Anda di halaman 1dari 22

RANGKUMAN MODUL 2 & 3

Kode & nama mata kuliah


PDGK4403 PENDIDIKAN ANAK DI SD

Nama mahasiswa :

Siti marwah (857156027)


Hesti Apriliani (859505612)
Fauzan Rifa'i (857169704)

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan


Universitas Terbuka
2022.2
Modul 2
Perkembangan Kognitif Anak
Usia Sekolah Dasar

Sesuai dengan lingkup profesi anda sebagai guru, tidak menutup kemungkinan anda
menjumpai siswa-siswa yang memiliki kecerdasan ekstrem. Oleh karena itu, dalam modul 2
ini juga akan diutarakan mengenai ciri-ciri siswa dengan kecerdasan ekstrem. Melalui
bahasan ini, diharapkan anda dapat memberikan pembelajaran yang sesuai untuk siswa-siswa
ini. Berdasarkan bahasan-bahasan tersebut, maka modul 2 ini akan berisi perkembangan
kogniktif, bakat, kreativitas serta kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional anak di
SD.
Mengingat modul ini akan terdiri dari beberapa pokok bahasan, maka setelah
mempelajari materi dalam modul ini, anda diharapkan dapat menjelaskan :
1. kemampuan kognitif anak usia SD
2. pengertian bakat dan bakat sebagai potensi yang dapat dikembangkan
3. kreativitas dan bagaimana hubungan kreativitas dengan kecerdasan
4. pengertian kecerdasan intelektual dan emosional
5. ciri-ciri siswa dengan kecerdasan ekstrem.
Untuk mempermudah anda dalam mencerna materi modul ini, maka pembahasan
modul ini akan di bagi menjadi 3 kegiatan belajar, yaitu :
Kegiatan Belajar 1 : Kemampuan Kognitif Anak Usia SD
Kegiatan Belajar 2 : Bakat dan Kreativitas Anak Usia SD
Kegiatan Belajar 3 : Peran Kecerdasan Intelektual dan Kecerdasan Emosional pada Anak
Usia SD

Kegiatan Belajar 1

Kemampuan Kognitif Anak Usia SD


Contoh :
Bagas (6 tahun) pergi kepasar bersama ibunya dan ia asyik memperhatikan ikan patin yang
berenang kian kemari di akuarium penjual ikan
Bagas : bu, nanti kalau kepasar lagi aku diajak ya
Ibu : ya. Kenapa? Kamu suka ya, ikut kepasar?
Bagas : ya.. asyik bisa lihat ikan.. kalau ikan yang besar, yang tadi ada di akuarium, ikan apa
namanya?
Ibu : o.. yang di akuarium yang kamu lihat tadi namanya ikan patin
Bagas : ya.. ikan patin
Ibu : coba diingat ada berapa ikan patinnya ?
Bagas : 13
Ibu : 13? Kan ikannya Cuma 2?
Bagas : tidak.. bu, 13.. karena tadi aku lihat ikan-ikannya berenang bolak-balik

Dari contoh tersebut dapat dilihat bagaimana proses berfikir anak atas suatu kejadian
yang dilihatnya. Keadaan ini menggambarkan bagaimana kemampuan kognisinya. Kognisi
berkaitan dengan semua aktivitas mental yang dicapai seseorang tercakup di dalam persepsi,
kategorisasi, pemahaman, penalaran logis, pemecah masalah, imajinasi bahkan daya ingat.

A. PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK SD


Berawal dari latar belakangnya sebagai ahli biologi, Jean Piaget dengan teorinya
mengenai perkembangan kognitif manusia banyak dipengaruhi dari hasil pengamatannya di
bidang biologi. Pengamatannya pada moluska (kerang bercangkang) yang mengalami
perubahan sesuai keadaan lingkungannya, membuat Piaget menyimpulkan bahwa seluruh
makhluk hidup akan beradaptasi sesuai dengan perubahan lingkungannya. Manusia sebagai
makhluk hidup yang paling tinggi juga demikian adanya. Jiwa dan raga tidak bergerak secara
independen,tetapi juga bergantung pada lingkungannya. Dengan demikian kegiatan mental
juga mengarah pada proses mengatur dan beradaptasi pada lingkungan (Wadsworth, 1996).
Dalam teori Piaget, skema dikenal sebagai suatu struktur kognitif dan mental dimana
secara intelektual individu beradaptasi dan mengatur lingkungannya. Dengan demikian
skema secara intelektual individu beradaptasi dan mengatur lingkungannya. Dengan
demikian skema berkaitan dengan abstraksi dari aktivitas manusia yang akan berubah sesuai
dengan berjalannya usia (Wadsworth, 1996).
Pada awalnya skema bersifat sensori motor. Perhatikan anak bayi sebagaimana
gambar dibawah ini. Semua aktivitas bayi belum menunjukan adanya aktivitas berfikir intern.
Semua reaksi anak dipandang sebagai hal yang diterima secara sensoris dan reaksi motorik
saja.
Hal ini berbeda jika anak sudah menginjak usia 2 tahun. Skema kognitif atau operasional
sudah mulai tampak. Keadaan ini menunjukan struktur dasar proses berfikirnya.
Setiap makhluk hidup dilahirkan dengan adanya dua kecenderungan fundamental
yaitu kecenderungan untuk adaptasi dan organisasi. Adaptasi menunjukan kecenderungan
setiap organisme untuk menyesuaikan diri sendiri dengan lingkungannya. Organisasi
menujukan pada proses internal sebagai kontak langsung dengan lingkungan. Adaptasi
melibatkan adanya pembentukan skema melalui interaksi langsung dengan lingkungannya.
Dalam adaptasi ini ada dua proses yang saling melengkapi yaitu asimilasi dan akomodasi.
Selama asimilasi, anak menggunakan skema yang ada untuk meninterpretasikan yang ada di
lingkungannya. (Wadsworth. 1996 : Santrock, 2002).
Di sisi lain akomodasi adalah kecenderungan organisme untuk menciptakan skema
baru atau menyesuaikan skema lama setelah menyadari akan adanya tidak kesesuaian dengan
lingkungannya.
Proses asimilasi dan akomodasi yang komplementer menyebabkan seseorang selalu
berusaha mencapai keadaan yang seimbang. Selama anak tidak mengubah skemanya maka
lebih menunjukan asimilasi daripada akomodasi. Pada saat itu anak berada dalam situasi
ekuilibrium, yang menunjukan adanya kesesuaian atau kondisi yang seimbang. Jika anak
menyadari bahwa ada ketidakcocokan dari apa yang ada dalam skemanya, maka ia berada
dalam situasi yang tidak seimbang (disekuilibrium), sehingga ia harus memodifikasi atau
mengubah skemanya. Di sinilah terjadinya akomodasi (Berk, 2005).
1. Tahap Sensori Motor (Lahir – 2 Tahun)
Pada awal dari tahap sesorimotor, gerak anak banyak didominasi oleh gerak atau pola
refleks. Pada akhir tahap ini, yaitu di usia 2 tahun, pola sensorimotor anak sudah lebih rumit
dan memungkinkan anak mulai menggunakan simbol. Tahap sensorimotor terbagi atas enam
subtahapan yang setiap tahapannya menunjukan adanya perubaha kualitatif dalam organisasi
sensorimotor.
1. Subtahapan refleks sederhana, menunjukan bahwa skema yang ada berupa refleks, bayi
yang baru lahir hingga usia 1 bulan akan menghisap botol susu jika botol berada di mulutnya.
2. Subtahapan primary circular reactions, antara usia 1-4 bulan, dimana skema didasari pada
kesempatan anak untuk menghasilkan kembali suatu keadaan yang menyenangkan, anak bisa
saja akan menghisap jari tangannya jika jarunya berada didekat mulutnya.
3. Subtahapan second circular reactions usia 4-8 bulan, anak menjadi lebih berorientasi pada
objek atau fokus pada sekitarnya. Anak meniru beberapa reaksi sederhana seperti
menggerakan mainan, baby talk seperti (mmm.. mama).
4. Subtahapan coordination of secondary circular reactions usia 8-12 bulan, menunjukan
bahwa pada subtahapan ini terjadi beberapa perubahan yang melibatkan koordinasi skema.
5. Subtahapan tertiary circular reactions, novelty & curiosity yang berlangsung pada saat
anak berusia 12-18 bulan, anak menjadi tergugah karena adanya objek. Teriary circular
reactions merupakan skema dimana anak dapat mencari berbagai kemungkinan dari suatu
objek sperti dapat diputar, dijatuhkan, dilempar dan lain-lain.
6. subtahapan akhir dari tahapan sensori motor ini adalah internalisasi dari skema fungsi
mental anak berubah menjadi simbolis dan anak mengembangkan kemampuan untuk
menggunakan simbol primitif.

2. Tahap Praoperasional (2-7 Tahun)


Perkembangan kognitif di usia ini ditandai dengan perkembangan bahasa yang
sistematis. Anak sudah mampu menirukan perilaku yang dilihatnya maupun yang pernah
dilihatnya (imitasi). Tidak seperti tahapan sebelumnya, pada tahap ini anak tidak begitu saja
bereaksi terhadap stimulus yang ada. Tahap ini terdiri dari 2 subtahapan yaitu fungsi simbolik
dan pemikiran intuitif.
Pada subtahapan fungsi simbolik (2-4 Tahun), anak mencapai kemampuan untuk
merepresentasikan secara mental objek yang sesungguhnya tidak ada. Coretan anak di kertas
menujukan bahwa itu gambar orang, mobil , awan dan lain-lain. Contoh simbolik di usia ini
adalah bahasa.
Pada subtahapan pemikiran intuitif (4-7 Tahun), anak menggunakan penalaran primitifnya
dan ingin mengetahui jawaban dari semua pertanyaan.

3. Tahap Operasional Konkret (7 – 11 Tahun)


Pada tahap ini anak sudah tidak berfikir egosentris lagi, anak sudah bisa
memperhatikan lebih dari satu dimensi. Anak juga sudah mampu memperhatikan aspek
dinamis dari suatu perubahan situasi. Anak juga sudah mampu mengerti operasi logis dari
pembalikan.

4. Tahap Formal Operasional (>11 Tahun)


Pemikiran pada tahap ini lebih abstrak. Di usia ini anak sudah memasuki remaja awal,
anak sudah tidak lagi membatasi diri pada hal-hal yang aktual, pengalaman konkret. Anak
sudah dapat membuat kesimpulan logis seperti dari persoalan jika A = B dan B = C maka
A=C. berfikir formal operasional mempunyai dua sifat penting, yaitu :
1. Deduktif – hipotesis : dalam menyelesaikan masalah, anak akan berfikir dulu secara
teoritis, kemudia menganalisis masalahnya melalui penyelesaian hipotesis yang ada.
2. Berfikir kombinatoris : berkaitan dengan pemikiran deduktif hipotesisnya, anak yang
berfikir formal operasional, terlebih dahulu akan membuat berbagai kombinasi atau alternatif
yang memungkinkan penyelesaian masalahnya.
Kegiatan Belajar 2

Bakat dan Kreatifitas Anak Usia SD

A. PENGERTIAN BAKAT
Seorang anak, seperti GITA GUTAWA yang mempunyai bakat dalam bernyanyi,
akan lebih mudah menguasai pelajaran seni suara dan seni musik. Namun demikian, seorang
GITA GUTAWA yang pandai menyanyi kalau bakat menyanyinya tidak diransang oleh
latihan, melalui latihan yang intensif dan dengan bimbingan ayahnya seorang musisi, serta
mengikuti kursus seni suara, memungkinkan GITA GUTAWA memiliki kualitas yang baik.
Tampak ilustrasi tersebut sesuai dengan apa yang pernah anda baca dalam kapita
selekta pendidikan Sd bahwa bakat merupakan kemampuan untuk melakukan sesuatu tugas
tanpa banyak bergantung kepada latihan. Hal ini dikemukakan oleh Utami Munandar (1987)
bahwa bakat dapat diartikan sebagai kemampuan bawaan, sebagai potensi yang masih perlu
dikembangkan dan dilatih agar dapat terwujud. Pendapat ini juga sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Sarwono (1986) bahwa bakat adalah kondisi didalam diri seseorang yang
memungkinkannya denngan suatu latihan khusus mencapai kecakapan, pengetahuan dan
keterampilan khusus. Maka dapat disimpulkan bahwa bakat merupakan potensi yang ada
dalam diri seseorang, yang perlu di latih dan dikembangkan karena tanpa latihan dan
pengembangan maka bakat yang ada dalam diri seseorang tidak akan terwujud.

1. BAKAT SEBAGAI POTENSI YANG DAPAT DIKEMBANGKAN


Dalam masa pertumbuhannya, terwujud atau tidaknya bakat anak mungkin hal ini
disebabkan karena lingkungannya, seperti peran orang tua, guru atau sekolah dan pergaulan.
Lingkungan mendukung dirasakan tidak masalah, namun jika lingkungan tidak mendukung
akan membuat potensi atau bakat yang ada tidak berkembang. Lingkungan dimana orang tua
tidak mengenal bakat anaknya, atau orang tua tahu bakat anaknya dan memiliki sarana untuk
mengembangkan, namun mengabaikannya akan membuat bakat anak menjadi terpendam.
Banyak orang tua justru lebih mengutamakan prestasi di pelajaran sekolah. Oleh karena itu,
tidaklah mengherankan jika hal-hal yang berkaitan dengan segi atau bakat intelektual lebih
mendapat kesempatan untuk dikembangkan.
Di lain pihak teman-teman sebaya atau sepermainan juga dapat memberi pengaruh
terhadap terwujud atau tidaknya bakat seorang anak.
Terwujud atau tidaknya bakat seseorang ditentukan oleh beberapa faktor. Utami Mundar
(1987) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang dapat menentukan sejauh mana bakat
anak dapat terwujud. Faktor-faktor tersebut adalah faktor dalam diri anak dan faktor
lingkungan anak.
1. Faktor dalam Diri Anak
Faktor ini banyak berkaitan dengan keadaan fisik dan psikis anak. Anak yang secara
fisik sehat, indera pendengaran dan alat percakapan sempurna, serta sering mengikuti latihan
vokal maka bakatnya di bidang menyanyi atau musik akan berkembang.
Seorang anak yang memiliki keterbatasan fisik (misal : tunanetra) dan mengikuti
kompetisi MAMA MIA dapat mewujudkan bakat musiknya. Hal ini karena minat juga
didukung oleh motivasi dirinya.
2. Faktor Keadaan Lingkungan Anak
Perwujudan bakat akan maksimal jika didukung oleh faktor luar diri anak, misalnya
dukungan keluarga, seberapa jauh anak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan
bakatnya, sarana dan prasarana yang tersedia, keadaan sosial ekonomi orang tua maupun
tempat tinggalnya.
Dari bahasan dua faktor tersebut jelaslah bagaimana peran orangtua dan guru di sekolah
untuk turut mendorong dan mendukung bakat anak terhadap sesuatu hal. Tampaknya pihak
lingkungan perlu menyadari bahwa pada masa sekarang segi intelektual bukanlah satu-
satunya kemampuan yang penting dan harus dimiliki oleh anak.
Berkaitan dengan bakat, sejak beberapa dekade ini banyak ahli mulai memikirkan pentingnya
kreativitas dalam diri seseorang.

C. PENGERTIAN KREATIVITAS
Sebenarnya ada banyak definisi mengenai kreatifitas, namun tidak ada satu definisi
pun yang dapat diterima secara universal. Hal ini karena begitu kompleksnya konsep
kreativitas dan penekanannya pun berbeda-beda (Utami Munandar, 1999). Dalam bukunya
mengenai mengembangkan bakat dan kreativitas anak sekolah, Utami Munandar (1987)
memberikan beberapa pengertian kreativitas berdasarkan pendapat para ahli, salah satunya
yang juga merupakan pengertian dasar dari kreativitas adalah kreativias merupakan
kemampuan untuk membuat kombinasi baru, berdasarkan data, informasi dan unsur-unsur
yang ada.
Apa yang diciptakan dapat diperoleh dari pengetahuan datau pengalaman hidup
anaknya, khususnya yang diperoleh di sekolah maupun lingkungan keluarganya. Dengan
demikian, semakin memungkinkan baginya untuk menciptakan ide-ide yang kreatif. Sejauh
mana seseorang dikatakan kreatif, ditunjukan melalui kemampuan untuk membuat kombinasi
baru.
Belahan otak kiri banyak berkaitan dengan verbal, matematis, analisis, rasional serta hal-hal
yang menekankan pada keteraturan. Sedangkan belahan otak kanan yang mengontrol bagian
kiri tubuh manusia, terutama mengkhususkan pada hal-hal yang bersifat nonverbal dan
holistik, inutif, imajinatif. Agar kreativitas seseorang dapat lebih terwujud maka belahan otak
kanan perlu diasah (Rosemini, 2000)
Pengertian dasar lain dari kreativitas, yang juga merupakan kesimpulan Utami Munandar
(1987), menyebutkan bahwa secara operasional kreativitas adalah kemampuan yang
mencerminkan kelancaran, keluwesan, dan orisinalitas dalam berfikir, serta kemampuan
untuk mengelaborasi (memperkaya, mengembangkan dan merinci ) suatu gagasan.
Dalam kreativitas juga dijumpai adanya 4P. menurut konsep atau pendekatan 4 P,
kreativitas merupakan suatu pendekatan yang melihat kreativitas dari segi pribadi, pendorong
(press), proses, dan produk kreativitas.
Sebagai pribadi menunjukan bahwa kreativitas dimiliki setiap orang, namun dalam kadar
yang berbeda-beda.
Sebagai pendorong (press) diartikan bahwa lingkungan memiliki andil dalam memberikan
rangsangan agar kreativitas dapat terwujud.
Proses adalah suatu yang diperlukan, untuk melihat bagaimana suatu hasil kreatif dapat
dicapai.
Produk menunjukan bahwa setiap hasil kreatif seseorang diharapkan dapat dinikmati oleh
lingkungan dan yang terpenting bahwa hasil kreatif seseorang juga harus bermakna bagi yang
bersangkutan (Utami Munandar, 1999 dan Rosemini, 2000).

D. HUBUNGAN KREATIVITAS DENGAN KECERDASAN


Masalah yang selalu menarik bagi kebanyakan ahli adalah hubungan kreativitas
dengan inteligensia atau kecerdasan. Teori ambang inteligensia untuk kreativitas dari
Anderson (dalam Utami Munandar. 1999) memaparkan bahwa sampai tingkat inteligensia
tertentu, yang diperkirakan seputar IG 120, ada hubungan yang erat antara inteligensia
tertentu dan kreativitas.
Dari penelitian Utami Munandar (dalam Utami Munandar, 1999) menunjukan bahwa
hasil studi korelasi dan analisis faktor membuktikan tes kreativitas sebagai dimensi atau
fungsi kognitif yang realtif bersatu, yang dapat dibedakan dari tes kreativitas sebagai dimensi
fungsi kognitif yang realatif bersatu, yang dapat dibedakan dari tes inteligensia. Di sisi lain
berfikir divergen (kreativitas) juga menujukan hubungan yang bermakna dengan berfikir
konvergen (inteligensia). Dengan demkian, kita dapat mengacu pada pendapat Hurlock
(1987) bahwa kreativitas tidak dapat berfungsi dalam keadaan vakum karena berasal dari apa
yang telah diperoleh selama ini, dan hal ini juga tergantung pada kemampuan intelektual
seseorang.

E. BELAJAR DAN BERFIKIR KREATIF


Seperti telah dikemukakan bahwa kelancaran, kelenturan , orisinalitas elaborasi atau
perincian, merupakan ciri-ciri dari kreativitas yang berhubungan dengan kemampuan berfikir
kreatif seseorang. Semakin kreatif maka seseorang semakin memiliki ciri-ciri tersebut. Ciri
ini meliputi dorongan atau motivasi dari dalam untuk berbuat sesuatu serta pengabdian atau
pengikatan diri terhadap tugas (Utami Munandar. 1987).
Dalam belajar kreatif anak terlibat secara aktif dan ingin mendalami apa yang
dipelajari. Belajar kreatif tidak hanya berkaitan dengan perkembangan kognitif (penalaran),
tetapi juga berkaitan dengan penghayatan pengalaman belajar yang mengasyikan.
Telah dibahas sebelumnya bahawa dalam penelitian Utami Munandar menujukan
adanya hubungan yang bermakna antara kemampuan berfikir divergen dengan kemampuan
konvergen.
Dalam proses belajar kreatif digunakan proses berfikir divergen (proses berfikir ke berbagai
macam arah dan menghasilkan banyak alternatif jawaban) maupun proses berfikir konvergen
(proses berfikir mencari jawaban tunggal yang paling tepat).
Berikut ini beberapa cara yang dikemukakan oleh Utami Munandar (1987)

1. Menciptakan Lingkungan di dalam Kelas yang Merangsang Belajar Kreatif


Untuk menciptakan suasana belajar kreatif, diperlukan persiapan, seperti menyiapkan
lingkungan kelas yang dapat merangsang anak untuk belajar secara kreatif.
Feldhusen dan Trefinger (dalam Utami Munandar, 1987) memberikan saran-saran agar
tercipta suatu lingkungan kreatif :
a. Memberikan Pemanasan
pada umumnya dalam suatu proses belajar mengajar, guru lebih aktif bertanya namun
jarang mengajak siswa untuk mengajukan pertanyaan. Tugas atau kegiatan belajar yang
meningkatkan pemikiran kreatif menuntut sikap belajar yang berbeda, yakni lebih terbuka
dan menantang siswa untuk berperan serta secara aktif dengan memberikan ide-ide/gagasan
sebanyak mungkin. Pemberian pemanasan dapat dilakukan dengan memberikan pertanyaan
terbuka, dan bukan pertanyaan tertutup, dimana siswa tinggal menjawab ya atau tidak.
b. Pengaturan Fisik
pengaturan fisik atau ruang kelas saat belajar mengajar juga dapat mempengaruhi
suatu proses belajar kreatif. Sangatlah tidak tepat jika kegiatan belajar mengajar melibatkan
diskusi kelompok besar membiarkan siswanya duduk di tempat duduk masing-masing.
c. Kesibukan Didalam Kelas
umumnya situasi belajar kreatif lebih banyak menuntut siswa untuk aktif melakukan
kegiatan fisik dan diskusi. Sebagai pengajar di kelas, kita tidak dapat menuntut siswa untuk
duduk rapid an diam ditempat masing-masing. Guru harus lebih toleran dan menyadari akan
kesibukan siswanya.
d. Guru Sebagai Fasiliator
peran guru harus terbuka, mendorong siswa untuk aktif belajar dapat menerima
gagasan siswa, maupun siswa untuk memberikan kritik membangun dan mampu memberikan
penilaian terhadap diri sendiri, menghindari hukuman atau celaan terhadap ide yang tidak
biasa, dan menerima perbedaan menurut waktu dan kecepatan setiap siswa dalam
menuangkan ide-ide barunya.

2. Mengajukan dan Mengundang Pertanyaan


Pertanyaan yang merangsang pemikiran kreatif adalah pertanyaan divergen (terbuka).
Pertanyaan semacam "bagaimana..? mengapa..? seandainya..? apa akibatnya..?, dapat
merangsang diskusi dan imajinasi untuk menampilkan gagasan baru, karena memiliki banyak
kemungkinan jawaban. Sementara dalam pertanyaan tertutup, agak sulit membuka aneka
kemungkinan jawaban. Pertanyaan semacam ini membantu siswa mengembangkan
keterampilan mengumpulkan fakta, meurumuskan hipotesis, dan menguji atau menilai
informasi mereka.
Selain melalui bentuk pertanyaan tertentu, melalui diskusi kelompok pun anak
memperoleh pengalaman dan latihan mengungkapkan diri secara lisan dan berkomunikasi
dengan orang lain. Diskusi kelompok memungkinkan pengembangan penalan, pemikiran
kritis, dan kreatif, serta kemampuan memberikan pertimbangan dan penilian.

3. Memadukan Perkembangan Kognitif (Berfikir) dan Afektif (Sikap dan Perasaan)


Membiasakan kegiatan yang merangsang pemikiran divergen atau kreatif di pelajaran
sekolah, serta memadukan dengan segi aktif juga melatih anak dapat lebih siap menghadapi
tantangan hidup. Perpaduan keduanya ini dapat dilihat dalam uraian berikut ini
a. Ciri kemampuan berfikir kreatif
ciri ini berkaitan dengan
1. Keterampilan berfikir lancar (lancar mengajukan pertanyaan dan gagasan, banyak gagasan
atas satu masalah, dapat dengan cepat melihat kesalahan atau kejanggalan dari suatu objek.
2. Keterampilan berfikir luwes (memberikan pertimbangan atas berbagai situasi, pemberi
penyelesaian/interpretasi yang berbeda atas suatu masalah, menerapkan suatu konsep dengan
cara yang berbeda)
3. keterampilan berfikir orosinal (mampu memikirkan masalah yang tidak terpikirkan orang
lain, cara pendekatan atau pemikiran melalui pendekatan baru)
4. keterampilan merinci (mencari arti lebih dalam dari suatu jawaban, memperkaya gagasan)
5. keterampilan menilai (menentukan pendapat sendiri, mempunyai alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan)

b. ciri afektif
ciri afektif mencakup :
1. rasa ingi tahu
2. bersifat imaginative
3. merasa tertantang oleh kemajemukan
4. sifat berani mengambil resiko
5. sifat menghargai
c. Menghubungkan pemikiran divergen dan pemikiran konvergen
Pemikiran konvergen yang menuntut siswa mencari jawaban tunggal yang paling
tepat berdasarkan informasi yang diberikan, tampaknya sudah tidak asing bagi kita.
Di lain pihak, pemikiran divergen atau pemikiran kreatif menuntut siswa untuk mencari
sebanyak mungkin jawaban terhadap suatu persoalan.
Berbicara mengenai keterampilan berfikir konvergen dan divergen, tidak berarti bahwa
keduanya harus berada dalam suatu kegiatan yang berbeda.
d. Menggabungkan proses berfikir dengan proses afektif
Sebelumnya telah diutarakan mengenai ciri-ciri berfikir kreatif dan ciri-ciri afektif.
Melalui hal tersebut, guru dapat merancang kegiatan belajar mengajar dengan
mengombinasikan keduanya. Kegiatan belajar yang menggabungkan keterampilan berfikir
luwes dan ciri afektif yang berkaitan dengan daya imajinasi.
Dari apa yang dikemukakan mengenai belajar dan berfikir kreatif, akan sangat ideal
jika hal ini benar-benar dapat dilaksanakan di dunia pendidikan kita.
F. FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH DAN SUMBER-SUMBER
KREATIFITAS YANG PERLU DIKEMBANGKAN
Beberapa penelitian (Getazels & Jackson, 1962:Block & Block,1987: dan
Runco,1992) mengenai peran lingkungan rumah menunjukan bahwa keluarga dari anak yang
kreatif cenderung menerima anak apa adanya (tidak memaksa), merangsang rasa ingin tahu
intelektualnya, dan membantu mereka untuk memilih dan menekuni sesuatu yang diminati
(dalam Shaffer,1996).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perkembangan bakat kreatif seseorang berkaitan
dengan 2 faktor, yaitu motivasi seseorang untuk mengembangkannya, dan lingkungan yang
mendukung perkembangannya, termasuk latihan yang ditangani ahli.
Arasteh (dalam Hurlock. 1978) mengemukakan adanya masa-masa kritis dalam
perkembangan kreativitas. Hal ini perlu diketahui karena dapat mengalangi perkembangan
kreativitas anak. Masa-masa kritis tersebut ialah usia 5 sampai 6 tahun, usia 8 sampai 10
tahun, 13 sampai 15 tahun dan 17 sampai 19 tahun.
Berkaitan dengan anak usia SD maka hanya akan di bahas 2 masa kritis pertama
1. Usia 5 sampai 6 Tahun
Sebelum anak siap masuk sekolah, anak diajarkan untuk menerima apa yang
ditetapkan oleh tokoh otoriter, mematuhi aturan dan keputusan orang dewasa di lingkungan
rumahnya.
2. Usia 8 sampai 10 Tahun
Masa ini merupakan masa dimana ada kebutuhan utuk dapat diterima sebagai anggota
kelompok teman sebayanya. Agar dapat diterima kelompoknya maka anak menerima pola-
pola yang ditetapkan kelompoknya.
Dalam bukunya Child Development, Berk (2003) mengemukakan beberapa komponen dari
kreativitas dan bagaimana cara orang tua maupun guru untuk memperkuat peran komponen-
komponen tersebut dalam diri seorang anak.
1. Sumber Kognitif
Moore, 1985 (dalam Berk, 2003) telah melakukan penelitian terhadap sejumlah siswa
SD yang diminta untuk memilih suatu objek dan menceritakannya. Anak yang mencari tahu
lebih banak mengenai suatu objek tersebut, menemukan dan mengenal masalah lebih dalam,
hasil cerita mereka juga lebih orisinal.
Misalnya, mereka yang biasa menciptakan ide-ide kreatif di bidang sastra, seni dan lain-lain,
umunya menggunakan analogi dan metafora untuk menemukan sesuatu yang unik.
2. Sumber Kepribadian
Karakteristik kepribadian turut mengembangkan komponen kognitif dari kreatifitas.
Beberapa sifat yang harus ada adalah
a. Gaya inofatif dan berfikir
Orang-orang yang kreatif tidak hanya memiliki kapasitas untuk memandang sesuatu dalam
cara yang baru, tetapi juga dalah mengolahnya. Dalam menemukan masalah secara inovatif,
mereka cenderung memilih aktivitas yang tidak terlalu terstuktur.
b. Sikap toleran pada ketekunan dan sesuatu yang jamak
Tujuan kreatif adalah memungkinkan timbulnya situasi yang tidak pasti, khususnya jika
masalah tidak cocok satu sama lain.
c. Kemampuan untuk mengambil resiko
Kreatifitas memungkinkan seseorang menghadapi situasi yang penuh tantangan. Mendorong
untuk berfikir pada situasi yang penuh tantangan dapat meningkatkan proses berfikir
divergen.
d. Berani terhadap pendapat
Oleh karena ide-idenya yang orisinal, tidak mentup kemungkinan untuk ditentang oleh orang
lain, khususnya jika guru merasa ragu dengan pendapatnya.
3. Sumber Motivasi
Motivasi untuk kreatifitas lebih menitikberatkan pada tugas daripada tujuan. Oleh
karena hal ini menunjukan pada keinginan untuk berhasil pada tingkat yang lebih tinggi,
tetapi memusatkan perhatian pada masalah, sedangkan jika titik beratnya pada tujuan, hal ini
banyak berkaitan dengan hadiah/penghargaan (dari luar) seperti peringkat dan hadiah.
4. Sumber Lingkungan
Lingkungan dapat menciptakan kondisi fisik maupun sosial yang membantu seseorang untuk
menghasilkan dan mengembangkan ide-ide baru. Dari penelitian terhadap anak berbakat.
Menujukan bahwa mereka berasal dari lingkungan rumah yang sarat akan bahan bacaan
maupun yang merangsang berbagai aktivitas, serta orang tua yang menekankan pada rasa
ingin tahu dan menerima kekhasan anak (Albert dkk, 1994 dalam Berk 2003).
Dengan mengetahui sumber-sumber kreatifitasnya yang meliputi segi intelektual,
kepribadian, mtivasional maupun lingkungan, diharapkan lingkungan rumah maupun sekolah
dapat memberikan rangsangan yang sesuai, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam belajar
kreatif.

Kegiatan Belajar 3

Peran Kecerdasan Intelektual dan Kecerdasan Emosional pada Anak SD

A. KECERDASAN INTELEKTUAL
Piaget (dalam Shaffer, 1996) menjelaskan inteligensia sebagai dasar fungsi kehidupan
yang membantu seseorang/organisme untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Kita dapat
membayangkan bagaimana adaptasi seorang balita ketika ia akan memasang Tv, bagaimana
anak usia sekolah embagi gula-gula keteman-temannya atau anak remaja dapat memecah
persoalan matematika.
Utami Munandar (1986) mengemukakan bahwa kecerdasan intelektual dapat dirumuskan
sebagai kemampuan untuk
1. berfikir abstrak
2. mengangkap hubungan-hubungan dan untuk belajar
3. menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi baru
1. Konsep IQ
Kebanyakan tes intelegansia mengonversikan skor mentahnya sehingga berdasarkan
perhitungan statistik jika hasil kerja sampel digambarkan dalam suatu kurva distribusi normal
maka akan diperoleh nilai rata-rata 100 dengan menyimpan baku 15.
2. Struktur Intelektual dari Guilfold
Guilfold (dalam Cohen, 1999) mengemukakan suatu model struktur intelektual yang dapat
digambarkan sebagai suatu kubus yang terdiri dari tiga dimensi intelektual.
Berdasarkan model ini, aktivasi mental dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. operasi intelektual menunjukan macam proses pemikiran yang berlangsung. Meliputi
kognisi,ingatan, berfikir divergen, berfikir konversi, dan evaluasi.
b. isi intelektual menunjukan macam materi yang digunakan. Meliputi figural, simbolik,
semantik, dan perilaku.
c. Produk menunjukan hasil dari operasi (proses)tertentu yang diterapkan pada isi materi
tertentu.

B. KECERDASAN EMOSIONAL
Selama bertahun-tahun banyak ahli percaya bahwa IQ atau kemampuan intelegensia adalah
segala-galanya, dan menggolongkan emosi sebagai domain (bagian) dari intelegensia dan
bukan melihat emosi dan intelegensia sebagai dua hal yang berbeda.
Untuk itu, dalam pembahasan berikut akan diutarakan mengenai pengertian kecerdasan
emosional dan konsep EQ yang berbeda dengan konsep EQ yang sudah kita kenal selama
bertahun-tahun.
1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Istilah kecerdasan emosi pada awalnya dikemukakan oleh Peter Salovey dan John Meyer,
Kemudian dipopulerkan oleh David Goleman. Hedlund dan Sternberg (2000) merangkum
pengertian kecerdasan emosional sebagaimana yang diungkapkan oleh Goleman (1995)
sebagai kemampuan seseorang untuk dapat memotivasi diri sendiri dan tekun dalam
menghadapi frustasi mengontrol dorongan-dorongan impulsif (dorongan yang timbul
berdasarkan suasana hati) dan mampu menunda pemuasan, mengatur suasana hati sehingga
tidak mempengaruhi kemampuan berfikir, berempati.
Goleman mengemukakan 5 norma dari kecerdasan emosional, sebagaimana yang diringkas
oleh Salovey berdasarkan pandangan inteligensia pribadi dari Gardner.
a. Pengenalan emosi diri
b. pengendalian emosi
c, motivasi diri sendiri
d. mengenali emosi
e. mengendalikan hubungan dengan orang lain.
2. Konsep EQ yang berbeda dari IQ
Goleman (1995) dan Sephiro (1997) mengemukakan bahwa sesungguhnya EQ tidak
berlawanan dengan IQ atau kecerdasan Kognitif, namun keduanya lebih menggambarkan
konsep yang berbeda. Kehidupan emosi tampaknya banyak mempengaruhi pemanfaatan
kecerdasan kognitif. Tampaknya kita juga perlu menyadari bagaimana seharusnya IQ dan EQ
berkembang seimbang. Oleh karena sebagaimana diungkapkan oleh para ahli, perbedaan
antara IQ dan EQ adalah peran faktor bawaan pada IQ tidak terlalu menonjol (Saphiro, 1997).
C. PERAN ORANG TUA DAN GURU DALAM MENGEMBANGKAN IQ DAN EQ
Tidak dapat dipungkiri bahwa orang tua mempunyai peran yang besar dalam
mengembangkan IQ maupuan EQ anak-anaknya. Berbagai cara dilakukan oleh para orang tua
untuk mengembangkan kemampuannya.
Disamping itu, rangsangan yang berkaitan dengan pengembangan juga perlu diperhatikan.
Goleman (1999 dalam Diennaryati, 2000) mengemukakan bahwa untuk mendapatkan
pengendalian emosi secara sehat maka ada berbagai hal yang perlu dilatih pada anak, seperti
berikut ini.
1. mengajarkan anak untuk mngenali perasaannya sendiri dan membiarkan mereka
mengungkapkan perasaan ini secara sehat.
2. melatih anak mengekspresikan perasaannya dengan baik
3. melatih anak mengenali perasaan orang lain dan dampak dari perasaan orang lain.
1. Menyadari Emosi Anak
Memupuk empati dalam diri orang tua maupun guru adalah perlu agar kita dapat
merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Dengan demikian, kita akan benar-benar
menyadari emosi anak sebagaimana dirasakan oleh anak dan bukan emosi yang kita
harapkan.
2. Mengakui Emosi sebagai Peluang untuk Kedekatan dan Mendidik
Pada saat merasa sedih, marah dan takut maka orang pertama yang amat dibutuhkan
adalah orang tua. Dilain pihak jika perasaan-perasaan seperti muncuk pada saat anak berada
disekolah maka kebutuhan akan kehadiran guru juga diperlukan anak.
3. Mendengarkan dengan Empati dan Meneguh Perasaan Anak
Mendengarkan dan memberikan ungkapan secara empati akan menjadikan anak
mengerti bahwa orang tua/guru memperhatikan keprihatinannya karena diakui secara terbuka.
4. Menolong Anak memberi Nama Emosi dengan Kata-kata
Semakin jelas menggunakan banyak nama yang menggambarkan kadar emosi yang
dirasakan anak, seperi tegang, kesal, cemas, marah, sedih takut maka anak akan menjadi lebih
mengerti perasaannya sendiri yang nantinya mampu melukiskannya secara verbal dan bukan
hanya nonverbal saja.
5. Menentukan Batas-batas sambil membantu anak Memecahkan Masalah
Tahapan- tahapan tersebut memang tidak mudah jika harus dilakukan karena untuk
mengembangkan pengendalian emosi anak juga perlu diperhatikan beberapa hal berikut.
a. Hindari kritik
b. Gunakan pujian lebih banya
c. Pahamilah apa yang dirasakan anak dan cobalah kita mengungkapkan apa yang dirasakan
anak tersebut.

D. PERAN IQ DAN EQ DALAM KEBERHASILAN BELAJAR SISWA


Penelitian dari National Center (dalam Goleman, 1995) untuk program balita di
amerika menunjukan bahwa keberhasilan di sekolah bukan diramalkan hanya oleh
kemampuan dirinya dalam membaca, menulis, dan matematika, melainkan ukuran emosi dan
sosial, yaitu yakin pada diri sendiri tahu pola periku apa yang diharapkan orang dan
bagaimana mengendalikan dorongan hati untuk berbuat nakal maupun mengganggu
mengikuti petunjuk dan mengenali minatnya sendiri.
1. Motivasi Belajar yang berasal dalam dirinya sendiri
2. Pandai
3. memiliki minat
4. Konsentrasi
5. Mampu membaur diri di lingkunga

E. CIRI-CIRI SISWA DENGAN KECERDASAN EKSTREM


Dalam pembahasan konsep kecerdasan intelektual, telah kita jumpai klasifikasinya IQ
menurut Wechsler. Yang dimaksud dengan siswa dengan kecerdasan ekstrem adalah siswa
yang memiliki tingkat kecerdasan kurang/rendah, yang biasa dikenal dengan keterbelakangan
mental dan siswa memiliki tingkat kecerdasan tinggi, yang dikenal dengan berbakat secara
intelektual atau keterbakatan.
1. Keterbelakangan Mental
Hallahan dan Kauffman (2000) mengemukakan keterbelakangan mental sebagai
adanya keterbatasan dalam fungsi, yang mencakup fungsi intelektual yang dibawah rata-rata,
dimana berkaitan dengan keterbatasan pada dua atau lebih dari keterampilan adaptif.
2. Ciri-ciri Anak Keterbelakangan Mental
a. Keterbelakangan mental ringan sering disebut sebagai mampu didik
b. keterbelakangan mental menengah biasa disebut dengan mampu dilatih
c. keterbelakangan mental berat, mereka memperlihatkan banyak masalah
d. keterbelakangan mental parah memiliki masalah serius baik menyangkut kondisi fisik.
Penyebab keterbelakangan mental
1. penyebab dari luar, misalnya keracunan sewaktu ibu hamil
2. penyebab dari dalam, misalnya faktor keturunan
3. Anak Berbakat
Kemampuan-kemampuan tersebut baik secara potensial maupun secara aktual
meliputi salah satu atau beberapa kemampuan tersebut, yaitu kemampuan intelektual umum,
kemampuan akademik khusus, kemampuan berfikir produktif dan kreatif, kemampuan dalam
bidang seni, kemampuan memimpin dan kemampuan psikomotor.
Renzulli (1978) di lain pihak menyebutkan bahwa keterbakatan merupakan interaksi dari 3
cluster, yaitu inteligensia, kreatifitas dan bertanggung jawab pada tugas.
4. Indikator Anak Berbakat
1. kemampuan motorik yang lebih awal
2. kemampuan untuk berbicara dengan kalimat yang lengkap
3. perbandingan perkembangan anak satu dengan lainnya
4. daya ingat yang baik.
5. Asal-Usul Keterbakatan
Perlu diingat adalah individu tidak diwariskan IQ atau bakat. Yang diwariskan adalah
sekumpulan gen yang bersama dengan pengalaman-pengalaman, menentukan kapasitas dari
inteligensia dan kemampuan-kemampuan lainnya (Hallahan dan Kauffman, 1994).
6. Ciri-ciri Anak Berbakat
20 ciri anak berbakat dapat dilihat dari aspek kemampuan belajar, kreativitas, pengikatan diri
dan kepribadian,meliputi daya tangkap cepat, kecerdasan tinggi, rasa ingin tahu yang besar,
berani mengutarakan dan mempertahankan pendapat, aktif dan sering bertanya, tanggung
jawab terhadap tugas, inisiatif, tekun, teratur dalam belajar, teliti, ambisi untuk berprestasi,
percaya diri, kepemimpinan, kepribadian mantap, taat pada peraturan, dan sopan dalam
bersikap.
Modul 3
Perkembangan Moral dan Sosial pada Anak Usia Sekolah
Dasar

Kegiatan Belajar 1

Perkembangan Moral pada Anak Usia SD

A. PENGERTIAN PERILAKU MORAL


Perilaku moral berarti perilaku yang menyesuaikan dengan kode moral dari kelompok
sosialnya. Moral berasal dari bahasan latin : mores berarti tata krama atau kebiasaan. Perilaku
moral dikendalikan oleh konsep moral, yakni aturan-aturan dalam bertingkah laku, dimana
anggota masyarakat berperilaku sesuai dengan pola perilaku yang diharapkan oleh
masyarakatnya.
B. Cara MEMPELAJARI MORAL
Konsep moral pada usia anak sekolah dasar tidak lagi sempit, seperti pada awal masa
kanak-kanak. Pada awal masa kanak-kanak, anak berperilaku moral dalam berbagai situasi
yang khusus saja. Anak belajar bagaimana bertindak tanpa mengetahui mengapa mereka
melakukan tindakan tertentu.
Hurlock (1978) mengemukakan bahwa dalam perkembangan moral ada 4 elemen
yang harus diketahui, yaitu berikut ini.
1. Peran hukum, kebiasaan/tata krama dan aturan dalam perkembangan moral
2. Peran kata hati dalam perkembangan moral
3. Peran rasa bersalah dan malu dalam perkembangan moral
4. Peran interaksi sosial dalam perkembangan moral
C. PENGERTIAN DISIPLIN
Kita semua mungkin anda pun sebagai guru menyadari pentingnya disiplin
perkembangan dan penanaman moral anak. Konsep umum dari disiplin disamakan dengan
hukuman. Konsep ini menyatakan bahwa disiplin digunakan jika anak melanggar aturan-
aturan yang ditetapkan oleh orang tua, guru ataupun orang dewasa lainnya.
D. PENTINGNYA DISIPLIN BAGI ANAK
Beberapa kebutuhan anak yang dapat dipenuhi perasaan disiplin adalah berikut ini
1. Disiplin membuat anak-anak mempunyai perasaaan aman tentang apa yang boleh dan apa
yang tidak boleh dilakukan.
2. Anak belajar mengapa pola perilaku tertentu diterima dan mengapa pola perilaku lain tidak
diterima
3. Melalui disiplin anak-anak dibantu untuk hidup sesuai dengan norma-norma sosial.
4. Anak-anak pun akan mengembangkan kata hati untuk membuat keputusan dan
pengendalian dari perilakunya.
Hal-hal penting dari disiplin untuk anak-anak usia Sd adalah (Hurlock, 1980)
1. Alat untuk membentuk moral
2. Penghargaan
3. Hukuman
4. Konsistensi
E. PEMBERIAN HUKUMAN DAN PENGHARGAAN
Pemberian hukuman berfungsi untuk 1.membatasi anak agar tingkah laku yang tidak
diinginkan tidak diulangi, 2. Mendidik, dan 3. Motivasi, untuk menghindari terjadinya
tingkah laku sosial yang tidak diinginkan.
Pemberian penghargaan berfungsi, nilai mendidik karena pemberian penghargaan
menunjukan bahwa tingkah laku anak adalah yang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh
lingkungannya, motivasi, agar tingkah laku yang diterima diulang kembali, penguat, untuk
tingkah laku yang diterima secara sosial.
F. ARTI AGAMA BAGI ANAK USIA SEKOLAH
Bagaimana caranya? Dengan mengajarkan konsep keagamaan diajarkan dalam bahasa
sehari-hari dan melalui pengalaman sehari-hari, misalnya agar anak dapat memahi tata cara
makan tidak boleh sambil berbicara, sebelum makan harus cuci tangan dan berdoa sebagai
pengungkapan rasa syukur pada yang maha kuasa.
Dengan mengenal konsep agamaan, anak akan menghindali perbuatan buruk dan
meningkatkan perbuatan baik. Anak akan mempunyai keyakinan bahwa dengan berbuat baik
ia akan masuk surga.

Kegiatan Belajar 2

Penyesuaian Diri dan Penerimaan Sosial

A. MAKNA PERKEMBANGAN SOSIAL BAGI ANAK USIA SEKOLAH DASAR


Kegagalan pada salah satu proses akan menyebabkan tingkat sosial individu rendah.
Ketiga proses tersebut adalah berikut ini
1. belajar untuk bertingkah laku sesuai dengan cara/norma yang berlaku
2. bermain sesuai dengan peran sosial yang diharapkan
3. mengembangkan sikap-sikap sosial
B. POLA-POLA TINGKAH LAKU YANG DAPAT DIPELAJARI DARI ANGGOTA
KELOMPOK SEBAYA
Beberapa pola tingkah laku yang umum dipelajari anak dari lingkungan kelompok
sebayanya
1. Hal-hal yang diterima maupun tidak diterima secara sosial
2. Terlalu peka/sensitif
3. Mudah Terpengaruh
4. Kompetisi
5. Hubungan yang baik
6. Tanggung jawab
7. Kesadaran Sosial
8. Diskriminasi Sosial

Kegiatan Belajar 3

Perkembangan Peran Gender pada Anak Usia SD

A. PENGERTIAN GENDER
Jenis kelamin menunjukan pada dimensi biologis dari menjadi laki-laki maupun
perempuan.
Dilain pihak stereotype gender diartikan sebagai seperangkat keyakinan (beliefs) tentang
karakteristik yang sesuai menjadi perempuan dan laki-laki. Misalnya begitu anak lahir, orang
tua cenderung memberikan perlakuan yang berbeda terhadap anak laki-laki maupun anak
perempuan.
Hal yang perlu apa yang diungkapkan Santrock berdasarkan teori belajar sosial mengenai
gender .
1. Pengaruh orang tua
2. Pengaruh kelompok sebaya
3. Pengaruh sekolah dan guru
4. Pengaruh media masa
B. PERAN GENDER DI USIA SEKOLAH
Pada usia anak sekolah, anak laki-laki mempunyai identifikasi peran masculine,
sedangkan anak perempuan lebih androgyny (yaitu adanya ciri-ciri masculine dan feminine
pada individu yang sama)
Pada dasarnya memang ada perbedaan gender dalam kemampuan mental dan kepribadian.
Anak perempuan lebih unggul dalam perkembangan bahasa namun lebih sensitif dan
tergantung. Sedangakan anak laki-laki unggul dalam kemapuan keuangan dan lebih agresif.
C. MENGEMBANGKAN STEREOTYPE NONGENDER PADA ANAK
Untuk mengurangi stereotye gender pada anak-anak perlu dilakukan beberapa cara
oleh orang tua dan guru. Misalnya, orang tua maupun guru dapat membantu anak-anak untuk
lebih mengenal peran gender laki-laki maupun perempuan.
Anak juga perlu menyadari akan stereotype gender dimasyarakat. Meskipun peran gender
dalam masyarakat berbeda antara anak laki-laki dan perempuan, namun peran tersebut dapat
berganti tergantung situasi dan kebutuhan yang ada.
Setelah anda membaca kegiatan belajar ini, diharapkan anda dapat lebih memahami
apa yang dimaksud dengan gender dan jenis kelamin, dan apa yang harus dilakukan guru
maupun orang tua agar anak lebih memahami meskipu peran gender dalam masyarakat
berbeda, namun peran tersebut dapat berganti tergantung dari situasi, kebutuhan, minat, dan
keterampilan yang dimiliki.

Anda mungkin juga menyukai