Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mata adalah salah satu indera yang penting bagi manusia menyerap
informasi visual yang digunakan untuk melaksanakan berbagai kegiatan.
Namun gangguan terhadap penglihatan banyak terjadi, mulai dari gangguan
ringan hingga gangguan yang berat yang dapat mengakibatkan kebutaan.
Upaya mencegah dan menanggulangi gangguan penglihatan dan kebutaan
perlu mendapatkan perhatian1.
Estimasi jumlah orang dengan gangguan penglihatan di seluruh dunia
pada tahun 2010 adalah 285 juta orang atau 4,24% populasi, sebesar 0,58%
atau 39 juta orang menderita kebutaan dan 3,65% atau 246 juta orang
mengalami low vision. Sebanyak 65% orang dengan gangguan penglihatan
dan 82% dari penyandang kebutaan berusia 50 tahun atau lebih2. Sebesar
21% tidak dapat ditentukan dan 4% adalah gangguan penglihatan sejak masa
kanak-kanak. Orang-orang yang berusia 50 tahun dan lebih merupakan
kelompok usia di mana gangguan penglihataan dan kebutaan banyak terjadi.
Sekitar 65% dari penderita gangguan penglihatan, dan 82% orang-orang
buta terjadi pada orang-orang usia 50 tahun dan lebih, walaupun jumlah
kelompok usia ini hanya 20% dari populasi dunia3.
Prevalensi kebutaan pada usia 55-64 tahun sebesar 1,1%, usia 65-74
tahun sebesar 3,5%, dan usia 75 tahun ke atas sebesar 8,4%. Meskipun pada
semua kelompok umur sepertinya prevalensi kebutaan di Indonesia tidak
tinggi, namun di usia lanjut masih jauh di atas 0,5% yang berarti masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat. Jumlah kebutaan terbanyak adalah
di provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Sedangkan tersedikit
adalah di provinsi Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat3.

1
2

Penyebab gangguan penglihatan terbanyak di seluruh dunia adalah


gangguan refraksi yang tidak dikoreksi, diikuti oleh katarak dan glaukoma.
Sebesar 18% tidak dapat ditentukan dan 1% adalah gangguan penglihatan
sejak masa kanak-kanak. Sedangkan penyebab kebutaan terbanyak di
seluruh dunia adalah katarak diikuti oleh glaukoma dan Age related
Macular Degeneration (AMD)2.
Katarak atau kekeruhan lensa mata merupakan salah satu penyebab
kebutaan terbanyak di Indonesia4 maupun di dunia. Perkiraan insiden
katarak adalah 0,1% per tahun atau setiap tahun di antara 1.000 orang
terdapat seorang penderita baru katarak. Penduduk Indonesia juga memiliki
kecenderungan menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan
penduduk di daerah subtropis, sekitar 16-22% penderita katarak yang
dioperasi berusia di bawah 55 tahun5.
Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk
segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah
interpalpebra1. Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di
daerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan
kering. Prevalensi pterigium meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2
dan ke-3 dari kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49.
Kejadian berulang (rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur
tua. Laki-laki 4 kali lebih resiko dari perempuan dan berhubungan dengan
merokok, pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan di luar rumah2.
Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni
radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara
dan faktor herediter3. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang
disebabkan kelainan tear film menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru.
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal
basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi
dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat4.
Pterigium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu; Derajat 1 jika
pterigium hanya terbatas pada limbus kornea, Derajat 2 jika sudah melewati
limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea, Derajat 3 sudah
3

melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan
cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 – 4 mm), Derajat 4
pertumbuhan pterigium melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan5.
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian
obat-obatan jika pterigium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah
dilakukan pada pterigium yang melebihi derajat 26.
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Katarak
2.1.1 Definisi Katarak
Katarak berasal dari bahasa yunani (katarrhakies) dan bahasa latin
(cataracta) yang berarti air terjun.6,7 Katarak adalah keadaan dimana terjadi
kekeruhan pada serabut atau bahan lensa di dalam kapsul lensa atau juga suatu
keadaan patologik lensa di mana lensa menjadi keruh akibat hidrasi cairan
lensa atau denaturasi protein lensa. Katarak merupakan perubahan lensa mata
yang sebelumnya jernih dan tembus cahaya menjadi keruh. Katarak
menyebabkan penderita tidak bisa melihat dengan jelas karena dengan lensa
yang keruh cahaya sulit mencapai retina dan akan menghasilkan bayangan
yang kabur pada retina.8
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Amerika Serikat dapat
diidentifikasi adanya katarak terjadi pada sekitar 10% orang, dan angka
kejadian ini meningkat hingga sekitar 50% untuk mereka yang berusia antara
65 sampai 74 tahun, dan hingga sekitar 70% untuk mereka yang berusia lebih
dari 75 tahun. Sperduto dan Hiller menyatakan bahwa katarak ditemukan lebih
sering pada wanita dibanding pria. Pada penelitian lain oleh Nishikori dan
Yamomoto, rasio pria dan wanita adalah 1:8 dengan dominasi pasien wanita
yang berusia lebih dari 65 tahun dan menjalani operasi katarak.6,7,8,9

2.1.2 Anatomi Lensa


Lensa adalah suatu struktur bikonvek, avaskular, tak berwarna dan
hampir transparan sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm.
Dibelakang iris, lensa digantung oleh zonula, yang menghubungkan dengan
korpus siliaris. Disebelah anterior lensa terdapat humor aqueous; di sebelah
posteriornya, vitreus. Kapsul lensa adalah suatu membran yang semipermiabel
yang akan memperbolehkan air dan elektrolit masuk.6,7
5

Gambar 1. Anatomi Lensa


Di sebelah depan terdapat selapis epitel subkapsular. Nukleus lensa lebih
keras dari pada korteksnya. Sesuai dengan bertambahnya usia, serat-serat
lamellar subepitel terus diproduksi, sehingga lensa lama-kelamaan menjadi
lebih besar dan kurang elastik. Nukleus dan korteks terbentuk dari lamella ini
ujung ke ujung berbentuk Y bila dilihat dengan slitlamp. Bentuk Y ini tegak
dianterior dan terbalik diposterior. Masing-masing serat lamellar mengandung
sebuah inti gepeng. Pada pemeriksaan mikroskop, inti ini jelas dibagian perifer
lensa di dekat ekuator dan bersambung dengan lapisan epitel subkapsul. Lensa
ditahan ditempatnya oleh ligamentum yang dikenal sebagai zonula (zonula
zinii) yang tersusun dari banyak fibril dari permukaan korpus siliaris dan
menyisip ke dalam ekuator lensa. Lensa terdiri dari 65% air, 35% protein, dan
sedikit sekali mineral yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan
kalium lebih tinggi di lensa daripada di kebanyakan jaringan lain. Asam
askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi.
Tidak ada serat nyeri, pembuluh darah atau pun saraf di lensa.
Fungsi utama lensa adalah memfokuskan berkas cahaya ke retina. Untuk
memfokuskan cahaya yang datang dari jauh, otot-otot siliaris relaksasi,
menegangkan serat zonula dan memperkecil diameter anteroposterior lensa
sampai ukurannya yang terkecil, daya refraksi lensa diperkecil sehingga berkas
6

cahaya paralel atau terfokus ke retina. Untuk memfokuskan cahaya dari benda
dekat, otot siliaris berkontraksi sehingga tegangan zonula berkurang. Kapsul
lensa yang elastik kemudian mempengaruhi lensa menjadi lebih sferis diiringi
oleh peningkatan daya biasnya. Kerjasama fisiologik tersebut antara korpus
siliaris, zonula, dan lensa untuk memfokuskan benda dekat ke retina dikenal
sebagai akomodasi. Seiring dengan pertambahan usia, kemampuan refraksi
lensa perlahan-lahan berkurang.Selain itu juga terdapat fungsi refraksi, yang
mana sebagai bagian optik bola mata untuk memfokuskan sinar ke bintik
kuning, lensa menyumbang +18.0- Dioptri.6,7 Etiologi dan patogenesis katarak
sangat kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Pada katarak yang terkait
usia, kerusakan foto-oksidatif pada serat-serat membran dan protein lensa
dikatakan menjadi penyebab utama. Beberapa penelitian menunjukkan
peningkatan produk oksidasi seperti oxidized glutathione dan penurunan
antioksidan (vitamin) dan enzim superoksidase pada penderita katarak senilis.
Teori stres oksidatif pada katarak disebut kataraktogenesis. Selain itu, seiring
dengan bertambahnya usia terjadi peningkatan akumulasi pigmen di dalam
lensa, juga penambahan cairan dan pemecahan protein lensa yang membuat
berat dan ketebalannya bertambah, sementara kekuatannya menurun. Sebagian
katarak berhubungan dengan penyakit mata lain (seperti retinitis pigmentosa
dan miopia tinggi) atau penyakit sistemik spesifik (misalnya diabetes mellitus
dan galaktosemia).7,8

Gambar 2. Gambaran Lensa pada Katarak


Pajanan sinar ultraviolet, kurang gizi, merokok dan peminum alkohol
adalah beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko katarak. Tidak hanya
ultraviolet, tipe radiasi lainnya seperti radiasi sinar X dan radiasi kosmik
berkaitan dengan perkembangan katarak. Terbukti dari tingginya angka
kejadian katarak pada negara-negara tropis juga profesi-profesi khusus yang
7

terpapar radiasi seperti pilot dan astronot. Kekurangan gizi khususnya zat
antioksidan seperti beta-karoten, selenium, vitamin C dan E juga dapat
mempercepat proses berkembangnya penyakit katarak.6,9,11
Secara umum ada dua proses patogenesis katarak yaitu:
a. Hidrasi
Terjadi perubahan komposisi ionik pada korteks lensa dan penimbunan
cairan di antara celah-celah serabut lensa.
b. Sklerosis
Serabut-serabut lensa yang terbentuk lebih dahulu akan terdorong ke arah
tengah sehingga bagian tengah (nukleus) menjadi lebih padat, mengalami
dehidrasi serta penimbunan kalsium dan pigmen.7,10

2.1.3 Etiologi Katarak


Sebagian besar katarak terjadi karena proses degeneratif atau
bertambahnya usia seseorang. Katarak kebanyakan muncul pada usia lanjut.
Data statistik menunjukkan bahwa lebih dari 90% orang berusia di atas 65
tahun menderita katarak. Sekitar 55% orang berusia 75-85 tahun daya
penglihatannya berkurang akibat katarak. Walaupun sebenarnya dapat
diobati, katarak merupakan penyebab utama kebutaan di dunia.7,8 Katarak
disebabkan hidrasi (penambahan cairan lensa), denaturasi protein lensa,
proses penuaan (degeneratif). Meskipun tidak jarang ditemui pada orang
muda, bahkan pada bayi yang baru lahir sebagai cacat bawaan, infeksi virus
(rubela) di masa pertumbuhan janin, genetik, gangguan pertumbuhan,
penyakit mata, cedera pada lensa mata, peregangan pada retina mata dan
pemaparan berlebihan dari sinar ultraviolet. 7,8
Kerusakan oksidatif oleh radikal bebas, diabetes mellitus, rokok,
alkohol, dan obat-obatan steroid, serta glaukoma (tekanan bola mata yang
tinggi), dapat meningkatkan risiko terjadinya katarak. Pada awal serangan,
penderita katarak merasa gatal-gatal pada mata, air matanya mudah keluar,
pada malam hari penglihatan terganggu, dan tidak bisa menahan silau sinar
matahari atau sinar lampu. Selanjutnya penderita akan melihat selaput
seperti awan di depan penglihatannya. Awan yang menutupi lensa mata
8

tersebut akhirnya semakin merapat dan menutup seluruh bagian mata. Bila
sudah sampai tahap ini, penderita akan kehilangan penglihatannya.8,9

2.1.4 Klasifikasi katarak


Dalam penggunaan klinis klasifikasi klasifikasi ini sering
dikombinasikan misalnya katarak senil matur atau katarak polar kongenital.
a. Klasifikasi katarak berdasarkan tingkat kematangan:8,9,11,18
 Katarak insipien:
Merupakan stadium katarak yang paling dini. Dengan koreksi visus masih
bisa 5/5-5/6. Kekeruhan terutama terdapat pada bagian perifer berupa
bercak-bercak seperti jari-jari roda (spokes of a wheel) sedangkan aksis
masih relatif jernih.8
 Katarak Immatur
Kekeruhan terjadi terutama di bagian posterior, belum mengenai seluruh
lapisan lensa. Pada pemeriksaan, sinar yang mengenai bagian yang keruh ini
akan dipantulkan kembali sehingga tampako,m sebagai daerah terang dan
tampak bayangan iris sebagai daerah gelap-shadow test (+).38
 Katarak Matur
Pada stadium ini lensa telah keruh seluruhnya dan terjadi pengeluaran air
sehingga lensa akan berukuran normal kembali. Tidak tampak lagi
bayangan iris sebab semua sinar dipantulkan kembali-shadow test (-).8
 Katarak Hipermatur
Katarak hipermatur, katarak yang mengalami proses degenerasi lanjut, dapat
,menjadi keras atau lembek dan mencair. Masa lensa yang berdegenerasi
keluar dari kapsul lensa sehingga lensa menjadi mengecil, berwarna kuning
dan kering. Pada pemeriksaan terlihat bilik mata dalam dan lipatan kapsul
lensa, kadang-kadang pengkerutan berjalan terus sehingga berhubungan
dengan zonula zinn menjadi kendor.6,10
 Katarak Morgagnian
Pada stadium hipermatur dapat terjadi kerusakan kapsul lensa sehingga isi
korteks yang telah mencair dapat keluar dan lensa menjadi kempis, yang di
bawahnya terdapat nukleus lensa.
9

Gambar 3. Katarak Morgagnian

b. Klasifikasi katarak berdasarkan lokasi:


 Katarak nuklear
Kekeruhan terutama pada nukleus yang terletak di bagian sentral lensa.
Katarak ini disebabkan bertambahnya usia. Mula-mula menyebabkan
miopia yang meningkat sehingga pasien dapat membaca meski tanpa
menggunakan kacamata

Gambar 4. Katarak Nuklear

 Katarak kortikal (anterior atau posterior)


Kekeruhan terbentuk pada korteks lensa dan penyebab tersering katarak
yang disebabkan diabetes melitus.

Gambar 5. Katarak Kortikal


 Katarak subkapsular (anterior atau posterior)
10

Kekeruhan lensa biasa dimulai di bagian belakang lensa. Penglihatan


dekat biasa lebih terganggu daripada penglihatan jauh.

Gambar 6. Katarak Subkapsular

c. Klasifikasi katarak berdasarkan bentuk:6,7


 Katarak cuneiform
 Katarak stellata
 Katarak pisiform
 Katarak pulveranta
 Katarak pungtata
 Katarak zonular
 Katarak titik biru (blue-dot cataract)

d. Klasifikasi katarak berdasarkan usia manifestasi:8,14,15


 Katarak kongenital (sejak lahir)
Katarak kongenital merupakan kekeruhan lensa yang sudah terdapat pada
waktu bayi lahir. Kekeruhan ini timbul pada saat lensa dibentuk jadi lensa
belum pernah mencapai keadaan normal. Katarak kongenital sering
ditemukan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang menderita rubella,
diabetes mellitus, toksoplasmosis dan galaktosemia. Ada pula katarak
kongenital yang menyertai kelainan bawaan pada mata lainnya seperti
mikroftalmus, aniridia, koloboma, keratokonus, ektopia lentis,
megalokornea dan heterokromia iris. Katarak kongenital jarang sekali
mengakibatkan keruhnya seluruh lensa. Letak kekeruhannya tergantung
pada saat terjadinya gangguan perkembangan embriologik lensa.
 Katarak juvenil (umur 1-13 tahun)
 Katarak senil (umur > 35 tahun)
11

e. Klasifikasi katarak berdasarkan penyebab:8,9,11,16


 Degeneratif (katarak senil)
Ada banyak teori yang menjelaskan tentang konsep penuaan antara
lain teori putaran biologik, teori imunologis, teori mutasi spontan, teori
radikal bebas dan teori reaksi silang (across-link). Pada usia lanjut
memang terjadi perubahan-perubahan pada lensa antara lain kapsulnya
menebal dan kurang elastis, epitelnya makin tipis, seratnya lebih irreguler,
korteksnya tidak berwarna, dan nukleusnya mengeras (sklerosis).
Pembentukan lapisan baru serat kortikal secara konsentris
menyebabkan nukleus lensa mengalami kompresi dan pengerasan
(sklerosis). Protein lensa (crystallins) diubah melalui modifikasi kimia dan
aggregasi menjadi protein dengan berat molekul yang tinggi. Modifikasi
kimia protein lensa menyebabkan pigmentasi yang progresif. Perubahan
lainnya yang terkait usia di antaranya adalah menurunnya konsentrasi
gluthation dan kalium, meningkatnya konsentrasi natrium dan kalsium
serta meningkatnya hidrasi.8,14,15
 Traumatika
Trauma tumpul (blunt contusion) atau trauma tembus (penetrating
injury) juga trauma akibat operasi mata seperti pada vitrektomi pars plana
dan iridektomi perifer. Pada trauma tembus dan trauma akibat operasi
dapat terjadi kerusakan serat-serat dan perforasi kapsul lensa sehingga
aqueous humor masuk ke dalam lensa dan material lensa membengkak
sedangkan pada trauma tumpul terjadi fokal nekrosis pada epitel lensa
akibat tekanan.14,15
 Komplikasi akibat penyakit mata lain seperti:15
a. Inflamasi: uveitis kronik, endoftalmitis, toxoplasmosis
b. Tumor: melanoma koroid
c. Distrofi: retinitis pigmentosa
d. Malformasi: mikroftalmus, PHPV, aniridia
e. Glaucomflecken (acute angle-closure glaucoma)
f. Myopia tinggi
12

Perbedaan stadium katarak senil


Insipien Imatur Matur Hipermatur
Kekeruhan Ringan Sebagian Seluruh Masif
Cairan lensa Normal Bertambah Normal Berkurang
(air (air +masa
masuk) lensa keruh)
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Bilik mata Normal Dangkal Normal Dalam
depan
Sudut bilik mata Normal Sempit Normal Terbuka

Shadow test Negatif Positif Negatif Pseudopos


Penyulit - Glaukoma - Uveitis +
Glaukoma

2.1.5 Gejala katarak


 Pada katarak nuklearis
Umumnya akan terjadi peningkatan penglihatan jarak dekat yang disebut
dengan “second sight” akan tetapi seiring dengan bertambah beratnya
katarak tersebut, maka gejala ini akan menghilang.
 Pada katarak subkapsularis
tidak akan memberikan gejala apapun pada awalnya, tetapi pada tahap
akhir, baru akan memberikan gejala.13
 Katarak senile
adalah jenis katarak yang sering ditemukan dengan gejala pada umumnya
berupa distorsi penglihatan yang semakin kabur pada stadium insipiens
pembentukan katarak, disertai penglihatan jauh makin kabur. Penglihatan
dekat mungkin sedikit membaik, sehingga pasien dapat membaca lebih
baik tanpa kaca mata (second sight). Miopia artifisial ini disebabkan oleh
peningkatan indeks refraksi lensa pada stadium insipien.15
 Pada katarak kortikal
13

akan terjadi penyerapan air sehingga lensa menjadi cembung dan terjadi
miopisasi akibat perubahan indeks refraksi lensa.Dapat menyebabkan
silau terutama bila menyetir pada malam hari.12,15
 Pada katarak subkapsular posterior,
kekeruhan mulai terlihat di anterior subkapsular posterior. Celah
terbentuk antara serat lensa dan dan korteks berisi jaringan degeneratif
(benda morgagni) pada katarak insipien. Kekeruhan ini dapat
menimbulkan poliopia oleh karena indeks refraksi yang tidak sama pada
semua bagian lensa. Bentuk ini kadang-kadang menetap untuk waktu yang
lama.13
 Katarak imatur pada stadium yang lebih lanjut, akan terjadi kekeruhan
yang lebih tebal tetapi tidak atau belum mengenai seluruh lensa sehingga
masih terdapat bagian bagian yang jernih pada lensa. Pada stadium ini
terjadi hidrasi kortek yang mengakibatkan lensa menjadi bertambah
cembung. Pencembungan lensa akan memberikan perubahan indeks
refraksi dimana mata akan menjadi mioptik. Kecembungan ini akan
mengakibatkan pendorongan iris kedepan sehingga bilik mata depan akan
lebih sempit.6,7
 Katarak matur
lensa akan berukuran normal. Iris tidak terdorong ke depan dan bilik mata
depan akan mempunyai kedalaman normal kembali. Kadang pada stadium
ini terlihat lensa berwarna sangat putih akibat perkapuran menyeluruh
karena deposit kalsium. Bila dilakukan uji bayangan iris akan terlihat
negatif.13,15
 Katarak nuklearis merupakan yang paling banyak terjadi.
Lokasinya terletak pada nukleus atau bagian tengah dari lensa. Biasanya
karena proses penuaan. Keluhan yang biasa terjadi: (1) menjadi lebih
rabun jauh sehingga mudah melihat dekat, dan untuk melihat dekat
melepas kaca matanya, (2) setelah mengalami penglihatan kedua ini
(melihat dekat tidak perlu kaca mata) penglihatan mulai bertambah kabur
atau lebih menguning dan lensa lebih coklat, (3) menyetir malam silau dan
sukar, dan (4) sukar membedakan warna biru dan ungu.11,14
14

 Penderita katarak kortikalis umumnya mengalami keluhan:


(1) penglihatan jauh dan dekat terganggu, dan (2) penglihatan merasa
silau dan hilangnya penglihatan kontra.12
 Sedangkan penderita katarak subkapsular mempunyai keluhan:
(1) mengganggu saat membaca, (2) memberikan keluhan silau dan halo
atau warna sekitar sumber cahaya, dan (3) mengganggu
penglihatan.11,12
 Katarak Traumatik
Pasien mengeluh penglihatan kabur secara mendadak pada katarak
traumatik. Mata jadi merah, lensa opak, dan mungkin disertai terjadinya
perdarahan intraokular. Apabila humor aqueus atau korpus vitreum keluar
dari mata, mata menjadi sangat lunak. Penyulit adalah infeksi, uveitis,
ablasio retina dan glaukoma.14,15

Tanda dan gejala yang sering ditemukan


(1) penglihatan kabur dan berkabut, (2) merasa silau terhadap sinar
matahari, dan kadang merasa seperti ada film didepan mata, (3) seperti ada titik
gelap di depan mata, (4) penglihatan ganda, (5) sukar melihat benda yang
menyilaukan, (6) melihat halo; warna disekitar sumber sinar, (7) warna manik
mata berubah atau putih, (8) sukar mengerjakan pekerjaan sehari-hari, (9)
penglihatan di malam hari lebih baik, (10) sukar mengendarai kendaraan dimalam
hari, (11) waktu membaca memerlukan sinar lebih cerah, (12)sering berganti kaca
mata, (13) penglihatan menguning, dan (14) untuk sementara jelas melihat
dekat.11,15

2.1.6 Diagnosis katarak


Diagnosis katarak dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan
klinis.
Anamnesa:
 Penurunan ketajaman penglihatan secara progresif (gejala utama katarak)
 Mata tidak merasa sakit, gatal atau merah
 Gambaran umum gejala katarak yang lain,seperti:
a. Berkabut, berasap, penglihatan tertutup film
15

b. Perubahan daya lihat warna


c. Gangguan mengendarai kendaraan malam hari, lampu besar sangat
menyilaukan mata
d. Lampu dan matahari sangat mengganggu
e. Sering meminta ganti resep kaca mata
f. Lihat ganda
g. Baik melihat dekat pada pasien rabun dekat ( hipermetropia)
h. Gejala lain juga dapat terjadi pada kelainan mata lain.13

Pemeriksaan klinis:
Sebagian besar katarak tidak dapat dilihat oleh pengamat awam sampai
menjadi cukup padat (matur atau hipermatur) dan menimbulkan kebutaan. Namun
pada stadium perkembangan yang paling dini dari katarak, dapat dideteksi melalui
pupil yang berdilatasi maksimum dengan oftalmoskop, loupe atau slitlamp.
Dengan penyinaran miring ( 45 derajat dari poros mata) dapat dinilai kekeruhan
lensa dengan mengamati lebar pinggir iris pada lensa yang keruh (iris shadow).
Bila letak bayangan jauh dan besar berarti kataraknya imatur, sedang bayangan
kecil dan dekat dengan pupil terjadi pada katarak matur. Katarak hipermatur, lensa
akan mengeriput.9,14,16,17
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien katarak adalah pemeriksaan sinar
celah (slitlamp), funduskopi bila mungkin, tonometer juga pemeriksaan prabedah
lainnya seperti adanya infeksi pada kelopak mata dan konjungtiva karena dapat
menimbulkan penyulit yang berat berupa panoftalmitis pasca bedah. Sebelum
pembedahan juga harus dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan untuk melihat
apakah kekeruhan sebanding dengan turunnya tajam penglihatan. Misalnya pada
katarak nuklear tipis dengan miopia tinggi akan terlihat tajam penglihatan yang
tidak sesuai sehingga mungkin penglihatan yang turun adalah akibat dari kelainan
retina dan bila dilakukan pembedahan akan memberikan hasil tajam penglihatan
yang tidak memuaskan.7,14,18

2.1.7 Penatalaksanaan katarak


Penatalaksanaan katarak dilakukan berdasarkan pemeriksaan pasien dan
16

faktor penyulit yang mungkin ada. Evaluasi pasien yang penting antara lain:
apakah penurunan kemampuan visual pasien dapat ditolong dengan operasi,
apakah akan terjadi perbaikan visus jika operasi dilakukan tanpa komplikasi,
apakah pasien atau keluarga dapat dipercaya untuk perawatan postoperatif, apakah
opasitas lensa berpengaruh terhadap kondisi sistemik dan okuler pasien.17,18
Beberapa pengobatan non-bedah mungkin efektif sementara untuk fungsi
visual pasien katarak. Sebagi contoh, keadaan refraksi dapat ditingkatkan dengan
koreksi untuk penglihatan jauh dan dekat. Dilatasi pupil mungkin dapat
membantu pada katarak aksialis yang kecil dengan cahaya yang lewat melalui
bagian perifer lensa. Penatalaksanaan medikal pada katarak secara ketat
dilakukan. Penghambat aldose reduktase bekerja dengan menghambat konversi
glukosa menjadi sorbitol, menunjukkan pencegahan katarak karena gula pada
hewan. Agen antikatarak lainnya termasuk sorbitol-lowering agent, aspirin,
glutathion-raising agent dan antioksidan vitamin C dan E. Obat yang dikenal di
pasaran dapat memperlambat proses pengeruhan antara lain Catalin®, Quinax®,
Catarlen® dan Karyuni®.10,18
Beberapa pasien dengan fungsi visual yang terbatas dapat dibantu dengan alat
bantu optik bila operasi belum bisa dilakukan. Dengan monokuler 2,5 x 2,8, dan
4x lebih dekat ke objek, penggunaan magnifier, teleskop dapat membantu
membaca dan kerja dekat. Katarak akan mengurangi kontras dan menyebabkan
kabur. Panjang gelombang yang pendek menyebabkan penyebaran warna,
intensitas dan jarak cahaya, jika pasien mampu mengatasinya terutama pada
kondisi terang, penggunaan lensa absortif mampu mengurangi disabilitas.13
Pasien dapat dioperasi bila ada kemauan dari pasien itu sendiri untuk
memperbaiki tajam penglihatannya (visus). Kemauan untuk dioperasi ini biasanya
datang bila sudah terjadi gangguan pekerjaan atau aktifitas sehari-hari. Keputusan
untuk melakukan operasi harus didasarkan pada kebutuhan visual pasien dan
potensi kesembuhannya. Secara umum, indikasi operasi katarak bila terdapat
kondisi tidak stereopsis, penyusutan lapangan pandang perifer dan gejala
anisomethrophia. Indikasi medikal dilakukannya operasi termasuk pencegahan
komplikasi seperti glaukoma fakolitik, glakukoma fakomorfik, uveitis dan
dislokasi lensa ke bilik mata depan. Indikasi tambahannya adalah untuk diagnosis
17

atau penatalaksanaan penyakit okuler lainnya, seperti retinopati diabetik atau


glaukoma.13,18

Operasi katarak dapat dilakukan dengan berbagai metode antara lain:18


 Ekstraksi ekstrakapsular (ECCE)
Jacques Daviel (1896-1762) mempublikasikan prosedur ini pertama kali,
ekstraksi dilakukan melalui pupil dan lensa dibuang melalui insisi pada
limbus. Insisi dibuat melalui kornea inferior, kornea dielevasi, kapsula lensa
diinsisi, nukleaus ditekan dan korteks dikerok. Masing-masing prosedur ini
memerlukan waktu 4 menit.6,10 Daviel’s ECCE adalah sebuah inovasi dan
lebih maju dibanding couching. Efek sampingnya dapat terjadi
endophtalmitis. Karena pengambilan korteks yang tidak komplit, inflamasi
kronik, kekeruhan kapsul sekunder dan glaukoma akibat blok pupil banyak
terjadi. Prolapsus uveus mungkin terjadi karena jahitan yang tidak stabil.
Setelah itu, terjadi perkembangan lanjut dari prosedur ini, dikembangkan
olehAlbrecht von Graefe (1828-1870) dengan menggunakan pisau bedah,
infeksi dan prolapsus uvea dapat ditekan.13,18

Indikasi:
ECCE melalui ekspresi nukleus prosedur utama pada operasi katarak.
Pelaksanaan prosedur ini tergantung dari ketersediaan alat, kemampuan ahli
bedah dan densitas nukleus. ECCE yang melibatkan pengeluaran nukleus dan
korteks lensa melalui kapsula anterior, meninggalkan kapsula posterior.
Prosedur ini memiliki beberapa keuntungan dibanding ICCE karena dilakukan
dengan insisi yang lebih kecil, maka trauma endothelium kornea lebih sedikit,
astigmatisma berkurang, jahitannya lebih stabil dan aman. Kapsula posterior
yang intak akan mengurangi resiko keluarnya vitreous intraoperatif, posisi
fiksasi IOL lebih baik secara anatomi, mengurangi angka kejadian edema
makular, kerusakan retina dan edema kornea, mengurangi mobilitas iris dan
vitreous yang terjadi dengan pergerakan saccus (endophtalmodenesis), adanya
barrier restriksi perpindahan molekul aquous dan vitreous, mengurangi akses
bakteri terhadap cavitas vitreous untuk endophtalmitis dan mengeleminasi
18

komplikasi jangka panjang dan pendek yang berhubungan dengan lengketnya


vitreous dengan iris, kornea dan tempat insisi.18
Kontraindikasi:
Prosedur ECCE memerlukan keutuhan dari zonular untuk pengeluaran nukleus
dan materi kortikal lainnya. Oleh karena itu, ketika zonular tidak utuh
pelaksanaan prosedur yang aman melalui ekstrakapsular harus dipikirkan lagi.18

 Ekstraksi intrakapsular (ICCE)


Karena adanya efek samping pada ECCE, prosedur katarak terus
dikembangkan, Samel Sharp, melakukan eksisi pada lensa katarak, kapsula
yang intak melalui insisi limbus, kemudian menggunakan tekanan dengan
kedua jempol. Masalah utama pada prosedur ini, bagaimana menghancurkan
serat zonula. Kolonel Henry Smith, memanipulasi dari luar dengan hook secara
mekanik. Metode lain dengan menghancurkan zonular dan mengeluarkan lensa
dengan traksi menggunakan forceps. Komplikasi pada prosedur ini yaitu
infeksi, hemorrhage, kerusakan retina dan edema makula.
ICCE dilakukan dengan mengeluarkan lensa dan kapsula posteriornya.
Ada beberapa keuntungan, yaiu menghancurkan semua lensa tanpa
meninggalkan kapsul yang keruh ataupun sisanya, dapat dilakukan dengan
peralatan yang tidak terlalu canggih, merehabilitasi visual dengan cepat
menggunakan spestacle +10,00 Dioptri. Namun juga terdapat kerugian karena
insisi yang terlalu lebar, 160o-180o sehingga penyembuhan akan lama,
begitupun rehabilitasi visualnya, dapat menginduksi astigmatisma, inkaserasi
iris, dan inkaserasi vitreous serta adanya infiltrasi di tempat jahitan. Edema
kornea, trauma endotel kornea dan edema makula lebih sering terjadi
dibandingkan dengan prosedur ECCE.13,18
Indikasi ICCE:
Dapat dilakukan di tempat dengan fasilitas bedah mikroskopis yang terbatas,
pada kasus-kasus yang tidak stabil seperti intumescent, hipermatur, dan katarak
luksasi, jika zonular tidak berhasil dimanipulasi untuk mengelurkan nukleus
dan korteks lensa melalui prosedur ECCE.13,18
Kontraindikasi:
19

Kontraindikasi absolut pada katarak anak dan dewasa muda dan kasus ruptur
kapsula traumatik. Sedangkan kontraindikasi relatif pada high myopia, marfan
syndrom, katarak morgagni, dan adanya vitreous di bilik mata depan.10,11

 Small Incision Cataract Surgery (SICS)


Operasi katarak yang merupakan pengembangan dari ECCE dengan
melakukan insisi 2 mm dari limbus sehingga tidak mengenai kornea.
Keuntungan : resiko astigmatisme lebih kecil dibandingkan ECCE, resiko
prolaps iris lebih kecil, penyembuhan luka yang lebih cepat.

 Phakoemulsifikasi
Phakoemulsifikasi (Phaco) maksudnya membongkar dan memindahkan kristal
lensa. Pada teknik ini diperlukan irisan sangat kecil (sekitar 2-3mm) dikornea.
Getaran ultrasonic akan digunakan untuk menghancurkan katarak, selanjutnya
mesin PHACO akan menyedot massa katarak yang telah hancur sampai
bersih. Sebuah lensa intra Okular yang dapat dilipat dimasukan melalui irisan
tersebut. Karena incisi yang kecil maka tidak diperlukan jahitan, akan pulih
dengan sendirinya, yang memungkinkan pasien dapat dengan cepat kembali
melakukan aktivitas sehari-hari.
Keuntungan : lebih cepat dan tidak menimbulkan luka operasi yang lebar
sehingga penyembuhan operasi sangat cepat.
Kerugian : alat yang mahal dan diperlukan tenaga profesional untuk
melaksanakan operasi ini.

Sesudah ekstraksi katarak mata tak mempunyai lensa lagi yang disebut
afakia. Tanda tandanya adalah bilik mata depan dalam, iris tremulans dan pupil
hitam. Pada keadaan ini mata kehilangan daya akomodasinya (hipermetropia
tinggi absolut), terjadi gangguan penglihatan warna, sinar UV yang sampai ke
retina lebih banyak, dan dapat terjadi astigmatisme akibat tarikan dari luka
operasi. Keadaan ini harus dikoreksi dengan lensa sferis +10.0 Dioptri supaya
dapat melihat jauh dan ditambah dengan S +3.0 D untuk penglihatan dekatnya.
Ada tiga cara untuk mengatasi gangguan visus ini, yaitu:8,12
 Insersi lensa intraokuler/IOL (pseudofakia)
20

 Menggunakan lensa kontak


 Menggunakan kacamata afakia, kacamata ini tebal, berat dan tidak nyaman.
Kacamata untuk penglihatan jauh dan dekat sebaiknya diberikan dalam dua
kacamata untuk menghindarkan aberasi sferis dan aberasi khromatis.

2.1.8 Komplikasi Katarak


Katarak dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi antara lain:14,17
1. Glaukoma sekunder oleh karena lensa
 glaukoma fakomormik
 glaukoma fakotopik
 glaukoma fakolitik
2. Lens induced uveitis
3. Subluksasi lensa
4. Dislokasi lensa

2.2. Pterigium
2.2.1 Definisi
Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk
segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah
interpalpebra. Pterigium tumbuh berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi.
Asal kata pterigium adalah dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya
sayap20.

2.2.2 Epidemiologi
Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah
iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan
kering. Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi
pterigium meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari
kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang
(rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali
lebih resiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok,
pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan di luar rumah21
21

2.2.3 Faktor Risiko


Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni
radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara
dan faktor herediter22.
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya
pterigium adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet
diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel
dan proliferasi sel. Letak lintang, waktu di luar rumah, penggunaan
kacamata dan topi juga merupakan faktor penting.
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterigium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan
riwayat keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan
autosom dominan.
3. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan
terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru
patogenesis dari pterigium. Wong juga menunjukkan adanya
pterigium angiogenesis factor dan penggunaan pharmacotherapy
antiangiogenesis sebagai terapi. Debu, kelembaban yang rendah,
dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus
papilloma juga penyebab dari pterigium.

2.2.4 Patogenesis
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini
lebih sering pada orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena
itu gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon
terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari
(ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau
22

faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang
disebabkan kelainan tear film menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru
merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterigium pada daerah
dingin, iklim kering mendukung teori ini.
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada
limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta
diproduksi dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase
meningkat. Sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi
perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik
proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan kemudian menembus
kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman
oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan inflamasi
ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia24.
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada
keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan
konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah
pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis,
kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda
ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian
menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau
disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi
kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra22.
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterigium menunjukkan
perubahan phenotype, pertumbuhan banyak lebih baik pada media
mengandung serum dengan konsentrasi rendah dibanding dengan
fibroblast konjungtiva normal. Lapisan fibroblast pada bagian pterygium
menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterigium
menunjukkan matrix metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler
berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyembuhan luka, mengubah
bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterigium cenderung terus tumbuh,
invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi22.
23

2.2.5 Gambaran Klinis dan Pembagian Pterigium


Pterigium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar
rumah. Bisa unilateral atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah
nasal. Pterigium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara
bersamaan walaupun pterigium di daerah temporal jarang ditemukan.
Kedua mata sering terlibat, tetapi jarang simetris. Perluasan pterigium
dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu
penglihatan, menyebabkan penglihatan kabur27.
Pterigium lebih sering pada kelompok usia 20-30 tahun dan jenis
kelamin laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat perlu ditanyakan untuk
mengetahui kecenderungan pasien terpapar sinar matahari.
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan
berupa mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan
astigmatisma yang memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada
kasus berat dapat menimbulkan diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan
adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya
keganasan atau alasan kosmetik. Keluhan subjektif dapat berupa rasa
panas, gatal, ada yang mengganjal.
Secara klinis pterigium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga
pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura
interpalpebra. Biasanya pada bagian nasal tetapi dapat juga terjadi pada
bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea
anterior dari kepala pterigium (stoker's line).
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : body, apex (head) dan
cap. Bagian segitiga yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya
kearah kantus disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut apex dan ke
belakang disebut cap. Subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex
dan membentuk batas pinggir pterigium
24

Pembagian pterigium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe,


yaitu3 :
- Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
depan kepala pterigium (disebut cap pterigium).
- Regresif pterigium : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
membentuk membran tetapi tidak pernah hilang

Pada fase awal pterigium tanpa gejala, hanya keluhan kosmetik.


Gangguan terjadi ketika pterigium mencapai daerah pupil atau
menyebabkan astigatisme karena pertumbuhan fibrosis pada tahap regresi.
Kadang terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan
mata.

Berdasarkan pemeriksaan pembuluh darah dengan slitlamp


1). T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat
2). T2 (intermediate): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
3). T3 (fleshy, opaque): pembuluh darah tidak jelas

Pterigium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu :


1. Derajat 1 : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.
2. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2
mm melewati kornea.
3. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal
sekitar 3 – 4 mm)
4. Derajat 4 : pertumbuhan pterigium melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan
25

Gambar 7. Derajat Pterigium

2.2.6 Diagnosa Banding


Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang
sama yaitu pinguekula dan pseudopterigium. Bentuknya kecil, meninggi,
masa kekuningan berbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di
fissura interpalpebra dan kadang-kadang mengalami inflamasi. Tindakan
eksisi tidak diindikasikan. Prevalensi dan insiden meningkat dengan
meningkatnya umur. Pinguekula sering pada iklim sedang dan iklim tropis
dan angka kejadian sama pada laki-laki dan perempuan. Paparan sinar
ultraviolet bukan faktor resiko penyebab pinguekula.
Pertumbuhan yang mirip dengan pterigium, pertumbuhannya
membentuk sudut miring seperti pseudopterigium atau Terrien's marginal
degeneration. Pseudopterigium mirip dengan pterigium, dimana adanya
jaringan parut fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva bulbi menuju
kornea. Berbeda dengan pterigium, pseudopterigium adalah akibat
inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia,
konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea. Untuk
mengidentifikasi pseudopterigium, cirinya tidak melekat pada limbus
kornea. Probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati
bagian bawah pseudopterigium pada limbus, dimana hal ini tidak dapat
dilakukan pada pterigium. Pada pseudopterigium tidak dapat dibedakan
26

antara head, cap dan body dan pseudopterigium cenderung keluar dari
ruang fissura interpalpebra yang berbeda dengan true pterigium21,22.

Tabel 2.1. Diagnosis banding pterigium26


Pembeda Pterigium Pinguekula Pseudopterigium
Definisi Jaringan Benjolan pada Perlengketan
fibrovaskular konjungtiva konjungtiba bulbi
konjungtiva bulbi dengan kornea yang
bulbi berbentuk cacat
segitiga
Warna Putih Putih-kuning Putih kekuningan
kekuningan keabu-abuan
Letak Celah kelopak Celah kelopak Pada daerah
bagian nasal mata terutama konjungtiva yang
atau temporal bagian nasal terdekat dengan
yang meluas ke proses kornea
arah kornea sebelumnya
6♂:♀ ♂>♀ ♂=♀ ♂=♀
Progresif Sedang Tidak Tidak
Reaksi Tidak ada Tidak ada Ada
kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh Lebih menonjol Menonjol Normal
darah
konjungtiva
Sonde Tidak dapat Tidak dapat Dapat diselipkan di
diselipkan diselipkan bawah lesi karena
tidak melekat pada
limbus
Puncak Ada pulau- Tidak ada Tidak ada (tidak
pulau Funchs ada head, cap,
(bercak kelabu) body)
Histopatologi Epitel ireguler Degenerasi Perlengketan
27

dan degenerasi hialin jaringan


hialin dalam submukosa
stromanya konjungtiva

2.2.7 Penatalaksanaan
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan
pemberian obat-obatan jika pterigium masih derajat 1 dan 2, sedangkan
tindakan bedah dilakukan pada pterigium yang melebihi derajat 2.
Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada pterigium derajat 1 atau 2
yang telah mengalami gangguan penglihatan. Pengobatan tidak diperlukan
karena bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila
pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata
dekongestan. Lindungi mata yang terkena pterigium dari sinar matahari,
debu dan udara kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda
radang beri air mata buatan bila perlu dapat diberikan steroid. Bila terdapat
delen (lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep. Bila
diberi vasokonstriktor maka perlu kontrol dalam 2 minggu dan bila telah
terdapat perbaikan pengobatan dihentikan.27
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang
menetap termasuk gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm,
pertumbuhan yang progresif menuju tengah kornea atau visual axis dan
adanya gangguan pergerakan bola mata. Eksisi pterigium bertujuan untuk
mencapai keadaan normal yaitu gambaran permukaan bola mata yang
licin. Teknik bedah yang sering digunakan untuk mengangkat pterigium
adalah dengan menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium
ke arah limbus. Walaupun memisahkan pterigium dengan bare sclera ke
arah bawah pada limbus lebih disukai, namun tidak perlu memisahkan
jaringan tenon secara berlebihan di daerah medial, karena kadang-kadang
dapat timbul perdarahan oleh karena trauma tidak disengaja di daerah
jaringan otot. Setelah dieksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol
perdarahan.28
28

Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik


simple surgical removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat
menurunkan tingkat rekurensi hingga 5% adalah conjunctival autograft.
Dimana pterigium yang dibuang digantikan dengan konjungtiva normal
yang belum terpapar sinar UV (misalnya konjungtiva yang secara normal
berada di belakang kelopak mata atas). Konjungtiva normal ini biasaya
akan sembuh normal dan tidak memiliki kecenderungan unuk
menyebabkan pterigium rekuren.
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian
konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva
yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka
kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan
hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal
mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C
(MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat
komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.29
Indikasi Operasi pterigium
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan
silau karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.

Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea.
Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima
secara universal karena tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari
29

teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk


perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung
pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk
epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari
permukaan kornea.20
1. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterigium, sementara
memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi,
antara 24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan dalam
berbagai laporan.20-22
Teknik operasi:
 Operasi dengan menggunakan mikroskop dilakukan dibawah
anastesi lokal.
 Setelah pemberian anastesi topikal, desinfeksi, dipasang eye
spekulum.
 Lidokain 0,5 ml disuntikkan dibawah badan pterigium dengan
spuit 1cc.
 Dilakukan eksisi badan pterigium mulai dari puncaknya di kornea
sampai pinggir limbus. Kemudian pterigium diekstirpasi bersama
dengan jaringan tenon dibawah badannya dengan menggunakan
gunting.

2. Teknik Autograft Konjungtiva


Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan
setinggi 40 persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini
melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva
bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di
eksisi pterigium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk
hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara
hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima,
manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari
grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS, dari Australia
30

merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi


pterigium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah
dengan teknik ini.20-22
Teknik operasi:
 Setelah pterigium diekstirpasi, ukuran dari bare sclera
yang tinggal diukur.
 Diambil konjungtiva dari bagian superior dari mata yang
sama, diperkirakan lebih besar 1mm dari bare sclera yang
diukur, kemudian diberi tanda.
 Area yang sudah ditandai diinjeksikan dengan lidokain,
agar mudah mendiseksi konjungtiva dari tenon selama
pengambilan autograft.
 Bagian limbal dari autograft ditempatkan pada area limbal
dari area yang akan digraft.
 Autograft kemudian dijahit ke konjungtiva disekitarnya
dengan menggunakan vicryl 8.0

Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus
menjadi masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah
dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan
bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini,
namun ada komplikasi dari terapi tersebut.20
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena
kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan
iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum
ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative
MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterigium, dan penggunaan obat
tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang
menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi
toksisitas.29
31

Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan,


karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterigium,
meskipun tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia.
Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis
dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk
tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.20

Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan


dengan pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari
selama 5 hari, bersamaan dengan pemberian dexamethasone
0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14
hari, diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta.
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1
tetes/ 3 jam selama 6minggu, diberikan bersamaan dengan
salep antibiotik Chloramphenicol, dan steroidselama 1
minggu.25

Gambar 8. Prosedur Conjunctiva Autograft; (a).Pterigium,


32

(b).Pterigium removed, (c).Leaving bare area, (d).Graft outlined,


(e).Graft sutured into place

2.2.8 Komplikasi
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan
parut) pada konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral
berkurang, scar pada rektus medial dapat menyebabkan diplopia.30,31
Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:
 Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft
longgar, dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola
mata, vitreous hemorrhage atau retinal detachment
 Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau
melting pada sklera dan kornea
 Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren
pterigium post operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren
yang tinggi kira-kira 50-80 %. Dapat dikurangi dengan teknik
conjungtiva autograft atau amnion graft.
 Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada
jaringan epitel di atas pterigium.31

2.2.9 Prognosa
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa
tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan
pasien setelah 24 jam postop dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan
rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan autograft
atau transplantasi membran amnion.31

Anda mungkin juga menyukai