Anda di halaman 1dari 32

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah mata merah. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, atau kontak dengan benda asing, misalnya kontak lensa. Konjungtivitis alergi merupakan bentuk radang konjungtiva akibat reaksi alergi terhadap noninfeksi, dapat berupa reaksi cepat seperti alergi biasa dan reaksi terlambat sesudah beberapa hari kontak seperti pada reaksi terhadap obat, bakteri, dan toksik. Merupakan reaksi antibodi humoral terhadap alergen. Biasanya dengan riwayat atopi. Konjungtivitis alergi biasanya mengenai kedua mata. Tandanya, selain mata berwarna merah, mata juga akan terasa gatal. Produksi air mata juga berlebihan sehingga mata sangat berair.1 Konjungtivitis vernal adalah bentuk konjungtivitis alergi yang lebih serius dimana penyebabnya tidak diketahui. Kondisi paling sering terjadi pada anak laki-laki, khususnya yang berumur kurang dari 10 tahun pada yang musim memiliki gugur eksema, musim asma, atau alergi musiman. anak tidak Konjungtivitis vernal biasanya kambuh setiap musim semi dan hilang dan dingin. Banyak mengalaminya lagi pada umur dewasa muda.2,3 Penyebaran konjungtivitis vernal merata di dunia, terdapat sekitar 0,1% hingga 0,5% pasien dengan masalah tersebut. Penyakit ini lebih sering terjadi pada iklim panas (misalnya di Italia, Yunani, Israel, dan sebagian Amerika Selatan) daripada iklim dingin (seperti Amerika Serikat, Swedia, Rusia dan Jerman).4 Semua penelitian tentang penyakit ini melaporkan bahwa biasanya kondisi akan memburuk pada musim semi dan musim panas di 1

belahan bumi utara, itulah mengapa dinamakan konjungtivitis vernal (atau musim semi). Di belahan bumi selatan penyakit ini lebih menyerang pada musim gugur dan musim dingin. Akan tetapi, banyak pasien mengalami gejala sepanjang tahun, mungkin disebabkan berbagai sumber alergi yang silih berganti sepanjang tahun.2 Kelopak mata atau palpebra di bagian depan memiliki lapisan kulit yang tipis, sedang di bagian belakang terdapat selaput lendir tarsus yang disebut konjungtiva tarsal. Pada kelopak terdapat bagian-bagian berupa kelenjar-kelenjar dan otot. Kelenjar yang terdapat pada kelopak mata di antaranya adalah kelenjar Moll atau kelenjar keringat, kelenjar Zeiss pada pangkal rambut, dan kelenjar Meibom pada tarsus yang bermuara pada margo palpebra. Kalazion merupakan radang granulomatosa kronik yang steril dan idiopatik pada kelenjar meibom, umumnya ditandai oleh pembengkakan setempat yang tidak terasa sakit dan berkembang dalam beberapa minggu. Kalazion terjadi pada semua umur; sementara pada umur yang ekstrim sangat jarang, kasus pediatrik mungkin dapat dijumpai. Pengaruh hormonal terhadap sekresi sabaseous dan viskositas mungkin menjelaskan terjadinya penumpukan pada masa pubertas.2 B. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk:
1. Menambah pengetahuan mengenai konjungtivitis vernal terkait alur

diagnosis serta penatalaksanaannya.


2. Menambah pengetahuan mengenai kalazion terkait alur diagnosis serta

penatalaksanaannya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1. Konjungtivitis Vernal Anatomi & Fisiologi Konjungtiva Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea limbus.2 Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :2 a. Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus. b.Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya. c. Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.1

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva4 Secara histologis, konjungtiva terdiri atas lapisan :2


a.

Lapisan epitel konjungtiva, terdiri dari dua hingga lima

lapisan sel epitel silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas karankula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari selsel epitel skuamosa.
b.

Sel-sel epitel supercial, mengandung sel-sel goblet bulat

atau oval yang mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata secara merata diseluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. c. Stroma konjungtiva, dibagi menjadi : 1) Lapisan adenoid (superficial) Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan dibeberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler. 2) Lapisan fibrosa (profundus) 4

Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reksi papiler pada radang konjungitiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata.
d.

Kelenjar air mata asesori (kelenjar Krause dan wolfring),

yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak ditepi atas tarsus atas. 2. Definisi Konjungtivitis vernal adalah peradangan konjungtiva bilateral dan berulang (recurrence) yang khas, dan merupakan suatu reaksi alergi. Penyakit ini juga dikenal sebagai catarrh musim semi dan konjungtivitis musiman atau konjungtivitis musim kemarau. Sering terdapat pada musim panas di negeri dengan empat musim, atau sepanjang tahun di negeri tropis (panas).2,3 3. Etiologi dan Predisposisi Konjungtivitis vernal terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tipe I yang mengenai kedua mata, sering terjadi pada orang dengan riwayat keluarga yang kuat alergi.3,5 Mengenai pasien usia muda 3-25 tahun dan kedua jenis kelamin sama. Biasanya pada laki-laki mulai pada usia dibawah 10 tahun. Penderita konjungtivitis vernal sering menunjukkan gejala-gejala alergi terhadap tepung sari rumput-rumputan.5 Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:5,6 a. Tipe I : Reaksi Anafilaksi Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam basofil dengan hal ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini 5

menimbulkan reaksi tipe cepat. Contoh: Konjungtivitis vernal dan anterior uveitis disebabkan oleh makanan. b. Tipe II : reaksi sitotoksik Di sini antigen terikat pada sel sasaran. Antibodi dalam hal ini IgE dan IgM dengan adanya komplemen akan diberikan dengan antigen, sehingga dapat mengakibatkan hancurnya sel tersebut. Contoh: Melanoma Maligna c. Tipe III : reaksi imun kompleks Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk kompleks imun. Keadaan ini menimbulkan faktor neurotrophichemotactic yang dapat menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi pada pembuluh darah kecil. Reaksi demikian juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks dan uveitis rekurens. d. Tipe IV : Reaksi tipe lambat Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai pada reaksi penolakan pasca keratoplasti, keratokonjungtivitis flikten, keratitis Herpes simpleks dan keratitis diskiformis.

Gambar 2. Peranan Sel Mast pada Inflamasi Konjungtiva5

4.

Manifestasi Klinis Gejala yang mendasar adalah rasa gatal, manifestasi lain yang menyertai meliputi mata berair, sensitif pada cahaya, rasa pedih terbakar, dan perasaan seolah ada benda asing yang masuk. Penyakit ini cukup menyusahkan, muncul berulang, dan sangat membebani aktivitas penderita sehingga menyebabkan ia tidak dapat beraktivitas normal.4 Terdapat dua bentuk klinik, yaitu :
a.

Bentuk palpebra, terutama mengenai konjungtiva tarsal

superior. Terdapat pertumbuhan papil yang besar (cobble stone) yang diliputi sekret yang mukoid. Konjungtiva tarsal bawah hiperemi dan edema, dengan kelainan kornea lebih berat dibanding bentuk limbal. Secara klinik papil besar ini tampak sebagai tonjolan bersegi banyak dengan permukaan yang rata dan dengan kapiler di tengahnya.

Gambar 3. Konjungtivitis vernal bentuk palpebral4


b.

Bentuk limbal, hipertrofi papil pada limbus superior

yang dapat membentuk jaringan hiperplastik gelatin, dengan Trantas dot yang merupakan degenerasi epitel kornea atau eosinofil di bagian epitel limbus kornea, terbentuknya pannus, dengan sedikit eosinofil.

Gambar 4. Konjungtivitis vernal bentuk limbal4 5. Patofisiologi Perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya dengan timbulnya radang insterstitial yang banyak didominasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I. Pada konjungtiva akan dijumpai hiperemia dan vasodilatasi difus, yang dengan cepat akan diikuti dengan hiperplasi akibat proliferasi jaringan yang menghasilkan pembentukan jaringan ikat yang tidak terkendali. Kondisi ini akan diikuti oleh hyalinisasi dan menimbulkan deposit pada konjungtiva 8

sehingga terbentuklah gambaran cobblestone4. Jaringan ikat yang berlebihan ini akan memberikan warna putih susu kebiruan sehingga konjungtiva tampak buram dan tidak berkilau5. Proliferasi yang spesifik pada konjungtiva tarsal, oleh von Graefe disebut pavement like granulations. Hipertrofi papil pada konjungtiva tarsal tidak jarang mengakibatkan ptosis mekanik dan dalam kasus yang berat akan disertai keratitis serta erosi epitel kornea. Pada bentuk palpebral, jaringan epitel membesar pada beberapa area dan menular ke area lainnya. Kadangkala, eosinofil (warna kemerahan) tampak kuat di antara sel-sel jaringan epitel. Perubahan yang menonjol dan parah terjadi pada substansi propria (jaringan urat). Pada tahap awal jaringan terinfiltrasi dengan limfosit, sel plasma, eosinofil, dan basofil. Sejalan dengan perkembangan penyakit, semakin banyak sel yang berakumulasi dan kolagen baru terbentuk, sehingga menghasilkan bongkolbongkol besar pada jaringan yang timbul dari lempeng tarsal. Terkait dengan perubahan-perubahan tersebut adalah adanya pembentukan pembuluh darah baru dalam jumlah yang banyak. Peningkatan jumlah kolagen berlangsung cepat dan menyolok.7,8 Limbus konjungtiva juga memperlihatkan perubahan akibat vasodilatasi dan hipertropi yang menghasilkan lesi fokal. Pada tingkat yang berat, kekeruhan pada limbus sering menimbulkan gambaran distrofi dan menimbulkan gangguan dalam kualitas maupun kuantitas stem cells limbus. Sekresi mukus yang kental dan melekat pada penderita konjungtivitis vernalis, menurut Neumann dan Krantz, mengandung banyak mukopolisakarida serta asam hyaluronat. Walaupun karakteristik klinis dan patologi konjungtivitis vernal telah digambarkan secara luas, namun patogenesis spesifik masih belum dikenali. 7,8 6. Pemeriksaan Penunjang

Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa terdapat banyak eosinofil dan granula eosinofilik bebas.9 Pada pemeriksaan darah ditemukan eosinofilia dan peningkatan kadar serum IgE.4,8 Pada konjungtivitis vernal, terdapat sebagian besar sel yang secara rutin tampak dalam jaringan epitel. Pengawetan yang lebih baik adalah menggunakan glutaraldehyde, lapisan plastik, dan ditampilkan pada media sehingga dapat memungkinkan untuk menghitung jumlah sel ukuran 1

berdasarkan jenis dan lokasinya. Jumlah rata-rata sel per milimeter persegi tidak melampaui jumlah normal. Diperkirakan bahwa peradangan sel secara maksimum seringkali berada dalam kondisi konjungtiva normal. Jadi, untuk mengakomodasi lebih banyak sel dalam proses peradangan konjungtivitis vernal, maka jaringan akan membesar dengan cara peningkatan jumlah kolagen dan pembuluh darah.4,8 Jaringan tarsal atas yang abnormal ditemukan dari empat pasien konjungtivitis vernal yang terkontaminasi dengan zat imun, yaitu: dua dari empat pasien mengandung spesimen IgA-, IgG-, dan IgE- secara berlebih yang akhirnya membentuk sel plasma. Sel-sel tersebut tidak ditemukan pada konjungtiva normal dari dua pasien lainnya. Kandungan IgE pada air mata yang diambil dari sampel serum 11 pasien konjungtivitis vernal dan 10 subjek kontrol telah menemukan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara air mata dengan level kandungan serum pada kedua mata. Kandungan IgE pada air mata diperkirakan muncul dari serum kedua mata, kandungan IgE dalam serum (1031ng/ml) dan pada air mata (130ng/ml) dari pasien konjungtivitis vernal melebihi kandungan IgE dalam serum (201ng/ml) dan pada air mata (61ng/ml) dari orang normal. Butiran antibodi IgE secara 10

spesifik ditemukan pada air mata lebih banyak daripada butiran antibodi pada serum. Selain itu, terdapat 18 dari 30 pasien yang memiliki level antibodi IgG yang signifikan yang menjadi butiran pada air matanya. Orang normal tidak memiliki jenis antibodi ini pada air matanya maupun serumnya. Hasil pengamatan ini menyimpulkan bahwa baik IgE- dan IgG- akan menjadi perantara mekanisme imun yang terlibat dalam patogenesis konjungtivitis vernal, dimana sistesis lokal antibodi terjadi pada jaringan permukaan mata. Kondisi ini ditemukan negatif pada orang-orang yang memiliki alergi udara, tetapi pada penderita konjungtivitis vernal lebih banyak berhubungan dengan antibodi IgG dan mekanisme lainnya daripada antibodi IgE. Kandungan histamin pada air mata dari sembilan pasien konjungtivitis vernal (38ng/ml) secara signifikan lebih tinggi daripada kandungan histamin air mata pada 13 orang normal (10ng/ml, P<0.05). Hal ini sejalan dengan pengamatan menggunakan substantia mikroskopi daripada elektron dengan yang diperkirakan yang menemukan tujuh kali lipat lebih banyak sel mastosit dalam propia pengamatan menggunakan mikroskopi cahaya. Sejumlah besar sel mastosit ini terdapat pada air mata dengan level histamin yang lebih tinggi.8 Hapusan konjungtiva pada daerah-daerah yang terinfeksi menunjukkan adanya banyak eosinofil dan butiran eosinofilik. Ditemukan lebih dari dua eosinofil tiap pembesaran 25x dengan sifat khas penyakit (pathognomonic) konjungtivitis vernal. Tidak ditemukan adanya akumulasi eosinofil pada daerah permukaan lain pada level ini.4 7. Diagnosis Banding 11

Walaupun secara prinsip konjungtivitis vernal sangat berbeda dengan trakoma dan konjungtivitis demam rumput, namun seringkali gejalanya membingungkan dengan dua penyakit tersebut. Trakoma ditandai dengan banyaknya serabutserabut sejati yang terpusat, sedangkan pada konjungtivitis vernal jarang tampak serabut sejati. Pada trakoma, eosinofil tidak tampak pada hapusan konjungtiva maupun pada jaringan, sedangkan pada konjungtivitis vernal, eosinofil memenuhi jaringan. Trakoma meninggalkan parut-parut pada tarsal, sedangkan konjungtivitis vernal tidak, kecuali bila terlambat ditangani. Tanda konjungtivitis demam rumput adalah edema, sedangkan tanda konjungtivitis vernal adalah infiltrasi selular. Demam rumput memiliki karakteristik sedikit eosinofil, tidak ada sel mastosit pada jaringan epitel, tidak ada peningkatan sel mastosit pada substantia propria, dan tidak terdapat basofil, sedangkan konjungtivitis vernal memiliki karakteristik adanya tiga serangkai, yaitu: sel mastosit pada jaringan epitel, adanya basofil, dan adanya eosinofil pada jaringan. Tabel 1. Diagnosis banding Trakoma, Konjungtivitis folikularis, Konjungtivitis vernal.3,4

12

Trakoma Gambaran lesi

Konjungtivitis

Konjungitvitis vernal Nodul lebar datar dalam susunan stone konjungtiva atas dan diselimuti

folikularis (kasus dini) papula kecil atau Penonjolan bercak (folikel merah bertaburan merah-muda Pada teratur

dengan bintik putih-kuning pucat tersusun cobble trakoma). tarsal dan seperti pada bawah, konjungtiva butir sagu) (kasus deretan beads tarsal parut,

lanjut) granula (menyerupai terutama Ukuran lesi Lokasi lesi atas Penonjolan konjungtivatarsal besar lesi Penonjolan

lapisan susu

Penonjolan tarsus palpebra;

besar atau

konjungtiva tarsal atas dan kecil kornea-panus, infiltrasi abu-abu bawah tarsal dan dan bawah

terutama tipe

teristimewa lipatan retrotarsal konjungtiva

bawah konjungtiva tarsus forniks terlibat, forniks tarsus bebas. Tipe limbus atau bulbus; limbus terlibat forniks bebas, konjungtiva tarsus bebas (tipe campuran lazim) tarsus tidak terlibat

pembuluh tarsus terlibat.

tidak terlibat.

Tipe sekresi Hapusan

Kotoran air berbusa atau Mukoid frothy pada stadium lanjut. purulen Kerokan epitel dari Kerokokan konjungtiva dan kornea tidak memperlihatkan

atau Bergetah, seperti susu Eosinofil karakteristik konstan sekresi

bertali,

dan pada

ekfoliasi, karakteristik (Koch-Weeks, MoraxAxenfeld, mikrokokus kataralis stafilokokkus,

proliferasi, inklusi seluler.

Penyulit atau sekuela

Kornea: panus,

pneumokokkus) kekeruhan Kornea: ulkus Kornea: kornea Palpebra: ektropion atau blefaritis, Palpebra:

infiltrasi 13 (tipe

kornea, xerosis, kornea Konjungtiva: simblefaron Palpebra: ektropion entropion trikiasis

kornea (tipe limbal) pseudoptosis tarsal)

8. Komplikasi Dapat menimbulkan keratitis epitel atau ulkus kornea superfisial sentral atau parasentral, yang dapat diikuti dengan pembentukan jaringan sikatriks yang ringan. Penyakit ini juga dapat menyebabkan penglihatan menurun. Kadang-kadang didapatkan panus, yang tidak menutupi seluruh permukaan kornea. Perjalanan penyakitnya sangat menahun dan berulang, sering menimbulkan kekambuhan terutama di musim panas.4 9. Penatalaksanaan Biasanya penyakit ini akan sembuh sendiri. Tetapi medikasi yang dipakai terhadap gejala hanya memberikan hasil jangka pendek, karena dapat berbahaya jika dipakai untuk jangka panjang. Penggunaan steroid berkepanjangan ini harus dihindari karena bisa terjadi infeksi virus, katarak, hingga ulkus kornea oportunistik.10
a.

Farmakologi11 Kortikosteroid lokal diberikan pada fase akut dengan gejala mata merah kecoklatan (kotor) dan keluhan sangat gatal. Diberikan setiap 2 jam selama 4 hari, untuk selanjutnya digantikan obat-obat lain seperti:

1)

Sodium cromoglycate 2% topikal dapat diberikan 4 - 6 kali 1 tetes/ hari Lodoxamide tromethamine 0,1% 4 x 2 tetes/hari Lodoxamide digunakan pada konjungtivitis vernal dengan derajat sedang sampai berat. Sangat efektif untuk mencegah terjadinya komplikasi pada kornea.

untuk mencegah degranulasi sel mast. 2)

3) 4)

Levocabastin 2 4 x 1 tetes/hari. Anti histamin dan steroid sistemik dapat diberikan pada kasus yang berat.

14

5)

Cromolyn topical adalah agen profilaktik yang baik untuk kasus sedang

sampai berat. Bila tidak ada hasil dapat diberikan radiasi, atau dilakukan pengangkatan giant papil.
6)

Antibiotik dapat diberikan untuk mencegah infeksi sekunder disertai Anti-radang non-steroid yang lebih baru, seperti kerolac cukup bermanfaat

dengan sikloplegik.
7)

mengurangi gejala.
b.

Non Farmakologi10 Penderita diusahakan untuk menghindari menggosokgosok karena akan menyebabkan iritasi berlanjut. Kompres dingin dapat juga digunakan untuk menghilangkan edema. Selain itu, tidur di tempat ber AC dapat menyamankan pasien. Lebih baik apabila penderita pindah ke tempat beriklim sejuk dan lembab. 10. Prognosis Kondisi ini dapat terus berlanjut dari waktu ke waktu, dan semakin memburuk selama musim-musim tertentu.12

B.

Kalazion 1. Definisi Kalazion merupakan peradangan granulomatosa kelenjar Meibom yang tersumbat. Pada kalazion terjadi penyumbatan kelenjar Meibom dengan infeksi ringan yang mengakibatkan peradangan kronis

15

tersebut. Biasanya kelainan ini dimulai penyumbatan kelenjar oleh infeksi dan jaringan parut lainnya.13 2. Etiologi Kalazion juga disebabkan sebagai lipogranulomatosa kelenjar Meibom.2 Kalazion mungkin timbul spontan disebabkan oleh sumbatan pada saluran kelenjar atau sekunder dari hordeolum internum. Kalazion dihubungkan dengan seborrhea, chronic blepharitis, dan acne rosacea. 3. Epidemiologi Kalazion terjadi pada semua umur; sementara pada umur yang ekstrim sangat jarang, kasus pediatrik mungkin dapat dijumpai. Pengaruh hormonal terhadap sekresi sabaseous dan viskositas mungkin menjelaskan terjadinya penumpukan pada masa pubertas dan selama kehamilan. 4. Patofisiologi Kalazion merupakan radang granulomatosa kelenjar Meibom. Nodul terlihat atas sel imun steroid responsif termasuk jaringan ikat makrofag seperti histiosit, sel raksasa multinucleate sel plasma, sepolimorfonuklear leukosit dan eosinofil.2 Kalazion akan memberi gejala adanya benjolan pada kelopak, tidak hiperemik, tidak ada nyeri tekan, dan adanya pseudoptosis. Kelenjar preaurikuler tidak membesar. Kadang-kadang mengakibatkan perubahan bentuk bola mata akibat tekanannya sehingga terjadi kelainan refraksi pada mata tersebut. Kerusakan lipid yang mengakibatkan tertahannya sekresi kelenjar, kemungkinan karena enzim dari bakteri, membentuk jaringan granulasi dan mengakibatkan inflamasi. Proses granulomatous ini yang membedakan antara kalazion dengan hordeolum internal atau eksternal (terutama proses piogenik yang menimbulkan pustul), walaupun 16

kalazion dapat menyebabkan hordeolum, begitupun sebaliknya. Secara klinik, nodul tunggal (jarang multipel) yang agak keras berlokasi jauh di dalam palpebra atau pada tarsal. Eversi palpebra mungkin menampakkan kelenjar meibom yang berdilatasi.2 5. Manifestasi Klinis a. Benjolan pada kelopaka mata, tidak hiperemis dan tidak ada nyeri tekan. b. Pseudoptosis c. Kelenjar preaurikel tidak membesar. d. Kadang-kadang mengakibatkan perubahan bentuk bola mata akibat tekanannya sehingga terjadi kelainan refraksi pada mata tersebut.
e. Pada anak muda dapat diabsobsi spontan.14

Gambar 5. Kalazion 6. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan kelopak mata. Kadang saluran kelenjar Meibom bisa tersumbat oleh suatu kanker kulit, untuk memastikan hal ini maka perlu dilakukan pemeriksaan biopsi. 7. Penatalaksanaan 17

Kadang-kadang kalazion sembuh atau hilang dengan sendirinya akibat diabsorbsi (diserap) setelah beberapa bulan atau beberapa tahun. a. Kompres hangat 10-20 menit 4kali sehari. b. Antibiotika topikal dan steroid disertai kompres panas dan bila tidak berhasil dalam waktu 2 minggu maka dilakukan pembedahan. c. Bila kecil dapat disuntik steroid dan yang besar dapat dilakukan pengeluaran isinya. Untuk mengurangi gejala : a. Dilakukan ekskokleasi isi abses dari dalamnya atau dilakukan ekstirpasi kalazion tersebut. Insisi dilakukan seperti insisi pada hordeolum internum.
b.

Bila terjadi kalazion yang berulang, beberapa kasus dilakukan pemeriksaan histopatologik untuk

sebaiknya

menghindarkan kesalahan diagnosis dengan kemungkinan adanya suatu keganasan.15 Ekskokleasi Kalazion Terlebih dahulu mata ditetesi dengan anastesi topikal pentokain. Obat anestesi infiltratif disuntikan dibawah kulit di depan kalazion. Kalazion dijepit dengan klem kalazion kemudian klem dibalik sehingga konjungtiva tarsal dan kalazion terlihat. Dilakukan insisi tegak lurus margo palpebra dan kemudian isi kalazion dikuret sampai bersih. Klem kalazion dilepas dan diberi salep mata. Pada abses palpebra pengobatan dilakukan dengan insisi dan pemasangan drain kalau perlu diberi antibiotik, lokal dan sistemik. Analgetik dan sedatif diberikan bila sangat diperlukan untuk rasa sakit.15

18

Gambar 6. Ekskokleasi Kalazion 8. Komplikasi Rusaknya sistem drainase pada kalazion dapat menyebabkan trichiasis, dan kehilangan bulu mata. Kalazion yang rekuren atau tampat atipik perlu dibiopsi untuk menyingkirkan adanya keganasan. Astigmatisma dapat terjadi jika massa pada palpebra sudah mengubah kontur kornea. Kalazion yang drainasenya hanya sebagian dapat menyebabkan massa jaringan granulasi prolapsus diatas konjungtiva atau kulit. 9. Prognosis Pasien yang memperoleh perawatan biasanya memperoleh hasil yang baik. Seringkali timbul lesi baru, dan rekuren dapat terjadi pada lokasi yang sama akibat drainase yang kurang baik. Kalazion yang tidak memperoleh perawatan dapat mengering dengan sendirinya, namun sering.

BAB III LAPORAN KASUS

19

Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Selasa tanggal 6 Maret 2012 di Poliklinik Mata RSUD A.W. Sjahranie Samarinda. Sumber anamnesis: autoanamnesis A. Anamnesis Identitas Pasien Nama Usia Pekerjaan Suku Agama Alamat : An. IA : 11 tahun : Pelajar : Jawa : Islam : Jln. Yos Sudarso Samarinda

Jenis kelamin : Laki-laki

Keluhan Utama: Kedua mata merah Riwayat penyakit sekarang: Kedua mata merah sudah dialami pasien sejak 3 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan kedua mata terasa gatal dan sering berair, hanya sedikit kotoran mata saat bangun tidur, sedangkan pada mata kiri terasa mengganjal. Keluhan ini dirasakan pasien terutama pada saat cuaca panas dan berdebu. Keluhan ini sudah sering dirasakan oleh pasien dalam kurun waktu 1 tahun terakhir secara berulang, namun pasien tidak berobat dan keluhan hilang dalam beberapa hari. Pasien juga mengeluhkan adanya pandangan kabur saat melihat jauh, namun ini sudah dirasakan sebelum adanya keluhan mata merah dan gatal. Pasien tidak mengeluhkan adanya rasa sakit pada mata. Riwayat penyakit dahulu: Pasien sering mengalami mata merah dan gatal secara berulang dalam waktu 1 tahun terakhir, terutama saat cuaca panas dan berdebu. 20

Riwayat penyakit keluarga: Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan serupa. Riwayat alergi disangkal oleh pasien. B. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum Kesadaran Tanda Vital 1. Tekanan darah: 110/70 mmHg 2. Nadi 3. Respirasi
4. Suhu

: baik : composmentis

: 86 x/menit : 20 x/menit : 36,5 C

Status generalisata 1. Kepala leher


2. Thorax

: Anemis (-), ikterik (-), pupil isokor, refleks cahaya : Bentuk dada dan pergerakan simetris, vesikuler,

(+/+), hiperemi okuler dextra et sinistra, pembesaran KGB rhonki (-/-), wheezing (-/-), sonor (+/+), S1 S2 tunggal reguler, gallop (-), murmur (-) 3. Abdomen teraba 4. Ekstremitas : akral hangat,edem (-) : flat, soefl, nyeri tekan (-), Hepar/Lien/Ginjal tidak

Pemeriksaan Visus Posisi bola mata Pergerakan bola mata

Oculi Dextra 6/15 Simetris Bebas ke segala arah,

Oculi Sinistra 6/15 Simetris Bebas ke segala arah, 21

Silia Palpebra superior

nyeri gerak (-) Normal Hematom (-), hiperemis (-), benjolan (-), edema (-), hipertrofi papil Hematom (-), hiperemis (-), benjolan (-), edema (-) Injeksi konjungtiva (+) injeksi siliar (-) Hiperemi Jernih Kedalaman normal,

nyeri gerak (-) Normal Hematom (-), hiperemis (-), benjolan (+), edema (-), hipertrofi papil Hematom (-), hiperemis (-), benjolan (-), edema (-) Injeksi konjungtiva (+) injeksi siliar (-) Hiperemi Jernih Kedalaman normal,

Palpebra inferior

Konjungtiva bulbi Konjungtiva tarsal Kornea COA Pupil Iris Lensa

hipopion (-), hifema (-) hipopion (-), hifema (-) Bulat, reguler, 3 mm, Bulat, reguler, 3 mm, refleks cahaya (+), Warna kecoklatan, kripte baik Jernih refleks cahaya (+), Warna kecoklatan, kripte baik Jernih

Gambar 7. Oculi dextra dan sinistra An. IA

22

Resume Seorang anak usia 11 tahun datang berobat ke poli mata RSUD A.W. Sjahranie dengan keluhan kedua mata merah sejak 3 hari yang lalu, disertai dengan rasa gatal, sering berair, hanya sedikit kotoran mata saat bangun tidur, sedangkan pada mata kiri terasa mengganjal. Pasien mengalami keluhan tersebut secara berulang dalam 1 tahun terakhir terutama pada saat cuaca panas dan berdebu. Pasien mengeluhkan adanya pandangan kabur saat melihat jauh, namun ini sudah dirasakan sebelum adanya keluhan mata merah dan gatal. Tidak ada riwayat alergi. Pemeriksaan oftalmologi OD: visus 6/15, pada konjungtiva bulbi terdapat injeksi konjungtiva, konjungtiva tarsal hiperemi, pada palpebra superior dan inferior Hematom (-), hiperemis (-), benjolan (-), edema (-), hipertrofi papil (+). Pemeriksaan oftalmologi OS: visus 6/15, pada konjuntiva bulbi terdapat injeksi konjungtiva, konjungtiva tarsal hiperemi, pada palpebra superior Hematom (-), hiperemis (-), benjolan (+), edema (-), hipertrofi papil (+) pada palpebra inferior Hematom (-), hiperemis (-), benjolan (-), edema (-). C. Pemeriksaan Penunjang Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang

D. Diagnosis Kerja ODS Konjungtivitis vernal OS Kalazion palpebra superior dengan ukuran diameter 1 mm E. Penatalaksanaan Planning Diagnosis
1. Melakukan pemeriksaan hapusan konjungtiva untuk mengetahui

etiologi konjungtivitis.

23

Planning Terapi 1. Terapi konjungtivitis vernal


a. Kortikosteroid lokal betamethasone Na phosphate 1 -2 tetes setiap

2 jam selama 4 hari b. Lodoxamide tromethamine 0,1 % 4 x 2 tetes/ hari c. Levocabastin 2 4 kali 1 tetes/ hari Planning Monitoring 1. Pasien dijadwalkan untuk kontrol satu minggu kemudian untuk mengetahui perkembangan hasil terapi. 2. Setelah konjungtivitis vernal sudah sembuh, direncanakan untuk melakukan insisi pada OD kalazion palpebra superior. 3. Melakukan pemeriksaan visus ulang setelah konjungtivitis sembuh, dan apabila visus tetap turun maka akan dilakukan koreksi visus terbaik. Planning Edukasi 1. Edukasi untuk konjungtivitis vernal a. Menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan tangan atau jari tangan b. Menggunakan kaca mata untuk mengurangi kontak dengan alergen
c. Hidari penggunaan obat tetes mata steroid secara terus-menerus

d. Kompres dingin selama 10 menit beberapa kali sehari e. Kontrol secara teratur
2. Edukasi untuk Kalazion tidak dapat sembuh atau hilang dengan

pengobatan, sehingga perlu dilakukan insisi untuk menangani kalazion. F. Prognosis Dubia ad bonam

24

BAB IV PEMBAHASAN Pasien anak laki-laki berusia 11 tahun datang ke poliklinik mata RSUD A.W. Sjahranie dengan keluhan kedua mata merah sejak 3 hari yang lalu, disertai dengan rasa gatal, sering berair, hanya sedikit kotoran mata saat bangun tidur, sedangkan pada mata kiri terasa mengganjal. Pasien mengeluhkan adanya pandangan kabur saat melihat jauh, namun ini sudah dirasakan sebelum adanya keluhan mata merah dan gatal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan visus 6/15 pada kedua mata, kornea jernih, pupil isokor, refleks cahaya (+), pada konjuntiva bulbi 25

terdapat injeksi konjungtiva, konjungtiva tarsal hiperemi, pada palpebra superior sinistra hematom (-), hiperemis (-), benjolan (+), edema (-), hipertrofi papil pada palpebra superior dextra et sinistra. Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dimana keluhan dan hasil dari beberapa pemeriksaan fisik mengarah pada konjungtivitis vernal, antara lain kedua mata merah, terasa gatal, sering berair dan terjadi secara berulang dalam 1 tahun terakhir terutama pada saat cuaca panas dan berdebu. Pasien mengatakan tidak ada riwayat alergi. Pasien juga merasakan adanya kotoran mata saat bangun tidur, dan mata kiri terasa mengganjal. Keluhan pada mata kiri yang terasa mengganjal, tanpa adanya rasa nyeri mengarah pada diagnosis kalazion. Konjungtivitis vernal terjadi akibat alergi dan cenderung kambuh pada musim panas. Konjungtivitis vernal sering terjadi pada anak-anak, biasanya dimulai sebelum masa pubertas dan berhenti sebelum usia 20 tahun. Penyebaran konjungtivitis vernal merata di dunia, terdapat sekitar 0,1% hingga 0,5% pasien dengan masalah tersebut. Penyakit ini lebih sering terjadi pada iklim panas (misalnya di Italia, Yunani, Israel, dan sebagian Amerika Selatan) daripada iklim dingin (seperti Amerika Serikat, Swedia, Rusia dan Jerman). Umumnya terdapat riwayat keluarga yang bersifat alergi atopik.4 Pada pasien ini terdapat beberapa gejala yang merupakan manifestasi klinis dari konjungtivitis vernal dimana keluhan kedua mata merah, gatal, sering berair yang terjadi secara berulang dalam 1 tahun terakhir terutama pada saat cuaca panas dan berdebu. Pasien juga mengeluhkan adanya pandangan kabur saat melihat jauh, namun keluhan tersebut dirasakan pasien sebelum adanya keluhan mata merah dan gatal. Berdasarkan anamesis, kemungkinan penyebab konjungtivitis vernal adalah alergi terhadap cuaca panas dan debu yang termasuk sebagai reaksi hipersensitif tipe I. Reaksi hipersensitif tipe I, antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat. Bila alergen berikatan dengan molekul IgE yang sebelumnya telah melekat 26

pada permukaan mastosit atau basofil, maka hal itu akan menyebabkan dilepaskannya berbagai mediator oleh mastosit atau basofil. Keadaan ini menyebabkan manifestasi klinik seperti mata berair, peningkatan sekresi hidung dan bersin pada hay fever, sesak dan batuk pada asma, kulit kemerahan dan gatal pada urtikaria. Reaksi alergi ini biasanya membutuhkan waktu 15-30 menit setelah pemaparan antigen, namun bisa berlanjut sampai 10 atau 12 jam. Alergi ini diperantarai oleh IgE namun komponen selular yang terlibat adalah sel mast dan basofil yang dibantu oleh platelet, neutrofil dan eosinofil. Pada biopsi jaringan biasanya yang nampak adalah sel mast dan eosinofil. Faktor genetik berperan dalam mengatur berbagai aspek timbulnya gejala alergi, diantaranya mengatur pembentukan IgE, respons imun spesifik terhadap alergen tertentu dan respons imun berlebihan. Meskipun faktor genetik diketahui berperanan dalam penyakit alergi yang diperantarai IgE, namun faktor lingkungan ternyata lebih berperan pada proses terjadinya alergi.11 Kalazion terjadi pada semua umur; sementara pada umur yang ekstrim sangat jarang, kasus pediatrik mungkin dapat dijumpai. Pengaruh hormonal terhadap sekresi sabaseous dan viskositas mungkin menjelaskan terjadinya penumpukan pada masa pubertas. Kalazion juga disebabkan sebagai lipogranulomatosa kelenjar Meibom yang timbul spontan disebabkan oleh sumbatan pada saluran kelenjar. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pemeriksaan oftalmologi didapatkan visus 6/15 pada kedua mata, kornea jernih, pupil isokor, refleks cahaya (+), pada konjungtiva bulbi terdapat injeksi konjungtiva, konjungtiva tarsal hiperemi, pada palpebra superior sinistra hematom (-), hiperemis (-), benjolan (+), edema (-), hipertrofi papil pada palpebra superior dextra et sinistra. Penurunan visus pada pasien ini dapat disebabkan karena pada kalazion terkadang dapat terjadi perubahan bentuk bola mata akibat tekanannya sehingga terjadi kelainan refraksi pada mata. Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan teori, pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan berupa hapusan konjungtiva untuk mempelajari gambaran sitologi. Hasil pemeriksaan menunjukkan banyak 27

eosinofil dan granula-granula bebas eosinofilik. Di samping itu, terdapat basofil dan granula basofilik bebas.4,8 Untuk kasus kalazion, terkadang saluran kelenjar Meibom bisa tersumbat oleh suatu kanker kulit, sehingga untuk memastikan hal ini maka perlu dilakukan pemeriksaan biopsi. Pada kasus ini pasien mendapatkan terapi farmakologi berupa Kortikosteroid lokal yaitu betamethasone Na phosphate 1 -2 tetes setiap 2 jam selama 4 hari, Lodoxamide tromethamine 0,1 % 4 x 2 tetes/ hari, dan Levocabastin 2 4 kali 1 tetes/ hari. Kortikosteroid lokal yaitu betamethasone Na phosphate diberikan pada fase akut dengan gejala mata merah kecoklatan dan keluhan sangat gatal. Betamethasone Na phospate bekerja dengan cara menstabilkan neutrofil lisosomal dan mencegah degranulasi, menghambat sintesis produk lipoxygenase dan prostaglandin, mengaktifkan gen anti-inflamasi, dan menghambat sitokin. Lodoxamide adalah stabilisator sel mast yang kira-kira 2500 kali lebih kuat dari cromolyn dalam pencegahan pelepasan histamin. Lodoxamide efektif dalam mengurangi tingkat tryptase dan perekrutan sel-sel inflamasi dalam cairan air mata setelah tantangan alergen. Dalam uji klinis awal, lodoxamide telah terbukti memberikan bantuan yang lebih besar dan sebelumnya pada pasien dengan bentuk yang lebih kronis dari konjungtivitis (yaitu, VKC, AKC, GPC) dari cromolyn. Levocabastine adalah agen topikal antihistamin kuat memiliki aktivitas yang cepat dan tahan lama tanpa efek sistem saraf pusat. Tampaknya levoisomer yang senyawa ini memiliki afinitas ikatan yang lebih besar dan spesifisitasdari dextroisomer, karena itu hanya levoisomer yang digunakan dalam persiapan, yang merupakan suspensi. Levocabastine memiliki H1-reseptor aktivitas selektif dengan minimal untuk mengikat dibandingkan dengan dopamin, adrenergik, serotonin, atau reseptor opiat. Levocabastine telah terbukti efektif dalam pengobatan alergi konjungtivitis bila dibandingkan dengan plasebo.10 Penatalaksanaan pada kalazion dapat dilakukan insisi. Namun pada pasien ini tidak dilakukan dan ditunda sampai konjungtivitis vernal dapat diatasi.

28

Kemudian, melakukan pemeriksaan visus ulang setelah konjungtivitis sembuh, dan apabila visus tetap turun maka akan dilakukan koreksi dengan visus terbaik. Prognosis pasien dengan konjungtivitis vernal dan kalazion yaitu dubia ad bonam, karena kondisi ini dapat terus berlanjut dari waktu ke waktu, dan semakin memburuk saat musim panas, dan kalazion dapat terjadi berulang.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Telah dilaporkan kasus pasien anak laki-laki, usia 11 tahun yang didiagnosis konjungtivitis vernal dan kalazion berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dengan keluhan kedua mata merah, gatal dan berair terutama pada saat cuaca panas dan berdebu. Keluhan tersebuh terjadi secara berulang dalam kurun waktu 1 tahun terakhir. Dari pemeriksaan oftalmologi didapatkan injeksi konjungtiva bulbi, konjungtiva tarsal 29

hiperemi, palpebra superior sinistra terdapat benjolan, dan pseudoptosis palpebra superior dextra et sinistra. Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien berupa terapi farmakologi antara lain kortikosteroid topikal, stabilisator sel mast, dan antihistamin topikal serta edukasi. Secara umum, alur penegakan diagnosis dan penatalaksanaan yang telah diberikan kepada pasien sesuai dengan literatur yang ada.

DAFTAR PUSTAKA Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta: FK UI. 2008. hal 133-134 Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC. 2000. hal :110. Troy Bedinghaus. 2009. Vernal Conjunctivitis http://vision.about.com/od/eyediseasesandconditions/g/Vernal_Conjunc.h tm diakses tanggal 7 Maret 2011. Sowka , Joseph W., Andrew S. Gurwood, Alan G. Kabat. 2001. Conjunctivitis Vernal (in Handbook of Ocular Disease Management). 30

http://cms.revoptom.com/handbook/hbhome.htm diakses tanggal 7 Maret 2011. Bielory, L. Allergic and immunologic disorders of the eye. Part I: Immunology of the eye. Current reviews of allergy and clinical immunology. J ALLERGY CLIN IMMUNOL 2000. p. 805 816. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ke-2. Jakarta: Sagung Seto. 2002. Hal 104. Bacon AS and McGill JL, Adhesion moleculer and relationship to leucocyte level in allergic eye disease, Invest Vis Sci l998(39):2. Linda J. Vorvick. 2010. Vernal Conjungtivitis. A service of the U.S. National Library tanggal 7 Maret 2012 Lambiase J, Boriani S, Increased plasma level of Substance p in Vernal Keratoconjunctivitis, Invest Ophthalmol and Vis Sci, Sept, l997, 2161-4.
1. Bielory, L. Allergic and immunologic disorders of the eye. Allergic and

of

Medicine. diakses

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001390.htm

immunologic disorders of the eye. Part II: Ocular allergy. J allergy clin immunol december. 2000. p. 1019 1032. 2. Nurwasis, dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi RSU Dokter Soetomo Surabaya Edisi III. 2006.
3. Hadinoto, D. Efek epigallocatechin-3-gallate (egcg) Topikal Terhadap

Ekspresi Siklooksigenase-2 Konjungtivitis Alergi pada Model Tikus Wistar.


4. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3. Jakarta: FK UI; 2009. hal

28-29.
5. Ilyas, Sidarta. dkk. Ilmu Penyakit Mata: Untuk Dokter Umum dan

Mahasiswa Kedokteran). Edisi ke-2. Jakarta: CV Sagung Seto; 2009. hal 61.
6. Ophthalmologists

of The Internationally Renowned Hospital for

Oculoplastic Surgery (online). Germany. 2006. Diunduh dari: URL:

31

http://www.palpebra.com/english/clinical_pictures/pic_2007025.html (diakses 13 Maret 2012).

32

Anda mungkin juga menyukai