Anda di halaman 1dari 18

PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

Pemeriksaan Radiografi Pada Abdomen Dan Pelvis


Pada Kasus Emergency Abdomen
(Colitis Ulseratif)

Disusun oleh :
Asih Nur Pambudi
1810505006

Disusun Oleh :
Nama : Almadinara Mutiara Ammani
NIM : 1810505010
Kelas : A(A1)

PRODI DIII RADIOLOGI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

2018
DAFTAR ISI

Cover
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II ISI

A. Klasifikasi Kolitis Ulseratif


1. Definisi
2. Anatomi Usus Besar (Colon)
3. Fisiologi Usus Besar (Colon)
B. Gejala
C. Faktor Penyebab Penyakit
 Faktor familial/genetic
 Faktor infeksi
 Faktor imunologik
 Faktor psikologik
 Faktor lingkungan
D. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan Radiologi
 Pemeriksaan Endoskopi

E. Pengobatan
F. Diet Cukup Serat
BAB III KESIMPULAN
Daftar Pustaka
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Colitis ulseratif merupakan salah satu dari dua tipe Inflammatory


Bowel Disease (IBD), selain Crohn disease. Tidak seperti Crohn disease,
yang dapat mengenai semua bagian dari traktus gastrointestinal, colitis
ulseratif seringnya mengenai usus besar, dan dapat terlihat dengan
colonoscopy. Colitis ulseratif merupakan penyakit seumur hidup yang
memiliki dampak emosional dan sosial yang amat sangat pada pasien yang
terkena, dan ditandai dengan adanya eksaserbasi secara intermitten dan
remisinya gejala klinik (Basson, 2011).

Etiologi pasti dari colitis ulseratif masih belum diketahui, tetapi


penyakit ini multifaktorial dan polygenic. Faktor-faktor penyebabnya
termasuk faktor lingkungan, disfungsi imun, dan predisposisi genetik. Ada
beberapa sugesti bahwa anak dengan berat badan lahir di bawah rata-rata
yang lahir dari ibu dengan colitis ulseratif memiliki risiko lebih besar
untuk terjadinya perkembangan penyakit (Basson, 2011).

Distribusi penyakit ini tersebar diseluruh dunia, didapatkan 6 – 12


per 100.000 populasi dengan prevalensi 76 – 150 per 100.000 populasi.
Pada penelitian yang dilakukan di RSCM kasus KU didapatkan antara 5 –
10 kasus pertahun. Data dimasyarakat mungkin lebih tinggi daripada data
yang ada di RS, mengingat sarana endoskopi belum tersedia secara merata
di pusat pelayanan kesehatan di Indonesia. Dengan mengetahui data diatas
dapat diketahui bahwa dari tahun ke tahun prevalensi KU meningkat
(Chudachman,1998).
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

Di Amerika Serikat, sekitar 1 miliar orang terkena colitis ulseratif.


Insidennya 10.4-12 kasus per 100.000 orang per tahunnya. Rata-rata
prevalensinya antara 35-100 kasus per 100.000 orang (Basson, 2011).
Sementara itu, puncak kejadian penyakit tersebut adalah antara usia 15 dan
35 tahun, penyakit ini telah dilaporkan terjadi pada setiap decade
kehidupan (Ariestine, 2008).
Colitis ulseratif terjadi 3 kali lebih sering daripada Crohn disease.
Colitis ulseratif terjadi lebih sering pada orang kulit putih daripada orang
African American atau Hispanic. Colitis ulseratif juga lebih sering terjadi
pada wanita daripada laki-laki (Basson, 2011).
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan penyakit colitis ulseratif?
2. Apa saja penyebab dan gejala yang dialami pasien penderita colitis
ulseratif?
3. Bagaimana pemeriksaan yang dilakukan terhadap penderita colitis
ulseratif?
4. Bagaimana solusi untuk menangani penyakit colitis ulseratif?

C. Tujuan
1. Mengetahui apa itu penyakit colitis ulseratif lebih jelas dan lengkap.
2. Mengetahui apa saja penyebab dan gejala penyakit colitis ulseratif
3. Mengetahui pemeriksaan apa saja yang dilakukan oleh penderita colitis
ulseratif
4. Memberikan solusi yang tepat dalam penanganan penyakit colitis
ulseratif.
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

BAB II
ISI

A. Klasifikasi Colitis Ulseratif


1. Definisi
Kolitis ulseratif adalah suatu peradangan kronis yang terjadi
pada usus besar (kolon) dan rektum. Pada penyakit ini, terdapat
tukak atau luka di dinding usus besar, sehingga menyebabkan
tinja bercampur dengan darah. Kolitis ulseratif dapat terjadi
pada siapa pun, tetapi lebih sering menyerang mereka yang
berusia di bawah 30 tahun.
2. Anatomi Colon (Usus Besar)
Intestinum crassum (usus besar) terdiri dari caecum, appendix
vermiformiis, colon , rectum dan canalis analis. Caecum adalah bagian
pertama intestinum crassum dan beralih menjadi colon ascendens
(Moore, 2002). Panjang dan lebarnya kurang lebih 6 cm dan 7,5 cm.
Caecum terletak pada fossa iliaca kanan di atas setengah bagian
lateralis ligamentum inguinale (Widjaja, 2009).
Appendix Vermiformis berupa pipa buntu yang berbentuk cacing dan
berhubungan dengan caecum di sebelah kaudal peralihan ileosekal
(Moore, 2002). Colon ascendens panjangnya kurang lebih 15 cm, dan
terbentang dari caecum sampai ke permukaan visceral dari lobus kanan
hepar untuk membelok ke kiri pada flexura coli dextra untuk beralih
menjadi colon transversum (Widjaja, 2009). Pendarahan colon
ascendens dan flexura coli dextra terjadi melalui arteri ileocolica dan
arteri colica dextra, cabang arteri mesenterica superior. Vena ileocolica
dan vena colica dextra, anak cabang mesenterika superior, mengalirkan
balik darah dari colon ascendens (Moore, 2002).
Colon transversum merupakan bagian usus besar yang paling besar
dan paling dapat bergerak bebas karena bergantung pada mesocolon,
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

yang ikut membentuk omentum majus. Panjangnya antara 45-50 cm


(Widjaja, 2009). Pendarahan colon transversum terutama terjadi
melalui arteria colica media, cabang arteria mesenterica superior, tetapi
memperoleh juga darah melalui arteri colica dextra dan arteri colica
sinistra. Penyaluran balik darah dari colon transversum terjadi melalui
vena mesenterica superior (Moore, 2002).
Colon descendens panjangnya kurang lebih 25 cm (Widjaja, 2009).
Colon descendens melintas retroperitoneal dari flexura coli sinistra ke
fossa iliaca sinistra dan disini beralih menjadi colon sigmoideum
(Moore, 2002). Colon sigmoideum disebut juga colon pelvinum
(Moore, 1992).
Panjangnya kurang lebih 40 cm dan berbentuk lengkungan huruf S.
(Widjaja, 2009). Rectum adalah bagian akhir intestinum crassum yang
terfiksasi. Ke arah kaudal rectum beralih menjadi canalis analis
(Moore, 2002). Anatomi Colon dapat dilihat pada gambar 2.1

Gambar 2.1 Anatomi Colon

3. Fisiologi Colon (Usus Besar)


Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk
membentuk feses yang padat dan penimbunan bahan feses sampai
dapat dikeluarkan (Guyton, 2008), kolon mengubah 1000-2000mL
kimus isotonik yang masuk setiap hari dari ileum menjadi tinja
semipadat dengan volume sekitar 200-250mL (Ganong, 2008). 10
Sebagian besar absorpsi dalam usus besar terjadi pada pertengahan
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

proksimal kolon, sehingga bagian ini dinamakan kolon pengabsorpsi,


sedangkan kolon bagian distal pada prinsipnya berfungsi sebagai
tempat penyimpanan feses sampai waktu yang tepat untuk ekskresi
feses dan oleh karena itu disebut kolon penyimpanan. Banyak bakteri,
khususnya basil kolon, bahkan terdapat secara normal pada kolon
pengabsorpsi. Bakteri-bakteri ini mampu mencernakan sejumlah kecil
selulosa, dengan cara ini menyediakan beberapa kalori nutrisi
tambahan untuk tubuh (Guyton, 2008).
B. Gejala

Gejala kolitis ulseratif bisa berbeda pada tiap penderita. Perbedaan ini
muncul berdasarkan tingkat keparahan serta lokasi peradangan yang
dialami oleh pasien. Berikut adalah beberapa gejala yang umum terjadi
pada kolitis ulseratif:

 Diare yang disertai darah, lendir, atau nanah.


 Nyeri atau kram perut.
 Sering ingin buang air besar, tapi tinja cenderung tidak bisa keluar.
 Kelelahan.
 Nyeri pada rektum.
 Penurunan berat badan.
 Demam.

Penderita juga terkadang tidak merasakan gejala apa pun atau hanya
mengalami gejala-gejala ringan selama beberapa waktu, sebelum tiba-tiba
mengalami serangan yang parah. Serangan ini umumnya diawali keluhan
buang air besar lebih dari 6 kali dalam sehari, detak jantung yang tidak
teratur, serta napas cepat.

Segera periksakan diri ke dokter jika mengalami gejala-gejala kolitis


ulseratif. Terutama serangan yang parah dan terjadi secara tiba-tiba karena
kondisi ini membutuhkan penanganan darurat di rumah sakit.

C. Faktor Penyebab Penyakit


PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

Penyebab colitis ulseratif tetap tidak diketahui, gambaran tertentu dari


penyakit ini telah menunjukkan beberapa kemungkinan penting. Hal ini
meliputi faktor familial atau genetik, infeksi, imunologik dan psikologik.

1. Faktor familial/genetik

Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih daripada
orang kulit hitam dan orang Cina. Hal ini menunjukkan bahwa ada
predisposisi genetik terhadap perkembangan penyakit ini.

2. Faktor infeksi

Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian


terus-menerus untuk kemungkinan penyebab infeksi. Di samping
banyak usaha menemukan agen bakteri, jamur, atau virus, belum ada
yang sedemikian diisolasi. Laporan awal isolate varian dinding sel
Pseudomonas atau agem yang ditularkan yang menghasilkan efek
sitopatik pada kultur jaringan masih dikonfirmasi.

3. Faktor imunologik

Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada konsep


bahwa manifestasi ekstraintestinal yang dapat menyertai kelainan ini
(misalnya arthritis, perikolangitis) dapat mewakili fenomena autoimun
dan bahwa zat terapeutik tersebut, seperti glukokortikoid atau
azatioprin, dapat menunjukkan efek mereka melalui mekanisme
imunosupresif.
Pada 60-70% pasien dengan colitis ulseratif, ditemukan adanya p-
ANCA (perinuclear anti-neutrophilic cytoplasmic antibodies).
Walaupun p-ANCA tidak terlibat dalam pathogenesis penyakit colitis
ulseraif, namun ia dikaitkan dengan alel HLA-DR2, dimana pasien
dengan p-ANCA negative lebih cenderung menjadi HLA-DR4 positif.
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

4. Faktor psikologik

Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah


ditekankan. Tidak lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau
berkembang, sehubungan dengan adanya stress psikologis mayor
misalnya kehilangan seorang anggota keluarganya. Telah dikatakan
bahwa pasien penyakit radang usus memiliki kepribadian yang khas
yang membuat mereka menjadi rentan terhadap stress emosi yang
sebaliknya dapat merangsang atau mengeksaserbasi gejalanya.

5. Faktor lingkungan

Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan penyakit colitis


ulseratif berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit colitis ulseratif
menurun secara signifikan pada pasien yang menjalani operasi
apendiktomi pada decade ke-3.

Beberapa penelitian sekarang menunjukkan penurunan risiko penyakit


colitis ulseratif di antara perokok dibandingkan dengan yang bukan
perokok. Analisis meta menunjukkan risiko penyakit colitis ulseratif pada
perokok sebanyak 40% dibandingkan dengan yang bukan perokok.

D. Pemeriksaan Penunjang
 PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Temuan laboratorium seringkali nonspesifik dan mencerminkan derajat
dan beratnya perdarahan dan inflamasi. Bisa terdapat anemia yang
mencerminkan penyakit kronik serta defisiensi besi akibat kehilangan
darah kronik. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dan peningkatan laju
endap darah seringkali terlihat pada pasien demam yang sakit berat.
Kelainan elektrolit, terutama hipokalemia, mencerminkan derajat diare.
Hipoalbuminemia umum terjadi dengan penyakit yang ekstensif dan
biasanya mewakili hilangnya protein lumen melalui mukosa yang ulserasi.
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

Peningkatan kadar alkali fosfatase dapat menunjukkan penyakit


hepatobiliaris yang berhubungan.
Pemeriksaan kultur feses (pathogen usus dan bila diperlukan,
Escherichiacoli (O157:H7), ova, parasit dan toksin Clostridium difficile
negative.
Pemeriksaan antibody p-ANCA dan ASCA (antibody Saccharomyces
cerevisae mannan) berguna untuk membedakan penyakit colitis ulseratif
dengan penyakit Crohn (Ariestine, 2008).

 PEMERIKSAAN RADIOLOGI

a. Foto polos abdomen


Pada foto polos abdomen umumnya perhatian kita cenderung
terfokus pada kolon. Tetapi kelainan lain yang sering menyertai
penyakit ini adalah batu ginjal, sakroilitis, spondilitis ankilosing
dan nekrosis avaskular kaput femur. Gambaran kolon sendiri
terlihat memendek dan struktur haustra menghilang. Sisa feses
pada daerah inflamasi tidak ada, sehingga, apabila seluruh kolon
terkena maka materi feses tidak akan terlihat di dalam abdomen
yang disebut dengan empty abdomen. Kadangkala usus dapat
mengalami dilatasi yang berat (toxic megacolon) yang sering
menyebabkan kematian apabila tidak dilakukan tindakan
emergensi. Apabila terjadi perforasi usus maka dengan foto polos
dapat dideteksi adanya pneumoperitoneum, terutama pada foto
abdomen posisi tegak atau left lateral decubitus (LLD) maupun
pada foto toraks tegak.
Foto polos abdomen juga merupakan pemeriksaan awal untuk
melakukan pemeriksaan barium enema. Apabila pada pemeriksaan
foto polos abdomen ditemukan tanda-tanda perforasi maka
pemeriksaan barium enema merupakan kontra indikasi.
Proyeksi LLD
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

- Posisi pasien : Pasien tidur miring pada sisi kiri dengan


siku dan lengan fleksi, sehingga tangan dapat diletakkan di
dekat kepala, kedua lutut fleksi.
- Posisi objek : Diposisikan secara tranversal
pada Ventrical Bucky atau bila tidak punya, menggunakan
grid dan kaset yang dipasang secara vertical di belakang
dengan bagian atas kaset cukup untuk menunjukkan bagian
atas dari Right Lateral Abdominal dan dinding Thoracic.
- CP : 2inchi diatas cristailiaka
- CR : Horizontal tegak lurus kaset
- FFD : 102cm
- Kaset : 35x43cm
b. Barium enema
Barium enema merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan
apabila ada kelainan pada kolon. Sebelum dilakukan pemeriksaan
barium enema maka persiapan saluran cerna merupakan
pendahuluan yang sangat penting. Persiapan dilakukan selama 2
hari berturut-tururt dengan memakan makanan rendah serat atau
rendah residu, tetapi minum air putih yang banyak. Apabila
diperlukan maka dapat diberikan laksatif peroral.
Pemeriksaan barium enema dapat dilakuka dengan teknik kontras
tunggal (single contrast) maupun dengan kontras ganda (double
contrast) yaitu barium sulfat dan udara. Teknik double contrast
sangat baik untuk menilai mukosa kolon dibandingkan dengan
teknik single contrast, walaupun prosedur pelaksanaan teknik
double contrast cukup sulit. Barium enema juga merupakan
kelengkapan pemeriksaan endoskopi atas dugaan pasien dengan
colitis ulseratif
Gambaran foto barium enema pada kasus dengan colitis ulseratif
adalah mukosa kolon yang granuler dan menghilangnya kontur
haustra serta kolon ttampak menjadi kaku seperti tabung.
Perubahan mukosa terjadi secara difus dan simetris pada seluruh
kolon. Lumen kolon menjadi lebih sempit akibat spasme. Dapat
ditemukan keterlibatan seluruh kolon. Tetapi apabila ditemukan
lesi yang segmental maka rectum dan kolon kiri (desendens) selalu
terlibat, karena awalnya colitis ulseratif ini mulai terjadi di rectum
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

dan menyebar kea rah proksimal secara kontinu. Jadi rectum selalu
terlibat, walaupun rectum dapat mengalami inflamasi lebih ringan
dari bagian proksimalnya.
Pada keadaan dimana terjadi pan-ulseratif colitis kronis maka
perubahan juga dapat terjadi di ileum terminal. Mukosa ileum
terminal menjadi granuler difus dan dilatasi, sekum berbentuk
kerucut (cone-shaped caecum) dan katup ileosekal terbuka
sehingga terjadi refluks, yang disebut backwash ileitis. Pada kasus
kronis, terbentuk ulkus yang khas yaitu collar-button ulcers. Pasien
dengan colitis ulseratif juga menanggung resiko tinggi menjadi
adenokarsinoma kolon.
c. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ultrasonografi sampai saat ini belum merupakan
modalitas pemeriksaan yang diminati untuk kasus-kasus IBD.
Kecuali merupakan pemeriksaan alternatif untuk evaluasi keadaan
intralumen dan ekstralumen.
Sebelum dilakukan pemeriksaan USG sebaiknya pasien
dipersiapkan saluran cernanya dengan menyarankan pasien untuk
makan makanan rendah residu dan banyak minum air putih.
Persiapan dilakukan selama 24 jam sebelum pemeriksaan. Sesaat
sebelum pemeriksaan sebaiknya kolon diisi dulu dengan air.
Pada pemeriksaan USG, kasus dengan colitis ulseratif didapatkan
penebalan dinding usus yang simetris dengan kandungan lumen
kolon yang berkurang. Mukosa kolon yang terlibat tampak
menebal dan berstruktur hipoekhoik akibat dari edema. Usus
menjadi kaku, berkurangnya gerakan peristalsis dan hilangnya
haustra kolon. Dapat ditemukan target sign atau pseudo-kidney
sign pada potongn transversal atau cross-sectional. Dengan USG
Doppler, pada colitis ulseratif selain dapat dievaluasi penebalan
dindng usus dapat pula dilihat adanya hypervascular pada dinding
usus tersebut.
d. CT Scan dan MRI
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

Kelebihan CT Scan dan MRI, yaitu dapat mengevaluasi langsung


keadaan intralumen dan ekstralumen. Serta mengevaluasi sampai
sejauh mana komlikasi ekstralumen kolon yang telah terjadi.
Sedangkan kelebihan MRI terhadap CT Scan adalah mengevaluasi
jaringan lunak karena terdapat perbedaan intensitas (kontras) yang
cukup tinggi antara jaringan lunak satu dengan yang lain.
Gambaran CT Scan pada colitis ulseratif, terlihat dinding usus
menebal secara simetris dan kalau terpotong secara cross-sectional
maka terlihat gambaran target sign. Komplikasi di luar usus dapat
terdeteksi dengan baik, seperti adanya abses atau fistula atau
keadaan abnormalitas yang melibatkan mesenterium. MRI dapat
dengan jelas memperlihatkan fistula dan sinus tract-nya (Ariestine,
2008).

 PEMERIKSAAN ENDOSKOPI

Pada dasarnya colitis ulseratif merupakan penyakit yang melibatkan


mukosa kolon secara difus dan kontinu, dimulai dari rectum dan menyebar
progresif ke proksimal. Data dari beberapa rumah sakit di Jakarta
didapatkan bahwa lokalisasi colitis ulseratif adalah 80% pada rectum dan
rektosigmoid, 12% kolon sebelah kiri (left side colitis), dan 8% melibatkan
seluruh kolon (pan-kolitis).
Pada colitis ulseratif, ditemukan hilangnya vaskularitas mukosa, eritema
difus, kerapuhan mukosa, dan seringkali eksudat yang terdiri atas mucus,
darah dan nanah. Kerapuhan mukosa dan keterlibatan yang seragam
adalah karakteristik. Sekali mukosa yang sakit ditemukan (biasanya di
rectum), tidak ada daerah mukosa normal yang menyela sebelum batas
proksimal penyakit dicapai. Ulserasi landai, bisa kecil atau konfluen
namun selalu terjadi pada segmen dengan colitis aktif. Pemeriksaan
kolonoskopik penuh dari kolon pada colitis ulseratif tidak diindikasikan
pada pasien yang sakit akut. Biposi rectal bisa memastikan radang
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

mukosa. Pada penyakit yang lebih kronik, mukosa bisa menunjukkan


penampilan granuler dan bisa terdapat pseudopolip (Ariestine, 2008).

E. Pengobatan

Tujuan pengobatan yang dilakukan adalah untuk meringankan gejala,


khususnya saat serangan terjadi. Penanganan penyakit ini juga berfungsi
untuk mencegah kambuhnya gejala. Langkah-langkah penanganan tersebut
biasanya meliputi:

 Obat antiinflamasi

Obat antiinflamasi berfungsi untuk mengurangi peradangan. Contoh


obatnya adalah aminosalicylate dan kortikosteroid.

 Imunosupresan

Obat ini akan menekan respons sistem kekebalan tubuh yang memicu
peradangan. Beberapa jenis imunosupresan yang biasanya dianjurkan
meliputi azathioprine, ciclosporin,dan infliximab.

 Operasi

Tindakan operasi umumnya dianjurkan bagi pasien yang sering


mengalami serangan parah yang tidak bisa ditangani dengan obat-
obatan. Jenis prosedur yang akan dilakukan
adalah proctocolectomy, yaitu pengangkatan seluruh usus besar dan
rektum. Dokter juga akan menyambung ujung usus halus dengan anus
untuk menyalurkan kotoran. Jika tidak memungkinkan, akan dibuat
lubang permanen pada perut untuk mengeluarkan kotoran secara
langsung ke dalam kantong kecil di luar tubuh.

Di samping penanganan secara medis, penderita kolitis ulseratif juga


sebaiknya mengubah gaya hidup untuk mencegah kekambuhan atau
memburuknya gejala. Beberapa langkah sederhana yang mungkin
bermanfaat adalah:
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

 Mengubah pola makan, misalnya mengonsumsi makanan rendah


lemak, memperbanyak asupan cairan dan serat, mengonsumsi
suplemen, membatasi konsumsi produk susu, dan menghindari
minuman keras dan rokok. Jangan lupa untuk mencatat makanan atau
minuman apa saja yang mungkin memperparah gejala, agar dapat
dihindari di kemudian hari.
 Mengurangi stress, misalnya dengan berolahraga ringan atau
melakukan kegiatan relaksasi. Olahraga teratur juga bisa membantu
penderita untuk mempertahankan berat badan yang ideal.

F. Diet Cukup Serat


Inflamasi colitis ulseratif utamanya mengenai mukosa, dan
meningkatkan pengeluaran mediator sel mast intestinal (Fogel, 2005).
Berdasarkan Crohn’s and Colitis Foundation of America, diet
bukan merupakan faktor utama dalam proses inflamasi. Namun beberapa
makanan spesifik, dapat mempengaruhi gejala dari colitis ulseratif dan ikut
berperan dalam proses inflamasi (WebMD, 2012).
Penatalaksanaan diet pada colitis ulseratif, serat yang insoluble
(tinggi serat) tidak baik untuk pasien, contohnya : kubis, brokoli, jagung
manis, kulit buah seperti apel dan anggur), karena jenis serat ini melewati
seluruh traktus digestivus tanpa dicerna, dan dapat menempel pada dinding
colon ketika inflamasi, semakin mengiritasi kolon dan memperparah
colitis. Serat yang soluble sangat baik untuk pasien karena akan dicerna
dalam kolon, menghasilkan feses yang lunak dan pergerakan usus yang
bagus, tidak menempel pada dinding usus dan tidak menyebabkan
inflamasi. Contoh serat yang soluble adalah buah-buahan dan sayur-
sayuran yang sudah dikupas, bubur, dan nasi putih (Collitis UK, 2011).
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

BAB III
KESIMPULAN
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai