181301113
Psikologi Perkembangan II
A 2018
23 September 2019
Masa remaja yang saya alami tidak memiliki banyak hal menarik
yang bisa diceritakan. Atau mungkin, masa remaja adalah hal yang paling
saya tolak untuk diingat.
Seperti yang terjadi pada umumnya saat masa remaja, saya pun
mengalami role confusion. Pertanyaan-pertanyaan seperti, “siapakah
saya?”, “apa yang harus saya lakukan di sini?”, “untuk apa saya hidup?”
seringkali berputar-putar di kepala saya. Terkadang, ada kalanya saya ingin
mempertanyakan hal ini pada orang-orang di sekitar saya, terutama pada
orang tua saya.
Orang tua saya termasuk orang tua yang cukup keras dalam
mendidik anak-anaknya, malah terkadang terkesan sangat diktator. Saya pun
adalah anak sulung dan itu menciptakan tanggung jawab yang cukup besar
bertengger di pundak saya.
Awalnya tidak ada masalah, saya masih berpikir bahwa memang ini
lah tujuan saya hidup; untuk memenuhi ekspektasi dari orang-orang di
sekitar saya, untuk membayar sebagai bentuk ucapan terima kasih karena
telah membuat saya ada dan menyokong keberlangsungan hidup saya di
dunia. Saya melakukannya dengan sepenuh hati karena pada akhirnya, saya
akan dibalas dengan rasa bahagia yang muncul saat melihat senyum bangga
keduanya.
Meskipun demikian, ada perasaan takut yang saya tidak bisa pahami
selama saya berproses untuk mencapat target yang mereka tetapkan. Jika
saya gagal, yang akan saya dapatkan adalah pukulan juga umpatan yang
sampai saat ini masih sering terngiang di telinga saya. Tapi entah kenapa
saya tidak pernah berpikir bahwa apa yang saya lalui adalah sebuah bentuk
kesalahan adalam mendidik seorang anak.
Di situlah saya menyadari, bahwa bukan ini hidup yang saya mau.
Bukan ini hidup yang saya inginkan. Saya merasakan tidak ada satu pun
yang mengerti tentang diri saya, semua beban yang saya pikul, dan semua
rasa sakit yang harus saya alami. Saya berpikir bahwa dunia mungkin
bukanlah tempat yang tepat bagi saya, bahkan saya sempat memiliki
pemikiran untuk mengakhiri hidup saya. Saya juga pernah seperti
mengalami mati rasa; saya tidak lagi merasakan dorongan emosional
apapun, entah itu sedih, bahagia, marah, dan lain sebagainya. Hari-hari saya
berlalu dengan datar.
Dewa membuat saya menyadari bahwa selama ini saya tidak pernah
mengeluarkan apa yang ada di hati dan pikiran saya. Dia mengatakan, untuk
memperoleh pertolongan maka, saya harus mau berteriak meminta tolong.
Untuk bisa didengar maka saya harus mau berbicara.
Kata-kata itu masih menjadi salah satu pegangan hidup bagi saya.
Dewa menghabiskan dua tahun masa hidupnya menjadi sandaran bagi saya
dan menjadi tempat ternyaman saya untuk istirahat, hanya dengan
mendengarkan semua keluh kesah saya. Dewa memberikan saya pelajaran
hidup lainnya, yaitu; terkadang, hanya dengan mendengarkan kita bisa
menyelamatkan hidup seseorang. Dia mengajarkan saya begitu banyak hal
dan sisi kehidupan yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Karena dia
pula lah, saya punya tekad untuk mengemban pendidikan Psikologi saat di
perguruan tinggi dan puji Tuhan, saya berhasil mencapainya saat ini.
Sampai pada saat kondisi saya mulai stabil, ibu dan ayah saya rujuk.
Saya pikir, sudah saatnya kebahagiaan kembali ke dalam hidup saya. Akan
tetapi harapan tinggal harapan, ibu menutup usia setahun kemudian tepat di
saat saya sibuk menyiapkan diri untuk menghadapi serentetan ujian
kelulusan. Ibu berpesan kepada saya, apapun yang terjadi, seberapa keras
pun dunia berlaku kepada kita, jangan sampai kita kehilangan cinta di dalam
hati kita. Jangan sampai kita berbalik menyakiti orang lain. Beliau juga
meminta maaf atas semua yang pernah dilakukannya pada saya, beserta
semua rasa sakit yang sampai saat ini masih tidak kunjung hilang.