Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH PSIKOLOGI PERKEMBANGAN

COGNITIVE DEVELOPMENT IN MIDDLE AND LATE


CHILDHOOD

KELOMPOK 11
Disusun Oleh:
Viny Andriani (181301112)
Rachel Medi Christin Sipayung (181301113)
Nizla Mahyuni (181301114)
Dinda Nabilah Sitompul (181301115)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN – 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat dan karuniaNya makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan. Adapun makalah ini disusun guna memenuhi
tugas mata kuliah Psikologi Perkembangan.
Selanjutnya kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen
mata kuliah Psikologi Perkembangan yang telah berkenan memberikan kesempatan
kepada kami dalam pengerjaan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu dengan kerendahan hati
kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak.
Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Demikian yang dapat kami ungkapkan sebagai kata pengantar dan semoga
Tuhan Yang Maha Esa memberkahi makalah ini.

Medan, Februari 2019

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR I
DAFTAR ISI II
BAB I: Pendahuluan
1.1 Latar Belakang i
1.2 Rumusan Masalah i

BAB II: Pembahasan


2.1 TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF PIAGET 1
A. Tahap Operasional Konkret 1
B. Mengevaluasi Tahap Operasi Konkret Piaget 4
2.2 PEMROSESAN INFORMASI 5
A. Memori 5
B. Memori Otobiografi 8
C. Berpikir 11
D. Metakognisi 13
2.3 Intelijensi 14
A. The Binet Tests 14
B. The Wechsler Scales 15
C. Jenis-Jenis Intelijensi 15
D. Budaya Intelijensi 17
E. Menginterpretasikan Perbedaan Skor IQ 17
F. Menggunakan Tes Intelijensi 18
2.4 Extreme Of Intelligence 18
A. Intellectual Disability 18
B. Giftedness 19
2.5 Language Development 22
A. Vocabulary, Grammar, and Metalinguistic Awareness 22
B. Reading 23
C. Writing 24
D. Bilingualism and Second-language Learning 24

BAB III: Penutup 26


3.1 Kesimpulan 26

DAFTAR PUSTAKA 27
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa kanak-kanak tengah akhir dimulai dari usia 7 sampai 12 tahun.
Ada banyak hal yang berkembang pada kognitif seorang anak pada usia
tersebut. Pada usia tersebut, anak mulai memiliki perasaan untuk menciptakan
sesuatu dengan baik bahkan sempurna. Rasa ingin tahu mereka meningkat.
Orang tua dan kelompok pertemanan sangat berperan dalam membentuk
seorang anak pada usia tersebut. Ini adalah masa-masa di mana seorang anak
menikmati masa sekarang dengan segala keingintahuan dan segala pola pikir
mereka tentang banyak hal (Santrock, 2014).

B. Rumusan Masalah
a. Bagaimanan proses perkembangan kognitif pada masa kanak-
kanak akhir?
b. Apa saja cakupan perkembangan kognitif pada masa kanak-kanak
tengah akhir?
c. Bagaimana seorang anak memroses informasi pada masa kanak-
kanak tengah akhir?
BAB II
PEMBAHASAN

PERKEMBANGAN KOGNITIF

2.1 TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF PIAGET


Menurut Piaget (1952), cara berpikir anak-anak prasekolah tergolong
praoperasional. Anak-anak prasekoah dapat membentuk konsep-konsep yang
stabil; mereka juga mulai mampu bernalar, namun cara berpikir mereka
ihambat oleh egosentrisme dan sistem keyakinan yang magis. Beberapa
peneliti bependapat bahwa di dalam kondisi yang sesuai, anak-anak kecil
dapat memperlihatkan kemampuan yang terdapat di tahap perkembangan
kognitif berikutnya, yakni tahap berpikir operasional konkret (Gelman, 1969).

A. Tahap Operasional Konkret


Piaget menyatakan bahwa tahap operasional konkret (concrete
operational stage) berlangsung pada usia sekitar 7 hingga 11 tahun. Pada
tahap ini, anak-anak dapat melakukan operasi konkret; mereka juga dapat
bernalar secara logis sejauh penalaran itu dapat diaplikasikan pada contoh-
contoh yang spesifik atau konkret. Ingatlah bahwa operasi (operation)
adalah kegiatan mental dua arah (reversible); dan operasi-operasi konkret
(concrete operation) adalah operasi yang diaplikasikan pada objek-objek
yang riil atau konkret.
Tugas-tugas konservasi mengindikasikan mampu-tidaknya anak-anak
melakukan operasi konkret. Sebagai contoh, ingatlah sebuah tugas tentang
konverensi bahan. Seorang anak diberi dua bola lilin yang identik. Pelaku
eksperimen menggulung satu bola menjadi satu bentuk yang panjang dan
tipis; yang stau lagi tetap dalam bentuk yang asli. Anak kemudian
ditanyakan apakah lebih banyak lilin di dalam bola atau di dalam
potongan lilin yang panjang dan tipis itu? Pada saat anak-anak mencapai
usia 7 atau 8 tahun, sebagian besar menjawab kedua bentuk lilin tersebut
sama. Untuk menjawab pertanyaan itu dengan benar, anak-anak harus
membayangkan bahwa bola lilin digulung kembali ke bentuk aslinya yang
bundar. Tipe imajinasi ini melibatkan tindakan mental dua-arah yang
diaplikasikan dalam objek yang konkret dan nyata. Operasi-operasi
konkret memungkinkan anak memikirkan beberapa karakteristik dan
bukan berfokus pada suatu properti tunggal suatu obyek. Di dalam contoh
lilin, anak praoperasional tampaknya lebih berfokus pada tinggi atau
lebar. Anak operasi-konkret mengoordinasikan informasi mengenai kedua
dimensi itu.
Bagaimana karakteristik lain dari anak-anak yang telah mencapai
operasi-konkret? Salah satu keterampilan yang pentig adalah kemampuan
mengklasifikasikan atau membagi benda-benda ke dalam perangkat-
perangkat atau subperangkat yang berbeda, dan memperhitungkan
keterkaitannya. Contohnya adalah pohon keluarga empat generasi
sebagaimana yang terlihat di gambar.
Pohon keluarga ini
menyatakan bahwa kakek (A)
memiliki tiga orang anak (B, C,
dan D), yang masing-masing
memiliki dua orang anak (E-J),
dan saah seorang di antara anak
itu (J) memiliki tiga orang anak
(K, L, dan M). seorang anak
yang memahami system
klasifikasi dapat naik dan turun
setingkat (secara vertikal),
menyilang satu tingkat (secara horizontal) dan naik dan turun serta
menyilang di dalam sistem. Anak operasi-konkret misalnya, memahami
bahwa J pada saat yang sama dapat berkedudukan sebagai ayah, saudara
laki-laki, dan cucu laki-laki.
Anak-anak yang telah mencapai tahap operasi-konkret juga mampu
melakukan seriation (mengurutkan secare seri), yakni kemampuan
mengurutkan stimuli menurut satu dimensi kuantitatif (misalnya,
panjang). Untung melihat apakah seornag siswa dapat mengurutkan secara
seri, guru mungkin dapat menempatkan delapan tongkat dengan panjang
yang berbeda-beda secara acak. Guru kemudian meminta siswa tersebut
untuk mengurutkan tongkat-tongkat tersebut berdasarkan panjangnya.
Banyak anak-anak akan mengakhiri tugas itu dengan dua atau tiga
kelompok kecil tongkat-tongkat “panjang” atau tongkat-tongkat “pendek”.
Mereka tidak mengurutkan kedelapan tongkat tersebut secara benar.
Strategi lain yang juga keliru adalah hanya meratakan ujung atas tongkat
tanpa memperhitungkan ujung bawahnya. Pemikiran operasi konkret
mampu memahami secara simulant bahwa masing-masing tongkat harus
lebih panjang dari tongkat sebelumnya, dan lebih pendek dari tongkat
sesudahnya.
Aspek lain dari penalaran mengenai relasi adalah kelas transitivitas
yakni kemampuan untuk secara logis menggabungkan relasi-relasi agar
dapat mencapai suatu kesimpulan. Dalam kasus ini, kita dapat
menggunakan contoh tiga tongkat (A, B, dan C) dengan panjang yang
berbeda. A adalah tongkat paling panjang, B di tengah-tengah, dan C
adalah tongkat paling pendek. Apakah anak memahami bahwa jika A
lebih panjang dari B dan B lebih panjang dari C, maka A lebih panjang
dari C? Menurut teori Piaget, pemikir operasi-konkret akan
memahaminya, namun pemikir praoperasional tidak.
B. Mengevaluasi Tahap Operasi Konkret Piaget
Apakah gambaran Piaget mengenai operasi konkret anak telah diuji
melalui riset? Menurut Piaget, terdapat berbagai aspek dari sebuah
tahapan yang seharusnya muncul di saat yang sama. Meskipun demikian,
pada kenyataannya, beberapa kemampuan operasi konkret tidak muncul
secara sinkron. Sebagai contoh, anak-anak tidak belajar melakukan
konservasi pada saat yang sama ketika mereka belajar melakukan
klasifikasi-silang.
Di samping itu, pendidikan dan budaya memberikan dampak yang
lebih kuat terhadap perkembangan anak-anak dibandingkan yang diyakini
oleh Piaget (Morrison, 2015). Beberapa anak yang berada di tahap
praoperasional dapat dilatih untuk bernalar di tahap operasi-konkret. Usia
di mana anak-anak memperoleh keterampilan konservasi berkaitan dengan
sejauh mana praktik-praktik budaya memungkinkan berkembangnya
keterampilan-keterampilan ini.
Dengan demikian, meskipun Piaget adalah pakar di bidang psikologi
perkembangan, kesimpulannya mengenai tahap operasi konkret masih
diuji.
Neo-Piaget menyatakan bahwa beberapa hal pada teori Piaget benar,
namun membutuhkan beberapa revisi. Para ahli neo-Piaget ini lebih
banyak menekanan bagaimana anak-anak menggunakan atensi, memori,
dan strategi untuk memroses informasi (Case dan Mueller, 2001). Secara
khusus mereka berkeyakinan bahwa gambaran yang tepat mengenai
pemikiran anak membutuhkan perhatian terhadap strategi-strategi yang
digunakan anak-anak, kecepatan mereka dalam memroses informasi, tugas
khusus yang dilakukan, dan pembagian masalah ke dalam langkah yang
lebih kecil dan tepat (Morra dkk, 2008). Ini semua adalah isu-isu yang ada
dalam pendekatan pemrosesan informasi.
Alternatif lain berasal dari Vygotsky. Seperti Piaget, Vygotsky
berpendapat bahwa anak-anak mengonstruksikan pengetahuannya
mengenai dunia. Namun Vygotsky tidak mengajukan tahap-tahap
perkembangan kognitif, dan ia menekankan pentingnya interaksi sosial,
konteks sosial pembelajaran, dan penggunaan Bahasa pada anak kecil
untuk merencanakan, membimbing, dan memonitor perilaku (Holzman,
2009).

2.2 PEMROSESAN INFORMASI


Alih-alih menganalisi tipe-tipe pemikiran yang diperlihatkan anak-
anak, kita akan menelaah cara mereka menangani informasi selama masa
kanak-kanak pertengahan dan akhir. Apa yang akan kita temukan? Selama
masa ini, sebagian besar anak memperlihatkan kemajuan yang dramatis dalam
mempertahankan dan mengendalikan atensi. Mereka lebih banyak menaruh
perhatian pada stimuli yang relevan dengan tugas dibandingkan stimuli yang
menonjol. Perubahan-perubahan lain dalam pemrosesan informasi selama
masa kanak-kanak pertengahan dan akhir ini mencakup memori, pemikiran,
dan metakognisi.
A. Memori
Memori jangka pendek (short-term memory) memperlihatkan
peningkatan yang cukup berarti di masa kanak-kanak awal. Meskipun
demikian setelah berusia 7 tahun, peningkatan ini tidak lagi berlangsung
banyak.
Memori jangka panjang (long-term memory), ingatan yang relatif
permanen merupakan tipe ingatan yang tidak terbatas, meningkat seiring
dengan bertambahnya usia di masa kanak-kanak pertengahan dan akhir.
Dalam beberapa hal, kemajuan dalam ingatan ini mencerminkan
meningkatnya pengetahuan anak-anak dan meningkatnya kemampuan
mereka dalam menggunakan strategi-strategi. Ingatlah bahwa penting
untuk tidak melihat memori dalam hal bagaimana anak-anak
menambahkan sesuatu, namun bagaimana anak-anak mengonstruksikan
memori tersebut (Ornstein, Coffman, dan Grammer, 2009; Ornstein dkk,
2010).
Memori kerja (working memory), memori jangka pendek itu seperti
gudang pasif dengan rak-rak yang digunakan untuk menyimpan informasi
sampai dipindahkan ke memori jangka panjang. Alan Baddeley (1990,
2001, 2007, 2010, 2012) mendefinisikan memori kerja sebagai semacam
“meja kerja” mental di mana individu memanipulasi dan mengumpulkan
informasi ketika mereka membuat keputusan, memecahkan masalah dan
memahami bahasa tulisan dan lisan. Memori kerja digambarkan lebih aktif
dan kuat dalam memodifikasi informasi daripada memori jangka pendek.
Memori kerja terlibat dalam membawa informasi ke pikiran dan secara
mental bekerja atau memperbaruinya, seperti ketika Anda
menghubungkan satu ide dengan yang lain dan menghubungkan apa yang
Anda baca sekarang dengan sesuatu yang Anda baca sebelumnya.
Komponen utama dari memori kerja adalah central executive, yang
mengawasi dan mengontrol aliran informasi. Central executive terutama
bekerja dalam perhatian dan penghambatan selektif, perencanaan dan
pengambilan keputusan, dan pemecahan masalah. Fungsi eksekutif
dideskripsikan sebagai konsep mirip payung yang meliputi sejumlah
proses kognitif tingkat tinggi. Salah satu proses kognitif itu adalah ingatan
yang bekerja, terutama dimensi central executive.
 Memori kerja berkaitan dengan banyak aspek perkembangan anak-
anak (Cowan, 2014; Myatchin & Lagae, 2013; Reznick, 2014).
Studi-studi berikut menggambarkan pentingnya memori kerja
untuk perkembangan kognitif dan bahasa anak-anak. Tinjauan
penelitian baru-baru ini menyimpulkan bahwa anak-anak dengan
kesulitan belajar dalam membaca dan matematika memiliki defisit
memori (Peng & Fuchs, 2014).
 Kapasitas memori kerja pada usia 9 hingga 10 tahun
memperkirakan pemahaman bahasa asing dua tahun kemudian
pada usia 11 hingga 12 tahun (Andersson, 2010).
 Kapasitas memori kerja pada usia 9 hingga 10 tahun
memperkirakan seberapa banyak hal di dalam to-be-remembered
list yang dilupakan oleh anak-anak kelas empat. (Aslan, Zeller, dan
Bauml, 2010).
 Intervensi memori kerja yang terkomputerisasi dengan anak-anak
berusia 9 hingga 11 tahun meningkatkan kinerja membaca mereka.
(Loosli and others, 2012).

Ilmu pengetahuan dan Keahlian, banyak penelitian tentang peran


pengetahuan dalam ingatan telah membandingkan para ahli dan pemula.
Para ahli telah memperoleh pengetahuan luas tentang area konten tertentu;
pengetahuan ini mempengaruhi apa yang mereka perhatikan dan
bagaimana mereka mengatur, mewakili, dan menafsirkan masalah
informasi (Siegler, 2013). Aspek-aspek ini pada gilirannya memengaruhi
kemampuan mereka untuk mengingat, bernalar, dan menyelesaikan
masalah. Ketika individu memiliki keahlian tentang subjek tertentu,
ingatan mereka juga cenderung baik mengenai materi yang terkait dengan
subjek itu (Staszewski, 2013).
Sebagai contoh, satu studi menemukan bahwa anak-anak 10 dan 11
tahun yang berpengalaman pemain catur (“ahli”) mampu mengingat lebih
banyak informasi tentang lokasi bidak catur di papan catur daripada
mahasiswa yang bukan pemain catur (“pemula”).
Sebaliknya, ketika mahasiswa dihadapkan dengan rangsangan lain,
mereka mampu mengingat mereka lebih baik daripada anak-anak. Dengan
demikian, keahlian anak-anak dalam catur memberi mereka ingatan yang
superior, tetapi hanya dalam catur.
Ada perubahan perkembangan dalam keahlian (Blair dan Somerville,
2009; Ericsson, 2014), anak-anak yang lebih tua biasanya memiliki lebih
banyak keahlian tentang subjek daripada anak-anak yang lebih muda,
yang dapat berkontribusi pada ingatan mereka yang lebih baik untuk
sebuah subjek.
B. Memori Otobiografi
Anda terlibat dalam ingatan otobiografi ketika Anda menjawab
pertanyaan seperti: Siapa guru kelas satu Anda dan seperti apa dia? Apa
peristiwa paling traumatis yang terjadi pada Anda sebagai seorang anak?
Ketika anak-anak melewati pertengahan dan akhir masa kanak-kanak,
dan melalui masa remaja, narasi otobiografi mereka meluas dan menjadi
lebih rumit (Bauer, 2013; Bauer & Fivush, 2014: DeMarie & Lopez, 2014;
Pathman & St. Jacques, 2014). Para peneliti telah menemukan bahwa
anak-anak mengembangkan memori otobiografi yang lebih rinci, koheren,
dan evaluatif ketika ibu mereka mengingatkannya dengan cara yang rumit
dan evaluatif (Fivush, 2010).
Budaya memengaruhi ingatan otobiografi anak-anak. Anak-anak
Amerika, terutama anak perempuan Amerika, menghasilkan narasi
otobiografi yang lebih panjang, lebih detail, lebih spesifik, dan lebih
pribadi daripada narasi oleh anak-anak dari Cina dan Korea (Bauer, 2003).
Dalam percakapan mereka tentang peristiwa masa lalu, para ibu Amerika
dan anak-anak mereka lebih elaboratif dan lebih fokus pada tema-tema
yang berkaitan dengan kemandirian sementara ibu-ibu Korea dan anak-
anak mereka lebih jarang terlibat dalam percakapan terperinci tentang
masa lalu. Mungkin isi narasi anak-anak Amerika yang lebih rumit
berkontribusi pada ingatan pertama yang ditemukan para peneliti pada
orang dewasa Amerika (Han, Leichtman, dan Wang, 1998).
Strategi, adalah kegiatan mental yang disengaja yang meningkatkan
pemrosesan informasi. Strategi tidak terjadi secara otomatis
namun membutuhkan usaha dan kerja. Seperti strategi dalam kegiatan
belajar yang dilakukan individu ketika mereka belajar dan mengingat
informasi.
Beberapa strategi yang efektif yang dapat digunakan orang dewasa
dalam meningkatkan keterampilan ingatan anak, antara lain :
 Sarankan anak untuk menguraikan apa yang harus diingat.
Elaborasi adalah strategi penting dalam pemrosesan informasi
yang lebih luas. Memikirkan contoh dan menghubungkan informasi
dengan diri sendiri dan pengalaman adalah cara yang baik untuk
menguraikan informasi. Membentuk asosiasi pribadi dengan informasi
membuat informasi lebih bermakna dan membantu anak-anak untuk
mengingatnya. Misalnya, jika kata menang adalah satu daftar kata
yang diminta diingat oleh seorang anak, anak itu mungkin memikirkan
kapan terakhir kali ia memenangkan perlombaan sepeda bersama
seorang teman.
 Mendorong anak untuk ikut serta dalam mental imagery.
Mental imagery dapat membantu anak-anak sekolah untuk
mengingat gambar. Namun, untuk mengingat informasi verbal, mental
imagery bekerja lebih baik untuk anak yang lebih tua daripada anak
yang lebih kecil.
 Motivasi anak-anak untuk mengingat materi dengan memahaminya
daripada menghafalnya.
Anak-anak akan mengingat informasi dengan lebih baik dalam
jangka panjang jika mereka memahami informasi itu daripada sekadar
berlatih dan menghafalnya. Latihan bekerja dengan baik untuk
mengkodekan informasi dari dalam memori jangka pendek, tetapi
ketika anak-anak perlu mengambil informasi dari memori jangka
panjang, itu jauh lebih efisien. Untuk informasi yang lebih lagi,
dorong anak-anak untuk memahaminya, berikan artinya, uraikan, dan
menerapkannya. Beri anak konsep dan ide untuk diingat dan kemudian
tanyakan kepada mereka bagaimana mereka dapat menghubungkan
konsep dan ide dengan pengalaman dan makna pribadi mereka sendiri.
Beri mereka latihan untuk menguraikan konsep sehingga mereka akan
memproses informasi lebih dalam.
 Ulangi dengan variasi petunjuk informasi dan hubungkan lebih awal
dan berulang.
Disarankan untuk memperbaiki konsolidasi dan rekonsolidasi
anak-anak terhadap informasi yang mereka pelajari. Variasi pada tema
pelajaran meningkatkan jumlah asosiasi dalam penyimpanan memori,
dan menghubungkan memperluas jaringan asosiasi dalam
penyimpanan memori.
 Menggunakan bahasa yang relevan dengan memori saat mengajar
anak-anak.
Guru sangat disarankan menggunakan bahasa yang relevan
dengan memori yang mendorong siswa untuk mengingat informasi.
Dalam penelitian yang melibatkan pengamatan ekstensif terhadap
sejumlah guru kelas satu di kelas, menemukan bahwa selama segmen
waktu diamati, guru jarang menggunakan saran strategi atau
pertanyaan metakognitif (berpikir tentang berpikir). Dalam penelitian
ini, ketika siswa berprestasi rendah ditempatkan di ruang kelas di
mana guru dikategorikan sebagai "guru mnemonik tinggi" yang sering
memasukkan informasi yang relevan dengan ingatan dalam pengajaran
mereka, prestasi siswa akan meningkat.
Fuzzy Trace Theory, teori ini mengatakan bahwa memori dapat
dipahami dengan baik jika kita mempertimbangkan dua tipe representasi
memori:
 Verbatim memory trace (jejak ingatan verbatim), terdiri dari detail-
detail yang tepat mengenai informasi.
 Gist (intisari), merujuk pada ide inti mengenai informasi. Ketika gist
digunakan maka fuzzy trace akan dibangun. Meskipun induvidu di
semua usia menyaring gist, anak-anak cenderung menyimpan dan
mengeluarkan kembali verbatim trace. Sampai titik tertentu di masa
sekolah dasar, anak-anak mulai akan lebih sering menggunakan gist
yang dapat meningkatkan ingatan dan penalaran anak.

C. Berpikir
Empat aspek penting dari berpikir, yaitu:
1. Critical Thinking (berpikir kritis)
Tiga aspek penting dari berpikir adalah mampu berpikir secara
kritis, kreatif, dan ilmiah. Berpikir kritis mencakup kegiatan berpikir
secara reflektif dan produktif serta mengevaluasi fakta. Menurut Ellen
Langr (2005) Mindfulness (rasa penuh perhatian) seperti rasa waspada,
penuh perhatian dan fleksibel secara kognitif dalam menjalankan
aktivitas dan tugas sehari-hari merupakan aspek yang penting dari
berpikir kritis. Anak-anak dan orang dewasa yang penuh perhatian
mempertahankan kewaspadaan lingkungan kehidupannya dan
termotivasi untuk menemukan solusi terbaik. Individu yang perhatian
menciptakan ide-ide baru, terbuka terhadap informasi baru, dan
beroperasi dengan perspektif tunggal.
Jacueline dan Martin Brooks (2001) mengeluh karena hanya
terdapat beberapa sekolah yang benar-benar mengajarkan para
siswanya untuk berpikir kritis dan mengembangkan pemahaman yang
mendalam mengenai kosep. Pemahaman yang dalam dapat terjadi jika
para siswa dirangsang untuk memikirkan kembali ide-ide yang
sebelumnya telah mereka miliki. Didalam pandangan Brooks, sekolah
terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meminta agar siswa
memberikan sebuah jawaban yang benar melalui cara imitatif, alih-alih
mendorong mereka memperluas pemikiran dengan bebagai ide baru
dan memikirkan kesimpulan yang sebelumnya telah di peroleh.
Mereka mengamati bahwa para guru sering meminta para siswa untuk
menceritakan kembali, mendefenisikan, mendekripsikan, menyatakan
dan membuat daftar, alih-alih menganalisis, menyimpulkan,
mengaitkan, menyintesakan, mengkritisi, mencipakan, mengevaluasi,
memikirkan, dan memikirkan kembali. Banyak siswa yang mampu
menyelasaikan tugas tugasnya, mengerjakan tes dan memperoleh nilai
yang baik, namun mereka tidak pernah belajar untuk berpikir secara
kritis dan mendalam. Mereka berpikir secara supervisial tetap berada
dalam permukaan masalah, mencoba umtuk berpikir lebih jauh secara
mendalam melibatkan diri kedalam pemikiran yang bermakna.
2. Berpikir kreatif (creative thinking)
Berpikir kreatif adalah kemampuan untuk berpikir dengan cara
yang baru dan tidak biasa, dan menemukan solusi yang unik terhadap
masalah yang dihadapi. Dengan demikian intelegensi tidak sama
dengan kreatifitas. Menurut J.P. Guildford (1967) yang membedakan
antara convergent thinking (berpikir konvergen) yang menghasilkan
sebuah jawaban yang tepat dan ditandai dengan jenis berpikir yang
dapat diuji dengan tes intelegensi konvensional, dengan divergent
thinking (berpikir divergen) yang menghasilkan berbagai jawaban
terhadap pertanyaan yang sama dan menandai kreatifitas. Sebagai
contoh, sebuah item tipikal dari tes intelegensi adalah “Berapa banyak
uang 5000an yang anda peroleh jiak ditukar dengan 60 uang 500an ?”
sebaliknya pertanyaan berikut ini dapat meiliki berbagai jawaban :
“apa yang terbayang di benak di benak anda ketika mendengar frase
duduk sendirian di sebuah ruang yang gelap atau apa saja kegunaan
dari penjepit kertas?”
Kita perlu mengenali bahwa anak-anak akan memperlihatkan
kreatifitas lebih besar di sejumlah domain tertentu. Contoh seorang
anak yang memperlihatkan keterampilan berpikir kreatif di bidang
matematika, mungkin tidak memperlihatkan kreatifitasnya di bidang
seni. Tujuan pentingnya adalah menjadikan anak lebih kreatif.
3. Berfikir Ilmiah (scientific thinking)
Penalaran ilmiah sering sekali bertujuan mengidentifikasi
hubungan sebab akibat. Anak-anak sangat menakan mekanisme sebab
akibat, pemahaman mereka tentang penyebab suatu kejadian lebih
kepada pengambilan kesimpulan sebab akibat daripada pengaruh kuat
seperti penyebab akibat.
Terdapat perbedaan antara penalaran anak dan penalaran
ilmuwan. Sebagai contoh anak-anak sulit mendesain eksperimen yang
dapat membedakan berbagai alternatif. Anak-anak cenderung bias
dalam eskperimen, sehingga mengaggap itu adalah hipotesis yang
telah dibuat sebelumnya. Anak-anak memiliki banyak konsep yang
tidak sejalan dengan sains dan realitas. Pengajaran sains yang efektif
membantu anak membedakan kesalahan, dan mendeteksi ide-ide salah
yang harus diganti dengan konsep yang lebih akurat.

Metakognisi berasal dari dua kata yaitu “meta” yang dapat berarti
setelah, dengan, atau kalimat yang merujuk pada abstaksi dari suatu
konsep; dan “cognition” yang artinya mengetahui atau mengenal.
Metakognisi itu sendiri merupakan kemampuan manusia dalam
mengendalikan kognitifnya. Metakognisi dapat mengambil banyak
bentuk, termasuk memikirkan dan mengetahui kapan dan di mana
menggunakan strategi tertentu untuk belajar atau memecahkan masalah
(Santrock, 2014). Studi ini berfokus pada metamemori atau pengetahuan
mengenai memori seperti mengetahui bahwa tes pengenalan lebih mudah
dibandingkan tes mengingat kembali. Metameori juga mencakup
pengetahuan mengenai strategi dalam memecahkan masalah.
Anak-anak kecil memiliki sejumlahpengetahuan umum mengena
memori (Harris dkk, 2010). Pada usia 5-6 tahun, anak-anak akan lebih
mudah mempelajari sesuatu yang telah mereka kenal dibandingkan
sesuatu yang belum mereka kenal dan daftar yang pendek akan lebih
mudah dibandingkan daftar yang panjang, mengnal lebih mudah
dibandingkan harus mengingat kembali, bahkan melupakan akan lebih
mudah seiring bertambahnya usia. Mereka memiliki pengetahuan yang
terbatas mengenai memorinya sendiri. Ketika anak telah memasuki
jenjang sekolah dasar, mereka akan memilih evaluasi yang lebih realistik
mengenai kemampuan memori mereka (Santrock, 2015).

2.3 INTELIJENSI
Merupakan kemampuan dalam memecahkan masalah serta beraptasi
dan belajar dari pengalaman. Intelijensi berfokus pada perbedaan dan
penilaian individual. Tes intelijensi bertujuan untuk memberi informasi
kepada kita mengenai apakah seorang siswa dapat bernalar lebih baik
dibandingkan siswa lain (Santrock, 2015)
A. The Binet Tests
Pada tahun 1904, Kementerian Pendidikan Prancis meminta psikolog
Alfred Binet untung merancang metode mengidentifikasi anak-anak yang
tidak dapat belajar disekolah. Akhirnya Binet dan muridnya Theophile
Simon membuat tes kecerdasan untuk memenuhi permintaan ini yang
disebut Skala 1905. Tes ini berisikan berbagai macam 30 pertanyaan
mulai dari kemampuan menyentuh telinga hingga menggambar desain dari
memori dan mendefenisikan konsep abstrak.
Binet mengembangkan konsep mental age (MA) yaitu mengenai
tingkat perkembangan mental sesorang relatif terhadap orang lain. Pada
tahun 1912, William Stern menciptakan konsep inteligence quotient (IQ).
Konsep ini dikembangkan dengan rumusan usia mental seseorang dibagi
dengan chronological age (CA), dikalikan dengan 100: yaitu IQ = MA /
CA x 100. Artinya jika mental age sama dengan chronological age, maka
IQ seseorang adalah 100 dan apabila mental age di atas chronological age
maka IQ-nya lebih dari 100 dan sebaliknya apabila chronological age di
atas mental age maka IQ-nya kurang dar 100.
Tes Binet ini telah direvisi berkali-kali, revisi ini disebut Stanford-
Binet Tests. Pada tahun 2004 tes ini disebut Stanford-Binet 5 diperbaharui
untuk menganalisis respon individu dalam lima konten yaitu: cairan,
penalaran, pengetahuan, penalaran kuantitatif, penalaran visual-spasial,
dan memori kerja.
B. The Wechsler Scales
Dikembangkan oleh David Wechsler. Skala Wechsler tidak hanya
memberikan skor IQ keseluruhan namun juga beberapa indeks komposit
yang memungkinkan pemeriksa dapat segera melihat pola kekuatan dan
kelemahan intelijensi siswa di berbagai area (Santrock, 2015).
C. Jenis-Jenis Intelijensi
Sternberg’s Triarchic Theory yang dikemukakan oleh Robert J.
Sternberg menyatakan bahwa intelijensi memiliki tiga bentuk, yaitu:
1. Intelijensi Analitik, yang merujuk pada kemampuan menganalisis,
menilai, mengevaluasi, membandingkan dan membedakan
2. Intelijensi Kreatif, yang terdiri dari kemampuan berkreasi, merancang,
menemukan, memulai sesuatu dan membayangkan.
3. Intelijensi Praktis, yang mencakup kemampuan untuk menggunakan,
mengaplikasikan, mengimplentasikan dan menerapkan gagasan-
gagasan ke dalam praktik.

Gardner’s Eight Frames of Mind yang dikemukakan oleh Howard


Gardner menyatakan ada delapan tipe intelijensi dan tipe pekerjaannya
yang sesuai.
1. Verbal : Kemampuan berfikir menggunakan kata dan
bahasa untuk mengekpresikan makna.
Pekerjaan : Pengarang, jurnalis, pembicara.

2. Matematis : Kemampuan untuk mengerjakan matematika.


Pekerjaan : Ilmuan, insinyur, akuntan.
3. Spasial : Kemampuan untuk berpikir tiga dimensi.
Pekerjaan : Arsitek, artis, pelayar.
4. Kinestetik-Tubuh: Kemampuan untuk memanipulasi objek-objek
dan menjadi terampil secara fisik.
Pekerjaan : Ahli bedah, ahli bangunan, penari, atlet.
5. Musik : Sensitivitas pada ketinggian nada, melodi,
ritme, dan nada.
Pekerjaan : Komposer, musisi, pendengar yang sensitif.
6. Interpersonal : Kemampuan untuk memahami berinteraksi
secara efektif dengan orang lain.
Pekerjaan : Guru, profesional kesehatan mental.
7. Intrapersonal : Kemampuan untuk memahami dirinya sendiri.
Pekerjaan : Psikolog.
8. Naturalistik : Kemampuan untuk mengobservasi pola-pola di
alam dan memahami alam dan sistem buatan manusia.
Pekerjaan : Petani, ahli botani, ahli ekologi, dan ahli
pertamanan.
Mengevaluasi Pendekatan Intelijensi Majemuk, pendekatan
Sternberg dan Gardner telah banyak memberikan sumbangan. Pendekatan
ini telah menstimulasi guru untuk berfikir secara lebih luas mengenai
membangun kompetensi anak dan memberikan motivasi untuk
mengembangkan metode pembelajaran dengan cara yang lebih inovatif.
D. Budaya dan Intelijensi
Perbedaan konsepsi mengenai intelijensi tidak hanya terjadi di
kalangan psikolog namun juga pada budaya (Zhang & Sternberg, 2011).
Apa yang dianggap intelijensi pada suatu budaya tertentu, bisa jadi tidak
dianggap inteligen dibudaya lainnya (Santrock, 2015).
E. Menginterprestasikan Perbedaan Skor IQ
Skor IQ dapat memberikan gambaran mengenai kemampuan mental
anak-anak. Meskipun demikian masih terdapat perdebatan antar peneliti
dalam hal ini.
Pengaruh Genetik, penelitian baru-baru ini menyimpulkan bahwa
mungkin ada lebih dari 1000 gen yang memengarui kecerdasan, masing-
masing kemungkinan memiliki pengaruh kecil terhadap individu (Davies
dkk, 2011). Namun, penelit belum dapat mengidentifikasi gen speifik
yang berkontribusi pada kecerdasan (Deury, 2012; Zhao, Kong, & Qu,
2014).
Pengaruh Lingkungan, terdapat konsensus diantara psikolog bahwa
baik hereditas dan lingkungan memengaruhi intelijensi (Grigorenko &
Takanishi, 2010). Konsensus itu mengenai teori nature-nurture.
Perbedaan Kelompok, kesenjangan yang terjadi antar kelompok juga
mampu mempengaruhi hasil tes intelijensi.
Menciptakan Tes Bebas-Budaya, adalah tes yang dirancang
sedemikian rupa agar bebas dari bias budaya. Namun karena menciptakan
tes bebas-budaya sangat sulit maka dibuatlah tes pengurangan-budaya.
F. Menggunakan Tes Intelijensi
 Menghindari stereotip dan ekspektasi.
Skor yang telah didapat dapat membuat kita mengembangkan
setreotip dan ekspektasi pada siswa. Kita seringkali menganggap
bahwa hasil IQ merupakan hasil tetap, padahal itu hanya hasil pada
saat itu dan dapat berubah-ubah setiap waktu.
 Mengetahui bahwa IQ bukanlah indikator tunggal kompetensi.
Skor IQ bukanlah nilai yang mutlak, kita juga harus
mempertimbangkan keterampilan kreatifitas maupun praktis anak.
 Hati-hati dalam menginterpretasian skor IQ.
Dalam mengevaluasi intelijensi anak, perlu diingat bahwa
intelijensi terdiri dari sejumlah domain seorang anak. Perhatikan
bahwa, dengan mempertimbangkan sejumlah domain intelijensi
yang berbeda-beda itu, anda dapat menemukan bahaa setiap anak
memiliki minimal satu atau lebih kekuatan (Santrock, 2015).

2.4 EXTREMES OF INTELLIGENCE


Tes-tes intelijensi yang yang digunakan untuk menemukan indikasi
dari retardasi mental atau bakat intelektual, sebagai intelijensi yang ekstrem.
Sering kali, tes intelijensi disalahkan gunakan untuk tujuan ini. Sifat-sifat
Extremes of Intelligence:
I. Intellectual Disability
Suatu kondisi keterbatasan kemampuan mental di mana individu
memiliki IQ yang rendah, biasanya di bawah 70 jika diukur dengan tes
intelijensi trasdisional; individu yang biasanya juga kesulitan beradaptasi
dengan kehidupan dengan sehari-hari.
Intellectual Disability dapat disebabkan oleh faktor organik maupun
sosial dan budaya:
 Organic Retardation adalah retardasi mental yang disebabkan oleh
gangguan genetic atau kerusakan otak; kata organik merujuk pada
jaringan atau organ dari tubuh, yang mengindikasikan kerusakan
fisik. Sebagian besar orang yang menderita retardasi organik
memiliki IQ yang berkisar antara 0-50. Meskipun demikian, anak-
anak yang mengalami sindroma down memiliki rata-rata antara IQ
sekitar 50.
 Cultural-familia retardation adalah defisit mental di mana tidak
terdapat kerusakan organik otak. IQ individu dapat berkisar antara
50 hingga 70. Para psikolog menduga bahwa deficit mental
semacam itu adalah akibat dari variasi normal, yaitu distribusi
dalam rentang skor intelijensi disertai kombinasi bertumbuh di
pengaruh lingkungan yang dalam segi intelektual termasuk di
bawah rata-rata.

II. Giftedness
Orang yang berbakat memiliki intelijensi di atas rata-rata (IQ 130 atau
lebih) atau memiliki talenta yang superior di bidang tertentu. Dalam
merancang program untuk anak-anak berbakat, sebagian besar sekolah
memilih anak-anak yang superior secara intelektual dan di bidang
akademik. Anak-anak yang memiliki talenta di bidang seni visual dan
performa (seni, drama, tari), atletik atau yang lainnya cenderung di
abaikan.
Characteristic, ide yang menyatakan bahwa anak-anak berbakat
memiliki masalah penyesuaian diri, merupakan sebuah mitos; hal ini
dibuktikan oleh Lewis Terman (1952) melalui studinya secara ekstensif
melibatkan 1.500 anak-anak yang menuntut Standford Binet memiliki
rata-rata IQ 150. Anak-anak di dalam studi Terman memiliki penyesuaian
sosial yang baik; banyak di antara mereka yang menjadi dokter,
pengacara, professor dan ilmuwan yang berhasil. Studi-studi baru ini
menyatakan bahwa orang-orang berbakat cenderung lebih matang
dibandingkan dengan yang lain.
Ellen Winner (1996) mendeskripsikan tiga karakteristik dari anak-anak
berbakat, baik di bidang seni, music, atau akademik.
 Kematangan
Dalam berbagai hal, anak-anak berbakat ini cepat matang
karena mereka memiliki kemampuan yang lebih tinggi di dalam
satu atau beberapa bidang tertentu.
 Berkembang dengan caranya sendiri
Proses belajar anak-anak berbakat, secara kualitatif berbeda
dari anak-anak kebanyakan. Mereka membutuhkan bantuan sedikit
dari orang dewasa agar dapat belajar. Mereka juga sering kali
menemukan caranya sendiri dan memecahkan masalah dengan
cara yang unik.
 Keinginan untuk menguasai
Anak-anak berbakat terdoron untuk memahami bidang di mana
mereka memiliki kemampuan yang tinggi. Mereka
memperlihatkan minat dan obsesi yang jelas, serta kemampuan
untuk lebih focus. Mereka memotivasi dirinya sendiri tanpa harus
di dorong oleh orang tua mereka.

Nature-Nuture, individu yang berbakat mengingat bahwa mereka


memiliki tanda kemampuan yang tinggi dalam bidang tertentu ketika
kecil. Ini menunjukan pentingnya kemampuan yang alami dalam bakat.
Peneliti juga menemukan bahwa individu dengan bakat di bidang seni,
matematika, sains dan olahraga mendapat dukungan dari keluarga serta
latihan dan praktik yang lama. Praktik yang disengaja merupakan ciri
penting individu yang ahli di bidang tertentu. Contohnya, dalam sebuah
penelitian, pemusik yang baik melakukan latihan dua kali lebih banyak
selama hidupnya daripada pemusik yang kurang belajar.

Domain-specific Giftedness and Development, individu yang sangat


berbakat biasanya tidak berbakat di banyak domain. Selama masa kanak-
kanak, domain bakat biasanya muncul. Sehingga, pada titik tertentu di
masa kanak-kanak, seorang anak yang akan menjadi artis berbakat atau
ahli matematika mulai menunjukan keahliannya pada domain tersebut.
Meingindentifikasi individu dengan bakat yang spesifik-domain dan
memberikan kesempatan pilihan pendidikan yang tepat secara individual
harus dilakukan paling tidak hingga masa remaja. Selama masa remaja,
individu yang berbakat menjadi kurang bergantung pada dukungan orang
tua dan semakin mengejar minat mereka.

Education of Children Who Gifted, semakin banyak para ahli yang


menyatakan bahwa pendidikan anak-anak berbakat di AS memerlukan
pemeriksaan yang mendalam. Ellen Winner (1996,2006) berpendapat
sering kali anak-anak berbakat terisolasi secara sosial dan merasa tidak
tertantang di kelas. Anak-anak tersebut sering kali di kucilkan atau dilabeli
“kutu buku”. Ketika anak-anak merasa tidak tertantang, Winner
merekomendasikan agar anak tersebut tersebut boleh mengikuti kelas
yang sesuai dengan domain bakat mereka.
LANGUAGE DEVELOPMENT

Ketika memasuki sekolah, anak-anak memperoleh ketrampilan baru yang


membuat mereka mampu belajar membaca dan menulis. Hal ini mencakup kemahiran
berbicara tentang sesuatu yang tidak terlihat secara fisik, belajar mengenai arti sebuah
kata, dan belajar bagaimana mengenali dan menghasilkan bunyi.

1) Vocabulary, Grammar, and Metalinguistic Awareness


Selama masa kanak-kanak pertengahan dan akhir, terjadi perubahan
cara mengorganisasikan kosa-kata secara mental. Ketika ditanya mengenai
kata pertama apa yang terpikir pada saat mendengar sebuah kata, anak-anak
kecil biasanya akan memberikan sebuah kata yang sering kali mengikuti kata
tersebut di dalam sebuah kalimat. Sebagai contoh, ketika diminta untuk
merespon kata anjing, anak kecil akan mengatakan “menggonggong.”
Proses kategorisasi menjadi lebih mudah ketika anak-anak
meningkatkan kosa-kata mereka. Kosa-kata anak-anak meningkat dari rata-
rata sekitar 14.000 kata di usia 6 tahun menjadi rata-rata sekitar 40.000 kata di
usia 11 tahun. Selama masa sekolah dasar, anak-anak makin memahami dan
menggunakan tata-bahasa yang kompleks. Mereka juga belajar menggunakan
bahasa yang cara yang lebih berkaitan satu sama lain, menghasilkan wacana
yang berhubungan.
Kemajuan dalam kosa-kata dan tata-bahasa yang berlangsung selama
sekolah dasar disertai dengan perkembangan metalinguistic awareness,
dimana pengetahuan bahasa, seperti pengetahuan mengenai preposisi atau
kemampuan mendiskusikan bunyi bahasa. Metalinguistic Awarness
memungkinkan anak-anak “memikirkan bahasa yang mereka gunakan,
pemahaman mengenai kata-kata, dan bahkan mendefiniskannya”. Hal ini
memperlihatkan kemajuan yang cukup berarti selama sekolah dasar.
Mendefinisikan kata-kata menjadi bagian sehari-hari dari perdebatan di kelas.
Disamping itu, seiring dengan dengan proses belajar dan percakapan
mengenai komponen-komponen kalimat seperti subjek dan kata-kerja,
pengetahuan anak-anak mengenai sintaksis juga meningkat.
Anak-anak juga memperlihatkan kemajuan dalam hal menggunakan
bahasa dengan cara yang sesuai dengan budaya. Proses ini disebut dengn
pragmatic. Ketika memasuki usia remaja, sebagian besar anak-anak
mengetahui aturan-aturan menggunakan bahasa di dalam konteks sehari-hari,
apa yang sesuai dan tidak sesuai dikatakan.

2) Reading
Anak-anak yang memasuki sekolah dasar dengan kosa-kata yang baik
diuntungkan ketika belajar membaca. Kosa-kata yang baik akan membantu
pembaca mengetahui makna kata dengan mudah. Bagaimana cara mengajar
membaca pada anak-anak dengan baik? Akhir-akhir ini, terdapat perdebatan
yang memfokuskan whole-language approach disbanding basic-skill and
phonics approach.
Whole-language approach menekankan bahwa intruksi membaca
seharusnya sejalan dengan proses belajar bahasa yang natural pada anak-anak.
Beberapa kelas yang menggunakan pendekatan ini memulai pelajarannya
dengan mengajarkan pembaca mengenali keseluruhan kata atau bahkan
seluruh kalimat, serta menggunakan konteks dari yang mereka baca untuk
menduga makna kata-katanya. Materi ini dibaca sebaiknya menyeluruh dan
bermakna, artinya anak-anak diberi materi dalam bentuk yang lengkap, seperti
cerita atau puisi, sehingga mereka belajar untuk memahami fungsi komusikasi
dari bahasa.
Basic-skill and Phonics Approach menekankan bahwa intruksi
membaca sebaiknya mengajarkan fonetik dan aturan-aturan dasar yang
dipakai untuk menerjemahkan simbol-simbol tertulis ke dalam bunyi. Intruksi
membaca di tahap awal sebaiknya menggunakan materi-materi yang
sederhana. Setelah anak-anak belajar persesuaian aturan yang mengaitkan
fonem-fonem yang diucapkan dengan huruf-huruf alphabet yang digunakan
untuk melambangkan pengucapannya, maka mereka sebaiknya diberi materi
bacaan, seperti buku dan puisi.
Rich Mayer (2008) baru-baru ini menjelaskan tiga proses kognitif
yang terlibat agar dapat membaca tulisan:

1. Memahami unit-unit suara dalam kata-kata, yang mencakup


pemahaman fenom.
2. Mengkodekan kembali kata-kata, yang mencakup pengubahan kata-
kata tertulis menjadi suara.
3. Mengakses arti kata, dengan membayangkan representasi dari sebuah
kata.

3) Writing
Ketika anak-anak mulai menulis, anak-anak sering kali menciptakan
ejaan. Orang tua dan guru seharusnya mendukung pembelajaran menulis
anak-anak, namun tidak perlu terlalu peduli dengan pembentukan kata atau
pengejaan. Mengoreksi pengucapan dan penulisan harus dilakukan secara
selektif dan positif sehingga tidak mematahkan semangat anak-anak untuk
belajar menulis. Sama seperti membaca, belajar menulis juga membutuhkan
waktu yang lama dan memperbanyak latihan. Ketika ketrampilan berbahasa
dan kognitif mereka meningkat dengan intruksi yang baik, demikian pula
dengan ketrampilan menulisnya.

4) Bilingualism and Second-language Learning


a) Second-language Learning
Selama bertahun-tahun, dikatakan bahwa jika seseorang tidak
mempelajari bahasa kedua sebelum masa pubertas, ia tidak akan pernah
mencapai kelancaran berbahasa untuk bahasa kedua. Anak-anak yang
fasih dalam dua bahasa performanya lebih baik di banding rekan-rekannya
yang hanya menguasai satu bahasa, dalam uji mengendalikan atensi,
pembentukan konsep, penalaran analitis, fleksibilitas kognitif, dan
kompleksitas kognitif. Mereka juga lebih menyadari struktur bahasa lisan
dan tertulis serta lebih baik dalam menangkap kesalahan tata-bahasa dan
makna, ketrampilan yang berguna bagi kemampuan membaca mereka.
Namun demikian, ulasan penelitian mengungkapkan bahwa anak-anak
dengan dua bahasa memilki tingkst kefasihan yang lebih rendah (misalnya
kosa-katanya lebih sedikit) daripada anak-anak dengan satu bahasa.
b) Bilingual Education
Bagaimana cara terbaik untuk mengajarkan anak-anak? Selama dua
decade terakhir, strategi yang dipilih adalah bilingual education, yang
mengajarkan subjek-subjek akademik kepada anak-anak imigran dalam
bahasa asal sembari mengajarkan bahasa inggris secara perlahan. Para
pendukung program pendidikan bilingual menyatakan bahwa seandainya
anak-anak tidak mengenal bahasa inggris akan tertinggal jauh dalam
pelajaran.
Riset mendukung pendidikan bilingual dalam hal:

1. Anak-anak mengalami kesulitan dalam mempelajari sebuah subjek


seandainya materi tersebut diajarkan dalam bahasa yang tidak mereka
pahami
2. Ketika dua bahsa diintergrasikan di dalam kelas, anak-anak akan
belajar bahasa kedua dengan lebih siap dan lebih bersedia
berpartisipasi dengan aktif.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Menurut Piaget (1952), cara berpikir anak-anak prasekolah tergolong
praoperasional. Anak-anak prasekoah dapat membentuk konsep-konsep yang
stabil; mereka juga mulai mampu bernalar, namun cara berpikir mereka
ihambat oleh egosentrisme dan sistem keyakinan yang magis. Beberapa
peneliti bependapat bahwa di dalam kondisi yang sesuai, anak-anak kecil
dapat memperlihatkan kemampuan yang terdapat di tahap perkembangan
kognitif berikutnya, yakni tahap berpikir operasional konkret (Gelman, 1969).
Dalam perkembangan kognitif kita membicarakan tentang pemrosesan
informasi yang mencakup memori, memori otobiografi, berpikir, dan
metakognisi. Selain itu, perkembangan kognitif juga membahas tentang
kemampuan berbahasa.
Perkembangan kognitif juga identik dengan intelejensi yakni
kemampuan pemecahan masalah dan belajar lewat pengalaman. Ada pula
kondisi intelijen yang ekstrim di mana seseorang memiliki tingkat intelijensi
yang luar biasa tinggi atau malah sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA

Santrock, J. W. (2014). Life-Span Development (15th International Edition).


Chicago: McGraw Hill Higher Education.

Anda mungkin juga menyukai