com
Convert Pdf By navaseil@gmail.com
KELUARGA TERCINTA
EDDY D. ISKANDAR
Cetakan pertama
Cetakan kedua : Januari 1987 Penerbit ; GULTOM Agency Jakarta Hak Cipta
Dilindungi oleh Undang-undang AU rights reserved
RINDU hamil di luar pernikahan. Kuliahnya terbeng kalai. Dokter Irawan menikah dengan gadis
Bali. Giri menghamili Ningrum. Sebuah keluarga, dilanda kemelut.
Kejadian demi kejadian, kian memperuncing kon flik suami-isteri Pak Husni dan Farida.
'Tapi semua gara-garamu! Kalau kau tidak gampang terpengaruh, kalau kau tidak gampang
terbujuk, kalau kau berwibawa, pasti takkan terjadi hal seperti ini! Atau, karena memang kau
menginginkan anak-anakmu seperti kelakuanmu di masa lalu?"
"Bapa kira, aku saja yang salah? Bapa pikir, Bapa saja yang benar? Sejak peristiwa itu aku telah
bertobat. Ketika kau memaafkan perbuatanku, sesung guhnya aku bahagia sekali. Karena kau
telah menyelamatkan aku dari kehancuran. Aku bangga sekali akan keluhuran budimu. Tapi apa
yang kudapat sesungguhnya? Kau ternyata masih menyimpan dendam! Kau telah mengacuhkanku.
Kau menyapaku, mengajakku bicara, hanya karena basa-basi di hadapan anak-anak atau di
hadapan famili dan tamu ke nalanmu' Selebihnya, yang nampak adalah keadaan hatimu yang
sesungguhnya!"
Ketegangan telah dimulai sejak awal. Dan tetap mencekam, hingga mencapai klimax.
Sebuah KELUARGA TERCINTA; Pak Husni Farida, dengan enam orang anak: Irawan, Rindu. Pai
gunadi, Giri, Setyawati, dan Puri. Semua, mewujud kan sebuah kisah yang layak buat disimak.
betapa pun jauh betapa pun rimbun tetap harus kutempuh ke batas angan-angan
puncak yang tak terusik membenamkan keasingan alam silam yang tenggelam kini mencair di
sanubari
siaoa tahu kabut berlalu tersingkap di balik misteri purba dan mereka yang kehilangan jejak
kembali menemui satu titik
Untuk tiga terkasih EVI KUSMIATI DINI HANDAYANI NOVELIA G ITA NUR ANI ASRI KEM
BANGKASIH
BAGIAN KESATU
RINDU memejamkan mata. Bening berguling lewat pipinya. Di luar. hujan masih
rintik-rintik.
"Apa yang telah terjadi. Rin°" tanya Farida -ibunya.
"Semua di luar dugaan saya. Saya hilap." "Katakan saja. apa yang terjadi0" "'Saya
telah melakukannya dengan Mas Han-doko."
"Kau hamil0" "Iya."
Farida tersentak. Menghela nafas. Tidak. Ia tidak berani menyalahkan anaknya.
Tidak berani memarahi Rindu. Ia terlalu sayang pada Rindu, la' tak berani menyakiti
perasaannya.
9
"Sudah berapa bulan0"
"Dua......."
Farida menggelengkan kepala. "Maafkan saya. Bu."
"Yah. segalanya sudah terjadi, mau apa lagi." "Saya takut bapa."
"Kenapa rnesti takut? Kau harus berani menanggung resiko."
**Saya takut bapa berbuat kasar "
Farida menghampiri Rindu, makin dekat di belakangnya.
"Rin."
Rindu menoleh. Keduanya bertatapan dalam jarak dekat. Wajah Rindu pucat
ketakutan. Ini membuat Farida iba.
"Berterus terang saja kepada bapamu. Kalau a<l i apa-apa. Ibu juga tidak akan
tinggal diam. Kau haru segera menikah."
Rindu menangis. Farida terpaku. Tiba-tiba nah nya goyah. Benarkah apa yang
diucapkannya barusan ke luar dari hati nuraninya yang murni? Benarkah k a lau
Husni - suaminya berbuat kasar terhadap Runi» anak kandungnya, ia akan membela?
Beranikah 11 membela anaknya yang salah? Kenapa aku membtl.i nya? Bukankah
dengan begitu, berarti aku membenar kan perbuatan Rindu? Bukankah dengan
begitu, aku
10
telah menjerumuskan Rindu? Kenapa aku tidak memarahi Rindu, waktu Rindu
mengakui sedang hamil? Mengapa?
Tuhan! Salahkah aku, bila aku mengasihi anakku begitu berlebihan? Salahkah aku,
bila aku mengharapkan anakku selalu bahagia? Jangan ada nestapa yang
merundungnya'
Rindu membaringkan tubuhnya kc atas ranjang. Telungkup memeluk bantal. Farida
memandangnya, tidak bergerak.
Terlintas lagi dalam bayangan Farida. Enam belas tahun yang silam, saat ia
memutuskan untuk menikah dengan Husni. Husni membawa tiga anak yang masih
kecil, dua lelaki dan satu perempuan: Irawan Palgunadi, dan Setyawati. Husni
berpisah dengan istrinya, karena isterinya meninggal dunia aalam suatu kecelakaan
lalu-lintas. Sedangkan Farida yang bercerai dengan suaminya, juga membawa tiga
orang, anak, dua perempuan dan satu lelaki; Rindu. Giri, dan Puri.
"Ida, aku memilihmu jadi isteriku, karena aku yakin kau bisa mengurus anak-anakku.
Semua, anakmu, anakku, harus kau didik sama. Jangan dibeda-bedakan. Jangan
sampai mereka mempertanyakan kesan pilih kasih.**
Farida menggigit bibir. Tiba-tiba seperti ada se-
11
suatu yang menusuk perasaannya. Sesuatu >ang lelah ditebus dengan
pengorbanannya untuk mengurus anak-anak Husni. Membesarkannya.
Tapi. mengapa ia selalu merasa aaa jarak dengan Irawan, Palgunadi. dan Setyawati?
Mengapa ia begitu kecut, waktu mendengar Irawan lulus jadi dokter0
Suara bel berdering. Farida tersentak. Baru saja ke luar kamar, ia melihat Puri sedang
membuka pintu. Yang muncul ternyata Palgunadi. Sore ini, Palgunadi baru pulang
les bahasa Inggeris. Ia kuliah di Fakultas Sastra Inggens - tingkat tiga.
"Giri belum pulang. Gun?" tanya Farida.
Giri satu universitas dengan Palgunadi. tapi beda jurusan. Giri mengambil jurusan
fakultas publisistik..
"Saya tak jumpa Giri, Bu.*'
"Kang Giri katanya kan sedang praktek di surat-kabar. Mungkin pulangnya malam "
sahut Puri.
Palgunadi langsung ke kamarnya, menyimpan buku. Ketika ia hendak ke kamar
mandi, tampak ayahnya sedang membetulkan lampu.
"Kenapa. Pa?" tanya Palgunadi.
"Mungkin putus," jawab pak Husni pelan.
"Bantu Bapamu, Gun!" perintah Farida.
"Coba, Pa!" Palgunadi naik ke atas kursi, sedangkan ayahnya langsung turun.
Palgunadi mencopot bohlam lampu, menggun-
can g-guncangkan ny a.
'Tadi Bapa jumpa Pak Sudiro. Direktur PT EVER GREEN yang mengurus
penyediaan keperluar alat-alat hotel. Katanya, dia perlu pegawai. Nanti kalau kau
sudah selesai kuliahmu, lak ada salahnya kau kerja bersama Pak Diro. Orangnya
baik, kepercayaan menteri perhubungan." Farida menghela nafas. Palgunadi diam
saja, tak memberi reaksi. "Bahasa lnggerismu bagaimana? Sudah lancar?" "Yaa...
lumayan. Bapa," jawab Palgunadi pelan. Bohlam dipasang lagi. Ternyata menyala.
Palgunadi turun, langsung ke kamar mandi.
Pak Husni menatap Puri yang tengah membuka-buka koran mingguan
"Riri! Kalau lulus SMA nanti, sebaiknya kau melanjutkan ke bagian akuntan. Atau
kursus bon A dan bon B, soalnya sekarang banyak perusahaan yang membutuhkan
tenaga ahli macam itu." Puri diam saja.
"Puri maunya ke bagian sekertaris, Pa," jawab Fa rida.
"Kalau bisa, usahakan jangan ambil jurusan sekertaris. Jadi sekertaris sekarang ini
gampang. Yang penting, asal wajah cantik dan cukup lancar mengetik."
Puri masih diam.
n
Farida cuma menelan ludah.
Setyawati muncul, tubuhnya basah oleh keringat.
"Dari mana?" tanya Farida.
"Habis pingpong, di rumah Tante Isna."
Setyawati langsung ke kamar mandi, tapi urung lagi, karena di dalam ada Palgunadi.
"Kalau masih berkeringat begitu, jangan dibiasakan langsung mandi. Nanti bisa sakit
bronchitis. Sudah SMA. masa tidak tahu tentang menjaga kesehatan!" kata Pak
Husni.
"Nggak. Saya nggak akan mandi. Pa! Ingin kencing." sahut Setyawati jengkel.
"Bapamu cuma menasihati, Wati!" kata Farida.
Pak Husni mengambil rokok Wismilak. ternyata habis.
"Si Somad mana?" tanya Pak Husni.
"Ada di dapur." sahut Puri.
"Suruh beli rokok," kata Pak Husni sambil mengeluarkan uang lima ratus rupiah.
Puri menerima uang itu. lalu ke dapur, menghampiri pembantu yang sedang makan.
"Rindu kenapa di kamar terus? Ini kan hampir Magrib." kata Pak Husni.
Farida tersentak, agak gelagapan.
'Tadi juga sudah kubangunkan, tapi katanya kurang enak badan. Masuk angin
barangkali."
4
"Ini waktu Magrib. Mestinya sembahyang dulu. kata Pak Husni
Palgunadi ke luar dari kamar mandi. Pak Husni bangkit. Terdengar beduk Magrib,
disambung suara adzan. Pak Husni berjalan ke kamar mandi, hendak wudlu.
"Rindu sakit apa sih. Bu?" tanya Wati. "Mungkin pusing." "Siapa tahu lagi ngidam."
Farida tersentak. Matanya nyalang memandang Setyawati.
"Jangan ngomong sembarangan!" "Sorry Bu. Saya kan cuma berkelakar saja Soalnya
Rindu lengket bener sama Mas Handoko!" Puri menghampiri.
"Eh. Bu. Seminggu yang lalu. saya melihat Ceu Rindu masuk ke kamar Mas Handf
"Lihat di mana kamu?"
"Waktu itu. saya diajak Ceu Rindu ke rumah Mas Handoko."
Farida menghela nafas
"Jangan suka berprasangka buruk."
Tapi Ibu harus waspada."
"iya."
Pak Husni ke luar kamar mandi, menuju ke kamarnya.
"Sajadah di mana. Bu?" tanya Pak Husni dari dalam kamar.
"Di atas bupet." iut Farida.
Terdengar suara i ^unadi mengaji.
"Ayo. kalian nggaK se.nbahyang?" tanya Farida.
"Lagi palang merah, Bu!" sahut Setyawati.
"Kamu?M suara Farida kepada Puri.
"Senasib1"
Farida menghela nafas, ia bangkit. Menuju ke ka mar Rindu.
"Ibu sendiri nggak solat.'' kata Puri.
"Siapa tahu lagi palang merah juga." sahut Setyawati.
"Ibu memang belang-bentong koq!"
Wajah Farida terkesiap, menyaksikan Rindu duduk di tepi ranjang dengan wajah
pucat.
"Rin! Kau tak usah mengurung dalam kamar. Ini sudah Magrib. Ayo, mandi dulu.
Nanti bapamu curiga."
"Saya tak kuat mandi air dingin Bu. Mau muntah." sahut Rindu 3gak tersendat.
"Kalau nggak kuat, ya pakai air hangat saja. Su ruh B i Minah untuk
menyediakannya."
"Bapa sudah tahu, Bu?"
"Tahu apa?"
"Tentang saya."
16
Farida menggelengkan kepala.
"Kau sendiri yang mesti bicara. Tapi sebaiknya kau mandi dulu, biar segar!"
Rindu bangkit. Seperti tak ada gairah.
"Cepat mandi. Nanti tidur lagi kalau memang pusing "
Rindu ke luar kamar, berjalan malas. Farida duduk di kursi. Tercenung. Bangkit lagi.
"Riri! Bikin teh manis buat bapa!" perintah Farida.
"Ya. Bu." sahut Puri.
Setelah sembahyang, Pak Husni duduk di ruang tengah. Mereguk teh manis. Farida
menghampiri. Duduk berhadapan.
"Rindu sudah bangun?"
"Sudah. Sedang mandi."
"Kalau sakit, bawa saja ke dokter cepat-cepat."
Palgunadi ke luar kamar, menghampiri Puri dan Setyawati yang sedang ngobrol di
ruang belakang.
Rindu yang baru habis mandi, berjalan melewati mereka. Batuk-batuk. Ketiganya
melirik.
"Kenapa, Rin° Sakit?" tanya Setyawati.
Rindu menganggukkan kepala, bergegas masuk ke dalam.
*\neh. akhir-akhir ini dia sering benar sakit." kata Pun.
17
"Hubungannya dengan Mas Handoko makin lengket lagi," kata Setyawaci.
"Kau pernah ke rumah Handoko?" tanya Palgunadi.
"Pernah," sahut Puri. "Di mana?"
"Itu tuh... di kompleks rumah orang gedean. Dia anak orang kaya, bapanya kerja di
sebuah perusahaan jasa perjalanan. Jadi managernya."
"Dia sendiri kerja di mana?"
"Nggak tahu. Kata Rindu sih di Hotel. Dia kan pernah kuliah di Akademi
Perhotelan."
Palgunadi menghela nafas.
"Si Rindu itu memalukan. Teman-temanku banyak yang tahu kelakuan dia. Banyak
yang sudah me-macarinya."
"Jangan cepat percaya, Kang Gun! Siapa tahu cuma gossip," sahut Setyawati.
"Gossip apaan? Ini serius."
"Iya, tapi kenapa Kang Gun diam saja kalau tahu Rindu begitu?"
"Urusan menasihati, itu urusan bapa dan ibu! Bukan urusanku. Lagi pula dia kan
sudah gede. Sudah tahu memilih mana yang baik buat dirinya, dan mana yang tidak."
Giri muncul membawa jagung rebus, diikuti Pak
18
Husni dan Farida. Ketiganya segera menyerbu
"Wah, tumben! Lagi banyak uang nih." kata Setyawati.
"Honor praktikum, ya?" kata Farida
"Saya tadi diajak teman ke Lembang, pulangnya
dibelikan jagung rebus ini."
Pak Husni mengambil satu, masih hangat. "Bagaimana kursus mengetiknya, sudah
selesai?"
tanya Pak Husni. /
"Sudah, Pa." /
"Sudah bisa dua puluh jari, kan?" kata Puri. / "Tapi sayang, mesin tiknya belum ada!"
kata Fb-
rida.
"Di kantor ada mesin tik nganggur. Kalau memang perlu, nanti Bapa bawa ke
rumah."
"Lho, Ceu Rindu ke mana?" tanya Giri.
"Ada di dalam kamar. Dia sakit," sahut Farida.
"Jagungnya masih banyak tuh."
"Antarkan saja ke kamarnya, Riri!" perintah Farida.
Puri mengambil dua buah jagung yang sudah dikupas daunnya, lalu menghampiri
Rindu di kamarnya.
Rindu nampak sedang berbaring. "Sakit apa sih?" tanya Puri. "Pusing."
19
"Kalau pusing, makan saja jagung ini. Pasti cepat sembuh„" kata Pufi sambil
memberikan piring yang berisi jagung.
"Jagung dari siapa?"
"Dari Mas Handoko," sahut Puri berkelakar Rindu tersentak. "Dari Mas Handoko?"
"Eh, koq kaget?" "Yang bener, Riri." "Kalau benar memangnya kenapa?" "Dia ke
mari?" Puri tersenyum.
"Dia ke mari dalam mimpi Ceu Rindu." "Ngaco."
"Tapi jagung ini enak. Manis. Yang. bawanya Kang Giri. Coba saja. siapa tahu
benar-benar berkhasiat."
Rindu mengambil satu buah. Puri meletakkan piring ui atas toilet. Kemudian ke luar
kamar.
Malam merayap kian kelam. Jam dinding berdentang sepuluh kali. Farida tampak
gelisah Pak Husni asyik dengan pekerjaannya, duduk dengan wajah serius. Meja
kerjanya diterangi lampu duduk. Yang lain, nonton t'"* di rumah belakang.
Faria. mengambil sebuah majalah wanita, mencoba membaca, tapi tak mau
konsentrasi. Pikirannya terus teriibat dengan persoalan Rindu. Tepatkah ka-
lau malam ini aku berterus terang? Bbik hati Farida. Atau Rindu saja yang berterus
terang di hadapan Pak Husni?
Hati Farida gemuruh, gelisah, dagdigdug. la seakan sudah membayangkan apa yang
bakal terjadi, seandainya suaminya tahu Rindu sudah hamil 2 bulan.
"Coba, Bu. Jangan beri kesempatan Rindu bergaul rapat dengan pemuda itu.
Penampilannya saja su;-dah memuakkan. Kayak krosboy. Sebagai seorang ibu, kau
mesti tahu memilih yang terbaik untuk anak-anak kita. Jangan terlalu membebaskan
anak. Aku ingin Rindu menyelesaikan kuliahnya dulu di Akademi Industri Niaga,"
ucapan Pak Husni terngiang lagi. Dan saat itu, ia berusaha membela diri, membela
Rindu.
"Bapa jangan terlalu berprasangka buruk. Tidak semua yang Bapa bilang jelek itu,
jelek pula kenyataannya. Jangan melihat orang dari penampilannya, tapi lihat pula
pribadinya."
"Aku bukan anak kemarin, Bu. Aku tahu, mana yang baik dan mana yang
menjerumuskan."
"Tapi Rindu kan sudah dewasa. Sudah mahasiswi. Sudah pantas punya pendamping."
"Aku tidak melarang dia punya pendamping. Aku harap, kau tidak mengukur
kedewasaan seseorang itu
21
dari usianya! Aku tidak menyetujui dia bergaul dengan lelaki itu, karena aku
memikirkan masa depannya. Aku ingin semua anak-anak kita bahagia. Semua
berhasil. Aku ingin menikmati masa tuaku dengan penuh ketenangan."
"Handoko anak baik, Pa. Ia sopan. Lagipula dia dari keluarga terpandang."
Pak Husni hanya memandang sekilas kepada Fari-"da.
"Terserah kau. Bu. Terserah. .Aku ingin lihat saja, sampai di mana kebenaran
penilaianmu terhadap pemuda itu!"
Farida tersentak, ketika mendengar suara gelak -tawa dari ruang belakang.
Jantungnya serasa copot. Mereka tak tahu menahu persoalan ini! Bisik hati Farida.
Mereka tenggelam dengan keasyikannya menonton tivi. Dan Rindu? Kasihan kau,
Rin! Aku mengerti perasaanmu! Aku mengerti kenapa kau segan ke luar kamar!
Mata Farida berkaca-kaca.
Bayangan masa lalu itu kian lekat di hadapannya.
Pada suatu malam, ia melakukan pekerjaan terkutuk itu ui sebuah hotel. Di luar
dugaan, tunangannya memergoki dia. Apa yang terjadi kemudian, benar-benar sangat
memukul perasaannya. Kendatipun tidak terjadi perkelahian, tapi tunangannya saat
itu
juga menjatuhkan vonis kepada dia.
"Aku mencintaimu, Ida. Tadinya aku telah berjanji, hanya engkau wanita yang bisa
mendampingiku sampai aku mati. Tapi kau telah menggerogoti kepercayaanku. Aku
mulai mencurigai alasan-alasanmu kalau kuajak bepergian. Aku banyak mendengar
kelakuanmu. Sampai ada orang yang memberitahu tempat kencanmu di sini. Ingat,
Ida. Ini merupakan penghinaan besar bagiku. Aku takkan melupakan
pengkhianatanmu. Dan jalan yang terbaik, kita berpisah. Aku tak ada ikatan apa-apa
lagi denganmu. Aku tak mau mengingatmu dan tak mau kenal kau lagi!"
Setelah itu. tunangan Farida ke luar kamar. Farida terpaku sejenak. Tapi
kekalutannya segera sirna, mendengar janji kekasihnya.
"Sudahlah, Ida. Kini persoalannya beres. Aku pasti akan menikahimu."
" Dan perkawinan itu terjadi. Masa berkencan yang penuh rayuan dan angan muluk,
cuma sekejap. Setelah lahir anak pertama, Farida mulai melihat belangnya janji
suami. Apalagi ketika lahir anak kedua dan ketiga. Farida merasa dihina. Terutama
jika mengenang lagi kebaikan tunangannya dulu. la tak mau diam. la balas sikap
suaminya, dan ia juga bermain gila dengan lelaki lain. Anak-anaknya terlantar. Masih
untung ada ibunya, yang setia mengurus.
23
Sampai kemudian ia berkenalan dengan Husni. Duda beranak tiga.
Setetes air-mata jatuh ke pangkuan. nda
menjerit dalam hatinya.
Tuhan! Kenapa masa laluku, mesti terjadi laci pada puteriku? Aku tak ingin ia seperti
aku! Aku tak ingin ia disakiti siapa pun! Aku berani berbuat apa saja, asal ia tak
menderita!
Pak Husni menoleh ke arah Farida.
"Bu." panggil Pak Husni.
Farida tersentak. Segera menyimpan majalah yan.i dibacanya. Bangkit menghampiri
suaminya. "Ada apa°"
"Tolong ambilkan air putih. Haus."
Farida bergegas ke belakang.
Pak Husni bangkit, menuju tempat tape-recorder Ia mengambil sebuah kaset
keroncong. Irama musik kesayangannya. Kemudian dibunvikan. Farida datang
membawa segelas air putih, disimpan di dekai pekerjaan Pak Husni.
Irama keroncong mulai mengalun. Pak nusn meneguk air putih sampai habi^.
"Kerjanya jangan terlalu diporsir, Pa. Kau kan pu nya penyakit ginjal. Jangan duduk
terus." kata Farida.
lu«ni hanya menghela nafas. Tak -mberi
reaksi.
*Kau kenapa belum tidur. Bu°" tanya Pak Husni. "Belum ngantuk." jawab Farida
pelan. Pak Husni mulai menulis lagi. Farida masuk ke kamar Rindu. Rindu nampak
sudah tidur, di samping Setyawati. Farida merasa lega. Suasana terasa sunyi.
Acara tivi mungkin tak menarik lagi. karena sudah dimatikan
Farida masuk ke dalam kamar. Perasaannya masih tak menentu. Masih goyah. Masih
was-was.
Sekaranglah saatnya! Semua sudah tidur! Bisik hari Farida. Tapi aku kasihan kepada
suamiku! Ia kelihatannya tenang. Aku tak mau mengganggu kete nangannya!
Farida duduk di depan cermin. Ia melihat keriput-keriput ketuaan kian memudarkan
kecantikannya. Tiba-tiba wajahnya mendadak pucat. Dalam cermin, seolah
bergantian muncul beberapa orang lelaki yang pernah berkencan dengannya.
Farida tak tahan. Ia menutupi wajahnya dengan kedua belah telapak tangan. Suara-
suara keras seakan menuding ke arah Farida.
- Kamu tidak jujur! -
- Kamu pengkhianat! -
- Kamu perempuan rendahan! -
- Kamu tak tahu perasaan! Kamu menjerumuskan anakmu sendiri! -
Farida bangkit. Membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Telentang menatap langit-
langit.
"Ida, aku hanya ingin titip anak-anakku padamu. Mungkin aku banyak keluar rumah,
kaulah yang paling sering mengurusnya," terngiang lagi suara Husni, beberapa tahun
yang silam.
Kenapa Husni begitu meragukan sikapku kepada anak-anaknya? Dan aku sendiri,
apakah telah membeda-bedakan kasih sayang itu dibandingkan apa yang kuberikan
terhadap anak-anakku sendiri?
Suara pintu terdengar berderit. Farida tersentak. Pak Husni muncul masuk kamar.
"Belum tidur juga, Bu? Kelihatannya kau seperti gelisah?*' tanya Pak Husni sambil
membuka bajunya, mengganti dengan baju piyama.
'Tidak tahu, rasanya tidak ngantuk. Mungkin, aku terlalu banyak pikiran.'*
"Memikirkan apa?" tanya Pak Husni sambil berbaring di samping Farida.
"Anak-anak kita sudah besar, Pa. Aku selalu memikirkan masa depan mereka."
"Tugasku rasanya hampir selesai, Bu. Aku hanya berhasil ingin mewariskan bekal
ilmu kepada mereka. Paling rendah, mereka sudah SMA. Irawan yang
tertua sudah jadi dokter, walaupun bertugas di Surabaya. Dia bisa jadi penggantiku
kelak."
*Tapir mereka belum ada yang menikah, Pa."
"Ya... barangkali itulah yang masih harus jadi perhatianku. Setidaknya, aku ingin
melihat mereka berbahagia dalam menempuh hidup berkeluarga. Bahkan kalau
mampu, aku ingin memilihkan pasangan yang serasi buat mereka. Kalau wanita, aku
ingin wanita yang bukan saja kelakuannya baik, juga bisa mendorong karier
suaminya. Kalau lelaki, ia harus lelaki yang bertanggung jawab, berkelakuan baik,
dan punya masa depan."
Farida menggigit bibir. Seakan ada sesuatu yang membentur perasaannya.
""*pfc.. dalam soal jodoh, kita tidak bisa banyak campur tangan. Mereka pasti punya
pilihan masing-masing."
"Aku tidak akan ikut campur. Sebagai orangtua, bukankah kita berhak menunjukkan
jalan terbaik buat anak-anak kita? Buat kebahagiaan mereka?*'
Farida terdiam lagi.
"Kalau Tuhan memperkenankan, aku ingin melihat semua anakku berhasil dalam
studi, juga menyaksikan pernikahan mereka," kata Pak Husni.
"Kau masih kelihatan muda, Pa."
"Usiaku sudah tua. Lebih tua darimu, Bu. Bah-
"»7
kan akhir-akhir ini kesehatanku sering terganggu. Rasanya kondisi badanku banyak
menurun."
"Aku bilang, kerjamu jangan diporsir, Pa "
"Aku mencintai pekerjaanku. Sudah puluhan tahun aku bekerja di bagian akuntan.
Lagi pula, dengan kedudukanku seperti sekarang ini, aku tak ingin mengecewakan
atasanku."
*"Jerih payahmu tidak sia-sia. Kini kita telah punya rumah besar, kendaraan, dan
sawah."
"Tapi masa depan, jangan diandalkan pada peninggalan semacam itu. Aku harus
tetap memburu masa depan untuk kebahagiaan anak-anak kita. Kadangkala suka
timbul bayangan buruk. Rasanya aku ingin segera menjual harta kekayaan ktta,
seperti sawah itu."
"Kenapa0"
"Warisan seringkah jadi penyebab suatu pertengkaran, suatu perpecahan dalam satu
keluarga "
Farida menghela nafas. Merasa seakan tersindir. Apakah suamiku meragukan
kejujuranku? Bisik hati Farida. Apakah dia menganggap, warisan akan memecah
belah anak-anakku dengan anak-anaknya?
"Aku ingin masa tuaku tenteram. Tidak ada rongrongan lagi. Kita bisa memilih hidup
di kampung, seperti jaman kanak-kanakku dulu. Terlalu lama di kota, rasanya makin
menyesakkan."
28
"Kau pikir, kita sudah punya rumah di kampung. Pa°"
"Aku sedang berusaha untuk memilih tempat yang baik."
"Lantas, rumah ini mau di kemanakan?"
"Jika anak-anak sudah jadi orang semua, apa salahnya kita jual. Kita usaha di
kampung."
Farida mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Terbayang, Irawan sudah jadi dokter. Sudah jadi orang. Sedangkan anak tertua dari
dia Rindu, malah hamil sebelum nikah. Suatu kenyataan yang kontras. Tiap
direnungkan, senantiasa menghentakkan perasannya.
1 gejolak hati Farida kembali bergema. Seka-ranglan saatnya! Aku harus mengatakan
apa yang menimpa Rindu. Tapi ketika melihat Pak Husni menguap panjang, kembali
Farida mengurungkan niatnya. Dalam suasana lelah dan ngantuk, tidak mustahil
justru akan mendatangkan amarah besar.
Ketika Pak Husni sudah lelap tidur, Farida masih membuka mata. Tidak ada
rangsangan untuk ngantuk Berkali-kali dinandangi wajah suaminya, dan berbagai
macam pe i bergalau dalam benaknya.
>i luar, malam kian sepi dan kelam.
BAGIAN KEDUA
HANDOKO anak bungsu dari keluarga Kardiman. Dua orang kakak lelakinya telah
jadi sarjana. Darmc insinyur sipil ITB. bekerja di sebuah perusahaan asing. Dan
Bambang sarjana ekonomi, bekerja di sebuah bank. Kedua kakaknya sudah
berkeluarga
Sore itu, di rumah orangtuanya yang mewah, Handoko sedang menghadapi Rindu.
Berdua saja di ruang depan. Rumah besar itu, seringkah sepi.
"Jadi sudah dua bulan?"
Rindu menganggukkan kepala. Handoko tampak serba salah.
"Orangtuamu sudah tahu?"
Rindu mengangguk lagi.
'Tapi aku hanya bilang pada ibu."
30
Handoko menyibakkan rambutnya.
"Kalau masih bisa diakali, apa tidak lebm baik digugurkan saja ?"
Rindu tercenung.
"Bagaimana mungkin..."
"Mungkin saja kalau mau."
"Apa Mas Handoko menyesal karena aku hamil?"
Handoko terdiam sejenak. Lalu menggelengkan kepala, setengah terpaksa.
Tadinya, aku belum mengharapkan kau hamil. Aku tak menyangka sama sekali.
Rasanya terlalu cepat jika kita punya anak. Ya... sesungguhnya aku tidak ingin segera
menikahimu "
Rindu menggigit bibir.
"Cepat atau lambat, bukankah sama saja?"
'Tadinya, aku ingin sekolah lagi di luar negeri."
"Mas kan sudah punya pekerjaan. Sudah cukup. Apalagi yang diharapkan?"
Handoko terdiam lagi. Ia merasa tersudut.
"Tapi... kalau kau benar-benar menyayangiku, coba usahakan dulu. siapa tahu
kandunganmu bisa digugurkan."
Rindu merundukkan kepala. Pedih.
"Kau jangan salah sangka, Rin. Ini demi kebaha» giaan kita juga."
Mata Rindu berkaca-kaca. Jauh dalam lubuk hati-
31
nya Rindu merasa kecewa karena sikap Handoko sama sekali di luar dugaannya.
Tadinya ia menduga, apa yang akan terlontar dari mulut Handoko, adalah hasrat
untuk segera melamarnya. Tapi... ini menyuruh menggugurkan kandungan!
Kandungan yang sudah berjalan dua bulan. Kandungan yang telah membentuk ianin.
Mestikah aku membunuh anak dalam kandunganku atas nama kasih-sayang yang
dituntut Mas Handoko0
Dalam telinga Rindu terngiang lagi ucapan seorang sahabatnya.
"Kalau suatu saat kau mengalami kecelakaan seperti yang pernah kualami, ingat,
Rin! Jangan kau gugurkan! Kau akan menyesal seumur-umur. Bukan hanya
menanggung sakit jasmani, tapi juga rohani. Kau akan dibayangi rasa dosa yang tak
berkesudahan. Lebih dari itu, ada yang pernah menggugurkan kandungan, setelah
berkeluarga ia tak bisa punya anak.'*
Tiba-tiba bulu kuduk Rindu serasa bergidik. Tidak! Bagaimanapun juga, aku tidak
akan menggugurkan anak kandungku! Kalau aku menggugurkan kandungan ini
seperti yang dikehendaki Mas Handoko, aku bukannya menunjukkan rasa sayang
kepada Mas Handoko, tapi aku telah membunuh buah kasih sayang!
Handoko memperhatikan Rindu yang dianggap-
nya Kebingungan.
•'Tidak usah ragu-ragu, Rin. Kau harus nekad. Jangan terlalu banyak pertimbangan.
Semua pasti berjalan lancar."
'Tidak..." sahut Rindu agak tersekap.
Handoko tersentak.
'Jadi kau tak menyayangiku, Rin?"
Rindu menatap Handoko dengan tegar.
"Aku sayang, aku cinta. Kalau tidak, buat apa aku mau menyerahkan segalanya
kepada Mas. Tapi untuk membunuh buah kasih sayang, buah cinta kasih ini. aku tak
mau. Tidak... aku tak bisa melakukannya."
"Siapa yang mau membunuh0 Kubilang kan cuma gugurkan saja."
'Aku bukan anak kecil. Mas. Menggugurkan kandungan, bukankah berarti
melenyapkan pertumbuhan janin dalam rahim seorang wanita. Apa bedanya dengan
membunuh0 Keduanya sama-sama dilenyapkan lengan sengaja "
"Lantas, apa maumu, Rin?"
"Mestinya itu tak perlu kautanyakan lagi. Mestinya Mas mengerti apa yang harus
Mas perbuat."
"Aku benar-benar tak mengerti. Katakan saja terus terang, apa maumu0"
"Apakah tidak terlintas dalam pikiran Mas untuk
33
segera melamarku, sebelum aib ini diketahui semua orang?"
"Justru aku belum berpikir ke arah itu, makanya aku mengusulkan agar kau mau
menggugurkan kan-dunganmu."
"Inikah arti cinta Mas terhadapku?" sahut Rindu kesal.
"Baiklah. Baiklah, Rin. Jadi aku mesti segera melamarmu? Baik. Baik kalau itu yang
kau kehendaki?"
"Mestinya... mestinya... itu datang dari hati nurani Mas sendiri. Bukan terpaksa
karena aku."
Ketika Rindu meninggalkan rumah Handoko, Handoko masih sempat memburunya.
"Rin. Aku tidak memaksa. Tapi coba kau pikirkan baik-baik. jika kau berani
menggugurkan kan-dunganmu itu, kupikir segalanya akan lebih baik."
Kini Rindu menatap Handoko dengan nyalang.
"Kalau saja Mas mengerti bagaimana penderitaan perempuan menerima suatu aib,
pasti Mas akan tahu menghargai wanita. Seandainya aku menggugurkan kandungan,
yang tersiksa itu bukan Mas, tapi aku lagi. Bahkan tidak mustahil penderitaanku akan
terus beruntun...."
Kemudian; Rindu melangkah meninggalkan Handoko. Sementara Handoko berdiri
termangu
***
34
P'jRl 0.an Setyawati sudah berkab-Kah merner--okJ Rindu sedang muntah di kamar
mandi. Terutama Uaiau sedang tak ada Pak Husni dan kedua kakak lelakinya. Hal ini
menimbulkan tanda tanya. Suatu senja, ket:ka Puri. Setyawati, Giri dan Palgunadi
sedang duduk di beranda, masalah itu dikemukakan oleh Puri.
"Aneh. Masa penyakit pusing tak sembuh-sembuh. " kata Puri.
"Yang bilang pusing itu siapa?" tanya Palgunadi.
"Ibu. Kalau aku memergoki Rindu sedang muntah muntah, ibu suka buru-buru
menghampiri, lalu bilang bahwa Rindu masuk angin. Aku suka disuruh ngerok."
"Dan Rindu, tidak pernah mencernakan apa-apa kepadamu?" tanya Giri.
"Paling-paling hanya bilang, sering pusing dan mual," kata Setyawati. "Bahkan aku
pernah menyarankan untuk diperiksa dokter. Tapi Rindu tak memberi reaksi apa-apa.
Biasanya, kalau sakit, Rindu kan suka segera ke dokter."
"Iya, ya. Tidak mustahil dia itu hamil," gumam Palgunadi.
Semua terdiam sejenak, seakan menimbang-nimbang dulu perkataan Palgunadi.
"Kalau hamil, pasti dia bilang," kata Giri.
35
"Mana berani!" sahut Setyawati.
"Iya. Bapa pasti marah besar. Yang kena semprot tidak mustahil kita juga," kata Puri.
"Mengapa mesti kena semprot? Kita tidak bersalah "
"Siapa tahu bapa lantas mengeluarkan peraturan ketat buat kita, biar kita tidak
seperti Rindu..."
"Kita kan sudah gede. Kalau kita juga jadi sasaran apa salahnya protes," kata
Setyawati.
"Iya, kita jangan lantas disamaratakan," tambah Puri.
"Misalnya kalau benar Rindu hamil, dan kita sudah mengetahuinya, tapi bapa saja
yang belum tahu. apa yang mesti kita lakukan?" tanya Setyawati.
"Aku sih bilang saja terus terang," sahut Palgunadi.
"Kupikir jangan dulu. Bapa bisa shock. Rindu bakal jadi bulan-bulanan kemarahan
bapa Apalagi Rindu itu kesayangan ibu. Akibatnya bisa gawat. Bagaimana kalau
bapa bertengkar dengan ibu?" kata Giri.
"Biar saja. Kita kan mengemukakan fakta yang sesungguhnya. Resikonya jelas mesti
ditanggung Rindu Kalau ibu membela, berarti ibu membenarkan perbuatan yang
tidak benar," kata Puri.
"Tapi, bagaimanapun kita harus hati-hati. Jangan
36
bertindak gegabah. Apa tidak lebih baik ibu saja yang mengatakan segalanya kepada
bapa, atau kalau berani, Rindu sendiri yang mesti berterus terang kepada bapa," kata
Setyawati.
"Iya, itu lebih bagus. Lebih aman." kata Giri.
"Yang kutakutkan, seandainya ibu tak berani bilang kepada bapa,- juga Rindu.
Sedangkan perut hamil, kan tidak akan stabil dalam posisi yang kempes," kata
Palgunadi.
Ketiga saudaranya tersenyum.
"Eh, ngomong-ngomong. kita kan belum tahu pasti apa benar Rindu itu hamil," kata
Puri.
Tiba-tiba mereka terdiam, ke'tika Rindu muncul, pulang dari rumah Handoko.
Wajahnya pucat seperti habis menangis. Berjalan agak merunduk. Tentu saja mereka
keheranan.
"Kenapa, Rin? Kelihatannya seperti sakit." kata Palgunadi.
"Nggak," sahut Rindu, lalu bergegas masuk ke dalam, langsung ke kamarnya.
Mereka saling berpandangan, kian heran. "Pasti ada sesuatu," bisik Setyawati.
***
37
PELAN-PELAN, Farida membuka pintu kamar Rindu, lalu menutupnya lagi. Rindu
tampak sedang telungkup. Farida menatapnya sejenak. Hatinya selalu luruh, jika
melihat Rindu bersedih.
Salahkah bila aku begitu menyayangi Rindu lebih dari siapa pun, ya Allah? bisik hati
Farida.
Bayangan masa lalu itu, lekat kembah dalam benaknya. Saat mengandung Rindu,
adalah saat paling menderita bagi Farida. Suaminya sering tak di rumah, meski
Farida masih begitu percaya akan kejujuran suaminya, dengan alasan suaminya sibuk
dengan pekerjaan. Sampai melahirkan anak pertama, suaminya tak hadir juga, Farida
masih tak punya prasangka buruk. Ia membiayai sendiri kelahiran Rindu, dengan
bantuan orangtuanya.
Dan pada suatu hari, ketika usia Rindu belum juga setahun, ia memergoki apa yang
diperbuat suaminya sesungguhnya. Ia memergoki suaminya sedang menggandeng
seorang wanita. Sejak itu, hati Farida benar-benar terpukul, la berusaha
mempertahankan kelanggengan keluarganya, sambil ia juga membalas perlakuan
suaminya. Ia main gila dengan lelaki lain. Rindu terlantar. Rindu tak terurus. Bahkan
suatu malam, Rindu hampir terenggut nyawanya, waktu terserang step. Hanya ibunya
yang mengatasi kemelut itu.
38
Sedangkan kelahiran Giri dan Puri. adalah buah dari kebencian kepada suaminya,
tapi tetap harus tunduk kepada aturan kewajiban isteri melayani suami.
Perlahan, tubuh Rindu menggeliat. Dan lamunan Farida buyar. Kini perhatiannya
kembali tertuju pada tubuh telungkup yang menggeliat itu Rindu telentang. Ia
tersentak, tatkala bertatapan dengan ibunya. Rindu segera bangkit. 'Bu.. "
Farida menghampiri, duduk di tepi ranjang. "Kau jangan murung terus. Rin. Itu tidak
baik bagj kesehatanmu "
"Kenapa Ibu belum bilang juga pada bapa'1" Farida menghela nafas. 'Mesti cari saat
yang tepat, Rin." "Ibu takut'1"
Farida terdiam sejenak, lalu menggelengkan kepala pelan.
"Saya takut... perut saya makin lama makin..." "Itu sudah pasti."
"Saya ingin segera agar bapa mengetahuinya." "Kau berani menanggung resiko
kemarahan bapa-
mu?
Rindu menggigit bibir "Berani?" ibunya meyakinkan
39
"Iya," sahut Rindu pelan.
"Bapamu sangat baik. Rin. Tapi bapamu orang yang keras akan prinsipnya. Itu
sebabnya, Ibu harus carT suasana yang tepat buat membicarakan persoalan ini."
Rindu merundukkan kepala. "Bagaimana dengan Handoko?" Rindu masih runduk,
tak menjawab. Farida jadi heran.
"Handoko sudah tahu, kan?" Rindu menganggukkan kepala. "Bagaimana reaksinya?"
Rindu terdiam. Mestikah aku bilang terus terang reaksi yang sesungguhnya kepada
ibu? bisik hati Rindu. Mestikah aku bilang, bahwa Handoko acuh tak acuh? Bahwa
Handoko malah menyuruh aku menggugurkan kandungan0 Bahwa Handoko belum
ingin berkeluarga0 Padahal aku begitu percaya akan rayuan Handoko. Begitu percaya
bahwa Handoko baik. Begitu percaya, bahwa Handoko akan bertanggung jawab
"Koq diam°"
"Mas Handoko menunggu. Bu," jawab Rindu pelan.
"Menunggu apa?"
"Dia... dia akan menikahi saya," suara Rindu kian
40
pelan, seakan ia tak begitu yakin akan ucapannya sendiri
Farida tercenung, seperti masih ada yang merisaukan hatinya. Tapi kemudian ia
tersenyum.
"Sudahlah. Rin. Kalau begitu, memang tinggal menunggu saat yang tepat untuk
berbicara dengan bapa."
Farida agak kaget, ketika pintu kamar ada yang membuka. Ternyata yang muncul
adalah Puri.
"Bu! Bapa pulang," kata .Puri.
Farida bangkit. Puri masuk ke kamar, menghampiri kakaknya.
"Sakit? Koq sering benar sakit. Ceu Rin. Ke dokter dong. masa takut sama dokter."
Rindu tak memberi reaksi atas gurauan adiknya.
"Jangan ganggu kakakmu, Riri. Biarkan dia istirahat," kata Farida sambil ke luar
kamar. Puri juga segera mengikuti ke luar kamar.
Farida menghampiri Pak Husni yang sudah berganti pakaian, sedang mereguk
minuman.
"Koq pulangnya telat, Pa?"
'*Jalanannya macet."
"Mau makan sekarang?"
"Nanti saja. habis Magrib "
Pak Husni memandang ke kamar Rindu.
41
"Rindu masih sakit?" "Iya."
"Sudah ke dokter?"
"Dia bandel Tak mau ke dokter."
"Maeam anak kecil saja, pakai takut sama dokter."
Pak Husni berjalan ke kamar Rindu.
Jantung Farida berdegup kencang.
Pak Husni membuka pintu kamar, Farida diam-diam mengikuti dari belakang. Rindu
agak terkejut, melihat ayahnya menghampiri. Ia berusaha mengatasi kegugupannya.
Tangan kanan Pak Husni meraba kening Rindu. Memandang Rindu dengan seksama.
"Kalau pusing terus, periksalah ke dokter, sebelum penyakitmu gawat," kata Pak
Husni.
Rindu diam saja.
"Nah, apa kata bapamu, Rin. Kau bandel sih, tak mau menuruti perintahku. Besok,
cobalah ke dokter. Minta diantar Giri atau Riri," sahut Farida.
Pak Husni menoleh, menatap Farida, lalu kembali memperhatikan wajah Rindu.
Ketika Pak Husni ke luar kamar, rasanya Rindu terlepas dari beban yang
mengharupit perasaannya, kendatipun cuma sejenak, karena ketakutan itu kembali
menguntit.
"Kalau kau tak ke rumah, Rin. Aku pasti kesepian. Sama saja dengan tak punya
isteri. Takkan kudengar tangis bayi kita."
Waktu itu, saya menggelengkan kepala! Tak mau! Tapi Mas Handoko mengancam.
Kalau saya ikut Bapa... Mas Handoko tak mau menengok saya lagi! Tak mau
memperdulikan saya lagi! Saya takut. Saya cinta Mas Handoko. Saya kasihan kepada
anuk saya! Tapi. saya sudah tahu apa yang akan menimpa saya, seandainya saya
kembali ke rumah Mas Handoko. Saya serba salah. Saya tak ada pilihan. Kalau
kemudian saya nekad memilih kembali kepada Mas Handoko, itu hanyalah dengan
harapan, bahwa suatu ketika mudah-mudahan Mas Handoko menyadari
kekeliruannya. Mudah-mudahan, setelah jadi ayah, ia akan jadi baik dan
memperhatikan keluarganya.
Pak Husni dan Farida saling memandang, tatkala menyaksikan anaknya lama
tertegun.
"Koq diam, Rin?" tanya Farida.
1lf>
"Jadi benar kau diancam*1" Pak Husni makin penasaran.
Tiba-tiba, Rindu menggelengkan kepala, pelan dan seperti terpaksa. Seperti tak
disadari.
"Mas Handoko meminta saya pulang dengan sungguh-sungguh. Dia telah minta
maaf."
"Begitu mudah kau memaafkannya0" tanya Pak Husni kesal.
"Saya membenci kelakuannya. Bapa. Tapi. bagaimanapun juga dia suami saya.
Bapanya anak saya. Saya harus mencoba lagi. Siapa tahu dia benar-benar menyadari
kekeliruannya."
"Itu cuma taktik! Kau jangan terlalu percaya bu-juk-rayunya. Dalam keadaan begini,
apa salah kau ambil sikap tegas. Biar dia tahu, bahwa kau pun tidak takut
ditinggalkannya. Biar dia merasa, bahwa dia mem-butuhkanmu."
Rindu terdiam.
"Sudahlah. Pa. Kalau itu keputusan Rindu, tak usah kita salahkan. Ya, siapa tahu
Handoko justru menyadari kekeliruannya."
"Kau sama saja, Bu. Hatimu selalu goyah. Tidak punya prinsip. Cepat terpengaruh,"
sahut Pak Husni makin jengkel.
"Kalau kita jadi Rindu, mengalami nasib seperti Rindu, pasti kau akan merasakan
kekalutan anak kita,
118
\
"Terserahlah. Kalian memang tak pernah mau mempertimbangkan pendapatku.
Kalian maunya jalan sendiri. Kalau ada kesulitan, baru ribut memburuku. Meminta
ban tuanku," kata Pak Husni ketus.
Farida dan Rindu terdiam.
Ketika Rindu meninggalkan rumah bersalin, naik sedan orangtua Handoko yang
dikendarai Handoko, Pak Husni cuma memandang termangu. Ada yang mengiris
bathinnya. Apalagi ketika mendengar Farida menasihati Handoko.
"Han! Sayangilah, Rindu. Jangan sakiti hatinya. Jangan sering ditinggal sendirian."
Rasanya pesan yang nadanya mengemis itu, telah sempurna menjatuhkan harga-
dirinya. Sudah menunjukkan kekalahannya. Sudah memperlihatkan kelemahannya.
Betapa menyakitkan!
***
SETYAWATI dan Puri sama-sama satu sekolah. Sama-sama kelas tiga SM A. Sama-
sama jurusan IPS Sama-sama satu kelas. Sama-sama ayu. Sama-sama se neng
bercanda. Sama-sama banyak yang naksir. Beda-
119
nya. pipi Setyawati berlesung pipit.
Suatu siang, keduanya pulang sekolah, berjalan kaki, menyusuri jalan berpagar
pepohonan. Jauh di belakangnya, tampak laju sebuah motor yang ditumpangi dua
orang.
"Kita naik becak aja. Wat." kata Puri.
"Duitnya nggak cukup. Jalan saja dulu," sahut Setyawati.
Motor melaju pelan di samping keduanya, mengikuti irama langkah.
"Koq jalan kaki?" tanya Dani, anak kelas III IPA, yang mengendarai motor.
"Memangnya kenapa kalau jalan kaki?" jawab Puri kesal.
"Nggak apa-apa, cuma takut pegel aja."
"Yang pegel kan bukan kamu."
"Jangan sewot, Ri. Maksud Dani, mungkin lain kali ia bisa mengajakmu naik
mobilnya. Kalau kalian mau pulang sama-sama, besok Dani pasti bawa mobil," kata
Barman.
"Sombong!" sahut Setyawati.
"Masa begitu saja dibilang sombong? Aku menawarkan jasa secara baik-baik," kata
Dani.
"Jalan kaki lebih enak dan sehat Tidak bakal am-beyen!" kata Setyawati. .^^^ma
"Riri! Boleh main ke rumahmu, nggak?" tanya
120
Dam
"Aku juga mau. Boleh nggak, Wat°" tanya Barman.
Setyawati dan Puri saling berpandangan, lantas memandang kedua lelaki yang berada
di atas motor itu.
"Mau apa ke rumah?" tanya Puri.
"Main-main saja, ya Man?" sahut Dani. dibalas Barman dengan anggukan kepala.
"Memangnya rumahku Taman Lalu-Lintas, bisa dipakai main-main?" jawab Puri.
"Kita cuma mau ngobrol-ngobrol saja. Biar tambah pengalaman. Biar hubungan kita
bisa lebih..."
Belum lagi Barman merampungkan ucapannya. Setyawati sudah memotong
perkataan dengan gesit.
"Kalau cuma ngobrol, nggak bakalan tambah pengalaman. Yang bagus itu kan,
urusan ngobrol dikesampingkan, baca buku diutamakan. Hobbyku baca buku. bukan
ngobrol."
"Wah, kebetulan. Di rumah aku banyak koleksi novel. Kalau kalian mau baca. nanti
aku antarkan ke rumah." sahut Dani.
'Novel sih. aku juga punya koleksi lebih lengkap. Bahkan, tiap sore ada tukang
meminjamkan buku^M
"Tapi aku punya buku seni. Tujuh belas tahun ke
atas." kata Barman.
"Buku apa?" tanya Setyawati agak penasaran.
"Judulnya yahud! RAHASIA MENCAPAI PUNCAK KEPUASAN."
Setyawati dan Puri tersentak.
"Apa?" tanya Puri penasaran.
"Rahasia Mencapai Kepuasan."
"Kuno!" sahut Setyawati.
'Tapi seru."
"Seru apanya?" tanya Puri.
"Pokoknya begini!" Barman mengacungkan jempolnya, merasa telah mulai bisa
mempengaruhi Puri dan Setyawati.
"Kalau sudah tahu asyiknya buku itu, pasti bakal penasaran baca seri berikutnya.
Bukunya selalu jadi rebutan!" kata Dani.
"Allaaa... paling buku porno!" sahut Puri.
"Tidak porno. Ini dituturkan secara ilmiah," kata Barman.
"Sok tau!"
"Mau pinjam nggak? Kalau mau, nanti kita antar ke rumah." kata Dani.
"Nggak," sahut Setyawati ketus. "Bener. nggak penasaran?"
^^NjgjkJ^^^^^^^^^^^^^ Dani dan Barman seperti kehabisan cara.
"Kalau begitu, aku jalan duluan. ya? Pokoknva, kapan-kapan, jangan kaget kalau kita
main ke rumah," kata Dani sambil mempercepat lari motornya, meninggalkan
Setyawati dan Puri.
"Salah. Coba tadi kita pinjam saja buku itu, Wat," kata Puri, masih penasaran.
Setyawati menatap Puri.
"Nanti kamu celaka."
"Celaka kenapa?"
"Buku begitu, sekali dicoba, biasanya suka kecanduan."
"Lho? Memangnya buku porno? Kupikir bukan, pasti buku ilmiah."
"Biar ilmiah, kalau ditangkapnya secara porno, mau apa?"
"Sex education, kan mestinya sudah kita pahami. Biar wawasan pengetahuan kita
lebih jemhar.'"
"Kalau kamu tertarik, kenapa tidak kamu bilang; antarkan saja ke rumah," kata
Setyawati kesal.
"Habis kamu bilang nggak mau pinjam."
"Kenapa mesti terpengaruh oleh aku?"
Puri terdiam.
"Itu bukan bacaan orang seusia kita. Makanya aku menolak. Lagian, Barman dan
Dani cuma mau cari muka! Biar kita tertarik. Biar kita terseret."
Puri manggut-manggut.
123
"Iya. >a. Bahkan, kalau ketahuan bapu. kjta bisa didamprat habis-habisan."
Peluh meleleh di wajah Puri.
"Duh, cape sekali, Wat! Kita naik becak aja."
"Duitnya bayar di rumah saja, ya?"
"Atau lebih baik kita ke rumah Ceu Rindu. Biar Ceu Rindu yang bayar."
Keduanya, akhirnya sepakat untuk peigi ke rumah Rindu. Naik becak dari
perempatan.
Di muka pintu, Puri dan Setyawati mendengar tangis bayi. Pintu diketuk. Seseorang
menghampiri.
Yang membuka pintu, ternyata Rindu
"Hei! Tumben datang ke mari sama-sama," kata Rindu.|
"Habis pulang sekolah," jawab Setyawati. 'Tapi itu, Ceu," kata Puri ragu-ragu. "Itu
apa?"
"Mmmm... ongkos becaknya belum dibayar." "Bayar dulu," kata Rindu sambil
bergegas ke dalam. Tak lama kemudian muncul lagi, memberikan uang lima ratus
rupiah.
Puri membayarkannya ke tukang becak, seratus lima puluh uang kembalinya
langsung masuk saku. Keduanya mengikuti Rindu ke dalam. "Bayinya mana, Ceu?"
tanya Setyawati. "Diasuh sama baby-sitter."
"fcnak, ya. Kalau bisa bayar baby-sitter kan nggak cape-cape ngurus," kata Pun.
"Kalau malam hari nangis, ya tetap saja repot. Nggak bisa tidur."
"Mas Handoko mana?"
"Biasa," jawab Rindu datar.
Puri dan Setyawati seperti menyadari, tak mau bertanya panjang lebar tentang
Handoko.
"Nama puterinya siapa, Ceu?"
"Sri Asih."
"Mas Handoko yang memberikan namanya?"
"Aku sendiri. Mas Handoko memberi nama Cirita-wati. Tapi aku tak suka nama itu.
Terlalu muluk, pake cinta-cinta segala. Cuma cari muka!"
"Ya, biar saja, Ceu. Kalau digabung kan jadi enak di kuping. Sri Asih Cintawati
Handoko," kata Setya-vati.
"Maunya dia."
"Ceu Rin, koq sengketa melulu," kata Puri.
"Kamu belum merasakan sih, bagaimana getirnya kalau isteri sering ditinggal suami.
Biar kekayaan bertumpuk, tetap saja tidak puas dan tidak tenteram. Salah-salah, aku
dibilangnya perempuan peliharaan."
Puri dan Setyawati saling berpandangan. Keduanya senantiasa merasa iba, kalau
mendengar Rindu •mengeluh tentang suaminya.
Terdengar bayi menangis, di ruang belakang. Puri dan Setyawati bergegas
menghampiri.
Rindu masih tercenung. Memandang seragam sekolah, yang dikenakan kedua
adiknya. Memandang tas, dan buku yang tergolek di kursi, milik adiknya. Seakan
memandang jauh ke masa silam. Saat seperti itu, adalah saat yang manis. Saat yang
ceria. Tak ada suasana duka yang menggores perasaannya.
Adikku! Semoga kelak, kalian tidak mengalami nasib seperti aku! Bisik hati Rindu,
sambil melangkah menghampiri kedua adiknya.
SENJA HARI. Pulang kuliah, Palgunadi berjalan bersama Ningrum, mahasiswi
sastra Inggeris tingkat satu. Mereka berkenalan sewaktu acara Posma. Waktu itu,
Palgunadi dikenal sebagai senior yang terbaik. Ningrum naksir mati-matian terhadap
Palgunadi. Palgunadi berusaha acuh, tapi Ningrum melakukan pendekatan dengan
agresif. Seperti senja ini, Ningrum mengajak Palgunadi jalan sama-sama.
"Kang Gun, koq sombong."
"Sombong kenapa?"
"Nggak pernah mau mengajak saya main."
12o
"Main ke mana?" "Ke mana saja."
Palgunadi memandang Ningrum. Wajah Ningrum cukup cantik, tapi di kalangan
mahasiswa ia selalu dibilang perempuan gampangan. Ningrum, tipe wanita yang tak
segan bergaul dengan siapa pun. Kadangkala. dosen pun seperti merunduk di
hadapannya. Tak berani menegur, kalau sikap Ningrum melebihi porsi dalam
mencandai dosennya.
"Saya selalu betah di rumah," kata Palgunadi.
"Kalau saya sih, di rumah terus bisa senewen."
Palgunadi tersenyum.
"Masa nggak mau ngajak saya nonton. Kang Gun?"
"Nonton apa?"
**Nonton film. Saya kepingin sekali nonton film YESTERDAY sama Kang Gun."
"Tidak dengan saya pun, pasti banyak yang mau menonton denganmu."
"Tapi saya ingin dengan Kang Gun."
Palgunadi terdiam.
Ia mulai kesal. Palgunadi memang paling tidak senang terhadap perempuan yang
terlalu berani, seperti Ningrum. Sama sekali, ia tak melihat kelembutan atau
keanggunan dalam diri Ningrum. sesuatu yang disukai oleh Palgunadi. Tapi ia tak
mau menyakiti perasaan
127
seseorang, dengan menunjukkan sikap yang tegas. Makanya terpaksa Palgunadi
selalu meladeni Ningrum dalam batas-batas tertentu. Tapi Ningrum menanggapinya
lain. la menganggap Palgunadi sesungguhnya mau tapi malu-malu.
"Kang Gun, nggak suka nonton sama saya, ya?"
"Bukan begitu."
"Bukan begitu, mirip dengan iya. kan?"
"Maksudku, aku jarang nonton film," Palgunadi membohong, soalnya ia me|uang
paling doyan nonton film.
''Justru kalau jarang nonton, sekali-sekali kita nonton kan nggak apa-apa."
Palgunadi terdiam lagi.
"Atau Kang Gun sudah ada yang punya?"
Benar-benar memusingkan celotehnya! Bisik hati P-. I ai nadi.
"Aku sedang sibuk. Lain kali, kalau..."
"Masa sibuk melulu." potong Ningrum.
"Sungguh. Sebentar lagi harus menghadapi ujian sarjana muda. Aku harus
konsentrasi."
Ningrum menghela nafas. Mulai kesal.
"Kang Gun sih kelewat kutu-buku. Nanti cepat
Palgunadi tertawa.
"Setiap orang pasti tua. cepat atau lambat."
'Tapi Kang Gun koq tidak memanfaatkan masa muda. Tidak seperti yang lainnya...."
"Tiap orang, kan punya pilihannya sendiri."
Sebuah sedan menderu di belakang keduanya, suara klakson berbunyi nyaring.
Ningrum segera menoleh. Tampak Vicky, mahasiswa Fakultas Kedokteran
tersenyum kepadanya.
"Pulang, Ning?"
Ningrum menganggukkan kepala. "Antarin saya. Bang Vicky!" "Yuk!"
Sedan berhenti dulu. Ningrum melirik kepada Palgunadi.
"Kang Gun! Saya jalan duluan. Saya ikut Bang Vicky."
Palgunadi menganggukkan kepala.
Ketika sedan melaju meninggalkan Palgunadi, Palgunadi memandang termangu. Ia
menghela nafas dalam-dalam.
Betapa gampang mendapatkan seorang wanita! Bisik hati Palgunadi.
***
MALAM MINGGU. Pak Husni sedang santai.
12°
membaca koran mingguan dan majalah di ruang depan. Puri, Setyawati, dan
Palgunadi, sedang asyik main tenis meja di rumah tetangganya. Giri, tugas kerja
malam. Farida tengah menyiapkan makan malam buat Pak Husni. Bel berdering.
Farida bergegas ke depan, mendahului Pak Husni yang baru saja beranjak dari
kursinya. Pintu dibuka.
"Selamat malam, Tante." kata Dani sambil membungkukkan badan, diikuti oleh
Barman. Tatkala muncul Pak Husni, keduanya juga mengucapkan, "Selamat malam,
Oom."
Pak Husni memandang kedua anak muda itu, lalu memandang ke arah sedan yang
diparkir di halaman rumahnya.
"Mau ketemu siapa?" tanya Farida.
"Mmmm... anu, Tante. Saya teman sekolahnya... Puri dan Setyawati."
"Oooo," Farida manggut-manggut.
"Mau apa?" tanya Pak Husni, nada suaranya terasa agak ketus. Farida sendiri merasa
kaget.
"Nggak, Oom. Saya... mmm... mau main-main," jawab Barman agak gelagapan. ^
"Itu. Oom... saya janji mau meminjamkan buku buat... Puri." kata Dani mencoba
meyakinkan.
130
"Ayo, silakan masuk. Nanti Tante panggilkan dulu Puri dan Watinya," sambut
Farida, menjaga agar Pak Husni tidak menyambut dengan nada yang membuat kedua
teman anaknya itu gelagapan.
Pak Husni menatap penuh curiga kepada Dani dan Barman, sementara kedua anak
muda itu masuk dan duduk di ruang depan.
Farida bergegas ke belakang, menyuruh pembantunya memberitahu Puri dan
Setyawati.
Pak Husni mengambil koran dan majalah, meninggalkan keduanya. Dani dan
Barman saling berpandangan, lantas saling mengedip.
"Killer...." bisik Barman.
"Gawat," sahut Dani.
Tak lama kemudian, muncul Farida.
"Tunggu sebentar, ya? Puri dan Wati habis main pingpong. Soalnya, kalau malam
Minggu, suka ada pertandingan."
"Main pingpong di mana, Tante?" tanya Dani.
"Di rumah tetangga."
Farida ke dalam lagi. Puri dan Setyawati, menghampiri Farida di dapur.
"Tamu siapa, Bu?" tanya Setyawati, dengan keringat yang masih mengucur.
"Mana Ibu tahu? Baru kemarin koq."
"Rambutnya gondrong, ya Bu?" tanya Puri.
131
"Iya. Rambutnya gondrong, celana jeans, lehernya pakai kalung. Femuda masa kini!"
sahut Farida suaranya setengah meledek.
Puri dan Setyawati saling berpandangan.
"Pasti dia...," bisik Setyawati.
"Dia siapa?" tanya Farida.
"Anu, Bu. Lelaki yang naksir Riri."
Puri melotot. "Yang satunya juga naksir Wati'"
Farida menatap kedua anaknya sambil geleng-geleng kepala.
"Jadi, keduanya datang ke mari mau apel°"
"Mana saya tahu? Janjian saja nggak," sahut Puri.
"Katanya, kalian janji pinjam buku "
"Apa?"
"Kalian janji pinjam buku!"
"Huuu... dasar biyawak. Siapa yang mau pinjam buku?" kata Setyawati kesal.
"Aneh, sesungguhnya mereka itu siapa sih?"
"Yang gondrong kelimis, namanya Dani. Yang gondrong model Elvis Presley
namanya Barman. Murid kelas tiga IPA. Gayanya sih anak orang gedong-an," kata
Puri.
"Kalian koq macam yang mau jumpa musuh aja."
"Lagaknya nyebelin, Bu. Ibu saja yang menghadapinya," kata Setyawati.
"Husss. Bagaimanapun juga. dia adalah tamu ka-
132
han. Hadapilah baik-baik Biar kalian tidak senang, jangan tunjukkan
ketidaksenangan kalian. Tunjukkan saja, biar dia merasa segan menghadapi kalian."
"Caranya bagaimana?" tanya Puri.
Farida menggelengkan kepala lagi.
"Kalian kan udah gede. Ayo, sana! Hadapi dulu tamunya."
"Ngeri. Ntar disangka Bapa, mereka pacar saya," sahut Setyawati sambil melap
kembali keringatnya.
Keduanya kemudian menuju ke ruang depan. Tanpa cuci muka atau merapikan
pakaiannya dulu.
Begitu Puri dan Setyawati muncul, Dani dan Barman serentak menyambutnya.
"Hallo."
"Hallo lagi," sahut Puri. Mereka duduk berhadapan.
"Sorri. Kita mengganggu. Kata ibumu, kamu-kamu lagi asyik main tenis meja, ya?"
kata Dani.
"Iya. Lagi pertandingan," sahut Setyawati.
"Kalau tahu seneng main tenis meja, padahal di rumahku juga ada tempat main tenis
meja. Pemain-pemain tenis meja kawakan, kadang-kadang suka main di sana," kata
Barman.
Biarin! Bisik hati Setyawati. Tapi yang menjawab adalah Puri.
"Kita sih cukup jadi juara RW saja, ya Wat?"
133
"Jadi juara RT juga lumayan."
Di dalam kamar, Pak Husni melanjutkan membaca koran, berbaring di atas ranjang,
pundaknya diganjal bantal, diterangi lampu duduk. Ketika Farida datang
menghampiri, untuk menawarkan makan, Pak Husni menyimpan korannya.
"Lain kali, kalau ada tamu macam begitu, jangan diberi hati," kata Pak Husni kesal.
Farida agak kaget. Ucapan Pak Husni sungguh di luar dugaannya. Sama sekali tak
menduga, kalau pikiran Pak Husni masih terpaut kepada kedua anak muda itu.
"Dia kan bertamu baik-baik, Pa."
"Baik-baik apa? Lihat lagaknya saja aku sudah muak," sahut Pak Husni sambil
mencopot kaca-mata-nya.
"Jangan dulu berprasangka buruk. Bagaimanapun juga, kita tidak boleh
menyinggung perasaannya Apalagi dia baru kita kenal."
"Kamu memang selalu begitu. Selalu memberi hati. Selalu memberi peluang buat
orang-orang macam begitu!"
"Saya tidak berpikir sejauh itu."
"Itu jeleknya. Kau tidak berpikir ke depan. Buktinya, tokh kau akui sendiri. Dulu kau
puji-puji Han doko, kau sanjung-sanjung, sekarang bagaimana?"
134
Farida terdiam. Kalau Pak Husni sudah menyebut Handoko, rasanya ia suka terpojok.
"Pikiranmu sendiri terganggu, Rindu tak mau lepas dari ingatanmu. Hampir tiap hari
kau mengeluh tentang Rindu, kasihan Rindu. Sampai kau sakit. Tapi apa balasannya
dari dia? Saat itu aku benar-benar kecewa! Kalau dia benar-benar mencintai
orangtuanya, kalau benar-benar dia tersiksa oleh ulah suaminya, kenapa dia memilih
kembali kepada si Handoko? Aku malu sekali. Di hadapan mereka rasanya harga
diriku tercampakkan."
Mata Farida berkaca-kaca.
"Kau tidak pernah memahami perasaanku," sendat Farida.
"Kau juga sama saja," sahut Pak Husni.
Keduanya kemudian terdiam.
Di meja makan, seekor kucing memporakporan-dakan tutup hidangan. Farida
tersentak, segera memburu. Kucing itu meloncat, membawa sekerat daging ayam.
"Kucing sialan!" hardik Farida, seakan memuntahkan kekesalannya kepada kucing
itu. Farida mengambil sapu lidi, memukulnya kepada kucing yang bertengger di atas.
Kucing mengeong kesakitan, tapi tak melepaskan gigitannya terhadap daging ayam.
Di ruang depan, Puri dan Setyawati nampak geli-
135
sah. Meski tidak jelas, ia mendengar pertengkaran Oiangtuanya. Sedangkan Dani dan
Barman, tak begitu memperhatikan. Ia merasa asyik mengobrol, biarpun kadangkala
Puri dan Setyawati menanggapinya dengan acuh tak acuh.
"Perang sekarang selalu terjadi dengan tiba-tiba Gara-gara bekas Presiden Iran
Abolhassan Banisadr melarikan diri dan diberi suaka politik oleh Pemerintah
Perancis, kini ramai sengketa antara Pemerintah Iran di bawah komando Ayatollah
Khomeini dengan Pemerintah Perancis di bawah pimpinan Presidennya Francois
Mitterand." celoteh Barman, dengan harapan biar Setyawati dan Puri merasa kagum.
Di dapur memang lagi terjadi perang, Farida marah-marah kepada pembantunya.
"Kucing naik ke meja makan, masa tidak kelihatan? Harga daging ayam ini tidak
murah, tahu? Ini, cuma ditinggal sebentar saja. sampai kecolongan. Apa saja
kerjamu?"
Pembantu diam saja, seakan sudah memahami, bagaimana semestinya menanggapi
amarah majikan yang tidak seperti biasanya.
Puri dan Setyawati menghampiri, memberitahu tamunya akan pulang. Farida
menghadapinya, seakan tidak ada peristiwa apa-apa. Tapi setelah Dani dan Barman
berlalu. Pak Husni muncul menghampiri Puri
136
dan Setyawati.
"Lain kali, kalau menyuruh temanmu yang datang ke mari, jangan lelaki yang macam
begitu!"
Tentu saja Puri dan Setyawati tersentak.
"Saya... saya... tidak menyuruh dia datang. Dia sendiri yang ke mari," sahut Puri.
"Jangan bohong! Dia kan bilang, katanya kamu pinjam buku kepada dia, menyuruh
dia mengantarkannya ke mari. Apa-apaan? Lelaki kalau sudah diberi hati begitu,
pasti ngelunjak!"
"Dia bohong!" sahut Setyawati. "Saya dan Puri tak pinjam buku. Tidak ada janji apa-
apa."
"Apalagi kalau begitu, kalian harus hati-hati menghadapinya. Kalau perlu, jangan
beri dia kesempatan kalian berhak tak menerimanya! Ingat, harus kalian ingat,
peristiwa kakakmu. Aku tak ingin kejadian yang memalukan begitu berulang lagi
pada anak-anakku!"
Puri dan Setyawati terdiam. Dalam hati, keduanya merasa tersinggung dengan
amarah ayahnya.
Farida yang berdiri jadi saksi, tiba-tiba merasa seperti ada yang menyayat
perasaannya. Setiap contoh kesalahan tertumpu kepada Rindu, selalu kepedihan
membebani perasaannya.
Sampai larut malam, ketika semua sudah tertidur. Farida masih gelisah sendirian.
Bavangan masa silam Kecemasan pada Rindu. Sejuta kepedihan. Menancap di dalam
senyap.
***
BAGIAN KETUJUH
SAMBIL jadi korektor dalam hanan Citra Nurani. Giri kadangkala menulis
wawancara atau artikel tentang musik dan tilm. Pimpinan Redaksi harian itu. ternyata
dengan teliti mengikuti perkembangan Giri. Gaya tulisan Giri, dinilai punya ciri
khas. Cara penuturannya pun mudah dicerna dan akrab dengan pem baca. Sambutan
masyarakat terhadap tulisan Giri cukup baik.
Tidak heran, kalau dalam waktu singkat. Giri diangkat jadi wartawan tetap. Ini
membuat Giri kian senang dan bersemangat. Meski tugasnya cuma wartawan yang
mengekspose musik dan film, tapi Giri juga dengan inisiatif sendiri banyak
menyimak kehidupan di luar itu. Tentang pelacur, gelandangan.
139
atau tokoh-tokoh penting dalam masyarakat
Semua serba memungkinkan, karena dasar ke-mauan kerasnya untuk menunjukkan
prestasi. Dalam bergaul, Giri juga lebih agresif. Sehingga menghadapi tiap orang,
sama sekali tak ada kesulitan.
Di dalam kampus, Giri makin dikenal. Makin dikejar oleh mereka yang haus akan
publikasi. Sampai Giri kewalahan buat menolak. Tidak terkecuali Ningrum, berusaha
mendekati Giri. Satu kelemahan Giri, tak tahan oleh godaan perempuan. Apalagi
menghadapi perempuan berpengalaman semacam Ningrum.
Seperti sekarang, ketika Giri berjalan sendirian hendak menuju motornya yang
diparkir, tahd-tahu Ningrum memburu dari belakang.
"Kang Giri!" seru Ningrum.
Giri menghentikan langkah.
Ningrum langsung saja pegang lengan kanan Giri.
"Masukin korannya dong saya."
Giri tidak kaget menghadapi sikap wanita semacam Ningrum ini, banyak yang
berbuat seperti Ningrum, dengan harapan namanya bisa ditonjolkan dalam koran atau
majalah.
"Wah, nggak akan muat," sahut Giri bercanda.
Ningrum mencubit lengan Giri, sambil mendelik kan matanya. Jantung Giri
berdegup kencang.
140
Apalagi memandang bibirnya yang menantang.
"Foto dong saya, Kang! Jangan cuma anis beken saja. Saya kepingin sekali main
film. Kalau dipublikasikan oleh Kang Giri, siapa tahu ada produser yang ngiler."
"Jika mau main film kan gampang. Tinggal melamar saja. Wajah dan potongan
tubuhmu sudah meyakinkan."
"Ngeledek, ah," sahut Ningrum, tapi jelas senang sekali dipuji Giri.
"Soalnya, kalau yang nulisnya saya, tidak akan ada yang membaca. Percuma."
"Uuuuhhh... Kang Giri suka bergaya merendah. Kuno! Saya saja pembaca setia
tulisan Kang Giri."
"Apanya yang mesti saya tulis?"
"Apanya saja. Terserah Kang Giri. Dibilang penyanyi juga, kan saya pernah jadi
juara nyanyi antar Taruna Karya. Kalau di bidang olah raga, saya pernah jadi kiper
kesebelasan sepak bola waktu di SMA. Kalau di bidang kesenian drama, saya pernah
jadi Melati Di Tapal Batas, waktu pementasan drama menyambut 17 Agustus."
"Masih ada lagi?" _
"Saya pernah ikut Ratu Disco, Ratu Dangdut, dan Ratu Pantai."
"Menang?"
141
"Nggak. Tapi masuk finalis."* "Lantas?"
"Masa seeitu tidak cukup."
"Lebih banyak yang diungkapkan, lebih bagus."
"Apalagi, yaaa..." Ningrum mengingat-ingat. "O. ya! Saya pernah latihan karate dan
juara masak antar kecamatan."
"Cita-citanya mau jadi apa sih?"
"Ibu rumah tangga yang baik."
Giri tersenyum.
"Katanya mau jadi bintang film."
"O. tentu. Jadi bintang film itu cita-cita utama. Pokoknya, kalau potret saya sudah
dimuat, lantas ada tawaran dari produser film, langsung bakal saya terima."
"Tidak menyeleksi dulu perannya?"
"Untuk apa? Saya tidak akan pilih-pilih peran. Main ranjang, boleh. Ciuman? Okey!
Sebagai artis, mesti serba bisa. dan serba bebas. Kalau pilih-pilih, nanti nggak bakal
ada yang mau."
Giri manggut-manggut.
"Kuliahmu bagaimana?"
"Kuliah sih jalan terus. Soalnya, studi itu kan penting. Bahkan nomor satu adalah
studi. Jadi bintang itu mesti intelek, biar punya wibawa. Kan banyak sarjana yang
main film."
142
"Okey deh kalau begitu."
"Jadi Kang Giri mau menulis tentang saya?"
"Yaaaa bolehlah."
"Benar0"
Giri menganggukkan kepala.
"Makasih banyak. Kang Giri baik deh. Kapan mau motret saya?"
"Sekarang saya sibuk. Mesti ke kantor dulu. Besok ada waktu, nggak?"
"Tentu. dong. Jam berapa? Biar saya bisa ada persiapan. Soalnya saya biar leluasa
pilih pakaian yang klop dengan kulit dan tubuh saya."
"Besok siang."
"Kang Giri mau ke rumah?"
"Boleh "
"Saya mau dipotert dalam gaun yang minim nggak0 Atau yang sopan-sopan saja?"
"Dua-duanya juga boleh." "Betul ya? Besok!"
Giri menganggukkan kepala. Lagi-lagi matanya tertancap pada bibir dan lekuk-liku
tubuh Ningrum.
Kemudian Giri bergegas meninggalkan Ningrum. Ningrum kembali ke dalam
ruangan, sambil berlari-lari kecil.
143
FARIDA menerima surat kilat dari Surabaya. Dari dokter Irawan. Isinya cukup
mengejutkan. Ternyata, rencana pernikahan dipercepat.
-¦ Orangtua Luh Sudari minta agar pernikahan segera dilaksanakan, alasannya biar
hati mereka tenang. Saya sendiri tidak keberatan, bahkan sekalipun nanti resmi jadi
suami-isteri, saya akan tetap meng-ijinkan Luh Sudari menyelesaikan kuliahnya.
Saya harap Ibu dan Bapa tidak terkejut. Sungguh, saya masih tetap berharap, Bapa
dan Ibu bisa menghadiri pernikahan kami. Saya tahu Bapa punya prinsip yang tak
tergoyahkan, tapi demi anak Bapa, saya begitu mendambakan kehadiran Bapa. Kalau
tidak juga, Ibu mesti datang. Bayangkan, bagaimana rasanya, kalau saya menikah
tanpa ada yang jadi wali. Padahal orangtua saya masih hidup.
Seminggu sebelum pernikahan, saya akan ke Bandung, untuk menjemput Tolong
beritahu juga. Rindu dan Handoko. Bagaimana bayinya? Tentu sudah belajar
berjalan.
Salam buat adik-adik di rumah.
Ananda, IRAWAN.
FARIDA merasa terharu. Irawan selalu begitu. Selalu ingat kepada saudara-
saudaranya. Selalu bersikap seperti seorang yang bijak. Farida merasa tak tega,
seandainya tak datang pada hari pernikahan Irawan. Bagaimanapun juga, ia akan
berusaha untuk menghadirinya. Mewakili suaminya, jika berkeras kepala tak mau
datang.
Tapi yang ia takutkan akibatnya. Sungguh, dalam banyak hal Farida suka serba-
salah. Setiap keputus-an, banyak yang bertentangan dengan keinginan Pak Husni.
Tidak mustahil, Pak Husni akan menumpahkan amarahnya kepada dia, seandainya ia
mau meng hadiri pernikahan dokter Irawan.
Sewaktu surat dari dokter Irawan itu dibaca Pak Husni, wajah Pak Husni pucat, lesu.
Farida seperti melihat kekecewaan yang memukui perasaan Pak Husni.
"Dia benar-benar menentukan kata-hatinya sendiri," kata Pak Husni datar.
"Apa boleh buat, Pa. Kita, orangtua, akhirnya memang mesti mengalah."
'Tidak. Aku tidak akan jadi pecundang dalam soal prinsip."
"Jadi, Bapa tetap tak mau datang?"
"Tidak."
'Bapa tidak... kasihan kepada Irawan?"
145
"Kasihan? Mest iya dia yang punya rasa kasihan terhadapku. Mesti? ya dia tahu,
dengan pilihannya itu aku, Ayahnya, bei r-benar terpukul."
"Bapa jangan terlalu diselimuti emosi."
"Aku tidak emosi. Apakah kau anggap kurang wajar, kalau aku merasa kecewa?"
Farida terdiam.
"Aku tidak ingin balasan materi, aku tid?»k ingin balasan yang gemerlapan, dari
anak-anakku yang maju. Yang kuinginkan adalah, anak yang bisa membaca
kemauanku. Tapi, itu tak kudapatkan pada Rindu, atau Irawan."
"Itu tak perlu kau ungkit lagi."
"Kalau kau benar-benar mau menghargai sikapku, aku harap, kau tak usah
menghadiri pernikahan Irawan."
Farida tercenung sejenak. Lalu menatap Pak Husni.
"Aku tak tega, Pa." "Kau harus tega!"
"Aku bisa merasakan, bagaimana perasaan Irawan, seandainya nanti, ia seperti tak
punya siapa-siapa."
"Itu resiko dia. Atau kau bisa merasakan perasaan dia, tapi tak pernah menyelami
perasaanku?" "Jangan bertanya begitu, Pa. Yang kita hadapi
146
adalah anak kita. Baik atau jelek, tetap hasil didikan kita."
"Aku bilang; ini sikap. Dan kalau kau benar-benar mau menghargai suamimu, aku
minta kau jangan datang!"
Farida terdiam sesaat. Kepalanya merunduk.
"Biar dia tahu rasa. Biar dia bisa memahami sendiri, kenapa aku tetap menolak."
"Aku... aku tak bisa bersikap keras seperti kau, Pa. Bagaimanapun, aku.... Ibunya.
Yang mengurusnya sejak kecil. Bathinku begitu dekat."
"Kau boleh mengemukakan alasan apa pun. Tapi aku tetap meminta, jangan datang
pada hari pernikahannya."
Farida terdiam. Sungguh suatu pilihan yang rumit. Tak terbayangkan betapa
kecewanya Pak Husni, seandainya ia pergi bersama Irawan. Tapi haruskah juga aku
mengecewakan Irawan? Bisik hati Farida.
Makin terasa, begitu banyak persoalan menumpuk. Makin terasa, begitu banyak
cobaan menimpa.
Belum lagi terpikir, tentang dirinya sendiri. Hubungannya dengan Pak Husni, yang
senantiasa diliputi ketegangan.
***
147
DOKTER Irawan datang menjemput. Pak Husni tetap dengan pendiriannya. Harapan
dokter Irawan, cuma tertumpu kepada Farida. Tapi Farida mulai ragu, bila ingat
permintaan Pak Husni. Ucapan Pak Husni terngiang lagi.
"Kau boleh mengemukakan alasan apa pun. Tapi aku tetap meminta, jangan datang
pada hari pernikahannya."
Rasanya, sudah terlalu sering Farida bertengkar dengan Pak Husni, karena
perselisihan pendapat. Dan kalau saja, kini ia mengikuti kemauan dokter Irawan,
bukan mustahil akan menimbulkan amarah Pak Husni yang lebih hebat.
Tiba-tiba, terlintas dalam pikiran Farida; bukankah Irawan anak kandung Pak Husni?
Bukankah Irawan anak tirinya? Sekaranglah saatnya menunjukkan pada Irawan, pada
Pak Husni, bahwa ia juga tetap mencintai anak Pak Husni seperti kepada anaknya
sendiri. Apa pun resikonya, ia tetap harus menghadiri pernikahan Irawan. Bahkan,
ketika Irawan mengulang kembali permintaannya, hati Farida kian luluh.
"Bu, tolonglah saya. Tumpuan harapan saya hanya pada Ibu. Saya mohon, Ibu mesti
datang. Ibu mesti ikut saya."
Tekad sudah bulat. Ketika itu, Pak Husni sedang bekerja. Farida pergi diam-diam
bersama Irawan, Pai
148
gunadi juga ikut. Rindu sudah pesan, tidak bisa hadir, karena khawatir akan
kesehatan bayinya.
Biar Farida tidak cape, dokter Irawan sengaja berangkat naik pesawat terbang. Di
rumah, Farida sudah wanti-wanti kepada Puri, Setyawati dan Giri, untuk meladeni
Pak Husni.
Farida tak mau membayangkan, bagaimana jika Pak Husni pulang kerja, ia sudah tak
ada. Membayangkan itu cuma mendatangkan gelisah dan kecut. Tapi, Farida sudah
menulis surat buat Pak Husni, yang disimpan di atas meja dalam kamarnya.
***
YANG langsung dijumpai Pak Husni, setelah pulang kerja, memang*surat dari
Farida.
— Maafkan saya telah mengabaikan keinginanmu. Pa! Saya benar-benar tidak tega.
melihat Irawan kecewa. Saya tidak tega. kalau dalam pernikahannya nanti, Irawan
berduka karena tak ada yang menghadiri. Cobalah mengerti perasaan saya, Pa.
Biarlah saya menanggung beban apa pun, demi kebahagiaan anak-anak kita.
Saya pergi dengan Palgunadi. Saya mohon, tak usah jadi pikiran. Sebab dalam
menempuh perjalanan
149
hidupnya, tiap orang punya hak atas pilihannya sendiri.
Saya senantiasa berdoa, agar hatimu tenteram.
- FARIDA -
PAK Husni tertegun. Menghela nafas. Surat itu diremasnya. Begitu dalam
kekecewaan tergambar dari wajahnya.
Puri masuk.
"Bapa mau makan sekarang?" tanya Puri. "Nanti saja,*' sahut Pak Husni agak acuh.
Puri pergi lagi, keheranan.
Pandangan Pak Husni tertuju kepada sebuah potret yang terpajang di dinding. Potret
pernikahannya dengan Farida. Pak Husni terpaku. Wajahnya seperti merah-padam.
Sesuatu seperti mengiris perasaannya.
Dan bayangan itu nampak jelas. Masa silam yang pahit.
Waktu itu, Pak Husni ada tugas ke Medan, selama seminggu. Setahun setelah
pernikahannya dengan Farida. Tapi rencana seminggu itu jadi urung, karena tugas
bisa rampung dalam dua hari. Pak Husni kembali lagi, tanpa sempat memberitahu
lebih dulu kepada
150
Ketika itu siang hari.
Pak Husni diam-diam masuk rumah. Anak-anak sedang bermain di rumah tetangga.
Ia langsung masuk ke dalam kamarnya.
Tapi apa yang ia dapatkan?
Sungguh suatu pemandangan yang menggelegar-kan perasaannya. Sungguh suatu
pemandangan yang membakar hatinya.
Farida tengah bercumbu dengan seorang lelaki.
Tentu saja Farida kaget. Wajahnya pucat. Sedangkan lelaki itu, mendadak gelagapan.
Pak Husni menatap keduanya dengan berang, tak ada kata yang terucap. Hanya dari
wajahnya kentara menunjukkan amarah dahsyat yang terpendam.
Pintu kamar ditutup keras-keras. Pak Husni balik lagi, hendak pergi. Tapi segera
diburu Farida. Farida langsung memeluk kaki Pak Husni. Meratap.
"Maafkan saya, Pa! Maafkan saya!"
Pak Husni menyepakkan kakinya, sehingga Farida tersungkur. Di luar penglihatan
mereka, lelaki yang berkencan dengan Farida kabur melalui jendela kamar.
"Aku tak menyangka, kalau kau ternyata seorang pciacur' Perempuan murahan!
Lonte! Pantas suamimu menceraikanmu! Tak tahu malu! Penipu! Menye-
151
sal aku telah memperisterimu!"
Farida menangis. Masih meratap.
"Maafkan saya, Pa. Maafkan saya "
"Kalau kau sudah bosan denganku, bilanglah terus terang. Jangan menyakiti
perasaanku dengan cara begitu! Keterlaluan!*'
"Saya... saya hilap. Demi Tuhan, Pa. Saya bertobat. Saya berjanji tidak akan berbuat
seperti itu lagi. Demi Tuhan, saya berjanji. Kalau saya melanggar janji... semoga
Tuhan mengutuk perbuatan saya. Semoga Tuhan menurunkan azab NYA terhadap
saya."
Pak Husni memang mencintai Farida. Meski menyakitkan, Pak Husni mau
mengampuni isterinya. Tapi ada akibat yang tak terasa senantiasa menyiksa.
Hubungan keduanya, terasa seperti ada dinding pemisah. Tak ada kemesraan lagi.
Dan itu dijalani bertahun-tahun. Percakapan seringkah" yang berwujud pertengkaran.
Tapi Farida memang bertobat. Tidak lagi menyeleweng. Seluruh perhatiannya
dicurahkan kepada anak-anak. Meski dalam hati kecil Farida, senantiasa muncul
kecemasan. Takut ada pi-lih-kasih Kecemasan yang tidak pernah terasa oleh Pak
Husni.
Setelah anak-anak dewasa, sekali-sekali Pak Husni menunjukkan perasaan kasihnya
kepada Farida. Misalnya, di hadapan anak-anak. Pak Husni memberikan
hadiah kepada Farida. Lalu, Farida menyambutnya dengan kecupan di pipi Pak
Husni.
Potret yang sedang dipandang itu kini membaur. Pak Husni menutup wajahnya
dengan kedua belah-t angan.
Ya, Tuhan! Kenapa aku mesti mengalami cobaan seperti ini? Jerit hati Pak Husni.
Terasa sepi.
Semua seakan menjauh.
***
GIRI mendapat tugas ke Jakarta, untuk menyaksikan sebuah pagelaran busana masa
kini di lobby sebuah hotel mewah.
"Jangan lama-lama, Kang! Ibu dan Kang Gun kan belum pulang. Lagian,
menghadapi Bapa kayaknya tegang terus," kata Setyawati, ketika Giri mau
berangkat.
"Kapan Ibu pulangnya?"
"Menurut rencana sih besok. Mungkin besok malam," sahut Puri.
"Besok juga, aku sudah kembali."
"Jangan lupa. saya belikan pakaian yang dipamerkan nanti, ya Kang?" kata Puri. _
153
"Mampus aku. Harganya bukan jangkauan kita. Paling murah, mesti di atas seratus
ribu."
"Wartawan kan ditakuti. Siapa tahu, karena ingin promosi lantas Kang Giri dapat
jatah.'*
Giri tertawa.
"Jangan ngaco. Memangnya aku wartawan tukang bongkar skandal? Aku kan masih
jenis wartawan kelas teri."
"Biar kelas teri, yang penting kan berbobot," sahut Setyawati.
"Iya. Pokoknya, kalau ada uang, aku belikan oleh-oleh."
"Awas! Jangan main Hostess, ya?" kata Puri. Giri tersenyum.
Ketika Giri hendak membeli karcis kereta api Pa-rahyangan di Statsiun, Giri kaget.
Ningrum ternyata ada di situ. Wajah Ningrum berseri-seri.
"Hallo, Kang Giri!"
"Ningrum mau ke Jakarta?"
"Iya. Kang Giri juga?"
"Iya."
"Kalau begitu kebetulan. Tapi saya sudah beli karcis. Ini BW 2 nomer 15. Kita
duduknya sama-sama saja. Tukar lagi saja, nomor yang bisa berhadapan."
Giri menganggukkan kepala.
154
"Kang Giri, makasih ya tentang tulisannya. Aduh, orangtua saya seneeengng sekali."
Giri tersenyum.
Bergegas membeli karcis. Tak lama kemudian kembali lagi.
"Kita naik ke kereta aja, yuk!" ajak Giri.
Ningrum memegang lengan kanan Giri. Keduanya berjalan menuju kereta api
Parahyangan. Duduk berdampingan. Ningrum di dekat jendela.
"Kang Giri mau ke mana?"
"Biasa. Tugas."
"Enak ya. Kalau wartawan, banyak tugas ke luar. Jalan-jalan terus." Giri tersenyum.
"Ningrum mau ke mana?"
"Anu, Kang. Saya baca di surat kabai, ada lowongan kerja buat jadi bintang film.
Saya rasa persyaratannya sudah sesuai dengan keadaan saya."
"Persyaratannya bagaimana?"
"Bertubuh tinggi, wajah menarik, sexy, diutamakan yang belum punya pacar dan
belum berkeluarga. Para pelamar disuruh datang langsung ke kantornya Coba,
bagaimana menurut pendapat Kang Giri, saya menarik dan sexy, nggak0" kata
Ningrum sambil merajuk.
Giri memandang Ningrum. Wajah dan potongan
155
tubuh Ningrum memang memenuhi seleranya. Menggiurkan. Tapi, Giri tak habis
pikir, kenapa Ningrum begitu ambisius untuk meraih popularitas dengan cara apa
saja? Sayang! Bagaimana, kalau ia kena tipu produser film petualang? Kalau datang
pikiran buruk, ka-dangkala timbul niat Giri untuk memanfaatkan kesempatan. Ia
yakin, Ningrum takkan menolak. Ia begitu yakin, akan bisa meluruhkan Ningrum.
Bahkan kalau mau melakukannya, di Jakarta bisa dimulai!
"Koq Kang Giri bengong? Atau menurat Kang Giri... saya tidak akan bisa memenuhi
persyaratan?"
"Tentu bisa. Sangat memenuhi," sahut Giri, mencoba tegar. "Tapi aneh, kenapa
Ningrum begitu ingin sekali jadi bintang film?"
"Biar jadi orang beken. Jadi orang beken kan enak. Apa-apa jadi bahan berita. Mau
ulang tahun saja, bisa jadi berita besar."
Giri tersenyum.
"Nginapnya di mana?"
"Ada kakak lelaki saya yang tinggal di Jakai Kerjanya di Pertamina. Suka main band.
Xang Giri mau tinggal di mana?" "Di mana saja." "Pasti di hotel, ya?" "Mudah-
mudahan."
156
"Nanti main-main ke rumah, ya?" Giri menganggukkan kepala. "Atau, kalau ada
waktu, antar saya besok, ke kantor perusahaan film. Terus kita jalan-jalan " Kereta
terus melaju dengan kencang. Masuk terowongan. Gelap.
MALAM han.
Suasana semarak. Para tamu memenuhi kursi undangan, dengan pakaian berbagai
mode. Beberapa orang wartawan, termasuk Giri berdiri, menunggu ob} ' . Soalnya,
tak sedikit artis yang datang. Juga beberapa orang pejabat.
Yang saling kenal, saling merangkul, berpelukan, sun-sun-an. Wajah-wajah sungguh
ceria, senyum cerah. Sama sekali, tak terlihat ada wajah murung.
Tiba-tiba, pandangan Giri terpaku pada seorang pemuda yang menggandeng seorang
wanita cantik. Berpakaian warna menyolok, wajahnya di make-up habis-habisan.
Giri yakin betul, p». da itu adalah... Handoko! Handnko suami kakaknya.
la»..___e Giri berdegup kencang.
157
Ingatannya terpaut kepada Rindu. Penderitaan Rindu.
Bajingan! Bisik hati Giri. Pantas Rindu tersiksa, kalau di belakang Rindu ia
nyeleweng! Pura-pura sj-buk, banyak kerjaan.
Ingat waktu Rindu melahirkan, seorang diri. Hati Giri kian geram. Saat itu, mau
rasanya ia menghampiri Handoko. Mencaci-maki. Menghajarnya di hadapan umum.
Tapi tidak. Giri segera sadar akibatnya. Takut akan lebih menyiksa perasaan Rindu.
Ketika acara Pagelaran Busana dimulai, para wartawan menyerbu ke depan.
Memotret dari berbagai posisi. Giri sengaja maju, membelakangi Handoko. Ia
memotret sambil berjongkok. Handoko sama sekali tak memperhatikan wartawan
yang berada di hadapi annya. Pandangannya seratus persen tertuju kepada tubuh
yang melenggang-lenggok memperagakan busana pantai.
Pada suatu saat, ketika wanita itu bersandar ke bahu Handoko dengan mesra, sambil
menunjuk sebuah pakaian yang diperagakan seorang peragawati, diam-diam Giri
mengabadikannya.
Kemudian Giri berdiri di hadapan Handoko, membalikkan badan ke arah para tamu,
pura-pura tak melihat Handoko. Maksudnya, biar Handoko tahu, bahwa dia ada di
situ. Dan Handoko memang segera
158
mengenal Giri. Wajahnya agak pucat. Ia berusaha merunduk, biar Giri tak melihat.
Jam sepuluh malam, Giri pulang. Ia naik taxi ke sebuah hotel. Sampai di dalam
kamar, Giri menyimpan tas, langsung berbaring. Pikirannya masih terpaut kepada
Handoko.
Mestikah aku memberitahukannya kepada Rindu? Mestikah aku memberitahukannya
kepada Ibu, Bapa, dan saudara-saudaraku? Mestikah aku memperlihatkan hasil
fotoku nanti kepada mereka? Kalau tidak, berarti aku membiarkan penderitaan Rindu
berlarut-larut.
Kalau kuberitahukan, aku ngeri membayangkan reaksi Ibu dan Bapa. Selama ini,
mereka senantiasa bertengkar, karena persoalan Rindu yang tak kunjung usai!
Giri memejamkan mata
Tilpon berdering. Ia segera mengangkatnya. "Hallo/' "Hallo."
"Ini Kang Giri?" "Iya. Ini Ningrum?" "Iya. Kang Giri... sudah pulang lagi?" "Habis
cape."
"Bagaimana, seneng nggak dengan tugasnya?" Giri tertawa.
159
Tugas wartawan musik dan film, selalu menyenangkan."
"Tapi nggak sampai lupa sama Ningrum, kan?" "Ooo... tidak. Jauh di mata, dekat di
perut!" Terdengar suara Ningrum tertawa. "Kang Giri, pasti kesepian, ya?" "Ah,
nggak. Jakarta begini rame koq." "Eh, iya. Pasti nggak dong. Sssttt... tentu di
samping Kang Giri ada selimut hidup, ya?" "Apa?"
"Selimut hidup!" Giri tertawa.
"Selimut hidup, atau Hidup untuk selimut?"
"Soalnya kan tinggal koling saja."
"Kalau ingin membuktikan ada selimut atau tidak, silakan saja ke mari."
"Iddiihhh ngaco."
"Ningrum sama siapa?"
"Sendiri. Kakak saya sudah tidur."
"Tentu sedang berkhayal tentang bintang film, ya?"
"Iya. Kalau misalnya saya diterima. Lantas disuruh adegan ranjang, dipikir-pikir
ngeri juga." "Ngeri atau seneng?"
"Ngeri. Bagaimana kalau lawan mainnya sudah tua, gemuk dan menyeramkan."
160
Giri tertawa.
"Resiko. Yang penting tokh asal beken." Ningrum diam tak menyahut lagi. "Koq
diam?" "Ngeri"
"Jadi mau urung saja?"
"Nggak tahu. Aneh, jadi ragu-ragu."
"Lho kenapa begitu?"
"Nggak tahu. Pokoknya Kang Giri besok datang, ya? Kalau tidak jadi, kita bisa main-
main. Ke mana saja. Atau kita ke pantai. Kang Giri foto saya di J3i-naria. Mau, kan?"
"Tapi besok saya harus ada di Bandung."
"Iya. Besok pulang sama-sama lagi. Naik kereta api terakhir."
Sepi.
"Udah, ya?" suara Ningrum mendesah.
"Ngantuk?"
"He-emh."
'"Okey. Selamat bobo."
"Kembali bobo, dengan selimut hidup."
Giri tertawa.
Tilpun diletakkan lagi.
Bayangan Ningrum, kini mengental. Ingat lagi tadi siang. Sebelum mengantar
Ningrum ke rumahnya di daerah Kebayoran Baru, ia mengajak Ningrum untuk
memesan tempat menginap di sebuah hotel kawasan jalan Thamrin.
Ningrum memang mencandai Giri. Kata Ningrum, di hotel mewah begitu, dengan
gampang bisa memesan teman tidur yang cantik. Giri menanggapinya cuma dengan
tawa.
"Wah, bisa-bisa saya nggak pulang. Duitnya terkuras," sahut Giri.
Aneh, kini Giri merasa begitu akrab dengan Ningrum. Ada getar-getar kerinduan,
tatkala berpisah dengan Ningrum. Sementara Ningrum, terasa selalu memberi banyak
peluang.
Giri memejamkan mata.
Menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.... mati!
***
162
BAGIAN KEDELAPAN
SIANG hari, Farida dan Palgunadi tiba kembali di rumah. Disambut oleh Puri,
Setyawati, dan pembantunya. Pak Husni belum pulang dari kantornya. Wajah Farida
nampak pucat, akibat perjalanan yang jauh dan cukup melelahkan. Tapi yang
sesungguhnya, hatinya pun gelisah menghadapi begitu banyak persoalan. Selama di
Bali, ia sempat menikmati keindahan Pulau Dewata sejenak, tapi pikirannya tak bisa
lepas dari Rindu. Rasanya, ia ingin segera rampung dan balik lagi ke Bandung. Entah
mengapa, rasa ngeri memikirkan Rindu, begitu melecut-lecut hatinya. Belum lagi, ia
memikirkan reaksi Pak Husni.
"Giri ke mana?" tanya Farida.
"Ke Jakarta. Katanya sih pulang hari ini."
163
Puri dan Setyawati memburu oleh-oleh. "Kang Gun! Bawa cincin dan gelang,
nggak?" tanya Setyawati.
"Ada. Tuh, di tas Ibu." "Buat saya juga?" tanya Puri. "Semua kebagian."
Farida masuk ke dalam kamar. Pikirannya benar-benar pusing dan kalut. Pernikahan
dokter Irawan berjalan lancar, meskipun orangtua Luh Sudari nampak kecewa,
karena tak dihadiri Pak Husni.
Tanpa berganti pakaian dulu, Farida langsung membaringkan tubuhnya di atas
ranjang.
Puri datang menghampiri.
"Ibu koq terus berbaring? Sakit, ya?"
"Pusing."
"Habis cape sih. Mau minum kopi, Bu?" "Iya. Kopinya agak pait."
Ketika Puri hendak melangkah pergi, Farida memanggilnya. "Riri."
Puri menghampiri lagi. "Ada apa, Bu?"
"Kau main-main ke rumah Rindu, nggak?" Puri menggelengkan kepala. "Wati?"
"Rasanya sih nggak."
164
"Rindu juga tidak ke mari?" "Nggak."
"Nanti sore tengok d«a, ya? Kalau ada waktu, suruh main-main ke mari dengan
anaknya "
Dulu juga Ceu Rindu saya ajak main-main ke ma Tapi dia nggak mau. Bilangnya sih,
takut anaknya masuk angin."
"Dengan Handoko, bagaimana? Tidak mendengar ada pertengkaran lagi?"
Puri menggelengkan kepala.
"Nggak tahu. Waktu itu, Mas Handoko sedang tak ada di rumah sih."
Farida menghela nafas.
"Bapa bagaimana?"
"Maksud Ibu?"
"Bagaimana reaksi Bapamu dengan kepergian Ibu?"
"Nggak tahu juga. Habis Bapanya diam terus."
Ketakutan itu kian membebani Farida. la tahu betul, kalau suaminya berdiam, berarti
menyimpan kemarahan yang besar.
Puri ke luar kamar, membuat air kopi.
***
165
BEGITU melihat Farida sudah datang, Pak Husni memandang ketus. Tidak
menyapa, juga tidak bertanya. Farida jadi serba salah. Ia biarkan saja dulu sikap Pak
Husni begitu. Kalau ditanya, takut amarahnya meledak di hadapan anak-anak.
Menjelang tengah malam, di dalam kamar, barulah Farida buka suara.
"Maafkan saya, Pa. Saya pergi tanpa sepengetahu-anmu. Saya telah melanggar
permintaanmu.*'
"Sudah kubayangkan, kau pasti akan berangkat," sahut Pak Husni ketus.
"Bagaimanapun saya tak bisa menurutkan kata hati. Saya tak tega. Irawan begitu
mengharap. Saya tak mau mengecewakan perasaannya."
"Tapi, imbalannya kau telah mengecewakan perasaanku! Menyakiti perasaanku."
"Demi Tuhan, saya tidak berniat begitu."
"Apa pun alasanmu, balasan terhadapku, dari kau, dari anak-anakku, selalu
menyakitkan."
"Jangan bicara begitu, Pa."
"Kenyataannya memang begitu! Rindu, Irawan, kau, atau yang lainnya... siapa tahu
tak bisa memenuhi harapanku! Tidakkah itu menyakitkan? Hatiku benar-benar
terpukul!"
Farida terdiam. Ya, Tuhan! Kenapa selalu pertengkaran yang mempertemukan aku
dan suamiku?
166
Tidakkah ada kebahagiaan terbersit di dalamnya? Tidakkah ada kelembutan,
kemesraan, yang selama ini amat kudambakan?
"Kita kini telah sama-sama tua. Telah melakukan serangkaian perjalanan yang jauh.
Aku telah berjuang, membanting tulang, untuk membangun rumah-"tangga kita,
masa depan anak-anak kita. Aku tak mengharap balasan materi. Aku akan merasa
bahagia, kalau anak-anakku bisa berhasil, bisa berumah-tangga dengan baik, tak
menyalahi ajaran agama."
Farida masih juga diam. Pak Husni kembali bicara.
'Tapi apa yang kudapatkan kini? Apa yang kuhadapi dalam masa tuaku ini? Kau lihat
sendiri, kan? Kau lihat sendiri? Begitu banyak kekecewaan menumpuk! Sejak kau
siksa aku dengan penyelewenganmu itu, hingga sekarang, yang kudapat cuma beban
penderitaan! Kekecewaan! Kekesalan! Bisakah kau mengerti hal itu? Bisakah kau
memahami perasaanku?"
Farida merundukkan kepala. Bening mengembang di kelopak matanya.
"Saya memang bersalah. Tapi... tapi tidak semua kesalahan ada pada saya."
"Kau selalu mengaku salah, tapi kau selalu merasa benar!"
"Pa!" Farida menatap Pak Husni. Seperti ada
167
keberanian yang menghentakkan perasaannya. "Kau pikir, aku senang melihat
penderitaan yang dialami Rindu? Kau kira aku senang melihat Irawan menikah
berlainan agama? Kau kira, aku senang tiap bicara dengan kau selalu dalam
pertengkaran terus? Kalau kau merasa tersiksa, aku juga sama saja!"
"Tapi semua gara-garamu! Kalau kau tidak gampang terpengaruh, kalau kau tidak
gampang terbujuk, kalau kau berwibawa, pasti takkan terjadi hal seperti ini. Atau,
karena memang kau menginginkan anak-anakmu seperti kelakuanmu di masa lalu?"
"Pa! Kau terlalu! Kau ungkit lagi masa laluku?"
"Biar kau tahu diri."
"Bapa kira, aku saja yang salah? Bapa pikir, Bapa saja yang benar? Sejak peristiwa
itu aku telah bertobat. Ketika kau memaafkan perbuatanku, sesungguhnya aku
bahagia sekali. Karena kau telah menyelamatkan aku dari kehancuran. Aku bangga
sekali akan keluhuran budimu. Tapi apa yang kudapat sesungguhnya? Kau ternyata
masih menyimpan dendam! Kau telah mengacuhkanku. Kau menyapaku, mengajak
aku bicara, hanya karena basa-basi di hadapan anak-anak atau di hadapan famili dan
tamu kenalanmu! Selebihnya, yang nampak adalah keadaan hatimu yang
sesungguhnya!"
Kini giliran Pak Husni yang terdiam. Ada sesuatu
168
yang begitu tajam menusuk perasaannya. Farida masih belum puas, ia masih terus
mau membalas melontarkan unek-uneknya.
"Kenapa aku nyeleweng? Mestinya kau memahami. Tanyalah kepada dirimu sendiri.
Mengapa isterimu nyeleweng? Kenapa?"
Pak Husni memejamkan mata.
Inilah puncak dari segala penderitaannya yang terpendam. Dalam benak Pak Husni
terbayang lagi peristiwa itu. Peristiwa sebelum pernikahan berlangsung dengan
Farida. Waktu itu, ia naik kendaraan bersama isterinya. Nasib malang, kendaraan
oplet yang ditumpanginya bertabrakan dengan bis Damri. Isterinya meninggal
seketika. Tapi ia sendiri, meski selamat, harus menanggung beban penderitaan.
Akibat kecelakaan itu, fungsi alat vitalnya jadi tak normal. Tidak bisa memuaskan.
Farida menatap Pak Husni. Menunggu reaksi. Ketika Pak Husni tetap diam, ia bicara
lagi.
"Aku juga telah berkorban banyak, Pa. Kau memang telah berusaha keras, sampai
kita bisa hidup cukup. Anak-anak kita besar dan bisa meneruskan studinya. Tapi
selama ini, kau tidak pernah memberi nafkah bathin. Tidak pernah melakukannya.
Tidak pernah. Aku seperti tidak punya suami. Kebahagiaanku tidak lengkap. Waktu
itu aku hilap. Aku masih muda.
169
Salahkah aku? Dan di hadapanmu, aku telah janji akan bertobat. Aku telah
melaksanakan janji itu. Aku telah melewati perjalanan hidup ini dengan sejumlah
beban yang menghimpit perasaanku. Aku telah menipu diriku sendiri, untuk tidak
menerima bayangan muluk tentang dambaan kebahagiaan bathin yang diharapkan
seorang isteri. Semua, karena aku merasa berdosa padamu. Merasa kau angkat harga
diriku."
Pak Husni diam terpaku. Matanya berkaca-kaca.
Tiba-tiba, keharuan begitu dalam, menelusuri bathin Farida. Ia seperti merasakan,
gejolak kedukaan dalam hati suaminya. Farida menjatuhkah dirinya ke dalam
pelukan Pak Husni.
"Maafkan saya, Pa. Saya tak bermaksud menyakiti perasaanmu."
"Kau benar," suara Pak Husni bergetar, memelas. "Mestinya lelaki seperti aku, tak
punya isteri. Aku telah menyiksa perasaanmu. Aku telah membuat derita begitu
panjang membebani hatimu. Selama ini, aku terlalu dihantui bayangan menyakitkan
itu. Mestinya aku tahu diri. Mestinya saat itu aku...."
"Tidak. Pa. Jangan ucapkan itu. Saya bahagia. Saya bahagia. Semua sudah menjadi
milik saya. Semua sudah menjadi suratan saya. Saya harus menerimanya."
Pak Husni menghela nafas dalam-dalam.
170
"Kalau saja..... kalau saja aku punya anak dan
kau Kalau saja aku tidak begini....'"
"Jangan ucapkan itu, Pa," Farida tersendat. "Hari tuaku yang malang." "Jangan
menyalahkan nasib." Keduanya lalu terdiam. Sepi terasa menikam.
***
TANPA ada anak-anak di rumah, suasana terasa sepi sekali. Malam ini, Puri dan
Setyawati menginap di rumah Rindu. Kemarin Rindu kirim surat kepada Farida,
bahwa Handoko akan ke Medan selama seminggu. Rindu meminta, selama itu,
Setyawati dan Puri menemaninya. Biar tidak terlalu sepi.
Palgunadi sedang melakukan tour ke Candi Borobudur. Sedangkan Giri, bertugas
malam han.
Di rumah, hanya Farida dan Pak Husni.
Bel terdengar berdering.
Jarum jam menunjukkan angka tujuh.
Farida bergegas menghampiri. Segera membuka pintu. Agak kaget juga, sebab di
hadapannya berdiri sepasang suami isteri sudah tua, tapi masih kelihatan gagali. Ada
sedan diparkir di halaman.
171
"Selamat malam. Bu. Apakah iuj rumahnya Giri9"
"Betul. Ibu siapa9"
"Saya orangtuanya Ningrum."
"Ningrum?"
"Betul. Ini Ibunya Giri kan?"
Farida menganggukkan kepala, kendatipun masih penasaran tentang nama Ningrum.
Rasanya ia belum kenal dengan nama itu. Apa pula hubungannya dengan Giri?
"Man silakan masuk," ajak Farida.
Keduanya masuk ke dalam. Farida segera memberitahu Pak Husni. Kemudian,
keduanya berdampingan menghadapi tamu.
"Bapa dan Ibu ini siapa. ya9" tanya Pak Husni.
"Kami orangtuanya Ningrum."
"Ningrum itu siapa'1"
"Lhc. masa Bapa tidak kenal9 Ningrum itu... pacarnya anak Bapa. Pacarnya Giri."
Pak Husni manggut-manggut. Farida sudah kecut, ia seakan telah bisa menebak, apa
yang terjadi pada anak tamunya itu.
"Sungguh. Kami belum pernah kenal puten Bapa. Rasanya, dia belum pernah
berkunjung ke mari," kata Farida.
"Justru itu. Kami datang ke man, sesungguhnya
172
mau membicarakan soal Giri dan Ningrum."
"Nlemangnya ada apa?" tanya Pak Husni. mulai curiga.
"Yaaa... mau apalagi, Pa. Punya anak perempuan jaman sekarang, begitu
merumitkan. Maksudku, ada suatu peristiwa yang terjadi di luar pengetahuanku."
"Peristiwa bagaimana?" tanya Farida.
"Njngrum, anak saya, hamil."
Farida dan pak Jiusni sama-sama tersentak.
"Hamil? Hamil bagaimana maksud Bapa?"
"Hamil, ya hamil," sahut Ibu Ningrum.
"Maksud saya, siapa yang telah menghamilinya?" tanya Farida.
"Siapa lagi kalau bukan putera Bapa, Giri. Ningrum mengatakannya begitu."
Bagai ada halilintar yang bergema di sepi hening. Pak Husni dan Farjd.i sama-sama
terkejut.
"Giri yang berbuat?" tanya pak Husni, seakan tak percaya.
"Iya," sahut ayah Ningnun.
"Mustahil."
"Betul. Ningrum sendiri yang mengatakannya, Pa."
"Benar-benar aneh. Aku yakin, anakku tidak akan sebodoh, jtu untuk menghamili
puteri Bapa!"
Tiap prangtua, saya kira punya perasaan sema-
cam itu. Tapi bagaimana kalau vijudi di luar kekuasaan kita? Di luar pengetahuan
kita? Tokh Bapa tidak pernah terus mengetahui, bagaimana sepak terjang anak
Bapa."
"Anak saya kerja di sebr.ah surat-kabar. Waktunya sibuk, banyak tersita clrh tugas.
Rasanya mustahil, kalau bisa berkencan begitu jauh dengan puteri Bapa. Lagi pula,
kalau benar dia sudah punya pacar, Giri pasti mengenalkannya lebih dulu. Terus
terang saja, Giri itu anak baik." kata Farida.
"Ingat, Bu. Baik di rumah, belum tentu baik pula di luar rumah," sahut ayah
Ningrum.
Pak Husni menghela nafas, lalu merunduk. Mencoba mententeramkan perasaannya.
'IYaaa, kalau memang benar, anak saya mengha-miliki puteri Bapa, saya bersedia
menikahkannya. Tapi saya perlu tahu lebih dulu dari Giri, apakah benar ia telah
berbuat seperti itu?" kata Pak Husni, agak kalem.
"Silakan saja buktikan. Yang penting, saya menunggu keputusan Bapa dan Ibu.
Jangan sampai aib yang menimpa anak saya ini jadi berlarut-larut," kata ayah
Ningrum.
"Saya kira lebih bijaksana begitu," kata Farida.
Setelah orangtua Ningrum pamitan pulang, Farida dan Pak Husni duduk di ruang
tengah berhadapan.
174
Mula-mula merenung, wajahnya sama-sama lesu tapi tegang.
"Kalau memang benar, ternyata cobaan yang menimpa ini belum juga berakhir,"
gumam Pak Husni.
"Rasanya aku tak percaya. Giri itu anak baik. Sangat mencintai keluarga," kata
Farida lemah.
"Barangkali karena itu. Karena kita terlalu yakin akan anggapan, bahwa anak kita
baik, sehingga kita tak sempat berpikir tentang kejelekan-kejelekannya."