Anda di halaman 1dari 84

MANAJEMEN KELAS

KELOMPOK 4

KELAS A

Disusun oleh:

Sheila Regina Tiza (181301089)

Tahri Asiqa (181301093)

Debora Patricia Pasaribu (181301097)

Rachel Sipayung (181301113)

Via Sarsadilla (181301125)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Kamis, 26 September 2019


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya tugas

makalah ini yang berjudul :

“MANAJEMEN KELAS”

Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada Dosen mata kuliah Psikologi Sekolah yang telah memberikan

tugas ini kepada kami sehingga kami paham tentang materi tersebut.

Kami menyadari bahwa dalam proses penyelesaian tugas ini masih terdapat

ketidaksempurnaan atau kesalahan sehingga masih perlu melakukan

penyempurnaan berkaitan dengan penulisan tugas makalah ini.

Medan, 4 September 2019

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii


BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
1.3 Maksud dan Tujuan ......................................................................................... 2
BAB II ................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................ 3
2.1 Pengertian Manajemen Kelas .......................................................................... 3
2.2 Mengelola Lingkungan Fisik Kelas ................................................................. 3
2.2.1 Enam Segi Lingkungan Fisik ...................................................................... 4
2.2.2 Membingungkan atau Menarik? ............................................................... 12
2.2.3 Bagaimana Lingkungan Fisik Kelas Mempengaruhi Siswa? .................... 13
2.2.4 Manajemen Kelas Pada Sekolah Menengah ............................................. 15
2.3 Mengelola Lingkungan Psikososial Kelas ..................................................... 16
2.3.1 Sisi Positif dan Negatif dari Lingkungan Psiksosial ................................. 16
2.3.2 Keoptimalan Lingkungan Psikososial ....................................................... 17
2.3.3 Sekilas Pengulangan ................................................................................. 18
2.3.4 Faktor yang Berkontribusi untuk Lingkungan Psikososial ....................... 18
2.3.5 Tanggung Jawab Lingkungan Psikososial ................................................ 21
2.3.6 Menjaga Lingkungan Psikososial ............................................................. 25
2.4 Mengelola Motivasi Siswa untuk Belajar ..................................................... 26
2.4.1 Apa itu motivasi? ...................................................................................... 26
2.4.2 Mengapa orang lain tidak melakuka apa yang kita mau? ......................... 27
2.4.3 Motivasi dan Pelajaran .............................................................................. 28
2.4.4 Apa yang Memotivasi Siswa untuk Belajar? ............................................ 29
2.4.5 Ciri-Ciri Kepribadian Motivator yang Baik .............................................. 40
2.4.6 Motivator yang Baik—Apa yang Mereka Lakukan? ................................ 43
2.4.7 Apa yang Tidak Dilakukan oleh Seorang Motivator Kelas yang Baik ..... 44

iii
2.4.8 Apa saja Peringatan dalam Motivasi? ....................................................... 44
2.5 Mengelola Perilaku Siswa .............................................................................. 46
2.5.1 Perumpamaan Modern : Permulaan ( A Modern Parable : The Beginner)
46
2.5.2 Pembelajaran : Pentingnya Hal – Hal Kecil (The Lesson : The Weight of
Minor Details) ........................................................................................................... 49
2.5.3 Cara Guru Untuk Mencoba Mencapai Suatu Tujuan (When Teachers Try
to Accomplish, and How) .......................................................................................... 50
2.5.4 Lingkup Instruksional : Konten, Instruksi melalui Pengalaman, dan
Manajemen (The Instructional Package : Content, Instruction through Experience,
and Management ) .................................................................................................... 50
2.5.5 Janna Smart Revisited............................................................................... 52
2.5.6 Is the Discipline Situation Hopeless ?....................................................... 57
2.5.7 The Movement Toward New Discipline .................................................... 58
2.5.8 Building a System of Participative Discipline .......................................... 67
2.6 Penggunaan Teknologi dan Media Pembelajaran ....................................... 68
2.6.1 Technology as Tutor: Promoting Student Learning using Technology-
Based Tutorials ......................................................................................................... 68
2.6.2 Technology as Mindtool: Promoting Student Learning Using Technology
Applications .............................................................................................................. 70
2.6.3 Technology as A Conversation Support .................................................... 74
2.6.4 Online Resources ...................................................................................... 75
BAB III............................................................................................................................. 77
KESIMPULAN ............................................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 79
KONTRIBUSI ................................................................................................................. 80

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kita tau bahwasannya lingkungan kelas sangat penting dalam terlaksananya

proses belajar mengajar. Jika kita memasuki kelas, kita akan melihat berbagai

atribut pendukung belajar seperti kursi meja dan sebagainya. Tidak hanya dari sisi

perlatan, tetapi suasana yang terbentuk saat memasuki kelas dapat ikut dirasakan

juga. Terkadang kita juga dapat merasakan suasana positif seperti kesenangan siswa

dan daya tarik siswa dalam mengikuti proses belajar mengjar, atau bahkan suasana

negatif seperti buli di kelas maupun lingkungan sekolah. Hal tersebut juga

menyangkut pada motivasi apakah yang diinginkan siswa untuk pergi ke sekolah

dan belajar di kelas.

Di sini kami tertarik ingin mengetahui lebih lanjut mengenai permasalahan

di lingkungan kelas, baik dari sisi lingkungan fisik, psikososial, maupun motivasi

siswa dalam belajar. Motivasi siswa dalam belajar juga dapat merujuk pada tingkah

dan perilaku siswa di dalam kelas. Kami juga tertarik ingin mengetahui peran apa

saja kah yang disumbangkan teknologi di era modern ini.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian manajemen kelas?

2. Bagaimana cara mengelola lingkungan fisik kelas?

3. Bagaimana mengelola lingkungan psikososial kelas?

4. Bagaimanakah motivasi siswa dalam menghadapi pembelajaran?

1
5. Bagaimana cara mengelola perilaku siswa dalam belajar?

6. Apa peran teknologi dalam proses pembelajaran?

1.3 Maksud dan Tujuan

Ingin mengetahui apa peranan lingkungan fisik dan psikososial dalam

pembelajaran di lingkungan kelas, bagaimana motivasi siswa dalam menghadapi

pembelajaran di kelas serta prilakunya, dan pranan teknologi dalam pembelajaran.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Manajemen Kelas

Kelas merupakan tempat diselenggarakannya proses pembelajaran. Apabila

tidak ada kelas, kondisi pembelajaran cenderung tidak baik karena kelas memiliki

peranan penting dalam keberhasilan siswa pada tingkat tertentu. Kelas yang efektif

memiliki suasana yang nyaman dan menyenangkan (Suryana, 2014).

Manajemen kelas adalah suatu strategi yang digunakan untuk mengelola

kelas, sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dengan efektif. Manajemen

kelas juga dapat diartikan sebagai pengaturan kondisi belajar sehingga tujuan

pembelajaran tercapai secara optimal. Selain itu, sikap kepemimpinan guru juga

akan mempengaruhi suasana kelas (Suryana, 2014).

2.2 Mengelola Lingkungan Fisik Kelas

Setelah kalender dan kurikulim sudah berjalan secara tentatif, langkah

selanjutnya dalam memanajemen kelas adalah menyusun interior kelas buka cuma

untuk hiasan, tapi juga akan berkontribusi dalam proses pembelajaran dan target

perilaku siswa dari program ini. Ini bisa dilakukan secara lebih baik pada sekolah

dasar. Beberapa kelas punya banyak karya seni, kaya akan perlengkapan, dan ditata

dengan indah, yang mana kamu mempertimbangkan anak-anak beruntung yang

bisa menghabiskan waktu sepanjang hari di sana. Ruangan lain yang tegang,

3
membosankan, dan tidak membangkitkan semangat; kamu akan mengasihani siswa

yang terjebak disana (Charles & Senter, 2005).

Ruangan kelas biasanya merefleksikan kepribadian gurunya. Namun, ruang

kelas yang indah juga bisa dipimpin oleh guru yang sangat keras dan dingin, dan

kelas yang biasa saja juga bisa di pimpin oleh guru yang hangat, dan memelihara

siswanya dengan baik. Fakta ini mengingatkan kita, bahwa kualitas guru tidak bisa

dinilai hanya dengan penampilan ruangan. Meski begitu, tidak akan mengurangi

point penting dasarnya: lingkungan fisik bisa dan harus diorganisir sama dengan

program instruksi dan kegiatan (Charles & Senter, 2005).

Apa yang kamu letakkan di dalam kelas garus punya fungsi intruksional.

Ada sedikit guna memuat dekorasi yang tidak punya nilai instruksional dan tidak

berkontribusi untuk program, kecuali untuk menarik minat orang tua dan

administrator. Tapi ruangan kelas bisa dengan mudah dibuat atraktif—dan lebih

berguna juga—lewat mengaturnya dengan aktivitas yang menarik dan benda-benda

yang menstimulasi. Guru bebas mengatur tempat kerjanya—hampir segala hal

diizinkan, tentunya dengan alasan, dan dimulailah citra mental mereka di dalam

kelas (Charles & Senter, 2005).

2.2.1 Enam Segi Lingkungan Fisik

Analisis ini membagi ruangan fisik kelas kedalam 6 komponen:

a. Floor space (Ruang lantai)

b. Wall space (Ruang dinding)

c. Countertop space (Ruang meja)

4
d. Shelf space (Ruang rak buku)

e. Cupboard and closet space (Ruang lemari)

f. Ambience (suasana)

Banyak guru menggunakan segi ke 7 juga—plafon (langit langit).

Langit-langit memang menawarkan banyak kemungkinan tapi itu tidak

dimasukkan disini karena menambahkan material kesana bisa

meningkatkan risiko kebakaran dan sering menjadi pelanggaran kode

kebakaran lokal. Mari menjelajahi beberapa kemungkinan yang di

tawarkan oleh keenam segi lain (Charles & Senter, 2005).

a. Floor Space (Ruang Lantai)

Satu hal yang harus diputuskan oleh guru adalah posisi siswa untuk

bermacam aktivitas individu maupun kelompok. Bukan hanya dengan

mengatur posisi kursi, tapi juga pola lalu lintas, dan area beraktivitas

(termasuk pusat minat, tempat guru, dan area spesial). Karena ruang kelas

zaman sekarang itu inklusif dan guru bisa mengharapkan kergaman fisik

dan bahasa diantara siswa, penting juga untuk menimbang ruang lantai

karena berkaitan dengan kebutuhan spesial siswa, termasuk jarak terdekat

untuk penyedia layanan terkait (Charles & Senter, 2005).

Tempat duduk. Tempat duduk pada ruang kelas zaman sekarang

dibuat lebih fleksibel jadi beragam kelompok bisa dibuat dan ruang bisa

dibuka untuk beberapa tujuan, tergantung kebutuhan siswa. Guru

mengatur tempat duduk sesuai kebijaksanaan mereka. Perhatikan 2 hal ini:

5
1. Siswa tidak boleh ditempatkan berhadapan dengan cahaya yang

terlalu terang—karena bisa menyebabkan ketegangan dan sulit

berkonsentrasi. Para peneliti, termasuk Hathaway dkk (1992), sudah

mendokumentasikan efek dari cahaya untuk kesehatan.

2. Saat siswa disuruh menata ulang kursi dan meja, mereka gemar

mendorong, menabrak, membuat keributan, dan mengganggu satu

sama lain. Terima fakta ini, dan tetap ingatkan mereka dengan nada

yang positif untuk melakukannya (menata ulang kursi) sesuai dengan

peraturan kelas (Charles & Senter, 2005).

Saat siswa diajarkan dengan grup total, mereka harus duduk sedekat

mungkin dengan guru, berhadapan dengan papan tulis. Beberapa siswa

bisa duduk bersama di area karpet kecil untuk instruksi kelompok. Guru

bisa duduk bersama dengan mereka di karpet atau kursi, biasanya didekat

papan kecil atau sandaran papan tulis. Siswa yang berprilaku baik bisa

diletakkan bersama, namun beberapa siswa bisa dipisahkan sedikit. Karpet

yang berwarna atau bercorak adalah metode pengaturan yang biasa.

Selama kelas yang diarahkan, siswa bisa bekerja sendiri mauoun dalam

kelompok. Normalnya guru akan berkeliling untuk memantau dan

membantu siswa. Agar pergerakannya nyaman, jarak antar kursi harus

dijaga, tapi jarak antara guru dengan siswa yang paling jauh harus bisa

seminimal mungkin (Charles & Senter, 2005).

Saat siswa diajarkan dalam grup kecil, mereka bisa dipanggil ke area

spesial dimana ada kursi lebih, atau dimana nereka bisa membawa kursi

6
masing-masing sendiri. Idealnya ketika berinteraksi dengan grup-grup

kecil, pengaturan lantai bisa membuat jarak guru lebih dekat dengan siswa

yang sedang mengerjakan hal-hal di meja mereka. Guru harus bisa melihat

dan mengamati seluruh siswa di kelas (Charles & Senter, 2005).

Kerja dan Beraktivitas. Area ini dipengaruhi oleh pengaturan kursi.

Dimulai dengan pengaturan tempat duduk yang berjarak, dan ketika diatur

ulang juga masih berjarak. Tentu saja kamu tidak perlu tempat yang lebih

untuk semua aktivitas. Membaca, berhitung, mengeja, menulis, dan hal

lain yang diarahkan bisa dilakukan di tempat duduk mereka. Aktivitas

sosial, sains, kesenian, musik, drama, dan menari biasanya membutuhkan

pergerakan dan ruang yang lebih luas (Charles & Senter, 2005).

Ruang dibutuhkan juga untuk tujuan lain. Kebanyakan guru suka

memasukkan satu atau lebih pusat spesial, sudut, atau area minat. Pusat

kesenian dengan papan sandaran bisa diadakan. Pusat belajar mandiri bisa

di lantai, meskipun sering diletakkan di meja. Tempat spesial untuk

membaca, projek sains, belajar peta dan globe, investigasi individu sering

dilihat. Kebanyakan kelas juga punya setidaknya satu komputer untuk

siswa. Beberapa guru juga bisa membuat ruang spesial sebagai hadiah

untuk siswa yang berkelakuan baik atau bekerja dengan baik. Disini, guru

meletakkan bantal, komputer, buku dan majalah yang menarik, headset

untuk mendengar musik, dsb (Charles & Senter, 2005).

7
Pola lalu lintas. Pergerakan siswa di dalam kelas harus diperhatikan,

karena kemacetan, menunggu, dan kontak yang tidak penting biasanya

mengarahkan ke perilaku yang mengganggu. Bagi siswa yang disabilitas,

pola lalu lintas harus bebas dari halangan dan mudah untuk mengakses

material. Rutunitas siswa adalah keluar masuk kelas, mengambil dan

mengembalikan material, meraut pensil, mengambil minuman, pergi ke

pusat belajar, mendekati guru, dan seterusnya. Rute lalu lintas untuk

pergerakan seperti itu harus dibiarkan terbuka (Charles & Senter, 2005).

b. Wall Space (Ruang Dinding)

Banyak guru menggunakan papan tulis untuk menjelaskan dan

demonstrasi. Papan pengumuman buasanya ada di setiap kelas, cenderung

digunakan untuk dekorasi dan jarang untuk instruksi. Dekorasi bisa

membuat kelas lebih enak dilihat, namun seharusnya mereka bisa lebih di

pergunakan dengan baik, contohnya dengan puzzles yang menarik

perhatian siswa dan membuat mereka berfikir, potongan dari majalah dan

koran yang bisa didiskusikan dalam kelas, dan ide-ide kreatif dan interaktif

yang menstimulasi siswa untuk menulis dan berdebat. Yang paling terbaik

dari segalanya, papan pengumuman adalah tempat yang cocok sekali

untuk menampilkan karya siswa, cetakan seni, atau material visual lain

(Charles & Senter, 2005).

Menampilkan Pekerjaan Siswa. Disarankan untuk memberi

semua siswa kesempatan untuk menampilkan pekerjaannya di kelas.

8
Jangan semua kerja yang ditampilkan, terutama jika kerjaannya tidak

sesuai dengan kemampuan siswa. Namun, saat keunggullannya jelas dan

kemajuannya nyata, menampilkannya—atas izin siswa tersebut—adalah

cara yang bagus untuk memberi pengakuan. Pengakuan ini memberi siswa

rasa kepemilikan kelas, serta rasa prestasi dan mengerti bahwa orang lain

peduli dengan kemampuan mereka. Juga bisa membangun harga diri dan

memotivasi siswa dengan baik (Charles & Senter, 2005).

Cetakan Seni dan Materi Visual Lain. Cetakan seni yang

berhubungan dengan kurikulum cenderung terabaikan oleh para siswa

kecuali mereka tertarik dalam pelajaran seni. Sama saja dengan peta, globe,

dan chart, meskipun siswa suka mengeksplorasi peta saat mereka sudah

mempelajari cara menggunakannya (Charles & Senter, 2005).

Ruang dindung seharusnya digunakan untuk memposting model

grafik, rencana instruksi visual, dan pengingat. Material seperti itu sangat

kurang dimanfaatkan untuk membantu guru dan siswa. Kamu juga bisa

mempertimbangkan untuk memposting slogan yang menginspirasi dan

moto kelas, aturan kelas, pengingat untuk membantu guru pengganti, dan

sinopsis target kelas sepanjang tahun ini (Charles & Senter, 2005).

c. Countertop Space (Ruang Meja)

Pada kebanyakan ruang kelas, meja terletak dibawah jendela.

Karena mereka disinari dengan baik, meja seperti itu cocok digunakan

dalam aktivitas sains, terutama yang berkaitan dengan tanaman hidup.

9
Mereka juga jadi tempat yang bagus untuk aquarium dan terrarium jika

cahaya dari luar tidak terlalu kuat atau panas. Projek eksperimen sains lain

juga cocok diletakkan disini seperti model batang tubuh manusia, organ

indera, kerangka, dinosaurus, atom, molekul, dll. Globe dan material-

material yang berguna untuk membaca, mengeja, studi sosial, dan

berhitung juga cocok diletakkan disana (Charles & Senter, 2005).

d. Shelf Space (Ruang Rak)

Jika tidak ada rak di dalam kelas, kamu bisa menyusun papan pinus

pada balok beton. Buku teks, buku pedoman, buku perpustakaan, dan

material lain bisa disimpan atau ditampilkan pada rak (Charles & Senter,

2005).

Buku teks biasanya mendampingi kurikulum inti: membaca,

berhitung, sains, sosial, dan bahasa. Banyak guru menyimpan buku teks di

rak, dan membagikannya ke siswa ketika dibutuhkan (Charles & Senter,

2005).

Buku pedoman banyak digunakan pada kurikulum diatas sekolah

dasar. Mereka biasanya disimpan dalam rak dan biasanya termasuk kamus,

ensiklopedia, almanak, atlas, thesaurus, dan buku pedoman lain seperti

Guinnes Book of Record, The Farmer’s Almanac, dan The Golden Library

(Charles & Senter, 2005).

Jika tidak disimpan di korsel buku, sebuah perpustakaan kecil

biasanya ada dalam ruang kelas. Biasanya terdiri dari buku yang mudah

10
dibaca, dan menarik minat siswa, juga majalah seperti National

Geography Kids, dan buku tulisan siswa yang dilaminasi atau dicetak kecil

dan biasanya diisi oleh ilustrasi dari penulis. Guru biasanya memeriksa

sumber untuk mencari material dengan harga murah, dan pengasuh siswa

juga sering mendonasikan material seperti itu (Charles & Senter, 2005).

e. Cupboard and Closet Space (Ruang Lemari)

Lemari kelas adalah tempat yang berguna untuk menyimpan

persediaan siswa, lembar kerja, perlengkapan audiovisual, edukasi fisik,

dan peralatan kebersihan. Mereka juga jadi tempat yang cocok untuk

menyimpan material yang hanya digunakan pada waktu tertentu misalnya

ketika hari olahraga dan kegiatan special lain seperti liburan musim dingin

(Charles & Senter, 2005).

Peralatan siswa termasuk kertas tulis, kertas konstruksi, pensil,

gunting, lem, krayon, penggaris, dan pulpen. Beberapa sekolah sebagian

kecil peralatan disimpan dalam lemari siswa di kelas, dan sisanya disimpan

dalam lemari guru (Charles & Senter, 2005).

f. Ambience (Suasana)

Ambience merujuk pada impresi yang tidak terlihat yang meliputi fisik

kelas—sebuah atmosfer yang menyampaikan kegembiraan, astetik,

kenyamanan, keamanan, dan kesenangan. Ini dibuat sebagian besar

berdasarkan konten dalam ruang kelas, yang mana banyak guru

menambahnya dengan seni dan music (Charles & Senter, 2005).

11
Peneliti “Mozart Effect” meneliti keefektifan music dalam kelas.

Kita tahu bahwa efek music berubah dalam tubuh dan pikiran. Dengan

pengetahuan ini, guru bisa menyesuaikan tipe music yang sesuai untuk:

berpikir, bersantai, belajar, menyedihkan, konsentrasi, inspirasi, dan

produktivitas (Charles & Senter, 2005).

Musik yang sesuai bisa mengurangi stress dan menambah kesadaran,

kegembiraan, relaksasi, demikian juga kreatifitas. Kadang kita mau siswa

berkaca dan rileks. Musik dengan 50-60 beat per menit, juga musik-musik

seperti suara burung, air terjun, sangat sesuai untuk ini. Saat kita mau siswa

mengerjakan sesuatu secara mandiri seperti memecahkan masalah,

menulis, dan lainnya, music dengan beat 60-70 per menit cocok untuk ini.

Saat kita mau siswa lebih bersemangat kita bisa memakai musik dengan

beat 120 per menit (Charles & Senter, 2005).

2.2.2 Membingungkan atau Menarik?

Perhatian pada lingkungan fisik seharusnya tidak mengakibatkan

kekacauan dan kebingungan. Masing-masing dari 6 segi yang meliputi

lingkungan fisik kelas harus di pertimbangkan dengan hati-hati dam

digmanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Definisi terbaik itu tergantung dari

guru dan siswa sendiri, karena setiap orang bisa memandangnya secara

berbeda. Dalam semua kasus, lingkungan yang baik harus selalu bersih

dan teratur (Charles & Senter, 2005).

12
Untuk meningkatkan kedewasaan siswa, mereka harus diberi

tanggung jawab untuk menjaga ruang kelas dan material yang ada. Karena

siswa menjaga ruang kelas tetap bersih, dan teratur, mereka akan

berkesempatan membangun nilai-nilai astetik, ekologi, dan tanggung

jawab (Charles & Senter, 2005).

2.2.3 Bagaimana Lingkungan Fisik Kelas Mempengaruhi Siswa?

Bagian ini menjelaskan tentang bagaimana lingkungan fisik kelas

mempengaruhi cara merasakan, berpikir, dan berperilaku siswa.

Menekankan kebutuhan guru untuk sadar akan efek langsung maupun

tidak langsung dari lingkungan fisik kelas. Kesadaran ini adalah tahap

awal untuk mengembangkan “environmental competence” (kompetensi

lingkungan). Berikut adalah 6 fungsi lingkungan fisik sebagai kerangka

diskusi menuru Steele (Charles & Senter, 2005).

1. Security and Shelter (keamanan dan tempat berlindung)

 Sadar dan melaksanakan pedoman keamanan untuk persediaan

dan material.

 Sensitif dengan keinginan siswa dengan disabilitas fisik dan

masalah perhatian.

 Masukkan elemen lembut.

 Atur ruang untuk kebebasan.

 Buat kesempatan untuk privasi dengan menambah ruangan kecil

atau batas papan.

13
2. Social Contact (Kontak Sosial)

 Pertimbangkan seberapa banyak interaksi yang kamu mau antara

murid.

 Pikirkan apakah kamu mau membuat kontak dengan seluruh

murid, hindari zona aksi kecil.

3. Symbolic Identification (Identifikasi Simbolik)

 Buat ruang kosong di ruang kelasmu sehingga komunikasi

informasi tentangmu, muridmu, dan subjek yang dibicarakan

menjadi penting.

4. Task Instrumentally (Tugas Instrusmental)

 Pastikan material yang sering digunakan siswa gampang diakses.

 Pastikan dimana letak barang jelas.

 Rencanakan jalan untuk menghindari kemacetan dan distraksi.

 Atur kursi untuk pemandangan presentasi kelas yang baik.

 Letakkan mejamu di tempat yang sesuai ( di samping untuk

memastikan kamu bisa beredar).

5. Pleasure (Kesenangan)

 Buat lingkungan yang astetik lewat tanaman, warna, dan tampilan

papan pengumuman.

6. Growth (Pertumbuhan)

 Stok material yang sesuai dengan kontenmu di kamar.

 Buat papan pengumuman yang relevan (Charles & Senter, 2005).

14
Merencanakan manajemen kelas dengan baik adalah bagian

integral dari kelas yang baik. Pikirkan tentang aktiviras yang akan

diakomodasi. Jika memungkinkan, ajak siswamu untuk berpartisipasi

dalam proses desain. Coba pengaturanmu, evaluasi, dan desain ulang jika

diperlukan. Jika kamu berbagi ruangan yang sama dengan guru lain,

pastikan kalian sudah setuju tentang pengaturan kelasnya (Charles &

Senter, 2005).

2.2.4 Manajemen Kelas Pada Sekolah Menengah

Kontradiksi dalam lingkungan kelas:

 Ruangan kelas ramai, namun siswa biasanya tidak diizinkan untuk

berinteraksi.

 Siswa diharapkan bisa bekerja sama dengan harmonis, namun

mereka bisa saja tidak mengenal atau tidak suka satu sama lain.

 Siswa didesak untuk koperatif, namun mereka biasanya bekerja

sendiri-sendiri atau berada dalam situasi yang kompetitif.

 Siswa didorong untuk percaya diri, namun mereka juga diharapkan

untuk terus menuruti dikte dari guru.

 Siswa diinstruksikan untuk bekerja dengan lambat dan berhati-hati,

namun mereka harus sadar dengan penekanan waktu selama

periode 42 atau 84 menit (Weinstein, 2003).

15
Karakteristik Lingkungan Kelas:

 Multidimensional.

 Kesegeraan.

 Tidak bisa diprediksi.

 Kurang privacy.

 Sejarah (Weinstein, 2003).

Asumsi dari buku:

 Manajemen kelas yang sukses bisa meningkatkan regulasi diri.

 Beberapa masalah bisa dihindari jika guru menggunakan strategi

yang prefentif.

 Bagaimana guru berpikir tentang pengaruh manajemen, begitulah

mereka berperilaku.

 Kebutuhan untuk memerintah tidak bisa digantikan oleh kebutuhan

untuk instruksi yang berguna.

 Harapan dalam berperilaku berbeda antar pengaturan ruang kelas.

 Menjadi manajer kelas yang efektif membutuhkan pengetahuan,

refleksi, kerja keras, dan waktu (Weinstein, 2003).

2.3 Mengelola Lingkungan Psikososial Kelas

2.3.1 Sisi Positif dan Negatif dari Lingkungan Psiksosial

Sisi positif dari lingkungan psikososial adalah kehangatan, saling

peduli dan saling mendukung yang membuat ruang kelas menjadi

bersahabat, nyaman, dan saling memberi semangat. Banyak siswa

16
berkembang baik di lingkungan tersebut. Tetapi lingkungan psikososial juga

mempunyai suasana negatif-dingin, tidak saling peduli, keras, hukuman,

menyendiri, dan sarkatik- akhirnya membebani psikologis siswa karena

penyakit sosial di luar sekolah, dan ketakutan akan buli di sekolah (Charles

& Senter, 2005).

Ketika situasi dirasa mengancam karena perilaku atau tingkahlaku

siswa lain atau guru, siswa semakin takut, mereka berharap tidak akan gagal

atau malu dan berharap jika mereka memiliki kesalahan, guru tidak akan

menghukum mereka (Charles & Senter, 2005).

Mungkin kita dapat mengingat pengalaman tentang belajar terjadi

lebih ccepat ketika situasi menakutkan, diberikan ketakutan tetapi tidak

untuk melumpuhkan. Ketakutan digunakan untuk memotivasi belajar, tetapi

diragukan bahwa ketakutan pada fisik atau psikologis akan terancam jika

digunakan secara terus menerus di kelas. Hal tersebut berefek jangka pendek

dan diketahui menghasilkan efek yang merugikan seperti stres, marah, dan

kebencian (Charles & Senter, 2005).

2.3.2 Keoptimalan Lingkungan Psikososial

Penelitian dalam psikososial lingkungan kelas berfokus pada lima

faktor: kepuasan, perselisihan, daya saing, kesulitan, dan keterpaduan.

Penelitian seperti itu menyarankan guru bisa memaksimalkan fungsi ruang

kelas ketika mereka menyediakan suasana yng positif dan terstruktur, yang

merefleksikan kehangatan, dukungan,dan keadaan yang menyenangkan

17
dengan level ketakutan yang kecil. Ketakutan hanya terbatas pada

kegelisahan karena tidak berhasil membangkitkan potensi seorang siswa,

membuat semangatnya turun (Charles & Senter, 2005).

Kenyataannya, meragukan bahwa suasana yang positif bisa dijaga

tanpa hadirnya regulasi interpersonal yang baik. Karena menjaga suasana

yang positif adalah tanggung jawab guru, dan karena suasana seperti itu

biasanya baik untuk meningkatkan belajar dan membangun konsep diri

yang baik (Charles & Senter, 2005).

2.3.3 Sekilas Pengulangan

Pengulangan (looping) adalah sebuah konsep yang diulang kembali

ke zaman sekolah satu ruang, muncul kembali di beberapa area negara.

Tahun kedua guru dan siswa sudah bersama, guru tahu kekuatan, kontribusi,

dan kemampuan siswanya, dan siswa tahu kebiasaan dan rutinitas guru.

Pengulangan (looping) menyediakan stabilitas, khususnya untuk anak-anak

yang memiliki kesulitan diluar sekolah. Guru, siswa, dan pengasuhnya

punya kesempatan dan waktu yang lebih banyak untuk menjalin hubungan

dan bekerja sama sebagai tim untuk kesuksesan anak-anak (Charles &

Senter, 2005).

2.3.4 Faktor yang Berkontribusi untuk Lingkungan Psikososial

Faktor-faktor yang berada dibawah kontrol guru, bisa

dikelompokkan kedalam 3 kategori: keterampilan hubungan manusia,

18
tanggung jawab guru dan siswa dalam hubungan manusia, dan menjaga

lingkungan psikososial (Charles & Senter, 2005).

Keterampilan hubungan manusia:

1. General Human Relation Skills (Keterampilan hubungan manusia yang

umum).

Beberapa keterampilan dalam hubungan manusia bersangkutan

dengan masyarakat pada hampir semua situasi. Keterampilan itu

termasuk menjadi ramah, menjaga sikap positif, mendemonstrasikan

kemampuan untuk mendengar, dan menawarkan pujian yang asli

(Charles & Senter, 2005).

Keramahan adalah sifat yang disukai dimanapun, namun

banyak dari kita punya kesulitan untuk ramah ke orang lain, terutama

saat berada dalam situasi yang menakutkan atau dengan orang-orang

yang tidak kita sukai (Charles & Senter, 2005).

Menjaga sikap positif adalah keterampilan yang harus dijaga.

Kita menampilkannya dengan menampilkannya dengan melihat ke sisi

cerah dari sesuatu dan menghindari mengeluh, fitnah, mencari-cari

kesalahan, atau bergosip (Charles & Senter, 2005).

Kemampuan untuk mendengarkan adalah kemampuan yang

diapresiasi orang lain tapi banyak dari kita yang mengalami kesulitan

saat mencobanya. Banyak dari kita yang memilih bicara daripada

mendengarkan, tapi mencoba kemampuan untuk mendengarkan sangat

19
berguna untuk membangun hubungan yang baik. Kemampuan untuk

memuji tidak sering didiskusikan, tapi kemampuan ini patut

dipertimbangkan. Pujian yang efektif adalah yang asli dan eksplisit

(Charles & Senter, 2005).

2. Human Relation Skills with Student (Keterampilan Hubungan Manusia

dengan Siswa)

Keterampilan hubungan manusia bisa diaplikasikan pada semua

situasi, tapi saat bersepakat dengan siswa ada skill-skill tambahan yang juga

melayani guru. Sebelum semuanya, guru harus:

 Memasukkan kualitas dari karakter yang baik melalui cara mengajarnya

 Menjadi model dan punya sikap yang baik

 Memberi atensi regular

 Menunjukkan perhatian yang asli

 Menunjukkan keinginan untuk membantu dan

 Menggunakan penguatan verbal dan behavioral (Charles & Senter,

2005).

3. Human Relations Skills with Colleagues (Keterampilan hubungan manusia

dengan rekannya)

Setiap guru menghabiskan waktu yang cukup untuk bekerja atau

berurusan dengan kolega─guru, administrator, staff pendukung untuk siswa

yang punya kebutuhan spesial, sekretaris, dsb. Penting untuk bisa

berinteraksi dengan baik dengan rekan-rekan itu. Sebagai tambahan untuk

20
skill ramah, sikap yang positif, mendengarkan, memuji, ada 4 tambahan

yang harus diperhatikan: 1. Mendukung orang lain, 2. Berbagi, 3.

Berkompromi, 4. Memimpin atau mengikuti sebagaimana mestinya

(Charles & Senter, 2005).

4. Human Relations Skill with Parents and Guardians (Keterampilan

Hubungan Manusia dengan Orang Tua dan Wali)

Guru punya tanggung jawab untuk berkomunikasi dan bekerja dengan

orang tua atau wali dari siswa yang diajarkannya. Bersekutu dengan

pengasuh─secara kolaborotaif─dapat meningkatkan target untuk

mendukung siswa. Juga pastikan untuk:

 Komunikasi secara reguler dan jelas

 Jelaskan tentang program dan harapannya

 Lebih menekankan pada progress siswa, daripada meremehkannya

 Sebutkan rencana masa depan untuk instruksi anak dan

 Atur pertemuan orang tua (Charles & Senter, 2005).

2.3.5 Tanggung Jawab Lingkungan Psikososial

Lingkungan psikososial kelas kuncinya adalah kehangatan,

stimulasi, dan pertolongan.

Tanggung Jawab Guru. Guru bertanggung jawab untuk

mengkomunikasikan dan memodelkan lingkungan psikososial yang

diinginkan, memulai kondisi yang mengarahkan kesana, dan menjaga

lingkungan yang telah didapat itu (Charles & Senter, 2005).

21
Lingkungan yang diinginkan, adalah dimana siswa bekerja dengan

keras, membantu satu sama lain, menikmati kesuksesan, dan semuanya

berada di pengaturan dorongan yang menyenangkan, tidak ada ancaman.

Kondisi itu harus diberikan oleh guru, melalui penjelasan, pemodelan,

membangun kelas, dan membangun kelompok (Charles & Senter, 2005).

Sebagai tambahan dari sikap dan perilaku mereka, guru harus

mendemonstrasikan poin berikut seperti mereka yang mapan dan menjaga

lingkungan emosional di dalam kelasnya (Charles & Senter, 2005).

 Antusiasme. Antusiasme adalah kunci dari siswa yang bereksi secara

positif. Mereka tahu bahwa itu memotivasi, menyemangati, dan

menular.

 Pentingnya individu. Kepentingan dari setiap individu dalam kelas

harus dimapankan dengan cepat.

 Kepemilikan. Kepemilikan adalah tujuan utama dalam hidup—kita

semua harus tahu bahwa kita ini penting bagi keluarga, teman, kelas,

dan sekolah.

 Keadilan. Keadilan dibutuhkan jika ingin lingkungan psikososial tetap

positif.

 Tanggung jawab. Tanggung jawab bergandengan tangan dengan

kepemilikan. Penting bahwa semua siswa menerima peran mereka

dalam melanjutkan pelajaran, sebagaimana perannya kelas lain.

 Konsisten. Siswa mau tahu apa yang diharapkan dari guru mereka hari

demi hari. Mereka suka kejutan, namun hanya yang menyenangkan.

22
 Keramahan. Kehangatan dari projek keramahan dan pertimbangan

berkontribusi pada pekerjaan produktif.

 Sukses. Sukses harus dimapankan dan dijaga sejak awal. Sukses

sangat bermanfaat, memotivasi, dan efektif dalam membangun

konsep diri yang positif.

 Pemahaman. Saat siswa berjuang dengan kesulitan personal, mereka

ingin dimengerti.

 Bantuan. Bantuan harus selalu ada untuk siswa, meskipun banyak

kasus yang tidak bisa disediakan sampai mereka punya upaya yang

serius sendiri.

 Humor. Terakhir, humor harus tetap ada pada lingkungan psikososial.

Sifat humor seringnya diidentifikasi oleh siswa yang lebih tua saat

ditanya apa yang paling mereka suka dari gurunya (siswa yang lebih

muda biasanya menidentifikasi kebaikan) (Charles & Senter, 2005).

Mengatur Kondisi yang Membangun Lingkungan yang Baik.

Kondisi yang mengindikasikan dan menopang lingkungan psikososial

yang positif harus dibawa dengan bermain dan sikap yang teratur. Kamu

harus menunjukkan ke seluruh siswa bahwa mereka disayang dan

diinginkan, akan disemangati namun diperlakukan dengan adil, dan akan

senang belajar di lingkungan yang tidak mengancam.

Tanggung Jawab Siswa. Siswa punya tanggung jawab dalam

lingkan psikososialnya sama seperti guru, dan tindakan penggunaan

23
tanggung jawab itu sangat kuat dalam membangun lingkungan psikososial

(Charles & Senter, 2005).

Belajar. Belajar adalah alasan utama siswa berada di sekolah.

Mereka disana untuk mendapatkan keterampilan, sikap, nilai-nilai, dan

pengertian yang akan mengizinkan mereka berfungsi secara penuh saat

berkontribusi di sosial yang baik (Charles & Senter, 2005).

Kontribusi. Kontribusi dikelas adalah tanggung jawab siswa paling

penting yang nomor dua untuk membantu siswa menjaga lingkungan

psikososial yang baik (Charles & Senter, 2005).

Membuat keputusan yang bertanggung jawab. Membuat

keputusan yang bertanggungjawab berhubungan ke situasi belajar mereka

sama halnya seperti perilaku yang menjadi keterampilan penting bagi

seluruh siswa (Charles & Senter, 2005).

Bisa diandalkan. Tidak heran jika bisa diandalkan berguna untuk

lingkungan psikososial siswa (Charles & Senter, 2005).

Penuh perhatian. Perhatian kepada orang lain harus ditunjukkan

sepanjang waktu. Semua orang—termasuk siswa, guru, kepala sekolah,

penjaga, dan staff—punya kesulitan, ego, dan perasaan yang sensitive

(Charles & Senter, 2005).

Berhubungan dengan positif. Terakhir, berhubungan dengan

positif artinya menunjukkan sikap yang baik, sopan, dan menghindari

24
kata-kata dan tindakan yang bisa menyakiti orang lain (Charles & Senter,

2005).

2.3.6 Menjaga Lingkungan Psikososial

Sebelumnya kita sudah membahas tanggung jawab bagi guru dan

siswa dalam membina lingkungan psikososial yang positif—sebuah

tempat dimana siswa bisa belajar ditengah-tengah bermanfaat,

bersemangat, dan tidak adanya ancaman (Charles & Senter, 2005).

Modeling (Pemodelan). Pemodelan merujuk ke mengajarkan

melalui contoh untuk membantu siswa belajar melalui peniruan. Sebagian

besar kita belajar melalui proses seperti ini. Kita melihat bagaimana orang

lain bertingkah, berpakaian, berbicara, dan kita meniru mereka (Charles &

Senter, 2005).

Verbal Reinforcement (Penguatan Verbal). Kita sudah

membahasnya sebelumnya, dimana pemberian penghargaan berupa

ucapan verbal ketika kita melihat perilaku yang kita setujui dari orang lain

menggunakan kata “terimakasih” “kerja bagus” “kamu sudah berusaha

keras” dsb (Charles & Senter, 2005).

Class Meetings (Pertemuan Kelas). Pertemuan kelas dalah satu

teknik untuk mengatasi permasalahan dalam kelas yang dirancang oleh

William Glasser (1969), panggilan untuk mengidentifikasi dan

memerhatikan, diikuti oleh mencari solusinya (Charles & Senter, 2005).

25
Classbuilding dan Teambuilding (Pembangunan Kelas dan

Kelompok). Menurut Kagan, pembangunan kelas dan kelompok penting

untuk membangun kepedulian, kelas dan komunitas yang koperatif

(Charles & Senter, 2005).

Private Discussion (Diskusi Privat). Diskusi privat harus diadakan

dengan siswa individu ketika diperlukan untuk mengatasi masalah yang

tidak sesuai untuk diskusi grup, seperti penolakan untuk bekerja,

pertentangan, pencurian, perusakan, atau masalah kesehatan dan keluarga

(Charles & Senter, 2005).

2.4 Mengelola Motivasi Siswa untuk Belajar

Sekelompok guru diberikan pertanyaan. Apa yang membuat mereka

mendapatkan kepuasan besar dalam bekerja? Dan apa yang menjadi kesulitan

terbesar mereka? Kesenangan terbesar yang didapat berasal dari siswa yang

memiliki niat untuk belajar dan yang menjadi kesulitan terbesar adalah adanya

perilaku siswa yang menganggu dan ketidakmampuan mereka untuk

menumbuhkan ketertarikan siswa untuk belajar (Charles & Senter, 2005).

2.4.1 Apa itu motivasi?

Kata motif berasal dari Bahasa latin yang artinya “penggerak” dan

didefinisikan sebagai emosi, keinginan, atau kebutuhan psikologis yang

mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif adalah jawaban atas

“mengapa” sesuatu dilakukan (Charles & Senter, 2005).

26
Guru sering mendefinisikan motivasi sebagai proses di mana motif

ditanamkan ke dalam diri siswa, yang dilakukan pengajar untuk membuat

siswa tertarik pada pelajaran yang diajarkan dan membentuk kemauan

mereka untuk mengerjakannya (Charles & Senter, 2005).

2.4.2 Mengapa orang lain tidak melakuka apa yang kita mau?

Ketika kita meminta orang lain untuk melakukan sesuatu, terkadang

mereka mau melakukannya, namun terkadang juga tidak. Memahami

asalan-alasan mengapa seseorang berlaku demikian adalah sebuah wawasan

yang berharga bagi para guru untuk mengetahui cara terbaik untuk

memotivasi siswa (Charles & Senter, 2005).

Fleming dan Kilcher (1991) mengidentifikasikan lima alasan

mengapa orang lain tidak melakukan apa yang kita mau:

a. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Siswa dengan

pengetahuan yang minim atau yang tidak memahami apa yang menjadi

ekspektasi guru akan cenderung tidak melakukan apa yang diminta oleh

guru tersebut.

b. Mereka tidak tahu bagaimana melakukannya. Ini mengacu pada

kemampuan dan keterampilan siswa.

c. Mereka tidak tahu kenapa mereka harus melakukannya. Siswa perlu

mengetahui alasan dan seberapa penting pekerjaan mereka.

27
d. Mereka tidak cocok dengan apa yang ditugaskan. Misalnya, siswa yang

enerjik akan kesulitan jika diminta untuk duduk diam selama empat

puluh menit.

e. Mereka tidak ingin melakukannya (Charles & Senter, 2005).

2.4.3 Motivasi dan Pelajaran

Motivasi yang berada di dalam diri individu adalah motivasi internal

atau self-motivation, sementara motivasi yang berasal dari luar individu

disebut motivasi eksternal. Guru akan senang bekerja sama dengan siswa

yang selalu memiliki motivasi untuk belajar dari dalam dirinya, tapi mereka

tahu mereka tetap harus memberi paling tidak sedikit motivasi untuk

siswanya (Charles & Senter, 2005).

Para guru memahami bahwa belajar akan menyenangkan jika sesuai

dengan minat dan kemampuan siswanya, dan ketika mereka mengajar

dengan cara yang tepat, motivasi itu akan tumbuh dengan sendirinya.

Karena itu, guru harus memperhatikan minat siswanya, kemudian

memasukkannya ke dalam materi pembelajaran (Charles & Senter, 2005).

Guru juga sangat bergantung pada keinginan siswa. Keinginan

adalah istilah yang kurang tepat dan nonscientific yang berarti sesuatu yang

diinginkan siswa, sesuatu yang mereka ingin miliki atau lakukan. Beberapa

keinginan berasal dari kebutuhan, sebuah istilah scientific yang merujuk

pada apa yang siswa butuhkan untuk hidup menyenangkan dalam kesehatan

yang cukup baik. Seperti menurut Maslow (1943), semua orang

28
membutuhkan makanan, air, dan udara, dan kebanyakan membutuhkan

penerimaan, cinta, dan hubungan dengan orang lain (Charles & Senter,

2005).

Sebagian besar keinginan siswa tidak ada hubungannya dengan

kebutuhan psikologis. Namun demikian, keinginan memainkan peran

penting dalam kehidupan siswa, karena keinginan tersebut memberikan

wawasan praktis tentang bagaimana guru dapat memotivasi siswa (Charles

& Senter, 2005).

2.4.4 Apa yang Memotivasi Siswa untuk Belajar?

a. Motivasi untuk Elementary Classrooms:

Brophy ( 1987, 1998) menawarkan sintesis penelitian yang

bermanfaat tentang motivasi kelas. Dia menyajikan sejumlah saran

untuk guru, yang mana yang paling berhubungan dengan guru sekolah

dasar:

 Buat diri Anda dan kelas Anda menjadi menarik untuk siswa.

 Adaptasikan pelajaran dengan minat siswa.

 Memusatkan perhatian pada tujuan pembelajaran individu dan

kolaboratif.

 Ajarkan hal-hal yang layak dipelajari, dengan cara yang membantu

siswa menghargai nilai mereka.

 Ikut sertakan hal baru dan variasi.

 Berikan respons aktif dan langsung.

29
 Ikut sertakan fantasi dan simulasi.

 Proyeksikan antusiasme Anda (Charles & Senter, 2005).

Jones (1987, 2000) menyajikan ikhtisar motivasi di ruangan

kelas yang dia rasa cukup didukung oleh penelitian. dia menyimpulkan

bahwa siswa menjadi aktif terlibat dalam pelajaran sejauh pada titik di

mana mereka harap mereka berhasil, menilai keberhasilan dalam

menyelesaikan tugas, dan menemukan iklim hubungan interpersonal

dapat diterima (Charles & Senter, 2005).

Tomlinson (1999, 2002) menjelaskan apa yang dia sebut

invitational learning yang mencakup lima kebutuhan siswa: penegasan

(penerimaan dan signifikansi), kontribusi, tujuan, kekuatan dan

tantangan. Siswa menginginkan penegasan, untuk merasakan bahwa

mereka penting di dalam kelas. Mereka ingin berkontribusi dan

membuat perbedaan di komunitas. Siswa mencari tujuan ketika mereka

datang ke sekolah. Mereka ingin tahu bahwa apa yang mereka pelajari

bermanfaat dan bahwa pilihan mereka berkontribusi pada kesuksesan

mereka. Akhirnya, siswa ingin merasa tertantang. Mereka ingin merasa

bahwa pekerjaan mereka berkontribusi pada kesuksesan dan

pertumbuhan orang lain. Lingkungan belajar berkontribusi untuk

memenuhi kelima kebutuhan ini (Charles & Senter, 2005).

30
Menggabungkan ide-ide Brophy, Jones, Tomlinson, dan lainnya,

generalisasi berikut dijamin dan menawarkan saran praktis dan konkret

mengenai motivasi siswa:

 Siswa suka bekerja sama dengan orang lain mengenai ide, kegiatan,

dan objek yang baru bagi mereka, menarik, dan terkait dengan

masalah hidup yang mereka rasakan.

 Siswa mencari orang-orang dan situasi yang membantu memenuhi

hal-hal penting dalam kehidupan mereka.

 Siwa mencoba untuk menghindari bergaul dengan orang-orang dan

situasi yang mereka rasa tidak menyenangkan.

 Siswa terlibat dalam tugas-tugas yang tidak menyenangkan bagi

mereka untuk menyenangkan orang-orang yang mereka anggap

penting, termasuk guru (Charles & Senter, 2005).

Sebagai seorang guru, Anda disarankan untuk memanfaatkan

kebutuhan, minat, kemampuan, dan rasa ingin tahu siswa. Gunakan ini

untuk mendapat hasil yang maksimal. Siswa akan menghargai upaya

yang Anda lakukan, dan karena kegembiraan mereka, Anda juga akan

menyukainya (Charles & Senter, 2005).

Tetapi ingat bahwa siswa benci terlihat buruk di depan teman-

teman mereka; mereka tidak ingin terlihat bodoh atau kegagalannya

ditunjukkan. Karena itu, Anda harus mendorong siswa Anda dan

membantu mereka merasa aman. Ketika Anda menunjukkan bantuan

31
dan dukungan Anda, siswa akan berbalik berusaha menyenangkan

Anda dengan usaha, perilaku yang baik, pilihan yang bertanggung

jawab, dan pekerjaan yang berkualitas (Charles & Senter, 2005).

Para guru juga telah belajar, banyak dari mereka melalui

pengalaman buruk ketika mereka masih menjadi seorang siswa, dan

tahu bahwa siswa dapat sering takut dalam belajar. Banyak siswa

mengerjakan pekerjaan rumah mereka karena takut dimarahi, belajar

untuk ujian karena takut mendapatkan nilai yang jelek, dll. Terlepas

dari pekerjaan atau perilaku yang diinduksi, motivasi melalui rasa takut

adalah hal yang harus dihindari guru. Jika Anda benar-benar ingin siswa

Anda berusaha untuk belajar dan senang melakukannya, jangan

mencoba untuk memotivasi melalui ketakutan atau intimidasi. Pada

akhirnya, hasilnya tidak sebanding dengan apa yang sudah dikorbankan.

Siswa tidak akan menyukai Anda, Anda tidak akan menyukai mereka,

dan lebih buruk lagi, Anda akan menganggap buruk diri anda sendiri

(Charles & Senter, 2005).

Jauh lebih baik untuk memotivasi siswa melalui apa yang

mereka nikmati dan menanggapinya secara positif, dan melalui hal-hal

yang nyaman bagi Anda. Program Anda tidak harus terlalu mudah; itu

bisa keras namun tetap menyenangkan (Charles & Senter, 2005).

32
b. Kontribusi William Glasser

William Glasser adalah psikiater-psikolog yang menulis topik

mengenai siswa sekolah. Bagi Glasser, motivasi pada dasarnya identik

dengan pemenuhan kebutuhan, khususnya kebutuhan yang ia tekankan

dalam tulisannya. Dia berpendapat bahwa ketika proses mengajar dan

belajar menghasilkan kepuasan, motivasi untuk bekerja dan berperilaku

dengan benar akan muncul dan mengikuti secara alami (Charles &

Senter, 2005).

Apa saja kebutuhan yang kita coba untuk penuhi? Menurut

Glasser: (1) to survive and reproduce, (2) to belong, (3) to acquire

power, (4) to be free, dan (5) to have fun. Glasser juga mengatakan

bahwa pendidikan dan proses belajar mengajar harus ditata ulang dan

dilaksanakan sehingga siswa, sambil belajar, dapat pula memenuhi

kebutuhan mereka. Setelah itu siswa akan belajar, berperilaku yang baik,

dan menjadi tertarik pada pendidikan (Charles & Senter, 2005).

c. Kontribusi Howard Gardner

Howard Gardner adalah Profesor Pendidikan di Harvard dan

penulis beberapa buku. Pada tahun 1983, Howard mengemukakan teori

tentang jenis-jenis intelejensi manusia, yakni:

 Verbal/linguistic, kemampuan untuk menggunakan dan mengolah

kata.

33
 Logical/mathematical, kemampuan untuk menggunakan dan

mengolah angka.

 Visual/spatial, kemampuan untuk melihat dan mengolah bentuk,

dll.

 Bodily/kinaesthetic, keahlian untuk menggunakan tubuh untuk

mengekspresikan ide atau perasaan.

 Musical, kemampuan untuk melhat, mengubah, dan

mengekspresikan music.

 Naturalist , kemampuan untuk memahami dan berfungsi di alam.

 Interpersonal, kemampuan untuk memahami dan membuat

perbedaan dalam suasana hati, niat, motivasi, dan perasaan orang

lain.

 Intrapersonal, pengetahuan diri dan kemampuan untuk bertindak

secara adaptif berdasarkan pengetahuan itu (Charles & Senter,

2005).

Gardner mengatakan bahwa guru tidak boleh bertanya

“Seberapa pintarkah siswa saya?” akan tetapi, seharusnya bertanya,

“Pada bidang apakah siswa saya pintar?” Banyak yang sekarang

percaya bahwa memahami ide-ide Gardner sangatlah penting untuk

pemikiran dan perencanaan guru yang efektif, dan kunci untuk

motivasi siswa (Charles & Senter, 2005).

34
d. Kontribusi Fred Jones

Fred Jones adalah seorang psikolog klinis dan konsultan yang

telah melakukan pengamatan lapangan yang luas terhadap guru-guru

yang efektif, terutama yang ia gambarkan sebagai "naturals."

Pengamatannya diterjemahkan ke dalam cara-cara untuk meningkatkan

efektivitas guru dalam memotivasi, mengelola, dan mengajar siswa.

Jones memberikan tempat yang menonjol dalam programnya untuk

insentif sebagai sarana memotivasi siswa. Jones menemukan bahwa

guru yang paling efektif menggunakan insentif secara sistematis.

Khususnya yang berkaitan dengan motivasi (dan manajemen perilaku)

adalah pekerjaannya yang berfokus pada pelatihan tanggung jawab

melalui sistem insentif (Charles & Senter, 2005).

Seperti yang dilakukan orang lain, Jones mengatakan bahwa

insentif adalah sesuatu di luar individu yang mendorong mereka untuk

bertindak. Insentif dijanjikan sebagai konsekuensi dari perilaku yang

diinginkan, tetapi ditunda untuk terjadi atau diberikan kemudian. Salah

satu cara guru dapat menggunakan insentif sebagai motivator adalah

dengan menerapkan peraturan di mana siswa pertama-tama melakukan

apa yang seharusnya mereka lakukan, dan kemudian, untuk sementara

waktu, mereka dapat melakukan apa yang ingin mereka lakukan.

Semacam porsi bonus dari insentif mendorong siswa untuk menghemat

waktu yang biasanya mereka buang untuk mendapatkannya kembali

dalam bentuk kegiatan yang disukai. Ini memberi siswa minat bersama

35
dalam bekerja sama untuk menghemat waktu daripada

menghabiskannya dalam porsi kecil sepanjang hari (Charles & Senter,

2005).

Jones telah menemukan bahwa insentif bekerja paling baik

ketika mereka terintegrasi dalam konteks program pengajaran dan

struktur kelas. Dia menggambarkan Preferred Activity Time ini, atau

PAT, sebagai waktu yang diberikan untuk kegiatan seperti permainan

belajar dan kegiatan pengayaan. Kegiatan yang dilakukan adalah

kegiatan yang dinikmati siswa. Saat memilih kegiatan untuk PAT, guru

harus mempertimbangkan tiga hal. Pertama, kegiatan tersebut harus

menarik bagi siswa. Kedua, siswa harus mendapatkan waktu menuju

PAT melalui upaya kerja dan perilaku bertanggung jawab mereka. Dan

ketiga, guru harus memilih kegiatan yang dapat diterima oleh mereka

(Charles & Senter, 2005).

Sebagai motivator insentif, ada beberapa perbedaan antara PAT

dan penghargaan lainnya. PAT memiliki kualitas-kualitas penting ini:

 PAT asli. Dengan kata lain, waktu kegiatan yang disukai

diinginkan dan tersedia untuk semua siswa, sebagai imbalan untuk

membuat upaya ekstra untuk mendapatkannya.

 PAT memiliki nilai pendidikan karena ditemukan dalam kegiatan

pengayaan dan tim belajar permainan. Mengatakan bahwa siswa

dapat melakukan apa pun yang mereka inginkan menyesatkan.

36
Kegiatan yang ingin mereka lakukan benar-benar terkait dengan

beban penuh pekerjaan akademik.

 PAT memotivasi semua siswa dengan mendorong perhatian

kelompok untuk semua orang menyelesaikan pekerjaan yang

ditugaskan dan berperilaku baik. Hanya dengan begitu siswa dapat

memperoleh PAT untuk seluruh kelas.

 PAT dapat diperoleh sebagai bonus individu. Guru dapat bekerja

secara individu dengan siswa yang akan kehilangan PAT untuk

kelas karena pilihan mereka yang tidak bertanggung jawab.

Dengan kontrak, guru dapat memberikan konsekuensi kepada

individu, tetapi juga dapat memberi hadiah kepada kelas ketika

perilaku meningkat atau siswa membuat pilihan yang bertanggung

jawab.

 PAT mudah bagi guru untuk diimplementasikan.

 PAT sama kreatifnya dengan yang dapat dibayangkan oleh guru

dan siswa (Charles & Senter, 2005).

e. Kontribusi Spencer Kagan

Spencer Kagan adalah psikolog dan konsultan klinis lain yang

berspesialisasi dalam efektivitas guru di ruang kelas. Dia juga telah

menghabiskan waktu berjam-jam mengamati dan meneliti guru yang

efektif dan metode mereka. Kagan melihat hubungan yang erat antara

kurikulum, pengajaran dan manajemen, dengan motivasi yang

memengaruhi keberhasilan ketiganya. Pekerjaan Kagan dalam

37
manajemen kelas memberikan perhatian yang besar untuk

menggunakan pembelajaran kooperatif, pembangunan kelas dan

pembentukan tim, dan berbagai kecerdasan sebagai cara untuk

memotivasi siswa (Charles & Senter, 2005).

Kami menyadari bahwa sebagian besar kehidupan dan

pekerjaan melibatkan interaksi kooperatif dengan orang lain. Namun,

kesuksesan datang dalam mempelajari cara bekerja secara kooperatif.

Prinsip-prinsip dasar pembelajaran kooperatif bertumpu pada

pertanyaan kritis, yang oleh Kagan disebut sebagai PIES:

 Positive Interdependence; Apakah keuntungan untuk satu adalah

keuntungan untuk yang lain? Apakah perlu bantuan?

 Individual Accountability; Apakah kinerja publik individu

diperlukan?

 Equal Participation; Seberapa setara partisipasinya?

 Simultaneous Interaction; Berapa persen yang aktif secara

bersamaan? (Charles & Senter, 2005).

Kelompok belajar kooperatif (seperti tim belajar Glasser)

memberi siswa kesempatan untuk belajar dan menerapkan

keterampilan ini. Siswa berkolaborasi dengan orang lain, dengan

otonomi kelompok untuk membuat keputusan tentang proyek, dan

bersenang-senang saat mereka bekerja (Charles & Senter, 2005).

38
Lalu, bagaimana motivasi membangun kelas dan membangun

tim? Kagan (Kagan, Robertson, & Kagan, 1995) mendefinisikan

pembentuka kelas sebagai “proses dimana ruangan yang penuh dengan

individu dengan latar belakang dan pengalaman yang berbeda menjadi

komunitas peduli pelajar yang aktif.” Penggunaannya dalam

pembentukan kelas sebagai kata kerja memperkuat bahwa itu adalah

sebuah proses—pembangunan kelas tidak terjadi begitu saja, hal itu

harus dilakukan sendiri. Kegiatan pembangunan kelas memiliki siswa,

setidaknya sekali seminggu, berdiri, bergerak, dan berinteraksi tentang

topik yang noncontent yang tidak biasa dilakukan oleh siswa (Charles

& Senter, 2005).

Menurut Kagan, teambuilding menentukan iklim untuk belajar.

Teambuilding memiliki lima tujuan: (1) getting acquainted, (2) team

identity, (3) mutual support, (4) valuing differences and (5) developing

synergy. Membangun tim dengan cepat hanya membutuhkan waktu

satu atau dua menit dari waktu pengajaran, tetapi membangkitkan

kembali potensi belajar. Lakukanlah setidaknya dua kali seminggu,

kegiatan membangun tim yang menyenangkan, nonakademik, dan

berada dalam kemampuan semua anak (Charles & Senter, 2005).

Kemudian akhirnya, bagaimana motivator multiple

intelligences? Siswa cerdas dalam berbagai cara - ingat delapan jenis

kecerdasan Gardner. Kagan telah mengamati bahwa ruang kelas

tampaknya menjadi hidup ketika guru (dan siswa) menggunakan

39
berbagai strategi kecerdasan untuk mengajar dan menunjukkan

pembelajaran mereka. Dalam Multiple Intelligences: The Complete MI

Book (Kagan & Kagan, 1998), Kagan menggambarkan ruang kelas

yang diperkaya yang memiliki tiga visi MI: matching, stretching, dan

celebrating. Tujuan matching adalah untuk memaksimalkan

keberhasilan akademik dengan mengajar untuk kecerdasan siswa.

Tujuan stretching adalah untuk memaksimalkan perkembangan dengan

membuat setiap siswa lebih cerdas dalam segala hal. Tujuan celebrating

adalah untuk memuji keunikan setiap siswa dan karenanya

mempertajam kemampuan siswa untuk memahami dan bekerja dengan

keragaman (Charles & Senter, 2005).

Karya-karya Kagan terkait dengan motivasi siswa. Dalam

rangka memotivasi siswa dengan cara yang terbaik untuk membuat

pilihan yang bertanggung jawab mengenai pekerjaan dan perilaku

mereka, Kagan telah menulis ratusan struktur langkah demi langkah

untuk digunakan guru. Karena strukturnya bebas konten dan aktivitas,

mereka dapat digunakan dalam rentang area konten yang tak terbatas

(Charles & Senter, 2005).

2.4.5 Ciri-Ciri Kepribadian Motivator yang Baik

a. Charisma

Karisma sulit untuk didefinisikan dan sulit diperoleh, tetapi kita

semua telah melihatnya—kualitas kepribadian yang fana yang menarik

dan menginspirasi. Sangat sulit untuk mengatakan apa yang membuat

40
seseorang lebih karismatik daripada yang lain. Penampilan yang

atraktif dapat membuat seseorang menarik, pada awalnya. Begitu juga

kepribadian yang sparkling. Kemampuan untuk membayangkan

potensi dan keyakinan pada kemampuan siswa. Diikuti tambahan

kebijaksanaan, pengalaman, kelemahan sebagaimana manusia normal,

ukuran kerentanan, dan tekad untuk bertahan, dan Anda sudah berada

pada area ‘berkarisma’. Jika Anda seorang individu yang cukup

beruntung untuk memilikinya, motivasi tidak akan menjadi masalah

bagi Anda (Charles & Senter, 2005).

b. Caring

Secara praktis semua guru akan lebih suka bahwa siswa mereka

belajar dan menjalani kehidupan yang bahagia dan produktif. Tetapi

kepedulian dalam mengajar menyiratkan lebih dari sekadar kepedulian

sederhana. Ini mengacu pada kesediaan guru untuk bekerja atas nama

siswa, untuk terus berusaha ketika sedikit kemajuan terbukti, dan untuk

bertahan bahkan ketika siswa tidak menunjukkan penghargaan atas

upaya yang dikeluarkan pada mereka, seperti yang sering terjadi. Itu

berarti menunjukkan persahabatan kepada setiap siswa, tidak peduli

seberapa kelihatannya siswa itu tampaknya tidak layak. Tergantung

pada keadaan, itu berarti mendorong, membujuk, mendukung, atau

menuntut. Anda tidak mau membiarkan siswa jatuh di pinggir jalan dan

membiarkan siswa kurang dari yang seharusnya (Charles & Senter,

2005).

41
Menjadi peduli ada dalam genggaman setiap orang. Ini masalah

usaha dan kegigihan. Ini membawa penghargaan sesekali dan sering

pula kekecewaan. Seberapa baik Anda peduli tergantung pada tingkat

keyakinan Anda, dan kemampuan Anda untuk melakukan pukulan

(Charles & Senter, 2005).

c. Ethusiasm

Pada titik tertentu, antusiasme guru memotivasi siswa. Antusiasme

itu menular, seperti juga kurangnya. Tetapi antusiasme harus tulus.

Siswa dengan cepat menemukan kebohongan. Jika Anda benar-benar

percaya pada nilai dari apa yang Anda ajarkan dan pada kebajikan dari

mereka yang bekerja dengan Anda, siswa Anda akan merespons upaya

Anda, meskipun tidak selalu persis seperti yang Anda inginkan. Tetapi

ingat, sulit untuk mencapai hasil yang signifikan dalam semalam

(Charles & Senter, 2005).

d. Trust

Kepercayaan memiliki dua sisi. Siswa harus percaya bahwa guru

mereka akan mendukung dan membimbing mereka dan merupakan

seseorang yang dapat mereka andalkan. Siswa juga harus percaya bahwa

guru mereka percaya pada mereka dan akan membiarkan mereka

membuat pilihan, keputusan, dan kesalahan, dan belajar dan tumbuh

42
dari hasil, tanpa membahayakan atau membalasnya (Cennamo, Ross, &

Ertmer, 2014).

e. Respect

Rasa hormat berhubungan erat dengan kepercayaan, dan harus

saling berkaitan. Bahkan, rasa hormat sering kali datang dari

kepercayaan. Siswa harus menghormati guru mereka sebagai fasilitator

pengetahuan dan sebagai orang dewasa yang mencontohkan kualitas

karakter yang baik dan Golden Rule. Guru harus menghormati hak siswa

untuk belajar, kadang-kadang dengan membuat kesalahan, dan berbagi

tanggung jawab untuk pembelajaran itu (Charles & Senter, 2005).

2.4.6 Motivator yang Baik—Apa yang Mereka Lakukan?

a. Gunakan hal yang baru, misteri, kebingungan, dan kegembiraan untuk

memberi energi pelajaran mereka.

b. Gunakan suara warna, gerakan, dan aktivitas siswa untuk menarik dan

menahan perhatian.

c. Menugaskan proyek individu dan kelompok, dan mendorong siswa

untuk mengendalikan diri dan bertanggungjawab.

d. Nyatakan harapan dan persyaratan yang jelas dan masuk akal untuk

menghindari kebingungan dan meminta kerjasama siswa.

e. Berikan dukungan terus-menerus, bantuan, umpan balik, dan

dorongan untuk membantu siswa mengatasi masalah dan menjaga

mereka tetap pada jalurnya.

43
f. Dengarkan keprihatinan siswa dan tetap cukup fleksibel untuk

berubah saat diperlukan.

g. Berikan banyak kesempatan bagi siswa untuk menampilkan prestasi

mereka di kelas dan audiensi yang lebih besar.

h. Tekankan akuntabilitas siswa mengenai perilaku, kebiasaan kerja, dan

produksi pekerjaan yang berkualitas.

i. Gunakan penilaian kelas yang berpusat pada siswa.

j. Berikan siswa tanggung jawab. Siswa diizinkan untuk membuat

keputusan tentang pembelajaran dan perilaku mereka yang mungkin

berbeda dari orang lain di sekitar mereka.

k. Membedakan instruksi.

l. Bekerja untuk membangun esprit de corps yang ketika berhasil

dicapai akan memobilisasi kelas untuk perilaku dan prestasi yang

lebih baik (Charles & Senter, 2005).

2.4.7 Apa yang Tidak Dilakukan oleh Seorang Motivator Kelas yang Baik

a Mereka tidak membuat muridnya kebosanan.

b Mereka tidak membuat siswa mereka bingung.

c Mereka tidak bimbang.

d Mereka tidak membuat siswa mereka frustrasi.

e Mereka tidak mengintimidasi siswa mereka

f Mereka tidak menghukum siswa mereka karena kegagalan atau suatu

kekurangan (Charles & Senter, 2005).

2.4.8 Apa saja Peringatan dalam Motivasi?

44
Meskipun sebagian besar guru menyesali kurangnya motivasi

belajar, siswa kadang-kadang dapat menjadi terlalu termotivasi atau

terlalu bersemangat sampai pada tingkat yang membuat mereka

menderita. Jika Anda terlalu menekankan pentingnya ujian prestasi

yang akan datang, siswa mungkin berusaha sangat keras sehingga

mereka tidak bisa santai dan berpikir, dan melakukan lebih buruk

daripada jika Anda tidak menyebutkannya sama sekali (Charles &

Senter, 2005).

Di samping dampak buruk dari motivasi yang berlebih, apa

yang guru lakukan untuk menanamkan motivasi sering kali

meninggalkan pertanyaan etis yang tidak terjawab. Misalnya, jika hal-

hal baru, teka-teki, intrik, dan kegembiraan dilapiskan ke semua

pelajaran, bukankah siswa bisa jadi percaya bahwa belajar itu tidak baik

kecuali seorang penyihir melakukan sihir di hadapannya atau muncul

mainan yang memantul dan bernyanyi? Jika insentif dan penghargaan

digunakan untuk memacu pekerjaan siswa, apakah Anda mengabadikan

keyakinan bahwa pekerjaan hanya dilakukan untuk imbalan dan bukan

untuk kepuasan belajar atau rasa tanggung jawab pribadi pada diri

sendiri? Sebagian besar guru menganggap pertanyaan seperti itu

menyusahkan tetapi masih lebih suka melihat siswa bekerja, bahkan

jika karena alasan tidak terpuji, daripada menemukan mereka tidak

bekerja sama sekali. Sampai taraf tertentu, mengingat beberapa ajaran

45
Glasser, Gardner, Jones, dan Kagan dapat meredakan kekhawatiran

semacam itu (Charles & Senter, 2005).

2.5 Mengelola Perilaku Siswa

A. Classroom Management : Problems and Promises


2.5.1 Perumpamaan Modern : Permulaan ( A Modern Parable : The Beginner)

Janna Smart memutuskan untuk mengikuti langkah ibunya,

Mercedes Bright, yang telah mengajar di sekolah mulai dari Janna masih

kecil hingga tumbuh dewasa. Setelah Janna meraih gelar sarjana seni, ia

melanjutkan studinya selama lima tahun untuk mendapatkan kualifikasi

mengajar anak sekolah dasar. Pada masa sertifikasinya saat musim panas,

Janna dipanggil untuk menghadiri tiga wawancara. Namun, ketika sekolah

telah berlangsung selama dua minggu, Janna diberikan tawaran untuk

mengajar siswa kelas satu dan dua. Tanpa ragu-ragu, Janna menerima

tawaran tersebut. Karena ia sangat menyukai anak kecil dan merasa bahwa

mereka dapat meresponnya dengan baik, Janna merasa sangat nyaman

untuk mengajar. Waktu sebelum ia akan mulai mengajar Janna gunakan

untuk meninjau kurikulum dan standar anak kelas satu dan dua, kemudian

merencanakan aktivitas yang dapat membuat seluruh siswa saling mengenal

(Charles & Senter, 2005).

Hari dimana Janna mulai mengajar, Janna merasa sangat gugup

ketika siswa dan beberapa orang tuanya mulai berdatangan, tetapi ia tetap

menyapa mereka dengan ramah. Para siswa berperilaku cukup baik

meskipun mereka terlihat sedikit gelisah dan tidak banyak bicara. Janna

46
mengajari mereka bagaimana cara memasuki ruangan dengan sopan dan

tertib. Kemudian ia memperkenalkan dirinya dan mengetahui seluruh nama

siswanya dengan bermain permainan ingatan. Pada akhir hari itu, Janna

merasa ia telah membuat awal yang bagus (Charles & Senter, 2005).

Janna merasa sangat percaya bahwa hari kedua akan menjadi hari

yang lebih baik, tapi sayangnya hari itu tidak berjalan dengan sempurna.

Beberapa muridnya ingat bagaimana cara memasuki ruangan dengan cara

yang telah ia berikan, tetapi sebagian besar tidak mengingatnya. Ternyata

butuh waktu yang cukup lama dari apa yang diharapkan untuk mengatur

mereka. Murid yang awalnya dapat patuh perlahan menjadi lambat untuk

mengikuti perntahnya. Ketika Janna sedang mengajar murid kela satu,

murid kelas dua mulai bermain kesana kemari. Hal ini membuat Janna

menjadi gelisah dan ketika beberapa anak mulai menunjukkan perilaku

tidak hormat, hal itu melukai perasaan Janna (Charles & Senter, 2005).

Pada hari ketiga ia mengajar, Janna merasa kesulitan. Ia

mengkonfrontasi anak yang berbicara saat kelas berlangsung, berjalan

kesana-kemari, tidak memperhatikan pelajaran, dan berulang-ulang

meminta izin untuk pergi ke kamar mandi. Hari keempat berjalan sangat

kacau. Siswa laki-laki mengambil kertas siswa lainnya dan bahkan siswa

perempuan ada yang berkelahi. Tidak ada satupun anak yang ingin

mendegarkan Janna ataupun melakukan apa yang diperintahkan Janna. Pada

hari kelima, Janna mulai putus asa. Para siswa secara terang-terangan

47
melanggar aturan dan tidak terpengaruh oleh kebaikan dan apapun yang

dilakukan Janna (Charles & Senter, 2005).

Pada malamnya Janna merenungkan permasalahan yang terjadi di

sekolah, ia menyadari bahwa permasalahan yang terjadi itu menyangkut tiga

hal, yaitu instruksi yang diberikannya, kurikulum dan organisasi yang telah

ia rencanakan, dan kemampuannya untuk mengatur kelas. Janna menyadari

bahwa pengalamannya ini sangat tidak biasa dan ia menerima saran untuk

merencanakan ulang apa yang telah ia rencanakan sebelumnya (Charles &

Senter, 2005).

Pada minggu berikutnya, Janna menempatkan mereka sedikit lebih

jauh dan memisahkan mereka yang mempunyai kecenderungan unuk

mengganggu satu sama lain. Ia juga merencanakan aktivitas yang dapat

membangun kerjasama kelas untuk mendekatkan para siswa, dan

menyiapkan energy otak apabila mereka perlu istirahat. Ia menerapkan

sistem baru untuk mendistribusikan dan mengumpulkan bahan, dengan

bantuan dari para siswa. Bahkan ia memberikan tanggung jawab khusus

untuk para siswa dikelas. Ia menambahkan beberapa struktur pada metode

pembelajarannya dan mengorganisir mereka agar para siswa secara aktif

terlibat. Janna juga menerapkan sistem insentif dan aktivitas untuk para

siswa apabila mereka berperilaku sesuai aturan. Dengan menggunakan

aktivitas dalam pembelajaran dan untuk insentif, ia mendorong para siswa

untuk menghemat waktu dengan bekerja keras dan berperilaku baik, dan

48
Janna juga mengizinkan mereka untuk melakukan kegiatan belajar yang

menyenangkan (Charles & Senter, 2005).

2.5.2 Pembelajaran : Pentingnya Hal – Hal Kecil (The Lesson : The Weight of

Minor Details)

Pengalaman Janna merupakan salah satu realitas paling signifikan

dalam pengajaran, dan merupakan salah satu yang sangat penting bagi guru

pemula. Pada kenyataannya, seberapa banyak pun kamu tau tentang filosofi,

psikologi anak, dan materi yang kamu ajarkan, banyak hal- hal kecil yang

penting dalam mengajar yang apabila tidak ditangani secara cepat, maka hal

tersebut akan menghambat apapun yang akan kamu lakukan. Janna tau

bahwa ia bisa dan akan suskes seperti ibunya. Ia tahu bagaimana cara

membentuk sebuah tim kelas dan bagaimana cara menyampaikan pelajaran

yang bagus pada siswa kelas satu, tetapi tidak dengan siswa kelas dua dalam

waktu bersamaan. Ia juga menyadari bahwa ia hanya sedikit mengetahui

tentang hal lain yang membutuhkan perhatiannya saat itu seperti

mengumpulkan uang makan siang, mengambil absen, menyimpan kertas

dan alat lainnya secara berurutan, dll. Janna mendapati dirnya telah

menghabiskan banyak waktu untuk membujuk para siswa dan dengan putus

asa menunggu mereka mengikuti arahannya. Daripada memperhatikan

detail kecil, Janna selalu merencanakan hal apa yang harus dilakukannya

dalam pengejaran selanjutnya. Mulai dari pengalamannya, Janna dengan

cepat menemukan betapa “beratnya” massa dari detail kecil tersebut

(Charles & Senter, 2005).

49
2.5.3 Cara Guru Untuk Mencoba Mencapai Suatu Tujuan (When Teachers Try to

Accomplish, and How)

Dalam istilah yang sangat luas, para guru ingin membantu siswa

mereka untuk menjadi individu yang produktif dan dapat hidup degan baik.

Dimanapun guru pasti ingin siswa mereka dapat bertangggung jawab atas

pilihan mereka dan dapat membedakan mana hal yang baik dan buruk.

Dalam istilah yang lebih spesifik, guru mengarahkan segala upaya mereka

menuju suatu tujuan yang telah membimbing pendidikan selama beberapa

decade. Tujuan-tujuan ini diterima dengan baik pada 1918 Cardinal

Principles of Secondary Education, meskipun hal ini sudah terbukti

sebelum di publikasi. Tujuan 1918 adalah (1) kesehatan, (2) proses dasar

(komunikasi dan penghitungan), (3) worthy home membership, (4)

pekerjaan, (5) pendidikan sipil, (6) penggunan waktu luang, (7) karakter etis.

Tujuan-tujuan tersebut tidak terlalu ditekankan pada masa sekarang.

Meskipun worthy home membership atau penggunaan waktu luang tidak

begitu diperhatikan, lima tujuan lainnya masih selalu diperhatikan dalam

kurikulum (Charles & Senter, 2005).

2.5.4 Lingkup Instruksional : Konten, Instruksi melalui Pengalaman, dan

Manajemen (The Instructional Package : Content, Instruction through

Experience, and Management )

Manajemen merupakan hal yang sangat penting dalam pengajaran,

komponen manajemen dari pengajaran dapat berubah atau bervariasi sesuai

50
dengan subjek, tingkat kelas, dan metode pengajaran. Sulit untuk

menggambarkan detail yang tepat dari apa yang termasuk dan apa yang

terjadi pada pembelajaran dalam kelas. Kunci dari elemen pembelajaran

yang dapat diidentifikasi dapat dianggap seperti keputusan yang diambil

guru untuk memutuskan bagaimana metode yang harus mereka lakukan di

kelas. Pendidikan dimulai dari tiga pertanyaan dasar yang berhubungan

dengan kondisi dan sifat pelajar (Charles & Senter, 2005).

a. Apa yang harus diketahui pelajar ? jawaban dari pertanyaan ini

ditentukan dengan menentukan apa yang terbaik bagi individu dan

masyarakat. Pertanyaan ini merupakan pertanyaan penting atau sentral

dalam filosofi.

b. Bagaimana cara pelajar belajar ? jawaban dari pertanyaan ini ditentukan

dengan mengetahui proses-proses dimana individu dapat memperoleh,

mengingat dan menggunakan pengetahuan. Hal ini merupakan

pertanyaan penting atau sentral dalam psikologi pendidikan. Pertanyaan

ini harus dipertimbangkan karena ciri-ciri perilaku ataupun kondisi

pembelajaran tertentu dapat mempengaruhi pembelajaran. Diantaranya

adalah kecerdasan dan bakat, gaya belajar individu, motivasi, perilaku

kelompok , hubungan sosial dan ekonomi.

c. Bagaimana cara mengajar pelajar ? jawaban dari pertanyaan ini

ditentukan dengan pengalaman, strategi instruksi, aktivitas, dan bahan

terbaik untuk mendukung pembelajaran siswa. Hal ini merupakan

51
pertanyaan penting atau sentral pada pedagogi atau metode pengajaran

(Charles & Senter, 2005).

Pertimbangan pertanyaan-pertanyaan ini tekait dengan struktur yang

disebut elemen pengejaran, yang merupakan suatu konten yang harus

diajarkan (aoa yang harus dipelajari seorang pelajar) dan instruksi melalui

pengalaman dan aktivitas (bagaimana pelajar belajar dan bagaimana cara

untuk mengajari mereka). Ada elemen lain yang mendasari elemen ini, yaitu

manajemen. Agar kelas berjalan dengan lancar, teknik manajemen harus

sesuai dengan aktivitas dan ekspetasi dari subjek yang spesifik, usia para

pelajar, dan tingkat kemampuan. Dengan kata lain, kurikulum, instruksi dan

manajemen harus saling berkaitan. Dalam pengaplikasiannya, ketiga

elemen ini tidak dapat dipisahkan karena suatu kurikulum dalam pemilihan

konten atau materi pelajaran, strategi instruksi dan sistem manajemen

(Charles & Senter, 2005).

2.5.5 Janna Smart Revisited

a. Sebelum Tahun Ajaran Baru Sekolah Dimulai (Before the School Year

Begin)

Sebelum para siswa sampai pada waktu yang telah dijadwalkan, para

guru harus mempersiapkan beberapa hal, yang merupakan kelima hal

berikut ini:

 Pertama, Guru harus membiasakan diri mereka dengan fasilitas

sekolah dan personil sekolah seperti administrator, staf dan guru

lainnnya.

52
 Kedua, Guru harus membiasakan diri mereka dengan kurikulum

dan standar konten bagi untuk tingkat kelas khusus mereka, dan

dengan buku ataupun material lainnya yang dapat membantu

mereka.

 Ketiga, Guru harus menyusun jadwal kalender semetara untuk

tahun itu, degan rencana yang spesifik dan mendetail pada dua atau

tiga minggu pertama.

 Keempat, Guru harus menyusun dan mengatur lingkungan fisik

kelas yang meliputi susunan tempat duduk yang fleksibel, tempat

belajar yang nyaman, beberapa area spesifik seperti area sudut

sains, area computer, dan tempat penyimpanan barang atau

material penting.

 Kelima, guru juga harus memikirkan jenis iklim psikososial yang

diharapkan dapat dibangun dan dipertahankan (Charles & Senter,

2005).

b. Hari Pertama dan Minggu Pertama (The First Days and The First

Weeks)

Apa yang akan dilakukan oleh guru pada permulaan ini

adalah pengaturan nada, ekspetasi dan kemungkinan dalam

kepatuhan. Guru harus memastikan hari pertama berjalan sesuai

dengan rencana. Mereka akan menjelaskan mengenai aturan san

prosedur, mengenalkan material dan berbagai macam bagian dari

kelas, mengamati para siswa, dan memberitahu mereka apabila

53
mereka berperilaku tanggung jawab dan sopan. Mereka juga akan

menjelaskan tentang kegiatan yang akan dilakukan sehari-hari dan

akan menjadi suatu kebiasaan. Mereka akan menggunakan aktivitas

yang membentuk kerjasama kelas untuk membuat mereka saling

mengenal dan peduli antara satu sama lain. Guru juga akan

menjelaskan kepada siswa bahwa mereka tanggung jawab terhadap

tindakan yang mereka lakukan (Charles & Senter, 2005).

 Kehadiran dan Prosedur Pembukaan. Sampai para siswa

menunjukkan pengendalian diri yang baik, mereka harus

memulai hari mereka dengan aktivitas yang tenang di tempat

duduk mereka atau di area tertentu pada suatu ruuangan. Selama

waktu ini, guru harus mengabsen siswa. Dan setelah itu,guru

melakukan aktivitas classbuilding atau aktivitas yang dapat

dilakukan sebelum mulai pembelajaran.

 Pengaturan Tempat Duduk dan Orientasi Ruangan Kelas. Guru

harus menjelaskan pengaturan tempat duduk. Mengenalkan

beberapa kegunaan dari bagian kelas, seperti area belajar, area

computer, material yang mereka miliki dan apa yang harus

mereka lakukan disana.

 Peraturan Kelas dan Sistem Disiplin. Pada hari pertama, guru

harus menjelaskan aturan umum yang diharapkan dari perilaku

tanggung jawab siswa. Tidak boleh lebih bari empat aturan

untuk siswa muda dan enam aturan untuk siswa yang lebih tua,

54
jika lebih dari itu maka ada kemungkinan aturan tersebut tidak

akan diingat. Pikirkan aturan yang dapat diterima, kemudian

diskusikan kepada siswa mengenai aturan, insentif dan

konsekuensi. Pastikan para siswa memahami segala aturan dan

alasan dibaliknya, dan pastikan aturan tersebut berlaku dengan

adil.

 Orientasi Sekolah dan Aturan Sekolah. Guru harus

menunjukkan kepada siswa tempat-tempat yang ada pada

sekolah tersebut seperti kantor guru, ruang kelas, kanti dan hal

lainnya disaat hari pertama atau kedua sekolah. Para siswa juga

diharapkan untuk mengikuti aturan yang telah dibuat sekolah.

 Jadwal Sehari-Hari.

 Monitors.

 Kebutuhan Lain-lain.

 Traffic Patterns.

 Profesional dan Sukarelawan.

 Mempersiapkan Guru Pengganti (Charles & Senter, 2005).

c. Hal-Hal Manajerial yang Membutuhkan Perhatian Berkelanjutan

 Manajemen Kurikulum.

 Manejemen Pelajaran.

 Penyimpanan Catatan, Penilaian, dan Laporan.

 Special Groups.

 Komunikasi.

55
 Aktivitas Ekstrakurikuler.

 Penampilan.

 Field Trips.

 Fairs dan carnivals.

 Back-to-School dan Open House.

 Assemblies.

 Clubs (Charles & Senter, 2005).

B. Managing Student Behavior

Disruptive Behavior dalam lingkungan kelas merupakan suatu perilaku

yang mengganggu kegiatan belajar dan mengajar. Charles (2005) menunjukan hal

tersebut sebagai perilaku (1) menggangu pembelajaran dan pengajaran, (2)

mengintimidasi orang lain, atau (3) melanggar standar moral, etika dan hokum pada

suatu masyarakat. Perilaku ini tidak selalu ditunjukkan dengan perilaku buruk. Jika

didalam kelas, perilaku ini tidak lebih dari sekedar berbicara, bermain-main, atau

keluar ruangan tanpa permisi. Perilaku disruptive ini dapat merusak moral kelas,

seperti :

a. Mengenai hak siswa untuk belajar : siswa yang membuat pilihan untuk

menggangu pelajaran, akan membuat pencapaian akademik menjadi rendah

b. Mengenai hak guru untuk megajar : perilaku mengganggu ini menghalangi

hak guru untuk mengajar, yang mempengaruhi pembelajaran siswa dan

membuat guru menjadi frustasi

56
c. Mengenai waktu yang terbuang : guru yang berurusan dengan gangguan

kelas ini akan kehilangan banyak waktu mengajar – menurut Fred Jones

sekitar 50 persen.

d. Mengenai stress, motivasi dan energy : perilaku menggangu ini akan

meningkatkan stress dan menurunkan motivasi dan energy para guru dan

siswa.

e. Mengenai iklim kelas : perilaku mengganggu akan membuat situasi kelas

menjadi takut dan stress baik guru maupun siswa

f. Mengenai hubungan Guru-siswa : perilaku ini akan menghilangkan

kepercayaan sehingga hubungan antara guru dan siswa tidak dapat

berkembang (Charles & Senter, 2005).

Kebanyakan guru pemula mempunyai ekspetasi yang naïf terhadap para

siswa. Mereka percaya jika guru itu peduli, para siswa akan berperilaku tertib,

mengikuti aturan, hormat, jujur, memahami satu sama lain dan menjadi tenang.

Tetapi apa yang dihadapi oleh guru tersebut adalah perilaku buruk bahkan dalam

beberpa kasus itu adalah perilaku menentang, memusuhi bahkan agresi fisik. Tidak

heran bahwa selama lebih dari tiga decade, public dan para guru selalu memilih

disiplin ( dalam arti perilaku buruk dalam kelas) sebagai ha yang dikhawatirkan

mereka dalam mengajar (Charles & Senter, 2005).

2.5.6 Is the Discipline Situation Hopeless ?

Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah tidak. Guru-guru terbaik

sekolah dasar memperlakukan siswa mereka bagaimana mereka ingin

57
diperlakukan. Mereka manusiawi. Mereka peduli dengan siswa mereka dan

mereka ingin dihormati sebagai hubungan timbal baliknya. Ketika cara ini

tidak bekerja di masa lalu, para guru dapat menegur, berbicara dengan tegas

dan bahkan menahan siswa mereka sepulang sekolah- hal ini dilakukan

untuk membuat para siswa berperilaku tertib. Para guru juga mendapat

dukungan dari administrator, pengasuh (orang tua) dan komunitas (Charles

& Senter, 2005).

Tetapi, saat ini kondisi tersebut telah berubah. Para siswa telah

kehilangan rasa hormat mereka kepada guru dan kepala sekolah. Bahkan

mereka tidak takut untuk berargumen dengan guru mereka. Biasanya

pengasuh akan membela anak mereka jika terjadi perselisihan dengan guru.

Kepala sekolah khawatir, pengasuh atau orang tua akan mengajukan protes

dan menuntut sekolah. Taktik lama yang dilakukan untuk mengatur perilaku

tidak lagi efektif (Charles & Senter, 2005).

2.5.7 The Movement Toward New Discipline

Thousand, Villa dan Nevin (2002) menggambarkan disiplin yang

efektif sebagai piramida. Prevention atau pencegahan merupakan dasar

dan kekuatan dari piramida. Pencegahan ini dicapai dengan membangun

kepedulain kelas dengan rutinitas dan prosedur yang efektif. Tingkat

selanjutnya dari piramida tersebur meliputi respon yang cepat untuk

menghentikan gangguan.ketika gangguan tidak dapat diselesaikan dalam

kelas, siswa akan dibawa pergi ke suatu tempat. Pada suatu tempat yang

jauh dari siswa lainnya, siswa dapat menenangkan diri, berpikir dan

58
menyelesaikan masalah dibawah bimbingan orang dewasa agar cepat

kembali ke dalam kelas. Puncak dari piramida tersebut meliputi individu

peduli yang dapat bekerja sama untuk menetapkan suatu rencana untuk

membuat perubahan jangka panjang pada perilaku siswa (Charles & Senter,

2005).

a. What Major Authorities Say About Discipline

 Jacob Kounin

Jacob Kounin (1970) menyelidiki perbedaan antara guru

yang dapat mengontrol kelas dengan baik dan guru yang tidak

dapat mengontrol kelas dengan baik, dan kemudian ia

menemukan guru yang mengontrol kelas dengan baik (1)

menanggap dirinya yang bertanggung jawab pada suatu kelas dan

(2) secara efisien mengatur pelajaran dan waktu jeda antara

pelajaran. Menjadi seorang penanggung jawab, Kounin

mengidentifikasi dua kemampuan yang sginifikan, yaitu

withitness dan overlapping. Dalam hal manajemen pelajaran,

Kounin mengidentifikasi beberapa kemampuan yang penting

yaitu fokus, perhatian, tanggung jawab siswa, pacing, momentum

dan transisi efisien diantara aktivitas. Fokus (focus) diperoleh

dengan memastikan para siswa megetahui apa yang harus mereka

lakukan dan alasannya. Perhatian (attention) diperoleh dari

motivasi dan arah yang spesifik. Tanggung jawab siswa

(accountability) diperoleh dengan memanggil siswa untuk

59
merespon, menginterpretasi, memberikan komen, diskusi dan

mendemonstrasikan sesuatu. Pacing bergantung pada waktu

untuk memastikan cakupan kegiatan yang efisien. Momentum

(momentum) merupakan suatu bukti untuk memastikan siswa

mempunyai perkembangan yang stabil dalam pembelajaran.

Transisi dari suatu aktivitas ke aktivitas lain yang bergantung

pada rutinitas (Charles & Senter, 2005).

 Rudolf Dreikurs dan Linda Albert

Seorang psikiatris, Rudolf Dreikurs, menganggap disiplin

sebagai suatu proses yang dipelajari siswa untuk menetapkan

batasan terhadap diri mereka sendiri. Prosedurnya tidak

menggunakan hukuman karena ia menganggap hal itu

kontraproduktif dalam emngajar siswa untuk mengendalikan diri

mereka. Dreikurs menyarankan agar guru dan siswa harus saling

bekerja sama dalam prosedur yang mancakup ketertiban, batasan,

ketegasan, kebaikan, kebebasan mengeksplorasi, kepemimpinan

guru dan memberikan kesempatan bagi siswa untuk memilih

perilaku mereka sendiri yang dapat diterima. Esensi dari disiplin

kelas bagi Dreikurs melibatkan guru dalam membantu siswa

untuk meraih rasa memiliki dan memilih perilaku yang dapat

diterima (Charles & Senter, 2005).

60
Teori Dreikur ini telah banyak diakui sangat bermanfaat

untuk menngembangkan control diri dan perilaku bertanggung

jawab siswa. Linda Albert (2003) telah membuat pendekatan

berdasarkan teori Dreikers yang mudah diterapkan oleh guru,

siswa, administrator, dan pengasuh. Pendekatannya disebut

cooperative discipline, yaitu perilaku itu dilakukan berdasarkan

pilihan, dan pilihan yang dibuat oleh siswa itu berdasarkan rasa

memiliki. Untuk mencapai hal ini, siswa harus merasa mampu,

dapat terhubung dan berkontribusi ke grup (Charles & Senter,

2005).

 Lee Canter dan Marlene Canter ( The Canters)

Lee Canter dan Marlene Canter merupakan penulis dari

Assertive Discipline atau disiplin tegas, sistem disiplin kelas yang

banyak digunakan pada saat ini. The Canters bersikeras pada hak

siswa untuk belajar dan hak guru untuk mengajar, dan

mengatakan bahwa tidak ada, terutama perilaku menyimpang,

yang dapat mengganggu hak keduanya (Charles & Senter, 2005).

Secara keseluruhan, Assertive Discipline merupakan

sebuah pendekatan yang memperbolehkan guru untuk

menerapkan support positif dan tindakan mengoreksi perilaku

dengan tenang dan adil. Hal itu juga memberikan teknik untuk

mengajarkan siswa bagaimana cara berperilaku yang baik, untuk

61
meraih kepercayaan dan kerjasama siswa, dan untuk mengatur

perilaku siswa yang susah diatur (Charles & Senter, 2005).

 Fred Jones

Fred Jones, sebelumnya adalah seorang psikolog klinis,

megembangkan dan mengarahkan program pelatihan popular

dalam mengatur kelas dan disiplin. Mereka mulai dengan

mengatur ruangan agar mereka dapat bekerja diantara kerumunan

serta bergerak diantara para siswa dan menetapkan batas melalui

bahasa tubuh yang efektif. Kemudian mereka menggunakan

beberapa kelompok keterampilan yaitu - say, see, do

teaching:menyediakan sistem insentif dan memberikan bantuan

yang efisien (Charles & Senter, 2005).

Pengaturan kelas yang efisien dapat meningkatkan

kesuksesan dalam mengajar, belajar, dan perilaku. Penetapan

batasan ini melibatkan klarifikasi batas-batas perilaku yang dapat

diterima, kemudian menyusun aturan yang sesuai. Menurut Jones,

bahasa tubuh merupakan cara yang paling efektif dalam membuat

batas-batas terhadap perilaku yang dapat diterima, hal ini

menerima penekanan besar dalam sistem ini (Charles & Senter,

2005).

 William Glasser

62
William Glasser telah mengembangkan, memperbaiki dan

mempopulerkan suatu pendekatan dalam pengajaran yang

melibatkan motivasi dan membantu siswa untuk mrmbuat pilihan

perilaku yang baik sekaligus bertanggung jawab atas segala

tindakan mereka. Ia menyebut pendekatannya sebagai Choice

Theory, yang Glasser katakan dapat menolong orang untuk lebih

realistis terhadap perilaku manusia. Ia mendeskripsikan

bagaimana choice theory dapat digunakan untuk mendirikan

lingkungan pembelajaran yang dapat mengarah pada kesuksesan

dan kualitas. Berikut merupakan beberapa prinsip utama dari

choice theory :

- Kita tidak dapat mengontrol perilaku siapapun kecuali diri kita

sendiri

- Kita tidak selalu berhasil untuk menyuruh orang melakukan

sesuatu, yang bisa kita lakukan ialah dengan membuka

peluang dan memberikan informasi

- Semua perilaku lebih baik dimengerti secara keseluruhan

perilaku atau total behavior, yang meliputi empat komponen :

acting, thinking, feeling dan physiology (Charles & Senter,

2005).

 Spencer Kagan, Patricia Kyle, dan Sally Scott

63
Spencer Kagan, Patricia Kyle dan Sally Scott, mereka

merumuskan suatu pendekatan yang disebut dengan win-win

discipline. Kagan, Kyle dan Scott mengatakan bahwa tujuan

utama dari disiplin adalah agar siswa dapat mengelola diri mereka

secara mandiri dan memenuhi kebutuhan mereka melalui pilihan

yang mereka pertanggung jawabkan sendiri. Mereka percaya

bahwa perilaku yang bertanggung jawab berhubungan dengan

kurikulum, instruksi dan manajemen, dan disiplin merupakan

sesuatu yang diperoleh siswa bukan sesuatu yang dilakukan pada

siswa (Charles & Senter, 2005).

Pendekatan ini meliputi tiga prinsip dasar yang disebut

Kagan, Kyle dan Scott sebagai “3 pilar” yaitu :

- Same Side : guru mengerti darimana siwa tersebut berasal

dan berkerjasama dengan siswa untuk menemukan solusi

disiplin.

- Collaborative Solutions : guru dan siswa membagi tanggung

jawab dalam membuat solusi disiplin.

- Learned Responsibility : siswa memperoleh tanggung jawab

jangka panjang yang tidak mengganggu.

Kagan, Kyle dan Scott mengidentifikasi empat tipe

perilaku menyimpang adalah agresi (aggression), melanggar

peraturan (breaking rules), konfrontasi (confrontation) dan

64
pelepasan (disengagement), keempat perilaku ini disebut juga

sebagai perilaku menyimpang ABCD. Kagan, Kyle dan Scott

juga mengidentifikasi kondisi yang membuat siswa melakukan

perilaku menyimpang yaitu, mencari perhatian, menghindari

kekalahan, marah, merasa menguasai, bosan, terlalu energetic,

tidak menyadari perilaku yang tepat pada suatu situasi (Charles &

Senter, 2005).

 Barbara Coloroso

Barbara Coloroso mendeskripsikan tiga kategori dari

perilaku menyimpang dengan indikasi dengan apa yang dapat

guru lakukan untuk membantu siswa tersebut. Kategori dari

perilaku meyimpang tersebut adalah mistakes, mischief, dan

mayhem (Charles & Senter, 2005).

- Mistakes (kesalahan) : merupakan kesalahan sederhana

yang memberikan kesempatan untuk belajar membuat

pilihan yang lebih baik.

- Mischief (kenakalan) : meski tidak terlalu serius, tetapi

merupakan perilaku yang disengaja. Hal ini memberikan

kesempatan bagi siswa mencari cara untuk memperbaiki

kesalahan yang telah dilakukanya dan bagaimana cara

mencegah agar tidak terulang lagi.

65
- Mayhem (kekerasan) : merupakan perilaku menyimpang

yang disengaja dan sangat serius. Hal ini melibatkan

penerapan tiga R (restitution, resolution, dan

reconciliation). Restitution atau restitusi merupakan

perbaikan atau mengganti rugi kerusakan yang terjadi.

Resolution atau resolusi adalah siswa diharapkan untuk

menyadari dan memperbaiki apapun yang menjadi

penyebab perilaku menyimpang tersebut agar tidak terulang

kembali. Reconciliation atau berdamai merupakan proses

untuk membantu siswa memperbaiki hubungan dengan

orang yang disakiti karena perilaku menyimpang yang

dilakukan (Charles & Senter, 2005).

 Marvin Marshall

Marvin Marshall memperkenalkan sebuah sistem untuk

mengatur perilaku siswa dengan menaikkan tingkat rasa tanggung

jawab siswa. Rencana Marshalll adalah untuk menumbuhkan rasa

tanggung jawab individu agar siswa dapat memilih untuk

melakukan apa yang menurutnya baik dan benar. Ia percaya

bahwa hampir semua siswa berperilaku baik (Charles & Senter,

2005).

Marshall menggambarkan perilaku social menjadi empat

tingkatan hierarki. Level A Anarchy atau anarki dan Level B

Bothering/Bossing/Bullying atau

66
menggangu/memerintah/membully merupakan tingkat perilaku

yang tidak dapat diterima. Level C Cooperating/Confirming

dapat diterima dalam kelas, meskipun siswa pada umumnya

mengandalkan motivasi eksteral seperti tekanan dari teman

sebaya untuk mengarahkan perilaku dan tindakan mereka. Level

D Democracy merupakan tingkat yang paling diinginkan (Charles

& Senter, 2005).

2.5.8 Building a System of Participative Discipline

Participative Discipline merupakan suatu sistem dimana guru dan

murid bekerja sama dalam membuat keputusan mengenai ekspetasi,

perilaku dan konsekuensi dalam pelanggaram aturan kelas (Charles &

Senter, 2005).

a. Compiling techniques ( Menyusun Teknik ). Menyusun daftar ide dan

teknik disiplin yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan sesuai dengan

filosofi kita dalam menghadapi siswa (Charles & Senter, 2005).

b. Sketching Out a Plan ( Membuat Sketsa Rencana ). Buatlah rencana

dasar secara garis besar. Dan anggap sistem disiplin yang direncanakan

harus mengikuti beberapa hal ini :

 Pemahaman antara guru dan siswa

 Menyeimbangkan antara kebutuhan guru dan siswa

 Membuat perjanjian formal antara guru dan siswa

 Kepraktisan implementasi

67
 Vitalitas dalam penggunaan berkelanjutan

 Mengaplikasikannya dengan hati-hati

 Fleksibilitas dan dapat diperbarui

Buatlah kesimpulan rencana dengan jelas, dan diskusikan dengan

siswa sebelum secara resmi menetapkannya. Setelah itu sesuai dengan

persetujuan bersama jalankan disiplin yang telah disepakati (Charles &

Senter, 2005).

2.6 Penggunaan Teknologi dan Media Pembelajaran

Wegerif menyatakan bahwa komputer memiliki tiga peran utama, yaitu

sebagai tutor, mindtool, dan pendukung. Dengan melihat peran ini, dapat

dinyatakan bahwa teknologi digunakan untuk mendorong siswa menjadi lebih

kreatif. Dalam hal ini, yang difokuskan adalah bagaimana menggunakan teknologi

atau alat tersebut, sehingga dapat menunjang performa siswa (Cennamo, Ross, &

Ertmer, 2014).

2.6.1 Technology as Tutor: Promoting Student Learning using Technology-Based

Tutorials

Teknologi yang berperan sebagai pengajar akan tampak seperti

mesin pengajar dan memberikan latihan-latihan yang berkaitan dengan

materi yang bersangkutan. Pada umumnya, siswa cepat mengerti cara

mengakses tutorial dalam sebuah program, game, dan aplikasi yang berakhir

68
dengan penyelesaian tugas secara spesifik dengan menggunakan program

tersebut (Cennamo, Ross, & Ertmer, 2014).

Technology-based tutorials adalah pembelajaran lengkap tentang

topik yang spesifik yang terdiri dari penyajian informasi baru, latihan serta

tanggapan yang diberikan (feedback). Intelligent tutoring system adalah

suatu sistem yang menyediakan informasi, menyatakan kekuatan dan

kelemahan yang dimiliki siswa serta memberikan feedback dan instruksi

yang dapat meningkatkan kemampuan siswa (Cennamo, Ross, & Ertmer,

2014).

Educational games adalah salah satu teknologi yang bermanfaat

bagi siswa. Game akan didesain untuk memberikan informasi baru, latihan

tentang kemampuan yang rumit dan berkaitan dengan topik serta

memberikan feedback terhadap performa siswa. Tutorial juga bisa diberikan

melalui web. Video juga bisa ditambahkan dalam web untuk memperjelas

informasi. WebQuest adalah sebuah susunan format yang memberikan

informasi dengan menggunakan situs web (Cennamo, Ross, & Ertmer,

2014).

Technology-based tutorials memiliki perbedaan dengan guru karena

perangkat ini tidak akan menghakimi jawaban siswa. Apabila perangkat ini

digunakan dengan baik maka dapat meyediakan kesempatan bagi siswa

untuk berpikir secara kreatif (Cennamo, Ross, & Ertmer, 2014).

69
2.6.2 Technology as Mindtool: Promoting Student Learning Using Technology

Applications

Mindtools adalah aplikasi teknologi yang memungkinkan siswa

untuk merepresentasikan, memanipulasi, dan merefleksi apa yang mereka

ketahui. Siswa didorong untuk melihat apa yang ia ketahui dengan sudut

pandang yang berbeda. Mindtools mendorong siswa untuk berpikir kritis

dan menjadi lebih pandai. Siswa tidak mampu menggunakan mindtools

apabila tidak memikirkan secara mendalam tentang apa yang mereka

lakukan (Cennamo, Ross, & Ertmer, 2014).

Ada beberapa tipe mindtools yang berbeda, yaitu database dan

concept-mapping tools; simulations dan visualizaation tools serta hypertext

dan hypermedia. Tujuan penggunaan mindtools adalah untuk

memberitahukan bagaimana menggunakan aplikasi perangkat lunak sebagai

mindtools untuk menghasilkan pola pikir yang kreatif (Cennamo, Ross, &

Ertmer, 2014).

a. Database and concept-mapping tools

Database dan concept-mapping software membantu siswa

untuk berpikir, berkomunikasi dengan struktur yang mendasari area

konten. Struktur adalah bagian yang mendasar bagi setiap ilmu. Maka,

alat yang memampukan siswa untuk mengerti struktur akan

meningkatkan pemahaman mengenai konten yang bersangkutan

(Cennamo, Ross, & Ertmer, 2014).

70
b. Database

Database atau basis data adalah tipe perangkat lunak yang

berfungsi untuk mengorganisasi informasi. Computer database

digunakan untuk mencari informasi dengan cepat. Meskipun database

digunakan untuk pengambilan informasi, database berfungsi sebagai

mindtools saaat siswa diperintahkan untuk membuatnya. Database

berperan dalam membantu siswa memahami pengoraganisasian area

konten dan menggunakannya untuk meningkatkan kemampuan berpikir

(Cennamo, Ross, & Ertmer, 2014).

Collaborative databases adalah tipe database spesial yang

mendukung proses proses pembangunan ilmu. Siswa diharapkan untuk

bertindak sebagai peneliti dalam proses pemecahan masalah. Hal ini

dimulai dengan mengajukan hipotesis lalu mencari informasi dan

melakukan observasi. Setelah melakukan hal tersebut, siswa perlu

mendapatkan feedback atas pekerjaannya. Contoh dari collaborative

database adalah forum ilmu pengetahuan dan Wikipedia (Cennamo,

Ross, & Ertmer, 2014).

c. Visualization tools and concept maps

Visualization tools memampukan siswa untuk

menggambarkan atau merepresentasikan bagaimana berbagai

fenomena beroperasi dalam area yang berbeda Dengan menggunakan

alat ini, siswa dibantu untuk memvisualisasikan fenomena ilmiah,

keunggulan data tertentu, dan struktur sebuah argumen. Salah satu

71
visualization tools adalah word cloud. Alat ini digunakan untuk

menganalisa teks dengan mengubah ukuran kata berdasarkan seberapa

sering munculnya kata tersebut dalam teks (Cennamo, Ross, & Ertmer,

2014).

Visualization tools juga mampu mengilustrasikan hubungan

yang lebih kompleks seperti memanipulasi data kompleks untuk

meningkatkan pemahaman dan argumen statistik. Graphic organizers

adalah tipe dari alat visualisasi yang membantu untuk merekam

informasi. Graphic organizers terdiri dari diagram, grafik, storyboards,

diagram venn, dan sebagainya (Cennamo, Ross, & Ertmer, 2014).

Concept maps adalah alat grafis untuk mengorganisasi dan

merepresentasikan ilmu yang dimiliki. Siswa akan merepresentasikan

apa yang mereka ketahui lalu menambahkan hal-hal baru. Langkah-

langkah membuat concept map:

1. Identifikasi konsep penting tentang konten tersebut.

2. Menyusun konsep secara spasial.

3. Identifikasi hubungan dalam konsep.

4. Memberi label pada hubungan antar konsep (Cennamo, Ross, &

Ertmer, 2014).

d. Simulations and animations

Simulations adalah versi sederhana dari fenomena,

lingkungan atau proses yang memungkinkan siswa untuk memanipulasi

variabel dan mengobservasi efek yang ditimbulkan oleh manipulasi

72
tersebut. Simulations mendorong seseorang untuk berpikir kreatif.

Meskipun demikian, kegunaan simulations bergantung pada mengapa

dan bagaimana seseorang menggunakannya (Cennamo, Ross, &

Ertmer, 2014).

Animations tidak sekompleks simulations. Animations

memampukan siswa untuk memiliki pemahaman yang lebih dalam.

Adapun salah satu tipe simulation ialah microworld. Microworld

memperbolehkan siswa untuk memanipulasi, mengeksplorasi, dan

bereksperimen dengan fenomena spesifik. Microworld mampu

meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, berpikir kritis, dan

kreatif (Cennamo, Ross, & Ertmer, 2014).

e. Hypertext and hypermedia

Hypertext adalah suatu metode untuk mengatur dan menampilkan

teks. Untuk membuat hypertext, siswa harus mengerti bagian dokumen

yang mana yang berhubungan dengan hypertext tersebut. Hypermedia

adalah hypertext dengan elemen media, seperti gambar, suara, video,

animasi, dll. Dalam mendesain produk multimedia, siswa

membutuhkan kemampuan menganalisa, mengevaluasi, dan

menyatukan informasi. Halaman web adalah bentuk hypermedia yang

ramai digunakan saat ini (Cennamo, Ross, & Ertmer, 2014).

f. Digital storytelling

Di zaman sekarang, penggunaan komputer sebagai

mindtools dibutuhkan untuk menulis. Siswa dapat menulis ulasan

73
secara digital mengenai film ataupun perspektif pribadi mengenai

sesuatu. Sebagai mindtools, digital storytelling membantu siswa untuk

menulis dengan lebih efektif berdasarkan gambaran yang mereka miliki

mengenai cerita tersebut. Siswa juga menunjukkan keefektifan dalam

berkomunikasi, menulis, mencari dan mengumpulkan informasi

(Cennamo, Ross, & Ertmer, 2014).

2.6.3 Technology as A Conversation Support

Teknologi dapat meningkatkan kemampuan individu dan

menambah wawasan. Selain itu, teknologi juga berfungsi sebagai

pendukung dalam berkomunikasi yang memiliki peranan dalam grup dan

komunitas (Cennamo, Ross, & Ertmer, 2014).

a. Technology as a collaborative learning tool

Dalam kelas biasa, guru umumnya akan melarang siswa

untuk saling berbicara saat tidak ditugaskan untuk berkelompok.

Meskipun demikian, terdapat dampak positif dari interaksi antar

siswa, yaitu adanya situasi pemecahan masalah yang kompleks

(Cennamo, Ross, & Ertmer, 2014).

Saat menggunakan collaborative tool, teknologi bukan

hanya berfokus pada keefektifan penggunaan bahasa, melainkan juga

pembelajaran siswa dalam melakukan tugas. Selain itu, studi juga

74
menyatakan bahwa terknologi mampu meningkatkan pola pikir kreatif

seseorang (Cennamo, Ross, & Ertmer, 2014).

b. Technology as a conferencing tool

Komunikasi secara forum online memiliki kelebihan dan

kekurangan. Kita tidak akan bisa melihat ekspresi seseorang, gerak

tubuh, dan nada suara. Di sisi lain, kita tidak terpengaruh oleh

prasangka. Terdapat pernyataan bahwa conferencing meningkatkan

kemampuan berpikir kreatif (Cennamo, Ross, & Ertmer, 2014).

Terdapat beberapa cara menggunakan teknologi untuk

berbicara atau bertemu dengan siswa. Misalnya melaui Skype, iChat,

dll. Di samping itu, siswa juga bisa menulis blog. Web-based

conferencing memungkinkan siswa untuk bekerja sama meskipun

mereka tidak hadir di tempat. Selain itu, berbagai perspektif yang

muncul dari siswa akan mendorong mereka untuk lebih memahami

topik yang dibahas (Cennamo, Ross, & Ertmer, 2014).

2.6.4 Online Resources

Pada zaman sekarang, setiap orang memiliki kebebasan untuk

menulis di web, blog, dan sebagainya. Meskipun terdapat banyak sumber

informasi di internet, perlu diketahui bahwa informasi tersebut perlu diuji

kebenarannya. Pengujian ini akan mendorong seseorang untuk

mengevaluasi segala informasi yang ditemukan (Cennamo, Ross, &

Ertmer, 2014).

a. Evaluating information from online resources

75
Saat mendapatkan informasi, siswa diharapkan mampu

mengetahui apakah informasi tesebut benar atau salah. Terdapat istilah

‘typosquatting’ yang disebut kegiatan membuat halaman web dengan

URL yang berbeda dengan sumber yang resmi. Akibatnya, beberapa

orang terjebak dengan informasi-informasi yang tidak valid tersebut.

Hal-hal yang perlu diperhatikan saat melihat informasi di internet:

1. Kita perlu mengetahui siapa yang menulis web tersebut serta latar

belakangnya.

2. Kita perlu mengetahui apakah informasi tersebut akurat dan diteliti

dengan baik.

3. Kita perlu mengetahui kapan dokumen tersebut ditulis pertama kali

dan terakhir kali di update.

4. Kita perlu mengetahui mengapa web tersebut dibuat.

5. Kita perlu mengetahui bagaimana informasi tersebut dipaparkan

(opini atau fakta) (Cennamo, Ross, & Ertmer, 2014).

76
BAB III

KESIMPULAN

Dari hasil makalah kami, dapat disimpulkan bahwa saat memanajemenkan

kelas kita perlu beberapa komponen untuk membentuk kelas menjadi suasana yang

efektif agar belajar mengajar dapat dilakukan dengan baik. Komponen tersebut

ialah pengelolahan lingkungan fisik, psikososial, motivasi belajar siswa, dan

perilaku siswa serta penggunaan teknologi sebagai sarana belajar.

Dalam lingkungan fisik kita perlu memperhatikan tataan dan lingkungan

kelas seperti lantai, dinding, meja, rak buku, dan lemari. Semua itu harus disusun

sedemikian rupa agar lingkungan fisik kelas dapat mempengaruhi cara siswa

merasakan, berpikir, dan berperilaku. Menekankan guru untuk sadar akan efek

langsung maupun tidak langsung dari lingkungan fisik kelas. Kesadaran ini adalah

tahap awal untuk mengembangkan “environmental competence” (kompetensi

lingkungan).

Lingkungan psikososial juga tidak kalah penting. Sebagai tenaga pengajar

maupun pemanajemen kelas, haruslah membentuk suasana yang positif di dalam

maupun sekitar kelas. Suasana positif tersebut dapat membuat siswa dapat dengan

sukarela mengikuti pembelajaran serta memahami materi pelajaran dengan lebih

baik. Hal ini baik untuk mengoptimalkan proses belajar mengajar.

Motivasi belajar sangat diperlukan dalam proses belajar mengajar. Motivasi

ini sendiri terbagi atas dua yaitu motivasi yang berada di dalam diri individu

77
(motivasi internal atau self-motivation), sementara motivasi yang berasal dari luar

individu disebut motivasi eksternal. Motivasi ini berguna demi menarik minat lebih

siswa untuk belajar. Biasanya guru atau orang tua sebagai sumber motivasi

eksternal dapat memberi reinforcemen positif seperti pemberian hadiah jika siswa

mencapai keberhasilan agar dapat menambah motivasi siswa dalam belajar. Hal ini

juga berkaitan dengan prilaku siswa dalam proses belajar mengajar. Ketika ada

siswa yang malas, pemberian hadiah dapat menambah semangat siswa untuk mulai

belajar. Guru juga harus mampu membimbing siswa yang kesulitan dalam belajar

dengan strategi instruksi, aktivitas, dan bahan terbaik untuk mendukung

pembelajaran siswa.

Di era yang modern sudah seharusnya kita memanfaatkan teknologi pada

bidang pendidikan khususnya pada manajemen kelas. Siswa dapat menggunakan

fasilitas internet seperti google atau web-web tertentu dalam pencarian informasi

pendukung belajar. Selain itu siswa juga dapat belajar menggunakan komputer

untuk membuat data, email, atau melakukan pekerjaan rumah. Semua itu dapat

dikolaborasikan untuk membuat kelas dan suasana belajar menjadi lebih efektif.

78
DAFTAR PUSTAKA

Cennamo, K. S., Ross, J. D., & Ertmer, P. A. (2014). Technology Integration for

Meaningful Classroom User: A Standarts Based Approach (2 ed.). United

States of America: WADSWORTH CENGAGE Learning.

Charles, C. M., & Senter, G. W. (2005). Elementary Classroom Management (4

ed.). United States of America: Pearson Educational Inc.

Suryana, E. (2014). Manajemen Kelas Berkarakteristik Siswa. 1-16.

Weinstein, C. S. (2003). Secondary Classroom Management (2 ed.). New York:

McGraw-Hill Higher Education.

79
KONTRIBUSI

1. Sheila Regina Tiza (181301089), membuat materi Pengelolahan Lingkungan

Fisik Kelas, Pengelolahan Lingkungan Psikososial, print materi.

2. Tahri Asiqa (181301093), membuat meteri Pengelolahan Lingkungan

Psikososial, menyususn dan revisi makalah, membuat pendahuluan dan

kesimpulan.

3. Debora Patricia Pasaribu (181301097), membuat materi Pengertian

Manajemen Kelas dan Pengguanaan Teknologi dan Media Pembelajaran.

4. Rachel Sipayung (181301113), membuat materi Mengelola Motivasi Siswa

untuk Belajar.

5. Via Sarsadilla (181301125), membuat materi Mengelola Perilaku Siswa

dalam Belajar.

80

Anda mungkin juga menyukai