Oleh:
Sri Nurheppi, S.Ked
NIM : 71 2019 020
Pembimbing Klinik:
dr. Hj. Hasmaenah Bambang, Sp.M
1
HALAMAN PENGESAHAN
TERJEMAHAN JURNAL
Judul:
Microbial keratitis: A five years retrospective clinical study in tertiary eye
hospital of eastern region of Nepal
Oleh:
Sri Nurheppi, S.Ked
NIM : 71 2019 020
Telah dilaksanakan pada tanggal Agustus 2020 sebagai salah satu syarat
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di SMF/ Departemen
Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan terjemahan jurnal yang
berjudul "Microbial keratitis: A five years retrospective clinical study in tertiary
eye hospital of eastern region of Nepal” sebagai syarat mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang. Shalawat beriring salam selalu tercurah kepada
junjungan kita, nabi besar Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan
pengikut-pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1. dr. Hj. Hasmaenah Bambang, Sp.M selaku pembimbing Kepaniteraan
Klinik Senior di SMF/ Departemen Ilmu Penyakit Mata di Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang, Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang yang telah memberikan masukan, arahan,
serta bimbingan dalam penyelesaian telaah jurnal ini
2. Rekan-rekan co-assistant atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan telaah artikel ini
masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Penulis
iii
Informasi Jurnal
I. Abstrak
Latar belakang: Ulkus kornea adalah penyakit yang mengancam
penglihatan dan menjadi perhatian kesehatan masyarakat yang signifikan.
Diagnosis dini dengan identifikasi mikrobiologis dari organisme penyebab dan
institusi terapi medis yang tepat penting untuk pemulihan visual yang sukses.
Tujuan: Untuk mengetahui faktor demografis dan predisposisi yang
berhubungan dengan ulkus kornea, mengevaluasi penatalaksanaan ulkus
berdasarkan gambaran klinis dan hasil kerokan kornea. Metode: Ini adalah
studi klinis retrospektif yang dilakukan pada 1897 subjek dengan mikroba
keratitis di Rumah Sakit Mata Sagarmatha Choudhary, Lahan, Nepal dari
Januari 2010 hingga Desember 2014. Penilaian meliputi pemeriksaan mata
secara detail dengan slit lamp untuk ukuran, kedalaman dan lokasi ulkus,
menampilkan visual ketajaman pada grafik Snellen yang diterangi secara
internal, dan kerokan kornea untuk pewarnaan Gram dan 10% potasium
hidroksida basah. Pengobatan standar diberikan berdasarkan gambaran klinis
dan hasil kerokan kornea. Subjek dievaluasi kemudian setelah 48 jam, satu
minggu, dua minggu, tiga minggu dan empat minggu mulai terapi. Kasus yang
tidak menanggapi dirawat untuk melakukan pengikisan ulang dan
memodifikasi terapi. Hasil: Mayoritas subjek (71,2%) termasuk dalam
kelompok usia 26 sampai 55 tahun (71,2%), datang setelah dua minggu
1
2
II. Pendahuluan
Infeksi kornea adalah masalah kesehatan masyarakat utama di seluruh
dunia dan penyebab paling umum dari kebutaan kornea monokuler 1,2.
Insiden keratitis ulserativa bervariasi dari 11 dalam 100.000 per tahun di
negara maju hingga 799 dalam 100.000 per tahun di negara berkembang 3,4.
Keratitis infektif adalah masalah kesehatan masyarakat utama di negara
berkembang seperti Bangladesh, Sri Lanka dan India Selatan 5-8. Terjadinya
ulkus kornea secara signifikan dikaitkan dengan status sosial ekonomi yang
lebih rendah8.
Diagnosis pada tahap awal dengan identifikasi organisme penyebab
seperti yang ditunjukkan oleh uji mikrobiologis dan institusi langsung dari
terapi medis yang tepat penting untuk pemulihan penglihatan yang baik.
Hasil penglihatan yang buruk dari keratitis mikroba dikaitkan dengan
berbagai faktor seperti usia yang lebih tua, keterlambatan rujukan ke dokter
spesialis mata, pengobatan steroid topikal, operasi mata sebelumnya,
penglihatan yang buruk saat presentasi, ukuran ulkus yang besar dan lokasi
sentral ulkus12.
Kebanyakan pasien berasal dari daerah pedesaan di Nepal dan India.
Pemeriksaan penunjang seperti evaluasi mikrobiologi dan sensitivitas
kultur diperlukan untuk penanganan ulkus yang tepat. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui faktor demografi dan predisposisi ulkus
3
III. Metode
Desain Studi dan Ukuran Sampel Sebanyak 9272 (1,53%) kasus ulkus
kornea dicatat setelah meninjau sebanyak 603.380 rekam medis rumah
sakit Departemen Kornea Rumah Sakit Mata Sagarmatha Choudhary
(SCEH), Lahan, Nepal dari Januari 2010 hingga Desember 2014. Kasus-
kasus Tercatat pada 2215 (23,9%) subjek pada tahun 2010, 1502 (16,2%)
subjek pada tahun 2011, 1607 (17,3%) subjek pada tahun 2012, 1933
(20,8%) subjek pada tahun 2013 dan 2015 (21,7%) subjek pada tahun
2014. Diantaranya, hanya 1.897 (20,4%) subjek yang dimasukkan ke dalam
penelitian (Gambar 1). Subjek mengalami ulkus kornea yang menghalangi
atau dengan perforasi aktual pada saat presentasi, ulkus kornea dengan
pencairan kornea subtotal atau total pada saat presentasi, kasus yang
memiliki keratitis virus, ulkus yang muncul dalam tahap penyembuhan,
tidak tersedianya laporan dari hasil pemeriksaan kerokan kornea pada anak-
anak, kehilangan pemeriksaan tindak lanjut dan tidak tersedianya data
klinis lengkap dikeluarkan dari penelitian. Penelitian ini dilakukan sesuai
dengan Deklarasi Helsinki tahun 2004 dan disetujui oleh komite etik
kelembagaan SCEH, Lahan.
IV. Pemeriksaan
Data demografis terkait usia dan jenis kelamin dicatat. Riwayat terkait
faktor predisposisi, pengobatan sebelumnya, dan durasi gejala juga dicatat.
Ketajaman visual yang disajikan direkam oleh grafik Snellen yang
diterangi secara internal pada jarak enam meter. Semua subjek diperiksa
dengan menggunakan biomikroskopit slit lamp, kedalaman dan lokasi
ulkus serta pemeriksaan tepi, dasar dan infiltrasi. Ada atau tidak adanya
hipopion juga dicatat. Pemeriksaan adeneksa okular termasuk kelopak
mata, bulu mata, konjungtiva dan area kantung lakrimal dilakukan. Patensi
untuk sistem lakrimal dinilai dengan melakukan syringing. Hilangnya
4
epitel kornea dengan infiltrat stroma yang mendasari dan supurasi yang
berhubungan dengan tanda-tanda inflamasi, dengan atau tanpa hipopion
dianggap sebagai ulserasi kornea. Ulkus kornea diklasifikasikan seperti
yang disajikan pada Tabel 1.
V. Penyelidikan
Pengikisan permukaan kornea dilakukan dengan hati-hati pada setiap
subjek setelah menjelaskan prosedurnya kepada mereka dan setelah
menerima persetujuan lisan dari mereka. Basis dan tepi depan dikerok dari
pinggiran ke tengah. Bahan dioleskan pada dua slide, satu untuk preparasi
potasium hidroksida (KOH) 10% dan satu lagi untuk pewarnaan Gram.
VI. Terapi
setiap 15 menit selama tiga sampai empat jam. Setelah itu, kedua kelompok
menerima antimikroba setiap jam selama dua hari berikutnya. Pada ulkus
ringan, antimikroba diresepkan dua jam selama dua hari. Subjek ini
diperiksa ulang setelah 48 jam dan respons terhadap terapi dievaluasi
berdasarkan tanda-tanda peradangan dan pengurangan gejala.
Tetes mata atropin sulfat 1% tiga kali sehari diberikan ke semua subjek
sebagai terapi suportif. Penghambat anhidrase karbonat sistemik
(Acetazolamide) 1,5 mg / kg berat badan diberikan ke subjek untuk ulkus
yang meluas ke limbus dan subjek yang mengalami glaukoma sekunder.
Subjek yang menunjukkan hasil yang lebih baik pada gejala dan
peradangan dievaluasi ulang dalam tujuh hari dan dua hingga tiga minggu.
Subjek yang menunjukkan tidak adanya perbaikan atau perkembangan
ulkus dirawat untuk menilai kepatuhan, melakukan pengikisan ulang diikuti
dengan modifikasi terapi sesuai dengan temuan laboratorium dan respon
terhadap pengobatan setelah 48 jam memulai terapi. Kasus yang
menanggapi dipulangkan setelah tujuh hari. Debridemen epitel berulang
dilakukan pada ulkus jamur yang membandel untuk meningkatkan
penetrasi obat. Subjek yang mengalami perforasi ulkus kornea atau
perforasi yang akan datang dirawat baik dengan aplikasi lem cyanoacrylate
atau tarsorrhaphy atau cangkok konjungtiva. Hasil pengobatan dicatat pada
setiap pemeriksaan lanjutan. Status penyembuhan (Tabel 1) dievaluasi dan
dicatat pada setiap tindak lanjut sebagai hasil pengobatan pada setiap
pemeriksaan tindak lanjut. Perubahan ketajaman visual juga dicatat pada
setiap pemeriksaan lanjutan.
Subjek terus ditindaklanjuti sampai resolusi lengkap ulkus diamati.
Antimikroba diresepkan empat kali sehari setelah penyembuhan total
selama satu minggu pada bakteri dan selama dua minggu pada ulkus kornea
jamur untuk mencegah kekambuhan.
VII. Hasil
Selama masa studi lima tahun, 1897 subjek (20,5%) yang mengalami
ulkus kornea terdaftar dalam penelitian yang terdiri dari 1.020 laki-laki
6
VIII. Diskusi
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor demografis dan
predisposisi antara subjek dengan ulkus kornea, evaluasi dan
10
23,32
99% . Sensitivitas pewarnaan Gram dalam mendeteksi bakteri adalah
36,0% pada awal dan 40,9% pada keratitis lanjut; spesifisitas masing-
masing 84,9% dan 87,1 %14. Ini juga bisa menjadi alasan untuk kurangnya
deteksi bakteri dalam seri kami.
Pemeriksaan mikrobiologis sekarang direkomendasikan pada
semua kasus keratitis mikroba yang dicurigai. Dalam penelitian McDonell
et al (1992), hanya 10% dokter mata yang memiliki fasilitas pewarnaan
Gram dan hanya 14,5% dari semua ulkus yang diperiksa dengan
pengikisan pewarnaan Gram dan kultur33. Umumnya praktisi memulai
pengobatan empiris dengan antimikroba untuk ulkus dan evaluasi
mikrobiologis dilakukan hanya pada kasus yang tidak sesuai33. Praktik ini
berlaku jika infeksi bakteri adalah penyebab utama ulkus kornea. Jika
infeksi jamur mendominasi penyebab ulkus kornea, pendekatan ini tidak
dianjurkan. Jones menyarankan pengobatan terapeutik awal dan dapat
diterapkan berdasarkan apusan kornea, gambaran klinis dan keparahan
keratitis untuk infeksi kornea jamur34.
Dalam penelitian kami, tetes mata Natamycin dan ketokonazol
sistemik diresepkan pada ulkus kornea jamur yang menembus lebih
dalam.35 Sementara ulkus bakteri diobati dengan tetes mata ciprofloxacine
atau kombinasi tetes mata cefazolin dan gentamisin yang diperkuat.36-38
Kami mencatat bahwa 38 ulkus membentuk perforasi, 13 mata
membutuhkan pengeluaran isi. Berbagai alasan mungkin bertanggung
jawab atas komplikasi semacam itu. Misalnya, kepatuhan subjek yang
buruk, kasus resisten, penggunaan steroid topikal berkepanjangan dan
mikroorganisme selain jamur dan bakteri.
Tingkat tindak lanjut tidak memberikan harapan karena hanya dua
atau tiga pasien yang datang untuk tindak lanjut. Subjek dengan tindak
lanjut yang konstan menunjukkan penyembuhan kornea pada 85% dan
peningkatan ketajaman visual hanya 43,5%. Ulkus kornea sebagian besar
sentral dan paracentral pada 80,3%, lebih besar dari 2mm pada 88%, lebih
dari 20% pada kedalaman 44,3% dan sedang sampai berat pada 92,7%.
Akhirnya, hanya 24,3% yang benar-benar menyelesaikan terapi.
13
IX. Kesimpulan
Kesimpulannya, ulkus kornea merupakan masalah mata yang
utama. Jika pengobatan dimulai pada tahap awal, pemeriksaan laboratorium
dasar ditambah dengan gambaran klinis sangat membantu dalam
pengelolaan ulkus kornea yang efektif. Fluoroquinolon dan natamycin
topikal yang didukung dengan cefazoline, gentamycin dan vorikonazol yang
diperkuat efektif dalam kasus yang tidak rumit.
DAFTAR PUSTAKA
14
12. Meidziak AI, Miller MR, Rapuano CJ, Laibson PR, Cohen EJ. Risk
factors in microbial keratitis leading to penetrating keratoplasty.
Ophthalmology. 1999; 106:1166-71.
13. Srinivasan M, Christine AG, George C, Cevallos V, Mascarenhas JM,
Asokan B, et al. Epidemiology andaetiological diagnosis of corneal
ulceration in Madurai. Br J Ophthalmol. 1997;81:965-71.
14. Sharma S, Kunimoto DY, Gopinathan U, Athmanathan S, Garg P,
Rao GN. Evaluation of corneal scraping smear examination methods
in diagnosis of bacterial and fungal keratitis: a survey of eight year of
laboratory experience. Cornea. 2002;21:643-7.
15. Boucier T, Thomas F, Borderie V, Chaumeil C, Laroche L. Bacterial
Keratitis:Predisposing factors, clinical and microbiological review of
300 cases.Br J Ophthalmol. 2003;87:430-6.
16. Gonxales CA, Srinivasan M, Whitcher JP, Smolin G. Incidence of
corneal ulceration in Madurai. Ophalmicepidemiol. 1996;3:159-66.
17. Upadhyay MP, Karmacharya PC, Koirala S, Tuladhar NR, Bryan LE,
Smolin G, et al. Epidemiological characteristics, predisposing factors,
ulceration in Nepal. Am J Ophthalmol. 1991;111:92-9.
18. Wilhelmus KR. Indecision about corticosteroids for bacterial keratitis;
an evidence-based update. Ophthalmology. 2002;109:835-42.
19. Gopinathan U, Garg P, Fernandes M, Sharma S, Athmanathan S, Rao
GN. The epidemiological features and laboratory results of fungal
keratitis: a ten year review in a referral eye care centre in south India.
Cornea. 2002;21:555-9.
20. Agrawal PK, Roy P, Das A, Banerjee A, Maity PK, Banerjee AR.
Efficacy of systemic and topical Itraconazole as a broad spectrum
antifungal agent in mycotic corneal ulcer: A preliminary study. Indian
J Ophthalmol. 2001;49: 173-6.
21. Foster RK, Rabel lG. The diagnosis and management of
keratomycosis. Arch ophthamol. 1975;93: 975-8.
22. Mohanty PK, Ambekar VA. Prevalence of mycotic infection of
external eye. Indian J Ophthalmol. 1984;32: 153-5.
16