Anda di halaman 1dari 4

Pengaruh model student center terhadap kemampuan menulis braille siswa tunanetra kelas I di SLB

tegalsari

Bab I
a. Latar belakang

Model pembelajaran SCL (Student Centered Learning)


Model pembelajaran SCL (Student Centered Learning) adalah suatu model, metode atau pendekatan
pembelajaran yang menempatkan siswa atau peserta didik sebagai pusat dari proses belajar mengajar,
sehingga akan mengembangkan minat, motivasi, dan kemampuan individu menjadi lebih aktif, kreatif dan
inovatif serta bertanggung jawab terhadap proses belajarnya sendiri.
Model pembelajaran SCL memberikan otonomi, pengelolaan pilihan materi dan pendekatan pembelajaran
yang lebih baik bagi siswa, sehingga karakteristik utama dari SCL adalah input dari siswa, di antaranya
dengan materi, cara dan waktu pembelajaran. Pendekatan pembelajaran SCL diharapkan dapat
mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang dibutuhkan masyarakat seperti kreativitas,
kepemimpinan, rasa percaya diri, kemandirian, kedisiplinan, kekritisan dalam berpikir, kemampuan
berkomunikasi dan bekerja dalam tim, keahlian teknis, serta wawasan global untuk dapat selalu
beradaptasi terhadap perubahan dan perkembangan.
Pembelajaran SCL adalah model pembelajaran yang berfokus pada siswa/peserta didik sehingga peran
pengajar hanya sebagai fasilitator dalam proses belajar. Dalam pendekatan SCL, pembelajar memiliki
tanggung jawab penuh atas kegiatan belajarnya, terutama dalam bentuk keterlibatan aktif dan partisipasi
siswa. Hubungan antara siswa yang satu dengan yang lainnya adalah setara, yang tercermin dalam bentuk
kerja sama dalam kelompok untuk menyelesaikan suatu tugas belajar. Guru lebih berperan sebagai
fasilitator yang mendorong perkembangan siswa, dan bukan merupakan satu-satunya sumber belajar.

Untuk menguasai huruf Braille, siswa tunanetra memerlukan teknik identifikasi huruf, penguasaan arah,
penelusuran baris serta kepekaan indera taktil (peraba) yang memadai. Kemampuan tersebut tidaklah
datang dengan sendirinya pada siswa, akan tetapi memerlukan latihan yang didukung dengan metode dan
media pembelajaran yang baik. Model konvensional seperti reken plang, reglet dan papan kayu atau
media biji-bijian, memiliki keterbatasan, dikarenakan membutuhkan bimbingan guru secara intensif
sedangkan jam belajar di sekolah sangatlah terbatas, selain itu guru juga tidak bisa terus mendampingi
siswa setiap waktu, sehingga dengan model tersebut kurang efisien dalam proses belajar membaca
maupun menulis Braille.
Ada perbedaan dalam proses menulis huruf Braille dibandingkan dengan huruf awas khususnya dengan
alat reglet (slate) dan stilus (pen), yaitu cara menulisnya lubang titik-titik pada reglet ditusukan dari atas
kebawah dengan stilus, maka cara membacanya kertas harus dibalik untuk mendapatkan titik timbul,
sehingga menulispun harus dengan orientasi berlawanan agar tulisan dapat dibaca.
Alasan saya memilih penelitian ini karena melihat fenomena yang ada dimana biasanya orang
beranggapan bahwa seorang yang cacat fisik tidak mampu bersaing dalam hal pencarian kerja. Selain itu
alasan peneliti menggunakan penyandang tunanetra karena peneliti ingin melihat apakah dengan adanya
keterbatasan penglihatan yang dimiliki seorang tunanetra mampu atau tidak mensyukuri keadaan dirinya
agar menjadi diri yang mandiri tanpa bergantung kepada orang lain. Dan mampu melanjutkan hidupnya
serta mendapat perlakuan yang sama dalam hal kesempatan kerja.

Salah satu permasalahan anak tunanetra di sekolah adalah prestasi belajarnya yang rendah. Hal tersebut
terjadi karena perkembangan kognitif anak tunanetra cenderung terhambat dibandingkan dengan anak
normal pada umumnya (Somantri dalam Soleh, Abijid, & Ariati, 2011: 2). Anak tunanetra menyandang
kelainan pada struktur fisiologisnya, dan mereka harus menggantikan fungsi indera penglihatan dengan
indera-indera lainnya untuk mempersepsi lingkungannya. Tillman (Sunanto, 2005: 48-65)
mengungkapkan bahwa anakanak tunanetra kurang mampu mengintegrasi semua jenis fakta yang sudah
mereka pelajari, sehingga seolah-olah semua pengalaman pendidikan anak tunanetra itu disimpan di
dalam ruangan yang terpisah-pisah. Dengan demikian, penjelasan di atas menunjukkan bahwa
ketunanetraan dapat mempengaruhi prestasi belajar para penyandangnya.
Fakta menunjukkan bahwa rendahnya prestasi belajar anak tunanetra di sekolah disebabkan oleh faktor
internal dan eksternal. Faktor internal yaitu kurangnya pemahaman siswa terhadap konsep materi yang
diajarkan dan kurangnya motivasi belajar siswa. Selain itu, prestasi belajar juga dipengaruhi oleh faktor
eksternal yaitu metode mengajar guru yang tidak sesuai dengan cara berfikir siswa serta tidak memotivasi
siswa belajar (Daryanto & Raharjo, 2012: 28). Hal ini terjadi pada sebagian besar mata pelajaran yang
diajarkan di sekolah salah satunya Ilmu Pengetahuan Sosial.

Definisi tunanetra
Tunanetra berasal dari kata tuna yang berarti rusak atau rugi dan netra yang berarti mata. Jadi tunanetra
yaitu individu yang mengalami kerusakan atau hambatan pada organ mata. Mohammad Efendi
mendefinisikan tunanetra sebagai suatu kondisi penglihatan dimana “anak yang memiliki visus sentralis
6/60 lebih kecil dari itu atau setelah dikoreksi secara maksimal penglihatannya tidak memungkinkan lagi
mempergunakan fasilitas pendidikan dan pengajaran yang biasa digunakan oleh anak normal/orang
awas.” Dari sudut pandang medis seseorang dikatakan mengalami tunanetra apabila “memiliki visus dua
puluh per dua ratus atau kurang dan memiliki lantang pandangan kurang dari dua puluh derajat.”
Jika dilihat dari sudut pandang pendidikan, anak yang mengalami tunanetra apabila anak membutuhkan
“media yang digunakan untuk mengikuti kegiatan pembelajaran adalah indra peraba (tunanetra total)
ataupun anak yang masih bisa membaca dengan cara dilihat dan menulis tetapi dengan ukuran yang lebih
besar (low vision).”
Selain itu tunanetra juga diartikan sebagai “seseorang yang sudah tidak mampu memfungsikan indra
penglihatannya untuk keperluan pendidikan dan pengajaran walaupun telah dikoreksi dengan lensa.”
Dengan demikian dapat dipahami bahwa tunanetra yaitu berkurangnya fungsi atau ketidakfungsian indra
penglihatan seseorang untuk melihat bayangan benda dalam aktivitas sehari-hari sehingga membutuhkan
pendidikan khusus guna mendukung aktivitas belajarnya.
Faktor Penyebab Tunanetra
Anak-anak yang mengalami gangguan penglihatan memiliki faktor penyebab yang berbeda, ada yang
berasal dari dalam diri mereka sendiri ataupun dari luar diri mereka. Berikut adalah klasifikasi faktor
penyebab individu mengalami tunanetra:
a. Prenatal (Sebelum Kelahiran)
Tahap prenatal yaitu sebelum anak lahir pada saat masa anak di dalam kandungan dan diketahui sudah
mengalami ketunaan. Faktor prenatal berdasarkan periodisasinya dibedakan menjadi periode embrio,
periode janin muda, dan periode janin aktini. Pada tahap ini anak sangat rentan terhadap pengaruh trauma
akibat guncangan, atau bahan kimia.
Faktor lain yang menjadi faktor anak mengalami tunanetra berkaitan dengan kondisi anak sebelum
dilahirkan yaitu gen (sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat,
virus, dan sebagainya.
b. Neonatal (Saat Kelahiran)
Periode neonatal yaitu periode dimana anak dilahirkan. Beberapa faktornya yaitu anak lahir sebelum
waktunya (prematurity), lahir dengan bantuan alat (tang verlossing), posisi bayi tidak normal, kelahiran
ganda atau kesehatan bayi.
c. Posnatal (Setelah Kelahiran)
Kelainan pada saat posnatal yaitu kelainan yang terjadi setelah anak lahir atau saat anak dimasa
perkembangan. Pada periode ini ketunaan bisa terjadi akibat kecelakaan, panas badan yang terlalu tinggi,
kekurangan vitamin, bakteri.
Serta kecelakaan yang sifatnya ekstern seperti masuknya benda keras atau tajam, cairan kimia yang
berbahaya, kecelakaan kendaraan, dan lain-lain.
Dapat dipahami bahwa terdapat tiga tahapan faktor penyebab terjadinya tunanetra pada diri anak yaitu
tahap prenatal yang meliputi pengaruh trauma akibat guncangan atau bahan kimia. Tahap neonatal
meliputi anak lahir sebelum waktunya, posisi bayi tidak normal, kelahiran ganda, dan kesehatan bayi
yang bersangkutan. Serta tahap posnatal yang meliputi kecelakaan, panas badan yang terlalu tinggi,
kekurangan vitamin, bakteri, dan sebagainya.
Ciri-ciri tunanetra total diantaranya secara fisik mata terlihat juling, sering berkedip,menyipitkan mata,
kelopak mata merah, mata infeksi, gerakan mata tak beraturan dan cepat, mata selalu berair dan
pembengkakan pada kulit tempat tumbuh bulu mata. Secara perilaku menggosok mata secara berlebihan,
menutup atau melindungi mata sebelah, memiringkan kepala, atau mencondongkan kepala ke depan,
sukar membaca atau mengerjakan tugas yang memerlukan penggunaan mata, berkedip lebih banyak,
membawa buku ke dekat mata, tidak dapat melihat benda yang agak jauh, menyipitkan mata atau
mengerutkan dahi.

Kondisi lapangan SLB tegalsari adalah adanya kondisi siswa. Terdapat beberapa siswa yang memiliki
karakter yang kaku. Maksudnya terdapat siswa yang hanya mau diberikan arahan pada guru tertentu
sehingga ketika guru lain yang memberikan arahan siswa menjadi marah bahkan tantrum. Kendala juga
ditemui pada siswa di kelas rendah. Terutama saat praktek secara mandiri. Kemampuan anak masih
belum mampu melakukan praktek sendiri sesuai interuksi. Kendala praktek secara mandiri juga terjadi
pada anak tunanetra dengan hambatan penyerta sehingga mereka harus selalu dibantu.
Kendala terjadi pada sarana prasarana yaitu kurangnya aksesibilitas gedung sekolah ini diantaranya
adalah ditandai dengan tidak adanya guiding block dan handrail pada setiap sudut sekolah, pintu setiap
kelas juga tidak sesuai dengan standar aksesibel untuk tunanetra, tidak tersedia ramp. Kendala yang
dialami berikutnya yang seringkali ditemui adalah dalam hal penetapan metode. Faktor kemampuan guru
yang kurang bisa bervariasi dalam menentukan metode (cenderung menggunakan metode yang sama).
Kendala lain yang ditemui adalah adanya kondisi siswa. Terdapat beberapa siswa yang memiliki karakter
yang kaku. Maksudnya terdapat siswa yang hanya mau diberikan arahan pada guru tertentu sehingga
ketika guru lain yang memberikan arahan siswa menjadi marah bahkan tantrum. Kendala juga ditemui
pada siswa di kelas rendah. Terutama saat praktek secara mandiri. Kemampuan anak masih belum
mampu melakukan praktek sendiri sesuai interuksi. Kendala praktek secara mandiri juga terjadi pada
anak tunanetra dengan hambatan penyerta sehingga mereka harus selalu dibantu.
Secara umum penelitian ini telah menemukan kesimpulan bahwa pada pembelajaran menulis Braille pada
anak tunanetra kelas I SD di SLB tegalsari Surabaya ditemukan sejumlah kesulitan-kesulitan yang
dihadapi oleh siswa-siswa tunanetra. Sementara itu, guru telah melakukan berbagai cara yang terkait
dengan kesulitan yang dihadapi oleh siswa tunanetra dalam menulis Braille dengan reglet. Adapun
kesulitan yang dihadapi oleh siswa tunanetra dalam mengikuti pembelajaran menulis Braille dengan
reglet adalah kesulitan dalam mengidentifikasi huruf-huruf Braille yang hampir mirip diantaranya : “d”
menjadi “f”, “e” menjadi “I”, “h” menjadi “j” dan “r” menjadi “w”. Selain itu siswa juga mengalami
kesulitan saat memasang reglet sehingga tulisannya tidak dapat dibaca karena menumpuk, serta kesalahan
penulisan karena sering salah tusuk.

Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan model student center?
2. Apa yang dimaksud dengan menulis braille?
3. Kendala apa yang ditemui guru saat pembelajaran menulis braille?
4. Metode apa yang digunakan guru saat pembelajaran menulis braille?
Tujuan penelitian:
1. Untuk mengetahui tentang model student center.
2. Untuk mengetahui tentang menulis braille.
3. Untuk mengetahui kendala guru yang ditemui saat pembelajaran menulis braille.
4. Untuk mengetahui metode yang digunakan guru saat pembelajaran menulis braille.

Anda mungkin juga menyukai