Anda di halaman 1dari 41

REFLEKSI KASUS MEI 2023

“INFLAMATORY BOWEL DISEASE”

Nama : Mohamad Ihklassul Amal


Stambuk : N 111 22 080

Pembimbing : dr. Rahma, M. Kes., Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2023
HALAMAN SAMPUL
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Mohamad Ihklassul Amal

Stambuk : N 111 22 080

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Profesi Dokter

Universitas : Tadulako

Bagian : Ilmu Kesehatan Anak

Judul : Inflamatory Bowel Disease

Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Undata Palu

Program Studi Profesi Dokter

Fakultas Kedokteran

Universitas Tadulako

Palu, Mei 2023

Mengetahui

Pembimbing
Dokter muda

dr. Rahma, M. Kes., Sp. A


Mohamad Ihklassul Amal

ii
iii
Inflamatory Bowel Disease

I. Pendahuluan
Kolon merupakan salah satu bagian dari usus besar, dimana usus besar
tebagi atas sekum, kolon, apendiks, dan rektum. Kolon terbagi kembali menjadi
beberapa bagian yaitu kolon asendens, kolon tranversum, kolon desendens, dan
kolon sigmoid. Fungsi utama dari kolon adalah pengeringan dan penyimpanan
sisa-sisa pencernaan yang tidak dapat diserap oleh usus halus dan akan
dikeluarkan dalam bentuk feses melalui proses defekasi. Pada kolon terdapat
bakteri yang tidak bersifat patogen untuk meningkatkanimunitas usus,
mendorong motilitas kolon, dan memberi kontribusi nutrisi seperti vitamin K
yang disintesis oleh bakteri1 .
Kolitis merupakan peradangan akut atau kronik pada kolon yang dapat
dibedakan berdasarkan penyebabnya, yaitu : 1) kolitis infeksi misalnya
shigellosis, kolitis tuberculosis, kolitis amoeba, kolitis pseudomembran. ; 2)
kolitis non-infeksi contohnya kolitis radiasi, kolitis ulseratif, penyakit chron’s,
kolitis mikroskopik, kolitis iskemik. Diagnosis kolitis dapat ditegakkan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Penyakit chron’s
dan kolitis ulseratif merupakan kolitis non-infeksi dimana keduanya termasuk
dalam inflammatory bowel disease. Keduanya memiliki tanda gejala yang
hampir serupa namun dapat dibedakan melalui pemeriksaan penunjang yang
tepat, namun jika masih sulit dibedakan maka untuk saat ini disebut dengan
intermediet kolitis2.
Kolon merupakan lokasi infeksi tersering pada system gastrointestinal.
Gejala kolitis infeksi bervariasi mulai dari asimtomatik, diare ringan sampai
diare berat. Penyebabnya dapat berupa bakteri, parasit, jamur, dan virus. di
Indonesia sendiri kolitis infeksi yang serinf muncul adalah kolitis amoeba,

1
Shigellosis, dan kolitis tuberculosis. Disamping itu juga terdapat kolitis
pseudomembran yang terjadi akibat pemaikaian antibiotik2.

II. Anatomi dan Fisiologi Kolon


Kolon merupakan salah satu bagian dari usus besar dimana kolon dibagi
lagi menjadi 4 bagian yaitu kolon ascendens, kolon tranversum, kolon
descendens, dan kolon sigmoid. Caecum, apendix, kolon tranversum, dan kolon
sigmoid terletak di bagian intraperitoneal dan sebagian dari kolon asendens,
kolon desendens, dan sebagian rektum berada di rongga retroperitoneum
sedangkan rektum bagian distal dan canalis analis berada di rongga
subperitoneum3.
Secara garis besar struktur kolon terdiri dari haustrae coli, taenia, dan
plica semilunares. Kolon memiliki diameter yang lebih besar dan lapisan yang
lebih tebal. Taenia merupakan otot longitunal yang menjadi 3 bagian, taenia
yang tampak adalah taenia libera, taenia mesocolica melekat dengan mesocolica
tranversum, dan taenia omentalis yang melekat dengan omentum. Haustrae coli
merupakan protrusi yang disebabkan oleh retraksi pada sisi dalam yang akan
tampak seperti lipatan setengah bulan3.

2
Gambar 1. Anatomi umum dari kolon
Sumber : Paulsen, F. 2017

Struktur lapisan pada kolon berbeda dengan usus halus. Kolon tidak
memiliki vili mukosa. Dimana terdapat lapisan tunica mukosa, tela submukosa,
Tunica muscularis (stratum muscular dan stratum longitudinal), Tunica
subserosa, dan tunica serosa. Pada usus besar yang berada di dalam rongga
intraperitoneum dilapisi oleh peritoneum visceral pada sisi luar sehingga
terbentuk lapisan tunica serosa sedangkan pada usus besar yang berada di
rongga retroperitoneum dijangkar oleh tunica adventitian oleh jaringan ikat di
rongga retroperitoneum3.

Gambar 2. Anatomi lapisan dari kolon


Sumber : Paulsen, F. 2017

Kolon dalam kondisi normal akan menerima sekitar 500 ml kimus yang
berasal dari usus halus per hari. Sebagian pencernaan dan penyerapan telah
dilakukan oleh usus halus sehingga sisa pencernaan tersebut akan berupa
makanan yang tidak dicerna, komponen empedu yang tidak diserap, dan cairan.
Kolon akan mengeluarkan air dan garam dari sisa pencernaan tersebut dan akan

3
membentuk massa pada yang disebut feses. Usus besar akan menyimpan feses
yang nantinya kan dikeluarkan melalui proses defekasi1.
Kolon memiliki lapisan otot longitudinal yang disebut taenia. Taenia
kolon lebih pendek dari otot polos sirkular dan mukosa di bawahnya sehingga
akan membentuk lipatan menyerupai kantong yang disebut haustra. Pergerakan
kolon lebih lambat dibandingkan usus halus. Motilitas ini dipicu oleh otot polos
kolon yang akan menyebabkan kontaksi haustra. Haustra memerlukan sekitar 30
menit untuk berkontraksisehingga motilitasnya sangat lambat jika dibandingkan
dengan usus halus yang dapat berkontraksi 9 hingga 12 kali permenit1.
Feses akan terdorong menuju rectum dan akan terjadi peregangan pada
rectum yang akan merangsang reseptor regang di dinding rectum sehingga
terjadi reflek defekasi. Reflek ini akan menyebabkan ototr sfingter anus internus
melemas dan rectum bersama kolon sigmoid akan berkontraksi lebih kuat. Jika
otot sfingter anus eksternus juga berelaksasi maka akan terjadi proses defekasi.
otot singter anus merupakan otot rangka sehingga kendalinya terjadi secara
volunteer1.
Gerakan kolon yang lambat akan memberikan bakteri waktu untuk
tumbuh dan menumpuk di kolon. Bakteri yang masuk bersama tidak
dihancurkan secara keseluruhan oleh agen antimikroba selama pencernaan,
namun beberapa diantaranya akan bertahan hidup dan berkembang biak di
dalam usus besar. Sekitar 2000 spesies bakteri yang dikenali berada di dalam
kolon dan jumlahnya 10 kali lebih banyak dibandingkan dengan jumlah sel
tubuh manusia, selain bakteri juga terdapat virus dan jamur yang hidup di usus
besar manusia. Mikorba kolon yang asli memiliki peran yang sangat penting
dalam tubuh manusia yaitu mendorong motilitas kolon, memelihara integritas
mukosa kolon, membantu fungsi imun dengan membantu perkembangan
normal kolon dan aktivitas system imun, bersaing dengan mikroba potensial
pathogen untuk nutrisi dan ruang, membantu mencerna sisa makanan dan
berperan dalam nurisi1.

4
Mikroba dalam usus besar yang normal akan membantu mencerna
makanan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan manusia. Serat
akan difermentasikan oleh mikroba kolon yang akan menghasilkan produk asam
lemak dan gas sebagai produk samping. Asam lemak yang larut dalam lemak
akan diserap secara difusi sederhana oleh mukosa kolon. Mikroba usus besar
juga memproduksi vitamin K, B12, dan folat yang diserap sebagai sumber
endogen vitamin dalam tubuh manusia. Mikroba kolon juga mensekresikan
produk yang meningkatkan keasaman kolon yang mendorong penyerapan
kalsium, magnesium, dan seng1.
III. Epidemiologi kolitis
Insiden dari kolitis ulseratif saat ini meningkat di seluruh dunia dimana
insiden tersebut berkisar antara 8,8-23 kasus per 100.000 penduduk di Benua
Amerika, 0,6-24,3 per 100.000 penduduk di Benua Eropa, dan 7,3-17,4 kasus
per 100.000 penduduk di Benua Asia-Oceania. Gangguan pencernaan ini
muncul pada semua usia dan jumlah kasus antara wanita dan pria tidak
memiliki perbedaan yang signifikan4.
Perbedaan letak geografis mempengaruhi jumlah insiden dari kolitis
ulseratif, dimana paling tinggi ada pada daerah dengan penduduk mayoritas ras
kulit putih. Kolitis ulseratif ini cenderung terjadi pada kelompok sosial ekonomi
menengah atas, pemakai kontrasepsi, dan diet rendah serat. Di Indonesia sendiri
belum ada studi epidemiologi yang spesifik tentang penyaki ini. Hanya
diketahui data berdasarkan laporan rumah sakit yang sangat mungkin terjadi
variasi akurasi diagnostiknya akibat perbedaan fasilitas penunjang diagnosis.
Beberapa data berdasarkan dari unit endoskopi di Jakarta pada tahun 2011 dapat
dilihat pada tabel berikut2:

Tabel 1. Prevalensi kasus IBD di unit-unit endoskopi

5
Sumber : Setiati, S. 2017

Sumber data Kolitis ulseratif Penyakit crohn’s

RSCM Jakarta 5,4% 2,9%

RS Gatot Subroto Jakarta 6,95% 3,2%

RS. Hasan Sadikin Bandung 8,33% 1,56%

RS. Sardjito Yogyakarta 23% 3,3%

RS. Pekanbaru 3,08% 2,15%

RS. Zainal Abidin Banda Aceh 2,55% 1,7%

RS. Usada Insani Tangerang 16,3% 10,2%

RS. Syaiful anwar Malang 16% 1%

IV. Klasifikasi, Etiologi, dan Patofisiologi


Kolitis terbagi menjadi 2 berdasarkan penyebabnya yaitu kolitis infeksi
dan non-infeksi. Kolitis infeksi dapat disebabkan oleh mikroorganisme
pathogen seperti bakteri, parasit, jamur, dan virus. Di Indonesia beberapa kolitis
infeksi yang muncul adalah kolitis tuberculosis, kolitis amoeba, kolitis
pseudomembran, shigellosis, dan kolitis Clostridium dificlie. Sedangkan kolitis
non-infeksi antara lain kolitis ulseratif, kolitis radiasi, kolitis mikroskopik, dan
penyakit crohn’s 2.
Berikut adalah etiologi dan patofisiologi dari klasifikasi kolitis yang telah
disebutkan :
- Kolitis ulseratif
Kolitis ulseratif merupakan inflammatory bowel disease multifaktoral
dimana etiologi dan patogenesisnya masih belum dikeahui secara pasti.
Sehingga sampai saat ini munculnya koliis ulseratif ini dikaitkan erat dengan
faktor genetik. Secara umum pada inflamatory bowel disease kemunculan

6
penyakit diprakirakan berasal dari sutu infeksi, toksin, produk bakteri, dan
diet yang terjadi pada individu sensitf dan dipengaruhi oleh faktor genetik,
lingkungan, dan imun sehingga mengaktifkan kaskade inflamasi pada dinding
usus. Secara singkatnya pada inflamatory bowel disease terjadi aktivitas
imunologik mukosa usus terhadap suatu antigen mikroba atau agen infeksi
lain pada individu yang dipengaruhi genetik dan faktor lingkungan2.
Pada kolitis ulseratif terjadi gangguan pada sekresi musin. Fungsi dari
lapisan musin yang disekresi oleh epitel usus adalah proteksi terhadap lumen
yang menciptakan gap antara antigen mkroba dan sel imun usus dan memiliki
sifat antimikroba. Kerusakan pada epitel usus kanan mempengaruhi produksi
musin dan meningkatkan permeabilitas mukosa terhadap patogen di lumen
usus. Uptake antigen yang berlebihan akibat peningkatan pemeabilitas ini
akan meningkatkan potensi aktivasi sistem imun usus. Koloni patogen pada
usus diyakini memiliki kemampuan untuk mengganggu ekspresi dari
peroxisome proliferator-activated receptor γ (PPAR γ) yaitu reseptor nuklear
yang menurunkan regulasi inflamasi4.
- Penyakit crohn’s
Inflamasi pada penyakit crohn’s melibatkan seluruh lapisan usus. Hal ini
menyebabkan penyakit crohn’s memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
menyebabkan perforasi, fibrosis, fistula, abses, dan striktur pada fase
lanjutnya. Penyakit crohn’s bisa muncul pada semua bagian saluran cerna,
sekitar 35% terjadi di usus halus, 32% pada kolon dan 1-4% terjadi di
gastroduodenal, sisanya 18% terjadi di bagian perianal. Gejala nyeri perut
akan tampak lebih menonjol pada penyakit crohn’s akibat sifatnya yang
transmural atau melibatkan semua lapisan dinding usus. Karena penyakit
crohn’s bisa muncul di usus halus, maka kolonoskopi tidak mampu
menilainya. Sehingga terdapat Chron’s disease activity index untuk menilai
derajat keparahan dari penyakit crohn’s dengan menilai aspek nyeri, demam,

7
data laboratorium, frekuensi diare, fistulasi, penurunan berat badan, terabanya
massa, dan rasa sehat pasien2.
Dinding usus memiliki pertahanan yang akan melawan antigen dari
bakteri, patogen, dan makanan yang masuk ke dalam lumen dengan lapisan
mukosa dan intraephithelial lymphphocytes (IECs). Gangguan pada salah satu
dari kedua barier ini dapat memicu inflamasi pada dinding usus. Di duga
terdapat polimorfisme dari gen yang mengkode protein junction pada lapisan
usus seperti E-cadherin, guanine nucleotide-binding protein, dan zonula
occludens 1 pada IECs dimana hal ini menyebabkan peningkatan
permeabilitas protein juction pada lapisan dinding usus. Berkurangnya
ekspresi protein junction claudin 5 dan claudin 8 pada IECs munyebabkan
inflamasi pada penyakit crohn’s5.
Neutrofil, sel dendritik, monosit, makrofag, dan innate lhymphoid cells
(ILCs) merupakan komponen imunitas bawaan. Pada penyeakit crohn’s terjadi
respon yang berlebihan pada sistem imun bawaan tersebut. Sel dendritik akan
mengirimkan sinyal untuk mengekspresikan gen TLR2, TLR4, dan co-
stimulatory receptorspada saat terjadi inflamsi yang berakibat pada produksi
sitokin proinflamasi sehingga mengaktivasi imun bawaan aktif. Pada individu
penderita IBD dengan sistem imun bawaan yang sensitif akan memprosuksi
sitokin proinflamasi yang berlebihan sehingga terjadi sekuentrasi sitokin
proinflamasi, hal ini akan menyebabkan inflamsi berlangsung lebih lama 5.
- Kolitis mikroskopik
Kolitis mikroskopik merupakan peradangan pada usus besar yang
menyebabkkan persistent watery diarrhoea. Berbeda dengan kolitis ulseratif
dan penyakit crohn’s, kolitis mikroskopik lebih sulit dideteksi melalui
endoskopi karena tampakan mukosanya hampir terlihat normal. Kemunculan
kolitis mikroskopik ini diduga berkaitan dengan penggunaan obat-obatan
tertentu dan gaya hidup pada individu dengan genetik yang rentan. Kolitis
mikroskopik dibedakan lagi menjadi 2 subtipe berdasarkan histopatologinya

8
yaitu lymphocytic dan collagenous. Terdapat beberapa faktor risiko yang
dibeut sebagai penyebab munculnya kolitis mikroskopik. Penggunaan obat
anti inflamasi non-steroid (OAINS) merupakan salah satu faktor risiko pada
kolitis mikroskopik. Obat anti inflamasi non-steroid menjadi faktor risiko
karena efek dari penggunaannya yang dapat mempengaruhi permeabilitas
ephithelial barrier pada dinding usus dan melalui inhibisi dari prostaglandin.
Obat proton-pump inhibitor (PPI) diduga juga dapat meningkatkan risiko pada
indivdu yang rentan, namun masih dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
mekanisme kemunculan kolitis mikroskopik akibat obat PPI6.
Terapi hormon pada wanita menopause serta penggunaan alat kontrasepsi
juga diduga meningkatkan risiko kolitis mikroskopik, berdasarkan studi
epidemiologi retrospektif case-control yang dlakukan US Nurses’s Health
study dimana terdapat peningkatan prevalensi kolitis mikroskopik pada wanita
dengan terapi hormon postmenopause dan wanita pengguna alat kontrasepsi6.
- Kolitis radiasi
Sejak ditemukannya sinar X oleh wilhelm Rontgen pada tahun 1895 telah
dilaporkan terjadinya kerusakan jaringan tubuh manusia karena adanya
radiasi. Pada awalnya dilaporkan adanya hiperemis kulit serta iritasi kulit
akibat radiasi, lalu dikembangkan kembali radiasi dengan teknik supervoltasi.
Sejak pengembangan tersebut tidak ditemukan lagi kerusakan janringan luar
tubuh manusia meskipun dengan dosis tinggi, namun muncul kelainan lain
pada tubuh manusia bagian dalam termasuk saluran cerna. Kolitis radiasi
biasanya muncul setelah 6 bulan sampai 5 tahun setelah terapi radiasi regional
untuk kegansan di pelvis. Manifestasi dari peradangan tersebut tidak hanya
sebatas inflmasi, bergantung pada dosis manifestasinya bisa sangat bervariasi
mulai dari perdarahan, perforasi, striktur, abses, bahkan kanker7.
Kolitis radiasi muncul sebagai komplikasi akibat terapi radiasi pada
penyakit ginekologi, urologi, dan rektum. Meskipun kolon relatif
radioresisten, namun dalam kasus kolitis radiasi kemunculan peradangan

9
diakibatkan oleh tingginya dosis yang diberikan pada saat terapi radiasi pada
daerah pelvis dan insiden iritasi akibat radiasi lebih tinggi pada kolon dari
pada segmen usus lain 2.
- Kolitis tuberkulolis
Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global, terutama di negara-
negara berkembang seperti Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara
dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi. Tuberkulosis pada sistem
gastrointestinal merupakan manifestasi dari tuberkulosis ektrapulmonal,
sekitar 3-16% tuberkulosis ekstrapulmonal terdapat di dalam sistem
gastrointestinal. Tubekulosis disebabkan oleh bakteri tahan sam yaitu
Mycobacterium tuberculosis. Karakteristik dari bakteri M. tuberculosis yaitu
memiliki bentuk basil, tidak memiliki spora, tidak berkapsul, dan memiliki
panjang sekitar 1-4 μm serta lebar 0,3-0,6 μm8.
Transmisi bakteri ke dalam tubuh manusia kebanyakan melalui inhalasi
yang dapat mengakibatkan tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru merupakan
manifestasi yang paling umum dari infeksi M. tuberculosis. Bakteri
tuberkulosis akan masuk kedalam traktus respiratori dan bersarang di dalam
parenkim paru. Pada fase ini manifestasi penyakit yang timbul dari inhalasi
bakteri tuberkulosis disebut dengan tuberkulosis paru primer8.
Patogenesis dari kolitis tuberkulosis dapat terjadi dalam beberapa
mekanisme yaitu melalui mengkonsumsi makanan dan susu yang
mengandung bakteri M. tuberculosis, menelan sputum pasien TB aktif, dan
melalui peredaran darah dari paru yang telah terinfeksi TB. Pada kasus bakteri
yang masuk melalui sistem gastrointestinal, bakteri akan masuk kedalam
saluran cerna dan bersarang di daerah yang memiliki aktivitas pencernaan
paling rendah dan memiliki jaringan limfoid yang banyak. Bakteri ini mampu
bertahan dari sistem pertahanan di saluran cerna seperi asam lambung karena
bakteri ini memiliki lapisan lipid yang komplek pada bagian luar sehingga
mampu bertahan hidup dari asam. Sedangkan pada individu dengan TB paru

10
aktif, kolitis akan muncul melalui peredaran darah dari paru dan menginfeksi
lapisan submukosa dari dinding usus8.
Tempat yang paling banyak terinfeksi adalah daerah ileocaecal. Hal ini
dikarenakan pada regio tersebut memiliki banyak jaringan limfoid dan
memiliki aktifitas pencernaan yang rendah. Koloni bakteri yang terbentuk
akan melakukan penetrasi ke dalam mukosa usus dan mengakibatkan aktivasi
inflamasi lokal yang akan berakibat pada lymphangitis, granuloma, nekrosis
kaseosa, ulserasi mukosa, dan pembentukan jaringan fibrotik. Bentuk kelainan
dari kolitis tuberkulosis yaitu ulserasi sekitar 60% kasus, lesi ipertrofi berupa
jaringan parut fibrosis menyerupai karsinoma sebanyak 10% kasus, dan lesi
ulserhipertropik sebanyak 30% kasus2;8.
- Kolitis amoeba
Protozoa Entamoeba hystolitica merupakan penyebab dari peradangan
kolon pada kolitis amoeba. Entamoeba hystolitica memiliki 2 bentuk yaitu
kista dan trofozoit. Penularan terjadi ketika individu menelan kista, dimana
kista ini tahan terhadap asam yang ada di dalam gaster sehingga mampu
bertahan hidup di dalam usus. Kista akan pecah di dalam usus halus dan
berkembang hingga dewasa di dalam kolon9.
Protozoa Entamoeba hytolitica memiliki enzim proteolitik sehingga
mampu menginvasi dinding usus. Dalam keadaan normal enzim proteolitik
tersebut tidak dapat menginvasi dinding usus. Namun pada individu dengan
sistem imun lemah atau riwayat mengkonsumsi obat-obatan imunosupresan,
parasit ini dapat lebih mudah menginvasi dinding usus dengan enzim
proteolitiknya. Pelepasan bahan toksisk menyebabkan peradangan pada
mukosa usus dan ulkus yang ditimbulkan akan memberikan kesan seperti
botol undermined 2. Terdapat juga beberapa ciri khas pada bentuk ulserasi
yaitu flask-shaped atau collar-button Kedalaman ulkus bisa mencapai lapisan
submukosa bahkan lapisan muskular. Manifestasi klinis yang ditimbulkan
bervariasi sesuai dengan derajatnya9.

11
- Kolitis Pseudomembran
Kolitis pseudomembran adalah peradangan pada kolon yang ditandai
dengan terbentuknya eksudat seperti membran (pseudomembran) yang
diakibatkan oleh penggunaan antibiotik yang tidak rasional2. Dalam dewasa
ini telah terindentifikasi bahwa kolitis pseudomembran disebabkan oleh
bakteri Clostridium difficle, meskipun terdapat bakteri penyebabnya kolitis
pseudomembran sangat erat dikaitkan dengan penggunaan antibiotik tidak
rasional terutama golongan klindamisin, penisilin, sefalosporin, tetrasiklin,
ampisilin, dan siprofloksasin10
Bakteri Clostridium difficile dikenal sebagai flora normal dalam usus
manusia serta pada beberapa hewan mamalia lainnya. Namun tidak semua C.
difficile menyebabkan penyakit kolitis pseudomembran, yang bisa menjadi
patogen hanya spesies yang dapat memproduksi toksin A dan toksin B.
Bakteri C. difficile termasuk dalam kuman oportunistik batang berspora, gram
positif, anaerob obligat. Patofisiologi dari kolitis pseudo membran berkaitan
erat dengan produksi toksin A (enterotoksin) dan toksin B (sitotoksin).
Enterotoksin dapat mengikat sel pada brush border yang mengakibatkan erosi
pada mukosa usus dan mengakibatkan peradangan pada usus 10; 11.
- Shigellosis
Shigellosis merupakan infeksi akut pada ileus atau kolon yang dibebakan
oleh bakteri genus shigella. Shigella termasuk kelompok entero-bacteriaceae
yang bersifat gram negatif, anaerob fakultatif dan sangat mirip dengan
Escherichia coli. Terdapat 4 serotipe yaitu : S. dusenteriae, S. Flenerii, S.
boydii, dan S. sonnei. Infeksi S. dysenteriae memiliki amnifestasi klini dari
keempat serotipe shigella. Shigella dapat menginvasi mukosa kolon dengan
mekanisme sel to sel tranfer. Makrofag dan leukosit polimorfonuklear muncul
sebagai respon inflamasi yang disebabkan oleh shigella. Kuman ini juga
memiliki toksi A dan toksin B yang dapat merusak epitel dari dinding usus
sehingga dinding usus bisa kehilangan sel goblet yang memproduksi mukosa.

12
Akibatnya akan muncul manifestasi mikroabses, edema, ulserasi. Bila
penyakit berlangsung lebih lama akan menimbulkan abses pada kripta yang
merupakan+ gambaran utama pada kolitis akibat Shigella2.
Shigella dysenteriae memiliki eksotoksin yaitu Shiga toksin. Ynag dapat
menginhibisi proses sintesis protein dalam sel target. Belum diketahui secara
pasti mengenai patogenesis dari infeksi shigella, namun diduga shigella dapat
mengincasi pembuluh darah kolon yang menyebabkan manifestasi disentri
yaitu diare dengan konsistensi yang lunak dan mengandung darah segar12.
V. Manifestasi Klinis
Seperti pada orang dewasa, gambaran klinis IBD bergantung pada
lokasi dan luasnya peradangan mukosa. 44%-49% anak dengan UC memiliki
penyakit rektosigmoid, 36%-41% memiliki penyakit sisi kiri, dan 14%-37%
memiliki pankolitis.. Dalam hal keparahan penyakit, 50%-60% datang dengan
penyakit ringan, 30% dengan penyakit sedang, dan 19% dengan penyakit
parah. Pada anak-anak dengan CD, 50%-70% pasien anak datang dengan
penyakit yang melibatkan ileum terminal dengan lebih dari setengah juga
memiliki keterlibatan usus besar, biasanya bagian asenden. Sepuluh hingga
20% anak dengan CD mengalami inflamasi pada kolon dan 10% -15%
memiliki peradangan pada usus halus yang menyebar. Peradangan
gastroduodenal dapat ditemukan pada 30% -40% pasien dengan CD, tetapi
penyakit gastroduodenal yang terisolasi jarang terjadi, kurang dari 5%. Gejala
yang paling umum muncul di UC termasuk penurunan berat badan,
pendarahan anus, diare, dan sakit perut. CD mungkin memiliki onset yang
berbahaya dengan nyeri perut dan penurunan berat badan yang dapat
menyebabkan keterlambatan diagnosis. Jika ada diare kronis atau perdarahan
anus, diagnosis mungkin lebih cepat. Gejala non-spesifik anoreksia,
kelelahan, pematangan genitalia yang tertunda, dan penurunan pertumbuhan
linier mungkin ada tetapi tidak segera diketahui dan tidak terlalu mendukung
untuk dilakukannya pemeriksaan IBD karena sifatnya yang tidak spesifik.

13
Manifestasi ekstraintestinal umum terjadi pada orang dewasa dan anak-anak

Gejala/ Crohn’s disease Ulcerative Colitis

dengan IBD, mempengaruhi 25% -35% pasien. Namun, pada anak-anak, ini
mungkin mendahului timbulnya gejala gastrointestinal selama bertahun-tahun,
sedangkan pada orang dewasa gejala ini biasanya bersamaan dengan
eksaserbasi penyakit. Arthritis adalah manifestasi ekstraintestinal yang paling
umum terjadi pada 7% -25% anak dengan IBD. Nefrolitiasis terjadi pada 5%
anak dengan IBD, eritema nodosum terjadi pada 3%, dan pioderma
granulosum pada <1%. Manifestasi ekstraintestinal lainnya termasuk
komplikasi okular, komplikasi hepatobilier seperti sklerosis primer.13

Tabel 2. Frekuensi gejala yang muncul pada IBD

14
Nyeri abdomen 65-95% 33-76%

Diare 52-78% 67-93%

Penurunan berat badan 43-92% 22-55%

Hematochezia 14-67% 52-97%

Gangguan pertumbuhan 30-33% 6%

Demam 11-48% 4-34%

Penyakit perianal 25 0

Manifestasi 15-25% 2-16%


ekstraintestinal

VI. Diagnosis
Diganosis kolitis ditegakkan berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada kolitis golongan inflamatory bowel
disease yaitu penyakit crohn’s dan kolitis ulseratif, apabila diagnosa tidak bisa
ditegakkan secara pasti maka disebut dengan intermediate kolitis2. Diagnosa
dari kolitis ulseratif tidak bisa dipastikan hanya dengan salah satu alat
diagnosis, maka harus berdasarkan manifestasi klinis , hasil pemeriksaan
laboratorium, endoskopi, histopatologi, dan radiologi 14.
Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada saat anamnesa adalah
pasien mengeluhkan adanya diare dengan darah (>90%) yang sering bersamaan
dengan nyeri abdomen pada regio ingunal kiri maupun keseluruhan dari panjang
kolon pada kasus yang lebih berat misalnya pankolitis. Pemeriksaan fisik
seringkali menguatkan kecurigaan terhadap IBD setelah dilakukan anamnesis
yang lengkap. Penampilan umum penderita tampak pucat karena anemia,

15
keterlambatan pubertas dan pertumbuhan tampak lebih muda dibandingkan
umur sebenarnya. Demam dapat terjadi pada IBD. Takikardia dapat menjadi
petunjuk adanya anemia, demam, hipoproteinemia atau dehidrasi. Inspeksi
perianal dan pemeriksaan colok dubur merupakan pemeriksaan penting pada
penderita yang dicurigai IBD. Massa inflamasi yang nyeri dapat menunjukkan
adanya inflamasi aktif atau abses. Skin tags yang besar (≥ 0,5 cm) pada tempat
selain jam 12 dicurigai sebagai PC. Fisura anal yang dalam yang dicurigai
sebagai fistula perianal merupakan tanda patognomonis PC. Pada pemeriksaan
rektal dapat dijumpai adanya darah pada tinja dan stenosis anal. Selama
pemeriksaan rektal, palpasi adanya massa yang nyeri dan mengumpul di pelvis
bisa membedakan IBD dengan apendik yang ruptur. Hemoroid jarang terjadi
pada anak, hanya terjadi saat mengedan. Tingkat keparahan akan
mempengaruhi manifestasi klinis dan apabila pasien bisa datang dengan
abdominal tenderness, demam, tanda peritonitis maka itu bisa menjadi alaram
prognosis yang buruk yang bisa mengarah pada toksik megakolon. Pada
pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan leukositosis dan peningkatan kadar
C-Reactive protein, namun hal ini hanya ditemukan pada proses inflamasi kolon
yang intens. Anemina juga dapat ditemukan akibat dari kehilangan darah saat
defekasi13. Peningkatan laju endap darah juga dapat ditemukan sebagai pertanda
adanya inflamasi. Pada pemeriksaan laboratorium ini tidak terdapat perbedaan
spesifik antara kolitis ulseratif maupun penyakit crohn’s sehingga tidak dapat
dijadikan acuan diagnosa pasti2.

16
Endoskopi memiliki akurasi yang lebih baik untuk membantu diagnosa
dari IBD. Kolitis ulseratif tervisualisasi dengan ditemukan tanda inflamasi
mulai dari rektum menuju ke bagian proksimal dan dapat diklasifikasikan
berdasarkan bagian yang mengalami inflamasi yaitu : 1) prokititis (inflamasi
pada bagian rektum), 2) Leftside-colitis (Kolon desendens), 3) kolitis pada
bagian setelah flexura coli sinistra atau splenic flexure. Tanda peradangan pada
endoskopi yang dapat dilihat pada kolitis ulseratif adalah granular mukosa,
eritema, ulserasi, hemoragi14. adapun perbedaan pemeriksaan endoskopi antara
kolitis ulseratif dengan penyakit crohn’s dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3. Gambaran endoskopi IBD

Sumber : Setiati, S, et al. 2017

Gambaran lesi Kolitis ulseratif Penyakit crohn’s

Lesi inflamasi

Berifat kontinu +++ +

Adanya skip area (area normal 0 +++


diantara lesi)

Keterlibatan rektum +++ +

Lesi mudah berdarah +++ +

Cobblestone appereance + +++

17
Sifat ulkus

Terdapat pada mukosa inflamasi +++ +

Keterlibatan ileum 0 ++++

Lesi ulkus bersifat diskrit + +++

Bentuk ulkus

Diameter >1 cm + +++

Dalam + +++

Bentuk linier + +++

Aphtoid 0 +++

Pemeriksaan imaging juga dapat digunakan untuk membantu diagnosa


kolitis ulseratif dan penyakit crohn’s. Pemeriksaan foto polos kontras dapat
digunakan untuk melengkapi hasil dari endoskopi. Barium kontras ganda dapat
memperlihatkan striktur, fistulasi, mukosa yang ireguler, gambaran ulkus dan
polip, ataupun perubahan distenbilias lumen kolon yang berupa penebalan
dinding lumen akibat inflamasi dan hilangnya haustrae. Namun terdapat
kontraindikasi pemeriksaan ini yaitu apabila derajat penyakit sudah berat dan
terdapat perforasi sehingga apabila tetap dilakukan akan mencetuskan toksik
megakolon14. Barium enema pada kolitis ulseratif juga dapat melihat adanya
peradangan aktif dengan ditemukannya granula mukosa dan hilangnya haustra
pada kolon. Dapat dilihat pada gambar foto kontras berikut :

18
Gambar 3. Foto polos menunjukan adanya thumbprinting yang menandakan
adanya penebalan dinfing kolon. Foto kontras kolitis ulseratif. Tampak lesi
granular pada gambar ke-2. Ct-scan menunjukkan adanya udara bebas (panah
putih) dan penebalan dinding kolon (panah segitiga putih)
Sumber : Deepak, P. 2014

Pada gambar diatas menunjukkan adanya peradangan mukosa usus


pada kolitis ulseratif. Barium enema juga dapat memudahkan diagnosa apabila
terdapat striktur yang menyulitkan proses endoskopi15. Sedangkan pada
penyakit crohn’s terdapat ciri khas seperti cobble stone appereance16.

19
Gambar 4. a) enterolisis, b) penebalan dinding ileus, c) lesi aphtoid, d) ulserasi,
e) Cobble stone appereance, f) fistula, g) stenotic loop
Sumber : Gatta,G. 2012

VII. Tatalaksana
Tujuan utama penatalaksanaan medis untuk IBD adalah untuk
mencapai remisi klinis dan histologis dengan menekan peradangan dengan
efek samping yang paling sedikit dari obat yang digunakan. Pengelolaan
proses inflamasi akan mengurangi kemungkinan intervensi bedah. Selain itu,
pengobatan yang berhasil harus memberikan dukungan nutrisi yang adekuat
untuk meningkatkan pertumbuhan normal dan harus berupaya meminimalkan
perubahan fungsi fisik dan sosial anak untuk mempertahankan kualitas hidup.
Untuk pasien CD, pengobatan didasarkan pada keparahan gejala, yang tidak

20
selalu berkorelasi dengan penyembuhan mukosa. CD diklasifikasikan sebagai
ringan hingga sedang, sedang hingga berat, dan berat hingga fulminan.
Penyakit ringan sampai sedang diobati awalnya dengan 5-aminosalisilat
(sulfasalazine atau mesalamine) atau terapi antibiotik dengan metronidazole
dan ciprofloxacin. Kedua rejimen cukup berhasil dalam mendorong remisi
pada penyakit ringan pada orang dewasa dan anak-anak.16
Untuk pasien dengan penyakit sedang hingga berat, kortikosteroid
efektif dalam menginduksi remisi dan telah dianggap sebagai standar untuk
pengobatan. Prednison atau metilprednisolon tetap menjadi terapi lini pertama
pada anak-anak yang sakit sedang hingga berat dengan CD dengan tingkat
perbaikan hingga 90%. Dosisnya setara dengan prednison 1-2 mg/kg per hari
(maks 4060) selama empat sampai enam minggu dan kemudian dikurangi
dosisnya. Meskipun kortikosteroid bekerja dengan cepat untuk meringankan
gejala, mereka tidak menyembuhkan lesi mukosa dan tidak bermanfaat untuk
terapi pemeliharaan. Kelemahan perawatan ini adalah ketergantungan
kortikosteroid (1/3-1/2 pasien) dan resistensi (1/5 pasien) dan oleh karena itu,
penyapihan secepat mungkin penting untuk menghindari penurunan
pertumbuhan dan meminimalkan potensi pengroposan tulang. Steroid harus
dihindari pada anak-anak dengan retardasi pertumbuhan yang mendalam,
terutama pada mereka yang sudah menjadi Tanner 2 atau 3 dan yang memiliki
jendela pertumbuhan yang terbatas. Penggunaan steroid juga harus dihindari
pada pasien dengan pengroposan tulang yang parah. 16
Pada pasien yang telah mencapai remisi dengan kortikosteroid,
imunomodulator, termasuk azathioprine (AZA) dan 6-mercaptopurine (6-
MP), metabolit AZA, sangat membantu dalam mempertahankan remisi.
Kebanyakan ahli gastroenterologi pediatrik menyukai imunomodulator pada
anak-anak dengan CD karena mereka lebih baik dalam mempertahankan
remisi. Mereka mungkin dimulai saat diagnosis, postop, setelah serangan
parah. Mereka juga digunakan untuk mempertahankan remisi ketika pasien

21
menjadi tergantung pada steroid, tetapi mereka tidak efektif dalam
menginduksi remisi karena onset kerjanya yang lama. Mereka telah terbukti
mengurangi ketergantungan dan resistensi steroid dari 50% menjadi 20% atau
kurang. Efek samping termasuk hepatotoksisitas, myelosupresi, pankreatitis,
N/V, dan reaksi alergi, dan ini telah dikaitkan dengan ketidakmampuan
bawaan untuk memetabolisme mereka. Pasien heterozigot atau homozigot
untuk perubahan gen thiopurine methyltransferase (TPMT) memiliki aktivitas
TPMT yang kurang dan berisiko mengalami peningkatan yang nyata dari
metabolit aktif 6-thioguanine nucleotide dan mengakibatkan leukopenia
parah. Pasien-pasien dengan aktivitas TPMT yang tinggi dapat
memetabolisme obat menjadi tidak aktif, tetapi berpotensi menjadi metabolit
6-metilmerkaptopurin yang bersifat hepatotoksik dan hepatotoksik. Tes
skrining tersedia untuk menentukan genotipe dan aktivitas TPMT serta
metabolisme tiopurin. 16
Methotrexate (MTX) adalah imunomodulator lain yang digunakan
sebagai terapi alternatif setelah pengobatan dengan thiopurines (AZA dan 6-
MP) telah terbukti kurang optimal karena ketidakmampuan untuk
mempertahankan remisi atau intoleransi pasien terhadap pengobatan.
Metotreksat juga digunakan pada pasien yang tidak berespon terhadap
kortikosteroid untuk induksi remis. Efek samping termasuk mual, muntah,
diare, stomatitis, ruam, artralgia, leukopenia, dan hepatotoksisitas. Yang
terakhir adalah yang paling membatasi pengobatan dan membutuhkan
pemantauan serum aminotransferase dan biopsi pada pasien dengan
peningkatan yang persisten. Ada juga kekhawatiran teratogenisitas pada
wanita usia subur.16
Terakhir, terapi biologis dalam bentuk infliximab, antibodi
monoklonal chimeric yang ditujukan untuk melawan tumor necrosis factor-A,
telah digunakan untuk mengobati penyakit sedang hingga berat pada pasien
yang tidak merespon baik setelah pemberian 5-ASA, antibiotik, steroid, atau

22
imunomodulator. Ini dapat digunakan sebagai alternatif prednison untuk
menginduksi remisi atau sebagai terapi lini pertama pada CD dengan penyakit
fistulisasi, perianal, atau intoleransi terhadap kortikosteroid. Sebagian besar
literatur mengenai orang dewasa tetapi telah digunakan pada anak-anak
dengan hasil yang baik. Sekitar 30% pasien yang tidak merespon baik
terhadap infliximab kemungkinan diakibatkan oleh pembentukan antibodi
terhadap infliximab dan dengan demikian mengurangi efektivitas kerja obat.
Terapi bersamaan dengan imunomodulator dapat membantu menjaga
efektivitas kerja obat. Kombinasi ini umumnya ditoleransi dengan baik oleh
orang dewasa dan anak-anak. Efek samping termasuk ruam, dyspnea, dan
sakit kepala dan biasanya terlihat pada saat infus. Efek samping lain termasuk
reaksi hipersensitivitas onset lambat, termasuk nyeri/kekakuan sendi, nyeri
otot, demam, malaise umum, sindrom mirip lupus, dan infeksi oportunistik,
termasuk tuberkulosis, histoplasmosis, dan sepsis. Leukopenia serta gangguan
limfoproliferatif. 16
Tatalaksana yang diberikan untuk UC ringan sampai sedang adalah
agen asam 5-aminosalisilat, sulfasalazine dan mesalamine. Penting untuk
mengobati dengan dosis yang tepat karena kekurangan dosis adalah penyebab
paling umum dari kegagalan pengobatan. Di UC, penting juga untuk diingat
bahwa pengobatan topikal dengan enema sangat efektif, seringkali lebih
efektif daripada terapi oral.Pada pasien dengan penyakit sedang hingga berat
yang refrakter terhadap aminosalisilat, pengobatan kortikosteroid dapat
menginduksi remisi tetapi tidak berperan dalam mempertahankan remisi. Pada
pasien dengan UC berat yang gagal merespon kortikosteroid, siklosporin
merupakan pilihan terapi lini kedua. Obat ini memiliki profil efek samping
yang serius, termasuk insufisiensi ginjal, hipertensi, infeksi oportunistik,
kejang, dan kelainan elektrolit. Karena toksisitas siklosporin, riwayat pasien
harus dipertimbangkan untuk menilai apakah pembedahan adalah pilihan yang
lebih baik. Imunomodulator AZA, 6-MP, dan MTX tidak digunakan untuk

23
menginduksi remisi, tetapi untuk mempertahankannya. Efek sampingnya telah
dibahas di atas, dan pemantauan diperlukan. Seperti dengan aminosalisilat,
ketidaksesuaian dosis sering menjadi penyebab kegagalan terapi.Dukungan
nutrisi yang agresif dapat meningkatkan parameter pertumbuhan pada pasien
anak dengan IBD. Diet khusus telah terbukti membantu meringankan gejala
pada CD, tetapi tidak pada UC. Namun, semua anak dengan IBD
membutuhkan penilaian dan dukungan nutrisi yang tepat untuk
meminimalkan keterlambatan pertumbuhan akibat malnutrisi.16
Crohn’s disease Ulcerative colitis
Ringan Aminosalisilat Aminosalisilat
Antibiotik
Sedang Kortikosteroid => Kortikosteroid =>
Aminosalisilat Aminosalisilat
Azathioprine Azathioprine
6-mercaptopurine 6-mercaptopurine
Methotrexat Methotrexat
Berat Kortikosteroid => Kortikosteroid =>
Azathioprine Azathioprine
6-mercaptopurine 6-mercaptopurine
Methotrexat Methotrexat
Infliximab siklosporin
Semua derajat - Berikan nutrisi cukup
- Pantau perkembangan dan pertumbuhan anak

24
BAB III
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : An. N.I.
Jenis kelamin : Perempuan
Lahir pada tanggal/umur : 14-08-2011/11 tahun 9 bulan
Alamat : desa wombo kalonggo
Tanggal masuk ruangan/jam : 19-05-2023
Tanggal keluar ruangan : 22-05-2023
Jumlah hari perawatan : 4 hari
Diagnosis : Hematochezia e.c susp. Sindrom disentri
dd/ Inflamatory bowel disease

25
Anamnesis
- Keluhan Utama :
BAB bercampur darah
- Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan BAB bercampur darah segar sejak 1 minggu yang
lalu, frekuensi 4 kali sejak pagi hari, konsistensi lunak, darah menetes dari
anus (+), lendir (-), Nyeri pada anus saat BAB (-), nyeri perut (-), demam (-)
- Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami penyakit yang sama
- Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat gangguan elektrolit hipokalemi
- Riwayat Maternal
Anak pertama dari 2 bersaudara
- Riwayat makanan
ASI : 0-4 bulan
MPASI : 4bulan – 2 tahun
Makanan dewasa : 2 tahun - sekarang
Pemeriksaan Fisik
KU : Sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Status Gizi :
BB : 22 kg
TB : 134 cm
BB/U : 56 % (BB kurang)
TB/U : 91 % (TB normal)
BB/TB : 73 % (Gizi kurang)
TTV :
Suhu : 36,6 C Nadi : 98x/menit
Respirasi : 22x/menit SpO2 : 98%

26
- Mata : Ikterik (-/-), Anemis (-/-), Cekung (-/-)
- Mulut : Pucat (-), Lidah kotor (-), kering (-)
- Kulit : Turgor < 2 detik
- Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran tiroid (-)
- Kepala : Normocephal
- Thorax : simetris bilateral
- Pulmo : bunyi pernafasan vesikuler (+/+)
- Cor : BJ I/II murni reguler
- Abdomen : BU (+) kesan normal
- Rectal toucher : darah (-), Sfingter normal, hemoroid (-)

Pemeriksaan Penunjang
1. Darah Lengkap (19/05/2023)
Jenis
No. Hasil Nilai Rujukan
Pemeriksaan
1. WBC 6.700 mm3 4.500 – 10.000mm3
2. RBC 4.6 jutamm3 3,9 – 5,6 jutamm3
3. HGB 12.5 mg/dl 11,7 – 15,5 mg/dl
4. HCT 37 % 37 – 43 %
5. PLT 490.000mm3 150.000 – 400.000 mm3

2. Elektrolit (20/05/2023)
Jenis
No. Hasil Nilai Rujukan
Pemeriksaan
1. Natrium 138mmol/L 135-145 mmol/L
2. Kalium 4.2 mmol/L 3.5-5.5 mmol/L
3. Klorida 98mmol/L 95-108 mmol/L

27
Resume
Pasien datang dengan BAB bercampur darah segar sejak 1 minggu yang lalu,
frekuensi 4 kali sejak pagi hari, konsistensi lunak, darah menetes dari anus (+), lendir
(-), Nyeri pada anus saat BAB (-), nyeri perut (-), demam (-). Pada pemeriksaan fisik
didapatkan tanda vital : Suhu : 36,6 C, Nadi : 98x/menit, Respirasi : 22x/menit, SpO2
: 98%. Mata : konjungtiva anemis (-/-), cekung (-/-), BP : Vesikuler, Cor : BJ I/II
murni reguler, Abdomen : BU (+) kesan normal, Rectal toucher : Darah (-),
Hemoroid (-). Pada pemeriksaan penunjang didapatkan HGB : 12.5 g/dl, WBC :
6.700 mm3, RB : 4.6 Jutamm3, HCT: 37 %, PLT : 490.000 mm3
Diagnosis
Hematochezia e.c. sindrom disentri dd/ inflamatory bowel disease

Terapi
Ivfd RL 16 tpm
Ceftriaxone 1 gr/24jam/iv
Zinc 1 x 20 mg
L-Bio 2x1 sach

28
Tanggal Follow Up

20/05/2023 HP : 2
S : BAB bercampur darah (+) 4 kali, konsistensi lunak,
darah menetes dari anus (+), lendir (-), Nyeri pada anus
saat BAB (-), nyeri perut (-), demam (-)
O : KU : Sakit sedang
GCS : E4M6V5 Compos mentis
O : TTV
N : 94x/menit
S : 36.5 oC
R : 22 x/menit
Spo2 : 98%

Kepala : Normocephal
Thorax : Simetris bilateral (+/+)
Pulmo : Vesikuler (+/+)
Cor : BJ I/II murni reguler
Abdomen : Peristaltik (+) kesan nromal
Pemeriksaan Lab (19/05/2023)
Darah rutin
HGB : 12.5 g/dl
WBC : 6.700 mm3
RBC : 4.6 Jutamm3
HCT : 37 %
PLT : 490.000 mm3
Elektrolit darah
Natrium : 138
Kalium : 4,2

29
Klorida : 98

A : Hematochezia e.c. sindrom disentri dd/ inflamatory


bowel disease
P:
- Ivfd RL 16 tpm
- Ceftriaxone 1 gr/24jam/iv
- Dexametason 4 mg/8 jam/ iv
- Asam traneksamat 250 mg/12 j/iv
- Zinc 1 x 20 mg
- L-Bio 2x1 sach

21/05/2023 Hp : 3
S : BAB bercampur darah (+) 2 kali, konsistensi padat,
nyeri perut (-), demam (-)
O:
KU : Sakit sedang
GCS : E4M6V5 Compos mentis
O : TTV
N : 100x/menit
S : 36.8 oC
R : 20 x/menit
Spo2 : 98%

Pemeriksaan Fisik
Kepala : Normocephal
Thorax : Simetris bilatera (+/+)

30
Pulmo : Vesikuler (+/+)
Cor : BJ I/II murni reguler
Abdomen : Peristaltik (+) kesan nromal
Pemeriksaan Lab (19/05/2023)
Darah rutin
HGB : 12.5 g/dl
WBC : 6.700 mm3
RBC : 4.6 Jutamm3
HCT : 37 %
PLT : 490.000 mm3

A : Hematochezia e.c. sindrom disentri dd/ inflamatory


bowel disease
P:
- Ivfd RL 16 tpm
- Ceftriaxone 1 gr/24jam/iv
- Dexametason 4 mg/8 jam/ iv
- Asam traneksamat 250 mg/12 j/iv
- Zinc 1 x 20 mg
- L-Bio 2x1 sach

22/05/2023 Hp : 4
S : BAB bercampur darah (+) 2 kali, konsistensi padat,
darah menetes dari anus (-) nyeri perut (-), demam (-)

O : KU : Sakit sedang
GCS : E4M6V5 Compos mentis
O : TTV
N : 110x/menit

31
S : 36.6 oC
R : 22 x/menit
Spo2 : 99%

Pemeriksaan Fisik
Kepala : Normocephal
Thorax : Simetris bilatera (+/+)
Pulmo : Vesikuler (+/+)
Cor : BJ I/II murni reguler
Abdomen : Peristaltik (+) kesan nromal
Pemeriksaan Lab (19/05/2023)
Darah rutin
HGB : 12.5 g/dl
WBC : 6.700 mm3
RBC : 4.6 Jutamm3
HCT : 37 %
PLT : 490.000 mm3

A : Hematochezia e.c. sindrom disentri dd/ inflamatory


bowel disease
P:
- Ivfd RL 16 tpm
- Ceftriaxone 1 gr/24jam/iv
- Dexametason 4 mg/8 jam/ iv
- Asam traneksamat 250 mg/12 j/iv
- Zinc 1 x 20 mg
- L-Bio 2x1 sach

32
33
BAB IV

DISKUSI KASUS

Kolitis merupakan peradangan akut atau kronik pada kolon yang dapat
disebabkan oleh infeksi atau non-infeksi. Inflamatory bowel disease merupakan
penyakit peradangan akut hingga kronik yang disebabkan oleh beberapa faktor
penyebab, mulai dari infeksi, faktor lingkungan, dan genetik. Ketiganya saling
berhubungan dan menyebabkan peradangan yang dapat berlangsung kronik pada
individu dengan genetik berisiko. Manifestasi umum yang muncul pada inflamatory
bowel disease adalah diare disertai darah, nyeri abdomen, penurunan berat badan, dan
bisa disertai gejala non-spesifik seperti anoreksi, gangguan pertumbuhan, dan
demam.

Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan utama yaitu BAB disertai
dengan darah segar, konsistensi lunak, frekuensi 4 kali sejak pagi hari sebelum masuk
rumah sakit. Hematochezia pada pasien dapat diduga disebabkan oleh adanya
perdarahan pada mukosa kolon pasien. Berbeda dengan melena yang darah sudah
teroksidasi oleh HCl pada lambung sehingga warna feses menjadi hitam. Pada
pemeriksaan fisik rectal toucher tidak ditemukan adanya darah maupun hemoroid
yang semakin menguatkan darah berasal dari perdarahan mukosa usus. Perubahan
pada mukosa kolon dapat disebabkan oleh banyak mekanisme seperti infeksi,
kegansan, atau autoimun seperti pada inflamatory bowel disease. Pasien tidak
mengeluhkan adanya nyeri abdomen namun hal ini tidak menghilangkan kecurigaan
adanya gangguan pada mukosa usus. Pada kasus ini pemeriksaan laboratorium
didapatkan HGB : 12.5 g/dl, WBC : 6.700 mm3, RBC : 4.6 Jutamm3, HCT : 37 %,
PLT : 490.000 mm3, dimana hasilnya berada dalam batas normal, sehingga kurang
membantu dalam menegakkan diagnosis. Anjuran untuk kasus ini adalah
pemeriksaan penunjang radioimaging seperti collon in loop untuk menilai perubahan
mukosa usus.

34
Pada kasus ini diberikan infus ringer laktat untuk rehidrasi. Kemudian
diberikan injeksi ceftriaxone dengan dosis 1g/12 jam untuk antibiotik empiris karena
dugaan disentri. Diberikan dexametason dengan dosis 4mg/8 jam sebagai obat
antiinflamasi untuk mengurangi peradangan pada mukosa usus. Asam traneksamat
merupakan obat golongan anti-fibrinolitik yang diberikan untuk membantu
menghentikan perdarahan pada pasien, dengan dosis 250mg/12 jam. Diberikan juga
zinc untuk mencegah diare diare yang memanjang dan mencegah diare dalam 3 bulan
kedepan. Pemberian L-Bio merupakan suplemen yang mengantung probiotik
lactobacilus untuk menjaga keseimbangan floral pada usus.

35
BAB V
KESIMPULAN

1. Kolitis merupakan peradangan pada kolon yang disebabkan oleh infeksi


ataupun non infeksi
2. Inflamatory bowel disease adalah penyakit peradangan pada kolon yang
disebabkan oleh beberapa faktor mulai dari lingkungan, genetik, dan patogen
3. Tatalaksana pada inflamatory bowel disease adalah mengurangi inflamasi
dengan aminosalisilat dan steroid sehingga pasien dapat mencapai remisi

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Serwood, L. Fisiologi Manusia. Jakarta : EGC, 2019.


2. Setiati, S, Alwi, I and Setiyonadi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Interna Publishing, 2017.
3. Paulsen, F and Waschke, J. Sobotta : Atlas Anatomi Manusia . Jakarta :
Elsevier, 2017.
4. Epidemiomiology and Pathogenesis of Ulcerative Colitis. Du, L and Ha, C. 4,
s.l. : Gastroenterology Clinics of North America, 2020, Vol. 49.
5. Crohn's Disease. Roda, G, et al. 22, s.l. : Nature Reviews Disease Premiers,
2020, Vol.
6. Microscopic Colitis. Burke, KE, et al. 37, s.l. : Nature review disease primers,
2021, Vol.
7. Recent Advantages in The Management of Radiation Colitis. Koutrobakis, I,
Kountouras, J and Zavos, C. 48, s.l. : World journal of Gastroenterology, 2008,
Vol. 14.
8. Colitis Tuberculosis. Oto, BT, et al. 3, s.l. : Division of Gastroenterology Dr.
Cipto Mangunkusumo General National Hospital , 2010, Vol. 11.
9. Amebic Colitis and The Surgeon. Ibarullah, M and WH, Bruno. 1, s.l. : Indian
Journal of Surgery, 2020, Vol. 83.
10. Clostridium difficle colitis : CT findings and Differential Diagnosis. Guerri, S, et
al. 1, s.l. : La radiologia medica, 2019, Vol. 124.
11. Clostridium difficile : Penyebab Diare dan Kolitis Pseudomembran, Akiba
Konsumsi Antibiotika yang Irasional. Kumala, W. 1, s.l. : Jurnal kedokteran
trisakti, 2004, Vol. 23
12. Shigellosis. Bennish, ML and Ahmed, S. 1, s.l. : Hunter's Tropical Medicine and
Emerging Infectious Diseases, 2020. Vol. 48
13. Ulcerative-colitis : Diagnostic and Therapeutic Algorithms. Kucharzik, T, et al.
s.l. : Continuing Medical Education Deutches Arzteblatt International, 2020, Vol.
117.

37
14. Radiographical evaluation of ulcerative colitis. Deepak, P and Bruining, DH. 1,
s.l. : Gastroenterology report Oxford University, 2014, Vol. 2.
15. Crohn’s disease imaging. Gatta, G, et al. 1, s.l. : Hindawi Publishing
Corporation, 2012, Vol. 2
16. Pediatric Inflamatory bowel disease. Diefenbach, K. Breuer, C. s.1. : world
journal of gastroenterology, 2006. Vol . 12

38

Anda mungkin juga menyukai