Anda di halaman 1dari 21

Dosen Pengampu Mata Kuliah

Prof. Dr. H. Nurdin, M.Pd


Prof. Dr. H. Suradi, M.Si

STRATEGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA

STRATEGI KOGNITIF DAN STRATEGI METAKOGNITIF

OLEH:
ANDI MUTIA AMALIA (220007301007)
HERIYANTI ROSYEFINA BERLIAN DURANDT (220007301029)
KARMATANG (220007301032)

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA


PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR (UNM)
2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peningkatan sumber daya manusia haruslah segera dibangun di
Indonesia. Menciptakan manusia-manusia yang unggul harus diadakan sejak
dini melalui pendidikan formal mapun non formal. Dengan diberlakukannya
pandidikan sejak usia dini diharapkan akan mampu membentuk fondasi dasar
sebelum memperoleh ilmu pengetahuan umum, sehingga ilmu yang akan
diperoleh nantinya akan dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya tanpa
adanya pihak lain yang dirugikan. Banyak Negara mengakui bahwa persoalan
pendidikan merupakan persoalan yang pelik. Negara sebagai lembaga yang
mengupayakan kecerdaskan kehidupan bangsa merupakan tugas negara yang
amat penting. Namun, di negara - negara berkembang adopsi sistem
pendidikan sering mengalami kesulitan untuk berkembang. Cara dan sistem
pendidikannya sering menjadi kritik dan kecaman. Adanya perubahan sistem
pendidikan setiap adanya perubahan mentri pendidikan juga turut
mempengaruhi kualitas pendidikan yang ada di Indonesia.
Sementara perkembangan kognitif dianggap sebagai penentu
kecerdasan intelektual anak, kemampuan kognitif terus berkembang seiring
dengan proses pendidikan serta juga dipengaruhi oleh faktor perkembangan
fisik terutama otak secara biologis. Perkembangan selanjutnya berkaitan
dengan kognitif adalah bagaimana mengelola atau mengatur kemampuan
kognitif tersebut dalam merespon situasi atau permasalahan. Tentunya, aspek-
aspek kognitif tidak dapat berjalan sendiri secara terpisah tetapi perlu
dikendalikan atau diatur sehingga jika seseorang akan menggunakan
kemampuan kognitifnya maka perlu kemampuan untuk menentukan dan
pengatur aktivitas kognitif apa yang akan digunakan. Oleh karena itu,
sesorang harus memiliki kesadaran tentang kemampuan berpikirnya sendiri
serta mampu untuk mengaturnya. Para ahli mengatakan kemampuan ini
disebut dengan metakognitif.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan maka rumusan
masalah adalah:
1. Apa yang dimaksud teori kognitif?
2. Bagaimana implikasi teori kognitif dalam pendidikan?
3. Apa yang dimaksud metakognisi?
4. Bagaimana peranan metakognisi dalam pembelajaran?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan maka tujuan
dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian dari teori kognitif.
2. Untuk mengetahui implikasi teori kognitif dalam pendidikan.
3. Untuk mengetahui pengertian dari metakognisi.
4. Untuk mengetahui peranan metakognisi dalam pembelajaran.
D. Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Dapat menjadi bahan bacaan dan referensi untuk penulisan selanjutnya.
2. Dapat menambah wawasan penulis mengenai strategi kognitif dan strategi
metakognitif.
3. Dapat menjadi bahan latihan dalam menuangkan ide-ide dalam bentuk
tertulis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Kognitif menurut Piaget
Piaget memandang pengalaman sebagai faktor yang sangat dan
mendasari proses berfikir anak. Pengalaman berbeda dengan melihat yang
hanya melibatkan mata, sedangkan pengamatan melibatkan seluruh indra
sehingga menyimpan kesan yang lebih lama dan membekas. Pengetahuan
dalam teori konstruktivistik tidak dapat ditransfer begitu saja dari guru
kepada siswa, tetapi siswa sendiri harus aktif secara mental dalam
membangun struktur pengetahuannya. Oleh karena itu, penting melibatkan
siswa secara aktif dalam proses pembelajaran secara nyata, serta dalam usaha
meningkatkan kualitas kognitif siswa, guru dalam melaksanakan
pembelajaran mesti lebih ditujukan pada kegiatan pemecahan masalah.
Pikiran manusia mempunyai struktur yang disebut skema atau
skemata (bentuk jamak dari skema) yang dikenal dengan struktur kognitif.
Struktur ini membantu seseorang untuk melakukan proses adaptasi dan
mengkoordinasikan informasi yang baru diketahui dari lingkungannya
dengan skema yang telah dimiliki sehingga terbentuk skema dan skemata
yang baru. Oleh sebab itu, skema atau struktur kognitif individu akan
meningkat dan berkembang sesuai perkembangan usia individu yang
bersangkutan, bergerak dari yang sederhana menuju aktivitas mental yang
kompleks.
Proses pembentukan skema dilakukan oleh individu melalui proses
asimilasi dan akomodasi. Skemata baru hasil dari asimilasi maupun
akomodasi itulah yang disebut dengan pengetahuan baru. Proses
pembentukan pengetahuan baru tersebut melalui beberapa prinsip dan
tahapan.
1. Prinsip-Prinsip Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif menurut Piaget terjadi melalui serangkaian
proses, yaitu proses asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrium.
a. Asimilasi
Asimilasi merupakan proses penyatuan dan pengintregasian
informasi baru kedalam struktur kognitif yang telah ada. Informasi
atau pengetahuan baru tersebut akan lebih mudah diterima apabila
informasi tersebut cocok dengan skema dan skemata struktur
kognitif yang telah dimilikinya. Hasil dari proses asimilasi adalah
berupa tanggapan informasi atau pengetahuan yang baru diterima.
b. Akomodasi
Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif
(restrukturisasi) siswa pada situasi atau informasi baru yang berbeda.
Proses ini akan terjadi apabila informasi atau pengetahuan baru yang
diterima tidak dapat langsung diasimilasikan pada skema yang sudah
ada karena adanya perbedaan pada skema. Dengan kata lain,
akomodasi adalah kemampuan untuk menggunakan informasi atau
pengetahuan yang telah ada dalam memecahkan berbagai masalah
yang dihadapi.
c. Ekuilibrium
Ekuilibrium terjadi pada saat anak mengalami hambatan dalam
melakukan akomodasi pengetahuan dan pengalamannya untuk
mengadaptasi lingkungan di sekitarnya. Untuk mengatasi masalah
ini, anak akan mencoba cara yang lebih kompleks. Apabila cara ini
berhasil, maka proses ekuilibrium telah terjadi pada diri anak.
Selanjutnya, cara tersebut akan diperlancar oleh anak dalam
memecahkan masalah yang sama di masa depan.
2. Tahapan-Tahapan Perkembangan Kognitif
Menurut Piaget, setiap individu pasti akan mengalami tahapan-tahapan
perkembangan kognitif sebagai berikut:
a. Tahap Sensorik Motorik (0-2 tahun)
Pada tahap ini anak mulai belajar dan mengendalikan lingkungannya
melalui kemampuan panca indera dan gerakannya. Perilaku anak
pada tahap ini semata-mata berdasarkan stimulus yang diterimanya.
Dalam jangka waktu dua tahun tersebut, anak dapat memahami
sedikit lingkungannya dengan cara melihat, meraba, memegang,
mengecap, mencium dan menggerakkan anggota badannya meskipun
belum sempurna. Tapi yang terpenting mereka dapat mengandalkan
kemampuan sensorik dan motoriknya.
Beberapa kemampuan kognitif dasar muncul pada tahap ini. Anak
tersebut mengetahui bahwa sebuah perilaku tertentu akan dapat
menimbulkan akibat tertentu padanya. Misalkan dengan menendang-
nendang selimut, seorang anak tahu bahwa selimut itu akan bergeser
darinya.
b. Tahap Pra Oporasional (2-7 tahun)
Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak
untuk selalu mengandalkan diri pada persepsinya mengenai realitas.
Dengan adanya perkembangan bahasa, ingatan anak pun mampu
merekam banyak hal tentang lingkungannya. Namun, intelek anak
akan dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia tidak menyadari bahwa
orang lain terkadang mempunyai pandangan yang berbeda
dengannya.
Ciri-ciri anak pada tahap Pra Operasional:
1) Sudah mampu berpikir sebelum bertindak, meskipun
kemampuan berpikirnya belum secara logis.
2) Anak lebih bersikap egosentris.
3) Anak lebih cenderung berpikir subjektif dan tidak mampu
melihat objektivitas pandangan orang lain.
4) Sukar menerima pandangan orang lain
5) Tidak mampu membedakan bahwa 2 objek yang sama memiliki
masa, jumlah, atau volume yang tetap meskipun bentuknya
berupbah-ubah.
6) Belum mampu berpikir abstrak.
7) Anak lebih mudah belajar jika guru menggunakan alat peraga
berupa benda yang konkrit daripada hanya menggunakan kata-
kata.
c. Tahap Konkrit (7-11 tahun)
Dalam usia 7 hingga 11 tahun anak-anak sudah mengembangkan
pikiran secara logis. Dalam upaya mengerti tentang alam sekitarnya,
mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada informasi yang
datang dari panca indra. Anak-anak sudah mampu berpikir secara
konkrit dan bisa menguasai sebuah pelajaran yang penting.
Anak-anak sering kali mengikuti logika atau penalaran, tetapi jarang
menyadari bahwa logikanya tersebut dapat berbuah kesalahan. Pada
umumnya, pada tahap ini anak-anak sudah memahami konsep
konservasi (concept of conservacy) yaitu meskipun benda beruabh
bentuknya, namun masa, jumlah, atau volumenya adalah tetap. Anak
juga mampu melakukan observasi, menilai dan mengevaluasi
sehingga mereka tidak se-egosentris sebelumnya.
Kemampuan berpikir anak pada tahap ini masih berupa konkrit,
mereka belum mampu berpikir abstrak, sehingga mereka juga hanya
mampu menyelesaikan soal-soal pelajaran yang bersifat konkrit.
Aktivitas pembelajaran yang melibatkan siswa dalam pengalaman
secara langsung sangat efektif dibandingkan penjelasan guru secara
verbal (kata-kata).
d. Tahap Operasi Formal (11 tahun ke atas)
Pada tahap ini, kemampuan siswa sudah berada pada tahap berpikir
abstrak, yaitu berpikir tentang suatu ide atau gagasan. Mereka
mampu mengajukan hipotesis, menghitung konsekuensi yang
mungkin terjadi serta menguji hipotesis yang mereka buat. Bahkan
anak sudah dapat memikirkan alternatif pemecahan masalah. Mereka
dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dengan
menggunakan pertimbangan ilmiah.
B. Teori Kognitif menurut Vygotsky
Teori perkembangan kognitif Vygotsky berkaitan dengan kemampuan
dalam merekonstruksi berbagai hasil pengalaman aktual hasil perkembangan
individu dengan lingkungan di sekitarnya. Pandangan Vygotsky tentang
kognitif berbeda dengan teori-teori kognitif yang lain, seperti teori kognitif
yang dikembangkan oleh Piaget maupun Bruner. Sebagian besar para peneliti
di bidang kognitif menekankan penelitiannya pada tujuan perkembanagn
kognitif. Dengan demikian, masalah penelitian mereka berkisar pada
masalah-masalah yang berkaitan dengan “Bagaimanakah mekanisme
perkembangan kognitif sejak lahir sampai usia dewasa?”, “Bagaimana anak
mentransformasi setiap tahap perkembangan kognitifnya sehingga dapat
mencapai perkembangan kognitif orang dewasa?”. Vygotsky berbeda dari
ahli kognitif tersebut, karena ia memandang kognitif dari sudut pandang yang
lebih luas. Oleh sebab itu, penelitian yang dilakukannya tentang
perkembangan kognitif bertitik tolak dari permasalahan yang berkaitan
dengan proses perkembangan intelektual dari lahir sampai meninggal.atau
proses perkembangan intelektual sepanjang hayat. Oleh sebab itu, pertanyaan
penelitian Vygotsky adalah “Bagaimanakah manusia mengembangkan proses
psikologis tingkat tinggi sejak lahir sampai meninggal?”.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran teori belajar Vygotsky adalah
salah satu teori belajar sosial yang sesuai dengan model pembelajaran
kooperatif. Di dalam model pembelajaran kooperatif terjadi interaksi sosial
yaitu antara peserta didik dengan peserta didik yang lain dan antara peserta
didik dengan guru dalam usaha menemukan konsep-konsep dan pemecahan
masalah.
1. Perkembangan Kognitif menurut Vygotsky
Dalam membahas teori perkembangan kognitif menurut Vygotsky, ada
beberapa aspek yang perlu ditelaah, yaitu: (a) kognitif berkembang
secara alamiah, (b) interaksi sosial, (c) media budaya dan internalisasi,
dan (d) zone of proximal development atau ZPD.
a. Kognitif Berkembang Secara Alamiah
Penelitian yang dilakukan oleh Vygotsky tentang perkembangan
kognitif manusia dilakukannya dalam suasana yang memberi
kesempatan seluas-luasnya kepada subjek penelitiannya untuk
melakukan berbagai kegiatan yang dapat diobservasi. Hal ini
berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh ahli-ahli
perkembangan kognitif lainnya yang secara ketat mengendalikan
prilaku subjek penelitiannya dalam kondisi yang telah dirancang
sebelumnya. Dalam melaksanakan penelitiannya, Vygotsky
menerapkan tiga teknik berikut:
1) Teknik pertama, yaitu memberikan berbagai kendala pada
subjek penelitiannya yang dapat dipecahkan dengan pemecahan
masalah biasa, misalnya meminta anak yang menguasai bahasa
asing untuk menyelesaikan tugas kelompok dengan anak yang
tidak menguasai bahasa asing.
2) Teknik kedua dilakukan dengan memberikan alat yang dapat
digunakan oleh anak untuk memecahkan masalahnya. Dalam
kondisi yang bervariasi, anak-anak yang berbeda usianya
diharapkan dapat menggunakan alat tersebut dengan berbagai
cara yang berbeda.
3) Teknik ketiga dilakukan dengan jalan meminta anak untuk
memecahkan masalah diluar kemampuannya. Dalam fase ini,
Vygotsky menemukan anak mulai mengembagkan pengetahuan
dan keterampilan baru dalam memecahkan masalah yang
dihadapinya.
b. Interaksi Sosial
Tema utama dari teori Vygotsky adalah bahwa interaksi sosial
memegang peranan utama dalam perkembangan kognitif. Vygotsky
mengemukakan bahwa perkembangan fungsi budaya pada anak
terjadi dalam dau fase berikut ini:
1) Interaksi sosial yang terjadi pada lingkungan sosial di sekitar
anak. Dalam hal ini, interaksi anak dengan orang-orang yang
berada di sekitarnya, yang disebutnya dengan istilah
interpsychological process.
2) Interaksi sosial yang terjadi dalam diri anak yang disebutnya
dengan istilah intrapsychological process.
Kedua proses tersebut diatas, melibatkan perhatian, berpikir logis
dan formasi konsep. Oleh sebab itu, semua kemampuan berpikir
tingkat tinggi merupakan hasil interaksi antara pengalaman
pengalaman aktual antar individu dengan lingkungannya.
c. Media Budaya dan Internalisasi
Dalam meneliti hubungan antara perkembangan kognitif dan
interaksi sosial, yang berfungsi sebagai perantara atau mediasi
budaya pada anak, Vygotsky mengemukakan bahwa interaksi sosial
yang berfungsi sebagai perantara budaya berlangsung dalam
komunikasi interpersonal antara anak dengan orang tua atau teman
sebayanya. Melalui proses ini, perkembangan mental tingkat tinggi
berkembang sejalan dengan perkembangan budaya di sekitar anak.
Melalui interaksi sosial tersebut, anak belajar kebiasaan-kebiasaan
dan cara berpikir seperti yang diungkapkannya dalam bahasa lisan,
bahasa tertulis dan simbol-simbol yang mengandung makna tertentu
dalam kebudayaannya. Selanjutnya, anak akan membangun
pengetahuannya yang berkaitan denagn berbagai pengalaman
interaksi sosial yang dialaminya. Proses ini disebut Vygotsky dengan
istilah cultural mediation (media budaya) dan proses mental yang
terjadi didalamya disebut dengan istilah internalization
(internalisasi).
Internalisasi dapat dijelaskan sebagai pemahaman terhadap knowing
how. Misalnya, dengan kemampuannya sendiri anak menuangkan air
ke dalam gelas dengan hati-hatiagar tidak tumpah adalah hasil dari
pemahaman atau proses internalisasi tentang perilaku yang harus
dilakuakan pada waktu menuangkan air ke dalam gelas. Perilaku ini
merupakan hasil interaksi sosial dengan oreng-orang di sekitarnya
dan dalam hal ini terjadi mediasi kultural. Contoh lain yang dapat
dikemukakan tentang pemahaman anak adalah terhadap arti
perkataan yang diungkapkan dengan suara lembut bererti senang dan
ramah, dan perkataan yang diungkapakan dengan suara kasar berarti
marah. Melalui proses internalisasi atau pemahamannya tentang
suara tersebut, anak akan memberikan yang sesuai seperti tertawa
atau tersenyum atau menangis karena takut dimarahi.
d. Zone of Proximal Development atau ZPD
Aspek terakhir dari teori Vygotsky mengenai perkembangan kognitif
adalah zone of proximal development. Vygoysky mendefinisikan
ZPD sebagai jarak antara kemampuan yang dikuasai yang tercermin
dari kemampuan dalam memecahkan masalah secara mandiri dan
kemampuan yang sedang berkembang dan membutuhkan
pertolongan melalui interaksi sosial, yang dapat dilihat dari
kemampuan anak dalam memecahkan suatu masalah dengan bantuan
orang dewasa atau teman sebaya yang telah memilikikemampuan
tersebut. Vygotsky meyakini bahwa bila siswa berada dalam area
ZPD untuk tugas-yugas belajar tertentu perlu diberikan bantuan atau
scaffolding, tanpa bantuan tersebut maka siswa akan mendapat
berbagai kesulitan dan kurang berhasil dalm menyelesaikan tugas-
tugas belajar tersebut dengan baik.
C. Teori Kognitif menurut Bruner
Perkembangan kognitif menurut Bruner adalah perkembangan
kemampuan berpikir yang berlangsung secara setahap demi setahap.
Perkembangan kemampuan berpikir tersebut memerlukan interaksi anak
dengan lingkungannya, yang disebutnya sebagai interaksi antara kemampuan
yang ada di dalam diri manusia dengan lingkungan di sekitarnya dan
berlangsung dalam waktu yang lama. Hal ini disebabkan karena proses
perkembangan kemampuan berpikir atau proses perkembangan intelegensi
berlangsung sejalan dengan proses belajar. Dalam kaitannya dalam proses
belajar, pendapat yang paling terkenal yang dikemukakan oleh Bruner adalah
bahwa setiap mata pelajaran dapat diajarkan secara efektif dalam bentuk yang
jujur secara intelektual kepada setiap anak di setiap tingkatan
perkembangannya.
1. Perkembangan Kognitif menurut Bruner
Melalui penelitiannya tentang evolusi perkembangan manusia, Bruner
menemukan tiga bentuk berpikir manusia yang membangun kemampuan
seseorang dalam memahami dunia di sekitarnya. Ia mengemukakan bahwa
manusia merespons dunia di sekitarnya melalui gerakan motorik, melalui
imajinasi dan persepsi tentang lingkungannya, dan melalui cara yang
mewakili imajinasi dan persepsinya. Ketiga sisitem berpikir manusia
tersebut sebagai: (a) enactive representation, (b) iconic representation, dan
(c) symbolic representation.
a. Enactive representation
Enactive representaion berkaitan dengan cara yang digunakan anak
dalam membangun kemampuan kognitifnya atau kemampuan
empiriknya melalui pengalaman nyata. Misalkan, anak akan mengerti
nama suatu makanan apabila makanan tersebut ditunjukkan kepadanya
dan disebutkan namanya. Contoh selanjutnya, anak akan mengerti
posisi benda seperti di atas, di bawah, di samping kiri dan kanan, di
muka dan di belakang apabila posisi benda tersebut ditujukan kepada
mereka secara nyata dan disebutkan posisinya kepada anak. Sebelum
anak mengetahui letak benda tersebut, anak akan menarik tangan orang
tuanya atau kakanya untuk menunjukan letak benda tersebut.
b. Iconic representation
Iconic represantion berkaitan kemampuan manusia dalam menyimpan
pengalaman empirik dalam ingatannya. Anak yang telah mencapai
kemampuan ini, sudah dapat menyebutkan nama benda dan peristiwa
yang ditampilakan melalui gambar, atau untuk mengekspresikan
pikirannya, anak dapat menggunakan gambar yang dibuatnya.
c. Symbolic representation
Symbolic representation berkaitan dengan kemapuan manusia dalam
memahami konsep dan peristiwa yang disajikan melalui bahasa.
Pernyataaan yang diungkapakan melalui bahasa mengandung konsep
dan karakteristik konsep serta makna yang berkaitan dengan konsep
tersebut. Dalam fase ini, anak telah mampu berpikir abstrak.
2. Tahapan-Tahapan Proses Belajar
Menrut Bruner, dalam proses belajar peserta didik menempuh tiga tahap
yaitu:
a. Tahap informasi (tahap penerimaan materi)
Pada tahap ini seorang peserta didik yang sedang belajar memperoleh
sejumlah keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari baik
secara langsung dari gurunya maupun membaca dari sumber yang ada
seperti buku, modul, internet, dan sebagainya.
b. Tahap transformasi (tahap pengolahan materi)
Selanjutnya pada tahap tranformasi, informasi yang telah diperoleh itu
dianalisisis, diubah, atau ditransformasikan menjati bentuk lebih
abstrak atau konseptual
c. Tahap evaluasi
Dalam tahap evaluasi, seorang peserta didik menilai sendiri sampai
sejauh mana informasi yang telah ditransformasikan tadi dapat
dimanfaatkan untuk memahami gejala atau masalah yang dihadapi.
D. Implikasi Teori Kognitif Dalam Pendidikan
Bagi para penganut aliran kognitivisme, pembelajaran dipandang
sebagai upaya memberikan bantuan kepada siswa untuk memperoleh
informasi atau pengetahuan baru melalui proses discovery dan internalisasi.
Agar discovery dan internalisasi dapat berlangsung secara tepat maka perlu
diperhatikan beberapa prinsip pembelajaran yang perlu sebagai berikut:
1. Setiap siswa perlu dimotivasi oleh guru agar merasa bahwa belajar
merupakan suatu kebutuhan, dan bukan sebaliknya sebagai beban.
2. Pembelajaran hendaknya dimulai dari hal-hal yang konkrit sebelum ke hal-
hal yang abstrak.
3. Setiap usaha mengkonseptualisasikan materi pembelajaran hendaknya
diatur sedemikian rupa sehingga memudahkan siswa belajar.
4. Pembelajaran hendaknya dirancang sesuai dengan pengalaman belajar
siswa dengan memperhatikan tahap-tahap perkembangannya. Materi
pelajaran hendaknya dirancang dengan memperhatikan urutan penyajian
secara logis.
E. Pengertian Metakognisi
Metakognisi merupakan suatu istilah yang diperkenalkan oleh Flavell
pada tahun 1976 dan menimbulkan banyak perdebatan pada pendefinisiannya.
Hal ini berakibat bahwa metakognisi tidak selalu sama didalam berbagai
macam bidang penelitian psikologi, dan juga tidak dapat diterapkan pada satu
bidang psikologi saja. Namun demikian, pengertian metakognisi yang
dikemukakan oleh para peneliti bidang psikologi, pada umumnya
memberikan penekanan pada kesadaran berpikir seseorang tentang proses
berpikirnya sendiri.
Wellman (1985) menyatakan bahwa: Metakognisi adalah suatu bentuk
kognisi, proses berpikir urutan kedua atau lebih tinggi yang melibatkan
kontrol aktif atas proses kognitif. Hal ini dapat hanya didefinisikan sebagai
berpikir tentang berpikir atau "kognisi seseorang tentang kognisi"
Metakognisi sebagai suatu bentuk kognisi, atau proses imunisasi meliputi
tingkat berpikir yang lebih tinggi, melibatkan pengendalian terhadap aktivitas
kognitif.
Flavell & Brown dalam menyatakan bahwa metakognisi adalah
pengetahuan (knowledge) dan regulasi (regulation) pada suatu aktivitas
kognitif seseorang dalam proses belajarnya. Sedangkan Moore (2004)
menyatakan bahwa: Metakognisi mengacu pada pemahaman seseorang
tentang pengetahuannya, sehingga pemahaman yang mendalam tentang
pengetahuannya akan mencerminkan penggunaannya yang efektif atau uraian
yang jelas tentang pengetahuan yang dipermasalahkan. Hal ini menunjukkan
bahwa pengetahuan-kognisi adalah kesadaran seseorang tentang apa yang
sesungguhnya diketahuinya dan regulasi-kognisi adalah bagaimana seseorang
mengatur aktivitas kognisifnya secara efektif. Karena itu, pengetahuan-
kognisi memuat pengetahuan deklaratif, prosedural, dan kondisional, sedang
regulasi-kognisi mencakup kegiatan perencanaan, prediksi, monitoring
(pemantauan), pengujian, perbaikan (revisi), pengecekan (pemeriksaan), dan
evaluasi.
Berdasarkan beberapa pengertian metakognitif beberapa ahli di atas
disimpulkan bahwa metakognitif adalah suatu kesadaran tentang kognitif kita
sendiri, bagaimana kognitif kita bekerja serta bagaimana mengaturnya.
Kemampuan ini sangat penting terutama untuk keperluan efisiensi
penggunaan kognitif kita dalam menyelesaikan masalah. Secara ringkas
metakognitif dapat diistilahkan sebagai “thinking about thingking”.
F. Perkembangan Kemampuan Metakognitif Anak
Kemampuan metakognitif tumbuh dan berkembang seiring dengan
pertambahan usia. Secara umum, kemampuan metakognitif mulai
berkembang pada usia sekitar 5 hingga 7 tahun (Woolfolk, 2008). Model
Piaget tentang perkembangan intelektual menjelaskan adanya perkembangan,
sehingga kecerdasan dibangun dalam suatu kurun waktu dalam rangkaian
yang tersusun dari tahapan-tahapan yang saling terkait atau berhubungan, dan
tiap tahap ini menentukan perkembangannya. Perkembangan ini merupakan
proses fundamental dimana tiap elemen dari pembelajaran sebagai fungsi dari
perkembangan secara keseluruhan. Sehingga, perkembangan intelektual
seseorang menentukan apa yang bisa dipelajarinya pada taraf itu..
Ketika siswa mempelajari sesuatu, Ia masih berada dalam tingkat
intuitif, dan sangat tergantung pada cara materi itu ditunjukkan padanya. Jika
konsep yang baru diberikan terlalu jauh dari skemanya, ia mungkin tidak
dapat mengasimilasikannya, khususnya bila tingkat penerimaan yang
mungkin dengan intuisi lebih rendah daripada yang bisa dicapai oleh refleksi.
Sehingga pada tahap awal, analisis konseptual oleh guru harus
digunakan sebagai dasar untuk merencanakan presentasinya dengan seksama
yang memungkinkan siswa dapat mensintesis kembali dalam pikirannya
sendiri. Situasi yang terbentuk berupa pertanyaan yang bisa diajukan,
penjelasan yang diberikan, seorang guru yang peka dapat memenuhi titik
pertumbuhan dari skema siswanya, dan memberikan materi yang tepat pada
saat yang tepat. Fleksibilitas dalam pendekatan ini menghasilkan ketuntasan
pada subjek pebelajar daripada dengan pendekatan yang kaku menurut
rencana, sebaik apapun rencana tersebut. Akhirnya, guru secara bertahap
mengurangi ketergantungan siswa padanya. Begitu seseorang dapat
menganalisa sendiri suatu materi baru, ia dapat menyesuaikannya dengan
skemanya sendiri dalam cara yang paling bermakna baginya, yang mungkin
saja berbeda dengan cara materi itu disajikan semula.
Oleh karena itu, guru hendaknya dapat menyesuaikan materi
pembelajarannya dengan tahap perkembangan skema siswanya, ia juga harus
menyesuaikan cara penyajiannya pada kecenderungan berfikir yang dikuasai
siswanya. Kecenderungan penalaran intuitif dan konkrit saja, atau intuitif,
konkrit dan juga formal. Dan akhirnya, guru secara bertahap meningkatkan
kemampuan analitis siswa, sehingga siswa tidak lagi tergantung pada guru.
Perkembangan kemampuan intuisi dan refleksi membentuk kemampuan
berfikir secara formal.
Pada taraf berfikir formal, anak mampu bernalar secara ilmiah,
melakukan pengujian terhadap hipotesis yang dibuatnya, dan mereka mampu
merefleksikan suatu akibat melalui pemahaman yang dibangunnya dengan
baik. Pada masa ini, mereka mulai mengembangkan penalaran dan logika
untuk memecahkan berbagai masalah (Wadsworth, 1984). Taraf berfikir
operasional formal pada hakikatnya merupakan metakognisi, karena
operasional formal melibatkan berfikir tentang proposisi, hipotesis dan
membayangkan semua objek kognitif yang mungkin (Flavell, 1985).
G. Peranan Metakognisi Dalam Pembelajaran
1. Keberhasilan Belajar
Sebagaimana dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa metakognisi
pada dasarnya adalah kemampuan belajar bagaimana seharusnya belajar
dilakukan yang didalamnya dipertimbangkan dan dilakukan aktivitas-
aktivitas sebagai berikut (Taccasu Project, 2008).
1) Mengembangkan suatu rencana kegiatan belajar.
2) Mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya berkenaan dengan
kegiatan belajar.
3) Menyusun suatu program belajar untuk konsep, keterampilan, dan ide-
ide yang baru.
4) Mengidentifkasi dan menggunakan pengalamannya sehari-hari sebagai
sumber belajar.
5) Memanfaatkan teknologi modern sebagai sumber belajar.
6) Memimpin dan berperan serta dalam diskusi dan pemecahan masalah
kelompok.
7) Belajar dari dan mengambil manfaat pengalaman orang-orang tertentu
yang telah berhasil dalam bidang tertentu.
8) Belajar dari dan mengambil manfaatkan pengalaman orang-orang
tertentu yang telah berhasil dalam bidang tertentu.
9) Memahami faktor-faktor pendukung keberhasilan belajarnya.
Berdasarkan apa yang dipaparkan di atas dapat dinyatakan bahwa
keberhasilan seseorang dalam belajar dipengaruhi oleh kemampuan
metakognisinya. Jika setiap kegiatan belajar dilakukan dengan mengacu
pada indikator dari learning how to learn maka hasil optimal akan mudah
dicapai.
2. Pengembangan Metakognisi dalam Pembelajaran
Mengingat pentingnya peranan metakognisi dalam keberhasilan belajar,
maka upaya untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik dapat dilakukan
dengan meningkatkan metakognisi mereka. Mengembangkan metakognisi
pembelajar berarti membangun fondasi untuk belajar secara aktif. Guru
sebagai sebagai perancang kegiatan belajar dan pembelajaran, mempunyai
tanggung jawab dan banyak kesempatan untuk mengembangkan
metakognisi pembelajar. Strategi yang dapat dilakukan guru atau dosen
dalam mengembangkan metakognisi peserta didik melalalui kegiatan belajar
dan pembelajaran adalah sebagai berikut (Taccasu Project, 2008).
1) Membantu peserta didik dalam mengembangkan strategi belajar dengan:
a. Mendorong pembelajar untuk memonitor proses belajar dan
berpikirnya.
b. Membimbing pembelajar dalam mengembangkan strategi-strategi
belajar yang efektif.
c. Meminta pembelajar untuk membuat prediksi tentang informasi yang
akan muncul atau disajikan berikutnya berdasarkan apa yang mereka
telah baca atau pelejari.
d. Membimbing pembelajar untuk mengembangkan kebiasaan bertanya.
e. Menunjukkan kepada pembelajar bagaimana teknik mentransfer
pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, keterampilan-keterampilan dari
suatu situasi ke situasi yang lain.
2) Membimbing pembelajar dalam mengembangkan kebiasaan peserta didik
yang baik melalui :
a. Pengembangan kebiasaan mengelola diri sendiri
Pengembangan kebiasaan mengelola diri sendiri dapat dilakukan
dengan : (a) mengidentifikasi gaya belajar yang paling cocok untuk
diri sendiri (visual, auditif, kinestetik, deduktif, atau induktif);
(b)memonitor dan meningkatkan kemampuan belajar (membaca,
menulis, mendengarkan, mengelola waktu, dan memecahkan
masalah); (c) memanfaatkan lingkungan belajar secara variatif (di
kelas dengan ceramah, diskusi, penugasa, praktik di laboratorium,
belajar kelompok, dst).
b. Mengembangkan kebiasaan untuk berpikir positif
Kebiasaan berpikir positif dikembangkan dengan : (a) meningkatkan
rasa percaya diri (self-confidence) dan rasa harga diri (self-esteem) dan
(b) mengidentifikasi tujuan belajar dan menikmati aktivitas belajar.
c. Mengembangkan kebiasaan untuk berpikir secara hirarkhis
Kebiasaan untuk berpikir secara hirarkhis dikembangkan dengan : (a)
membuat keputusan dan memecahkan masalah dan (b) memadukan
dan menciptakan hubungan-hubungan konsep-konsep yang baru.
d. Mengembangkan kebiasaan untuk bertanya
Kebiasaan bertanya dikembangkan dengan : (a) mengidentifikasi ide-
ide atau konsep-konsep utama dan bukti-bukti pendukung; (b)
membangkitkan minat dan motivasi; dan (c) memusatkan perhatian
dan daya ingat.
Pengembangan metakognisi pembelajar dapat pula dilakukan dengan
aktivitas-aktivitas yang sederhana kemudian menuju ke yang lebih
rumit.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Strategi kognitif adalah siasat untuk mengerti, yang berkembang
berdasarkan paradigma konstruktivistik. Paradigma konstruktivisme inilah
yang melandasi timbulnya strategi kognitif yang disebut teori metakognisi.
metakognisi adalah suatu kesadaran tentang kognitif kita sendiri, bagaimana
kognitif kita bekerja serta bagaimana mengaturnya. Kemampuan ini sangat
penting terutama untuk keperluan efisiensi penggunaan kognitif kita dalam
menyelesaikan masalah. Secara ringkas metakognitif dapat diistilahkan
sebagai “thinking about thingking”.
Keunikan setiap orang dalam mengolah informasi hingga
pengambilan keputusan pasti berbeda-beda. Perbedaan itu disebabkan oleh
adanya faktor-faktor pendukung perkembangan kognitif setiap orang yaitu
kedewasaan (maturasi), pengalaman fisik, pengalaman logika-matematik,
transmisi sosial dan pengendalian diri (ekuilibrasi).
B. Saran
Adapun saran yang dapat penulis kemukakan adalah sebagai berikut:
1. Diharapkan kepada pendidik atau guru dan juga penentu kebijakan
pendidikan untuk lebih meningkatkan penerapan cara belaar yang
bermakna dan bermutu di sekolah, sehingga dapat meningkatkan kognitif
dan metakognitif peserta didik.
2. Diharapkan kepada pelajar, untuk melatih diri untuk berfikir secara
mandiri tiap masalah yang dihadapi guna menjadi individu yang
kompeten.
DAFTAR PUSTAKA
Anonym.https://www.kompasiana.com/fkipipthukawkupang/teori-belajar-dan
implikasinya-dalam-pembelajaran_54ffc47ea33311825c5102db
Ardy Wiyani, Novan. & Irham, Muhammad. 2013. Psikologi Pendidikan: Teori
dan Aplikasi Dalam Proses Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Driscoll, P. Marcy. 2005. Psychology of Learning for Instruction. Boston: Pearson
Education, Inc.
Gredler, M.E., 2011, Learning and Instruction: Teori dan Aplikasi, Kencana,
Jakarta.
Harianto. & Sugiyono. 2011. Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Jamaris, Martini. 2012. Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Schunk, Dale H., 2012, Learning Theories: An. Educational Perspective, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Subini, Nini dkk. 2012. Psikologi Pembelajaran. Yogyakarta: Mentari Pustaka
Sugihartono dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY press.
Taccasu Project. (2008) “Metacognition” Tersedia pada:
http://www.careers.hku.hk/taccasu/ref/metacogn.htm, diakses pada 19 Mei
2013.
Woolfolk Anita., 2008, Educational Psychology, Active Learning Edition,
Pearson Education Inc., Boston.

Anda mungkin juga menyukai