Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

Pendahuluan

1.1 Definisi
Konjungtivitis vernalis merupakan suatu peradangan konjungtiva, mempunyai dasar
reaksi hipersensitivitas tipe l dan IV, serta mudah terjadi kekambuhan yang dipengaruhi oleh
iklim. 1
1.2 Epidemiologi
Insidensi konjungtivitis vernalis relatif kecil, yaitu sekitar 0,l%--0,5% dari pasien dengan
masalah mata yang berobat, dan hanya 2% dari semua pasien yang diperiksa di klinik mata.
Penyakit ini perlu mendapatkan penekanan khusus. Hal ini karena penyakit ini sering kambuh
dan menyerang anak-anak usia 4 - 20 tahun, dengan frekuensi pada anak lelaki tiga kali lebih
banyak.2
1.3 Patogenesis
Fase langsung dari reaksi alergi tipe I adalah patologi yang pokok dan mekanisme
etiologi dari konjungtivitis alergi. Sedangkan fase lambat dari reaksi alergi tipe I
dipertimbangkan berkaitan dengan konjungtivitis vernal, dimana (inflamasi alergi muncul 12 –
24 jam setelah terekspos allergen) dipertimbangkan terlibat dalam kondisi pathologi
konjungtivitis vernal. Sebagian besar, sel Th2 diproduksi lokal di konjungtiva, dan keadaan
memburuk jika reaksi alergi muncul terhadap bagian okular yang terkena sampai keterlibatan
berbagai sitokin yang meningkat dengan cairan air mata. Hasilnya, proliferasi fibroblast di
jaringan subkonjungtiva, memicu pembentukan papilla cobblestone.3
1.4 Manifestasi klinis
Gejala yang spesifik berupa rasa gatal yang hebat, sekret mukus yang kental dan lengket,
serta hipertropi papil konjungtiva. Penyakit ini pada umumnya tidak mengancam penglihatan,
namun dapat menimbulkan rasa tidak enak. Mata sering berkedip, mata tampak kemerahan, serta
meresahkan penderita. Pada anak-anak jelas akan mengganggu aktivitas belajar dan secara
umum dapat mengganggu kualitas kehidupan. Ada beberapa tipe dari konjungtivitis vernal,
seperti tipe palpebra, limbus, maupun campuran. Pada beberapa kasus dapat menimbulkan gejala
sisa. Misalnya, mikropanus, astigmatisme miop, keratokonus, dan keratoglobus.1,2

1
1.5 Diagnosis
Diagnosis konjungtivitis vernal didapat melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Penentuan diagnosis ini juga untuk menentukan tipe penyakit
konjungtivitis vernalis, seperti palpebra disease, limbal disease, maupun tpe campurannya.
Diagnosis dari penyakit konjungtiva juga bisa ditegakkan dengan deteksi eosinofil pada
discharge/ eksresi okular. Walaupun sensitifitas dari deteksi ini tidak cukup tinggi, tes negative
tidak bisa menyingkirkan alergi. Untuk menentukan allergen yang menyebabkan konjungtivitis,
deteksi antigen spesifik IgE antibody dilakukan melalui pemeriksaan serologis mencakup
radioallergosorbent test (RAST). 6
1.6 Terapi
Pengobatan yang diberikan pasien meliputi pemberian kortikosteroid, mast cell stabilizer,
artificial tear, antihistamin dan dengan masa kerja panjang. Hal tersebut sesuai dengan teori
bahwa penatalaksanaan konjungtivitis vernalis tergantung pada berat ringannya gejala klinik.
Pada kasus ringan sampai sedang, cukup diberikan antihistamin topikal, kemudian dilanjutkan
dengan stabilisator sel mast. Pada kasus yang berat, perlu diawali dengan pemberian steroid
topikal yang sering. Apabila sudah membaik, dalam waktu l minggu harus diganti dengan
stabilisator sel mast. Pada kasus yang berat bisa dikombinasi steroid topikal, nonsteroid topikal,
dan antihistamin. Mengingat seringnya timbul kekambuhan, harus dihindari penggunaan steroid
jangka lama. 2,6
1.7 Prognosis
Penyakit ini pada umumnya tidak mengancam penglihatan, namun dapat menimbulkan
rasa tidak enak. Penyembuhan akan terjadi dalam waktu kurang lebih satu bulan, namun apabila
penyakit ini mengalami eksaserbasi hingga mempengaruhi kornea dan bagian lain dari mata,
dapat menimbulkan efek jangka panjang yang signifikan, dan penyakit dengan dasar reaksi
hipersensitivitas, perlu di pertimbangkan untuk mengurangi paparan alergen yang spesifik.

1.8 Latar belakang


Konjungtivitis vernal adalah salah satu jenis penyakit alergi konjungtiva yang sering terjadi di
daerah yang hangat, dengan alergen yang dapat memicu terjadinya reaksi hipersensitivitas seperti
debu, tepung sari, dan beberapa jenis alergen lainnya. Penyakit ini juga sering menimbulkan ke

2
kambuhan terutama pada anak – anak. Mekanisme yang terkait mengenai munculnya penyakit
ini tidak lepas dari reaksi hipersensitivitas, khususnya reaksi hipersensitivitas tipe 1. Berdasarkan
hal tersebut maka referat ini dibuat untuk mengetahui mekanisme terjadinya konjungtivitis
vernal sehingga dapat memberikan penanganan awal pada pasien konjungtivitis vernal dan
mencegah terjadinya komplikasi dari pemakaian obat – obat jangka panjang, karena modalitas
terapi pada konjungtivitis vernal ini adalah dengan menggunakan obat – obat steroid, stabilizer
sel mast dan siklosporin. Pemantauan eektivitas terapi perlu diperhatikan, mengingat penggunaan
obat – obat imunosupresan akan menyebabkan munculnya penyulit baru seperti terjadinya
glukoma,katarak, maupun vernal plaque. Penyusunan referat ini juga sebagai bahan referensi
bagi pembaca untuk lebih mengkaji tentang konjungtivitis vernal.

3
BAB 2
Pembahasan

2.1 Definisi konjungtivitis vernal


Konjungtivitis vernal adalah salah satu dari bentuk konjungtivitis imunologik (alergika).
Penyakit konjungtiva alergika mengacu kepada sekelompok besar penyakit konjungtivitis alergi,
dan di definisikan sebagai penyakit inflamasi dari tunika konjungtiva yang muncul dengan
berbagai sign dan symptom, yang mana reaksi alergi tipe satu di masukkan ke dalam kategori
penyakit konjungtiva. Dengan mengabaikan apakah disertai dengan inflamasi alergi seperti
alergi tipe IV. 3
Konjungtivitis yang muncul pada anak – anak yang alergi, tidak dimasukkan ke dalam
penyakit konjungtiva alergi jika tidak ada keganjilan symptom seperti nyeri dan gatal di mata.
Berdasarkan pada perbedaan gambaran klinisnya, Penyakit konjungtiva alergi diklasifikasikan
kedalam konjungtivitis (musiman atau perennial), keratokonjungtivitis atopik, kataral musim
semi, dan giant papillary konjungtivitis. 3
Konjungtivitis alergi adalah ketiadaan perubahan proliferasi konjungtiva, sedangkan
kondisi dengan perubahan proliferasi pada konjungtiva di klasifikasikan sebagai cataral musim
semi atau atopik keratoconjungtivitis. Pasien dengan kondisi ini mengeluh terhadap simptom
yang ganjil seperti nyeri, mata gatal, sensasi benda asing, sekret mata, dan lakrimasi. Temuan
objektif di dapatkan melalui mikroskop slit lamp, mencakup manifestasi inflamasi seperti
hyperemia, edema, papilla, dan folikel di konjungtiva. Penyakit konjungtiva alergi yang sering
mengenai anak – anak adalah konjungtivitis alergika dan konjungtivitis vernal. 3

2.2 Anatomi konjungtiva


Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus
permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera
(konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu
sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus. Konjungtiva palpebralis melapisi
permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus, konjungtiva melipat ke posterior

4
(pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva
bulbaris. 1

Gambar 1.1 Anatomi konjungtiva 4

Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbita di forniks dan melipat berkali – kali.
Adanya lipatan – lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan
konjungtiva permukaan konjungtiva sekretorik. (duktus – duktus kelenjar lakrimal bermuara ke
forniks temporal superior). Konjungtiva bulbaris yang tebal, lunak, dan mudah bergerak (plica
semilunaris) terletak di kantus internus dan merupakan selaput pembentuk kelopak mata dalam.
Struktur epidermoid kecil semacam daging (caruncula) menempel secara superfisial ke bagian
dalam plica semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung baik elemen kulit
maupun membran mukosa.1

5
2.2.1 Histology
Lapisan epitel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel epitel silindris
bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas karunkula
dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel – sel squamosa
bertingkat. Sel – sel epitel superfisial mengandung sel – sel goblet bulat dan oval yang
mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan
untuk disperse lapisan air mata prekornea secara merata. Sel – sel epitel basal berwarna lebih
pekat dibandingkan sel – sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. 1
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan satu lapisan
fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat
mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak
berkembang sampai setelah berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis
inklusi pada neonatus bersifat papilar bukan folikular dan mengapa kemudian menjadi folikular.
Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini
menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar
pada bola mata. 1
Kelenjar lakrimal aksesorius (kelenjar Krause dan wolfring) yang struktur dan fungsinya
mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar Krause berada di
forniks atas, sisanya ada di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi atas tarsus atas. 1

2.2.2 Perdarahan, limfatik dan persarafan


Arteri arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua
arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena konjungtiva yang umumnya
mengikuti pola arterinya membentuk jaring – jaring vaskular konjungtiva yang sangat banyak.
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun di dalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung
dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus yang kaya. Konjungtiva
menerima persarafan dari percabangan (oftalmik) pertama nervus V. saraf ini memiliki serabut
nyeri yang relatif sedikit. 1

6
2.3 Imunologi mata
Seperti halnya dengan respon imun yang terjadi di organ – organ lain, mata juga dapat
mengalami respon imun, baik humoral maupun selular. Respon imun humoral terutama terutama
terjadi melalui IgE dan sel mast yang mengawali reaksi alergi. IgG kadar tinggi dalam darah
dapat berperan dalam penyakit autoimun yang mengenai mata seperti pemfigoid mata. Respon
imun selular terutama di induksi oleh sel T. Mata merupakan kelanjutan dari susunan saraf pusat
sedang konjungtiva merupakan kelanjutan dari jaringan ikat. Sel mast ditemukan dalam
konjungtiva, koroid, dan saraf mata serta mukosa konjungtiva yang merupakan komponen mata.
Vitreus dan kornea adalah avaskular dan tidak dimasuki sel mast. Iris, korpus siliar dan koroid
merupakan lapisan lanjutan sebagai uvea. Uvea terlibat primer dalam hipersensitivitas selular
dan penyakit kompleks imun, sedangkan konjungtiva primer dilibatkan dalam hipersensitivitas
cepat atau alergi.5
Mata merupakan bagian tubuh yang unik yang dapat memberikan pertanda adanya proses
imun aktif langsung seperti endapan corneal immune rings (CIR) yang analog dengan presipitasi
ouchterlony, floating, lymphocytes (floater) yang analog dengan migrasi sel dan reaksi serupa
arthus yang menimbulkan edema dan infiltrasi granulosit di kornea, konjungtiva dan kulit atas
pengaruh mediator kemotaksis seperti C5a. 5
Gell dan Coombs telah membagi beberapa klasifikasi untuk penyakit alergi yang
menyerang mata menjadi beberapa tipe. Tipe I adalah bila melibatkan IgE dan sel mast, dijumpai
pada penyakit konjungtivitis alergi, konjungtivitis vernal, keratokonjungtivitis vernal. Tipe II
bila mekanisme nya melibatkan antibody sitotoksik dan komplemen, dijumpai pada penyait
pemfigoid. Tipe III dijumpai pada penyakit inflamasi interokular dengan mekanisme nya berupa
cell mediated imunity. Tipe IV dengan mekanisme selular.

Efektor dan mediator pada penyakit mata di sajikan dalam table 1.1
Tabel 1.1 efektor dan mediator penyakit mata
Komponen Mediator Respon
Kategori Waktu klinis
pengenal larut selular
IgE Leukotrien, Eosinofil,
Dalam detik- SAC, VKC,
IgE, sel Mast arachidonat, neutrofil,
menit PAC, AKC
histamine basofil
Antibody IgG, IgM, Anafilatoksin Jam - hari Neutrofil, Mooren’s
sitotoksik komplemen makrofag ulcer,

7
pemfigus,
pemfigoid
Penyakit
Neutrofil, serum,
Kompleks IgG, IgM,
Anafilatoksin Jam – hari makrofag, uveitis, CIR,
imun komplemen
limfosit lens-induced
uveitis
Cornbeat
allograft
Limfosit,
rejection,
Limfosit, Limfokin, Hari – monosit,
Selular sympathetic
monosit monokin minggu eosinofil,
ophthalmia,
basofil
uveitis,
sindrom VKH
SAC (seasonal allergic conjunctivitis)
VKC (vernal keratoconjunctivitis)
PAC (perennial allergic conjunctivitis)
AKC (atopik keratoconjunctivitis)
VKH (vogt-koyanagi-harada)

2.4 Pathogenesis
Konjungtivitis vernal adalah gangguan bilateral, rekuren, yang mana IgE, dan mekanisme
imunitas diperantai sel memegang peranan penting. Umumnya menyerang anak laki laki dan
biasanya muncul di dekade pertama kehidupannya (rata – rata umur 7 tahun). Konjungtivitis
vernal jarang terjadi pada wilayah yang dingin. Pada wlayah yang hangat, sekitar ¾ dari jumlah
pasien berkaitan dengan atopik dan 2/3 nya memiliki riwayat keluarga dari atopik. Konjungtivitis
vernal muncul pada basis musiman. Dengan puncak insidensi di akhir musim semi dan musim
panas.6
Fase lambat, reaksi alergi tipe I (inflamasi alergi muncul 12 – 24 jam setelah terekspos
allergen) dipertimbangkan terlibat dalam kondisi pathologi konjungtivitis vernal. Sebagian besar,
sel Th2 diproduksi lokal di konjungtiva, dan keadaan memburuk jika reaksi alergi muncul
terhadap bagian okular yang terkena sampai keterlibatan berbagai sitokin yang meningkat
dengan cairan air mata. Hasilnya, proliferasi fibroblast di jaringan subkonjungtiva, memicu
pembentukan papilla cobblestone. Eosinofil menginfiltrasi dari pembuluh darah subkonjungtiva
ke dalam sisi okular yang terkena, di aktivasi menginvasi kornea melalui air mata. Gangguan
kornea kemudian terbentuk oleh protein histotoxic seperti eosinofil kation protein (ECP) dan

8
mayor basic protein (MBP) dilepaskan dari eosinofil yang tergranulasi ke sisi okular yang
terkena.3

2.5 Imunopatologis
Pasien dengan konjungtivitis vernal memiliki riwayat keluarga berupa penyakit atopik di
49% kasus. Pasien ini bisa juga berkaitan dengan kondisi atopik lainnya seperti asthma (26%),
rhinitis (20%) dan eczema (9,7%). Telah ditunjukkan bahwa konjungtivitis vernal adalah
penyakit yang diperantai oleh sel Th2. Limfosit Th2 bertanggungjawab terhadap hiperproduksi
IgE (interleukin 4, IL-4) dan untuk diferensiasi dan aktivasi dari sel mast (IL-3) dan eosinofil
(IL-5). Sel mast dan basofil menyebabkan reaksi langsung dan penarikan dari sel inflamasi
(limfosit, eosinofil) dan mediator kimia (eosinofil kationik protein). Penarikan ini menyebabkan
pelepasan mediator inflamasi dan kerusakan epitel. Beberapa sel inflamasi dan sel epitel bisa
menginduksi proliferasi fibroblast dan produksi kolagen. Produk turunan eosinofil bertanggung
jawab untuk kerusakan kornea yang berat. Baik itu neurotransmitter dan neurotropin mungkin
bisa mempengaruhi inflamasi konjungtiva, namun masih belum jelas saat ini. Substansi P telah
di deteksi di air mata, dan tingkat serum yang tinggi telah ditemukan pada pasien dengan
konjungtivitis vernal. Reseptor untuk faktor pertumbuhan saraf telah ditemukan di epitel dan
substansi propria konjungtiva dan serum faktor pertumbuhan saraf terdeteksi pada bentuk aktif
dari penyakit ini dan berhubungan langsung dengan sejumlah sel mast di jaringan. Peran dari
hormon seks telah di postulasikan pada pathogenesis penyakit ini. Asumsi ini berasal dari
observasi prevalensi antara pria dan wanita dan resolusi spontan penyakit ini pada masa pubertas.
Reseptor estrogen dan progesterone, di ekspresikan di permukaan eosinofil dan sel inflamasi
lainnya. Bisa memperngaruhi respon alergi di permukaan okular.7

2.6 Klasifikasi
Konjungtivitis vernal bisa di klasifikasikan menjadi beberapa jenis, yaitu penyakit
palpebra, limbus, dan penyakit dengan jenis campuran. Penyakit palpebra utamanya melibatkan
konjungtiva tarsal bagian atas dan bisa berkaitan dengan penyakit kornea yang signifikan sebagai
hasil dari dekatnya plat konjuntiva tarsal bagian atas yang mengalami inflamasi dan epitel
kornea. Penyakit limbus secara khas mempengaruhi pasien kulit hitam dan orang – orang asia.

9
Sementara penyakit dengan tipe campuran, Memiliki gambaran campuran antara penyakit
palpebra dan limbus. 6

2.7 Diagnosis
Diagnosis konjungtivitis vernal di dapatkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik mata,
dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis akan didapatkan symptom berupa rasa gatal yang
intens, yang berkaitan dengan lakrimasi, fotofobia, sensasi benda asing, rasa terbakar, discharge
mukoid ygn tebal. Berkedip – kedip secara menetap juga sering terjadi dan sering disalah
diagnosis kan dengan neurosis. 6
Berdasarkan tipe konjungtivitis vernal yang tipe penyakit Palpebra, akan didapatkan
Hipertrofi papilla difus di tarsus superior, makropapila (>1 mm) memiliki tampilan puncak
polygonal yang datar, yang mengingatkan kepada cobblestone, deposisi mucus antara papilla
raksasa dan penurunan aktivitas penyakit di karakterisasikan dengan berkurangnya injeksi
konjungtiva dan produksi mucus. 6

Gambar 1.2 tampilan klinis penyakit palpebra6


Gambaran penyakit limbus akan di dapatkan papilla gelatinosa di konjungtiva limbus yang bisa
berkaitan dengan white spot yang terpisah di apeks nya (trantas dots), di wilayah tropis, penyakit
limbus bisa sangat berat.

10
Gambar 1.3 Tampilan penyakit limbus6
Tampilan Keratopathy pada konjungtivitis vernal akan memberikan tampilan seperti erosi epitel
punctata yang melibatkan kornea superior adalah temuan awal. Makroerosi epitel merupakan
hasil dari nekrosis yang disebabkan oleh toksin yang dilepaskan oleh konjungtiva yang
terinflamasi. Ulkus “perisai” dan plak bisa berkembang di penyakit palpebra atau jenis campuran
ketika terekspos dengan lapisan bowman menjadi terlapisi dengan mucus dan kalsium fosfat.
Pseudogerontoxon bisa berkembang dari penyakit limbus yang berulang. Ini menyerupai area
lokal dari bersebelahan arcus senilis ke segmen limbus yang terinflamasi sebelumnya.
Vaskularisasi superfisial perifer, khususnya di superior, bisa berkembang mengikuti inflamasi
kronis dan deposisi mucus di ketiadaan ulserasi.

11
Gambar 1.4 tampilan penyakit keratopathy6

Diagnosis dari penyakit juga konjungtiva bisa ditegakkan dengan deteksi eosinofil pada
discharge/ eksresi okular. Walaupun sensitifitas dari deteksi ini tidak cukup tinggi, tes negative
tidak bisa menyingkirkan alergi. Untuk menentukan allergen yang menyebabkan konjungtivitis,
deteksi antigen spesifik IgE antibody dilakukan melalui pemeriksaan serologis mencakup
radioallergosorbent test (RAST). Bagaimanapun, hasilnya merefleksikan kehadiran alergi
seluruh badan dan tidak terestriksi terhadap penyebab konjungtivitis. Sekarang, sedang
berlangsung untuk membuat diagnosis cepat mendeteksi IgE di air mata.3

2.8 Terapi
Modalitas Terapi pada konjungtivitis vernal adalah dengan pemberian agen imunosupresan
seperti steroid topikal, stabilizer sel mast, anti histamin, dan pemberian artificial tears. ,1,3,6

2.9 Terapi Topical


Pemberian terapi topical adalah dengan stabilizer sel mast, anti histamine, steroid, asetil
sistein, siklosporin, mitomisin – C, ketorolac, dan injeksi supratarsal. Pemberian obat – obat
Mast cell stabilizer, jarang efektif sebagai pengobatan tunggal namun golongan ini mengurangi
kebutuhan akan steroid. Lodoxamide dan sodium nedokromil lebih efektif daripada sodium
kromoglikat.6

12
Pemberian anti histamine ketika digunakan dalam isolasi, sama efektifnya dengan
stabilizer sel mast. Bentuk yang berat dari penyakit alergi konjungtiva adalah konjungtivitis
vernal. Konjungtivitis vernal ini Adalah gangguan alergi kronik dengan mekanisme
psikopatogenik yang kompleks. Hasilnya adalah peran antihistamin (baik oral maupun topical)
adalah suatu hal yang penting. Banyak penelitian klinis telah mendokumentasikan manfaat dari
antihistamin topical dalam menangani konjungtivitis alergi. Histamine adalah salah satu
mediator yang dilepaskan oleh sel mast setelah allergen spesifik berikatan dengan IgE yang ada
di permukaan. Mediator ini adalah kontributor utama terhadap tanda dan symptom dari reaksi
langsung konjungtivitis alergi. Hasilnya adalah obat yang bekerja sebagai antagonis histamine
memainkan peranan penting dalam meredakan symptom. Antihistamin yang sering dipakai
dalam terapi topical okular adalah antazoline (0.05%) dan pheniramine. Obat obat ini biasanya
diberikan dengan kombinasi vasokonstriktor untuk meningkatkan efikasinya dalam meredakan
symptom alergi. Antihistamin topical secara langsung memblokade aksi dari histamine di
konjungtiva dan memiliki onset kerja yang cepat. 6
Obat – obat topical steroid diindikasi utamanya untuk keratopathy walaupun golongan ni
diperlukan dalam penggunaan periode pendek untuk ketidaknyamanan yang berat.
Fluorometholone 0.1% lebih disukai untuk dipakai karena memiliki resiko yang rendah dalam
menyebabkan hipertensi ocular.6
Pengobatan dengan asetil sistein juga dapat diberikan. Khususnya untuk deposisi mucus
dan pembentukan plak awal. 6
Siklosporin dipertimbangkan pada kasus dimana terjadi resistansi terhadap steroid.
Perbaikan muncul setelah kira – kira dua minggu terapi, namun terjadi relaps jika obat – obatan
yang dipakai di hentikan secara tiba – tiba. 6 Vernal keratoconjunctivitis bisa berkembang ke
kornea dan bisa mengancam penglihatan. Kortikosteroid topical tetap menjadi pengobatan.
Mengakibatkan perbaikan yang dramatis dalam meredakan symptom pada fase akut.
Bagaimanapun juga, penggunaan dalam jangka panjang bisa menyebabkan berbagai komplikasi
9
seperti glaucoma, katarak, dan infeksi sekunder yang disebabkan oleh imunosupresif lokal.
Siklosporin A adalah obat netral, hidrofobik, tidak dekapeptida , metabolit dari Tolypocladium
inflatum, adalah imunomodulator yang mennghambat proliferasi limfosit T CD 4, dengan
menghambat ekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2). Memiliki efek inhibitor langsung terhadap

13
aktivasi eosinofil dan sel mast dan melepaskan mediator, efek yang diharapkan dalam perannya
untuk mengobati inflamasi akibat alergi.9
Mitomicin-C menghambat proliferasi sel dan bukan siklus sel spesifik. Telah digunakan
sebelumnya dalam bedah pterigium, prosedur filtrasi glaucoma dan dalam manajemen neoplasia
sel skuamossa konjungtiva. MMC adalah inhibitor migrasi dan proliferasi sel non selektif. Tidak
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama karena bisa menimbulkan penyulit. Namun
mitomisin C 0.01% dapat digunakan pada kasus keratkonjungtivitis berat jika penggunaan
steroid tidak memperbaiki keadaan dan menaikkan dosis steroid justru menimblkan penyulit baru
nantinya. Efek samping nya minimal, dan jika fase akut dari konjungtivitis vernal ini telah
selesai, dapat digantikan dengan penstabil sel mast untuk perawatannya.10
Ketorolac tromethamine adalah obat non steroid anti inflamasi yang memblokade enzim
siklooksigenase yang mengkatalisiskonversi asam arachidonat menjadi prostaglandin. Efikasi
dan keamanan ketorolac tromethamine 0.5% telah dievaluasi dalam pengobatan
keratokonjungtivitis vernal, meskipun demikian obat ini telah digunakan dalam kondisi inflamasi
okular lainnya. Ketorolac tromethamine telah dievaluasi dan efektif dalam mengontrol inflamasi
post-operativ sesudah operasi katarak.11 Prostaglandin dipercaya menjadi mediator kimia yang
terlibat dalam proses penyakit. Ketorolac tromethamine 0.5% telah terbukti efektif dalam
mengurangi sign dan symptom yang aman untuk konjungtivitis vernal. Pengobatan ini efektif
mengurangi symptom okular seperti rasa gatal, discharge, dan fotofobia, 7-14 hari setelah terapi
awal. Di antara banyak tanda, inflamasi konjungtiva berkkkurang secara signifikan, namun tanda
lainnya seperti hiperplasi papilla dan perubahan limbus menunjukkan sedikit perubahan. 11
Supratarsal steroid injection untuk pasien yang tidak complain dan yang resistan terhadap
terapi konvensional. Injeksi terdiri dari 0.1 ml yang terdiri dari dexametason 4mg/ml atau
triamsinolone 40mg/ml setelah eversi kelopak mata. Tidak jelas manfaat dari kedua steroid ini,
namun sangat efektif untuk mensupresi sementara waktu pada pasien vernal
keratokonjungtivitis.6

2.10 Sistemik
Pemberian Imunosupresif agen (Steroid, siklosporin, dan azathiopin), bisa digunakan
pada penyakit yang tidak responsive terhadap dosis maksimum terapi topical6 .Oral anti histamin
Membantu untuk tidur dan mengurangi menggosok mata saat malam hari. 6

14
2.11 Bedah
Teknik bedah yang dapat di berikan kepada pasien adalah dengan superficial keratektomi
dan amniotic membrane overlay graft.
Superfisial keratectomy diperlukan untuk menghilangkan plak. Epitel di buang ke pinggir
region kalsifikasi dan melakukan sebuah diseksi sangat superfisial. Pengobatan medis harus di
pelihara sampai kornea telah mengalami re-epitelisasi, untuk mencegah rekuren. 6

Gambar 1.5 superficial keratectomy 12


Amniotic membran overlay graft dilakukan untuk menutupi ulkus yang terjadi, dengan tarsorafi
atau keratoplasty lamella diperlukan untuk defek persisten epitel berat dengan ulserasi. 6

15
Gambar 1.6 amniotic membrane overlay13

2.12 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat muncul pada konjuntivitis vernal adalah vernal plaque
dan penicilium keratitis. Vernal plaque merupakan masalah penanganan yang sulit pada pasien
dengan keratokonjungtivitis vernal. Ulkus ini biasanya oval, superfisial, dan berlokasi di bagian
superior. Ulkus ini bisa tumbuh perlahan dan menimbulkan nyeri dan menetap. Ketika akumulasi
debris inflamatoris berkumpul di dasar ulkus, terbentuk plak opak 12. Komposisi dari plak ini tidak
berubah. Bagaimanapun telah teridentifikasi eosinofil major basic protein di plak tersebut dan
menduga bahwa MBP tersebut sebagai protein sitotoksik yang berperan patogenik dalam
pembentukan dan menetapnya ulkus “perisai” 12. Plak Ulkus perisai bisa tidak berespon terhadap
pengobatan topical konvensional dan bisa berkomplikasi menjadi ambliopia, strabismus, keratitis
mikroba dan perforasi kornea.12
Keterlibatan kornea dalam konjungtivitis vernal bisa terjadi dalam erosi epitel punctata,
keratitis epitel punctata, pannus dan pseudogerontoxon. Dalam kasus yang berat, erosi epitel bisa
bersatu untuk membentuk ulkus kornea vernal (shield ulcer). Ulkus kornea akibat fungi juga bisa
terjadi sekitar 0.8% dari seluruh pasien keratoconjunctivitis vernal. Penggunaan kortikosteroid
topical secara kronik dan trauma kornea telah diidentifikasi sebagai faktor resiko untuk keratitis
mikosis pada sejumlah pasien. Trauma mekanis terhadap epitel kornea oleh papilla raksasa di
konjungtiva palpebra bagian atas dan mediator inflamasi memainkan peran penting dalam

16
terbentuknya ulkus “perisai”. Superinfeksi bakteri telah dilaporkan terjadi pada ulkus kornea di
keratokonjungtivitis vernal. Bakteri isolasi terbanyak adalah staphylococcus aureus. 15
Keratitis jamur jarang dilaporkan terjadi bersamaan dengan keratokonjungtivitis vernal,
namun jarang muncul jika penggunaan steroid untuk terapi nya tidak secara jangka panjang.
Faktor predisposisi yang lain adalah instabilitas film air mata dengan penurunan produksi air
mata. 15
Fusarium dan aspergillus merupakan mikroorganisme isolasi yang di laporkan di dapat
dari pasien dengan keratokonjungtivitis vernal. Organism yang di temukan pada pasien
keratokonjungtivitis vernal tanpa penggunaan kortikosteroid jangka panjang adalah aspergillus
fumigatus dan penicillium. 15
Spora penicillium telah di identifikasi sebagai flora okular normal, dalam ketiadaan
penggunaan topical kortikosteroid kronik. Namun hal ini berubah jika perubahan status imunitas
dari keratokonjungtivitis vernal bersamaan dengan hilangnya barier epitel menyebabkan
terjadinya infeksi oleh pathogen oportunistik.15

Gambar 1.7 penicillium keratitis15

17
BAB 3
Kesimpulan

Penyakit alergi konjungtiva mencakup konjungtivitis alergi dan kataral musim semi
(konjungtivitis vernal). Fase langsung dari reaksi alergi tipe I adalah patologi yang pokok dan
mekanisme etiologi dari konjungtivitis alergi. Sedangkan fase lambat dari reaksi alergi tipe I
dipertimbangkan berkaitan dengan konjungtivitis vernal. Penggunaan tetes mata anti alergi
adalah terapi pertama untuk konjungtivitis alergi. Dalam kasus alergi tepung sari, terapi awal
dengan tetes mata adalah efektif untuk meredakan symptom yang muncul pada musim gugur dan
untuk meredakan durasi keberlanjutannya symptom. Jika terapi anti alergi tetes mata gagal untuk
mengeliminasi symptom, tetes mata steroid konsentrasi rendah sebaiknya dikombinasikan.
Walaupun penanganan dasar untuk konjungtivitis vernal juga menggunakan tetes mata anti
alergi, pengobatan terhadap kasus yang berat sebaiknya dimulai dengan kombinasi antara
antialergi, steroid dan tetes mata cyclosporin dengan konsentrasi dan frekwensi instilasi steroid
secara bertahap diturunkan sebagaimana symptom nya membaik. Perawatan diri sendiri juga
berguna untuk meredakan symptom pada pasien dengan penyakit alergi konjungtiva. Bentuk

rekomendasi dari perawatan diri sendiri adalah mencuci mata dengan air mata buatan.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Eva. 2007. Oftalmologi Umum Vaughan & Asbury, ed 17. Jakarta : EGC

2. Staff Ilmu Penyakit Mata FK UGM, Keratokonjungtivitis Vernalis dalam


http://www.tempo.com.id/medika/042002.htm

3. Yoshida, Hiroshi, Etsuko, Takamura. 2009. The Direction of Specific Efforts with
Allergic Conjunctival Diseases in Japan - From the standpoint of ophthalmologists.
JMAJ, May/June 2009— Vol. 52, No. 3

4. Lang, Gerhard. 2000. Ophthalmology : a short textbook. Stuttgart. Thieme

5. Baratawidjaya, karnen garna. 2005. Imunologi dasar edisi ke – 6. Jakarta : FKUI

6. Kanski J, Jack. 2007. Clinical Ophthalmology : a systematic approach sixth edition.


London : Elsevier

7. Baumann, Behrens. 1999. Immuo-ophthalmology vol.30. Basel : Karger

8. James, bruce. 2003. Lecture notes : oftalmologi edisi kesembilan. Jakarta : Erlangga

9. Ozcan, Altan. 2007. Management of Severe Allergic Conjunctivitis With Topical


Cyclosporin A 0.05% Eyedrops. Cornea _ Volume 26, Number 9, October
2007..Lippincott Williams & Wilkins

10. K. Jain, Arun. 2006. Low Dose Mitomicyn C in Severe Vernal Keratokonjunctivitis :
A Randomized Prospective Double Blind Study. Indian J ophthalmol 2006;54:111-16

11. Sharma, A. 1997. Topical ketorolac 0.5% solution for the treatment of vernal
keratoconjunctivitis. Indian J ophthalmol 1997;45:177-80

19
12. Solomon, Abraham. 2004. Surgical Management of Corneal Plaques in Vernal
Keratoconjunctivitis : A Clinicopathologic Study. Cornea • Volume 23, Number 6,
August 2004. Lippincott Williams & Wilkins

13. Letko, erik. 2001. Amniotic Membrane Inlay and Overlay Grafting for Corneal
Epithelial Defects and Stromal Ulcers. Arch Ophthalmol. 2001;119:659-663

14. A del Cuvillo, J Sastre. 2009. Allergic Conjunctivitis and H1 Antihistamines. J


Investig Allergol Clin Immunol 2009; Vol. 19, Suppl. 1: 11-18

15. Arora, ritu. 2002. Penicillium keratitis in vernal keratoconjunctivitis. Indian J


Ophthalmol 2002;50:215-16

20

Anda mungkin juga menyukai