu. Selama ini aku memang tak pernah...."
"Hei, Bapa ini rupanya tersindir, ya? Jangan sampai terus ke hati, Pa. Aku kan cuma
bergurau saja.
43
Sebagai ibu rumah-tangga bukankah aku lebih cocok banyak tinggal di rumah?"
Pak Husni cuma tersenyum
4'Bu... sebetulnya ada sesuatu yang ingin kubicarakan."
Farida mengernyitkan alis, memandang suaminya. "Ada apa?" "Mengenai Rindu."
Farida tersentak. Seluruh kegelisahannya, kini seakan terpusat, menunggu saat
meledak. "Ada apa dengan Rindu?"
'Terus terang saja, Bu. Aku merasa heran, akhir-akhir ini kuperhatikan Rindu sering
sakit, bahkan tiap aku datang, selalu di dalam kamar. Wajahnya pucat dan murung.
Apa kau tidak mencurigai sesuatu pada
Rindu, Bu?"
Farida terdiam. Pak Husni menatap isterinya, keheranan.
"Maksudku... sampai di mana hubungan Rindu dengan lelaki yang kaubangga-
banggakan itu?"
"N ia aku tahu," sahut Farida.
" a kau tidak melihat sesuatu perubahan pada diri Rindu?"
F rida terdiam lagi.
"Bu! Kau lebih banyak diam. Kau e***n menyimpan sesuatu rahasia. Atau... kau
memang sudah
44
tahu apa yang terjadi pada diri Rindu"*"
Fanda menggigit bibir, mengangguk pelan "Iya."
"Jadi apa yang terjadi pada Rindu9" "Lebih baik, kau sendiri yang menanyakannya
kepada dia."
"Baik. Panggillah dia ke mari." Farida bangkit.
'Tapi aku mohon, kau jangan berbuat kasar terhadap dia."
Pak Husni diam saja tak memberi reaksi Wajahnya kelihatan jadi tegang. Farida
masuk ke kamar Rindu.
Tak lama kemudian, Farida muncul lagi diikuti Rindu. Rindu duduk menghadap Pak
Husni. sambil merundukkan kepala.
"Nah, Rin. Katakanlah terus terang, apa yang terjadi pada kau sesungguhnya. Aku
tak yakin, kalau kau sakit. Kau pasti memendam suatu kegelisahan."
Rindu melirik kepada ibunya. Farida menganggukkan kepala.
"Bicaralah, Rin. Jangan takut. Apa yang sudah terjadi, tak usah menghantui benakmu
lagi."
Pak Husni menatap isterinya sejenak, ada perasaan tak senang karena Farida
kelihatan membela Rindu.
45
"Maafkan saya. Pa." suara Rindu bergetar. "Katakan saja, apa yang menimpamu?"
"Saya... saya... hamil..."
Pak Husni tersentak. Mendadak wajahnya merah padam. Bibirnya gemetar. Jantung
Farida dagdig-dug kencang, seakan sudah bisa menangkap apa yang bakal keluar dari
mulut Pak Husni
"Perempuan gampangan!" seru Pak Husni keras.
Palgunadi dan Giri yang belum tidur lelap, sama-sama tersentak. Kaget. Diam-diam,
keduanya mendengarkan dari dalam kamar.
"Jadi lelaki begitu calon suami yang dibangga-banggakan itu? Lelaki yang hanya
ingin meruntuhkan harga dirimu! Martabat keluargamu! Lelaki yang men-
jerumuskanmu!"
Rindu makin menundukkan kepala, matanya mengembang bening. Farida diam tak
berkutik, tak memberikan reaksi. Sementara Palgunadi dan Giri saling memandang,
sama-sama menggelengkan kepala.
"Dari semula aku kan sudah bilang! Bukan lelaki macam begitu yang patut
kaujadikan tumpuan harapan! Hidup bukan cuma makan cinta melulu! Aku bukan
ingin mendiktemu dalam bergaul. Kalau saja kau mengerti, kepada semuanya aku
sangat sayang. Kepadamu, kepada Giri, kepada Irawan, kepada Palgunadi, kepada
Puri, juga kepada Setyawati. Aku
46
ingin semua anakku hidup tenteram dan bahagia, hidup serba cukup. Aku Ayahmu,
aku punya hak untuk memberitahu kalau aku melihat sesuatu yang akan
mengacaukan jalan hidupmu. Tapi kau dan Ibumu tak mau menghargai pendapatku!
Kalian cuma menurutkan hawa nafsu!"
"Aku memang salah, Pa. Aku minta maaf." kata Farida.
"Setiap orang bisa dengan gampang meminta maaf, tapi tidaklah gampang untuk
berpikir agar tidak membuat kesalahan."
"Yaa.... habis mau bagaimana lagi. Pa. Semuanva sudah terjadi. Anggap saja ini
sebagai ujian dari Tuhan."
Pak Husni tersentak, dengan nyalang ia memandang isterinya.
"Ujian Tuhan! Ujian Tuhan buat siapa? Buat kau! Dan kau tidak tahan ujian itu!"
kata Pak Husni sambil menuding ke arah Rindu.
Airmata Rindu menitik.
"Kalau sudah begini, baru membawa-bawa nama Tuhan. Tapi ketika kau melakukan
aib itu, kau sama sekali mencampakkan ajaran Tuhanmu."
Airmata Rindu mulai berderai.
"Pa... sudahlah. Pa..."
"Karena kau! Karena selalu kaubela! Dia jadi ber-
buat seenaknya saja. Dia jadi tidak karuan!"
"Rindu sudah salah, aku juga mengakui kesalahanku. Apalagi yang kau inginkan,
Pa?"
"Aku tidak menginginkan apa-apa lagi. Kau selalu membela Rindu, aku tak ada
harganya lagi di mata kalian."
"Jangan begitu, Pa. Kau harus memikirkan keadaan Rindu. Dia harus segera menikah
dengan Handoko."
"Kubilang silakan saja!"
"Kau mesti mengurusnya."
"Mengurus apa? Sudah kukatakan, aku tidak ingin apa-apa lagi. .Aku sudah
mengurusnya, tapi imbalannya apa'7 Kalian tak mau menggubris! Kalian tak mau
dengar!"
Jam berdentang dua belas kali. Pak Husni mengusap wajah.
"Rin... tidurlah." perintah Farida.
Rindu tetap diam merunduk. Menangis,
"Aku benar-benar kecewa! Kalian telah membuyarkan harapanku. Studimu juga
berai tak an!"
Rindu menangis.
"Buat apa menangis?"
"Rindu benar-benar menyesal, Pa. Dia takut dan menyesal karena telah
mengecewakanmu. Sekarang ia juga mesti menghadapi Handoko. menghadapi renca-
na pernikahan
"Aku tak mau ikut campur! Itu urusan kalian!"
Farida menghela nafas. Tangannya membimbing Rindu
'Ayo. tidurlah dulu. Rin. Nanti kau sakit."
Rindu bangkit, berjalan merunduk masuk ke dalam kamar.
Di kamar lain. Giri dan Palgunadi berbaring lagi.
"Malu-maluin saja." gumam Giri.
"Itulah akibatnya, kalau anak terlalu disayang, terlalu dimanjakan." sahut Palgunadi.
Kemudian sepi.
Di sebuah kamar, masih hangat dengan pembicaraan. Tidak keras, tapi tegang. Pak
Husni dan Farida masih terlibat dalam persoalan Rindu.
"Aku tidak menghalangi kautumpahkan rasa kasih sayangmu kepada Rindu, tapi
jangan terlalu berlebihan. Kau mesti tahu, mana yang terbaik buat Rindu dan mana
yang bakal menjerumuskannya. Seperti kau berusaha membela Rindu, padahal Rindu
bersalah, jelas itu tidak baik. Rindu akan memperalat-mu. dan wibawaku sendiri akan
tercampakkan
Farida diam. sambil telentang menatap langit-langit.
"Semuanya sudah terjadi."
"Iya. semuanya sudah terjadi, padahal kalau saja
49
48
\
kau bisa menunjukkan wibawamu di hadapan Rindu, kemungkinan terjadinya lebih
kecil. Salah satu kelemahanmu kau begitu takut menyakiti perasaan Rindu, hingga
kau tak bisa marah terhadapnya."
"Sekarang aku mohon, kau mau menerima kehadiran Hantoko. Jangan marahi dia.
Jangan berantak-kan angan-angannya."
"Semuanya terserah padamu."
"Jangan begitu. Bagaimanapun Bapa tetap harus terlibat. Baik atau jelek, Rindu anak
kita."
Pak Husni terdiam. Ia ingin terus bicara, ingin menghabiskan uneg-unegnya kepada
isterinya. Tapi i.ik tuntas. Ada sesuatu yang mengganjal perasa-uinva. Ada sesuatu
yang ia hindari dari isterinya. Ada sesuatu yang ia rasakan sebagai kekurangan utama
pada dirinya. Sesuatu yang tak mampu membahagiakan isterinya secara utuh.
Dan Pak Husni mencoba memejamkan mata, menekan gejolak perasaannya.
Sementara Farida, tercenung dicekam rasa was-was.
Sepi pun kian sempurna.
***
50
BAGIAN KETIGA
HAMIL Rindu sudah berjalan tiga bulan, tapi belum ada tanda-tanda bahwa
Handoko datang melamar. Rindu sendiri jadi gelisah, sebab ia selalu berusaha
menutupi sikap Handoko yang sesungguhnya Ia selalu bilang pada ibunya, bahwa
Handoko menunggu saat yang baik.
Lama kelamaan, Farida cemas juga. Handoko malah lama tak berkunjung.
"Kau ini bagaimana, Rin? Seperti menghadapi persoalan sepele saja. Perutmu kan
makin lama makin membesar, apalagi yang ditunggu Handoko sih?"
Rindu terdiam. Ia ingin berterus terang. Tapi takut merisaukan perasaan ibunya.
Farida segera menyambung lagi.
51
"Bilang segera pada Handoko. agar ia tak usah repot-repot menghitung saat yang
tepat. Pokoknya, lebih cepat lebih baik."
"Mas Handoko, pasti segera ke mari. Bu." jawab Rindu pelan.
Farida menatap Rindu. Ada kesangsian di wajah
itu.
Kepada Pak Husni, Farida juga membicarakan soal lamaran itu.
"Kurasa, kau harus turun-tangan. Pa. Kau harus mendatangi Handoko dan
orangtuanya untuk...."
"Tidak!" Pak Husni segera memotong, setengah membentak. "Itu memalukan. Mau
dikemanakan harga diri kita? Sudah anak kita dihamili, lantas kita mesti mengemis
tanggung jawabnya."
"Kalau tidak begitu, kalau tidak ada yang mengalah, persoalannya akan berlarut-
larut"
"Peristiwa begini yang paling kubenci! Sebelumnya, kau dan Rindu tak mau
mendengar nasihatku, tak mau menghargai pendapatku. sekarang aku yang mesti
menghadapi akibatnya. Mau dikemanakan harga diriku? Coba, mau dikemanakan?"
Farida menghela nafas.
"Kalau kau tak mau, biar aku saja."
Pak Husni menatap Farida, lantas manggut-roang-
gut.
'Terserah kau."
Farida menggigit bibir sambil menundukkan kepala.
?*«
PERNIKAHAN berlangsung dengan meriah, setelah Farida bersusah payah
menjumpai orangtua Handoko. Menggebrak Handoko. Pak Husni. walaupun kesal
dan kecewa, memaksakan hadir juga. Resepsi pernikahan diselenggarakan di sebuah
hotel mewah. Dokter Irawan sengaja datang dari Surabaya.
Seusai pernikahan Rindu, dokter Irawan menghadap orangtuanya. la juga
mengemukakan rencananya untuk menikah.
"Dengan siapa?" tanya Pak Husni.
"Gadis Bali. Dia mahasiswi kedokteran Universitas Airlangga."
"Gadis Bali?" Pak Husni seperti tersentak, lantas mengernyitkan alis.
Farida masih diam. Belum memberikan reaksi.
"Agamanya?"
"Hindu."
Pak Husni menatap dokter Irawan dengan tajam. "Dengar baik-baik, Ir. Bapa tidak
ingin mengatur
53
soal jodohmu. Tapi yang harus kauperhatikan. kau mesti memilih gadis yang baik
buatmu, juga buat keluargamu."
"Saya tidak salah pilih, Pa. Dia sangat baik. Bahkan satu profesi, sebab tak lama lagi
dia juga akan menempuh ujian sarjana. Kami saling membutuhkan, saling..."
"Bukan. Bukan itu yang utama. Kau harus ingat, [r. Ini bukan main-main. Ini
menyangkut soal keyakinan. Kau dan calon isterimu berbeda agama. Padahal,
sebelum menikah, calon isterimu wajib masuk Islam dulu "
Dokter Irawan terdiam, la seperti tak punya cara lagi buat meyakinkan ayahnya.
"Tak usah jadi beban pikiranmu, Ir. Yang penting sekarang kau harus ceritakan dulu
kepada calon isterimu itu. apakah ia bersedia masuk agama Islam atau tidak?" kata
Farida.
Irawan menghela nafas. Seakan mendadak ada beban yang mengganjal perasaannya.
"Siapa nama gadismu itu?" tanya Farida lembut
"Ni LuhSudari."
"Namanya bagus, pasti orangnya cantik, ya?" kelakar Farida.
"Mirip Ibu, tapi lebih cantik dia," sahut dokter Irawan sambil tersenyum.
54
Farida tertawa.
"Kalau mirip Ibu dan lebih cantik, pasti seperti gambaran gadis dalam cerita klasik
Bali... mmm... . seperti... Layonsari! Soalnya. Bapamu juga waktu masih muda.
naksir Ibumu setengah mati."
Dokter Irawan tersenyum. Kegelisahannya agak sirna. Sementara Pak Husni cuma
mesam-mesem.
***
SEBELUM kembali ke Surabaya, dokter Irawan mengajak keempat adiknya: Puri,
Setyawati, Giri. dan Palgunadi, ke sebuah restoran di jalan Dago. Mereka memesan
makanan dan minuman.
Dokter irawan menceritakan rencananya untuk menikah dengan Ni Luh Sudan juga
ketidaksetujuan ayahnya karena perbedaan agama. Ia meminta saran adik-adiknya
"Koq kayak dalam novel percintaan saja. Berbeda agama, dan tidak disetujui
orangtua," kata Pun
"Itu kan sudah biasa, Kang. Tidak usah dipikirkan terlalu mendalam. Banyak koq
pasangan suami isteri yang berbeda agama, tapi tetap bahagia. Cinta itu tak bisa
dihalang-halangi oleh perbedaan agama."
55
sahut Setyawati.
Dokter Irawan tersenyum.
"Saya pikir, pendapat bapa juga perlu dipertimbangkan. Benar, cinta itu tak mengenal
perbedaan agama, perbedaan warna kulit, atau rintangan lainnya. Tapi khusus soal
perbedaan agama, adalah menyangkut soal sikap akan keyakinan yang dianut. Kalau
misalnya agama Islam melarang penganutnya menikah dengan yang beragama lain,
kecuali ia masuk agama Islam, lantas dilanggar, resikonya tokh ditanggung oleh dia
sendiri. Bukan begitu. Kang?" kata Pai eu nadi
Dokter Irawan terdiam. Dalam hati, ia membenarkan komentar Palgunadi. Lantas,
seperti tak disadari kepala dokter Irawan mengangguk.
"Tapi nggak usah gentar. Kang. Kalau memang kekasih Akang itu cintanya pada
Akang seratus persen halal dan murni, pasti dia mau menurut kehendak Akang. Dia
bakal mau masuk agama Islam." kata Giri.
Dokter Irawan meneguk minumannya, mencoba menenangkan perasaan yang
bergalau. Mungkinkah Luh Sudari mau mengikuti agamaku? Bisik hati Irawan.
Kalau tidak, apa yang mesti kuperbuat?
"Seandainya, ini seandainya lho," kata Puri. "Kekasih Akang itu tak mau masuk
agama kita, saya
kira tidak ada hubungan dengan masalah kadar cintanya. Bagaimanapun, kita mesti
menghargai keyakinan seseorang di atas segalanya."
"Allaaa... koq pusing amat sih. Kalau pilihan Akang memang sudah tertuju pada dia,
sudah klop, sudah serasi, tak bisa diganggu gugat lagi, tak usah banyak
pertimbangan. Nanti malah tambah ruwet. Bikin pusing orang sekampung.
Pokoknya; asal ada saling pengertian yang harmonis. Itulah kunci kebahagiaan
rumah tangga," kata Setyawati.
"Uuuuhhh, sok yang sudah pengalaman saja!" sahut Giri.
"Lho, ini kan tukar pendapat. Nggak salah kan, Kang?"
Dokter Irawan cuma mengangguk sambil tersenyum.
"Prinsipnya, terserah Akang. Saya hanya menyarankan, ada baiknya Axang mengkaji
pendapat bapa. Ada baiknya Akang mengkaji prinsip Akang. Pokoknya, saya selalu
menghargai pilihan Akang. Sebab pilihan seseorang, juga berarti dengan resikonya.
Saya kira Akang lebih dewasa dalam mengambil keputusan kata Palgunadi.
Makin terasa oleh dokter Irawan, bahwa di antara keempat adiknya itu, Palgunadi-lah
yang paling kuat pendapatnva. Tak jauh berbeda dengan sikap ayah-
57
nya, meski Palgunadi lebih lunak i merdu-
kan perasaan dokter Irawan.
*•*
DOKTER Irawan sudah kembali ke Surabaya. Rindu tinggal di rumah mertuanya.
Pikiran Farida masih belum tenang. Ia selalu was-was, mencemaskan keadaan Rindu.
Ia takut seperti dulu, seperti apa yang dialaminya. Dalam keadaan hamil, justru
penderitaan itu berawal. Handoko, sungguh bukan lelaki yang mententeramkan
perasaan. Dari sikapnya waktu menghadapi kehamilan Rindu, Farida seakan sudah
bisa menilai sampai di mana rasa tanggung jawab dan cinta Handoko terhadap
puterinya.
Itulah sebabnya, Farida lebih sering menengok Rindu. Sering mengantar, kalau
Rindu diperiksa dokter. Sementara Handoko, hanya sekali-sekali saja.
Pada suatu hari, Farida menerima surat dari dokter Irawan. Farida membacanya
dengan perasaan tegang. Ia seperti sudah bisa menerka, bahwa isi surat itu adalah
kabar tentang kelanjutan hubungan anaknya dengan Ni Luh Sudari.
58
- Ke hadapan Ibu dan Bapa Terkasih,
Sekembalinya dari Bandung, saya secepatnya menemui Ni Luh Sudari, Saya
menjelaskan permintaan Bapa, agar kalau menikah ia mau masuk agama Islam.
Saya tak tahu mesti berbuat apa, ketika Ni Luh Sudari menjawab dengan gelengan
kepala, sambil menahan tangis. Dia berterus-terang, sangat mencintai saya. Tapi
tidak untuk mengubah agama yang dianut. Bahkan, kalau saya tetap berkeras hati
mengikuti keinginan Bapa, ia merasa lebih baik berpisah saja.
Bapa dan Ibu yang saya hormati,
Untuk berpisah dengan Ni Luh Sudari, rasanya tak bisa. Saya juga sangat mencintai
dia. Kami sepakat, untuk menikah tanpa mengganggu-gugat kepercayaan masing-
masing. Kami bersatu, saling menghormati agama yang dianut.
Saya tidak tahu, apakah pilihan saya ini bisa dibenarkan oleh Bapa atau Ibu. Tapi
rasanya, saya tak bisa mengambil ke putusan lain. Saya hanya mohon doa restu Bapa
dan Ibu. Nanti, saya akan perkenalkan calon xya itu kepada Bapa dan
Ibu.
Maafkan, kalau seandainya saya tidak menurut
59
keinginan Bapa. Saya harap Bapa mau mengerti.
Ananda, IRAWAN
Farida tercenung sete'ah membaca surat itu ia hanya ingin memikirkan Rindu; tapi
persoalan Irawan juga pasti merongrongnya- la sudah bisa membayangkan,
bagaimana reaksi suaminya. Kalau irawan tetap teguh dengan pendiriannya, berarti
telah dua kali Pak Husni dikecewakan.
Setelah membaca surat Irawan, Pak Husni terdiam sejenak Seakan mencoba
menenangkan perasaan. Mencoba meredakan gejolak kecewa yang gemuruh.
"Aku sudah menduga, gadis itu takkan mau masuk agama Irawan. Tapi kenapa
Irawan begitu gampang untuk tetap menikah dengannya? Apakah dia tidak
memperhitungkan masa depan anak-anaknya0 Apakah akan dibiaritan begitu saja
anaknya memilih agama yang akan dianutnya0 Walaupun orang bebas memilih
agama yang dianutnya, tapi Irawan mesti yakin akan kebenaran agamanya. la harus
punya prinsip yang tak bisa diganggu-gugat, bahwa keturunannya juga harus
mengikuti agamanya. Kalau seandainya mengikuti agama ibanya, lantas apa
kekuatan Irawan dalam rumah-tangga itu? Kalau
60
isterinya menganut agama yang berlainan, bagaimana mungkin tercipta kerukunan
yang utuh? Sementara ia sendiri sudah tak mampu menjalankan perintah agamanya
dengan benar!"
Farida menatap Pak Husni, mencoba menenangkan perasaan suaminya.
"Kalau terus dipikirkan, memang akan terus mengganggu pikiranmu. Irawan sudah
dewasa, Pa. Dia sudah bisa memutuskan mana yang terbaik untuk dirinya. Kau tokh
sudah menyampaikan saranmu, kalau dia tetap juga berkeinginan menikah dengan
gadis itu, tak usah dijadikan gangguan. Apa salahnya kau bersikap terbuka,
menerima kenyataan itu dengan lapang dada."
"Dia memang sudah dewasa. Sudah sarjana. Sudah dokter. Sudah tak memerlukan
bantuan biaya kita lagi. Dia sudah lepas. Tapi bukan itu yang menyinggung
perasaanku. Dia tidak utuh dalam menjalankan perintah agamanya. Dia lebih
mementingkan cinta kepada perempuan. Dia tidak memperdulikan, bahwa agamanya
melarang dia menikah dengan wanita yang berlainan agama."
"Habis kita mau apa lagi, Pa? Pada akhirnya tiap orang, berjalan dengan
pendiriannya masing-masing. Dengan rcsikonya masing-masing."
"Aku telah gagal. Dua kali gagal. Pernikahan
61
Rindu... pernikahan Irawan... semua mengecewakan aku."
Farida terdiam. Begitu dalam kekecewaan Pak Husni, bisa dirasakan Farida. Lalu,
bagaimana jadinya nanti? Rindu yang masCi mencemaskannya, dan Irawan yang
mesti dihadapinya.
"Pokoknya, aku tak mau tahu. Irawan telah bertekad memilih jalan yang
ditempuhnya sendiri, jalan yang bertentangan dengan keinginanku. Aku harus
membuktikan, bahwa keyakinanku tak bisa diganggu-gugat. Aku takkan menghadiri
pernikahan itu!"
Farida tersentak. Sama sekali ia tak menduga, kalau suaminya akan bersikap begitu.
"Jangan emosi, Pa. Segala macam cobaan, harus kita hadapi dengan tenang. Arja
salahnya kita mengalah, tokh demi kebahagiaan dia. Bukankah dengan melihat anak
kita bahagia, kita sudah tidak perlu memikirkan yang lain lagi? Kita terima apa
adanya."
'Tidak! Aku telah mengurus dia sejak kecil sampai jadi sarjana. Aku tak
mengharapkan balas jasa dengan materi. Aku ingin semua anakku bahagia. Tapi, aku
juga ingin mereka memperhatikan keinginanku, harapanku..."
Farida terdiam. Suara Pak Husni agak melemah, seakan terpukul sekali.
62
"Mungkin pendapatku kuno, atau kolot... tapi demi Tuhan, aku ingin ia hidup tidak
hanya menurut jalur sukses studinya. Aku mengharapkan lebih dari itu. Lebih jauh
dari itu. Karena aku cinta anak-anakku."
***
PURI disuruh Farida menengok Rindu. Puri berkunjung bersama Palgunadi, naik
motor. Di rumah besar itu, Rindu tinggal di sebuah rumah antik yang terpisah dari
rumah induk. Kecil, tapi mungil. Tidak mengganggu rumah orangtua Handoko.
Baru saja Palgunadi hendak memijit bel, segera diurungkan karena mendengar suatu
pertengkaran. Palgunadi dan Puri saling memandang dengan wajah cemas, la
berusaha mendengar pertengkaran itu dengan seksama. Jelas suara Rindu dan
Handoko.
"Mas benar-benar tak tahu perasaan!"
"Aku kan sibuk."
"Bani saja datang, mau pergi lagi. Mana waktu buatku? Apa Mas anggap aku ini
cuma penunggu rumah?"
'Terserah kau Aku kan cari makan, buat kau." 'Aku tak melarang Mas bekerja,
berusaha. Tapi
63
tidak untuk mengabaikan seperti sekarang ini."
"Apa maumu sebenarnya?"
"Aku ingin Mas membagi waktu buatku. Apa artinya sebuah rumah-tangga, kalau
malam hari, siang hari, aku lebih banyak sendirian. Apalagi hamilku makin besar.
Mestinya kau ada perhatian. Mestinya kau perlihatkan kasih-sayangmu kepada
anakmu yang bakal lahir."
"Sudah kubilang, aku belum siap berkeluarga. Dulu kan k u usulkan, lebih baik
gugurkan saja kan-dunganmu itu. Kita merencanakan berumah-tangga lebih matang.
Setelah aku berhasil..."
"Mas keterlaluan!"
'Jadinya seperti ini, ribut melulu!"
Mata Puri berkaca-kaca. Sungguh tak menyangka, kalau perlakuan Handoko akan
sekasar itu. Palgunadi wajahnya merah padam. Menunggu dengan tegang.
"Kalau ia berbuat kasar, akan kuhajar!" gumam Palgunadi.
"Jangan terburu nafsu. Jangan ikut campur. Nanti akibatnya lebih gawat," bisik Puri.
Pertengkaran kian meruncing.
"Mas tak tahu perasaan! Di mana letak tanggung jawabmu? Aku butuh kasih-sayang!
Bukan dipenjara seperti sekarang ini. Bayangkan, bagaimana perasaan ibuku. Dia
vang sering mengantarku ke bidan. Dia
«
jarang melihat Mas di rumah."
"Ini urusan keluarga kita, bukan keluarga ibumu."
Tapi Mas tidak bertanggung-jawab! Tidak ada perhatian!!"
"Aku sudah membiayai hidupmu! Apa itu mau kau hilangkan?"
"Bukan itu yang utama buatku!"
"Kau memang selalu cari keributan. 'Mana bisa aku betah di rumah, kalau sikapmu
begini."
"Mas tidak merasakan kepedihanku... Mas tidak merasakan bagaimana rasanya
perempuan yang menghadapi kelahiran anak pertamanya... Mas tidak pernah
menunjukkan kasihmu kepada calon anak kita... Mas1 acuh.... terlalu!"
Rindu menangis.
Handoko terdiam.
Di luar, Palgunadi dan Puri saling memandang. "Aku harus menghajarnya,"
Palgunadi mengepalkan tangan.
"Jangan ikut campur. Biarkan saja. Nanti malah Rindu kian repot. Kita tinggalkan
saja, yuk. Kapan-kapan, kalau suasananya sudah tenang, kita ke mari lagi."
Agaknya Palgunadi memaklumi usul Puri. Tanpa berkata, ia berjalan meninggalkan
rumah itu. Puri
65
6-4
mengikutinya dengan perasaan lega, meskipun hatinya tetap cemas akan nasib
kakaknya.
**•
KECEMASAN itu kian menghantui Farida, setelah ia mendengar cerita Puri dan
Palgunadi tentang Rindu. Ya, Allah! Kenapa anakku mesti mengalami nasib
sepertiku dulu! Dia mungkin lebih menderita! Kuatkan hatimu, Rin! Kau harus tabah
menerima cobaan!
Farida mulai berpikir, untuk mengajak Rindu tinggal di rumahnya. Selama
mengandung. Biar ada yang menjaga. Tapi apakah Pak Husni akan menyetujui?
Apakah Rindu mau?
Malam harinya, Farida mengemukakan niatnya itu kepada Pak Husni.
"Kupikir Rindu belum berpengalaman, jadi selama ia mengandung, lebih baik kita
suruh tinggal di sini saja."
Pak Husni tidak segera memberi reaksi. Ia tercenung. Seakan keheranan; mengapa
isterinya tiba-tiba saja mengusulkan agar Rindu kembali ke rumahnya? Bukankah
baru dua bulan saja Rindu bersama suaminya? ?
66
"Heran, mengapa kau begitu mencemaskan Rindu? Bukankah suami Rindu, menurut
kau. seorang suami yang baik dan sangat mencintai Rindu? Biarkan saja Rindu
menikmati kebahagiaannya."
Farida terdiam sejenak. Jawaban suaminya, langsung memojokkan dirinya. Rasanya
tak bisa berkutik. Tapi, sambil menutupi apa yang dialami Rindu, Farida mencoba
meluluhkan sikap Pak Husni.
"Handoko orang sibuk, Pa. Dia sering meninggalkan Rindu. Barangkali, karena ia
mempersiapkan biaya untuk kelahiran anak pertamanya. Kupikir, tak ada salahnya
Rindu tinggal dulu bersama kita '
"Aku tidak keberatan ia tinggal di sini. Yang ku-heiankan, kenapa kau selalu
mencemaskan dia? Kenapa selalu tak lepas memikirkan dia? Dia kan sudah
berbahagia."
"Dia kan anak kita. Apa tidak boleh aku memikirkannya?"
"Boleh. Boleh. Tapi dia kan tidak menderita? Kau bilang sendiri, dia berbahagia.
Mengapa kita mesti mengganggu kebahagiaannya? Mengapa kita mesti menganggap
dia seperti anak keciT Biarkan saja dia belajar hidup berumah-tangga. Belajar sendiri
menghadapi kelahiran anak pertamanya. Masa suaminya diam saja? Yang sudah
berbahagia, mengapa mesti meisaukan perasaanmu?"
67
Farida menghela nafas. Mau rasanya ia menuturkan, apa yang sesungguhnya
menimpa Rindu. Biar suaminya tahu, bahwa Rindu menderita. Bahwa Rindu tersiksa.
Tapi Farida tak ada keberanian untuk itu. la takut, hanya akan menambah kerisauan.
Bagaimana kalau Pak Husni malah memarahinya. Salahku! Bisik hati Farida. Kenapa
dulu aku mesti memuji Handoko berlebihan. Mengapa aku begitu percaya pada
Handoko!
"Apakah tidak ada alasan lain, mengapa kau begitu menginginkan Rindu kembali
bersama kita?" tanya Pak Husni sambil menatap Farida tajam.
Farida merunduk. Tidak. Ia tidak berani mengatakan alasan yang sesungguhnya.
Dalam keadaan tersudut begitu, Farida cuma bisa menggelengkan kepala. Pelan.
"Kalau begitu tak usah kita ganggu kebahagiaan
Rindu."
Farida menggigit bibir. Ingin rasanya menangis. Semuanya serba gelap dan
menggelisahkan.
?•#
JAM sepuluh siang, Rindu datang ke rumah. Yang tinggal di rumah hanya Farida dan
pembantu. ?ak
68
Husni bekerja, semua anaknya sedang sekolah.
Memandang wajah Rindu yang pucat, dan mata memerah seperti habis menangis,
dengan perut yang kian membesar, Farida sangat iba.
"Sudah diperiksa?" tanya Farida.
"Besok, Bu."
"Makin besar perutmu, kau mesti makin hati-hati. Jangan terlalu banyak pikiran.
Nanti bisa mengganggu bayimu."
Rindu menundukkan kepala.
"Naik apa ke mari?"
"Becak."
"Tidak diantar Handoko?"
Rindu menggelengkan kepala.
Farida memandang Rindu dengan seksama. Lalu duduknya pindah ke samping Rindu
Lengan kanan Farida memegang bahu Rindu.
"Rin... kuperhatikan, kau seperti yang sedang kalut. Wajahmu lebih sering murung.
Ada apa sesungguhnya?"
Rindu menggelengkan kepala.
"Jangan bohong. Kalau ada sesuatu yang mengganggu perasaanmu lebih baik kau
kemukakan kepada Ibu. Jangan kau pendam. Nanti akibatnya lebih parah."
Rindu merundukkan kepala. Seperti ragu-ragu.
69
Takut.
"Rin, Puri dan Gun pernah ke rumahmu."
"Kapan?" tanya Rindu heran.
'Tapi ia tak sampai masuk, ia segera pulang lagi. karena katanya... kau sedang
bertengkar dengan Handoko."
Rindu tersentak. Menggigit bibir. "Benarkah kau pernah bertengkar dengan
Handoko?"
Rindu menganggukkan kepala. Pelan. "Sering?"
Rindu menganggukkan kepala. Pelan. Farida menghela nafas. "Kenapa mesti sering
bertengkar, Rin?" "Mas Handoko... tak tahu perasaan. Bu." Farida memandang Rindu
dengan seksama. "Apa maksudmu?"
"Dia jarang tinggal di rumah. Bahkan belakangan ini, siang hari atau malam hari,
selalu dihabiskannya di luar rumah. Kalau saya tegur, di?, marah."
"Mungkin dia bekerja keras, untuk menghadapi kelahiran anak dalam
kandunganmu."
'Tidak. Biaya sehari-hari, lebih sering ditanggung orangtuanya. Dan sudah lebih 4ari
cukup."
"Lalu apa kerja dia?"
"Saya tak tahu pasti."
70
"Dulu, kau bilang Handoko sangat baik. Sangat ncintaimu."

"Iya, dulu dia begitu...."


"Aneh, lelak, macam apa dia itu? Menghadapi jterinya yang sedang hamil, koq acuh
tak acuh," Farida mulai emosi.
4tSalah saya, Bu."
"Apa0"
"Salah saya. Dulu, dia tak menghendaki kelahiran anak dalam kandungan ini. Bahkan
dia menyuruh iggugurkannya. Dia bilang.... dia belum siap untuk lenikah."
Farida bengong Seakan tak percaya akan keterangan Rindu barusan. Lalu ia
menggeleng-gelengkan kepala.
'Terlalu... terlalu... kenapa baru kauceritakan sekarang? Pantas hatiku tak tenang
memikirkan rumah-tanggamu."
"Maafkan saya. Bu. Saya mengecewakan Ibu dan Bapa," tiba-tiba Rindu
menyusupkan kepala ke dalam pelukan Farida. Hati Farida benar-benar luluh.
"Semua sudah terjadi. Yang penting kau harus tabah. Jangan sampai membuatmu
putu s-asa. Ingat bayi dalam kandunganmu, Rin. Ingatlah itu. Pusatkan perhatianmu
ke situ Kau harus berkorban untuk itu. Kau harus makan teratur, gizi yang
terpelihara, hati
71
yang tenang. Berdoalah selalu kepada Tuhan, semoga Handoko segera menyadari
kekeliruannya."
Rindu mulai menangis. Farida mengusap rambut Rindu, penuh kasih sayang.
"Lebih baik, secepatnya kau tinggal lagi di sini. Biar pikiran Ibu tenteram."
'Tidak, Bu."
"Kenapa tidak? Daripada tinggal di rumah Handoko kau kesepian, menderita, lebih
baik kau tinggal di sini. Biar Handoko tahu menghargai seorang isten. Kalau benar-
benar dia itu mencintaimu, dia akan menyusul dan memintamu kembali."
"Saya takut."
'Takut oleh siapa? Handoko?" "Saya takut bapa."
"Selalu saja bapamu yang kautakuti. Soal bapa, itu urusan Ibu. Yang penting, kau
bisa tenang." "Saya telah bersalah, saya telah mengecewakan
bapa."
"Sudahlah. Ibu bilang; sekarang kau harus tenang. Harus tabah. Kalau perlu acuh saja
dengan kesedihanmu. Biar hatimu tak terganggu. Biar kelahiran anakmu sehat!"
Rindu memejamkan mata. Lalu menundukkan kepala.
Banyak benar persoalan yang mesti kuhadapi! Bi-
72
sak hati Farida. Belum selesai Rindu... ditambah dengan Irawan! Bagaimanapun,
kalau Pak Husni tak mau menghadiri pernikahan Irawan, ia mesti datang! la mesti
merestui. Tapi, pikiran dan perasaannya begitu erat kepada Rindu!
Ya, Allah! Semoga aku bisa tabah dan tetap sehat. Aku ingin, semua anak-anakku
bahagia. Aku ingin, agar Rindu segera terbebas dari himpitan perasaannya.
***
73
BAGIAN KEEMPAT
DOKTER Irawan tiba siang hari, bersama Luh Sudari. Farida menyambutnya dengan
ceria, memeluk dan mengecup pipi kiri dan kanan Luh Sudari. "Berdua saja?"
"Dengan kakaknya Luh, Bu. Dokter juga. Kebetulan, ia ada perlu ke rumah temannya
di jalan Anggrek."
"Mau nginap di sini?"
"Entahlah."
Farida menatap Luh Sudari. "Baru ke Bandung, ya?" Luh Sudari menganggukkan
kepala. "Di Bandung pasti betah. Soalnya, udara di sini lebih nyaman daripada di
Surabaya. Bawaannya ti-
74
duuurrr melulu."
Luh Sudari tersenyum.
Kemudian Farida mengenalkan Giri, Setyawati, Puri, dan Palgunadi, yang kebetulan
kumpul semua.
'Tidur di kamar saya saja, ya Kak.'" kata Puri.
'Terima kasih," sahut Luh Sadari.
Setyawati berbisik kepada Giri. "Cantik, ya?" Giri menjawab dengan anggukan,
"Bapa belum pulang, Bu?" tanya Irawan.
"Mungkin sebentar lagi," sahut Farida.
Puri mengajak Luh Sudari ke kamarnya, diikuti Setyawati. Palgunadi dan Giri juga
membantu membawakan tas.
"Bagaimana, Bu?" tanya Irawan.
"Bagaimana apa?" Farida balik bertanya.
"Mmmm... bagaimana pendapat Ibu dengan ke-putusan saya?"
Farida menatap Irawan. Tersenyum. Terbayang waktu Irawan masih kecil. Seorang
anak yang keras akan sikapnya. Kalau minta dibelikan sesuatu yang tak cocok
dengan keinginannya, langsung suka dilemparkan. Kalau bersalah, ia suka langsung
mengakui kesalahannya. '
"Ir... sejak awal, Ibu sudah menduga apa yang akan kauperbuat. Ibu sih menganggap
kau sudah dewasa. Ibu hanya berdoa untuk kebahagiaanmu."
75
"Terima kasih, Bu," jawab Irawan, wajahnya berseri, hatinya terharu.
"Yang perlu kauhadapi, adalah bapamu.'" "Bapa... bagaimana?"
"Kau sudah siap menghadapi reaksi ayahmu, kan?"
Irawan terdiam. Farida tersenyum.
"Apa yang dikatakan bapamu waktu itu, adalah sebuah sikap. Agaknya tak bisa
diganggu-gugat." "Jadi, bapa tetap tak setuju?" Farida menganggukkan kepala.
Irawan tercenung.
"Ingat! Kau juga harus menghargai sikap bapamu. Kau harus memahaminya."
"Saya... saya tak bermaksud menyakiti perasaan bapa, Bu. Saya mencintai bapa. Saya
hormat kepadanya. Tapi saya juga sangat mencintai Luh."
Farida tersenyum. Matanya berkaca-kaca.
"Itu pasti. Luh memang cantik koq."
Irawan mengusap wajahnya.
"Rindu, bagaimana?"
Farida tersentak. Pertanyaan itu, sungguh di luar dugaannya. Tapi Farida mencoba
tegar.
"Kelakuannya sih masih seperti dulu. Manja. Kelokan. Tapi sudah lebih dewasa."
76
"Kandungannya? " "Baik."
"Kapan dia melahirkan?"
"Mungkin empat bulan lagi."
"Ibu ingin cucu perempuan, atau laki-laki?"
Farida menatap Irawan. Alangkah menyenangkannya pertanyaan itu. Ingin cucu
perempuan, atau laki-laki? Ya, sebentar lagi aku bakal jadi nenek! Bisik hati Farida.
"Koq diam, Bu. Nggak ada pilihan, ya?"
"Kau ini, habis Ibu mesti pilih yang mana. Perempuan atau lelaki bagi Ibu sama saja,
yang penting asal bayinya sehat, Rindu juga sehat."
"Mendingan cucu laki-laki, Bu. Teman-teman saya, hampir semua anaknya
perempuan."
Farida tertawa.
"Memangnya bisa tawar menawar?" "Rindu suka ke mari, Bu?" "Kemarin dia dari
sini."
Farida ingin menceritakan kisah sesungguhnya yang menimpa Rindu. Ia merasa
perlu Irawan mengetahuinya, la merasa perlu Irawan memikirkannya. Ia merasa
perlu, Irawan memberikan saran. Tapi belum ada keberanian untuk itu. Ada rasa was-
was. Mungkinkah Irawan mau menolong Rindu? Mau mengerti penderitaan Rindu?
Tidakkah justru akan se-
77
baliknya, Irawan akan mencemooh lelakj pilihan Rindu? Akan menyalahkannya,
seperti juga Pak Husni?
"Saya merencanakan nikah, tahun depan, Bu."
"Di Bah?"
"Ya. Di Denpasar."
"Kau berhubungan baik dengan orangtua Luh?"
Irawan menganggukkan kepala.
"Orang tua Luh, orangnya moderat, Bu."
"Biasanya, justru adat mereka jauh lebih keras daripada adat kita."
"Entahlah, banyak orang bilang begitu. Tapi untung tidak terjadi pada saya. Mungkin
sudah jodoh."
Farida tersenyum.
"Saya ke kamar dulu, Bu."
"Iya. Istirahat saja dulu. Nanti Luh ajak makan."
Irawan meninggalkan Farida. Farida masih tercenung, duduk bersandar ke kursi.
Terbayang, ketika ia mengucapkan lagi niatnya untuk mengajak Rindu kembali ke
rumah. Pak Husni langsung menyudutkannya dengan pertanyaan.
"Aku benar-benar curiga. Ada apa sesungguhnya antara Rindu dan suaminya. Kau
kelihatannya cemas sekali."
Terpaksa. Tak ada pilihan lain. Dalam keadaan be-
78
gitu. Farida harus berani menanggung resiko apa pun. Demi keselamatan Rindu.
Demi kesehatan Rindu. Lalu. ia menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi pada
diri Rindu. Apa yang sesungguhnya dialami Rindu. Apa yang sesungguhnya diderita
Rindu akibat perlakuan suaminya.
"Dugaanku tak meleset! Lelaki macam apa sesungguhnya yang kaubanggakan itu!
Inilah akibatnya! Sekarang yang pusing adalah kita juga."
Farida diam saja. la merasa lebih baik begitu. Tidak ngotot. Kesalahan ada padanya.
Membela diri untuk menghapus kesalahan, niscaya akibatnya akan lebih fatal.
"Sudah kubilang, aku begitu mendambakan masa tua yang tenteram. Masa tua yang
damai. Aku ingin melihat anak-anak kita berbahagia. Semua. Aku ingin semua
bahagia. Dari anak bawaanmu. Dan anak bawa-anku Sekarang apa yang mesti
kuperbuat0 Kalau kau mau menyuruh Rindu di sini, silakan. Tapi apakah dengan
begitu penderitaan Rindu selesai? Kecemasanmu hilang0"
Farida merundukkan kepala. Kepahitan! Alangkah pedihnya! Jerit hati Farida. Masa
laluku! Mengapa mesti terulang kembali pada anakku! Anak kandungku'
'Saya memang bersalah. Maafkan saya, Pa." Ha-
79
nya itu yang keluar dari mulut Farida. Kemudian ia diam lagi.
Rindu ternyata belum mau diajak pindah, kendatipun Farida sudah menjelaskan sikap
Pak Husni.
"Saya ingin mencoba bertahan dulu di sini. Siapa tahu Mas Handoko segera
menyadari kekeliruannya. Kalau nanti, saya sudah tak bisa tahan lagi, saya akan
kembali.*'
Farida memeluk Rindu. Ia mengerti, mengapa anaknya mencoba bertahan, la
mengerti, sesungguhnya sepedih apa pun lelaki menyakiti perasaan perempuan,
apalagi isterinya, selalu ada ukuran ketabahan menunggu hadirnya kesadaran. Selalu
ada keinginan untuk memupus derita masa silamnya, pada saat kesadaran itu datang.
"Bu! Saya mau ke alun-alun dulu bersama Setyawati!" kata Giri.
Farida agak kaget, lamunannya buyar.
"Iddiihhh, Ibu koq melamun, ya? Pasti melamun Pulau Dewata. Ingin segera ke Bali,
kan?" kata Setyawati.
"Husss," Farida melotot, lalu tersenyum. "Mau apa?"
"Itu.... Nyonya Irawan ingin coba kupat-tahu dan martabak!"
"Uangnya ada?"
80
"Beres. Kan ada cukong!"
Giri dan Setyawati berangkat naik motor.
Farida masih tercenung.
Tuhan! Kenapa aku mesti takut, anak-anak dari pihakku akan tersisihkan? Kenapa
pikiran buruk itu, selalu menghantui perasaanku?
* * jk
PAK HUSNI dengan ramah menyambut Luh Sudan dan kakaknya dokter Komang
Rusna. Ketegangan yang meliputi hati Farida dan Irawan, agak sirna. Soalnya,
mereka ngen kalau sambutan Pak Husni lustru bisa menyinggung perasaan Luh
Sudari dan Komang Rusna. Dalam hati Irawan mengagumi sikap ayahnya, dalam
perasaan yang bertentangan, masih tetap menghargai orang lain.
"Mau menginap di sini?" tanya Pak Husni.
"Terima kasih. Pa. Kebetulan di sini ada kenalan baik saya yang sudah berkeluarga.
Jadi, saya dan Luh mau menginap di tempat dia."
"Di sini juga tidak apa-apa. Masih ada kamar kosong."
*Terima kasih. Pa."
Malam hannya. Pak Husni bicara dengan Irawan.
81
dihadiri Farida. Pada saat semua sudah berada di kamarnya masing-masing.
"Saya sudah menjelaskan keinginan Bapa kepada Luh, tapi ia tak bisa mengikuti
agama saya."
"Secara pribadi aku memuji dia. Tapi dalam urusan pernikahan ini, aku tetap
keberatan. Aku harus tegaskan, bahwa aku tidak setuju! Aku mengerti perasaanmu,
ukuran cintamu, aku juga menyukai perilakunya. Tapi perbedaan kepercayaan itu,
bagiku lebih utama. Dan ini menyangkut prinsip. Kau mungkin menganggap cinta
kepadanya di atas segalanya, sedangkan aku melihat cinta di atas segalanya itu lebih
dari apa yang kaulakukan sekarang."
"Rasanya, saya tak punya pilihan lain," jawab Irawan pelan
"Pasti begitu."
"Saya harap Bapa mengerti."
"Aku mengerti."
"Bapa mau memaafkan saya?"
"Kalau kau merasa benar, buat apa meminta maaf."
"Saya mungkin mengecewakan Bapa." "Iya. Aku memang kecewa." Farida terus
memperhatikannya, belum berani menengahi.
"Bagaimanapun, saya memerlukan restu Bapa.
82
Saya memerlukan kehadiran Bapa."
"Setiap orangtua, niscaya selalu berdoa untuk kebahagiaan anak-anaknya. Tapi kalau
dalam pernikahanmu, kau mengharapkan kehadiranku, tidak mungkiri. Tidak bisa."
Irawan memejamkan mata. Terasa ada yang begitu dalam menyentuh perasaannya, i
Farida memperhatikan dengan iba.
"Saya telah mengecewakan Bapa. Tapi saya begitu berharap Bapa bisa merestuinya."
"Bukankah sudah kubilang, ini soal prinsip. Kalau aku merestui pernikahanmu,
berarti aku telah melanggar prinsipku. Aku masih bisa menghadiri pernikahan Rindu,
karena kuanggap sebagai suatu kekeliruan, kecerobohan. Tapi pernikahanmu dengan
Luh Sudari, adalah ujian bagi keteguhan imanku."
Irawan merundukkan kepala. Jauh dalam lubuk hatinya, ia begitu mengagumi
keteguhan sikap ayahnya. Dan kini, ia benar-benar merasa tersudut. Benar-benar
merasa tak berkutik. Ia harus menerima sikap ayahnya, la harus menghargai sikap
ayahnya, la harus menanggung resiko dari tekadnya.
Ketika Pak Husni berlalu meninggalkannya, Irawan merunduk sambil menutup
wajah dengan kedua telapak-tangannya. Farida mengusap rambut Irawan, seperti
kepada anak kecil.
83
'Tak usah bersedih. Pilihanmu, adalah yang terbaik untukmu. Setiap manusia, punya
garis nasibnya masing-masing. Yang penting kau juga harus teguh Jangan lupa
berdoa, siapa tahu suatu saat kau berhasil meyakinkan Luh Sudari untuk mengikuti
agamamu.""
"Atau... sebaliknya?"
"Kau sudah dewasa. Ir. Sudah bisa memilih yang terbaik buatmu. Sebab pada
akhirnya, kita ini sendiri-sendiri."
Irawan tercenung.
Ada yang menghunjam perasaannya Begitu dekat ia dengan ibunya. Begitu akrab
Tapi kenapa dengan ayahnya, seperti ada yang putus" Malam sepi. Menikam diam-
diam.
***
RASANYA tidak percaya, tatkala Irawan bertemu pandang dengan Rindu. Wajah
yang dulu ceria, kini nampak pucat tak bergairah. Sementara perut Rindu kian
membesar. Irawan berkuniung ke rumah Rindu bersama Luh Sudari.
"Mana suamimu, Rin?"
"Kerja," Jawab Rindu pelan. "Kapan datang0"
84
tanya Rindu sambil menatap Luh Sudari.
"Sudah dua hari. Nanti siang, aku akan ke Surabaya lagi. O, ya! Kenalkan, ini
calonku, Rin."
Luh Sudari menyalami Rindu, Rindu memeluk dan mengecup pipi Luh Sudari.
"Ibu pernah cerita tentang calon isteri Kang Ir. Betah tinggal di Bandung, ya?"
Luh Sudari menganggukkan kepala.
"Anaknya pasti cantik," kata Luh.
"Koq tahu?"
"Habis ibunya juga cantik." Rindu tersenyum.
"Wah, belum apa-apa Luh sudah mendaulat, Rin. Bahwa anak yang bakal lahir nanti
pasti perempuan." kata Irawan.
"Anak pertama lebih baik perempuan. Biar bisa lekas membantu ibunya," sahut Luh
Sudan.
"Kasihan tuh, Kang Ir. Calonnya sudah kepingin menimang anak," kelakar Rindu.
Luh Sudari tersipu. Irawan tersenyum.
"Nanti kalau aku menikah dengan Luh, kau dan suamimu mesti hadir, ya? Sekalian
berlibur di Pulau Dewata!"
Rindu tersenyum, tapi kentara seakan menekan kepedihan.
"Kapan rencananya?"
85
"Masih lama. Bayimu juga, pasti sudah lahir. Produksi kedua, kan bisa dimulai di
Pulau impian para pelancong itu, Rin."
"Ngaco," jawab Rindu. Lalu merundukkan kepala.
Sayang kau tak tahu, bagaimana keadaanku sekarang, Kang Ir! Jerit hati Rindu.
Waktu Irawan pulang, Rindu terpaku menatap Irawan dengan mesra melingkarkan
tangan kanannya di bahu Luh Sudari. Kelihatan intim dan harmonis.
Persis, seperti saat-saat mesranya hubungan dengan Mas Handoko. Bahkan Handoko,
kadangkala lebih dari itu. Untuk memperlihatkan kasih-sayang-nya, Handoko tak
segan-segan memeluk dan mengelus rambut Rindu di hadapan orangtua Handoko.
Tapi apakah itu ukuran kedalaman cinta seorang lelaki? Bisik hati Rindu. Mengapa
sikap Handoko sekarang jauh berbeda dengan waktu pacaran? Rindu ingat kelakar
Palgunadi, waktu ia masih pacaran dengan Handoko.
"Hati-hati kalau punya pacar yang demonstratip. Di hadapan orang lain
memperlihatkan kemesraan yang tak terperikan, itu biasanya cuma sekejap. Tipe
lelaki begitu biasanya pembosan. Mendingan lelaki yang wajar-wajar saja, atau lelaki
yang seperti saya ini, dingin tapi mesra."
86
Senyum ketika Rindu mendengar kelakar adiknya itu. Tidak marah. Tidak curiga
kepada Handoko.
Tapi mengapa pendapat Palgunadi itu jadi kenyataan? Apakah memang begitu semua
lelaki yang doyan memperlihatkan kemesraannya yang menggebu-gebu? Patut
dicurigai? Apakah Luh Sudari punya rasa was-was terhadap Irawan? Tidak. Lelaki
seperti Irawan tak akan seperti Mas Handoko. Aku tahu betul sifat Irawan. Kalau
berbuat sesuatu, memilih sesuatu, memutuskan sesuatu, ia tak main-main. Irawan
juga lelaki yang sayang kepada keluarganya. Sesungguhnya, lelaki macam Irawanlah
yang harus jadi pendam-pingku. Salah pilihkah aku memilih Handoko? Tidak. Aku
tidak menyangka akan begini jadinya. Aku terjebak.
Dan perlakuan Handoko yang menyakitkan itu, mengental lagi dalam bayangan
Rindu. Tengah malam, Handoko baru pulang. Matanya memerah. Rambutnya agak
kusut. Langsung membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Seakan tak mau perduli,
dengan seorang perempuan hamil besar, yang selama ini tak lebih dianggap sebagai
penunggu rumah.
Rindu, untuk kesekian kalinya tersinggung
"Mas Han!"
"Ada apa? Aku ngantuk "
Rindu menggigit bibir. Ingin rasanya berteriak
87
memuntahkan kesedihannya. Ingin menangis sekeras-kerasnya untuk menunjukkan
hati yang tersiksa.
"Kau benar-benar kejam!"
Handoko tersentak. Ia bangkit, menatap Rindu.
"Apa kauhilang?"
"Kau kejam!"
"Berani kau berkata begitu, Rin? Apakah aku telah berbuat kasar padamu? Apakah
aku pernah menyakiti tubuhmu?"
"Tidak. Tapi perlakuanmu selama ini, sikapmu seperti sekarang ini, lebih perih
daripada menyakiti tubuhku!"
Handoko terhenyak. Garuk-garuk kepala, meski tidak gatal.
"Selalu, dan selalu hal itu lagi yang kau besar-besarkan. Kau ini mau apa sebenarnya
sih?"
"Seribu kali kau bertanya begitu, seribu kali aku menjawabnya, kau tetap akan
bertanya dan bertanya lagi. Karena kau sesungguhnya tak mencintaiku! Tak pernah
mau mengerti perasaanku!"
"Apalagi yang kurang. Aku senantiasa kembali ke rumah. Aku bekerja untukmu."
"Perhatikan baik-baik perutku, Mas Han. Perhatikan baik-baik anakmu dalam
kandunganku. Selama ini kau acuh! Kau tak pernah ada perhatian. Pulang ke rumah,
hanya untuk melepaskan lelah untuk ke-
88
mudian pergi. Kau tak pernah tanya; kapan anakmu akan lahir0 Kau tak pernah
tanya; berapa bulan usia kandunganku0 Kau hampir selalu tak ada waktu, untuk
mengantarku ke bidan Kau selalu tak ada waktu, untuk makan bersama, ke rumah
orangtuaku, atau mengisi hari libur. Kau benar-benar sudah berubah'"
"Salahmu sendiri. Kau terlalu banyak mengharap Jariku. Jangan samakan dulu dan
sekarang. Pernikahan ini. bukankah keinginanmu sendiri? Aku sudah bi-lang. aku
belum siap untuk menikah. Kalau kau nerasa aku seperti mengacuhkanmu, itu resiko.
kokoknya, aku tak ingin terikat oleh siapa pun. Lagi-pula. kau sedang hamil, aku tak
bisa memuaskan ba-thinmu."
Rindu merasa tersinggung Ia menatap Handoko dengan nyalang.
"Aku butuh kasih-sayangmu! Dan kau, kau benar-benar bukan manusia lagi!"
"Apa kau bilang?"
Saat itu. Saat yang paling r enyakitkan. Saat yang takkan dilupakan Rindu. Untuk
pertama kalinya, ta-igan kanan Handoko mendarat di pipi kirinya. Rindu memekik
kesakitan. Tapi ia berusaha untuk bertahan. Untuk tidak jatuh. Yang ia pikirkan,
adalah bayi dalam kandungannya
Handoko seperti terpana. Seperti menyesali perbuatannya. Ia langsung memeluk
Rindu. Tapi Rindu tak menggubrisnya. Ia tak mau dikasihani lagi.
"Rin, maafkan aku. Aku hilap."
Rindu diam saja. Matanya berkaca-kaca, lalu menangis. Handoko seperti serba salah.
Membiarkan Rindu begitu saja.
Dalam kepedihan seperti itu, Rindu ingin segera kembali ke rumah orangtuanya.
Tapi selalu ragu-ragu.
Selalu takut akibatnya
Angin siang berhembus masuk celah jendela, terasa sejuk. Kebahagiaan, kapan kan
bersemi lagi!
***
90
BAGIAN KELIMA
GIRI pulang ke rumah dengan wajah berseri. Sepert biasa, kalau dapat rejeki, Giri
pasti membawa oleh oleh. Sore itu pun. Giri membawa martabak telor Tentu saja,
langsung diserbu oleh Puri dan Setyawati.
"Enak, ya Bu. Kalau tinggal sama Giri, pasti tiap hari banyak variasi makanan,"
kata Setyawati.
"Begitu dong kalau hidup dalam Keluarga Tercinta. Punya rejeki, mesti ingat
orangtua dan saudara," sahut Farida, sambil mencicipi martabak.
"Wah, martabaknya super spesial. Harganya mahal nih. Dapat uang banyak, ya?"
kata Puri.
"Pake tanya segala. Nggak usah basa-basi. Makan saja!" kata Palgunadi, sambil
mengambil sekerat.
Pak Husni muncul dari dalam kamar.
91
"Ada apa? Koq rame betul," tanya Pak Husni "Biasa. Ada langganan tukang bawa
makanan." sahut Farida.
Pak Husni ikut nimbrung, mengailibil sekerat, memakannya.
"Riri! Ambil piring, pisahkan martabak buat Bapa," perintah Farida.
Puri mengambil piring kecil, mengisinya dengan beberapa kerat martabak, lalu
dihidangkan kepada Pak Husni.
"Lusa, saya akan mulai bekerja, Pa," kata Giri. Pak Husni agak kaget. Menatap Gin,
seperti tak percaya.
"Kerja di mana?" tanya Pak Husni
"Dulu saya kan praktek kerja di harian CITRA NURANI, setelah praktek kerja
selesai, tiba-tiba pimpinan redaksinya menawarkan pekerjaan buat saya. Saya
ditawari jadi korektor."
"Kuliahmu bagaimana?" tanya Farida.
"Justru pekerjaan itu saya terima, karena tidak mengganggu jadwal kuliah. Saya
masuk kerja sore hari, sampai malam. Atau malam hari, sampai subuh."
"Apa kau tidak cape?"
Giri menggelengkan kepala.
"Soalnya, pekerjaan saya ini kan berkaitan erat dengan pelajaran di fakultas. Biar cari
pengalaman
92
dulu. Kata pimpinan harian tersebut, kalau sudah menjalani masa kerja satu tahun,
seandainya saya berminat bisa diangkat jadi wartawan."
Pak Husni manggut-manggut.
"Biarin saja Giri kerja, Pa. Biar tiap hari, bawa oleh-oleh buat keluarga tercinta!"
sahut Setyawati.
"Eee... pintar ngerjain orang kamu!" kata Farida.
"Kalau memang pekerjaan itu tak menguras tenagamu, tak mengganggu kuliahmu,
aku gembira saja. Apalagi yang meminta kau kerja itu, bukan orang luar, tapi
pimpinan koran itu sendiri. Sudah pasti, karena selama kau praktek kerja di harian
itu, pekerjaanmu terpakai. Ini merupakan sebuah prestasi. Yang penting bagimu,
jangan terpaksa bekerja, tapi r arus mencintai pekerjaan."
"Tuh, yang lainnya dengarkan nasihat Bapamu!" sahut Farida.
Semua perhatian tertuju kepada Pak Husni.
"Pada hakekatnya, Bapa tidak mengharapkan yang muluk-muluk dari kalian. Aku
sekolahkan kalian, agar kalian pintar, minimal kepintaranmu bisa melebihi aku. Bisa
bermanfaat bagi yang lain. Bisa membuatmu hidup dengan layak dan terhormat. Bisa
disegani orang lain. Seandainya hal itu bisa kalian raih, aku merasa senang. Berarti
jerih-payahku tak sia-sia."
93
Tiba-tiba seperti ada yang menyengat dalam bathin Farida. Farida langsung mgat
kepada Rindu Rin! Kaulah yang paling mengecewakan bapamu' Bisik hati Farida.
Studimu terbengkalai, rumah-tang-gamu penuh duri! Kasihan kau! Namamu, past:
takkan disebut-sebut bapamu! Kau tidak seperti Irawan yang berhasil jadi dokter.
Tidak seperti saudaramu yang lain, masih tetap sekolah atau kuliari
"Belajarlah yang baik! Sebab itulah bekal penting bagi masa depanmu. Jangan
sampai tergoda di tengah jalan. Jangan sampai terpeleset, sehingga menghancurkan
cita-cita kalian."
Ucapan Pak Husni, dirasakan Farida seperti ditujukan kepada Rindu. Farida agak
tersinggung. Tapi tak bisa berbuat apa-apa. Ya, siapa lagi orangnya yang terpeleset
atau tergoda di tengah jalan, jika bukan Rindu?
??*
SUATU malam, Rindu muncul di rumah orangtuanya disertai pembantunya. Wajah
Rindu, seperti biasa pucat. Matanya membengkak, seperti baru menangis. Tentu saja
seisi rumah keheranan. Farida memburu memeluknya. Pak Husni memperhatikan,
94
diam-diam wajahnya tampak sedih. Puri dan Setyawati segera memberitahu Giri dan
Palgunadi. Semua mengerubungi Rindu.
"Ada apa, Rin?" tanya Farida cemas.
Rindu menggelengkan kepala.
"Kenapa, Bi?" tanya Farida kepada pembantu Rindu.
"Kurang tahu. Juragan. Mungkin sudah terasa. Habis dari pagi, N den Rindu
kelihatannya murung dan menangis terus."
"Di rumah ada siapa, Bi?" tanya Pak Husni.
"Tak ada siapa-siapa. Sejak kemarin, Den Handoko belum pulang. Katanya ke
Jakarta."
Sekilas, wajah Pak Husni berubah merah padam. Gusar dan geram. Menghela nafas
berkali-kali, seakan mencoba menahan emosi.
"Riri! Kamarmu bereskan dulu, biar kakakmu bisa istirahat," perintah Farida. Lalu
memandang kepada Bibi Pembantu. "Bi! Bibi tinggal di kamar belakang saja, dengan
pembantu kami."
"Terima kasih, Gan," sahut Bibi Pembantu sambil membungkukkan badan.
Rindu melangkah ke kamar Puri, sedangkan Bibi Pembantu diantar Setyawati ke
kamar belakang. Semua bubar, yang tinggal hanya Pak Husni. Farida mengikuti
Rindu.
95
Pak Husni mengusap wajah dengan lengan kanannya.
"Pa! Ke mari!" panggil Farida dari dalam kamar Pak Husni bergegas menghampiri.
Di dalam kamar hanya ada Farida dan Rindu yang duduk di tepi ranjang sambil
merundukkan kepala. "Ada apa?"
"Rindu sudah merasa..." "Sudah terasa?"
"Iya. Kita ke bidan Rosi sekarang." "Memangnya... kau sudah berapa bulan, Rin?"
"Tujuh jalan."
Pak Husni menuju ke dalam kamarnya, berganti pakaian. Farida mengikuti. Juga
berganti pakaian.
"Si Handoko memang bajingan!" gerutu Pak Husni bernafsu.
"Huss. Jangan kasar begitu, Pa."
"Lelaki macam begitu, mestinya dikasari! Jangan dikira aku takut sama dia."
"Eee... sadar, Pa. Jangan emosi. Yang kita hadapi sekarang anak kita."
"Aku mesti mendatanginya, atau orangtuanya. Jangan coba-coba mempermainkan
atau menyakiti perasaan anakku."
Ada yang luruh dalam hati Farida tatkala mendengar amarah suaminya. Betapapun
kecewanya, beta-
papun gusarnya, Pak Husni tetap menunjukkan rasa kasih-sayangnya kepada Rindu.
"Sudahlah, Pa. Jangan sampai suasananya lebih parah lagi."
"Ini pelajaran bagimu! Coba, kalau saja dulu kau hati-hati, niscaya takkan terjadi
peristiwa macam begini!"
Kini Farida terdiam. Kalau Pak Husni menyudutkan seperti itu, Farida merasa tak
perlu membela diri. Ia memang harus menanggung kesalahannya.
"Orang lain, tujuh bulan itu diselamati, ini malah mau melahirkan."
Farida masih tetap diam. Matanya mulai berkaca kaca. Ya, mestinya tujuh bulan itu
diselamati! Ada acara "Nujuh bulan". Acara adat, yang lama turun temurun. Kasihan
kau, Rin! Farida kian merasa iba pada Rindu.
Setelah beres, Farida, Pak Husni dan Rindu berangkat ke rumah bersalin Bidan Rosi,
menggunakan sedan Fiat kuno. Palgunadi yang mengemudikannya
Rumah Bersalin Bidan Rosi tempatnya cukup besar dan resik. Halamannya asri.
Ternyata Rindu memang sudah waktunya melahirkan. Rindu disuruh tinggal di
rumah bersalin. Perlengkapan pakaian Rindu disuruh dibawa segera ke rumah
bersalin.
97
Semua jadi sibuk. Malam makin larut.
'Tunggu saja sekitar dua atau tiga jam lagi/' kata salah seorang bidan.
Pak Husni, Farida, Puri, Setyawati, dan Palgunadi, menunggu dengan berdebar.
"Melahirkan waktu usia kandungan tujuh bulan, tidak apa-apa, kan?*' tanya Pak
Husni kepada salah seorang bidan yang lewat.
Bidan menggeleng sambil tersenyum.
'Tujuh bulan sih tidak apa-apa, Pa. Yang repot, kalau misalnya delapan bulan.
Bayinya suka lemah.*'
Tiap mendengar ada orang mengerang atau bayi menjerit, hati Farida langsung
tersentak. Ingatannya, memang terpusat kepada Rindu. Sambil diam merunduk,
terbayang kembali saat pertama-kali ia melahirkan. Seperti Rindu, tak ditunggui
suaminya. Hanya, bebannya lebih berat Rindu, sebab saat itu ia tak menyangka buruk
kepada suaminya.
Sekarang Rindu bergelut dengan sakitnya melahirkan, bergelut dengan maut yang
bisa setiap saat menyergap, bergelut dengan beban penderitaan yang menumpuk.
Ya, Allah! Kuatkan hati anakku f Selamatkan jiwa anakku, cucuku! Tabahkanlah
hatinya!
Tidak terasa mata Farida berkaca-kaca Air-mata-
98
nya jatuh menitik. Puri memandangnya keheranan. "Mau dapat cucu, koq
menangis?" kata Puri. Pak Husni melirik, memperhatikan Farida. 'Tenang, Bu.
Tenang."
"Bagaimana kalau saya memberitahu orangtua Mas Handoko, sambil melihat, siapa
tahu dia sudah kembali dari Jakarta?** usul Palgunadi.
Pak Husni melihat jam tangannya, sudah menunjukkan angka satu.
"Larut malam begini, lebih baik tak usah," nada suara Pak Husni terasa ketus.
"Biar saja, Pa. Memberitahu itu kan wajib, lagi pula siapa tahu Handoko sudah
kembali," sahut Farida tersendat.
"Repot amat. Suami begitu tak usah dikasih tahu!**
"Sabar, Pa. Sabaaarr,** Farida menenangkan. "Gun! Pergilah beritahu orangtua
Handoko.'*
"Dengan saya saja," kata Setyawati.
"Jangan. Ini kan sudah lewat tengah malam. Biar Gun saia sendiri,'* kata Pak Husni.
Palgunadi segera menuju sedan. Meninggalkan Rumah Bersalin.
Puri sudah menguap.
'Tidur saja dulu di bangku itu, Ri. Nanti sakit," kata Pak Husni.
99
"Nggak ngantuk koq," jawab Puri.
Tak ada yang tahu, apa yang sesungguhnya terjadi di sebuah kamar. Rindu menahan
rasa sakit akibat gerakan bayinya. Sementara ingatannya tak lepas kepada Handoko.
Kalau membayangkan atau mengha-yalkan Handoko melewatkan malam-malamnya
di tempat hiburan, dikelilingi perempuan cantik, kepedihan dan kebencian rasanya
tak terbendung lagi.
Sampai pada suatu waktu. Rindu dipindahkan ke tempat khusus buat bersalin, pikiran
Rindu masih bergalau. Beberapa orang bidan siap membantu kelahiran kandungan
Rindu.
"Kumpulkan tenaga, hentakan sekaligus, ya?" kata salah seorang bidan.
"Sakit, Bu!" rintih Rindu.
"Tidak. Jangan dibayangkan sakitnya. Usahakan biar sekaligus keluar, agar bayinya
sehat dan manis," Bidan masih sabar mencumbu Rindu.
"Sakit, Bu!"
Dalam benak Rindu masih galau, terbayang waktu bertengkar dengan Handoko,
waktu ditampar Handoko.... lalu menghayalkan Handoko malam ini, menghabiskan
waktunya di tempat-tempat hiburan.
"Buuu!! Sakiittt!!!" Erang Rindu.
"Konsentrasikan pikiranmu, bayinya pasti lucu! Iya! Hentakan sekaligus."
•r
Tiba-tiba dalam bayangan Rindu muncul wajah Farida. Wajah ibunya. Seperti ada
kekuatan gaib. yang merasuk dalam jiwa Rindu.
Rindu memejamkan mata, mengumpulkan kekuatan. Entah apa yang dilakukannya,
hanya mulutnya berteriak menyayat.
"Ibbuuuuu!!!!!"
Farida tersentak. Teriakan itu langsung menyentuh bathinnya. Teriakan yang begitu
akrab dengan jiwanya. Apalagi ketika disusul dengan lengkingan jerit bayi. .
"Pa! Rindu sudah melahirkan," bisik Farida.
Puri dan Setyawati menatap ibunya. Puri mengu-cak-ngucak mata, barusan ia
memang terlena dalam kantuk.
"Bayinya cakep, Bu?" pertanyaan itu nyelonong begitu saja dari mulut Puri.
"Ngjgau kamu! Cakep apa, orang baru menduga,* kata Setyawati.
"Belum waktunya, mungkin orang lain," kata Pak Husni.
"Aku kenal betul suaranya." Palgunadi muncul, sendirian. "Bagaimana, Gun?" tanya
Farida. "Kosong. Semua tak ada di rumah. Orangtua Handoko, katanya sedang ke
Hongkong Tapi sudah saya
101
100 ,
pesankan kepada familinya.'' "Handoko juga?" "Iya. Dia juga tak ada."
Farida memejamkan mata, lalu merunduk.
"Keterlaluan...." gumamnya.
"Lelaki macam begitu, sekali-sekali perlu dihajar!" kata Pak Husni geram.
Pintu ada yang membuka dari dalam. Seorang Bidan muncul. Ia memperhatikan Pak
Husni dan Farida.
"Ini.... orangtuanya Rindu?" "Iya," sahut Farida. "Bagaimana anak saya?" Bidan itu
tersenyum. "Selamat. Cucu Ibu sudah lahir." Seketika wajah Pak Husni dan Farida
berseri-seri. "Ibunya bagaimana?" tanya Pak Husni. "Alhamdulillah, dia juga sehat,
Pa, Cuma mesti mengalami beberapa jahitan."
"Laki atau perempuan?" tanya Setyawati. "Perempuan."
"Berapa kilo?" tanya Pak Husni. "Beratnya dua kilo sembilan ons." "Cantik nggak?"
tanya Puri. Bidan itu tersenyum. "Mirip ibunya." "Cantik, dong. Untung nggak mirip
bapaknya," sahut Palgunadi.
102
"Gun! Jangan bicara sembarangan," bisik Farida. "Sebentar, ya. Nanti saya ke mari
lagi," kata Bidan.
"Boleh saya lihat sekarang?" tanya Farida. "Sebentar. Nanti saya kasih tahu." Bidan
masuk ke dalam.
Farida memejamkan mata, ketegangannya mulai reda. Rasanya, ia sendirilah yang
merasa agak terbebas dari himpitan penderitaan itu. Terima kasih, Tuhan! Engkau
Maha Pengasih dan Penyayang! Bisik hati Farida.
Suasana lewat tengah malam, waktunya orang lelap tidur, kemudian menjadi suasana
yang haru dan bahagia. Farida mengecup kening Rindu, sambil menangis. Semua
bergantian, tanpa ada kata terucap dari mulut Rindu.
Rindu memang tak bisa menumpahkannya dengan kata-kata lagi.
Penderitaan, pengorbanan, begitu menekan. Ada yang hilang dari harapannya.
Betapa sepi pahit mencekam.
Meski itu tak menghancurkan harapannya sama sekali.
***
103
RINDU masih merasakan sakit dan kesal. Apalagi ia haus teras berbaring, tidak
boleh bergerak seenaknya. Tapi hatinya terlipur, melihat bayi mungil hasil
perjuangannya melawan maut. Masih teringat, ketika pertama-kali datang, sampai
saatnya melahirkan, di rumah bersalin Bidan Rosi, ia ditanya bidan dengan
pertanyaan yang sama. "Suaminya mana?"
Rindu hanya bisa menjawab dengan gelengan kepala. Bidan seakan keheranan.
"Sibuk bekerja, ya?" tanyanya lagi.
Rindu menganggukkan kepala.
"Kalau saya masih untung, Dik. Suami saya sangat memperhatikan sekali.
Bagaimanapun sibuknya, jika melihat isteri hamil, apalagi mau melahirkan, ia tebih
baik meninggalkan kesibukannya," kata bidan yang lain.
Rindu tersenyum. Dalam hati merintih. Alangkah bahagianya, perempuan yang
melahirkan ditunggui oleh suaminya! Alangkah terpujinya, suami yang mau
merasakan ngerinya seorang ibu menghadapi saat-saat melahirkan!
Mengapa Mas Handoko tidak seperti itu?
Ada langkah mendekat. Pelan dan hati-hati.
Tirai kamar dibuka pelan.
Handoko muncul, membawa hiasan bunga ber-tuliskan: SELAMAT
BERBAHAGIA, BUAT ISTERI
TERCINTA. Juga menjinjing plastik berisi buah-buahan.
Jantung Rindu berdegup kencang.
Ia tak tahu lagi, apa yang mesti ia perbuat menghadapi kedatangan suaminya. Lelaki
yang selalu me-nyia-nyiakannya.
Handoko, menyimpan hiasan bunga itu dan buah-buahan. Lalu mendekati Rindu.
"Maafkan aku, Rin. Aku tak sempat menghadiri kelahiran anak kita. Aku benar-benar
sibuk."
Rindu memejamkan mata. Rasanya ia tak ingin ngomentari ucapan Handoko. Juga
ketika Handoko mengecup keningnya, ia membiarkannya, tanpa reaksi.
"Kapan kau melahirkan?"
"Malam tadi," jawab Rindu pelan.
"Siapa yang mengantarkanmu?"
"Orang tuaku, adik-adikku."
"Kenapa tidak meminta bantuan orang-rumah?"
Rindu diam.
"Atau... kau interlokal saja ke Jakarta."
Alangkah gampangnya mengucapkan itu! Bisik hati Rindu. Minta bantuan orang
rumah? Interlokal ke Jakarta? Di mana di Jakartanya? Nomer berapa tilponnya?
Rindu menggigit bibir. Entah mengapa, ia tak
105
i 04
tahan menahan air mata. Entah mengapa, kesedihan ' itu begitu meluluhkan, la
merasa seperti tak ada harganya sama sekali di hadapan suaminya.
Handoko memang merasakan sikap Rindu yang dingin.
Handoko memang serba salah.
"Aku sudah biasa sendiri. Aku tak perlu bantuan. Aku bisa menanggung segalanya,
sendiri," sendat Rindu.
Handoko jadi kikuk.
"Aku minta maaf, Rin. Sungguh. Kalau saja aku tahu, kau akan segera melahirkan,
sebelum sampai usia sembilan bulan, pasti aku takkan berangkat ke Jakarta."
"Kau terlalu banyak meminta maaf. Aku tak butuh itu."
Handoko benar-benar tak berkutik. Ia jadi tak betah lama-lama. Rasanya seperti
disengat terus.
"Kapan kau pulang? Biar aku ada waktu untuk menjemputmu."
Ya, Tuhan! Betapa menyakitkan ucapan itu! Biar aku ada waktu untuk
menjemputmu. Biar... ada waktu? Begitu tak berharganya waktu untukku! Untuk
keluarganya! Sampai mesti diperhitungkan.
"Kalau kau sibuk, biar saja. Jangan sampai mengganggu kesibukanmu. Aku tak ingin
menyusah kan -
mu.
Handoko menghela nafas.
"Rin... aku bicara sungguh-sungguh. Kapan kau pulang9 Nanti di rumah, akan
kusediakan box bayi."
Rindu menggelengkan kepala.
"Aku takkan pulang dulu. Aku ingin istirahat di rumah orang tuaku. Biar hatiku
sedikit tenang."
Handoko terdiam sejenak.
"Ya, terserah kalau kemauanmu begitu," jawab Handoko pelan. Seperti kesal, tapi
juga merasa bersalah.
"Kau belum lihat anakmu?" tanya Rindu. "O, ya," Hantoko tersentak. "Di mana?"
"Tuh, di box."
Handoko menoleh ke ujung, tampak ada box bayi. Ia segera menghampiri. Menatap
dengan seksama. Kemudian kembali lagi, menghampiri Rindu.
Suasana jadi terasa kaku.
Rindu ingin mendengar komentar Handoko tentang bayi itu. Rindu ingin dengar
Handoko bilang; Rin, wajahnya mirip.... Tapi tidak. Handoko tak mengucapkannya.
Sampai Handoko pulang, Rindu cuma termangu. Ketika sadar, bahwa banyak kesan
yang tak menyenangkan perasaannya dari perlakuan Handoko, air-mata Rindu
menitik.
106
107
Rindu melirik. Menatap hiasan bunga yang terpajang. Ia membaca tulisannya:
SELAMAT BERBAHAGIA, BUAT ISTERI TERCINTA. Aneh, sama sekali tak ada
rasa bangga dengan bunyi kalimat itu. Sebaliknya, Rindu merasakan kalimat itu
seperti mencemooh. Serupa topeng. Pintar menyembunyikan sesuatu di balik wajah
yang dibuat-buat. Kalimat manis, puitis, namun menampar.
Bahkan ketika orang tuanya kembali datang berkunjung, rrfemang seakan terpana.
Heran.
"Handoko sudah ke mari, Rin?" tanya Farida.
"Sudah," jawab Rindu pelan.
"Pakai kirim-kirim bunga dengan tulisan muluk. Bilang sama suamimu, y?ng penting
bukan kiriman bunga, tapi perhatiannya! Bunga sih, seisi ruangan ini pun masih
mampu kubeli."
"Pa! Bapa! Jangan emosi. Datang-datang koq marah-marah," Farida menenangkan
Rindu diam saja. Ia malah merasa senang, ayahnya sering marah kepada Handoko.
Diam-diam Rindu merasa bangga, karena Pak Husni pun sangat memperhatikannya.
"Bagaimana ketika Handoko datang?" tanya Farida.
"Dia minta maaf," jawab Rindu pelan. "Perkataan begitu memang senjatanya dia.
Obral
minta maaf, untuk kemudian berbuat sesuatu yang memerlukan maaf lagi," Pak
Husni masih tetap gusar.
"Kau maafkan9" tanya Farida.
Rindu terdiam sejenak, lalu menggelengkan kepala.
"Bagus!" seru Pak Husni senang. "Kau memang jangan kalah. Kalau kau terus
menerus memperlihatkan kekalahanmu, selamanya kau akan dipermainkan dia."
"Sssstttt, Pa! Ingat, ini di rumah bersalin." "Iya. Siapa bilang rumah sendiri." "Tahan
emosimu."
"Handoko mengajakmu pulang?" tanya Farida
lagi.
Rindu mengganggukkan kepala.
"Jangan mau!" sahut Pak Husni.
"Kau mau?" tanya Farida.
Rindu menggelengkan kepala.
"Bagus," kata Pak Husni makin senang. "Biar kautunjukkan, biar dia tahu, bahwa kau
pun bisa tetap hidup tanpa dia."
Farida bangkit, mendekati cucunya. Menatap sepuas hati.
Setiap kali menatap bayi itu, selalu yang terbayang adalah Rindu sewaktu bayi.
Ya, Allah! Limpahkanlah rakhmatMU bagi cucu-
109
ku! Bisik hati Farida. Bayi itu menggeliat. Seperti mendengar doa neneknya.
***
110
BAGIAN KEENAM
KECEMASAN Farida bertambah lagi, sementara kecemasan sebelumnya tetap
menumpuk. Farida ngeri, kalau membayangkan suatu ketika Pak Husni jumpa
dengan Handoko. Sumpah serapah Pak Husni kepada Handoko, menunjukkan
kegusaran Pak Husni yang tak tertahankan. Jika pembicaraan sudah menyinggung
nama Handoko, suara Pak Husni kontan berapi-api disertai emosi yang meluap-luap
Dan pada hari itu, ketika Pak Husni, Farida, Puri. dan Palgunadi tiba di rumah
bersalin untuk menjemput Rindu, bersamaan dengan Handoko dan orangtuanya -
mengendarai Mercedes.
Sungguh, jantung Farida berdegup kencang. Sebelum Pak Husni turun, Farida sudah
wanti-wanti
111
lebih dulu.
"Ingat, Pa. Kau jangan emosi. Jangan menumpah-' an amarahmu di sini. Biar. Biar
saia, pura-pura tak tahu menahu."
Pak Husni tak menyahut. Wajahnya nampak merah padam. Palgunadi dan Puri sudah
dagdigdug. Tegang.
Pak Husni turun dari mobil, dengan santai. Orangtua Handoko segera menghampiri
Pak Husni, menyalaminya. Pak Husni membalas. Tenang.
"Waduh, sorri, Pa. Sorri, Bu. Saya terlambat ne-ngok cucu, maklum baru pulang dari
Hongkong kemarin," kata Pak Kardiman.
Pak Husni cuma membalas dengan senyum pahit.
"Merepotkan saja. Katanya anak saya pni; sedang sibuk bisnis di Jakarta," kata Bu
Kardiman.
"Betul. Anak Ibu sibuk terus," sahut Pak Husni.
"Maklum,, kerjanya cape. Dia sih, kalau sudah kerja selalu tak perduli yang lain."
"Iya. Sampai-sampai isterinya sendiri terlantar."
Handoko tersentak. Ia merasa tersindir. Jantung-nya berdegup ke^ ang. Ia merasa
seperti tak ada muka lagi di hadapan Pak Husni. Orangtua Handoko juga tercengang.
"Bapa bilang; anak saya menterlantarkan... isterinya?"
112
"Betul sekali."
Wajah Farida pucat, sengketa itu kini mulai meruncing. Palgunadi dan Setyawati
menunggu apa yang akan terjadi dengan gelisah.
"Bapa keliru. Tak ada keturunan saya yang sekeji itu. Kakak-kakaknya Handoko
yang sudah. sarjana, kini tenteram berumah-tangga. Saling ada pengertian, dan juga
mencintai ilmu pengetahuan."
"Saya kira, Bapalah yang keliru."
"Lho?"
"Mungkin Bapa tidak punya waktu untuk melihat keadaan yang sesungguhnya."
"Maksudnya?" tanya Bu Kardiman sambil mengernyitkan alis.
'Tanyalah anakmu sendiri. Apa saja yang telah ia lakukan terhadap isterinya?"
Handoko masih diam. Farida tak bisa berbuat apa-apa. Pak Kardiman melirik kepada
Handoko.
"Han! Apa yang telah kau lakukan terhadap isterimu?" tanya Pak Kardiman.
Handoko mendadak kikuk. Tiba-tiba keberaniannya muncul lagi. Handoko menatap
Pak Husni. agak jumawa.
"Saya rasa, Bapa menuduh saya terlalu berlebihan. Saya tidak pernah berbuat sesuatu
yang kasar atau menyakitkan perasaan Rindu."
113
'Pembohong!" bentak Pak Husni.
"Sudahlah, Pa," Farida menarik lengan Pak Husni. Tapi Pak Husni tak
memperdulikannya.
"Kau memperlakukan isterimu tak lebih seperti seorang penunggu rumah! Kau begitu
remeh memperlakukan isterimu! Kau suka berbuat kasar kepada isterimu! Kau tak
mau dengar keluhan isterimu! Kau tak ada rasa kasih sayang terhadap isterimu yang
sedang hamil! Kau tak ada pengertian terhadap calon anakmu yang bakal lahir! Dan
kau, seenaknya saja membiarkan isterimu melahirkan! Suami macam apa kau?"
Handoko terhenyak.
"Benar begitu, Han?" tanya Bu Kardiman
Handoko menggelengkan kepala.
Pak Husni memandang dengan gemas.
"Kau benar-benar tidak jantan! Aku yakin, dalam hati kecilmu bilang; ya!"
"Anak saya tak pernah bohong. Kakak-kakaknya penurut, semua jadi orang dan
disegani. Saya kira, kalau benar anak saya berbuat yang kurang ajar kepada anak
Bapa, dia akan bicara terus terang, bahkan minta maaf. Bukan begitu. Han?" kata Bu
Kardiman.
"lyyaaa." jawab Handoko agak gelagapan.
Palgunadi mau segera membela ayahnya, mau menghardik Handoko, karena ia
pernah mendengar
1 14
pertengkaran Handoko dan Rindu. Tapi tak ada keberanian untuk itu, tatkala ia
melihat suasana cukup hangat. Ia takut, justru bisa menambah suasana lebih keruh,
dan akibatnya menyiksa Rindu.
"Kau boleh membanggakan kepengecutanmu, ke-bohonganmu, tapi jangan harap kau
bisa membawa kembali Rindu," kata Pak Husni.
"Bapa jangan ikut campur. Rindu mencintai saya, ia pasti mau saya ajak kembali ke
rumah."
"Tidak. Dia takkan mau. Dia sekarang mau kembali ke rumahku."
"Saya juga mau menjemput dia. Saya sudah yakinkan dia. Silakan Bapa coba ajak
Rindu, kalau Rindu mau, berarti Rindu memang membenci saya. Percayalah, Pa.
Kami saling mencintai. Kami sedang merintis membangun mahligai rumah-tangga
yang bahagia. Kalau ada cekcok sedikit, tokh biasa. Rindu itu manja, kolokan, ada
yang tak enak sedikit, selalu dibesar-besarkan."
"Kau benar-benar licik!" sahut Pak Husni setengah membentak.
Tanpa menunggu reaksi Handoko dan orangtuanya lagi, Pak Husni segera beranjak
masuk ke dalam rumah bersalin, diikuti Farida, Palgunadi dan Setyawati. Sedangkan
Handoko dan orangtuanya. tetap diam di tempat, seperti menunggu apa yang bakal

115
terjadi.
Rindu dengan wajah murung, menyambut kedatangan orangtua dan saudaranya.
Seperti ada kegelisahan yang dalam mengombang-ambing perasaannya. Di kamar
sudah rapi. Pakaian Rindu sudah siap dalam kopor.
"Kita pulang sekarang, Rin?" tanya Farida.
Rindu diam. Tak menjawab.
Pak Husni memandang keheranan.
Palgunadi dan Setyawati asyik memperhatikan bayi Rindu.
"Masih sakit?" tanya Pak Husni.
Rindu menggigit bibir. Matanya berkaca-kaca. Menggelengkan kepala
perlahan^ahan.
"Kalau begitu, mari kita pulang sekarang," ajak Pak Husni, tak sabar.
Rindu masih diam.
"Apa yang kau gelisahkan, Rin?" tanya Farida
cemas.
"Maafkan saya, Bu. Maafkan saya, Pa. Saya... saya... takkan pulang ke rumah kita."
Farida dan Pak Husni tersentak.
"Kenapa?" tanya orangtua Rindu, hampir bersamaan.
"Mas Handoko..."
"Handoko? Kenapa dia? Dia mengancammu, agar
tidak kembali ke rumah kita?" tanya Pak Husni.
Rindu tertegun. Kikuk. Gelagapan. Was-was. la ingin menjawab; ya! Mas Handoko
mengancam saya. Bapa! Kemarin Mas Handoko menengok saya lagi. Ia benar-benar
seperti Mas Handoko dulu. Merajuk saya. Memanjakan saya. Bercanda dengan
puterinya. Ia meminta saya pulang ke rumahnya. Dia bilang;

"Kalau kau tak ke rumah, Rin. Aku pasti kesepian. Sama saja dengan tak punya
isteri. Takkan kudengar tangis bayi kita."
Waktu itu, saya menggelengkan kepala! Tak mau! Tapi Mas Handoko mengancam.
Kalau saya ikut Bapa... Mas Handoko tak mau menengok saya lagi! Tak mau
memperdulikan saya lagi! Saya takut. Saya cinta Mas Handoko. Saya kasihan kepada
anuk saya! Tapi. saya sudah tahu apa yang akan menimpa saya, seandainya saya
kembali ke rumah Mas Handoko. Saya serba salah. Saya tak ada pilihan. Kalau
kemudian saya nekad memilih kembali kepada Mas Handoko, itu hanyalah dengan
harapan, bahwa suatu ketika mudah-mudahan Mas Handoko menyadari
kekeliruannya. Mudah-mudahan, setelah jadi ayah, ia akan jadi baik dan
memperhatikan keluarganya.
Pak Husni dan Farida saling memandang, tatkala menyaksikan anaknya lama
tertegun.
"Koq diam, Rin?" tanya Farida.
1lf>
"Jadi benar kau diancam*1" Pak Husni makin penasaran.
Tiba-tiba, Rindu menggelengkan kepala, pelan dan seperti terpaksa. Seperti tak
disadari.
"Mas Handoko meminta saya pulang dengan sungguh-sungguh. Dia telah minta
maaf."
"Begitu mudah kau memaafkannya0" tanya Pak Husni kesal.
"Saya membenci kelakuannya. Bapa. Tapi. bagaimanapun juga dia suami saya.
Bapanya anak saya. Saya harus mencoba lagi. Siapa tahu dia benar-benar menyadari
kekeliruannya."
"Itu cuma taktik! Kau jangan terlalu percaya bu-juk-rayunya. Dalam keadaan begini,
apa salah kau ambil sikap tegas. Biar dia tahu, bahwa kau pun tidak takut
ditinggalkannya. Biar dia merasa, bahwa dia mem-butuhkanmu."

Rindu terdiam.
"Sudahlah. Pa. Kalau itu keputusan Rindu, tak usah kita salahkan. Ya, siapa tahu
Handoko justru menyadari kekeliruannya."
"Kau sama saja, Bu. Hatimu selalu goyah. Tidak punya prinsip. Cepat terpengaruh,"
sahut Pak Husni makin jengkel.
"Kalau kita jadi Rindu, mengalami nasib seperti Rindu, pasti kau akan merasakan
kekalutan anak kita,
118
\
"Terserahlah. Kalian memang tak pernah mau mempertimbangkan pendapatku.
Kalian maunya jalan sendiri. Kalau ada kesulitan, baru ribut memburuku. Meminta
ban tuanku," kata Pak Husni ketus.
Farida dan Rindu terdiam.
Ketika Rindu meninggalkan rumah bersalin, naik sedan orangtua Handoko yang
dikendarai Handoko, Pak Husni cuma memandang termangu. Ada yang mengiris
bathinnya. Apalagi ketika mendengar Farida menasihati Handoko.
"Han! Sayangilah, Rindu. Jangan sakiti hatinya. Jangan sering ditinggal sendirian."
Rasanya pesan yang nadanya mengemis itu, telah sempurna menjatuhkan harga-
dirinya. Sudah menunjukkan kekalahannya. Sudah memperlihatkan kelemahannya.
Betapa menyakitkan!
***
SETYAWATI dan Puri sama-sama satu sekolah. Sama-sama kelas tiga SM A. Sama-
sama jurusan IPS Sama-sama satu kelas. Sama-sama ayu. Sama-sama se neng
bercanda. Sama-sama banyak yang naksir. Beda-
119
nya. pipi Setyawati berlesung pipit.
Suatu siang, keduanya pulang sekolah, berjalan kaki, menyusuri jalan berpagar
pepohonan. Jauh di belakangnya, tampak laju sebuah motor yang ditumpangi dua
orang.
"Kita naik becak aja. Wat." kata Puri.
"Duitnya nggak cukup. Jalan saja dulu," sahut Setyawati.
Motor melaju pelan di samping keduanya, mengikuti irama langkah.
"Koq jalan kaki?" tanya Dani, anak kelas III IPA, yang mengendarai motor.
"Memangnya kenapa kalau jalan kaki?" jawab Puri kesal.
"Nggak apa-apa, cuma takut pegel aja."
"Yang pegel kan bukan kamu."
"Jangan sewot, Ri. Maksud Dani, mungkin lain kali ia bisa mengajakmu naik
mobilnya. Kalau kalian mau pulang sama-sama, besok Dani pasti bawa mobil," kata
Barman.
"Sombong!" sahut Setyawati.
"Masa begitu saja dibilang sombong? Aku menawarkan jasa secara baik-baik," kata
Dani.
"Jalan kaki lebih enak dan sehat Tidak bakal am-beyen!" kata Setyawati. .^^^ma
"Riri! Boleh main ke rumahmu, nggak?" tanya
120
Dam
"Aku juga mau. Boleh nggak, Wat°" tanya Barman.
Setyawati dan Puri saling berpandangan, lantas memandang kedua lelaki yang berada
di atas motor itu.
"Mau apa ke rumah?" tanya Puri.
"Main-main saja, ya Man?" sahut Dani. dibalas Barman dengan anggukan kepala.
"Memangnya rumahku Taman Lalu-Lintas, bisa dipakai main-main?" jawab Puri.
"Kita cuma mau ngobrol-ngobrol saja. Biar tambah pengalaman. Biar hubungan kita
bisa lebih..."
Belum lagi Barman merampungkan ucapannya. Setyawati sudah memotong
perkataan dengan gesit.
"Kalau cuma ngobrol, nggak bakalan tambah pengalaman. Yang bagus itu kan,
urusan ngobrol dikesampingkan, baca buku diutamakan. Hobbyku baca buku. bukan
ngobrol."
"Wah, kebetulan. Di rumah aku banyak koleksi novel. Kalau kalian mau baca. nanti
aku antarkan ke rumah." sahut Dani.
'Novel sih. aku juga punya koleksi lebih lengkap. Bahkan, tiap sore ada tukang
meminjamkan buku^M
"Tapi aku punya buku seni. Tujuh belas tahun ke
atas." kata Barman.
"Buku apa?" tanya Setyawati agak penasaran.
"Judulnya yahud! RAHASIA MENCAPAI PUNCAK KEPUASAN."
Setyawati dan Puri tersentak.
"Apa?" tanya Puri penasaran.
"Rahasia Mencapai Kepuasan."
"Kuno!" sahut Setyawati.
'Tapi seru."
"Seru apanya?" tanya Puri.
"Pokoknya begini!" Barman mengacungkan jempolnya, merasa telah mulai bisa
mempengaruhi Puri dan Setyawati.
"Kalau sudah tahu asyiknya buku itu, pasti bakal penasaran baca seri berikutnya.
Bukunya selalu jadi rebutan!" kata Dani.
"Allaaa... paling buku porno!" sahut Puri.
"Tidak porno. Ini dituturkan secara ilmiah," kata Barman.
"Sok tau!"
"Mau pinjam nggak? Kalau mau, nanti kita antar ke rumah." kata Dani.
"Nggak," sahut Setyawati ketus. "Bener. nggak penasaran?"
^^NjgjkJ^^^^^^^^^^^^^ Dani dan Barman seperti kehabisan cara.
"Kalau begitu, aku jalan duluan. ya? Pokoknva, kapan-kapan, jangan kaget kalau kita
main ke rumah," kata Dani sambil mempercepat lari motornya, meninggalkan
Setyawati dan Puri.
"Salah. Coba tadi kita pinjam saja buku itu, Wat," kata Puri, masih penasaran.
Setyawati menatap Puri.
"Nanti kamu celaka."
"Celaka kenapa?"
"Buku begitu, sekali dicoba, biasanya suka kecanduan."
"Lho? Memangnya buku porno? Kupikir bukan, pasti buku ilmiah."
"Biar ilmiah, kalau ditangkapnya secara porno, mau apa?"
"Sex education, kan mestinya sudah kita pahami. Biar wawasan pengetahuan kita
lebih jemhar.'"
"Kalau kamu tertarik, kenapa tidak kamu bilang; antarkan saja ke rumah," kata
Setyawati kesal.
"Habis kamu bilang nggak mau pinjam."
"Kenapa mesti terpengaruh oleh aku?"
Puri terdiam.
"Itu bukan bacaan orang seusia kita. Makanya aku menolak. Lagian, Barman dan
Dani cuma mau cari muka! Biar kita tertarik. Biar kita terseret."
Puri manggut-manggut.
123
"Iya. >a. Bahkan, kalau ketahuan bapu. kjta bisa didamprat habis-habisan."
Peluh meleleh di wajah Puri.
"Duh, cape sekali, Wat! Kita naik becak aja."
"Duitnya bayar di rumah saja, ya?"
"Atau lebih baik kita ke rumah Ceu Rindu. Biar Ceu Rindu yang bayar."
Keduanya, akhirnya sepakat untuk peigi ke rumah Rindu. Naik becak dari
perempatan.
Di muka pintu, Puri dan Setyawati mendengar tangis bayi. Pintu diketuk. Seseorang
menghampiri.
Yang membuka pintu, ternyata Rindu
"Hei! Tumben datang ke mari sama-sama," kata Rindu.|
"Habis pulang sekolah," jawab Setyawati. 'Tapi itu, Ceu," kata Puri ragu-ragu. "Itu
apa?"
"Mmmm... ongkos becaknya belum dibayar." "Bayar dulu," kata Rindu sambil
bergegas ke dalam. Tak lama kemudian muncul lagi, memberikan uang lima ratus
rupiah.
Puri membayarkannya ke tukang becak, seratus lima puluh uang kembalinya
langsung masuk saku. Keduanya mengikuti Rindu ke dalam. "Bayinya mana, Ceu?"
tanya Setyawati. "Diasuh sama baby-sitter."
"fcnak, ya. Kalau bisa bayar baby-sitter kan nggak cape-cape ngurus," kata Pun.
"Kalau malam hari nangis, ya tetap saja repot. Nggak bisa tidur."
"Mas Handoko mana?"
"Biasa," jawab Rindu datar.
Puri dan Setyawati seperti menyadari, tak mau bertanya panjang lebar tentang
Handoko.
"Nama puterinya siapa, Ceu?"
"Sri Asih."
"Mas Handoko yang memberikan namanya?"
"Aku sendiri. Mas Handoko memberi nama Cirita-wati. Tapi aku tak suka nama itu.
Terlalu muluk, pake cinta-cinta segala. Cuma cari muka!"
"Ya, biar saja, Ceu. Kalau digabung kan jadi enak di kuping. Sri Asih Cintawati
Handoko," kata Setya-vati.
"Maunya dia."
"Ceu Rin, koq sengketa melulu," kata Puri.
"Kamu belum merasakan sih, bagaimana getirnya kalau isteri sering ditinggal suami.
Biar kekayaan bertumpuk, tetap saja tidak puas dan tidak tenteram. Salah-salah, aku
dibilangnya perempuan peliharaan."
Puri dan Setyawati saling berpandangan. Keduanya senantiasa merasa iba, kalau
mendengar Rindu •mengeluh tentang suaminya.
Terdengar bayi menangis, di ruang belakang. Puri dan Setyawati bergegas
menghampiri.
Rindu masih tercenung. Memandang seragam sekolah, yang dikenakan kedua
adiknya. Memandang tas, dan buku yang tergolek di kursi, milik adiknya. Seakan
memandang jauh ke masa silam. Saat seperti itu, adalah saat yang manis. Saat yang
ceria. Tak ada suasana duka yang menggores perasaannya.
Adikku! Semoga kelak, kalian tidak mengalami nasib seperti aku! Bisik hati Rindu,
sambil melangkah menghampiri kedua adiknya.
SENJA HARI. Pulang kuliah, Palgunadi berjalan bersama Ningrum, mahasiswi
sastra Inggeris tingkat satu. Mereka berkenalan sewaktu acara Posma. Waktu itu,
Palgunadi dikenal sebagai senior yang terbaik. Ningrum naksir mati-matian terhadap
Palgunadi. Palgunadi berusaha acuh, tapi Ningrum melakukan pendekatan dengan
agresif. Seperti senja ini, Ningrum mengajak Palgunadi jalan sama-sama.
"Kang Gun, koq sombong."
"Sombong kenapa?"
"Nggak pernah mau mengajak saya main."
12o
"Main ke mana?" "Ke mana saja."
Palgunadi memandang Ningrum. Wajah Ningrum cukup cantik, tapi di kalangan
mahasiswa ia selalu dibilang perempuan gampangan. Ningrum, tipe wanita yang tak
segan bergaul dengan siapa pun. Kadangkala. dosen pun seperti merunduk di
hadapannya. Tak berani menegur, kalau sikap Ningrum melebihi porsi dalam
mencandai dosennya.
"Saya selalu betah di rumah," kata Palgunadi.
"Kalau saya sih, di rumah terus bisa senewen."
Palgunadi tersenyum.
"Masa nggak mau ngajak saya nonton. Kang Gun?"
"Nonton apa?"
**Nonton film. Saya kepingin sekali nonton film YESTERDAY sama Kang Gun."
"Tidak dengan saya pun, pasti banyak yang mau menonton denganmu."
"Tapi saya ingin dengan Kang Gun."
Palgunadi terdiam.
Ia mulai kesal. Palgunadi memang paling tidak senang terhadap perempuan yang
terlalu berani, seperti Ningrum. Sama sekali, ia tak melihat kelembutan atau
keanggunan dalam diri Ningrum. sesuatu yang disukai oleh Palgunadi. Tapi ia tak
mau menyakiti perasaan
127
seseorang, dengan menunjukkan sikap yang tegas. Makanya terpaksa Palgunadi
selalu meladeni Ningrum dalam batas-batas tertentu. Tapi Ningrum menanggapinya
lain. la menganggap Palgunadi sesungguhnya mau tapi malu-malu.
"Kang Gun, nggak suka nonton sama saya, ya?"
"Bukan begitu."
"Bukan begitu, mirip dengan iya. kan?"
"Maksudku, aku jarang nonton film," Palgunadi membohong, soalnya ia me|uang
paling doyan nonton film.
''Justru kalau jarang nonton, sekali-sekali kita nonton kan nggak apa-apa."
Palgunadi terdiam lagi.
"Atau Kang Gun sudah ada yang punya?"
Benar-benar memusingkan celotehnya! Bisik hati P-. I ai nadi.
"Aku sedang sibuk. Lain kali, kalau..."
"Masa sibuk melulu." potong Ningrum.
"Sungguh. Sebentar lagi harus menghadapi ujian sarjana muda. Aku harus
konsentrasi."
Ningrum menghela nafas. Mulai kesal.
"Kang Gun sih kelewat kutu-buku. Nanti cepat
Palgunadi tertawa.
"Setiap orang pasti tua. cepat atau lambat."
'Tapi Kang Gun koq tidak memanfaatkan masa muda. Tidak seperti yang lainnya...."
"Tiap orang, kan punya pilihannya sendiri."
Sebuah sedan menderu di belakang keduanya, suara klakson berbunyi nyaring.
Ningrum segera menoleh. Tampak Vicky, mahasiswa Fakultas Kedokteran
tersenyum kepadanya.
"Pulang, Ning?"
Ningrum menganggukkan kepala. "Antarin saya. Bang Vicky!" "Yuk!"
Sedan berhenti dulu. Ningrum melirik kepada Palgunadi.
"Kang Gun! Saya jalan duluan. Saya ikut Bang Vicky."
Palgunadi menganggukkan kepala.
Ketika sedan melaju meninggalkan Palgunadi, Palgunadi memandang termangu. Ia
menghela nafas dalam-dalam.
Betapa gampang mendapatkan seorang wanita! Bisik hati Palgunadi.
***
MALAM MINGGU. Pak Husni sedang santai.
12°
membaca koran mingguan dan majalah di ruang depan. Puri, Setyawati, dan
Palgunadi, sedang asyik main tenis meja di rumah tetangganya. Giri, tugas kerja
malam. Farida tengah menyiapkan makan malam buat Pak Husni. Bel berdering.
Farida bergegas ke depan, mendahului Pak Husni yang baru saja beranjak dari
kursinya. Pintu dibuka.
"Selamat malam, Tante." kata Dani sambil membungkukkan badan, diikuti oleh
Barman. Tatkala muncul Pak Husni, keduanya juga mengucapkan, "Selamat malam,
Oom."
Pak Husni memandang kedua anak muda itu, lalu memandang ke arah sedan yang
diparkir di halaman rumahnya.
"Mau ketemu siapa?" tanya Farida.
"Mmmm... anu, Tante. Saya teman sekolahnya... Puri dan Setyawati."
"Oooo," Farida manggut-manggut.
"Mau apa?" tanya Pak Husni, nada suaranya terasa agak ketus. Farida sendiri merasa
kaget.
"Nggak, Oom. Saya... mmm... mau main-main," jawab Barman agak gelagapan. ^
"Itu. Oom... saya janji mau meminjamkan buku buat... Puri." kata Dani mencoba
meyakinkan.
130
"Ayo, silakan masuk. Nanti Tante panggilkan dulu Puri dan Watinya," sambut
Farida, menjaga agar Pak Husni tidak menyambut dengan nada yang membuat kedua
teman anaknya itu gelagapan.
Pak Husni menatap penuh curiga kepada Dani dan Barman, sementara kedua anak
muda itu masuk dan duduk di ruang depan.
Farida bergegas ke belakang, menyuruh pembantunya memberitahu Puri dan
Setyawati.
Pak Husni mengambil koran dan majalah, meninggalkan keduanya. Dani dan
Barman saling berpandangan, lantas saling mengedip.
"Killer...." bisik Barman.
"Gawat," sahut Dani.
Tak lama kemudian, muncul Farida.
"Tunggu sebentar, ya? Puri dan Wati habis main pingpong. Soalnya, kalau malam
Minggu, suka ada pertandingan."
"Main pingpong di mana, Tante?" tanya Dani.
"Di rumah tetangga."
Farida ke dalam lagi. Puri dan Setyawati, menghampiri Farida di dapur.
"Tamu siapa, Bu?" tanya Setyawati, dengan keringat yang masih mengucur.
"Mana Ibu tahu? Baru kemarin koq."
"Rambutnya gondrong, ya Bu?" tanya Puri.
131
"Iya. Rambutnya gondrong, celana jeans, lehernya pakai kalung. Femuda masa kini!"
sahut Farida suaranya setengah meledek.
Puri dan Setyawati saling berpandangan.
"Pasti dia...," bisik Setyawati.
"Dia siapa?" tanya Farida.
"Anu, Bu. Lelaki yang naksir Riri."
Puri melotot. "Yang satunya juga naksir Wati'"
Farida menatap kedua anaknya sambil geleng-geleng kepala.
"Jadi, keduanya datang ke mari mau apel°"
"Mana saya tahu? Janjian saja nggak," sahut Puri.
"Katanya, kalian janji pinjam buku "
"Apa?"
"Kalian janji pinjam buku!"
"Huuu... dasar biyawak. Siapa yang mau pinjam buku?" kata Setyawati kesal.
"Aneh, sesungguhnya mereka itu siapa sih?"
"Yang gondrong kelimis, namanya Dani. Yang gondrong model Elvis Presley
namanya Barman. Murid kelas tiga IPA. Gayanya sih anak orang gedong-an," kata
Puri.
"Kalian koq macam yang mau jumpa musuh aja."
"Lagaknya nyebelin, Bu. Ibu saja yang menghadapinya," kata Setyawati.
"Husss. Bagaimanapun juga. dia adalah tamu ka-
132
han. Hadapilah baik-baik Biar kalian tidak senang, jangan tunjukkan
ketidaksenangan kalian. Tunjukkan saja, biar dia merasa segan menghadapi kalian."
"Caranya bagaimana?" tanya Puri.
Farida menggelengkan kepala lagi.
"Kalian kan udah gede. Ayo, sana! Hadapi dulu tamunya."
"Ngeri. Ntar disangka Bapa, mereka pacar saya," sahut Setyawati sambil melap
kembali keringatnya.
Keduanya kemudian menuju ke ruang depan. Tanpa cuci muka atau merapikan
pakaiannya dulu.
Begitu Puri dan Setyawati muncul, Dani dan Barman serentak menyambutnya.
"Hallo."
"Hallo lagi," sahut Puri. Mereka duduk berhadapan.
"Sorri. Kita mengganggu. Kata ibumu, kamu-kamu lagi asyik main tenis meja, ya?"
kata Dani.
"Iya. Lagi pertandingan," sahut Setyawati.
"Kalau tahu seneng main tenis meja, padahal di rumahku juga ada tempat main tenis
meja. Pemain-pemain tenis meja kawakan, kadang-kadang suka main di sana," kata
Barman.
Biarin! Bisik hati Setyawati. Tapi yang menjawab adalah Puri.
"Kita sih cukup jadi juara RW saja, ya Wat?"
133
"Jadi juara RT juga lumayan."
Di dalam kamar, Pak Husni melanjutkan membaca koran, berbaring di atas ranjang,
pundaknya diganjal bantal, diterangi lampu duduk. Ketika Farida datang
menghampiri, untuk menawarkan makan, Pak Husni menyimpan korannya.
"Lain kali, kalau ada tamu macam begitu, jangan diberi hati," kata Pak Husni kesal.
Farida agak kaget. Ucapan Pak Husni sungguh di luar dugaannya. Sama sekali tak
menduga, kalau pikiran Pak Husni masih terpaut kepada kedua anak muda itu.
"Dia kan bertamu baik-baik, Pa."
"Baik-baik apa? Lihat lagaknya saja aku sudah muak," sahut Pak Husni sambil
mencopot kaca-mata-nya.
"Jangan dulu berprasangka buruk. Bagaimanapun juga, kita tidak boleh
menyinggung perasaannya Apalagi dia baru kita kenal."
"Kamu memang selalu begitu. Selalu memberi hati. Selalu memberi peluang buat
orang-orang macam begitu!"
"Saya tidak berpikir sejauh itu."
"Itu jeleknya. Kau tidak berpikir ke depan. Buktinya, tokh kau akui sendiri. Dulu kau
puji-puji Han doko, kau sanjung-sanjung, sekarang bagaimana?"
134
Farida terdiam. Kalau Pak Husni sudah menyebut Handoko, rasanya ia suka terpojok.
"Pikiranmu sendiri terganggu, Rindu tak mau lepas dari ingatanmu. Hampir tiap hari
kau mengeluh tentang Rindu, kasihan Rindu. Sampai kau sakit. Tapi apa balasannya
dari dia? Saat itu aku benar-benar kecewa! Kalau dia benar-benar mencintai
orangtuanya, kalau benar-benar dia tersiksa oleh ulah suaminya, kenapa dia memilih
kembali kepada si Handoko? Aku malu sekali. Di hadapan mereka rasanya harga
diriku tercampakkan."
Mata Farida berkaca-kaca.
"Kau tidak pernah memahami perasaanku," sendat Farida.
"Kau juga sama saja," sahut Pak Husni.
Keduanya kemudian terdiam.
Di meja makan, seekor kucing memporakporan-dakan tutup hidangan. Farida
tersentak, segera memburu. Kucing itu meloncat, membawa sekerat daging ayam.
"Kucing sialan!" hardik Farida, seakan memuntahkan kekesalannya kepada kucing
itu. Farida mengambil sapu lidi, memukulnya kepada kucing yang bertengger di atas.
Kucing mengeong kesakitan, tapi tak melepaskan gigitannya terhadap daging ayam.
Di ruang depan, Puri dan Setyawati nampak geli-
135
sah. Meski tidak jelas, ia mendengar pertengkaran Oiangtuanya. Sedangkan Dani dan
Barman, tak begitu memperhatikan. Ia merasa asyik mengobrol, biarpun kadangkala
Puri dan Setyawati menanggapinya dengan acuh tak acuh.
"Perang sekarang selalu terjadi dengan tiba-tiba Gara-gara bekas Presiden Iran
Abolhassan Banisadr melarikan diri dan diberi suaka politik oleh Pemerintah
Perancis, kini ramai sengketa antara Pemerintah Iran di bawah komando Ayatollah
Khomeini dengan Pemerintah Perancis di bawah pimpinan Presidennya Francois
Mitterand." celoteh Barman, dengan harapan biar Setyawati dan Puri merasa kagum.
Di dapur memang lagi terjadi perang, Farida marah-marah kepada pembantunya.
"Kucing naik ke meja makan, masa tidak kelihatan? Harga daging ayam ini tidak
murah, tahu? Ini, cuma ditinggal sebentar saja. sampai kecolongan. Apa saja
kerjamu?"
Pembantu diam saja, seakan sudah memahami, bagaimana semestinya menanggapi
amarah majikan yang tidak seperti biasanya.
Puri dan Setyawati menghampiri, memberitahu tamunya akan pulang. Farida
menghadapinya, seakan tidak ada peristiwa apa-apa. Tapi setelah Dani dan Barman
berlalu. Pak Husni muncul menghampiri Puri
136
dan Setyawati.
"Lain kali, kalau menyuruh temanmu yang datang ke mari, jangan lelaki yang macam
begitu!"
Tentu saja Puri dan Setyawati tersentak.
"Saya... saya... tidak menyuruh dia datang. Dia sendiri yang ke mari," sahut Puri.
"Jangan bohong! Dia kan bilang, katanya kamu pinjam buku kepada dia, menyuruh
dia mengantarkannya ke mari. Apa-apaan? Lelaki kalau sudah diberi hati begitu,
pasti ngelunjak!"
"Dia bohong!" sahut Setyawati. "Saya dan Puri tak pinjam buku. Tidak ada janji apa-
apa."
"Apalagi kalau begitu, kalian harus hati-hati menghadapinya. Kalau perlu, jangan
beri dia kesempatan kalian berhak tak menerimanya! Ingat, harus kalian ingat,
peristiwa kakakmu. Aku tak ingin kejadian yang memalukan begitu berulang lagi
pada anak-anakku!"
Puri dan Setyawati terdiam. Dalam hati, keduanya merasa tersinggung dengan
amarah ayahnya.
Farida yang berdiri jadi saksi, tiba-tiba merasa seperti ada yang menyayat
perasaannya. Setiap contoh kesalahan tertumpu kepada Rindu, selalu kepedihan
membebani perasaannya.
Sampai larut malam, ketika semua sudah tertidur. Farida masih gelisah sendirian.
Bavangan masa silam Kecemasan pada Rindu. Sejuta kepedihan. Menancap di dalam
senyap.
***
BAGIAN KETUJUH
SAMBIL jadi korektor dalam hanan Citra Nurani. Giri kadangkala menulis
wawancara atau artikel tentang musik dan tilm. Pimpinan Redaksi harian itu. ternyata
dengan teliti mengikuti perkembangan Giri. Gaya tulisan Giri, dinilai punya ciri
khas. Cara penuturannya pun mudah dicerna dan akrab dengan pem baca. Sambutan
masyarakat terhadap tulisan Giri cukup baik.
Tidak heran, kalau dalam waktu singkat. Giri diangkat jadi wartawan tetap. Ini
membuat Giri kian senang dan bersemangat. Meski tugasnya cuma wartawan yang
mengekspose musik dan film, tapi Giri juga dengan inisiatif sendiri banyak
menyimak kehidupan di luar itu. Tentang pelacur, gelandangan.
139
atau tokoh-tokoh penting dalam masyarakat
Semua serba memungkinkan, karena dasar ke-mauan kerasnya untuk menunjukkan
prestasi. Dalam bergaul, Giri juga lebih agresif. Sehingga menghadapi tiap orang,
sama sekali tak ada kesulitan.
Di dalam kampus, Giri makin dikenal. Makin dikejar oleh mereka yang haus akan
publikasi. Sampai Giri kewalahan buat menolak. Tidak terkecuali Ningrum, berusaha
mendekati Giri. Satu kelemahan Giri, tak tahan oleh godaan perempuan. Apalagi
menghadapi perempuan berpengalaman semacam Ningrum.
Seperti sekarang, ketika Giri berjalan sendirian hendak menuju motornya yang
diparkir, tahd-tahu Ningrum memburu dari belakang.
"Kang Giri!" seru Ningrum.
Giri menghentikan langkah.
Ningrum langsung saja pegang lengan kanan Giri.
"Masukin korannya dong saya."
Giri tidak kaget menghadapi sikap wanita semacam Ningrum ini, banyak yang
berbuat seperti Ningrum, dengan harapan namanya bisa ditonjolkan dalam koran atau
majalah.
"Wah, nggak akan muat," sahut Giri bercanda.
Ningrum mencubit lengan Giri, sambil mendelik kan matanya. Jantung Giri
berdegup kencang.
140
Apalagi memandang bibirnya yang menantang.
"Foto dong saya, Kang! Jangan cuma anis beken saja. Saya kepingin sekali main
film. Kalau dipublikasikan oleh Kang Giri, siapa tahu ada produser yang ngiler."
"Jika mau main film kan gampang. Tinggal melamar saja. Wajah dan potongan
tubuhmu sudah meyakinkan."
"Ngeledek, ah," sahut Ningrum, tapi jelas senang sekali dipuji Giri.
"Soalnya, kalau yang nulisnya saya, tidak akan ada yang membaca. Percuma."
"Uuuuhhh... Kang Giri suka bergaya merendah. Kuno! Saya saja pembaca setia
tulisan Kang Giri."
"Apanya yang mesti saya tulis?"
"Apanya saja. Terserah Kang Giri. Dibilang penyanyi juga, kan saya pernah jadi
juara nyanyi antar Taruna Karya. Kalau di bidang olah raga, saya pernah jadi kiper
kesebelasan sepak bola waktu di SMA. Kalau di bidang kesenian drama, saya pernah
jadi Melati Di Tapal Batas, waktu pementasan drama menyambut 17 Agustus."
"Masih ada lagi?" _
"Saya pernah ikut Ratu Disco, Ratu Dangdut, dan Ratu Pantai."
"Menang?"
141
"Nggak. Tapi masuk finalis."* "Lantas?"
"Masa seeitu tidak cukup."
"Lebih banyak yang diungkapkan, lebih bagus."
"Apalagi, yaaa..." Ningrum mengingat-ingat. "O. ya! Saya pernah latihan karate dan
juara masak antar kecamatan."
"Cita-citanya mau jadi apa sih?"
"Ibu rumah tangga yang baik."
Giri tersenyum.
"Katanya mau jadi bintang film."
"O. tentu. Jadi bintang film itu cita-cita utama. Pokoknya, kalau potret saya sudah
dimuat, lantas ada tawaran dari produser film, langsung bakal saya terima."
"Tidak menyeleksi dulu perannya?"
"Untuk apa? Saya tidak akan pilih-pilih peran. Main ranjang, boleh. Ciuman? Okey!
Sebagai artis, mesti serba bisa. dan serba bebas. Kalau pilih-pilih, nanti nggak bakal
ada yang mau."
Giri manggut-manggut.
"Kuliahmu bagaimana?"
"Kuliah sih jalan terus. Soalnya, studi itu kan penting. Bahkan nomor satu adalah
studi. Jadi bintang itu mesti intelek, biar punya wibawa. Kan banyak sarjana yang
main film."
142
"Okey deh kalau begitu."
"Jadi Kang Giri mau menulis tentang saya?"
"Yaaaa bolehlah."
"Benar0"
Giri menganggukkan kepala.
"Makasih banyak. Kang Giri baik deh. Kapan mau motret saya?"
"Sekarang saya sibuk. Mesti ke kantor dulu. Besok ada waktu, nggak?"
"Tentu. dong. Jam berapa? Biar saya bisa ada persiapan. Soalnya saya biar leluasa
pilih pakaian yang klop dengan kulit dan tubuh saya."
"Besok siang."
"Kang Giri mau ke rumah?"
"Boleh "
"Saya mau dipotert dalam gaun yang minim nggak0 Atau yang sopan-sopan saja?"
"Dua-duanya juga boleh." "Betul ya? Besok!"
Giri menganggukkan kepala. Lagi-lagi matanya tertancap pada bibir dan lekuk-liku
tubuh Ningrum.
Kemudian Giri bergegas meninggalkan Ningrum. Ningrum kembali ke dalam
ruangan, sambil berlari-lari kecil.
143
FARIDA menerima surat kilat dari Surabaya. Dari dokter Irawan. Isinya cukup
mengejutkan. Ternyata, rencana pernikahan dipercepat.
-¦ Orangtua Luh Sudari minta agar pernikahan segera dilaksanakan, alasannya biar
hati mereka tenang. Saya sendiri tidak keberatan, bahkan sekalipun nanti resmi jadi
suami-isteri, saya akan tetap meng-ijinkan Luh Sudari menyelesaikan kuliahnya.
Saya harap Ibu dan Bapa tidak terkejut. Sungguh, saya masih tetap berharap, Bapa
dan Ibu bisa menghadiri pernikahan kami. Saya tahu Bapa punya prinsip yang tak
tergoyahkan, tapi demi anak Bapa, saya begitu mendambakan kehadiran Bapa. Kalau
tidak juga, Ibu mesti datang. Bayangkan, bagaimana rasanya, kalau saya menikah
tanpa ada yang jadi wali. Padahal orangtua saya masih hidup.
Seminggu sebelum pernikahan, saya akan ke Bandung, untuk menjemput Tolong
beritahu juga. Rindu dan Handoko. Bagaimana bayinya? Tentu sudah belajar
berjalan.
Salam buat adik-adik di rumah.
Ananda, IRAWAN.
FARIDA merasa terharu. Irawan selalu begitu. Selalu ingat kepada saudara-
saudaranya. Selalu bersikap seperti seorang yang bijak. Farida merasa tak tega,
seandainya tak datang pada hari pernikahan Irawan. Bagaimanapun juga, ia akan
berusaha untuk menghadirinya. Mewakili suaminya, jika berkeras kepala tak mau
datang.
Tapi yang ia takutkan akibatnya. Sungguh, dalam banyak hal Farida suka serba-
salah. Setiap keputus-an, banyak yang bertentangan dengan keinginan Pak Husni.
Tidak mustahil, Pak Husni akan menumpahkan amarahnya kepada dia, seandainya ia
mau meng hadiri pernikahan dokter Irawan.
Sewaktu surat dari dokter Irawan itu dibaca Pak Husni, wajah Pak Husni pucat, lesu.
Farida seperti melihat kekecewaan yang memukui perasaan Pak Husni.
"Dia benar-benar menentukan kata-hatinya sendiri," kata Pak Husni datar.
"Apa boleh buat, Pa. Kita, orangtua, akhirnya memang mesti mengalah."
'Tidak. Aku tidak akan jadi pecundang dalam soal prinsip."
"Jadi, Bapa tetap tak mau datang?"
"Tidak."
'Bapa tidak... kasihan kepada Irawan?"
145
"Kasihan? Mest iya dia yang punya rasa kasihan terhadapku. Mesti? ya dia tahu,
dengan pilihannya itu aku, Ayahnya, bei r-benar terpukul."
"Bapa jangan terlalu diselimuti emosi."
"Aku tidak emosi. Apakah kau anggap kurang wajar, kalau aku merasa kecewa?"
Farida terdiam.
"Aku tidak ingin balasan materi, aku tid?»k ingin balasan yang gemerlapan, dari
anak-anakku yang maju. Yang kuinginkan adalah, anak yang bisa membaca
kemauanku. Tapi, itu tak kudapatkan pada Rindu, atau Irawan."
"Itu tak perlu kau ungkit lagi."
"Kalau kau benar-benar mau menghargai sikapku, aku harap, kau tak usah
menghadiri pernikahan Irawan."
Farida tercenung sejenak. Lalu menatap Pak Husni.
"Aku tak tega, Pa." "Kau harus tega!"
"Aku bisa merasakan, bagaimana perasaan Irawan, seandainya nanti, ia seperti tak
punya siapa-siapa."
"Itu resiko dia. Atau kau bisa merasakan perasaan dia, tapi tak pernah menyelami
perasaanku?" "Jangan bertanya begitu, Pa. Yang kita hadapi
146
adalah anak kita. Baik atau jelek, tetap hasil didikan kita."
"Aku bilang; ini sikap. Dan kalau kau benar-benar mau menghargai suamimu, aku
minta kau jangan datang!"
Farida terdiam sesaat. Kepalanya merunduk.
"Biar dia tahu rasa. Biar dia bisa memahami sendiri, kenapa aku tetap menolak."
"Aku... aku tak bisa bersikap keras seperti kau, Pa. Bagaimanapun, aku.... Ibunya.
Yang mengurusnya sejak kecil. Bathinku begitu dekat."
"Kau boleh mengemukakan alasan apa pun. Tapi aku tetap meminta, jangan datang
pada hari pernikahannya."
Farida terdiam. Sungguh suatu pilihan yang rumit. Tak terbayangkan betapa
kecewanya Pak Husni, seandainya ia pergi bersama Irawan. Tapi haruskah juga aku
mengecewakan Irawan? Bisik hati Farida.
Makin terasa, begitu banyak persoalan menumpuk. Makin terasa, begitu banyak
cobaan menimpa.
Belum lagi terpikir, tentang dirinya sendiri. Hubungannya dengan Pak Husni, yang
senantiasa diliputi ketegangan.
***
147
DOKTER Irawan datang menjemput. Pak Husni tetap dengan pendiriannya. Harapan
dokter Irawan, cuma tertumpu kepada Farida. Tapi Farida mulai ragu, bila ingat
permintaan Pak Husni. Ucapan Pak Husni terngiang lagi.
"Kau boleh mengemukakan alasan apa pun. Tapi aku tetap meminta, jangan datang
pada hari pernikahannya."
Rasanya, sudah terlalu sering Farida bertengkar dengan Pak Husni, karena
perselisihan pendapat. Dan kalau saja, kini ia mengikuti kemauan dokter Irawan,
bukan mustahil akan menimbulkan amarah Pak Husni yang lebih hebat.
Tiba-tiba, terlintas dalam pikiran Farida; bukankah Irawan anak kandung Pak Husni?
Bukankah Irawan anak tirinya? Sekaranglah saatnya menunjukkan pada Irawan, pada
Pak Husni, bahwa ia juga tetap mencintai anak Pak Husni seperti kepada anaknya
sendiri. Apa pun resikonya, ia tetap harus menghadiri pernikahan Irawan. Bahkan,
ketika Irawan mengulang kembali permintaannya, hati Farida kian luluh.
"Bu, tolonglah saya. Tumpuan harapan saya hanya pada Ibu. Saya mohon, Ibu mesti
datang. Ibu mesti ikut saya."
Tekad sudah bulat. Ketika itu, Pak Husni sedang bekerja. Farida pergi diam-diam
bersama Irawan, Pai
148
gunadi juga ikut. Rindu sudah pesan, tidak bisa hadir, karena khawatir akan
kesehatan bayinya.
Biar Farida tidak cape, dokter Irawan sengaja berangkat naik pesawat terbang. Di
rumah, Farida sudah wanti-wanti kepada Puri, Setyawati dan Giri, untuk meladeni
Pak Husni.
Farida tak mau membayangkan, bagaimana jika Pak Husni pulang kerja, ia sudah tak
ada. Membayangkan itu cuma mendatangkan gelisah dan kecut. Tapi, Farida sudah
menulis surat buat Pak Husni, yang disimpan di atas meja dalam kamarnya.
***
YANG langsung dijumpai Pak Husni, setelah pulang kerja, memang*surat dari
Farida.
— Maafkan saya telah mengabaikan keinginanmu. Pa! Saya benar-benar tidak tega.
melihat Irawan kecewa. Saya tidak tega. kalau dalam pernikahannya nanti, Irawan
berduka karena tak ada yang menghadiri. Cobalah mengerti perasaan saya, Pa.
Biarlah saya menanggung beban apa pun, demi kebahagiaan anak-anak kita.
Saya pergi dengan Palgunadi. Saya mohon, tak usah jadi pikiran. Sebab dalam
menempuh perjalanan
149
hidupnya, tiap orang punya hak atas pilihannya sendiri.
Saya senantiasa berdoa, agar hatimu tenteram.
- FARIDA -
PAK Husni tertegun. Menghela nafas. Surat itu diremasnya. Begitu dalam
kekecewaan tergambar dari wajahnya.
Puri masuk.

"Bapa mau makan sekarang?" tanya Puri. "Nanti saja,*' sahut Pak Husni agak acuh.
Puri pergi lagi, keheranan.
Pandangan Pak Husni tertuju kepada sebuah potret yang terpajang di dinding. Potret
pernikahannya dengan Farida. Pak Husni terpaku. Wajahnya seperti merah-padam.
Sesuatu seperti mengiris perasaannya.
Dan bayangan itu nampak jelas. Masa silam yang pahit.
Waktu itu, Pak Husni ada tugas ke Medan, selama seminggu. Setahun setelah
pernikahannya dengan Farida. Tapi rencana seminggu itu jadi urung, karena tugas
bisa rampung dalam dua hari. Pak Husni kembali lagi, tanpa sempat memberitahu
lebih dulu kepada
150
Ketika itu siang hari.
Pak Husni diam-diam masuk rumah. Anak-anak sedang bermain di rumah tetangga.
Ia langsung masuk ke dalam kamarnya.
Tapi apa yang ia dapatkan?
Sungguh suatu pemandangan yang menggelegar-kan perasaannya. Sungguh suatu
pemandangan yang membakar hatinya.
Farida tengah bercumbu dengan seorang lelaki.
Tentu saja Farida kaget. Wajahnya pucat. Sedangkan lelaki itu, mendadak gelagapan.
Pak Husni menatap keduanya dengan berang, tak ada kata yang terucap. Hanya dari
wajahnya kentara menunjukkan amarah dahsyat yang terpendam.
Pintu kamar ditutup keras-keras. Pak Husni balik lagi, hendak pergi. Tapi segera
diburu Farida. Farida langsung memeluk kaki Pak Husni. Meratap.
"Maafkan saya, Pa! Maafkan saya!"
Pak Husni menyepakkan kakinya, sehingga Farida tersungkur. Di luar penglihatan
mereka, lelaki yang berkencan dengan Farida kabur melalui jendela kamar.
"Aku tak menyangka, kalau kau ternyata seorang pciacur' Perempuan murahan!
Lonte! Pantas suamimu menceraikanmu! Tak tahu malu! Penipu! Menye-
151
sal aku telah memperisterimu!"
Farida menangis. Masih meratap.
"Maafkan saya, Pa. Maafkan saya "
"Kalau kau sudah bosan denganku, bilanglah terus terang. Jangan menyakiti
perasaanku dengan cara begitu! Keterlaluan!*'
"Saya... saya hilap. Demi Tuhan, Pa. Saya bertobat. Saya berjanji tidak akan berbuat
seperti itu lagi. Demi Tuhan, saya berjanji. Kalau saya melanggar janji... semoga
Tuhan mengutuk perbuatan saya. Semoga Tuhan menurunkan azab NYA terhadap
saya."
Pak Husni memang mencintai Farida. Meski menyakitkan, Pak Husni mau
mengampuni isterinya. Tapi ada akibat yang tak terasa senantiasa menyiksa.
Hubungan keduanya, terasa seperti ada dinding pemisah. Tak ada kemesraan lagi.
Dan itu dijalani bertahun-tahun. Percakapan seringkah" yang berwujud pertengkaran.
Tapi Farida memang bertobat. Tidak lagi menyeleweng. Seluruh perhatiannya
dicurahkan kepada anak-anak. Meski dalam hati kecil Farida, senantiasa muncul
kecemasan. Takut ada pi-lih-kasih Kecemasan yang tidak pernah terasa oleh Pak
Husni.
Setelah anak-anak dewasa, sekali-sekali Pak Husni menunjukkan perasaan kasihnya
kepada Farida. Misalnya, di hadapan anak-anak. Pak Husni memberikan
hadiah kepada Farida. Lalu, Farida menyambutnya dengan kecupan di pipi Pak
Husni.
Potret yang sedang dipandang itu kini membaur. Pak Husni menutup wajahnya
dengan kedua belah-t angan.
Ya, Tuhan! Kenapa aku mesti mengalami cobaan seperti ini? Jerit hati Pak Husni.
Terasa sepi.
Semua seakan menjauh.
***
GIRI mendapat tugas ke Jakarta, untuk menyaksikan sebuah pagelaran busana masa
kini di lobby sebuah hotel mewah.
"Jangan lama-lama, Kang! Ibu dan Kang Gun kan belum pulang. Lagian,
menghadapi Bapa kayaknya tegang terus," kata Setyawati, ketika Giri mau
berangkat.
"Kapan Ibu pulangnya?"
"Menurut rencana sih besok. Mungkin besok malam," sahut Puri.
"Besok juga, aku sudah kembali."
"Jangan lupa. saya belikan pakaian yang dipamerkan nanti, ya Kang?" kata Puri. _
153
"Mampus aku. Harganya bukan jangkauan kita. Paling murah, mesti di atas seratus
ribu."
"Wartawan kan ditakuti. Siapa tahu, karena ingin promosi lantas Kang Giri dapat
jatah.'*
Giri tertawa.
"Jangan ngaco. Memangnya aku wartawan tukang bongkar skandal? Aku kan masih
jenis wartawan kelas teri."
"Biar kelas teri, yang penting kan berbobot," sahut Setyawati.
"Iya. Pokoknya, kalau ada uang, aku belikan oleh-oleh."
"Awas! Jangan main Hostess, ya?" kata Puri. Giri tersenyum.
Ketika Giri hendak membeli karcis kereta api Pa-rahyangan di Statsiun, Giri kaget.
Ningrum ternyata ada di situ. Wajah Ningrum berseri-seri.
"Hallo, Kang Giri!"
"Ningrum mau ke Jakarta?"
"Iya. Kang Giri juga?"
"Iya."
"Kalau begitu kebetulan. Tapi saya sudah beli karcis. Ini BW 2 nomer 15. Kita
duduknya sama-sama saja. Tukar lagi saja, nomor yang bisa berhadapan."
Giri menganggukkan kepala.
154
"Kang Giri, makasih ya tentang tulisannya. Aduh, orangtua saya seneeengng sekali."
Giri tersenyum.
Bergegas membeli karcis. Tak lama kemudian kembali lagi.
"Kita naik ke kereta aja, yuk!" ajak Giri.
Ningrum memegang lengan kanan Giri. Keduanya berjalan menuju kereta api
Parahyangan. Duduk berdampingan. Ningrum di dekat jendela.
"Kang Giri mau ke mana?"
"Biasa. Tugas."
"Enak ya. Kalau wartawan, banyak tugas ke luar. Jalan-jalan terus." Giri tersenyum.
"Ningrum mau ke mana?"
"Anu, Kang. Saya baca di surat kabai, ada lowongan kerja buat jadi bintang film.
Saya rasa persyaratannya sudah sesuai dengan keadaan saya."
"Persyaratannya bagaimana?"
"Bertubuh tinggi, wajah menarik, sexy, diutamakan yang belum punya pacar dan
belum berkeluarga. Para pelamar disuruh datang langsung ke kantornya Coba,
bagaimana menurut pendapat Kang Giri, saya menarik dan sexy, nggak0" kata
Ningrum sambil merajuk.
Giri memandang Ningrum. Wajah dan potongan
155
tubuh Ningrum memang memenuhi seleranya. Menggiurkan. Tapi, Giri tak habis
pikir, kenapa Ningrum begitu ambisius untuk meraih popularitas dengan cara apa
saja? Sayang! Bagaimana, kalau ia kena tipu produser film petualang? Kalau datang
pikiran buruk, ka-dangkala timbul niat Giri untuk memanfaatkan kesempatan. Ia
yakin, Ningrum takkan menolak. Ia begitu yakin, akan bisa meluruhkan Ningrum.
Bahkan kalau mau melakukannya, di Jakarta bisa dimulai!
"Koq Kang Giri bengong? Atau menurat Kang Giri... saya tidak akan bisa memenuhi
persyaratan?"
"Tentu bisa. Sangat memenuhi," sahut Giri, mencoba tegar. "Tapi aneh, kenapa
Ningrum begitu ingin sekali jadi bintang film?"
"Biar jadi orang beken. Jadi orang beken kan enak. Apa-apa jadi bahan berita. Mau
ulang tahun saja, bisa jadi berita besar."
Giri tersenyum.
"Nginapnya di mana?"
"Ada kakak lelaki saya yang tinggal di Jakai Kerjanya di Pertamina. Suka main band.
Xang Giri mau tinggal di mana?" "Di mana saja." "Pasti di hotel, ya?" "Mudah-
mudahan."
156
"Nanti main-main ke rumah, ya?" Giri menganggukkan kepala. "Atau, kalau ada
waktu, antar saya besok, ke kantor perusahaan film. Terus kita jalan-jalan " Kereta
terus melaju dengan kencang. Masuk terowongan. Gelap.
MALAM han.
Suasana semarak. Para tamu memenuhi kursi undangan, dengan pakaian berbagai
mode. Beberapa orang wartawan, termasuk Giri berdiri, menunggu ob} ' . Soalnya,
tak sedikit artis yang datang. Juga beberapa orang pejabat.
Yang saling kenal, saling merangkul, berpelukan, sun-sun-an. Wajah-wajah sungguh
ceria, senyum cerah. Sama sekali, tak terlihat ada wajah murung.
Tiba-tiba, pandangan Giri terpaku pada seorang pemuda yang menggandeng seorang
wanita cantik. Berpakaian warna menyolok, wajahnya di make-up habis-habisan.
Giri yakin betul, p». da itu adalah... Handoko! Handnko suami kakaknya.
la»..___e Giri berdegup kencang.
157
Ingatannya terpaut kepada Rindu. Penderitaan Rindu.
Bajingan! Bisik hati Giri. Pantas Rindu tersiksa, kalau di belakang Rindu ia
nyeleweng! Pura-pura sj-buk, banyak kerjaan.
Ingat waktu Rindu melahirkan, seorang diri. Hati Giri kian geram. Saat itu, mau
rasanya ia menghampiri Handoko. Mencaci-maki. Menghajarnya di hadapan umum.
Tapi tidak. Giri segera sadar akibatnya. Takut akan lebih menyiksa perasaan Rindu.
Ketika acara Pagelaran Busana dimulai, para wartawan menyerbu ke depan.
Memotret dari berbagai posisi. Giri sengaja maju, membelakangi Handoko. Ia
memotret sambil berjongkok. Handoko sama sekali tak memperhatikan wartawan
yang berada di hadapi annya. Pandangannya seratus persen tertuju kepada tubuh
yang melenggang-lenggok memperagakan busana pantai.
Pada suatu saat, ketika wanita itu bersandar ke bahu Handoko dengan mesra, sambil
menunjuk sebuah pakaian yang diperagakan seorang peragawati, diam-diam Giri
mengabadikannya.
Kemudian Giri berdiri di hadapan Handoko, membalikkan badan ke arah para tamu,
pura-pura tak melihat Handoko. Maksudnya, biar Handoko tahu, bahwa dia ada di
situ. Dan Handoko memang segera
158
mengenal Giri. Wajahnya agak pucat. Ia berusaha merunduk, biar Giri tak melihat.
Jam sepuluh malam, Giri pulang. Ia naik taxi ke sebuah hotel. Sampai di dalam
kamar, Giri menyimpan tas, langsung berbaring. Pikirannya masih terpaut kepada
Handoko.
Mestikah aku memberitahukannya kepada Rindu? Mestikah aku memberitahukannya
kepada Ibu, Bapa, dan saudara-saudaraku? Mestikah aku memperlihatkan hasil
fotoku nanti kepada mereka? Kalau tidak, berarti aku membiarkan penderitaan Rindu
berlarut-larut.
Kalau kuberitahukan, aku ngeri membayangkan reaksi Ibu dan Bapa. Selama ini,
mereka senantiasa bertengkar, karena persoalan Rindu yang tak kunjung usai!
Giri memejamkan mata
Tilpon berdering. Ia segera mengangkatnya. "Hallo/' "Hallo."
"Ini Kang Giri?" "Iya. Ini Ningrum?" "Iya. Kang Giri... sudah pulang lagi?" "Habis
cape."
"Bagaimana, seneng nggak dengan tugasnya?" Giri tertawa.
159
Tugas wartawan musik dan film, selalu menyenangkan."
"Tapi nggak sampai lupa sama Ningrum, kan?" "Ooo... tidak. Jauh di mata, dekat di
perut!" Terdengar suara Ningrum tertawa. "Kang Giri, pasti kesepian, ya?" "Ah,
nggak. Jakarta begini rame koq." "Eh, iya. Pasti nggak dong. Sssttt... tentu di
samping Kang Giri ada selimut hidup, ya?" "Apa?"
"Selimut hidup!" Giri tertawa.
"Selimut hidup, atau Hidup untuk selimut?"
"Soalnya kan tinggal koling saja."
"Kalau ingin membuktikan ada selimut atau tidak, silakan saja ke mari."
"Iddiihhh ngaco."
"Ningrum sama siapa?"
"Sendiri. Kakak saya sudah tidur."
"Tentu sedang berkhayal tentang bintang film, ya?"
"Iya. Kalau misalnya saya diterima. Lantas disuruh adegan ranjang, dipikir-pikir
ngeri juga." "Ngeri atau seneng?"
"Ngeri. Bagaimana kalau lawan mainnya sudah tua, gemuk dan menyeramkan."
160
Giri tertawa.
"Resiko. Yang penting tokh asal beken." Ningrum diam tak menyahut lagi. "Koq
diam?" "Ngeri"
"Jadi mau urung saja?"
"Nggak tahu. Aneh, jadi ragu-ragu."
"Lho kenapa begitu?"
"Nggak tahu. Pokoknya Kang Giri besok datang, ya? Kalau tidak jadi, kita bisa main-
main. Ke mana saja. Atau kita ke pantai. Kang Giri foto saya di J3i-naria. Mau, kan?"
"Tapi besok saya harus ada di Bandung."
"Iya. Besok pulang sama-sama lagi. Naik kereta api terakhir."
Sepi.
"Udah, ya?" suara Ningrum mendesah.
"Ngantuk?"
"He-emh."
'"Okey. Selamat bobo."
"Kembali bobo, dengan selimut hidup."
Giri tertawa.
Tilpun diletakkan lagi.
Bayangan Ningrum, kini mengental. Ingat lagi tadi siang. Sebelum mengantar
Ningrum ke rumahnya di daerah Kebayoran Baru, ia mengajak Ningrum untuk
memesan tempat menginap di sebuah hotel kawasan jalan Thamrin.
Ningrum memang mencandai Giri. Kata Ningrum, di hotel mewah begitu, dengan
gampang bisa memesan teman tidur yang cantik. Giri menanggapinya cuma dengan
tawa.
"Wah, bisa-bisa saya nggak pulang. Duitnya terkuras," sahut Giri.
Aneh, kini Giri merasa begitu akrab dengan Ningrum. Ada getar-getar kerinduan,
tatkala berpisah dengan Ningrum. Sementara Ningrum, terasa selalu memberi banyak
peluang.
Giri memejamkan mata.
Menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.... mati!
***
162
BAGIAN KEDELAPAN
SIANG hari, Farida dan Palgunadi tiba kembali di rumah. Disambut oleh Puri,
Setyawati, dan pembantunya. Pak Husni belum pulang dari kantornya. Wajah Farida
nampak pucat, akibat perjalanan yang jauh dan cukup melelahkan. Tapi yang
sesungguhnya, hatinya pun gelisah menghadapi begitu banyak persoalan. Selama di
Bali, ia sempat menikmati keindahan Pulau Dewata sejenak, tapi pikirannya tak bisa
lepas dari Rindu. Rasanya, ia ingin segera rampung dan balik lagi ke Bandung. Entah
mengapa, rasa ngeri memikirkan Rindu, begitu melecut-lecut hatinya. Belum lagi, ia
memikirkan reaksi Pak Husni.
"Giri ke mana?" tanya Farida.
"Ke Jakarta. Katanya sih pulang hari ini."
163
Puri dan Setyawati memburu oleh-oleh. "Kang Gun! Bawa cincin dan gelang,
nggak?" tanya Setyawati.
"Ada. Tuh, di tas Ibu." "Buat saya juga?" tanya Puri. "Semua kebagian."
Farida masuk ke dalam kamar. Pikirannya benar-benar pusing dan kalut. Pernikahan
dokter Irawan berjalan lancar, meskipun orangtua Luh Sudari nampak kecewa,
karena tak dihadiri Pak Husni.
Tanpa berganti pakaian dulu, Farida langsung membaringkan tubuhnya di atas
ranjang.
Puri datang menghampiri.
"Ibu koq terus berbaring? Sakit, ya?"
"Pusing."
"Habis cape sih. Mau minum kopi, Bu?" "Iya. Kopinya agak pait."
Ketika Puri hendak melangkah pergi, Farida memanggilnya. "Riri."
Puri menghampiri lagi. "Ada apa, Bu?"
"Kau main-main ke rumah Rindu, nggak?" Puri menggelengkan kepala. "Wati?"
"Rasanya sih nggak."
164
"Rindu juga tidak ke mari?" "Nggak."
"Nanti sore tengok d«a, ya? Kalau ada waktu, suruh main-main ke mari dengan
anaknya "
Dulu juga Ceu Rindu saya ajak main-main ke ma Tapi dia nggak mau. Bilangnya sih,
takut anaknya masuk angin."
"Dengan Handoko, bagaimana? Tidak mendengar ada pertengkaran lagi?"
Puri menggelengkan kepala.
"Nggak tahu. Waktu itu, Mas Handoko sedang tak ada di rumah sih."
Farida menghela nafas.
"Bapa bagaimana?"
"Maksud Ibu?"
"Bagaimana reaksi Bapamu dengan kepergian Ibu?"
"Nggak tahu juga. Habis Bapanya diam terus."

Ketakutan itu kian membebani Farida. la tahu betul, kalau suaminya berdiam, berarti
menyimpan kemarahan yang besar.
Puri ke luar kamar, membuat air kopi.
***
165
BEGITU melihat Farida sudah datang, Pak Husni memandang ketus. Tidak
menyapa, juga tidak bertanya. Farida jadi serba salah. Ia biarkan saja dulu sikap Pak
Husni begitu. Kalau ditanya, takut amarahnya meledak di hadapan anak-anak.
Menjelang tengah malam, di dalam kamar, barulah Farida buka suara.
"Maafkan saya, Pa. Saya pergi tanpa sepengetahu-anmu. Saya telah melanggar
permintaanmu.*'
"Sudah kubayangkan, kau pasti akan berangkat," sahut Pak Husni ketus.
"Bagaimanapun saya tak bisa menurutkan kata hati. Saya tak tega. Irawan begitu
mengharap. Saya tak mau mengecewakan perasaannya."
"Tapi, imbalannya kau telah mengecewakan perasaanku! Menyakiti perasaanku."
"Demi Tuhan, saya tidak berniat begitu."
"Apa pun alasanmu, balasan terhadapku, dari kau, dari anak-anakku, selalu
menyakitkan."
"Jangan bicara begitu, Pa."
"Kenyataannya memang begitu! Rindu, Irawan, kau, atau yang lainnya... siapa tahu
tak bisa memenuhi harapanku! Tidakkah itu menyakitkan? Hatiku benar-benar
terpukul!"
Farida terdiam. Ya, Tuhan! Kenapa selalu pertengkaran yang mempertemukan aku
dan suamiku?
166
Tidakkah ada kebahagiaan terbersit di dalamnya? Tidakkah ada kelembutan,
kemesraan, yang selama ini amat kudambakan?
"Kita kini telah sama-sama tua. Telah melakukan serangkaian perjalanan yang jauh.
Aku telah berjuang, membanting tulang, untuk membangun rumah-"tangga kita,
masa depan anak-anak kita. Aku tak mengharap balasan materi. Aku akan merasa
bahagia, kalau anak-anakku bisa berhasil, bisa berumah-tangga dengan baik, tak
menyalahi ajaran agama."
Farida masih juga diam. Pak Husni kembali bicara.
'Tapi apa yang kudapatkan kini? Apa yang kuhadapi dalam masa tuaku ini? Kau lihat
sendiri, kan? Kau lihat sendiri? Begitu banyak kekecewaan menumpuk! Sejak kau
siksa aku dengan penyelewenganmu itu, hingga sekarang, yang kudapat cuma beban
penderitaan! Kekecewaan! Kekesalan! Bisakah kau mengerti hal itu? Bisakah kau
memahami perasaanku?"
Farida merundukkan kepala. Bening mengembang di kelopak matanya.
"Saya memang bersalah. Tapi... tapi tidak semua kesalahan ada pada saya."
"Kau selalu mengaku salah, tapi kau selalu merasa benar!"
"Pa!" Farida menatap Pak Husni. Seperti ada
167
keberanian yang menghentakkan perasaannya. "Kau pikir, aku senang melihat
penderitaan yang dialami Rindu? Kau kira aku senang melihat Irawan menikah
berlainan agama? Kau kira, aku senang tiap bicara dengan kau selalu dalam
pertengkaran terus? Kalau kau merasa tersiksa, aku juga sama saja!"
"Tapi semua gara-garamu! Kalau kau tidak gampang terpengaruh, kalau kau tidak
gampang terbujuk, kalau kau berwibawa, pasti takkan terjadi hal seperti ini. Atau,
karena memang kau menginginkan anak-anakmu seperti kelakuanmu di masa lalu?"
"Pa! Kau terlalu! Kau ungkit lagi masa laluku?"
"Biar kau tahu diri."
"Bapa kira, aku saja yang salah? Bapa pikir, Bapa saja yang benar? Sejak peristiwa
itu aku telah bertobat. Ketika kau memaafkan perbuatanku, sesungguhnya aku
bahagia sekali. Karena kau telah menyelamatkan aku dari kehancuran. Aku bangga
sekali akan keluhuran budimu. Tapi apa yang kudapat sesungguhnya? Kau ternyata
masih menyimpan dendam! Kau telah mengacuhkanku. Kau menyapaku, mengajak
aku bicara, hanya karena basa-basi di hadapan anak-anak atau di hadapan famili dan
tamu kenalanmu! Selebihnya, yang nampak adalah keadaan hatimu yang
sesungguhnya!"
Kini giliran Pak Husni yang terdiam. Ada sesuatu
168
yang begitu tajam menusuk perasaannya. Farida masih belum puas, ia masih terus
mau membalas melontarkan unek-uneknya.
"Kenapa aku nyeleweng? Mestinya kau memahami. Tanyalah kepada dirimu sendiri.
Mengapa isterimu nyeleweng? Kenapa?"
Pak Husni memejamkan mata.
Inilah puncak dari segala penderitaannya yang terpendam. Dalam benak Pak Husni
terbayang lagi peristiwa itu. Peristiwa sebelum pernikahan berlangsung dengan
Farida. Waktu itu, ia naik kendaraan bersama isterinya. Nasib malang, kendaraan
oplet yang ditumpanginya bertabrakan dengan bis Damri. Isterinya meninggal
seketika. Tapi ia sendiri, meski selamat, harus menanggung beban penderitaan.
Akibat kecelakaan itu, fungsi alat vitalnya jadi tak normal. Tidak bisa memuaskan.
Farida menatap Pak Husni. Menunggu reaksi. Ketika Pak Husni tetap diam, ia bicara
lagi.
"Aku juga telah berkorban banyak, Pa. Kau memang telah berusaha keras, sampai
kita bisa hidup cukup. Anak-anak kita besar dan bisa meneruskan studinya. Tapi
selama ini, kau tidak pernah memberi nafkah bathin. Tidak pernah melakukannya.
Tidak pernah. Aku seperti tidak punya suami. Kebahagiaanku tidak lengkap. Waktu
itu aku hilap. Aku masih muda.
169
Salahkah aku? Dan di hadapanmu, aku telah janji akan bertobat. Aku telah
melaksanakan janji itu. Aku telah melewati perjalanan hidup ini dengan sejumlah
beban yang menghimpit perasaanku. Aku telah menipu diriku sendiri, untuk tidak
menerima bayangan muluk tentang dambaan kebahagiaan bathin yang diharapkan
seorang isteri. Semua, karena aku merasa berdosa padamu. Merasa kau angkat harga
diriku."
Pak Husni diam terpaku. Matanya berkaca-kaca.
Tiba-tiba, keharuan begitu dalam, menelusuri bathin Farida. Ia seperti merasakan,
gejolak kedukaan dalam hati suaminya. Farida menjatuhkah dirinya ke dalam
pelukan Pak Husni.
"Maafkan saya, Pa. Saya tak bermaksud menyakiti perasaanmu."
"Kau benar," suara Pak Husni bergetar, memelas. "Mestinya lelaki seperti aku, tak
punya isteri. Aku telah menyiksa perasaanmu. Aku telah membuat derita begitu
panjang membebani hatimu. Selama ini, aku terlalu dihantui bayangan menyakitkan
itu. Mestinya aku tahu diri. Mestinya saat itu aku...."
"Tidak. Pa. Jangan ucapkan itu. Saya bahagia. Saya bahagia. Semua sudah menjadi
milik saya. Semua sudah menjadi suratan saya. Saya harus menerimanya."
Pak Husni menghela nafas dalam-dalam.
170
"Kalau saja..... kalau saja aku punya anak dan
kau Kalau saja aku tidak begini....'"
"Jangan ucapkan itu, Pa," Farida tersendat. "Hari tuaku yang malang." "Jangan
menyalahkan nasib." Keduanya lalu terdiam. Sepi terasa menikam.
***
TANPA ada anak-anak di rumah, suasana terasa sepi sekali. Malam ini, Puri dan
Setyawati menginap di rumah Rindu. Kemarin Rindu kirim surat kepada Farida,
bahwa Handoko akan ke Medan selama seminggu. Rindu meminta, selama itu,
Setyawati dan Puri menemaninya. Biar tidak terlalu sepi.
Palgunadi sedang melakukan tour ke Candi Borobudur. Sedangkan Giri, bertugas
malam han.
Di rumah, hanya Farida dan Pak Husni.
Bel terdengar berdering.
Jarum jam menunjukkan angka tujuh.
Farida bergegas menghampiri. Segera membuka pintu. Agak kaget juga, sebab di
hadapannya berdiri sepasang suami isteri sudah tua, tapi masih kelihatan gagali. Ada
sedan diparkir di halaman.
171
"Selamat malam. Bu. Apakah iuj rumahnya Giri9"
"Betul. Ibu siapa9"
"Saya orangtuanya Ningrum."
"Ningrum?"
"Betul. Ini Ibunya Giri kan?"
Farida menganggukkan kepala, kendatipun masih penasaran tentang nama Ningrum.
Rasanya ia belum kenal dengan nama itu. Apa pula hubungannya dengan Giri?
"Man silakan masuk," ajak Farida.
Keduanya masuk ke dalam. Farida segera memberitahu Pak Husni. Kemudian,
keduanya berdampingan menghadapi tamu.
"Bapa dan Ibu ini siapa. ya9" tanya Pak Husni.
"Kami orangtuanya Ningrum."
"Ningrum itu siapa'1"
"Lhc. masa Bapa tidak kenal9 Ningrum itu... pacarnya anak Bapa. Pacarnya Giri."
Pak Husni manggut-manggut. Farida sudah kecut, ia seakan telah bisa menebak, apa
yang terjadi pada anak tamunya itu.
"Sungguh. Kami belum pernah kenal puten Bapa. Rasanya, dia belum pernah
berkunjung ke mari," kata Farida.
"Justru itu. Kami datang ke man, sesungguhnya
172
mau membicarakan soal Giri dan Ningrum."
"Nlemangnya ada apa?" tanya Pak Husni. mulai curiga.
"Yaaa... mau apalagi, Pa. Punya anak perempuan jaman sekarang, begitu
merumitkan. Maksudku, ada suatu peristiwa yang terjadi di luar pengetahuanku."
"Peristiwa bagaimana?" tanya Farida.
"Njngrum, anak saya, hamil."
Farida dan pak Jiusni sama-sama tersentak.
"Hamil? Hamil bagaimana maksud Bapa?"
"Hamil, ya hamil," sahut Ibu Ningrum.
"Maksud saya, siapa yang telah menghamilinya?" tanya Farida.
"Siapa lagi kalau bukan putera Bapa, Giri. Ningrum mengatakannya begitu."
Bagai ada halilintar yang bergema di sepi hening. Pak Husni dan Farjd.i sama-sama
terkejut.
"Giri yang berbuat?" tanya pak Husni, seakan tak percaya.
"Iya," sahut ayah Ningnun.
"Mustahil."
"Betul. Ningrum sendiri yang mengatakannya, Pa."
"Benar-benar aneh. Aku yakin, anakku tidak akan sebodoh, jtu untuk menghamili
puteri Bapa!"
Tiap prangtua, saya kira punya perasaan sema-
cam itu. Tapi bagaimana kalau vijudi di luar kekuasaan kita? Di luar pengetahuan
kita? Tokh Bapa tidak pernah terus mengetahui, bagaimana sepak terjang anak
Bapa."
"Anak saya kerja di sebr.ah surat-kabar. Waktunya sibuk, banyak tersita clrh tugas.
Rasanya mustahil, kalau bisa berkencan begitu jauh dengan puteri Bapa. Lagi pula,
kalau benar dia sudah punya pacar, Giri pasti mengenalkannya lebih dulu. Terus
terang saja, Giri itu anak baik." kata Farida.
"Ingat, Bu. Baik di rumah, belum tentu baik pula di luar rumah," sahut ayah
Ningrum.
Pak Husni menghela nafas, lalu merunduk. Mencoba mententeramkan perasaannya.
'IYaaa, kalau memang benar, anak saya mengha-miliki puteri Bapa, saya bersedia
menikahkannya. Tapi saya perlu tahu lebih dulu dari Giri, apakah benar ia telah
berbuat seperti itu?" kata Pak Husni, agak kalem.
"Silakan saja buktikan. Yang penting, saya menunggu keputusan Bapa dan Ibu.
Jangan sampai aib yang menimpa anak saya ini jadi berlarut-larut," kata ayah
Ningrum.
"Saya kira lebih bijaksana begitu," kata Farida.
Setelah orangtua Ningrum pamitan pulang, Farida dan Pak Husni duduk di ruang
tengah berhadapan.
174
Mula-mula merenung, wajahnya sama-sama lesu tapi tegang.
"Kalau memang benar, ternyata cobaan yang menimpa ini belum juga berakhir,"
gumam Pak Husni.
"Rasanya aku tak percaya. Giri itu anak baik. Sangat mencintai keluarga," kata
Farida lemah.
"Barangkali karena itu. Karena kita terlalu yakin akan anggapan, bahwa anak kita
baik, sehingga kita tak sempat berpikir tentang kejelekan-kejelekannya."

Keduanya terdiam lagi.


Jam berdentang sebelas kali.
Sepi. Sepi yang hening.
"Semua anak kita pergi. Di sini, kita tinggal berdua. Kalau di antara kita lebih dulu
menghadap Tuhan, berarti tinggal sendiri," kata Pak Husni, nadanya putus-asa.
Farida menatap suaminya. Iba. "Ucapanmu ngelantur, Pa. Sekarang, aku justru makin
mengerti. Makin banyak cobaan, rasanya makin jelas aku mengenal diriku."
"Tapi apa yang kita tanamkan kepada anak-anak kita, hasil didikan kita, ternyata sia-
sia."
"Tidak. Mereka justru berjalan dengan prinsipnya masing-masing. Lagi pula, kita
masih berharap pada Gun. Riri, dan Wati."
"kita selalu berharap, mesti wujudnya selalu ke-
175
kecewaan."
"Kita harus terima. Pa."
"Tanpa berusaha memperbaikinya9"
"Mereka sudah dewasa."
Pak Husni bangkit masuk ke dalam kamar. Lalu berbaring. Farida mengikutinya.
Berdiri. Memandang Pak Husni.
"Kau sakit, Pa?"
Pak Husni tercenung, lalu mengangguk pelan. "Bu....."
Pak Husni memegang lengan Farida. Terasa oleh Farida mesra sekali. Ketika mata
Pak Husni memandang lembut, terasa oleh Farida menggetarkan perasaannya.
Seakan ada suatu kegairahan yang timbul.
"Maukah kau memaafkan aku?"
Farida tersentak. Ucapan itu sungguh di luar dugaannya. Tapi terasa meluluhkan.
Hingga Farida tak bisa berkata apa-apa.
"Maukah kau memaafkan aku?" Pak Husni mengulang lagi, lebih pelan, terasa
lembut.
"Mengapa Bapa mesti minta maaf pada saya?"
"Selama ini, aku memang selalu merasa menang sendiri. Selama ini kau yang selalu
berulang kali meminta maaf. Aku terialu yakin akan kejbenaranku. Keluarga tercinta
ini, mestinya berawal .dari keharmonisan hidup kita. Tapi, selama ini kita tak memi-
176
likinya. Selama ini. kita berjalan masing-masing."
"Itu bukan kesalahanmu. Semua kesalahan adalah perbuatan kita berdua."
"Engkau telah sering mengakuinya, tapi aku belum pernah. Kau mau memaafkan
kesalahanku, perbuatanku selama ini terhadapmu, Bu?"
Farida mengangguk, sambil menggigit bibir.
Pak Husni menariknya ke dalam pelukan.
"Kau percaya, Giri melakukannya. Bu9"
"Mulutku bilang tidak. Tapi hatiku, bisa mengatakan; ya."
"Kau benar. Kalau kita percaya dari mulut ke hati, berarti kita tak punya rasa sesal.
Penyesalan, kekecewaan, semua berawal dari rasa tidak percaya yang berbeda
kelihatannya. Semua membuktikan, bagaimanapun kita punya perhatian terhadap
anak-anak kita."
Kemudian sepi.
Wajah Pak Husni memucat.
Matanya dipejamkan. Menahan duka yang dalam.
Rindu hamil. Giri menghamili Ningrum. Kehamilan, hasil dari galau kejantanan.
Sesuatu yang tak dimilikinya.

Dan di dalam pelukanku. Seorang perempuan, vang telah bertahun-tahun


menemaniku, yang tak pernah kugauli semestinya. Tetapi begitu setia. Begitu
177
tabah.
Tuhan! Mestinya aku bersyukur akan rakhmat-MU!
Kemudian sepi. Sepi yang hening.
***
Bandung, Agustus - September 1981
178

Anda mungkin juga menyukai