Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Proses belajar merupakan suatu proses yang berkesinambungan dalam
membentuk sumber daya manusia yang tangguh. Seorang anak perlu dirangsang
untuk mengembangkan rasa cinta akan belajar, kebiasaan belajar yang baik dan
rasa diri sebagai pelajar yang sukses. Namun demikian, proses pembelajaran tidak
selalu berjalan mulus. Seringkali ditemukan kesulitan/gangguan belajar pada
anak-anak. Kesulitan/Gangguan belajar (Learning Disorders) adalah suatu
gangguan neurologis yang mempengaruhi kemampuan untuk menerima,
memproses, menganalisis atau menyimpan informasi. Gangguan Belajar juga
dapat diartikan sebagai defisit anak dan remaja di dalam mencapai keterampilan
membaca, menulis, berbicara, penggunaan pendengaran, memberikan alasan, atau
matematika yang diharapkan, dibandingkan dengan anak lain berusia sama dan
dengan kapasitas intelektual yang sama.1
Survey nasional terbaru menemukan bahwa 8 persen dari anak-anak AS
mengalami kesulitan belajar. Penelitian tentang prevalensi anak dengan kesulitan
belajar di Kecamatan Pauh Kota Padang pada tahun 2013 terdapat 69,6% anak
mengalami gangguan belajar membaca. (klo di Indonesia berapa persen??) Jumlah
anak laki-laki dengan kesulitan belajar tiga kali lebih banyak dibandingkan anak
perempuan.
Anak yang memiliki kesulitan belajar jika dibandingkan dengan anak yang
tidak memiliki kesulitan belajar besar memiliki prestasi akademis yang lebih
buruk, angka dikeluarkan dari sekolah (dropout) yang tinggi, serta riwayat
pascapendidikan menengah dan perkerjaan yang buruk. Meskipun demikian,
masih banyak anak yang memiliki keterbatasan tumbuh dewasa dengan
kemampuan menjalani kehidupan normal dan terlibat dalam perkerjaan yang
produktif. Masalah yang terkait dengan kesehatan mental dan gangguan belajar
yaitu kesulitan dalam membaca, menulis, mengeja, mengingat, penalaran, serta
keterampilan motorik dan masalah dalam matematika. Gangguan belajar ini akan

1
menimbulkan masalah, baik di sekolah maupun di rumah jika tidak ditangani
dengan baik karena akan menimbulkan berbagai bentuk gangguan
emosional/psikiatrik yang berdampak buruk bagi perkembangan kualitas hidup
anak di kemudian hari. Oleh karena itu, referat ini dibuat untuk memberikan
gambaran ringkas mengenai gangguan belajar terutama dalam hal gejala klinis,
diagnosis serta penanganan yang tepat pada pasien dan keluarga pasien.

1. 2. Rumusan Masalah
1.2.1. Apa defenisi gangguan belajar?
1.2.2. Apa saja jenis gangguan belajar?
1.2.3. Bagaimana epidemiologi gangguan belajar?
1.2.4. Bagaimana cara mendiagnosis gangguan belajar?
1.2.5. Bagaimana penatalaksanaan gangguan belajar?

1.3. Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui gangguan belajar pada
anak.

1.4. Metode Penulisan


Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan
mengacu pada berbagai literatur.

1.5. Manfaat Penulisan


Manfaat penulisan referat ini untuk mengetahui gangguan belajar pada
anak.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Gangguan Belajar


Gangguan Belajar adalah defisit anak dan remaja di dalam mencapai
keterampilan membaca, menulis, berbicara, penggunaan pendengaran,
memberikan alasan, atau matematika yang diharapkan, dibandingkan dengan anak
lain berusia sama dan dengan kapasitas intelektual yang sama.
Menurut National Joint Comitte on Learning Disabilities (NJLD),
gangguan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan
dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam memperoleh dan menggunakan
kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, menulis, mengeluarkan pendapat
dan matematika. Kelainan tersebut intrinsik dari individu dan disebabkan karena
disfungsi sistem syaraf pusat. Kesulitan belajar ini dapat menyertai kelainan lain
seperti kelainan sensoris, retardasi mental, kelainan sosial dan emosional atau
pengaruh lingkungan (seperti perbedaan budaya,atau intruksi yang salah dan
faktor psikolinguistik), tapi bukan akibat langsung dari kelainan atau pengaruh
tersebut.

2.2. Faktor Penyebab Gangguan Belajar


Secara umum faktor yang menyebabkan gangguan belajar dapat dibagi
menjadi dua, yaitu :
1. Faktor Internal
Faktor internal ini dapat diartikan faktor yang berasal dari dalam
individu itu sendiri, atau dengan kata lain adalah faktor yang berasal
dari anak itu sendiri. Faktor-faktor yang termasuk dalam bagian ini,
yaitu :
a. Inteligensi (IQ) yang kurang baik
b. Gangguan ringan pada otak (minimal brain dysfunction)
c. Bakat yang kurang atau tidak sesuai dengan bahan pelajaran yang
dipelajari atau diberikan oleh guru

3
d. Faktor emosional yang kurang stabil
e. Aktivitas belajar yang kurang. Lebih banyak malas daripada
melakukan kegiatan belajar
f. Kebiasaan belajar yang kurang baik. Belajar dengan penguasaan
pada tingkat hafalan, tidak dengan pengertian (insight), sehingga
sukar ditransfer ke situasi yang lain
g. Penyesuaian sosial yang sulit
h. Latar belakang pengalaman yang pahit
i. Cita-cita yang tidak relevan (tidak sesuai dengan bahan pelajaran
yang dipelajari)
j. Latar belakang pendidikan yang dimasuki dengan sistem sosial dan
kegiatan belajar mengajar di kelas yang kurang baik
k. Ketahanan belajar (lama belajar) tidak sesuai dengan tuntutan waktu
belajarnya
l. Keadaan fisik yang kurang menunjang. Misalnya cacat tubuh yang
ringan seperti kurang pendengaran, kurang penglihatan, dan
gangguan psikomotor. Cacat tubuh yang tetap (serius) seperti buta,
tuli, hilang tangan dan kaki, dan sebagainya
m. Tidak ada motivasi dalam belajar
Selain faktor di atas, faktor lain yang berpengaruh adalah faktor kesehatan
mental dan tipe belajar pada anak, yang meliputi tipe visual, motoris dan
campuran.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal ialah faktor yang berasal dari luar individu itu sendiri,
meliputi :
a. Faktor Keluarga, beberapa faktor dalam keluarga yang menjadi
penyebab gangguan belajar pada anak sebagai berikut :
Kurangnya kelengkapan belajar anak dirumah, sehingga
kebutuhan belajar yang diperlukan tidak ada akan
menghentikan kegiatan belajar anak beberapa waktu

4
Anak tidak memiliki ruang dan tempat belajar yang khusus
dirumah
Perhatian keluarga tidak memadai
Kedudukan anak dalam keluarga yang menyedihkan. Orang
tua yang pilih kasih dalam mengayomi anak
b. Faktor sekolah, faktor sekolah yang dianggap dapat menimbulkan
gangguan belajar di antaranya :
Hubungan guru dan anak didik yang kurang harmonis
Guru menuntut pembelajaran diatas kemampuan anak
Guru tidak memiliki kecakapan dalam usaha mengetahui
kesulitan belajar anak didik
Suasana sekolah yang kurang menyenangkan

2.3. Jenis-Jenis Gangguan Belajar


2.3.1. Gangguan Membaca (Dyslexia)
A. Definisi Dyslexia
Dyslexia berasal dari bahasa Yunani, Dys artinya tanpa, tidak adekuat,
kesulitan dan Lexis/Lexia artinya kata/bahasa. Dyslexia adalah seorang anak yang
mengalami gagal belajar membaca yang diakibatkan karena fungsi neurologis
(susunan dan hubungan saraf) tertentu, atau pusat saraf untuk membaca tidak
berfungsi sebagaimana diharapkan. Di dalam DSM-IV-TR, gangguan membaca
didefinisikan sebagai pencapaian membaca di bawah tingkat yang diharapkan
untuk usia, pendidikan, dan intelegensi anak. Hendaya ini secara signifikan
mengganggu keberhasilan akademik atau aktivitas harian yang melibatkan
membaca. Gangguan ini ditandai dengan gangguan kemampuan mengenali kata,
membaca dengan lambat dan tidak akurat, serta pemahaman yang buruk. Di
samping itu, anak dengan gangguan defisit atensi/hiperaktivitas (ADHD)
memiliki risiko tinggi gangguan membaca.

B. Epidemiologi Dyslexia

5
Suatu studi pada anak usia sekolah di Amerika Serikat yang memiliki
gangguan membaca sekitar 2-8%. Anak laki-laki tiga hingga empat kali lebih
banyak dibandingkan anak perempuan, memiliki ketidakmampuan membaca.
Anak laki-laki dengan gangguan membaca mungkin lebih sering dirujuk untuk
evaluasi dibandingkan anak perempuan karena masalah perilaku yang sering
terkait.
C. Etiologi Dyslexia
Etiologi/penyebab dyslexia antara lain :
Faktor genetik atau keturunan. Penelitian yang dilakukan oleh Gregorenko
menyebutkan 20-65% anak dyslexia juga memiliki orangtua yang
mengalami kesulitan membaca. Banyak studi menyokong hipotesis bahwa
faktor genetik memainkan peran utama pada adanya gangguan membaca.
Studi menunjukkan bahwa 35 hingga 40 persen kerabat derajat pertama
anak dengan gangguan membaca juga memiliki derajat tertentu hendaya
membaca. Beberapa studi terkini mengesankan bahwa pemahaman
fonologis terkait dengan kromosom 6. Lebih jauh lagi, kemampuan
identifikasi kata tunggal terkait dengan kromosom 15.
Masalah dalam migrasi neuron/saraf. Penelitian oleh Simos menunjukkan
bahwa anak dyslexia memiliki pola aktivitas yang berbeda dengan anak
normal, anak normal menggunakan hemisfer kiri sedangkan anak dyslexia
menggunakan hemisfer kanan. Insiden gangguan membaca yang lebih
tinggi terdapat pada anak dengan intelegensi normal yang mengalami
serebral palsy. Insiden gangguan membaca sedikit meningkat terdapat di
antara anak-anak yang mengalami epilepsi. Komplikasi selama kehamilan;
kesulitan pranatal dan perinatal termasuk prematuritas; dan berat lahir
rendah lazim ada di dalam riwayat anak dengan gangguan membaca. Anak
dengan lesi otak pasca lahir di lobus oksipital kiri, yang menimbulkan
kebutaan lapang pandang, dapat memiliki gangguan membaca sekunder,
demikian juga anak dengan lesi di splenium korpus kalosum yang
menyekat transmisi informasi visual dari hemisfer kanan yang intak ke
area bahasa di hemisfer kiri.

6
D. Gambaran Klinis Dyslexia
Anak yang mengalami gangguan membaca biasanya dapat diidentifikasi
pada usia 7 tahun (kelas 2). Kesulitan membaca tampak jelas pada saat
keterampilan membaca diharapkan dikuasai saat siswa kelas satu. Anak
kadang dapat mengompensasi gangguan membaca pada tingkat dasar dengan
menggunakan memori dan kesimpulan, terutama ketika gangguan ini disertai
dengan intelegensi yang tinggi. Pada keadaan seperti ini, gangguan tidak
terlihat nyata sampai usia 9 tahun (kelas 4) atau lebih. Masalah-masalah yang
terkait mencakup kesulitan berbahasa, sering ditunjukkan dengan gangguan
diskriminasi bunyi dan kesulitan merangkai kata-kata dengan sesuai.
Ciri-ciri anak yang mengalami dyslexia adalah sebagai berikut :

Inakurasi dalam membaca seperti membaca lambat kata demi kata jika
dibandingkan dengan anak seusianya, intonasi suara turun naik tidak
teratur

Tidak dapat mengucapkan irama kata-kata secara benar dan
proporsional

Sering terbalik dalam mengenali huruf dan kata, misalnya antara kuda
dengan daku

Ketidakteraturan terhadap kata yang hanya sedikit perbedaannya
misalnya buah dan bau

Kesulitan dalam memahami apa yang dibaca, dalam arti anak tidak
mengerti apa isi cerita/teks yang dibacanya

Sulit menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan memadukannya menjadi
sebuah kata

Melakukan penambahan dalam suku kata (Addition), misalnya batu
menjadi baltu

Menghilangkan huruf dalam suku kata (Omission), misalnya masak
menjadi masa

Membalikkan huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik kiri kanan
(inversion/mirroring), misalnya dadu menjadi babu

7

Membalikkan huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik atas bawah
(reversal), misalnya papa menjadi qaqa

Mengganti huruf atau angka (substitution) misalnya lupa menjadi
luga atau 3 menjadi 8.7
Dyslexia termasuk salah satu karakteristik yang dimiliki oleh anak
kesulitan belajar dan masuk dalam kategori masalah prestasi akademis.
Masalahnya dibagi dalam tiga aspek, aspek yang pertama adalah decoding
atau mengalami kesulitan dalam mengubah bahasa tulisan menjadi lisan,
misalnya kesulitan dalam menyebutkan huruf-huruf yang membentuk kata
topi yaitu t, o, p, dan i. Aspek yang kedua adalah kelancaran (fluency atau
reading fluency), adalah kemampuan untuk mengenali kata demi kata
dengan cepat, membaca kalimat atau wacana yang lebih panjang, dan
dapat dengan mudah menghubungkannya. Aspek yang ketiga adalah
mengerti isi bacaan (comprehension).
E. Pedoman Diagnostik Dyslexia
Pedoman diagnostik gangguan membaca (dyslexia) dapat menggunakan
The helpful Test of Word Reading Efficiency (TOWRE) dengan karakteristik
sebagai berikut:
Kemampuan membaca anak harus secara bermakna lebih rendah
tingkatannya daripada kemampuan yang diharapkan berdasarkan pada
usianya, intelegensia umum, dan tingkatan sekolahnya.
Gangguan perkembangan khas membaca biasanya didahului oleh
riwayat gangguan perkembangan berbicara atau berbahasa.
Hakikat yang tepat dari masalah membaca tergantung pada taraf yang
diharapkan dari kemampuan membaca, berbahasa dan tulisan. Namun
dalam tahap awal dari belajar membaca tulisan abjad, dapat terjadi
kesulitan mengucapkan huruf abjad, menyebut nama yang benar dari
tulisan, memberi irama sederhana dari kata-kata yang diucapkan, dan
dalam menganalisis atau mengelompokkan bunyi (meskipun ketajaman

8
pendengaran normal). Kemudian dapat terjadi kesalahan dalam
kemampuan membaca lisan, seperti :
Terdapat kata atau bagiannya yang mengalami penghilangan,
penggantian, penyimpangan, atau penambahan
Kecepatan membaca yang lambat
Salah memulai, keraguan yang lama atau kehilangan bagian dari
teks dan tidak tepat menyusun kalimat
Susunan kata yang terbalik dalam kalimat, atau huruf yang terbalik
dalam kata
Dapat juga terjadi defisit dalam memahami bacaan, seperti
diperlihatkan oleh contoh :
Ketidak mampuan menyebut kembali isi bacaan
Ketidakmampuan untuk menarik kesimpulan dari materi bacaan
Lebih mengutamakan pengetahuan umum dalam menjawab suatu
pertanyaan dalam bacaan daripada menggunakan informasi yang
terdapat dalam bacaan tersebut
Gangguan emosional dan/atau perilaku yang menyertai biasanya timbul
pada masa usia sekolah. Masalah emosional biasanya lebih banyak pada
masa tahun pertama sekolah, tetapi gangguan perilaku dan sindrom
hiperaktivitas hampir selalu ada pada akhir masa kanak dan remaja.
F. Pemeriksaan Penunjang Dyslexia
Tidak ada tanda fisik atau ukuran laboratorium spesifik yang membantu di
dalam menegakkan diagnosis gangguan membaca. Diagnosis gangguan
membaca ditegakkan setelah mengumulkan data dari tes intelegensi standar
dan penilaian pencapaian pendidikan. Rangkaian diagnostik umumnya
mencakup tes mengeja standar, komposisi tulisan, memroses dan
menggunakan bahasa oral serta membuat salinan. Subtes membaca yaitu
Woodcock-Johnson Pyscho-Educational Battery-Revised, dan Peabody
Individual Achievement Test-Revised berguna untuk mengidentifikasi
ketidakmampuan membaca. Rangkaian proyektif penapisan dapat mencakup

9
gambar manusia, tes menceritakan gambar, dan melengkapi kalimat. Evaluasi
harus mencakup pengamatan sistematik mengenai variabel perilaku.
G. Prognosis Dyslexia
Anak dengan gangguan membaca mendapatkan pengetahuan dari bahasa
lebih lama daripada teman lainnya, Pada kasus yang berat dan bergantung
pada pola defisit dan kekuatan, terapi remedial dapat dilanjutkan hingga
sekolah menengah atau tingkat SMU.
H. Terapi Dyslexia
Banyak program terapi remedial yang efektif dimulai dengan mengajari
anak tersebut untuk membuat hubungan yang akurat antara huruf dan bunyi.
Setelah keterampilan itu dikuasai, terapi remedial dapat menargetkan
komponen maembaca yang lebih besar, seperti suku kata dan kata. Fokus pasti
setiap program membaca hanya dapat ditentukan setelah dlakukan penilaian
akurat mengenai defisit spesifik seorang anak serta kelemahannya. Strategi
koping mencakup kelompok membaca kecil dan terstruktur akan memberikan
perhatian individual sehingga membuat anak tersebut lebih mudah untuk
meminta bantuan. Program instruksi membaca dimulai dengan memusatkan
pada setiap huruf dan bunyi, kemudian meningkat ke penguasaan inti fonetik
sederhana, diikuti dengan menyatukan unit-unit ini menjadi kata dan kalimat.
Program terapi remedial membaca lainnya, seperti program Merill dan SRA
Basic Reading Program, dimulai dengan memperkenalkan keseluruhan kata
terlebih dahulu, kemudian mengajari anak bagaimana memecahnya dan
mengenali bunyi suku kata serta setiap huruf di dalam kata tersebut.
Pendekatan lain, seperti Bridge Reading Program, mengajari anak dengan
gangguan membaca untuk mengenali keseluruhan kata melalui penggunaan
bantuan visual dan memintas proses membunyikannya.

2.3.2. Gangguan Matematika (Dyscalculia)


A. Definisi Dyscalculia
Dyscalculia berasal dari bahasa Yunani, Dys artinya tanpa, tidak adekuat,
kesulitan dan Calculia/Calculare artinya berhitung. Dyscalculia adalah
gangguan pada kemampuan kalkulasi secara sistematis. Biasanya anak yang

10
tidak memahami proses matematis, ditandai dengan kesulitan mengerjakan
tugas yang melibatkan angka atau simbol matematis. Anak dengan gangguan
matematika memiliki kesulitan mempelajari dan mengingat angka, tidak dapat
mengingat fakta dasar mengenai angka, dan lambat serta tidak akurat di dalam
menghitung. Pencapaian yang buruk di dalam empat kelompok keterampilan
telah diidentifikasi di dalam gangguan matematika; keterampilan linguistik
(yang terkait dengan pemahaman istilah matematis dan mengubah soal tertulis
menjadi simbol matematika), keterampilan persepsi (kemampuan mengenali
dan memahami simbol dan mengurutkan serangkaian angka), keterampilan
matematis (penambahan, pengurangan, pengalian, pembagian dasar, dan
serangkaian operasi matematika dasar), serta keterampilan atensional
(menyalin angka dengan tepat serta mengamati simbol-simbol operasional
dengan benar).

B. Epidemiologi Dyscalculia
Prevalensi gangguan matematika diperkirakan terjadi dalam kira-kira 1
persen anak usia sekolah, yaitu satu dari lima anak dengan gangguan belajar.
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa hingga 6 persen anak-anak usia
sekolah memiliki kesulitan dalam matematika. Gangguan matematika lebih
sering terjadi pada anak perempuan.

C. Etiologi Dyscalculia
Timbulnya gangguan matematika serupa dengan gangguan belajar lain,
cenderung disebabkan sebagian oleh faktor genetik. Suatu teori awal
mengajukan defisit neurologis di hemisfer serebri kanan, terutama pada area
lobus oksipitalis. Regio ini bertanggung jawab untuk memproses stimulus
visuospasial yang selanjutnya bertanggung jawab untuk keterampilan
matematis. Saat ini penyebabnya dianggap multifaktor, sehingga faktor
kematangan, kognitif, emosional, pendidikan, dan sosioekonomik turut
berperan di dalam berbagai derajat dan kombinasi untuk gangguan

11
matematika. Ada beberapa faktor yang melatar belakangi gangguan ini, di
antaranya adalah sebagai berikut :
Kelemahan pada proses penglihatan atau visual
Anak yang memiliki kelemahan ini kemungkinan besar akan
mengalami dyscalculia. Ia juga berpotensi mengalami gangguan dalam
mengeja dan menulis dengan tangan
Bermasalah dalam hal mengurutkan informasi
Seorang anak yang mengalami kesulitan dalam mengurutkan dan
mengorganisasikan informasi secara detail, umumnya juga akan sulit
mengingat sebuah fakta, konsep ataupun formula untuk menyelesaikan
kalkulasi matematis. Jika problem ini yang menjadi penyebabnya, maka
anak cenderung mengalami hambatan pada aspek kemampuan lainnya,
seperti membaca kode-kode dan mengeja, serta apa pun yang
membutuhkan kemampuan mengingat kembali hal-hal detail
Fobia matematika
Anak yang pernah mengalami trauma dengan pelajaran matematika bisa
kehilangan rasa percaya dirinya. trauma tersebut bisa disebabkan oleh
beberapa hal. Misalnya, gurunya suka marah-marah, galak atau
memiliki wajah seram sehingga membuat anak-anak menjadi takut dan
mengakibatkan dirinya sulit menerima pelajaran tersebut. Selain itu
ketakutan yang sebenarnya dari pelajaran matematika adalah anak takut
jika jawaban yang didapatkannya salah, karena jawaban yang salah
berarti kegagalan sehingga anak dituntut untuk selalu bisa memberikan
jawaban yang benar. Padahal jawaban yang salah bukanlah suatu
kegagalan, tapi justru bisa membuat anak lebih memahami konsep
matematika dan menganalisis pikirannya. Anak yang pernah mengalami
trauma dengan pelajaran matematika bisa kehilangan rasa percaya
dirinya. Jika hal ini tidak diatasi segera, ia akan mengalami kesulitan
dengan semua hal yang mengandung unsur hitungan.
D. Gambaran Klinis Dyscalculia

12
Gambaran gangguan matematika yang lazim ditemukan mencakup
kesulitan dengan berbagai komponen matematika, seperti mempelajari nama
angka, mengingat tanda untuk penambahan dan pengurangan, mempelajari
tabel perkalian, menerjemahkan soal dalam kata menjadi perhitungan, dan
melakukan perhitungan dengan kecepatan yang diharapkan. Penderita
dyscalculia umumnya anak-anak, tetapi tidak secara spesifik menyerang
tingkat usia tertentu. Gangguan ini terutama terjadi pada saat anak menginjak
umur sekolah sekitar usia 7 tahun. Dyscalculia dapat terdeteksi pada usia
tersebut karena pada saat itu anak mulai sekolah dan belajar berhitung.
Penderita dyscalculia umumnya memiliki IQ normal, namun ada juga yang IQ
nya melebihi rata-rata atau cukup tinggi. Anak dyscalculia dapat berinteraksi
normal seperti anak biasa, komunikasi dan sosialisasi dengan lingkungan di
sekitarnya. Artinya dia dapat hidup dengan baik meskipun mengalami
kesulitan dalam berhitung. Persoalan yang dihadapi anak dengan dyscalculia
lebih pada kehidupannya sehari-hari. Beberapa hal berikut dapat digunakan
untuk melihat gejala atau ciri-ciri dyscalculia :
Tingkat perkembangan bahasa dan kemampuan lainnya normal, malah
seringkali mempunyai memori visual yang baik dalam merekam kata-
kata tertulis
Sulit melakukan hitungan matematis. Contoh sehari-harinya, ia sulit
menghitung transaksi (belanja), termasuk menghitung kembalian uang.
Seringkali anak tersebut jadi takut memegang uang, menghindari
transaksi, atau apa pun kegiatan yang harus melibatkan uang
Sering sulit membedakan tanda-tanda dalam hitungan
Sulit membedakan angka yang mirip, misalnya angka 6 dengan 9, 17
dengan 71
Sulit membedakan bangun-bangun geometri
Sulit melakukan proses-proses matematis, seperti menjumlah,
mengurangi, membagi, mengali, dan sulit memahami konsep hitungan
angka atau urutan

13
Sering melakukan kesalahan ketika melakukan perhitungan angka-
angka, seperti proses substitusi, mengulang terbalik, dan mengisi deret
hitung serta deret ukur
Terkadang mengalami disorientasi, seperti disorientasi waktu dan arah.
Si anak biasanya bingung saat ditanya jam berapa sekarang. Ia juga
tidak mampu membaca dan memahami peta atau petunjuk arah.
Selain gejala tersebut, dyscalculia dapat pula diamati tanda-tanda seperti
berikut ini :
Proses penglihatan atau visual lemah dan bermasalah dengan spasial
(kemampuan memahami bangun ruang). Dia juga kesulitan
memasukkan angka-angka pada kolom yang tepat
Kesulitan dalam mengurutkan, misalkan saat diminta menyebutkan
urutan angka.
Kebingungan menentukan sisi kiri dan kanan
Beberapa anak juga ada yang kesulitan menggunakan kalkulator
Umumnya memiliki kemampuan bahasa yang normal (baik verbal,
membaca, menulis atau mengingat kalimat yang tertulis)
Memberikan jawaban yang berubah-ubah (inkonsisten) saat diberi
pertanyaan penjumlahan, pengurangan, perkalian atau pembagian
Kesulitan mengingat skor dalam pertandingan olahraga
Orang dengan dyscalculia tidak bisa merencanakan keuangannya
dengan baik dan biasanya hanya berpikir tentang keuangan jangka
pendek
E. Pedoman Diagnostik Dyscalculia
Pedoman diagnostik gangguan matematika (dyscalculia) adalah Keymath
Diagnostic Arithmetic Test dengan prinsip sebagai berikut :
Gangguan ini meliputi hendaya yang khas dalam kemampuan berhitung
yang tidak dapat diterangkan berdasarkan adanya retardasi mental
umum atau tingkat pendidikan di sekolah yang tidak adekuat.
Kekurangannya ialah penguasaan pada kemampuan dasar berhitung

14
yaitu tambah, kurang, kali, bagi (bukan kemampuan matematik yang
lebih abstrak dalam aljabar, trigonometri, geometri atau kalkulus)
Kemampuan berhitung anak harus secara bermakna lebih rendah
daripada tingkat yang seharusnya dicapai berdasarkan usianya,
intelegensia umum, tingkat sekolahnya, dan terbaik dinilai dengan cara
pemeriksaan untuk kemampuan berhitung yang baku
Keterampilan membaca dan mengeja harus dalam batas normal sesuai
dengan umur mental anak
Kesulitan dalam berhitung bukan disebabkan pengajaran yang tidak
adekuat, atau efek langsung dari ketajaman penglihatan, pendengaran,
atau fungsi neurologis, dan tidak didapatkan sebagai akibat dari
gangguan neurologis, gangguan jiwa, atau gangguan lainnya
F. Pemeriksaan Penunjang Dyscalculia
Tidak ada tanda atau gejala fisik yang menunjukkan gangguan
matematika, tetapi uji edukasional dan ukuran fungsi intelektual standar
diperlukan untuk menegakkan diagnosis ini..
G. Prognosis Dyscalculia
Anak dengan gangguan matematika biasanya dapat diidentifikasi pada usia
8 tahun (kelas 3). Pada beberapa anak, gangguan ini dapat terlihat pada usia 6
tahun (kelas 1); pada anak lain, bisa terlihat hingga usia 10 tahun (kelas 5)
atau lebih. Di sisi lain, anak dengan gangguan matematika sedang yang tidak
mendapatkan intervensi bisa mengalami komplikasi, termasuk kesulitan
akademik yang berlanjut, rasa malu konsep diri yang buruk, frustasi, dan
depresi. Komplikasi ini dapat menimbulkan keengganan untuk datang ke
sekolah, bolos, dan akhirnya putus asa mengenai keberhasilan akademiknya.
H. Terapi Dyscalculia
Saat ini terapi yang paling efektif untuk gangguan matematika
menggabungkan antara mengajarkan konsep matematika dengan visual,
auditory, motoric, dan repetisi terus-menerus di dalam menyelesaikan soal
matematika. Defisit keterampilan sosial dapat turut berperan di dalam
keengganan anak untuk meminta bantuan sehingga anak yang diidentifikasi

15
dengan gangguan matematika bisa mendapatkan keuntungan dari
mendapatkan keterampilan menyelesaikan masalah di dalam lingkungan sosial
juga di dalam matematika.12

2.3.3. Gangguan Ekspresi Tertulis (Dysgraphia)


A.
Definisi Dysgraphia
Dysgraphia berasal dari bahasa Yunani, Dys artinya tanpa, tidak adekuat,
kesulitan dan Graphia artinya menulis. Dysgraphia adalah gangguan ekspresi
tulisan yang ditandai dengan keterampilan menulis yang secara signifikan di
bawah tingkat yang diharapkan untuk usia dan kapasitas intelektual anak.
Kesulitan ini mengganggu kinerja akademik dan tuntutan untuk menulis
dalam kehidupan sehari-hari. Banyak komponen gangguan ekspresi tertulis
mencakup mengeja yang buruk, kesalahan tata bahasa dan tanda baca, serta
tulisan tangan yang buruk.
B.
Epidemiologi Dysgraphia
Prevalensi gangguan menulis saja belum dipelajari, tetapi gangguan
membaca, diperkirakan terjadi pada kira-kira 4 persen anak usia sekolah.
Diperkirakan bahwa rasio gender pada gangguan menulis serupa dengan
gangguan membaca, terjadi sekitar tiga kali lebih banyak pada laki-laki.
Gangguan menulis sering terjadi bersama dengan gangguan membaca, tetapi
tidak selalu. Anak dengan gangguan menulis memiliki risiko lebih tinggi
untuk mengalami berbagai gangguan belajar dan bahasa lainnya termasuk
gangguan membaca, gangguan matematika, dan gangguan bahasa ekspresif
serta repesitif. Anak dengan gangguan menulis diyakini memiliki risiko tinggi
untuk mengalami kesulitan keterampilan sosial, dan beberapa di antaranya
terus memiliki kepercayaan diri yang buruk serta mengalami gejala depresif.
C.
Etiologi Dysgraphia
Secara spesifik penyebab dysgraphia tidak diketahui secara pasti, namun
apabila dysgraphia terjadi secara tiba-tiba pada anak maupun orang dewasa
maka diduga disgrafia disebabkan oleh trauma kepala yang mungkin
disebabkan kecelakaan, penyakit, dan yang lainnya. Seperti halnya dyslexia,

16
dysgraphia juga disebabkan faktor neurologis, yakni adanya gangguan pada
otak bagian kiri depan yang berhubungan dengan kemampuan membaca dan
menulis. Anak mengalami kesulitan dalam harmonisasi secara otomatis antara
kemampuan mengingat dan menguasai gerakan otot menulis huruf dan angka.
Kesulitan ini tidak terkait dengan masalah kemapuan intelektual, kemalasan,
asal-asalan menulis, dan tidak mau belajar. Selain itu, tampaknya faktor
genetik memainkan peranan di dalam timbulnya gangguan ekspresi tertulis.
Predisposisi herediter terhadap gangguan ini disokong dengan temuan bahwa
sebagian besar anak dengan gangguan ekspresi tertulis memiliki kerabat
derajat pertama dengan gangguan ini. Anak dengan rentang perhatian yang
terbatas dan sangat mudah teralih perhatiannya dapat merasakan bahwa
menulis merupakan tugas yang melelahkan.
D.
Gambaran Klinis Dysgraphia
Ada beberapa ciri khusus anak dengan gangguan dysgraphia, antara lain
sebagai berikut :
Anak dapat berkomunikasi dengan baik namun bermasalah dalam
kemampuan menulis
Menggunakan tanda baca yang tidak benar, ejaan yang salah,
mengulang kalimat atau perkataan yang sama
Salah dalam mengartikan pertanyaan yang diberikan
Sulit menulis nomor dalam urutannya
Tidak konsisten dalam membuat tulisan yang bervariasi dalam
kemiringan huruf dan ukuran tulisan
Kalimat atau kata ditulis tidak lengkap dan sering terdapat huruf atau
kata yang terlewat
Garis dan batas halaman kertas tidak sama antara satu halaman dengan
halaman yang lain
Jarak antar kata tidak konsisten

17
Menggenggam alat tulis dengan sangat erat, biasanya anak dengan
dysgraphia menulis dengan bertumpu pada pangkal lengan dan
memegang pensil hingga menempel di kertas
Sering berbicara sendiri saat menulis
Selalu memperhatikan tangan yang sedang menulis
Lambat dalam menulis
Anak dengan gangguan ekspresi tertulis memiliki kesulitan di awal
sekolahnya dalam mengeja kata-kata dan di dalam mengekspresikan
pikirannya sesuai dengan norma tata bahasa yang sesuai usia. Gambaran lazim
gangguan ekspresi tertulis ini mencakup kesalahan pengejaan, kesalahan tata
bahasa, kesalahan tanda baca, penyusunan paragraf yang buruk, dan tulisan
tangan yang buruk. Gambaran lain yang terkait pada gangguan ini mencakup
penolakan atau keengganan untuk pergi ke sekolah dan melakukan pekerjaan
rumah tertulis yang ditugaskan, kinerja akademik yang buruk di area lain
(contoh: matematika), penghindaran umum terhadap pekerjaan sekolah, bolos,
defisit atensi, dan gangguan tingkah laku. Banyak anak dengan gangguan
ekspresi tertulis menjadi frustasi dan marah karena perasaan kekurangan dan
kegagalan kinerja akademik. Pada kasus yang berat, gangguan depresif dapat
timbul akibat semakin tumbuhnya rasa isolasi, asing, dan putus asa.
E.
Pemeriksaan Penunjang Dysgraphia
Meskipun tidak ada stigmata fisik pada gangguan menulis, tes pendidikan
digunakan dalam menegakkan diagnosis gangguan ekspresi tertulis. Tes
bahasa tertulis yang sekarang tersedia mencakup TOWL, DEWS, dan Test of
Early Written Languange (TEWL). Seorang anak yang dicurigai memiliki
gangguan ekspresi tertulis pertama kali harus diberikan tes intelektual standar,
seperti WISC-III atau Wechsler Adult Intelligence Scale yang telah direvisi
(WAIS-R) untuk menentukan kapasitas intelektual keseluruhan seorang anak.
F.
Prognosis Dysgraphia
Pada kasus yang berat, gangguan ekspresi tertulis tampak nyata pada usia
7 tahun (kelas dua), pada kasus yang lebih ringan, gangguan ini bisa tidak

18
terlihat jelas hingga usia 10 tahun (kelas lima) atau lebih. Sebagian besar
orang dengan gangguan ekspresi tertulis ringan atau sedang cukup baik jika
mereka mendapatkan edukasi remedial pada waktu yang tepat di awal masa
sekolah dasarnya. Gangguan ekspresi tertulis yang berat memerlukan terapi
remedial yang ekstensif dan berkelanjutan sepanjang bagian akhir masa SMU
dan bahkan hingga akademi. Prognosis bergantung pada keparahan gangguan,
usia atau kelas ketika intervensi remedial dimulai, lama dan keberlanjutan
terapi, dan ada atau tidak adanya masalah perilaku atau emosional sekunder
atau terkait.
G.
Terapi Dysgraphia7
Terapi remedial untuk gangguan ekspresi tertulis mencakup praktik
langsung mengeja dan menulis kalimat, serta mengkaji ulang aturan tata
bahasa. Pemberian terapi menulis kreatif dan ekspresif yang intensif,
berkelanjutan dan dirancang khusus secara individual dan satu-satu tampak
memberi hasil yang baik.

19
2.3.4 Attention Deficit/Hyperactive Disorder
A. Definisi
Merupakan gangguan belajar kronik terbanyak yang tedapat pada anak
usia sekolah. ADHD memiliki karakteristik kurangnya konsentrasi dan
peningkatan sensitifitas untuk kegaduhan dan kemampuan mempertahankan
perhatian yang rendah, kontrol impuls yang rendah, penurunan kapasitas
kemampuan menahan keinginan, dan moto-overactivity.

B. Epidemiologi
Studi prevalensi menyebutkan bahwa secara global dilaporkan bahwa 5
10% anak usia sekolah memiliki ADHD walaupun studi dilakukan secara
random sampling dan cara yang berbeda pada tiap negara. Sekitar 2% dari
dewasa memiliki gejala ADHD. Terkadang ADHD pada anak dan remaja tidak
terdiagnostik sehingga tidak tertalaksana sehingga mempengaruhi masa
dewasa.

C. Etiologi dan Faktor Risiko


Masih belum ditemukan faktor etiologi dari ADHD, kemungkinan ADHD
merupakan variasi komplek dari proses gangguan perkembangan mental. Ibu
dari penyandang ADHD biasanya memiliki riwayat komplikasi selama hamil
dan melahirkan, seperti toksemia, persalinan memanjang, serta riwayat
alkohol, merokok dan penggunaan obat-obatan selama hamil merupakan salah
satu faktor risiko dari ADHD.

D. Manifestasi Klinis
Kriteria diagnostik
Memiliki 1 atau 2 dari gejala maladapti dan inkonsisten
perkembangan dari:
Konsentrasi
Sering melakukan kesalahan pada hal detail atau melakukan
kesalahan pada hal mudah saat sekolah, bekerja atau bermain.

20
Sering kesulitan dalam hal mempertahankan konsentrasi dalam
ujian atau permainan yang membutuhkan konsentrasi
Sering terlihat tidak mendengarkan saat berbicara padanya
Sering tidak terlihat mengikuti instruksi
Kesulitan dalam aktifitas kelompok atau berorganisasi
Tidak menyukai hal yang membutuhkan ketahanan mental seperti
sekolah
Mudah kehilangan baran
Mudah terganggu dengan hal kecil
Mudah lupa dengan agenda kegiatannya
Hiperaktifitas
Sering menggerakkan tangan atau kaki saat istirahat
Sering meninggalkan kelas terutama saat membutuhkan waktu
untuk duduk lama seperti saat ujian.
Sulit untuk bermain pada permainan yang membutuhkan
ketenangan
Suka memanjat dan melakukan aktifitas berpergian yang
berlebihan.
Memberikan jawaban sebelum pertanyaan selesai diberikan
Kesulitan untuk menunggu giliran
Suka mengganggu atau interupsi kegiatan orang lain.
Terkadang gejala impulsif hyperaktif dan gangguan konsentrasi
muncul sebelum usia 7 tahun
Gejala dapat terlihat pada kondisi berbeda seperti disekolah, rumah,
atau ditempat lainnya.
Merupakan bukti yang signifikan dalam mempengaruhin kegiatan
social, belajar, dan bekerja
Gejala timbul bukan disertai faktor lain yang membedakannya dengan
gangguan mood, ansietas, disosiatif maupun kepribadian.

21
E. Diagnosis Banding
Penyakit kronik seperti migraine, absance, kejang, asma, alergi,
kelainan hematologi, diabetes, dan kanker menyebabkan sekitar 20%
anak di Amerika memperngaruhi konsentrasi dan prestasi sekolah, baik
itu dipengaruhi oleh penyakit ataupu terapi yang diberikan.
Gangguan tidur
Depresi dan gangguan ansietas

F. Tatalaksana
Terapi psikososial
Terapi orientasi perilaku
Medikasi
Menggunakan obat-obatan yang bersifat psychosimultant termasuk
methylphenidate, 25% pasien memiliki respon optimal pada pemberian dosis
rendah (<20mg/hari), 25% pada dosis medium (20-50 mg/hari), 25% dosis tinggi
(>50 mg/hari), dan 25% lainnya tidak memiliki respons terapi. Sehingga setiap
bulan perlu dikontrol untuk memantau diperlukannya atau tidak penambaham
dosis terapi.
G. Prognosis
Anak yang terdiagnosis ADHD biasanya 60-80% akan berujung dengan
ADHD persisten. Pada anak dengan ADHD gejala yang dimiliki dapat semakin
menonjol ataupun berkurang seiring bertambahnya umur. Variasi yang berbeda
pada tiap anak yang terdiagnostik ADHD dapat mempengaruhi keadaan ketika
dewasa sehingga dapat mempengaruhi prestasi belajar, kebiasaan, karir pekerjaan,
hubungan keluarga dan hubungan terhadap pasangan.

2.3.5 Intellectual Dissability


A. Definisi

22
Menurut American Association on Intellectual and Developmental
Dissabilites (AAIDD) dan Individuals with Dissabilities Education Act
(IDEA) membaginya menjadi tiga kriteria yang memiliki maknanya tersendiri
yaitu:
Intelektual dibawah rata-rata
Nilai test intelektual yang didapatkan berada dibawah 2 standar deviasi
(SD). Jika nilai mean pada suatu test adalah 10 dengan SD 15, sedangkan
nilai skor dibawah 70 maka sesuai dengan kriteria ini,namun tidak semua
hasil intelektual dibawah rata-rata merupakan intelektual disorder karena
masih banyak terdapat kemungkinan untuk terjadinya positif palsu.
Kemampuan adaptasi yang rendah
Adaptasi merupakan kemampuanyang harus dimiliki oleh setiap orang,
kemampuan adaptasi dapat dibagi dalam tiga bentuk berdasarkan klasifikasi
yaitu DSM-IV-TR, AAIDD, dan IDEA.
Klasifikasi DSM-IV-TR
Communication
Self-care
Home living
Social and interpersonal skills
Use of community resources
Self-direction
Functional academics
Work
Leisure
Health and safety
Ketidakmampuan adaptasi dapat disimpulkan jika 2 dari 10t
kemampuan ini tidak dimiliki.
Klasifikasi AAIDD
Konseptual

23
Social
Praktek

Klasifikasi IDEA
IDEA menunjukkan bahwa untuk kemampuan adaptasi seseorang dapat
dilihat pada nilai kognitif yang mempengaruhi dikegiatan sekolah.
Onset muncul sebelum usia 18 tahun
Untuk diagnosis intellectual disability dapat ditegakkan ketika masa
perkembangam sebelum usia 18 tahun, namun kemampuan kognitif dan
adaptasi mungkin masih belum bermanifestasi sebelum usia 18 tahun.

B. Etiologi
Terdapat 2 populasi yang bersifat overlapping dalam kasus anak dengan
intellectual dissabilty, yaitu yang berhubungan dengan lingkungan, dan yang
berhubungan dengan sebab biologi. Intellectual disability banyak ditemukan
pada anak yang memiliki ibu tidak menamatkan sekolah menengah
atas/sederajat, namun ini dapat memberikan kesan bahwa penyebabnya adalah
genetik yang diturunkan oleh orang tua dan lingkungan social ekonomi yaitu
kemiskinan dan kekurangan nutrisi. Untuk penyebab biologi dapat disebabkan
oleh kelainan kromosom seperti multiple, Williams syndrome, sex kromosom,
dan juga dapat disebabkan oleh faktor yang terjadi selama masa kehamilan
atau embryogenesis.

C. Epidemiologi
Statistika amerika menyebutkan bahwa 2.5% populasi memiliki intellectual
disability dan hanya 1.1% dari anak usia sekolah atau sekitar 556.000 yang
menerima pelayanan khusus dukungan sekolah karena sulitnya mendiagnosis
intellectual disability.

D. Manifestasi Klinis

24
Umur Klinis
Newborn Kelainan kongenital, disfungsi organ
2-4 bulan Gagal berinteraksi dengan
lingkungan, tidak focus mendengar
atau melihat
6-18 bulan Gross motor delay
2-3 tahun Keterlambatan berbicara
3-5 tahun Kesulitan berbicara, dan
keterlambatan penyesuaian
lingkungan termasuk dalam
bermain, terlambat dalam fine motor
skills
>5 tahun Prestasi akademik, gangguan prilaku
(konsentrasi, kecemasan, mood)

E. Skrining Diagnosis
Skrining diagnosis intellectual disability dapat menggunakan Vineland
Adaptive Behaviour Scale (VABS) yang merupakan semistruktur wawancara
dengan orang tua, pengasuh, dan guru yang menilai dalam 4 domain yaitu
komunikasi, kemampuan keseharian, sosialisasi dan kemampuan motorik.

F. Tatalaksana
Manajemen Interdisiplin
Manajemen interdisiplin yang melibatkan banyak pihak mulai dari
dokter,nutrisionist, perawat, audiology,neurology dan lainnya dapat
memberikan masukan untuk penatalaksanaan lanjutan terbaik bagi pasien
Re-evaluasi
Evaluasi secara periodik diperlukan pada pasien intellectual disability untuk
melihat perkembangan yang telah dicapai baik dalam lingkungan
keluarga,sekolah dan bermain agar dapat memberikan informasi tambahan
yang diperlukan untuk pemberian terapi selanjutnya
Edukasi dan konseling keluarga
Hiburan Rekreasi

25
2.3.6 Language Development and Communication Disorders

A. Epidemiologi
Gangguan bicara dan bahasa sangat umum terjadi pada usia prasekolah.
Hampir 20% dari anak usia 2 tahun mengalami keterlambatan bicara. Pada usia 5
tahun, sekitar 6% anak-anak diidentifikasi memiliki gangguan bicara, 5%
memiliki gangguan bicara dan bahasa, dan 8% memiliki gangguan bahasa. Anak
laki-laki hampir dua kali lebih mungkin memiliki gangguan bahasa atau bahasa
yang dikenali sebagai anak perempuan.

B. Etiologi
Kemampuan bahasa normal adalah fungsi kompleks yang tersebar luas
melintasi otak melalui jaringan syaraf yang saling berhubungan dan
tersinkronisasi untuk aktivitas tertentu. Faktor genetik nampak memainkan peran
penting dalam mempengaruhi bagaimana anak-anak belajar berbicara.
Penelusuran yang hati-hati terhadap riwayat keluarga dapat mengidentifikasi
masalah bahasa atau bicara yang dialami anak saat ini atau pada masa yang lalu.
Anak-anak yang memiliki orang tua dengan kesulitan bahasa mungkin
diperkirakan mengalami rangsangan bahasa yang buruk dan mendapatkan model
bahasa yang tidak tepat namun, studi pada pasien kembar menunjukkan
konkordansi tingkat untuk skor tes bahasa rendah dan / atau riwayat terapi wicara
sekitar 50% pada pasangan dizigotik, meningkat menjadi lebih dari 90% pada
pasangan monozigot. Anak yang mengalami gangguan bahasa biasanya memiliki
spektrum gangguan bahasa ekspresif dan reseptif serta masalah dalam memahami
tatabahasa.
C. Patogenesis
Gangguan bahasa dikaitkan dengan defisit fundamental kapasitas otak
untuk memproses informasi yang kompleks dengan cepat. Biasanya gangguan
terjadi serentak antara evaluasi kata (semantik), kalimat (sintaks), prosodi (nada
suara), dan isyarat sosial yang akhirnya menghambat kemampuan anak untuk
memahami dan merespon dengan tepat komunikasi verbal. Keterbatasan jumlah

26
informasi yang bisa disimpan dalam memori kerja verbal yang selanjutnya
membatasi tingkat informasi bahasa yang mampu diproses.
Studi elektrofisiologi menunjukkan latensi abnormal pada fase awal proses
pendengaran pada anak-anak dengan gangguan bahasa. Neuroimaging
mengidentifikasi berbagai kelainan anatomi di daerah otak yang penting untuk
pengolahan bahasa. MRI pada anak-anak dengan gangguan bahasa tertentu (SLI)
mengungkapkan adanya lesi pada white matter , kehilangan volume white matter,
pembesaran ventrikel, grey matter fokal heterotopia di bagian kanan dan kiri
parietotemporal putih materi, morfologi abnormal gyrus frontal inferior, pola
asimetri atipikal pada korteks bahasa, atau peningkatan ketebalan korpus callosum
pada minoritas anak-anak yang terkena dampak.
D. Manifestasi Klinis
Gangguan primer perkembangan wicara dan bahasa sering terjadi tanpa
adanya disfungsi kognitif atau motorik yang lebih umum. Gangguan komunikasi
adalah komorbid yang paling umum pada orang dengan gangguan kognitif umum
(gangguan intelektual atau autisme), anomali struktural organ-organ bicara
(Insufisiensi velofaringeal dari celah langit-langit), dan kondisi neuromotor yang
mempengaruhi koordinasi motorik lisan (dysarthria atau gangguan neuromuskular
lainnya).
E. Klasifikasi
Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental Psikiatrik Amerika
Serikat, Edisi Kelima (DSM-5) mengatur gangguan komunikasi menjadi :
(1) gangguan bahasa (yang menggabungkan ekspresif dan campuran g
angguan bahasa reseptif-ekspresif), gangguan suara ucapan (fonologis), dan
gangguan kelancaran berbahasa (gagap)
(2) gangguan komunikasi sosial (pragmatik), yang bersifat persisten
kesulitan dalam penggunaan sosial komunikasi verbal dan nonverbal
Dalam praktik klinis, gangguan bicara dan bahasa pada masa anak-anak
dikategorikan menjadi :
1. Spesific Language Impairment (Kerusakan Bahasa Tertentu)

27
Juga disebut sebagai dysphasia perkembangan atau gangguan
perkembangan bahasa . SLI ditandai dengan perbedaan yang signifikan antara
tingkat kognitif anak secara keseluruhan (biasanya kecerdasan nonverbal) dan
tingkat bahasa fungsional. Anak-anak ini biasanya mengalami defisit dalam
pengertian dan penggunaan kata baik secara semantik maupun struktur bahasa.
Seringkali, anak-anak dengan SLI mengalami keterlambatan mulai pandai bicara.
Dan yang paling penting, mereka biasanya mengalami kesulitan memahami
bahasa lisan.
Banyak anak dengan SLI pada gangguan bahasa menunjukkan pola
perkembangan bahasa yang holistik, mereka biasanya mengulangi hafalan kalimat
atau dialog dari film atau cerita (echolalia). Berbeda dengan kesulitan bicara
mereka, anak-anak dengan SLI tampak belajar secara visual dan menunjukkan
kemampuan mereka pada kecerdasan non verbal. Setelah anak-anak dengan SLI
menjadi pembicara yang fasih, umumnya mereka kurang mahir menghasilkan
narasi lisan dibandingkan dengan teman sebayanya. Cerita mereka cenderung
lebih pendek dan mencakup proposisi lebih sedikit, terutama ide cerita, atau
elemen tatabahasa dalam cerita yang mereka buat.
Meski mereka mengalami kesulitan berinteraksi dengan rekan
sebayanyakarena terjadi gangguan komunikasi, namun biasanya mereka da[pat
bermain dengan baik dengan teman sebayanya. Mereka terlibat dalam permainan
berpura-pura, menunjukkan imajinasi, berbagi emosi (afektif), dan menunjukkan
perilaku referensi bersama yang sesuai untuk usia mereka
2. Gangguan Bahasa Tingkat Tinggi

Seiring anak dewasa, kemampuan berkomunikasi secara efektif dengan


orang lain tergantung pada penguasaan berbagai keterampilan yang
menjembataninya untuk memahami kata-kata dan aturan tata bahasa tertentu.
Kemampuan bahasa tingkat tinggi, termasuk pengembangan kosakata lanjutan,
pengertian hubungan kata, keterampilan penalaran, kemampuan untuk memahami
berbagai hal melalui perspektif orang lain, dan kemampuan untuk memparafrase

28
dan kemampuan mengulang kata-kata. Selain itu, kemampuan bahasa tingkat
tinggi termasuk pragmatis. Keterampilan ini yang menjadi dasar interaksi sosial.
Keterampilan meliputi pengetahuan dan pemahaman tentang percakapan
seseorang, pengetahuan tentang konteks sosial di mana percakapan itu
berlangsung, dan pengetahuan umum tentang dunia sosial dan linguistik Orang
yang mengalami gangguan dalam hal ini biasanya mengalami kesulitan
membentuk dan mempertahankan hubungan. Di sekolah, anak-anak dengan SPCD
dapat dikecualikan secara sosial dan / atau diintimidasi
3. Kecacatan Intelektual
Sebagian besar anak dengan tingkat kecacatan intelektual ringan belajar
berbicara lebih lambat dari normal. Mereka mengikuti urutan bahasa yang normal
dengan lambat namun akan kesulitan dengan konsep bahasa tingkat tinggi. Orang
dengan tingkat kecacatan intelektual sedang sampai parah dapat mengalami
kesulitan dalam memperoleh keterampilan komunikasi dasar. Sekitar setengah
dari orang dengan IQ <50 mampu berkomunikasi menggunakan kata tunggal atau
ungkapan sederhana dan sisanya biasanya menggunakan bahasa nonverbal.
4. Gangguan Perkembangan Autisme dan Pervasif
Pola pengembangan bahasa yang tidak teratur adalah salah satu bentuk
utama dari Autisme dan gangguan perkembangan pervasif lainnya. Profil bahasa
anak autis sering tidak dapat dibedakan dengan anak yang mengalami SLI.
Namun poin kunci dari perbedaan antara kondisi ini adalah kurangnya hubungan
sosial timbal balik yang mencirikan anak autis, dan terdapatnya keterbatasan
dalam kemampuan untuk mengembangkan permainan fungsional, simbolis, atau
berpura-pura, dan adanya gangguan obsesif terhadapa suatu hal yang sama serta
penolakan terhadap perubahan. Sekitar 75-80% anak autis juga cacat intelektual,
dan hal ini dapat membatasi kemampuan mereka untuk mengembangkan
kemampuan komunikasi fungsional.

Kemampuan bahasa pada anak autis bisa berkisar dari tidak punya sama
sekali hingga kemampuan yang utuh dalam memahami struktur bahasa, tapi tetap
terbatas dalam memfungsikan bahasa secara sosial. Orang autis memiliki
keahlian yang sangat khusus, namun tersembunyi. Kecerdasan tersebut bisa

29
berupa perhitungan kalender dan hyperlexia . Regresi dalam bahasa dan
keterampilan sosial terjadi pada sekitar sepertiga anak autis, biasanya sebelum
usia 2 thn. Tidak ada penjelasan untuk fenomena ini.
5. Asperger Syndrome
Meski memiliki banyak karakteristik yang sama dengan autisme, individu
dengan Asperger Sindrom biasanya menunjukkan perkembangan bahasa yang
normal pada awal kehidupannya. Namun saat mereka dewasa, gangguan dalam
ketertiban sosial dan bahasanya biasanya menjadi ciri menonjol dari gangguan ini.
Anak-anak dengan sindrom Asperger biasanya memiliki rentang minat yang
sangat terbatas namun sangat digandrungi, sehingga mengganggu pembelajaran
keterampilan lain dan kemampuan adaptasi sosial mereka. Anak-anak ini mungkin
sering tampak bertele-tele, suka berbicara panjang tentang topik yang mereka
minati dengan sedikit sekali perhatian terhadap reaksi orang lain. Intonasi bicara
mereka bisa tidak sesuai dengan isi pembicaraanya, dan seringkali volume yang
digunakan saat bicara tidak sesuai dengan keadaan.

6. Mutisme Selektif
Mutisme selektif didefinisikan sebagai kegagalan untuk berbicara dalam
situasi sosial tertentu. Biasanya gangguan bicara merupakan gejala dari gangguan
kecemasan yang mendasarinya. Anak-anak dengan mutasi selektif bisa berbicara
dengan normal di keadaan tertentu, seperti di dalam rumah mereka atau saar
mereka hanya dengan orang tua mereka, namun mereka gagal berbicara di
keadaan lain seperti di sekolah atau di tempat lain di luar rumah mereka.

Gejala yang terkait dengan mutisme selektif biasanya dapat berupa rasa
malu, penarikan diri, ketergantungan pada orang tua, dan perilaku oposisi.
Sebagian besar kasus mutisme selektif bukan hasil dari trauma terhadap suatu
peristiwa, melainkan merupakan manifestasi dari kegelisahan yang kronis .
Seringkali, satu atau kedua orang tua dari seorang anak dengan mutisme memiliki
riwayat gejala kecemasan, diantaranya rasa malu masa kecil, kecemasan sosial,
atau serangan panik. Ini menunjukkan ecemasan anak merupakan sifat keluarga,
namun ada juga yang bersifat idiopatik. Pengobatan mutisme selektif harus fokus
pada mengurangi kecemasan umum daripada berfokus hanya pada perilaku bisu.

30
Mutisme selektif mencerminkan kesulitan interaksi sosial bukan gangguan
pengolahan bahasa.
7. Gangguan Motoric Bicara
a. Dysarthria
Gangguan motorik bicara dapat disebabkan oleh serebral palsy, muscular
dystrophy, myopathy, facial palsy. Menyebabkan gangguan pada kemampuan
berbicara dan yang lainnya seperti tersenyum dan mengunyah. Kekurangan tenaga
dan kontrol otot menghasilkan sifat kata seperti menyatunya huruf vokal.
Kemampuan berbicara sering menjadi lebih lambat dan sulit. fungsi velofaringeal
yang kurang dapat menyebabkan resonansi campuran nasal (hyper atau
hyponasal).
b. Gangguan apraxia pada anak
Kesulitan dalam perencanaan dan pergerakan dalam berbicara dapat
menyebabkan gangguan inkonsistensi dalam berbicara. Ketika disuruh untuk
mengulang atau menirukan pembicaraan atau suara anak yang memiliki gangguan
apraxia akan kesulitan menirukannya.
Gangguan Fonologi
Anak yang memiliki gangguan fonologi dapat dilihat dengan adanya
kesalahan dalam artikulasi yang bukan disebabkan oleh kelainan pada
neuromotorik namun karena ketidakmampuan untuk memahami dan
mencocokkan suara yang dibutuhkan untuk menghasilkan kata. Berbeda dengan
gangguan apraxia, gangguan fonologi menghasilkan kata yang lancar walaupun
tidak dapat dipahami maknanya dikarenakan banyaknya kesalahan dalam
artikulasi. Anak yang memiliki gangguan fonologi risiko merupakan faktor risiko
tinggi dalam gangguan belajar dan membaca.
c. Gangguan Pendengaran
Ketidakmampuan dalam mendengar merupakan salah satu faktor mayor
dalam gangguan perkembangan bicara. 16-30 / 1000 anak yang memiliki
gangguan pendengaran yang sedang sampai berat merupakan faktor yang cukup
berpengaruh dalam proses pendidikan. Tipe gangguan pendengaran yang paling
sering terjadi adalah tipe konduksi atau defisit sensorineural. Walaupun hampir

31
tidak mungkin untuk menegakkan diagnosis jenis gangguan pendengaran pada
anak, namun derajat gangguan pendengaran, umur onset, dan lamanya gangguan
sangat berpengaruh dalam kemampuan akademik anak.
d. Kasus langka keterlambatan berbicara
Hyperlexia
Landau-kleffner syndrome
Kelainan metabolic dan neurodegeneratif

e. Keterlambatan bicara tanpa sebab


Kemampuan berbicara pada anak kembar akan sama dengan yang tidak,
namun terkadang pada anak kembar kemampuan berbicara dapat berbeda pada
masing-masing anak yang masih belum diketahui penyebabnya. Namun salah satu
faktor yang mempengaruhi adalah keseringan anak untuk berbicara sendiri, yaitu
ketika anak sudah mulai mengenal suara dan kata mencoba untuk mempraktikan
dengan memulai untuk berbicara pada dirinya sendiri akan berbeda dengan anak
yang tidak melakukannya.
F. Evaluasi Diagnosis
Dalam penegakan diagnosis gangguan bicara perlu dilakukan evaluasi faktor lain
yang dapat mempengaruhi perkembangan anak dan penatalaksanaan selanjutnya,
yaitu:
Psikologi
Kognitif
Kebiasaan sosial
Evaluasi penyakit penyerta lain

Evaluasi untuk dilakukannya pemeriksaan bicara jika


Umur Reseptif Ekspresif

15 bulan Tidak mampu Tidak bisa lebih


focus pada 5-10 dari 3 kata
objek

18 bulan Tidak mampu Belum bisa


mengikuti perintah menggunakan kata

32
sederhana panggilan (mama,
papa)

24 bulan Tidak mampu Tidak bisa


menunjuk bagian menggunakan lebih
tubuh atau gambar dari 25 huruf
yang diberi nama

30 bulan Tidak memberi Tidak mampu


respon anggukan menggunakan 2
atau menggeleng frase, termasuk
terhadap menggunakan
pertanyaan kombinasi kata
kerja dan benda

36 bulan Tidak mampu Kosakata kurang


menuruti perintah dari 200
2 langkah

G. Penatalaksanaan
Pemberian terapi dalam tatalaksana gangguan bicara pada anak dapat
meliputi berbagai disiplin ilmu yang terkait dan dapat dibagi menjadi:
Lexicon: memperbanyak kosakata
Semantics: meningkatkan pemahaman kata
Pragmatics: meningkatkan pengetahuan dalam meluaskan
pemahaman kata kebentuk kalimat dan menggunakannya dalam
interaksi social

Terapi yang dijalani dapat dalam bentuk personal, kelompok kecil, bahkan
interaksi kelas yang membantu dalam bentuk membuat situasi lebih natural agar
kelompok belajar mampu mengembangkan diri masing-masing.
H. Prognosis
Anak dengan gangguan keterlambatan berbicara memiliki prognosis yang
lebih baik untuk pembelajaran, kemampuan berbahasa, dan interaksi sosial

33
terutama yang telah mendapat terapi dan tidak memiliki faktor komorbid seperti
intelegensi nonverbal yang rendah, gangguan psikiatri, dan gangguan neurologis.

34
BAB III
KESIMPULAN

Gangguan Belajar adalah defisit anak dan remaja di dalam mencapai


keterampilan membaca, menulis, berbicara, penggunaan pendengaran,
memberikan alasan, matematika, dan konsentrasi dari yang diharapkan,
dibandingkan dengan anak lain berusia sama dan dengan kapasitas intelektual
yang sama. Gangguan Belajar disebabkan oleh berbagai faktor, yakni faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam
atau yang berasal dari dalam individu itu sendiri, seperti gangguan ringan pada
otak atau defisit neurologis sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal
dari luar individu itu sendiri, seperti keluarga dan sekolah. Jenis-jenis gangguan
belajar antara lain gangguan membaca (dyslexia), gangguan matematika
(dyscalculia), gangguan ekspresi tertulis (dysgraphia), dan gangguan konsentrasi /
Attention Deficit Hyperactive Disorder (ADHD), intellectual dissability, dan
gangguan bicara dan berbahasa. Prognosis gangguan belajar tergantung pada
keparahan gangguan, usia atau kelas ketika intervensi remedial dimulai, lama dan
keberlanjutan terapi, dan ada atau tidak adanya masalah perilaku atau emosional
sekunder atau terkait. Jika gangguan belajar terdiagnosis lebih awal, maka terapi
dapat diberikan lebih awal sehingga prognosis semakin baik.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Desmond p, Sally e, Mindo J. 2016. Learning Disorders. dalam (Kliegman,


Stanton). Nelson Textbook of Pediatrics 20th edition. Philadelphia:library of
congress cataloging-in publication data
2. Dhamayanti M, Herlina M. 2009. Skrining Gangguan Kognitif dan Bahasa
dengan Menggunakan Capute Scales (Cognitive Adaptive Test/Clinical
Linguistic & Auditory milestone Scale-cat/Clams). Bandung: Sari pediatri
Ikatan Dokter Anak Indonesia.
3. Lenge M, Thompson B. 2006. Early Identification and Interventions for
Children at Risk for Learning Disabilities. Pennsylvania: International journal
of Special Education Vol 21 no.3
4. Sadock, B.J. & Sadock, V.A. 2004. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2.
Terjemahan Oleh: Profitasari & Nisa, M.T. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, Indonesia.
5. Liederman J, Kantrowitz L, & Flannery K. 2005. Male vulnerability to
reading disability is not likely to be a myth: A call for new data. J Learn
Disabil. 38: 109129.
6. Mercer, Cecil D. & Paige C. Pullen. 2005. Students with Learning
Disabilities. Virginia: Merrill/Prentice Hall.
7. Kerig, P. K, & Wenar, C. 2006. Developmental Psychopathology: From
infancy through adolescence 5th ed. New York: Mc Graw Hill.
8. Subini, Nini. 2011. Mengatasi Kesulitan Belajar Pada Anak. Yogyakarta:
Javalitera.
9. Endyarni B, Fadlyana E, Gunardi H, Rusmil K, Dhamayanti M, Narendra
MB, dkk. 2011. Gangguan Belajar pada Anak. Dalam (Pudjiadi AH, Hegar B,
Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, dkk ed). Pedoman
Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Ed 2. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 98-104..
10. Mahrezi A, Futaisi A, Marri W. 2016. Learning Disabilites Opportunities and
chalanges in Oman. Oman: Sultan Qaboos Med J Vol.16 p.129-131

36
11. M Rogaeih, B Fetemeh. 2009. Occupational therapy interventions effect on
mathematical problems in students with special learning disorders
(dyscalculia). Iran: Iranian rehabilitation Journal. Vol.7 No.10
12. K Liane, M Aster. The Diagnosis and Management of Dyscalculia. Germany.
Deutches rzteblatt International. Vol 45. No. 767-778

37

Anda mungkin juga menyukai