Anda di halaman 1dari 90

DISLEKSIA

DETEKSI, DIAGNOSA, PENANGANAN


DI SEKOLAH DAN DI RUMAH

Endang Widyorini
Julia Maria van Tiel

1
DAFTAR ISI
Prakata
Bab 1 MASALAH BELAJAR
1.1. Gangguan belajar harus dibedakan dengan kesulitan belajar
1.2. Gangguan belajar hanya pada anak berinteligensi normal hingga tinggi
1.3. Gangguan belajar adalah gangguan yang kasat mata
1.4. Bentuk gangguan belajar
1.5. Pengaruh pada perilaku

Bab 2 PENYEBAB DAN GEJALA


2.1. Penyebab gangguan belajar (Learning Disabilities) adalah genetik
2.2. Apa yang terjadi pada gangguan belajar?
2.3. Tidak dipengaruhi oleh lingkungan
2.4. Terbanyak pada laki-laki
2.5. Tipe dan subtipe gangguan belajar

Bab 3 SYARAT SYARAT BERKETRAMPILAN BELAJAR


3.1. Kemampuan pemrosesan informasi visual dan auditif sebagai syarat berketrampilan belajar

Bab 4 PEMAHAMAN GEJALA GANGGUAN BELAJAR


4.1. Pemahaman gejala dari berbagai bidang
4.2. Gejala Gangguan Belajar dari pengalaman yang dihadapi guru dan orang tua
4.3. Gejala Gangguan Belajar dalam psikologi klinis
4.4. Masalah belajar dalam neurologi
4.5. Masalah belajar dalam ilmu kedokteran anak
4.6. Masalah belajar dalam ilmu patologi bahasa dan bicara
4.7. Masalah belajar dalam ilmu kependidikan
4.8. Fungsi hemisfere (belahan otak kanan dan kiri)

BAB 5 MENENTUKAN BATAS ANTARA GANGGUAN BELAJAR DAN KESULITAN BELAJAR

2
5.1. Observasi panjang dan menyeluruh
5.2.Lakukan rujukan
5.3.Pemeriksaan dan tes

BAB 6 GEJALA GANGGUAN BELAJAR


6.1. Gangguan dalam pelajaran membaca, mengeja dan menulis
6.2. Gangguan pada pelajaran berhitung
6.3. Gangguan tehnik menulis

BAB 7 DETEKSI & DIAGNOSA


7.1. Skrining dalam rangka deteksi
7.2. Asesmen & diagnosa
7.3. Termasuk tipe dan subtipe yang mana?

BAB 8 DISLEKSIA
8.1. Kesulitan yang amat sangat
8.2. Ketertinggalan yang siknifikan
8.3. Dapat terlihat jelas
8.4. Disleksia sebagai gangguan yang spesifik
8.5. Derajat keparahan Disleksia
8.6. Beberapa kasus
8.6.1. Kasus Josje
8.6.2. Kasus Marteen yang cerdas istimewa
8.6.3. Kasus Bernhard
8.6.4. Kasus Alfred
8.7. Faktor risiko menjadi penyandang disleksia
8.8. Komorbiditas
8.9. Diagnosa pembanding disleksia

BAB 9 DETEKSI DISLEKSIA


9.1. Deteksi di taman kanak-kanak
9.2. Deteksi di kelas satu Sekolah Dasar

3
Bab 10 DIAGNOSA
10.1. Syarat
10.2. Siapa yang memberikan diagnosa?
10.3. Faktor-faktor dalam pemeriksaan guna penegakan diagnosa

Bab 11 PENANGANAN
11.1. Prevensi
11.2. Clinical Teaching
11.3. Remedial teaching
11.4. Individual Education Program (IEP)
11.5. Kompensasi, dispensasi dan toleransi
11.6. Alat bantu

4
PRAKATA

Buku ini adalah sebuah buku praktis bagi guru dan orang tua agar lebih mampu menangani anak-anak
atau siswa-siswanya yang mengalami masalah belajar. Diharapkan buku ini mampu memberikan
pemahaman yang mendasar tentang apa dan bagaimana masalah belajar itu, untuk kemudian
mengembangkannya dalam bentuk kegiatan menangani masalah gangguan belajar. Buku ini
diterbitkan untuk memberikan bantuan praktis bagi guru dan orang tua, karena kini buku tentang
masalah belajar di sekolah ini dirasakan semakin dibutuhkan. Sayangnya publikasi yang ada masih
belum mencukupi untuk digunakan dalam mendeteksi dan membina anak-anak atau siswa-siswa yang
mengalami kesulitan.

Karena untuk masalah gangguan belajar ini diperlukan juga berbagai tes-tes untuk menegakkan
diagnosa gangguan belajar secara formal, sementara ini berbagai tes tersebut belum dimiliki oleh
Indonesia secara resmi yang menjadi panduan atau protokol deteksi dan diagnosa. Namun anak-anak
ini tidak bisa menunggu untuk diberikan penanganan yang sebaik-baiknya, maka langkah yang perlu
kita ambil pada saat ini adalah menegakkan diagnosa secara informal. Tatalaksana dan petunjuk
tersebut terutama untuk gangguan belajar disleksia, dapat kita temukan dalam buku ini. Diharapkan
juga adanya kreativitas yang tinggi dari para guru dan orang tua dalam membantu anak-anak tersebut.

Buku yang sederhana dan mendasar sekali ini, tentu saja masih memerlukan pengembangan dan
pendalaman terhadap masalah belajar itu sendiri, karena yang dapat kita temui di lapangan pada
kenyataannya sangat beragam baik luasnya gangguan, dan keparahannya. Karena itu diharapkan
dimasa yang akan datang masih ada buku-buku lain yang mampu melengkapi buku ini.

Penyusun,
Julia Maria van Tiel
Endang Widyorini, DR (psikolog)

5
BAB 1
MASALAH BELAJAR

Akhir-akhir ini masalah belajar sudah menjadi perhatian yang cukup serius. Sebegitu jauh, informasi
tentang masalah ini masih sering simpang siur, dan terbalik-balik, bahkan tidak dibedakan lagi antara
masalah belajar primer yang kemudian disebut sebagai gangguan belajar (Learning Disablities), dan
masalah belajar sekunder yang disebut sebagai kesulitan belajar (Learning diffuculties). Atau tidak
lagi menjelaskan bahwa anak-anak yang mengalami keterlambatan bicara, ataupun anak-anak
penyandang berbagai gangguan perilaku dan mental sebagai kelompok anak berisiko yang kelak akan
mempunyai risiko gangguan maupun kesulitan belajar. Namun juga sebaliknya, anak-anak
penyandang gangguan perkembangan, gangguan perilaku dan mental itu sering diinformasikan sebagai
anak penyandang gangguan belajar (Learning Disabilities), yang sebetulnya belum tentu. Lalu
bagaimanakah masalah belajar itu? Dengan buku ini diharapkan agar para guru dan orang tua dalam
menghadapi masalah kesimpang siuran dan ketidak jelasan informasi tersebut, kini dapat lebih
memahami apa yang dimaksud dengan masalah belajar, sehingga guru dan orang tua sebagai figur
terdekat dari anak-anak penyandang masalah belajar dapat memahami seluk beluknya dan dapat
segera mengambil tindakan yang sebaik-baiknya agar masalah belajar tersebut dapat ditangani.

Masalah gangguan belajar juga sering disalahmengertikan baik oleh guru sendiri maupun orang tua,
bahwa si anak adalah anak pemalas, kurang rajin belajar, kurang berlatih, sehingga mendapatkan nilai
jelek dalam beberapa mata pelajaran. Sering terjadi anak tersebut mendapatkan latihan ekstra dengan
harapan dapat mencapai prestasi yang diharapkan, tanpa melihat lagi latar belakang ketidak mampuan
si anak. Dalam hal ini guru dan orang tua hendaknya dapat melihat perbedaan antara ketidak mampuan
dan ketidak mauan belajar.

1.1. Gangguan belajar harus dibedakan dengan kesulitan belajar

Dalam berbagai literatur ilmiah ilmu kependidikan, masalah belajar dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

6
■ Masalah belajar primer yang kemudian biasa disebut “gangguan belajar” atau dalam bahasa
Inggris sering kita sebut sebagai Learning Disabilities dan biasa disingkat menjadi LD (sekarang
disebut juga SLD atau Specific Learning Disabilities berdasarkan DSM-5). Gangguan belajar
(Learning Disabilities) ini disebabkan karena adanya gangguan neurologis (di otak) yang
mengakibatkan adanya gangguan perkembangan dalam satu atau lebih area inteligensi (kognitif).
Kondisi ini akan menyebabkan si anak mengalami kesulitan dalam menempuh pembelajarannya
yang jika tidak ditolong mengakibatkan prestasinya tidak dapat optimal, atau dengan kata lain
tidak dapat berprestasi dengan baik, padahal ia mempunyai inteligensi yang normal bahkan tinggi.
■ Masalah belajar sekunder yang kemudian biasa disebut sebagai “kesulitan belajar” atau dalam
bahasa Inggris disebut Learning Difficulties. Kesulitan belajar ini dapat disebabkan dari:
 Lingkungan si anak: keluarga yang tidak mendukung proses pembelajaran; lingkungan
sekolah dan metoda pendidikan yang tidak sesuai dengan tingkatan kemampuan anak;
lingkungan di luar rumah yang tidak mendukung bahkan mengganggu sehingga anak tidak
dapat mencapai prestasinya secara optimal; dan budaya yang tidak mendukung.
 Kesulitan belajar yang disebabkan dari dalam diri anak: yang disebabkan karena si anak
belum mengalami kematangan untuk menerima pembelajaran; atau memang si anak
mengalami gangguan perkembangan kematangan sehingga ia kesulitan menerima
pembelajaran; adanya gangguan perkembangan emosi yang menyebabkan si anak
mengalami kesulitan dalam berproses menerima pembelajaran; si anak mengalami
gangguan konsentrasi (mudah terangsang sehingga mudah beralih perhatian saat harus
berkomsentrasi); gangguan neuro-motorik maksudnya motorik yang diatur oleh sistem
persyarafan saat mana si anak harus menulis mengalami gangguan sehingga menyulitkan
proses pembelajaran; gangguan perkembangan bicara (mengalami ketertinggalan
perkembangan) sehingga si anak mengalami ketertinggalan saat harus belajar membaca dan
menulis; dan kesulitan belajar yang memang disebabkan karena si anak mempunyai
tingkatan inteligensi yang rendah (IQ lebih rendah dari 85).

Pemisahan masalah belajar ini perlu dilakukan dalam rangka mencari bentuk-bentuk penanganan yang
sesuai dan untuk melihat bagaimana kemungkinannya kelak. Kemungkinannya kelak, atau bagaimana
prakiraannya ke depan, disebut prognosa. Pada anak-anak yang mempunyai inteligensi yang lebih
tinggi mempunyai prognosa yang lebih baik daripada yang mempunyai inteligensi lebih rendah. Anak
dengan gangguan yang lebih parah dan yang mempunyai gangguan lain yang bersamaan, atau
gangguan lain yang mengikutinya, akan mempunyai prognosa yang kurang menguntungkan daripada

7
yang tidak mempunyai tingkat keparahan yang tinggi dan yang tidak mempunyai gangguan ikutan
lainnya.

Gambar 1: Masalah belajar terdiri dari Gangguan Belajar yang merupakan masalah
primer dan Kesulitan Belajar yang merupakan masalah sekunder.

1.2. Gangguan belajar hanya pada anak berinteligensi normal hingga tinggi

Istilah gangguan belajar (Learning disabilities) hanya dapat digunakan untuk kelompok anak-
anak yang mempunyai inteligensi normal hingga tinggi. Untuk anak-anak yang mempunyai
inteligensi atau IQ di bawah 85 sekalipun si anak mengalami kesulitan dalam menempuh
pembelajaran tidak bisa disebut mengalami gangguan belajar (Learning Disabilities), tetapi
disebut sebagai multihandicap (tuna ganda).

1.3. Gangguan belajar adalah gangguan yang kasat mata

8
Gangguan belajar adalah suatu kondisi kecacatan yang kasat mata, namun kita dapat melihatnya
melalui pengamatan atau observasi selama anak menjalankan pembelajaran. Dalam proses
pembelajaran itu anak selalu menunjukkan kesalahan yang sama yang terus menerus secara
konstan. Kesalahan yang ditunjukkan itu adalah kesalahan yang melebihi rata-rata anak-anak usia
sebayanya. Apabila kesalahan atau prestasinya berselang seling kadang ia mampu berprestasi baik
(rata-rata) kadang buruk, maka ia juga tidak dapat dikatakan sebagai anak penyandang gangguan
belajar (Learning Disabilities), kemungkinan ada hal-hal lain yang menyebabkan masalah belajar.
Para penyandang gangguan belajar, sekalipun ia sudah berusaha sekuat tenaga namun prestasinya
akan tetap sulit mengejar sebagaimana prestasi rata-rata teman-teman sebayanya. Karena itu untuk
menghindari akibat lanjut dari kesulitannya, kepada anak-anak ini perlu diberikan suatu metoda
pembelajaran yang sesuai dengan keadaannya, agar ia dapat memanfaatkan faktor yang kuat yang
ada pada dirinya.
Jika masalah belajar disebabkan karena cacat primer seperti misalnya bisu, tuli, dan buta, maka
masalah belajar seperti ini tidak dapat disebut sebagai gangguan belajar (Learning Disabilities).

Gangguan belajar (Learning Disabilities)


- inteligensi normal hingga tinggi
- kesalahan yang sama terus menerus
(konstan)
- kasat mata
- memerlukan observasi/pengamatan
jangka panjang

1.4. Bentuk gangguan belajar

Masalah belajar baik berupa gangguan belajar (Learning Disablities) dapat berakibat pada prestasi
si anak dalam menempuh pembelajaran. Si anak tidak mampu mencapai prestasinya sebagaimana
kapasitas yang dapat diharapkan darinya. Bentuk masalah yang muncul dalam pembelajaran akan
dalam bentuk sulitnya berprestasi dalam pelajaran-pelajaran:
 Membaca (disleksia)
 Berhitung (diskalkulia)

9
 Menulis (disgrafia)

Gangguan membaca termasuk di dalamnya antara lain gangguan dalam kemampuan: mengenali
huruf-huruf, angka dan simbol-simbol atau tanda baca yang digunakan dalam kalimat, mengenali
kata-kata, melakukan analisa kalimat, dikte (mencongak/imla), teknik membaca, memahami
bacaan, dan menggunakan bahasa. Jika si anak mengalami gangguan salah satu atau lebih dari
kemampuan tersebut, maka ia akan mengalami gangguan membaca yang kemudian disebut
sebagai disleksia.

Disleksia
Gangguan primer pada kemampuan membaca dan mengeja karena
ada gangguan:
- Mengenali simbol huruf dan angka
- Mengenali simbol-simbol atau tanda baca dalam
kalimat
- Mengenali kata-kata
Gangguan - Melakukan analisa kalimat membaca atau
disleksia - Dikte ini akan

- Tehnik membaca berpengaruh


juga dalam - Mamahami bacaan kemampuan
berhitung - Menggunakan bahasa yang disebut
diskalkulia
(gangguan
berhitung).
Sebagai akibat dari gangguan yang terjadi di dalam otak yang menyebabkannya mengalami
gangguan mengenal berbagai simbol huruf dan angka, akan juga menyebabkan gangguan menulis
(disgrafia).
1.5. Pengaruh pada perilaku

10
Masalah belajar baik gangguan belajar primer maupun sekunder jika tidak ditangani dengan baik
akan menyebabkan munculnya masalah perilaku pada diri si anak, baik perilaku mengacau,
membantah, membangkang, maupun kefrustrasian, kecemasan dan depresi. Namun masalah
perilaku ini merupakan masalah sekunder. Bukan disebabkan karena gangguan belajar primer itu
sendiri, tetapi akibat sampingan dari gangguan belajar. Apabila gangguan belajar primer dan
sekunder dapat dikendalikan dengan baik, diharapkan masalah-masalah perilaku itu tidak akan
muncul. Karena itu penting artinya pada anak-anak penyandang gangguan belajar primer dan
sekunder ini mendapatkan perhatian yang seksama dan bimbingan yang baik agar tidak
memunculkan masalah tambahan baginya maupun bagi lingkungannya.

Karena gangguan belajar primer ini kasat mata, seringkali guru dan orang tua tidak mengerti
mengapa si anak sangat sulit untuk mengerjakan tugas-tugas belajar.
Masalah belajar primer hampir selalu diikuti dengan masalah emosi. Sedih, kecewa, dan marah
sering kali muncul. Orang tua dan anak seringkali harus bergumul dengan masalah belajar, yang
makin lama akan dirasa semakin berat. Beratnya masalah ini bukan hanya akan dirasa oleh orang
tua dan anak, namun oleh semua anggota keluarga. Anak sering merasakan bahwa ia tidak dapat
memenuhi harapan guru dan orang tua. Orang tua juga sering meminta advis pada guru karena
merasa tidak dapat menolong anak.
Bila sejak dini tidak dideteksi sebagai masalah belajar, maka seringkali anak dianggap sebagai
anak yang malas. Orang tua kadang mengharapkan si anak mempunyai nilai lebih baik, namun
anak kesulitan mencapai prestasi tersebut. Hal ini akan menyebabkan merosotnya rasa percaya
diri pada diri anak, serta munculnya konsep diri yang negatip, yang akan menyebabkan
perkembangan emosi yang tidak sehat.

Anak kesulitan mencapai prestasi di sekolah. Hal ini akan menyebabkan merosotnya rasa
percaya diri pada diri anak, serta munculnya konsep diri yang negatip, yang akan
menyebabkan perkembangan emosi yang tidak sehat.

Munculnya masalah belajar yang diikuti dengan masalah emosi dan perilaku yang tak segera
ditangani, sementara akar masalahnya adalah masalah gangguan belajar primer, akan mempersulit
penanganannya. Semakin lama tak ditangani, akan semakin sulit menanganinya.

11
Masalah belajar primer, yang karena penyebabnya adalah genetik, maka orang tua juga akan
merasa bersalah bahwa ia merupakan penyebab kesengasaraan itu. Hal ini juga perlu diperhatikan
oleh guru.

BAB 2
Penyebab dan gejala
2.1. Penyebab gangguan belajar (Learning Disabilities) adalah genetik
Penyebab gangguan belajar (Learning Disabilities) adalah neurologis dan genetik, artinya
gangguan ini merupakan gangguan di dalam otak (neurologis) yang disebabkan karena faktor
keturunan. Biasanya diantara anggota keluarga juga ada yang merupakan penyandang
gangguan belajar (Learning Disabilities). Saat ini banyak sekali publikasi terutama dari
kelompok terapi alternatif yang mengajukan teori-teori alternatif tentang penyebab gangguan
belajar (Learning Disabilities). Namun teori-teori alternatif tersebut tidak melalui dukungan
penelitian ilmiah. Misalnya, gangguan belajar karena keracunan logam berat, keracunan
makanan, alergi dan intoleransi makanan, gizi kurang baik, obat-obatan, zat-zat kimia, gangguan
perkembangan refleks (misalnya saat bayi anak tidak melalui tahapan merangkak).
Sekalipun sudah diketahui bahwa gangguan belajar (Learning Disabilities) adalah gangguan
neurologis dan genetik, namun mekanisme yang terjadi di dalam otak sehingga seseorang
tersebut mengalami gangguan belajar (Learning Disabilities), hingga saat ini masih belum bisa
dipahami sepenuhnya, para ahli masih terus berupaya untuk mengetahuinya melalui berbagai
penelitian ilmiah.
Karena sulitnya mengatasi terutama menghilangkan masalah gangguan belajar (Leaning
Disabilities) ini (karena masalahnya berada di dalam kromosom) muncullah upaya-upaya
alternatif tersebut mulai dari penggunaan obat-obatan (smart drugs), megadosis vitamin, terapi
diet, terapi kacamata prisma, terapi warna, terapi cahaya, dan berbagai terapi lain seperti terapi
gerak, pemijatan, dan sebagainya. Namun upaya ini janganlah dianggap sebagai upaya ideal,
karena tidak didukung oleh penelitian ilmiah yang baik.
Yang dapat diupayakan baik oleh guru kelas dan orang tua adalah mensiasati dan memberi
kompensasi serta toleransi kepadanya, agar para penyandang gangguan belajar (Learning
Disabilities) dapat mengikuti pembelajaran dengan sebaik-baiknya.

2.2. Apa yang terjadi pada gangguan belajar?

Yang terjadi pada gangguan belajar

12
- adanya perbedaan antara prestasi dan potensi
- pola prestasi yang tidak harmonis dan/atau profil kapasitas/potensi yang tidak
harmonis
- merupakan gangguan neurologis
- merupakan gangguan yang ekslusif
- dapat memberikan gejala sosial-emosional

Adanya perbedaan (deskrepansi) antara prestasi dan potensi

Bagi seorang anak dengan inteligensi normal sampai tinggi, saat memasuki usia sekolah dasar,
biasanya kita mengharapkan bahwa ia akan dapat mengikuti kegiatan pembelajaran dengan baik.
Dapat berprestasi setidaknya secara rata-rata bila dibandingkan dengan teman sebayanya. Namun
jika ternyata anak kita mengalami kesulitan dalam menerima pembelajaran, dan mempunyai
prestasi yang jauh tertinggal dari teman sebayanya, maka kita perlu mempertanyakannya.
Berbagai kemungkinan yang bisa menyebabkan masalah belajar perlu kita lihat (apakah
masalahnya primer ataukah disebabkan masalah sekunder). Apabila bisa diketahui bahwa apa
yang kita harapkan ternyata ada perbedaan dengan kenyataan maka hal ini dapat disebut adanya
deskrepansi atau perbedaan yang siknifikan antara prestasi yang diharapkan dengan potensi
yang dimilikinya yaitu inteligensi normal hingga tinggi.

Pola prestasi yang tidak harmonis dan/atau profil kapasitas/potensi yang tidak harmonis

Gangguan belajar dapat juga kita lihat melalui pola prestasi anak didik dalam menempuh
pembelajaran. Misalkan dalam beberapa mata ajaran yang lebih banyak menggunakan
kemampuan berbahasa akan mendapatkan angka jauh tertinggal dibanding teman-temannya,
namun mempunyai angka dari pelajaran yang lebih menggunakan kemampuan logika
matematika dan analisa mendapatkan nilai rata-rata bahkan sangat jauh melebihi rata-rata teman-
temannya. Keadaan ini menunjukkan adanya prestasi yang sangat tidak harmonis, yang
memerlukan pemeriksaan lebih lanjut mengapa ketidak harmonisan prestasi tersebut dapat
terjadi. Kemungkinan ia mengalami gangguan belajar.

Kapasitas atau potensi anak dapat juga kita lihat melalui profil tes inteligensi (tes IQ). Umumnya
tes inteligensi terdiri dari dua subtes, yaitu IQ verbal dan IQ performance (non verbal). Bila
kedua subtes itu menujukkan perbedaan yang besar melebihi 15 poin maka dapat dikatakan

13
bahwa ia mempunyai profil yang tidak harmonis. Keadaan ini memungkinkan adanya gangguan
belajar pada si anak.

Perhatian!
Apabila si anak mendapatkan angka yang tertinggal secara umum, dengan kata lain, ia tertinggal
dalam semua mata ajaran, maka keadaan ini harus ditinjau kembali. Kemungkinan memang ia
bukan seorang anak penyandang gangguan belajar tetapi kemungkinan ia mempunyai
perkembangan inteligensi memang di bawah rata-rata.

Gangguan belajar merupakan gangguan neurologis

Gangguan belajar disebut sebagai gangguan neurologis karena gangguan belajar mempunyai
akar masalah pada kekurangan dalam perkembangan fungsi kognitif (inteligensi) di otak. Ada
satu atau lebih area inteligensi yang mengalami kekurangan dalam perkembangannya. Misalnya
beberapa bagian kemampuan berbahasa, atau kekurangan dalam kemampuan pandang ruang
(dimensi) yang akhirnya si anak mengalami kesulitan dalam menempuh pembelajaran.

Dengan demikian seorang anak dapat dikatakan mengalami gangguan belajar jika memenuhi
gejala-gejala di atas yaitu adanya deskrepansi yang nyata antara potensi dan prestasi, adanya
ketidak harmonisan prestasi, dan ketidak harmonisan profil inteligensi. Dalam menempuh
pembelajaran si anak juga mengalami kesulitan (prestasi di bawah rata-rata) dalam mata ajaran
tertentu (tidak semua mata ajaran), misalnya membaca, mengeja, menulis, dan atau berhitung,
dimana akar masalahnya berasal dari fungsi kognitif anak yang memang kurang.

Gangguan belajar adalah eksklusif

Gangguan belajar merupakan gangguan yang ekslusif sebagai gangguan fungsi kognitif yang
tidak dipengaruhi karena adanya gangguan neuro-motorik, gangguan sensorik, rendahnya
inteligensi, gangguan emosional, atau karena faktor-faktor lingkungan (keluarga, sekolah), dan
kurangnya asupan makanan/gizi.

2.3. Tidak dipengaruhi oleh lingkungan

14
Gangguan belajar sebagai masalah belajar primer yang akar masalahnya berada di dalam otak
dan genetik, pada dasarnya tidak dipengruhi oleh lingkungan. Lingkungan artinya disini dalam
pengertian luas, yaitu baik lingkungan keluarga, sekolah, asupan gizi, penyakit-penyakit tertentu,
kekurangan stimulasi, dan sebagainya. Apabila seorang anak mengalami gangguan penyakit atau
kecelakaan sehingga menyebabkan prestasinya jatuh dan mengalami kemunduran fungsi kognitif
maka kondisi ini disebut gangguan belajar sekunder atau disleksia sekunder.

2.4. Terbanyak pada laki-laki

Dari laporan berbagai penelitian, menunjukkan bahwa terbanyak penderita gangguan belajar
(Learning Disabilities) adalah laki-laki. Berapa angka yang dapat dilaporkan dari berbagai negara
sangat bervariasi. Hal ini disebabkan karena gangguan belajar (Learning disabilities) sangat
dipengaruhi oleh sistem berbahasa suatu negara. Negara-negara yang menggunakan bahasa yang
penulisannya berbeda dengan pengucapannya, seperti misalnya bahasa-bahasa Eropa, angka
bergangguan belajar akan lebih tinggi daripada anak-anak yang menggunakan bahasa dimana
bunyi dan tulisannya sama. Misalnya bahasa Indonesia.
Jumlah penyandang gangguan belajar, dari satu negara ke negara lain berbeda-beda, hal ini juga
banyak dipengaruhi selain karena bahasa setempat, juga tes untuk menyatakan bahwa seorang anak
bergangguan belajar masih tidak ada kesamaan. Namun angkanya berkisar dari 3 hingga 5 persen,
dengan jumlah terbanyak padal aki-laki.

2.5. Tipe dan subtipe gangguan belajar

Ada dua cara pemrosesan informasi (di otak) yang masuk melalui organ sensoris. Informasi
tersebut masuk melalui organ sensor telinga dan mata, yang kemudian melalui sistem persyarafan
dikirim ke otak untuk diproses lebih lanjut. Namun pada penyandang gangguan belajar,
pemrosesan informasi di bagian otak ini mengalami gangguan fungsi. Karena itu tipe gangguan
belajar menurut DJ Bakker (1985) secara garis besar dapat dibagi menjadi dua:
1) tipe gangguan belajar yang disebabkan karena terganggunya pemrosesan informasi melalui
telinga ( auditif);
2) tipe gangguan belajar yang disebabkan karena terganggunya pemrosesan informasi melalui
mata (visual ).

15
Sumber: Dumont JJ (1994) Dyslexie, theorie, diagnostiek, behandeling, Lemniscaat bv, Rotterdam

Tipe terganggunya pemrosesan informasi auditif

Pada tipe ini, fungsi organ telinganya sendiri tidak bermasalah, namun yang mengalami gangguan
fungsi adalah bagian di otak yang memproses informasi bunyian yang masuk melalui telinga.
Gangguan ini akan merupakan gangguan penerimaan (persepsi) bentuk bunyian, yang
menyebabkan kesalahan bunyian yang diucapkan oleh si penyandang. Akibatnya adalah ia salah
mengucapkan kembali bunyian atau kata-kata yang dikeluarkan oleh orang lain. Karena gangguan
pada tipe ini kemudian akan menyangkut pada gangguan berbahasa maka tipe ini seringkali
disebut sebagai gangguan belajar tipe L (linguistik). Pirazola (1981) menyebutnya sebagai tipe
Auditif-linguistik.

Tipe terganggunya pemrosesan informasi visual.

Pada tipe ini yang mengalami gangguan adalah fungsi pemrosesan informasi melalui mata,
sehingga ia mengalami kesalahan persepsi saat menangkap simbol huruf, angka, dan ikon-ikon.
Kesalahan itu dapat berupa melihat huruf yang terbalik-balik (inversi), misalnya huruf d dilihat
sebagai b, p menjadi q, atau tidak lengkap misalnya huruf h menjadi n. Karena kesalahannya
dalam persepsi melalui visual maka tipe ini disebut sebagai gangguan belajar tipe P (persepsi).
Pada tipe ini juga bisa terjadi kondisi yang lebih parah, bukan hanya kesalahan persepsi saat
melihat huruf-huruf dan angka, tetapi juga dapat mengalami gangguan kemampuan pandang ruang
atau dimensi, sehingga kondisi gangguan belajarnya menjadi bertambah sulit karena kemampuan

16
dimensi dibutuhkan dalam rangka belajar berhitung. Pirazola menyebutnya sebagai tipe Visuo-
spatial.

Sumber: Dumont JJ (1994) Dyslexie, theorie, diagnostiek, behandeling, Lemniscaat bv, Rotterdam

Subtipe gangguan belajar


Karena gangguan yang terjadi dapat disebabkan karena kondisi yang beragam, maka gangguan belajar
terutama disleksia dapat menunjukkan gejala yang beragam pula.
Namun dari sekian banyak kondisi yang dapat menyebabkan gangguan belajar ini, subtipenya dapat
dibagi menjadi 4 (menurut de Fries & Decker 1982 dalam Dumont, 1994). Subtipe dibagi berdasarkan
masalah-masalah yang dapat berdasarkan pada saat:
1. Membaca yaitu berupa:
- Berhitung
- Tehnik membaca
- Pemahaman bacaan
- Mengeja
2. Berpikir dengan kemampuan pandang ruang
yaitu:
- Inteligensi non-verbal (performance intelligence)
- Hubungan pandang ruang/dimensi
3. Kecepatan pemrosesan simbol, yaitu:
- Substitusi (ketepatan mencandra tulisan, misalnya disajikan tulisan “pondok” – dengan
gambar sebuah rumah – maka ia tidak mengganti kata “pondok” dengan kata “rumah”)

17
- Kecepatan pencanderaan (kecepatan memberi nama huruf dan angka saat ditunjukkan
huruf dan angka)
Dari ketiga faktor yang dikelompokkan itu, didapatkan empat subtipe disleksia.
Subtipe 1 adalah kelompok yang mengalami rendah pada kemampuan membaca dan berpikir dengan
kemampuan pandang ruang.
Subtipe 2 adalah kelompok yang rendah pada kemampuan membaca dan kecepatan pemrosesan
simbol.
Subtipe 3 adalah kelompok yang rendah pada kemampuan membaca namun mempunyai kemampuan
normal pada kemampuan pandang ruang dan kecepatan pemrosesan simbol. Kelompok ini sering
disebut kelompok murni disleksia.
Subtipe 4 adalah kelompok yang mengalami gangguan di berbagai kemampuan.

Keterangan:
M = kemampuan membaca
PR = kemampuan pandang ruang
KPS = kemampuan kecepatan pemrosesan simbol
Tanda - - - = kelompok normal
Tanda ____ = kelompok gangguan belajar disleksia

Sumber: Dumont JJ (1994) Dyslexie, theorie, diagnostiek, behandeling, Lemniscaat bv, Rotterdam

18
Subtipe 3 adalah subtipe yang paling banyak. Hampir setengah penyandang gangguan belajar
(Learning Disabilities) merupakan subtipe 3 ini. Subtipe ini sering disebut anak yang mengalami
kesulitan membaca. Sekalipun membacanya cukup cepat, tetapi mengalami kesalahan dan gangguan
pemahaman bacaan. Masalah utama yang terjadi adalah terganggunya atau kurangnya kemampuan
fonologis pada anak. Gejalanya si anak mengalami kesulitan otomatisasi memberikan nama-nama dari
simbol-simbol (huruf dan angka) yang dilihatnya. Dalam hal ini ia juga mengalami kesulitan
memberikan nama huruf karena mengalami kebingungan arah. Misalnya huruf b yang perutnya ke
depan selalu terbalik-balik dengan d yang perutnya ke belakang.
Subtipe 3 ini juga sering disebut penyandang disleksia murni. Kelompok ini umumnya mengalami
gangguan dengan gejala mengalami keterlambatan bicara. Ia juga mengalami gangguan kesadaran
akan asosiasi huruf dan bunyian (phonic dan phonemic awarness). Ia kurang mengerti bahwa setiap
huruf mempunyai bunyian tertentu yang dapat disusun menjadi bunyian yang lain, serta dapat
dipindah-pindah dan akan membentuk bunyian lain lagi.

Subtipe 1 adalah subtipe yang cukup banyak, yaitu sekitar 25 persen dari kelompok anak bergangguan
belajar. Kelompok ini selain mengalami gangguan membaca juga disertai gangguan pandang
ruang/dimensi. Sehingga ia juga mengalami gangguan berhitung (diskalkulia) yang parah.

Subtipe 2 adalah subtipe yang hampir sama banyak dengan subtipe 1, yaitu yang mempunyai
gangguan pada kemampuan membaca dan gangguan kecepatan membaca. Ia menjadi pembaca
yang lambat dan terbata-bata. Namun tidak mengalami gangguan fungsi pandang ruang, sehingga
kemampuan berhitungnya masih cukup baik, hanya saja ia mengalami gangguan dalam kecepatan
mencandra simbol.

Sedang subtipe 4 berjumlah sangat sedikit, sekalipun mempunyai IQ cukup baik, namun ia
mempunyai banyak kesulitan, baik kemampuan membaca, kecepatan membaca, juga gangguan
pada pandang ruang. Selain ia mengalami disleksia, ia juga mengalami gangguan diskalkulia.

19
BAB 3
SYARAT BERKETRAMPILAN BELAJAR
Setiap anak bergangguan belajar mempunyai kekhususan masing-masing. Baik luas maupun
keparahan gangguannya. Hal ini tergantung dari kompleksitas gangguan, yang dapat diperparah oleh
berbagai gangguan ikutan, serta tingkatan inteligensi masing-masing. Jika kita melihat bagan di
bawah ini, ketrampilan belajar (membaca – mengeja – menulis – berhitung) dipengaruhi oleh berbagai
kemampuan kedua organ sensor (mata dan telinga) serta pemrosesannya di otak. Karena itu syarat
berketrampilan belajar membaca-mengeja-menulis-berhitung antara lain dibutuhkannya fungsi dan
pemrosesannya di otak yang baik. Bila terjadi salah satu gangguan dalam fungsi dan pemrosesannya,
maka akan terjadilah gangguan belajar itu.

3.1. Kemampuan pemrosesan informasi visual dan auditif sebagai syarat berketrampilan
belajar

Sumber: Dumont JJ (1994) Dyslexie, theorie, diagnostiek, behandeling, Lemniscaat bv, Rotterdam

Dalam hal ini mata akan melakukan pencandraan visual yaitu melakukan indentifikasi, mengenal
bentuk, membeda-bedakan (diskriminasi) dari apa yang dilihatnya. Dengan pencandraan visual kita
juga akan melakukan analisa, mengkristalisasi apa yang dilihatnya (sintesa), serta mengambil
kesimpulan dari apa yang dilihatnya. Pendek kata pekerjaan mata adalah selain meregistrasi apa yang
dilihatnya ia juga mempunyai pekerjaan membedakan, dan membuat kesimpulan. Segala apa yang

20
dicatat ini akan dalam bentuk gambaran-gambaran yang disebut sebagai grafem (huruf, angka,
simbol-simbol). Mata mencatat secara simultan semua gambaran yang diterimanya.
Pada anak-anak yang mengalami gangguan pencandraan visual, ia sering mengalami kebingungan
arah antara kiri dan kanan, sehingga terjadilah kesalahan pada saat melihat huruf-huruf yang sulit
diinterpretasi oleh matanya sebagai huruf /p/ atau /q/ ; huruf /b/ atau /d/. Semua ini disebabkan
karena adanya gangguan pemrosesan grafem (gambar huruf) oleh otak. Kelak jika dalam tes untuk
menentukan apakah ia mengalami gangguan di bagian ini, jika diberi tes suatu kata dengan huruf yang
ditukar-tukar tempatnya ia akan mengalami kesulitan.
Demikian juga telinga, akan melakukan pencandraan auditif, ia akan mengidentifikasi dan
mendiskriminasi (membeda-bedakan) suara yang masuk, menganalisanya, mensintesanya, lalu
mengambil kesimpulan terhadap suara tersebut. Segala suara yang masuk melalui telinga yang
kemudian akan dicatat atau diregisterasi dalam bentuk informasi, akan dalam bentuk urutan suara
(sekuensial). Disinilah beda karakteristik informasi yang masuk melalui telinga dan mata. Jika mata
mencatat informasi secara simultan, sedang telinga mencatat informasi secara berurutan
(sekuensial). Bentuk informasi bunyian yang masuk ini disebut sebagai fonem (bunyian dalam
bentuk kata).

Pada saat belajar membaca dan menulis, seorang anak akan menggunakan kedua pemrosesan
informasi tersebut sekaligus. Bila seorang guru menyebutkan satu kalimat yang harus dicatat dalam
sebuah pelajaran imla, si anak akan mendengar berbagai kata secara berurutan masuk ke dalam
telinganya, dan disalurkan melalui persyarafan menuju otak. Di dalam otak suara-suara tersebut akan
diidentifikasi dan diproses lebih lanjut yang pada akhirnya akan dikonversi menjadi simbol-simbol
huruf-huruf berurutan dalam sebuah kata dan akhirnya dalam sebuah kalimat. Proses ini disebut proses
transportasi dari auditif ke visual.
Dari sini informasi ini kemudian siap disalurkan melalui persyarafan ke jari-jari untuk ditulis.

Atau sebaliknya jika seorang anak membaca sebuah kalimat, ia harus menyusunnya dalam bentuk
urutan kata-kata yang harus diucapkan. Proses ini merupakan proses transportasi dari visual ke
auditif.
Pada anak normal kedua proses bolak-balik itu terjadi secara otomatis. Setelah melalui latihan-latihan,
otomatisasi akan menjadi lebih baik.
Namun jika ada gangguan di salah satu kemampuan pemrosesan informasi (auditif ataupun visual),
maka proses transportasi itu menjadi lambat, bahkan terjadi kegagalan. Hal ini yang harus

21
diperhatikan mengapa seorang anak mengalami kesulitan pada saat belajar. Apakah terjadi
gangguan di bagian pemrosesan auditif, visual atau pada saat trasportasi dan otomatisasi.
Fungsi sensor penglihatan dan pendengaran

Sumber: Dumont JJ (1994) Dyslexie, theorie, diagnostiek, behandeling, Lemniscaat bv, Rotterdam

GANGGUAN BELAJAR
BAB 4

PEMAHAMAN GEJALA

4.1.Pemahaman gejala dari berbagai bidang


Gangguan belajar (Learning Disabilities) adalah suatu diagnosa yang memerlukan pengkajian dari
berbagai bidang. Karena gangguan itu berada di otak, maka gangguan ini juga menjadi bidang
pengamatan para dokter neurologi. Karena masalahnya muncul dalam bidang pendidikan maka kajian
disleksia juga dilakukan oleh para ahli kependidikan berkekhususan yang disebut orthopedagog.
Karena berbagai prasyarat belajar adalah juga menyangkut kesiapan secara emosional, dan kognitif
(inteligensi) maka bidang ini juga merupakan kajian para psikolog.

22
Prasyarat kesiapan belajar juga ditentukan oleh kematangan secara fisik, karenanya juga menjadi
kajian para dokter anak. Karena itu seorang anak yang mengalami masalah dan gangguan belajar
memerlukan pemeriksaan dari banyak profesi. Untuk menjawab masalah tersebut diperlukan
pengetahuan dari sejumlah profesi, melalui pemeriksaan dalam bentuk kolaborasi maupun rujukan.
Hal ini untuk melihat faktor-faktor yang mampu berperanan sebagai pembawa risiko disleksia, atau
menjadi pemberat disleksia. Setelah hal itu diketahui semua, yang paling menentukan apakah seorang
anak penyandang disleksia adalah seorang tenaga ahli kependidikan (orthopedagog) atau psikolog
sekolah. Dua profesi inilah yang melakukan asesmen atau melakukan tes-tes disleksia.
Karena itu sangat penting artinya seorang tenaga ahli kependidikan anak berkekhususan
(orthopedagog) dan psikolog sekolah untuk menterjemahkan segala informasi yang masuk dan
memberikan bimbingan kepada guru kelas maupun orang tua bagaimana menanganinya dalam rangka
pendidikan dan pengasuhannya, serta membuat rujukan bila diperlukan.

4.2. Gejala Gangguan Belajar dari pengalaman yang dihadapi guru dan orang tua

Sebagaimana dijelaskan di bagian depan bahwa gangguan belajar (Learning Disabilities) adalah
sebuah gangguan yang kasat mata, dan hanya dikenakan pada anak-anak yang mempunyai kecerdasan
normal hingga tinggi. Dari pengalaman sehari-hari seringkali guru dan orang tua melihat bahwa si
anak mudah mengerti dan mampu memahami pengetahuan. Namun kenyataannya hasil prestasi
sekolahnya selalu jatuh.
Apabila seorang anak memang sulit menerima pembelajaran sejak awal, yaitu kesulitan dalam
pelajaran menulis, berhitung, mengeja dan membaca, maka kita bisa memperkirakan bahwa
kemungkinan ia memang mempunyai inteligensi yang lemah. Namun jika si anak menunjukkan seolah
ia mampu memahami pelajaran, namun ternyata hasilnya tidak sesuai, maka kita menjadi bertanya-
tanya. Bila kita mendapatkan hal seperti ini, maka kita harus waspada kemungkinan si anak
mempunyai gangguan belajar. Kondisi seperti ini disebut: adanya deskrepansi yang nyata antara
potensi belajar dan kesuksesan belajar. Namun untuk menentukan apakah seorang anak memang
mempunyai gangguan belajar sebagai masalah belajar primer (Learning Disabilities) perlu dilakukan
pemeriksaan dan berbagai tes baginya. Pihak sekolah dapat mendeteksi dengan membandingkannya
dengan norma untuk anak seusianya, atau dengan prestasi anak secara rata-rata kelas. Bila si anak
mempunyai ketertinggalan lebih dari setahun maka dapat dikatakan bahwa si anak memang
mengalami ketertinggalan yang siknifikan. Guru dan orang tua harus segera mengambil berbagai
tindakan bukan hanya untuk memperbaiki strategi, mengejar ketertinggalan, tetapi juga sebagai upaya
prevensi agar masalahnya tidak merambat ke masalah emosional, sosial dan masalah perilaku.

23
4.3. Gejala Gangguan Belajar dalam psikologi klinis

Disleksia adalah suatu perbedaan yang siknifikan antara potensi/kapasitas dan prestasi. Untuk
mengambil kesimpulan seperti itu maka kita harus menentukan terlebih dahulu seorang anak
mempunyai kapasitas potensi seberapa tinggi. Untuk menetukan kapasitas potensi ini seorang psikolog
pendidikan akan mengukur potensi kecerdasan anak melalui tes inteligensi. Tes inteligensi ini
merupakan tes yang luas yang dapat melacak berbagai kemampuan seorang anak. Pada dasarnya
dibagi dalam dua bagian, yaitu yang berkaitan dengan inteligensi verbal (verbal IQ) dan inteligensi
performansi (performansi IQ). Setiap bagian (verbal dan performansi tes) masih dibagi-bagi lagi dalam
beberapa subtes yang lebih spesifik. Bila dari hasil pemeriksaan inteligensi ini menunjukkan IQ
normal sampai tinggi, namun prestasi yang diperoleh tidak menunjukkan prestasi sebagaimana yang
diharapkan, maka kita perlu mencurigai kemungkinan si anak mempunyai masalah belajar, primer atau
sekunder yang harus dilacak lebih lanjut.
Hanya dengan pengukuran IQ sendiri tidak dapat untuk menegakkan diagnosa apakah seorang
anak mempunyai masalah gangguan belajar, namun dapat untuk melihat resiko kemungkinan si
anak mempunyai masalah gangguan belajar. Misalnya jika diketahui bahwa ada deskrepansi yang
mencolok antara verbal IQ dan performansi IQ. Atau terjadi ketidak teraturan (ketidak harmonisan)
yang mencolok dalam berbagai subtes baik dalam subtes verbal IQ maupun performansi IQ. Biasanya
diambil kesimpulan adanya risiko kemungkinan seorang anak dalam proses pembelajarannya akan
mengalami masalah gangguan belajar jika deskrepansi atau perbedaan itu sebanyak melebihi 15 poin.

Dari berbagai penelitian tentang penyandang disleksia, umumnya anak-anak tersebut mempunyai
deskrepansi yang besar antara verbal IQ dengan performansi IQ, dimana verbal IQ lebih rendah
daripada performansi IQ. Hal seperti ini dapat disebabkan karena anak-anak ini umumnya mengalami
gangguan perkembangan bahasa dan bicara (mengalami gangguan fonologis), mengalami kesulitan
membaca sehingga kurang membaca yang menyebabkan beberapa skor dalam subtes verbal
mendapatkan skor rendah. Seperti misalnya jumlah daftar kata-kata, mengalami kesulitan dalam
kemampuan substitusi dan pemahaman.
Sebaliknya pada anak yang mengalami gangguan belajar non-verbal (NLD) akan menunjukkan
gambaran IQ dimana performansi IQ jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan verbal IQ (VIQ >
PIQ) – perbedaannya melebihi 40 poin. Sementara verbal IQ dalam batas normal ke atas, namun
performansi IQ berada di bawah normal.

24
4.4. Masalah belajar dalam neurologi

Awal masalah belajar diketahui dari keadaan gangguan yang dahulu diberi istilah MBD (Minor Brain
Damage). Karena kerusakan otak tidak dapat dilihat melalui penciteraan otak (rontgen maupun
scanning otak) maka Minor Brain Damage diganti dengan istilah Minor Brain Dysfuntion. Gejala
anak-anak ini adalah hiperaktif, impulsif dan gangguan konsentrasi (pemusatan perhatian). Terakhir
kini istilah ini diganti dengan ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorder) atau Gangguan
Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH). Sekalipun seorang anak penyandang ADHD
mempunyai kesulitan belajar (Learning Difficulties), namun belum tentu mempunyai masalah
gangguan belajar (Learning Disabilities). Untuk melacaknya masih memerlukan lagi melalui
pemeriksaan yang dilakukan oleh seorang ahli kependidikan anak berkekhususan, yang disebut
orthopedagog.

Pemeriksaan dalam bidang kedokteran neurologi (ilmu syaraf), yaitu:


 Pemeriksaan fisik secara umum
 Pemeriksaan fungsi sensorik
 Pemeriksaan fungsi syaraf
 Pemeriksaan syaraf pusat (otak)
 Refleks
 Motorik
 Lateralisasi dan keseimbangan tangan, mata, dan kaki
 Kordinasi mata-tangan
 Konsentrasi
 Artikulasi
 Sensitivitas
Dari bidang neurologi akan diperkirakan bahwa seorang anak akan mengalami gangguan belajar jika
didapatkan tanda-tanda adanya gangguan neurologi, yang antara lain didapatkan gejala-gejala ke arah
itu dari pemeriksaan antara lain (Aldekamp dkk, 2004):
 gangguan tempo pada urutan unit bahasa, yaitu gangguan pada pecandraan dan mengingat
urutan huruf, suku kata, dan bunyian;
 gangguan pada diskriminasi auditif (membedakan bunyian);

25
 gangguan pada seleksi pencandraan/seleksi perhatian, yaitu membedakan mana yang latar
belakang, dan mana yang menjadi figur utama;
 gangguan pada visuo-spasial organisasi, misalnya kiri-kanan, orientasi ruang;
 gangguan pada pengenalan melalui panca-indera taktil, yaitu pengenalan figur melalui
perabaan.

Dari pemeriksaan dokter neurologi ini kita masih belum dapat menyebutnya ia adalah penyandang
disleksia, karena dokter neurologi tidak melakukan tes-tes disleksia itu sendiri. Hasil yang diperoleh
dari dokter neurologi adalah berbagai faktor risiko yang kemungkinan akan menyebabkan anak
mempunyai masalah gangguan belajar disleksia.

Sekalipun masalah gangguan belajar mempunyai kaitan dengan masalah perkembangan otak, namun
hingga kini penegakan diagnosa gangguan belajar (Learning Disabilities) dengan menggunakan
perangkat penciteraan otak - misalnya Computed Thomography (CT-scan), Brain Electrical Activity
Mapping (BEAM), dan Magnetic Resonans Imaging (MRI), atau dengan menggunakan Qualitative
Encephalography (QEEG) masih dalam rangka penelitian dan belum ada hasil yang konkrit. Sehingga
penegakan diagnosa gangguan belajar melalui penciteraan otak dalam bidang neurologi ini masih
belum bisa dilakukan.

4.5. Masalah belajar dalam ilmu kedokteran anak

Seorang dokter anak terutama dokter anak tumbuh kembang akan mencatat berbagai penyimpangan
tumbuh kembang seorang anak. Sementara itu tumbuh kembang yang baik dan
harmonis adalah merupakan prasyarat dari kecakapan seorang anak dalam menempuh pendidikan.
Karena itu seorang dokter tumbuh kembang perlu memberikan “bendera merah” kepada para orang tua
jika didapati adanya tanda-tanda penyimpangan perkembangan fisik, emosi, sosial, motorik, bahasa-
bicara, adaptasi dan kemandirian.
Pertumbuhan dan perkembangan yang perlu mendapatkan pemantauan secara berkala bagi seorang
anak adalah:
- perkembangan fisik
- perkembangan kognitif yang diamati melalui perkembangan senso-motor
- perkembangan bahasa dan bicara
- perkembangan sosial
- perkembangan emosional

26
- perkembangan kemampuan kreativitas
- perkembangan personalitas

Namun sayangnya berbagai kemampuan yang selayaknya mendapatkan pemantauan secara berkala,
karena berbagai hambatan, hingga kini di Indonesia masih belum dilaksanakan.

4.6. Masalah belajar dalam ilmu patologi bahasa dan bicara

Perkembangan berbahasa dan bicara juga akan mempengaruhi seorang anak mempunyai ketrampilan
belajar, baik menulis, membaca, mengeja, dan juga akan mempengaruhi ketrampilan berhitung. Selain
daftar kata aktif dan pasif yang dimiliki anak agar bisa mendukung berketrampilan belajar, si anak
juga perlu mempunyai apa yang disebut phonic & phonemic awarness yaitu pemahaman dan
kesadaran anak tentang bunyian dan hubungannya dengan huruf – serta huruf yang membentuk kata.
Kini telah diketahui bahwa kekurangmampuan dalam perkembangan dalam area ini akan
menyebabkan anak akan mengalami gangguan belajar membaca yang cukup menyulitkan. Contoh
phonic & phonemic awarness ini misalnya anak di kelas satu sekolah dasar ditanya:
Ada huruf apa ditengah kata “mas” ? Ia harus dapat menjawab dan membunyikan huruf “a”.
Huruf apa di depan kata “apel” , maka ia harus bisa menjawab bahwa yang ada di depan kata apel
adalah huruf “a”. Huruf apa di tengah kata “ibu” ? Ia juga harus bisa menjawab, bahwa di tengah
kata “ibu” ada huruf “b” . Bila didapatkan seorang anak menjawab ada “perut” di tengah kata
“aku” , maka kita perlu hati-hati terhadap situasi ini.

Perkembangan phonic & phonemic awarness ini kini semakin dirasa sangat penting sekali untuk
memperkirakan perkembangan belajar anak kelaknya di bangku sekolah. Karena itu kini phonic &
phonemic awarness ini semakin diajarkan dan dikembangkan pada anak-anak sejak dini saat anak
mulai masuk kelompok bermain.

Untuk melihat adanya kemungkinan seorang anak mengalami masalah dalam pembelajaran, seorang
ahli patologi bahasa dan bicara akan melihat beberapa aspek perkembangan anak dalam berbicara
dan berbahasa. Aspek-aspek itu adalah:
 Aspek fonologi, yaitu dimana seorang anak dapat membedakan secara benar bunyian yang
diucapkan oleh orang di sekitarnya, ia dapat membentuk bunyian secara benar, urutan yang
benar, serta menempatkannya secara benar dalam sebuah kata. Kemampuan ini adalah
kemampuan awal seorang anak belajar membaca. Perkembangan teori gangguan belajar

27
terakhir adalah lebih menekankan pada masalah terganggunya perkembangan aspek fonologi
ini. Karena itu aspek ini merupakan bagian terpenting dan sangat perlu mendapatkan perhatian.
 Apek gramatika, 1) aspek morfologi yaitu dimana anak dapat mengenal kata kerja dan kata
benda, dan kemudian; 2) mampu membentuk kalimat, kemampuan ini disebut aspek sintaksis.
 Aspek semantik (pemahaman bahasa/bacaan), dimana seorang anak harus mampu
memahami apa yang diucapkan, atau dibacanya.
 Aspek pragmatik (penggunaan bahasa), dalam hal ini si anak mampu menggunakan bahasa
dalam konteks yang tepat dan digunakan untuk apa.

Bila seorang ahli patologi bahasa dan bicara mendapatkan seorang anak mengalami gangguan
perkembangan berbahasa dan bicara, maka ia perlu memberikan “bendera merah” kepada orang tua
agar lebih memperhatikan masalah ini.

Umumnya seorang anak dibawa ke ahli patologi bahasa dan bicara karena ia mengalami
perkembangan berbahasa dan bicara yang tertinggal dari teman-teman sebayanya. Artinya tugas
seorang ahli patologi bahasa dan bicara bukan saja melakukan deteksi dan diagnosa dalam bidangnya,
memberikan intervensi bahasa dan bicara, tetapi juga memberikan informasi prakiraan ke depan
kepada pihak orang tua, guru, konselor maupun ahli kependidikan yang mempunyai hubungan dengan
pihak sekolah. Informasi tersebut berupa beberapa besar kemungkinan kesulitan yang dapat terjadi
yang berkaitan dengan pembelajaran di dalam kelas.

Seorang anak yang mengalami ketertinggalan perkembangan bahasa dan bicara tidak akan otomatis
mengalami gangguan belajar, hal itu tergantung dari luas dan beratnya gangguan. Namun anak-anak
yang mengalami keterlambatan bicara mempunyai risiko mengalami masalah gangguan baik primer
maupun sekunder.

Ilmu patologi bahasa dan bicara ini di Indonesia juga masih belum banyak peminatnya sehingga
ilmunya belum berkembang dengan baik.

4.7. Masalah belajar dalam ilmu kependidikan

Sekalipun seorang ahli kependidikan berkekhususan (disebut orthpedagog) adalah orang terdekat dari
guru, orang tua, dan siswa dalam masalah belajar, namun sebenarnya ia tidak akan mampu bekerja
seorang diri, ia memerlukan dukungan atau bantuan pemeriksaan dari berbagai profesi lainnya.

28
Profesi terdekat baginya adalah seorang psikolog pendidikan/anak, yang akan membantu menguraikan
kapasitas dan potensi inteligensi, kemampuan sosial, kondisi emosional, dan perilaku anak.
Pertama-tama yang harus dilakukan oleh seorang ahli kependidikan berkekhususan adalah data-data
umum anak yang diterimanya dari dokter anak, kemudian data-data khusus gangguan seperti dari
neurolog dan psikiater jika anak mempunyai masalah gangguan perilaku dan masalah psikiatrik
lainnya.

Pemeriksaan pendidikan anak berkekhususan disebut pemeriksaan orthopedagogi-didaktik yang


tujuannya adalah untuk membangun perogram pendidikan individual atau Individual Education
Program (IEP) , yang meliputi:
- kondisi umum anak (dengan melihat riwayat dan berbagai laporan profesi lainnya)
- kemampuan dasar membaca
- tingkatan membaca
- tingkatan berbahasa
- kemampuan dasar berhitung
- tingkatan berhitung
- menulis

Maksud melihat kondisi umum anak, adalah untuk melihat bentuk pendidikan seperti apa yang
sepantasnya dapat ditawarkan kepadanya. Selain itu juga untuk melihat sisi apa saja yang lemah dan
sisi apa saja yang kuat dari seorang anak, termasuk kondisi fisik, psikologis, konsentrasi dan emosi
anak.
Seorang orthopedagog juga perlu memeriksa bagaimana situasi pendidikan di rumah, adakah faktor-
faktor yang menghambat dan mendukung bagi pendidikan anak. Karena bagaimana pun kerjasama
dengan orang tua sangat diperlukan.
Pemeriksaan orthopedagogi-didaktik adalah suatu pemeriksaan melalui beberapa tes, yang dapat
digunakan untuk penempatan sekolah seorang anak.

4.8. Fungsi hemisfere (belahan otak kanan dan kiri)

Otak manusia terdiri dari belahan kiri dan kanan (disebut hemisfere), yang masing-masing mempunyai
fungsi khusus namun tetap bekerja sama antara kiri dan kanan. Antara otak kiri dan kanan
dihubungkan dengan suatu penghubung yang disebut corpus collasum. Perkembangan otak sejak bayi
hingga dewasa akan berubah seiring dengan berkembangnya usia. Dan dominasi otak (kiri dan kanan)

29
juga akan berubah. Pada dasarnya otak kiri dan kanan manusia tidak seimbang, tetapi ada dominasi
dari salah satu belahan otak. Hal ini sangat normal dan sangat dipengaruhi oleh faktor genetik yang
bekerja sebagai cetak biru perkembangan manusia. Jadi tidak benar jika dalam sebuah program
pendidikan kita bertujuan akan menyeimbangkan otak kiri dan kanan. Beberapa penelitian
menunjukkan justru perkembangan otak yang simestris dimiliki oleh kelompok penyandang disleksia.

Perkembangan otak anak saat bayi dilahirkan akan didominasi oleh perkembangan otak sebelah kanan
hingga minggu ke 29. Lambat laun perkembangan itu akan diikuti dengan perkembangan otak sebelah
kiri. Dominasi kanan akan terus berlangsung hingga anak usia sekitar 5-6 tahun. Selanjutnya
dikemudian hari dominasi itu akan diganti oleh dominasi sebelah kiri. Perpindahan dominasi otak dari
kanan ke kiri ini disebut lateralisasi. Pada usia tujuh tahun aktivitas ini selesai dan masa krisis juga
berakhir. Selanjutnya manusia diatur oleh kerja otak secara kontralateral. Artinya otak sebelah kiri
akan mengatur kerja motorik dan sensor sebelah kanan, demikian sebaliknya. Jadi bila sebagian besar
anak belajar menulis dengan tangan kanan artinya si anak berada dalam dominasi otak sebelah kiri.
Hanya sedikit anak yang mempunyai kekuatan tangan di sebelah kiri. Atau kedua tangan kiri dan
kanan mempunyai kekuatan yang sama.

Pada saat masa krisis dimana seorang anak tengah mengalami lateralisasi, sering terjadi anak menulis
seperti bila dibaca melalui cermin, terbalik. Atau ia menulis dari kanan ke kiri, padahal seharusnya
dari kiri ke kanan. Kondisi ini adalah kondisi yang normal dan kelak akan kembali sebagaimana
seharusnya, saat mana masa krisis itu selesai. Namun jika kondisi tersebut tidak dapat kembali
sebagaimana seharusnya maka guru dan orang tua harus waspada, dan perlu ditanyakan kepada dokter
neurologi.

30
Fungsi otak sebelah kanan lebih kepada mengatur faktor emosi, motorik kasar, dan penglihatan
(visual).
Sedang otak sebelah kiri akan lebih mengatur faktor bahasa dan bicara, motorik halus, dan
pendengaran (auditif).

Dengan demikian setiap belahan otak atau hemisfere mempunyai spesialisasi sendiri-sendiri. Otak
sebelah kanan yang lebih mengatur fungsi emosi, motorik, dan visual akan mempunyai pengaruh
pada kapasitas pengorganisasian pandang ruang, kedalaman, aktivasi (dan penghambatan) pada
beberapa bentuk emosi, pengenalan ritme dan dasar-dasar ketrampilan musik (termasuk melodi dan
intonasi bicara), skema tubuh dan pengenalan anggota badan. Saat bayi baru lahir, saat mana bayi
masih didominasi oleh belahan otak kanan, komunikasi antara ibu-anak dilakukan melalui hubungan
emosi dan pengenalan mimik ibu. Pada bayi yang mengalami gangguan perkembangan otak sebelah
kanan ini akan mengalami gangguan pengenalan mimik ibu dan gangguan perkembangan emosi
dimana perkembangan emosi merupakan dasar hubungan sosial. Kelak anak-anak yang mengalami
gangguan ini akan mengalami gangguan belajar nonverbal (Non-verbal Learding Disorder atau NLD).
Begitu juga ia akan mengalami gangguan perkembangan kemampuan pandang ruang, yang akan
berlanjut pada gangguan belajar berhitung. Atau dapat juga, karena ia mengalami gangguan emosi,
maka ia akan juga mengalami gangguan sosial, gangguan bahasa mimik/nonverbal, yang pada
akhirnya ia menjadi penyandang gangguan autisme.

31
Sedang otak sebelah kiri mempunyai fungsi pengaturan masuknya dan pemrosesan informasi auditif
yang sifatnya runtut (sekuensial). Otak sebelah kiri ini juga mempunyai fungsi kerja untuk memilah-
milah dan memecah informasi menjadi bagian kecil-kecil (analisa).

Bila kedua belahan otak itu dipisahkan, dan salah satunya mengalami gangguan maka dapat
diperkirakan bahwa seorang anak yang mengalami gangguan otak di sebelah kiri akan mengalami
gangguan pada perkembangan bahasa, dan bicara, mengenal nama-nama benda, dan mengingat hari
dan tanggal. Pada anak-anak ini juga akan mengalami gangguan mengkira-kira waktu.

Sedangkan gangguan otak di sebelah kanan akan menyebabkan seorang anak mengalami gangguan
perkembangan kemampuan pandang ruang yang berakibat pada gangguan berhitung, gangguan emosi,
ritme musik, dan gangguan motorik.

Ketrampilan tangan kiri dan kanan juga dipengaruhi oleh fungsi belahan otak kanan dan kiri.
Sebanyak 90 persen anak akan menulis dengan tangan kanan, hal ini karena diatur oleh dominasi otak
sebelah kiri. Jika seorang anak lebih trampil menggunakan tangan kiri bukan berarti ia mengalami
gangguan di otak yang patologis (bukan merupakan cacat di otak). Sebaliknya, gangguan
perkembangan lateralisasi bisa juga terjadi karena adanya gangguan di otak. Namun hal ini perlu
dilakukan pemeriksaan sebaik-baiknya. Seringkali anak-anak yang mengalami gangguan belajar juga
diikuti oleh gangguan di otak yang mengatur ketrampilan motorik kasar maupun motorik halus, serta
gangguan perkembangan lateralisasi. Gangguan motorik ini akan lebih memperparah masalah
gangguan belajarnya (Learning Disablilitis-nya). Gangguan motorik itu sendiri bukan merupakan
gangguan belajar (Learning Disabilities).

Jika seorang dokter neurologi menemukan adanya tanda-tanda ketidak beresan perkembangan yang
diatur oleh sususan syaraf pusat (otak), maka dokter neurologi akan memberi “bendera merah” pada
orang tua untuk selanjutnya “bendera merah” ini juga perlu disampaikan kepada psikolog pendidikan
dan ahli kependidikan anak berkekhususan (orthopedagog). Agar pemeriksaan segera dilanjutkan
dalam bidang masing-masing, serta penegakan diagnosa di bidangnya masing-masing, demi persiapan
anak menempuh pendidikan yang sesuai dengan kondisinya.

32
BAB 5

MENENTUKAN BATAS ANTARA GANGGUAN BELAJAR DAN KESULITAN BELAJAR

Tidak semua anak yang mempunyai nilai jelek artinya adalah seorang anak yang mengalami gangguan
belajar (Learning Disabilities) seperti misalnya disleksia atau diskalkulia. Kemungkinan ia
mempunyai masalah-masalah sekunder (learning difficulties) yang mampu mengganggu peraihan
prestasinya. Atau ia membutuhkan metoda berbeda karena memang gaya belajarnya lain.
Anak-anak yang mempunyai masalah-masalah belajar sekunder seperti misalnya gangguan perilaku,
gangguan emosi, gangguan psikiatri, gangguan konsentrasi, gangguan perkembangan majemuk,
gangguan motorik, dan sebagainya, tidak akan otomatis mempunyai masalah belajar primer. Hal ini
masih memerlukan pemeriksaan masalah belajar primer (Learning Disabilities) selanjutnya.

Menentukan batas apakah hal itu termasuk masalah belajar primer atau masalah belajar sekunder,
adalah suatu pekerjaan yang sulit dan membutuhkan pemeriksaan berbagai profesi.
Masalah gangguan belajar (Learning Disabilities) sendiri akan menimbulkan masalah emosi, sosial,
dan perilaku anak, sedang masalah gangguan perilaku dan emosi dapat menurunkan prestasi si anak.
Jadi kedua masalah baik primer dan sekunder dapat bertumpang tindih, dan sulit melihat jika tidak
diikuti dengan observasi yang baik. Jika seorang anak yang mengalami gangguan belajar diikuti juga
dengan gangguan perilaku, emosi, dan konsentrasi sebagaimana penyandang ADHD, maka gangguan
ini akan lebih memperparah proses pembelajaran dan berakibat juga memperparah raihan prestasi
anak. Penyandang ADHD sendiri karena masalah gangguan konsentrasinya dan karakteristiknya yang
seringkali lompat pada kesimpulan (karena impulsivitasnya), ia akan mengalami kesulitan meraih
prestasi, yang dapat memberikan gambaran seolah ia mengalami gangguan belajar (Learning
Disabilities) – padahal kemungkinannya belum tentu.

Sementara itu, penyandang Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) umumnya diikuti
dengan gangguan psikiatri lainnya, dan juga sering diikuti dengan gangguan belajar (Learning
Disabilities). Begitu pula dengan Autism Spectrum Disorder (ASD). ADHD dan ASD, atau gangguan
psikiatri lainnya bukan merupakan masalah belajar primer, artinya tidak termasuk gangguan belajar
(Learning Disabilities). Namun termasuk masalah belajar sekunder atau kesulitan belajar (Learning
Disabilities) yang kemungkinan bisa saja diikuti dengan gangguan belajar (Learning Disabilities).
Sehingga guru dan orang tua juga akan lebih mengalami kesulitan ganda dalam membimbing anak-

33
anak ini. Dalam hal ini guru dan orang tua tidak bisa bekerja sendiri, perlu dibantu oleh tenaga guru
berpengalaman, atau pun konselor sekolah untuk menentukan strategi baginya.
Namun yang sangat penting dan sangat menentukan adalah upaya-upaya dari berbagai pihak untuk
melihat dimana gangguan itu terjadi, sehingga dapat ditentukan strategi penangannannya.

Gangguan perkembangan motorik halus sendiri bukan termasuk gangguan belajar (Learning
Disabilities), namun gangguan motorik halus dan kordinasi mata-tangan merupakan faktor yang
sangat mendukung agar seorang anak dapat menulis dengan baik, dan dapat memperparah gangguan
belajar yang disandang anak. Karena itu harus benar-benar dibedakan apakah tulisannya yang sulit
dibaca dan penulisan huruf-huruf yang salah karena memang ia penyandang gangguan belajar atau
karena motorik halusnya terlalu lemah. Jika kelemahan hanya berada dalam motorik halus, kesulitan
ini dapat diatasi hanya dengan latihan untuk memperkuat motorik halusnya. Atau anak tersebut
diperkenankan menggunakan perangkat komputer. Namun jika selain tulisannya yang buruk, sulit
dibaca, dan banyak kesalahan karena memang masalah gangguan belajar (Learning Disabilities), maka
penanganannya memerlukan ke dua arah, yaitu melatih motorik halusnya dan juga melatih agar ia
mampu memperbaiki kesalahan sebagai akibat masalah gangguan belajarnya.

Karena itu sangatlah penting untuk menentukan batasannya, apakah seorang anak memang mengalami
masalah belajar primer atau masalah belajar sekunder. Bila hal itu bisa ditentukan, maka
penanganannya akan lebih efektif dan efisien. Tidak perlu memberikan semua terapi seperti yang
sering kita temui di lapangan sebagai terapi “paketan”.

Beberapa strategi yang dapat dikembangkan oleh pihak sekolah bersama orang tua sebagaimana di
bawah ini.

5.1. Observasi panjang dan menyeluruh

Informasi bahwa seorang anak mengalami gangguan belajar (Learning Disabilities) bisa saja
didapatkan langsung dari orang tua saat anak didaftarkan oleh orang tua ke sekolah tersebut. Dalam
hal ini informasi ini dapat digunakan dan selanjutnya pihak sekolah dapat bersama-sama dengan
tenaga lain (misalnya psikolog, ahli kependidikan, konselor, guru berpengalaman) dan orang tua,
membuatkan perencanaan program pembelajaran individual (Individual Education Progam = IEP).

Dengan demikian data anak bisa didapatkan melalui:

34
- wawancara dengan orang tua
- observasi panjang terhadap siswa baik di rumah maupun di sekolah
- menggunakan ceklis

Observasi
Observasi ditujukan pada:
 tingkat inteligensi
 motivasi dan komitmen terhadap tugas
 kreativitas
 tempo kerja
 sikap kerja
 hasil kerja
 ketrampilan
 emosi
 perilaku
 hubungan sosial
 kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak selama proses pembelajaran berlangsung
Dalam observasi itu, jika ternyata dalam evaluasi tiga bulan pertama didapatkan adanya ketertinggalan
yang siknifikan dari siswa yang bersangkutan (bandingkan dengan teman-teman sekelasnya), maka
guru bersama orang tua, perlu mengambil tindakan memberikan strategi sesuai dengan kondisi anak.
Kegiatan ini disebut sebagai clinical teaching (akan dijelaskan dalam bab berikutnya). Hal ini
diupayakan agar si anak sementara dalam perkembangannya tidak mengalami trauma karena harus
segera diperiksa kesana kemari, serta untuk menghindari kemungkinan salah pendekatan yang ternyata
si anak hanya membutuhkn strategi berbeda, dan atau si anak masih dalam perkembangan. Kecuali
bila kondisinya memang sangat parah dan pihak sekolah kesulitan untuk menanganinya, maka pihak
sekolah dan orang tua dapat mencari bantuan ke pihak-pihak yang lebih ahli.
5.2.Lakukan rujukan
Apabila kegiatan clinical teaching masih belum menolong, maka tindakan selanjutnya adalah
melalukan rujukan. Pihak sekolah melalui konselor sekolah dapat merujuknya ke psikolog sekolah
atau ke ahli pendidikan berkekhususan. Kedua ahli ini perlu bekerja secara kolaboratif menentukan
pemerikaan-pemeriksaan selanjutnya, serta menentukan kemana ia harus dirujuk ke tempat atau
instansi selanjutnya. Dengan demikian kedua ahli ini yaitu psikolog pendidikan dan ahli kependidikan
berkekhususan adalah gerbang keluar masuk anak dari sekolah maupun akan masuk ke sekolah.

35
Kedua ahli tersebut bisa mendirikan sebuah pusat bantuan psikologi-pedagogi yang membantu
beberapa sekolah sekaligus.

5.3.Pemeriksaan dan tes


Semua hasil pemeriksaan rujukan misalnya ke dokter anak khusus tumbuh kembang, ke neurolog, ke
psikiater, ke dokter THT, ke psikolog khusus perkembangan, dan sebagainya, maka hasil ini perlu
disampaikan kepada ahli kependidikan anak berkekhususan – atau setidaknya psikolog pendidikan
untuk membuat Psycho-Educational Profile (PEP) yang digunakan sebagai dasar pemeriksaan
selanjutnya, menegakkan diagnosa, dan guna menentukan bentuk intervensi yang harus diberikan
terhadap anak. Dari sini dibuatkan sebuah Individual Education Program (IEP) yang secara berkala,
misalnya 3 (tiga bulan) atau per 6 (enam) bulan. Bila dalam evaluasi diperlukan segera adanya suatu
perubahan, maka strategi, materi, dan bentuk penanganannya harus dirubah, dan si anak dibuatkan IEP
yang baru.
Jika dengan tes untuk menentuan gangguan belajar, bisa diketahui bahwa si anak memang
menyandang masalah gangguan belajar (Learning Disabilities), maka arahan penanganannya
dilakukan ke dua arah:
- gangguan belajar dan juga masalah lain yang mengikutinya ( misalnya gangguan perilaku,
emosi, dan sosial)
- faktor kuat yang dimiliki anak

Bila dalam tes tersebut tidak didapatkan adanya tanda-tanda gangguan belajar (Learning disabilities),
yang ditandai oleh tingkat kemampuan membaca (dikte, mengeja, decoding, kecepatan membaca,
tehnik membaca, pemahaman bacaan, menulis, penggunaan bahasa) tidak tertinggal dari teman-
temannya namun ia pada kenyataannya mengalami ketertinggalan prestasi, maka kepada anak ini perlu
diupayakan pemeriksaan ke arah lain yang lebih spesifik. Misalnya karena motorik halusnya yang
lemah, kepadanya perlu adanya pelatihan motorik halus, kordinasi mata tangan, dan latihan menulis.
Bila memang sangat kesulitan, misalkan ia membutuhkan sebuah perlengkapan komputer, kepadanya
dapat ditoleransi menggunakan komputer di dalam kelas.
BAB 6
GEJALA GANGGUAN BELAJAR
6.1. Gangguan dalam pelajaran membaca, mengeja dan menulis

Pengertian tentang gangguan membaca dan menulis mempunyai pengertian yang luas. Gangguan
termudah mengenali gejalanya adalah anak tak mengenal simbol huruf dan tak mengenal angka.

36
Pada dasarnya proses belajar adalah suatu proses multifaktorial, artinya berbagai faktor dapat
sekaligus berpengaruh dalam proses belajar. Huruf-huruf dan kata-kata adalah figur-figur yang
mempunyai bunyi-bunyian tertentu, serta dengan berbagai bunyian secara bersama-sama akan
membentuk arti. Dalam pelajaran membaca faktor berikut turut bermain:
1. Objektif
Kesadaran akan adanya bunyian dalam bicara, dan perwujudan dari bunyian bicara dari
berbagai tanda tanda atau simbol simbol.
2. Mampu mendengarkan dengan baik akan adanya bagaimana sebuah kata berbunyi, serta
mampu mengenal berbagai perbedaannya (bagaimana kecilnya pun) yang terjadi diantara
bunyian bicara, bagaimana urutannya (ordening) dari bunyian itu, sehingga kita bisa merubah
ubah huruf dalam sebuah kata yang akhirnya bisa menjadi arti yang berbeda (lap-pal, pos-sop).
3. Dapat melihat dengan baik perbedaan bentuk huruf-huruf dan kedudukan huruf-huruf itu.
Banyak huruf yang mempunyai bentuk yang mirip satu dengan yang lainnya, misalnya: p, b, d:
v,w: w,m: c,o: h,b. Terutama pada waktu akan menulis harus ada contoh, misalnya sebuah
demonstrasi bagaimana caranya sebuah huruf harus ditulis melalui yang diberikan dengan cara
gerakan gerakan yang bisa dilihat.

Pada setiap aspek membaca, gangguan bisa saja terjadi yang nampak pada tugas membaca yang agak
sulit, si anak kelihatan kesulitan mengkaitkan antara apa yang ia dengar dengan yang ia lihat. Pada
stadium awal kelihatan jika ia kesulitan mengasosiasikan antara bunyi dengan simbol, serta kesulitan
menangkap dengan cepat berbagai bunyian itu agar bisa segera diwujudkan dalam bentuk kata-kata
yang dikeluarkannya.
Pada anak-anak seperti ini selalu saja terdapat keraguan dalam memilih huruf, misalnya apakah ini
huruf b atau h. (Terutama dalam fonetik bu atau hu). Pilihan dan keraguan ini selalu muncul dalam
tingkat kesadarannya dan menyita waktu banyak, yang jika anak-anak ini harus mengikuti pelajaran
sistem klasik, maka ia tidak akan bisa mengikutinya
Anak-anak ini mengalami kesulitan mensintesa sejumlah huruf yang terlepas-lepas. Baginya akan
menyita enerji untuk membentuk kata-kata dalam sebuah bunyian yang berarti, karena itu wujud kata-
kata tidak mudah untuk ditampilkan. Itulah sebabnya selalu saja terjadi kelambatan dalam pelajaran
membaca. Pada tingkat yang lebih tinggi, anak-anak ini akan tetap saja tersandung dalam pelajaran
mengeja, sekalipun sudah duduk di sekolah lanjutan, ia akan tetap kesulitan untuk membaca teks
dengan baik, apalagi untuk mengingat isinya.

Masalah mengeja

37
Karena kesulitan mengaitkan antara bunyian dan huruf, karena itu perwujudan kata-kata juga tidak
sempurna ditampilkan. Begitu juga penampilan melalui pengucapan kata-kata, yang menyebabkan
wujud kata-kata itu juga tidak terlalu baik. Dapat dikatakan bahwa anak-anak kelompok ini tidak
terlalu baik dalam melihat simbol-simbol dari kata-kata (membaca) dan mengabstraksinya dalam
pikiran terhadap pengejaan kata-kata.

Maka dapat disimpulkan disini ada tiga hal terpenting dalam masalah ini yaitu:
1)pencanderaan visual,
2) pencanderaan auditif, dan
3) ekspresi motoris (bicara)
yang kesemuanya tidak melalui proses yang baik dan cepat.

Pada umumnya anak-anak normal dalam pelajaran membaca dan mengeja akan meliwatinya dengan
tempo yang cepat dan langkah yang besar. Tetapi pada anak-anak ini temponya sangat lambat dan
harus selalu didorong. Dan dia sendiri merasa dihukum oleh lambatnya kemampuan membaca
terutama dengan masalah tempo membaca.
Anak-anak dengan masalah membaca dan mengeja disebut disleksia. Sering para ahli menangani
masalah disleksia ini dengan pengamatan yang terus menerus untuk menegakkan diagnosa sebaik-
baiknya, sementara itu para guru dan orang tua juga perlu melihat apakah ada berbagai komponen
variabel lain yang mempengaruhi proses belajar. Karena disleksia dengan manifestasi gangguan
membaca dan mengeja seringkali tidak berdiri sendiri, tetapi selalu bersama-sama dengan gangguan
lainnya ataupun dengan masalah perilaku.
Masalah membaca dan mengeja, bisa juga mempunyai pembandingnya, tetapi setiap anak mempunyai
pola pendengaran yang berbeda-beda. Hal ini merupakan salah satu dari masalah proses informasi
yang bersama-sama dengan bagian dari aspek lain dalam perkembangan yang kemudian turut
berperanan secara bersamaan yang akhirnya menimbulkan masalah. Berbagai gangguan proses
informasi lainnya, seperti gangguan konsentrasi, gangguan observasi, realisasi, menerima dan
menyampaikan informasi, penyimpanan dalam memori jangka panjang, semuanya ini memainkan
peranan penting dalam suatu proses belajar. Akan halnya dengan pemberian label disleksia juga
menjadi pertanyaan, apakah hal ini tidak menimbulkan kesan negatif? Selama ini pemberian label
pada anak bermasalah sering ditujukan pada kesalahan anak itu sendiri, yaitu ia adalah anak yang
malas. Namun dengan pemberian label disleksia maka kesalahan ditujukan bukan pada anak itu

38
sendiri, sehingga diharapkan tidak akan memberi efek yang lebih negatif. Dengan begitu ada ruang
untuk penanganan dengan cara lain.
Sampai kini masalah disleksia merupakan masalah yang tidak kelihatan atau kasat mata, yang dapat
menyebabkan masalah lain.

Kekurang mampuan objektivasi dan kemampuan decoding dalam pelajaran membaca.


Agar seorang anak dapat belajar membaca dengan baik, pada waktu pelajaran dikte harus mampu
secara cepat menarik pengertian dari sebuah kata dalam sebuah kalimat yang kemudian mengerti
maksudnya, yaitu dari apa yang diucapkan guru dan apa yang harus ditulisnya. Guru harus
menyuarakan kata-kata dan yang harus diubah oleh siswa dalam bentuk simbol bunyian dalam sebuah
pola yang tetap. Kebanyakan anak, sebelum ia memulai belajar membaca ia memulai belajar dari
melihat buku. Dia belajar dari buku bacaan dimana berisi selain contoh-contoh sederhana juga
dilengkapi dengan kata-kata. Dengan begitu secara pelahan ia akan mengenal dunia buku. Bila seorang
ibu rajin membacakan buku cerita pada anaknya, untuk kemudian anak ini bisa mengarungi kehidupan
melalui cerita-cerita dalam buku, yang akan memberinya motivasi agar ia juga bisa cepat-cepat
membaca cerita-cerita menarik yang dibacakan ibunya itu. Kemampuan ini disebut kemampuan
objektivasi, yaitu kemampuan anak melihat objek-objek bacaan.
Kemampuan objektivasi adalah kemampuan dasar anak untuk memahami isi cerita dari sebuah
bacaan.

Siswa yang tak berkemampuan untuk objektivasi, berarti perkembangan kognitifnya belum siap untuk
melakukan proses terhadap berbagai simbol yang diterimanya. Begitu juga perkembangan
intelektualnya belum siap pada tahapan membaca. Dan juga ia belum mempunyai kemampuan
membentuk serta membedakan makna kata-kata dan kalimat. Anak anak ini tidak bisa membedakan
pertanyaan seperti ini: Mana kata-kata yang besar: raksasa
atau orang kerdil; pohon atau batang korek api?
Pada anak-anak ini akan kesulitan jika diharuskan melanjutkan pelajaran membaca. Karena ia kurang
mampu untuk melihat berbagai kode atau simbol dalam sebuah alfabet. Dia juga tidak mampu untuk
melepas huruf huruf dalam sebuah kata, dan kemudian mengkombinasikan membentuk kata-kata baru.
Coding dan decoding juga merupakan prasyarat proses dari ucapan-relasi simbol, hubungan antara
simbol huruf dan ucapan. Maksud dari proses coding dan decoding adalah hubungan balik - dimana ia
harus mendengarkan yang kemudian dilanjutkan dengan ia harus secara kritis mengikuti bunyian yang
masuk .

39
Gangguan yang parah dalam makna bahasa
Berbagai prekondisi terjadinya gangguan pada masalah membaca dan mengeja, disebut juga masalah
gangguan perkembangan bahasa. Seorang anak yang pada waktu kecilnya telah mengalami gangguan
perkembangan bicara dan bahasa, kelaknya ia juga bisa jadi akan mengalami gangguan membaca dan
mengeja. Mempunyai kemampuan dalam makna bahasa merupakan prasyarat agar seseorang dapat
membaca teks dan mengerti maksudnya. Hal yang terpenting antara lain adalah agar seorang anak
mampu mencerna apa yang tengah dibicarakan oleh guru. Hal ini menyangkut kemampuan pandang
ruang dari realita tiga dimensional, yang kemudian mampu pula menggunakan gambar dua dimensi di
atas kertas, juga mampu memakna berbagai huruf, kata, dan kalimat. Karena itu gangguan
perkembangan bahasa merupakan hal yang sangat mempengaruhi hal ini.

Diantara anak-anak juga ada yang mengalami kesulitan dalam hal menghubungkan antara apa yang
diamatinya dengan bahasa. Dia akan kesulitan untuk mengingat nama-nama warna, dia seringkali sulit
mencari kata-kata yang benar untuk nama warna itu, atau juga mempunyai gangguan dalam proses
informasi yang masuk ke telinga. Hal ini juga merupakan gangguan perkembangan bahasa,
mempunyai kemampuan penyimpanan vokabulari yang sangat parah (daftar kata yang sangat minim),
sehingga cara berpikir melalui pengembangan bahasa juga sangat kurang. Anak anak yang mempunyai
kemampuan dalam pembentukan, berpikir melalui warna dan gambaran, disebut visual learner.

Bila gangguan bawaan ini diperburuk oleh situasi lingkungan, dimana sangat minim menggunakan
bahasa atau terlalu banyak bahasa rumit yang digunakan, maka kemungkinan akan terjadinya
ketertinggalan perkembangan bahasa akan semakin hebat, yang kemudian akan mengarah pada
gangguan perkembangan membaca dan mengeja di sekolah. Karena itu pada anak-anak yang
mengalami gangguan membaca dan menulis, perlu diperhatikan juga masalah perkembangan bicara
dan bahasanya yang harus diperiksa oleh seorang ahli wicara.
Gangguan perkembangan bahasa, seperti misalnya gangguan bahasa-berpikir, nampaknya akan terus
melanjut pada pendidikan di tingkat sekolah lanjutan. Anak anak ini akan selalu kesulitan dalam
menangkap makna dari sesi yang menggunakan bicara.
Terlalu minim dalam hal kesadaran pencanderaan auditif bunyian (fonem)

Kesadaran dalam proses informasi auditif, dibangun melalui pendengaran, yang akan bermain sebagai
pemeran utama dalam belajar membaca. Dalam pelajaran membaca, anak-anak juga harus belajar
mengeja, membentuk kata, dan kalimat (struktur bahasa). Disana ia harus bisa menyusun huruf-huruf
dan membedakannya, dalam urutannya, kemudian menghubungkannya, sebagaimana jika ia harus

40
menuliskannya kembali. Urutan masuknya ke telinga mengikuti temponya pada saat mendengar akan
berkaitan pula dengan urutannya pada waktu ia menuliskannya di atas kertas (kemampuan dimensi). Ia
juga harus bisa membedakan arti dari apa yang diucapkan dan apa yang dituliskan seperti kata-kata:
"kepala" dan "kelapa". Seringkali hal ini terjadi pada anak-anak yang semasa dininya tak mampu
membedakan berbagai bunyian secara detil.

Gangguan pada pelajaran lanjut (selalu tetap mengeja dalam pelajaran membaca)

Ada beberapa anak yang selalu mengeja jika harus membaca, karena ia terlalu persis. Diantaranya ada
yang kesulitan dalam melakukan sintesa. Pada fase terakhir ia tidak bisa secara otomatis meletakkan
dimana seharusnya tempat kata tersebut. Pada beberapa kasus dapat ditemukan dimana anak itu tidak
bisa dengan cepat menghubungkan antara ucapan yang didengarnya. Bila masalah ini tidak cepat-cepat
ditanggulangi, maka anak ini sepanjang hidupnya hanya akan mengeja terus.

Sebab-sebab lain bisa juga bahwa anak itu bisa mendengarkan ucapan-ucapan terpisah, tetapi ia tak
mampu menghubungkannya menjadi suatu makna, karena itu pengenalan ucapan yang berhubungan
dengan makna tidak bisa tercapai. Misalnya pada kata “kelapa” siswa akan membaca: k-e-l-a-p-a,
kemudian... ..".....ke…- la….-pa"....."O, kelapa!" dengan penekanan pada suku kata ketiga dan
sekaligus pengertian dari kata yang dibacanya itu. Namun pada kata-kata yang panjang, maka ia akan
kehilangan kemampuan sintesanya, sehingga masalahnya akan terus menerus secara konstan terjadi.
Sebaiknya para guru dan orang tua bila menghadapi siswa seperti ini hendaknya mengatakan:
Katakanlah pada dirimu sendiri dengan cara yang cepat dan keras!

Membaca kata perkata tanpa melihat secara menyeluruh


Pada anak-anak yang mempunyai kesulitan pengenalan kata-kata dan anak-anak yang yang
mempunyai keinginan berbuat baik, justru ia akan mengalami fiksasi pada kata-kata itu. Dan pada
keinginan yang amat sangat justru akan terjadilah kondisi rasa takut berbuat salah. Anak ini justru
harus belajar sedikit lebih cepat dengan mata tertuju pada kalimat-kalimat, serta membaca dalam
keadaan tenang. Mereka haruslah belajar membaca bila mereka sudah mengenal huruf, secara
langsung pada saat bicara mata juga sudah menuju kata berikutnya. Mereka harus berlatih pada kata
itu, kemudian kata-kata yang lebih banyak, kemudian dilanjutkan dengan sebagian kalimat haruslah
bisa ditangkap dengan mata. Bila hal ini bisa ia capai, maka kesalahan yang terjadi tidak akan terlalu
berat lagi.

41
Anak-anak yang sangat lama menunjuk-nunjuk bacaan, dapatlah distimulasi (asalkan sensomotorik
sudah terkontrol) dengan agak lebih cepat dengan telunjuk menunjuk-nunjuk kata-kata yang tengah
dibaca, yang dimaksudkan untuk mendorong dirinya agar tetap terus melihat lebih jauh.
Meraba-raba bacaan

Anak yang membaca dengan cara meraba-raba merupakan anak yang mengalami kemampuan analisa-
sintesa yang lambat berkembang, yang sudah mengenal bacaan tetapi kemampuan teknisnya belum
mencukupi. Masih pula dibagi dalam dua kategori :
1) Anak yang meraba-raba bacaan karena ia tidak mau kelihatan bahwa ia sangat lambat membaca.
Hal ini berperanan terutama pada saat pelajaran membaca dengan suara yang keras di depan kelas, dan
hal ini merupakan perilaku yang mengharapkan penghargaan sosial.
2) Pada grup ini merupakan grup yang seringkali salah membaca karena ia sangat cepat mengerti apa
yang dimaksudkan dari sebuah kata,- misalnya tentang synonim dan seringkali ia memasukkan begitu
saja kata-kata lain yang pengertiannya sama dengan apa yang tengah dibacanya itu. Misalnya ia
seharusnya membaca "mobil angkutan pasir" pada kata "mobil truk". Membaca "kado" untuk kata
"hadiah".
Anak anak ini tidak menggunakan waktu dengan baik untuk membaca secara baik, ingin cepat-cepat,
terlalu impulsif, atau ingin kelihatan lebih baik daripada anak lain. Meraba-raba bacaan ini sering
terjadi pada anak-anak yang mengalami disleksia.

Tidak ada atau minim intonasi


Ada anak-anak yang bisa membaca dengan baik, tetapi ia membaca tidak putus-putusnya. Mereka
membaca tanpa koma dan tidak pula merasakan atau mendengarkan sendiri apa yang dibacanya.
Membaca dengan suara keras seringkali juga bukan untuk orang lain, tetapi bagi dirinya sendiri.
Apabila kita dengarkan, nampaknya ia tidak mampu merangkai kata-kata yang dibacanya, apalagi
mengerti makna dan perasaan apa yang dibacanya. Dalam keseharian, anak-anak ini juga mempunyai
kemampuan komunikasi yang superfisial, sangat sedikit atau justru sangat perasa. Kita juga bisa
mengamati pada bagian mulutnya, ia sangat buruk dalam melakukan artikulasi pada waktu berbicara.
Keadaan ini berlawanan dengan anak-anak yang overacting dan hipokrit, yang selalu sibuk melihat
tanda baca seperti koma, titik, dengan cara melakukan pause terlalu lama. Pada anak-anak seperti ini
sering diikuti dengan perkembangan sosial-emosional yang lemah. Penanganan gangguan pada
pelajaran membaca lanjut ini membutuhkan skrining berbagai perkembangan kemampuan yang
dibandingkan dengan teman seusianya, terutama pada proses informasi dan kondisi emosionalnya.

42
Gangguan dalam pengejaan
Kira-kira merupakan hal yang paralel antara pelajaran membaca dan menulis kata-kata atau kalimat,
serta belajar mengeja kata-kata. Pada gangguan mengeja ini masalahnya bukan pada masalah motorik
halus seperti halnya dengan menulis, tetapi masalahnya pada apa yang disebut orthografi. Pada
pengejaan kira-kira prosesnya hampir sama dengan pada waktu membaca, tetapi urutannya berbeda.
Pada saat membaca, si anak bisa melihat simbol kata-kata, tapi langsung masuk dan disimpan dalam
memori jangka panjang. Sebetulnya simbol ini harus langsung berhubungan dengan bagian motorik
menulis. Si anak harus sudah mempunyai kesiapan agar simbol ucapan dan simbol kata menjadi
simbol tulisan, agar apa yang didengarnya bisa ditulis seperti yang diperintahkan. Pada anak-anak
yang mengalami masalah auditif, relasi ucapan dan simbol, mengalami kekacauan, karena itu ia
mengalami kesulitan menuliskan apa yang ia harus tulis. Hasil tulisan juga menjadi kacau. Awal
gangguan sering dimulai dari kesulitan membedakan huruf. Mereka sering tertukar antara d dengan b
atau yang lainnya. Hal ini disebabkan karena gangguan pada pencanderaan visual yang terbalik balik
pada poros horizontal atau vertikal.
Gangguan penyimbolan kata
Mengeja ucapan kata-kata yang sederhana untuk beberapa anak memang mudah.
Namun pada beberapa bahasa asing sering terjadi apa yang diucapkan berbeda dengan simbol kata
dalam bentuk tulisan. Sehingga penyimbolan bunyi sering tidak tercapai menjadi penyimbolan kata
dalam bentuk tulisan. Apalagi pada beberapa anak juga diikuti dengan buruknya penangkapan secara
visual. Keadaan ini akan berakibat pada gangguan reproduksi bahasa pada waktu instruksi melakukan
imitasi. Terlebih jika juga diikuti dengan gangguan konsentrasi, karena dalam hal ini faktor
konsentrasi memegang peranan penting. Pada anak yang mempunyai kemampuan visualisasi yang
buruk, akan menyebabkan kesulitan menuliskan kata-kata yang didikte oleh guru (tulisan
fonetik).Untuk anak-anak ini bisa dilakukan memberikan bantuan agar penangkapan visualnya lebih
baik dengan metoda yang disebut: Visual Auditif Kinetatik Taktil dari Grace Fernald dan metoda
kertas amplas dari Montessori. Dengan cara memberikan gerakan-gerakan (menulis besar-besar)
dengan begitu kesadaran dan kualitas stimulasi akan menjadi lebih besar. Dengan pengulangan-
pengulangan menggunakan belajar melalui "jembatan keledai", maka penulisan kata-kata akan tidak
salah lagi.
Agaknya di tingkat pendidikan yang lebih tinggi, sekolah lanjutan, dengan adanya pelajaran bahasa
asing, masalah disleksia ini tidak akan mengalami perbaikan. Perbedaan ucapan dan kata-kata dari
beberapa bahasa asing justru akan lebih menyulitkan. Pada umumnya pada anak-anak yang
mempunyai inteligensi baik, semakin dewasa ia akan semakin pandai menyembunyikan
kekurangannya. Dengan begitu ia akan dengan cepat mempelajari bahasa lain. Paling tidak dengan

43
kesabaran dan memakan waktu yang agak lama, mereka dapat mengatasi kesulitannya. Untuk
mengasah kemampuan bahasa pada anak-anak yang mengalami disleksia memang membutuhkan
waktu yang sangat lama. Untuk anak-anak ini ada baiknya diberi komputer sebagai alat bantu,
sekalipun dengan cara menunjuk-nunjuk dengan jari atau dengan pinsil, juga bisa untuk menunjukkan
kata-kata yang benar.

6.2. Gangguan pada pelajaran berhitung


Pengertian diskalkulia memang agak kurang dikenal daripada disleksia. Disklakulia adalah gangguan
pada pelajaran berhitung. Berhitung adalah pelajaran yang berkaitan dengan berpikir logik dan
penguasaan, artinya berkaitan dengan kemampuan intelektual. Umumnya berkaitan dengan manipulasi
kali-bagi-tambah-kurang yang merupakan dasar-dasar ilmu matematika dalam bilangan puluhan.
Berhitung adalah merupakan bagian dari kemampuan dimensi atau pandang ruang dan berpikir ilmu
matematika, yang mensyaratkan siswa siap untuk mengerjakan kali-bagi-tambah-kurang yang
membutuhkan kemampuan sistem abstraksi. Dapat dikatakan juga bahwa seorang anak bisa mencapai
kemampuan abstraksi, bergantung pada tingkat perkembangan dan kemampuan intelektualnya.

Gangguan berhitung terjadi umumnya disebabkan karena adanya gangguan pada fungsi dasar (syarat
umum berketrampilan belajar). Terutama gangguan pada kemampuan penyusunan dan perangkaian
skema yang didukung oleh kemampuan pandang ruang. Sebagai contoh, pada anak kecil selalu belajar
dari pengalaman apa yang dijumpainya, bagaimana menyeberangi suatu ruangan dan mempelajarinya.
Mula-mula ia secara hati-hati mengamati sekeliling, lalu (pada anak yang cerdas) segera ia mampu
menguasai ruangan secara sistematis. Mulailah ia bergerak dengan tujuan tertentu. Yang pada akhirnya
sekalipun dengan mata ditutup segera ia akan tahu ia harus kemana dan menemukan apa yang
dicarinya, ke berbagai permainan, dimana, dan bagaimana susunannya (pasangan permainan yang
cocok, susunan menurut besar kecilnya). Hal ini semua akan memberikan kemungkinan
berkembangnya cara pemecahan masalah, yang merupakan syarat berkembangnya sensomotoris
secara baik.

Pada pendidikan di sekolah dasar, anak-anak mulai mengerjakan kegiatan ini dengan cara melakukan
hitungan berurutan, seleksi, dan klasifikasi ( dalam kelompoknya mengikuti kualitasnya misalnya
merah berpasangan dengan merah). Kegiatan ini adalah fase pertama dari pengembangan kemampuan
abstraksi. Bekerja dengan berapa banyak atau penjumlahan dan bagaimana cara melakukan
penjumlahan itu, adalah merupakan dasar-dasar berhitung. Pengerjaan kegiatan ini juga

44
membutuhkan penggunaan kata-kata. Penguasaan bahasa berhitung adalah merupakan syarat agar
seorang siswa mampu menyampaikan bagaimana cara mengerjakan suatu hitungan.

Pada anak-anak yang mengalami gangguan atau karena sesuatu sebab sehingga fase yang sangat
sensitif ini dilaluinya dengan tidak baik, maka bisa jadi ia mengalami cara belajar yang tidak
sistematis, ia kehilangan cara-cara yang penting dalam suatu pelajaran berhitung.
Kemampuan pemahaman bilangan yang kurang
Pada pelajaran membaca, kemampuan objektivasi terhadap suatu bunyi ucapan kata-kata adalah hal
yang merupakan syarat harus dimiliki seorang anak sehingga ia mampu melakukan analisa dari
bunyian atau ucapan itu. Kesemuanya akan memberikan arti bahwa apakah anak itu telah siap pada
fase untuk menunjukkan kemampuan abstraksinya. Bila kita bandingkan pada belajar berhitung,
kemampuan ini kita sebut: konservasi. Yang berarti bahwa anak tersebut telah siap untuk
menunjukkan kemampuan berhitung penjumlahan (kuantitatif), warna yang berkaitan dengan
kemampuan dimensi (kualitatif).
Anak-anak yang tidak siap dengan tema beberapa bentuk untuk dihitung, karena mereka pikir kita tak
memberikan contoh untuk menghitung berapa buah jeruk dan mangga untuk dihitung, maka ia juga
tidak akan siap dengan subjektivasinya. Anak-anak ini juga tidak siap dengan pemahaman apa artinya
bilangan. Pemahaman bilangan adalah merupakan dasar-dasar dari kemampuan dan ketrampilan
lainnya. Bilangan juga yang akan memberikan pengertiaan tentang ukuran, benda satu lebih besar
daripada benda lain.
Memahami bilangan dan pemahaman cara kerja merupakan dua hal yang saling menutupi.
Pemahaman bilangan berawal dari kegiatan mengukur, membandingkan dan membedakan panjang,
lebar, dan tinggi. Perbedaannya akan dipengaruhi oleh bilangan, misalnya tiga kali lebih besar, yang
merupakan ukuran panjang dari sesuatu . Kita bisa saja mengukur dengan beberapa cara pengukuran,
tetapi orang lain jelas tidak akan mengerti yang kita maksud. Karena itu diperlukan alat ukur objektif
seperti meter, centimeter, kilometer dsb.
Untuk mampu mengetahui soal perbandingan melalui berapa besarnya bilangan, tentu saja dibutuhkan
kemampuan menghitung. Kata dan apa artinya, bilangan dan berapa besarnya haruslah dihubungkan.
Karena itu seorang anak harus mempunyai kemampuan menghitung yang sinkron, dengan kata lain
mampu menunjuk namanya dan berapa besarnya. Karena itulah dibutuhkan pengertian tentang
bilangan dan besarnya bilangan. Setelah itu ia harus mampu melihat berapa besar jika ada penambahan
dan seberapa bedanya jika dilakukan pembagian.

45
Pada awal belajar berhitung seorang anak memerlukan pelajaran menghitung (kali –bagi-tambah-
kurang). Pada anak yang terlalu banyak atau terlalu kurang berkemampuan berhitung, hal ini akan
tergantung dari kemampauan awal menghitung bilangan dalam deret angka.
Salah menghitung
Salah menghitung seringkali terjadi saat tambah-tambahan angka puluhan (11-4 = 8, melalui: 11, 10,
9, 8). Salah menghitung ini disebabkan karena kurangnya kemampuan pemahaman tentang bilangan.
Banyak anak yang tak mampu menghilangkan kebiasaan menghitung dengan jari. Ia akan selamanya
menghitung dengan jari. Mereka bisa menghitung dengan jari cepat sekali sampai sampai orang lain
tak melihatnya. Tetapi untuk hitungan dengan bilangan besar, jika ia masih menggunakan cara ini, ia
akan tak mampu lagi. Sepanjang ia masih menggunakan cara ini, maka ia akan selalu membutuhkan
alat bantu. Pada anak-anak, berhitung seringkali merupakan hal yang membingungkan, yaitu tentang
angka-angka dan perbandingan (lebih besar, lebih kecil). Misalnya antara yang kedua, dan dua, dari
deretan: 2,3,4,5......... mana angka yang kedua, dan angka 2.

Kemampuan formulasi dan kinerja yang kurang.


Seringkali terjadi kegiatan belajar berhitung di sekolah dimulai dengan menuliskan angka-angka
sementara anak-anak belum mengerti apa artinya. Pada waktu belajar penambahan pada bilangan
sampai sepuluh, padahal mereka belum mengerti apa arti yang sebenarnya. Dengan begitu pelajaran
berhitung baginya hanya merupakan suatu trik abstrak tanpa menyadari apa dasarnya. Ia tak mampu
menceritakan kembali dalam bahasanya sendiri, apa maksud dari penambahan dan pengurangan itu.
Problem seperti ini merupakan kejadian yang biasa pada kemampuan formulasi, dan bisa diperbaiki
dengan cara belajar berhitung melalui suatu cerita. Seorang psikolog Rusia, telah memberikan
pengertian pada kita bahwa proses dari pekerjaan berhitung kurang lebih merupakan proses tak sadar
yang terdiri dari beberapa tahap:
1) kinerja terhadap materi, dengan cara mengerjakan dan menunjukkan;
2) penamaan apa yang sudah dikerjakannya;
3) melakukan imajinasi melalui bahasanya sendiri;
4) mental kinerja, mengerjakan tanpa proses sadar atau dapat dikatakan sebagai sesuatu hal yang
otomatis.

Berhitung dan gangguan proses informasi


Anak-anak yang mempunyai gangguan proses informasi (dimana informasi yang masuk yang harus
diprosesnya dalam bentuk imajinasi dan kemudian siap ditampilkan) umumnya mengalami kesulitan

46
yang besar dalam beberapa tahap yang membutuhkan pemrosesan yang bersamaan dengan informasi
lainnya serta merencanakannya sebagai suatu bentuk yang harus ditampilkannya. Dalam hal ini ia
membutuhkan konsentrsai yang baik, namun terjadilah kegagalan konsentrasi dan otomatisasi output
tidak terjadi yang antara lain juga disebabkan karena skema penyampaian mengalami kekacauan.
Anak-anak yang mempunyai inteligensia tinggi, umumnya gangguan pada fase ini bisa diatasi dengan
kemampuan berfikirnya yang cepat, namun pada anak anak yang mempunyai inteligensia lemah, maka
ia akan mengalami gangguan yang terus menerus hingga dewasa.
Pada beberapa anak karena buruknya memori, maka ada beberapa pengetahuan yang sangat sulit
melekat dalam memorinya, padahal pengetahuan itu dibutuhkan juga untuk proses berfikir menjadi
sesuatu produksi yang baru. Sekalipun menggunakan berbagai macam alat bantu, seringkali juga ia tak
mampu memperbaiki kekurangannya ini. Sekalipun ia menggunakan kalkulator, anak anak ini selalu
bicara sendiri tentang hitung-hitungannnya dan sibuk mencari penyelasaiannya. Terlebih pada
hitungan pertambahan dan perangkaian kata, anak-anak yang mengalami gangguan proses informasi
ini pada tingkatan inteligensia tertentu, akan lebih mengalami kesulitan bila diikuti juga dengan
buruknya ketrampilan dasar-dasar proses informasi. Misalnya pada pembagian, prosentasi, hitungan
desimal, dan matrikulasi. Untuk mengerjakan hal ini menjadi sesuatu yang pekerjaan yang otomatis
akan membutuhkan enerji dan waktu.
Kekurangan dalam pemahaman analogi pada sistem puluhan.
Kesulitan terakhir dalam pelajaran berhitung adalah: pengertian tentang bagaimana sistem hitungan
dibangun yang banyak menggunakan sistem analogi.

6.3. Gangguan tehnik menulis


Masalah dalam pelajaran menulis sebetulnya tidak termasuk dalam kelompok
masalah kognitif dalam belajar sebagaimana dalam masalah gangguan belajar membaca-bahasa- dan
berhitung sebagaimana yang dijelaskan di atas. Dalam hal tehnik menulis lebih banyak masalahnya
disebabkan karena adanya gangguan fisiologis terutama pada gangguan sensomotoris. Namun
ketrampilan menulis sangat diperlukan agar tidak memperparah masalah gangguan belajar yang
disandang anak.
Gangguan menulis kebanyakan disebabkan karena gangguan motorik halus pada lengan, sendi tangan,
dan jari-jari, juga gangguan pada pencanderaan secara visual. Jika gangguannya terdapat di keduanya,
maka gangguan itu menjadi gangguan pada kordinasi mata-tangan. Padahal kordinasi mata-tangan ini
merupakan hal yang sangat esensial. Mata haruslah mengatur tangan untuk bekerja, menunjukkan
jalan, sehingga terjadilah kegiatan menulis dengan bentuk tertentu dan besar tertentu. Pada umumnya,
anak-anak di masa pra sekolah telah melakukan coret mencoret dan menggambar. Pada fase ini

47
perkembangan motorik belum berkembang betul untuk kegiatan dengan motorik halusnya seperti
halnya pada kegiatan menulis.
Pada pelajaran menulis ada beberapa ketrampilan dasar (agar anak tidak mengalami gangguan
motorik) yang bisa dikategorikan:
1. Cara menyanggah ibu jari. Telunjuk dan ibu jari dibutuhkan untuk menekan. Pena terletak pada
jari tengah, antara ibu jari dan telunjuk. Si anak harus belajar merasakan bahwa ada tenaga antara ibu
jari dan dan ujung jari-jari, dengan begitu ia bisa mengendalikan pena.
2. Keluwesan sendi dan gerakan lengan yang arah datangnya dari pundak yang mempengaruhi
gerak-gerak selanjutnya. Sementara itu jika tangan tidak ikut bergerak, maka gerakan menulis juga
terganggu.
3. Kontinuitas menulis. Pada anak-anak dengan gangguan kordinasi justru kontinuitas menulis ini
sangat sulit dicapai. Karena ia mengalami gerak yang sangat cepat antara membaca dan
menuliskannya kembali di kertas. Ia juga mengalami gangguan kecepatan menulis karena kesulitan
dalam kontuinitas menulis. Keteraturan dan ritme menulis juga terganggu.
4. Kekuatan tangan mana yang tak jelas. Setiap anak mempunyai perkembangan motorik masing
masing. Pada umumnya pada fase awal perkembangan seorang anak menunjukkan perkembangan
kekuatan tangan yang sama antara kiri dan kanan. Pada usia enam atau tujuh tahun, perkembangan
akan menjadi normal dan terlihat tangan sebelah mana yang kuat. Bila perkembangan normal ini tidak
terjadi, kelaknya akan terjadi gerakan motorik yang sulit. Impuls gerak tidak akan terjadi secara
otomatis menjadi gerakan yang sangat reaktif. Ia akan tidak mengerti tanganmana yang harus
memegang pena, kiri atau kanan. Ia juga tidak mengerti harus menulis dari kiri atau kanan. Begitu juga
araah dari huruf huruf,misalnya angka 6 atau 9, huruf b atau d.
5. Menulis dengan tangan kiri. Kebanyakan metoda menulis adalah menggunakan metoda tangan
kanan. Tapi sekarang orang mulai memperhitungkan juga anak-anak yang menulis dengan tangan kiri.
Pena juga ada yang didisain untuk anak bertangan kiri. Kadang ada juga anak yang menggunakan
tangan kiri dan juga sekaligus tangan kanan. Kondisi ini disebut ambidextrisitas. Di dalam kelas,
sering terjadi, guru justru memaksa anak-anak untuk menulis dengan tangan kanan. Hal ini tentu saja
akan menentang pola perkembangan alamiah dan akan berpengaruh pada kemampuan menulis dan
membacanya. Karena itu orang harus memperhatikannya. Baik tangan kiri maupun tangan kanan, yang
mana yang paling memudahkan poros tubuh bergerak keluar. Pada anak dengan tangan kanan,
tangannya di atas kertas dengan kemiringan ke arah kanan, sebaliknya pada anak bertangan kiri
kertasnya miring dari kanan ke arah kiri. Menulis dengan tangan kiri memang tidak pas dengan
metoda dan sistem yang tersedia. Karena pada anak anak yang menggunakan tangan kiri harus
mempunyai kesadaran ektra untuk melakukan penyesuaian diri dengan sistem yang ada. Dulu, orang

48
memang tidak memperhatikan benar akan adanya reaksi alamiah pada anak-anak. Pokoknya mereka
harus menulis dengan kanan dan harus menyesuaikan dengan sistem. Pada akhirnya anak anak itu
mengalami kebingungan antara impuls alamiah dengan pilihan, yang kemudian menyebabkan berbagai
masalah yang tidak bisa dijelaskan darimana asalnya. Pada kondisi yang lanjut ia akan mengalami
gangguan psikosomatis, seperti kehilangan nafsu makan, sakit perut, sering sakit kepala, gangguan
tidur dan sebagainya. Hal ini memang bukan masalah gangguan menulis, tetapi reaksi emosional yang
muncul terhadap berbagai reaksi alamiah tubuh yang terhambat.

BAB 7
DETEKSI & DIAGNOSA

7.1. Skrining dalam rangka deteksi


Kegiatan pertama dalam rangka menegakkan diagnosa adalah melakukan skrining untuk mendeteksi
anak mana yang mempunyai masalah atau merupakan anak yang mempunyai resiko. Skrining dapat
dilakukan oleh :
- guru dan orang tua dengan melihat hasil kerja dan catatan guru selama proses pembelajaran
- ahli kependidikan, psikolog, dan tenaga profesi lainnya seperti ahli patologi wicara, dan ahli
gerak, dengan menggunakan seperangkat alat tes.

Gejala-gejala yang dapat mengarahkan pada kemungkinan adanya gangguan belajar, Aldekamp dkk
(2004) membaginya menjadi:
1. Subtipe gangguan visual ataupun auditif. Dalam hal ini anak mengalami gangguan
pemrosesan informasi visual maupun auditif.
2. Subtipe rendah pada kemampuan verbal, atau rendah pada penampilan kinerja, dalam
hal ini dilihat dari penampilan hasil tes psikologi misalnya dengan menggunakan
Weschler test, yang dapat menunjukkan gangguan pada kemampuan verbal, atau
kemampuan pandang ruang.
3. Subtipe gangguan bahasa dan bicara dan/atau gangguan artikulasi dan kordinasi
gerakan otot-otot mulut, dan/atau gangguan persepsi visual. Hal ini dilihat dengan
berdasarkan tes prestasi belajar dengan bentuk tes yang spesifik dan dasar-dasar belajar.
4. Subtipe yang berdasarkan pemeriksaan psikolinguistik, yaitu dengan subtipe
dysphonetic (dengan gejala gangguan pada fonem-grafem) dan subtipe dyseideitic
(dengan masalah umumnya pada pengenalan global kata-kata)

49
Sekolah taman kanak-kanak dan dasar adalah lembaga yang terpenting yang seharusnya mampu
melakukan skrining anak-anak mana yang mempunyai risiko masalah belajar.

Dari skrining ini kemudian dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan secara individual melalui sistem
rujukan.
7.2. Asesmen & diagnosa
Untuk menegakkan diagnosa, perlu dilakukan pendeteksian melalui beberapa
asesmen (pemeriksaan) yaitu:
1) Rekonstruksi sejarah perkembangan anak sejak lahir.
2) Pemeriksaan neurologi.
3) Pemeriksaan psikologi: tes inteligensi, motivasi, kreativitas, kepribadian, kematangan emosi, sikap
terhadap sekolah, rasa percaya diri, dan kemandirian
4) Pemeriksaan fungsi perkembangan
5) Pemeriksaan prestasi sekolah, dan pemeriksaan didaktif
6) Pemeriksaan masalah-masalah lingkungan yang mungkin berpengaruh (keluarga, sekolah,
lingkungan/budaya)

Pemeriksaan-pemeriksaan di atas adalah untuk memisahkan antara masalah belajar primer dan
masalah belajar sekunder. Jika ditemukan seorang anak mempunyai tanda-tanda mempunyai masalah
belajar primer, maka upaya selanjutnya ditujukan ke arah masalah belajar primer.

Diagnosa
Penegakan diagnosa adalah suatu tatalaksana yang kebutuhannya untuk menentukan bentuk
penanganannya. Karena pada saat ini kita di Indonesia masih belum memiliki sendiri alat-alat tes guna
penegakan diagnosa gangguan belajar (Learning Disabililites), maka diagnosa formal ini hingga saat
ini masih belum dapat ditentukan. Belum adanya alat tes ini, adalah karena bidang garapan anak
berkekhususan gangguan belajar adalah ilmu yang masih sangat muda, dan mekanisme terjadinya
masalah gangguan belajar masih belum dipahami. Dan yang sangat penting lagi adalah, alat tes untuk
menentukan apakah seorang anak adalah penyandang gangguan belajar (Learning Disabilities) banyak
dipengaruhi oleh “penilaian” – (yang banyak dipengaruhi oleh budaya dan toleransi setempat terhadap
masalah ketertinggalan prestasi), jadi bukan merupakan tes objektif sebagaimana misalnya dengan
penciteraan otak, tes darah, atau tes laboraturium lainnya. Demikian pula, penegakan diagnosa dengan
menggunakan metoda penciteraan otak hingga saat ini masih belum dapat dilakukan.

50
Disamping tes ini dipengaruhi oleh “penilaian”, tes gangguan belajar semacam ini juga harus
dilakukan dengan menggunakan bahasa ibu, atau bahasa setempat. Jadi bukan dengan menggunakan
alat-alat tes dari bahasa asing.

Karena diagnosa formal yang menggunakan alat tes masih belum dapat ditegakkan (karena alat tesnya
belum ada), maka dapat digunakan sebuah diagnosa informal yang mana dalam diagnosa informal
tersebut perlu dijelaskan juga berbagai kondisi gangguan belajar tersebut.

Karena kaitannya kelak dengan penanganannya, dalam diagnosa informal tersebut perlu dijelaskan
tentang kemampuan anak dalam hal:

Membaca:
 Tehnik membaca (apakah anak membaca tersendat-sendat, meraba-raba bacaan, cepat tanpa
intonasi dan tidak menggunakan tanda baca, membaca dengan mengeja kata-kata)
 Kecepatan dan ketepatan membaca : diberikan dengan menggunakan beberapa model tes yaitu
1) dengan menggunakan daftar kata-kata yang berdiri sendiri, dimulai dengan satu suku kata –
dua suku kata – tiga suku kata – empat suku kata
2) dengan memberikan sebuah teks bacaan
3) dengan memberikan psedo-kata yaitu kata-kata yang tak ada artinya, namun diharapkan si
anak dapat membaca dengan teliti
4) dengan memberikan kata-kata yang tulisannya diletakkan terbalik balik, misalnya
kepala – kelapa, lokomotip – molokotip, paberik – perabik (tranposisi)
5) dengan memberikan kata-kata dengan satu huruf yang dihilangkan
 Pemahaman bacaan: dengan memberikan teks bacaan yang kemudian ditanya kembali isi dari
teks tersebut.
Dikte/imla dan mengeja:
 Kemampuan decoding (menuliskan kembali apa yang diucapkan guru)
 Kemampuan asosiasi antara kata dan ucapan
 Aturan mengeja (dalam suku kata, dan kata-kata)
 Menuliskan kata-kata sesuai dengan ejaannya
 Penggunaan tanda-tanda baca
Penggunaan bahasa:
 Menampilkan cerita melalui bahasa dan bicara

51
 Tanya jawab
Pemahaman bacaan:
 Membaca sebuah teks dan menjawab pertanyaan
 Mendengarkan cerita dan menjawab pertanyaan

Berhitung
Menegakkan diagnosa gangguan berhitung, selain membutuhkan hasil pemeriksaan psikologi yaitu
yang mampu menjelaskan tentang kemampuan pandang ruangnya, perlu pula dijelaskan
pada tingkatan mana gangguan berhitung tersebut:
- kemampuan pengenalan bilangan serta otomatisasi dan kecepatan pemberian nama bilangan
dan simbol-simbol berhitung
- kemampuan dasar-dasar logika berhitung
- aspek logika dalam pengolahan
- ketrampilan berhitung
- kemampuan pengenalan bentuk dan dimensi
- kreativitas dalam berhitung
7.3. Termasuk tipe dan subtipe yang mana?
Disamping berbagai deskripsi/penjelasan tingkat kesulitan anak, juga perlu dijelaskan kira-kira si anak
masuk kedalam tipe dan subtipe gangguan belajar yang mana. Sekalipun seringkali ada tumpang tindih
gejala, namun kadangkala ditemukan juga tipe gangguan belajar yang murni.
Jelaskan apakah si anak adalah salah satu tipe dari :
 L (linguistik) atau yang mengalami gangguan fonologis
 P (perseptual) atau non fonologis dengan ditandai dengan menulis huruf terbalik-balik,
membaca salah-salah.
Apakah anak mempunyai gejala keduanya.

Subtipe :
 Subtipe 1: yaitu jika si anak mempunyai gangguan membaca dan juga gangguan berhitung
yang disebabkan karena adanya kekurangan fungsi pada kemampuan dimensi (pandang ruang)
 Subtipe 2: yaitu jika si anak mempunyai gangguan membaca dan juga gangguan pada
pengenalan huruf-huruf serta gangguan subsitusi (misalnya pondok dibaca rumah) – tetapi
mempunyai dimensi (pandang ruang) yang baik

52
 Subtipe 3 : yaitu jika hanya mengalami kesulitan membaca, namun mempunyai kemampuan
kecepatan memberi nama-nama huruf serta tidak ada kesalahan substitusi, juga kemampuan
dimensi (pndang ruang) yang baik
 Subtipe 4: yaitu jika ia mempunyai kesulitan membaca, berhitung karena kekurangan fungsi
pada kemampuan dimensi (pandang ruang)
Jelaskan pula bagaimana kemampuan dimensi anak, yang dapat akan mempengaruhi prestasi anak
dalam kemampuan analisa dan sintesa bacaan, serta akibatnya pada kemampuan prestasi berhitung
atau matematika.

Bab 8
DISLEKSIA

Disleksia, sebagaimana penjelasan dalam bab-bab sebelum ini adalah salah satu dari Gangguan Belajar
(Learning Disabilities).
Definisi disleksia dalam rangka deteksi dan diagnosa pada umumnya berpegang pada uraian yang ada
dalam buku DSM -5 (Diagnostic & Statistical Mental Disorder edisi ke 5).

Kriteria Disleksia DSM -5


A. Kesulitan yang amat sangat
Kesulitan dalam belajar dan penggunaan ketrampilannya di sekolah, yang nampak dari
adanya gejala-gejala yang terus menrus sedikitnya enam bulan, dan paling tidak satu dari
gejala sebagai berikut
- Adanya ketidaktelitian atau lambatnya dan kesulitan membaca kata-kata
( misalnya membaca kata-kata yang berdiri sendiri secara salah, atau ragu-
ragu untuk membaca secara keras, sering menebak-nebak kata-kata, mengalami
kesulitan menyebut kata-kata dengan baik)
- Kesulitan mengeja (misalnya menambahkan huruf mati dan huruf hidup,
membuangnya atau mengganti dengan yang lainnya)

B. Ketertinggalan
Membaca dan mengeja merupakan hal yang penting dan dapat diukur, telah berkembang
lebih buruk bila dibandingkan dengan teman sebayanya. Hal itu menyebabkan pengaruh
yang negatip terhadap pretasi sekolah dan kerja, atau pada aktivitas sehari-hari.

53
C. Dapat terlihat jelas
Masalah belajar sudah nampak sejak awal tahun-tahun belajar, namun baru
kelihatan secara jelas pada saat anak dituntut lebih banyak ketrampilan sekolah
daripada kemampuan yang dimiliki anak. Misalnya saat mengerjakan ulangan atau
ujian dengan batas waktu, saat harus membaca dan menulis teks yang panjang dan
kompleks dengan waktu tertentu, atau pada saat harus mengerjakan tugas-tugas
yang lebih sulit.

D. Kespesifikan
Masalah belajar yang ada tidak dapat dijelaskan akibat dari retardasi mental, atau
karena gangguan mata yang tidak dikoreksi, atau karena gangguan pendengaran,
gangguan psikis atau neurologis, ketertinggalan psikososial, penguasaan bahasa
yang kurang, atau karena buruknya pendidikan.

8.1. Kesulitan yang amat sangat


Dengan melihat definisi dari DSM-5 ini sangat jelas dapat kita mengerti bahwa disleksia hanya dapat
dilihat saat anak sudah duduk di sekolah dasar, sudah belajar membaca dan mengeja, tetapi
kesulitannya tidak dapat diatasi padahal sudah dilatih dengan baik. Pada akhirnya mempengaruhi
prestasi di sekolah.
Dengan kata lain bahwa, dapat dikatakan sebagai disleksia, apabila kita semua baik guru maupun
orang tua di rumah sudah memberinya bantuan, memberinya ekstra bimbingan membaca dan mengeja,
bahkan sudah diberi remedial teaching, tetapi kesulitannya masih terus menerus ada. Artinya masalah
yang ada pada disleksia akan disandangnya seumur hidup.
Dalam DSM 5 disebutkan bahwa disleksia adalah suatu masalah membaca dan mengeja yang sangat
amat sulit. Dengan begitu, batasan disleksia hanya pada masalah membaca dan mengeja, yang pada
akhirnya akan merembet ke masalah-masalah lainnya yaitu prestasi pelajaran di sekolah pada
pelajaran-pelajaran berbasis membaca. Namun dapat saja masalah itu tidak muncul di semua mata
pelajaran, misalnya ia baik di mata pelajaran matematika. Hal ini tergantung dari tipe disleksia yang
disandangnya dan apakah juga diikuti dengan diskalkulia (lihat tipe-tipe Gangguan Belajar pada Bab
2).

8.2. Ketertinggalan yang siknifikan

54
Kecurigaan yang pertama terhadap adanya disleksia pada anak kita adalah apabila ia mengalami
ketertinggalan yang terus menerus jika dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya. Terutama
dalam pelajaran membaca. Ia akan mengalami kesulitan dalam bentuk (lihat Bab 2):
- Membaca kata perkata tanpa melihat secara menyeluruh
- Meraba-raba bacaan
- Tidak ada atau minim intonasi
- Gangguan dalam pengejaan
- Mengganti-ganti huruf maupun kata-kata dengan huruf atau kata-katanya sendiri sendiri
(misalnya kata /pondok/ diganti menjadi /rumah/ )
Kita dapat melihat situasi seperti ini di catur wulan ketiga kelas satu. Tetapi kita jangan dahulu cepat-
cepat menyatakan anak kita disleksia. Mungkin ia memang kurang stimulasi atau kurang bimbingan,
atau hal-hal lain yang menghambat perkembangan. Beri ia kesempatan lebih banyak sambil diberi
bimbingan. Pada tahun kedua, jika ternyata masalahnya masih terus berlanjut, maka anak diberi
remedial teaching yaitu berupa bimbingan khusus secara intensif tentang tehnik membaca, mengeja,
memahami bacaan, dan imla.
Dengan begitu, diagnosa baru dapat ditegakkan setelah berbagai hal tentang kemungkinan-
kemungkinan yang dapat menyebabkan masalah membaca dan mengeja disingkirkan, serta anak sudah
diberi bimbingan, pelatihan, dan terapi untuk memperbaiki kekurangannya tetapi tidak dapat
memberikan hasil. Barulah diagnosa disleksia bisa diberikan setelah melalui tes-tes disleksia untuk
menentukan masalah spesifiknya pada masalah apa (lihat bab sebelum ini tentang tipe-tipe gangguan
belajar).

8.3. Dapat terlihat jelas


Seorang anak dapat dinyatakan adalah penyandang disleksia jika memang sudah terlihat jelas
mempunyai masalah yang terus menerus di area membaca dan menulis. Di tahun-tahun pertama
sekolah, anak mengalami kesulitan, namun kita masih belum dapat mengatakannya sebagai
penyandang disleksia. Namun dengan bertambahnya beban agar ia mampu memperlihatkan
ketrampilan membaca namun ia tidak bisa memenuhi tuntutan pendidikan. Ia terus menerus tertinggal
hingga guru dan orang tua bisa melihat dengan jelas bahwa memang ia mengalami kesulitan membaca.
Seorang anak yang misalnya bicara sering salah-salah ucapan, belum tentu adalah penyandang
disleksia. Begitu juga seorang anak yang angka pelajaran buruk, belum tentu ia mengalami disleksia,
kemungkinan ia mempunyai masalah di area berbahasa seperti misalnya kesulitan gramatika Karena
ketertinggalan kemampuan gramatika, kekurangan daftar kata, kesulitan dalam pemanggilan kata-kata

55
(finding words problem) dan lain sebagainya yang menyebabkan ia mengalami kesulitan dalam
pemahaman bacaan. Dengan sendirinya dalam pelajaran berbasis Bahasa mengalami kesulitan.
Kondisi seperti ini biasa terjadi pada anak-anak yang mengalami keterlambatan perkembangan bicara
dan bahasa SLI (Specific Language Impairment).1
Anak-anak SLI atau terlambat bicara ini seringkali disangka adalah anak penyandang disleksia,
sehingga ia seringkali mendapatkan bimbingan yang salah yang menyebabkan dirinya menjadi stress
dengan berbagai akibatnya.
Gejala yang ditampilkan oleh anak penyandang SLI memang terdapat beberapa kesamaan dengan
disleksia (overlaps), tetapi keduanya mempunyai akar permasalahan yang berbeda. SLI adalah suatu
masalah perkembangan yang kelak pada saatnya akan mengalami normalisasi perkembangan. Tetapi
disleksia adalah gangguan neurologis yang akan disandang seumur hidup. Karena itu, disleksia
disefinisikan sebagai Gangguan Belajar atau Learning Disorder.

Sumber:

8.4. Disleksia sebagai gangguan yang spesifik


Dalam DSM-5 dikatakan bahwa disleksia dimasukkan dalam kriteria gangguan yang spesifik. Artinya
di sini bahwa disleksia adalah suatu gangguan yang ekslusif, ia tidak disebabkan oleh suatu masalah
atau suatu gangguan dan adanya disleksia tidak akan menyebabkan gangguan lainnya.
Dalam DSM-5 itu disebutkan bahwa :

“Masalah belajar yang ada tidak dapat dijelaskan akibat dari retardasi mental, atau karena

1 Leonard, BL (2014)

56
gangguan mata yang tidak dikoreksi, atau karena gangguan pendengaran, gangguan psikis atau
neurologis, ketertinggalan psikososial, penguasaan bahasa yang kurang, atau karena buruknya
pendidikan.”
Dengan kriteria yang diberikan oleh DSM-5 ini maka kita harus menyingkirkan dulu masalah-masalah
lain. Artinya, anak harus diperiksa benar-benar, seperti misalnya pemeriksaan inteligensi untuk melihat
apakah anak mempunyai inteligensi yang kurang sehingga mengalami kesulitan belajar. Begitu juga
dengan mata, apakah anak mempunyai masalah dengan penglihatan sehingga mengalami kesulitan
melihat huruf dan kata dengan baik. Ia juga perlu mendapatkan pemeriksaan telinga, apakah ia tidak
mengalami gangguan pendengaran sehingga salah mendengar bunyian, ucapan, yang mengakibatkan
salah menginterpretasikan bunyian dan ucapan. Atau kemampuan pendengarannya memang berkurang
sehingga kurang jelas pada saat harus mendengarkan kata-kata. Anak juga perlu diperiksa oleh seorang
psikolog, apakah memang ia tidak mempunyai masalah psikologis yang menyebabkan kesulitan
belajar. Masalah psikologis dari diri anak itu sendiri seperti misalnya tidak mempunyai motivasi untuk
belajar, mengalami rasa takut gagal sehingga menghambat pembelajaran membaca dan mengeja. Atau
faktor lingkungan baik di rumah maupun di sekolah yang menyebabkan rasa tak aman dan tak nyaman
yang dapat mempengaruhi prestasinya. Begitu juga dengan gangguan neurologis seperti adanya tics,
gangguan motorik, dan lain-lain. Masalah ketertinggalan perkembangan psikososial yang
menyebabkan masalah bersosialisasi seperti akibat kekurangmatangan psikososial ia menjadi sering
dibully di sekolah dengan akibat akhir pada prestasi pembelajarannya.
Penguasaan Bahasa yang kurang sering terjadi karena anak pindah-pindah daerah atau negara yang
menyebabkan ia menjadi kesulitan penguasaan bahasa, membaca, mengeja, bahkan memahami
bacaan. Begitu juga buruknya system bimbingan di sekolah yang menyebabkan anak tidak maju-maju
dalam pelajaran, atau bahkan karena mungkin di rumah kurang ada dukungan sehingga anak
mengalami ketertinggalan pembelajaran.
Sebelum ada DSM-5 – istilah yang digunakan hanya menyebutkan sebagai Learning Disabilities
(SLD), namun dalam DSM-5 kini secara tegas dikatakan bahwa disleksia berupa gangguan membaca
dan mengeja merupakan gangguan yang spesifik, Karena itu sekarang menggunakan istilah Specific
Learning Disabilities (SLD).
8.5. Derajat keparahan Disleksia
Kondisi disleksia tidaklah seragam, selain terdapat tipe-tipenya (lihat Bab 2), disleksia juga
mempunyai derajat keparahan.
Disleksia ringan adalah kondisi gangguan di mana hanya mengalami kesulitan dalam membaca dan
mengeja tetapi sangat ringan. Individu ini masih dapat melakukan kompensasi atau dapat berfungsi
dengan baik dengan beberapa penyesuaian, atau pun dengan bantuan atau dukungan.

57
Disleksia dengan keparahan sedang adalah kondisi di mana gangguan disleksia pada individu ini
sangat nampak jelas, ia pun memerlukan dukungan selama tahun-tahun di sekolahnya atau bantuan
secara intensif dari tenaga khusus yang mempunyai spesialisasi untuk ini.
Disleksia yang parah adalah gangguan membaca dan mengeja yang sangat sulit yang menyebabkan
juga masalah tidak bisa berprestasinya ia di berbagai mata ajaran lainnya. Derajat keparahan ini juga
ditunjukkan di mana si individu tidak bisa tanpa dukungan dari tenaga khusus untuk di segala mata
ajaran. Termasuk juga berbagai paket yang disesuaikan untuk bimbingannya di rumah. Sekalipun
sudah dengan berbagai macam dukungan namun ia tetap tidak dapat melakukan berbagai aktivitas
secara efisien.2
Pada anak-anak dengan disleksia yang ringan seringkali disebut disleksia murni, seringkali luput dari
perhatian guru. Prestasinya yang biasa saja, tidak terlalu jelek tetapi juga tidak bagus sekali, seringkali
dianggap sudah cukup. Ia sendiri mampu mengkamuflase kekurangannya dengan kepandaiannya.
Anak-anak ini baru sering terdeksi saat dirinya sudah di sekolah lanjutan di mana tugas-tugas belajar
yang dibebankan semakin banyak dan membutuhkan waktu yang lebih cepat.

8.6. Beberapa kasus


Beberapa contoh kasus di bawah ini dapat kita lihat bahwa disleksia mempunyai keragaman baik tipe
maupun derajat keparahannya. Beberapa kasus di bawah ini diambil dari sebuah buku berbahasa
Belanda Dit Is Dyslexie (Van der Leij, 2016).

8.6.1. Kasus Josje3


Bagi Josje, disleksia ada di dalam keluarganya. Sepupunya juga. Di Sekolah Dasar Josje bisa
mengikuti pelajaran pada untuk levelnya, hanya saja ia agak kesulitan dengan aturan mengeja. Saat
masih kecil ia mempunyai keluhan gejala ADHD. Sekalipun begitu ia dapat meliwati Sekolah
Dasarnya tanpa masalah. Di Sekolah lanjutan ia memulai pada kelas Havo/VWO (kelas umum/kelas
sains). Tetapi levelnya jatuh yang disebabkan karena ada berbagai masalah di rumah yang tidak
menguntungkannya. Selanjutnya ia harus masuk ke pendidikan kejuruan. Setelah itu ia dapat
melanjutkan ke sekolah tinggi untuk tenaga sosial dan budaya. Josje bercerita bahwa selama
pendidikannya ia mempunyai kesulitan dalam membuat laporan dan karya tulis. Ia mengalami
kesulitan dalam hal ejaan. Selanjutnya menurutnya, jika ia harus membaca, maka ia harus berulang-
ulang membacanya agar dapat memahaminya. Menurut rekan-rekan kerjanya ia cukup baik. Untuk
mempelajari Bahasa Inggris ia tidak mengalami kesulitan.

2 Van der Leij, 2016


3 Van der Leij, 2016

58
Catatan: Fungsi tugas spesifik: skor rata-rata untuk tes decoding fonologis dan pengenalan kata.
Fungsi tugas yang saling berhubungan = kesadaran bunyi-bunyian dan kecepatan menamai. Fungsi
umum kognitif = penalaran secara verbal dan kemampuan pandang ruang.
Diagnosa
Nampak jelas bahwa Josje mempunyai masalah dalam mengeja, tetapi tehnik membaca tidak
berkesesuaian dengan kriteria (bila kemampuan mengeja lemah, maka membaca juga akan lemah) ia
meraih di atas 50 %. Lagipula hasil tes fungsi tugas spesifik tidak lemah tetapi rata-rata lemah yaitu 33
%. Karenanya Josje dapat dikatakan bahwa ia tidak dapat dikatakan bahwa ia mengalami disleksia
yang parah yang disebabkan karena rendahnya kemampuan menamai. Dan rendahnya kemampuan
memanamai yang ada masih dapat didukung. Ia menyandang disleksia ringan.

8.6.2. Kasus Marteen yang cerdas istimewa4


Di Sekolah Dasar mengalami kesulitan dalam hal belajar membaca dan mengeja. Ia melalui pelajaran
membaca dasar dengan sangat lamban. Dalam pelajaran imla ia membuat banyak kesalahan. Ia
mendapatkan bimbingan ekstra dari sekolah. Ia juga mendapatkan bimbingan satu-persatu dari pelatih.
Kemudian ia juga menerima bimbingan pemahaman bacaan. Di rumah juga sangat distimulasi agar ia
mampu membaca. Selanjutnya prestasi belajarnya turun naik. Ia mendapatkan saran untuk masuk ke
sekolah lanjutan dengan level Havo/vwo (kelas lanjutan umum/sains).
Di tahun pertama Marteen mengambil mata pelajaran Bahasa klasik. Dengan prestasinya yang tak

4 Van der Leij, 2016

59
menentu itu kemudian ia diberi tes apakah mengalami disleksia, dan ia mendapatkan diagnosa
disleksia. Dengan surat keterangan disleksia ia mendapatkan waktu tambahan jika mengerjakan ujian-
ujian Bahasa, dan ia dibebaskan dari pelajaran bahasa asing ekstra. Ia juga diperbolehkan
menggunakan laptop. Pembesaran huruf dalam lembaran ujian menurutnya kurang nyaman. Dengan
ekstra upaya dan alat bantu ia dapat menyelesaikan pendidikan sekolah lanjutannya. Untuk pelajaran
Bahasa Belanda ia mendapatkan pas cukup, tetapi untuk Bahasa Inggris ia agak mengalami kesulitan.
Di liburan musim panas ia mengikuti pelajaran tambahan Bahasa Inggris.
Pada saat ini Marteen mengambil pendidikan di sekolah tinggi untuk jurusan tehnik informatika. Ia
merasakan pendidikan ini cukup menyenangkan. Ia harus banyak membaca tetapi ia dapat
melakukannya. Secara umum ia mengalami kesulitan dalam hal mengeja dan gramatika jika harus
membuat karya tulis dalam bahasa Belanda dan Inggris.

Diagnosa
Nampak secara jelas bahwa hasil tes Marteen berkesesuaian dengan kriteria inti pada masalah
membaca (12 %) dan tes fungsi tugas spesifik (7 %). Berarti ia menyandang disleksia yang parah.
Sedang hasil tes untuk fungsi-fungsi yang saling berhubungan yaitu pada kesadaran bunyi-bunyian
mendapatkan skor yang rendah (23 %). Sedang untuk hasil tes kecepatan menamai mencapai tingkat
skor rata-rata (41 %). Artinya nampak ia tidak ada indikasi mengalami kesulitan yang amat sangat.
Dari hasil tes pandang ruang terlihat bahwa Marteen cerdas istimewa di mana ia meraih skor maksimal

60
yaitu dalam persentil 96 %. Sekalipun kemampuan verbalnya berada di 77 % tetapi ia duduk dalam 25
% kelompok yang berprestasi.

8.6.3. Kasus Bernhard5


Masalah membaca dan mengeja ada dalam keluarga Bernhard, tetapi tidak ada yang mendapatkan
diagnosa disleksia. Bagi Bernhard, ia mengalami kesulitan belajar sejak kelas dua Sekolah Dasar. Ia
dapat memahami tugas-tugas. Tetapi menulis dan membaca ia mengalami kesulitan dan hal ini
menghambat beberapa mata ajaran lainnya. Saat di Sekolah Dasar ia mendapatkan bimbingan ekstra
dan dukungan dari orang tuanya di rumah. Dengan cara ini ia persis dapat mencapai tuntutan level di
sekolah. Setelah lulus dari Sekolah Dasar ia meneruskan ke Sekolah Kejuruan. Sekolah ini lebih
mengenal disleksia dan ia diikutsertakan dalam pemeriksaan disleksia. Saat ia menerima diagnosa
disleksia ia langsung mendapatkan dukungan berupa pelajaran tambahan dan perhatian ekstra dari para
guru. Di samping itu ia juga mendapatkan lembaran ulangan dengan huruf dengan format besar, serta
mendapatkan tambahan waktu saat mengerjakan ulangan. Ia boleh menggunakan Daisy -speler dan
buku dengan pita suara, begitu juga penggunaan kacamata prisma dan lembaran hijau transparan untuk
diletakkan di atas teks. Sekalipun ia sudah mendapatkan dukungan, ia masih juga kesulitan dalam
mata pelajaran teori. Untuk pelajaran matematika ia dapat mengerjakan dengan baik, tetapi ia
mengalami sangat kesulitan dalam hal membaca dan menulis kalimat-kalimat. Untuk ujian mondeling
ia mendapatkan nilai tinggi. Setelah menyelesaikan sekolah kejuruan pertama ia melanjutkan ke
sekolah kejuruan atas di berbagai jurusan. Ia mengalami kesulitan memilih jurusan yang cocok dengan
kapasitasnya. Ia menyelesaikan jurusan marketing, dan akan melanjutkan pendidikan di jurusan itu. Ia
kemudian melanjutkan ke jurusan Financial Services Management di sekolat tinggi. Ia menyatakan
bahwa pendidikan ini cukup sulit. Ia harus banyak membaca dan hal ini baginya membutuhkan waktu
lebih banyak bila dibanding rata-rata teman-temannya. Sedangkan menulis membuat karya tulis,
baginya benar-benar sulit. Ia sering tertukar-tukar huruf dan kata. Ia juga menjelaskan bahwa tulisan
tangan juga mempunyai peranan yang penting. Ia sangat sedikit membaca buku, Karena menurutnya
baginya tidak perlu. Membaca koran baginya membutuhkan waktu banyak.
Diagnosa
Dari hasil tes Bernhard menunjukkan ia berkesesuaian dengan kriteria disleksia di mana terdapat
kesulitan pada membaca (kemampuan terendah yaitu 5 %), mengeja (kemampuan terendah yaitu 1 %),
dan pada fungsi tugas spesifik (yaitu pada kemampuan terendah 4 %). Hasil tes untuk kecepatan
menamai hanya 1 % yang berkaitan dengan masalah kecepatan membaca, tetapi untuk kesadaran

5 Van der Leij, 2016

61
bunyi-bunyian ia agak bagus yaitu 23 %. Dari kasus ini nampak bahwa disleksia tidak berkorelasi
dengan tingkat inteligensi seseorang.

8.6.4. Kasus Alfred6


Sejak di Sekolah Dasar mengalami masalah membaca dan mengeja. Di kelas 4 dari pemeriksaan
kapasitas inteligensi ia memiliki kapasitas inteligensi yang besar. Setelah sekolah dasar ia melanjutkan
di Sekolah Lanjutan Khusus. Di sekolah ini ia mendapatkan ijazah dengan skor yang tinggi untuk
jurusan ekonomi. Setelah itu ia mengambil ijazah Sekolah Lanjutan Kejuruan, hanya dengan tiga
tahun yang seharusnya empat tahun. Setelah itu ia melanjutkan ke kelas kejuruan lain. Selanjutnya
lagi ia pindah ke Sekolah Tinggi jurusan ekonomi perusahaan. Pada saat di Sekolah Lanjutan Kejuruan
ia tidak mendapatkan bantuan ekstra dari sekolah. Tetapi ibunya membantunya dengan membaca dan
mengeja. Di Sekolah Tinggi ia mendapatkan waktu ekstra saat harus mengerjakan ujian, yang
sebetulnya kadang-kadang ia tak membutuhkannya. Mentornya juga membantunya dalam menuliskan
tugas karya tulisnya. Setelah pendidikan di Sekolah Tinggi yang sukses, ia kemudian bekerja di kantor
pengacara. Ia kemudian mengambil pendidikan master untuk Accountancy & Control di universitas.
Sementara itu ia masih mengalami masalah membaca dan mengeja. Ia sangat lambat membaca,
banyak salah dan sering ada huruf-huruf yang terliwati saat membacanya.

6 Van der Leij, 2016

62
Diagnosa
Dari hasil tes, Alfred terus menerus masih mengalami kesulitan Karena disleksianya, karenanya ia
mempunyai hak untuk mendapatkan dukungan. Terlihat dari hasil tesnya di mana membaca (5%),
mengeja (1 %) dan fungsi tugas spesifik (5 %). Kesadaran akan bunyi-bunyian juga lemah (11 %),
namun kecepatan menamai tidak lemah. Secara umum fungsi kognitifnya dilihat melalui kemampuan
pandang ruang sangat baik (ia mencapai persentil 99 %). Alfred sudah berpindah-pindah sekolah
dengan setumpuk ijazah yang dapat dimungkinkan Karena ketahan kerjanya yang tinggi disertai
dengan tingginya kapasitas inteligensinya.

Pelajaran dari kasus-kasus di atas


Jika kita lihat berbagai kasus di atas, nampak bahwa pada tiga penyandang disleksia berat akan
ditandai dengan beratnya masalah pada kesadaran akan bunyi-bunyian, dan rendahnya kecepatan
menamai.
Dari sini dapat kita pahami bahwa masalah terbesar pada disleksia adalah masalah pada kesadaran
akan bunyi-bunyian yang biasa disebut sebagai phonological awareness.
Phonological awareness (kesadaran fonologis) adalah kemampuan anak untuk membedakan bunyi-
bunyian atau ucapan. Misalnya anak didengarkan kata /ibu/ maka ia harus mengetahui bahwa
ucapan /ibu/ terdiri dari bunyi/ucapan /i/ /b/ /u/.

63
Ucapan kata /mau/ terdiri dari /m/ /a/ /u/
Dengan kemampuan ini kelak anak dapat mempunyai kemampuan mengeja dengan baik. Dengan
begitu, kita perlu mewaspadai apabila diantara anak-anak kita jika diketahui di usianya yang masih
kecil mengalami kesulitan ini. Ia perlu kita perhatikan bagaimana perkembangan selanjutnya. Karena
ia mempunyai risiko ke arah disleksia.

8.7. Risiko menjadi penyandang disleksia

Terlambat bicara
Dari banyak penelitian menunjukkan sebagian penyandang disleksia mempunyai riwayat mengalami
keterlambatan bicara. Artinya disini dapat dikatakan bahwa anak-anak yang mengalami keterlambatan
bicara mempunyai risiko akan mengalami disleksia. Dikatakan sebagai risiko, artinya kemungkinan ia
akan mengalami disleksia tetapi belum tentu. Karena keterlambatan bicara pada anak (Speech
Language Impairment atau SLI) adalah sebuah masalah perkembangan, kelak pada waktunya ia akan
mengalami normalisasi perkembangan7. Sedangkan disleksia adalah anak-anak dengan gangguan
neurologis, SLI bukan penyandang gangguan neurologis. Tetapi bisa saja terjadi diantara anak-anak
yang terlambat bicara itu mengalami juga, atau diikuti, dengan gangguan neurologis yang kelak
manifestasinya dalam bentuk gangguan belajar disleksia. Kondisi seperti ini biasa dinyatakan sebagai
dua kondisi yang muncul secara bersamaan (SLI + Dyslexia)8.
Bila kita perhatikan gambar berikut yang merupakan hasil penelitian yang panjang dari Catts dkk
(2007), di mana anak-anak ini diikuti dalam waktu yang panjang mulai dari taman kanak-kanak hingga
kelas 10. Kelompoknya terdiri dari kelompok:
1)anak-anak normal,
2) anak-anak terlambat bicara (SLI),
3) disleksia, dan
4) SLI + disleksia.
Dalam perjalanan itu nampak sekali perkembangannya, di mana anak-anak disleksia akan mengalami
ketertinggalan perkembangan dalam hal membaca (word reading growth) bila dibanding dengan anak-
anak normal dan anak SLI.
Coba kita perhatikan gambar selanjutnya, dalam kemampuan pemahaman bacaan (reading
comprehension growth), justru anak-anak disleksia berkembang lebih baik daripada anak-anak SLI.

7 Leonard,BL (2014)
8 Catts dkk (2007) http://www.asha.org/Events/convention/handouts/2007/1776_Catts_Hugh/

64
Anak-anak SLI akan mengalami masalah yang berat dalam kemampuan pemahaman bacaan dibanding
kedua kelompok (anak normal dan anak disleksia).

Pola perkembangan membaca antara anak normal, penyandang disleksia,penyandang SLI saja, dan
penyandang SLI + disleksia. Menunjukkan bahwa pada penyandang SLI + disleksia mempunyai
perkembangan yang paling sulit bila dibanding dengan ketiga kelompok yang lain.
Sumber: Catts dkk (2007) http://www.asha.org/Events/convention/handouts/2007/1776_Catts_Hugh/

Dalam pemahaman bacaan, anak disleksia mempunyai prestasi lebih rendah dibanding anak normal,
karena anak disleksia mempunyai masalah dalam mengeja.9

9 Untuk pemahaman tentang mengapa anak SLI mengalami masalah pemahaman bacaan yang parah hingga besar dapat
dibaca di Van Tiel, JM (2016): Anakku gifted terlambat bicara. Masalah & intervensi Bahasa pada gifted plus SLI, Prenada
Media - Jakarta

65
Sementara itu pada anak-anak yang mempunyai dua kekhususan sekaligus, yaitu SLI + disleksia akan
mengalami masalah yang sangat parah bila dibanding dengan kelompok lainnya. Jadi kondisi anak
terlambat bicara jika diikuti dengan disleksia akan mempunyai kesulitan yang sangat berat dalam
pendidikannya.

Phonological awareness
Sejak tahun 80-an ada kesepakatan diantara peneliti bahwa terjadinya disleksia karena adanya masalah
anak dalam perkembangan phonlogical awareness. Anak tidak bisa membedakan ataupun tidak
mengenali bunyi-bunyian atau ucapan. Misalnya ia mendengar suara “meoongg….” Ia dapat
menginterpretasi bahwa itu suara kucing. Ia bisa membedakan suara kucing dan suara anjing, dan
seterusnya. Dari kemampuan ini kemudian terjadi otomatisasi dari bentuk suara yang di dengarnya
dengan gambaran yang ada di kepalanya menjadi bentuk gambar. Misalnya kemudian di kepalanya
tergambar seekor kucing.
Masalah dalam perkembangan phonological awareness ini kemudian berakibat ia juga mengalami
masalah dalam phonemic awareness (kesadaran fonem), yaitu otomatisasi di dalam otak yang bekerja
menginterpretasi symbol-simbol seperti huruf-huruf dan angka sebagai suatu bunyian atau ucapan.
Misalnya jika ia melihat huruf /a/ ia akan mengenali bagaimana ucapan /a/ itu.
Dalam budaya menulis dengan alfabet, menulis adalah menggabungkan antara huruf-huruf yang
mempunyai makna bunyi-bunyian atau ucapan. Misalnya kata /pus/ terdiri dari /p/ /u/ /s/. Agar dapat
menghubungkan antar bunyian/ucapan menjadi sebuah kata, seorang anak harus mempunyai
kesadaran akan bunyi-bunyian atau ucapan-ucapan.10

(Lihat mekanisme terjadinya gangguan belajar dalam Bab 2)

Terdapat penyandang disleksia dalam keluarga


Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pengaruh faktor keturunan (gen) sebagai penyebab
munculnya gejala disleksia, sangat besar dan sangat siknifikan. Dengan begitu jika di dalam keluarga
terdapat satu atau lebih anggota keluarga sebagai penyandang disleksia, maka pada anak-anak yang
masih kecil perlu diwaspadai dan diikuti perkembangannya agar dapat diketahui secara lebih dini
apakah ia juga penyandang disleksia.11
8.8. Komorbiditas
Komorbiditas adalah adanya gangguan lain yang menyertai atau muncul secara bersamaan.
10 Blomert,L (2005)
11 Van der Leij, A (2016)

66
Sebagaimana gangguan perkembangan lain, komorbiditas pada gangguan belajar disleksia juga relatif
banyak terjadi. Sekalipun adanya komorbiditas tidak menyebabkan disleksia itu sendiri, tetapi adanya
komorbiditas dapat memperparah kondisi yang ada. Karena itu komorbiditas ini juga perlu diberikan
intervensi agar tidak memperberat masalah yang ada.
Gangguan-gangguan lain yang banyak dilaporkan sebagai komorbiditas disleksia adalah:12
- Auditory Processing Disorder
- Visual Processing Disorder
- ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)
- ASD (Autism Spectrum Disorder)
- Masalah berhitung
- Gangguan inteligensi sangat ringan

8.9. Diagnosa pembanding disleksia


Diagnosa pembanding atau Differential Diagnosis adalah suatu diagnosa yang mempunyai masalah
yang mirip-mirip atau hampir sama, tetapi bukan merupakan diagnosa disleksia sebagaimana kriteria
yang telah disepakati oleh para ahli.
Salah satu kriteria yang telah dihilangkan dari kesepakatan gejala disleksia adalah: adanya
deskrepansi atau perbedaan yang besar dalam perkembangan inteligensi. Perbedaan ini terlihat pada
profil IQ, antara verbal IQ dan performansi IQ. Keadaan ini mengindikasikan bahwa disleksia itu
sendiri tidak mempunyai korelasi yang kuat dengan inteligensi. Karena kriteria ini sudah dihilangkan
dan tidak digunakan lagi.13
Dahulu jika didapatkan adanya ketimpangan atau deskrepansi antara verbal IQ dan performansi IQ
yang melebihi 15 point, maka ia akan disebut sebagai penyandang disleksia. Namun dalam berbagai
penelitian ternyata dalam perkembangannya ia tidak mengalami gangguan membaca dan mengeja.
Karena itu pada kelompok anak yang mengalami ketimpangan inteligensi harus dikelompokkan
sebagai anak penyandang masalah lain.
Kondisi lain yang menjadi diagnosa pembanding disleksia berdasarkan profil IQ adalah:
- Terlambat bicara atau Specific Language Impairment (SLI). Masalah terlambat bicara anak
SLI adalah masalah perkembangan, kelak dalam perjalanan waktu mereka akan mengalami
normalisasi perkembangan. Pada anak-anak terlambat bicara ini mengalami deskrepansi

12 Blomert, L (2013)
13 idem

67
(perbedaan yang sangat besar) antara IQ verbal dan IQ performansinya. IQ verbal berada di
bawah rata-rata anak seusianya, sedang IQ performansinya normal hingga tinggi.14,15,16
- Gangguan belajar non-verbal atau Non-verbal Learning Disorder (NLD). Anak-anak NLD
tidaklah mengalami keterlambatan bicara sebagaimana anak-anak SLI. Masalah yang ada
pada NLD adalah gangguan (cacat) neurologis yang akan disandangnya seumur hidupnya.
Sekalipun ia tidak terlambat bicara ia mengalami kekurangan perkembangan pada IQ
performansinya. Profil IQ performansinya berkembang berada di bawah rata-rata normal
dan terdapat deskrepansi yang sangat besar dengan IQ verbal, di mana deskrepansi itu
setidaknya berada dalam perbedaan 40 point. Dengan kondisi seperti ini penyandang SLI
mengalami kesulitan dalam kemampuan pandang ruangnya, dan juga mengalami masalah
pada perkembangan kemampuan bahasa non-verbal (bahasa symbol) dan ketrampilan
berhitung dan matematika.17
BAB 9
DETEKSI DISLEKSIA

9.1. Deteksi di taman kanak-kanak


Dalam fase deteksi dini disleksia, kita belum melakukan penegakan diagnosa. Tetapi baru mencatat
kemungkin risiko anak kelak dapat mengalami gangguan belajar disleksia. Apabila didapatkan bahwa
anak mempunyai risiko, maka tugas guru dan orang tua adalah memberikan dukungan perkembangan
dan melakukan observasi sebaik mungkin. Terutama jika anak berada dalam area risiko yaitu:
mengalami keterlambatan bicara dan mempunyai saudara yang memang mengalami disleksia.
Deteksi dini dapat dilakukan di akhir tahun taman kanak-kanak, yaitu dengan cara memberikan daftar
isian yang dapat diisi oleh orang tua, dan juga tes sederhana pada anak tentang:
- Phonological & Phonemic awareness
- Mengenal dan menyebutkan huruf dan angka
- Membaca dan menulis sederhana
Karena kita di Indonesia belum mempunyai protokol baku yang dapat kita gunakan secara standar,
mau tidak mau kita harus bertanya pada tenaga-tenaga ahlinya di universitas Ilmu Kependidikan
kekhususan atau Psikologi Pendidikan. Kita perlu melakukan deteksi secara hati-hati dan sederhana.
Secara hati-hati maksudnya jangan sampai apa yang dilakukan oleh pihak sekolah dalam memberikan

14 De Jong, J (2005)
15 Bishop & Snowling (2004)
16 Leonard (2014)
17 Litle, L (1999): The Misunderstood Child, The Child with nonverbal learning disorder, e Journal of the Society of
Pediatric Nurses, Vol. 4, No. 3, JulySeptember, 1999

68
tes deteksi dapat diartikan oleh orang tua sebagai vonis yang serius. Situasi seperti ini dapat membuat
kepanikan orang tua dan membawa anaknya untuk dilakukan berbagai tindakan, yang sebetulnya tidak
perlu.
Secara sederhana maksudnya, jangan memberikan tes yang sulit, diluar kemampuan anak, sehingga
dapat menghasilkan pemaparan seolah anak memang mempunyai risiko yang tinggi. Mungkin diantara
anak-anak ada yang mengalami lompatan perkembangan tetapi juga ada yang tertinggal dari teman-
temannya. Pada anak yang masih tertinggal, tidaklah bijaksana jika kita mengatakannya sebagai
disleksia, karena masih banyak kemungkinan lain yang harus disingkirkan atau perlu dukungan
(kurang dukungan dan stimulasi, terlambat bicara, sakit yang lama, gangguan pendengaran, gangguan
artikulasi, inteligensi rendah, gangguan pemusatan perhatian dan sebagainya).
Beberapa contoh sederhana dapat kita gunakan dalam melakukan deteksi dini adalah18:
- Memberikan bunyi atau suara-suara binatang dan anak diminta menyebutkan bahwa itu
suara binatang apa.
- Memberikan gambar-gambar yang biasa ia kenal dan anak diminta menyebutkan nama
gambar
- Memberikan gambar warna-warna dan anak diminta menyebutkan warna
- Memberikan huruf dan angka dan anak diminta menyebutkannya.
- Menyebutkan beberapa kata-kata yang biasa ia kenal misalnya /mama/ bahwa di depan
kata /mama/ ada ucapan / ...../ /ama/
Pada anak-anak yang mempunyai risiko disleksia ia akan menyebutkan secara salah atau lebih lambat
dari rata-rata anak lain.19
Apabila didapatkan anak mengalami kesulitan akan hal ini, orang tua dapat memberinya dukungan
dengan cara memberinya latihan lebih banyak dengan cara bermain. Untuk kemudian di tahun
berikutnya (akhir tahun kelas 1 SD) dapat diulang dengan memberikan lagi tes sesuai dengan
tingkatan akademik saat itu.
Di bawah ini beberapa hal yang dapat digunakan untuk melihat faktor kemungkinan adanya masalah
belajar dan gangguan belajar membaca dan mengeja pada anak usia taman kanak-kanak akhir
tahun pertama, dan diulang di akhir tahun ke dua20:
- Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai masalah membaca dan mengeja?
- Mengalami keterlambatan bicara?
- Di rumah tidak banyak dibacakan buku cerita?

18 Van der Leij (2016)


19 idem
20 www.expertisecentrumnederlands.nl

69
- Kurang menguasai Bahasa Indonesia karena multibahasa ?
- Mempunyai masalah pendengaran?
- Mempunyai masalah dalam belajar dan menyebutkan warna?
Bagaimana sikap anak saat anak diajak mendengarkan dibacakan buku cerita:
- Apakah anak memberikan perhatian saat dibacakan buku cerita?
- Senangkah anak pada kegiatan dibacakan buku cerita?
- Memberikan reaksikah anak pada saat dibacakan buku cerita? Reaksi verbal atau
nonverbal?
- Bagaimana reaksi anak terhadap cerita?
- Apakah anak memberikan reaksi apa yang akan diceritakan?
- Apakah anak bertanya tentang apa yang tertulis?
- Apakah anak melakukan imitasi membaca buku cerita?
- Bagaimana cara anak membaca buku? (cara membuka buku, dan melihat tulisan dalam
buku – dari kiri ke kanan ?)
- Dapatkah anak bermain mengikuti cerita?
- Dapatkah anak mengulang bercerita?
- Bagaimana tingkatan anak pada ketrampilan membaca:
a. Menolak
b. Memberi nama gambar
c. Bercerita dengan caranya sendiri
d. Mengimitasi membaca buku cerita
e. Sudah dapat membaca
Apakah anak sudah mengenal bahasa tulisan:
- Dapatkah anak membaca suatu kata jika salah satu huruf ditutup dan ia mengetahui huruf
apa yang ditutup?
- Memahami arti gambar-gambar pictogram atau logo-logo?
- Dapat menulis namanya sendiri ?
- Bagaimana tingkatan ketrampilan menulis ?
a. Membuat gambar
b. Membuat coret-coretan
c. Menuliskan deretan huruf dan angka
d. Dapat mengenali jika dua atau tiga huruf digandeng akan menjadi kata
e. Dapat menulis sebagaimana yang diucapkan atau diberi dikte

70
Bermain-main dengan ucapan kata dan menggunakannya untuk pantun:
- Dapatkah anak mengingat pantun dengan rhyma21 ?
- Apakah anak mencoba-coba membuat rhyma sendiri ?
- Bisakah memisahkan satu huruf dalam sebuah kata dan dapat mengucapkannya ?
- Dapatkah anak membedakan tiga ucapan huruf dalam sebuah kata (sintesa auditif) ?
- Dapatkah anak menyebutkan angka dengan baik?
Ketrampilan menulis:
- “Menulis” sendiri untuk berkomunikasi (misalnya surat, daftar, dan cerita)
- Meminta orang lain untuk menuliskan
- Mempunyai motivasi internal untuk membaca dan menulis
- Ingin sekali membaca dan menulis, ia minta diajarkan.

9.2. Deteksi di kelas satu Sekolah Dasar


Deteksi untuk anak-anak jika sudah masuk SD, dilakukan menjelang akhir tahun kelas satu dengan
berbagai evaluasi sebagai berikut:22
Sikap mengerjakan tugas
Motivasi membaca dan menulis
- Apakah anak termotivasi untuk belajar membaca dan menulis?
Orientasi pada tugas saat belajar membaca dan menulis
- Apakah anak cukup terlibat dalam tugas membaca dan menulis, apakah ia seringkali sibuk
dengan hal lain, atau melamun?
- Apakah anak dalam kelompok kecil dapat berpartisipasi dalam kegiatan membaca dan
menulis?
Konsentrasi (pemusatan perhatian)
- Dapatkah anak melakukan konsentrasi (pemusatan perhatian) pada saat membaca dan
menulis?
- Berapa lama anak dapat dalam kelompok/kelas melakukan aktivitas membaca dan menulis?
- Di jam berapa yang terbaik untuk membimbingnya?

21 Rhyma yaitu ujung dari suatu kata dengan ucapan yang sama dan digunakan dalam kalimat-kalimat pantun misalnya:
Puk ami ami
Belalang kuku kupu
Siang makan nasi
Malam minum susu
22 www.expertisecentrumnederlands.nl

71
- Berapa lama anak dapat melakukan pemusatan perhatiannya dalam kegiatan membaca dan
menulis?
Perilaku
Organisasi dan perencanaan
- Bagaimana ketrampilan anak dalam melakukan pengorganisasian dan perencanaan terhadap
aktivitas belajar membaca dan menulis?
Refleksi diri dan memperbaiki diri
- Apakah anak tahu jika ia mengalami kesalahan saat membaca dan menulis?
- Bagaimana anak memperbaiki kesalahan-kesalahannya dalam membaca dan menulis?
- Tulisan atau kalimat yang bagaimana yang ia perbaiki?
Membaca mandiri
- Apakah anak dapat membaca buku secara mandiri?
- Anak lebih senang membaca dalam hati atau membaca keras?
Bahan ajar membaca
- Apakah anak lebih menyukai buku-buku yang bergambar atau justru yang tidak bergambar?
- Apakah anak lebih menyukai bentuk huruf tertentu, besar tertentu, jarak kata.
Bila ya, yang mana?
Ucapan pada saat membaca
- Apakah terjadi kesulitan-kesulitan pengucapan?
- Bagaimana intonasi pada saat membaca, dapatkah dijelaskan?
Ingatan
- Dapatkah anak mengingat-ingat bentuk huruf dan angka?
- Apakah anak dapat memegang benang merah suatu cerita pada saat membaca? Tahukah
anak apa yang dibacanya?
- Dapatkah anak mengingat tugas apa saja yang diinstrukasikan padanya?
Faktor emosi
Reaksi emosional terhadap masalah membaca dan mengeja
- Apakah anak merasa kesulitan dalam pelajaran membaca dan mengeja? Bila ya, bagaimana
kesulitan yang dirasakan dan kelihatannya?
Rasa percaya diri pada saat membaca dan menulis
- Apakah anak mempunyai konsep diri yang rendah saat pelajaran membaca dan menulis?
- Apakah ia mempunyai ketidak percayaan pada diri sendiri dalam pelajaran membaca dan
menulis?

72
- Apakah ia berperilaku menghindar dalam pelajaran membaca dan menulis? Jika ya, dapatah
dijelaskan?
Reaksi teman sekelas pada prestasi membacanya
- Apakah anak merasa diterima oleh teman sekelasnya?
- Bagaimana reaksi teman sekelas terhadap lemahnya prestasinya?
Hobby dan bidang minatan
- Thema apa yang paling disukasi oleh anak?

Situasi di rumah
Budaya membaca di rumah
- Apakah di rumah dibacakan buku cerita?
- Apa yang diharapkan orang tua terhadap anak?
- Apakah di rumah ditawarkan bantuan membaca? Bila ya, bagaimana hasilnya? Bila tidak,
apakah dimungkinkan untuk diadakan?
- Apakah terdapat anggota keluarga yang mempunyai masalah membaca dan mengeja ?

Apabila saat kelas satu didapatkan anak mengalami masalah membaca dan mengeja, maka anak perlu
mendapatkan bantuan ekstra baik di sekolah maupun di rumah. Pada akhir tahun kedua jika masih
mengalami masalah, maka perlu dilakukan tes untuk melihat apakah anak memang menyandang
disleksia. Disleksia bisa ditegakkan saat anak di kelas 3 SD.

Bab 10
DIAGNOSA
10.1. Syarat
Diagnosa disleksia hanya bisa ditegakkan jika anak memang mengalami23:
1. Harus ditetapkan terlebih dahulu bahwa anak mengalami
- ketertinggalan yang siknifikan
- didaktis resistensi (sudah diberikan bantuan tetapi tidak memberikan efek)
2. Masalahnya memenuhi kriteria spesifikasi
- kesulitan yang amat sangat dalam hal otomatisasi membaca dan mengeja
- tidak ada faktor-faktor lain pada individu, atau pun dari lingkungan yang mempengaruhi
kondisi (masalah membaca dan mengeja)

23 Van der Leij, 2016

73
3. Perlu dilihat adanya masalah perkembangan atau gangguan lain yang mengikutinya (adanya
komorbiditas) yang menghambat perkembangan membaca dan mengeja. Butir 3) dalam
diagnosa ini perlu diikutsertakan dalam rangka perencanaan intervensi.
Jika ketiga ketentuan di atas sudah memenuhi, maka penegakan diagnosa dapat dilakukan.

10.2. Siapa yang memberikan diagnosa?


Informasi ketertinggalan membaca dan mengeja dari sekolah
Dengan mengikuti ketiga butir di atas dalam rangka menetapkan diagnosa, maka banyak langkah-
langkah yang harus diliwati anak. Langkah pertama yaitu pada butir 1) yaitu untuk menentukan
bagaimana perkembangan ketrampilan membaca dan mengeja anak dilakukan oleh pihak sekolah.
Dalam hal ini pihak sekolah (guru dan konselor sekolah) dapat menyampaikan informasi bahwa anak
mengalami ketertinggalan membaca dan mengeja yang secara siknifikan tertinggal dari teman-teman
sebayanya. 24

Diagnosa disleksia ditegakkan oleh tenaga profesional khusus


Guna menegakkan diagnosa diperlukan tenaga yang mempelajari pemeriksaan untuk psikodiagnostik
yang khusus dalam bidang gangguan belajar dan hambatan pembelajaran. Tenaga profesional ini
adalah psikolog klinik anak dan remaja – dan juga ahli kependidikan kekhususan
(orthopedagog).25
Bila ada komorbiditas
Komorbiditas ditegakkan oleh tenaga profesional yang memang bekerja dalam area komorbiditas dan
keahliannya, misalnya neurolog anak-anak, psikiater anak, dan psikolog klinik.

10.3. Tes yang diberikan dalam rangka penegakan diagnosa disleksia


Pada dasarnya untuk penegakan diagnosa ini dilakukan tiga kelompok tes sebagai kebutuhan dasar
menentukan, apakah si anak memang penyandang disleksia, dan memisahkannya dari diagnosa lain
(melihat differential diagnosanya), serta menentukan komorbiditasnya. Tiga kelompok tes itu adalah:
1) tes orthopedagogi untuk melihat ketrampilan membaca dan mengeja;
2) tes psikometrik psikologi untuk melihat tingkatan inteligensi, memori kerja, kemampuan
pemecahan masalah, dan perkembangan inteligensi verbalnya;
3) tes untuk melihat komorbiditasnya (tergantung keluhannya)

24 idem
25 Van der Leij, (2016)

74
Apabila kita urai, maka pemeriksaan-pemeriksaan dalam rangka penegakan diagnosa disleksia ini
dapat terdiri dari:26,27
1. Pemeriksaan tingkat perkembangan ketrampilan membaca dan mengeja
- kecepatan membaca
- mengeja
- imla
- pemahaman bacaan
2. Pemeriksaan apakah memang disleksia berdasarkan kekurang ketrampilannya yaitu:
- otomatisasi dalam visual auditif : bunyian/ucapan huruf/angka
- ketrampilan fonologik
- kecepatan menamai
- memori kerja verbal
3. Pemeriksaan masalah lain yang dapat menjadi kontraindikasi untuk disleksia
- masalah ketrampilan bahasa semantik
- masalah memori secara umum
4. Pemeriksaan tingkatan dan fungsi inteligensi secara umum
- pemeriksaan IQ
5. Pemeriksaan komorbiditas (kemungkinan gangguan lain yang menyertainya, satu atau lebih
gangguan lain), tergantung dari keluhan yang ada.
Pada anak-anak SLI yang mengalami masalah pada pemahaman bacaan saja (kecepatan membaca,
tehnik membaca, mengeja, dan imla, yang baik) tidak dapat dimasukkan ke dalam kelompok
penyandang disleksia sekalipun prestasi pada mata ajaran berbasis bahasa memang rendah. Masih
banyak kemungkinan lain pada SLI yang menyebabkan masalah tidak berprestasinya anak-anak SLI.
Masalah SLI pada umumnya adalah masalah kurangnya vokabulari, masalah pemrosesan auditory,
gramatika, masalah semantik -pragmatik, kesulitan memanggil kata dari memori jangka panjang, dan
masalah membangun kalimat. Masalah pada SLI jauh lebih luas daripada disleksia, namun mempunyai
prognose lebih baik dari pada disleksia, karena masalah yang ada pada SLI adalah masalah
perkembangan dan kelak akan terjadi normalisasi perkembangan. Ia mengalami keterlambatan
perkembangan berbahasa.28,29,30,31

26 Blomert, L (2013)
27 Van der Leij, (2016)
28 De Jong, J (2005)
29 Bishop, DVM & Snowling MJ (2004)
30 Leonard,BL (2014)
31 Masalah-masalah yang komplex pada penyandang SLI dapat dilihat dalam buku: Julia Maria van Tiel (2016): Anakku
gifted terlambat bicara. Masalah dan intervensi bahasa pada anak gifted plus SLI, Prenada Media, Jakarta.

75
Bab 11
PENANGANAN DISLEKSIA
11.1. Prevensi disleksia
Bila kita mendapatkan anak-anak kita mengalami keterlambatan bicara, pada usia lima atau enam
tahun menulis terbalik-balik, seenaknya mengganti kata-kata yang diejakan (misalnya gambar ayam
jadi dengan kata-kata yang tersedia /j/a/g/o/ - diajarkan mengeja /j/a/g/o/ tetapi mengatakan /ayam/.
Sangat lama menjawab apa nama huruf yang dilihatnya, atau sangat lama menjawab bagaimana
bentuk huruf, maka kita harus berhati-hati. Kita harus melatihnya secara lebih seksama, agar ia tidak
mengalami kesulitan membaca dan mengeja di kemudian hari.
Penanganan gangguan belajar selayaknya dilakukan sedini mungkin – dengan melalui upaya-upaya
prevensi saat mana seorang anak mendapatkan “bendera merah”. Memberikan penanganan sedini
mungkin akan lebih baik daripada jika dilakukan telah terlambat, dengan kemungkinan kesulitan yang
disandangnya itu dapat memberikan dampak negatip pada anak, yaitu dapat menimbulkan konsep diri
negatip, demotivasi untuk belajar, dan merosotnya rasa percaya diri, serta munculnya masalah
perilaku, kefrustrasian, dan depresi.
Prevensi ini selain memberikan siasat bagi anak agar mampu menyandang kekurangannya itu, namun
juga agar masalah gangguan belajar yang akar masalahnya pada masalah gangguan membaca,
mengeja, menulis, dan berhitung ini, tidak akan merambat dalam peraihan prestasi di berbagai mata
ajaran lainnya, yang pada akhirnya dapat menyebabkan anak mengalami putus sekolah. Padahal
sementara itu potensi inteligensinya cukup baik.

Upaya-upaya prevensi disleksia itu lebih ditekankan pada melatih anak untuk meningkatkan phonic
dan phonemic awarness.

Phonic & Phonemic awareness


Phonic & phonemic awareness adalah hal yang penting untuk menstimulasi anak agar tidak
mengalami risiko kesulitan belajar membaca, dan perlu diterapkan sejak dini sekali. Di sekolah
sebaiknya sudah dimulai saat periode kelompok bermain, dengan cara membuat program untuk
meningkatkan phonic & phonemic awareness. Selain kondisi anak tentang perkembangan phonic &
phonemic awareness, perkembangan bahasa dan bicara, dapat juga digunakan sebagai prakiraan ke
depan apakah anak tersebut akan mengalami gangguan belajar membaca, yang bisa melanjut pada
gangguan berhitung dan gangguan menulis.

76
Program meningkatkan phonic & phonemic awarness itu adalah program stimulasi verbal-
interaksi yang berupa:
- perluasan vokabulari
- membicarakan buku
- perhatian terhadap struktur ucapan dari kata-kata
- mengembangkan pengetahuan tentang bahasa tulisan
- mengenalkan dan menamai huruf dan alphabet
- ikutkan dalam kegiatan tujuan dasar dan mekanisme
membaca

Dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa pada usia kelompok bermain, kita perlu melihat berbagai
faktor kombinasi yang dapat digunakan sebagai prakiraan kemungkinan seorang anak akan mengalami
kesulitan membaca, yaitu:
- Perkembangan bahasa dan bicara
- Phonic & Phonemic awareness
- Dapat dengan cepat memberi nama huruf serta menyadari bahwa ada bahasa tulisan

Tetapi perkembangan bahasa dan bicara serta Phonic & Phonemic awareness merupakan dua faktor
yang sangat penting untuk digunakan sebagai prakiraan ke depan. Setidaknya salah satu dari dua
faktor tadi dapat digunakan sebagai prakiraan. Aspek-aspek phonic & phonemic awareness yang
mempunyai efek positip dalam proses perkembangan ketrampilan membaca dan mengeja adalah:
- pantun
- aktivitas dalam diskriminasi auditif
- ucapan untuk kata-kata yang bersambung
- padanan kata-kata
- bunyi ucapan dari kata-kata
- menghitung fonem (ucapan huruf-huruf dalam kata misalnya /m/a/m/a/ terdiri dari dua jenis
bunyi ucapan dari 4 buah fonem)
- mengucapkan kata-kata dan dibaginya dalam kelompok bunyi ucapan
- membedakan bunyi ucapan dalam kata-kata misalnya bunyi apa dalam kata “bak”? (bunyi
ucapan /beh/a/keh/ )

77
Hal-hal yang tidak boleh dilakukan dalam kegiatan pemberian perhatian bagi perkembangan bahasa
dan bicara, phonic & phonemic awareness, dan juga pengetahuan tentang huruf-huruf di taman kanak-
kanak, yaitu:
- anak TK tidak boleh dipaksa untuk belajar membaca misalnya membaca buku dengan kalimat-
kalimat lengkap
- tidak memperdulikan perkembangan sosial emosional anak
- jangan memberikan permainan yang tidak mempunyai arti bagi tumbuh kembang anak.

Prevensi untuk kelas 1 SD


Perkembangan ketrampilan membaca anak-anak adalah jika mereka dapat membaca dengan lancar
dengan tehnik membaca yang baik. Kualitas dari berkemampuan tehnik membaca ini dapat kita
jadikan sebagai prakiraan ke depan kelak bagaimana kemampuan pemahaman bacaannya. Anak-anak
yang membaca terlalu dieja akan menyebabkan short term memory-nya mengalami tekanan yang
akhirnya juga kelaknya akan menyebabkan gangguan dalam pemahaman bacaan. Dalam situasi seperti
ini dibutuhkan ketrampilan guru dalam menangani tugas mengajar membaca, membutuhkan pemikiran
yang dalam, melakukan demonstrasi, bimbingan yang cocok pada anak-anak, dan juga kapan
diperlukan bimbingan tambahan bagi anak-anak berisiko. Pada anak-anak yang mempunyai risiko ini
perlu diadakan persiapan dengan cara memberinya tugas menyambung dan melepaskan suku kata,
dengan menggunakan alat yang disebut buku klikklak (lihat gambar)

Buku klik klak, huruf dapat dipindah pindah dan dikombinasi. Atau kita juga dapat membuatnya
sendiri berupa kartu kartu bertemakan huruf, kata, gambar dengan kata, yang dapat kita gunakan
dalam bermain.

Pembelajaran membaca di kelas 1 SD adalah sebagai berikut


 Ajari anak-anak secepat mungkin mencapai sasaran tujuan, dengan terencana dan eksplisit
melalui instruksi langsung tentang: hubungan huruf-bunyi ucapan secara baik, dan juga
kelancaran tehnik membaca. Mengajarkan tehnik ini pada anak di kelas 2 atau sesudahnya
akan sangat sedikit efeknya. Hal ini karena diperlukan pengajaran yang sistematis melalui
latihan dengan menyambung dan melepas suku kata, perubahan urutan dan pengulangan, serta

78
latihan membaca bersama-sama. Penanganan ini dilakukan sampai adanya ketrampilan
membaca dengan proses yang cepat, beri motivasi dan beri penghargaan pada kemajuan yang
ada.
 Gunakan metoda yang baik untuk setiap anak saat ia masih di kelas 1, sehingga di akhir tahun
dapat mencapai tingkatan membaca yang lebih tinggi.
 Berikan arah tujuan pembelajaran. Misalnya bila anak-anak itu sudah berada di akhir tahun,
maka mereka semua harus sudah dapat membaca kata-kata.
 Stimulasi pada setengah grup untuk membaca dan berinteraksi guna melatih ketrampilan
pemahaman melalui pendengaran dan peningkatan daftar kata-kata.
 Tangani secepat mungkin anak-anak yang kurang baik membacanya, misalnya anak-anak yang
kurang pada perkembangan phonic & phonemic awareness – nya dan anak-anak yang jatuh
pada tes cawu pertama, untuk anak-anak ini dibutuhkan instruksi membaca ekstra, masukkan
dalam kelompok anak-anak yang membutuhkan perhatian khusus (beri ekstra 1 jam
perminggu). Dalam subkelompok ini dapat diberikan instruksi yang lebih panjang dan luas,
dalam kelompok kecil dalam sebuah meja, buat blok-blok dan kelompok kecil dalam kelas.
Dengan penanganan secepat mungkin ini artinya anak-anak yang berisiko ini saat mulai kelas 1
harus sudah dapat mengikuti pelajaran membaca selanjutnya.

Hal-hal yang penting dalam penilaian tersebut adalah


 Pada akhir tahun kelas 1 sudah dapat ditentukan anak-anak mana yang memang membutuhkan
perhatian khusus/ekstra.
 Saat cawu pertama, evaluasi apakah anak-anak ini sudah dapat mengusai huruf dan kata-kata?
Jika pengetahuan tentang fonem dan grafem belum mencukupi, perlu diberikan instruksi yang
intensif jika perlu gunakan komputer. Kini banyak program CD interaktif yang memperluas
fonem dan grafem.
 Saat cawu kedua : apakah anak-anak tersebut sudah mengenal huruf-huruf dengan baik dan
betul? Apakah anak tersebut sudah mencapai tingkatan membaca yang sesuai?

Prevensi di kelas 2 dan kelas 3 SD


Pada dasarnya membaca adalah melaksanakan pemahaman bacaan, sedang tehnik membaca sendiri
mempengaruhi pemahaman bacaan. Demikian yang sudah ditunjukkan dengan berbagai penelitian
bahwa lancar membaca dengan tehnik yang baik akan mempunyai efek yang positip terhadap

79
pemahaman bacaan. Anak yang lancar membaca pada dasarnya mempunyai konsentrasi yang cukup
untuk memahami isi bacaan.

Pada tehnik membaca lanjut mempunyai tujuan lebih memperhatikan secara sistematis terhadap:
 Belajar membaca dengan suku kata yang lebih dari dua
 Peningkatan kecepatan membaca (otomatisasi tehnik membaca)
 Mencegah terjadinya ketertinggalan membaca

Bagaimana agar setiap anak mampu mencapai kelancaran membaca?


Pertanyaan ini dapat dijawab memalui beberapa tatalaksana:
 Gunakan metoda membaca secara estafet untuk melihat siapa anak yang mempunyai kecepatan
membaca yang baik, dan juga agar tercapai tujuan supaya setiap anak dapat membaca dengan
lancar.
 Setidaknya 20 menit perhari siswa kelas 2 dan 3 SD membaca keras dan juga membaca dalam
hati. Jumlah menit ini adalah syarat minimum.

11.2. Clinical Teaching


Istilah clinical teaching digunakan saat mana si anak sedang dalam taraf observasi yang dilakukan
bersamaan saat ia belajar. Observasi ini dilakukan guna mengumpulkan data anak dan melihat
karakteristik yang spesifik dari si anak.
Tujuan clinical teaching adalah untuk menemukan cara-cara pengajaran yang tepat sesuai dengan
keunikan anak sebelum anak itu mendapatkan diagnosa. Jika ternyata saat dilakukan clinical teaching
anak sudah menunjukkan kemajuan, maka dapat diperkirakan bahwa kemungkinan si anak memang
bukan penyandang gangguan belajar disleksia.
Clinical Teaching dapat dilakukan di:
- di dalam kelas,
- di ruangan konselor
Clinical Teaching dapat dilakukan:
- perkelompok
- perindividu
Clinical Teaching dapat dilakukan oleh:
- guru kelas
- guru berpengalaman

80
- konselor
- relawan/orang tua berpengalaman
Kegiatan clinical teaching dapat juga dikombinasi dengan pelatihan dengan tugas khusus yang
dikerjakan di rumah dan diawasi atau dibimbing oleh orang tua. Untuk ini dibutuhkan buku
penghubung antara guru dan orang tua.
Clinical teaching dapat juga dikatakan sebagai proses tes-belajar-tes, dengan guru berperan sebagai
alternatif pemberi tes sekaligus juga berperan sebagai guru. Mula-mula siswa diberi tes dengan
serangkaian kegiatan dan metoda mengajar tertentu. Setelah kegiatan mengajar ini selesai, anak diberi
tes lagi. Jika ternyata si anak menunjukkan hasil yang baik, maka guru dapat meneruskan dengan
tahapan selanjutnya. Namun jika si anak tidak menunjukkan perbaikan, maka perlu dilakukan evaluasi
mengapa si anak tidak menunjukkan kemajuan dan dicarikan metoda pengajaran yang lain.
Clinical teaching semacam ini juga pada awalnya tidak perlu menentukan suatu sistem instruksi
tertentu, sistem pendidikan tertentu, atau gaya mengajar tertentu. Guru perlu melihat terlebih dahulu
apa yang dapat diberikan pada siswa. Clinical teaching juga dapat memanfaatkan berbagai strategi
intervensi jika memang diperlukan. Disamping itu juga dapat digunakan banyak istilah untuk clinical
teaching ini, antara lain, intervensi, terapi edukasi, strategi instruksional, atau pengajaran yang
sesuai.

Clinical teaching berupa suatu proses dalam bentuk sebuah siklus sebagaimana dalam gambar di
bawah ini, yang terdiri dari proses:
1) assessment
2) perencanaan tugas pengajaran
3) pelaksanaan perencanaan pengajaran
4) evaluasi
5) modifikasi assessment

81
Sumber: Lerner,J (2003), Learning Disabilities, Theories, Diagnosis, and Teaching Strategies,
Houghton Mifflin Co. New York.

11.3. Remedial teaching


Remedial teaching diberikan kepada siswa yang secara spesifik mempunyai gangguan belajar
disleksia, dilakukan oleh seorang ahli kependidikan kekhususan atau psikolog pendidikan, dengan
metoda pendidikan kekhususan (orthopedagogi). Atau dapat juga dilakukan oleh konselor yang ahli
dalam pendidikan kekhususan.

Dilakukan perindividu secara berkala, misalnya satu jam perminggu.

Berbeda dengan clinical teaching, remedial teaching dalam hal ini mempunyai bentuk yang jelas,
tujuan yang jelas, terstuktur, dan menggunakan metoda yang spesifik dengan tahapan-tahapan dan
tujuan masing-masing yang jelas.

Karena bentuk anak gangguan belajar disleksia mempunyai keragaman yang cukup besar, maka
sangat sulit membuatkan sebuah model yang cocok untuk semua anak. Karena itu bentuk metoda
belajar, maupun metoda pelatihan orthodidaktik ini tidak bisa dibuatkan secara umum. Tujuan,
kecepatan/tempo, metoda, dan bentuknya tergantung dari berbagai kemungkinan yang dapat diberikan

82
kepada siswa secara individual. Sekalipun demikian dalam hal ini masih dapat diberikan berbagai
patokan yang dapat kita pegang dalam membuatkan Individual Education Program bagi siswa
tersebut.

Karaketeristik Individual Educational Program (IEP) adalah sebagai berikut.


 Membangun tugas yang teranalisa. Dengan prinsip struktur yang mini-max, artinya
diberikan tugas yang banyak (maximal), bermacam-macam namun dengan tahapan-tahapan
kecil (minimum). Setiap tahap dilakukan penilaian (analisa). Setiap tujuan akhir dari
pemberian sebuah tugas, perlu dibuat tujuan-tujuan antaranya. Setiap tujuan antara perlu
dilakukan analisa hasil kerja tugas. Apabila masih perlu ada koreksi dalam intervensi ini, maka
tugas tersebut perlu diulang dan diperbaiki. Demikian secara bertahap terus menerus hingga
siswa dapat mencapai tujuan akhir tugas tersebut.
 Bekerja secara terencana. Dengan adanya tujuan akhir, maka program akan menjadi suatu
program yang sistematis yang terdiri dari tujuan akhir yang harus dikerjakan melalui tahapan-
tahapan. Setiap tahapan mempunyai juga tujuan yang disebut sebagai tujuan antara untuk
mencapai tujuan akhir. Dengan adanya program yang terencana ini setiap siswa yang
mengikuti kegiatan remedial teaching dapat bekerja secara terarah karena memahami tujuan
apa yang harus dicapainya. Agar tujuan dapat tercapai, baik tujuan antara maupun tujuan akhir
program, maka terlebih dahulu hal ini semua perlu disampaikan kepada siswa. Pada akhir
kegiatan dapat dilihat bagaimana pencapaian tujuan itu secara global. Untuk melihat
keberhasilan program perlu dilakukan tes awal dan juga tes akhir setelah tugas dilaksanakan.
 Program yang mempunyai aturan main. Untuk memecahkan masalah yang dihadapi anak,
anak pun harus mengenal sendiri masalahnya. Ia perlu dibimbing untuk melihat masalah dan
membuat pertanyaan bagaimana cara memecahkan masalah tersebut. Cara-cara ini harus
diformulasikan secara jelas, mempunyai struktur yang juga jelas, dan kemudian dibuat dalam
bentuk tulisan yang jelas dan besar-besar menjadi sebuah tatalaksana yang akan dijalaninya.
Tatalaksana ini dapat digantung di dinding di tempat yang mudah terlihat. Penggunaan cara-
cara seperti ini maksudnya agar anak selalu tahu tujuan kegiatan. Lagipula tidak semua anak
bisa melihat apakah ia telah maju atau belum dengan cara membandingkan sebelum kegiatan
dan hasil kegiatan. Hal itu juga tergantung dari tingkatan inteligensi anak.
 Penggunaan bahasa yang sesuai dengan level anak. Perlu dihindari bahasa yang panjang,
rumit dan sulit dipahami. Selalu gunakan bahasa sederhana, dengan cerita-cerita kanak-kanak,

83
disamping bukan hanya agar anak menguasai gramatika, tetapi juga mudah mengingat berbagai
kata-kata dan masuk ke dalam memorinya.
 Dukungan perangkat tehnik. Bila kesulitan dalam pembentukan kata-kata, maka dalam hal
ini diperlukan dukungan perangkat tehnik untuk mencetak kata-kata yang harus diingatnya
misalnya diketik dengan computer dan dicetak, atau menggunakan stempel huruf dan angka.
Hal ini dimaksudkan agar kata-kata yang digabung bersama-sama menjadi sebuah kalimat, dan
kalimat-kalimat yang akan membentuk cerita, akan lebih mudah dipahami dan diingatnya,
untuk kemudian kembali direproduksinya. Dukungan tehnik visual antara lain dengan
menggunakan berbagai gambar, skema, diagram, grafik, dan sebagainya. Dukungan auditif-
verbal antara lain dengan cara misalnya pantun-pantun, puisi, teks lagu, yang dimasukkan ke
dalam pita rekaman. Kita juga dapat menggunakan CD-rom interaktif yang menarik unuk
anak-anak.

Stempel yang dapat digunakan untuk latihan menulis


Sumber: https://www.etsy.com/nl

 Instruksi yang pasti. Instruksi yang diberikan dalam setiap tahap pembelajaran haruslah jelas,
pasti, dan tegas. Dalam hal ini hindari siswa mencari-cari sendiri cara-cara mengatasi
kesalahannya. Untuk menghindari kebosanan sebaiknya instruksi juga perlu berganti-ganti,
sesuaikan dengan latihan-latihan yang diberikan padanya, sesuaikan pula dengan berbagai mata
ajaran yang diberikan padanya. Dengan demikian ia juga akan sekaligus mempelajari latihan-
latihan ini di berbagai mata ajaran itu.
 Gunakan cara-cara self-instruction yaitu dimana anak perlu melakukan verbalisasi instruksi
yang diberikan padanya, yaitu ia harus mengulang dengan ucapan berbagai instruksi yang
diberikan padanya. Hal ini dimaksudkan agar instruksi itu akan mudah tercetak dalam
memorinya, dan selalu diingatnya. Verbalisasi instruksi dalam bentuk tanya jawab ini akan

84
meningkatkan daya ingat, mempertajam refleksi, serta meningkatkan motivasi agar tetap
menjalankan latihan-latihan dan seterusnya menyiasati kekurangannya.
 Pendekatan pada orientasi pemahaman dan pengetahuan dasar anak. Pendekatan
orientasi seperti ini sangat diperlukan dalam upaya mencari cara-cara yang pas untuk
mengatasi masalah kesulitan pengejaan. Ia juga harus memahami bagaimana gramatika yang
baik, menguasi berbagai istilah, serta belajar bagaimana memanfaatkan berbagai instruksi
untuk memecahkan permasalahan yang disandangnya. Bagi seorang anak penyandang
gangguan belajar disleksia, berbagai istilah tersebut sangat penting artinya, upayakan agar ia
mampu menguasainya, mampu memahaminya, dan dapat digunakannya, dengan begitu akan
selalu sangat kuat tercetak dalam ingatannya. Dengan dasar yang kuat seperti ini, kelak
berbagai masalah tersebut diharapkan akan dapat diatasinya dengan baik.
 Frekuensi latihan. Latihan-latihan, pengulangan-pengulangan adalah suatu cara agar ia
mampu memahami – bukan hanya untuk menjawab berbagai pertanyaan, tetapi juga
memahami bagaimana membangun kalimat dengan gramatika yang baik. Karena umumnya
kesulitan seorang anak penyandang disleksia adalah dalam hal mengingat dan
memproduksinya kembali, karena itu baginya perlu diberi latihan-latihan atau pengulangan
setiap hari beberapa materi.
 Materi pelatihan yang bervariasi. Untuk mencegah kebosanan, diperlukan adanya variasi
materi pelatihan, tanpa harus menghilangkan tujuan rencana pelatihan. Variasi-variasi materi
dapat juga dilengkapi dengan berbagai ilustrasi, gambar-gambar, skema, diagram, dan
sebagainya.
 Pendekatan pada meningkatkan motivasi. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang harus
diutamakan – dan sudah dipikirkan metodanya saat membangun perencanaan pelatihan.
 Kerjasama. Dengan kerjasama antara guru, tenaga remedial siswa dan orang tua haruslah
selalu terus menerus dikembangkan, saling membantu bukan hanya dalam memecahkan
masalah, namun juga saat melakukan evaluasi hasil kerja pelatihan.
 Pelatihan dan tes evaluasi. Semua pengajaran dan pelatihan selalu memerlukan evaluasi
untuk melihat seberapa jauh keberhasilan program yang diberikan padanya. Evaluasi bukan
hanya diberikan di akhir program, namun evaluasi juga dilakukan secara berkala, diulang-
ulang, dan program juga perlu disesuaikan dengan pencapaian hasil. Jika belum berhasil,
program perlu diulang, disesuaikan, untuk kemudian dievaluasi ulang.

Program remedial teaching membaca dan menulis meliputi:

85
1. Pelatihan berbahasa
2. Pelatihan membaca dan menulis
3. Pelatihan membaca dan menulis lanjut

PROGRAM LATIHAN MEMBACA

Latihan bahasa terdiri dari:


 Semantik (pemahaman bacaan) berisi latihan:
- meningkatkan vokabulari
- memahami arti kata-kata
- mencari daftar kata dalam memori (finding words)

 Sintaksis (gramatika) berisi latihan:


- membentuk kalimat sederhana
- membentuk kalimat panjang
 Morfologi (bentuk kata) berisi latihan tentang:
- kata-kata jamak
- padan kata
- kata imbuhan
- kata sambung
- kata sandang
- kata ganti orang

A. Latihan auditif
B. Persiapan membaca (pengucapan dan otomatisasi pengucapan suku kata)
C. Permulaan membaca (mengeja)
D. Permulaan membaca (mengenal kembali ejaan kata)
E. Permulaan membaca (mengeja dan mengenal kembali ejaan kata)
F. Tempo membaca
G. Membaca kalimat
H. Kata dengan suku kata lebih dari dua

86
I. Melatih ulang
J. Membaca teks
K. Memahami bacaan

PROGRAM LATIHAN MENGEJA


A. Fonologis (pelatihan auditif)
B. Pengenalan grafem, dan membentuk grafem-fonem
C. Perluasan grafem-fonem
D. Imla/dikte dan menulis
E. Imla/dikte dan menulis lanjut
F. Membuat karya tulisan
G. Pengenalan dan pemahaman kata
H. Pengenalan pembentukan kalimat
I. Pembentukan kalimat
J. Masalah-masalah pengejaan

Diadopsi dari: Dummont JJ( 1994): Dyslexie, theorie, diagnostiek, behandeling, Lemniscat-
Rotterdam.

11.4. Individual Education Program (IEP)


IEP merupakan merupakan suatu perencanaan pendidikan yang secara khusus dirancang bagi
siswa dengan masalah pendidikan, yang biasa kita kenal sebagai anak berkebutuhan khusus.
IEP dibuat bersama-sama antara guru, orang tua, siswa jika dimungkinkan, dan instansi tertentu yang
berkaitan. Pada dasarnya adalah mengadopsi atau pun memodifikasi kurikulum yang ada untuk
disesuaikan dengan kebutuhan anak. Tidak semua mata ajaran atau kurikulum diubah menjadi IEP,
tetapi hanya yang diperlukan saja. Setiap anak berkebutuhan khsusus mempunyai IEP masing-masing.

11.5. Kompensasi, dispensasi dan toleransi

Kompensasi adalah mengatasi kekurangannya dengan menggunakan faktor kuatnya. Ada beberapa
cara seorang siswa melakukan kompensasi. Yang paling sering terjadi adalah menghapal tulisan kata-
kata, seperti melihat logo-logo atau orthographic. Banyak penyandang disleksia melakukan hal seperti

87
ini. Untuk kata-kata yang panjang, dibaginya menjadi beberapa potong suku kata. Misalnya kata per-
tanggung-jawab-an. Cara seperti ini akan lebih berhasil jika dilakukan dengan cara membaca dalam
hati. Para penyandang disleksia dengan inteligensi yang baik atau bahkan yang sangat cerdas
seringkali sangat terlambat dapat diketahui jika ia ternyata adalah penyandang disleksia karena ia
tanpa diketahui mampu membangun strateginya sendiri melakukan kompensasi seperti ini. Banyak
dari penyandang disleksia terutama yang ringan yang mempunyai kecerdasan yang baik, baru
diketahui saat sudah berada di sekolah lanjutan. Karena prestasi saat duduk di bangksu sekolah dasar
memang tidak jelek. Tetapi sesungguhnya jika dibandingkan dengan tingkatan inteligensinya ia
mengalami prestasi rendah.

Dispensasi artinya karena kesulitannya, ia mendapatkan keistimewaan yaitu bebas tidak


melakukannya karena memang tidak mungkin dikerjakannya. Tetapi bebas tidak melakukannya dapat
diganti dengan cara lain. Misalnya tidak melakukan ujian secara tertulis, tetapi diberi ujian secara
mondeling. Boleh menggunakan computer, dapat menggunakan softwer untuk koreksi ejaan. Pada saat
ujian, ia bisa mendapatkan bantuan dibacakan soalnya guru. Saat mengikuti pelajaran ia boleh tidak
mencatat, tetapi ia justru mendapatkan bahan ajar berupa rekaman suara. Atau ia boleh merekam
pelajaran yang tengah diberikan oleh guru.

Toleransi yaitu memberikan keistimewaan memberinya toleransi misalnya tidak menghitung sebagai
kesalahan jika ia menulis dengan ejaan-ejaan yang salah. Ia diberi waktu lebih banyak untuk
menyelesaikan ujian/ulangannya. Ia mendapatkan kertas ulangan/ujian dengan format huruf yang
besar-besar.

11.6. Alat bantu


Karena disleksia dalah gangguan neurologis yang harus disandang seumur hidup, dan hingga kini
tidak ada terapi baginya, maka cara yang paling dapat dilakukan adalah mensiasatinya dengan cara
melakukan kompensasi,memberinya dispensasi, dan toleransi. Tetapi juga para penyandang disleksia
dapat dibantu dengan berbagai alat-alat yang dapat mengatasi masalah yang disandangnya. Seperti
misalnya pada seseorang yang mempunyai masalah penglihatan dapat diberikan kacamata, atau kurang
baik pendengarannya dapat diberikan alat bantu dengar. Untuk penyandang disleksia dapat diberikan
alat bantu seperti misalnya:
- Reading pen. Alat bantu untuk disleksia berupa pena dengan scaner diujungnya yang
dapat membantu membacakan teks.

88
ReadingPen
http://www.bibliotheekmontferland.nl/aangepast-lezen.html
- Daisy player atau Daisy Talking Book. Daisy singkatan dari Digital Accessible
Information System. Daisy player adalah alat untuk memutar DaisyRom. DaisyRom
dalam bentuk CD-ROM berisi berbagai material buku ajar, majalah, dan lain-lain.
- Computer Softwer untuk memperbaiki ejaan.

11.7. Perhatikan perkembangan sosial emosional anak


Seringkali disleksia tidak berdiri sendiri, sering juga diikuti dengan komorbiditasnya, atau diikuti
dengan gangguan ikutan lainnya. Jika berdiri sendiri, tanpa ada gangguan ikutannya, kesulitan baru
akan muncul pada saat anak mulai belajar membaca dan menulis. Di usia sebelumnya, orang tua
maupun anak tidak mengalami kesulitan. Namun pada anak-anak yang menyandang juga diagnosa-
diagnosa lain, kesulitan menjadi berlipat-lipat pada saat ia harus belajar membaca dan menulis. Dalam
situasi seperti ini dapat terkembang perasaan bodoh pada diri anak yang menyebabkan konsep diri
yang rendah, rasa percaya diri rendah, bahkan mematikan motivasinya untuk tetap belajar. Karena itu
apabila anak kita mempunyai masalah perkembangan apapun, termasuk juga perkembangan yang
membawa risiko disleksia, perkembangan sosial emosional anak perlu mendapatkan perhatian yang
seksama guna mencegah munculnya masalah-masalah perilaku yang bisa membawa problem yang
lebih besar pada saat pubertas.

SUMBER BACAAN

Aldenkamp,AP; Reiner,WO; Smit,LME (2003): Neurologische aspecten van ontwikeling problemen


bij kinderen, Garant, Antwerpen-Apeldorn
Blommert. L (2005): Dyslexie in Nederland, theorie-praktijk- en beleid, Uitgevrij Nieuwezijds,
Amsterdam.

89
Braams, T (2002): Dyslexie en complex taal probleem, Uitgevrij Boom, Amsterdam
De Groot,R & Paagman,C (2000): Kinderen met leer en gedragproblemen, Uitgevrij Boom,
Amsterdam.
Den Dulk,C (2003) : Inleiding in de orthodidactiek zorgverbereiding en remedial teaching, HB
Uitgever, Baarn.
Dinger,T (red) (1993): Handicaps bij het leren, Coutinho b.v., Bussum.
Dumont,JJ (1994): Dyslexie, theorie, diagnostiek, behandeling, Lemniscaat b.v. Rotterdam.
Dumont,JJ (1985): Leerstornissen, Diagnostiek en behandeling, deel 1, Lemniscaat b.v., Rotterdam.
Dumont,JJ (1985): Leerstoornissen, Diagnostiek en behandeling, deel 2, Lemniscaat b.v., Rotterdam.
Lerner, J (2003): Learning Disabilities, theories, diagnosis, and teaching strategies, Houghton Mifflin
Co.,New York.
Mercer, CD & Mercer, AR (1998): Teaching Student with Learning Problem, Prentice Hall Inc., New
Jersey.
Shaywitz,S (2005): Hulpgids Dyslexie, Uitgevrij Nieuwezijds, Amsterdam
Teekens,O & Paling, KM (2004): Als je kind een leerprobleem heeft, Uitgevrij Unieboek, Houten.

90

Anda mungkin juga menyukai