Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

“GUILLAIN BARRE SYNDROME”

Dosen Pembimbing : Andika S,S.Kep.,Ns.,M.Kep

Kelompok 6 :

1. Bega apri mahendra (201801022)


2. Chiesa refinda nuansa R (201801024)
3. Cindy damayanti (201801025)
4. Linasari (201801062)
5. Mei kartika sari (201801063)
6. Mellinda fitri wulan sari (201801064)
7. Mia fitria Anggraeni (201801066)
8. Vivi eka putri (201801097)
9. Wahidatul umami (201801098)
10. Wahyu bagas prasetya (201801099)

PROGAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA KEDIRI

TAHUN AJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur memanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan
hidayah nya dapat menyelesaikan makalah tentang “Analisis Keperawatan Sindroma Guillain
Barre (GBS)”. Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah KMB .

Pada kesempatan ini ingin mengucapkan terimakasih yang kepada Dosen mata kuliah
atas bimbingan nya. Kemudian kepada Orang tua kami yang telah membantu baik moril
maupun materi juga Rekan rekan satu kelompok yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini

Menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini jauh dari sempurna, baik dari segi
penyusunan, bahasan, atau pun penulisan nya . Oleh karena itu mengharapkan kritik dan
saran yang sifat nya membangun, khusus nya dari dosen mata kuliah guna menjadi acuan
dalam bekal pengalaman bagi kami untuk yang lebih baik dimasa yang akan datang .

Kediri, 06 November 2020.

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................

1.1 Latar Belakang.....................................................................................................


1.2 Tujuan Penelitian.................................................................................................
1.3 Rumusan Masalah................................................................................................
1.4 Manfaat................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................

2.1 definisi Sindrom Guillain Barre...........................................................................


2.2 etiologi Sindrom Guillain Barre...........................................................................
2.3 manifestasi klinis .................................................................................................
2.4 Pathway Sindrom Guillain Barre.........................................................................
2.5 Patofisiologi Sindrom Guillain Barre...................................................................
2.6 Pemeriksaan penunjang Sindrom Guillain Barre.................................................
2.7 Penatalaksanaan Sindrom Guillain Barre.............................................................

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN...................................................................

3.1 Konsep asuhan keperawatan Sindrom Guillain Barre..........................................

3.2 Asuhan keperawatan Sindrom Guillain Barre......................................................

BAB IV PENUTUP..................................................................................................

3.1 Kesimpulan..........................................................................................................

3.2 Saran
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom Guillain Barre ( SGB ) mempunyai banyak sinonim , antara lain
Polyneuritis akut pasca-infeksi, Polineuritis akut toksik, Polyneuritis febril,
PolyRadikulopati dan acute ascending paralysis. ditandai dengan kelemahan motorik
progesif dan arefleksin. Biasanya juga disertai dengan abnormalitas fungsi sensorik
otonom dan batang otak. gejala-gejala tersebut biasanya adalah gejala yang mengikuti
demam dan atau penyakit yang disebabkan oleh virus.
penjelasan mengenai suatu penyakit ini pertama kali dipublikasikan oleh Landry pada
tahun 1859. Oster menguraikannya lebih detail dengan apa yang disebut sebagai febril
polyneuritis pada tahun 1892. Pada tahun 1916 Guillain, Barre, dan Strohl memperluas
deskripsi klinis SGB dan pertama sekali mengemukakan penilaian melalui cairan
serebrospinal (CSP), disosiasi albinositologik ( peningkatan protein CSF terhadap hitung
sel CSF normal ). Penilaian CSF digabungkan dengan gejala-gejala klinis tertentu akan
mengarah kepada poliradiopati dieliminasi yang membedakannya dengan poliomyelitis
dan neuropati lain-lainnya.
Sistem kekebalan tubuh seharusnya membentengi tubuh dari serangan virus atau
bakteri. Tapi jika sistem kekebalan tubuh malah menjadi musuh dan menyerang saraf
sendiri bisa memicu terjadinya sindrom Guillain Barre yang mengakibatkan kelumpuhan.
Gullain Barre Syndrom (GBS) adalah gangguan yang jarang terjadi karena sistem
kekebalan tubuh menyerang sistem saraf. Gejala pertama yang dirasakan adalah
kelemahan yang ekstrim dan disertai dengan mati rasa. Sensasi ini dengan cepat
menyebar dan bisa mengakibatkan kelumpuhan seluruh tubuh. Dalam Syndrom Guillain
Barre, sistem kekebalan tubuh yang biasanya hanya menyerang benda asing atau
mikroorganisme mulai menyerang saraf-saraf yang membawa sinyal antara tubuh dan
otak. Akibatnya pelindung saraf (selubung myelin) menjadi rusak dan mengganggu
proses signaling yang menyebabkan kelemahan, mati rasa atau kelumpuhan. penyebab
pasti dari penyakit ini belum dapat diketahui, tetapi seringkali didahului oleh penyakit
menular seperti infeksi pernafasan atau flu perut. Kondisi ini jarang sekali terjadi dan
diperkirakan hanya memenuhi 1-2 orang per 1000. Meskipun tidak ada obat yang bisa
menyembuhkan, tapi beberapa perawatan dapat meringankan gejala dan mengurangi
penyakitnya.
Pada beberapa orang gejala mulai terasa di lengan atau wajah dan selama gangguan
berlangsung otot bisa menjadi lemah sehingga berkembang pada kelumpuhan di tungkai ,
lengan atau gangguan pada otot pernafasan. Contoh penderita penyakit ini seperti yang
dialami Andy Griftith, seorang aktor senior Hollywood kelahiran 1 juni 1926.
Sebelumnya Andy tidak menyangka dirinya akan terkena penyakit yang sangat langka.
Hingga akhirnya sang dokter memvonis ia menderita Guillain Barre Syndrom. Andy
sebelumnya sudah merasakan penyakit yang dideritanya agak aneh, Saat tubuhnya dalam
kondisi baik , Gejala flu yang dialaminya brganti menjadi rasa sakit yang mengerikan dan
seperti rasa membakar yang memantul ke seluruh tubuh, selama 4 hari dokter tidak ada
yang tahu mengenai penyakit yang diderita Andy. Setelah melakukan pemeriksaan
terhadap tulang belakang, dokter berhasil menemukan penyakit Andy yaitu ia menderita
Guillain Barre Syndrom.

1.2 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui tentang pengertian Guillain Barre Syndrom.
2. Mengetahui tentang epidemiologi Guillain Barre Syndrom.
3. Mengetahui tentang etiologi Guillain Barre Syndrom.
4. Mengetahui klasifikasi Guillain Barre Syndrom.
5. Mengetahui tentang patofisiologis dari Guillain Barre Sydrom.
6. Mengetahui tentang pathogenesis dari Guillain Barre Syndrom.
7. Mengetahui tentang manifestasi klinis dari Guillain Barre Syndrom.
8. Mengetahui tentang pemeriksaan diagnostik dari Guillain Barre Syndrom.
9. Mengetahui tentang prognosis dari Guillain Barre Syndrom.
10. Mengetahui tentang diagnose banding dari Guillain Barre Syndrom.
11. Mengetahui tentang asuhan keperawatan dari Guillain Barre Syndrom.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang diangkat di makalah ini adalah :
1. Apa pengertian dan etiologi Guillain Barre Syndrom ?
2. Bagaimana epidemiologi Guillain Barre Syndrom?
3. Apa penyebab atau etiologi dari Guillain Barre Syndrom ?
4. Apa saja Klasifikasi dari Guillain Barre Syndrom ?
5. Bagaimana patofisiologis dari Guillain Barre Syndrom ?
6. Apa saja yang menjadi manifestasi klinis dari Guillain Barre Syndrom ?
7. Apa saja diagnostik Guillain Barre Syndrom ?
8. Bagaimana penatalaksanaan medis Guillain Barre Syndrom ?
9. Bagaimana prognosis dari Guillain Barre Syndrom ?
10 Apa saja diagnosa banding Guillain Barre Syndrom ?
11 Bagaimana asuhan keperawatan dari Guillain Barre Syndrom ?

1.3 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi baik bagi tenaga
kesehatan maupun masyarakat umum nantinya mengenai Guillain Barre Syndrom
(GBS).
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Gullaine Barre Syndrom (GBS) adalah gangguan yang jarang di tubuh anda, sistem
kekebalan tubuh menyerang saraf Anda. GBS adalah penyakit yang biasanya terjadi satu
atau dua minggu setelah infeksi virus ringan seperti sakit tenggorokan, bronkitis, atau flu,
atau setelah vaksinasi atau prosedur bedah. Untungnya, GBS relatif jarang terjadi, hanya
mempengaruhi 1 atau 2 orang per 100.000. Kelemahan dan mati rasa di kaki biasanya
merupakan gejala pertama. Sensasi ini dapat dengan cepat menyebar, akhirnya
melumpuhkan seluruh tubuh.
Parry mengatakan bahwa, Gullaine Barre Syndrom adalah suatu polineuropati yang
bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi
akut. Menurut Bosch, Gullaine Barre Syndrom merupakan suatu sindroma klinis yang
ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses
autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis (Japardi,
2002).
Gullaine Barre Syndrom merupakan suatu kelompok heterogen dari proses yang
diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas
tubuh menyerang sarafnya sendiri. Kelainan ini ditandai oleh adanya disfungsi motorik,
sensorik, dan otonom. Dari bentuk klasiknya, GBS merupakan suatu polineuopati
demielinasi dengan karakteristik kelemahan otot asendens yang simetris dan progresif,
paralisis, dan hiporefleksi, dengan atau tanpa gejala sensorik ataupun otonom. Namun,
terdapat varian GBS yang melibatkan saraf kranial ataupun murni motorik. Pada kasus
berat, kelemahan otot dapat menyebabkan kegagalan nafas sehingga mengancam jiwa
(Judarwanto, 2009).
Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012), Guillain Barre
Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan seseorang menyerang
sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi
kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi yang menghubungkan otak dan
sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh kita rusak. Kerusakan sistem syaraf tepi
menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsang sehingga ada penurunan respon
sistem otot terhadap kerja sistem syaraf.
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic
polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious
Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre
Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.

2.2 Etiologi
Penyebab pasti dari Gullaine Barre Syndrom (GBS) sampai saat ini masih belum
dapat diketahui dan masih menjadi bahan perdebatan. Tetapi pada banyak kasus, penyakit
ini sering dihubungkan dengan penyakit infeksi viral, seperti infeksi saluran pernafasan
dan saluran pencernaan. GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.
Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas
atau infeksi gastrointestinal.
Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini, namun paling sering terjadi pada
dewasa muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling berat, sindroma Guillain-Barre
menjadi suatu kondisi kedaruratan medis yang membutuhkan perawatan segera. Sekitar
30% penderita membutuhkan penggunaan alat bantu nafas sementara.
Kondisi yang khas adanya kelumpuhan yang simetris secara cepat yang terjadi pada
ekstremitas yang pada banyak kasus sering disebabkan oleh infeksi viral. Virus yang
paling sering menyebabkan penyakit ini adalah Cytomegalovirus (CMV), HIV, Measles
dan Herpes Simplex Virus. Sedangkan untuk penyebab bakteri paling sering oleh
Campylobacter jejuni. Tetapi dalam beberapa kasus juga terdapat data bahwa penyakit ini
dapat disebabkan oleh adanya kelainan autoimun.
Lebih dari 60% kasus mempunyai faktor predisposisi antara satu sampai beberapa
minggu sebelum onset. Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain : Infeksi, Vaksinasi, Pembedahan, Diare
Peradangan saluran nafas atas, Kelelahan, Demam, Kehamilan/ dalam masa nifas,
Penyakit sistematik: Keganasan systemic lupus erythematosus tiroiditis penyakit Addison
.
2.3 Manifestasi Klinis
Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan yang
berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk kemudian pulih
kembali. Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:

1. Fase progresif

Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai


gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri,
kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi
tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai
nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya
akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko
kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.

2. Fase plateau

Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati
baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama
dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada.
Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.
Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus,
serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang
meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses
penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien
langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain
mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase
penyembuhan.

3. Fase penyembuhan

Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan


penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang
menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf
mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal,
serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang
masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini
juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja
kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan
samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari
derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.

Terdapat enam subtipe sindroma Guillain-Barre, yaitu:

1. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP) yang merupakan jenis GBS yang
paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh
respon autoimun yang menyerang membrane sel Schwann.

2. Sindroma Miller Fisher (MFS) merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan
bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang biasa
terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala,
yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibodi Anti-GQ1b dalam 90%
kasus.

3. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina; menyerang
nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini disebabkan
oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini
musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat. Didapati antibodi Anti-
GD1a, sementara antibodi Anti-GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN.
4. Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga
menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan
kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna.

5. Neuropati panautonomik akut merupakan varian GBS yang paling jarang;


dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskular
dan disritmia.

6. Ensefalitis batang otak Bickerstaff’s (BBE) ditandai oleh onset akut oftalmoplegia,
ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks Babinski (menurut
Bickerstaff, 1957; Al-Din et al.,1982). Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun
diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler terutama pada batang otak,
seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya berat, namun prognosis
BBE cukup baik
2.4 PATHWAY
 Infeksi virus/bakteri
 Vaksinasi
 Penyakit Sistemik
 Pembedahan/anastesi

Merangsang reaksi kekebalan sekunder pada saraf tepi

 Infiltrasi sel limfosit dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural
 Makrofag mensekresi protease
 Penimbunan komplek antigen, antibody pd pembuluh darah saraf tepi

Demyelinisasi akut saraf perifer

Tramsmisiimpulssaraf

N. kranial
Fungsimotoric otonom
Gg
Krgbereaksinyasstemsrafsimpati
SarafPeriferd
Gg s, prasimpatis, prubahansnsori
Gg Fungsi Sraf
FngsiSrafIII,IV, VII, IX, X
VI
Paresthesia Paralislengkapototper Kerusakan
Patalispdwajah, - Gg frekuensijtgdanritme ransang defeksi
Diplopia (ksemutan)&klemahanotot napasantrkena
otoorofaringkesulitanbic - Prubahantekanandrah
kaki
ara, (hiperlemsitransien,
berkembangkeekstremitasata
kesulitanmenguyahdanm hipotensioistostatik
s, btangtubuh&ototwajah Insufisiensipernapa Gangguan eliminasi
gg. enelan san (konstipasi)
penglihatan Gg vasomotot
Gg
pemenuhannutris Kelemahanfisikumum,
Penurunancurahjtgkeotakdnjtg
patalisototwajah Resikotinggiggalpern
idancairan
apasan (ARDS)
Risikojatuh Kemampuanbatukm Penurunancurahjtgkeginjal
Resiko Nutrisi nrun
/ cidera
Kurang dr Sekresi mucus
Kebutuhan meningkat Penurunanfiltrasi glomerulus
Penurunan
tonus Perubahanest
ototsluruhtbu etikawajah Anuria
Sekresi mucus
h
masukkejlnnafa
RetensiUrin
sbawah
GangguanMobilita GangguanKo
s nsepDiri Penurunan
Resikotinggiinfe
Curah Jantung
ksijlnnapasbawa
hdanparenkinpa
ru
Ketidakefektifanbe
rsihanjalannapas
Pneumonia

Ketidakefektifa
npolanapas
2.5 Patofisiologi.
Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui, namun umumnya dicetuskan oleh
infeksi saluran pernafasan atau pencernaan. Semua kelompok usia dapat terkena penyakit
ini, namun paling sering terjadi pada dewasa muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling
berat, sindroma Guillain-Barre menjadi suatu kondisi kedaruratan medis yang
membutuhkan perawatan segera. Sekitar 30% penderita membutuhkan penggunaan alat
bantu nafas sementara

Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat
menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa
sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut
sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan
organisme pengganggu. Namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung
myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat
sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun
teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya
infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf,
sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing.Organisme tersebut kemudian
menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang
myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi
antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi
dari myelin.
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis.
Fungsinya sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu
selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus
plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini
akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan.
Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari
50 km/jam.

Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak
diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah
yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini,
sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat.

Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap
adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi
yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan
bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan
mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya
membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan
berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh
antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan
hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang, transmisi
sinyal melambat, terblok, atau terganggu, sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal
ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan
aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan. Fase ini bersifat sementara, sehingga apabila
sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali
pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla
spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan
saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis,
menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat
diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter).

GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila
selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf
yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal
ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai
demyelinasi primer.

Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2.
Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis.
Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder;
hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus,
sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul
kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini
terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik,
karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung
myelin, yang sembuh lebih cepat.

Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada
penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-
saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf
kranialis dapat juga ikut terlibat.

2.6 Pemeriksaan Penunjang


- Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan laju endap darah (LED) hasil
umumnya normal atau sedikit meningkat, leukosit umumnya dalam batas
normal,haemoglobin dalam batas normal, pada darah tepi didapati leukositosis
polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit
cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat
terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Dapat dijumpai respon
hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA,
dan IgM, akibat demielinasi saraf pada kultur jaringan.
-Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS).
Pada pemeriksaan cairan serebrospinal paling khas ditemukan adanya kenaikan
kadar protein (1-1,5 g/dl) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh
Guillain, 1961, disebut sebagai disosiasi sitoalbumik. Disosiasi sitoalbuminik, yakni
meningkatnya jumlah protein tanpa disertai adanya pleositosis. Pada kebanyakan
kasus, pada hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari,
jumlah protein mulai naik, bahkan lebih lanjut saat gejala klinis mulai stabil, jumlah
protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah
mulainya gejala klinis. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein
dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit mononuklear/mm.

- Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)


Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal,
kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua
dan pada akhir minggu ketiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. Pada minggu
pertama serangan gejala, didapatkan perpanjangan respon (88%), perpanjangan distal
latensi (75%), konduksi blok (58%) dan penurunan kecepatan konduksi motor (50%).
Pada minggu kedua, potensi penurunan tindakan berbagai otot (CMAP, 100%),
perpanjangan distal latensi (92%) dan penurunan kecepatan konduksi motor (84%).
Manifestasi elektrofisiologis yang khas tersebut, yakni, prolongasi masa laten motorik
distal yang menandai blok konduksi distal dan prolongasi atau absennya respon
gelombang F yang menandakan keterlibatan bagian proksimal saraf, blok hantar saraf
motorik, serta berkurangnya KHS Degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi yang
dapat dijumpai 2-4 minggu setelah awitan gejala telah terbukti berhubungan dengan
tingkat mortalitas yan tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat
fase penyembuhan ang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita
menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang
lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG.

- Pemeriksaan patologi anatomi


Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat
limfositik mononuklear perivaskuler serta demielinasi multifokal. Pada fase lanjut,
infiltrasi sel-sel radang dan demielinasi ini akan muncul bersama dengan demielinasi
segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat. Saraf perifer dapat
terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf motorik
intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal
proksimal, dan saraf kranial.Infiltrat sel-sel limfosit dan sel mononuklear lain juga
didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.
- Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan pada
hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI lumbosacral akan memperlihatkan
penebalan pada radiks kauda equina dengan peningkatan pada gadolinium. Adanya
penebalan radiks kauda equina mengindikasikan kerusakan pada barier darah-saraf.
Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus GBS dan hasil sensitif sampai 83% untuk GBS
akut. Akan tetapi, pasien dengan tanda dan gejala yang sangat sugestif mengarah ke
GBS sebenarnya tidak perlu pemeriksaan MRI lumbosakral. MRI lumbosakral dapat
digunakan sebagai modalitas diagnostic tambahan,

terutama bila temuan klinis dan elektrodiagnostik memberikan hasil yang samar.

Gambar 1. Gambaran MRI lumbosakral pada pasien perempuan 39 tahun dengan


GBS dan SLE, potongan sagital dan aksial menunjukkan herniasi diskus T12-L1 yang
menyebabkan kompresi minimal pada conus medullaris11.

- Pemeriksaan lain
Beberapa pemeriksaan lain yang boleh dilakukan adalah Elektrokardiografi
(EKG) yang biasanya memperlihatkan hasil normal atau kebanyakan kelainan yang
ditemukan tidak diakibatkan oleh GBS sendiri. Pemeriksaan serum Kreatinin Kinase
biasanya normal atau meningkat sedikit. Tes fungsi respirasi atau pengukuran
kapasitas vital paru biasanya menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang
sedang berjalan (impending). Intubasi dan mekanisme ventilasi harus
dipertimbangkan ketika kapasitas vital berada dibawah 15 mL/kg/BB atau tekanan
oksigen pada arteri berada dibawah 70 mmHg. Biopsi otot tidak diperlukan dan
biasanya normal pada stadium awal. Pada stadium lanjut terlihat adanya denervation
atrophy.

2.7 Penatalaksanaan
Saat ini, diketahui tidak ada terapi khusus yang dapat menyembuhkan penyakit GBS.
Penyakit ini pada sebagian besar penderita dapat sembuh dengan sendirinya. Pengobatan
yang diberikan lebih bersifat simptomatis. Tujuan dari terapi adalah untuk mengurangi
tingkat keparahan penyakit dan untuk mempercepat proses penyembuhan penderita.
Meskipun dikatakan sebagian besar dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan mengenai
waktu perawatan yang lama dan juga masih tingginya angka kecacatan / gejala sisa pada
penderita, sehingga terapi tetap harus diberikan:
a. Terapi Farmakologi
- Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengatakan bahwa
preparat steroid tidak memberikan manfaat sebagai monoterapi. Pemberian
kortikosteroid sebagai monoterapi tidak mempercepat penyembuhan secara
signifikan. Selain itu, pemberian metylprednisolone secara intravena yang
berkombinasi dengan imunoterapi juga tidak memberikan manfaat secara
signifikan dalam waktu jangka panjang.12, 13 Sebuah studi awal mengemukakan
pasien yang diberikan kortikosteroid oral menunjukkan hasil yang lebih buruk
daripada kelompok kontrol. Selain itu, sebuah studi randomisasi di Inggris dengan
124 pasien GBS menerima metylprednisone 500 mg setiap hari selama 15 hari dan
118 pasien mendapatkan placebo. Dalam studi ini tidak didapatkan pernedaan
antara kedua kelompok dalam derajat perbaikan maupun outcome yang lainnya.14
- Plasmaparesis
Plasmaparesis secara langsung mengeluarkan faktor-faktor humoral, seperti
autoantibody, kompleks imum, complement, sitokin, dan mediator inflamasi non-
spesifik lainnya. Plasmaparesis merupakan terapi pertama pada GBS yang
menunjukkan efektivitasnya, berupa adanya perbaikan klinis yang lebih cepat,
minimal penggunaan alat bantu napas, dan lama perawatan yang lebih singkat.
Dalam studi tersebut, plasmaparesis yang diberikan dalam dua minggu pada
pasien GBS menunjukkan penurunan waktu penggunaan ventilator (alat bantu
napas). Terapi ini melibatkan penghilangan plasma dari darah dan menggunakan
centrifugal blood separators untuk menghilangkan kompleks imun dan
autoantibody yang mungkin ada. Plasma kemudian dimasukan kembali ke tubuh
pasien dengan larutan yang berisis 5% albumin untuk mengkompensasi
konsentrasi protein yang hilang.1,2 Terapi ini dilakukan dengan menghilangkan
200-250 ml plasma/kgBB dalam 7-14 hari. Dikatakan terapi plasmaparesis ini
lebih memberikan manfaat bila dilakukan pada awal onset gejala (minggu pertama
GBS). Keterbatasan plasmaparesis yaitu akses intravena memerlukan kateter
double-lumen besar melalui vena femoral atau vena subklavia internal.
Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain: pneumothoraks, hipotensi,
sepsi,trombositopenia, hipokalsemia, dan anemia. Selama plasmaparesis penting
untuk memonitoring tekanan darah, nadi, dan jumlah cairan masuk dan keluar.
Selain itu, perlu juga dilakukan monitoring CBC, elektrolit, PT, APTT, dan INR
satu atau dua hari bila ditemukan parameter koagulasi abnormal. Imunoglobulin
Intravena Pengobatan dengn immunoglobulin intravena (IVIg) lebih
menguntungkan dibandingkan dengan terapi plasmaparesis karena efek samping
dan komplikasi yang sifatnya lebih ringan. Penggunaan IVIg dapat memodulasi
respon humoral dalam menghambat autoantibody dan menekan produksi
autoantibody dalam tubuh, sehingga kerusakan yang dimediasi oleh komplemen
dalam diredam. IVIg juga memblok ikatan reseptor Fc dan mencegah kerusakan
fagositik oleh makrofag. Studi awal untuk menunjukkan respon IVIg pada GBS
pertama kali dilakukan oleh Dutch Guillai-Barre Syndrome Group dua decade
silam. Dalam studi ini, mereka membandingkan efikasi IVIg dan plasmaparesis
dalam 147 pasien dan tidak ada kelompok kontrol. Hasil studi ini menunjukkan
bahwa IVIg tidak hanya efektif dalam GBS tetapi juga jauh lebih efektif
dibandingkan plasmaparesis. Pada penelitian tentang terapi IVIg pada kasus GBS
pada anak yang dilakukan oleh Korinthenberg et al ditemukan bahwa pengobatan
dengan IVIg pada kasus GBS ringan tidak mengubah tingkat keparahan penyakit
tetapi dapat mempercepat perbaikan klinis penderita. Dosis optimal yang dapat
diberikan pada penderita GBS adalah 400 mg/kg yang diberikan selama 6 hari.
Efek samping yang muncul dalam penggunaan IVIg dikatakan ringan dan jarang
terjadi. Meskipun efek samping dikatakan ringan dan jarang terjadi, pemberian
pertama biasanya dimulai dengan kecepatan rencah yaitu 25-50 cc/jam selama 30
menit dan ditingkatkan secara progresif 50cc/jam setiap 15-20 menit hingga 150-
200 cc/jam. Efek samping ringan berupa nyeri kepala, mual, menggigil, rasa tidak
nyaman pada dada, dan nyeri punggung muncul pada 10% kasus dan mengalami
perbaikan dengan penurunan kecepatan infuse serta dapat dicegah dengan pre-
medikasi berupa acetaminophen, benadryl dan bila perlu methylprednisone
intravena. Reaksi moderate yang jarang terjadi meliputi meningitis neutropenia,
macular hiperemis pada telapak tangan, telapak kaki, dan badan dengan adanya
deskuaminasi. Sementara itu, reaksi berat dan jarang sekali muncul berupa
anafilaksis, stroke, infark miokardial akibat sindrom hiperviskositas.15

b. Terapi Suportif
Sebanyak 30% kasus GBS dapat mengalami gagal pernapasan, sehingga terapi
suportif yang baik menjadi elemen penting dalam terapi GBS. Umumnya pasien
GBS dimasukkan ke ruang intensif ataupun ruang pelayanan intermediet untuk
memungkinkan monitoring pernapasan dan fungsi otonom yang lebih intensif.
Penurunan expiratory forced vital capacities < 15 cc/kgBB ideal atau tekanan
inspirasi negative dibawah 60 cmH2O mengindikasikan bahwa pasien memerlukan
intubasi dan ventilator mekanik sebelum terjadi hipoksemia. Setelah duaminggu
penggunaan intubasi, perlu dipertimbangan dilakukannya trakeostomi. Pasien dengan
bed-ridden perlu diberikan profilaksis DVT berupa kaos kaki kompres atau
antikoagulan berupa heparin atau enoxaprin subkutan.Apabila terjadi kelompuhan
otot wajah dan otot menelan, maka perlu dipasang selang NGT untuk dapat
memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan penderita. Fisioterapi aktif juga diperlukan
menjelang masa penyembuhan untuk mengembalikan lagi fungsi alat gerak
penderita, menjaga fleksibilitas otot, berjalan dan melatih keseimbangan penderita.
Fisioterapi pasif dilakukan setelah terjadi masa penyembuhan untuk memulihkan
kekuatan otot penderita.
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

1. Identitas Klien
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering muncul adalah adanya kelemahan, baik kelemahan
fisik secara umum ataupun lokalis seperti kelemahan otot-otot pernapasan
sehingga dapat mengakibatkan gangguan pernapasan.
b.  Riwayat kesehatan sekarang
Melemahnya otot pernapasan membuat klien berisiko lebih tinggi terhadap
hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang.Disfagia juga dapat timbul yang
dapat mengarah kepada aspirasi.Selain itu, kelemahan pada ekstremitas atas dan
bawah, kelainan dari fungsi kardiovaskuler yang dapat menyebabkan disritmia
jantung atau perubahan drastis yang dapat mengancam kehidupan dalam tanda-
tanda vital.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit lain yang pernah dialami klien yang memungkinkan hubungan atau
menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi riwayat ISPA, infeksi
gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf. Selain itu obat-obatan yang dikonsumsi
klien juga dikaji seperti pemakaian obat kortikosteroid, antibiotik dan reaksinya
(untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik).
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Perawat perlu mengakaji kondisi sakit dari generasi terdahulu, karena pada
beberapa pasien cenderung memiliki kondisi penyakit herediter.
e. Riwayat Penyakit Menular Seksual (PMS)
Perawat perlu mengkaji apakah klien dulu pernah mengalami penyakit menular
seksual (PMS)
f. Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian ini dilakukan untuk memperoleh persepsi yang jelas tentang status
emosi, kognitif, dan perilaku klien.Mekanismekoping klien juga penting dikaji
untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga
ataupun masyarakat, dan apakah klien dapat mendiskusikan masalah kesehatan
saat ini. Apakah klien merasa cemas dan timbul ketakutan akan kecacatan, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan timbul
pandangan terhadap dirinya yang salah.Selain itu, perlu juga dikaji dampak
perawatan terhadap status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan
memerlukan dana yang tidak sedikit.
3. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola Aktivitas dan Latihan
b. Pola istirahat dan Tidur
c. Pola Nutrisi dan Metabolik
d. Pola Eliminasi Urine dan Fekal
e. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi 6B dengan fokus pemeriksaan pada B3
(Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan klien.
- B1 (Breathing)
Klien batuk, produksi sputum meningkat, sesak napas, penggunaan otot bantu
napas, takipnue (karena infeksi pernapasan), bradipnue (karena melemahnya
otot-otot pernapasan). Terdapat bunyi napas tambahan seperti ronkhi akibat
akumulasi secret dari infeksi saluran napas.
- B2 (Blood)
Gejala yang dapat diitemukan adalah bradikardi akibat penurunan
perfusiperifer.Tekanan darah didapatkan ortostatik hipotensi atau tekanan
darah meningkat (hipertensi transien) yang berhubungan dengan penurunan
reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
- B3 (Brain)
a. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran pada klien GBS biasanya yaitu komposmentis.Tetapi
dapat pula terjadi penurunan kesadaran, dan penilaian GCS sangat penting
untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitoring
pemberian asuhan keperawatan.
b.  Fungsi serebri
Yang dikaji yaitu status mental klien, yaitu bagaimana penampilan klien
dan tingkah lakunya, gaya bicara dan ekspresi wajah klien, serta aktivitas
motorik klien dimana pada tahap lanjut dapat disertai penurunan tingkat
kesadaran. Biasanya status mental klien mengalami perubahan.
c. Pemeriksaan saraf kranial
 Saraf I :Tidak ada kelainan dan fungsi penciuman normal.
 Saraf II : Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
 Saraf III, IV, dan VI : Penurunan kemampuan membuka dan menutup
kelopak mata, paralisis ocular
 Saraf V : terdapat paralisis pada otot wajah sehingga mengganggu proses
mengunyah
 Saraf VII : persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris
karena adanya paralisis unilateral
 Saraf VIII : tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
 Saraf IX dan X : terdapat paralisis pada otot orofaring, kesukaran
berbicara, mengunyah dan menelan, sehingga mengganggu pemenuhan
nutrisi via oral
 Saraf XI : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius,
kemampuan mobilisasi leher baik
 Saraf XII : lidah asimetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi, indra pengecapan normal.
d. Sistem motoric
Kekuatan otot menurun, pada klien GBS tahap lanjut dapat terjadi
perubahan control keseimbangan  dan koordinasi. Klien mengalami
kelemahan motorick secara umum sehingga mengganggu mobilitas fisik.
e. Pemeriksaan reflex
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau
periosteum derajat refleks pada respon normal.
f. Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, TIK, dan dystonia
g. Sistem sensorik
Gejala yang ditemukan yaitu parestesia dan kelemahan otot kaki, dapat
berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah.Klien
mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri dan suhu.
- B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem kandung kemih biasanya didapatkan berkurangnya volume
haluaran urine
-  B5 (Bowel)
Gejala yang biasa didapatkan yaitu mual muntah akibat peningkatan asam lambung.
Anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan
menyebabkan terjadinya penurunan pemenuhan nutrisi
- B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas
klien secara umum.
3.2 Diagnosa Keperawatan
1 Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otot-otot
pernapasan dan ancaman gagal pernapasan
2 Ketidakefektifanbersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi sekret,
kemampuan batuk menurun
3 Risiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi,
irama, dan konduksi listrik jantung
4 Gangguan menelan berberhubungan dengan paralisis serebri
5 Risiko gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
ketidakmampuan mengunyah dan menelan makanan
6 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neoromuskular, penurunan
kekuatan otot, dan penurunan kesadaran
7 Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan penerima rangsang
sensorik, transmisi, dan/atau integrasi sensori serta ketikmampuan berkomunikasi atau
berespons.
8 Koping individu dan keluarga tidak efektif berhubungan dengan prognosis penyakit,
perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif, dan ketidakberdayaa
9 Cemas berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang buruk.

3.3 intervensi keperawatan


Tahap perencanaan memberikan kesempatan kepada perawat, klien, kluarga dan
orang terdekat klien untuk merumuskan rencana tindakan keperawatan guna mengatasi
masalah yang dialami klien.Perencanaan ini merupakan suatu petunjuk tertulis yang
menggambarkan secara tepat rencana tindakan keperawatan yang dilakukan terhadap klien
sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan diagnosis keperawatan. Tahap perencanaan dapat
disebut sebagai inti atau pokok dari proses keperawatan sebab perencanaan merupakan
keputusan awal yang memberi arah bagi tujuan yang ingin dicapai. Hal yang akan dilakukan,
termasuk bagaimana, kapan, dan siapa yang akan melakukan tindakan keperawatan.
Karenanya, dalam menyusun rencana tindakan keperawatan untuk klien, kluarga dan orang
terdekat perlu dilibatkan secara maksimal (Asmadi,2008)
3.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan asuhan keperawatan
kedalam bentuk tindakan guna membantu klien mencapai tujuan yang telah ditetapkan
.kemampuan yang harus dimiliki perawat pada tahap implementasi adalah kemampuan
melakukan teknik psikomotor, kemampuan melakukan observasi sistematis, kemampuan
memberikan pendidikan kesehatan, kemampuan advokasi, dan kemampuan evaluasi
(Asmadi, 2008)
3.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan yang
sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang
dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan dengan
melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya.Jika hasil evaluasi menunjukkan tercapainya
tujuan dan kriteria hasil. Klien bisa keluar dari siklus proses keperawatan. Jika sebaliknnya,
klien akan masuk kembali kedalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang
(Reassessment). Secara umum, evaluasi ditunjukkan untuk :
a. Melihat dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan
b. Menentukan apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau belum

Mengkaji penyebab jika tujuan asuhan keperawatan belum tercapai


TINJAUAN KASUS
Kasus Semu
Ny.Y usia 42 tahun datang ke RS Patria Husadapada tanggal 25 Oktober 2020, di
dapatkan, keluhan utama kesemutan pada anggota gerak bagian atas terutama tangan, klien
juga mengeluh kaki tidak bisa digerakkan dan sudah 5 hari tidak BAB serta perut terasa
mulas. Ny. Ybelum pernah mengalami seperti ini sebelumnya, ini adalah pertama kali Ny. Y
masuk RS karena keluhan seperti ini.Dari hasil pemeriksaan diperoleh RR : 20x/menit, TTV :
TD: 130/90 mmHg, N : 86x/m, S : 36,7 C, hasil lumbal fungsi menunjukkan peingkatan
konsentrasi protein dan jumlah sel normal, serta bising usus 7x/m, perut teraba keras, teraba
massa feses dicolon dessenden tetapi tidak ada nyeri tekan, klien juga mengalami gangguan
menelan, sehingga porsi makan klien juga menurun, tidak ditemukan komplikasi gagal nafas
pada klien. Selama 1 hari perawatan klien diobservasi dan dilakukan pemeriksaan pada
anggota geraknya. Pada pemeriksaan neurologi ditemukan kesadaran klien komposmentis,
terdapat tetraparesis flaksid dengan kekuatan otot :inf 2/2 ,sup 4/3, tonus menurun, reflek
tendo menurun dan reflek patologi negative. Gangguan sensori ditemukan rasa baal pada 4
ekstremitas dan nyeri saat sendi digerakkan.Hasil pemeriksaan penunjang ditemukan pada
lumbal phungsi menunjukkan peningkatan konsentrasi protein dan jumlah sel masih normal.
Atas dasar penemuan itu ditegakkan diagnosis Guillane Barre Syndrome (GBS) dimana GBS
terjadi kelemahan flasid dan terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana
targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus cranialis. Manifestasi klinis GBS terjadi
kelumpuhan otot-otot ekstremitas, sebagian besar dimulai dari kedua ekstremitas bawah
kemudian menyebar secara assenden kebadan, anggota gerak atas dan saraf cranialis.Kadang-
kadang juga bisa ke 4 anggota gerak dikenai secara serentak. Namun pada Ny. Y baru
menyerang kesemutan pada tangan dan kesulitan bergerak pada kaki.Selain itu penderita juga
mengalami gangguan sensibilitas dan fungsi otonom (2). Hal ini ditunjukkan dengan adanya
kesulitan defekasi pada Ny. Y tidak ditemukan sinus takikardi/sinus bradikardi.Gangguan
saraf cranial juga tidak ditemukan.Tidak ada kelumpuhan otot-otot muka (N.VII), diplopia
(N.IV atau N.III), sukar menelan, disfonia (N.IX dan N.X).
3.1 Pengkajian
I. Identitas klien
Nama : Ny. Y
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 42 Tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status perkawinan : Kawin
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Jl. Melati no.17 Surabaya
Hari/Tanggal masuk RS : 25 Oktober 2019; pukul 08.25 WIB
Tanggal Pengkajian : 25 Oktober 2019
No. Register : 8763879
Diagnosa medis : Guillain- Barre Syndrome (GBS)
II. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama :
Tangan kesemutan dan kaki tidak dapat digerakkan
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Sekitar 5 hari sebelum masuk Rumah Sakit, klien mengeluh tangan
kesemutan dan kaki klien tidak dapat digerakkan dan selama 5 hari pula
pasien mengatakan tidak BAB dan perutnya terasa mulas. Klien masuk RS
Patria Husada dan disarankan oleh dokter S yang menangani untuk
dirawat inap dan diteruskan ke ruang B1 Syaraf. Selama ada di Rumah
sakit klien diobservasi dan dilakukan pemeriksaan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya klien belum pernah dirawat di Rumah Sakit manapun.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga tidak ada yang mengalami penyakit yang sama.
e. Riwayat Penyakit Menular (PMS)
Tidak ada riwayat penyakit menular pada pasien maupun keluarga pasien.
f. Psiko-sosio danSpiritual
Pasien mengatakan stress karena tiba-tiba kakinya tidak bisa buat
bergerak, dan tangannya terasa kebas terus-menerus sehingga
menyebabkan pasien tidak bisa melakukan kegiatan sehari-hari seperti
biasanya. Pasien juga malu saat dijenguk tetangga karena keadaan seperti
ini.Pasien juga mengatakan bahwa keadaannya sekarang membuat pasien
sulit untuk melakukan ibadah seperti biasanya.

III. Pola Fungsi Kesehatan


1. Pola Aktivitas dan Latihan
 Kemampuan Perawatan Diri

Skor 0 : mandiri, 1 : dibantu sebagian, 2 : perlu bantuan orang lain, 3 :


perlu bantuan orang lain dan alat, 4 : tergantung pada orang lain /
tidak mampu.

Aktivitas 0 1 2 3 4
Mandi √
Berpakaian √
Eleminasi √
Mobilisasi di tempat tidur √

Pindah
Makan dan minum √√
Gosok gigi √
Keterangan : Klien melakukan aktivitas dengan bantuan.
2. Pola Istirahat dan Tidur :
KETERANGAN SEBELUM SAKIT SAAT SAKIT
Jumlah Jam Tidur Siang ± 1-2 jam/hari 30-45 menit
Jumlah Jam Tidur Malam ± 5-6 jam/hari ± 4-5 jam/hari
Pengantar Tidur - -
Gangguan Tidur - -
Terkadang merasa kebas
Perasaan Waktu Bangun Merasa segar pada bagian tangan dan
kaki.

3. Pola Nutrisi- Metabolik


SEBELUM
KETERANGAN SAAT SAKIT
SAKIT
Frekuensi 3x/hari 1x/hari
Semua jenis Makanan yang lembut dan
Jenis
makanan tidak berbau amis
Nafsu makan baik, Nafsu makan berkurang, hanya
Porsi
1 porsi habis ¼ porsi
Total Konsumsi 3 porsi/hari ¾ porsi/hari
Keluhan - -

4. Pola Eliminasi
Eliminasi Urin

KETERANGAN SEBELUM SAKIT SAAT SAKIT


Frekuensi 4-6x/hari 2x/hari
Pancaran Kuat Sedang
Total Produksi Urin 800cc - 1200cc/hari ± 400 cc/hari

Eliminasi Alvi

KETERANGAN SEBELUM SAKIT SAAT SAKIT


Frekuensi 1x/hari Belum BAB
Konsistensi Padat -
Bau Khas feses -
Warna Kuning kecoklatan -

5. Pemeriksaan Fisik
 Status Kesehatan Umum :
Keadaan/ penampilan umum: baik
Kesadaran : Compos mentis GCS: E:4, V:5, M:6
BB sebelum sakit : 50 Kg TB: 158 cm
BB saat ini : 47 Kg
Perkembangan BB : BB turun 3 Kg
Tanda – tanda vital :
TD : 130/90 mmHg
N : 86x/menit
Suhu : 36,7 ᵒC
RR : 20x/menit

 B1-B6 :
BI (Sistem Pernafasan): Bentuk dada simetris, klien tidak sesak, irama nafas teratur,
suara nafas normal : vesikuler.
B2 ( Sistem Kardiovaskuler): Tidak ada keluhan nyeri dada, irama jantung teratur,
CRT <3 dtk, N : 86x/menit TD : 130/90 mmHg.
B3 ( Brain): Kesadaran Komposmentis, klien tidak pusing, kebas pada area
ekstremitas atas dan bawah (tangan dan kaki)
 Nervus III (Okulomotorius)

Tanggal 25/11/2019
Selamata Kuranglebih 1,5 cm
Pergerakanbulbus Bebas
Bentuk pupil Bulat
Besar pupil 3mm
Reflekcahaya +/pupil mengecil
Melihatkembar Tidak
Reflekterhadapkonfergens +
i
Nistagmus Tidak
Enoptalmus Tidak
Exoptalmus Tidak
Strabismus Tidak
Mata kiri Selamata Kuranglebih 1,5 cm
Pergerakanbulbus Bebas
Bentuk pupil Bulat
Besar pupil 3mm
Reflekcahaya +/pupil mengecil
Melihatkembar Tidak
Reflekterhadapkonfergens +
i
Nistagmus Tidak
Enoptalmus Tidak
Exoptalmus Tidak
Strabismus Tidak

 Nervus IV (Trochlearis)

Tanggal 25/11/2019
Mata kanan Pergerakanmatakebawah – +
kedalam
Mata kiri Pergerakanmatakebawah – +
kedalam
 Nervus VI (Abducen)

Tanggal 25/11/2020
Mata kanan Pergerakanmata lateral +
Melihatkembar Tidakada
Mata kiri Pergerakanmata lateral +
Melihatkembar Tidakada

 Nervus VII (Fasialis)

Tanggal 25/11/2019
Mengerutdahi +
Tersenyum +
Mengangkatalis +
Menutupmata +
Rasa kecap 2/3 anterior lidah +
(asamdanmanis)

 Nervus IX (Glossopharyngeus)

Tanggal 25/11/2019
Rasa kecap 1/3 anterior lidah (pahit) +

 Nervus X (Vagus)

Tanggal 25/11/2019
Menelan -
Bicara +

B4 (Sistem Perkemihan): Klien tidak menggunakan alat bantu kateter, penurunan


frekuensi berkemih.
B5 ( Sisem Pencernaan): Mukosa mulut kering, sulit menelan, nafsu makan
menurun, klien tidak mual, konstipasi (+).
B6 (Sistem Muskuloskeletal): terdapat penurunan otot pada ekstremitas atas dan
bawah (atas : kanan = 3, kiri = 4 ) dan (bawah : kanan = 2, kiri = 2), tidak terdapat
nyeri, tidak ada luka.
 Skor Uji Kekuatan :
0 = Tidak terlihat kontraksi
1 = Terlihat kontraksi,tapi tidak ada gerakan sendi
2 = Ada gerakan sendi,tapi tidak melawan gravitasi
3 = Dapat melawan gravitasi,tapi tidak dapat melawan tahanan pemeriksa
4 = Melawan tahanan pemeriksa, tapi kurang kuat
5 = Kekuatan normal
Hasil penilaian uji kekuatan Ny. Y :

3 4
2 2

Artinya :
- Tangan Kanan :Dapat melawan gravitasi,tapi tidak dapat melawan tahanan
pemeriksa.
- Tangan Kiri : Ada gerakan sendi,tapi tidak melawan gravitasi
- Kaki Kanan : Ada gerakan sendi,tapi tidak melawan gravitasi
- Kaki Kiri :Ada gerakan sendi,tapi tidak melawan gravitasi.

3.2 ANALISA DATA

N Data fokus Problem Etiologi TTD


o
1 25/11/2019 Konstipasi Imobilitas, R
DS: klien mengatakan tidak dapat kerusakan
BAB selama 5 hari neuromuskuler
DO :
- Klien mengalami
tetraparesis (lemah 4
ekstremitas) dan tidak bisa
bergerak
- BU + 7x/mnt
- Teraba masa feses pada KW
IV daerah ileum (perut
teraba keras)
- Kekuatan otot sup : 4/3, inf :
2/2
2 25/11/2019 Keruskan Kerusakan R
DS : klien mengatakan tidak bisa mobilitas fisik neuromuskuler
menggerakan kakinya hanya
berbaring miring dan duduk harus
di bantu, menggenggam tangan
tidak mampu, jari kaki tidak
mampu bergerak, hanya bisa
menggeser anggota gerak
kekanan kiri (miring-miring)
DO :
- Tampak tetrapareis (lemah
pada 4 anggota gerak )
- Kekuatan otot : sup 4/3, inf :
2/2
- Hasil EMG sesuai dengan
SGB (poliradikuloneuropati)
- Aktifitas
bathing,dressing,toileting,
transferring harus di bantu.
3 25/11/2019 Defisit Nutrisi Kesulitan R
DS : Klien mengatakan bahwa menelan makanan
kesulitan dalam menelan
makanan, nafsu makan juga
menurun
DO :
- Badan klien tampak
lemah, kurus
- Wajah klien pucat
- Penurunan BB, BB awal
50 kg, sekarang 47 kg

3.3 DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Konstipasi berhubungan dengan kelemahan otot pada abdomen.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuscular.
3. Defisit nutrisi berhbungan dengan ketidakmampuan menelan makanan.

a. INTERVENSI KEPERAWATAN
Nama :Ny. Y No.RM :8763879
Umur :42 Tahun
Diagnosa medis :GBS

No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

1. Konstipasi - (Eliminasi fekal) -ManajemenEliminasiFekal


(D.0049) (l. 04033) (I.04151)
(Hal-23) (Hal -174)
Tindakan :
Kriteria Hasil : 1. Observasi :
1. Kontrol pengeluaran feses - Identifikasi masalah usus
(menurun) dan penggunaan obat
2. Keluhan defekasi lama dan pencahar
sulit (menurun) - Monitor buang air besar
3. Mengejan saat (mis warna, frekuensi,
defekasi(menurun) konsistensi, volume)
4. Konsistensi feses - Monitor tanda dan gejala
(membaik) diare,konstipasi, atau
5. Frekuensi Defekasi impaksi
(membaik) 2. Terapeutik :
6. Peistaltik usus (membaik) - Berikan air hangat setelah
makan
- Sediakan makanan tinggi
serat
3. Edukasi :
- Jelaskan jenis makanan
yang membantu
meningkatkan keteraturan
perstaltik usus
- Anjurkan meningkatkan
aktivitas fisik, sesuai
toleransi
- Anjurkan mengkonsumsi
makanan yang
mengandung tinggi serat
- Anjurkan meningkatkan
asupan cairan, jika tidak
ada kontra indikasi
4. Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian obat
supositorial, jika perlu.

2. Gangguan - Mobilitas fisik (L.05042) Dukungan Mobilisasi (I.05173)


mobilitas fisik (Hal-65) (Hal-30)
(D.0054) Tindakan :
Kriteria Hasil : 1. Observasi :
1. Pergeraka ekstremitas - Identfikasi adanya nyeri
(meningkat) atau keluhan fisik lainnya
2. Kekuatan otot (meningkat) - Identifikasi toleransi fisik
3. Rentan gerak (ROM) melakukan pergerakan
(Meningkat) - Monitor frekuensi jantung
4. Kaku sendi (menurun) dan tekanan darah sebelum
5. Kelemahan fisik memulai mobilisasi
(Meningkat) - Monitor kondisi umum
selama melakukan
- Status Neurologis (L.06053) mobilisasi
(Hal-120) - Monitor ICP(intracranial
Kriteria Hasil : pressure dan CPP
1. Fungsi motorik kranil (Cerebral perfusion
(meningkat) pressure)
2. Fungsi motorik spinal - Monitor tanda-tanda vital
(meningkat) - Monitor status pernapasan
3. Hipertermia menurun) 2. Terapeutik :
4. Pola nafas (membaik) - Fasilitasi aktivitas
5. Frekuensi nafas mobilisasi dengan alat
(membaik) bantu (mis, pagar tempat
tidur)
- Fasilitasi melakukan
gerakan, jika perlu
- Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan
- Tingkatkan frekuensi
pemantauan neurologis
(jika pelu)
3. Edukasi :
- Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
- Anjurkan melakukan
mobilisasi dini
- Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis, duduk
ditempat tidur, duduk
disisi tempat tidur, pindah
dari tempat tidur kekursi)
- Informasi hasil
pemantauan

3. Defisit Nutrisi -Status Nutrisi (L.03030) Manajemen nutrisi (I.03119)


(D.0019) (Hal-121)
(Hal-200)
Kriteria hasil : Tindakan :
1. Porsi makanan yng di
1. Observasi
habiskan ( meningkat)
2. Kekuatan otot menguyah - Identifikasi status nutrisi
(meningkat)
- Identifikasi alergi dan
3. Pengetahuan tentang
makaan dan minuman intoleransi makanan
yang sehat serta tepat
- Indetifikasi kebutuhan
(meningkat)
4. Berat badan indeks massa kalori dan jenis nutrien
tubuh (IMT) (membaik)
- Monitor asupan makanan
5. Frekuensi makan,nafsu
makan (membaik) - Monitor berat badan
6. Bising usus (membaik)
2. Terapeutik:
- Berikan makanan tinggi
kalori dan tinggi protein
3. Edukasi :
- Anjurkan posisi duduk,
jika mampu
4. Kolaborasi:
- Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
(mis. Pereda nyeri,
antiemetik), jika perlu
- Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dilakukan.

a. IMPLMENTASI KEPERAWATAN

No Pukul Tindakan Paraf


. Hari/Tanggal
1. 25/11/2019 Manajemen Eliminasi Fekal
Jam 09.05 Tindakan :
WIB - Melakukan Identifkasi masalah usus dan penggunaan
obat pencahar
- Monitor buang air besar (mis warna, frekuensi,
konsistensi, volume)
- Monitor tanda dan gejala diare, konstipasi, atau
impaksi
- memberikan air hangat setelah makan
- Memberikan makanan tinggi serat
- Menjelaskan jenis makanan yang membantu
meningkatkan keteraturan perstaltik usus
- Mengajarkan meningkatkan aktivitas fisik, sesuai
toleransi
- Memberikan makanan yang mengandung tinggi serat
- Pemberian obat supositorial, jika perlu
2. 28/11/2019 Dukungan Mobilisasi
Jam 07.30 Tindakan :
WIB - Mengidentifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
lainnya
- Mengidentifikasi toleransi fisik melakukan
pergerakan
- Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah
sebelum memulai mobilisasi
- Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
- Monitor ICP (intracranial pressure dan CPP
(Cerebral perfusion pressure)
- Monitor tanda-tanda vital
- Monitor status pernapasan
- Menfasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
(mis, pagar tempat tidur)
- Memfasilitasi untuk melakukan gerakan,
- Meningkatkan frekuensi pemantauan neurologis
- Mengajarkan mobilisasi sederhana yang harus
dilakukan (mis, duduk ditempat tidur, duduk disisi
tempat tidur, pindah dari tempat tidur kekursi).

3. 26/11/2019 Manajemen nutrisi


Jam 07.30 Tindakan :
- Mengidentifikasi status nutrisi
- Melakukan identifikasi alergi dan intoleransi
makanan
- Melakukan indetifikasi kebutuhan kalori dan jenis
nutrien
- Memonitor asupan makanan
- Monitor berat badan
- Memberikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
- Mengajurkan posisi duduk, jika mampu
- Memberikan medikasi sebelum makan (mis. Pereda
nyeri, antiemetik), jika perlu
b. EVALUASI KEPERAWATAN

No Pukul CatatanPerkembangan Paraf


Hari/Tanggal
1. 25-11-2019 S :Pasien mengatakan sudah BAB dengan
lancar
14.00 WIB O:Warna,frekuensi,konsistensi ,dan volume
BAB normal .
BAB 1x sehari setiap pagi
A:Masalah tratasi
P : Intervensi di hentikan

28-11-2019 S:Pasien sudah dapat melakukan mobilisasi,


09.30 WIB meskipun sedikit-sedikit
O:
-tanda-tanda vital normal
-pergerakan toleransi fisik normal
A : Masalah teratasi sebagian
P :Intervensi dilanjutkan

3. 27-11-2019 S:Pasien mengatakan sudah bisa menelan


07.30 WIB makanan meskipun harus sedikit-sedikit
O:
-Kebutuhan kalori tercukupi
-berat badan normal
-asupan makanan tercukupi
A: Masalah teratasi
P :Intervensi dihentikan
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah suatu sindrom klinis dari kelemahan akut
ekstremitas tubuh. Yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit
sistemik. Penyakit ini merupakan suatu kelainan kekebalan tubuh manusia yang menyerang
bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan karakterisasi berupa kelemahan atau
arefleksia juga dari saraf metorik yang sifatnyaprogesif. Kelainan ini kadang-kadang juga
menyerang saraf sensori, otonom maupun susunan saraf pusat. Guillain barre Syndrome
(GBS) dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia maupun ras. GBS diduga
disebabkan oleh respon imunilogik baik secara primary imune maupun secara meddiated
process.
Pada umumnya sindrom ini didahului oleh penyakit influensa atau infeksi saluran
pernapasan atas atau saluran pencernaan.
Penyebab infeksi pada umumnya adalah kelompok virus dan kelompok herfes. Sindrom
ini dapat didahului pula oleh vaksinasi, gangguan endokrin, anastesi, tindakan operasi dan
sebagainya.

Saran
Bagi Pasien
Diharapkan kepada pasien agar selalu bekerja sama dalam melakukan tindakan keperawatan.
Bagi Perawat
Diharapkan dalam memberikan asuhan keperawatan harus sesuai kebutuhan klien, baik bio,
psiko, sosio dan spiritual klien.
DAFTAR PUSTAKA

Jan 2004P Sidarta Sidarta,P.2004.Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta. Penerbit
Dian Rakyat. Departemen Kesehatan RI. 2008. Pedoman Praktik Laboratorium Kesehatan
yang
Benar (Good Laboratory Practice). Jakarta: Direktorat Jenderal Bina
Pelayanan Medik. http://dinkes.sumutprov.go.id/editor/gambar/file/Pedoman%20Praktik%
20Laboratorium%20Kesehatan%20yang%20Benar.pdf. diakses tanggal 22 Maret 2018.
Arnason Barry GW. Inflammatory polyradiculoneuropathies. In: Dyck PJ, Thomas PK,
Lambert EH. Peripheral neuropathies. Vol. II. USA: W. B. Saunders Company; 1975.
p.1111-48. Guillain-Barre Syndrome. [Update: 2009]. Available from:
http://www.caringmedical.com/conditions/Guillain-Barre_Syndrome.htm.
syndrome, G. (2020). Guillain-Barré syndrome: MedlinePlus Medical Encyclopedia,
https://medlineplus.gov/ency/article/000684.htm
Guillain-Barré syndrome - Diagnosis and treatment - Mayo Clinic. (2020), from
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/guillain-barre-syndrome/diagnosis-
treatment/drc-20363006
Guillain-Barré Syndrome. (2020). https://www.healthline.com/health/guillain-barre-
syndrome#treatment
syndrome, G. (2020). Guillain-Barré syndrome: MedlinePlus Medical Encyclopedia,
https://medlineplus.gov/ency/article/000684.htm
Guillain-Barré syndrome - Diagnosis and treatment - Mayo Clinic. (2020), from
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/guillain-barre-syndrome/diagnosis-
treatment/drc-20363006
Guillain-Barré Syndrome. (2020). https://www.healthline.com/health/guillain-barre-
syndrome#treatment

Anda mungkin juga menyukai