Anda di halaman 1dari 4

Rachel Medi Christin Sipayung

181301113
Psikologi Perkembangan II
A 2018
23 September 2019

Masa adolescence atau masa remaja adalah masa di mana seseorang


mengalami banyak perubahan dalam dirinya, baik itu dalam bentuk fisik,
kognitif, maupun sosioemosional. Menurut Hall (1904), pada masa ini
terjadi “storm-and-stress” yakni masa yang penuh gejolak yang disertai
konflik dan perubahan suasana hati.

Masa remaja yang saya alami tidak memiliki banyak hal menarik
yang bisa diceritakan. Atau mungkin, masa remaja adalah hal yang paling
saya tolak untuk diingat.

Saya mengalami pubertas dan mendapatkan menstruasi pertama saya


di usia dua belas tahun. Saat itu saya duduk di bangku kelas satu sekolah
menengah pertama, di mana saya sudah memiliki sedikit pemahaman
tentang apa yang terjadi pada tubuh saya dan mengapa saya mengalami hal
tersebut dari pembelajaran di sekolah.

Seperti yang terjadi pada umumnya saat masa remaja, saya pun
mengalami role confusion. Pertanyaan-pertanyaan seperti, “siapakah
saya?”, “apa yang harus saya lakukan di sini?”, “untuk apa saya hidup?”
seringkali berputar-putar di kepala saya. Terkadang, ada kalanya saya ingin
mempertanyakan hal ini pada orang-orang di sekitar saya, terutama pada
orang tua saya.

Orang tua memegang peranan penting dalam pertumbuhan anak-


anaknya, begitu pula dengan orang tua saya. Saya memandang mereka
sebagai satu-satunya pedoman dalam hidup karena saya berpikir, mereka
pasti mengalami hal yang sama saat mereka seusia saya dulu. Maka dari itu,
daripada menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu pada mereka, saya memilih
untuk diam dan mematuhi apa saja yang mereka perintahkan.

Orang tua saya termasuk orang tua yang cukup keras dalam
mendidik anak-anaknya, malah terkadang terkesan sangat diktator. Saya pun
adalah anak sulung dan itu menciptakan tanggung jawab yang cukup besar
bertengger di pundak saya.

Sejak kecil saya dibiasakan untuk hidup dengan target dan


ekspektasi yang ditentukan oleh mereka, dan hal itu berlangsung sampai
saya selesai menempuh pendidikan saya di sekolah menengah pertama.

Awalnya tidak ada masalah, saya masih berpikir bahwa memang ini
lah tujuan saya hidup; untuk memenuhi ekspektasi dari orang-orang di
sekitar saya, untuk membayar sebagai bentuk ucapan terima kasih karena
telah membuat saya ada dan menyokong keberlangsungan hidup saya di
dunia. Saya melakukannya dengan sepenuh hati karena pada akhirnya, saya
akan dibalas dengan rasa bahagia yang muncul saat melihat senyum bangga
keduanya.

Meskipun demikian, ada perasaan takut yang saya tidak bisa pahami
selama saya berproses untuk mencapat target yang mereka tetapkan. Jika
saya gagal, yang akan saya dapatkan adalah pukulan juga umpatan yang
sampai saat ini masih sering terngiang di telinga saya. Tapi entah kenapa
saya tidak pernah berpikir bahwa apa yang saya lalui adalah sebuah bentuk
kesalahan adalam mendidik seorang anak.

Hingga pada saat saya memasuki sekolah menengah atas, keluarga


saya mengalami suatu hal yang membuat rumah tidak lagi terasa seperti
rumah. Orang tua saya memutuskan untuk pisah rumah, dan kemudian
terkuak banyak konflik yang sedari dulu mereka sembunyikan dari anak-
anaknya.
Saat itu kondisi emosional saya sangat terguncang, begitu pula
dengan ibu saya. Jika sebelumnya saya hanya mengalami mimpi buruk
ketika saya mengalami kegagalan, maka kali ini saya mengalaminya setiap
hari. Ibu menjadi semakin tidak stabil dan sangat sulit bagi beliau untuk
mengendalikan emosinya. Apa bila ibu mendapat sedikit saja dorongan
yang membuat kondisi emosionalnya bergejolak, ibu akan
melampiaskannya pada saya. Jika ibu tidak melampiaskannya pada saya,
maka beliau akan menyakiti dirinya sendiri. Bahkan beliau pernah nekat
hampir melompat dari jembatan di suatu sungai di kota kelahiran saya.

Di situlah saya menyadari, bahwa bukan ini hidup yang saya mau.
Bukan ini hidup yang saya inginkan. Saya merasakan tidak ada satu pun
yang mengerti tentang diri saya, semua beban yang saya pikul, dan semua
rasa sakit yang harus saya alami. Saya berpikir bahwa dunia mungkin
bukanlah tempat yang tepat bagi saya, bahkan saya sempat memiliki
pemikiran untuk mengakhiri hidup saya. Saya juga pernah seperti
mengalami mati rasa; saya tidak lagi merasakan dorongan emosional
apapun, entah itu sedih, bahagia, marah, dan lain sebagainya. Hari-hari saya
berlalu dengan datar.

Di tengah-tengah keputusasaan saya, saya bertemu dengan seorang


teman yang kemudian menjadi sosok yang tidak akan pernah bisa saya
lupakan lewat sosial media. Saya akrab menyebutnya kak Dewa. Dewa
adalah laki-laki yang baik, pintar, dan sangat lembut. Ia punya cita-cita
menjadi seorang psikolog namun karena terhalang sesuatu, dia tidak bisa
menggapai mimpinya tersebut.

Dewa membuat saya menyadari bahwa selama ini saya tidak pernah
mengeluarkan apa yang ada di hati dan pikiran saya. Dia mengatakan, untuk
memperoleh pertolongan maka, saya harus mau berteriak meminta tolong.
Untuk bisa didengar maka saya harus mau berbicara.
Kata-kata itu masih menjadi salah satu pegangan hidup bagi saya.
Dewa menghabiskan dua tahun masa hidupnya menjadi sandaran bagi saya
dan menjadi tempat ternyaman saya untuk istirahat, hanya dengan
mendengarkan semua keluh kesah saya. Dewa memberikan saya pelajaran
hidup lainnya, yaitu; terkadang, hanya dengan mendengarkan kita bisa
menyelamatkan hidup seseorang. Dia mengajarkan saya begitu banyak hal
dan sisi kehidupan yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Karena dia
pula lah, saya punya tekad untuk mengemban pendidikan Psikologi saat di
perguruan tinggi dan puji Tuhan, saya berhasil mencapainya saat ini.

Sampai pada saat kondisi saya mulai stabil, ibu dan ayah saya rujuk.
Saya pikir, sudah saatnya kebahagiaan kembali ke dalam hidup saya. Akan
tetapi harapan tinggal harapan, ibu menutup usia setahun kemudian tepat di
saat saya sibuk menyiapkan diri untuk menghadapi serentetan ujian
kelulusan. Ibu berpesan kepada saya, apapun yang terjadi, seberapa keras
pun dunia berlaku kepada kita, jangan sampai kita kehilangan cinta di dalam
hati kita. Jangan sampai kita berbalik menyakiti orang lain. Beliau juga
meminta maaf atas semua yang pernah dilakukannya pada saya, beserta
semua rasa sakit yang sampai saat ini masih tidak kunjung hilang.

Saat ini, kehidupan saya tampaknya sudah mulai membaik seiring


dengan mulai stabilnya keadaan saya. Pada akhirnya, yang bisa saya
lakukan adalah menerima dan ikhlas, percaya bahwa semua yang terjadi
akan membentuk pribadi saya saat ini. Di sinilah saya sekarang, saya yang
lebih stabil, saya yang sedang berusaha untuk tetap memiliki cinta di dalam
hati saya, dan berjuang untuk dapat menggapai cita-cita saya lewat program
pendidikan psikologi yang saya tempuh agar tak ada lagi saya-saya yang
lainnya di masa depan; dengan menjadi seorang pendengar.

Anda mungkin juga menyukai