Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi mata perlu mendapat pertolongan segera dan adekuat, agar tidak mengganggu penglihatan terlalu lama atau tidak berakibat gangguan penglihatan dan kebutaan. Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah mata merah. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, atau kontak dengan benda asing, misalnya kontak lensa. Konjungtivitis virus biasanya mengenai satu mata. Pada konjungtivitis ini, mata sangat berair. Kotoran mata ada, namun biasanya sedikit. Konjungtivitis bakteri biasanya mengenai kedua mata. Ciri khasnya adalah keluar kotoran mata dalam jumlah banyak, berwarna kuning kehijauan. Konjungtivitis alergi juga mengenai kedua mata. Tandanya, selain mata berwarna merah, mata juga akan terasa gatal. Gatal ini juga seringkali dirasakan dihidung. Produksi air mata juga berlebihan sehingga mata sangat berair. Konjungtivitis papiler raksasa adalah konjungtivitis yang disebabkan oleh intoleransi mata terhadap lensa kontak. Biasanya mengenai kedua mata, terasa gatal, banyak kotoran mata, air mata berlebih, dan kadang muncul benjolan di kelopak mata. Konjungtivitis virus biasanya tidak diobati, karena akan sembuh sendiri dalam beberapa hari. Walaupun demikian, beberapa dokter tetap akan memberikan larutan astringen agar mata senantiasa bersih sehingga infeksi sekunder oleh bakteri tidak terjadi dan air mata buatan untuk mengatasi kekeringan dan rasa tidak nyaman di mata. 1.2 Rumusan Masalah I.2.1 Bagaimana etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan konjungtivitsis? I.3 Tujuan I.3.1 Mengetahui etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan konjungtivitsis? I.4 Manfaat I.4.1 Menambah wawasan mengenai penyakit mata khususnya I.4.2 Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit mata

BAB II STATUS PASIEN

2.1

IDENTITAS PASIEN Nama Jenis Kelamin Umur Alamat Pendidikan Pekerjaan Status Suku Bangsa Tanggal Periksa No. RM : An.E : Laki-laki : 10 tahun : Gondang Legi : SD : belum bekerja : Belum menikah : Jawa : 18 Juli 20111 : 190163 : Mata sebelah kanan merah dan nyeri : Pasien datang ke poli mata dengan keluhan

2.2

ANAMNESIS 1. Keluhan Utama 2. Riwayat Penyakit Sekarang

mata sebelah kanan merah sejak kurang lebih 5 hari yang lalu. Awalnya pasien mengatakan mata sebelah kanan merah setelah terkena benang layang-layang. Selain itu pasien mengeluh bahwa mata kanannya bengkak, keluar air mata banyak, perih, agak silau jika terkena sinar. Pasien mengatakan kalau setelah bangun tidur mata kanannya terasa lengket dan keluar banyak kotoran yang berwarna kekuningan. Pasien sudah berobat 5 hari yang lalu ke puskesmas dan diberi obat tetes mata yang diteteskan mata mata sebelah kanan. Pasien mengatakan dengan obat tetes tersebut mata merah dan bengkak agak berkurang namun rasa nyeri, berair masih ada. 3. Riwayat Penyakit Dahulu 4. Riwayat Penyakit Keluarga 5. Riwayat Pengobatan 6. Riwayat Kebiasaan : sakit yang sama (-) Alergi (-) : sakit yang sama (-) Alergi (-) : obat tetes mata : pasien sering bermain diluar rumah

2.3

STATUS GENERALIS Kesadaran : compos mentis (GCS 456) Vital sign : Tensi Nadi Pernafasan Suhu : dalam batas normal : dalam batas normal : dalam batas normal : dalam batas normal Pemeriksaan
AV Tanpa koreksi Dengan koreksi TIO Kedudukan Pergerakan

2.4

STATUS OFTALMOLOGIS OD
5/5 N/P Orthophoria

OS
5/5 N/P Orthophoria

Palpebra - edema - hiperemi - trikiasis Konjungtiva - bulbi: injeksi konjungtiva - tarsal: folikel, hiperemi - injeksi silier Kornea - warna - permukaan - infiltrate Bilik mata depan - kedalaman - hifema - hipopion Iris / pupil - warna iris - bentuk pupil - reflek cahaya Lensa - warna - Iris shadow Vitreus Retina

+ + + Jernih Cembung Cukup Hitam Bulat, central + jernih Tidak dilakukan Tidak dilakukan

+ Jernih Cembung Cukup Hitam Bulat, central + jernih Tidak dilakukan Tidak dilakukan

2.5

DIAGNOSIS Working diagnosis Differential Diagnosis : ODS konjungtivitis bakterial : ODS konjungtivitis viral ODS konjungtivitis alergik

2.6

PENATALAKSANAAN Planning Diagnosis Planning Therapy : pemeriksaan sediaan langsung : ODS Tobroson ED 6 dd gtt I ODS C Mycetine EO a.n

2.7

PROGNOSIS Ad vitam Ad Functionam Ad Sanationam : dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam

BAB III TELAAH KASUS

3.1 Anatomi dan Fisiologi Konjungtiva Konjungtiva merupakan membran mukosa tipis yang membatasi permukaan dalam dari kelopak mata dan melipat ke belakang membungkus permukaan depan dari bola mata, kecuali bagian jernih di tengah-tengah mata (kornea). Membran ini berisi banyak pembuluh darah dan berubah merah saat terjadi inflamasi. Konjungtiva terdiri dari tiga bagian: 1. 2. 3. konjungtiva palpebralis (menutupi permukaan posterior dari palpebra). konjungtiva bulbaris (menutupi sebagian permukaan anterior bola mata). forniks (bagian transisi yang membentuk hubungan antara bagian posterior palpebra Meskipun konjungtiva agak tebal, konjungtiva bulbar sangat tipis. Konjungtiva bulbar juga bersifat dapat digerakkan, mudah melipat ke belakang dan ke depan. Pembuluh darah dengan mudah dapat dilihat di bawahnya. Di dalam konjungtiva bulbar terdapat sel goblet yang mensekresi musin, suatu komponen penting lapisan air mata pre-kornea yang memproteksi dan memberi nutrisi bagi kornea.

dan bola mata).

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva 3.2 Definisi Konjungtivitis Konjungtivitis merupakan peradangan pada konjungtiva (lapisan luar mata dan lapisan dalam kelopak mata) yang disebabkan oleh mikro-organisme (virus, bakteri, jamur, chlamidia), alergi, iritasi bahan-bahan kimia 4.

3.3 Etiologi Konjungtivitis Konjungtiva bisa mengalami peradangan akibat: Infeksi oleh virus atau bakteri Reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang Iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi udara lainnya; sinar ultraviolet dari las listrik atau sinar matahari.

Klasifikasi Konjungtivitis 1. Berdasarkan waktu: Akut kronis

2. Berdasarkan penyebabnya: 1 Konjungtivitis akut bacterial Konjungtivitis blenore Konjungtivitis gonore Konjungtivitis difteri Konjungtivitis folikuler Konjungtivitis angular Konjungtivitis mukokataral Blefarokonjungivitis

Konjungtivitis akut viral Keratokonjungtivitis epidemika Demam faringokonjungtiva Keratokonjungtivitis herpetik Keratokonjungtivitis New Castle Konjungtivitis hemoragik akut

Konjungtivitis akut jamur Konjungtivitis akut alergik Konjungtivitis vernal Konjungtivitis flikten Bakteri patogen yang paling umum pada conjungtivitis infeksi meliputi Pneumococcus, Staphylococcus aureus, Moraxella catarrhalis, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan yang jarang adalah Neisseria gonorrhoeae menyebabkan konjungtivitis hiperakut purulenta,

organismenya ditularkan dari genitalia ke tangan lalu ke mata. Chlamydia adalah penyebab tersering dari konjungtivitis persisten.3 Konjungtivitis viral dapat disebabkan oleh adenovirus, herpes simplex, Epstein-Barr, varicella zoster, molluscum contagiosum, coxsackie, dan enterovirus. Adenoviral konjungtivitis biasanya menyebabkan epidemik keratokonjungtivitis, follikular konjungtivitis, dan nonspesifik konjungtivitis.3 Virus picorna, atau enterovirus 70 menyebabkan konjungtivitis hemoragik epidemik akut.1 Konjungtivitis viral sangat menular dan menyebar melalui kontak langsung dengan orang atau permukaan yang terkontaminasi oleh sekret.3 Iritasi jamur pada konjungtiva jarang terjadi, sedangkan 50% infeksi jamur yang terjadi tidak memperlihatkan gejala. Terutama terjadi pada orang yang keadaan umumnya buruk, yang sedang memakai steroid atau obat anti kanker. Jamur yang dapat memberikan infeksi adalah candida albicans, yang dapat memberikan pseudomembran pada konjungtiva, Actinomyces sering menimbulkan kanakulitis.1 Konjungtivitis alergi merupakan konjungtivitis noninfeksi, dapat berupa reaksi cepat seperti alergi biasa dan reaksi terlambat sesudah beberapa hari kontak seperti pada rekasi terhadap obat, bakteri dan toksik. Umumnya disebabkan oleh bahan kimia dan mudah diobati dengan antihistamin atau bahan vasokonstriktor. Dikenal beberapa macam bentuk konjungtivitis alergi seperti konjungtivitis flikten, konjungtivitis vernal, konjungtivitis atopi, konjungtivitis alergi bakteri, konjungtivitis alergi akut, konjungtivitis alergi kronik, sindrom Stevens Johnson, pemfigoid okuli, dan sindrom Sjogren.1 Konjungtivitis flikten mempunyai 2 bentuk yaitu tipe bulbar dan limbal, yang terjadi akibat realsi hipersensitifitas tipe IV, berupa alergi terhadap tuberkuloprotein, staphylococ, ascariasis, dan lain-lain. Biasanya kelainan ini terdapat pada anak-anak dan orang dewasa muda.1

c Gambar 2. (a,b) konjungtivitis bakteri, konjungtivitis viral

Gambar 3. (a,b) konjungtivitis alergi, (c,d) konjungtivitis Jamur 3.4 Patofisiologi Konjungtivitis Konjungtiva mengandung epitel skuamosa yang tidak berkeratin dan substansia propria yang tipis, kaya pembuluh darah. Konjungtiva juga memiliki kelenjar lakrimal aksesori dan sel goblet.3 Konjungtivitis alergika disebabkan oleh respon imun tipe 1 terhadap alergen. Alergen terikat dengan sel mast dan reaksi silang terhadap IgE terjadi, menyebabkan degranulasi dari sel mast dan permulaan dari reaksi bertingkat dari peradangan. Hal ini menyebabkan pelepasan histamin dari sel mast, juga mediator lain termasuk triptase, kimase, heparin, kondroitin sulfat, prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien. histamin dan bradikinin dengan segera menstimulasi nosiseptor, menyebabkan rasa gatal, peningkatan permeabilitas vaskuler, vasodilatasi, kemerahan, dan injeksi konjungtiva.3 Konjuntivitis infeksi timbul sebagai akibat penurunan daya imun penjamu dan kontaminasi eksternal. Patogen yang infeksius dapat menginvasi dari tempat yang berdekatan atau dari jalur aliran darah dan bereplikasi di dalam sel mukosa konjungtiva. Kedua infeksi bakterial dan viral memulai reaksi bertingkat dari peradangan leukosit atau limfositik meyebabkan penarikan sel darah merah atau putih ke area tersebut. Sel darah putih ini mencapai permukaan konjungtiva dan berakumulasi di sana dengan berpindah secara mudahnya melewati kapiler yang berdilatasi dan tinggi permeabilitas.3 Pertahanan tubuh primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang menutupi konjungtiva. Rusaknya lapisan ini memudahkan untuk terjadinya infeksi. Pertahanan sekunder adalah sistem imunologi (tear-film immunoglobulin dan lisozyme) yang merangsang lakrimasi. 3.5 Diagnosa Konjungtivitis 3.5.1 Gejala dan Tanda Konjungtivitis

Gejala penting konjungtivitis adalah sensasi benda asing, yaitu tergores atau panas, sensasi penuh di sekitar mata, gatal dan fotofobia. Sensasi benda asing dan tergores atau terbakar sering berhubungan dengan edema dan hipertrofi papiler yang biasanya menyertai hiperemi konjungtiva. Sakit pada iris atau corpus siliaris mengesankan terkenanya kornea.4 Tanda penting konjungtivitis adalah hiperemia, berair mata, eksudasi, pseudoptosis, hipertrofi papiler, kemosis (edem stroma konjungtiva), folikel (hipertrofi lapis limfoid stroma), pseudomembranosa dan membran, granuloma, dan adenopati pre-aurikuler.4 Hiperemia adalah tanda paling mencolok pada konjungtivitis akut. Kemerahan paling nyata pada forniks dan mengurang ke arah limbus disebabkan dilatasi pembuluh-pembuluh konjungtiva posterior. Warna merah terang mengesankan konjungtivitis bakteri dan keputihan mirip susu mengesankan konjungtivitis alergika.4 Berair mata (epiphora) sering mencolok, diakibatkan oleh adanya sensasi benda asing, terbakar atau gatal. Kurangnya sekresi airmata yang abnormal mengesankan keratokonjungtivitis sicca.4 Eksudasi adalah ciri semua jenis konjungtivitis akut. Eksudat berlapis-lapis dan amorf pada konjungtivitis bakterial dan dapat pula berserabut seperti pada konjungtivitis alergika, yang biasanya menyebabkan tahi mata dan saling melengketnya palpebra saat bangun tidur pagi hari, dan jika eksudat berlebihan agaknya disebabkan oleh bakteri atau klamidia.4 Pseudoptosis adalah turunnya palpebra superior karena infiltrasi ke muskulus muller (M. Tarsalis superior). Keadaan ini dijumpai pada konjungtivitis berat. Misalnya Trachoma dan keratokonjungtivitis epidemika.4 Hipertrofi papila adalah reaksi konjungtiva non-spesifik yang terjadi karena konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di bawahnya oleh serabut-serabut halus. Ketika berkas pembuluh yang membentuk substansi papila (selain unsur sel dan eksudat) sampai di membran basal epitel, pembuluh ini bercabang-cabang di atas papila mirip jeruji payung. Eksudat radang mengumpul di antara serabut-serabut dan membentuk tonjolan-tonjolan konjungtiva. Pada penyakit yang mengalami nekrosis (mis.,trachoma), eksudat dapat digantikan oleh jaringan granulasi atau jaringan ikat.4 Bila papilanya kecil, konjungtiva umumnya tampak licin mirip beludru. Konjungtiva papiler merah mengesankan penyakit bakteri atau klamidia (mis.,konjungtiva tarsal merah mirip beludru adalah khas untuk trachoma akut). Infiltrasi nyata ke konjungtiva menghasilkan papilla besar dengan atap rata, poligonal, dan berwarna merah-keputihan. Pada tarsus superior papila seperti ini mengesankan keratokonjungtivitis vernal dan konjungtivitis papiler besar dengan sensitivitas lensa kontak; pada tarsus inferior, mengesankan keratokonjungtivitis atopik. Papila besar dapat pula timbul di limbus, terutama di daerah yang biasanya terpapar

10

saat mata dibuka (antara pukul 2 dan 4 dan antara pukul 8 dan 10). Di sini papila tampak berupa tonjolan-tonjolan gelatinosa yang dapat meluas sampai ke kornea. Papila limbus khas untuk keratokonjungtivitis vernal tetapi jarang pada keratokonjungtivitis atopi.4 Kemosis dari konjungtiva sangat memberi kesan konjungtivitis alergik akut tapi dapat juga timbul pada konjungtivitis gonococcal atau meningococcal akut dan terutama pada konjungtivitis adenoviral. Kemosis dari konjungtiva bulbar terlihat pada pasien dengan trichinosis. Kadang-kadang, kemosis dapat muncul sebelum infiltrat seluler atau eksudasi terlihat.4 Folikel terlihat pada kebanyakan kasus konjungtivitis virus. Pada semua kasus konjungtivitis klamidia kecuali konjungtivitis inklusi pada neonatus, pada beberapa kasus konjungtivitis parasitik, dan pada beberapa kasus konjungtivitis toksik yang disebabkan obatobatan topikal seperti idoxuridine, dipivefrin, dan miotic. Foikel pada forniks inferior dan pada batas tarsus mempunyai nilai diagnostik yang rendah, tapi saat terletak pada tarsus (terutama tarsus atas), konjungtivitis klamidial, viral, atau toksik (yang menyertai obat-obatan topikal) harus dicurigai.4 Folikel terdiri dari hiperplasia limfoid fokal berada dalam lapisan limfoid konjungtiva dan biasanya mengandung sentrum germinativum. Secara klinis, folikel dapat dikenali sebagai struktur bulat, putih atau abu-abu avaskuler. Dengan pemeriksaan slitlamp, pembuluh darah kecil dapat terlihat timbul dari batas folikel dan mengelilingi folikel.4 Pseudomembran dan membran adalah hasil proses eksudatif dan berbeda derajatnya. Sebuah pseudomembran adalah pengentalan di atas permukaan epitel. Bila diangkat, epitel tetap utuh. Sebuah membran adalah pengentalan yang meliputi seluruh epitel dan jika diangkat akan meninggalkan permukaan yang kasar dan berdarah. Pseudomembran atau membran dapat menyertai keratokonjungtivitis epidemika, konjungtivitis herpes simplex virus primer, konjungtivitis streptokokal, difteri, cicatrical pemphigoid, dan eritema multiforme mayor. Juga mungkin timbul sebagai akibat buruk luka bakar kimiawi, khususnya basa.4 Granuloma konjungtiva selalu mengenai stroma dan yang paling sering adalah chalazia. Penyebab endogen lain termasuk sarcoid, sifilis, cat-scratch disease, dan, yang jarang koksidiomikosis. Parinauds oculoglandular syndrome meliputi granuloma konjungtival dan nodus limfe periaurikuler yang menonjol, dan kelompok penyakit ini memerlukan pemeriksaan biopsi untuk menegakkan diagnosa.4 Limfadenopati periaurikuler adalah tanda penting dari konjungtivitis. Nodus periaurikuler yang terlihat mencolok tampak pada Parinauds oculoglandular syndrome dan, yang jarang, pada epidemic keratoconjunctivitis. Nodus periaurikuler yang besar maupun kecil, kadang sedikit nyeri tekan, muncul pada konjungtivitis herpes simplex primer, keratokonjungtivitis

11

epidemika, konjungtivitis inklusi, dan trachoma. Nodus periaurikuler yang kecil dan tidak nyeri tekan muncul pada demam faringokonjungtival dan konjungtivitis hemoragik akut. Kadang-kadang limfadenopati periaurikuler dapat terlihat pada anak dengan infeksi kelenjar meibomian.4 Pemeriksaan mata awal termasuk pengukuran ketajaman visus, pemeriksaan eksternal dan slit-lamp biomikroskopi. Pemeriksaan eksternal harus mencakup elemen berikut ini:5 Limfadenopati regional, terutama sekali preaurikuler Kulit: tanda-tanda rosacea, eksema, seborrhea Kelainan kelopak mata dan adneksa: pembengkakan, perubahan warna, malposisi, kelemahan, ulserasi, nodul, ekimosis, keganasan Konjungtiva: bentuk injeksi, perdarahan subkonjungtiva, kemosis, perubahan sikatrikal, simblepharon, massa, sekret Slit-lamp biomikroskopi harus mencakup pemeriksaan yang hati-hati terhadap:5 Margo palpebra: inflamasi, ulserasi, sekret, nodul atau vesikel, nodul atau vesikel, sisa kulit berwarna darah, keratinisasi Bulu mata: kerontokan bulu mata, kerak kulit, ketombe, telur kutu dan kutu Punctum lacrimal dan canaliculi: penonjolan, sekret Konjungtiva tarsal dan forniks 1. Adanya papila, folikel dan ukurannya 2. Perubahan sikatrikal, termasuk penonjolan ke dalam dan simblepharon 3. Membran dan psudomembran 4. Ulserasi 5. Perdarahan 6. Benda asing 7. Massa 8. Kelemahan palpebra Konjungtiva bulbar/limbus: folikel, edema, nodul, kemosis, kelemahan, papila, ulserasi, luka, flikten, perdarahan, benda asing, keratinisasi Kornea 1. Defek epitelial 2. Keratopati punctata dan keratitis dendritik 3. Filamen 4. Ulserasi 5. Infiltrasi, termasuk infiltrat subepitelial dan flikten

12

6. Vaskularisasi 7. Keratik presipitat 3.5.2 Bilik mata depan: rekasi inflamasi, sinekia, defek transiluminasi Corak pewarnaan: konjungtiva dan kornea Pemeriksaan Penunjang Kebanyakan kasus konjungtivitis dapat didiagnosa berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan. Meskipun demikian, pada beberapa kasus penambahan tes diagnostik membantu.5 1. Kultur Kultur konjungtiva diindikasikan pada semua kasus yang dicurigai merupakan konjungtivitis infeksi neonatal. Kultur bakteri juga dapat membantu untuk konjungtivitis purulen berat atau berulang pada semua grup usia dan pada kasus dimana konjungtivitis tidak berespon terhadap pengobatan. 2. Kultur virus Bukan merupakan pemeriksaan rutin untuk menetapkan diagnosa. Tes imunodiagnostik yang cepat dan dilakukan dalam ruangan menggunakan antigen sudah tersedia untuk konjungtivitis adenovirus. Tes ini mempunyai sensitifitas 88% sampai 89% dan spesifikasi 91% sampai 94%. Tes imunodiagnostik mungkin tersedia untuk virus lain, tapi tidak diakui untuk spesimen dari okuler. PCR dapat digunakan untuk mendeteksi DNA virus. Ketersediannya akan beragam tergantung dari kebijakan laboratorium. 3. Tes diagnostik klamidial Kasus yang dicurigai konjungtivitis klamidial pada dewasa dan neonatus dapat dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium. Tes diagnostik yang berdasarkan imunologikal telah tersedia, meliputi tes antibodi imunofloresens langsung dan enzyme-linked imunosorbent assay. Tes ini telah secara luas digantikan oleh PCR untuk spesimen genital, dan, karena itu, ketersediaannya untuk spesimen konjungtival lebih terbatas. Ketersedian PCR untuk mengetes sampel okuler beragam. Meskipun spesimen dari mata telah digunakan dengan performa yang memuaskan, penggunaannya belum diperjelas oleh FDA. 4. Smear/sitologi Smear untuk sitologi dan pewarnaan khusus (mis.,gram, giemsa) direkomendasikan pada kasus dicurigai konjungtivitis infeksi pada neonatus, konjungtivitis kronik atau berulang, dan pada kasus dicurigai konjungtivitis gonoccocal pada semua grup usia. 5. Biopsi Biopsi konjungtiva dapat membantu pada kasus konjungtivitis yang tidak berespon pada terapi. Oleh karena mata tersebut mungkin mengandung keganasan, biopsi langsung dapat

13

menyelamatkan penglihatan dan juga menyelamatkan hidup. Biopsi konjungtival dan tes diagnostik pewarnaan imunofloresens dapat membantu menetapkan diagnosis dari penyakit seperti OMMP dan paraneoplastik sindrom. Biopsi dari konjungtiva bulbar harus dilakukan dan sampel harus diambil dari area yang tidak terkena yang berdekatan dengan limbus dari mata dengan peradangan aktif saat dicurigai sebagai OMMP. Pada kasus dicurigai karsinoma glandula sebasea, biopsi palpebra seluruh ketebalan diindikasikan. Saat merencanakan biopsi, konsultasi preoperatif dengan ahli patologi dianjurkan untuk meyakinkan penanganan dan pewarnaan spesimen yang tepat. 6. Tes darah Tes fungsi tiroid diindikasikan untuk pasien dengan SLK yang tidak mengetahui menderita penyakit tiroid. Konjungtivitis non-infeksius biasanya dapat didiagnosa berdasarkan riwayat pasien. Paparan bahan kimiawi langsung terhadapa mata dapat mengindikasikan konjungtivitis toksik/kimiawi. Pada kasus yang dicurigai luka percikan bahan kimia, pH okuler harus dites dan irigasi mata terus dilakukan hingga pH mencapai 7. Konjungtivitis juga dapat disebabkan penggunaan lensa kontak atau iritasi mekanikal dari kelopak mata.3 3.6 Diagnosa Banding Konjungtivitis
Tanda Tajam penglihatan Silau Sakit Mata merah Sekret Lengket kelopak Pupil Tensi Konjungtivitis Normal Tidak ada Pedes, rasa kelilipan Injeksi konjungtival Serous, mukos,purulen Terutama pagi hari Normal Normal, tidak terkena Iritis Turun nyata Nyata Sakit Injeksi siliar Tidak ada Tidak ada Mengecil Biasanya normal atau rendah (pegal) normal Keratitis Turun nyata Nyata Sakit Injeksi siliar Tidak ada Tidak ada Mengecil (3)

Diagnosa Banding Tipe Konjungtivitis yang lazim


Klinik&sitologi Gatal Hiperemia Eksudasi Adenopati preurikular Viral Minim Profuse Minim Lazim Bakteri Minim Sedang Menguncur Jarang Klamidia Minim Sedang Menguncur Lazim hanya konjungtivitis Atopik (alergi) Hebat Sedang Minim Tidak ada

14
inklusi Pewarnaan kerokan & eksudat Sakit tenggorokan Monosit Kadang Bakteri, PMN Kadang PMN, Plasma sel Tidak pernah Eosinofil Tak pernah(3)

3.7

Penatalaksanaan Konjungtivitis

3.7.1 Non Farmakologi Bila konjungtivitis disebabkan oleh mikroorganisme, pasien harus diajari bagaimana cara menghindari kontraminasi mata yang sehat atau mata orang lain. Perawat dapat memberikan intruksi pada pasien untuk tidak menggosok mata yang sakit dan kemudian menyentuh mata yang sehat, mencuci tangan setelah setiap kali memegang mata yang sakit, dan menggunakan kain lap, handuk, dan sapu tangan baru yang terpisah untuk membersihkan mata yang sakit. Asuhan khusus harus dilakukan oleh personal asuhan kesehatan guna mengindari penyebaran konjungtivitis antar pasien. 3.7.1 Farmakologi Terapi spesifik terhadap konjungtivitis bacterial tergantung temuan agen mikrobiologinya. 3.7.2 Untuk menghilangkan sekeret dapat dibilas dengan garam fisiologis. Farmakologi Pengobatan kadang-kadang diberikan sebelum pemeriksaan mikrobiologik dengan antibiotic tunggal seperti Kloramfenikol Gentamisin Tobramisin Eritromisin Sulfa Bila pengobatan tidak memberikan hasil setelah 3 5 hari maka pengobatan dihentikan dan ditunggu hasil pemeriksaan mikrobiologik. Pada konjungtivitis bakteri sebaiknya dimintakan pemeriksaan sediaan langsung (pewarnaan Gram atau Giemsa) untuk mengetahui penyebabnya. Bila ditemukan kumannya maka pengobatan disesuaikan. Apabila tidak ditemukan kuman dalam sediaan langsung, maka diberikan antibiotic spectrum luas dalam bentuk tetes mata tiap jam atau salep mata 4-5x/hari. Apabila memakai tetes mata, sebaiknya sebelum tidur diberi salep mata (sulfasetamid 10-15 %). Apabila tidak sembuh dalam 1

1. Penatalaksanaan Konjungtivitis Bakteri

15

minggu, bila mungkin dilakukan pemeriksaan resistensi, kemungkinan difisiensi air mata atau kemungkinan obstruksi duktus nasolakrimal. 2. Penatalaksanaan Konjungtivitis Virus Pengobatan umumnya hanya bersifat simtomatik dan antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Dalam dua minggu akan sembuh dengan sendirinya. Hindari pemakaian steroid topikal kecuali bila radang sangat hebat dan kemungkinan infeksi virus Herpes simpleks telah dieliminasi. Konjungtivitis viral akut biasanya disebabkan Adenovirus dan dapat sedmbuh sendiri sehingga pengobatan hanya bersifat suportif, berupa kompres, astrigen, dan lubrikasi. Pada kasus yang berat diberikan antibodi untuk mencegah infeksi sekunder serta steroid topikal. Konjungtivitis herpetik diobati dengan obat antivirus, asiklovir 400 mg/hari selama 5 hari. Steroid tetes deksametason 0,1 % diberikan bila terdapat episkleritis, skleritis, dan iritis, tetapi steroid berbahaya karena dapat mengakibatkan penyebaran sistemik. Dapat diberikan analgesik untuk menghilangkan rasa sakit. Pada permukaan dapat diberikan salep tetrasiklin. Jika terjadi ulkus kornea perlu dilakukan debridemen dengan cara mengoles salep pada ulkus dengan swab kapas kering, tetesi obat antivirus, dan ditutup selama 24jam. 3. Penatalaksanaan Konjungtivitis Alergi Umumnya kebanyakan konjungtivitis alergi awalnya diperlakukan seperti ringan sampai ada kegagalan terapi dan menyebabkan kenaikan menjadi tingkat sedang. Penyakit ringan sampai sedang biasanya mempunyai konjungtiva yang bengkak dengan reaksi konjungtiva papiler yang ringan dengan sedikit sekret mukoid. Kasus yang lebih berat mempunyai giant papila pada konjungtiva palpebranya, folikel limbal, dan perisai (steril) ulkus kornea.3 1. Alergi ringan Konjungtivitis alergi ringan identik dengan rasa gatal, berair, mata merah yang timbul musiman dan berespon terhadap tindakan suportif, termasuk air mata artifisial dan kompres dingin. Air mata artifisial membantu melarutkan beragam alergen dan mediator peradangan yang mungkin ada pada permukaan okuler. 2. Alergi sedang Konjungtivitis alergi sedang identik dengan rasa gatal, berair dan mata merah yang timbul musiman dan berespon terhadap antihistamin topikal dan/atau mast cell stabilizer. Penggunaan antihistamin oral jangka pendek mungkin juga dibutuhkan. Mast cell stabilizer mencegah degranulasi sel mast; contoh yang paling sering dipakai termasuk sodium kromolin dan Iodoxamide. Antihistamin topikal mempunyai masa kerja cepat yang meredakan rasa gatal dan kemerahan dan mempunyai sedikit efek samping;

16

tersedia dalam bentuk kombinasi dengan mast cell stabilizer. Antihistamin oral, yang mempunyai masa kerja lebih lama, dapat digunakan bersama, atau lebih baik dari, antihistamin topikal. Vasokonstriktor tersedia dalam kombinasi dengan topikal antihistamin, yang menyediakan tambahan pelega jangka pendek terhadap injeksi pembuluh darah, tapi dapat menyebabkan rebound injeksi dan inflamasi konjungtiva. Topikal NSAID juga digunakan pada konjungtivitis sedang-berat jika diperlukan tambahan efek anti-peradangan. 3. Alergi berat Penyakit alergi berat berkenaan dengan kemunculan gejala menahun dan dihubungkan dengan peradangan yang lebih hebat dari penyakit sedang. Konjungtivitis vernal adalah bentuk konjungtivitis alergi yang agresif yang tampak sebagai shield coneal ulcer. Rujukan spesialis harus dipertimbangkan pada kasus berat atau penyakit alergi yang resisten, dimana memerlukan tambahan terapi dengan kortikosteroid topikal, yang dapat digunakan bersama dengan antihistamin topikal atau oral dan mast cell stabilizer. Topikal NSAID dapat ditambahkan jika memerlukan efek anti-inflamasi yang lebih lanjut. Kortikosteroid punya beberapa resiko jangka panjang terhadap mata termasuk penyembuhan luka yang terlambat, infeksi sekunder, peningkatan tekanan intraokuler, dan pembentukan katarak. Kortikosteroid yang lebih baru seperti loteprednol mempunyai efek samping lebih sedikit dari prednisolon. Siklosporin topikal dapat melegakan dengan efek tambahan steroid dan dapat dipertimbangkan sebagai lini kedua dari kortikosteroid. Dapat terutama sekali berguna sebagai terapi lini kedua pada kasus atopi berat atau konjungtivitis vernal. 3.8 Komplikasi Konjungtivitis Penyakit radang mata yang tidak segera ditangani/diobati bisa menyebabkan kerusakan pada mata/gangguan pada mata dan menimbulkan komplikasi. Beberapa komplikasi dari konjungtivitis yang tidak tertangani diantaranya: 1. glaukoma 2. katarak 3. ablasi retina 4. komplikasi pada konjungtivitis kataral teronik merupakan segala penyulit dari blefaritis seperti ekstropin, trikiasis 5. komplikasi pada konjungtivitis purulenta seringnya berupa ulkus kornea 6. komplikasi pada konjungtivitis membranasea dan pseudomembranasea adalah bila sembuh akan meninggalkan jaringan perut yang tebal di kornea yang dapat mengganggu penglihatan, lama- kelamaan orang bisa menjadi buta 7. komplikasi konjungtivitis vernal adalah pembentukan jaringan sikratik dapat mengganggu penglihatan

17

3.9 Prognosa Konjungtivitis Mata dapat terkena berbagai kondisi. beberapa diantaranya bersifat primer sedang yang lain bersifat sekunder akibat kelainan pada sistem organ tubuh lain, kebanyakan kondisi tersebut dapat dicegah bila terdeteksi awal dan dapat dikontrol sehingga penglihatan dapat dipertahankan. Bila segera diatasi, konjungtivitis ini tidak akan membahayakan. Namun jika bila penyakit radang mata tidak segera ditangani/diobati bisa menyebabkan kerusakan pada mata/gangguan dan menimbulkan komplikasi seperti Glaukoma, katarak maupun ablasi retina.

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosa ODS kunjungtivitis bakterial dan penatalaksanaannya adalah dengan pemberian antibiotik topikal.

18

Konjungtivitis yaitu adanya inflamasi pada konjungtiva atau peradangan pada konjungtiva, selaput bening yang menutupi bagian berwarna putih pada mata dan permukaan bagian dalam kelopak mata. Konjungtivitis terkadang dapat ditandai dengan mata berwarna sangat merah dan menyebar begitu cepat dan biasanya menyebabkan mata rusak. Beberapa jenis Konjungtivitis dapat hilang dengan sendiri, tapi ada juga yang memerlukan pengobatan 4.2 Saran Pemberian KIE kepada masyarakat mengenai konjungtivitis dan penanganannya perlu dilakukan untuk menghindarkan terjadinya penularan terhadap pasien atau keluarga pasien yang lain.

DAFTAR PUSTAKA 1. Ilyas DSM, Sidarta,. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1998 2. http://www.scribd.com/doc/29896570/Definisi-Etiologi-KlasifikasiDan-Patofisiologi-Konjungtivitis

19

3. https://online.epocrates.com/u/291168/Acute+conjunctivitis/Summar y/Highlights 4. Vaughan, Daniel G. dkk. Oftalmologi Umum. Widya Medika. Jakarta. 2000 5. American Academy of Ophthalmology. Preferred practice pattern: conjunctivitis, 2nd ed. San Francisco, CA: American Academy of Ophthalmology; 2003

Anda mungkin juga menyukai