Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Proses belajar merupakan suatu proses yang berkesinambungan dalam
membentuk sumber daya manusia yang tangguh. Seorang anak perlu dirangsang
untuk mengembangkan rasa cinta akan belajar, kebiasaan-kebiasaan belajar yang
baik dan rasa diri sebagai pelajar yang sukses. Namun demikian, proses
pembelajaran tidak selalu berjalan mulus. Seringkali ditemukan
kesulitan/gangguan belajar pada anak-anak. Kesulitan/Gangguan belajar
(Learning Disorders) adalah suatu gangguan neurologis yang mempengaruhi
kemampuan untuk menerima, memproses, menganalisis atau menyimpan
informasi. Gangguan Belajar juga dapat diartikan sebagai defisit anak dan remaja
di dalam mencapai keterampilan membaca, menulis, berbicara, penggunaan
pendengaran, memberikan alasan, atau matematika yang diharapkan,
dibandingkan dengan anak lain berusia sama dan dengan kapasitas intelektual
yang sama.1
Survey nasional terbaru menemukan bahwa 8 persen dari anak-anak AS
mengalami kesulitan belajar.2 Gangguan belajar merupakan gangguan terbanyak
yang ditemukan saat masa perkembangan anak. Studi epidemiologi melaporkan
prevalensi nya 4-9% untuk gangguan membaca dan 3-7% untuk gangguan
matematika.8 Diperkirakan jumlah anak laki-laki dengan kesulitan belajar
jumlahnya tiga kali lebih banyak dibandingkan anak perempuan. Penjelasan untuk
perbedaan gender ini di antaranya adalah kerentanan biologis yang lebih besar di
antara anak laki-laki dan bias penunjukkan (referral bias, yaitu anak laki-laki
cenderung ditunjuk oleh guru untuk konseling karena perilaku mereka).2
Anak dengan Gangguan Belajar mungkin mempunyai tingkat intelegensia

yang sama atau bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan teman sebayanya.

Dibandingkan dengan anak-anak yang tidak memiliki kesulitan belajar, anak-anak

yang memiliki kesulitan belajar kemungkinan besar memiliki prestasi akademis

yang buruk, angka dikeluarkan dari sekolah (dropout) yang tinggi, serta riwayat

2
pascapendidikan menengah dan perkerjaan yang buruk Meskipun demikian, di

samping masalah yang mereka jumpai, banyak anak yang memiliki keterbatasan

tumbuh dewasa dengan kemampuan menjalani kehidupan normal dan terlibat

dalam perkerjaan yang produktif.3 Masalah yang terkait dengan kesehatan mental

dan gangguan belajar yaitu kesulitan dalam membaca, menulis, mengeja,

mengingat, penalaran, serta keterampilan motorik dan masalah dalam matematika.

Hal ini merupakan masalah, baik di sekolah maupun di rumah karena

gangguan/kesulitan belajar yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan

berbagai bentuk gangguan emosional/psikiatrik yang akan berdampak lebih buruk

lagi bagi perkembangan kualitas hidup anak di kemudian hari. Oleh karena itu,

referat ini dibuat untuk memberikan gambaran mengenai Gangguan Belajar.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Gangguan Belajar


Gangguan Belajar adalah defisit yang terjadi pada anak dan remaja dalam
mencapai keterampilan membaca, menulis, berbicara, penggunaan pendengaran,
memberikan alasan, atau matematika, dibandingkan dengan anak lain yang
memiliki usia sama dan dengan kapasitas intelektual yang sama.1
Menurut National Joint Comitte on Learning Disabilities (NJLD),
gangguan/kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang
dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam memperoleh dan
menggunakan kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, menulis,
mengeluarkan pendapat dan matematika. Gangguan dalam belajar ini tidak
merupakan hasil langsung dari gangguan yang lain (seperti retardasi mental,
defisit neurologis yang besar, masalah visus dan dan daya dengar yang tidak
terkoreksi atau gangguan emosional), walaupun mungkin terdapat bersamaan
dengan kondisi tersebut. Gangguan perkembangan belajar khas seringkali terdapat
bersama dengan sindrom klinis lain (seperti gangguan pemusatan perhatian atau
gangguan tingkah laku) atau gangguan perkembangan lain ( seperti gangguan
perkembangan motorik khas atau gangguan perkembangan khas berbicara atau
berbahasa).5

Pedoman Diagnostik Gangguan Perkembangan Belajar


 Terdapat beberapa syarat dasar untuk diagnosis gangguan perkembangan
belajar khas:
a) Secara klinis terdapat derajat hendaya yang bermakna dalam keterampilan
skolastik tertentu (beratnya hendaya dinilai dari: ukuran skolastik,
gangguan perkembangan yang mendahului, masalah yang terkait, pola, dan
respons;
b) Hendaya nya harus khas dalam arti bahwa tidak semata-mata dapat
dijelaskan dari retardasi mental atau hendaya ringan dalam inteligensi
umum, sebab IQ dan kinerja skolastik tidak persis berjalan
bersamaan/parallel);

4
c) Hendaya harus dalam masa perkembangan, dalam arti sudah harus ada
pada awal usia sekolah dan tidak didapat pada proses perjalanan
pendidikan lebih lanjut;
d) Harus tidak ada faktor luar yang dapat menjadi alasan untuk kesulitan
skolastik (misalnya: kesempatan belajar, sistem pengajaran, pindah
sekolah, dsb);
e) Tidak langsung disebabkan oleh hendaya visus atau pendengaran yang
tidak terkoreksi
 Dengan petunjuk diatas, diagnosis gangguan perkembangan belajar khas
harus berlandaskan temuan positif dari gangguan kinerja skolastik yang
secara klinis bermakna, yang berkaitan dengan faktor-faktor “dalam”
(intrinsic) dari perkembangan anak.5

2.3. Jenis-Jenis Gangguan Belajar


Menurut DSM IV jenis gangguan belajar adalah:
1. Gangguan membaca
2. Gangguan matematika
3. Gangguan ekspresi tulisan
4. Gangguan belajar yang tidak ditentukan .7

2.3.1. Gangguan Membaca


A. Definisi
Gangguan membaca dalam DSM-IV-TR, didefinisikan sebagai
pencapaian membaca di bawah tingkat yang diharapkan untuk usia,
pendidikan, dan intelegensi anak; hendaya ini secara signifikan mengganggu
keberhasilan akademik atau aktivitas harian yang melibatkan membaca.
Gangguan ini ditandai dengan gangguan kemampuan mengenali kata,
membaca dengan lambat dan tidak akurat, serta pemahaman yang buruk.7
Gangguan pada masa anak-anak yang relatif sering pada usia sekolah sering
disertai dengan gangguan ekspresi tulisan, gangguan matematika, atau salah
satu gangguan komunikasi.7 Di samping itu, anak dengan gangguan defisit
atensi/hiperaktivitas (ADHD) memiliki risiko tinggi gangguan membaca. 7

5
Gangguan membaca ditandai oleh gangguan kemampuan untuk mengenali
kata, membaca yang lambat dan tidak tepat, dan pemahaman yang buruk tanpa
adanya kecerdasan yang rendah atau defisit sensorik yang bermakna.1

B. Epidemiologi
Suatu perkiraan sebesar 4 persen anak usia sekolah di Amerika Serikat
memiliki gangguan membaca; studi prevalensi menemukan angka yang
berkisar antara 2 dan 8 persen. Anak laki-laki tiga hingga empat kali lebih
banyak dibandingkan anak perempuan, dilaporkan memiliki ketidakmampuan
membaca pada sampel yang dirujuk secara klinis. Peningkatan angka untuk
anak laki-laki karena anak laki-laki dengan gangguan membaca condong
diambil karena kesulitan perilaku yang lebih banyak.1

C. Etiologi
Tidak ada penyebab tunggal yang diketahui untuk gangguan membaca,
karena banyak disertai gangguan belajar dan kesulitan berbahasa, sehingga
kemungkinan penyebab gangguan membaca adalah multifaktorial.2
Etiologi/penyebab dyslexia antara lain :
 Faktor genetik atau keturunan. Gangguan membaca cenderung lebih
menonjol di antara anggota keluarga yang terkena dibandingkan dalam
populasi umum.2 Penelitian yang dilakukan oleh Gregorenko
menghasilkan 20-65% anak dyslexia juga memiliki orangtua yang
mengalami kesulitan membaca6. Banyak studi menyokong hipotesis bahwa
faktor genetik memainkan peran utama pada adanya gangguan membaca.
Studi menunjukkan bahwa 35 hingga 40 persen kerabat derajat pertama
anak dengan gangguan membaca juga memiliki derajat tertentu hendaya
membaca. Beberapa studi terkini mengesankan bahwa pemahaman
fonologis terkait dengan kromosom 6. Lebih jauh lagi, kemampuan
identifikasi kata tunggal terkait dengan kromosom 15.1
 Masalah dalam migrasi neuron/saraf. Penelitian oleh Simos menunjukkan
bahwa anak dyslexia memiliki pola aktivitas yang berbeda dengan anak
normal, anak normal menggunakan hemisfer kiri sedangkan anak dyslexia
menggunakan hemisfer kanan6.

6
 Insidensi tinggi gangguan membaca cenderung ditemukan pada anak-anak
dengan palsi serebral. Insiden gangguan membaca yang sedikit meningkat
terdapat di antara anak-anak yang mengalami epilepsi.7
 Komplikasi selama kehamilan; kesulitan pranatal dan perinatal termasuk
prematuritas; dan berat lahir rendah lazim ada di dalam riwayat anak
dengan gangguan membaca. 1
 Anak dengan lesi otak pasca lahir di lobus oksipital kiri, yang
menimbulkan kebutaan lapang pandang kanan, dapat memiliki gangguan
membaca sekunder, demikian juga anak dengan lesi di splenium korpus
kalosum yang menyekat transmisi informasi visual dari hemisfer kanan
yang intak ke area bahasa di hemisfer kiri.1
 Akibat keterlambatan perkembangan atau keterlambatan maturasional.
Peranan tempramental berhubungan dengan gangguan membaca.2
 Adanya hubungan malnutrisi dan fungsi kognitif. Anak-anak yang
kekurangan gizi dalam jangka waktu yang lama selama masa anak-anak
awal memperlihatkan kinerja di bawah rata-rata dalam berbagai tes
kognitif.2
 Gangguan membaca yang berat sering disertai dengan masalah psikiatri,
gangguan membaca mungkin merupakan akibat gangguan psikiatrik yang
telah ada sebelumnya.2

D. Gambaran Klinis
Anak yang mengalami gangguan membaca biasanya dapat diidentifikasi
pada usia 7 tahun (kelas 2). Pada kasus yang berat, kesulitan membaca sudah
mulai tampak pada umur 6 tahun (kelas 1).2 Kesulitan membaca dapat tampak
jelas pada anak di dalam kelas saat keterampilan membaca diharapkan
diperoleh pada kelas satu. Anak kadang-kadang dapat mengompensasi
gangguan membaca pada tingkat dasar awal dengan menggunakan memori
dan kesimpulan, terutama ketika gangguan ini disertai dengan intelegensi
yang tinggi. Pada keadaan seperti ini, gangguan bisa tidak terlihat nyata
sampai usia 9 tahun (kelas 4) atau lebih. Masalah-masalah yang terkait
mencakup kesulitan berbahasa, sering ditunjukkan dengan gangguan

7
diskriminasi bunyi dan kesulitan merangkai kata-kata dengan sesuai.1 Ciri-ciri
anak yang mengalami dyslexia adalah sebagai berikut :
 Anak dengan gangguan membaca membuat banyak kesalahan dalam
membaca ditandai dengan menghilangkan, menambahkan, atau
penyimpangan kata. Misalnya:
 Melakukan penambahan dalam suku kata (Addition), misalnya
“batu” menjadi “baltu”
 Menghilangkan huruf dalam suku kata (Omission), misalnya
“masak” menjadi “masa”
 Membalikkan huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik kiri kanan
(inversion/mirroring), misalnya “dadu” menjadi “babu”
 Membalikkan huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik atas
bawah (reversal), misalnya “papa” menjadi “qaqa”
 Mengganti huruf atau angka (substitution) misalnya “lupa” menjadi
“luga” atau “3” menjadi “8”.7
 Memiliki kesulitan dalam membedakan antara karakter dan ukuran huruf
yang tercetak terutama yang dibedakan hanya oleh orientasi ruang dan
panjang garis, hal tersebut terbatas pada huruf tertentu, kalimat dan bahkan
pada seluruh halaman. Misalnya: ketidakteraturan terhadap kata yang
hanya sedikit perbedaannya misalnya “buah” dan “bau”.
 Kecepatan membaca lambat, sering kali dengan pemahaman yang minimal
dalam arti anak tidak mengerti apa isi cerita/teks yang dibacanya.
 Sebagian besar anak dengan gangguan membaca memiliki kemampuan
menyalin teks tertulis yang sesuai dengan usianya tapi hampir semuanya
buruk dalam mengeja.
 Masalah penyerta adalah kesulitan bahasa, yang terlihat sebagai gangguan
diskriminasi bunyi dan kesulitan mengurutkan kata dengan tepat,
misalnya: Sering terbalik dalam mengenali huruf dan kata, misalnya antara
“kuda” dengan “daku”
Gangguan membbaca termasuk salah satu karakteristik yang
dimiliki oleh anak kesulitan belajar dan masuk dalam kategori masalah
prestasi akademis. Masalahnya dibagi dalam tiga aspek, aspek yang
pertama adalah decoding atau mengalami kesulitan dalam mengubah

8
bahasa tulisan menjadi lisan, misalnya kesulitan dalam menyebutkan
huruf-huruf yang membentuk kata topi yaitu t, o, p, dan i. Aspek yang
kedua adalah kelancaran (fluency atau reading fluency), adalah
kemampuan untuk mengenali kata demi kata dengan cepat, membaca
kalimat atau wacana yang lebih panjang, dan dapat dengan mudah
menghubungkannya. Aspek yang ketiga adalah mengerti isi bacaan
(comprehension).7

E. Pedoman Diagnostik
Tabel 1. DSM-IV, Diagnostic and statitiscal manual of mental disordes
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Membaca
A. Kemampuan membaca anak seperti yang diukur oleh tes baku yang
diberikan secara individual tentang keakuratan atau pemahaman
membaca, jelas berada dibawah tingkat yang diharapkan menurut
usia kronologis pasien, inteligensia yang terukur, dan pendidikan
yang sesuai dengan usia.
B. Gangguan dalam kriteria A secara bermakna mengganggu
pencapaian akademik atau aktivitas kehidupan sehari-hari yang
menentukan keterampilan membaca.
C. Jika terdapat defisit sensorik, kesulitan membaca adalah melebihi apa
yang biasanya berhubungan dengannya.

Pedoman diagnostik gangguan membaca menurut PPDGJ-III adalah


sebagai berikut:
 Kemampuan membaca anak harus secara bermakna lebih rendah
tingkatannya daripada kemampuan yang diharapkan berdasarkan pada
usianya, intelegensia umum, dan tingkatan sekolahnya.
 Gangguan perkembangan khas membaca biasanya didahului oleh
riwayat gangguan perkembangan berbicara atau berbahasa.
 Hakikat yang tepat dari masalah membaca tergantung pada taraf yang
diharapkan dari kemampuan membaca, berbahasa dan tulisan. Namun
dalam tahap awal dari belajar membaca tulisan abjad, dapat terjadi
kesulitan mengucapkan huruf abjad, menyebut nama yang benar dari
tulisan, memberi irama sederhana dari kata-kata yang diucapkan, dan

9
dalam menganalisis atau mengelompokkan bunyi-bunyi (meskipun
ketajaman pendengaran normal). Kemudian dapat terjadi kesalahan
dalam kemampuan membaca lisan, seperti ditunjukkan berikut ini :
 Ada kata-kata atau bagian-bagiannya yang mengalami
penghilangan, penggantian, penyimpangan, atau penambahan
 Kecepatan membaca yang lambat
 Salah memulai, keraguan yang lama atau kehilangan bagian dari
teks dan tidak tepat menyusun kalimat
 Susunan kata-kata yang terbalik dalam kalimat, atau huruf-huruf
yang terbalik dalam kata-kata
Dapat juga terjadi defisit dalam memahami bacaan, seperti
diperlihatkan oleh contoh :
 ketidakmampuan menyebut kembali isi bacaan
 ketidakmampuan untuk menarik kesimpulan dari materi bacaan
 dalam menjawab pertanyaan perihal sesuatu bacaan, lebih
menggunakan pengetahuan umum sebagai latar belakang
informasi daripada informasi yang berasal dari materi bacaan
tersebut
 Gangguan emosional dan/atau perilaku yang menyertai biasanya timbul
pada masa usia sekolah. Masalah emosional biasanya lebih banyak pada
masa tahun pertama sekolah, tetapi gangguan perilaku dan sindrom
hiperaktivitas hampir selalu ada pada akhir masa kanak dan remaja.5

F. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada tanda fisik atau ukuran laboratorium spesifik yang membantu
di dalam menegakkan diagnosis gangguan membaca. Diagnosis gangguan
membaca ditegakkan setelah mengumulkan data dari tes intelegensi standar
dan penilaian pencapaian pendidikan. Rangkaian diagnostik umumnya
mencakup tes mengeja standar, komposisi tulisan, memproses dan
menggunakan bahasa oral serta membuat salinan. Subtes membaca yaitu
Woodcock-Johnson Pyscho-Educational Battery-Revised, dan Peabody
Individual Achievement Test-Revised berguna untuk mengidentifikasi
ketidakmampuan membaca. Rangkaian proyektif penapisan dapat mencakup

10
gambar manusia, tes menceritakan gambar, dan melengkapi kalimat. Evaluasi
harus mencakup pengamatan sistematik mengenai variabel perilaku.1

G. Terapi
Terapi terpilih untuk gangguan membaca adalah pendekatan pendidikan
pengobatan (remedial educational approach).2Banyak program terapi
remedial yang efektif dimulai dengan mengajari anak tersebut untuk membuat
hubungan yang akurat antara huruf dan bunyi. Setelah keterampilan itu
dikuasai, terapi remedial dapat menargetkan komponen maembaca yang lebih
besar, seperti suku kata dan kata. Fokus pasti setiap program membaca hanya
dapat ditentukan setelah dlakukan penilaian akurat mengenai defisit spesifik
seorang anak serta kelemahannya. Strategi koping yang positif mencakup
kelompok membaca kecil dan terstruktur yang memberikan perhatian
individual sehingga membuat anak tersebut lebih mudah untuk meminta
bantuan. Program instruksi membaca dimulai dengan memusatkan pada
setiap huruf dan bunyi, kemudian meningkat ke penguasaan inti fonetik
sederhana, diikuti dengan menyatukan unit-unit ini menjadi kata dan kalimat.
Program terapi remedial membaca lainnya, seperti program Merill dan SRA
Basic Reading Program, dimulai dengan memperkenalkan keseluruhan kata
terlebih dahulu, kemudian mengajari anak bagaimana memecahnya dan
mengenali bunyi suku kata serta setiap huruf di dalam kata tersebut.
Pendekatan lain, seperti Bridge Reading Program, mengajari anak dengan
gangguan membaca untuk mengenali keseluruhan kata melalui penggunaan
bantuan visual dan memintas proses “membunyikannya”. Metode Ferald
menggunakan pendekatan multisensorik yang mengombinasikan antara
mengajari keseluruhan kata dengan teknik melacak sehingga anak tersebut
memiliki stimulasi kinestetik sambil belajar membaca kata-kata.1

H. Perjalanan Penyakit dan Prognosis


Tanpa bantuan pengobatan, banyak anak dengan gangguan membaca
akan memperoleh sedikit informasi tentang bahasa yang tercetak selama dua
tahun pertama dalam sekolah dasar. Pada akhir kelas satu, beberapa anak
telah belajar bagaimana membaca beberapa kata. Tetapi jika tidak diberikan
intervensi pendidikan pengobatan pada kelas tiga, anak tetap terganggu
membacanya. Jika pengobatan diberikan dini, pada kasus yang lebih ringan,

11
tidak diperlukan lagi terapi perbaikan di akhir kelas satu atau dua. Pada kasus
yang berat dan bergantung pada pola defisit dan kekuatan, pengobatan dapat
dilanjutkan hingga sekolah menengah atau tingkat SMU.1

2.3.2. Gangguan Matematika


A. Definisi
Gangguan matematika adalah suatu ketidakmampuan dalam melakukan
keterampilan aritmetika yang diharapkan untuk kapasitas intelektual dan
tingkat pendidikan seseorang. Katerampilan aritmetika diukur dengan tes
yang dibakukan dan diberikan secara individual. Tidak adanya kemampuan
matematika yang diharapkan akan mengganggu kinerja sekolah atau aktivitas
hidup sehari-hari.
Menurut DSM IV gangguan matematika adalah salah satu gangguan belajar.
Pada gangguan matematika yang terjadi:
 Keterampilan linguistik (yang berhubungan dengan mengerti istilah
matematika dan mengubah masalah tertulis menjadi simbol
matematika)
 Keterampilan perseptual (kemampuan mengenali dan mengerti simbol
dan mengurutkan kelompok angka)
 Keterampilan matematika (penambahan, pengurangan, perkalian, dan
pembagian dasar dan urutan operasi dasar)
 Keterampilan atensional (menyalin angka dengan benar dan mengamati
simbol operasional dengan benar)
Gangguan lain sering kali menyertai gangguan matematika, termasuk
gangguan membaca, gangguan koordinasi perkembangan, dan gangguan
bahasa reseptif/ekspresif campuran.7

B. Epidemiologi
Prevalensi gangguan matematika sendiri diperkirakan terjadi dalam
kira-kira 1 persen anak-anak usia sekolah, yaitu kira-kira satu dari lima anak
dengan gangguan belajar. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa hingga 6
persen anak-anak usia sekolah memiliki kesulitan dalam matematika.
Gangguan matematika dapat terjadi dengan frekuensi yang lebih tinggi pada
anak perempuan.1

12
C. Etiologi
Penyebab gangguan matematika adalah tidak diketahui. Teori awal
mengajukan defisit neurologis di hemisfer serebral kanan, terutama di lobus
oksipitalis. Daerah tersebut bertanggungjawab untuk memproses stimuli
visual-spasial yang sebaliknya bertanggungjawab untuk keterampilan
matematika.
Pandangan sekarang, penyebab nya adalah multifaktorial:
 Faktor maturasional
 Emosional
 Pendidikan
 Dan sosioekonomi, menyebabkan berbagai derajat dan kombinasi untuk
gangguan matematika.7

D. Gambaran Klinis
Gambaran gangguan matematika yang lazim ditemukan mencakup
kesulitan dengan berbagai komponen matematika, seperti mempelajari nama
angka, mengingat tanda untuk penambahan dan pengurangan, mempelajari
tabel perkalian, menerjemahkan soal dalam kata menjadi perhitungan, dan
melakukan perhitungan dengan kecepatan yang diharapkan1. Penderita
dyscalculia umumnya anak-anak, tetapi tidak secara spesifik menyerang
tingkat usia tertentu. Gangguan ini terutama terjadi pada saat anak menginjak
umur sekolah sekitar usia 7 tahun. Dyscalculia dapat terdeteksi pada usia
tersebut karena pada saat itu anak mulai sekolah dan belajar berhitung.
Penderita dyscalculia umumnya memiliki IQ normal, namun ada juga yang
IQ nya melebihi rata-rata atau cukup tinggi. Anak dyscalculia dapat
berinteraksi normal seperti anak biasa, komunikasi dan sosialisasi dengan
lingkungan di sekitarnya. Artinya dia dapat hidup dengan baik meskipun
mengalami kesulitan dalam berhitung. Persoalan yang dihadapi anak dengan
dyscalculia lebih pada kehidupannya sehari-hari. Beberapa hal berikut dapat
digunakan untuk melihat gejala atau ciri-ciri dyscalculia :
 Tingkat perkembangan bahasa dan kemampuan lainnya normal, malah
seringkali mempunyai memori visual yang baik dalam merekam kata-
kata tertulis

13
 Sulit melakukan hitungan matematis. Contoh sehari-harinya, ia sulit
menghitung transaksi (belanja), termasuk menghitung kembalian uang.
Seringkali anak tersebut  jadi takut memegang uang, menghindari
transaksi, atau apa pun kegiatan yang harus melibatkan uang
 Sering sulit membedakan tanda-tanda dalam hitungan
 Sulit membedakan angka yang mirip, misalnya angka 6 dengan 9, 17
dengan 71
 Sulit membedakan bangun-bangun geometri
 Sulit melakukan proses-proses matematis, seperti menjumlah,
mengurangi, membagi, mengali, dan sulit memahami konsep hitungan
angka atau urutan
 Sering melakukan kesalahan ketika melakukan perhitungan angka-
angka, seperti  proses substitusi, mengulang terbalik, dan mengisi deret
hitung serta deret ukur
 Terkadang mengalami disorientasi, seperti disorientasi waktu dan arah.
Si anak  biasanya bingung saat ditanya jam berapa sekarang. Ia juga
tidak mampu membaca dan memahami peta atau petunjuk arah.5

E. Pedoman Diagnostik
Tabel 2. DSM-IV, Diagnostic and statitiscal manual of mental disordes
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Matematika
A. Kemampuan mmatematika yang diukur oleh tes baku yang diberikan
secara individual berada dibawah tingkat yang diharapkan menurut
usia kronologis pasien, inteligensia yang terukur, dan pendidikan
yang sesuai dengan usia.
B. Gangguan dalam kriteria A secara bermakna mengganggu
pencapaian akademik atau aktivitas kehidupan sehari-hari yang
memerlukan kemampuan matematika
C. Jika terdapat defisit sensorik, kesulitan dalam kemampuan
matematika adalah melebihi apa yang biasanya berhubungan
dengannya.

Pedoman diagnostik gangguan matematika menurut PPDGJ-III adalah


sebagai berikut:

14
 Gangguan ini meliputi hendaya yang khas dalam kemampuan berhitung
yang tidak dapat diterangkan berdasarkan adanya retardasi mental umum
atau tingkat pendidikan di sekolah yang tidak adekuat. Kekurangannya
ialah penguasaan pada kemampuan dasar berhitung yaitu tambah, kurang
kali, bagi (bukan kemampuan matematika yang lebih abstrak dalam
aljabar, trigonometri, geometri atau kalkulus)
 Kemampuan berhitung anak harus secara bermakna lebih rendah daripada
tingkat yang seharusnya dicapai berdasarkan usianya, inteligensia umum,
tingkat sekolahnya, dan terbaik dinilai dengan cara pemeriksaan untuk
kemampuan berhitung yang baku.
 Keterampilan membaca dan mengeja harus dalam batas normal sesuai
dengan umur mental anak.
 Kesulitan dalam berhitung bukan disebabkan pengajaran yang tidak
adekuat, atau efek langsung dari ketajaman penglihatan, pendengaran, atau
fungsi neurologis, dan tidak didapatkan sebagai akibat dari gangguan
neurologis, gangguan jiwa atau gangguan lainnya.5

F. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada tanda atau gejala fisik yang menunjukkan gangguan
matematika, tetapi uji edukasional dan ukuran fungsi intelektual standar
diperlukan untuk menegakkan diagnosis ini. Keymath Diagnostic Arithmetic
Test mengukur beberapa area matematika termasuk pengetahuan akan
kandungan, fungsi, dan perhitungan matematis. Tes ini digunakan untuk
menilai kemampuan matematika pada anak kelas 1 sampai 6.1

G. Terapi
Terapi yang paling efektif sekarang ini untuk gangguan matematika
adalah pendidikan pengobatan. Selain itu terapi lain yang dapat diberikan
adalah menggabungkan antara mengajarkan konsep matematika dengan
praktik terus-menerus di dalam menyelesaikan soal matematika. Defisit
keterampilan sosial dapat turut berperan di dalam keengganan anak untuk
meminta bantuan sehingga anak yang diidentifikasi dengan gangguan
matematika bisa mendapatkan keuntungan dari mendapatkan keterampilan

15
menyelesaikan masalah di dalam lingkungan sosial juga di dalam
matematika.1

H. Prognosis
Anak dengan gangguan matematika biasanya dapat diidentifikasi pada
usia 8 tahun (kelas 3). Pada beberapa anak, gangguan ini dapat terlihat pada
usia 6 tahun (kelas 1); pada anak lain, bisa terlihat hingga usia 10 tahun (kelas
5) atau lebih. Anak dengan gangguan matematika sedang yang tidak
mendapatkan intervensi bisa mengalami komplikasi, termasuk kesulitan
akademik yang berlanjut, rasa malu konsep diri yang buruk, frustasi, dan
depresi. Komplikasi ini dapat menimbulkan keengganan untuk datang ke
sekolah, bolos, dan akhirnya putus asa mengenai keberhasilan akademiknya.7

2.3.3 Gangguan Ekspresi Tulisan


A. Definisi
Gangguan ekspresi tulisan ditandai oleh keterampilan menulis yang secara

bermakna di bawah tingkat yang diharapkan menurut usia, kapasitas intelektual,

dan pendidikan. Gangguan ini mempengaruhi prestasi sekolah seseorang karena

tuntutan untuk menulis dalam kehidupan setiap hari, dan gangguan bukan

disebabkan oleh defisit neurologis atau sensorik. Komponen ketidakmampuan

menulis adalah pengejaan yang buruk, kesalahan dalam tata bahasa dan tanda

baca dan tulisan tangan yang buruk.

Gangguan ekspresi menulis pertama kali dikenali dalam sistem diagnostik

psikiatri pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi ketiga

yang direvisi (DSM-III-R) sebagai gangguan menulis ekspresif perkembangan

(developmental expressive writing disorder), dan DSM edisi keempat (DSM-IV).

Beberapa dekade yang lalu diungkapkan bahwa ketidakmampuan menulis tidak

terjadi tanpa adanya gangguan membaca, tetapi sekarang telah diketahui bahwa

gangguan ekspresi menulis dapat terjadi sendirian. Istilah yang digunakan di masa

16
lalu untuk menggambarkan ketidakmampuan menulis adalah “gangguan mengeja”

dan disleksia mengeja.”

Ketidakmampuan menulis sering kali disertai dengan gangguan belajar

lainnya tetapi dapat di diagnosis lebih lambat dari yang lainnya, karena menulis

ekspresif didapat lebih lambat.7

B. Epidemiologi
Prevalensi gangguan ekspresi menulis tidak diketauhi tetapi diperkirakan 3

sampai 10 persen anak-anak usia sekolah. Rasio laki-laki terhadap wanita juga

tidak diketahui. Beberapa bukti menyatakan bahwa anak yang terkena sering kali

berasal dari keluarga yang memiliki riwayat gangguan tersebut.7

C. Manifestasi Klinis

Anak-anak dengan gangguan ekspresi menulis menunjukkan kesulitan

pada kelas-kelas pertamanya dalam mengeja kata dan mengekspresikan

pikirannya menurut aturan tata bahasa yang sesuai menurut usianya. Kalimat

yang diucapkan dan ditulis mengandung sejumlah besar kesalahan tata bahasa

yang tidak lazim dan susunan paragraph yang buruk. Selama dan setelah kelas

dua, anak –anak sering kali membuat kesalahan tata bahasa sederhana dalam

menulis kalimat pendek. Sebagai contoh, mereka sering kali gagal, walaupun

terus-menerus diingatkan, untuk memulai huruf pertama suatu kalimat dengan

huruf kapital dan mengakhiri kalimat dengan spasi. 7

Saat mereka menjadi semakin besar dan naik ke kelas yang lebih tinggi di

sekolahnya, kalimat yang diucapkan dan ditulis anak tersebut menjadi lebih

primitive, aneh, dan inferior dibandingkan apa yang diharapkan dari pelajari

dalam kelasnya. Pemilihan kata anak adalah salah dan tidak tepat; paragrafnya

17
tidak tersusun tepat; dan pengejaan menjadi semakin sulit saat pembedaharaan

katanya menjadi lebih abstrak dan lebih besar dalam jumlah dan karakter.

Ciri penyerta gangguan ekspresi menulis adalah penolakan atau

keengganan untuk pergi ke sekolah dan untuk melakukan pekerjaan rumah

tertulis, prestasi akademik yang buruk dalam bidang lain (seperti matematika),

tidak memiliki minat seluruhnya dalam pekerjaan sekolah, membolos, defisit-

atensi, dan gangguan konduksi.

Sebagian besar anak dengan gangguan ekspresi menulis menjadi frustasi

dan marah karena perasaan ketidakmampuan mereka dan kegagalan dalam

prestasi akademik. Mereka mungkin memiliki gangguan depresif kronis sebagai

akibat dari semakin meningkatnya rasa isolasi, dijauhi, dan kekecewaan.

Orang dewasa dengan gangguan ekspresi menulis yang tidak mendapatkan

intervensi pengobatan terus mengalami kesulitan dalam adaptasi sosial yang

melibatkan keterampilan menulis dan terus-menerus memiliki perasaan

keterampilan menulis dan terus-menerus memiliki perasaan ketidakberdayaan,

inferioritas, isolasi, dan dijauhi. Beberapa dari mereka bahkan mencoba untuk

menghindari atau menunda-nunda menulis surat jawaban atau menulis kartu

ucapan karen ketakutan bahwa ketidakmampuan mereka menulis menjdi diketahui

orang lain. Jika mekanisme pertahanan, keparahan psikopatologinya kemungkinan

meningkat. Sebagian besar orang dewasa dengan gangguan memilih pekerjaan

yang memerlukan keterampilan menulis yang sedikit, seperti berdagang,

mengasuh, dan pekerjaan kasar lain; jarang mereka mencapai atau

mempertahankan posisi pekerjaan yang diharapkan secara sosial yang

memerlukan banyak menulis ekspresif. Gangguan yang sering menyertai adalah

gangguan membaca, gangguan bahasa reseptif/ ekspresif, gangguan bahsa

18
ekspresif, gangguan matematika, gangguan koordinasi perkembangan, dan

gangguan perilaku mengganggu dan defisit-atensi.7

Ada beberapa ciri khusus anak dengan gangguan ekspresi menulis, antara
lain sebagai berikut :
 Anak dapat berkomunikasi dengan baik namun bermasalah dalam
kemampuan menulis
 Menggunakan tanda baca yang tidak benar, ejaan yang salah, mengulang
kalimat atau  perkataan yang sama
 Salah dalam mengartikan pertanyaan yang diberikan
 Sulit menulis nomor dalam urutannya
 Tidak konsisten dalam membuat tulisan yang bervariasi dalam kemiringan
huruf dan ukuran tulisan
 Kalimat atau kata ditulis tidak lengkap dan sering terdapat huruf atau kata
yang terlewat
 Garis dan batas halaman kertas tidak sama antara satu halaman dengan
halaman yang lain
 Jarak antar kata tidak konsisten
 Menggenggam alat tulis dengan sangat erat, biasanya anak dengan
dysgraphia menulis dengan bertumpu pada pangkal lengan dan memegang
pensil hingga menempel di kertas
 Sering berbicara sendiri saat menulis
 Selalu memperhatikan tangan yang sedang menulis
 Lambat dalam menulis1

D. Diagnosis
Diagnosis gangguan ekspresi menulis dibuat berdasarkan prestasi sesorang

yang terus menerus buruk pada komposisi teks tertulis. Kinerja dengan jelas di

bawah kapasitas intelektual seseorang, seperti yang diperkuat dengan tes menulis

ekspresif yang baku yang diberikan secara individual. Adalanya gangguan berat,

seperti gangguan perkembangan pervasive atau retardasi mental, dapat

19
menghilangkan diagnosis gangguan ekspresi menulis. Gangguan lain yang harus

dibedakan dari gangguan ekspresi menulis adalah gangguan komunikasi,

gangguan mebaca, dan gangguan penglihatan dan pendengaran.

Disleksia ditandai oleh ketidakmampuan utnuk membaca dan disgrafia

ditandai oleh ketidakmampuan untuk menulis. Tiap orang yang dicurigai

menderita gangguan ekspresi menulis pertama kali harus diberikan tes kecerdasan

baku, seperti Revised Weschsler Intelligence Scale for Children (WISC-R, WISC-

3) atau Revised Weschler Adult Intellegence Scale (WAIS-R) untuk menentukan

kapasitas intelektual seseorang sebelum memberikan tes menulis ekspresif yang

dibakukan.7

Kriteria DSM untuk Diagnostik untuk Gangguan Ekspresi Tulisan

A. Keterampilan menulis, seperti yang diukur oleh tes baku yang diberikan

secara individual (atau penilaian fungsional keterampilan menulis), adalah

jelas di bawah tingkat yang diharapkan menurut usia kronologis pasien,

intelegensia yang terukur, dan pendidikan yang sesuai dengan usia

B. Ganggua dalam kriteria A secara bermakna mengganggu pencapaian

akademik atau aktivitas kehidupan sehari-hari yang memerlukan komposis

teks tertulis (misalnya, menulis kalimat yang tepat secara tata bahasa dan

paragraf yang tersusun).

C. Jika terdapat defisit sensorik, kesulitan dalam keterampilan menulis adalah

melebihi apa yang biasanya berhubungan dengannya.

Catatan penulisan: jika terapat kondisi medis umum (misalnya, neurologis)

atau defisit sensorik, tuliskan kondisi tersebut pada aksis III.7

E. Pemeriksaan Penunjang

20
Meskipun tidak ada stigmata fisik pada gangguan menulis, tes pendidikan

digunakan dalam menegakkan diagnosis gangguan ekspresi tertulis. Tes bahasa

tertulis yang sekarang tersedia mencakup TOWL, DEWS, dan Test of Early

Written Languange (TEWL). Seorang anak yang dicurigai memiliki gangguan

ekspresi tertulis pertama kali harus diberikan tes intelektual standar, seperti

WISC-III atau Wechsler Adult Intelligence Scale yang telah direvisi (WAIS-R)

untuk menentukan kapasitas intelektual keseluruhan seorang anak.1

F. Perjalanan Penyakit dan Prognosis


Karena gangguan menulis, bahasa dan membaca seringkali terjadi

bersama-sama dan karena seorang anak normalnya berbicara dengan baik sebelum

belajar membaca dan belajar membaca dengan baik sebelum menulis baik,

seorang anak dengan ketiga gangguan tersebut memiliki gangguan bahasa

ekspresif yang didiagnosis pertama kali dan gangguan ekspresi menulis yang

didiagnosis terakhir.

Prognosis tergantung pada keparahan gangguan, usia, atau kelas saat

intervensi pengobatan dimulai, dan lama serta kontinuitas terapi, dan adanya atau

tidak adanya masalah emosionak atau perilaku sekunder penyerta. Pada kasus

yang berat, gangguan ekspresi tertulis tampak nyata pada usia 7 tahun (kelas

dua), pada kasus yang lebih ringan, gangguan ini bisa tidak terlihat jelas hingga

usia 10 tahun (kelas lima) atau lebih. Sebagian besar orang dengan gangguan

ekspresi tertulis ringan atau sedang cukup baik jika mereka mendapatkan edukasi

remedial pada waktu yang tepat di awal masa sekolah dasarnya. Gangguan

ekspresi tertulis yang berat memerlukan terapi remedial yang ekstensif dan

berkelanjutan sepanjang bagian akhir masa SMU dan bahkan hingga akademi.1

21
Beberapa teori mengungkapkan bahwa orang yang kemudian memiliki

kompensasi baik atau yang pulih dari gangguan ekspresi menulis sering kali

berasal dari keluarga dengan latar belakang sosioekonomi yang tinggi.7

F. Terapi
Gangguan ekspresi menulis berespon terhadap terapi yang terbaik

sekarang ini adalah terapi menulis. Cara terapi tersebut yaitu guru pada sekolah

khusus mencurahkan perhatiannya selama dua jam sehari untuk instruksi menulis

tersebut.

Terapi gangguan memerlukan hubungan pasien dan ahli terapi yang

optimal, seperti dalam psikoterapi. Keberhasilan atau kegagalan dalam

mempertahankan motivasi pasien sangat memengaruhi kemajuan terapi jangka

panjang.

Masalah emosional dan perilaku penyerta atau sekunder harus

diperhatikan langsung, dengan terapi psikiatrik yang sesuai dan konseling

orangtua.7

Terapi remedial untuk gangguan ekspresi tertulis mencakup praktik

langsung mengeja dan menulis kalimat, serta mengkaji ulang aturan tata bahasa.

Pemberian terapi menulis kreatif dan ekspresif yang intensif, berkelanjutan dan

dirancang khusus secara individual dan satu-satu tampak memberi hasil yang

baik.1

2.3.4 Gangguan Belajar yang Tidak Ditentukan


Gangguan belajar yang tidak ditentukan (NOS; not otherwise specified)

adalah suatu kategori baru dalam DSM-IV untuk gangguan yang tidak memenuhi

kriteria salah satu gangguan belajar spesifik tetapi yang menyebabkan gangguan

22
dan mencerminkan ketidakmampuan belajar di bawah tingkat yang diharapkan

menurut intelegensia, pendidikan, dan usia seseorang. Suatu contoh dari

ketidakmampuan yang harus dimasukkan dalam kategori ini adalah defisit

keterampilan mengeja.7

Kategori DSM-III-R tentang gangguan perkembangan spesifik yang tidak

ditentukan mencakup gangguan ketermpilan bahasa, bicara, akademik, dan

motorik residual; kategori telah dibagi dalam DSM –IV menjadi gangguan belajar

yang tidak ditentukan.7

Kriteria DSM untuk Diagnostik untuk Gangguan Belajar yang Tidak Ditentukan

- Kategori ini adalah untuk gangguan dalam belajar yang tidak memenuhi

kriteria untuk gangguan belajar spesifik. Kategori ini mungkin berupa

masalah dalam ketiga bidang seluruhnya (membaca, matematika, ekspresi

tulisan) yang bersama-sama secara bermakna mengganggu pencapaian

akademik walaupun prestasi pada tes yang mengukur masing-masing

keterampilan menurut usia kronologis pasien, intelegensia yang terukur,

dan pendidikan yang sesuai dengan usia.7

BAB III
KESIMPULAN

Gangguan Belajar adalah defisit anak dan remaja di dalam mencapai


keterampilan membaca, menulis, berbicara, penggunaan pendengaran,
memberikan alasan, atau matematika yang diharapkan, dibandingkan dengan anak
lain berusia sama dan dengan kapasitas intelektual yang sama. Jenis-jenis
gangguan belajar antara lain gangguan membaca, gangguan matematika, dan

23
gangguan ekspresi tertulis. Prognosis gangguan belajar tergantung pada keparahan
gangguan, usia atau kelas ketika intervensi remedial dimulai, lama dan
keberlanjutan terapi, dan ada atau tidak adanya masalah perilaku atau emosional
sekunder atau terkait. Jika gangguan belajar terdiagnosis lebih awal, maka terapi
dapat diberikan lebih awal sehingga prognosis semakin baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock, BJ dan Sadock, VA. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Terjemahan
Oleh: Profitasari & Nisa, M.T. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
Indonesia, 2004.
2. Liederman J, Kantrowitz L, & Flannery K. Male vulnerability to reading
disability is not likely to be a myth: A call for new data. J Learn Disabil.
2005, 38: 109–129.

24
3. Mercer, Cecil D. & Paige C. Pullen. Students with Learning
Disabilities,Virginia: Merrill/Prentice Hall, 2005.
4. Kerig, P. K, & Wenar, C. Developmental Psychopathology: From infancy
through adolescence 5th ed. New York: Mc Graw Hill, 2006.
5. Rusdi, Maslim (ed). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III,
2008, Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, Jakarta, Indonesia
6. De castro MV, Marcia ASB, Bruno MP, Silvia CMR, Andreia MD. Effect of
Virtual Environment on The Development of Mathematical Skills in Children
with dyscalculasia. United Kingdom : University of Westminster. 2014.
7. Kaplan, H.I., Sadock, B.J., & Grebb, J.A. Sinopsis Psikiatri Edisi 2.
Terjemahan oleh: Widjaja Kusuma. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
Indonesia, 2010.
8. Moll K, Sarah K, Nina N, Jennifer B, Gerd SK. Specific Learning Disorder:
Prevalence and Gender Differences. Netherlands: Utrecht University. 2014.

25

Anda mungkin juga menyukai