Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA SD

“TEORI-TEORI BELAJAR”

Disusun Oleh : Kelompok 1

Sartika Dewi : A1G120149

Selvi Syavira Asril : A1G120152

Siti Harnisa : A1G120154

Siti Majidah Jayadi : A1G120155

Sulfiana : A1G120159

Sulvitriani Abidin : A1G120160

Sunarti : A1G120161

Tenoardi : A1G120165

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2022
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamua’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur mari senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT. karena
berkat limpahan, rahmat, dan karunia-Nyalah kami dapat menyusun makalah ini
dengan judul “Teori-Teori Belajar”, tidak lupa pula shalawat serta salam semoga
tetap tercurah kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW yang telah
membawa kita dari zaman kejahiliyahan (kebodohan) ke zaman yang terang
benderang seperti apa yang kita rasakan sekarang ini.

Kami mengucapkan terima kasih banyak kepada dosen pengampu mata


kuliah Pengembangan Pembelajaran Matematika SD Yth. Ibu Mustika Kurniasari,
S.Pd., M.Pd. yang telah memberikan kesempatan kepada kelompok kami untuk
membuat makalah ini.

Tujuan dan manfaat kami membuat makalah ini semoga para pembaca
dapat bertambah wawasannya dan pengetahuannya setelah membaca isi dari
makalah yang kami buat ini. Kami kelompok 1 sebagai penulis makalah ini
merasa bahwa makalah ini masih mempunyai banyak kekurangan dan kesalahan.
Oleh karena itu, kami sangat meminta kepada dosen pengampu mata kuliah yang
bersangkutan begitu juga dengan teman-teman kelompok lain agar kiranya dapat
memberikan saran dan kritik kepada kelompok kami bagaimana untuk lebih baik
lagi dalam membuat dan menyusun suatu makalah yang baik dan benar.

Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Kendari, 14 Maret 2022

Penulis
DAFTAR ISI

JUDUL HALAMAN

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

A. Teori Belajar Piaget


B. Teori Belajar Bruner
C. Teori Belajar Dienes
D. Teori Belajar Van Hiele
E. Teori Belajar Brownell dan Van Engen
F. Teori Belajar Gagne

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembelajaran matematika di SD merupakan salah satu kajian yang
selalu menarik untuk dikemukakan karena adanya perbedaan karakteristik
khususnya antara hakikat anak dan hakikat matematika. Anak usia SD
sedang mengalami perkembangan pada tingkat berpikirnya. Hal ini
dikarenakan tahapa dan cara berpikir mereka mereka masih belum formal,
malahan para siswa SD di kelas-kelas rendah bukan tidak mungkin
sebagian dari mereka berpikirnya masih berada pada tahapan (pra
konkret). Mengingat adanya perbedaan karakteristik itu maka diperlukan
kemampuan khusus dari seorang guru untuk menjembatani antara dunia
anak yang belum berpikir secara deduktif agar dapat mengerti dunia
matematika yang bersifat deduktif. Untuk meningkatkan cara bepikir anak
maka guru haru menggunakan teori-teori yang telah dikemukakan oleh
para ahli.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat disimpulkan
permasalahan dalam pembahasan ini antara lain sebagai berikut:
1. Jelaskan teori belajar matematika menurut Piaget!
2. Jelaskan teori belajar matematika menurut Bruner!
3. Jelaskan teori belajar matematika menururt Dienes!
4. Jelaskan teori belajar matematika menurut Van Hiele!
5. Jelaskan teori belajar matematika menurut Brownell dan Van
Engen!
6. Jelaskan teori belajar matematika menurut Gagne!
C. Tujuan
Aadapun tujuan dari pembuatan makalah ini agar pembaca dapat
mengetahui dan memahami teori-teori belajar matematika sehingga dapat
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori Belajar Piaget


Piaget berpendapat bahwa proses berpikir manusia sebagai suatu
perkembangan yang bertahap dari berpikir intelektual konkrit ke abstrak
berurutan melalui empat periode, yaitu: kepandaian sensori-motorik,
pikiran pra-operasional, operasioperasi berpikir konkrit dan operasi-
operasi berpikir formal.
1. Tahap Kepandaian Sensori-Motorik (Sensorimotor Stage)
Tahap kepandaian sensori-motorik berlangsung dari lahir – 2
tahun. Pada tahap ini ditandai dengan tidak adanya bahasa. Karena
anak-anak belum menguasai kata untuk suatu benda, maka suatu benda
dikatakan tidak eksis apabila sudah tidak tampak di hadapannya lagi.
Mereka mengorganisasikan skema tindakan fisiknya seperti menghisap,
menggenggam dan memukul untuk menghadapi dunia yang muncul di
hadapannya. Interaksi yang terjadi dengan lingkungan adalah interaksi
sensorimotor dan hanya berkaitan dengan keadaan saat ini (saat
kejadian berlangsung).
Anak-anak pada tahap ini bersikap egosentris, karena segala
sesuatunya dilihat berdasarkan kerangka referensi diri mereka sendiri,
dan dunia psikologis mereka adalah satu-satunya dunia yang ada. Pada
akhir tahap ini anak mulai mengembangkan konsep kepermanenan
obyek (object permanence).
2. Tahap Pemikiran Pra-Operasional (Preoperational Thinking Stage)
Tahap pikiran pra-operasional berlangsung mulai usia 2-7
tahun. Anak-anak belajar berpikir menggunakan simbol-simbol dan
pencitraan batiniah namun pikiran mereka masih belum sistematis dan
tidak logis. Pikiran di titik ini sangat berbeda dengan pikiran orang
dewasa. Istilah operasi yang digunakan oleh Piaget di sini adalah
berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti mengklasifikasikan
sekelompok obyek (classifying), menata letak benda menurut urutan
tertentu (seriation) dan membilang (counting). Pada tahap ini pemikiran
anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit dari pada
pemikiran logis, sehingga jika ia melihat obyek-obyek yang
kelihatannya berbeda, maka ia akan mengatakan berbeda pula. Kegiatan
anak yang termasuk dalam tahap pikiran pra-operasional dapat dilihat
sebagai berikut:
a. Pengkonservasian kuantitas-kuantitas (benda cair) yang
bersambungan
Ini adalah eksperimen Piaget yang paling terkenal. Anak-
anak diberi dua buah gelas, A1 dan A2 yang diisi air dengan
ketinggian yang sama. Mereka ditanya apakah kedua gelas ini
mengandung jumlah cairan yang sama dan semuanya setuju.
Kemudian anak-anak diminta untuk menuangkan cairan dari gelas
A2 ke gelas P yang lebih rendah dan lebar bentuknya. Mereka
ditanya lagi apakah jumlah cairan tersebut masih sama. Pada
tingkatan pra-operasional respon anak terbagi dua.
Pertama, anak-anak gagal untuk mengkonservasi. Artinya
mereka gagal bahwa kuantitasnya masih sama. Biasanya mereka
mengatakan bahwa A1 sekarang memiliki cairan yang lebih banyak
karena bentuk gelasnya lebih tinggi. Atau sebaliknya, mereka
menjawab bahwa gelas P memiliki cairan yang lebih banyak karena
bentuknya lebih lebar.
Dalam kedua kasus ini, anak-anak memusatkan perhatian
hanya pada satu dimensi persepsi, yaitu tinggi atau lebar gelas.
Kedua, anak-anak sanggup mengambil satu langkah maju menuju
pengkonservasian, namun tidak bisa mencapainya. Seorang anak
mungkin mengatakan bahwa A1 memiliki cairan lebih banyak
karena bentuk gelasnya lebih tinggi, kemudian mengubah
pikirannya dan berkata bahwa P memiliki cairan lebih banyak
karena lebih lebar, dan kemudian jadi bingung sendiri. Anak
tersebut menunjukkan suatu regulasi intuitif, ia mulai memahami
adanya dua dimensi perseptual, namun belum bisa memikirkan
keberadaan keduanya secara serempak, sehingga baginya perubahan
pada satu dimensi membatalkan perubahan pada dimensi lainnya.
Kebingungan ini menandakan ia sadar kalau sedang menentang
dirinya sendiri sehingga akan lebih baik jika ia segera
menyelesaikan kontradiksi ini dan bergerak ke tahap
pengkonservasian.
b. Pengkonservasian bilangan
Dalam salah satu eksperimennya tentang pengkonservasian
bilangan, Piaget memberikan anak-anak sebaris cangkir dan
sekumpulan telur. Ia kemudian meminta mereka mengambil
sejumlah telur untuk dimasukkan ke dalam cangkir. Sekali lagi,
respon pada periode pra-operasional terbagi menjadi dua kelompok.
Pertama, anak-anak hanya membuat barisan cangkir sama
panjangnya, tanpa mempedulikan jumlah telur di dalam barisan itu.
Waktu Piaget meminta mereka memasukkan telur itu satu persatu
ke dalam cangkir, mereka jadi terkejut saat menemukan bahwa
telurnya terlalu banyak atau terlalu sedikit.
Kedua, anak-anak secara spontan menciptakan sebuah
korespondensi satusatu, menempatkan satu butir telur di bawah
setiap cangkir. Menurut Piaget, mereka sudah menggunakan sebuah
pendekatan intuitif untuk memperoleh tatanan perseptual yang
tepat, namun begitu keberhasilan mereka terbatasi oleh penyusunan
perseptual yang sederhana ini. Waktu Piaget mengumpulkan salah
satu barisan telur atau cangkir tersebut (atau kadang-kadang
menyerakkannya), anak-anak menjawab kalau salah satu barisan
jadi kelebihan jumlahnya. Sama seperti pengkonservasian cairan,
anak-anak gagal mengkonservasi karena mereka lebih terpengaruh
oleh persepsi langsung daripada logika. Karena satu barisan
sekarang terlihat jauh lebih panjang, mereka gagal untuk menalar
bahwa jumlahnya tetap saja sama.
3. Tahap Operasi-Operasi Berpikir Konkrit (Concrete Operation Stage)
Tahap operasi berpikir konkrit berlangsung mulai usia 7-11
tahun. Tahapan ini disebut operasi konkrit karena berpikir logisnya
didasarkan atas manipulasi fisik dari obyek-obyek. Operasi konkrit
hanya menunjukkan kenyataan adanya hubungan dengan pengalaman
empiris-konkrit yang lampau dan masih mendapat kesulitan dalam
mengambil kesimpulan yang logis dari pengalaman-pengalaman
khusus. Pengerjaan-pengerjaan logis dapat dilakukan dengan
berorientasi pada obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa yang langsung
dialami oleh anak.
Piaget menyatakan bahwa dalam periode operasi konkrit,
karakteristik berpikir anak adalah sebagai berikut:
a. Kombinasivitas atau klasifikasi adalah suatu operasi dua kelas atau
lebih yang dikombinasikan ke dalam suatu kelas yang lebih besar.
Anak dapat membentuk variasi relasi kelas dan mengerti bahwa
beberapa kelas dapat dimasukkan ke kelas lain. Misalnya himpunan
semua bilangan asli merupakan anggota himpunan bilangan cacah
dan himpunan semua bilangan cacah merupakan anggota himpunan
bilangan bulat. Maka hubungan antara bilangan asli, bilangan cacah
dan bilangan bulat menjadi himpunan bilangan asli ⊂ himpunan
bilangan cacah ⊂ himpunan bilangan bulat.
b. Reversibilitas adalah operasi kebalikan. Setiap operasi logika atau
Matematika dapat dikerjakan dengan operasi kebalikan. Misalnya 5
+ ▭ = 8 sama saja dengan 8 – 5 = ▭. Anak masih terikat dengan
pengalaman pribadi yang masih konkrit dan belum formal.
c. Asosiasivitas adalah suatu operasi terhadap beberapa kelas yang
dikombinasikan menurut sebarang urutan. Misalnya dalam
himpunan bilangan bulat, operasi “+” berlaku hukum asosiatif
dalam penjumlahan.
d. Identitas adalah suatu operasi yang menunjukkan adanya unsur nol
yang bila dikombinasikan dengan unsur atau kelas hasilnya tidak
berubah. Misalnya dalam himpunan bilangan bulat dengan operasi
“+” unsur nolnya adalah 0, sehingga misalnya 5 + 0 = 5. Demikian
juga suatu jumlah dapat dinolkan dengan memgkombinasikan
lawannya, misalnya 5 + ( – 5) = 0.
e. Korespondensi satu-satu antara obyek-obyek dari dua kelas.
Misalnya satu unsur dari suatu himpunan berkawan dengan satu
unsur dari himpunan kedua dan sebaliknya.
f. Konservasi berkenaan dengan kesadaran bahwa suatu aspek dari
benda tetap sama, sementara itu aspek lainnya berubah. Anak pada
periode ini dilandasi oleh observasi dari pengalaman dengan obyek-
obyek nyata, tetapi sudah mulai menggeneralisasikan obyek-obyek
tersebut.
4. Tahap Operasi-operasi Berpikir Formal (Formal Operation Stage)
Tahap operasi berpikir formal berlangsung mulai usia 11
tahun-dewasa. Tahapan ini disebut juga tahap operasi hipotetis-deduktif
yang merupakan tahap tertinggi dan terakhir dari keempat tahap
perkembangan intelektual. Menurut Piaget anak yang berada pada tahap
ini ditandai dengan ciri-ciri memiliki kemampuan sebagai berikut:
a. Memberikan alasan dengan menggunakan lebih banyak simbol atau
gagasan dalam cara berpikirnya.
b. Menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih baik dan kompleks
daripada anak yang berada pada tahap operasi berpikir konkrit,
karena konsep konservasi telah tercapai sepenuhnya.
c. Menggunakan hubungan-hubungan di antara obyek-obyek apabila
ternyata memanipulasi obyek-obyek tidak memungkinkan.
d. Melihat hubungan-hubungan abstrak dan menggunakan proporsi-
proporsi logis-formal termasuk aksioma dan definisi-defiinisi
verbal.
e. Berpikir kombinatorial, artinya bila dihadapkan pada suatu masalah
ia dapat mengisolasi faktor-faktor tersendiri atau
mengkombinasikan faktor-faktor itu sehingga menuju penyelesaian
masalah tadi.
B. Teori Belajar Bruner
Bruner memiliki nama lengkap Jerome S.Bruner seorang ahli
psikologi (1915) dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, telah
mempelopori aliran psikologi kognitif yang memberi dorongan agar
pendidikan memberikan perhatian pada pentingnya pengembangan
berfikir. Bruner banyak memberikan pandangan mengenai perkembangan
kognitif manusia, bagaimana manusia belajar atau memperoleh
pengetahuan, menyimpan pengetahuan dan menstransformasi
pengetahuan.
Ada tiga proses kognitif yang terjadi dalam belajar, yaitu (1) proses
perolehan informasi baru, (2) proses mentransformasikan informasi yang
diterima dan (3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Perolehan
informasi baru dapat terjadi melalui kegiatan membaca, mendengarkan
penjelasan guru mengenai materi yang diajarkan atau mendengarkan
audiovisual dan lain-lain. Sedangkan proses transformasi pengetahuan
merupakan suatu proses bagaimana kita memperlakukan pengetahuan
yang sudah diterima agar sesuai dengan kebutuhan. Informasi yang
diterima dianalisis, diproses atau diubah menjadi konsep yang lebih
abstrak agar suatu saat dapat dimanfaatkan.
Menurut Bruner (dalam Hudoyo,1990:48) belajar matematika
adalah belajar mengenai konsep-konsep dan struktur-struktur matematika
yang terdapat di dalam materi yang dipelajari, serta mencari hubungan
antara konsep-konsep dan strukturstruktur matematika itu. Siswa harus
dapat menemukan keteraturan dengan cara mengotak-atik bahan-bahan
yang berhubungan dengan keteraturan intuitif yang sudah dimiliki siswa.
Bruner, melalui teorinya itu, mengungkapkan bahwa dalam proses belajar
anak sebaiknya diberi kesempatan memanipulasi benda-benda atau alat
peraga yang dirancang secara khusus dan dapat diotak-atik oleh siswa
dalam memahami suatu konsep matematika. Melalui alat peraga yang
ditelitinya itu, anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola
struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu.
Keteraturan tersebut kemudian oleh anak dihubungkan dengan intuitif
yang telah melekat pada dirinya. Peran guru dalam penyelenggaraan
pelajaran tersebut, (a) perlu memahami sturktur mata pelajaran, (b)
pentingnya belajar aktif suapaya seorang dapat menemukan sendiri konep-
konsep sebagai dasar untuk memahami dengan benar, (c) pentingnya nilai
berfikir induktif.
Ketiga model penyajian yang dikenal dengan teori Belajar Bruner,
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Model Tahap Enaktif
Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan
anak secara langsung terlibat dalam memanipulasi (mengotak-
atik) objek. Pada tahap ini anak belajar sesuatu pengetahuan di
mana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan
menggunakan benda-benda konkret atau menggunakan situasi
yang nyata, pada penyajian ini anak tanpa menggunakan
imajinasinya atau kata-kata. Ia akan memahami sesuatu dari
berbuat atau melakukan sesuatu.
2. Model Tahap Ikonik
Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan
pada pikiran internal dimana pengetahuan disajikan melalui
serangkaian gambar-gambar atau grafik yang dilakukan anak,
berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari
objek-objek yang dimanipulasinya. Tahap ikonik, yaitu suatu
tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan
itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan
visual (visual imaginery), gambar, atau diagram, yang
menggambarkan kegiatan kongkret atau situasi kongkret yang
terdapat pada tahap enaktif tersebut di atas (butir a). Bahasa
menjadi lebih penting sebagai suatu media berpikir. Kemudian
seseorang mencapai masa transisi dan menggunakan penyajian
ikonik yang didasarkan pada pengindraan kepenyajian simbolik
yang didasarkan pada berpikir abstrak.
3. Model Tahap Simbolis
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak
memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang objek
tertentu. Anak pada tahap ini sudah mampu menggunakan notasi
tanpa ketergantungan terhadap objek riil. Pada tahap simbolik
ini, pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol
abstrak (abstract symbols), yaitu simbol-simbol arbiter yang
dipakai berdasarkan kesepakatan orangorang dalam bidang yang
bersangkutan, baik simbol-simbol verbal (misalnya huruf-huruf,
kata-kata, kalimat-kalimat), lambang-lambang matematika,
maupun lambang-lambang abstrak yang lain.
Contoh : Guru akan mengajarkan konsep perkalian, objek
digunakan misalnya sapi.
1. Tahap enaktif, anak kita bawa ke kandang sapi, dengan
mengamati dan mengotak-atik dari 3 ekor sapi, jika kita
perhatikan adalah:
 banyaknya kepala .................... ada 3
 banyaknya ekor ........................ ada 3
 banyaknya telinga ..................... ada 6
 banyaknya kaki ......................... ada 12
2. Tahap Ikonik, anak dapat diberikan 3 ekor gambar sapi
sebagai berikut:

banyaknya kepala .................... ada 3


banyaknya ekor ........................ ada 3
banyaknya telinga ..................... ada 6
banyaknya kaki ......................... ada 12
3. Tahap simbolis dapat ditulis kalimat perkalian yang sesuai
untuk ketiga sapi tersebut bila tinjauannya berdasarkan pada:
 kepalanya, maka banyak kepala = 3 x 1
 ekornya, maka banyaknya ekor = 3 x 1
 telinganya, maka banyak telinga = 3 x 2
 kakinya, maka banyaknya kaki = 3 x 4

Dari fakta dan kalimat perkalian yang bersesuaian tersebut


disimpulkan bahwa: 3 x 1 = 3, 3 x 2 = 6 dan 3 x 4 = 12. Untuk
lebih jelas simbolis dipandang adalah kakinya, maka untuk:

 banyaknya kaki pada 1 sapi = 4


 banyaknya kaki 2 sapi = 8 ( karena kaki sapi 1 + kaki
sapi 2 ) = 4 + 4
 banyaknya kaki 3 sapi = 12 ( kaki sapi 1 + kaki sapi 2 +
kaki sapi 3) = 4 + 4 + 4

Dengan konstruksi berpikir semacam ini maka banyaknya kaki


untuk

 1 sapi = 1 x 4 = 4
 2 sapi = 2 x 4 = 4 + 4 = 8
 3 sapi = 3 x 4 = 4 + 4 + 4 = 12

Melanjutkan perkalian tersebut, tanpa menunjukkan gambar


sapi, anak dapat menyelesaikan:

 4 x 4 = 4 + 4 + 4 + 4 = 16
 5 x 4 = 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 20
 6 x 4 = 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 24 dan seterusnya.
Untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi
proses pembelajaran matematika, Bruner dan kawan-kawannya
telah melakukan pengamatan terhadap sejumlah besar kelas
matematika. Berdasarkan hasil percobaan dan pengalamannya itu,
Bruner dan Kenney telah merumuskan 4 teorema (dalil/kaidah)
pada pembelajaran matematika, yaitu sebagai berikut.

a. Teorema Penyusunan (Teorema Konstruksi)


Menurut teorema penyusunan, bahwa cara yang terbaik
memulai belajar suatu konsep matematika, dalil atau aturan,
definisi dan semacamnya adalah dengan cara menyusun
penyajiannya. Bruner percaya adalah sebaiknya untuk siswa
memulai dengan penyajian konkret, kemudian mencoba ide itu
sebagai fasilitator disusunnya sendiri mengenai ide itu di sini
guru sifatnya hanyalah membantu. Dengan cara itu siswa akan
lebih mudah mengingat ide yang sudah dipelajari dan lebih
mampu dalam menerapkan pada suasana lain. Anak yang
mempelajari penjumlahan bilangan bulat positif dengan
bilangan bulat negatif, akan lebih memahami konsep tersebut
jika ia mencoba sendiri menggunakan garis bilangan untuk
memperlihatkan konsep penjumlahan tersebut. Misalnya, untuk
memahami konsep penjumlahan tersebut kita tentukan 4 + (-3) =
0. Siswa diminta untuk mencobanya sendiri bahwa pada garis
bilangan mulai dari titik 0 bergeser ke kanan sejauh 4 satuan,
dilanjutkan dengan bergeser ke kiri sejauh 3 satuan dan berakhir
di titik -1.
b. Teorema Notasi
Teorema notasi menyatakan bahwa dalam pengajaran suatu
konsep, penggunaan notasi-notasi matematika harus diberikan
secara bertahap, dimulai dari yang sederhana yang secara
kognitif dapat lebih mudah dipahami para siswa sampai kepada
yang semakin kompleks notasinya. Sebagai contoh, siswa SD
belum siap menggunakan notasi y = f (x) untuk menyatakan
konsep fungsi. Untuk siswa di usia SD cara yang lebih baik
untuk mengajarkan konsep fungsi adalah dengan menggunakan
notasi seperti = 2 ∆ + 5 dengan dan ∆ merupakan bilangan-
bilangan asli. Sedangkan bagi para siswa pada permulaan kelas
Aljabar akan mampu memahami penyajian konsep fungsi
tersebut dengan menggunakan notasi y = 2x + 5. 1.16
Pendidikan Matematika 1 Baru untuk para siswa pada Aljabar
lanjut digunakan notasi y = f(x) atau {(x,y)/y = f(x) = 2x + 5, x,
y ∈ R) untuk menyatakan suatu konsep fungsi.
c. Teorema Pengontrasan dan Keanekaragaman (Teorema Kontras
dan Variasi)
Teorema ini mengatakan bahwa prosedur penyajian suatu
konsep dari yang konkret ke yang lebih abstrak harus dilakukan
dengan kegiatan pengontrasan dan beraneka ragam. Misalnya
busur, jari-jari, garis tengah, tali busur, tembereng, juring dari
suatu lingkaran semuanya akan lebih bermakna apabila mereka
dipertentangkan satu sama lainnya. Kenyataan menunjukkan
bahwa banyak konsep matematika didefinisikan sesuai dengan
sifat pertentangan itu. Bilangan prima dengan bilangan
komposit, bilangan ganjil dengan bilangan genap, bilangan
positif dengan bilangan negatif, bilangan rasional dengan
bilangan irasional dan sebagainya.
C. Teori Belajar Dienes
Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan
perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap siswa-siswa. Dasar
teorinya bertumpu pada Piaget, dan pengembangannya diorientasikan pada
siswa-siswa, sedemikian rupa sehingga sistem yang dikembangkannya itu
menarik bagi siswa yang mempelajarinya. Teori belajar Dienes ini sangat
terkait dengan teori belajar yang dikemukakan oleh Piaget, yaitu mengenai
teori perkembangan intelektual. Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya
matematika dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-
misahkan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur dan
mengkategorikan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur.
Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam
matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat
dipahami dengan baik. Dienes membedakan konsep matematika atas
konsep murni, konsep notasi, dan konsep terapan. Konsep murni
matematika merupakan ide-ide matematika mengenai klasifikasi bilangan
dan relasi-relasi antar bilangan dan sama sekali tidak tergantung pada
bagaimana bilangan tersebut disajikan. Konsep notasi matematika
merupakan sifat-sifat bilangan yang merupakan akibat langsung dari cara
bagaimana bilangan disajikan. Konsep terapan matematika merupakan
penggunaan konsep murni dan konsep notasi matematika untuk
pemecahan masalah matematika
Abstraksi dalam belajar matematika didasarkan pada intuisi dan
pengalaman-pengalaman konkret. Untuk mempelajari matematika, siswa
harus belajar untuk:
1. mengklasifikasikan struktur matematika dan relasi logikanya.
2. mengabstraksi sifat-sifat bersama dari sejumlah struktur berbeda atau
kejadian-kejadian dan mengklasifikasikan struktur atau kejadian-
kejadian yang dimiliki bersama tersebut.
3. menggeneralisaikan kelas-kelas struktur matematika yang telah
dipelajari sebelumnya dengan memperbesarnya menjadi kelaskelas yang
lebih luas, yang mempunyai sifat-sifat serupa yang terdapat dalam kelas-
kelas yang lebih sempit.
4. menggunkan abstarksi yang telah dipelajari sebelumnya untuk
membentuk abstraksi yang lebih kompleks dan lebih tinggi tingkatannya.
Menurut Dienes, permainan matematika sangat penting sebab
operasi matematika dalam permainan tersebut menunjukkan aturan secara
konkret dan lebih membimbing dan menajamkan pengertian matematika
pada anak didik. Menurut Dienes, konsep-konsep matematika akan
berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap tertentu. Dienes membagi tahap-
tahap belajar menjadi 6 tahap (Bell, dalam Ratumanan,2004), yaitu.
1. Permainan Bebas (Free Play).
Permaianan bebas merupakan tahap belajar konsep yang
aktivitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Aktivitas ini
memungkinkan anak mengadakan percobaan dan mengotak-atik
(memanipulasi) bendabenda konkret dan abstrak dan unsur-unsur yang
dipelajarinya itu. Dalam tahap permainan bebas anak-anak berhadapan
dengan unsur-unsur dalam interaksinya dengan lingkungan belajarnya
atau alam sekitar. Dalam kegiatan belajar dengan menggunkan alat
peraga ini anak-anak belajar mengenal warna, tebal tipisnya benda,
yang merupakan ciri atau sifat dari benda yang dimanipulasinya itu.
2. Permainan yang Menggunakan Aturan ( Games ).
Pada tahap ini, siswa mulai mengamati pola dan keteraturan yang
terdapat pada konsep. Siswa memperhatikan bahwa ada aturan tertentu
yang terdapat pada konsep (kejadian-kejadian). Aturanaturan tersebut
adakalanya berlaku untuk suatu konsep, namun tidak berlaku untuk
konsep lain. Segera setelah siswa menemukan aturan dan sifat yang
menentukan kejadian, mereka siap melakukan permainan dan
eksperimen dengan mengganti aturan dari guru menjadi aturan yang
mereka buat sendiri.
3. Kesamaan Sifat (Searching for communalities).
Dalam mencari kesamaan sifat anak-anak mulai diarahkan dalam
kegiatan menentukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang
sedang diikuti. Untuk melatih anak-anak dalam mencari kesamaan
sifatsifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan mentranslasikan
kesamaan struktur dan bentuk permainan yang satu ke bentuk
permainan lainnya. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifatsifat
abstrak yang ada dalam permainan semula.
4. Penyajian / Representasi ( Representations).
Penyajian adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa
situasi yang sejenis. Setelah siswa mengamati elemen-elemen bersama
pada setiap contoh konsep, mereka perlu mengembangkan suatu
penyajian tunggal dari konsep, yang mencakup semua elemen bersama
yang terdapat pada setiap konsep. Penyajian tunggal ini dapat
dilakukan dengan menggunakan diagram atau secara verbal. Penyajian
konsep biasanya akan lebih abstrak daripada contohcontoh, dan akan
membawa siswa lebih memahami struktur abstrak matematika.
5. Simbolisasi ( Symbolizations ).
Pada tahap ini, siswa menghasilkan symbol-simbol matematika
yang cocok untuk menyatakan konsep. Adalah hal yang sangat
baik, jika siswa dapat menghasilkan symbol mereka sendiri
dari setiap konsep.
6. Formalisasi ( Formalizations ).
Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam
tahap ini siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep
dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut, sebagai
contoh siswa yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur
matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan teorema
dalam arti membuktikan teorema tersebut.

Contoh Penerapan:

1. Permainan Bebas (Free Play) : Dalam belajar menjumlahkan


ataupun mengurang dengan permainan bebas, siswa diberikan
kebebasan untuk bermain dan berinteraksi dengan lingkungan
sekitar meraka. Misalnya ana-kanak dibagi dalam beberapa
kelompok, kemudian setiap kelompok diberikan berbagai macam
benda atau makanan, misalnya , bunga, permen atau balok-balok,
dan sebagainya. Hal yang mungkin dilakukan anak-anak adalah
bertanya kepada teman mereka, seperti ini:
a. ada berapa bunga yang warnanya merah?
b. saya ingin mengambil 2 permen, dan sisanya bisa kamu ambil!
2. Permainan dengan Menggunakan Aturan ( Games)
Games 1 : Bermain dalam Ruang Kesenian
Anak-anak dibawa dalam ruang kesenian. Aturannya, ruang
kesenian tersebut hanya boleh diisi paling banyak sepuluh anak
untuk latihan menari, dan anak-anak boleh keluar dan masuk kapan
saja.Dari aturan tersebut akan menimbulkan banyak pertanyaan,
dan anak- anak menjawab pertanyan, misalnya:
a. Jika dalam ruangan kesenian tersebut terdapat tujuh anak yang
sedang latihan menari, berapa orang anak kah yang harus
masuk untuk mencukupi?
b. Jika anak-anak yang latihan menari semuanya sudah datang,
dan ada dua orang anak meminta ijin keluar untuk minum,
berapa anak yang berada di dalam ruang kesenian?

Games 2 : Bermain mencari harta karun

Anak-anak dibawa ke sebuah taman sekolah, dan bermain dengan


mengikuti pola berikut: Caca dkk, sedang berburu harta karun
dimulai dari pulau A dan pulau yang dituju adalah pulau E, meraka
harus membawa BUNGA untuk sampai di sana. Di setiap pulau
mereka boleh mengambil bunga, dan di setiap jembatan mereka
boleh membuang bunga tapi untuk sampai di pulau E mereka harus
membawa delapan bunga. Sekarang bantulah Caca dkk, untuk
sampai di pulau tersebut dengan melewati pulau A, pulau B, pulau
C, pulau F, pulau D kemudian kembali ke pulau B dan terakhir
sampailah ke pulau E. Ingat di pulau A terdapat dua bunga, pulau
B terdapat empat bunga, pulau C tidak ada bunga, pulau D terdapat
tujuh bunga, dan pulau F ada satu bunga.
Dari aturan di atas akan memunculkan banyak pertanyaan,
misalnya:

a. ada berapa bunga yang dibawa Caca, dkk untuk sampai di


pulau C, jika mereka tidak membuang bunga di jembatan?
b. Pada saat sampai di jembatan antara pulau F dan pulau D,
Caca, dkk membuang dua bunga, ada berapa sisa bunga
mereka?
3. Kesamaan Sifat (Searching for communalities)
Dari aktivitas pada games 1 dan games 2, anak-anak mungkin akan
menemukan kesamaan sifat seperti ini: Games 1 Games 2 Masuk
dalam rungan Mengambil bunga di pulau Keluar dari ruangan
Membuang bunga di jembatan.
4. Penyajian / Representasi ( Representations)
Dari games –games dan situasi yang telah diberikan diharapkan
siswa dapat menyajikan secara abstrak apa yang mereka telah
temukan. Misalnya:
5. Simbolisasi ( Symbolizations)
Pada permainan dengan simbolisasi, anak-anak dapat
menggunakan tanda tambah dan tanda kurang, ketika disebutkan
kata-kata ”masuk”, ”keluar”, ”mengambil”, ataupun :membuang”.
Dan simbol-simbol angka ketika disebut ”lima”, ”enam”, dsb.
Sebagai contoh : Dari 10 orang anak yang ada di ruang kesenian,
dua orang keluar minum. Ini dapat ditulis menjadi : 10 – 2 = 8.
6. Formalisasi ( Formalizations)
Tahap yang terakhir formalisasi. Pada tahap 6, dari games-games
yang telah diberikan mungkin saja anak-anak memperoleh 2 + 3 =
5, 3 + 2 = 5, ataupun 0 + 3 = 3, 3 + 0 = 3. Dari sini, anak- anak
akan bisa melihat sifat dari konsep tersebut, misalnya 2 + 3 = 3 + 2
= 5, kemudian 0 + 3 = 3 + 0 = 3, dan sebaginya.
D. Teori Belajar Van Hiele
Van Hiele Adalah seorang guru matematika bangsa Belanda.
Suami istri dan keluarga itu mengadakan penelitian mengenai
pembelajaran Geometri. Menurut Van Hiele ada tiga unsur utama dalam
pengajaran Geometri, yaitu waktu, materi pengajaran, dan metode
pengajaran yang diterapkan. Jika ketiga unsur utama tersebut dilalui secara
terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa kepada
tahapan berpikir yang lebih tinggi. Adapun tahapan-tahapan anak belajar
Geometri menurutnya ada lima tahapan, yaitu tahap pengenalan, analisis,
pengurutan, deduksi, dan akurasi.
1. Tahap Pengenalan
Pada tahap ini siswa mulai belajar mengenal suatu bangun
Geometri secara keseluruhan, tetapi ia belum mampu
mengetahui adanya sifat-sifat dari bangun Geometri yang
dilihatnya itu. Misalnya, jika seorang anak telah mengenal
segitiga, bujursangkar, bola, kubus, dan semacamnya, tetapi ia
belum mengetahui sifat-sifat segitiga, bujursangkar, bola,
kubus, dan semacamnya itu. Ia belum tahu bahwa sisi-sisi
kubus berbentuk bujursangkar ada sebanyak 6, rusuknya ada 12
dan sebagainya. Ia belum tahu bahwa bujursangkar itu keempat
sisinya sama panjang dan ke empat sudutnya siku-siku.
2. Tahap Analisis
Pada tahap analisis siswa sudah mulai mengenal sifatsifat
yang dimiliki bangun Geometri yang diamati. Misalnya siswa
telah mengenal sifat-sifat persegipanjang bahwa dua sisi yang
berhadapan sejajar dan sama panjang. Namun, pada tahap ini
siswa belum mampu mengetahui hubungan antara
konsepkonsep. Misalnya, apakah persegipanjang itu
jajarangenjang. apakah jajarangenjang itu bujursangkar atau
bujursangkar (persegi) itu adalah persegi panjang?
3. Tahap Pengurutan
Pada tahap ke tiga ini, siswa sudah mengenal dan
memahami sifat-sifat satu bangun Geometri serta sudah dapat
mengurutkan bangun-bangun Geometri yang satu dengan
lainnya saling berhubungan. Misalnya ia telah mengenal bahwa
bujursangkar itu adalah jajarangenjang, bahwa jajarangenjang
adalah trapesium, bahwa kubus adalah balok. Walaupun
kegiatan pada tahap ini berpikir secara deduktifnya belum
berkembang tetapi baru mulai. Pada tabap ini sudah mengenal
bahwa ke dua diagonal persegipanjang adalah sama
panjangnya, tetapi mungkin ia belum mampu menjelaskannya.
4. Tahap Deduksi
Pada tahap ini, siswa telah mampu menarik kesimpulan
secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan yang bersifat umum
dan menuju ke hal-hal yang bersifat khusus. Siswa sudah mulai
memahami perlunya mengambil kesimpulan secara deduktif.
Pada tahap ini siswa sudah memahami pentingnya unsur-unsur
yang tidak didefinisikan, aksioma atau postulat, dan dalil atau
teorema, tetapi ia belum bisa mengerti mengapa sesuatu itu
dijadikan postulat atau dijadikan dalil.
5. Tahap Akurasi
Pada tahap kelima ini siswa sudah mulai menyadari
pentingnya ketepatan prinsip-prinsip dasar yang melandasi
suatu pembuktian. Misalnya ia mengetahui pentingnya
aksiomaaksioma atau postulat-postulat dari geometri Euclid.
Tahap berpikir ini merupakan tahap berpikir yang paling tinggi,
rumit dan kompleks, karena itu tahap akurasi (rigor) ini di luar
jangkauan usia anak-anak SD sampai tingkat SMP.
E. Teori Belajar Brownell dan Van Engen
1. Teori belajar Brownell
Menurut William Brownell (1935) bahwa belajar itu pada
hakikatnya merupakan suatu proses yang bermakna. Ia mengemukakan
bahwa belajar matematika itu harus merupakan belajar bermakna dan
pengertian. Khusus dalam hubungan pembelajaran matematika di SD,
Brownell mengemukakan apa yang disebut “Meaning Theory (Teori
Makna)” sebagai alternatif dari “Drill Theory (Teori Latihan
Hafal/Ulangan)”
Teori Drill dalam pengajaran matematika berdasarkan kepada teori
belajar asosiasi yang lebih dikenal dengan sebutan teori belajar stimulus
respon yang dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949). Teori
belajar ini menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses
pembentukan hubungan antara stimulus dan respons. Menurut hukum ini
belajar akan lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus
segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan. Rasa senang atau puas
ini bisa timbul sebagai akibat siswa mendapat pujian atau ganjaran
sehingga ia merasa puas karena sukses yang diraihnya dan sebagai
akibatnya akan mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan berikutnya.
Menurut teori Drill ikatan antara stimulus (soal) dan respons
(jawab) itu bisa dicapai oleh siswa dengan latihan berupa ulangan (drill),
atau dengan kata lain melalui latihan hapal atau menghapal. Intisari
pengajaran matematika menurut teori drill adalah sebagai berikut.
1. Matematika (aritmetika) untuk tujuan pembelajaran (belajar mengajar)
dianalisis sebagai kumpulan fakta (unsur) yang berdiri sendiri dan tidak
saling berkaitan.
2. Anak diharuskan untuk menguasai unsur-unsur yang banyak sekali
tanpa diperhatikan pengertiannya.
3. Anak mempelajari unsur-unsur dalam bentuk seperti yang akan
digunakan nanti pada kesempatan lain.
4. Anak akan mencapai tujuan ini secara efektif dan efisien dengan
melalui pengulangan atau drill.

Brownell mengemukakan ada tiga keberatan utama berkenaan


dengan teori drill pada pengajaran matematika.

a. Teori drill memberikan tugas yang harus dipelajari siswa yang


hampir tidak mungkin dicapai. Menurut hasil penelitian
menunjukkan bahwa anak yang tahu 3 + 6 = 9 ternyata tidak
tahu dengan baik bahwa 6 + 3 = 9. Penelitian lain menunjukkan
bahwa penguasaan 3 + 6 = 9 tidak menjamin dikuasainya 13 +
6 = 19, 23 + 6 = 29 atau 43 + 6 = 49, dan sebagainya.
b. Keberatan yang lainnya berkaitan dengan reaksi yang di
hasilkan oleh drill. Pada saat guru memberikan drill pada
keterampilan aritmetika, ia berasumsi bahwa murid akan
berlatih sebagai reaksi dari yang telah ditentukan. Misalkan
pada waktu guru memberi tugas 4 + 2 = 6 dan 9 - 5 = 4, ia
mengharap semua siswa akan dengan diam berpikir atau
mengucapkan dengan keras, 4 dan 2 sama dengan 6, 9
dikurangi 5 sama dengan 4. Guru percaya dengan sering
mengulanginya akhirnya siswa selalu menjawab 6 dan 4 untuk
ke dua tugas tersebut.
c. Aritmetika adalah paling tepat dipandang sebagai suatu sistem
berpikir kuantitatif. Pandangan ini merupakan kriteria penilaian
suatu sistem pengajaran matematika yang memadai atau tidak.
Jelas dari sudut pandangan ini, teori drill dalam pengajaran
aritmetika tidak memadai, sebab pengajaran melalui drill tidak
menyediakan kegiatan untuk berpikir secara kuantitatif Agar
siswa dapat berpikir secara kuantitatif ia harus mengetahui
makna dari apa yang dipelajarinya (mengerti), yang tidak
pernah menjadi perhatian dari sistem pengajaran aritmetika
melalui drill (hapalan). Contoh berikut merupakan gambaran
pembelajaran matematika dengan teori makna (pengertian) dari
contoh soal di atas tadi (yang dilakukan dengan drill).

2. Teori belajar Van Engen


Van Engen (1949), seorang penganut teori makna mengatakan
bahwa pada situasi yang bermakna selalu terdapat tiga unsur, yaitu:
a. ada suatu kejadian (event), benda (object), atau tindakan
(action).
b. adanya simbol (lambang/notasi/gambar) yang digunakan
sebagai pernyataan yang mewakili unsur pertama di atas.
c. adanya individu yang menafsirkan simbol-simbol dan mengacu
kepada unsur pertama di atas.

Menurut Van Engen tujuan pengajaran aritmetika untuk membantu


anak memahami suatu sistem simbol yang mewakili suatu himpunan
kejadian, dan serentetan kegiatan yang diberi simbol itu harus dialami
langsung oleh anak. Van Engen (1953) membedakan makna (meaning)
dan mengerti (understanding). Mengerti mengacu pada sesuatu yang
dimiliki oleh individu. Individu yang mengerti telah memiliki hubungan
sebab akibat, implikasi logis, dan sebaris pemikiran yang menggabungkan
dua atau lebih pernyataan secara logis, makna adalah sesuatu yang dibaca
dari sebuah simbol oleh seorang anak. Anak menyadari bahwa simbol
adalah sesuatu pengganti objek. Untuk lebih jelasnya kita lihat contoh
pembelajaran aritmetika tentang penjumlahan menurut teori makna. Untuk
menjelaskan penjumlahan dua bilangan dua angka dengan satu kali teknik
menyimpan di kelas 2 SD, dapat ditempuh dengan menggunakan benda-
benda konkret dengan langkah-langkah seperti berikut.

a. Misalnya soal penjumlahanseperti berikut.

b. Dengan bantuan benda- benda seperti pada gambar berikut


(bilangan 25 dinyatakan dengan 2 ikat puluhan benda- benda
dan 4 satuan benda, sedangkan 8 dinyatakan dengan kumpulan
8 satuan benda).

c. Untuk menjumlahkan disusun seperti berikut

d. Kumpulan 4 satuan digabungkan dengan kumpulan 8 satuan


seperti tampak berikut ini
e. Karena kumpulan 12 benda dapat dinyatakan sebagai 1 ikat
puluhan benda dan 2 satuan benda maka hasilnya sebagai
berikut puluhan satuan

F. Teori Belajar Gagne


Profesor Robert M. Gagne seorang ahli psikologi telah
menggunakan matematika sebagai medium untuk menguji dan
menggunakan teori belajar. Ia bekerja sama dengan Proyek Matematika
Universitas Meryland membahas pembelajaran matematika dalam
pengembangan Kurikulum Matematika di sekolah.
a. Objek belajar matematika
Menurut Gagne bahwa dalam belajar matematika ada dua objek,
yaitu objek langsung belajar matematika dan objek tidak langsung dari
belajar matematika. Objek langsung meliputi fakta, operasi, konsep,
dan prinsip. Sedangkan objek tidak langsung mencakup kemampuan
menyelidiki, memecahkan masalah, disiplin diri, bersikap positif, dan
tahu bagaimana semestinya belajar.
b. Tipe-tipe belajar
Gagne telah menentukan dan membedakan delapan tipe belajar
yang terurut kesukarannya dari yang sederhana sampai kepada yang
kompleks. Urutan ke-8 tipe belajar itu adalah belajar isyarat (signal
learning), belajar stimulus respons (stimulus responsse learning),
rangkaian gerak (motor chaining), rangkaian verbal (verbal
association), belajar membedakan (descrimination learning), belajar
konsep (concept learning), belajar aturan (rule learning), dan
pemecahan masalah (problem solving).
1. Tahap Belajar Isyarat
Belajar isyarat atau belajar signal ialah belajar sesuatu yang
tidak disengaja sebagai akibat adanya rangsangan. Misalnya sikap
positif dari siswa dalam belajar matematika karena sikap atau
ucapan guru yang menyenangkan.
2. Tahap Belajar Stimulus Respons
Belajar pada tahap ini sudah disengaja dan responsnya
adalah jasmaniah. Misalnya siswa menyebutkan atau menuliskan
beberapa contoh bilangan bulat yang negatif setelah guru
memberikan penjelasan tentang bilangan bulat negatif.
3. Tahap Rangkaian Gerak
Belajar dalam bentuk perbuatan jasmaniah terurut dari dua
kegiatan atau lebih stimulus respons. Misalnya seorang anak yang
menggambar ruas garis melalui dua titik yang diketahui diawali
dengan mengambil mistar, meletakkan mistar melalui dua titik,
mengambil pensil( kapur tulis), dan akhirnya menarik ruas garis.
4. Tahap Rangkaian Verbal
Belajar yang berupa perbuatan lisan terurut dari dua
kegiatan atau lebih stimulus respons. Misalnya menyatakan atau
mengemukakan pendapat tentang simbol, definisi, aksioma, dalil,
dan semacamnya.
5. Tahap Belajar Membedakan
Belajar memisah-misahkan rangkaian yang bervariasi. Ada
dua macam belajar membeda-bedakan, yaitu belajar membedakan
tunggal berupa pengertian siswa terhadap suatu lambang, misalnya
lambang penarikan akar kuadrat : √ Sedangkan membedakan
jamak adalah membedakan beberapa lambang tertentu misalnya
lambang-
6. Tahap Belajar Konsep
Tipe belajar konsep ini disebut pula tipe belajar
pengelompokan, yaitu belajar mengenal atau melihat sifat bersama
dari suatu benda atau peristiwa. Misalnya untuk memahami konsep
lingkaran siswa mengamati cincin, gelang, permukaan drum,
permukaan gelas, dan semacamnya.
7. Tahap Belajar Aturan
Pada tipe ini siswa diharap mampu memberikan respons
terhadap semua stimulus dengan segala macam perbuatan misalnya
siswa yang mampu menyebutkan sifat penyebaran perkalian
terhadap penjumlahan, tetapi belum mampu menggunakannya atau
sebaliknya.
8. Tahap Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah adalah tipe belajar yang paling tinggi.
Sesuatu itu merupakan masalah bagi siswa bila sesuatu itu baru
dikenalnya, tetapi siswa telah memiliki prasyaratnya hanya siswa
belum tahu proses algoritmanya (hitungannya/penyelesaiannya).
Sesuatu masalah bagi siswa tetapi bukan bagi guru.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Piaget berpendapat bahwa proses berpikir manusia terdiri dari
empat tahap yaitu tahap kepandaian sensorimotorik, pemikiran
profesional, operasi berpikir konkret dan operasi berpikir formal. Bruner
mengemukakan ada empat model penyajian yaitu tahap enaktif, tahap
ikonik dan simbolis. Adapun tahap pembelajaran menurut Dienes ada 6
yaitu permainan bebas, permainan yang menggunakan aturan, kesamaan,
penyajian atau representasi, simbolisasi dan formalisasi. Van Hiele
mengemukakan ada 5 tahapan yaitu tahap pengenalan, analisis,
pengurutan, deduksi dan akurasi. Sedangkan Brownell mengemukakan
ajaran matematika terdiri dari stimulus dan respon di dengan latihan
berupa ulangan atau drill sedangkan menurut Van Engen pandangan
belajar matematika terdiri dari 3 unsur yaitu suatu kejadian benda atau
tindakan, simbol, dan ada individu. Gagne mengemukakan bahwa
pembelajaran matematika terdiri atas objek belajar matematika dan tipe-
tipe belajar matematika. Adapun tipe-tipe belajar tersebut yaitu tahap
belajar isyarat, belajar stimulus-respon, rangkaian gerak, rangkaian verbal,
belajar membedakan, belajar konsep, belajar aturan dan pemecahan
masalah.
B. Saran
Guru ataupun calon sudah seharusnya menguasai dan memahami
teori-teori belajar matematika menururt para ahli. Agar nanti jika guru
membawakan pembelajaran matematika guru dapat menjelaskan hal
tersebut dengan sangat baik di kelas yang mengakibatkan siswa dapat
memahami betul perihal materi-materi matematika yang dibawakan oleh
guru.
DAFTAR PUSTAKA

Hawa, S. (2014). Teori Belajar Bruner. Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar.


http://staff. uny. ac.
id/sites/default/files/PengembanganPembelajaranMatematika_UNIT_1_0.
pdf.

Abrar, A. I. P. (2013). Belajar Dienes. Al-Khwarizmi: Jurnal Pendidikan


Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, 1(1), 23-32.

Hidayati, K. (2012). Pembelajaran matematika usia SD/MI menurut teori belajar


Piaget. Cendekia: Jurnal Kependidikan Dan Kemasyarakatan, 10(2), 291-
308.

Karso, H. (2014). Pembelajaran Matematika di SD. Jakarta: Universitas Terbuka.


Laporan Hasil Diskusi Kelompok 1

1. Faktor-faktor apa saja yang harus diperhatikan terhadap pengaruh yang


diberikan oleh teori Piaget dalam proses pembelajaran matematika?
Jawab:

Hal hal yang harus di perhatikan yaitu:

a. Pendekatan terpusat pada anak. Jalan pikiran siswa berbeda dengan


orang dewasa oleh karena itu piaget membagi 3 tahap yaitu tahap
konkrit, semi konkrit dan abstrak dimana anak harus di didik melalui 3
tahap tersebut secara berurutan, mulai dari pengenalan harus di sertai
contoh asli sampai dengan abstrak.
b. Aktivitas. Untuk mempelajari sesuatu, anak membutuhkan kesempatan
untuk mengadakan tindakan terhadap objek yang dipelajari. Nah dalam
hal ini pada tahap konkrit ketika kita memberikan contoh benda-benda
nyata maka kita juga harus melibatkan siswa seperti siswa ikut
mengotak-atik benda tersebut entah itu menyentuh, melihat, meraba
agar siswa dapat merasakan langsung pengalaman belajar karena
ketika anak terlibat langsung anak didik akan mudah mengerti dan
dapat tersimpan di memori jangka panjangnya.
c. Belajar secara individual. Guru hendaknya memperhatikan perbedaan
individu dalam pemerolehan pengetahuan siswa.
d. Interaksi sosial. Dimaksudkan agar siswa dapat saling bertukar
pikiran.
Yang bertanya Wa Ode Nur Mana
Yang jawab Sulfiana
2. Sebutkan langkah-langkah teori Dienes dan seperti apakah itu teori
Dienes?
Jawab:
Teori dienes merupakan konsep atau prinsip dalam matematika yang
disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini
mengandung arti bahwa benda-benda atau obyek-obyek dalam bentuk
permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam
pengajaran matematika.
a. Permainan Bebas (Free Play) : Dalam belajar menjumlahkan ataupun
mengurang dengan permainan bebas, siswa diberikan kebebasan untuk
bermain dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar meraka. Misalnya
ana-kanak dibagi dalam beberapa kelompok, kemudian setiap
kelompok diberikan berbagai macam benda atau makanan, misalnya ,
bunga, permen atau balok-balok dan sebagainya.
b. Permainan dengan Menggunakan Aturan ( Games)
Games 1 : Bermain dalam Ruang Kesenian
Anak-anak dibawa dalam ruang kesenian. Aturannya, ruang kesenian
tersebut hanya boleh diisi paling banyak sepuluh anak untuk latihan
menari, dan anak-anak boleh keluar dan masuk kapan saja.
c. Kesamaan Sifat (Searching for communalities)
Dari aktivitas pada games 1 dan games 2, anak-anak mungkin akan
menemukan kesamaan sifat seperti ini: Games 1 Games 2 Masuk
dalam rungan Mengambil bunga di pulau Keluar dari ruangan
Membuang bunga di jembatan.
d. Penyajian / Representasi ( Representations)
Dari games –games dan situasi yang telah diberikan diharapkan siswa
dapat menyajikan secara abstrak apa yang mereka telah temukan.
e. Simbolisasi ( Symbolizations)
Pada permainan dengan simbolisasi, anak-anak dapat menggunakan
tanda tambah dan tanda kurang, ketika disebutkan kata-kata”masuk”,
”keluar”, ”mengambil”, ataupun :membuang”. Dan simbol-simbol
angka ketika disebut ”lima”, ”enam”, dsb. Sebagai contoh : Dari 10
orang anak yang ada di ruang kesenian, dua orang keluar minum. Ini
dapat ditulis menjadi : 10 – 2 = 8.
f. Formalisasi ( Formalizations)
Tahap yang terakhir formalisasi. Pada tahap 6, dari games-games yang
telah diberikan mungkin saja anak-anak memperoleh 2 + 3 5, 3 + 2 =
5, ataupun 0 + 3 = 3, 3 + 0 = 3. Dari sini, anak- anak akan bisa melihat
sifat dari konsep tersebut, misalnya 2 + 3 = 3 + 2 = 5,
kemudian 0 + 3 = 3 + 0 = 3, dan sebaginya.
Yang bertanya Waode Fitraningsih
Yang jawab Sartika Dewi
3. Ada 3 proses kognitif yang terjadi dalam belajar yaitu proses perolehan
informasi, proses mentransformsikan informasi yang diterima dan
menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Jelaskan secara detail dan
berikan contoh terkait 3 proses kognitif tersebut!
Jawab:
Tiga proses kognitif teori belajar bruner yaitu
a. Proses perolehan informasi baru yaitu terjadi melalui kegiatan
membaca mendengarkan penjelasan guru mengenai materi yang
diajarkan dan mendengarkan audio visual dan lain-lain. Contohnya
misalnya guru menjelaskan materi depan kelas siswa berusaha untuk
menyimak agar memperoleh pengetahuan. Kemudian guru menyuruh
siswa untuk menjelaskan kesimpulan dari materi yang diajarkan jika
susu bisa menjelaskan hal tersebut berarti dapat dikatakan bahwa
mereka telah memperoleh informasi.
b. Proses mentransformasikan informasi yang diterima merupakan suatu
proses bagaimana kita memperlakukan pengetahuan yang sudah
diterima agar sesuai dengan kebutuhan. Contohnya siswa setelah
memperoleh informasi kemudian mereka mentransformasikan
informasi tersebut kepada teman-temannya setelah itu mereka dapat
menggunakan informasi informasi tersebut untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi ketika menerima pembelajaran di kelas.
c. Menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan yaitu informasi yang
telah diterima kemudian dianalisis diproses atau diubah menjadi
konsep yang lebih abstrak agar suatu saat dapat dimanfaatkan.
Contohnya setelah siswa memeproleh dan mentranformasikan
infornasi guru dapat melakukan uji evaluasi dalam bentuk tes lisan
atau tulis setelah itu guru melakukan uji validitas kebenaran terhadap
ketepatan pengetahuan yang telah dibawakan guru kepada peserta
didik.
Yang bertanya Suwarni Marham
Yang jawab Sulvitriani Abidin
4. Menurut kelompok anda mengapa teori belajar memegang peran penting
dalam pelajaran matematika di SD?
Jawab:
Singkatnya pada dasarnya teori belajar matematika diciptakan untuk
membantu manusia dalam belajar matematika di mana matematika ini di
segala pelosok kehidupan pasti di guunakan.

Dengan adanya teori belajar kita dapat mampu berfikir rasional dan Logis
dalam kehidupan sehari-hari. Teori Belajar dan Pembelajaran Matematika
bermanfaat untuk (a) Membantu guru dalam mengidentifikasi dan
mengelola kelas (b) Membantu guru dalam menentukan konsep yang tepat
untuk pembelajaran matematika (c) Membantu guru dalam mengatasi
permasalahan dalam SBM matematika. Sebagai calon guru kita harus
mengetahui tentang teori belajar khususnya dalam pembelajaran
matematika, sehingga kita mampu merancang pembelajaran yang sesuai
dengan materi yang hendak dikembangkan, level pengetahuan siswa, dan
teori belajar yang dirujuk.

Yang bertanya Siti Nurdia


Yang jawab
 Tenoardi
 Siti Majidah Jayadi
5. Bagaimana implikasi teori belajar Bruner dalam pembelajaran matematika
SD pada kelas rendah?
Jawab:
Implikasi teori belajar bruner untuk kelas rendah dimulai pada tahap
ikonik sampa tahap simbolis diperuntukkan agar anak itu didik mulai dari
dasar terendah kemampuannya agar dapat mudah menerima dan
memahami yang diberikan.
Yang bertanya Sang Ayu Kompyang Puja Yanti
Yang jawab Selvi Syavira Asril
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai