Anda di halaman 1dari 33

Lampiran Wawancara

Lampiran I

Transkrip Wawancara dengan Pihak Terapis di YPAC

Tri Winarno, SST. OP

Identitas Informan

1. Nama : Tri Winarno, SST. OP

2. Jenis Kelamin : Laki-Laki

3. Pekerjaan : Terapis di Terapi Okupasi Yayasan Pembinaan Anak Cacat

(YPAC) Solo

4. Tanggal Wawancara : 21 Juni 2022

5. Link Wawancara : https://drive.google.com/file/d/18JGL7hlcCoGrGEC-

OiJ2hOipO5A8Jksf/view?usp=sharing

Hasil Wawancara:

1. Menurut Pak Tri sendiri sebagai penerapi Alzio, Hilmi dan Adnan yang menangani

secara langsung, kondisi mereka saat ini bagaimana?

Jawab:

Kalau untuk tiga pasien tadi, baik Hilmi, Zio sama Adnan secara umur sudah

jauh lebih baik dibandingkan ketika awal masuk. Meskipun demikian, bukan berarti

bahwa setiap persoalan atau masalah yang dihadapi ketiga anak tersebut selesai.

Artinya misalkan Pak Tri menyampaikan saat ini perkembanganya sudah jauh lebih

baik, ada tanggung jawab dari Pak Tri lagi untuk meningkatkan kemampuan ketiga

anak tersebut pada aspek yang lain.

65
Perkembangan jauh lebih baik bagaimana? Kalau Pak Tri secara umum, ini kan

mengamati dengan tiga hal:

a. Satu, dari sisi perilakunya. Ketiga anak tersebut sekarang perilakunya sudah

jauh lebih tenang. Kalau awal-awal terapi itu kan sulit untuk dikendalikan.

Selain dari sisi perilakunya, ini juga dari sisi emosinya. Ketiga pasien yang tadi

sudah Pak Tri sampaikan, ini pada awal-awal ini kan, pengelolaan emosinya

belum baik. Kadang merengek, kadang mudah menangis, kadang mudah

tersinggung dan mudah bosan sama salah satu mainan, kalau mainannya gak

suka diberantakin. Tapi kita bersyukur saat ini sudah jauh lebih baik. Itu dari

sisi perilaku.

b. Poin yang kedua adalah dari sisi kemampuan merespon ke lingkungan sekitar.

Kalau dulu ketiga anak ini kan minim banget responnya. Memang peningkatan

respon ini secara anak kan beda-beda ya, Dek, ya. Kalau Zio ini sudah

meningkat responnya tapi memang cenderung masih agak minim respon

terhadap kita ya waktu interaksi. Tapi kalau untuk Hilmi, ini jauh lebih bagus.

Respon moody kalau untuk Hilmi. Kemudian kalau si Adnan ini juga responnya

sudah ada meskipun belum sebagus yak Pak Tri harapkan.

c. Kemudian yang ketiga ini adalah segi kematangan geraknya. Kalau Zio dulu

kan memang, awalnya kan perkembangan geraknya terlambat banget. Mulai

dari berguling, duduk, macam-macam sampai berjalan kan terlambat. Pak Tri

kan karena menangani khusus Zio menangani dari awal, dari belum bisa jalan

baru bisa duduk yang masih belum jejeg (belum lurus/tegap). Sampai sekarang,

bersyukurnya sudah bisa berjalan meskipun keseimbangannya belum sempurna

tapi sudah lebih bagus. Kemudian kalau Hilmi, Hilmi ini dia bisa jalan, bisa

kemana-mana tapi pengelolaan kualitas jalannya belum bagus. Jadi misalkan

66
aktivitas yang berhubungan dengan kaya (seperti) sepedaan, naik-turun tangga

atau lempar tangkap bola ini, gerakannya belum smooth–belum oke lah. Si

Adnan pun juga begitu, karena geraknya banyak kemana-mana sehingga

sepintas geraknya gak ter-manage, tidak terkelola dengan bagus.

2. Menurut Pak Tri ada atau tidak kemungkinan ketergantungan anak autisme terhadap

youtube?

Jawab:

Kalau Pak Tri bicara ketergantungan, potensi itu ada ya. Tetap ada sih, cuma

berapa persen Pak Tri tidak bisa memprediksi. Tapi disisi lain seberapa besar

ketergantungan anak terhadap youtube, ini kan sebetulnya bergantung pada bagaimana

kita mengelolanya, memfasilitasinya. Nah, aspek apa pada youtube yang bikin anak

ketergantungan ini yang dari sisi terapis harus kita urai.

Misalkan gini, kalau Adnan bisa jadi dia tertarik sama visualisasi. Tapi kalau

Hilmi, bisa terjadi bukan dari visualisasi/tampilan yang dia lihat, tapi yang dia

dengarkan. Jadi kalau dia melihat, belum tentu dia mendengarkan.

Misalkan kita kembalikan ke potensi ketergantungan, jawabannya ada. Tapi,

potensi tersebut akan kita kelola atau tidak? Cara mengelolanya ya kita berarti

bagaimana kita mengatur. Semakin kita mampu mengelola, baik durasi, frekuensi, sama

kontennya sendiri, saya kira potensi bisa kita kendalikan.

3. Menurut Pak Tri sendiri indikasi yang melihat bahwa anak ini ketergantungan dilihat

dari mana?

Jawab:

Paling menonjol adalah dari sisi perilaku sama emosinya. Jadi manakala anak

sudah ketergantungan karena youtube, ketika dia tidak melihat youtube, itu kan dia akan

67
memiliki kaya (seperti) kecemasan dalam tanda kutip stres. Kecemasan atau stres itu

manifestasinya adalah si anak akan temperamental, emosional. Perilakunya jadi

berlebihan, reaksi penolakannya jadi berlebihan padahal ini tidak hanya terjadi pada

anak-anak ABK (anak berkebutuhan khusus), pada anak-anak yang perkembangan

remaja punya problem yang sama. Paling nampak memang dari perilaku. Perilaku itu

kalau kita pecah itu menonjol lagi dari emosi. Sulit dikendalikan, kalau kemungkinan

lagi jadi tantrum-tantrum, paling berlebihan lagi kalau sangking marahnya bisa mukul

kepala sendiri kalau gak terlayani youtubenya.

4. Apakah ketergantungan ini bisa dilihat dari tingkat parah, sedang dan ringan kondisi

anak autisme?

Jawab:

Kalau bisa, Pak Tri jawabnya mungkin bisa. Jadi semakin parah anak autis, itu

kan kecenderungan problem (masalahnya) semakin banyak. Nah, kalau problemnya

semakin banyak, ini kan berarti kita harus meminimalkan intake (pemasukan/sumber

daya baru) yang masuk biar tidak memperparah problemnya, kan begitu. Nah,

sementara youtube ini kan sebuah intake. Kalau intake ini tidak dikendalikan yang dia

sudah parah, kira-kira tambah apa?

Beda lagi kan kalau misalkan anak autisnya ringan. Dia bisa mengontrol dirinya

sudah bagus, intake masuk pun, ini kan bahkan nanti pun akan memperparah. Tapi

kalau anak sudah parah dulu, anak parah itu saya anggap problemnya ada sepuluh (10).

Dengan problem sepuluh (10) ini aja, dia kan banyak hambatan dan dia kesulitan untuk

fokus dan macam-macam ditambah lagi untuk intake ini. Sebenarnya intake ini kan

belum tentu berdampak negatif, kan? Tapi sejauh bagaimana intake itu kita kendalikan.

Nah, pada anak dengan stadium yang parah, dengan problem sepuluh (10), kita kasih

intake ini kira-kira memperberat beban mereka gak? Dari derajat ringan, sedang dan

68
berat, sebenarnya kita sendiri sudah bisa punya panjer ini (patokan) bahwa intake

youtube ini bisa gak masuk.

Sama halnya pada anak-anak normal misalkan, sekarang kalau anak-anak

normal yang misalkan–maaf ya–misalkan dia pada range kecerdasan yang standar,

yang orang tua harus ngelesi (memberikan pelajaran les/tambahan) baca tulis,

berhitung, macam-macam. Sekarang ada intake baru yang dia harus menguasai lebih

banyak lagi, kira-kira menambah beban pada anak itu gak? Maaf ya–misalkan harus les

sempoa, bahasa jawa, bahasa arab, bahasa mandarin, padahal anak ini dengan

kemampuan yang standar kan menjadi beban. Akhirnya akan berdampak pada

perkembangan akademiknya di sekolah. Sama juga anak autis. Anak ABK dengan

problemnya sudah banyak ada intake, sebenarnya intake ini tidak terus bermakna

negatif, kan? Tapi kalau saat ini masuk, pada anak dengan stadium berat kira-kira

menambah beban gak? Beban itu bukan beban yang istilahnya main-main, karena

ketika intake ini sudah masuk jadi ketergantungan padahal dia masih menyimpan

problem sepuluh (10) ini. Youtube masuk, kecanduan, tambah masalah gak? Nah ini

kan tantangan terapinya jauh lebih berat.

5. Kalau Alzio, Hilmi dan Adnan masuk ke kriteria yang mana? Berat, sedang atau ringan?

Jawab:

Kalau dari urutan paling ringan itu Hilmi. Naik di atasnya itu–nah ini irisannya

tipis banget sih, hampir sama antara Zio sama Adnan. Cuma kalau dari sisi potensinya,

potensial Adnan daripada Zio. Kenapa seperti itu? Karena Zio itu basicly nya dia ada

problem keterlambatan gerak di awal karena itu pengaruh–mempengaruhi sekali. Jadi

adanya satu sistem tumbuh kembang anak yang delay (terlambat) di awal, ini akan

mempengaruhi sistem yang lain. Jadi urutannya gitu ya, paling ringan si Hilmi, kalau

69
dia ini (Zio dan Adnan) sebenarnya setara sih, kalau potensinya mending (lebih baik)

si Adnan. Problem penyerta yang lain, itu kan kalau si Zio itu kan dulu juga ada problem

di jantung. Sebenarnya secara tidak langsung juga berdampak pada kapasitas fisiknya.

Kapasitas fisik hubungannya anak sering sakit, imunnya mudah turun.

6. Menurut Pak Tri apakah boleh anak berkebutuhan khusus atau autisme mengakses

youtube?

Jawab:

Kalau pertanyaan mendasar, jawaban mendasarnya boleh. Jadi tidak semua itu

dilarang, kan. Dasarnya itu boleh. Tetapi, (1) Who? Siapa?, (2) What? Apa? Yang

dilihat itu apa?, (3) When? Kapan lihatnya?, (4) How? Bagaimana dia melihatnya?

Sekedar melihat? Apakah didampingi? Atau didampingi sambil diedukasi?

Nah, tetapi dari apa yang Pak Tri sampaikan, kalau dasarnya boleh itu tidak

berlaku untuk semua mutlak boleh. Jadi kalau–ini menurut pendapat Pak Tri ya–kalau

untuk anak ABK khususnya autis dan jenis itu, dari seratus persen (100%) yang boleh

hanya sepuluh persen (10%) kalau menurut Pak Tri. Karena gini lho dek, ini HP–dia

kan lihat youtube–HP ini kan benda mungkin tampilan visualisasi entah gambar entah

suara.

Padahal problem terbesar anak autisme itu apa? Dia kesulitan interaksi dengan

lingkungan real (nyata). Nah lingkungan real itu kan ada orang terdekat, ada saudara,

ada kakak, ada orang ketemu di pasar. Problem utama anak autis itu kan dia problem

interaksi sosialnya. Sementara–maaf–sama-sama kita mengedukasi, mengenalkan

konsep warna. Jenengan (anda) pakai youtube–pakai animasi, wah menarik ya. Tapi

kan prinsipnya lewat alat kan? Nah, kenapa gak interaksi langsung saja ngajarinnya

(mengajarkannya)? Satu, dia belajar konsep warna. Kedua, dia belajar interaksi

70
memahami–mendengar dari orang ke orang. Jadi kurang lebihnya begitu, bukan Pak

Tri bilang tidak boleh.

Makanya kalau misalnya Pak Tri bilang “tidak boleh”, itu kan gak bisa. Karena

tidak ada hukum yang melarang anak autis melihat youtube kan. Tapi minimal ketika

Pak Tri bilang “boleh”, kalau Pak Tri punya persentase ya sepuluh persen (10%) aja,

sembilan puluh persennya (90%) janganlah. Karena anak autis itu kan problem

pertamanya kegagalan interaksi dengan lingkungan, akhirnya tidak memahami perintah

bahkan konsep diri dia siapa aja tidak mengerti.

71
Lampiran II

Transkrip Wawancara dengan Pihak Guru yang Menangani Anak Autisme

Nimrot Erikson

Identitas Informan

1. Nama : Nimrot Erikson

2. Jenis Kelamin : Laki-Laki

3. Pekerjaan : Guru yang menangani anak berkebutuhan khusus (autis)

4. Tanggal Wawancara : 23 Agustus 2022

5. Link Wawancara : https://drive.google.com/file/d/1n--

YuGuMXMaFUkOGV0dA_5HKK0paOeO3/view?usp=sharing

Hasil Wawancara:

1. Sudah berapa lama bapak menangani anak autisme?

⇒ Kalau menangani anak-anak autis itu, saya diperkenalkan dari tahun 2006 di lembaga

Yayasan Autis Indonesia. Dari situ dikenalkan satu karakteristik anak yang sangat unik

untuk seorang anak yang notabene kalau saya lihat normal. Tapi kalau diteliti lebih

dalam lagi beda sama anak yang lain. Nah dari situ ketertarikan saya di 2006 hingga

saat ini. Nah saya sudah keluar masuk yayasan dari Yayasan Autis Indonesia, AGCA

Center, satu juga di Klaten ( salah satu yayasan di Klaten) dan sekarang ya privat

72
kebutuhan anak autis ke rumah-rumah. Masih setiap hari melayani tapi tidak full setiap

hari; jadi per jam nya diatur jadi tidak full setiap hari.

2. Menurut Pak Erik sendiri, bagaimana dengan keunikan dari anak-anak autisme ini?

⇒ Keunikan mereka itu di luar dari apa yang kelihatan normal ya. Ya seperti—salah

satu—mereka bisa memandang sesuatu yang jauh. Sementara kita itu memandang

hanya beberapa meter dan beberapa lama. Tapi kalau anak-anak yang seperti anak-anak

autis itu memandang ke depan sampai jauh dan bisa menstimulus kan dirinya sendiri

tersenyum, tertawa, sampai emosi tidak terkontrol. Jadi unik, kalau saya bilang sih unik

dan berkarakter.

3. Menurut Pak Erik sendiri, bagaimana media massa mempengaruhi anak autisme?

⇒ Kalau media massa sebenarnya mempengaruhi tapi bisa juga tidak mempengaruhi.

Kalau mempengaruhi itu kalau anak itu diperkenalkan, atau secara tidak langsung kita

tanpa sadari bermain hp di depan anak, ya pasti anak itu akan mengikuti dan meniru.

Apa yang dilihat, apa yang di dengar, suatu saat anak itu akan berekspresi. Tidak

terpengaruhnya kalau anak itu tidak diperkenalkan. Istilahnya tidak dekat dengan media

tersebut, istilahnya secara fisik tidak kontak/pegang langsung, tidak memainkan

langsung/tidak melihat dan mendengar hp dia yang mengeluarkan apa, acara atau suara

atau gambar. Karena anak-anak autis ini sangat tertarik dengan gambar dan suara.

Apalagi video. Nah mereka ini sangat tertarik, kalau sudah tertarik mereka itu sangat

lengket dan sangat kuat untuk selalu melihat seperti orang ketagihan. Itu tanpa

pengawasan dari orang tua atau tanpa pengawasan dari orang di sekitar lingkungan.

Kalau dampaknya ya banyak yang berdampak dari negatifnya anak tidak bisa

bersosialisasi, tidak bisa berinteraksi dengan orang lain, tetapi mereka akan fokus

terhadap media tersebut. Nah kalau untuk dampak positifnya kalau diarahkan, anak

73
tersebut ya bisa dikembangkan ya seperti keterampilan atau seni, seperti menyanyi atau

bermain musik dalam media tersebut.

4. Apa saja yang menjadi indikasi yang bisa memancing ketergantungan terhadap media

(youtube)?

⇒ Ketergantungan mereka itu karena menarik. Menarik untuk dilihat, menarik untuk

ditonton, menarik juga untuk diekspresikan. Ya seperti kalau mereka melihat sesuatu

yang menurut kita biasa aja, tapi menurut mereka itu luar biasa dan mereka itu sangat

mengekspresikan seperti tertawa sendiri, teriak sendiri, karena kalau sudah lepas dari

situ—dari media tersebut—terkadang mereka merasa seperti mereka yang baru

berakting di youtube. Ini kesan yang reflek, tapi mereka bukan di youtube. Ya

sepertinya mereka berputar, mereka teriak, atau lompat atau menirukan gerakan atau

gambar dari media tersebut.

5. Selama Pak Erik menangani anak-anak berkebutuhan khusus, adakah anak-anak yang

mengalami ketergantungan seperti ini?

⇒ Ya, ada ketergantungan. Ini bukan hanya laptop, bukan hanya hp ya. Sudah setingkat

di atas hp seperti iphone atau notebook. Ini sangat luas sekali spacenya. Ada yang saya

kenal itu tidak ketergantungan tapi memang dia bisa menempatkan kapan waktu, kapan

dia pegang medianya. Ya memang itu sudah diatur sama orangtuanya. Kalau waktu

yang istilahnya anak tersebut tidak berkreasi atau tidak berkreatif ya itu dikasih hp. Tapi

kalau anak tersebut secara kondisi seperti belajar, makan, atau mau apa, itu hp

diletakkan. Media tersebut diletakkan atau disimpan ya seperti kalau sudah jam, ya anak

tersebut sudah tidak bermain hp lagi.

Dan itu yang saya bilang tadi, tergantung lingkungan. Kalau lingkungan mendidik anak

dari awal, memperkenalkan hp dari awal dengan baik ya otomatis kita bisa

74
mengendalikan. Tapi kalau untuk anak yang sudah terlanjur memang berat. Di sisi lain

kita memperbaiki ketergantungannya, di sisi lain kita memperbaiki karakternya.

6. Bagaimana jika ketergantungan ini dinilai dari sisi parah-ringannya (berat-ringannya)

kebutuhan anak autisme, menurut Pak Erik bagaimana?

⇒ Berat dan ringannya itu kalau dilihat dari polanya. Kalau saya melihat pola anak

itu—seperti anak hiperaktif dengan aktif, kadang-kadang orang itu menyamaratakan.

Jadi kalau umpamanya anak yang aktif itu seperti tidak mau diam, ya tapi kalau anak

yang hiperaktif itu memang di luar dari kekuatannya. Memang tingkatannya tidak bisa

dinilai ya, tapi memang ada tingkatannya yang ringan, sedang sampai berat.

Kalau berat itu memang sudah tidak bisa dilepas dari media tersebut dan tidak bisa juga

dipelajari kecuali dilatih untuk mengalihkan media tersebut dari hp. Kalau yang ringan

seperti yang saya bilang tadi ya memang ketergantungan tapi memang itu jadi seperti

reward atau istilahnya mengisi jam kosong. Kalau yang sedang itu ya dia masih kalau

dibilang, di satu sisi dia butuh, di satu sisi dia bisa tidak terpengaruh dari media tersebut.

Jadi kalau nilainya itu yang dibutuhkan itu bukan dari nilai ya, tapi dari karakteristik

anak, dari polanya. Orang tua juga bisa menilai, “Anak saya itu kok seperti ini, beda

sama anak-anak yang lain ya.” Bisa menilai karakter/polanya. Jadi kalau untuk

langsung to the point ya nanti anaknya jadinya suatu kebanggaan juga buat anak

tersebut dia bisa dibilang hiperaktif. Padahal sebenarnya itu sudah nilai kurang baik

sebenarnya kalau hiperaktif. Nah seperti itu ya kalau penilaian dari saya, kalau ya

ringan, sedang dan berat. Ya kalau untuk mengatasinya ya masing-masing orang tua

dan lingkungan dan pendidik atau terapis juga yang bagaimana caranya untuk

mengimbangi dari ringan, sedang, berat. Jadi gak langsung, “Oh ini berat, jadi harus

diringankan.” Tidak bisa. Prosesnya lama.

7. Jikalau dari sisi emosinya, tingkatan yang berat seperti apa?

75
⇒ Tingkat yang berat itu ya bisa seperti menyerang dan kalau saya bilang itu kasar.

Seperti dia melihat sesuatu yang berulang-ulang di media atau melihat yang buruk dari

media, itu bisa dia lakukan di dalam kehidupan sehari-hari. Dia merasa itu ya dia

sebagai aktornya, sebagai pelakunya dan dia merasa seperti kita melihat superhero, saya

ingin menjadi superman. Superman terbang ya lompat dari gedung tingkat tinggi kan

bisa saja. Dia merasa superhero. Ya istilahnya beratnya dari karakter anak ya,

bawaannya ya istilahnya sudah tidak terkontrol. Anak tersebut sudah tidak bisa

membatasi mana media, mana dunia maya, mana di dalam hidupnya, di dalam

lingkungannya; campur aduk. Apalagi kalau umpamanya anak tersebut dilarang atau

dicegah. Jangankan dilarang atau dicegah, kita sembunyikan saja dia pasti mencari.

Tapi kalau dia cari tapi tidak ketemu, nah itu emosinya, marahnya keluar. Karena

frustasi tidak ketemu. Nah kalau sudah frustasi anak tersebut ya istilahnya marah,

menyerang siapa yang di dekat dia. Dia merasa, “Kalian itu membuat saya frustasi.

Kalian itu membuat saya jadi marah.” Karena memang disitu banyak kesalahan dari

kita, biar anak anteng, biar anak itu diam atau istilahnya biar gak hiperaktif atau tidak

aktif, ya kita kasih media tersebut. Kadang orang tua itu yang super sibuk, ya sudah

daripada repot, daripada ribet, ya sudah ni main hp, main game. Ya itu ya akibatnya ya

jadi seperti itu, kalau sudah lengket, kita sembunyikan saja dia marah, apalagi dilarang

apalagi dicegah. Jadinya ya crash antara orang tua dan anak, seperti itu. Tidak dapat

hidup sejahtera.

8. Jikalau dari segi emosi yang sedang dan yang ringan seperti apa?

⇒ Kalau yang ringan itu ya dia mengerti, sudah tertata ya. Jadi kalau umpamanya itu

kalau dia belajar ya itu media ditinggal. Jadi kalau yang sedang itu dia masih nanti

belajar ya, nanti les ya, tapi dia seperti, “Ya, Ma, tapi hp saya pegang ya.” Tapi

istilahnya itu masih dipegang, tapi dia masih merespon instruksi atau perintah dari

76
orang tua, dari guru atau dari di sekitarnya. Tapi kalau yang berat itu sama sekali tidak

bisa diapa-apakan. Jangan dilarang jangan dimarahin. Apalagi disembunyikan. Kalau

disembunyikan, sama saja istilahnya kita ngakal-ngakalin dia (mengakali). Sementara

dia tidak mau diakal-akalin (diakali). Kan sudah diajarin, sudah dikasih, kenapa

sekarang diambil. Seperti dipermainkan.

9. Apakah terdapat anak yang berada di tingkatan sedang, mengalami ketergantungan dan

dia emosi?

⇒ Ada. Ada juga yang jadinya dia ini hilang medianya. Jadi kalau yang sedang itu

masih bisa diarahkan tapi kalau yang emosi itu, tergantung dari media itu, itu bisa

muncul emosinya kalau lagi mood (moody), badmood atau istilahnya sesuatu yang dia

lihat dari media tersebut mempengaruhi emosi dia.

Jadi anak didik saya itu lihat cerita Upin Ipin, ekspresi sedih. Jadi dia merasa terharu

tetapi tidak sadar kalau dia lagi di jam belajar. Kalau ditanya kenapa seperti itu,

“Kenapa kok sedih?” Dia jadinya malu. Kaget, ‘loh ini ternyata belajar, ternyata aku

sama orang lain bukan di dunia media lagi’. Jadi kadang-kadang jadinya ya udah cerita

aja gapapa. Jadi jangan dimalu-maluin lagi. Istilahnya saya pancing, kadang saya mau

ketawa tapi ya ini lagi serius. Upin Ipin dimarahi Kak Ross, Upin Ipin nangis lapor ke

neneknya. Dalam hati saya, ‘Astaga sampai terekspresinya sampai masuk ke hati’. Saya

bantunya untuk keluar dari ekspresinya dia. Nah sekarang Upin Ipin dimana? Dia

bingung Upin Ipin dimana, tidak bisa cerita. Ya sudah pokoknya saya kasih cerita yang

istilahnya mengubah karakter dia itu yang lagi terharu dengan kisah Upin Ipin itu jadi

saya ubah dengan cerita lain supaya kembali fokus belajar. Tapi tidak langsung, kaya

tadi saya sebenarnya sudah menahan geli, udah mau ketawa, tapi karena ini takutnya

anak tersebut jadi takut diketawain, takut direndahkan jadi saya terima ekspresi dia.

77
‘Waduh sedih sekali ya ceritanya’. Sampai dia tanya, “Pak Erik pernah tahu Upin Ipin?”

katanya gitu. Ya udah, jadi interaksinya ya udah beda lagi dan sebutannya sudah tidak

Upin Ipin. Saya ceritanya ya si kancil juga si apa yang lebih ini lagi—kembali pulih.

Kalau sudah pulih berarti sudah selesai nah itu harus disingkirin baru masuk materi

pelajaran.

Nah kalau saya kemarin saya dapatkan pelajaran dari YAI, jadi cara penanganan anak

itu tidak seperti reguler ya kalau terapi pendidikan itu ya gak langsung masuk kelas

buka buku belajar. Tarik ulurnya lebih banyak.

10. Saya pernah mendengar dari orang lain, sebenarnya anak autis tidak dianjurkan untuk

menggunakan youtube. Kalau menurut Pak Erik seberapa batasan boleh tidaknya

penggunaan youtube?

⇒ Bukan hanya youtube, tapi handphone sama laptop—pokoknya elektronik—sama tv

juga, di waktu pertama muncul internet itu bukan youtubenya yang dilarang atau

dicegah. Kalau anak pegang handphone kan sudah semua tercantum. Nah, kalau dia

youtubenya ada yang memang perlu, misalnya mencari lagu, atau mencari apa, seperti

itu. Tapi ya tetap kendali dipegang orang tua atau guru. Karena kan kalau untuk hp

tersebut gak bisa tahu anak itu youtube, whatsapp atau tiktok kita kan tidak tahu. Jadi

langsung diambil. Makanya sekarang kan sekolah-sekolah hp ditinggal di rumah. Bisa

aja sekarang kan anak lebih canggih dari yang kemarin-kemarin. ‘Bisa aja hp saya cuma

youtube, Pak’.

Ya memang kalau youtube pengaruh sangat banyak ya. Banyak banget sekarang

konten-konten yang istilahnya saudara, atau teman atau orang yang punya koneksi

78
istilahnya sama-sama punya channel, jadi kan saling membangun. Jadi kan memang

dibutuhkan. Tapi kalau untuk anak seperti ini kan itu jadi hiburan buat dia sendiri, dunia

buat dia sendiri. Jadi kalau disarankan sih ya bukan cuma youtubenya tapi handphone

nya juga dikurangi. Istilahnya kalau dikasih ya diawasin. Kalau mau kasih hp ya

istilahnya kalau orang tua itu jangan sampai hp itu jadi dunia dia—hp itu jadi dirinya

dia sendiri, itu repot nanti.

11. Kalau misalnya mereka (anak autis) hidup di dunianya mereka sendiri, apa

pengaruhnya dengan orang-orang di sekelilingnya?

⇒ Pengaruhnya sangat besar, kalau dia sudah mengenal hp apalagi masuk ke dunia

maya. Dunia di lingkungannya, di keluarga, di masyarakat bahkan di sekolah itu gak

ada pengaruh dan bahkan itu tidak menarik buat dia dan bahkan itu juga sebagai

ganjalan yang mengganggu kesenangan dia. Jadi kalau anak itu sudah ketergantungan

itu nanti jadinya malah belajar, gak mau mandi, gak mau dengar perintah orang tua, gak

tahu waktu, pokoknya sudah fokus kesitu saja (youtube). Jadi kalau sudah

ketergantungan berat itu ya seperti orang di luar normal. Karena sebenarnya sudah di

luar normal sebenarnya. Jangan anak seperti itu ya (anak abk), yang kita normal aja

kalau kita teliti itu, misal orang dewasa pegang hp ketawa sendirian, terus melambai-

lambai tangan, misal lagi video call kan ini aneh tapi ya karena memang mereka sudah

masuk ke dunia maya itu ya jadi kita melihat seperti aneh, tapi lama-lama kita sudah

biasa, dan banyak orang di pinggir jalan itu ketawa atau segala macam, lah itu ngomong

sama siapa? Jadi istilahnya dari kalau orang pake hp kan tangan di telinga nah sekarang

kan sudah pakai bluetooth, earphone, kalau saya bilang ya secara ini sosialnya sudah

sedikit aneh lah.

79
Apalagi youtube sekarang ngeluarin (mengeluarkan) yang namanya youtube kids. Itu

lebih banyak lagi permainan, tapi yang buat orang dewasa itu kan lebih menarik tapi

kalau anak-anak yang buat, itu gak menarik buat dia. Kalau coba dianalisa lagi, anak-

anak yang menonton konten yang dibuat orang dewasa coba dilihat bahasanya yang

menonton. Berpengaruh, sangat berpengaruh. Makanya kan (maka dari itu)

keluar/muncul, “hi, guys”, “oh my gosh”, kalau yang buat konten anak kecil gak

mungkin, “oh my gosh”. Saya juga kaget, saya buka oh yang buat konten orang dewasa.

Jadi ya bahasa itu juga efeknya muncul dari mengikuti channel tersebut.

80
Lampiran III

Transkrip Wawancara dengan Pihak Psikologi di Universitas Kristen Petra Surabaya

Pratiwi Anjarsari, S.Psi., M.Psi., Psikolog

Identitas Informan

1. Nama : Pratiwi Anjarsari, S.Psi., M.Psi., Psikolog

2. Jenis Kelamin : Perempuan

3. Pekerjaan : Psikolog Psikodiagnostik, di Universitas Kristen Petra

Surabaya

4. Tanggal Wawancara : 29 Agustus 2022

Hasil Wawancara:

1. Menurut Bu Pratiwi, pengaruh media masa di zaman sekarang–khususnya youtube–

seperti apa?

⇒ Kalau bicara soal youtube, kalau zaman dulu seperti televisi ya. Jadi kalau orang

dulu mau lihat film, atau ya seperti hiburan setelah beraktivitas seharian itu kan lihat

televisi. Tapi sekarang televisi rasanya sudah gak terlalu diperhatikan gitu ya, di tv pun

yang disetel youtube sekarang karena media yang mungkin lebih fleksibel ya. Jadi kalau

televisi kan kita sudah ada jadwal acara gitu ya, nah kalau youtube kan kita bisa mau

kapan aja untuk setel itu, topik apapun yang kita inginkan. Menurut saya ya sudah

81
menggantikan televisinya orang zaman dulu. Nah sekarang ini ketika orang mau

mencari informasi, hiburan, tutorial-tutorial dan musik dan semua hal-hal yang

diinginkan yang mungkin kita benar-benar mungkin jauh, kalau kita tanya lingkungan

kita hanya terbatas (dengan youtube) kita bisa tahu hal-hal diluar sana yang mungkin

tadinya tidak kita pikir bisa terjangkau. Ya jadi youtube sudah menggantikan televisi

dan kaya kebutuhannya bukan tersier atau sekunder ya, sudah seperti primer gitu

sebagai media massa yang utama. Menggantikan koran juga karena dia lebih real-time,

beritanya lebih cepat.

2. Pengaruhnya di dalam kehidupan masyarakat saat ini atau mungkin dampaknya apa?

⇒ Dampaknya pasti ada dua sisi. Karena youtube ini kan sebenarnya sarana, alat untuk

kita mendapatkan informasi dan lain-lain. Karena dia alat, positif bisa negatif bisa

(dampak). Dia bisa jadi positif ketika media ini dipakai sebagai sumber informasi,

sebagai dia belajar, tempat membuka wawasan baru. Dia bisa juga menjadi negatif

ketika yang dicari adalah hal-hal yang menambah wawasan yang negatif. Kemudian

karena tadi real-time kita bisa kapan aja itu membuat orang tidak bisa meregulasi

dirinya, tidak bisa mengelola dirinya untuk kapan dia stop, kapan dia harus

menyelesaikan–ya udah saya stop dulu sampai disini. Nah orang kurang bisa

mengendalikan itu. Dan saringan-saringannya di youtube itu tidak terlalu ketat ya

seperti kalau di televisi. Kalau di televisi kan ada badan penyiaran gitu jadi ada suaranya

di ‘tit’ (maksudnya di sensor). Jadi melewati suatu proses dulu baru boleh masuk tv.

Kalau di youtube kan tidak, semua orang bisa langsung. Ketika orang tidak bisa

menyaring, dirinya sendiri tidak bisa menyaring, maka akan mudah terpapar dengan

dampak-dampak negatif itu dari sebuah konten atau tayangan.

3. Apa saja faktor awal penyebab munculnya suatu ketergantungan?

82
⇒ Jadi, ketergantungan atau kecanduan itu merupakan cara. Sebenarnya itu diawali

dengan cara seseorang untuk mengabaikan sesuatu yang tidak menyenangkan. Jadi

sebenarnya seseorang itu punya rasa sakit, bisa fisik, bisa psikis. Nah orang itu ketika

mengalami hari yang tidak menyenangkan itu dia butuh yang mengalihkan. Pengalih

itu akhirnya kan jadi pengganti rasa yang tidak menyenangkan itu. Nah biasanya

addiction itu pada hal-hal yang menyenangkan dia. Misalnya dia itu sebenarnya stress

misalnya dengan keluarganya rasanya gak enak gitu hatinya, sudah sakit, orang butuh

pengalih gitu. Salah satunya karena saya tadi bilang ya, youtube ini sudah mudah sekali

di akses ya karena ada di hp (ponsel), akhirnya larilah ke youtube. Di situ dia bisa

mencari banyak pengalih begitu yang bisa mengalihkan rasa sakitnya. Kemudian ketika

satu kali dia merasa, “Oh, ini ternyata bisa ya membuat aku agak lupa dengan

masalahku.” Seperti itu hal yang ‘efektif’. Wah, ‘efektif’ nih untuk melupakan

(masalah). Terus akhirnya dia lakukan berulang. Jadi kecanduan itu adalah ketika

seseorang melakukan sesuatu secara berulang yang sebenarnya dia sedang mengalihkan

sesuatu yang mungkin tidak enak buat dia tapi akhirnya pengulangan-pengulangan itu

tidak bisa dikendalikan. Ketika dia masih bisa mengendalikan, dia masih bisa

meregulasi dirinya, itu masih belum kecanduan. Tapi ketika dia tidak bisa

mengendalikan itu, dan harus ketika enggak (harus tidak melihat youtube), itu rasanya

cemas kaya (seperti) orang addiction narkoba gitu ya. Pertama kan cuma coba, oh ya

bisa mengalihkan aku dari sesuatu yang tidak menyenangkan. Akhirnya ketika dia

berulang dan akhirnya tidak dapat dikendalikan tapi dia tidak dapat (melihat youtube),

itu kan yang dibilang sakau (mabuk/kecanduan) itu ya. Gak enak banget gitu, dia harus

dapat terus. Sama nih ketika aku dengan lihat youtube itu kan hal yang menyenangkan

gitu ya, wah rasanya perasaannya itu kaya (seperti) teralihkan terus dia ulang-ulang

83
terus, tapi ketika dia tidak dapat youtube nya, langsung kecemasannya keluar,

ketakutannya keluar, jadi itu kecanduan sih.

4. Kalau ada suatu ketergantungan, biasanya reaksi apa sih yang paling parah yang bisa

ditunjukkan?

⇒ Reaksinya itu yang pertama, kalau dari perilaku, yang dilihat—yang jelas dia akan

melakukan itu terus menerus gitu ya. Seperti tanpa ada jeda. Kalau secara emosi, ketika

dia diminta untuk berhenti, itu seperti punya kemarahan yang tidak masuk akal. Jadi ya

berlebihan gitu marahnya. Biasanya memang ada orang yang kalau menyukai sesuatu

disuruh stop itu marah ya tapi kan marahnya sesuatu yang bisa diajak ngomong (bicara)

kalau dikasih tahu, “Kamu kalau kebanyakan kamu akan begini-begini.” Oh, oke masih

dongkol (jengkel, marah) tapi sebentar selesai gitu ya dan dia tahu memang ini gak

baik. Tapi ketika orang sudah kecanduan, dia bisa marah, bisa mengekspresikan sesuatu

yang tidak terduga. Bisa marahnya tampak berlebihan, terus mungkin dia akan

melakukan hal-hal yang ekstrim gitu lah, jadi untuk mengekspresikan kemarahannya.

Jadi ini bisa kita lihat kenapa responnya bisa sebegitu ekstrim ya, misalnya langsung

pukul-pukul atau buang-buang atau pecah-pecahin apa gitu ya, atau mengancam. Itu

kan terlalu ekstrim ya untuk sesuatu yang sebenarnya kita hanya, “Kamu stop aja dulu,”

gitu misalnya. Nah itu ekspresinya. Jadi saya rasa khasnya disitu ya, dia banyak

perilaku-perilaku di luar dugaan gitu.

5. Apa pengaruh ketergantungan untuk lingkungan sosial di sekitarnya bagaimana?

⇒ Tentu saja ya pasti akan mengganggu ya. Karena dia punya respon yang berlebihan

kan, nah lingkungan jadi sulit kan untuk menjalin relasi dengan orang-orang seperti ini.

Karena mereka akan bingung gitu, bagaimana ya berinteraksi sama orang ini seperti

apa gitu. Kita kan kalau secara umum kalau misal ngingetin (mengingatkan), “Eh,

jangan sering-sering,” umumnya orang akan merespon dengan tidak enak tapi udah

84
gitu ya (tidak pakai respon berlebih, hanya sekadar tidak suka). Tapi, dia (orang

ketergantungan) responnya akan lebih (lebih ekspresif) jadi orang akan takut kan. Takut

untuk mendekati orang tersebut, atau takut juga untuk mengajak komunikasi karena

takut kalau nanti responnya akan tidak terduga itu kan membuat orang jadi berpikir gitu

untuk mendekati. Ya akhirnya memang pengaruhnya dengan lingkungan ya, orang

tersebut akan sedikit dijauhi ya sama lingkungannya karena lingkungan tidak tahu

bagaimana cara memperlakukan dia.

6. Jikalau berkaitan dengan orang tua, bagaimana pengaruh ketergantungan bagi relasi

antara anak dengan orang tua?

⇒ Memang kalau dalam hubungan di dalam keluarga kan tidak bisa menghindar ya,

satu rumah dan memang punya hubungan dekat ya. Pasti akan sama-sama frustasi sih,

dari sisi si anak juga frustasi karena dia sudah dalam kondisi yang bisa dibilang krisis

ya, dia butuh bantuan tapi tidak ada yang bisa bantu dia mungkin lingkungan juga tidak

memahami gitu kenapa dia seperti itu. Orang tua juga frustasi karena namanya orang

tua kan punya harapan ya, nah ketika yang terjadi itu tidak sesuai harapan mereka pasti

akan sangat frustasi dan mungkin kecewa dan akhirnya emosi juga yang main gitu,

tidak bisa menerima situasi dan akhirnya menuntut gitu ya. Orang tua merasa, “Saya

tuh sudah melakukan banyak hal buat kamu, tapi kamu gak paham dan malah seperti

ini.” Jadi sama-sama frustasi dan relasi keluarga yang tidak baik ya itu akan sangat

mungkin terjadi sih, itu akan merambat kemana-mana gitu biasanya.

7. Menurut Bu Pratiwi, bagaimana anak autisme ini bisa menghadapi ketergantungan ini?

⇒ Anak autis secara perilaku, memang mereka kan sulit untuk berinteraksi ya sama

orang lain. Mereka punya kesulitan dan akhirnya mereka sebenarnya punya keinginan

tapi tidak bisa—bisa saja, atau mereka sebenarnya tidak ingin kalau autisnya sudah

ekstrim gitu. Nah mereka kan tetap akan cari, bagaimana mereka mendapatkan

85
informasi dan akhirnya youtube menjadi pelariannya. Kemudian masalah utamanya

dari anak autis itu kan sebenarnya masalah regulasi emosinya, orang normal yang

dengan regulasi emosi yang oke saja ketika mereka punya satu pain yang pengen

dialihkan, ditutupi dengan hal lain terus akhirnya dia jadi tidak bisa mengendalikan,

emosinya saja terpengaruh gitu. Apalagi si anak autis ini yang memang punya masalah

sejak awal sudah punya masalah emosi gitu. Mereka tidak ada pain saja, mereka tidak

sedang dalam kondisi ingin mengalihkan emosi saja, regulasi emosinya sudah tidak

baik dulu. Makanya ini akan punya pengaruhnya lebih besar sebenarnya. Memang perlu

dipahami sih oleh lingkungan dengan keadaan mereka seperti itu.

86
Lampiran IV

Transkrip Wawancara dengan Orang Tua dari Anak Bernama Alzio

Rina

Identitas Informan

1. Nama : Rina

2. Jenis Kelamin : Perempuan

3. Pekerjaan : Ibu rumah tangga

4. Orang Tua dari : Alzio

5. Tempat Tinggal : Sragen

6. Tanggal Wawancara : 29 Maret 2022

Hasil Wawancara:

87
88
Lampiran V

Transkrip Wawancara dengan Orang Tua dari Anak Bernama Adnan

Andi Tri Wahyudi

Identitas Informan

1. Nama : Andi Tri Wahyudi

2. Jenis Kelamin : Laki-Laki

3. Pekerjaan : Wiraswasta

4. Orang Tua dari : Adnan Raffasya

5. Tempat Tinggal : Solo (Surakarta)

6. Tanggal Wawancara : 30 Maret 2022

Hasil Wawancara:

89
90
91
92
93
Lampiran VI

Transkrip Wawancara dengan Orang Tua dari Anak Bernama Adnan

Dwi

Sumber: https://drive.google.com/file/d/1obPGgXaXsM6VM7u0Girh_zSuiWiBEllN/view?usp=sharing

Identitas Informan

1. Nama : Dwi

2. Jenis Kelamin : Laki-Laki

3. Pekerjaan : Wirausaha

4. Orang Tua dari : Hilmi

5. Tempat Tinggal : Gentan, Solo (Surakarta)

94
6. Tanggal Wawancara : 25 Maret 2022

7. Link Wawancara :

https://drive.google.com/file/d/1mwVSQSo9TwV3xqiOuESCWzsr98zRh5Si/view?us

p=sharing

Hasil Wawancara:

1. Sudah berapa lama Hilmi terdeteksi sebagai anak yang spesial atau memiliki kebutuhan

khusus?

Jawab:

Semenjak lahir dia itu prematur. Umur tiga bulan dia kayak (seperti) sakit

kuning begitu, dia sudah mulai terapi. Sampai umur dua (2) tahun, belum bisa berjalan

belum bisa ngomong (berbicara), itu terapi okupasi di YPAC dan di rumah sakit

Indriati. Terus (lalu) umur (usia) sekitar empat (4) tahun, dia baru bisa berbicara dan

umur tiga setengah (3,5) tahun atau tiga (3) tahun itu baru belajar berjalan. Ya sampai

sekarang ini masih terapi okupasi itu.

2. Di dalam masa pandemi apakah ada kesulitan untuk Hilmi menjalani terapi? Apakah

ada rasa takut atau bagaimana?

Jawab:

Ya, kalau takutnya sih ada. Tapi kan kemarin waktu pandemi itu sempat terhenti

terapinya. Karena saya batasi saja kegiatan anaknya, cuma di rumah. Nanti kalau waktu

masuk sekolah cuma dua hari. Waktu sekolah ya cuma sekolah, nanti cuma di rumah

aja gitu.

3. Sekolah Hilmi ini sekolah apa?

Jawab:

Sekolah biasa. TK (taman kanak-kanak).

95
4. Pada waktu pandemi dulu, kalau tidak bisa menjalani terapi di tempat (Indriati dan

YPAC), apakah di terapi sendiri di rumah?

Jawab:

Tidak.

5. Sewaktu pandemi tidak bisa melakukan terapi, apakah sempat berpikir youtube bisa

dijadikan sarana pembelajaran baru?

Jawab:

Kalau mainan hp itu, cuma maunya itu-itu aja. Misalnya youtube, dia lihatnya

seperti film kartun, itu-itu saja yang diputar sampai dia bosan. Walaupun sampai satu

bulan, dua bulan, tiga bulan, ya cuma itu yang dia lihat kalau dia belum bosan.

6. Kapasitas penggunaan youtube Hilmi berapa lama?

Jawab:

Saya batasi. Kalau siang cuma satu jam, malam habis maghrib sampai ishak

udah gitu. (Rata-rata satu (1) jam).

7. Ketika Pak Andi mengambil ponsel yang digunakan oleh Hilmi, adakah reaksi-reaksi

yang ditunjukkan oleh Hilmi?

Jawab:

Ada. Dia itu mintanya—dia kan saya kasih hp sendiri, tapi tidak mau. Hp nya

diberikan ke saya (Pak Dwi) atau ke adiknya. Dia itu mintanya hp saya atau hp bunda

(orang tua Hilmi), kalau tidak dikasih, dia itu biasanya reaksinya itu seperti menyesal

(karena tidak diberi hp), nanti adiknya dijahili.

Hilmi itu saya terapikan karena kurang fokusnya. Dia tidak bisa konsentrasi.

Jadi kalau di sekolah, yang lain belajar—tapi dia cuma lari keluar, tidak mau duduk.

Cuma itu keluhannya. Kalau sekarang sudah mau di dalam (di dalam ruangan, duduk

96
tenang). Tapi kalau les, itu kan cuma sendiri, itu marah anaknya. Membaca itu mau—

kalau baca dia sudah bisa—tapi kalau disuruh nulis, itu susah.

8. Berarti Hilmi ini sudah bisa mengendalikan emosinya ya? Tidak memberontak dan lain

sebagainya?

Jawab:

Oh, tidak. Kalau dulu sewaktu umur masuk TK pertama itu, dia tidak bisa

mengontrol emosinya. Kalau dijahili teman langsung dibalas. Kalau sekarang dijahili

temannya dia tidak balas, malah tidak mau.

9. Hilmi mengakses youtube sejak kapan?

Jawab:

Empat (4) tahun atau tiga setengah (3,5) tahun. Dia kan dulu sukanya lagu-lagu.

10. Di usia empat (4) tahun, ketika Hilmi tidak bisa mengontrol emosinya, reaksi yang dia

tunjukkan jika ponselnya diambil apa saja?

Jawab:

Tidak ada reaksi, kalau diminta langsung diberikan.

Klarifikasi:

Masuk TK umur lima (5) tahun. Dia kalau emosi hanya kalau dijahili. Kalau

dijahili langsung dibalas.

97

Anda mungkin juga menyukai