KELOMPOK 11
Disusun Oleh:
Viny Andriani (181301112)
Rachel Medi Christin Sipayung (181301113)
Nizla Mahyuni (181301114)
Dinda Nabilah Sitompul (181301115)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN – 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat dan karuniaNya makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan. Adapun makalah ini disusun guna memenuhi
tugas mata kuliah Psikologi Perkembangan.
Selanjutnya kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen
mata kuliah Psikologi Perkembangan yang telah berkenan memberikan kesempatan
kepada kami dalam pengerjaan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu dengan kerendahan hati
kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak.
Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Demikian yang dapat kami ungkapkan sebagai kata pengantar dan semoga
Tuhan Yang Maha Esa memberkahi makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR I
DAFTAR ISI II
BAB I: Pendahuluan
1.1 Latar Belakang i
1.2 Rumusan Masalah i
DAFTAR PUSTAKA 27
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa kanak-kanak tengah akhir dimulai dari usia 7 sampai 12 tahun.
Ada banyak hal yang berkembang pada kognitif seorang anak pada usia
tersebut. Pada usia tersebut, anak mulai memiliki perasaan untuk menciptakan
sesuatu dengan baik bahkan sempurna. Rasa ingin tahu mereka meningkat.
Orang tua dan kelompok pertemanan sangat berperan dalam membentuk
seorang anak pada usia tersebut. Ini adalah masa-masa di mana seorang anak
menikmati masa sekarang dengan segala keingintahuan dan segala pola pikir
mereka tentang banyak hal (Santrock, 2014).
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimanan proses perkembangan kognitif pada masa kanak-
kanak akhir?
b. Apa saja cakupan perkembangan kognitif pada masa kanak-kanak
tengah akhir?
c. Bagaimana seorang anak memroses informasi pada masa kanak-
kanak tengah akhir?
BAB II
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN KOGNITIF
C. Berpikir
Empat aspek penting dari berpikir, yaitu:
1. Critical Thinking (berpikir kritis)
Tiga aspek penting dari berpikir adalah mampu berpikir secara
kritis, kreatif, dan ilmiah. Berpikir kritis mencakup kegiatan berpikir
secara reflektif dan produktif serta mengevaluasi fakta. Menurut Ellen
Langr (2005) Mindfulness (rasa penuh perhatian) seperti rasa waspada,
penuh perhatian dan fleksibel secara kognitif dalam menjalankan
aktivitas dan tugas sehari-hari merupakan aspek yang penting dari
berpikir kritis. Anak-anak dan orang dewasa yang penuh perhatian
mempertahankan kewaspadaan lingkungan kehidupannya dan
termotivasi untuk menemukan solusi terbaik. Individu yang perhatian
menciptakan ide-ide baru, terbuka terhadap informasi baru, dan
beroperasi dengan perspektif tunggal.
Jacueline dan Martin Brooks (2001) mengeluh karena hanya
terdapat beberapa sekolah yang benar-benar mengajarkan para
siswanya untuk berpikir kritis dan mengembangkan pemahaman yang
mendalam mengenai kosep. Pemahaman yang dalam dapat terjadi jika
para siswa dirangsang untuk memikirkan kembali ide-ide yang
sebelumnya telah mereka miliki. Didalam pandangan Brooks, sekolah
terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meminta agar siswa
memberikan sebuah jawaban yang benar melalui cara imitatif, alih-alih
mendorong mereka memperluas pemikiran dengan bebagai ide baru
dan memikirkan kesimpulan yang sebelumnya telah di peroleh.
Mereka mengamati bahwa para guru sering meminta para siswa untuk
menceritakan kembali, mendefenisikan, mendekripsikan, menyatakan
dan membuat daftar, alih-alih menganalisis, menyimpulkan,
mengaitkan, menyintesakan, mengkritisi, mencipakan, mengevaluasi,
memikirkan, dan memikirkan kembali. Banyak siswa yang mampu
menyelasaikan tugas tugasnya, mengerjakan tes dan memperoleh nilai
yang baik, namun mereka tidak pernah belajar untuk berpikir secara
kritis dan mendalam. Mereka berpikir secara supervisial tetap berada
dalam permukaan masalah, mencoba umtuk berpikir lebih jauh secara
mendalam melibatkan diri kedalam pemikiran yang bermakna.
2. Berpikir kreatif (creative thinking)
Berpikir kreatif adalah kemampuan untuk berpikir dengan cara
yang baru dan tidak biasa, dan menemukan solusi yang unik terhadap
masalah yang dihadapi. Dengan demikian intelegensi tidak sama
dengan kreatifitas. Menurut J.P. Guildford (1967) yang membedakan
antara convergent thinking (berpikir konvergen) yang menghasilkan
sebuah jawaban yang tepat dan ditandai dengan jenis berpikir yang
dapat diuji dengan tes intelegensi konvensional, dengan divergent
thinking (berpikir divergen) yang menghasilkan berbagai jawaban
terhadap pertanyaan yang sama dan menandai kreatifitas. Sebagai
contoh, sebuah item tipikal dari tes intelegensi adalah “Berapa banyak
uang 5000an yang anda peroleh jiak ditukar dengan 60 uang 500an ?”
sebaliknya pertanyaan berikut ini dapat meiliki berbagai jawaban :
“apa yang terbayang di benak di benak anda ketika mendengar frase
duduk sendirian di sebuah ruang yang gelap atau apa saja kegunaan
dari penjepit kertas?”
Kita perlu mengenali bahwa anak-anak akan memperlihatkan
kreatifitas lebih besar di sejumlah domain tertentu. Contoh seorang
anak yang memperlihatkan keterampilan berpikir kreatif di bidang
matematika, mungkin tidak memperlihatkan kreatifitasnya di bidang
seni. Tujuan pentingnya adalah menjadikan anak lebih kreatif.
3. Berfikir Ilmiah (scientific thinking)
Penalaran ilmiah sering sekali bertujuan mengidentifikasi
hubungan sebab akibat. Anak-anak sangat menakan mekanisme sebab
akibat, pemahaman mereka tentang penyebab suatu kejadian lebih
kepada pengambilan kesimpulan sebab akibat daripada pengaruh kuat
seperti penyebab akibat.
Terdapat perbedaan antara penalaran anak dan penalaran
ilmuwan. Sebagai contoh anak-anak sulit mendesain eksperimen yang
dapat membedakan berbagai alternatif. Anak-anak cenderung bias
dalam eskperimen, sehingga mengaggap itu adalah hipotesis yang
telah dibuat sebelumnya. Anak-anak memiliki banyak konsep yang
tidak sejalan dengan sains dan realitas. Pengajaran sains yang efektif
membantu anak membedakan kesalahan, dan mendeteksi ide-ide salah
yang harus diganti dengan konsep yang lebih akurat.
Metakognisi berasal dari dua kata yaitu “meta” yang dapat berarti
setelah, dengan, atau kalimat yang merujuk pada abstaksi dari suatu
konsep; dan “cognition” yang artinya mengetahui atau mengenal.
Metakognisi itu sendiri merupakan kemampuan manusia dalam
mengendalikan kognitifnya. Metakognisi dapat mengambil banyak
bentuk, termasuk memikirkan dan mengetahui kapan dan di mana
menggunakan strategi tertentu untuk belajar atau memecahkan masalah
(Santrock, 2014). Studi ini berfokus pada metamemori atau pengetahuan
mengenai memori seperti mengetahui bahwa tes pengenalan lebih mudah
dibandingkan tes mengingat kembali. Metameori juga mencakup
pengetahuan mengenai strategi dalam memecahkan masalah.
Anak-anak kecil memiliki sejumlahpengetahuan umum mengena
memori (Harris dkk, 2010). Pada usia 5-6 tahun, anak-anak akan lebih
mudah mempelajari sesuatu yang telah mereka kenal dibandingkan
sesuatu yang belum mereka kenal dan daftar yang pendek akan lebih
mudah dibandingkan daftar yang panjang, mengnal lebih mudah
dibandingkan harus mengingat kembali, bahkan melupakan akan lebih
mudah seiring bertambahnya usia. Mereka memiliki pengetahuan yang
terbatas mengenai memorinya sendiri. Ketika anak telah memasuki
jenjang sekolah dasar, mereka akan memilih evaluasi yang lebih realistik
mengenai kemampuan memori mereka (Santrock, 2015).
2.3 INTELIJENSI
Merupakan kemampuan dalam memecahkan masalah serta beraptasi
dan belajar dari pengalaman. Intelijensi berfokus pada perbedaan dan
penilaian individual. Tes intelijensi bertujuan untuk memberi informasi
kepada kita mengenai apakah seorang siswa dapat bernalar lebih baik
dibandingkan siswa lain (Santrock, 2015)
A. The Binet Tests
Pada tahun 1904, Kementerian Pendidikan Prancis meminta psikolog
Alfred Binet untung merancang metode mengidentifikasi anak-anak yang
tidak dapat belajar disekolah. Akhirnya Binet dan muridnya Theophile
Simon membuat tes kecerdasan untuk memenuhi permintaan ini yang
disebut Skala 1905. Tes ini berisikan berbagai macam 30 pertanyaan
mulai dari kemampuan menyentuh telinga hingga menggambar desain dari
memori dan mendefenisikan konsep abstrak.
Binet mengembangkan konsep mental age (MA) yaitu mengenai
tingkat perkembangan mental sesorang relatif terhadap orang lain. Pada
tahun 1912, William Stern menciptakan konsep inteligence quotient (IQ).
Konsep ini dikembangkan dengan rumusan usia mental seseorang dibagi
dengan chronological age (CA), dikalikan dengan 100: yaitu IQ = MA /
CA x 100. Artinya jika mental age sama dengan chronological age, maka
IQ seseorang adalah 100 dan apabila mental age di atas chronological age
maka IQ-nya lebih dari 100 dan sebaliknya apabila chronological age di
atas mental age maka IQ-nya kurang dar 100.
Tes Binet ini telah direvisi berkali-kali, revisi ini disebut Stanford-
Binet Tests. Pada tahun 2004 tes ini disebut Stanford-Binet 5 diperbaharui
untuk menganalisis respon individu dalam lima konten yaitu: cairan,
penalaran, pengetahuan, penalaran kuantitatif, penalaran visual-spasial,
dan memori kerja.
B. The Wechsler Scales
Dikembangkan oleh David Wechsler. Skala Wechsler tidak hanya
memberikan skor IQ keseluruhan namun juga beberapa indeks komposit
yang memungkinkan pemeriksa dapat segera melihat pola kekuatan dan
kelemahan intelijensi siswa di berbagai area (Santrock, 2015).
C. Jenis-Jenis Intelijensi
Sternberg’s Triarchic Theory yang dikemukakan oleh Robert J.
Sternberg menyatakan bahwa intelijensi memiliki tiga bentuk, yaitu:
1. Intelijensi Analitik, yang merujuk pada kemampuan menganalisis,
menilai, mengevaluasi, membandingkan dan membedakan
2. Intelijensi Kreatif, yang terdiri dari kemampuan berkreasi, merancang,
menemukan, memulai sesuatu dan membayangkan.
3. Intelijensi Praktis, yang mencakup kemampuan untuk menggunakan,
mengaplikasikan, mengimplentasikan dan menerapkan gagasan-
gagasan ke dalam praktik.
II. Giftedness
Orang yang berbakat memiliki intelijensi di atas rata-rata (IQ 130 atau
lebih) atau memiliki talenta yang superior di bidang tertentu. Dalam
merancang program untuk anak-anak berbakat, sebagian besar sekolah
memilih anak-anak yang superior secara intelektual dan di bidang
akademik. Anak-anak yang memiliki talenta di bidang seni visual dan
performa (seni, drama, tari), atletik atau yang lainnya cenderung di
abaikan.
Characteristic, ide yang menyatakan bahwa anak-anak berbakat
memiliki masalah penyesuaian diri, merupakan sebuah mitos; hal ini
dibuktikan oleh Lewis Terman (1952) melalui studinya secara ekstensif
melibatkan 1.500 anak-anak yang menuntut Standford Binet memiliki
rata-rata IQ 150. Anak-anak di dalam studi Terman memiliki penyesuaian
sosial yang baik; banyak di antara mereka yang menjadi dokter,
pengacara, professor dan ilmuwan yang berhasil. Studi-studi baru ini
menyatakan bahwa orang-orang berbakat cenderung lebih matang
dibandingkan dengan yang lain.
Ellen Winner (1996) mendeskripsikan tiga karakteristik dari anak-anak
berbakat, baik di bidang seni, music, atau akademik.
Kematangan
Dalam berbagai hal, anak-anak berbakat ini cepat matang
karena mereka memiliki kemampuan yang lebih tinggi di dalam
satu atau beberapa bidang tertentu.
Berkembang dengan caranya sendiri
Proses belajar anak-anak berbakat, secara kualitatif berbeda
dari anak-anak kebanyakan. Mereka membutuhkan bantuan sedikit
dari orang dewasa agar dapat belajar. Mereka juga sering kali
menemukan caranya sendiri dan memecahkan masalah dengan
cara yang unik.
Keinginan untuk menguasai
Anak-anak berbakat terdoron untuk memahami bidang di mana
mereka memiliki kemampuan yang tinggi. Mereka
memperlihatkan minat dan obsesi yang jelas, serta kemampuan
untuk lebih focus. Mereka memotivasi dirinya sendiri tanpa harus
di dorong oleh orang tua mereka.
2) Reading
Anak-anak yang memasuki sekolah dasar dengan kosa-kata yang baik
diuntungkan ketika belajar membaca. Kosa-kata yang baik akan membantu
pembaca mengetahui makna kata dengan mudah. Bagaimana cara mengajar
membaca pada anak-anak dengan baik? Akhir-akhir ini, terdapat perdebatan
yang memfokuskan whole-language approach disbanding basic-skill and
phonics approach.
Whole-language approach menekankan bahwa intruksi membaca
seharusnya sejalan dengan proses belajar bahasa yang natural pada anak-anak.
Beberapa kelas yang menggunakan pendekatan ini memulai pelajarannya
dengan mengajarkan pembaca mengenali keseluruhan kata atau bahkan
seluruh kalimat, serta menggunakan konteks dari yang mereka baca untuk
menduga makna kata-katanya. Materi ini dibaca sebaiknya menyeluruh dan
bermakna, artinya anak-anak diberi materi dalam bentuk yang lengkap, seperti
cerita atau puisi, sehingga mereka belajar untuk memahami fungsi komusikasi
dari bahasa.
Basic-skill and Phonics Approach menekankan bahwa intruksi
membaca sebaiknya mengajarkan fonetik dan aturan-aturan dasar yang
dipakai untuk menerjemahkan simbol-simbol tertulis ke dalam bunyi. Intruksi
membaca di tahap awal sebaiknya menggunakan materi-materi yang
sederhana. Setelah anak-anak belajar persesuaian aturan yang mengaitkan
fonem-fonem yang diucapkan dengan huruf-huruf alphabet yang digunakan
untuk melambangkan pengucapannya, maka mereka sebaiknya diberi materi
bacaan, seperti buku dan puisi.
Rich Mayer (2008) baru-baru ini menjelaskan tiga proses kognitif
yang terlibat agar dapat membaca tulisan:
3) Writing
Ketika anak-anak mulai menulis, anak-anak sering kali menciptakan
ejaan. Orang tua dan guru seharusnya mendukung pembelajaran menulis
anak-anak, namun tidak perlu terlalu peduli dengan pembentukan kata atau
pengejaan. Mengoreksi pengucapan dan penulisan harus dilakukan secara
selektif dan positif sehingga tidak mematahkan semangat anak-anak untuk
belajar menulis. Sama seperti membaca, belajar menulis juga membutuhkan
waktu yang lama dan memperbanyak latihan. Ketika ketrampilan berbahasa
dan kognitif mereka meningkat dengan intruksi yang baik, demikian pula
dengan ketrampilan menulisnya.
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Menurut Piaget (1952), cara berpikir anak-anak prasekolah tergolong
praoperasional. Anak-anak prasekoah dapat membentuk konsep-konsep yang
stabil; mereka juga mulai mampu bernalar, namun cara berpikir mereka
ihambat oleh egosentrisme dan sistem keyakinan yang magis. Beberapa
peneliti bependapat bahwa di dalam kondisi yang sesuai, anak-anak kecil
dapat memperlihatkan kemampuan yang terdapat di tahap perkembangan
kognitif berikutnya, yakni tahap berpikir operasional konkret (Gelman, 1969).
Dalam perkembangan kognitif kita membicarakan tentang pemrosesan
informasi yang mencakup memori, memori otobiografi, berpikir, dan
metakognisi. Selain itu, perkembangan kognitif juga membahas tentang
kemampuan berbahasa.
Perkembangan kognitif juga identik dengan intelejensi yakni
kemampuan pemecahan masalah dan belajar lewat pengalaman. Ada pula
kondisi intelijen yang ekstrim di mana seseorang memiliki tingkat intelijensi
yang luar biasa tinggi atau malah sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA