Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

ILMU PENYAKIT SARAF


GUILLAIN-BARRÉ SYNDROME

Pembimbing:
dr. Imam Hidayat., Sp.S

Disusun oleh:
Lydia Irtanto 201704200283
M. Alfi Maulidi 201704200284
M. Prima Sakti 201704200285
Made Edgard Surya Erlangga Rurus 201704200286
Maria Evane Navy Cahaya Putri 201704200287
Mekar Pratiwi Samuel Mehang 201704200288
Melissa Suta 201704200289

BAGIAN ILMU KESEHATAN SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
RSAL DR. RAMELAN SURABAYA
2018
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
GUILLAIN-BARRÉ SYNDROME

Referat dengan judul “Guillain-Barré Syndrome” telah diperiksa dan disetujui


sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter
Muda di bagian Ilmu Penyakit Saraf di RSAL Dr. Ramelan Surabaya.

Surabaya, 26 Juli 2018

Pembimbing

dr. Imam Hidayat, Sp.S

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat penyertaan-
Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul: “Guillain-
Barré Syndrome”. Penyusunan referat ini merupakan salah satu pemenuhan tugas
kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf di RSAL Dr.Ramelan Surabaya.
Penulis menyadari bahwa banyak bantuan, bimbingan, dukungan, dan kerja
sama yang positif dari berbagai pihak dalam menyelesaikan penyusunan referat
ini. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu, terutama kepada yang terhormat dr.
Iman Hidayat, Sp.S yang telah membimbing penyusunan referat ini.
Penulis sangat menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan
sehingga saran dan kritik sangat diharapkan. Demikian referat ini dibuat dengan
harapan bermanfaat bagi para pembaca.

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................... i

KATA PENGANTAR ...................................................................................................ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 2

1.3 Tujuan ................................................................................................... 2

1.4 Manfaat ................................................................................................. 2

1.4.1 Manfaat teoritis........................................................................... 2

1.4.2 Manfaat praktis........................................................................... 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 3

2.1 Definisi Guillain-Barré Syndrome (GBS) ............................................... 3

2.2 Etiologi Guillain-Barré Syndrome (GBS) ............................................... 3

2.3 Klasifikasi Guillain-Barré Syndrome (GBS) ........................................... 4

2.4 Patofisiologi Guillain-Barré Syndrome (GBS) ....................................... 5

2.5 Gambaran Klinis Guillain-Barré Syndrome (GBS) ................................ 6

2.6 Diagnosa Guillain-Barré Syndrome (GBS)............................................ 7

2.6.1 Anamnesa .................................................................................. 7

2.6.2 Pemeriksaan fisik ....................................................................... 7

2.6.3 Pemeriksaan neurologis ............................................................. 8

2.6.3.1 Pemeriksaan saraf kranialis ........................................ 8

2.6.3.2 Pemeriksaan refleks .................................................... 8

2.6.3.3 Pemeriksaan motorik ................................................... 8

2.6.3.4 Pemeriksaan sensorik ................................................. 9

2.6.4 Pemeriksaan penunjang ............................................................ 9

2.6.4.1 Pemeriksaan elektrodiagnosis..................................... 9

iii
2.6.4.2 Pemeriksaan Cerebro Spinal Fluid (CSF) ................. 10

2.7 Kriteria Diagnosis Guillain-Barré Syndrome (GBS)............................. 11

2.8 Diagnosis Banding Guillain-Barré Syndrome (GBS) ........................... 12

2.9 Terapi Guillain-Barré Syndrome (GBS)............................................... 12

2.10 Prognosis Guillain-Barré Syndrome (GBS) ......................................... 13

BAB 3 PENUTUP ................................................................................................... 15

3.1 Kesimpulan ......................................................................................... 15

3.2 Saran .................................................................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 16

iv
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Guillain-Barré Syndrome (GBS) yang dideskripsikan pada tahun 1916,
dikarakteristikkan dengan adanya paralisis arefleksia akut dengan disosiasi
albuminositologik (kadar protein yang tinggi dan jumlah sel yang normal dalam
cairan serebro spinal). Sejak menurunnya angka kejadian poliomyelitis, Guillain-
Barré Syndrome menjadi penyebab paling sering terjadinya Acute Flaccid Paralysis
dan merupakan salah satu kegawatdaruratan yang serius dalam bidang neurologi.
Anggapan salah yang paling umum mengenai penyakit ini adalah Guillain-Barré
Syndrome memiliki prognosis yang baik. Akan tetapi, kenyataannya bahwa sekitar
20% pasien akan tetapi memiliki disabilitas dan sekitar 5% pasien meninggal
walaupun telah mendapatkan terapi imun (Yuki dan Hartung, 2012).
Beberapa infeksi yang mendahului terjadinya Guillain-Barré Syndrome,
meliputi Campylobacter jejuni, cytomegalovirus (CMV), Mycoplasma pneumonia,
virus Epstein-Barr, dan virus influenza. Guillain-Barré Syndrome biasanya terjadi
dengan onset yang tiba-tiba dari paresthesia simetris distal. Kelainan sensorik ini
terjadi dengan atau segera diikuti dengan kelemahan yang progresif. Sebelumnya,
Guillain-Barré Syndrome dikenal sebagai satu kesatuan klinis tunggal. Akan tetapi,
studi terbaru menyatakan bahwa Guillain-Barré Syndrome dapat diklasifikan menjadi
4 subtipe klinis dan elektrofisiologi utama, meliputi Acute Inflammatory
Demyelinating Polyneuropathy (AIDP), Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN),
Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN), dan Miller Fisher Syndrome
(MSF) (Tandel et al., 2016).
Beberapa studi mengenai imunopatogenesis Guillain-Barré Syndrome
menyatakan bahwa penyakit ini mencakup beberapa kelainan saraf perifer, yang
dibedakan menurut distribusi kelemahan pada anggota gerak atau otot yang
diinervasi oleh saraf kranialis dan patofisiologi yang mendasari. Terdapat bukti
substansial yang mendukung penyebab autoimun pada sindrom ini, dan profil
autoantibodi membantu dalam mengkonfirmasi hubungan klinis dan elektrofisiologi
antara Guillain-Barré Syndrome dengan beberapa kondisi saraf perifer lainnya (Yuki

1
dan Hartung, 2012). Oleh karena itu, menjadi ketertarikan bagi penulis untuk
menyusun referat dengan judul Guillain-Barré Syndrome (GBS).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Guillain-Barré Syndrome (GBS)?
2. Apa saja etiologi Guillain-Barré Syndrome (GBS)?
3. Bagaimana klasifikasi Guillain-Barré Syndrome (GBS)?
4. Bagaimana patofisiologi Guillain-Barré Syndrome (GBS)?
5. Bagaimana gambaran klinis Guillain-Barré Syndrome (GBS)?
6. Bagaimana cara diagnosa dan kriteria diagnose Guillain-Barré Syndrome
(GBS)?
7. Apa saja diagnosis banding Guillain-Barré Syndrome (GBS)?
8. Bagaimana terapi Guillain-Barré Syndrome (GBS)?
9. Bagaimana prognosis Guillain-Barré Syndrome (GBS)?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Guillain-Barré Syndrome (GBS).
2. Untuk mengetahui etiologi Guillain-Barré Syndrome (GBS).
3. Untuk mengetahui klasifikasi Guillain-Barré Syndrome (GBS).
4. Untuk mengetahui patofisiologi Guillain-Barré Syndrome (GBS).
5. Untuk mengetahui gambaran klinis Guillain-Barré Syndrome (GBS).
6. Untuk mengetahui cara diagnosa dan kriteria diagnosa Guillain-Barré
Syndrome (GBS).
7. Untuk mengetahui diagnosis banding Guillain-Barré Syndrome (GBS).
8. Untuk mengetahui terapi Guillain-Barré Syndrome (GBS).
9. Untuk mengetahui prognosis Guillain-Barré Syndrome (GBS).

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat teoritis
Referat ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai Guillain-Barré
Syndrome (GBS), yang meliputi definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, gambaran
klinis, cara diagnosa, kriteria diagnosa, diagnosis banding, terapi, dan prognosis.

1.4.2 Manfaat praktis


Referat ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk penulisan lebih lanjut
mengenai Guillain-Barré Syndrome (GBS).

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Guillain-Barré Syndrome (GBS)


Guillain-Barré Syndrome (GBS) adalah suatu kelainan sistem kekebalan
tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri
dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang
sifatnya progresif. Kelainan ini kadang-kadang juga menyerang saraf sensoris,
otonom, maupun susunan saraf pusat. Guillain-Barré Syndrome (GBS) merupakan
polineuropati akut, bersifat simetris dan ascenden, yang,biasanya terjadi 1 sampai 3
minggu dan kadang-kadang sampai 8 minggu setelah suatu infeksi akut.
Guillain-Barré Syndrome (GBS) merupakan polineuropati pasca infeksi yang
menyebabkan terjadinya demielinisasi saraf motoric, yang kadang juga mengenai
saraf sensorik. Selain itu, Guillain-Barré Syndrome (GBS) juga dapat didefinisikan
sebagai polineuropati yang menyeluruh, dapat berlangsung akut atau sub akut, yang
mungkin terjadi spontan atau sesudah suatu infeksi. Guillain-Barré Syndrome (GBS)
mempunyai banyak sinonim, antara lain:
1) Polineuritis akut pasca infeksi
2) Polineuritis akut toksik
3) Polineuritis febril
4) Poliradikulopati
5) Acute Ascending Paralysis

2.2 Etiologi Guillain-Barré Syndrome (GBS)


Mikroorganisme penyebab Guillain-Barré Syndrome (GBS) belum pernah
ditemukan pada penderita dan bukan merupakan penyakit yang menular, serta tidak
diturunkan secara herediter. Penyakit ini merupakan proses autoimun, tetapi sekitar
setengah dari seluruh kasus terjadi setelah penyakit infeksi virus atau bakteri seperti
dibawah ini:
1) Infeksi virus, meliputi: cytomegalovirus (CMV), Epstein-Barr Virus (EBV),
enterovirus, dan Human Immunodefficiency Virus (HIV).
2) Infeksi bakteri, meliputi: Campilobacter jejuni dan Mycoplasma
pneumonia.
3) Pasca pembedahan dan vaksinasi.

3
4) 50% dari seluruh kasus terjadi sekitar 1 sampai 3 minggu setelah terjadi
penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan infeksi saluran
pencernaan.

2.3 Klasifikasi Guillain-Barré Syndrome (GBS)


Guillain-Barré Syndrome (GBS) diklasifikasikan menjadi beberapa subtype,
yaitu (Rahim, 2013):
1) Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP):
merupakan suatu kelainan autoimun yang dimediasi oleh antibodi
terhadap sel Schwann. AIDP biasanya dicetuskan oleh adanya riwayat
infeksi sebelumnya oleh virus atau bakteri. Pada AIDP, pemeriksaan
elektrofisiologis menunjukkan adanya tanda-tanda demieliniasi. Setelah
reaksi inflamasi berhenti, akan segera diikuti dengan proses
penyembuhan (remielinisasi). AIDP merupakan bentuk Guillain-Barré
Syndrome (GBS) yang paling banyak dijumpai.
2) Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN): merupakan subtipe Guillain-
Barré Syndrome (GBS) dengan karakteristik neuropati aksonal motor
murni. Pemeriksaan elektrofisiologis pada AMAN menunjukkan tidak
adanya kelainan pada saraf sensoris dengan penurunan atau kehilangan
fungsi saraf motorik. Penyembuhan biasanya terjadi lebih cepat daripada
Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN).
3) Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN): merupakan subtipe
Guillain-Barré Syndrome (GBS) dengan karakteristik yang mirip dengan
AMAN dengan tambahan berupa gangguan pada saraf sensoris. Proses
pada AMSAN adalah degenerasi Wallerian pada saraf motorik dan
sensoris. Penyembuhan sering tidak sempurna.
4) Miller Fisher’s Syndrome (MFS): merupakan subtipe yang jarang
ditemui. Karakteristik MFS adalah descending paralysis yang menyerang
otot mata terlebih dahulu (trias MFS= oftalmoplegia, ataksia, arefleksia).
MFS terjadi karena proses demielinisasi dan inflamasi pada saraf kranial
III dan IV, ganglia spinalis dan saraf periferal. Resolusi terjadi dalam
waktu 1 sampai 3 bulan.
5) Acute Pandysautonomia: merupakan subtipe Guillain-Barré Syndrome
(GBS) yang paling jarang dijumpai. Acute pandysautonomia ditandai

4
dengan adanya kerusakan pada sistem saraf simpatis dan parasimpatis.
Manifestasi klinik dari acute pandysautonomia umumnya berupa
abnormalitas sistem kardiovaskuler (hipotensi postural, takikardia,
hipertensi, dan disritmia). Selain itu, dapat pula ditemukan manifestasi
lain berupa penglihatan kabur, mata kering dan anhidrosis. Acute
pandysautonomia sering dihubungkan dengan tingkat mortalitas yang
tinggi akibat adanya keterlibatan sistem kardiovaskuler.

Tabel 2.1 Subtipe Guillain Barre Syndrome (Horton et al., 2005)

2.4 Patofisiologi Guillain-Barré Syndrome (GBS)


Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada Guillain-Barré Syndrome (GBS)
masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa
kerusakan saraf yang terjadi pada sindrom ini adalah melalui mekanisme imunologi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesis merupakan mekanisme yang menimbulkan
jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1) Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell
mediated immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.

5
2) Adanya autoantibodi terhadap sistem saraf tepi.
3) Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran
pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi
saraf tepi.
4) Proses demielinisasi saraf tepi pada Guillain-Barré Syndrome (GBS)
dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang
dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya. Pada Guillain-Barré
Syndrome (GBS), gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan
antibodi dalam sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan
pada myelin. Alasan mengapa komponen normal dari serabut myelin ini
menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus
dan bakteri diduga sebagai penyebab adanya respon dari antibodi
sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari adanya lapisan
lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia.
Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya
diare, mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari
gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni,
kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada
akson ini menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke bentuk
gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama. Berdasarkan
adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral maka sel-T
merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer.
Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya
proses demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf.

2.5 Gambaran Klinis Guillain-Barré Syndrome (GBS)


Gambaran klinis Guillain-Barré Syndrome (GBS), meliputi (Harsono, 1996):
1) Onsetnya akut dan pada bentuk yang berat, seseorang yang semula
tampak sehat mendadak dalam 2 sampai 3 hari menjadi lumpuh sama
sekali.
2) Keadaan semakin memberat dalam waktu 10 sampai 12 hari. Titik nadir
rata-rata terjadi dalam 8 hari sesudah onset.
3) 40% sampai 60% penderita, sebelumnya menunjukkan gejala-gejala
seperti “flu” dan ISPA. Selain itu, dapat juga didahului oleh penyakit-

6
penyakit virus lain, seperti: cytomegalovirus, Virus Epstein-Barr, Human
Immunodefficiency Virus (HIV), dan radang usus oleh Compylobacter
jejenum.
4) Gejala-gejala umum didahului dengan paresthesia pada jari-jari kaki dan
tangan. Dalam beberapa hari diikuti dengan kelemahan otot yang
sifatnya simetris bilateral, dimulai dari otot-otot ekstremitas bawah
kemudian menuju ke otot-otot ekstremitas atas, wajah dan orofaring.
5) 30% kasus disertai kelemahan otot-otot wajah (facial diplegia).
6) Reflek-reflek tendon dalam (fisiologis) menurun atau menghilang.
7) Pada kasus berat disertai dengan kelemahan otot-otot untuk pernafasan,
menelan dan ekstra okuler.
8) Sering juga dengan keluhan nyeri dalam bentuk nyeri ischialgia, nyeri
pingggang dan nyeri punggung.
9) Gangguan sistem autonom yang berupa gangguan denyut jantung,
irama jantung, dan tekanan darah.

2.6 Diagnosa Guillain-Barré Syndrome (GBS)


2.6.1 Anamnesa
Pada anamnesa, dapat ditemukan gejala-gejala awal dari Guillain-Barré
Syndrome (GBS), yaitu sensasi mati rasa (numbness), paresthesia, kelemahan,
nyeri pada tungkai, atau beberapa kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Gejala
utama dari Guillain-Barré Syndrome (GBS) adalah adanya kelemahan tungkai yang
relatif simetris dan progresif bilateral yang umumnya berkembang dalam periode 12
jam sampai 28 hari sebelum tercapai fase plateau. 3 hari sampai 6 minggu sebelum
onset dari kelemahan tungkai, seringkali didapatkan adanya riwayat infeksi saluran
pernapasan atas atau diare (Yuki dan Hartung, 2012). Pada Guillain-Barré
Syndrome (GBS), umumnya tidak didapatkan adanya demam maupun gejala
sistemik (Horton et al., 2005).

2.6.2 Pemeriksaan fisik


Pada Guillain-Barré Syndrome (GBS), dapat ditemukan adanya cardiac
aritmia, yang mencakup tachycardia dan bradycardia sebagai akibat dari disfungsi
sistem saraf autonomi. Perubahan tekanan darah juga sering ditemukan, umumnya
berupa hipertensi paroksismal dan hipotensi orthostatik (Andary, 2012). Adanya

7
disfungsi sistem saraf autonomi merupakan salah satu kriteria untuk memperkuat
diagnosis Guillain-Barré Syndrome (GBS) (Japardi, 2002).
Pada GBS dengan komplikasi respiratory failure yang progresif, dapat
ditemukan adanya tachypnea sebagai manifestasi dyspnea, dan seiring
berkembangnya penyakit, hilangnya suara nafas (Andary, 2012).

2.6.3 Pemeriksaan neurologis


2.6.3.1 Pemeriksaan saraf kranialis
Keterlibatan saraf kranialis didapatkan pada 45% sampai 75% pasien
dengan Guillain-Barré Syndrome (GBS), dengan keterlibatan saraf kranialis VII
bilateral paling sering ditemukan. Selain itu, dapat pula ditemukan keterlibatan saraf
kranialis III, IV, VI, IX, X, dan XII. Keterlibatan saraf-saraf kranialis ini menyebabkan
beberapa gejala sebagai berikut (Andary, 2012):
1) Kelemahan otot wajah
2) Diplopia
3) Disarthria
4) Disfagia
5) Opthalmoplegia
6) Gangguan pupil
Kelemahan otot wajah dan oropharyngeal biasanya muncul setelah
kelemahan otot-otot badan dan ekstremitas (GBS Ascending). Sedangkan, pada
subtipe Miller Fisher, gejala awal dimulai dari defisit saraf kranialis (GBS
Descending) (Andary, 2012).

2.6.3.2 Pemeriksaan refleks


Pada pemeriksaan refleks fisiologis pasien Guillain-Barré Syndrome
(GBS), didapatkan refleks yang absen atau menurun (areflexia atau hiporefllexia).
Didapatkannya refleks fisiologis yang absen atau menurun merupakan kriteria
diagnostik mayor untuk Guillain-Barré Syndrome (GBS). Umumnya, refleks
patologis, seperti Babinski dan Chaddock, tidak ditemukan pada Guillain-Barré
Syndrome (GBS) (Andary, 2012).

2.6.3.3 Pemeriksaan motorik


Pada pemeriksaan motorik, didapatkan kelemahan otot bilateral,
umumnya berawal dari kelemahan otot ekstremitas bawah yang kemudian akan

8
berkembang naik (ascending) secara simetris dalam beberapa hari. Kelemahan otot
ekstremitas atas, badan, wajah, oropharyngeal, dan otot pernapasan umumnya
ditemukan seiring perjalanan penyakit yang semakin progresif. Kelemahan otot ini
bersifat hipotonik dan flaccid. Adanya kelemahan yang asimetris dapat
menyingkirkan diagnosis Guillain-Barré Syndrome (GBS) (Andary, 2012).

2.6.3.4 Pemeriksaan sensorik


Kebanyakan pasien dengan Guillain-Barré Syndrome (GBS) mengeluhkan
paresthesia, mati rasa, atau perubahan sensasi rasa. Gejala-gejala sensoris
biasanya terjadi mendahului kelemahan motorik. Paresthesia umumnya berasal dari
ujung jari-jari kaki dan tangan, kemudian berkembang ke arah proksimal, namun
biasanya tidak melebihi pergelangan kaki atau tangan. Pada pemeriksaan sensoris,
dapat ditemukan hilangnya sensasi getar, propriosepsi, sentuhan dan nyeri pada
distal, namun temuan ini cenderung minimal dan bervariasi (Andary, 2012).

2.6.4 Pemeriksaan penunjang


2.6.4.1 Pemeriksaan elektrodiagnosis
Elektrodiagnostik adalah suatu metode diagnostik medis dengan dasar
diagnostik berupa perekaman aktivitas listrik (elektrik) spontan maupun yang
ditimbulkan oleh suatu rangsangan pada jaringan atau organ, salah satunya pada
saraf dan otot.
Pada Guillain-Barré Syndrome (GBS), pemeriksaan elektrodiagnostik
memegang peranan penting dalam diagnosis, menentukan klasifikasi subtipe
Guillain-Barré Syndrome (GBS), dan konfirmasi neuropati perifer. Pemeriksaan
elektrodiagnostik umumnya memerlukan data dari setidaknya tiga saraf sensoris,
tiga saraf motoris dengan stimulasi di berbagai tempat (multisite), gelombang F dan
refleks H tibial bilateral (Hughes dan Cornblath, 2005).
Dengan informasi elektrodiagnostik, pasien dengan Guillain-Barré
Syndrome (GBS) dapat diklasifikasikan menjadi salah satu dari tiga subtipe dari
Guillain-Barré Syndrome (GBS): Acute Inflammatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy (AIDP), Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN), atau
Acute Motor and Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN). Kriteria utama yang
digunakan pada pemeriksaan elektrodiagnostik adalah mengidentifikasi adanya
demielinasi pada konduksi motorik (AIDP), dengan detail tambahan dari konduksi

9
sensoris, yang berguna untuk membedakan antara AMAN dan AMSAN (Hughes dan
Cornblath, 2005).
Adanya demielinasi pada saraf menimbulkan temuan berupa blocking
konduksi dan perlambatan konduksi saraf. Blocking konduksi stimulus antara tempat
stimulasi dengan otot akan menyebabkan penurunan respon otot pada stimulasi
proksimal dari lesi, sedangkan pada stimulasi distal dari lesi, respon otot yang
normal akan didapatkan. Maka, terjadi penurunan amplitudo CMAP pada stimulasi
proksimal dari demielinasi, sedangkan didapatkan amplitudo CMAP normal pada
stimulasi distal dari demielinasi. Selain itu, akibat adanya perlambatan konduksi
saraf, didapatkan penurunan kecepatan hantaran saraf, prolongasi masa laten
motorik distal, dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda
perlambatan pada segmen proksimal saraf) (Meulstee, 1994).
Sedangkan, pada neuropati aksonal umumnya kecepatan hantaran saraf
tidak mengalami penurunan. Akan tetapi, sebagai akibat dari hilangnya motor unit
ditemukan penurunan amplitude CMAP dibawah normal (Meulstee, 1994).

2.6.4.2 Pemeriksaan Cerebro Spinal Fluid (CSF)


Pemeriksaan CSF umum dilakukan untuk mendukung diagnosis Guillain-
Barré Syndrome (GBS). Pada pemeriksaan CSF akan didapatkan suatu disosiasi
sitoalbuminik, yaitu peningkatan jumlah protein (1-10 g/L atau 100-1000 mg/dL)
tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel; jumlah hitung sel normal

10
adalah dibawah 10/ µL). CSF umumnya normal dalam 1 minggu setelah onset,
kemudian mulai terjadi peningkatan jumlah protein dalam CSF pada minggu ke 2
dan mencapai puncaknya pada 4 sampai 6 minggu setelah onset (Horton et al.,
2005; Rahim, 2013).

2.7 Kriteria Diagnosis Guillain-Barré Syndrome (GBS)


Kriteria diagnosis Guillain-Barré Syndrome (GBS) yang umum dipakai adalah
kriteria dari National Institute of Neurological and Communicative Disorder and
Stroke (NINCDS), yaitu:
1) Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
 Terjadinya kelemahan yang progresif
 Hiporefleksi
2) Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis Guillain-Barré Syndrome
(GBS):
a. Ciri-ciri klinis:
 Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat
maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2
minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
 Relatif simetris.
 Gejala gangguan sensibilitas ringan.
 Gejala saraf kranial, 50% terjadi parese N VII dan sering
bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang
mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus
neuropati dimulai dari otot ekstra okuler atau saraf otak lain.
 Pemulihan: dimulai 2 sampai 4 minggu setelah progresifitas
berhenti, dapat memanjang sampai beberapa bulan.
 Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,
hipertensi dan gejala vasomotor.
 Tidak ada demam saat onset gejala neurologis.
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebro spinal yang kuat menyokong
diagnosa:
 Protein CSS (Cairan Serebro Spinal) meningkat setelah gejala
1 minggu pertama dari timbulnya gejala atau antara punksi
pertama dan kedua pada punksi serial.

11
 Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3.
 Varian:
o Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu
gejala.
o Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3.
c. Gambaran elektro diagnostik yang mendukung diagnosa:
 Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus.
Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal.

2.8 Diagnosis Banding Guillain-Barré Syndrome (GBS)


Gejala klinis Guillain-Barré Syndrome (GBS) biasanya jelas dan mudah
dikenal sesuai dengan kriteria diagnostik dari National Institute of Neurological and
Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), tetapi pada stadium awal kadang-
kadang harus dibedakan dengan keadaan lain, seperti (Newswanger DL, 2004):
1) Mielitis akut
2) Poliomyelitis anterior akut
3) Porphyria intermitten akut
4) Polineuropati post difteri

2.9 Terapi Guillain-Barré Syndrome (GBS)


Penyakit neuropati yang disebabkan oleh autoimun sangat penting karena
dapat merespon terapi dari berbagai macam terapi immunomodulating maupun agen
kemoterapi. Dari beberapa uji klinis didapatkan hasil bahwa terapi dengan
imunoglobulin intavena (IVIg) dan penukaran plasma terbukti efektif meskipun
beberapa pasien tidak merespon secara adekuat terhadap terapi tersebut (Hughes
dan Cornblath, 2005).
Manajemen Guillain-Barré Syndrome (GBS) perlu dilakukan secepat mungkin
karena banyaknya pasien yang meninggal akibat komplikasi. Di negara
berkembang, terdapat 5% pasien Guillain-Barré Syndrome (GBS) yang meninggal
akibat komplikasi seperti sepsis, emboli paru, ataupun serangan jantung yang
kemungkinan terjadi akibat disautonomia. Idealnya, semua pasien harus dalam
pengawasan rumah sakit hingga diberikan pernyataan bahwa sudah tidak
ditemukannya perkembangan klinis penyakit Guillain-Barré Syndrome (GBS). Pada
pasien dengan kelemahan ringan dan dapat berjalan sendiri biasanya tidak

12
memerlukan terapi khusus selain terapi suportif. Pengenalan dan terapi sedini
mungkin sangat penting, dan terapi menggunakan opoid, gabapentin, dan
carbamazepine diperkirakan efektif, sedangkan penggunaan glukokortikoid tidak.
(Hughes dan Cornblath, 2005).
Imunoterapi pada Guillain-Barré Syndrome (GBS) adalah berupa pertukaran
plasma, yang merupakan terapi pertama yang diketahui efektif, terutama dalam
kurun waktu 2 minggu pertama setelah terjadinya awitan Guillain-Barré Syndrome
(GBS) yang tidak dapat berjalan. Untuk melakukan terapi pertukaran plasma tidak
selalu perlu dilakukan pemeriksaan elektrofisiologikal. Terapi pertukaran plasma
secara tidak spesifik mengeluarkan antibodi dan komplemen, serta dapat
menurunkan kerusakan saraf dan mempercepat perkembangan klinis jika
dibandingkan dengan terapi suportif (Hughes dan Cornblath, 2005).
Regimen empiris adalah 5 kali dalam waktu 2 minggu dengan total pertukaran
sebanyak 5 volume plasma. Terapi dengan imunoglobulin intravena yang dilakukan
dalam waktu 2 minggu setelah awitan penyakit, diketahui efektif seperti terapi
pertukaran plasma pada pasien Guillain-Barré Syndrome (GBS) yang tidak dapat
berjalan sendiri. Diketahui bahwa imunoglobulin dapat berperan sebagai penetralisir
antibodi patogen dan dapat menghambat aktivasi komplemen yang dimediasi oleh
autoantibodi, yang mengakibatkan penurunan kerusakan saraf dan meningkatkan
perkembangan klinis jika dibandingkan dengan pasien yang tidak diberikan terapi
apapun. Dosis yang digunakan adalah dosis total 2 gram per kilogram berat badan
dalam waktu 5 hari (Hughes dan Cornblath, 2005).
Dalam analisis eksperimen dengan sebanyak 100 pasien, 30% pasien yang
mendapatkan terapi plasma-exchange memiliki perkembangan secara fungsional.
Sedangkan pada pasien yang mendapatkan terapi dengan imunoglobulin memiliki
tingkat keberhasilan lebih rendah (Van der Meché et al., 1992).

2.10 Prognosis Guillain-Barré Syndrome (GBS)


Dari banyak kasus, terutama dari studi berbasis populasi yang telah diselidiki
faktor prognostiknya, temuan paling konsisten yang terjadi yaitu bahwa prognosis
pada pasien lanjut usia lebih buruk. Pada anak-anak, pemulihan lebih cepat dan
lebih lengkap. Pada orang dewasa dan anak-anak yang terbaring di tempat tidur
atau yang membutuhkan ventilasi buatan, biasanya diidentifikasi sebagai faktor
prognosis yang buruk. Pasien yang masih bisa berjalan dalam 14 hari kemungkinan

13
besar membaik dengan atau tanpa pengobatan, tetapi mungkin tersisa beberapa
sisa disabilitas. Pasien yang memiliki riwayat infeksi Campylobacter jejuni, memiliki
manifestasi klinis yang lebih berat dan masa penyembuhan yang lebih lama
dibandingkan pasien lainnya. Pada pasien dengan infeksi cytomegalovirus (CMV),
proses penyembuhan terjadi lebih lambat. Sedangkan pada infeksi Epstein-Barr
virus, manifestasi klinisnya lebih ringan (Hughes dan Comblath, 2005).

14
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

15
DAFTAR PUSTAKA

Andary, M.T., 2012. Guillain-Barre syndrome [revised Aug 2012]. Medscape


Reference.
Harsono. Sindrome Guillain Barre: Buku Ajar Neurologi Klinis. ed pertama.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 1996; 307-310.
Hughes, R.A. and Cornblath, D.R., 2005. Guillain-barre syndrome. The Lancet,
366(9497), pp.1653-1666.
Horton, J.C., Kasper, D. and Fauci, A., 2005. Harrison's principles of internal
medicine.
Japardi, I., 2002. Sindroma Guillain-Barre. Sindroma Guillain-Barre.
Meulstee, J., 1994. Electrodiagnostic studies in Guillain-Barré syndrome.
Newswanger DL, Warren CR. Guillain Barre Syndrome. American Family Physician
2004; 69: 2405-2410.
Rahim, S. A., 2013. http://suriansyyah.blogspot.com/2013/10/guillain-barre-
syndrome-gbs-atau-acute.html (Diakses pada 25 Juli 2018)
Tandel, H., Vanza, J., Pandya, N. dan Jani, P. (2016) “Guillain-Barre Syndrome
(GBS): A Review,” 3(2), hal. 366–371.
Van der Meché, F.G.A., Schmitz, P.I.M. and Dutch Guillain—Barré Study Group*,
1992. A randomized trial comparing intravenous immune globulin and plasma
exchange in Guillain-Barré syndrome. New England Journal of Medicine,
326(17), pp.1123-1129.
Yuki, N. dan Hartung, H.-P. (2012) “Guillain--Barre Syndrome,” New England Journal
of Medicine. Mass Medical Soc, 366(24), hal. 2294–2304.

16

Anda mungkin juga menyukai