Anda di halaman 1dari 13

RESUME ILMU JIWA PERKEMBANGAN

“MASA ANAK-ANAK”

Dosen Pengampu : Drs. ABD. GANI, M. Pd. I.

Disusun oleh Kelompok 6 :

Nur Halima (105191105621)

Reka Fadilh (105191107221)

Muhammad habib (105191106521)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2022/2023

1
Masa Anak-Anak
Perkembangan kejiwaan pada masa anak-anak, terkadang disebut dengan masa anak
kecil atau juga masa menjelang sekolah, sebab masa ini saat-saat anak senang mempersiapkan
diri untuk bersekolah. Demikian pula masa ini ada yang menyebut dengan masa estetis,
dikarenakan anak mulai mengenal dunia sekitarnya terasa serba indah. Pada bab ini akan
dijelaskan antara lain tentang.

A. Perkembangan Tanggapan
1. Perkembangan Tanggapan
Mempelajari perkembangan tanggapan anak, tidak terlepas dengan mempelajari
teori-teori perkembangan pengamatan anak. Dalam polanya kedua aspek tersebut memang
berbeda tetapi antara keduanya saling terkait dan ada kesamaan yang mendasar yakni adanya
proses belajar mengenal atau menguasai objek, atas stimulus yang datang kepadanya,
dengan menggunakan potensi yang dimilikinya. Dan di katakan tanggapan itu terkait dengan
pengamatan sebab tanggapan itu sendiri merupakan hasil, kenangan dari adanya proses
pengamatan Beberapa teori tentang tanggapan dan pengamatan.
a. Oswald Kroh
1. Periode sintesis fantastis, 0-8 tahun merupakan totalitas atau global, dan
sifatnya masih samar-samar. kegiatan ini masih dipengaruhi oleh fantasi anak,
sebab saat itu sedang suka pada dongeng, cerita hayal dan lain-lain.
2. Periode realisme naif, 8 - 10 tahun anak sudah mulai dapat membedakan
bagian-bagian, akan tetapi belum mampu mengembangkan antara satu dengan
lainnya dalam suatu totalitas. Unsur fantasi yang asalnya ikut berpengaruh
sudah diganti dengan pengamatan konkret.
3. Periode realisme kritis 10 - 12 tahun pengamatan tanggapan anak bersifat kritis
dan realistis la sudah dapat mengadakan sintesis logis, dan ia pun telah mampu
menghubungkan bagianbagian menjadi satu totalitas, hal tersebut dikarenakan
wawasan dan intelektual anak sudah mencapai taraf kematangan

4. Fase subjektif. 12 14 tahun tanggapan serta pengamatan anak saat ini masih
banyak dipengaruhi oleh emosi yang mendominasi. Sehingga tanggapan anak
cenderung bersifat emosional. Hal ini dapat terjadi karena pada masa ini muncul
gejala Trotzalter II
b. William Stern dan Clarn Stern
Ia membagi dengan stadium pula yaitu:
1. Stadium-keadaan 0 8 tahun tanggapan anak masih dalam gambaran totalitas
yang samar-samar, serta anak sudah dapat dengan teliti mengamati objek
pengamatan atau objek tanggapan
2. Stadium-perbuatan: 8 - 9 tahun anak mengamati dan menaruh minat terhadap
pekerjaan serta perbuatan orang dewasa dan juga tingkah laku hewan.
3. Stadium hubungan: 9 - 10 tahun anak mengamati relasi atau dari benda-benda
dan peristiwa.hubungan causal

2
4. Stadium sifat: 10 tahun - ke atas; anak mulai menganalisis hasil pengamatan
atau tanggapan dengan mengonstatir ciri-ciri dan sifat-sifat dari benda sebagai
objek pengamatannya.
C. Meumann:
1. Fase sintesis fantastis, 0 8,0 tahun semua tanggapan anak memberikan kesan
total. Dilengkapinya tanggapan tersebut dengan fantasinya
2. Fase analisis: 8 - 12 tahun anak mulai mengamati ciri dan sa diperhatikan, tetapi
belum mampu mengaitkan dalam kerangka dari bermacam-macam benda
Bagian-bagian dari benda mula keseluruhan (totalitas, fantasi anak sudah
kurang, berganti dengan pikirannya)
3. Fase sintesis logis 12 tahun ke atas anak sudah dapat menghayati benda-benda
dan peristiwa, dengan wawasan akal budinya dari insight-nya). Bagian-bagian
mulai dikaitkannya dalam suatu totalitas
Dari pendapat-pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
perkembangan tanggapan atau pengamatan anak itu mulai fase-fase sebagai berikut:
1. Global: yaitu pengamatan dari tanggapan global atau totalitas.
2. Terurai: yaitu anak mulai dapat mengamati bagian-bagian, perhatiannya menjadi
lebih terurai pada bagian-bagian objek pengamatan, di sini anak semakin kritis dan
logis.
3. Sinthesa: atau asimilasi: yaitu anak sudah dapat membuat sintesis atau
mengasimilasi antara objek total dan bagian-bagiannya, demikian pula tentang
kausalitasnya. Sehingga anak pun telah dapat menghayati akan perbedaan atau
kesamaan, ciri, dan sifat dari bermacam-macam benda.
B. Perkembangan Pikiran
Perkembangan pikiran (intellect) anak itu pada dasarnya berhubungan erat
dengan perkembangan bahasa, keduanya merupakan faktor penentu bagi seseorang
dapat menyampaikan gagasannya, keinginannya dalam mengadakan komunikasi
dengan yang lain.
Perkembangan pikirannya dapat dibedakan dengan 2 bentuk yaitu:
a. Perkembangan formal, yaitu perkembangan fungsi-fungsi pikir atau alat-alat pikir
anak untuk dapat menyerap, menimbang, memutuskan, menguraikan, dan lain-lain
Contoh, perkembangan sistematika berpikir, teknik pengambilan keputusan, dan
lain-lain.
b. Perkembangan material, yaitu perkembangan jumlah pengetahuan pikir
(knowledge) oleh seorang anak itu dapat dimiliki dan dipendapat, teori-teori, dan
sebagainya.
Secara keseluruhan perkembangan pikiran dapat diartikan sejalan dengan proses
perkembangan pengamatan dan tanggapan anak, maka perkembangan pikiranpun dapat
dikategorikan dengan dua tahapan yaitu:
1. Berpikir secara konkret (dengan objek yang realis) sehingga proses berpikir anak
harus dirangsang atau dituntut dengan benda atau dengan alat peraga.
2. Berpikir secara simbolis atau sistematis, yaitu: anak berpikir dengan menggunakan
simbol-simbol (tanda-tanda), maka di sini sudah mulai kenal huruf, angka, skema,
simbol-simbol tertentu, dan sebagainya.

3
Perkembangan pikiran juga dapat diperhatikan dari perk angan menyusun
pendapat/pengertian bagi seorang anak.
1. Mulai umur 1;6 tahun anak mampu mengungkapkan pendapat positif (mama makan,
adik menangis, dan lain-lain).
2. Mulai umur 2;6 tahun anak dapat menyampaikan pendapat negatif, walaupun
sebenarnya anak menemui kesulitan. Contoh: Amir tidak pergi, ayah tidak makan,
dan sebagainya.
3. Mulai umur ±3:0 tahun, maka mulai mengeritik atau menilai sesuatu, mulai masa ini
anak mulai dapat menyusun keputusan.
4. ±4;0 tahun, mulai muncul adanya keragu-raguan pada diri anak yang diwujudkan
dalam pendapat mungkin, barangkali, kirakira. Sebenarnya keraguan anak itu ada
jika pengamatanpengamatan anak sudah tertib,
5. Pada usia ±5 tahun anak sudah mampu menyusun kesimpulan analogi yang
sederhana, contoh: ibu makan karena lapar, dan pada suatu saat melihat adiknya
makan, kesimpulan analogi yang diambil adalah adik sedang lapar.
Kenyataan menunjukkan pada anak-anak belum mampu menyusun suatu
kesimpulan yang edukatif atau deduktif, ini dapat dimengerti karena:
a. Pengertian yang dimiliki anak masih sangat sederhana (tetapi akan berkembang
pada masa sekolah).
b. la belum mengenal hubungan sebab akibat, kejadian-kejadian di dunia
sekitarnya masih samar-samar baginya. Maka ia pun sering berbuat sesuai
dengan kemampuan penafsiran yang bersandar pada sifat-sifat yang dimiliki
anak itu sendiri, sebab menurut E. Hourlock bahwa: seorang anak dapat
memahami sesuatu secara terperinci (accurate) dari apa yang didengar dan
dilihatnya, serta anak harus berpikir secara kreatif. Hal tersebut dapat dilakukan
anak) sejak anak sudah tidak lagi salah tafsir dari apa yang mereka amatinya.

C. Perkembangan Daya Ingatan


Daya ingatan anak akan bersifat tetap jika anak telah mencapai umur + 4 tahun.
Selanjutnya daya ingatan anak akan mencapai intensitas terbesar atau terbaik dan kuat,
jika anak berumur antara + 8 - 12 tahun, pada saat itu daya menghafal atau daya
memorisasi (upaya memasukkan pengetahuan dalam tingkatan seseorang) dapat
memuat sejumlah materi hafalan sebanyak mungkin.
Sebelum umur setengah tahun (0,6) anak pada umumnya belum mengenal benda
sekitarya secara hakiki. Anak saat itu baru mengenal keadaan atau situasinya saja.
Contoh, seorang ibu menyodorkan sendok makan kepadanya, ia mengenal keadaan itu,
tetapi jika sendok ditaruh/diletakkan di atas meja, maka anak sudah tidak mengenal
benda itu lagi. Baru umur lebih dari setengah tahun secara pelan-pelan anak mulai
mengenal lingkungannya.
Tabel penelitian atau eksperimen yang ada, antara lain mengungkapkan tentang
masalah waktu pengenalan kembali, berdasarkan daya ingatan anak sebagai berikut.

Umur 0;10 0;11 1;0 - 1;2 1;3 – 1;5 1;6 – 1;8 1;9 - 2;0
Lama ingatan
per menit 1/2 1 3 5 11 12

4
D. Perkembangan Bahasa
Bilakah seorang anak senantiasa menunjukkan usaha untuk maju dengan sarana
orang fisik dan pisikisnya, adalah jika adanya kecenderungan untuk menggunakan
semua kapasitas atau kemampuannya secara aktif.
Pada akhir tahun pertama kelahiran anak dan menjelang awal tahun kedua, ada
pertumbuhan dan perkembangan anak yang menonjol yakni mulai menunjukkan
kemampuannya untuk dapat berjalan sendiri dan kemampuan berbahasa atau berbicara.
Awal perkembangan bahasa pada dasarnya dapat diartikan sejak mulai adanya
tangis pertama bayi, sebab tangis bayi juga dapat dianggap sebagai bahasa bayi atau
anak. Dengan menangis bagi anak dapat juga merupakan sarana mengekspresikan
kehendak jiwanya.
Adapun penguasaan bahasa berikutnya secara berangsur anak akan mengikuti
bakat serta ritme perkembangan yang dialami akan. etapi perkembangan tersebut akan
dipengaruhi oleh lingkungan serta ada beberapa pendapat tentang fungsi bahasa:
a. William Stern dan Clara Stern
Ia berpendapat ada 3 fungsi bahasa bagi seseorang:
1. Aspek ekspresi menyatakan kehendak dan pengalaman jiwa.
2. Aspek sosial untuk mengadakan komunikasi dengan orang lain.
3. Aspek intensional berfungsi untuk menunjukkan atau membanggakan sesuatu
b. Karl Buhler
Psikolog ini pun berpendapat ada tiga fungsi bahasa:
1. Kundgab = (pemberitahuan) dorongan untuk memberitahukan orang lain.
2. Auslosung =(pelepasan) dorongan kuat dari anak untuk melepaskan kata-kata
sebagai hasil peniruannya dengan orang lain.
3. Darstellung = (mengungkapkan) anak ingin mengungkapkan segala sesuatu yang
menarik perhatiannya.
c. Jean Piaget
1. Bahasa egosentris = melahirkan keinginan yang tertuju kepada dirinya sendiri.
2. bahasa social = untuk berhubungan dengan orang lain.
Di dalam praktek penggunaan atau fungsi bahasa tersebut tidak selamanya terpisah
sendiri-sendiri, malah terkadang ketiga fungsi tersebut berfungsi secara serempak.
Selanjutnya tentang tahap perkembangan bahasa anak, William Stern dan istrinya,
membagi menjadi 5 (lima) tahap:
1. Prastadium (umur 0;6 - 1:0), meraba atau keluar suara yang belum berarti, serta
tunggal, terutama huruf-huruf bibir.
2. Masa pertama (umur 1:0 - 1;6), penguasaan kata yang belum lengkap. (mem-mik,
dan lain-lain).
3. Masa kedua (umur 1;6 - 2:0), adalah masa nama, maksudnya kedua mulai menyadari
segala sesuatu itu punya nama. Anak suka tanya nama. Mula-mula benda, dan
fungsinya, serta disusul dengan menanyakan sifat benda.

5
4. Masa ketiga (umur 2:0 - 2:6), adalah stadium fleksi (flexio menafsirkan) yakni anak
mulai dapat menggunakan kata-kata yang dapat ditafsirkan atau kata yang sudah
diubah. Anak sudah mampu menyusun kalimat yang pendek, ia pun sudah dapat
membandingkan, contoh: ia bertanya di mana? dari mana? dan lain-lain.
5. Masa anak keempat (umur 2:6 kalimat , maksudnya anak dapat merangkaikan pokok
kalimat ke atas) = stadium anak dengan penjelasannya berupa anak kalimat. Anak
sudah mampu bertanya kausalitas atau sebab akibat. Contoh: mengapa? apa sebab? dan
lain-lain.
Untuk selanjutnya bahwa anak akan selalu berkembang sejajar dengan sejumlah
perbendaharaan bahasanya yang sesuai dengan lingkungannya, terutama yang
bersumber dari orang tuanya, sekolah serta lingkungan lainnya.
Ada hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain:
▪ Pada masa nama, biasanya anak akan bertanya tentang sesuatu dilihatnya atau
sesuatu yang menarik hatinya, ia tidak segan dan tidak bosan bertanya, maka
bagi orang yang lebih tua dari anak itu, hendaknya janganlah bersikap negatif
(bosan, dimarahi, dicegah, dan lain-lain). Sebab pertanyaan-pertanyaan
tersebut merupakan pernyataan (exspressi) dari perkembangan psikis anak
yang dinamis, ini sangat9 penting bagi kesehatan dan kelancaran pertumbuhan
dan perkembangannya.
▪ Jika ada anak yang "gagap" dalam berbicara, hal ini umumnya karena anak
terlalu terburu-buru dalam mengekspresikan perasaan dan pikirannya, tetapi
perkembangan mental anak di sini lebih cepat daripada perkembangan
bahasanya. Karena itu janganlah diolok-olok, diketawakan, dihina sebab dapat
menimbulkan kesulitan atau gangguan emosional yang serius pada diri anak,
yang mengakibatkan terhambatnya perkembangan jiwa anak. Contoh: rendah
diri, kecemasan, ketakutan, konflik batin, dan lain-lain. Begitu juga terhadap
anak yang belum mampu mengucapkan huruf secara fasih (cedal = jiwa). Anak
ini harus dibimbing secara baik dan benar.

E. Perkembangan Perasaan
Bagi anak-anak perkembangan perasaan itu sangat cepat dan besar sekali,
sehingga umumnya anak-anak akan lebih emosional dibandingkan dengan orang
dewasa. Pandangan mereka selalu optimis, cepat merasa puas, (terutama pada anak
sekolah dasar) sehingga mereka akan mudah merasa senang, periang, kesedihan, dan
kesusahan atau justru kesenangan orang lainpun belum mereka hayati dengan baik-
baik. Kalbu pada saat tertentu anak tahu tentang kesusahan orang lain maka anak
berusaha menekannya atau menutupnya, karena ia takut atau malu untuk ikut
merasakannya.
H. Birkenfeld dan Gazali membagi perasaan anak menjadi dua kategori, dengan
uraian sebagai berikut.
1. Perasaan yang terdapat pada tingkat biologis (jasmani) yang meliputi:
a. Perasaan yang berhubungan dengan pencernaan makanan, pernapasan, dan
peredaran darah, contoh: lapar, lelah, kejang. dan sebagainya.
b. Perasaan yang berhubungan dengan insting. Contoh: takut dan sebagainya.
c. Perasaan yang berhubungan dengan alat indra. Contohnya dingin, panas, nyeri,
dan sebagainya.
2. Perasaan tingkat rohaniah yang meliputi:
a. Perasaan intelek

6
b. Perasaan estetis.
c. Perasaan etis.
d. Perasaan religius.
e. Perasaan diri.
f. Perasaan sosial.
Penjelasan:
a. Perasaan intelek, yaitu perasaan yang selalu menyertai kerjakerja intelek.
Contoh: jika dapat menyelesaikan soal ujian dengan baik akan gembira jika tidak bisa
mengerjakan soal ujian maka ia kecewa.
b. Perasaan estetis: yaitu suatu perasaan yang dialami pada waktu menganggap sesuatu
itu bagus/indah atau jelek. Untuk mengukur indah atau tidak yaitu harus ada standarnya,
maka standarnya itu biasa disebut dengan cita rasa. ini sering dipengaruhi oleh
pembawaan, umur, lingkungan, dan mode yang sedang berlangsung. Dan sesuatu yang
dapat menciptakan atau membangkitkan keindahan itu disebutnya seni.
c. Perasaan etis: yaitu perasaan kesusilaan, hal ini ada sewaktu seseorang menghayati
sesuatu itu baik atau buruk.
Standardisasi baik atau buruk yang ada pada diri seseorang ditentukan atau dipengaruhi
oleh kata hati. Meskipun demikian. terbentuknya kata pada seseorang seringkali juga
dipengaruhi ialah berbagai faktor antara lain nembawaan, umur, lingkungan
pendidikan, agama serta pandangan hidup.
d. Perasaan religius: perasaan yang menyertai penghayatan keagamaan ukuran atau
sumber perasaan ini adalah agama. Contoh: perasaan ini ikhlas, tawakal, perasaan aib,
dan lain-lain.
Yang penting dilakukan untuk mengembangkan perasaan ini adalah pembiasaan,
motivasi, keteladanan, serta penciptaan situasi keagamaan. Pengalaman awal anak
terhadap Tuhan biasanya melalui bahasa, melalui tanggapan yang dialaminya. Semula
anak mengenalnya secara sederhana (diidentikkannya dengan manusia dan
sebagainya), tetapi dalam proses berikutnya jika ada bimbingan yang benar anak akan
mengenal Tuhan pun dengan cara yang benar.
e. Perasaan diri: yaitu perasaan yang menyertai tanggapan tentang dirinya sendiri.
Perasaan diri dapat dibedakan menjadi perasaan diri yang positif (kemampuan diri
sendiri) dan perasaan yang negatif (ketidakmampuan penyesuaian dirinya). Contoh:
sombong, angkuh, rendah diri, malu, dan lain-lain.
f. Perasaan sosial: yaitu suatu perasaan yang timbul karena pendapat dan pengalaman
seseorang dengan sesama manusia. Contoh: cinta, rindu, cemburu, respek, dan lain-
lain.
Untuk selanjutnya perkembangan perasaan anak akan berkembang secara bertahap,
yang dimulai dari perasaan yang lebih banyak ditunjukkan untuk kepentingan dirinya
sendiri. Masalah ini secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pada mulanya setiap anak, akan selalu merasa dan bersikap subjektif, atau dikenal
dengan istilah egosentris, yakni sikap di mana segala sesuatu itu ditujukan untuk
kepentingan dirinya sendiri atau egosentris menjadi pusat kepentingan (ego - aku, dan
centre = pusat). Karena pada masa ini anak belum menyadari akan dirinya atau akunya,
sehingga perilaku dan perasaannya.
Pada tahap berikutnya anak akan mengalami kegoncangan (transisi), perasaan anak
sudah mengerti akan perasaan orang lain (objektif), akan tetapi perasaan akunya masih

7
mendominasi, yake anak akan mulai mempertimbangkan perasaan subjektif dengan
perasaan objektifnya.
Perkembangan perasaan anak akan semakin baik jika ditandai adanya
keseimbangan antara perasaan dan sikap egosentrisnya dengan perasaan objektif yang
ada. Anak akan selalu membeberkan perasaannya dengan luas, terus terang apa yang
sebenarnya yang ia rasakan la bahagia jika benar-benar dalam kondisi tidak sedih.
Suasana hari bagi seorang anak umumnya berjalan secara cepat, mudah berubah
yang diwujudkan dengan sebentar ketawa, sebentar menangis, dan seterusnya.
Saling bergantian perasaan-perasaan tersebut muncul, hal ini yang sering
menimbulkan kebingungan atau kebosanan para orang tua, karena orang tua sudah
dapat mengendalikan perasaannya dengan teratur.
F. Perkembangan Fantasi
Daya jiwa untuk menciptakan tanggapan-tanggapan baru atas bantuan
tanggapan-tanggapan yang telah ada (lama) dalam psikologi disebut fantasi. Fantasi
biasanya dibedakan menjadi dua macam:
a. Fantasi terpimpin (tuntunan), yaitu timbulnya fantasi dikarenakan adanya kesan
setelah menanggapi hasil ciptaan orang lain, atau tuntutan oleh karya orang lain
tersebut.
b. Fantasi mencipta, yaitu timbulnya fantasi seseorang yang muncul karena
kekuatan (potensi) yang ada pada dirinya secara murni tanpa adanya tuntunan
dari luar.
Fantasi yang ada pada diri seseorang itu bersifat:
1. Leluasa, bebas tidak terikat, atau liar.
2. Spontan terkadang tanpa disadari.
3. Mudah sekali berubah.
4. Bersifat menciptakan untuk sesuatu yang baru.
Perkembangan fantasi anak diungkapkan oleh Charlotte Buhler , menjadi 3 fase
perkembangan yaitu:
1. 0:0 - 4;0 tahun masa cerita struwelpeter. Yaitu pada masa ini anak-anak senang
terhadap cerita-cerita anak nakal, rambut panjang, pakaian kumal, kuku panjang,
dan lain-lain. Pada masa ini anak tidak menghiraukan tentang kondisi lingkungan,
ia senang mementingkan dirinya sendiri.
2. 4;0 - 8:0 tahun masa cerita khayal. Pada masa ini anak banyak dipengaruhi oleh
daya khayalnya, maka apa yang dikhayalkan itu adalah kondisi sebenarnya, jadi
masa ini sangat senang pada cerita-cerita khayal atau dongeng (dongeng kancil,
raksasa, katak, dan lain-lain). Walaupun cerita tersebut diulang-ulang, anak tidak
akan bosan, tidak jemu, bahkan bila yang bercerita itu ada kesalahan maka ia
langsung menegurnya.
3. 8,0 - 12,0 tahun masa cerita realistis. Yaitu pada masa ini sudah mulai senang
terhadap cerita-cerita yang nyata (pahlawan, sejarah, biologi, dan lain-lain). Pada
masa ini anak sudah mulai berkurang pengaruh fantasinya, sebab pengamatannya
sudah mulai tertib, ia sudah dapat membedakan antara yang khayal dan yang
realistis.
Ada sesuatu yang erat hubungannya dengan fantasi anak yakni, bahwa anak-anak
sering melakukan dusta fantasi, dusta fantasi ini adalah dusta semua, ia berbuat karena

8
tidak disengaja. Anak tersebut belum tahu bahwa hal itu salah, atau ia berdusta itu
bukan untuk tujuan-tujuan tertentu.
Hal tersebut dapat terjadi karena anak belum juga dapat membedakan antara
tanggapan ingatan dan tanggapan fantasi; atau juga dapat disebabkan reaksi menolak,
takut, kurang kuat ingatannya, sugesti, malu, dan lain-lain.
Dalam menanggapi masalah keberadaan dan perkembangan fantasi ada dua
psikolog yang kontradiksi; yaitu Dr. Maria Montessori, dan Friedrich Wilhelm Agust
Frobel (Jerman 1782 - 1852).
Dr. Montessori = Berpendapat fantasi anak dalam perkembangannya harus dibatasi
tidak boleh dibebaskan seleluasa mungkin, sebab jika fantasi tidak dibatasi, dapat
menghambat kemandirian anakanak, jadi tidak realistis. Karena fantasinya, seorang
anak dapat terlena dengan dunia khayalnya
Frobel = Berpendapat bahwa fantasi bagi anak harus di. benkan kesempatan sebebas-
bebasnya, tidak usah dibatasi perkembangannya, sebab dengan kelelua saan berfantasi
seorang anak akan memperoleh kepuasan tersendiri. Dan dengan adanya kepuasan jiwa
anak itu, maka ia akan tumbuh dan berkembang jiwanya secara sehat, dan penuh
kreativitas.
Dengan melihat dua pendapat yang polair itu, maka kiranya dapat diambil jalan
yang paling moderat yakni: terhadap perkembangan fantasi anak, sebaiknya diberikan
kesempatan atau dilatih untuk dikembangkan. Dan agar anak tidak terlalu terlena pada
dunia khayal yang berlebih-lebihan, maka ada baiknya juga jika dalam latihan
pengembangan fantasi agak dibatasi, tetapi tidak perlu terlalu ketat.
Sehingga perkembangan fantasi anak akan tetap bebas leluasa tetapi terkendali atau
terarah.
G. Perkembangan Sosial Anak
Sebagian psikolog beranggapan bahwa perkembangan sosial itu mulai ada sejak
anak lahir di dunia, terbukti seorang anak yang menangis, adalah dalam rangka
mengadakan kontak/hubungan dengan orang lain. Atau anak tampak mengadakan
aktivitas meraba, tersenyum bila memperoleh rangsangan dan teguran dari luar.
Charlotte Buhler membagi tingkatan perkembangan sosial anak menjadi 4
(empat) tingkatan sebagai berikut.
a. Tingkatan pertama: Sejak dimulai umur 0;4/06;0 tahun, anak mulai mengadakan reaksi
positif terhadap orang lain, antara lain ia tertawa karena mendengar suara orang lain.
Anak menyambut pandangan orang lain dengan pandangan kembali dan lain-lain.
b. Tingkatan kedua: Adanya rasa bangga dan senang yang terpancar dalam gerakan dan
mimiknya, jika anak tersebut dapat mengulangi yang lainnya.
Contoh Anak yang berebut benda atau mainan, jika menang dia akan kegirangan dalam
gerak dan mimik
Tingkatan ini biasanya mulai muncul pada usia anak + 2 tahun ke atas.
c. Tingkatan ketiga: Jika anak telah lebih dari umur + 2 tahun, mulai timbul perasaan
simpati (rasa setuju) dan atau rasa antipati (rasa tidak setuju) kepada orang lain, baik
yang sudah dikenalnya atau belum.
d. Tingkatan keempat: Pada masa akhir tahun ke dua, anak setelah menyadari akan
pergaulannya dengan anggota keluarga, ancak timbul keinginan untuk ikut campur
dalam gerak dan lakunya.

9
Selanjutnya karena anak sudah mulai kaya akan pengalaman sosial, terkadang timbul
kesukaran bagi orang tua untuk mengatur. Anak sudah mulai dapat berontak, melawan
(pertikaian). Suatu ketika anak menjadi mudah keras kepala, cemburuan, dan lainnya,
karena pada masa ini termasuk ada di dalamnya masa kegoncangan pertama (footzalter
D pada diri anak, yakni pada umur 3:0/0:4 tahun.
Perkembangan sosial ini akan terus berlanjut sesuai dengan pengalamannya,
sehingga ia siap untuk bergaul dengan yang lain secara baik dan wajar.
Arnold Gessell, mengungkapkan hasil penelitiannya dalam masalah ini antara lain:
0,2 = tersenyum, memandang orang lain.
0,3 = tersenyum kembali, mengeluarkan berbagai suara sebagai jawaban atau
rangsangan dari luar.
0,4 = menangis, menolak sebagai tanda tidak setuju terhadap orang mengadakan
hubungan.
0,5 = mengikuti dengan gerakan mata terhadap gerakan orang yang sedang lalu
lalang.
0,6 = mengadakan reaksi terhadap orang yang marah atau orang yang ramah.
0,7 = mulai aktif mengadakan hubungan, ia mencoba mengadakan aksi baik dalam
bentuk gerakan atau suara-suara,
0,8 = dapat bermain, sembunyi-sembunyi (ciluk-ba) ia dapat memanggil; mama, papa,
dik, dan lain-lain.
0,10 = mencoba menarik perhatian orang dewasa.

1:0 = mulai mengerti akan isyarat-isyarat yang sederhana contoh adalah bey-bey
dengan melambaikan tangan, atau menunjuk dengan jari satu dan lain-lain.

H. Perkembangan Moral
Menurut Robert J. Havighurst, moral yang bersumber dari adanya suatu tata
nilai adalah a value is an obyect estate or affair wich is desired (tata nilai adalah suatu
objek rohani atas suatu keadaan yang diinginkan).
Maka kondisi atau potensi internal kejiwaan seseorang untuk dapat melakukan
hal-hal yang baik, sesuai dengan nilai-nilai (value) yang diinginkan itu disebutnya
sebagai moral.
Dengan demikian perkembangan moral seseorang itu berkaitan erat dengan
perkembangan sosial anak, di samping pengaruh kuat dari perkembangan pikiran,
perasaan serta kemauan atas hasil tanggapan dari anak.
Contoh: adanya kontak dengan orang lain, pada gilirannya akan muncul pula
rasa untuk saling menghargai, saling tolong menolong, dan lain-lain.
Bagi seorang anak pengembangan moral itu akan dikembangkan melalui
pemenuhan kebutuhan jasmaniah (dorongan nafsu fisiologi), untuk selanjutnya
dipolakan melalui pengalaman dalam lingkungan keluarga, sesuai dengan nilai-nilai
yang diberlakukannya. Maka di sinilah sebenarnya letak peranan utama bagi orang-
orang yang paling dekat atau akrab dengan anak (terutama ibu) dalam memberikan
dasar-dasar pola perkembangan moral anak berikutnya.
Adapun nilai-nilai (selain nilai fisiologis) bagi seorang anak, perkembangan
berikutnya akan selalu berada sejajar dengan nilainilai yang mendasari tadi.
Tentang perkembangan moral anak yang disesuaikan dengan value/tata nilai
yang ada dapat dijelaskan sebagai berikut.
1;0 - 4;0 = ukuran baik dan buruk bagi seorang anak itu tergantung dari apa yang
dikatakan oleh orang tua. Walaupun anak saat itu belum tahu benar hakikat atau

10
perbedaan antara yang baik dan yang buruk itu. Sebab saat itu anak belum juga mampu
menguasai dirinya sendiri.
4;0 - 8;0 = ukuran tata nilai bagi seorang anak adalah dari yang lahir (realitas). Anak
belum dapat menafsirkan halhalnya yang tersirat dari sebuah perbuatan, antara
perbuatan disengaja atau tidak, anak belum mengetahui, yang ia nilai hanyalah
kenyataannya, (dari sebab perbuatan tadi).
Contoh: anak akan tetap menilai salah terhadap orang yang memecahkan gelas 20 buah
(satu kodi), walaupun tidak disengaja. Tetapi anak tadi akan memaklumi, terhadap
seorang yang hanya memecahkan 1 (satu) gelas, walaupun disengaja.
8;0 - 13;0 = anak sudah dapat mengenal ukuran baik, buruk secara batin (tak nyata)
meskipun masih terbatas, yaitu anak sudah dapat menghargai pendapat atau alasan dari
perbuatan orang lain. Anak mulai dapat menghormati terhadap orang lain yang patuh,
taat, atau sebaliknya.
Di sinilah anak mulai dapat mengendalikan dirinya sendiri, walaupun dalam
keterbatasan juga.
13;0 – 19;0 = seorang anak sudah mulai sadar betul tentang tata nilai kesusilaan
(value). Anak akan patuh atau melanggar berdasarkan kefahamannya terhadap konsep
tata nilai yang diterima. Pada saat ini anak benar-benar berada pada kondisi dapat
mengendalikan dirinya sendiri.

I. Masalah Permainan
1. Pengertian Permainan
Permainan adalah suatu perbuatan yang mengandung keasyikan dan
dilakukan atas kehendak diri sendiri, babas tanpa paksaan dengan bertujuan
untuk memperoleh kesenangan pada waktu mendalam kegiatan tersebut.

Permainan cukup penting bagi perkembangan jiwa anak. Ole karena itu
perlu kiranya bagi anak-anak untuk diberi kesempatan dan sarana di dalam
kegiatan permainannya. Secara fungsional kegiatan bermain dan bekerja
mengandung perbedaan cukup mendasar, sehab bekerja itu lebih diarahkan
kepada hasil yang akan dicapai, di samping adanya keterikatan yang lebih ketat
danpada sebuah permainan.

Dua hal kegiatan anak yakni bermain dan bekerja dapat dibedakan
sebagai berikut:
Bermain
a. sifatnya bebas (tidak terlalu terikat oleh syarat).
b. tidak berorientasi hasil, tujuannya hanya kesenangan dan bermain.
c. hasilnya (kesenangan) ada dalam kegiatan itu
d. hakikatnya untuk anak.
Bekerja
a. sifatnya terikat oleh syarat-syarat tertentu.
b. berorientasi pada hasil (terutama kepuasan materi) gagal atau
berhasilnya menjadi masalah yang penting.
c. hasilnya ada di luar kegiatan, yakni setelah kegiatan Herkebut selesai.
d. hakikatnya bagi orang dewasa.
Dalam perkembangan nanti, pada gilirannya permainan bagi seorang
anak suatu saat dapat berubah menjadi kegiatan bekerja (bagai orang dewasa),

11
jika kegiatan permainan tersebut sudah berubah orientasinya, yakni brorientasi
kepada pencapaian hasil.
2. Macam Permainan
Menurut sifatnya permainan dapat dibedakan :
a. Permainan gerak atau disebut juga permainan fungsi yakni:
Permainan yang dilaksanakan anak dengan gerakan-gerakan dengan tujuan
untuk melatih fungsi organ tubuh melatih panca indra.
Contoh: anak melempar-lemparkan benda, menggerak-gerakkan kaki serta
meremas-remas benda, dan lain-lain.
b. Permainan fantasi atau peran, yakni seorang anak melakukan permainan
karena dipengaruhi oleh fantasinya. la memerankan suatu kegiatan, seolah-
olah sungguhan.
Contoh: bermain mobil-mobilan dengan membalikkan kursi berperan
sebagai ABRI, sebagai ayah, mantan, dan lain-lain
c. Permainan receptif (menerima), yakni anak mengadakan permainan
berdasarkan atas rangsanagan yang diterima dari luar baik melalui cerita,
atau gambar serta kegiatan lain yang sangat dilihat anak.
Contoh: asyik melihat gambar/TV, tidak mau mandi seperti cerita yang ia
terima, dan lain-lain.
d. Permainan bentuk yakni: anak mencoba membentuk (konstruksi) satu
karya atau juga merusak (destruktif) atau karya yang ada. Karena ingin
tahu atau ingin mengubahnya.
Permainan ini ada tingkatannya:
1. Membuat sesuatu, tetapi belum dapat memberi nama,
2. Membuat sesuatu dan dapat memberi nama.
3. Menentukan dan membuat nama dulu, sebelum membuat sesuatu.
4. Membuat sesuatu, sudah lengkap agak mirip dengan kondisi bentuk
sebenarnya yang dikehendaki.
3. Trori-Teori Permainan
a.Teori Aravestis (Keturunan)
b.Teori pengosongan
c.Teori pemulihan tenaga (Recreasi)
d.Teori persiapan
e.Teori menurut menurut ilmu jiwa dalam
4. Tingkatan Permainan Anak
Secara garais besarnya permainan anak melaui tahapan:
a.Umur 0;0-1;0= anak bermain sendiri dengan diri sendiri digunakannya kaki,
suara, kemudian alat main.
b.Umur 1;0-2;0= anak bermainan denagan menirukan sesuatu.
c.Umur 2;0-3;0= bermain sendiri tetapi ada dorongan untuk bersama orang lain.
d.bermain bersama orang lain, dalam status yang sama.
e.umur 5;0-6;0= bermain bersama di bawah pimpinan seseorang di antara
kawannya, meskipun sering terjadi perselisihan.

12
f.umur 6;0-7;0= anak dapat bersandiwara, dengan suatu cerita yang teratur, ia
pun tunduk kepada pimpinannya.
g.umur 7;0-8;0= anak sudah suka bermain yang mengandung ketelitian serta
perlu kecerdasan dan keterampilan
J. Perkembangan Keberagaman Anak
Sebenarnya potensi keberagaman bagi seorang anak telah ada semenjak anak
lahir ke dunia, ia memiliki "fitrah" untuk beriman kepada Tuhan. Tinggal persoalannya
usaha pengembangan serta pemeliharaan potensi (perasaan religious) tersebut yang ada
pada seseorang. Maka di sinilah peran utama orang tua di dalam mengembangkan
potensi keberagaman anak.
.Biasanya sebelum umur 4 tahun anak belum menyadari benar perasaan
ketuhanan (keagamaan). Tuhan bagi anak masih dalam fantasi atau gambarannya
disamakan dengan makhluk/manusia lainnya (anthrophomorphonisme); contoh, anak
sering menanyakan Tuhan rumahnya di mana? Tuhan anaknya berapa? dan lain-lain.
Oleh karena itu pengembangan perasaan ketuhanan anak dapat dimulai sedini
mungkin melalui tanggapan, dan bahasa anak. Mulamula anak mungkin akan selalu
kagum terhadap orang tuanya yang selalu sayang dan lain-lain. Hal tersebut sangatlah
penting untuk pembinaan kejiwaan anak, untuk nantinya dibawa kepada pemahaman,
kekaguman terhadap yang lebih sayang lagi, maha kasih, maha sayang yakni Tuhan
Allah SWT. Secara teoretis mengemukakan bahwa seseorang dalam mengikuti tata
nilai agar menjadi insan kamil itu melalui 6 (enam) stadium (tingkatan) yaitu:
➢ Stadium I menurut aturan untuk menghindari hukuman.
➢ Stadium 2 anak bersikap konformis untuk memperoleh hadiah
agar dipandang orang baik.
➢ Stadium 3 anak bersikap konformis untuk menghindari celaan
➢ orang lain agar disenanginya.
➢ Stadium 4 anak bersikap konformis untuk menghindari hukuman yang
diberikan bagi beberapa tingkah laku tertentu dalam kehidupan bersama.
➢ Stadium 5 konformitas anak sekarang dilakukan karena membutuhkan
kehidupan bersama yang diatur.
➢ Stadium 6 melakukan konformitas tidak karena perintah atau norma dari luar,
melainkan karena keyakinan sendiri untuk melakukannya.

Dari teori tersebut dapat dipahami, jika ada seorang anak taat beragama baru sampai
pada taraf karena takut pada orang tua, guru agama, ingin penghargaan, dipuji, dan lain-
lain. Tidak perlu terburuburu untuk dimarahi, atau dihina, tetapi sebaiknya harus
dibimbing terus agar sampai pada taraf kesadaran dirinya di dalam melakukan kegiatan
keagamaan.

13

Anda mungkin juga menyukai