Anda di halaman 1dari 9

TOPIK 2 RUANG KOLABORASI

PEMAHAMAN TENTANG PESERTA DIDIK DAN PEMBELAJARANYA

Nama Kelompok : 3
Anggota Kelompok : 1. Bena Oktara
2. Israwati Nafi
3. Kris Agil Saraswati
4. Shintia Maruli
Kelas : IP-2 PGSD

Latihan.

1. Pilihlah usia peserta didik yang Anda harapkan bisa mengajarnya suatu hari nanti.
2. Buatlah daftar karakteristik anak tersebut menurut teori:
o Perkembangan kognitif Piaget,
o Teori perkembangan sosial-emosional Bronfenbrenner dan
o Teori perkembangan sosial-emosional Erikson.
3. Kemudian, buatlah daftar karakteristik terkait anak pengalaman masa kecil Anda sendiri.
4. Jika sudah, bandingkanlah kedua daftar yang telah anda buat.
a. Jelaskan dengan cara apa anak bisa mengembangkan fungsi kognitifnya serta
sosio-emosionalnya?
b. Penyesuaian yang seperti apa yang Anda butuhkan agar anak bisa
berinteraksi secara efektif bersama Anda?

Jawaban :

1. Usia peserta didik kelas III Sekolah Dasar 9 Tahun


2. Daftar karakteristik berdasarkan:
a. Teori Perkembangan Kognitif
Menurut teori Piaget, kemampuan kognitif anak berkembang secara bertahap pada rentang
umur yang berbeda, termasuk dalam mengamati ilmu pengetahuan. Pemaksaan terhadap
kemapuan anak pada perkembangan yang tidak tepat menurut Piaget akan menggangu periode
emas si keci. Teori Piaget disebut juga dengan genetic epistemology, sebab menjelaskan
perkembangan kemampuan intelektual dalam masa pertumbuhan. Karena teori Piaget menjelaskan
perkembangan pengetahuan anak yang dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungannya, ia
kemudian digunakan pula dalam bidang psikologi pendidikan. Piaget membagi masa
perkembangan kognitif anak ke dalam empat tahap periode, yaitu sebagai berikut:
1) Tahap Pertama Sensorimtorik : saat masih berusia balita (0-2) tahun, anak memiliki
kemampuan sensori motoric untuk menangkap objek-objek disekitarnya. Pada periode ini
anak mengesplorasi lingkungannya untuk mendapatkan pengetahuan skema, asimilasi, dan
modifikasi dengan proses meniru. Perkembangan intelektual anak pada usia balita merupakan
respons reflex dan kemampuan skemata.
2) Tahap kedua Pra-operasional: pada tahap pra-operasional (2-7) tahun, aktivitas kognitif
anak mulai dengan memahami realitas dengan symbol. Meskipun begitu, system berpikirnya
belum terorganisir serta tidak logis, sistematis, dan konsisten. Pada tahap ini, anak juga
bersifat egosentrisme, yang berarti anak melihat dunia dengan kehendaknya sendiri dan
belum mampu berpikir dengan perspektif lain.
3) Tahap ketiga (operasional konkrit): pada tahap ini, yang terjadi di usia 7-11 tahun, anak
telah dapat melakukan aktivitas pemikir logis dalam mengahadapi objek fisik. Namun,
direntang usia 7-11 tahun, anak belum dapat menarik kesimpulan secara konkret, meski telah
berhasil mengidentifikasi dan menghubungkan beberapa dimensi dalam satu waktu.
4) Tahap keempat ( Operasional formal): pada tahap operasional formal (11-16) tahun, anak
telah ma pu berpikir secara abstrak dan mengembangkan hipotesis dengan logis. Anak
mampu memecahkan masalah dan membentuk argument karena kompetensi operasionalnya
berkembang menjadi lebih kompleks.

Sesuai dengan usia peserta didik di kelas III yang usianya kisaran 9 tahun, tahap
perkembangan anak berada pada tahap operasional konkrit. Pada tahap ini diperoleh karakter istik
anak sebagai berikut :
a) Pengurutan : pengurutan adalah kemampuan untuk mengurutkan objek menurut ukuran,
bentuk, atau ciri lainnya. Sebagai contoh, anak diberi benda yang berbeda ukuran. Ia dapat
mengurutkannya dari ukuran paling besar ke benda terkecil.
b) Klasifikasi : klasifikasi adalah kemampuan memberi nama dan mengidentifikasi
serangkaian benda tampilan, ukuran, atau karakteristik lainnya. Klarifikasi juga
termasuk gagasan bahwa serangkaian benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam
rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animism, yakni
tanggapan (pemikiran) bahwa semua benda hidup dan memiliki perasaan. Contohnya,
anak sudah mengetahui bentuk kubus, bola, dan silinder. Ia hendak menyususn tiga benda
tersebut dalam suatu rangkaian, tetapi bolanya kurang satu. Maka, si anak mencari suatu
benda berbentuk bulat untuk dimasukkan ke dalam rangkaian.
c) Decentering : Decentering adalah kemampuan anak dalam mempertimbangkan beberapa
aspek dari suatu permasalahan agar mampu memecahkannya. Contohnya, anak tidak akan
lagi menganggap kelas A lebih lebar dari kelas B. Ia sudah bisa mengatakan bahwa gelas
A dapat lebih banyak menampung air daripada gelas B. Sebab, gelas A lebih lebar dan
tinggi disbanding gelas B.
d) Reversibility : reversibility ialah kemampuan anak untuk memahami bahwa suatu jumlah
atau benda dapat diubah sekaligus dapat dikembangkan pada keadaan semula. Contohnya,
tanah lempung berbentuk bulat dapat diubah menjadi bentuk kubus, tetapi bisa
dikembalikan ke bentuk bola seperti semula. Atau, anak mengetahui bilangan 4 jika
ditambah 4 sama dengan 8. Untuk mengembalikan ke jumlah sebelumnya, ia akan
mengurangi angka 8 dengan 4.
e) Konservasi : konservasi adalah kemampuan mamahami bahwa kuantitas, panjang, atau
jumlah benda-benda tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan. Sebagai contoh,
anak diberi dua gelas seukuran dan berisi air sama banyak. Bila air digelas pertama
dituang ke dalam ember, ia akan tahu bahwa air di dalam ember sama banyaknya dengan
air pada gelas kedua.
f) Penghilangan sifat egosentrisme adalah kemampuan untuk melihat suatu dari sudut
pandang orang lain, bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah.
Contohnya, Lala menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan kamar.
Kemudian, Baim masuk ke kamar Lala dan memindahkan boneka itu ke dalam laci.
Beberapa menit kemudian, Lala kembali ke kamarnya. Edi sebagai anak dalam tahap
operasional konkret akan mengatakan bahwa Lala akan menganggap boneka itu ada di
dalam kotak. Padahal, Edi mengetahui bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci
oleh Baim.

b. Teori perkembangan sosial-emosional Bronfenbrenner


Teori ekologi dikembangkan oleh Urie Bronfenbrenner (1917) yang fokus utamanya adalah
pada konteks sosial di mana anak tinggal dan orang-orang yang mempengaruhi perkembangan
anak. Teori ekologi Bronfenbrenner terdiri dari lima sistem lingkungan yang merentang dari
interaksi interpersonal sampai ke pengaruh kultur yang lebih luas. Bronfenbrenner menyebut
sistem tersebut sebagai berikut:
1) Mikrosistem adalah setting. Dimana individu mengahabiskan banyak waktu. Beberapa
konteks dalam sistem ini antara lain keluarga, teman sebaya, sekolah, dan tetangga. Dalam
konteks mikrosistem ini, individu berinteraksi langsung dengan orang tua, guru, teman seusia,
dan orang lain. Menurut Bonfenbrenner peserta didik bukan penerima pengalaman secara
pasif didalam setting ini, tetapi peserta didik adalah orang yang berinteraksi secara timbal
balik dengan orang lain, dan membantu menkontruksi setting tersebut.
2) Mesosistem adalah kaitan antara mikrosistem. Contohnya hubungan antara pengalaman
dalam keluarga dengan pengalaman disekolah dan antara keluarga dan teman sebaya.
3) Ekosistem terjadi ketika pengalaman di setting lain (dimana peserta didik aktif)
mempengaruhi pengalaman peserta didik dan guru dalam konteks mereka sendiri.. ekosistem
terdiri dari sub sistem tempat kerja orang tua, teman saudara, saudara di luar rumah, dan
peraturan sekolahh. Pada sistem ini anak tidak mengalami interaksi ecara langsung,
contohnya dengan koran dan telivisi, namun, dampak yang ditimbulkan dari sistem tersebut
memberikan pengaruh pada perkembangan karakter anak. Misalnya, ketika ayah sedang ada
masalah di tempat kerja, maka akan dilampiaskan pada anak di rumah.
4) Makrosistem adalah kultur yang lebih luas. Kultur adalah istilah luas yang mencakup peran
etnis dan faktor sosioekonomi dalam perkembangan anak. Kultur adalah konteks terluas
dimana peserta didik dan guru tinggal, termasuk nilai dan adat istiadat masyarakat. Salah satu
aspek dari status sosioekonomi peserta didik adalah faktor perkembangan dalam kemiskinan.
Kemiskinan dapat mempengaruhi perkembangan karakter anak dan merusak kemampuan
mereka untuk belajar. Anal-anak yang dilahirkan dari kelaurga miskin atau tidak mampu
akan mengalami perkembangan yang berbeda daripada anak yang tumbuh dari keluarga
kaya, meskipun beberapa anak di lingkungan yang miskin sangat ulet.
5) Kronosistem adalah kondisi sosiohistoris dari perkembangan anak. Kronosistem yaitu
perubahan yang merupakan kelanjutan lingkungan anak. Dimana dalamsistem ini mencakup
keseluruhan sistem dari waktu ke waktu sehingga dapat mempengaruhi perkembangan
karakter anak (Purnama, 2016:131). Misalnya, oerkembangan zaman yang diiringi dengan
perkembangan teknologi seperti gadget, akan menjadikan anak menggunakan gadget sebagai
alat untuk memenuhi kebutuhan dari pendidikan maupun hiburan. Sistem ini juga dapat
memberikan dampak pada anakkarena suatu peristiwa secara fisiologis pada individu seperti
kematian.
Teori ekologi perkembangan Bronfenbrenner memandang bahwa perkembangan karakter
anak diperoleh dari interaksi antara individu anak dengan lingkungannya. Jika lingkungannya
baik, maka anak tersebut akan berpotensi untuk memiliki karakter yang baik, dan jika
lingkungannya buruk, maka anak akan berpotensi untuk memiliki karakter buruk. Teori ekologi
perkembangan mengkaji tentang hubungan timbal balik atau interaksi antara anak dengan
lingkungannya. Ekologi merupakan satu kajian ilmiah yang bertujuan untuk memahami interaksi
yang dinamis antara individu dan berbagai aspek lingkungannya. Implikasi teori ekologi
perkembangan dapat dilakukan melalui pendidikan karakter. Pendidikan karakter dimaknai
sebagai pendidikan moral, akhlak, dan budi pekerti anak yang dilakukan agar anak memiliki
karakter positif. Adapun tujuan dasar pendidikan karakter adalah sebagai gambaran pembentukan
karakter anak agar dapat berperilaku baik sesuai norma dan aturan yang berlaku. Jadi dapat
disimpulkan bahwa pendidikan karakter sangat penting bagi perkembangan anak.

c. Teori Perkembangan Sosial-Emosional Erikson


Berdasarkan teori perkembangan Erikson , manusia berpotensi mengalami perkembangan
psikologi yang sehat dan mampu mengatasi kesulitan mengikuti masa dan pringkat
perkembangan tertentu. Terdapat delapan peringkat perkembangan emosi manusia yang dikaji
oleh Erikson. Setiap peringkat akan timbul tingkah laku positif dan negative yang membawa
masalah penyelesaian psikologikal karena konflik emosinya. Prinsip-prinsip teori Erikson : (1)
Manusia mempunyai keperluasan asas yang sama. (2) Perkembangan individu bergantung kepada
tindak balas terhadap keperluan-keperluan asas. (3) perkembangan manusia mengikuti tahap-
tahap yang tertentu. (4) Setiap tahap mempunyai konflik dan konflik ini mesti diatasi sebelum
individu dapat berfungsi dengan jayanya pada tahap yang berikutnya. (5) Kegagalan mengatasi
konflik pada suatu tahap akan menjelaskan perkembangan tahap yang berikutnya.

Tahapan perkembangan psikososial berdasarkan teori Erikson


Erikson mengembangkan teori psikososial berdasarkan hasil penelitiannya, terkait
perkembangan jiwa dan sosial pada anak, serta pengaruhnya saat beranjak dewasa. Ada 8 tahapan
psikososial menurut Erikson yaitu:
1) Membangun Kepercayaan (Trust vs Mistrust) (0-18 bulan)
Sejak bayi hingga 18 bulan merupakan tahap awal perkembangagn kepribadian anak. Bayi
belajar untuk mempercayai orang lain, terutama orang yang mengasuhnya. Jika bayi
merasa diperhatikan dengan baik, maka ia mengembangkan rasa percaya pada orang lain
dan merasa aman. Sebaliknya, saat bayi merasa diabaikan ia mungkin meraa sulit untuk
mempercayai orang lain, curiga, hingga cemas. Situai ini dapat menyebabkan
perkembangan rasa takut di masa mendatang.
2) Membangun otonomi ( Autonomy vs Shame and Doubt) (18 bulan-3 thn)
Pada tahap kedua, bayi sudah tumbuh menjadi anak-anak dengan kemapuan pengendalian
diri yang lebih besar. Anak-anak menjadi mandiri. Fase otonomi vs rasa malu dan ragu ini
cukup krusial. Hasil akhir dari proses ini terkait keinginan atau kemauan. Jika berhasil,
anak akan memiliki kendali atas dirinya. Jika gagal, anak akan merasa malu dan penuh
keraguan.
3) Berinisiatif vs rasa bersalah (Initiative vs Guilt) Pra sekolah (3-5 tahun)
Anak mulai mencoba mengembangkan inisiatif. Mereka cenderung banyak bertanya dan
mencoba hal-hal baru di sekitar mereka. Jika ras ingin tahu ini dipupuk, anak bisa
mengembangkan kepercayaan diri untuk mengambil inisiatif. Sebaliknya, apabila anak
sering anda larang atau kritik sehingga rasa ingin tahunya tak terpenuhi, maka anak akan
tumbuh dengan perasaan takut, ragu, dan tidak memiliki rasa percaya diri untuk
mengambil keputusan.
4) Meras Mampu pada Usian Sekolah (Industry vs Inferiority) (6-11 thn)
Melalui interaksi sosial, anak mulai merasa bangga saat sukses melakukan sesuatu. Pada
usia sekolah, mereka harus menghadapi tantangan sosial dan akademik. Dalam fase
industry vs Inferiority, mereka yang berhasil melewatinya akan merasa kompeten dan
akhirnya membentuk kepercayaan diri. Sementara yang gagal, tumbuh dengan
kepercayaan diri yang rendah dan kurang bisa menghargai diri sendiri.
5) Tahap Membangun Identitas (Identity vs Confusion) (12-18 Tahun)
Konflik identitas dan kebingungan peran terjadi pada usia remaja. Ini akan mempengaruhi
kehidupannya di masa depan. Seorang remaja mungkin akan mencoba peran yang berbeda
untuk menemukan yang paling cocok. Jika berhasil, ia akan mampu mempertahankan
identitasnya secara konsisten. Bagaiman jika gagal? Seorang remaja bisa mengalami krisis
identitas dan bingung akan masa depan yang ia inginkan. Selain itu, kegagalan bisa
menimbulkan keraguan tentang kemampuan sendiri.
6) Tahap Menjalin Kedekatan (Intimacy vs Isolation) (19-40 tahun)
Pada tahap psikososial ini manusia berfokus pada pengembangan hubungan dekat dan
penuh kasih dengan orang lain. anda akan mulai mengenal pacaran, pernikahan,
membangun keluarga, dan persahabatan. Ketika hubungan cinta dan menikmati keintiman
(hubungan yang sangat dekat). Sementara yang gagal akan merasa terisolasi.
7) Tahap Dewasa (Generativity vs Stagnation) (40-65 Tahun)

Ditahap dewasa, anda akan berfokus pada kontribusi kepada masyarakat dan generasi
berikutnya, termasuk mebesarkan anak. Anda yang berhasil akan merasa berguna karena
bisa berkontribusi pada masa depan masyarakat. Sementara jika gagal, anda akan merasa
tidak berkontribusi apa-apa untuk dunia. Akhirnya, anda menjadi stagnan dan merasa tidak
prosuktif.
8) Tahap Kematangan (Integrity vs Despair) (65 tahun hingga meninggal)
Pada tahap ini, anda akan merefleksikan apa yang telah dilakukan saat menjalani masa
muda. Jika puas dengan pencapaian anda, maka anda akan merasa cukup. Akan tetapi, saat
tidak puas, anda akan merasa menyesal dan putus asa. Hasil akhir dari tahap psikososial
ini adalah kebijaksanaan.

Dalam usia anak kelas III maka tahapan perkembangan anak berada pada tahap Merasa
Mampu . Pada fase ini, pihak yang paling berperan adalah sekolah dan tetangga. Krisis utama
yang dialami adalah rasa percaya diri atau rendah diri di dalam kelompok-kelompok sebaya.
Mereka sangat aktif melakukan kegiatan fisik seperti olah raga, game, dan lain- lain.

3. Kemudian, buatlah daftar karakteristik terkait anak pengalaman masa kecil Anda
sendiri. Karakteristik Pengalaman Saya saat Umur 6-11 Tahun di fase SD :
a. Berdasarkan dari pengalaman saya pada tahap operasional konkret saya sudah dapat
b. Memahami materi belajar, sudah mampu berpikir logis, memahami konsep percakapan,
dan mampu mengingat, memahami dan memecahkan masalah yg bersifat konkret.
c. Egosentris terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Artinya pada masa ini masih
berpusat kepada diri sendiri dan hal-hal yang berhubungan dengan lingkungan seperti
keluarga, rumah, dan taman kanakkanaknya.
d. Senang bermain.
e. Kreatif.
f. Mampu bercakap dengan baik.
g. Punya rasa ingin tahu yang lebih tinggi.
.
4. Jika sudah, bandingkanlah kedua daftar yang telah anda buat.
a. Jelaskan dengan cara apa anak bisa mengembangkan fungsi kognitifnya serta
sosio- emosionalnya ?
1. Mengembangkan fungsi kognitif anak
Teori Belajar Piaget di Tahap Opersional Konkret dimulai dari sekitar umur tujuh tahun
sampai sekitar sebelas tahun. Pemikiran operasional konkret mencakup pengguna operasi.
Penalaran logika menggantikan penalaran intuitif, tetapi hanya dalam situasi konkret.
Kemampuan untuk menggolong-golongkan sudah ada. Tetapi belum bisa memecahkan
problem-problem abstrak. Anak bisa mengembangkan fungsi kognitifnya dengan cara :
a) Guru memberikan dorongan kepada siswa untuk menemukan konsep dan prinsip.
Guru memberikan pertanyaan yang berhubungan atau relevan tentang apa yang
sedang dipelajari atau dibahas untuk membantu siswa dalam memahami beberapa
aspek dari pembelajaran yang mereka ikuti. Jangan memberi tahu jawaban
pertanyaan secara langsung kepada siswa. Biarkan mereka mencari jawaban sendiri
dengan pemikiran mereka sendiri. Dengan demikian fungsi kognitif anak akan terbangun
dengan sendirinya
b) Guru menghadapkan siswa dengan tugas-tugas operasional dalam proses pembelajaran
dikelas. Pada masa ini anak sudah mendapatkan tugas berupa penjumlahan,
pengurangan, pembagian, pengurutan dan pembalikan. Sebaiknya menggunakan benda
benda kongkrit untuk tugas ini karena anak belum sepenuhnya bisa berpikir dengan
abstrak pada fase ini, Apabila sudah memungkinkan guru menggunakan simbol
matematika dalam pembelajaran di kelas tetapi tetap mengginakan objek konkrit.
c) Pada tahap operasinal konkrit guru juga bisa merencanakan aktivitas yang membuat
siswa akan terus berlatih mengenai konsep mengurutkan suatu objek secara menaik
atau menurun. Misalnya guru memberitahu siswa untuk mengurutkan bilangan dari
terkeci sampai paling besar begitu pula sebaliknya. Guru juga dapat mengajak
siswa untuk mengurutkan benda mulai dari benda paling besar atau benda paling
kecil. Hal ini akan mempengaruhi perkembangan kognitif anak.
d) Dengan memberikan materi yang bisa digunakan agar mampu merangsang siswa untuk
mengajukan pertanyaan yang bagus untuk didiskusikan di kelas ini akan membuat
siswa terkejut dan mendorong mereka untuk berfikir lagi.
e) Guru juga memberikan siswa melakukan eksperimen dalam pelajaran sains atau
ilmu alam. Guru dapat menggunakan materi kongkrit untuk pelajaran matematika,
membuat dan membacakan suatu karya dalam pelajaran sastra dan ajar mereka
berdiskusi tentang perspektif mereka, serta lakukan perjalanan untuk pelajaran ilmu
sosial dari siswa.
2. Cara anak bisa mengembangkan fungsi sosio-emosionalnya
Perkembangan sosio emosional adalah kemampuan peserta didik untuk berinteraksi
dengan lingkungan dan bagaimana peserta didik menyikapi hal yang terjadi di
sekitarnya. Berikut cara anak mengembangkan fungsi sosio-emosional:

a) Pada fase ini anak sudah bisa mengatasi konflik dan bernegosiasi dengan
lingkungan disekitarnya
b) Anak akan lebih terlihat aktif di dalam kegiatan dengan teman ketimbang keluarga.
c) Memahami bahwa hubungan pertemanan bukan sekadar tentang persamaan minat.
d) Mulai tertarik pada teman lawan jenis atau pura-pura tertarik pada teman lawan
jenis agar diterima oleh teman sebaya f) Lebih bisa mengendalikan emosi, tapi masih
sering mengalami mood swing dan rasa tidak percaya diri.
b. Penyesuaian yang seperti apa yang Anda butuhkan agar anak bisa
berinteraksi secara efektif bersama Anda?
Penyesuaian yang diperlukan agar dapat berinteraksi secara efektif dengan anak, yaitu
sebagai berikut:
1. Membentuk komunikasi yang harmonis antara siswa dengan guru, guru diharapkan
mampu menyesuaikan diri dengan peserta didik, sehingga peserta didik merasa aman,
nyaman dan lebih terbuka dengan guru. Dengan demikian komunikasi yang tercipta
akan lebih baik dan bermakna. Siswa mampu mengekspresikan keluh kesahnya dan
hambatan yang mereka rasakan, sehingga dengan komunikasi yang baik dapat
membantu memberikan solusi yang terbaik.
2. Menyesuaikan kondisi sosial peserta didik dengan lingkungannya, penyesuaian
lingkungan peserta didik dengan perkembangan sosialnya perlu diperhatikan agar
siswa mampu berinteraksi dan berkomunikasi sesuai dengan perkembangan sosialnya
saat ini. Misalnya mengajarkan siswa kelas I untuk berani berkomunikasi di depan kelas,
guru harus menyesuaikan kondisi perkembangan siswa. Mungkin diawali dengan latihan
memimpin doa, dan membiasakan siswa agar terbiasa untuk berkomunikasi di depan
kelas

Anda mungkin juga menyukai