Pembimbing:
dr. Imam Hidayat., Sp.S
Disusun oleh:
Lydia Irtanto 201704200283
M. Alfi Maulidi 201704200284
M. Prima Sakti 201704200285
Made Edgard Surya Erlangga Rurus 201704200286
Maria Evane Navy Cahaya Putri 201704200287
Mekar Pratiwi Samuel Mehang 201704200288
Melissa Suta 201704200289
Pembimbing
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat penyertaan-
Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul: “Guillain-
Barré Syndrome”. Penyusunan referat ini merupakan salah satu pemenuhan tugas
kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf di RSAL Dr.Ramelan Surabaya.
Penulis menyadari bahwa banyak bantuan, bimbingan, dukungan, dan kerja
sama yang positif dari berbagai pihak dalam menyelesaikan penyusunan referat
ini. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu, terutama kepada yang terhormat dr.
Iman Hidayat, Sp.S yang telah membimbing penyusunan referat ini.
Penulis sangat menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan
sehingga saran dan kritik sangat diharapkan. Demikian referat ini dibuat dengan
harapan bermanfaat bagi para pembaca.
ii
DAFTAR ISI
iii
2.6.4.2 Pemeriksaan Cerebro Spinal Fluid (CSF) ................. 10
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1
dan Hartung, 2012). Oleh karena itu, menjadi ketertarikan bagi penulis untuk
menyusun referat dengan judul Guillain-Barré Syndrome (GBS).
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Guillain-Barré Syndrome (GBS).
2. Untuk mengetahui etiologi Guillain-Barré Syndrome (GBS).
3. Untuk mengetahui klasifikasi Guillain-Barré Syndrome (GBS).
4. Untuk mengetahui patofisiologi Guillain-Barré Syndrome (GBS).
5. Untuk mengetahui gambaran klinis Guillain-Barré Syndrome (GBS).
6. Untuk mengetahui cara diagnosa dan kriteria diagnosa Guillain-Barré
Syndrome (GBS).
7. Untuk mengetahui diagnosis banding Guillain-Barré Syndrome (GBS).
8. Untuk mengetahui terapi Guillain-Barré Syndrome (GBS).
9. Untuk mengetahui prognosis Guillain-Barré Syndrome (GBS).
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat teoritis
Referat ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai Guillain-Barré
Syndrome (GBS), yang meliputi definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, gambaran
klinis, cara diagnosa, kriteria diagnosa, diagnosis banding, terapi, dan prognosis.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
4) 50% dari seluruh kasus terjadi sekitar 1 sampai 3 minggu setelah terjadi
penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan infeksi saluran
pencernaan.
4
dengan adanya kerusakan pada sistem saraf simpatis dan parasimpatis.
Manifestasi klinik dari acute pandysautonomia umumnya berupa
abnormalitas sistem kardiovaskuler (hipotensi postural, takikardia,
hipertensi, dan disritmia). Selain itu, dapat pula ditemukan manifestasi
lain berupa penglihatan kabur, mata kering dan anhidrosis. Acute
pandysautonomia sering dihubungkan dengan tingkat mortalitas yang
tinggi akibat adanya keterlibatan sistem kardiovaskuler.
5
2) Adanya autoantibodi terhadap sistem saraf tepi.
3) Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran
pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi
saraf tepi.
4) Proses demielinisasi saraf tepi pada Guillain-Barré Syndrome (GBS)
dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang
dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya. Pada Guillain-Barré
Syndrome (GBS), gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan
antibodi dalam sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan
pada myelin. Alasan mengapa komponen normal dari serabut myelin ini
menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus
dan bakteri diduga sebagai penyebab adanya respon dari antibodi
sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari adanya lapisan
lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia.
Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya
diare, mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari
gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni,
kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada
akson ini menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke bentuk
gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama. Berdasarkan
adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral maka sel-T
merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer.
Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya
proses demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf.
6
penyakit virus lain, seperti: cytomegalovirus, Virus Epstein-Barr, Human
Immunodefficiency Virus (HIV), dan radang usus oleh Compylobacter
jejenum.
4) Gejala-gejala umum didahului dengan paresthesia pada jari-jari kaki dan
tangan. Dalam beberapa hari diikuti dengan kelemahan otot yang
sifatnya simetris bilateral, dimulai dari otot-otot ekstremitas bawah
kemudian menuju ke otot-otot ekstremitas atas, wajah dan orofaring.
5) 30% kasus disertai kelemahan otot-otot wajah (facial diplegia).
6) Reflek-reflek tendon dalam (fisiologis) menurun atau menghilang.
7) Pada kasus berat disertai dengan kelemahan otot-otot untuk pernafasan,
menelan dan ekstra okuler.
8) Sering juga dengan keluhan nyeri dalam bentuk nyeri ischialgia, nyeri
pingggang dan nyeri punggung.
9) Gangguan sistem autonom yang berupa gangguan denyut jantung,
irama jantung, dan tekanan darah.
7
disfungsi sistem saraf autonomi merupakan salah satu kriteria untuk memperkuat
diagnosis Guillain-Barré Syndrome (GBS) (Japardi, 2002).
Pada GBS dengan komplikasi respiratory failure yang progresif, dapat
ditemukan adanya tachypnea sebagai manifestasi dyspnea, dan seiring
berkembangnya penyakit, hilangnya suara nafas (Andary, 2012).
8
berkembang naik (ascending) secara simetris dalam beberapa hari. Kelemahan otot
ekstremitas atas, badan, wajah, oropharyngeal, dan otot pernapasan umumnya
ditemukan seiring perjalanan penyakit yang semakin progresif. Kelemahan otot ini
bersifat hipotonik dan flaccid. Adanya kelemahan yang asimetris dapat
menyingkirkan diagnosis Guillain-Barré Syndrome (GBS) (Andary, 2012).
9
sensoris, yang berguna untuk membedakan antara AMAN dan AMSAN (Hughes dan
Cornblath, 2005).
Adanya demielinasi pada saraf menimbulkan temuan berupa blocking
konduksi dan perlambatan konduksi saraf. Blocking konduksi stimulus antara tempat
stimulasi dengan otot akan menyebabkan penurunan respon otot pada stimulasi
proksimal dari lesi, sedangkan pada stimulasi distal dari lesi, respon otot yang
normal akan didapatkan. Maka, terjadi penurunan amplitudo CMAP pada stimulasi
proksimal dari demielinasi, sedangkan didapatkan amplitudo CMAP normal pada
stimulasi distal dari demielinasi. Selain itu, akibat adanya perlambatan konduksi
saraf, didapatkan penurunan kecepatan hantaran saraf, prolongasi masa laten
motorik distal, dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda
perlambatan pada segmen proksimal saraf) (Meulstee, 1994).
Sedangkan, pada neuropati aksonal umumnya kecepatan hantaran saraf
tidak mengalami penurunan. Akan tetapi, sebagai akibat dari hilangnya motor unit
ditemukan penurunan amplitude CMAP dibawah normal (Meulstee, 1994).
10
adalah dibawah 10/ µL). CSF umumnya normal dalam 1 minggu setelah onset,
kemudian mulai terjadi peningkatan jumlah protein dalam CSF pada minggu ke 2
dan mencapai puncaknya pada 4 sampai 6 minggu setelah onset (Horton et al.,
2005; Rahim, 2013).
11
Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3.
Varian:
o Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu
gejala.
o Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3.
c. Gambaran elektro diagnostik yang mendukung diagnosa:
Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus.
Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal.
12
memerlukan terapi khusus selain terapi suportif. Pengenalan dan terapi sedini
mungkin sangat penting, dan terapi menggunakan opoid, gabapentin, dan
carbamazepine diperkirakan efektif, sedangkan penggunaan glukokortikoid tidak.
(Hughes dan Cornblath, 2005).
Imunoterapi pada Guillain-Barré Syndrome (GBS) adalah berupa pertukaran
plasma, yang merupakan terapi pertama yang diketahui efektif, terutama dalam
kurun waktu 2 minggu pertama setelah terjadinya awitan Guillain-Barré Syndrome
(GBS) yang tidak dapat berjalan. Untuk melakukan terapi pertukaran plasma tidak
selalu perlu dilakukan pemeriksaan elektrofisiologikal. Terapi pertukaran plasma
secara tidak spesifik mengeluarkan antibodi dan komplemen, serta dapat
menurunkan kerusakan saraf dan mempercepat perkembangan klinis jika
dibandingkan dengan terapi suportif (Hughes dan Cornblath, 2005).
Regimen empiris adalah 5 kali dalam waktu 2 minggu dengan total pertukaran
sebanyak 5 volume plasma. Terapi dengan imunoglobulin intravena yang dilakukan
dalam waktu 2 minggu setelah awitan penyakit, diketahui efektif seperti terapi
pertukaran plasma pada pasien Guillain-Barré Syndrome (GBS) yang tidak dapat
berjalan sendiri. Diketahui bahwa imunoglobulin dapat berperan sebagai penetralisir
antibodi patogen dan dapat menghambat aktivasi komplemen yang dimediasi oleh
autoantibodi, yang mengakibatkan penurunan kerusakan saraf dan meningkatkan
perkembangan klinis jika dibandingkan dengan pasien yang tidak diberikan terapi
apapun. Dosis yang digunakan adalah dosis total 2 gram per kilogram berat badan
dalam waktu 5 hari (Hughes dan Cornblath, 2005).
Dalam analisis eksperimen dengan sebanyak 100 pasien, 30% pasien yang
mendapatkan terapi plasma-exchange memiliki perkembangan secara fungsional.
Sedangkan pada pasien yang mendapatkan terapi dengan imunoglobulin memiliki
tingkat keberhasilan lebih rendah (Van der Meché et al., 1992).
13
besar membaik dengan atau tanpa pengobatan, tetapi mungkin tersisa beberapa
sisa disabilitas. Pasien yang memiliki riwayat infeksi Campylobacter jejuni, memiliki
manifestasi klinis yang lebih berat dan masa penyembuhan yang lebih lama
dibandingkan pasien lainnya. Pada pasien dengan infeksi cytomegalovirus (CMV),
proses penyembuhan terjadi lebih lambat. Sedangkan pada infeksi Epstein-Barr
virus, manifestasi klinisnya lebih ringan (Hughes dan Comblath, 2005).
14
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
15
DAFTAR PUSTAKA
16