1. Pilihlah usia peserta didik yang anda harapkan bisa mengajarnya suatu hari nanti
Tahap Sensorimotor
Tahap sensorimotor terjadi pada bayi usia 0-2 tahun. Menurut Piaget, setiap bayi lahir
dengan refleks bawaan dan keinginan untuk mengekplorasi sekitarnya. Pada usia ini,
kemampuan bayi masih sangat terbatas pada gerak refleks dan panca indra. Gerakan-
gerakan refleks pun nantinya akan berkembang menjadi kebiasaan.
Pada tahapan ini, si Kecil belum bisa mempertimbangkan keinginan orang lain. Ia hanya
mau keinginannya yang terpenuhi. Mungkin terkesan egois ya, tetapi itulah yang terjadi.
Nah pada usia 18 bulan, si Kecil sudah bisa memahami fungsi barang yang dekat
dengannya sehari-hari. Ia juga bisa melihat hubungan antar peristiwa dan mengenali
orang-orang seperti anggota keluarganya.
Tahap Praoperasional
Tahap praoperasional adalah tahap perkembangan bayi usia 2-7 tahun. Pada masa ini,
si Kecil sudah bisa bersosialisasi dengan lingkungannya. Ia juga bisa mengelompokkan
berbagai barang berdasarkan warna, bentuk, dan lain sebagainya.
Ketika si Kecil memasuki usia 7-11 tahun, ia sudah memasuki tahap operasional
konkret. Ia mampu mengurutkan dan mengklasifikasikan objek serta situasi-situasi yang
dihadapi. Ia juga sudah mampu mengingat dan berpikir secara logis. Anak-anak di
tahapan perkembangan ini mulai memahami konsep sebab akibat secara sistematis dan
rasional. Ini adalah waktu yang tepat untuk belajar membaca dan matematika. Sikap
egoisnya pun menghilang secara perlahan, karena ia mulai memahami suatu
permasalahan dan sudut pandang orang lain.
Tahapan perkembangan ini berkisar dari usia 11 tahun ke atas. Si Kecil sudah mulai
mampu berpikir abstrak dan menggunakan nalarnya. Ia sudah bisa menarik kesimpulan
dari berbagai informasi yang diterima. Ia mulai memahami konsep abstrak, seperti cinta
dan norma-norma. Ia juga mulai melihat kalau hidup tidak selalu hitam ataupun putih.
Tahapan terakhir ini adalah persiapan si Kecil menuju dewasa.
Kelancaran perkembangan kognitif pada anak tergantung pada beberapa faktor, yaitu:
a. Keturunan. Seorang anak akan memiliki kemampuan berpikir yang mirip dengan
orang tuanya. Tentu kemampuan yang satu ini sangat dipengaruhi oleh komunikasi
antara Mums dan Dads dengan dirinya.
b. Lingkungan. Keluarga dan sekolah mendukung perkembangan kognitif anak. Penting
bagi Mums dan Dads untuk memiliki karakter yang baik serta sabar pada
perkembangan si Kecil. Demikian pula ketika memilih sekolah untuknya.
Demikianlah tahap perkembangan anak menurut Jean Piaget. Mums dan Dads pasti
ingin terlibat dalam setiap tahapan tersebut,
B. Teori perkembangan sosial-emosional Bronfrenbrenner
Teori ekologi dikembangkan oleh Urie Bronfenbrenner (1917) yang fokus utamanya
adalah pada konteks sosial di mana anak tinggal dan orang-orang yang mempengaruhi
perkembangan anak. .
Teori ekologi Bronfenbrenner terdiri dari lima sistem lingkungan yang merentang dari interaksi
interpersonal sampai ke pengaruh kultur yang lebih luas. Bronfenbrenner menyebut sistem
tersebut sebagai berikut :
c. Eksosistem terjadi ketika pengalaman di setting lain (dimana murid berperan aktif)
memperngaruhi pengalaman murid dan guru dalam konteks mereka sendiri. Misalnya
dewan sekolah dan dewan pengawas taman di dalam satu komunitas. Mereka memegang
peran kuat dalam menentukan kualitas sekolah, taman, fasilitas rekreasi, dan
perpustakaan. Keputusan mereja bisa membantu atau menghambat perkembangan anak.
d. Makrosistem adalah kultur yang lebih luas. Kultur adalah istilah luas yang mencakup
peran etnis dan faktor sosioekonomi dalam perkembangan anak. Kultur adalah konteks
terluas dimana murid dan guru tinggal, termasuk nilai dan adat istiadat masyarakat.
Misalnya beberapa kultur di beberapa negara Islam menekankan pada peran gender
tradisional dan pendidikannyaa mempromosikan dominasi pria. Kultur lain (seperti di
AS) menerima peran gender yang lebih bervariasi dan pendidikannya semakin
mendukung nilai kesetaraan antara pria dan wanita. Salah satu aspek dari status
sosiekonomi murid adalah faktor perkembangan dalam kemiskinan. Kemiskinan dapat
memengaruhi perkembangan anak dan merusak kemampuan mereka untuk belajar,
meskipun beberapa anak di lingkungan yang miskin sangat ulet.
Teori Bronfenbenner telah mendapat banyak popularitas. Teori ini memberikan kerangka
teoritis untuk mengkaji konteks sosial secara sistematis, baik di tingkat mikro maupun makro.
Teori ini juga menjembatani kesenjangan antara teori behavioral yang berfokus
pada setting kecil dan teori antropologi yang menganalisis setting yang lebih luas. Teorinya
memicu perhatian orang pada arti penting kehidupan anak dari berbagai setting. Misalkan guru
seharusnya tidak hanya mempertimbangkan hal yang terjadi di dalam kelas, tetapi juga
mempertimbangkan apa yang terjadi dalam keluarga, lingkungan, dan teman sebaya siswanya.
(Santrock, Psikologi Pendidikan, 2008)
Tahap I: Oral Sensory (bayi). Tahap psikososial pertama oleh Erikson disebut sebagai rasa
percaya versus rasa tidak percaya (trust versus mistrust). Dalam tahap ini, bayi berusaha keras
untuk mendapatkan pengasuhan, kehangatan, dan persahabatan yang menyenangkan, sehingga
timbul kepercayaan, sebaliknya ketidakpercayaan akan tumbuh jika bayi diperlakukan terlalu
negative atau diabaikan.
Tahap II: Anal Musculature (masa kanak-kanak awal). yang kedua disebut sebagai otonomi
versus rasa malu dan ragu (autonomy versus shame and doubt). Tahap ini terjadi pada masa akhir
(late infancy) dan masa belajar berjalan (toddler). Setelah mempercayai pengasuhnya sang bayi
mulai menemukan bahwa tindakannya adalah tindakannya sendiri. Mereka menyadari
kehendaknya sendiri pada tahap ini anak akan melakukan apa yang diinginkan dan menolak apa
yang diinginkan. Jika bayi dibatasi atau terlalu keras dihukum akan mengembangkan rasa malu
dan ragu.
Tahap III: Genital Locomotor (masa kanak-kanak awal hingga madya). Erikson menyebut
tahap ketiga ini sebagai inisiatif versus rasa bersalah (initiative versus guilt). Saat anak
merasakan dunia social yang lebih luas, mereka lebih banyak mendapat tantangan ketimbang
saat bayi. Untuk mengatasi tantangan ini mereka harus aktif dan tindakannya mempunyai tujuan.
Dalam tahap ini orang dewasa berharap anak menjadi lebih tanggungjawab.
Tahap IV: Latency (masa kanak-kanak madya hingga akhir). Tahap ke empat oleh Erikson
disebut sebagai Usaya versus inferioritas.Tahap ini terjadi kira-kira pada masa sekolah dasar,
dari usia enam tahun hingga usia puber atau awal remaja. Inisiatif anak membuat mereka
berhubungan dengan banyak pengalaman baru.Saat mereka masuk sekolah dasar mereka
menggunakan energinya untuk menguasai pengetahuan dan ketrampilan intelektual. Masa kanak-
kanak akhir adalah masa dimana anak paling bersemangat untuk belajar, saat imajinasi mereka
berkembang. Bahaya masa ini muncul perasaan rendah diri, ketidakproduktivan dan
inkompetensi.
Tahap V: Puberty and Adolescence (masa remaja). Tahap kelima adalah tahapan Erikson
yang paling penting dan paling berpengaruh, yaitu identitas versus kebingungan peran (identity
versus role confusion). Pada tahap ini remaja berusaha untuk mencari jatidirinya, apa makna
dirinya, dan kemana mereka akan menuju. Mereka akan banyak peran baru dan status dewasa
(seperti pekerjaan dan pacaran) Remaja ini perlu diberi kesempatan mengeksplorasi berbagai
cara untuk memahami identitas dirinya. Apabila remaja tidak cukup mengeksplorasi peran yang
berbeda dan tidak merancang jalan masa depan yang positif, mereka bisa tetap bingung akan
identitas diri mereka.
Tahap VI: Young Adulthood (masa dewasa muda). Tahap ke enam disebut sebagai keintiman
versus kesendirian (intimacy versus isolation). Tugas perkembangannya adalah membentuk
hubungan yang positif dengan orang lain. Erikson mendeskripsikan intimasi sebagai penemuan
diri sendiri tetapi kehilangan diri sendiri dalam diri orang lain. Bahaya pada tahap ini adalah
orang bisa gagal membangun hubungan dekat dengan pacar atau kawannya dan terisolasi secara
social. Bagi individu seperti ini kesepian bisa membayangi seluruh hidup mereka.
Tahap VII: Adulthood (masa dewasa menengah). Tahap ini pada masa dewasa pertengahan,
sekitar usia 40-an dan 50-an. Generativity berarti mentransmisikan sesuatu yang positif pada
generasi selanjutnya. Ini bisa berkaitan dengan peran seperti parenting dan pengajaran. Melalui
peran itu orang dewasa membantu generasi selanjutnya untuk mengembangkan hidup yang
berguna. Stagnasi sebagai perasaan tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu generasi
selanjutnya.
Tahap VIII: Maturity (masa dewasa akhir). Tahapan ke delapan dan terakhir oleh Erikson
disebut sebagai integrasi ego versus keputusasaan (ego integrity versus despair). Pada tahap usia
lanjut ini, mereka juga dapat mengingat kembali masa lalu dan melihat makna, memikirkan apa-
apa yang telah mereka lakukan. Jika evaluasi retrospektif ini positif, mereka akan
mengembangkan rasa integritas. Yakni mereka memandang hidup mereka sebagai hidup yang
utuh dan positif untuk dijalani. Sebaliknya orang tua akan putus asa jika renungan mereka
kebanyakan negative.
3. buatlah daftar karakteristik terkait anak pengalaman masa kecil anda sendiri
Karakteristik:
1. Unik
2. Relative/spontan
3. Ceroboh dan kurang perhitungan
4. Aktif dan energy
5. Berjiwa petualangan
Kemampuan sosial emosional yang stabil menjadi bekal penting untuk anak dapat
menghadapi berbagai tekanan, baik dari lingkungan keluarga, teman-teman, dan kondisi kritis
lain di masa depan. Nah, agar kemampuan sosial emosional anak stabil, berikut 5 tips yang bisa
Anda coba.
1. Mengajarkan Empati
Cara pertama yang bisa Anda lakukan untuk mengembangkan kemampuan sosial emosional
anak adalah mengajarkan Ia bersikap empati. Sebab, empati melibatkan kecerdasan emosional
anak terhadap orang lain. Anda bisa mulai bertanya pada anak tentang perasaannya yang
berhubungan dengan peristiwa dalam kehidupan mereka. Contohnya, "Bagaimana perasaanmu
ketika mainanmu hilang?".
Sebagai orang tua, Anda harus menjadi contoh yang baik bagi anak-anak. Tunjukkanlah
keterampilan sosial emosional yang baik kepada anak melalui perilaku sehari-hari di rumah.
Otak anak diibaratkan seperti spons yang dapat menyerap semua perilaku dan pembelajaran
disekitar mereka. Jadi, ketika anak melihat Anda berbagi, membantu, atau mengungkapkan rasa
terima kasih, anak pun bisa memiliki pemahaman yang baik tentang cara berinteraksi dengan
orang lain.
Melatih kemampuan sosial emosional anak yang stabil dapat juga Anda lakukan dengan
memberikan apresiasi ketika anak menunjukkan perilaku sosial yang baik. Dengan cara ini, Anda
bisa membantu anak merasa baik tentang diri mereka sendiri, yang pada akhirnya memainkan
peranan penting dalam mengembangkan rasa empati serta kemampuan emosional. Apresiasi juga
bisa memotivasi anak untuk selalu berperilaku baik loh.
4. Ajak Anak Bermain di Luar Rumah
Mengajak anak bermain di luar rumah sangat penting agar anak nantinya tidak takut berada di
keramaian. Usahakan mengajak anak ke luar rumah di tahun-tahun awal kelahirannya agar Ia
terbiasa. Di luar rumah anak dapat melihat dan mengamati orang-orang dan lingkungan baru.
Anak bisa terstimulasi untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh orang lain. Selain itu, anak juga
dapat terbiasa dengan lingkungan luar yang ramai.
Tips terakhir untuk mengembangkan sosial emosional anak adalah dengan mengajak Ia untuk
berbagi. Salah satu aspek perkembangan sosial anak bisa dilihat dari seberapa mampu Ia
menahan egonya. Ketika anak tidak lagi menangis saat diajak berbagai, maka artinya
kemampuan sosial yang dimiliki anak telah terbentuk dengan baik. Oleh sebab itu, mulailah
mengajak anak berbagi sejak dini. Anda bisa juga mengajak anak untuk mulai
mengikuti playdate, dimana Ia bisa bertemu dengan teman-teman sebayanya.
Anak usia sekolah berbicara dengan kalimat lengkap. Sama seperti orang dewasa, mereka
mengajukan lebih banyak pertanyaan, menghubungkan pengalaman masa lalu dengan detail
yang jelas dan mencari lebih banyak informasi dan pembenaran untuk apa adanya. Pada usia ini,
anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu untuk berbicara dan bermain dengan teman sebaya
dan teman. Kenali tanda-tanda ini dan dorong upaya anak dalam berkomunikasi:
Ikuti terus aktivitas, kesukaan, ketidaksukaan, dan hubungan teman sebaya anak usia sekolah
dengan berbicara kepada mereka. Teman sebaya sangat penting pada tahap ini, dan orang
dewasa dapat terus mendapat informasi tentang hubungan anak-anak mereka dengan
berbicara secara teratur dengan anak-anak.
Bantu anak-anak usia sekolah menetapkan tujuan dan memecahkan masalah (“Jika Anda
harus pergi ke Pramuka sore ini, mari bicarakan kapan Anda dapat mengerjakan pekerjaan
rumah Anda.”). Luangkan waktu untuk mendiskusikan strategi dan solusi, dan mintalah anak
berbicara tentang kemungkinan hasil.
Saat mengoreksi perilaku, berikan penjelasan yang tenang untuk preferensi Anda. Memberi
alasan membantu anak memahami implikasi dari perilakunya terhadap orang lain (misalnya,
jika anak Anda menggoda anak lain karena mereka memakai kacamata, jelaskan bahwa
memakai kacamata membantu anak untuk melihat lebih baik dan ingatkan mereka bahwa
menggoda dapat menyakiti perasaan orang lain).
Dorong anak-anak untuk berbicara tentang perasaan mereka dan kemungkinan alasan untuk
emosi mereka.