Kelompok 3
- Dira (856606295)
Modul 02
Kegiatan Belajar 1
Menurut jean Piaget dalam teorinya menyimpulkan bahwa, seluruh makhluk hidup
akan beradaptasi sesuai dengan perubahan lingkungannya. Jiwa dan raga tidak bergerak
secara independen, tetapi juga bergabung pada lingkungan. Dengan demikian, kegiatan
mental juga mengarah pada proses mengatur dan beradaptasi pada lingkungan
(Wadsworth, 1996).
Piaget percaya bahwa kognitif anak berkembang dalam 4 tahap, yaitu sensorimotor,
praoprasional, oprasional kongret, dan operasional formal. Tahap-tahap ini menunjukan
bahwa dari tingkah laku eksplorasi anak-anak, lama-lama akan berkembang ke arah
pemikiran abstrak, pemikiran logika anak remaja dan dewasa. dan 4 konsep dasar kognitif,
yaitu:
1. Skema, dikenal sebagai suatu struktur kognitif dan mental di mana secara intelektual
individu beradaptasi dan mengatur lingkungannya. Dengan demikian skema berkaitan
dengan abstraksi dari aktifitas manusia yang akan berubah sesuai dengan berjalannya
usia. Contohnya anak TK yang bisa mengelompokan suatu objek kesamaan warnanya.
2. Asimilasi, suatu proses di mana anak menggunakan skema yang ada (gambaran
mentalnya) untuk menginterpretasikan apa yang ada di lingkungan. Contohnya. Ibu
menyuruh anaknya mengambil bunga mawar. Skema bunga mawar, bunganya merah,
memiliki tangkai dan berduri.
3. Akomodasi, kecendrungan organisme untuk menciptakan skema baru atau
menyesuaikan skema lama setelah menyadari akan adanya ketidak sesuaian dengan
lingkungan. Contonya antara pena dan pensil
4. Ekuilibrium, sebagai suatu keadaan dimana interaksi yang terjadi antara komponen-
komponen yang ada di dalam aktivitas hidup umat manusia dapat berjalan secara
harmonis dan juga berimbang, serta memberikan dampak yang signifikan terhadap
kesejahteraan umat manusia, yang menunjukan adanya kesesuaian. Contohnya cara
memakai baju kaos dan baju kemeja.
Perkembangan kognitif anak terbagi atas beberapa tahap berdasarkan dengan rentan
usianya.
Diawal gerak anak banyak didominasi oleh gerak atau pola refleks. Pada akhir tahap
ini, yaitu di usia 2 tahun. Pola sensorimotor anak sudah lebih rumit dan memungkinkan
anak mulai menggunakan simbol. Ada 6 macam subtahap sensorimotor:
- Refleks sederhana, menunjukkan bahwa skema yang ada berupa refleks, skema yang
ada semakin lama akan berubah, bayi yang baru lahir hingga usia 1 bulan, akan
mengisap botol susu jika botol berada di mulutnya.
- Usia 1-4 bulan, reflek anak berkembang ke arah skema adaptif di mana sudah lebih
terkoordinasi. Ditandai dengan primary circular reactions. Di mana skema didasari
pada kesempatan anak untuk menghasilkan kembali suatu keadaan yang
menyenangkan. Anak bisa saja akan menghisap jari tangannya, jika jarinya berada di
dekat mulutnya.
- Secondary circular reactions usia 4-8 bulan anak lebih berorientasi pada objek atau
pokus pada sekitarnya. Anak meniru beberapa reaksi sederhana, seperti menggerakan
mainan, baby talk (mmmmm ... mmmm ...) isyarat fisik lainnya.
- Coordination of secondary circular reactions usia 8-12 bulan, pada tahap ini
menunjukan beberapa perubahan melibatkan yang melibatkan koordinasi skema.
Begitu anak melihap suatu objek dan menggenggamnya secara simultan.
- Tertiary circular reactions, novelty & curiosity yang berlangsung pada usia anak 12-
18 bulan. Anak menjadi tergugah karena adanya berbagai objek, dari skema ini di mana
anak dapat mencari berbagai kemungkinan dari suatu objek. Aneka ragam objek dapat
diputar, dijatuhkan, dilempar dan sebagainya.
- Subtahapan akhir dari tahap sensorimotor internalisasi dari skema. Fungsi mental
anak berubah menjadi simbolis dan anak mengembangkan kemamouan untuk
menggunakan simbol primitif.
* Pemikiran intuitif (4-7 tahun) anak mulai menggunakan penalaran primitifnya dan
ingin mengetahui jawaban dari semua pertanyaan.
Salah satu karateristik dari pemikiran tahap praoperasional adalah, cara berpikir
anak yang terpusat di mana perhatian terfokus pada satu karateristik tertentu. Anak
belum dapat melakukan konservasi. Jika anak dihadapkan pada 2 gelas yang ramping
dan pendek diisi dengan air yang sama banyak, kebanyakan anak akan menjawab
bahwa air di gelas ramping lebih banyak, karena hampir memenuhi gelas. Sementara
gelas yang pendek dan lebar berisi air yang kelihatan lebih sedikit (walaupun diisi air
yang sama banyak) dari pengalaman ini terlihat bahwa anak belum bisa melihat
dimensi lain.
a. Deduktif-hipotensi.
Dalam menyelesaikan masalah, anak akan berpikir dulu secara teoristis,
kemudian menganalisis masalahnya melalui penyelesaian hipotensi yang ada. Ia
membuat strategi penyelesaian.
b. Berpikir Kombanatoris
Berkaitan dengan pemikiran deduktif hipotensinya anak yang berpikir
formal oprasional, terlebih dahulu akan membuat berbagai komunikasi atau
alternatif yang memungkinkan penyelesaian masalahnya.
Kesimpulannya anak yang berfikir formal oprasional memungkinkannya memiki
tingkah laku pemecahan masalah yang ilmiah, hal ini berbeda dengan anak pada tahap
konkret oprasional, di mana meskipun ia mencari berbagai kemungkinan kombinasi, tetapi
pencariannya tidak sistematis sampai ia menemukan kombinasi yang sesuai secara
kebetulan. Setelah itu anak tidak mampu menggunakannya lagi.
Kegiatan Belajar 2
A. Pengertian Bakat
Pendapat Utami Munandar ini juga sejalan dengan yang dikemukakan oleh Sarwono
(1986), bahwa bakat adalah kondisi di dalam diri seseorang yang memungkinkannya
dengan suatu latihan khusus mencapai kecakapan, pengetahuan, dan keterampilan khusus.
Utami Munandar (1987) menjelaskan, bahwa ada beberapa faktor yang dapat
menentukan sejauh mana bakat anak dapat terwujud. Faktor tersebut adalah:
1. Faktor dalam Diri Anak
Faktor ini banyak berkaitan dengan keadaan fisik dan psikis anak. Anak yang sehat
secara fisik dan sering mengikuti latihan olah vokal, maka bakatnya di bidang
menyanyi atau musik akan berkembang. Selain itu pendukung lain selain minat,
motivasi, dan keuletan dari dalam dirinya juga diperlukan.
2. Faktor Keadaan Lingkungan Anak
Perwujudan bakat akan maksimal jika didukung oleh faktor dari luar anak,
misalnya keluarga.
C. Pengertian Kreativitas
Beberapa penelitian (Getzels & Jackson, 1962; Block & Block, 1987; dan Runco,
1992) mengenai peran lingkungan rumah, menunjukkan bahwa keluarga dari anak yang
kreatif cenderung menerima anak apa adanya (tidak memaksa), merangsang rasa ingin tahu
intelektualnya, dan membantu mereka untuk memilih dan menekuni sesuatu yang diminati
(dalam Shaffer, 1996). Penemuan hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menjelaskan
‘mengapa anak yang kreatif cenderung lebih imajinatif, memiliki minat yang luas, dan
tidak terlalu memikirkan menjadi yang terunggul di kelas’ (seperti halnya teman-temannya
yang pandai).
2. Sumber Kepribadian
Karakteristik kepribadian turut mengembangkan komponen kognitif dari
kreativitas. Beberapa sifat yang harus ada adalah:
a. Gaya inovatif dari berpikir
Dalam menemukan masalah secara inovatif, orang-orang yang kreatif
cenderung memilih aktivitas yang tidak terlalu terstruktur.
b. Sikap toleran pada ketekunan dan sesuatu yang jamak
Dengan memberikan harapan dan sikap sabar terhadap hambatan-hambatan
yang dihadapi, dapat membantu anak untuk berpikir secara kreatif.
c. Kemauan untuk mengambil resiko
Kreativitas memungkinkan seseorang menghadapi situasi yang penuh
tantangan. Mendorong untuk berpikir pada situasi yang penuh tantangan dapat
meningkatkan proses berpikir divorgen.
d. Berani terhadap pendapat
Mereka yang percaya diri dan memiliki self esteem (harga diri) yang tinggi,
memungkinkan untuk menjadi kreatif.
3. Sumber Motivasi
Motivasi untuk kreativitas lebih menitikberatkan pada tugas dari pada tujuan.
4. Sumber Lingkungan
Lingkungan dapat menciptakan kondisi fisik maupun sosial yang membantu
seseorang untuk menghasilkan dan mengembangkan ide-ide baru. Dari penelitian
terhadap anak berbakat, menunjukkan bahwa mereka berasal dari lingkungan rumah
yang sarat akan bahan bacaan maupun yang merangsang berbagai aktivitas, serta orang
tua yang menekankan pada rasa ingin tahu dan menerima kekhasan anak (Albert dkk,
1994 dalam Berk 2003).
Kegiatan Belajar 3
A. Kecerdasan Intelektual
Pada dasarnya emosi adalah dorongan untuk bertindak yang mempengaruhi reaksi
seketika untuk mengatasi masalah. Sehingga emosi yang cerdas akan memengaruhi
tindakan anak dalam mengatasi masalah, mengendalikan diri, semangat, tekun serta
mampu memotivasi diri sendiri yang terwujud dalam hal-hal berikut ini:
2. Pandai
Umumnya anak yang secara emosi cerdas, juga mampu mengoptimalkan
prestasinya karena didorong oleh motivasi belajar yang besar. Kepandaian seorang
anak tidak hanya didukung oleh kecerdasan kognitif yang tinggi saja. Tidak akan
berarti jika anak yang pandai tetapi di sekolah ia tidak berprestasi baik karena malas
belajar, tidak bisa berkonsentrasi sehingga potensinya yang baik tidak terwujud secara
memadai.
3. Memiliki Minat
Anak yang cerdas secara emosional, sejak dini sudah mengerti keinginannya dan
lebih terarah dalam melakukan tugas-tugasnya. Minatnya lebih menetap dan upayanya
lebih berkaitan dengan kegiatan yang sesuai dengan minatnya.
4. Konsentrasi
Dengan kemampuannya untuk mengendalikan diri secara sehat, anak yang cerdas
secara emosional akan lebih bisa memusatkan konsentrasinya dan tidak mudah teralih
oleh situasi sesat. Kemampuan untuk memusatkan konsentrasi tidak hanya pada
pelajaran sekolah, tetapi juga pada semua kegiatan yang tengah ditekuninya. Dengan
demikian, dalam belajar dan melakukan kegiatan, anak akan mampu menunjukkan
efisiensi dan efektivitas kerja. Waktu tidak banyak terbuang dan hasil belajar atau kerja
yang diperoleh akan cukup banyak.
Piaget (dalam Shafler, l996) menjelaskan inteligensia sebagai dasar fungsi kehidupan
yang membantu seseorang/organisme untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Hal itu
berkaitan dengan bagaimana anak atau seseorang memanfaatkan kemampuan
intelektualnya untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Piaget juga menambahkan
inteligensia sebagai suatu bentuk equilibrium yang menunjukkan adanya kecenderungan
struktur kognitif. Pandangannya ini menunjukkan bahwa seluruh aktivitas intelektual
tertuju pada keadaan: untuk menghasilkan keseimbangan, keharmonisan, hubungan antara
satu proses pemikiran dan lingkungan. Utami Munandar (1986) mengemukakan bahwa
kecerdasan intelektual dapat dirumuskan setbagai kemampuan untuk:
- Berpikir abstrak;
Istilah kecerdasan emosi pada awalnya dikemukakan oleh Peter Salovey dan John
Meyer, kemudian dipopulerkan oleh David Goleman. Hedlund dan Sternberg (2000)
merangkum pengertian kecerdasan emosional sebagaimana yang diungkapkan oleh
Goleman (1995) sebagai kemampuan sescorang untuk dapat memotivasi diri sendiri
dan tekun dalam menghadupi frustrasi, mengontrol dorongan-dorongan impulsif
(dorongan yang timbul berdasarkan susana hati) dan mampu menunda pemuasannya,
mengatur suasana hati sehingga tidak memengaruhi kemampuan berpikir berempati.
Definisi ini kemudian juga disempumakan oleh Golenman (1998) dalam bukunya
Working with Emotional Intelligence sebagai kapasitas untuk mengenal perasaan kita
sendiri dan orang lain, untuk memotiasi diri kita, dan untuk mengatur emosi dalam diri
kita dan dalam hubungan kita dengan orang lain.
Selama anak berada dalam lingkungan rumah, maka orang tualah yang banyak
berperan dalam pengembangan kecerdasan intelektual sekaligus enmosionalnya. Di
lingkungan rumahlah anak pertama kali belajar menggunakan daya pikirnya untuk
memecahkan masalah dan bagaimana bersikap pada lingkungannya. Begitu anak masuk ke
lingkungan pendidikan atau bersekolah maka peran orang tua atau pengganti orang tua
selama anak di sekolah digantikan oleh guru.
Untuk melatih hal-hal tersebut, sudah tentu orang tua maupun guru perlu memilıkı
sikap yang mendukung karena orang tua maupun guru merupakan model yang baik bagi
anak untuk ditiru perilakunya.
Kepedulian dan kesadaran akan emosi anak akan membuat anak merasa dimengerti
dan diterima apa adanya. Dengan demikian, timbulnya perasaan ini pada orang tua
maupun guru, akan menjadi dasar dari kesediaan anak untuk juga mau mengerti apa
yang diharapkan orang tua/guru karena perasaan tenarng dan nyaman dirasakannya
mengingat adanya pengertian dari orang tua dan guru.
Pada saat anak merasa sedih, marah dan takut maka orang pertama yang amat
dibutuhkannya adalah orang tua. Di lain pihak jika perasaan-perasaan, seperti muncul
pada saat anak berada di sekolah maka kebutuhan akan kehadiran guru juga diperlukan
anak. Dengan mengakui dan mengenali emosi anak maka anak akan merasa tenang dan
peran orang tua maupun guru semakin dirasakan anak.
Semakin jclas kita menggunakan banyak nama yang menggambarkan kadar emosi
yang dirasakan anak, seperti tegang, kesal, cemas, marah, sedih, takut maka anak akan
menjadi lebih mengerti perasannya sendiri yang nantinya mampu melukiskannya
secara verbal dan bukan hanya non verbal saja. Kita akan lebih memahami jika anak
tiha-tiba mengungkapkan kata-kata "Aku kesal sama si A, habis dia mengambil kue
kesukaanku tanpa bilang-bilang".
Penelitian dari National Center (dalam Goleman, 1995) untuk program balita di
Amerika menunjukkan bahwa keberhasilan di sekolah bukan diramalkan hanya oleh
kemampuan dirinya dalam membaca, menulis dan matematika, melainkan oleh ukuran
emosi dan sosial, yaitu yakin pada diri sendiri, tahu pola perilaku apa yang diharapkan
orang dan bagaimana mengendalikan dorongan hati untuk berbuat nakal, maupun
mengganggu, mengikuti petunjuk, dan mengenali minatnya sendiri. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa kesiapan anak untuk masuk sekolah bergantung pada beberapa hal
yang paling dasar dari semua pengetahuan, yaitu bagaimana caranya belajar.
Emosi yang cerdas akan mempengaruhi tindakan anak dalam mengatasi masalah,
mengendalikan diri, semangat, tekun serta mampu memotivasi diri sendiri yang terwujud
dalam hal-hal berikut ini.
1. Motivasi belajar yang berasal dari dalam diri, di mana dengan pengendalian diri yang
baik, anak yang mampu mengatur sendiri kegiatannya, akan mengenal kecepatan
belajarnya serta lebih mengerti tujuan dan manfaat belajar.
2. Pandai. Umumnya anak yang secara emosi cerdas, juga mampu mengoptimalkan
prestasinya karena didorong oleh motivasi belajar yang besar. Kepandaian seorang
anak tidak hanya didukung oleh kecerdasan kognitif yang tinggi saja.
3. Memiliki minat. Anak yang cerdas secara emosional, sejak dini sudah mengerti
keinginannya dan lebih terarah dalam melakukan tugas-tugasnya.
4. Konsentrasi. Dengan kemampuannya untuk mengendalikan diri secara sehat, anak
yang cerdas secara emosional akan lebih bisa memusatkan konsentrasinya dan tidak
mudah teralih oleh situasi sesat.
5. Mampu membaur diri di lingkungan. Anak dengan emosi yang sehat akan lebih
terampil dalam menyesuaikan diri di lingkungannya.
Yang dimaksud siswa dengan kecerdasan ekstrem adalah siswa yang memiliki tingkat
kecerdasan kurang/rendah, yang biasa dikenal dengan keterbelakangan mental dan siswa
yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi, yang dikenal dengan berbakat secara intelektual
atau keberbakatan.
1. Keterbelakangan Mental
Hallahan dan Kauffman (2000) mengemukakan keterbelakangan mental sebagai
adanya keterbatasan dalam fungsi, yang mencakup fungsi intelektualyang di bawah
rata-rata, di mana berkaitan dengan keterbatasan pada dua atau lebih dari keterampilan
adaptif, seperti komunikasi, merawat diri sendiri, keterampilan sosial, kesehatan dan
keamanan, fungsi akademis, dan waktu luang. Keadaan ini tampak sebelum usia 18
tahun.
3. Anak Berbakat
GBHN menyebutnya sebagai berkemampuan istimewa atau berdasarkan UU No. 2
Tahun 1989, disebutkan sebagai anak-anak dengan kemampuan dan kecerdasan luar
biasa atau disingkat sebagai anak berbakat.
Modul 03
Perkembangan Moral dan Sosial pada Anak Usia Sekolah Dasar
Kegiatan belajar 1
Perilaku moral berarti perilaku yang menyesuaikan dengan kode moral dari
kelompok sösialnya. Moral berasal dari bahasa latin: mores berarti tata krama atau
kebiasaan. Perilaku moral dikendalikan oleh konsep moral, yakni aturan-aturan dalam
bertingkah laku, di mana anggota masyarakat berperilaku sesuai dengan pola perilaku yang
diharapkan oleh masyarakatnya, sedangkan perilaku immoral adalah perilaku yang gagal
menyesuaikan pada harapan sosial. Perilaku yang unmoral adalah perilaku yang tidak
menghiraukan harapan dari kelompok sosialnya. Perilaku ini cenderung terlihat pada anak-
anak.
B. Cara Mempelajari Moral
Hurlock (1978) mengemukakan bahwa dalam perkembangan moral ada 4 elemen yang
harus diketahui, yaitu berikut ini:
Elemen pertama yang penting dalam belajar menjadi individu yang bermoral adalah
belajar apa yang diharapkan kelompok. Dalam setiap kelompok sosial beberapa
perilaku dapat dianggap benar atau salah karena berkaitan dengan kesejahteraan
anggota
Secara perlahan, anak belajar aturan yang dibentuk oleh berbagai kelompok yang
berbeda, seperti di rumah, sekolah, dan lingkungan rumah/tetangga. Hal ini membentuk
dasar dari pengetahuan mengenai apa yang diharapkan oleh kelompok yang berbeda.
Dengan demikian, aturan merupakan pedoman bagi perilaku anak dan sebagai sumber
dari motivasi untuk taat pada harapan sosial sebagaimana hukum dan adat kebiasaan
bagi para remaja dan orang dewasa.
Kata hati akan dipergunakan scbagai pedoman bagi tingkah laku anak-anak. Jika
tingkah laku mereka tidak sesuai dengan apa yang telah đitetapkan oleh kata hatinya,
maka mereka akan merasa bersalah, malu atau keduanya.
Interaksi sosial pertama yang dialami anak adalah melalui kehidupan di Ingkungan
keluarganya. Anak belajar dari keluarganya mengenai apa yang dianggap baik dan
buruk oleh mereka. Begitu lingkungan menjadı lebih luas, anak juga belajar bahwa
dasar-đasar yang diperoleh dari lingkungan keluarga kadang sama, tetapi kadang-
kadang berbeda dengan apa yang mereka peroleh dari kelompok. Semakin
meningkatnya interaksi dengan kelompok, maka pengaruh kelompok juga semakin
besar. Jika ada perbedaan antara standar moral di lingkungan rumah dengan lingkungan
kelompok, maka anak cenderung lebih menerima standar yang ditetapkan oleh
kelompok, dan menolak apa yang telah ditetapkan oleh keluarganya.
Melalui interaksi sosial, anak tidak hanva belajar mengenai kode-kode moral, tetapi
mereka juga berkesempatan untuk belajar mengevaluasi tingkah laku mereka.
C. Pengertian Disiplin
Beberapa kebutuhan anak yang dapat dipenuhi melalui disiplin adalah berikut ini:
1. Disiplin membuat anak-anak mempunyai perasaan aman tentang apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan.
2. Anak belajar mengapa pola perilaku tertentu diterima dan mengapa pola perilaku lain
tidak diterima.
3. Melalui disiplin anak-anak dibantu untuk hidup sesuai dengan norma-norma sosial.
4. Anak-anak pun akan mengembangkan kata hati untuk membuat keputusan dan
pengendalian dari perilakunya.
Di samping itu, hal-hal yang penting dari disiplin untuk anak usia SD adalah (Hurlock,
1980) berikut ini.
Pengajaran baik dan buruk perlu ditekankan pada alasan mengapa beberapa pola
tingkah laku diterima sementara yang lain tidak, dan penjelasan langsung perlu untuk
membantu anak memiliki konsep yang lebih luas.
2. Penghargaan
Penghargaan memiliki nilai pendidikan yang kuat bagi anak jika anak bertingkan
laku benar dan dapat memotivasi anak untuk mengulang kembali tingkah laku yang
diharapkan. Dengan demikian, penghargaan menupakan hal yang efektif maka
pemberian penghargaan juga harus tepat disesuaikan dengan usia anak dan tingkat
perkembangannya.
3. Hukum
4. Konsisten
Disiplin yang baik adalah disiplin yang diberikan secara konsisten. Tingkah laku
yang salah jika diulang perlu mendapat hukuman yang sama setiap saat, dan tingkah
laku yang benar perlu mendapat penghargaan yang sama pula.
1. Membatasi anak agar tingkah laku yang tidak diinginkan tidak diulangi.
2. Mendidik, dan
3. Motivasi, untuk menghindari terjadinya tingkah laku sosial yang tidak diinginkan.
Bentuk hukuman dapat berbentuk hukuman fisik (misalnya pukulan), mengisolasi anak
selama beberapa waktu (misal tidak mnenonton acara TV yang disukai). Meskipun
demikian, pemberian hukuman fisik tampaknya sudah tidak terlalu efektif, itulah sebabnya
akan lebih baik dan efektif jika pemberian hukuman disertai penjelasan mengapa tingkah
laku dilarang (Strommen dkk., 1983).
Pemberian penghargaan pun sama dengan hukuman, yaitu memotivasi anak untuk
mengulangi peritāku yang dapat diterima oleh lingkungannya. Fugsi pemberian
penghargaan adalah:
1. Nilai mendıdık karena pemberian penghargaan menunjukkan bahwa tingkah laku anak
adalah yang sesuai dengan upa yang diharapkan oleh lngkungannya,
2. Motiasi, agar lingkah laku yang diterim diulang kemhali,
3. Penguat, untuk tingkah laku yang diterima secara sosial.
Tak dapat disangkal bahwa perasaan keagamaan temasuk perasaan yang luhur dalam jiwa
seseorang. Melalui pelajaran agama dan PPK (Pendıdikan Pancasila dan
Kewarganegaraan) anak SD dapat lebih memahami arti agama. Dengan mengajarkan
konsep keagamaan diajarkan dalam bahasa sehari-hari dan melalui pengalaman sehari-hari,
misalnya agar anak dapat memahami tata cara makan tidak boleh sambil bicara, sebelum
makan harus cuci tangan, dan berdoa sebaga pengungkapan rasa syukur pada Yang Maha
Kuasa. Jika anak lengah dengan yang pemah dipelajarinya, maka sebagai orang tua
maupun guru perlu mengingatkan kembalı. Dengan begitu anak tidak hanya sekadar
menghafal apa yang telah dipelajari, tetapi juga nilai-nilai yang diajarkan dalam agama
akan lebih tertanam dalam diri anak.
Kegiatan Belajar 2
1. Belajar untuk bertingkah laku sesuai dengan cara norma yang berlaku.
Hal-hal yang penting dari proses sosialisasi adalah bagaimana seorang anak belajar
bersosialisasi dan dapat bergaul, sangat tergantung dari beberapa faktor berikut:
b. Anak perlu mengkomunikasikan hal-hal yang tidak dipahami dan diminati oleh orang
lain.
c. Anak hanya akan belajar untuk bersosialisasi jika termotivasi untuk melakukannya.
d. Bagaimana metode efektif yang digunakan untuk bersosialisasi melalui trial and error
anak belajar pola pola tingkah laku yang sesuai dengan penyesuaian sosial.
Anak menjadi anggota dari kelompok teman sebaya yang lambat laun
menggantikan posisi keluarga, dan berpengaruh dalam sikap dan tingkah lakunya.
a. Kelompok sebaya dapat dikenal dari namanya misalnya dari nama jalan atau tempat
tinggal, nama-nama tokoh terkenal dari buku komik atau film.
b. Untuk menjaga kerahasiaan kelompok acap kali menggunakan kode kode rahasia dalam
berkomunikasi, misalnya menggunakan bahasa sandi.
c. Kadangkala untuk menerima anggota baru diadakan semacam upacara agar anggota
kelompok merasa dihargai.
e. Kegiatan kelompok sebaya biasanya terlibat dalam berbagai kegiatan misalnya kegiatan
olahraga bermain berkelompok.
B. Pola-pola tingkah laku yang dapat dipelajari dari anggota kelompok sebaya
Beberapa pola tingkah laku yang umum dipelajari anak dari lingkungan kelompok
sebaya nya yaitu:
3. Mudah Terpengaruh
Ada anak yang mudah terpengaruh oleh anak lain karena perkembangan dari
adanya kebutuhan akan perhatian penerimaan sosial. Di lain pihak ada pula anak-anak
yang tidak mudah dipengaruhi anak lain karena jalan pikiran tingkah lakunya dengan
apa yang diharapkan kelompok berbeda.
6. Tanggung jawab
Perkembangan tanggung jawab pada anak perlu diberikan secara perlahan-lahan di
mulai dari tugas-tugas yang sederhana kemudian meningkat pada pengalaman lebih
kompleks. Jika anak terbiasa untuk bertanggung jawab dalam keluarganya anak
tersebut akan mudah menyesuaikan diri dan terpilih sebagai pemimpin dalam
kelompoknya. Namun jika terlalu banyak tanggung jawab yang dibebankan pada anak
juga bukan merupakan hal yang positif karena jika anak mengalami kegagalan akan
meruntuhkan rasa percaya dirinya.
7. Kesadaran Sosial
Kesadaran sosial merupakan kemampuan untuk memahami arti dari situasi sosial.
Hal ini berhubungan dengan emosional anak atau kemampuan untuk merasakan apa
yang dirasakan orang lain.
8. Diskriminasi Sosial
Yang dimaksud dengan diskriminasi sosial di sini yaitu kecenderungan untuk
membuat perbedaan antara individu berdasarkan suatu tanda-tanda tertentu. Anak yang
terbiasa membedakan kelompoknya dengan kelompok lain akan menganggap orang
lain sebagai berbeda dan tidak termasuk atau di luar kelompoknya, anak juga merasa
lebih unggul dari yang lainnya. Hal ini membuat timbulnya sikap permusuhan antara
kelompok jenis kelamin tertentu.
Dari apa yang dikemukakan tersebut, melalui interaksi dengan teman sebaya
membantu anak mengembangkan dan memahami perilaku moral, anak belajar
bersosialisasi dan mengembangkan konsep diri yang positif, anak menjadi lebih
bertanggung jawab belajar, bekerja sama dan sportif. Hal-hal yang negatif pun dapat
dipelajari anak melalui perkembangan sosial dan pergaulan nya dengan teman sebaya
seperti gejala bullying, yang merupakan tingkah laku agresif yang direncanakan untuk
menyebabkan ketidaknyamanan fisik maupun psikis pada orang lain.
Tingkah laku ini bertujuan untuk mendominasi menyakiti atau mengecilkan orang lain,
sehingga tidak merasa nyaman. Agar hal tersebut tidak terjadi maka orang tua maupun guru
perlu mengamati perubahan-perubahan yang terjadi pada anak, memberikan pengarahan
dan bimbingan tetap perlu dilakukan agar moral yang sudah tertanam dalam diri anak tidak
hilang begitu saja.
Kegiatan Belajar 3
A. Pengertian Gender
Jenis kelamin lebih menunjukkan pada dimensi biologis dari menjadi laki-laki atau
perempuan. Sementara gender menunjukkan dimensi sosial dari menjadi laki-laki atau
perempuan. Dua aspek dari gender yang perlu diketahui adalah identitas gender atau peran
gender. Identitas gender adalah suatu perasaan menjadi laki-laki atau perempuan, di mana
hal ini kebanyakan diperoleh anak begitu ia berusia tiga tahun. Sedangkan peran gender
berisi harapan-harapan yang menunjukkan bagaimana laki-laki atau perempuan harus
berpikir, bertingkah laku, dan merasakan.
Stereotype gender diartikan sebagai seperangkat keyakinan (beliefe) tentang
karakteristik yang sesuai menjadi perempuan dan laki-laki. Misalnya, begitu anak lahir
maka orang tua cenderung memberikan perlakuan yang berbeda terhadap anak laki-laki
maupun anak perempuan. Anak laki-laki diyakini cenderung dominan, agresif,
independen, dan anak perempuan cenderung perhatian, sabar, dan tergantung.
Dari penelitian-penelitian yang telah berlangsung sampai 1972, terkumpul bukti bahwa
anggapan-anggapan itu tidak benar.
(Benedek, 1979).
Perbedaan gender dan perasaan antara anak laki-laki dan perempuan menunjukkan
bahwa anak perempuan cenderung lebih banyak memanfaatkan otak kirinya, sedangkan
anak laki-laki lebih banyak memanfaatkan otak kanannya.
1. Di Lingkungan Sekolah
Guru harus bersikap kritis terhadap praktik bias gender yang ada di lingkungan
sekolah, kemudian susun dan persiapkan materi ajar, metode, dan pengelolaan kelas,
yang mendukung kesetaraan gender. Selanjutnya, ajak para siswa untuk berdiskusi
masalah-masalah gender yang sedang actual. Ajak mereka untuk mengkritisi praktik
eksploitasi dan komersialisasi tubuh perempuan yang mendominasi media dalam
segala bentuknya.
Dengan cara demikian, sekolah benar-benar akan menjadi agen perubahan sosial
yang efektif dengan merespon secara konstruktif persoalan-persoalan nyata yang
sedang dihadapi masyarakat secara lokal maupun global. Bukan melalui mata
pelajaran, melainkan melalui pembangunan cara berpikir dan bersikap.
2. Di Lingkungan Rumah
Kesadaran gender anak-anak tumbuh dalam keluarga melalui kondisi nyata
hubungan ayah dan ibu, serta perlakuan yang mereka dapatkan.
Sumber: