Anda di halaman 1dari 37

RANGKUMAN

PENDIDIKAN ANAK DI SD (PDGK4403)

Dosen pembimbing: MAHURI ADHAN S.Pd.,M.Pd

Kelompok 3

Ketua: Rulli Dermawan (856608281)

Anggota: -Any Suryani (856610761)

- Abdul Kidir (856608084)

- Karlina Dewi (856606786)

- Audina Agustin (856606145)

- Dira (856606295)
Modul 02

Perkembangan Kognitif Anak Usia Sekolah Dasar

Kegiatan Belajar 1

Kemampuan Kognitif Anak Usia SD

A. Perkembangan Kognitif Anak SD

Menurut jean Piaget dalam teorinya menyimpulkan bahwa, seluruh makhluk hidup
akan beradaptasi sesuai dengan perubahan lingkungannya. Jiwa dan raga tidak bergerak
secara independen, tetapi juga bergabung pada lingkungan. Dengan demikian, kegiatan
mental juga mengarah pada proses mengatur dan beradaptasi pada lingkungan
(Wadsworth, 1996).

Piaget percaya bahwa kognitif anak berkembang dalam 4 tahap, yaitu sensorimotor,
praoprasional, oprasional kongret, dan operasional formal. Tahap-tahap ini menunjukan
bahwa dari tingkah laku eksplorasi anak-anak, lama-lama akan berkembang ke arah
pemikiran abstrak, pemikiran logika anak remaja dan dewasa. dan 4 konsep dasar kognitif,
yaitu:

1. Skema, dikenal sebagai suatu struktur kognitif dan mental di mana secara intelektual
individu beradaptasi dan mengatur lingkungannya. Dengan demikian skema berkaitan
dengan abstraksi dari aktifitas manusia yang akan berubah sesuai dengan berjalannya
usia. Contohnya anak TK yang bisa mengelompokan suatu objek kesamaan warnanya.
2. Asimilasi, suatu proses di mana anak menggunakan skema yang ada (gambaran
mentalnya) untuk menginterpretasikan apa yang ada di lingkungan. Contohnya. Ibu
menyuruh anaknya mengambil bunga mawar. Skema bunga mawar, bunganya merah,
memiliki tangkai dan berduri.
3. Akomodasi, kecendrungan organisme untuk menciptakan skema baru atau
menyesuaikan skema lama setelah menyadari akan adanya ketidak sesuaian dengan
lingkungan. Contonya antara pena dan pensil
4. Ekuilibrium, sebagai suatu keadaan dimana interaksi yang terjadi antara komponen-
komponen yang ada di dalam aktivitas hidup umat manusia dapat berjalan secara
harmonis dan juga berimbang, serta memberikan dampak yang signifikan terhadap
kesejahteraan umat manusia, yang menunjukan adanya kesesuaian. Contohnya cara
memakai baju kaos dan baju kemeja.

Perkembangan kognitif anak terbagi atas beberapa tahap berdasarkan dengan rentan
usianya.

1. Tahap Sensori Motor (Lahir - 2 tahun)

Diawal gerak anak banyak didominasi oleh gerak atau pola refleks. Pada akhir tahap
ini, yaitu di usia 2 tahun. Pola sensorimotor anak sudah lebih rumit dan memungkinkan
anak mulai menggunakan simbol. Ada 6 macam subtahap sensorimotor:

- Refleks sederhana, menunjukkan bahwa skema yang ada berupa refleks, skema yang
ada semakin lama akan berubah, bayi yang baru lahir hingga usia 1 bulan, akan
mengisap botol susu jika botol berada di mulutnya.

- Usia 1-4 bulan, reflek anak berkembang ke arah skema adaptif di mana sudah lebih
terkoordinasi. Ditandai dengan primary circular reactions. Di mana skema didasari
pada kesempatan anak untuk menghasilkan kembali suatu keadaan yang
menyenangkan. Anak bisa saja akan menghisap jari tangannya, jika jarinya berada di
dekat mulutnya.

- Secondary circular reactions usia 4-8 bulan anak lebih berorientasi pada objek atau
pokus pada sekitarnya. Anak meniru beberapa reaksi sederhana, seperti menggerakan
mainan, baby talk (mmmmm ... mmmm ...) isyarat fisik lainnya.
- Coordination of secondary circular reactions usia 8-12 bulan, pada tahap ini
menunjukan beberapa perubahan melibatkan yang melibatkan koordinasi skema.
Begitu anak melihap suatu objek dan menggenggamnya secara simultan.

- Tertiary circular reactions, novelty & curiosity yang berlangsung pada usia anak 12-
18 bulan. Anak menjadi tergugah karena adanya berbagai objek, dari skema ini di mana
anak dapat mencari berbagai kemungkinan dari suatu objek. Aneka ragam objek dapat
diputar, dijatuhkan, dilempar dan sebagainya.

- Subtahapan akhir dari tahap sensorimotor internalisasi dari skema. Fungsi mental
anak berubah menjadi simbolis dan anak mengembangkan kemamouan untuk
menggunakan simbol primitif.

2. Tahap Praoperasional. (2-7 tahun)

Perkembangan kognitif diusia ini di tandai dengan perkembangan bahasa yang


sistematis. Anak sudah mampu menirukan prilaku yang dilihatnya maupun yang
pernah dilihatnya (imitasi). Semua ini menunjukan, bahwa anak sudah mampu
melakukan tingka laku simbolis. Tahap ini terbagi 2 macam, yaitu:

* fungsi Simbolik (2-4 tahun), anai mencapai kemampuan untuk merepresentasikan


secara mental objek yang sesungguhnya tidak ada. Coretan anak di kertas itu
menunjukan bahwa itu gambar orang, mobil, awan dan lain-lain. Contoh simbolik di
usia ini adalah Bahasa. Dalam berpikir praoperasional masih egosentris, artinya pola
pikir anak masih berdasarkan sudut pandangnya saja, tidak bisa berdasarkan sudut
pandang orang lain.

* Pemikiran intuitif (4-7 tahun) anak mulai menggunakan penalaran primitifnya dan
ingin mengetahui jawaban dari semua pertanyaan.

Salah satu karateristik dari pemikiran tahap praoperasional adalah, cara berpikir
anak yang terpusat di mana perhatian terfokus pada satu karateristik tertentu. Anak
belum dapat melakukan konservasi. Jika anak dihadapkan pada 2 gelas yang ramping
dan pendek diisi dengan air yang sama banyak, kebanyakan anak akan menjawab
bahwa air di gelas ramping lebih banyak, karena hampir memenuhi gelas. Sementara
gelas yang pendek dan lebar berisi air yang kelihatan lebih sedikit (walaupun diisi air
yang sama banyak) dari pengalaman ini terlihat bahwa anak belum bisa melihat
dimensi lain.

3. Tahap Oprasional Konkret (7-11 tahun)


Pada tahap ini anak sudah bisa memperhatikan lebih dari satu dimensi. Anak juga
mampu memperhatikan aspek dinamis dari suatu perubahan situasi. Anak juga mampu
mengerti oprasi logis dari pembalikan.
Meskipun demikian pemikiran pada tahap ini masih terbatas pada hal-hal yang
konkret. Penyelesaian suatu masalah perlu disertai hal-hal yang konkret dan nyata.
Anak sudah dapat melakukan klasifikasi, konservasi dan mengurutkan.

4. Tahap Formal Operasional (>11 tahun)


Pemikiran pada tahap ini lebih abstrak. Di usia ini anak sudah memasuki remaja
awal, anak sudah tidak lagi membatasi diri pada hal-hal yang aktual, pengalaman
konkret. Anak sudah dapat membuat kesimpulan logis. Formal Oprasional terbagi 2,
yaitu:

a. Deduktif-hipotensi.
Dalam menyelesaikan masalah, anak akan berpikir dulu secara teoristis,
kemudian menganalisis masalahnya melalui penyelesaian hipotensi yang ada. Ia
membuat strategi penyelesaian.

b. Berpikir Kombanatoris
Berkaitan dengan pemikiran deduktif hipotensinya anak yang berpikir
formal oprasional, terlebih dahulu akan membuat berbagai komunikasi atau
alternatif yang memungkinkan penyelesaian masalahnya.
Kesimpulannya anak yang berfikir formal oprasional memungkinkannya memiki
tingkah laku pemecahan masalah yang ilmiah, hal ini berbeda dengan anak pada tahap
konkret oprasional, di mana meskipun ia mencari berbagai kemungkinan kombinasi, tetapi
pencariannya tidak sistematis sampai ia menemukan kombinasi yang sesuai secara
kebetulan. Setelah itu anak tidak mampu menggunakannya lagi.

Kegiatan Belajar 2

Bakat dan Kreativitas Anak Usia SD

A. Pengertian Bakat

Berikut adalah pengertian bakat menurut beberapa ahli, diantaranya yaitu:


- William B. Michael
Bakat adalah suatu kapasitas yang ada dalam diri seseorang, yang mana dalam
melakukan tugas dipengaruhi oleh latihan yang sudah dijalaninya.
- Kartini Kartono
Bakat adalah hal yang mencakup segala faktor yang ada dalam diri individu yang
dimiliki sejak awal pertama kehidupanny, dan kemudian menumbuhkan perkembangan
keahlian, keterampilan, dan kecakapann tertentu. Bakat ini sifatnya laten potensial,
sehingga masih bisa tumbuh dan dikembangkan.
- Suganda Pubakawatja
Bakat adalah benih yang berasal dari suatu sifat yang manabaru akan tampak nyata jika
seseorang tersebut mendapat sebuah kesempatan dan kemungkinan untuk dapat
mengembangkannya.
- M. Ngalim Purwanto
Bakat adalah kecakapan pembawaan, yang mana mengenai kesanggupan dan potensi
tertentu yang dimiliki oleh seseorang.
- S.C Utami Munandar
Bakat adalah sebuah kemampuan bawaan dari seseorang yang mana sebagai potensi
yang masih perlu untuk dikembangkan lebih lanjut dan dilatih, agar dapat mencapai
impian yang ingin diwujudkan.

Pendapat Utami Munandar ini juga sejalan dengan yang dikemukakan oleh Sarwono
(1986), bahwa bakat adalah kondisi di dalam diri seseorang yang memungkinkannya
dengan suatu latihan khusus mencapai kecakapan, pengetahuan, dan keterampilan khusus.

B. Bakat Sebagai Potensi yang Dapat Dikembangkan

Utami Munandar (1987) menjelaskan, bahwa ada beberapa faktor yang dapat
menentukan sejauh mana bakat anak dapat terwujud. Faktor tersebut adalah:
1. Faktor dalam Diri Anak
Faktor ini banyak berkaitan dengan keadaan fisik dan psikis anak. Anak yang sehat
secara fisik dan sering mengikuti latihan olah vokal, maka bakatnya di bidang
menyanyi atau musik akan berkembang. Selain itu pendukung lain selain minat,
motivasi, dan keuletan dari dalam dirinya juga diperlukan.
2. Faktor Keadaan Lingkungan Anak
Perwujudan bakat akan maksimal jika didukung oleh faktor dari luar anak,
misalnya keluarga.

C. Pengertian Kreativitas

Konsep kreativitas sangat kompleks dan penekanannya pun berbeda-beda (Utami


Munandar, 1999). Dalam bukunya “Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak
Sekolah”, Utami Munandar (1987) memberikan beberapa pengertian kreativitas
berdasarkan pendapat para ahli, salah satunya yang juga merupakan pengertian dasar dari
kreativitas adalah kreativitas merupakan kemampuan untuk membuat kombinasi baru,
berdasarkan data, informasi, dan unsur-unsur yang ada.
Jika ditinjau dari belahan otak manusia yang terdiri dari belahan otak kanan dan
otak kiri, tampak bahwa masing-masing memiliki kekhususan tersendiri.
Belahan otak kiri banyak berkaitan dengan verbal, matematis, analisis, rasional,
serta hal-hal yang menekankan pada keteraturan. Sedangkan belahan otak kanan yang
mengontrol bagian kiri tubuh manusia, terutama mengkhususkan pada hal-hal yang bersifat
nonverbal dan holistik, intuitif, dan imajinatif. Agar kreativitas seseorang dapat lebih
terwujud, maka belahan otak kanan perlu diasah (Rosemini, 2000).
Dapat disimpulkan bahwa kita perlu mengenal berbagai macam definisi dan sudut
pandang para pakar yang mengemukakan kreativitas.

D. Hubungan Kreativitas dengan Kecerdasan

Teori ambang inteligensia untuk kreativitas dari Anderson (dalam Utami


Munandar, 1999) memaparkan bahwa sampai tingkat inteligensia tertentu, yang
diperkirakan seputar IQ 120, ada hubungan yang erat antara inteligensia dankreativitas.
Lebih lanjut, Anderson mengatakan bahwa di atas ambang inteligensia itu, tidak ada
korelasi yang tinggi lagi antara inteligensia dankreativitas.
Kreativitas diperoleh dari pengetahuan atau pengalaman hidup. Pengalaman yang
selama ini diperoleh dari lingkungan dikumpulkan dan diintegrasikan ke dalam suatu
bentuk yang baru dan orisinil. Dengan demikian, kita dapat mengacu pada pendapat
Hurlock (1987), bahwa kreativitas tidak dapat berfungsi dalam keadaan vakum, karena
berasal dari apa yang telah diperoleh selama ini, dan hal ini juga tergantung pada
kemampuan intelektual seseorang.

E. Belajar dan Berpikir Kreatif

Kelancaran, kelenturan, orisinalitas, elaborasi atau perincian merupakan ciri-ciri


dari kreativitas yang berhubungan dengan kemampuan berpikir kreatif seseorang. Semakin
kreatif, maka seseorang semakin memiliki ciri-ciri tersebut. Namun demikian, ciri-ciri
berpikir tersebut belum tentu mewujudkan kreativitas seseorang. Masih ada ciri-ciri lain
yang sama pentingnya, yaitu disebut dengan ciri afektif dari kreativitas. Ciri ini meliputi
dorongan atau motivasi dari dalam untuk berbuat sesuatu serta mengabdikan atau
pengikatan diri terhadap tugas (Utami Munandar, 1987).
Penelitian Utami Munandar menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara
hubungan yang bermakna antara kemampuan berpikir divergen (proses berpikir ke
berbagai macam arah dan menghasilkan banyak alternatif jawaban), dengan kemampuan
berpikir konvergen (proses berpikir yang mencari jawaban tunggal yang paling tepat), yang
membuat suatu proses belajar kreatif tidak bisa dilepaskan dari keduanya.
Berikut ini beberapa cara memecahkan masalah secara kreatif dalam belajar yang
dikemukakan oleh Utami Munandar (1987):

1. Menciptakan Lingkungan di dalam Kelas yang Merangsang Belajar Kreatif


Feldhusen dan Trefinger (dalam Utami Munandar, 1987) memberikan saran-saran
agar tercipta suatu lingkungan kreatif:
a. Memberikan Pemanasan
Pemberian pemanasan dapat dilakukan dengan memberikan pertanyaan
terbuka, dan bukan pertanyaan tertutup, di mana siswa tinggal menjawab “ya” atau
“tidak”. Selain itu juga bisa mendorong siswa mengajukan pertanyaan sendiri
terhadap suatu masalah.
b. Pengaturan Fisik
Pengaturan fisik atau ruang kelas saat belajar mengajar juga dapat
memengaruhi suatu proses belajar kreatif. Sangatlah tidak tepat jika kegiatan
belajar yang melibatkan diskusi kelompok besar membiarkan siswanya duduk di
tempat duduk masing-masing. Duduk melingkar di lantai secara berkelompok
dengan beralaskan tikar, akan lebih merangsang siswa untuk bertanya jawab.
c. Kesibukan di dalam Kelas
Akan lebih menyenangkan bagi siswa jika ruang kelas juga dilengkapi
dengan berbagai sumber tambahan, misalnya majalah pengetahuan anak, kliping
IPA, koran, atau apa pun yang merupakan hasil karya siswa. Dengan demikian,
hasil karya siswa tidak hanya menumpuk di meja guru, tetapi juga dapat
dimanfaatkan oleh teman-teman atau adik kelasnya yang lain.
d. Guru Sebagai Fasilitator
Peran guru harus terbuka, mendorong siswa untuk aktif belajar dapat
menerima gagasan siswa, memupuk siswa untuk memberikan kritik membangun
dan mampu memberikan penilaian terhadap diri sendiri, menghindari hukuman
atau celaan terhadap ide yang tidak biasa, dan menerima perbedaan menurut waktu
dan kecepatan setiap siswa dalam menuangkan ide-ide barunya.

2. Mengajukan dan Mengundang Pertanyaan


Diskusi kelompok memungkinkan pengembangan penalaran, pemikiran kritis, dan
kreatif, serta kemampuan memberikan pertimbangan dan penilaian. Guru harus dapat
menunjukkan masalah dan memberikan informasi yang diperlukan siswa untuk
membahas masalah.

3. Memadukan Perkembangan Kognitif (Berpikir) dan Afektif (Sikap dan


Perasaan)
a. Ciri kemampuan berpikir kreatif
1) Keterampilan berpikir lancar (lancar mengajukan pertanyaan dan gagasan,
banyak gagasan atas satu masalah, dapat dengan cepat melihat kesalahan atau
kejanggalan dari suatu objek;
2) Keterampilan berpikir luwes (memberi pertimbangan atas berbagai situasi,
pemberian penyelesaian/interpretasi yang berbeda atas suatu masalah,
menerapkan suatu konsep dengan cara yang berbeda);
3) Keterampilan berpikir orisinal (mampu memikirkan masalah yang tidak
terpikirkan orang lain, cara pendekatan atau pemikiran melalui pendekatan
baru); dan sebagainya.
b. Ciri afektif
1) Rasa ingin tahu (misalnya mempertanyakan sesuatu);
2) Bersifat imajinatif (misalnya membayangkan hal-hal yang belum pernah
terjadi);
3) Merasa tertantang oleh kemajemukan (misalnya senang menjajaki cara
penyelesaian yang lebih rumit); dan sebagainya.
c. Menggabungkan pemikiran divergen dan pemikiran konvergen
Pemikiran konvergen yang menuntut siswa mencari jawaban tunggal yang
paling tepat berdasarkan informasi yang diberikan, tampaknya sudah tidak asing
bagi kita. Di lain pihak, pemikiran divergen atau pemikiran kreatif menuntut siswa
untuk mencari sebanyak mungkin jawaban terhadap suatu persoalan. Dengan
pendekatan pembelajaran aktif dan experiential, pemikiran divergen akan lebih
terasah.
d. Menggabungkan proses berpikir dengan proses afektif
Kegiatan belajar yang menggabungkan keterampilan berpikir luwes dan ciri
afektif yang berkaitan dengan daya imajinasi adalah dalam pelajaran mengarang
mengenai “banjir” atau setelah siswa membaca artikel “Demam Berdarah, penyakit
yang mematikan”, kemudian diminta untuk menceritakan kembali. Untuk
menceritakan kembali, siswa tidak hanya sekedar menuangkan suatu fakta, tetapi
dituntut untuk menggunakan daya imajinatifnya, rasa ingin tahunya bahkan
menuangkan perasaannnya.

F. Faktor-faktor yang Berpengaruh dan Sumber-sumber Kreativitas yang Perlu


Dikembangkan

Beberapa penelitian (Getzels & Jackson, 1962; Block & Block, 1987; dan Runco,
1992) mengenai peran lingkungan rumah, menunjukkan bahwa keluarga dari anak yang
kreatif cenderung menerima anak apa adanya (tidak memaksa), merangsang rasa ingin tahu
intelektualnya, dan membantu mereka untuk memilih dan menekuni sesuatu yang diminati
(dalam Shaffer, 1996). Penemuan hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menjelaskan
‘mengapa anak yang kreatif cenderung lebih imajinatif, memiliki minat yang luas, dan
tidak terlalu memikirkan menjadi yang terunggul di kelas’ (seperti halnya teman-temannya
yang pandai).

Sumber-sumber kreativitas yang perlu dikembangkan.


1. Sumber Kognitif
Hasil karya kreatif melibatkan keterampilan kognitif dalam tingkat yang tinggi.
Tidak sekedar dalam memecahkan masalah, tetapi juga dalam menemukan masalah
(yang diperlukan untuk melihat kesenjangan dari pengetahuan masa kini, kebutuhan
untuk menghasilkan sesuatu yang baru). Begitu masalah ditemukan, kemampuan untuk
mengenal masalah (di mana masalah sudah lebih khusus/spesifik) menjadi sesuatu
yang penting. Pada anak-anak, makin banyak usaha untuk mengenal masalah, semakin
orisinal hasil yang dicapai.

2. Sumber Kepribadian
Karakteristik kepribadian turut mengembangkan komponen kognitif dari
kreativitas. Beberapa sifat yang harus ada adalah:
a. Gaya inovatif dari berpikir
Dalam menemukan masalah secara inovatif, orang-orang yang kreatif
cenderung memilih aktivitas yang tidak terlalu terstruktur.
b. Sikap toleran pada ketekunan dan sesuatu yang jamak
Dengan memberikan harapan dan sikap sabar terhadap hambatan-hambatan
yang dihadapi, dapat membantu anak untuk berpikir secara kreatif.
c. Kemauan untuk mengambil resiko
Kreativitas memungkinkan seseorang menghadapi situasi yang penuh
tantangan. Mendorong untuk berpikir pada situasi yang penuh tantangan dapat
meningkatkan proses berpikir divorgen.
d. Berani terhadap pendapat
Mereka yang percaya diri dan memiliki self esteem (harga diri) yang tinggi,
memungkinkan untuk menjadi kreatif.

3. Sumber Motivasi
Motivasi untuk kreativitas lebih menitikberatkan pada tugas dari pada tujuan.

4. Sumber Lingkungan
Lingkungan dapat menciptakan kondisi fisik maupun sosial yang membantu
seseorang untuk menghasilkan dan mengembangkan ide-ide baru. Dari penelitian
terhadap anak berbakat, menunjukkan bahwa mereka berasal dari lingkungan rumah
yang sarat akan bahan bacaan maupun yang merangsang berbagai aktivitas, serta orang
tua yang menekankan pada rasa ingin tahu dan menerima kekhasan anak (Albert dkk,
1994 dalam Berk 2003).

Kegiatan Belajar 3

Peran Kecerdasan Intelektual dan Kecerdasan Emosionl pada Anak SD

A. Kecerdasan Intelektual

Pada dasarnya emosi adalah dorongan untuk bertindak yang mempengaruhi reaksi
seketika untuk mengatasi masalah. Sehingga emosi yang cerdas akan memengaruhi
tindakan anak dalam mengatasi masalah, mengendalikan diri, semangat, tekun serta
mampu memotivasi diri sendiri yang terwujud dalam hal-hal berikut ini:

1. Motivasi Belajar yang Berasal Dari dalam Diri


Di mana dengan pengendalian diri yang baik, anak yang mampu mengatur sendiri
kegiatannya, akan mengenal kecepatan belajarnya serta lebih mengerti tujuan dan
manfaat belajar. Anak tidak perlu terlalu diatur dan disuruh belajar karena ia sendiri
sudah menetapkan jadwal belajarnya dan bisa menciptakan kesenangan dalam belajar.

2. Pandai
Umumnya anak yang secara emosi cerdas, juga mampu mengoptimalkan
prestasinya karena didorong oleh motivasi belajar yang besar. Kepandaian seorang
anak tidak hanya didukung oleh kecerdasan kognitif yang tinggi saja. Tidak akan
berarti jika anak yang pandai tetapi di sekolah ia tidak berprestasi baik karena malas
belajar, tidak bisa berkonsentrasi sehingga potensinya yang baik tidak terwujud secara
memadai.

3. Memiliki Minat
Anak yang cerdas secara emosional, sejak dini sudah mengerti keinginannya dan
lebih terarah dalam melakukan tugas-tugasnya. Minatnya lebih menetap dan upayanya
lebih berkaitan dengan kegiatan yang sesuai dengan minatnya.

4. Konsentrasi
Dengan kemampuannya untuk mengendalikan diri secara sehat, anak yang cerdas
secara emosional akan lebih bisa memusatkan konsentrasinya dan tidak mudah teralih
oleh situasi sesat. Kemampuan untuk memusatkan konsentrasi tidak hanya pada
pelajaran sekolah, tetapi juga pada semua kegiatan yang tengah ditekuninya. Dengan
demikian, dalam belajar dan melakukan kegiatan, anak akan mampu menunjukkan
efisiensi dan efektivitas kerja. Waktu tidak banyak terbuang dan hasil belajar atau kerja
yang diperoleh akan cukup banyak.

Piaget (dalam Shafler, l996) menjelaskan inteligensia sebagai dasar fungsi kehidupan
yang membantu seseorang/organisme untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Hal itu
berkaitan dengan bagaimana anak atau seseorang memanfaatkan kemampuan
intelektualnya untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Piaget juga menambahkan
inteligensia sebagai suatu bentuk equilibrium yang menunjukkan adanya kecenderungan
struktur kognitif. Pandangannya ini menunjukkan bahwa seluruh aktivitas intelektual
tertuju pada keadaan: untuk menghasilkan keseimbangan, keharmonisan, hubungan antara
satu proses pemikiran dan lingkungan. Utami Munandar (1986) mengemukakan bahwa
kecerdasan intelektual dapat dirumuskan setbagai kemampuan untuk:

- Berpikir abstrak;

- Menangkap hubungan-hubungan dan untuk belajar;

- Menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi baru.


1. Konsep IQ
Di dunia psikologi, inteligensia seseorang biasanya dinyatakan dalam skor yang
dikenal dengan koefisien inteligensia atau 1Q (Intelligence quotient). 1Q dapat
diklasifikasikan dalam beberapa kategori tergantung dari jenis pengukurannya.
Menurut Utami Munandar (1986) mereka dapat digolongkan sebagai anak berbakut
intelektual dan memerlukan suatu bentuk pendidikan yang berbeda dengan pendidikan
pada unumnya. Populasi yang mencapai IQ antara 120 sanpai 129 atau tergolong
superior sebanyak 6.7%. Sementara yang memiliki lQ di aas rata-rata, yaitu antara 110
sampai 119 sebanyak 16.1 % dari populasi. Di lain pihak ada l6.1% dari populasi yang
memiliki 1Q sekitar 80 sampai 89. Sedangkan mereka yang memiliki lQ pada
klaxifikasi 70 sampai 79 ada scbanyk 6.7 % dari populasi. Sedangkan (2.2 % dari
populasi) dapat dikategorikan sebagai cacat mental/keterbelakangan mental dengan
rentangan lQ di bawah 70.

2. Struktur Intelektu:al dari Guilford

Guilford (dalam Cohen, 1999) mengemukakan suatu model struktur intelektual


yang dapat digambarkan sebagai suatu kubus yang terdiri dari tiga dimensi intelektual.
Model struktur ini menggambarkan keragaman kemampuan intelektual manusia, yang
sekaligus dapat mengklasifikasikan dan menjelaskan seluruh aktivitas mental manusia.

Berdasarkan model ini, aktivitas mental dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Operasi intelektual menunjukkan macam proses pemikiran yang berlangsung.


Operasi intelektual, meliputi kognisi, ingatan, berpikir divergen, berpikir
konvergen dan evaluasi.
b. Isi intelektual menunjukkan macam materi yang digunakan. Termasuk di dalamnya
adalah figural, simbolik, semantik dan perilaku.
c. Produk menunjukkan hasil dari operasi (proses) tertentu yang diterapkan pada isi
(materi) tertentu. Termasuk di dalamnya unit, kelas, hubungan, sistem.
transformasi, implikasi.
B. Kecerdasan Emosional

1. Pengertian Kecerdasan Emosional

Istilah kecerdasan emosi pada awalnya dikemukakan oleh Peter Salovey dan John
Meyer, kemudian dipopulerkan oleh David Goleman. Hedlund dan Sternberg (2000)
merangkum pengertian kecerdasan emosional sebagaimana yang diungkapkan oleh
Goleman (1995) sebagai kemampuan sescorang untuk dapat memotivasi diri sendiri
dan tekun dalam menghadupi frustrasi, mengontrol dorongan-dorongan impulsif
(dorongan yang timbul berdasarkan susana hati) dan mampu menunda pemuasannya,
mengatur suasana hati sehingga tidak memengaruhi kemampuan berpikir berempati.
Definisi ini kemudian juga disempumakan oleh Golenman (1998) dalam bukunya
Working with Emotional Intelligence sebagai kapasitas untuk mengenal perasaan kita
sendiri dan orang lain, untuk memotiasi diri kita, dan untuk mengatur emosi dalam diri
kita dan dalam hubungan kita dengan orang lain.

Goleman (1995) mengemukakan 5 noma dari kecerdasan emosional, sebagaimana


yang diringkas oleh Salovey berdasarkan pandangan inteligensia pribadi dari Gardner.
Kelima norma tersebut adalah:

a. Pengenalan emosi diri, menunjukkan kesadaran diri atau pengenalan terhadap


perasaan yang dialami sehingga mampu mengendalikan kehidupannya.
b. Pengendalian emosi, menunjukkan bagaimana kemampuan untuk mengendalikan
emosi yang terlalu dalam yang dapat mengganggu stabilitas kehidupan seseorang
agar dapat mencapai keseimbangan.
c. Memotivasi diri sendiri, yaitu mengatur emosi penting agar seseorang dapat
memusatkan perhatian dan memotivasi diri menjadi kreatif dan berusaha untuk
mencapai cita-cita atau tujuan hidup.
d. Mengenali emosi orang lain, yaitu mampu membaca tanda-tanda nonverbal dan
mengerti perasaan dan emosi orang lain sehingga mampu menyesuaikan sikap dan
tindakan dengan kecenderungan yang ditampilkan orang lain.
e. Mengendalikan hubungan dengan orang lain, yaitu kemampuan untuk menjaga
hubungan dengan sesama maupun mengenali emosi setiap orang serta
mengendalikannya.

Goleman (1995) menyebutkan bahwa pengendalian emosi dapat dilatih dan


dikembangkan.

2. Konsep EQ yang Berbeda dari IQ

Salovey dan Mayer (dalam Saphiro, 1997) menyebutkan EQ (emotional quotien)


sebagai persamaan dari kecerdasan emosional, namun hal ini tidak berarti EQ diukur
oleh suatu alat ukur sebagaimana halnya 1Q. Berbagai alat ukur pun sudah
dikembangkan untuk mengetahui EQ seseorang, seperti Emotional Quotient Inventory
yang dikembangkan oleh Bar-On (dalam Hedlund dan Sternberg, 2000) atau Emotional
Competence Inventory dari Boyatzis (dalam Hedlund dan Sternberg. 2000). Namun
demikian, penelitian yang berkaitan dengan segi-segi emosi, kepribadian dan berbagai
faktor penentu dan akibat dari perilaku manusia masih perlu dikembangkan.

Goleman (1995) dan Saphiro (1997) mengemukakan bahwa sesungguhnya EQ


tidak berlawanan dengan IQ atau kecerdasan kognitif, tetapi keduanya lebih
menggambarkan konsep yang berbeda. Dalanm kehidupan nyata, secara dinamis
keduanya saling berhubungan, tetapi kecerdasan kognitif tidak berhubungan dengan
pemantauan emosi seseorang.

C. Peran Orang Tua dan Guru dalam Mengembangkan IQ dan EQ

Selama anak berada dalam lingkungan rumah, maka orang tualah yang banyak
berperan dalam pengembangan kecerdasan intelektual sekaligus enmosionalnya. Di
lingkungan rumahlah anak pertama kali belajar menggunakan daya pikirnya untuk
memecahkan masalah dan bagaimana bersikap pada lingkungannya. Begitu anak masuk ke
lingkungan pendidikan atau bersekolah maka peran orang tua atau pengganti orang tua
selama anak di sekolah digantikan oleh guru.

Goleman (1997, dalam Daennaryati, 2000), mengemukakan bahwa untuk mendapatkan


pengendalian emosi secara sehat, maka ada berbagai hal yang perlu dilatih pada anak,
seperti berikut ini:

a. Mengajarkan anak untuk mengenali perasaannya sendiri dan membiarkan mereka


mengungkapkan perasaan ini secara sehat, misalnya bukan menunjukkan marah yang
ditahan, tetapi tunjukkan marah yang perlu dipelajari pengendaliannya.
b. Melatih anak mengekspresikan perasaannya dengan baik.
c. Melatih anak mengenali perasaan orang lain dan dampak dari perasaan orang lain jika
pelampiasan perasaannya dalam bentuk enmosional yang terarah.
d. Melatih anak untuk bersabar dengan tidak selalu mengikuti dorongan emosi.

Untuk melatih hal-hal tersebut, sudah tentu orang tua maupun guru perlu memilıkı
sikap yang mendukung karena orang tua maupun guru merupakan model yang baik bagi
anak untuk ditiru perilakunya.

1. Menyadari Emosi Anak

Kepedulian dan kesadaran akan emosi anak akan membuat anak merasa dimengerti
dan diterima apa adanya. Dengan demikian, timbulnya perasaan ini pada orang tua
maupun guru, akan menjadi dasar dari kesediaan anak untuk juga mau mengerti apa
yang diharapkan orang tua/guru karena perasaan tenarng dan nyaman dirasakannya
mengingat adanya pengertian dari orang tua dan guru.

2. Mengakui Emosi sebagai Peluang untuk Kedekatan dan Mendidik

Pada saat anak merasa sedih, marah dan takut maka orang pertama yang amat
dibutuhkannya adalah orang tua. Di lain pihak jika perasaan-perasaan, seperti muncul
pada saat anak berada di sekolah maka kebutuhan akan kehadiran guru juga diperlukan
anak. Dengan mengakui dan mengenali emosi anak maka anak akan merasa tenang dan
peran orang tua maupun guru semakin dirasakan anak.

3. Mendengarkan dengan Empati dan Meneguhkan Perasaan Anak

Mendengarkan dan memberikan ungkapan secara empati akan menjadikan anak


mengerti bahwa orang tua'guru memperhatikan keprihatinannya karena diakui secara
terbuka. Ungkapan empati kita banyak dimulai sewaktu anak masih bayi.

4. Menolong Anak memberi Nama Emosi dengan Kata-Kata

Semakin jclas kita menggunakan banyak nama yang menggambarkan kadar emosi
yang dirasakan anak, seperti tegang, kesal, cemas, marah, sedih, takut maka anak akan
menjadi lebih mengerti perasannya sendiri yang nantinya mampu melukiskannya
secara verbal dan bukan hanya non verbal saja. Kita akan lebih memahami jika anak
tiha-tiba mengungkapkan kata-kata "Aku kesal sama si A, habis dia mengambil kue
kesukaanku tanpa bilang-bilang".

5. Menentukan Batas-Batas sambil Membantu Anak Memecahkan Masalah

Selanjutnya adalah membantu anak dalam memecahkan masalah berdasarkan nilai-


nilai yang berlaku dalam lingkungannya. Bantulah anak untuk menentukan sasaran
yang ingin dicapai dan memilih satu pemecahan yang paling memungkinkan.

Untuk mengembangkan pengendalian emosi anak perlu diperhatikan beberapa hal


berikut.

a. Hindari kritik, komentar yang menghina atau mengolok-olok.


b. Gunakan pujian lebih banyak, perhatikan sikap anak yang positif dan jangan hanya
melihat kesalahan anak.
c. Pahamilah apa yang dirasakan anak dan cobalah kita mengungkapkan apa yang
dirasakan anak tersebut.
d. Jangan mencoba memaksakan pemecahan kita pada masalah anak.
e. Sebanyak mungkin memberikan pilihan yang konkret sambil menghormati keinginan
anak sehingga anak akan lebih dapat memutuskan secara lebih tenang.
f. Membaca buku bersama anak.
g. Bersedia untuk bersabar dalam proses pengembangan emosi anak.
h. Sikap kita yang terburu-buru akan dirasakan anak, dan akhirnya membuat anak menjadi
tidak nyaman.
i. Bicaralah berdua dengan anak karena kehadiran pihak ketiga justru akan
mempermalukan anak.
j. Hindari sikap selalu marah dan tidak sabar, dan cobalah untuk menenangkan diri.
k. Kita juga perlu hati-hati karena adakalanya anak berpura-pura menunjukkan emosi
tertentu hanya untuk memanipulasi kita.

D. Peran IQ dan EQ dalam Keberhasilan Belajar Siswa

Penelitian dari National Center (dalam Goleman, 1995) untuk program balita di
Amerika menunjukkan bahwa keberhasilan di sekolah bukan diramalkan hanya oleh
kemampuan dirinya dalam membaca, menulis dan matematika, melainkan oleh ukuran
emosi dan sosial, yaitu yakin pada diri sendiri, tahu pola perilaku apa yang diharapkan
orang dan bagaimana mengendalikan dorongan hati untuk berbuat nakal, maupun
mengganggu, mengikuti petunjuk, dan mengenali minatnya sendiri. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa kesiapan anak untuk masuk sekolah bergantung pada beberapa hal
yang paling dasar dari semua pengetahuan, yaitu bagaimana caranya belajar.

Emosi yang cerdas akan mempengaruhi tindakan anak dalam mengatasi masalah,
mengendalikan diri, semangat, tekun serta mampu memotivasi diri sendiri yang terwujud
dalam hal-hal berikut ini.

1. Motivasi belajar yang berasal dari dalam diri, di mana dengan pengendalian diri yang
baik, anak yang mampu mengatur sendiri kegiatannya, akan mengenal kecepatan
belajarnya serta lebih mengerti tujuan dan manfaat belajar.
2. Pandai. Umumnya anak yang secara emosi cerdas, juga mampu mengoptimalkan
prestasinya karena didorong oleh motivasi belajar yang besar. Kepandaian seorang
anak tidak hanya didukung oleh kecerdasan kognitif yang tinggi saja.
3. Memiliki minat. Anak yang cerdas secara emosional, sejak dini sudah mengerti
keinginannya dan lebih terarah dalam melakukan tugas-tugasnya.
4. Konsentrasi. Dengan kemampuannya untuk mengendalikan diri secara sehat, anak
yang cerdas secara emosional akan lebih bisa memusatkan konsentrasinya dan tidak
mudah teralih oleh situasi sesat.
5. Mampu membaur diri di lingkungan. Anak dengan emosi yang sehat akan lebih
terampil dalam menyesuaikan diri di lingkungannya.

E. Ciri-ciri Siswa Dengan Kecerdasan Ekstem

Yang dimaksud siswa dengan kecerdasan ekstrem adalah siswa yang memiliki tingkat
kecerdasan kurang/rendah, yang biasa dikenal dengan keterbelakangan mental dan siswa
yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi, yang dikenal dengan berbakat secara intelektual
atau keberbakatan.

1. Keterbelakangan Mental
Hallahan dan Kauffman (2000) mengemukakan keterbelakangan mental sebagai
adanya keterbatasan dalam fungsi, yang mencakup fungsi intelektualyang di bawah
rata-rata, di mana berkaitan dengan keterbatasan pada dua atau lebih dari keterampilan
adaptif, seperti komunikasi, merawat diri sendiri, keterampilan sosial, kesehatan dan
keamanan, fungsi akademis, dan waktu luang. Keadaan ini tampak sebelum usia 18
tahun.

2. Ciri-ciri Anak Keterbelakangan Mental


a. Keterbelakangan mental ringan disebut sebagai mampu didik.
b. Keterbelakangan mental menengah bisa disebut dengan mampu latih, di mana
mereka dapat dilatih untuk beberapa keterampilan tertentu.
c. Keterbelakangan mental berat, mereka memperlihatkan banyak masalah.
d. Keterbelakangan mental parah, memiliki masalah yang serius, baik menyangkut
kondisi fisik, inteligensia serta program pendidikan yang tepat bagi mereka.

3. Anak Berbakat
GBHN menyebutnya sebagai berkemampuan istimewa atau berdasarkan UU No. 2
Tahun 1989, disebutkan sebagai anak-anak dengan kemampuan dan kecerdasan luar
biasa atau disingkat sebagai anak berbakat.

4. Indikator Anak Berbakat


Ada beberapa indicator yang dipercaya sebagai tanda positif agar anak dapat
disebut sebagai anak berbakat, yaitu:
a. Kemampuan motoric yang lebih awal,
b. Kemampuan berbicara dengan kalimat yang lengkap,
c. Perbandingan di mana anak berbakat cederung menyukai permainan yang
merangsang daya khayalnya,
d. Daya ingat yang baik.

5. Asal Usul Keberbakatan


Faktor genetik atau faktor biologis dan faktor lingkungan mempunyai peran besar
dalam terwujudnya keberbakatan seseorang.

6. Ciri-ciri Anak Berbakat


Dua puluh ciri yang dapat dilihat dari aspek kemampuan belajar, kreativitas,
pengikatan diri dan kepribadian, meliputi daya tangkap cepat, kecerdasan tinggi, dan
sebagainya.
Adapun ciri berbakat pada anak SD:
a. Kelancaran berbahasa,
b. Rasa ingin tahu yang bersifat pengetahuan,
c. Kemampuan berpikir kritis,
d. Kemampuan bekerja mandiri,
e. Ulet,
f. Rasa tanggung jawab terhadap tugas,
g. Tingkah laku yang terarah pada tujuan,
h. Cermat dalam mengamati,
i. Sering mengungkapkan gagasan baik atau pendapat yang baru,
j. Senang membuat barang/benda baru dari bahan yang ada dalam lingkungannya.

Modul 03
Perkembangan Moral dan Sosial pada Anak Usia Sekolah Dasar

Kegiatan belajar 1

Perkembanga moral pada anak usia SD

A. Pengertian Perilaku Moral

Perilaku moral berarti perilaku yang menyesuaikan dengan kode moral dari
kelompok sösialnya. Moral berasal dari bahasa latin: mores berarti tata krama atau
kebiasaan. Perilaku moral dikendalikan oleh konsep moral, yakni aturan-aturan dalam
bertingkah laku, di mana anggota masyarakat berperilaku sesuai dengan pola perilaku yang
diharapkan oleh masyarakatnya, sedangkan perilaku immoral adalah perilaku yang gagal
menyesuaikan pada harapan sosial. Perilaku yang unmoral adalah perilaku yang tidak
menghiraukan harapan dari kelompok sosialnya. Perilaku ini cenderung terlihat pada anak-
anak.
B. Cara Mempelajari Moral

Piaget dan Kohlberg mengemukakan tahap-tahap perkembangan moral. Menurut


Piaget, antara usia 5 tahun dan 12 tahun, konsep anak mengenai keadilan sudah tumbuh.
Pengertian yang kaku tentang benar dan salah yang dipelajari dari orang tua menjadi
berubah, dan anak mulai memperhitungkan keadaan khusus di sekitar pelanggaran moral.
Sedangkan Kohlberg menamakan tingkat kedua dari perkembangan moral pada usia
sekolah sebagai tingkat moralitas konvensional. Dalam tingkat ini, yang disebut juga
sebagai moralitas anak baik, anak mengikuti peraturan untuk mengambil hati orang lain
dan untuk mempertahankan hubungan-hubungan yang baik.

Hurlock (1978) mengemukakan bahwa dalam perkembangan moral ada 4 elemen yang
harus diketahui, yaitu berikut ini:

1. Hukum, Kebiasaan/Tata Krama dan Aturan dalam Perkembangan Moral

Elemen pertama yang penting dalam belajar menjadi individu yang bermoral adalah
belajar apa yang diharapkan kelompok. Dalam setiap kelompok sosial beberapa
perilaku dapat dianggap benar atau salah karena berkaitan dengan kesejahteraan
anggota

Secara perlahan, anak belajar aturan yang dibentuk oleh berbagai kelompok yang
berbeda, seperti di rumah, sekolah, dan lingkungan rumah/tetangga. Hal ini membentuk
dasar dari pengetahuan mengenai apa yang diharapkan oleh kelompok yang berbeda.
Dengan demikian, aturan merupakan pedoman bagi perilaku anak dan sebagai sumber
dari motivasi untuk taat pada harapan sosial sebagaimana hukum dan adat kebiasaan
bagi para remaja dan orang dewasa.

2. Peran Kata Hati dalam Perkembangan Moral


Kata hati merupakan kontrol internal (dalam diri) terhadap tingkah laku seseorang.
Tidak ada anak yang lahir dengan kata hati tertentu dan setiap anak tidak hanya belajar
mengenai apa yang benar dan apa yang salah, tetapi anak harus menggunakan kata
hatinya sebagai kontrol terhadap tingkah lakunya. Hal ini merupakan salah satu tugas
perkembangan yang penting di masa anak usia sekolah.

3. Peran Rasa Bersalah dan Malu dalam Perkembangan Moral

Kata hati akan dipergunakan scbagai pedoman bagi tingkah laku anak-anak. Jika
tingkah laku mereka tidak sesuai dengan apa yang telah đitetapkan oleh kata hatinya,
maka mereka akan merasa bersalah, malu atau keduanya.

Ausubel (dalam Hurlock, 1978) mengemukakan, balwa rasa bersalah merupakan


mekanisme psikologis yang penting. Di mana perilāku seseorang nenjadi sesuai dengan
kebudayaannya. Jika anak tidak nerasa bersalah, anak akan menjadi tidak termotivasi
untuk belajar apa yang diharapkan kelompok pada dirinya.

4. Peran Interaksi Sosial dalam Perkembangan Moral

Interaksi sosial pertama yang dialami anak adalah melalui kehidupan di Ingkungan
keluarganya. Anak belajar dari keluarganya mengenai apa yang dianggap baik dan
buruk oleh mereka. Begitu lingkungan menjadı lebih luas, anak juga belajar bahwa
dasar-đasar yang diperoleh dari lingkungan keluarga kadang sama, tetapi kadang-
kadang berbeda dengan apa yang mereka peroleh dari kelompok. Semakin
meningkatnya interaksi dengan kelompok, maka pengaruh kelompok juga semakin
besar. Jika ada perbedaan antara standar moral di lingkungan rumah dengan lingkungan
kelompok, maka anak cenderung lebih menerima standar yang ditetapkan oleh
kelompok, dan menolak apa yang telah ditetapkan oleh keluarganya.

Melalui interaksi sosial, anak tidak hanva belajar mengenai kode-kode moral, tetapi
mereka juga berkesempatan untuk belajar mengevaluasi tingkah laku mereka.
C. Pengertian Disiplin

Disiplm merupakan cara masyarakat mengajarkan anak berperilaku moral yang


đitrima oleh masyarakatnya. Tujuan dari đisiplin adalah membentuk perilaku yang sesuai
đengan kelompok sosialnya. Walaupun demikian, ada orang tu yang takut bahwa dengan
menerapkan disiplin akan menimbulkan masalah dalam hubungan dengan anak-anaknya.
Oleh karena itu, ada konsep yang bertentangan tentang disiplin itu sendiri. Konsep yang
memandang disiplin sebagai konsep negatif, berarti sama dengan hukuaman. Sedangkan
konsep positif sama dengan adanya pendidikan, bimbingan dalam menetapkan disiplin diri
dan kontrol diri

D. Pentingnya Disiplin Bagi Anak

Beberapa kebutuhan anak yang dapat dipenuhi melalui disiplin adalah berikut ini:

1. Disiplin membuat anak-anak mempunyai perasaan aman tentang apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan.
2. Anak belajar mengapa pola perilaku tertentu diterima dan mengapa pola perilaku lain
tidak diterima.
3. Melalui disiplin anak-anak dibantu untuk hidup sesuai dengan norma-norma sosial.
4. Anak-anak pun akan mengembangkan kata hati untuk membuat keputusan dan
pengendalian dari perilakunya.

Di samping itu, hal-hal yang penting dari disiplin untuk anak usia SD adalah (Hurlock,
1980) berikut ini.

1. Alat untuk Membuat Moral

Pengajaran baik dan buruk perlu ditekankan pada alasan mengapa beberapa pola
tingkah laku diterima sementara yang lain tidak, dan penjelasan langsung perlu untuk
membantu anak memiliki konsep yang lebih luas.
2. Penghargaan

Penghargaan memiliki nilai pendidikan yang kuat bagi anak jika anak bertingkan
laku benar dan dapat memotivasi anak untuk mengulang kembali tingkah laku yang
diharapkan. Dengan demikian, penghargaan menupakan hal yang efektif maka
pemberian penghargaan juga harus tepat disesuaikan dengan usia anak dan tingkat
perkembangannya.

3. Hukum

Sebagaimana penghargaan, hukuman pertu dikembangkan secara tepat. Hukuman


juga harus dapat memotivasi anak agar taat pada harapan sosial di kemudian hari.

4. Konsisten

Disiplin yang baik adalah disiplin yang diberikan secara konsisten. Tingkah laku
yang salah jika diulang perlu mendapat hukuman yang sama setiap saat, dan tingkah
laku yang benar perlu mendapat penghargaan yang sama pula.

Dapat disimpulkan bahwa dalam menerapkan disiplin, hendaknya disesuaikan dengan


perkembangan anak.

E. Pemberian Hukuman dan Penghargaan

Pemberian hukuman dapat berfungsi untuk:

1. Membatasi anak agar tingkah laku yang tidak diinginkan tidak diulangi.
2. Mendidik, dan
3. Motivasi, untuk menghindari terjadinya tingkah laku sosial yang tidak diinginkan.
Bentuk hukuman dapat berbentuk hukuman fisik (misalnya pukulan), mengisolasi anak
selama beberapa waktu (misal tidak mnenonton acara TV yang disukai). Meskipun
demikian, pemberian hukuman fisik tampaknya sudah tidak terlalu efektif, itulah sebabnya
akan lebih baik dan efektif jika pemberian hukuman disertai penjelasan mengapa tingkah
laku dilarang (Strommen dkk., 1983).

Pemberian penghargaan pun sama dengan hukuman, yaitu memotivasi anak untuk
mengulangi peritāku yang dapat diterima oleh lingkungannya. Fugsi pemberian
penghargaan adalah:

1. Nilai mendıdık karena pemberian penghargaan menunjukkan bahwa tingkah laku anak
adalah yang sesuai dengan upa yang diharapkan oleh lngkungannya,
2. Motiasi, agar lingkah laku yang diterim diulang kemhali,
3. Penguat, untuk tingkah laku yang diterima secara sosial.

Bentuk penghargaan berbentuk nonverbul, seperti senyuman, pelukan. Sedangkan


berbentuk verbal seperti melałui ungkapan rasa puas atau nenghargai usaha anak.

F. Arti Agama Bagi Anak Usia Sekolah

Tak dapat disangkal bahwa perasaan keagamaan temasuk perasaan yang luhur dalam jiwa
seseorang. Melalui pelajaran agama dan PPK (Pendıdikan Pancasila dan
Kewarganegaraan) anak SD dapat lebih memahami arti agama. Dengan mengajarkan
konsep keagamaan diajarkan dalam bahasa sehari-hari dan melalui pengalaman sehari-hari,
misalnya agar anak dapat memahami tata cara makan tidak boleh sambil bicara, sebelum
makan harus cuci tangan, dan berdoa sebaga pengungkapan rasa syukur pada Yang Maha
Kuasa. Jika anak lengah dengan yang pemah dipelajarinya, maka sebagai orang tua
maupun guru perlu mengingatkan kembalı. Dengan begitu anak tidak hanya sekadar
menghafal apa yang telah dipelajari, tetapi juga nilai-nilai yang diajarkan dalam agama
akan lebih tertanam dalam diri anak.
Kegiatan Belajar 2

Penyesuaian Diri dan Penerimaan Sosial

A. Makna Perkembangan Sosial Bagi Anak Usia Sekolah Dasar

Terjadi tiga proses sosialisasi dalam perkembangan sosial yaitu:

1. Belajar untuk bertingkah laku sesuai dengan cara norma yang berlaku.

2. Bermain sesuai dengan peran sosial yang diharapkan.

3. Mengembangkan sikap sikap sosial.

Hal-hal yang penting dari proses sosialisasi adalah bagaimana seorang anak belajar
bersosialisasi dan dapat bergaul, sangat tergantung dari beberapa faktor berikut:

a. Kesempatan untuk bersosialisasi merupakan hal yang penting. Anak membutuhkan


kesempatan lebih banyak untuk berinteraksi dengan teman sebaya nya saja tetapi juga
dengan orang dewasa dari berbagai usia dan latar belakang kebudayaan.

b. Anak perlu mengkomunikasikan hal-hal yang tidak dipahami dan diminati oleh orang
lain.

c. Anak hanya akan belajar untuk bersosialisasi jika termotivasi untuk melakukannya.

d. Bagaimana metode efektif yang digunakan untuk bersosialisasi melalui trial and error
anak belajar pola pola tingkah laku yang sesuai dengan penyesuaian sosial.

Anak menjadi anggota dari kelompok teman sebaya yang lambat laun
menggantikan posisi keluarga, dan berpengaruh dalam sikap dan tingkah lakunya.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka Hurlock (1978) mengemukakan beberapa


karakteristik kelompok sebaya pada masa usia SD, yaitu sebagai berikut:

a. Kelompok sebaya dapat dikenal dari namanya misalnya dari nama jalan atau tempat
tinggal, nama-nama tokoh terkenal dari buku komik atau film.
b. Untuk menjaga kerahasiaan kelompok acap kali menggunakan kode kode rahasia dalam
berkomunikasi, misalnya menggunakan bahasa sandi.

c. Kadangkala untuk menerima anggota baru diadakan semacam upacara agar anggota
kelompok merasa dihargai.

d. Kelompok sebaya sering bertemu di tempat-tempat tertentu misalnya kelompok sebaya


anak perempuan lebih banyak bertemu di rumah sementara kelompok sebaya anak laki-
laki di luar rumah.

e. Kegiatan kelompok sebaya biasanya terlibat dalam berbagai kegiatan misalnya kegiatan
olahraga bermain berkelompok.

B. Pola-pola tingkah laku yang dapat dipelajari dari anggota kelompok sebaya

Beberapa pola tingkah laku yang umum dipelajari anak dari lingkungan kelompok
sebaya nya yaitu:

1. Hal-hal yang Diterima Maupun Tidak Diterima Secara Sosial


Timbulnya perbedaan antara apa yang telah diterapkan di rumah dan di sekolah
dengan lingkungan kelompok sebaya membuat anak lebih berpihak pada apa yang
diakui oleh kelompok.

2. Terlalu Peka atau Sensitif


Terlalu peka atau sensitif menunjukkan pada kecenderungan untuk mudah merasa
sakit hati dan cenderung mengartikan apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain
sebagai permusuhan. Sikap ini umumnya terlihat pada saat anak berada di lingkungan
luar rumah karena anak lain akan lebih mudah memperhatikannya.

3. Mudah Terpengaruh
Ada anak yang mudah terpengaruh oleh anak lain karena perkembangan dari
adanya kebutuhan akan perhatian penerimaan sosial. Di lain pihak ada pula anak-anak
yang tidak mudah dipengaruhi anak lain karena jalan pikiran tingkah lakunya dengan
apa yang diharapkan kelompok berbeda.

4. Kompetisi atau Persaingan


Kompetisi dibagi dalam tiga bentuk pertama, persaingan antar anggota kelompok
sebaya yang dapat menimbulkan permusuhan. Kedua, pertentangan antar kelompok
sebaya yang satu dengan kelompok sebaya lainnya akan membentuk loyalitas dan
solidaritas yang tinggi di antara anggotanya. Ketiga, pertentangan antara kelompok
sebaya dengan kelompok masyarakat akan membentuk suatu ikatan dan
mengembangkan kemandirian.

5. Hubungan yang Baik


Begitu anak menjadi anggota dari suatu kelompok sebaya anak akan belajar untuk
mengikuti aturan yang telah ditetapkan kelompok.

6. Tanggung jawab
Perkembangan tanggung jawab pada anak perlu diberikan secara perlahan-lahan di
mulai dari tugas-tugas yang sederhana kemudian meningkat pada pengalaman lebih
kompleks. Jika anak terbiasa untuk bertanggung jawab dalam keluarganya anak
tersebut akan mudah menyesuaikan diri dan terpilih sebagai pemimpin dalam
kelompoknya. Namun jika terlalu banyak tanggung jawab yang dibebankan pada anak
juga bukan merupakan hal yang positif karena jika anak mengalami kegagalan akan
meruntuhkan rasa percaya dirinya.

7. Kesadaran Sosial
Kesadaran sosial merupakan kemampuan untuk memahami arti dari situasi sosial.
Hal ini berhubungan dengan emosional anak atau kemampuan untuk merasakan apa
yang dirasakan orang lain.
8. Diskriminasi Sosial
Yang dimaksud dengan diskriminasi sosial di sini yaitu kecenderungan untuk
membuat perbedaan antara individu berdasarkan suatu tanda-tanda tertentu. Anak yang
terbiasa membedakan kelompoknya dengan kelompok lain akan menganggap orang
lain sebagai berbeda dan tidak termasuk atau di luar kelompoknya, anak juga merasa
lebih unggul dari yang lainnya. Hal ini membuat timbulnya sikap permusuhan antara
kelompok jenis kelamin tertentu.

Dari apa yang dikemukakan tersebut, melalui interaksi dengan teman sebaya
membantu anak mengembangkan dan memahami perilaku moral, anak belajar
bersosialisasi dan mengembangkan konsep diri yang positif, anak menjadi lebih
bertanggung jawab belajar, bekerja sama dan sportif. Hal-hal yang negatif pun dapat
dipelajari anak melalui perkembangan sosial dan pergaulan nya dengan teman sebaya
seperti gejala bullying, yang merupakan tingkah laku agresif yang direncanakan untuk
menyebabkan ketidaknyamanan fisik maupun psikis pada orang lain.

Tingkah laku ini bertujuan untuk mendominasi menyakiti atau mengecilkan orang lain,
sehingga tidak merasa nyaman. Agar hal tersebut tidak terjadi maka orang tua maupun guru
perlu mengamati perubahan-perubahan yang terjadi pada anak, memberikan pengarahan
dan bimbingan tetap perlu dilakukan agar moral yang sudah tertanam dalam diri anak tidak
hilang begitu saja.

Kegiatan Belajar 3

Perkembangan Peran Gender pada Anak Usia SD

A. Pengertian Gender

Jenis kelamin lebih menunjukkan pada dimensi biologis dari menjadi laki-laki atau
perempuan. Sementara gender menunjukkan dimensi sosial dari menjadi laki-laki atau
perempuan. Dua aspek dari gender yang perlu diketahui adalah identitas gender atau peran
gender. Identitas gender adalah suatu perasaan menjadi laki-laki atau perempuan, di mana
hal ini kebanyakan diperoleh anak begitu ia berusia tiga tahun. Sedangkan peran gender
berisi harapan-harapan yang menunjukkan bagaimana laki-laki atau perempuan harus
berpikir, bertingkah laku, dan merasakan.
Stereotype gender diartikan sebagai seperangkat keyakinan (beliefe) tentang
karakteristik yang sesuai menjadi perempuan dan laki-laki. Misalnya, begitu anak lahir
maka orang tua cenderung memberikan perlakuan yang berbeda terhadap anak laki-laki
maupun anak perempuan. Anak laki-laki diyakini cenderung dominan, agresif,
independen, dan anak perempuan cenderung perhatian, sabar, dan tergantung.

Dari penelitian-penelitian yang telah berlangsung sampai 1972, terkumpul bukti bahwa
anggapan-anggapan itu tidak benar.

- Anak perempuan lebih bersifat sosial dari pada laki-laki,


- Anak perempuan lebih mudah terpengaruh,
- Anak perempuan punya harga diri lebih rendah,
- Anak perempuan lebih mempelajari peran dan tugas yang lebih sederhana,
- Anak laki-laki lebih analitis,
- Anak perempuan lebih dipengaruhi oleh bakat, sedangkan anak laki-laki oleh
lingkungan,
- Anak perempuan kurang memiliki hasrat untuk berprestasi,
- Anak peremuan cenderung lebih mendengarkan, sedangkan anak laki-laki lebih
melihat

(Benedek, 1979).

Dengan adanya perubahan zaman menuju industrialisasi dan kemajuan tingkat


pendidikan, maka kesempatan anak untuk belajar peran gender juga semakin terbatas,
sehingga berakibat pada meluasnya peran wanita pada hal-hal yang dulunya hanya
dikerjakan laki-laki. Bahkan, T.M. Hartnagel (1982) dalam penelitiannya membuktikan
bahwa modernisasi punya pengaruh langsung atas meningkatnya keterlibatan wanita dalam
tindakan kriminal. Haas pun telah membuktikan dalam penelitian sosiolinguistiknya di
Amerika Serikat, bahwa penggunaan kata-kata jorok pada anak perempuan tidak berbeda
jauh frekuensinya dari pada anak laki-laki (T.B. Jay, 1980). Sulit kita jumpai lagi apa yang
dinamakan “wanita sejati” (truly womanhood) yang klasik, yang bercirikan antara lain
sikap merendah (terhadap orang tua, guru, dan sebagainya), kontrol diri yang kuat dan
terikat pada ide-ide tentang kemurnian dalam kesucian (M. Sugar, 1979).

Anak-anak belajar peran gender melalui meniru atau mengamati lingkungannya.


Misalnya dengan memerhatikan apa yang dilakukan dan dikatakan orang. Sementara
kebudayaan, sekolah, kelompok sebaya, media masa, dan anggota keluarga lainnya
merupakan sosok lainnya, di mana anak bisa belajar peran gender (Santrock, 1992). Berk
(2000) mengatakan bahwa, stereotype gender dan peran gender dipengaruhi oleh
lingkungan keluarga, orang tua, guru, mata pelajaran, ataupun teman sebaya.

1. Pengaruh Orang Tua


Ibu dan ayah secara psikologis berperan dalam perkembangan gender anak. Ibu
secara konsisten bertanggung jawab terhadap pengasuhan, sementara ayah lebih
berperan pada interaksi bermain dengan anak dan bertanggung jawab menanamkan
agar anak laki-laki atau perempuan tunduk pada norma-norma budaya.
Disiplin, meski tidak terlalu identik dengan hukuman, tetapi merupakan masalah di
masa kanak-kanak. Ilmu yang sering diperdebatkan di kalangan ilmu sosial selama
beberapa dekade, terutama berkaitan dengan nilai-nilai, moral, integritas, dan
pengendalian diri anak.

2. Pengaruh Kelompok Sebaya


Kelompok sebaya cenderung mendukung anak untuk terlibat dalam aktivitas yang
sesuai dengan jenisnya. Kelompok cenderung mencela anak yang terlibat dalam
permainan yang tidak sesuai dengan jenis kelaminnya. Tuntutan semacam ini akan
semakin menonjol menjelang masa remaja.

3. Pengaruh Sekolah dan Guru


Ketika memasuki usia sekolah, anak menyadari dan meyakini bahwa ada beberapa
stereotype, seperti pekerjaan, kepribadian, ataupun keinginan berprestasi. Ada
keyakinan, anak laki-laki lebih unggul dalam pelajaran matematika dan atletik,
sedangkan anak perempuan pada pelajaran seni, musik, dan keterampilan. Stereotype
gender ini menguatkan perilaku anak-anak perempuan yang di usia sekolah tidak
menonjol pada pelajaran matematika.
4. Pengaruh Media Massa
Berbagai cerita yang disajikan melalui media massa dapat berpengaruh besar pada
perkembangan gender. Bagaimana cara wanita tampil di televisi, majalah, atau koran
amat berbeda dengan laki-laki. Namun, semua itu sangat tergantung pada sudut
pandang kita sendiri.
Hubungan dengan rekan memainkan peran utama dalam penentuan gelombang
yang tepat atau fine-tuning kognisi social pada anak usia sekolah. Anggota kelompok
sebaya biasanya dari rasa tau status sosial ekonomi yang sama. Memang kebanyakan
anggota kelompok sebaya hidup di lingkungan yang secara etnis tidak diservisifikasi.
Kegiatan kompetitif di antara rekan-rekan, seperti program dan tugas kelompok di
sekolah membantu anak-anak mengembangkan kualitas hubungan.

B. Peran Gender di Usia Sekolah

Pada usia sekolah, anak laki-laki mempunyai identifikasi peran masculine,


sedangkan anak perempuan lebih androgyny (yaitu adanya ciri-ciri masculine dan feminine
pada individu yang sama). Orang tua atau guru lebih toleran melihat anak perempuan
menunjukkan peran gender laki-laki, tetapi jika anak laki-laki menunjukkan gender
perempuan, maka akan menjadi ejekan.

Perbedaan gender dan perasaan antara anak laki-laki dan perempuan menunjukkan
bahwa anak perempuan cenderung lebih banyak memanfaatkan otak kirinya, sedangkan
anak laki-laki lebih banyak memanfaatkan otak kanannya.

Menumbuhkan kesadaran gender sejak dini sangat penting dilakukan. Budaya


Patriarki yang sudah setua peradaban manusia ini membuktikan dampak buruk dari
perbedaan gender yaitu berdampak pada perlakuan tidak adil pada kaum perempuan. Laki-
laki dipandang lebih tinggi dan unggul dibanding perempuan, sehingga mendapatkan
peluang dan kemudahan untuk mendominasi di segala aspek kehidupan. Mulai dari buruh
laki-laki yang diupah lebih tinggi, korban kekerasan yang dialami perempuan terus
berjatuhan, sampai peluang di dunia politik yang lebih terbuka bagi laki-laki menunjukkan
betapa masalah gender ini sangat krusial dan membutuhkan perhatian.

Langkah strategis untuk menumbuhkan kesadaran gender bisa ditempuh melalui


beberapa langkah, di antaranya:

1. Di Lingkungan Sekolah
Guru harus bersikap kritis terhadap praktik bias gender yang ada di lingkungan
sekolah, kemudian susun dan persiapkan materi ajar, metode, dan pengelolaan kelas,
yang mendukung kesetaraan gender. Selanjutnya, ajak para siswa untuk berdiskusi
masalah-masalah gender yang sedang actual. Ajak mereka untuk mengkritisi praktik
eksploitasi dan komersialisasi tubuh perempuan yang mendominasi media dalam
segala bentuknya.
Dengan cara demikian, sekolah benar-benar akan menjadi agen perubahan sosial
yang efektif dengan merespon secara konstruktif persoalan-persoalan nyata yang
sedang dihadapi masyarakat secara lokal maupun global. Bukan melalui mata
pelajaran, melainkan melalui pembangunan cara berpikir dan bersikap.

2. Di Lingkungan Rumah
Kesadaran gender anak-anak tumbuh dalam keluarga melalui kondisi nyata
hubungan ayah dan ibu, serta perlakuan yang mereka dapatkan.

C. Mengembangkan Stereotype Nongender pada Anak

Stereotype merupakan pelabelan yang diawali dengan proses persepsi terhadap


objek persepsi mengenai berbagai macam ciri dan sifat-sifat personal yang melekat pada
sekelompok orang. Maka, peran gender merupakan hasil pelabelan yang akhirnya menjadai
ekspektasi (harapan) sosial, dan sangat sulit untuk diadakan perubahan konsep, karena
sudah menjadi stereotype.
Untuk mengurangi stereotype gender pada anak-anak, perlu dilakukan beberapa
cara oleh orang tua dan guru. Misalnya, orang tua maupun guru dapat membantu anak-
anak untuk lebih mengenal peran gender laki-laki dan perempuan. Contohnya, seorang
wanita dapat menjadi presidendan dapat memahami mengapa seorang ayah dapat pula
merawat anak-anaknya di rumah, menyiapkan makanan, dan lain-lain.
Anak juga perlu menyadari akan stereotype gender di masyarakat. Meskipun peran
gender dalam masyarakat berbeda antara laki-laki dan perempuan, tetapi peran tersebut
dapat berganti tergantung situasi dan kebutuhan yang ada.
Gender pun sesungguhnya juga berkaitan erat dengan proses keyakinan, bagaimana
seharusnya laki-laki dan perempuan diharapkan untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan
ketentuan sosial dan budaya di mana mereka berada. Berdasarkan keyakinan itulah,
masyarakat membedakan peran dan fungsi gender sesuai dengan kebutuhannya (Khanafi,
tt: 2).

Sumber:

- BMP MKDK4403 Modul 2 dan Modul 3


- homescoolingtalenta-jakartatimut.com. Pengertian Bakat
- Danim Sudarwan, 2010. Perkembangan Peserta Didik. Bandung: IKAPI
- W. Sarwono, sarlito, 2011. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers

Anda mungkin juga menyukai