Pembimbing :
Disusun Oleh :
030.14.163
030.14.163
Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepanitiaan Klinik ilmu THT
Pembimbing I Pembimbing II
dr. M. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL dr. Aditya Arifianto, Sp. THT-KL
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya serta hidayah-Nya
sehingga penulis mampu menyelesaikan referat ini yang berjudul “Abses Leher Dalam”.
Penulisan referat ini merupakan salah satu persyaratan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan
Klinik Departemen Ilmu Telinga Hidung Tenggorok Studi Pendidikan Dokter Universitas
Penulis menyadari dalam penyusunan referat ini tidak luput dari bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini penulis memberikan rasa hormat
dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
1. dr. Aditya Arifianto, Sp. THT-KL dan dr. M. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL selaku
pembimbing yang telah memberi masukan dan saran dalam penyusunan referat.
3. Serta pihak-pihak lain yang bersedia meluangkan waktunya untuk membantu penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penyempurnaan referat ini banyak sekali yang
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat
Akhir kata, penulis berharap referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
3
DAFTAR ISI
4
2.6.3 Gejala dan tanda..........................................................................................................................31
2.6.4 Diagnosis......................................................................................................................................32
2.6.5 Terapi ..........................................................................................................................................33
2.6.6 Komplikasi....................................................................................................................................34
2.6.7 Prognosis.....................................................................................................................................34
BAB III KESIMPULAN.............................................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................39
5
BAB I
PENDAHULUAN
Abses leher dalam (ALD) adalah suatu pembengkakan pada leher dikarenakan
penumpukan cairan/nanah (pus) di dalam ruang potensial di antara fascia leher dalam,
disebabkan penjalaran dari berbagai sumber infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus
paranasal, telinga dan leher.
Insiden dari abses leher dalam lebih tinggi pada era pre antibiotika namun tetap
menjadi masalah yang penting di negara dunia ketiga yang menimbulkan morbiditas dan
mortalitas. Pada era pre antibiotika, 70% berasal dari penyebaran infeksi dari faring dan
tonsil sedangkan saat ini lebih banyak disebabkan oleh infeksi gigi.
Berdasarkan penelitian Shih dkk pada tahun 2008 melaporkan bahwa rasio laki-laki
dan perempuan yang terkena abses leher dalam adalah 3:2 dengan umur rata-rata 49,2 tahun
dan abses submandibula sebagai kejadian terbanyak. Penyebab terbanyak adalah infeksi
orofaring diikuti dengan infeksi gigi. Sedangkan penelitian oleh Abshirini dkk pada tahun
2009 menemukan 53,74% laki-laki dan 44,21% perempuan. Abses submandibula adalah
kejadian terbanyak dan penyebab terbanyak adalah infeksi gigi.
Abses leher dalam dapat menimbulkan komplikasi serius yang berakibat fatal seperti
obstruksi jalan nafas, pneumonia, abses paru, mediastinitis, perikarditis dan trombosis vena
jugularis interna.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fascia servikal. Fascia servikal
dibagi menjadi dua yaitu fascia servikalis superfisial dan profunda. Fascia servikalis
superfisial terletak di bawah dermis dan terdiri dari jaringan fibroadiposa. Fascia ini
membungkus saraf sensoris, pembuluh darah superfisialis, kelenjar limfe, muskulus platisma
dan otot mimik.
Fascia servikalis profunda terdiri dari jaringan ikat fibrus dan dibagi menjadi tiga
lapisan yaitu lapisan superfisial, media dan profunda. Lapisan superfisial fascia profunda
disebut juga investing layer. Rule of two dari lapisan superfisial ini adalah membungkus dua
otot yang terletak diatas tulang hyoid yaitu muskulus masseter dan venter anterior muskulus
digastrikus; dua otot leher yaitu muskulus trapezius dan muskulus sternokleidomastoideus;
dua kelenjar ludah yaitu kelenjar parotis dan submandibula; dua ruang yaitu ruang parotis dan
mastikator.
Lapisan media fascia profunda yang disebut juga fascia servikal terdiri dari divisi
muskular dan viscera. Divisi muskular membungkus muskulus sternohyoid, muskulus
sternotiroid, muskulus tirohyoid dan muskulus omohyoid. Divisi viscera mengelilingi
kelenjar paratiroid, kelenjar tiroid, esofagus, laring, muskulus konstriktor faring dan
muskulus buccinator.
Lapisan profunda fascia profunda disebut juga fascia prevertebra, terdiri dari divisi
alar dan prevertebra. Divisi alar terletak diantara fasia bukofaringeal di anterior dan divisi
prevertebra di posterior. Divisi alar merupakan dinding anterior dari ruang bahaya atau
danger space. Fascia ini meluas dari basis kranii sampai vertebra torakal kedua. Divisi
prevertebra terletak di depan kolumna vertebrae dan meluas ke lateral melewati otot
prevertebra dan kemudian berfusi dengan prosesus transversus dan ligamen penyertanya.
Fascia ini merupakan dinding anterior dari ruang prevertebra dan dinding posterior dari
danger space.
Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang meliputi keseluruhan panjang
leher, ruang suprahioid dan infrahioid. Ruang yang melibatkan sepanjang leher terdiri dari
7
ruang retrofaring, danger space, ruang prevertebra dan ruang karotis. Ruang retrofaring
meluas dari basis kranii hingga bifurkasio trakea pada mediastinum superior.
Ruang prevertebra meluas dari basis kranii hingga os coccygeus, berbatasan dengan
danger space di anterior, tulang vertebra di posterior dan prosesus transversus di lateral.
Ruang karotis atau disebut juga ruang visceral vaskular merupakan ruang potensial di dalam
selubung karotis. Di dalam ruang ini terdapat arteri karotis, vena jugularis interna, nervus
vagus dan pleksus simpatikus.Ruang suprahioid terdiri dari ruang submandibula, parafaring,
parotis, mastikator, peritonsil dan temporal.
Ruang submandibula terletak diantara mukosa dasar mulut dan fascia profunda
lapisan superfisial pada bagian bawah. Ruang ini dibatasi oleh os hyoid di posteroinferior,
mandibula di anterior dan lateral serta dasar lidah di posterior. Ruang ini dibagi secara tidak
komplit oleh muskulus milohyoid menjadi ruang sublingual pada bagian atas dan ruang
submandibula dan submental di bagian bawah.
Di dalam ruang parotis terdapat kelenjar parotis, pembuluh limfe, arteri karotis
eksterna, arteri temporalis superfisialis, vena fasialis posterior, nervus fasialis dan nervus
aurikulotemporalis. Lapisan superfisial fascia profunda berpisah di sekitar mandibula untuk
membentuk ruang mastikator. Di ruang ini terdapat muskulus masseter, muskulus
pterigoideus medial dan lateral, ramus dan korpus mandibula, tendon temporalis. Ruang
mastikator terdiri dari ruang masseter dan ruang pterigoid.
Ruang masseter terletak diantara ramus mandibula dan muskulus masseter sedangkan
ruang pterigoid terletak diantara ramus mandibula dan muskulus pterigoideus. Ruang ini
8
terletak di anterior dan lateral ruang parafaring dan inferior ruang temporal. Ruang peritonsil
terletak lateral dari kapsul tonsil dan medial dari muskulus konstriktor superior. Arkus
palatoglosus dan palatofaring membentuk batas anterior dan posterior ruang ini. Pada bagian
inferior dibatasi oleh 1/3 bagian posterior lidah.
Ruang temporal terletak diantara fascia temporalis pada bagian lateral dan periosteum
bagian skuamosa os temporal pada bagian medial. Muskulus temporalis memisahkan ruang
ini menjadi ruang superfisial dan profunda. Ruang infrahioid terdiri dari ruang viseral
anterior dan suprasternal. Ruang viseral anterior atau disebut juga ruang pretrakeal terletak
pada leher anterior dari kartilago tiroid kearah bawah sampai mediastinum superior setinggi
vertebrae.
Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring yang dibatasi oleh :
- anterior : fasia bukkofaringeal ( divisi viscera lapisan media fasia servikalis profunda )
yang mengelilingi faring, trakea, esofagus dan tiroid
- posterior : divisi alar lapisan profunda fasia servikalis profunda
- lateral : selubung karotis ( carotid sheath ) dan daerah parafaring.
Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum setinggi
bifurkasio trakea ( vertebra torakal I atau II ) dimana divisi viscera dan alar bersatu.
Daerah retrofaring terbagi menjadi 2 daerah yang terpisah di bagian lateral oleh
midline raphe . Tiap – tiap bagian mengandung 2 – 5 buah kelenjar limfe retrofaring yang
biasanya menghilang setelah berumur 4 – 5 tahun. Kelenjar ini menampung aliran limfe
dari rongga hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustakius dan telinga tengah.
Daerah ini disebut juga dengan ruang retroviscera, retroesofagus dan ruang viscera
posterior.
Selain itu juga dijumpai daerah potensial lainnya di leher yaitu :
- danger space : dibatasi oleh divisi alar pada bagian anterior dan divisi prevertebra
pada bagian posterior ( tepat di belakang ruang retrofaring ).
- prevertebral space : dibatasi oleh divisi prevertebra pada bagian anterior dan korpus
vertebra pada bagian posterior ( tepat di belakang danger space Ruang
ini berjalan sepanjang kollumna vertebralis merupakan jalur
penyebaran infeksi leher dalam ke daerah koksigeus.
9
2.2.1 Epidemiologi
Abses retrofaring sering terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 6 tahun dengan puncak
insiden pada usia 3 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih
berisi kelenjar limfa, masing-masing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Pada usia di atas 6
tahun, kelenjar ini akan mengalami atrofi.
Penggunaan antibiotik secara luas telah menurunkan angka kejadian infeksi leher
dalam secara dramatis.
2.2.2 Etiologi
2. Kronis.
Biasanya terjadi pada orang dewasa atau anak-anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi
akibat infeksi tuberkulosis ( TBC ) pada vertebra servikalis dimana pus secara
langsung menyebar melalui ligamentum longitudinal anterior. Selain itu abses dapat
terjadi akibat infeksi TBC pada kelenjar limfe retrofaring yang menyebar dari
kelenjar limfe servikal.
Pada banyak kasus sering dijumpai adanya kuman aerob dan anaerob secara
bersamaan. Beberapa organisme yang dapat menyebabkan abses retrofaring adalah :
1. Kuman aerob : Streptococcus beta –hemolyticus group A ( paling sering ),
Streptococcus pneumoniae, Streptococcus non hemolyticus,
Staphylococcus aureus , Haemophilus sp
2. Kuman anaerob : Bacteroides sp, Veillonella, Peptostreptococcus,Fusobacteria
10
2.2.3 Gejala dan Tanda klinis
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atas. Gejala dan
tanda klinis yang sering dijumpai pada anak :
1. demam
2. sukar dan nyeri menelan
3. suara sengau
4. dinding posterior faring membengkak ( bulging ) dan hiperemis pada satu sisi.
5. pada palpasi teraba massa yang lunak, berfluktuasi dan nyeri tekan
6. pembesaran kelenjar limfe leher ( biasanya unilateral ).
Pada keadaan lanjut keadaan umum anak menjadi lebih buruk, dan bisa
dijumpai adanya :
7. kekakuan otot leher ( neck stiffness ) disertai nyeri pada pergerakan
8. air liur menetes ( drooling )
9. obstruksi saluran nafas seperti mengorok, stridor, dispnea
Gejala yang timbul pada orang dewasa ada umumnya tidak begitu berat
dibandingkan pada anak. Dari anamnesis biasanya didahului riwayat tertusuk benda
asing pada dinding posterior faring, pasca tindakan endoskopi atau adanya riwayat
batuk kronis. Gejala yang dapat dijumpai adalah :
1. demam
2. sukar dan nyeri menelan
3. rasa sakit di leher ( neck pain )
4. keterbatasan gerak leher
5. dispnea
pada bentuk kronis, perjalanan penyakit lambat dan tidak begitu khas, sampai terjadi
pembengkakan yang besar dan menyumbat hidung serta saluran nafas
11
6. Aneurisma arteri
7. Tonjolan korpus vertebra
2.2.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagian atas
atau trauma, gejala dan tanda klinik, serta pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan laboratorium
rutin sering menunjukkan hasil yang tidak spesifik seperti leukositosis dan tidak terlalu
bermanfaat dalam diagnosis abses retrofaring.
Pemeriksaan Rontgen jaringan lunak leher lateral merupakan investigasi lini pertama
pada anak yang stabil. Secara umum, diameter anteroposterior dari ruang retrofaring tidak
boleh melebihi korpus vertebra dibelakangnya. Pada abses retrofaring, dapat tampak pelebaran
ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari
14 mm pada anak dan 22 mm pada dewasa. Pelebaran ruang retrofaring menunjukkan adanya
massa. Pada radiografi juga dapat terlihat adanya air or fluid level yang menunjukkan infeksi
anaerob. Di samping itu, vertebra servikal juga mungkin melurus dengan berkurangnya
lordosis normal (Ram Rod Spine).
Gambar : Perbandingan radiografi lateral leher menunjukkan X-ray normal dan abses
retrofaring
Saat ini, CT Scan dengan kontras merupakan modalitas pencitraan terpilih dan akan
tampak lesi hipodens, “ring enhancement” atau “scalloping” dari dinding nodus limfoid. CT
Scan juga membantu dalam menandai batas lesi dan menentukan adanya keterlibatan vaskular
atau tidak.
12
MRI dapat memperlihatkan jaringan lunak lebih baik daripada CT Scan, akan tetapi
pemeriksaan ini biasanya tidak diperlukan dan jarang digunakan kecuali ada kemungkinan
penyebaran ke sistem saraf pusat.
Ultrasonografi telah dianjurkan oleh beberapa penulis sebagai alternatif CT Scan
dalam mengevaluasi abses retrofaring dan memantau progresinya. Modalitas ini, terutama
ketika dikombinasikan dengan color Doppler, bisa mendiagnosis infeksi pada stadium
nonsupuratif awal. Akan tetapi, USG tidak terlalu membantu untuk perencanaan operasi.
2.2.6 PENATALAKSANAAN
I . Mempertahankan jalan nafas yang adekuat :
- posisi pasien supine dengan leher ekstensi
- pemberian O2
- intubasi endotrakea dengan visualisasi langsung / intubasi fiber optik
- trakeostomi / krikotirotomi
II. Medikamentosa
1. Antibiotik ( parenteral )
Pemberian antibiotik secara parenteral sebaiknya diberikan secepatnya
tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik yang diberikan harus mencakup
terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positip dan gram negatif. Dahulu
diberikan kombinasi Penisilin G dan Metronidazole sebagai terapi utama, tetapi
sejak dijumpainya peningkatan kuman yang menghasilkan B – laktamase
kombinasi obat ini sudah banyak ditinggalkan. Pilihan utama adalah clindamycin
yang dapat diberikan tersendiri atau dikombinasikan dengan sefalosporin generasi
kedua ( seperti cefuroxime ) atau beta – lactamase – resistant penicillin seperti
ticarcillin / clavulanate, piperacillin / tazobactam, ampicillin / sulbactam.
Pemberian antibiotik biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari.
2. Simptomatis
3. Bila terdapat dehidrasi, diberikan cairan untuk memperbaiki keseimbangan
cairan elektrolit.
4. Pada infeksi Tuberkulosis diberikan obat tuberkulostatika.
III. Operatif :
13
a. Aspirasi pus ( needle aspiration )
b. Insisi dan drainase :
• Pendekatan intra oral ( transoral ) : untuk abses yang
kecil dan terlokalisir.
Pasien diletakkan pada “posisi Trendelenburg”, dimana leher dalam keadaan hiperekstensi
dan kepala lebih rendah dari bahu. Insisi vertikal dilakukan pada daerah yang paling
berfluktuasi dan selanjutnya pus yang keluar harus segera diisap dengan alat penghisap
untuk menghindari aspirasi pus. Lalu insisi diperlebar dengan forsep atau klem arteri
untuk memudahkan evakuasi pus.
• Pendekatan eksterna ( external approach ) baik secara
anterior atau posterior : untuk abses yang besar dan
meluas ke arah hipofaring. Pendekatan anterior dilakukan dengan membuat
insisi secara horizontal mengikuti garis kulit setingkat krikoid atau pertengahan antara tulang
hioid dan klavikula. Kulit dan subkutis dielevasi untuk memperluas pandangan sampai
terlihat m. sternokleidomastoideus. Dilakukan insisi pada batas anterior
m.sternokleidomastoideus. Dengan menggunakan klem arteri bengkok,
m.sternokleidomastoideus dan selubung karotis disisihkan ke arah lateral. Setelah abses
terpapar dengan cunam.tumpul abses dibuka dan pus dikeluarkan. Bila diperlukan insisi
dapat diperluas dan selanjutnya dipasang drain ( Penrose drain ). Pendekatan posterior
dibuat dengan melakukan insisi pada batas posterior m. sternokleidomastoideus. Kepala
diputar ke arah yang berlawanan dari abses. Selanjutnya fasia dibelakang m.
sternokleidomastoideus diatas abses dipisahkan. Dengan diseksi tumpul pus dikeluarkan
dari belakang selubung karotis.
2.2.7 Komplikasi
Komplikasi abses retrofaring dapat terjadi akibat :
1. Massa itu sendiri : obstruksi jalan nafas
2. Ruptur abses : asfiksia, aspirasi pneumoni, abses paru
3. Penyebaran infeksi ke daerah sekitarnya :
a. inferior : edema laring , mediastinitis, pleuritis, empiema,
abses mediastinum
b. lateral : trombosis vena jugularis, ruptur arteri karotis, abses
parafaring
14
c. posterior : osteomielitis dan erosi kollumna spinalis
4. Infeksi itu sendiri : necrotizing fasciitis, sepsis dan kematian.
2.2.8 PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis abses retrofaring baik apabila dapat didiagnosis secara dini
dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak terjadi. Pada fase awal dimana abses
masih kecil maka tindakan insisi dan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat
menghasilkan penyembuhan yang sempurna. Apabila telah terjadi mediastinitis, angka
mortalitas mencapai 40 - 50% walaupun dengan pemberian antibiotik. Ruptur arteri karotis
mempunyai angka mortalitas 20 – 40% sedangkan trombosis vena jugularis mempunyai
angka mortalitas 60%.
2.3.1 Abses submandibula di defenisikan sebagai terbentuknya abses pada ruang potensial di
regio submandibula yang disertai dengan nyeri tenggorok, demam dan terbatasnya gerakan
membuka mulut.
15
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang
sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid. Ruang submaksila
selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot
digastrikus anterior.
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke dalam ruang
submandibula dan membagi ruang submandibula atas ruang submental dan ruang submaksila
saja. Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya sebagai
kelanjutan infeksi dari daerah kepala dan leher.
Ruang submandibula merupakan daerah yang paling sering terlibat penyebaran infeksi
dari gigi. Penyebab lain adalah infeksi kelenjar ludah, infeksi saluran nafas atas, trauma, benda
asing, dan 20% tidak diketahui fokus infeksinya.
2.3.2 Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjer liur atau kelenjer limfa
submandibula. Mungkin juga sebagai kelanjutan dari infeksi ruang leher dalam lain. kuman
penyebab biasanya campuran kuman aerob dan anaaerob.
Pada abses submandibula didapatkan pembengkakan di bawah dagu atau di bawah lidah baik
unilateral atau bilateral, disertai rasa demam, nyeri tenggorok dan trismus. Mungkin didapatkan
riwayat infeksi atau cabut gigi. Pembengkakan dapat berfluktuasi atau tidak.
2.3.4 Diagnosis
Diagnosis abses leher dalam ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada beberapa kasus kadang-kadang sulit untuk
menentukan lokasi abses terutama jika melibatkan beberapa daerah leher dalam dan jika pasien
sudah mendapatkan pengobatan sebelumnya.
Pemeriksaan penunjang sangat berperan dalam menegakkan diagnosis. Pada foto polos
jaringan lunak leher anteroposterior dan lateral didapatkan gambaran pembengkakan jaringan
lunak, cairan di dalam jaringan lunak, udara di subkutis dan pendorongan trakea. Pada foto
16
polos toraks, jika sudah terdapat komplikasi dapat dijumpai gambaran pneumotoraks dan juga
dapat ditemukan gambaran pneumomediastinum.
Jika hasil pemeriksaan foto polos jaringan lunak menunjukkan kecurigaan abses leher
dalam, maka pemeriksaan tomografi komputer idealnya dilakukan. Tomografi Komputer (TK)
dengan kontras merupakan standar untuk evaluasi infeksi leher dalam. Pemeriksaan ini dapat
membedakan antara selulitis dengan abses, menentukan lokasi dan perluasan abses. Pada
gambaran TK dengan kontras akan terlihat abses berupa daerah hipodens yang berkapsul, dapat
disertai udara di dalamnya, dan edema jaringan sekitar. TK dapat menentukan waktu dan perlu
tidaknya operasi.
Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan pencitraan resonansi magnetik
(Magneticresonance Imaging / MRI) yang dapat mengetahui lokasi abses, perluasan dan
sumber infeksi. Sedangkan Ultrasonografi (USG) adalah pemeriksaan penunjang diagnostik
yang tidak invasif dan relatif lebih murah dibandingkan TK, cepat dan dapat menilai lokasi dan
perluasan abses.
Foto panoramik digunakan untuk menilai posisi gigi dan adanya abses pada gigi.
Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada kasus abses leher dalam yang diduga sumber
infeksinya berasal dari gigi.
Pemeriksaan darah rutin dapat melihat adanya peningkatan leukosit yang merupakan
tanda infeksi. Analisis gas darah dapat menilai adanya sumbatan jalan nafas. Pemeriksaan
kultur dan resistensi kuman harus dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan antibiotik yang
sesuai.
2.3.5 Terapi
Antibiotik dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara parenteral.
Hal yang paling penting adalah terjaganya saluran nafas yang adekuat dan drainase abses yang
baik.
Seharusnya pemberian antibiotik berdasarkan hasil biakan kuman dan tes kepekaan
terhadap bakteri penyebab infeksi, tetapi hasil biakan membutuhkan waktu yang lama untuk
mendapatkan hasilnya, sedangkan pengobatan harus segera diberikan. Sebelum hasil
mikrobiologi ada, diberikan antibiotik kuman aerob dan anaerob.
Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anastesi lokal untuk abses yang dangkal dan
terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada
tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hyoid, tergantung letak dan luas abses.
17
Eksplorasi dilakukan secara tumpul sampai mencapai ruang sublingual, kemudian dipasang
salir. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.
Adanya trismus menyulitkan untuk masuknya pipa endotrakea peroral. Pada kasus
demikian diperlukan tindakan trakeostomi dalam anastesi lokal. Jika terdapat fasilitas
bronkoskop fleksibel, intubasi pipa endotrakea dapat dilakukan secara intranasal.
2.3.6 Komplikasi
Komplikasi terjadi karena keterlambatan diagnosis, terapi yang tidak tepat dan tidak
adekuat. Komplikasi diperberat jika disertai dengan penyakit diabetes mellitus, adanya
kelainan hati dan ginjal dan kehamilan. Komplikasi yang berat dapat menyebabkan kematian.
Infeksi dapat menjalar ke ruang leher dalam lainnya, dapat mengenai struktur
neurovaskular seperti arteri karotis, vena jugularis interna dan n. X. Penjalaran infeksi ke
daerah selubung karotis dapat menimbulkan erosi sarung karotis atau menyebabkan
trombosis vena jugularis interna. Infeksi yang meluas ke tulang dapat menimbulkan
osteomielitis mandibula dan vertebra servikal. Dapat juga terjadi obstruksi saluran nafas atas,
mediastinitis, dehidrasi dan sepsis.
2.3.7 Prognosis
Pada umumnya prognosis abses submandibula baik apabila dapat didiagnosis secara
dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak terjadi. Pada fase awal dimana abses
masih kecil maka tindakan insisi dan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat
menghasilkan penyembuhan yang sempurna.
2. 4 ABSES PERITONSILAR
2.4.1 Definisi2
Tonsil palatina adalah sepasang organ limfoid yang terletak di antara lipatan
palatoglosal (pilar anterior) dan lipatan palatofaringeus (pilar posterior) disebut fosa tonsilaris
18
. Dikelilingi oleh kapsul tipis yang memisahkan tonsil dari otot konstriktor faringeus superior
dan otot konstriktor faringeus bagian tengah.
Pilar anterior dan posterior membentuk bagian depan dan belakang ruangan peritonsil.
Bagian atas ruangan ini berhubungan dengan torus tubarius, di bagian bawah dibatasi oleh
sinus piriforis. Ruangan peritonsil diisi oleh jairngan ikat longgar, infeksi yang berta dapat
dengan cepat membentuk pus. Inflamasi dan proses supuratif dapat meluas dan mengenai
palatum mole, dinding lateral faring, dan jarang sekali ke basis lidah. Faring dibagi menjadi
nasofaring, orofaring, dan laringofaring.
Nasofaring merupakan bagian dari faring yang terletak di atas palatum mole,
orofaring yaitu bagian yang terletak di antara palatum molle dan tulang hyoid, sedangkan
laringofaring bagian dari faring yang meluas dari tulang hyoid sampai ke batas bawah
kartilago krikoid. Orofaring terbuka ke rongga mulut pada pilar anterior faring. Palatum mole
(vellum palati) terdiri atas serat otot yang ditunjang oleh jaringan fibrosa yang dilapisi oleh
mukosa. Penonjolan di median membaginya menjadi dua bagian. Bentuk seperti kerucut yang
terletak di sentral disebut uvula.
Plika triangularis (tonsilaris) merupakan lipatan mukosa yang tipis, yang menutupi
pilar anterior dan sebagian permukaan anterior tonsil. Plika semilunaris (supratonsil) adalah
lipatan sebelah atas dari mukosa yang memersatukan kedua pilar. Fosa supratonsil
merupakan celah yang ukurannya bervariasi yang terletak di atas tonsil di antara pilar anterior
dan posterior. Tonsil terdiri dari sejumlah penonjolan yang bulat atau melingkar seperti kripta
yang mengandung jaringan limfoid, dan di sekelilingnya terdapat jaringan ikat. Di tengah
kripta terdapat muara kelenjar mukus Tonsil dan adenoid merupakan bagian terpenting cincin
waldeyer.
2.4.2 Epidemiologi
Abses peritonsil kira-kira 30% dari abses leher dalam.sekalipun sudah di era
antibiotika, abses peritonsil masih sering ditemukan dengan jumlah yang menurun menjadi
18% Laksana dan Komplikasi Abses Peritonsil karakteristik abses peritonsil berubah,
dikatakan penyakit ini lebih lama dan lebih buruk, dan faktor merokok mungkin merupakan
faktor predisposisi. Abses peritonsil adalah kumpulan pus di dalam ruangan antara tonsil dan
otot m. konstriktor superior. Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun
paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada
mereka yang menurun sistem immunnya, tetapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan
19
napas yang signifikan pada anak-anak. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau
percobaan penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi untuk
berkembangnya abses peritonsil.
2.4.3 Etiologi
Abses peritonsil disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang
anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsil adalah
Streptococcus pyogene (Group A betahemolitic streptococcus) sedangkan organisme anaerob
yang berperan adalah fusobacterium.
2.4.5 Patofisologi
Abses peritonsil biasanya terjadi sebagai akibat komplikasi tonsillitis akut, walaupun
dapat terjadi tanpa infeksi tonsil sebelumnya. Infeksi memasuki kapsul tonsil sehingga terjadi
peritonsilitis dan kemudian terjadi pembentukan nanah. Daerah superior dan lateral fosa
tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang
potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole
membengkak.
Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium
permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis.
Bila proses tersebut berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak dan
berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil ke tengah,
depan, bawah, dan uvula bengkak terdorong ke sisi kontra lateral.
20
kripta tonsil. Kelenjar ini bisa tertinggal pada saat tonsilektomi, sehingga dapat menjadi
sumber infeksi setelah tonsilektomi.
Nyeri tenggorok yang sangat (Odinofagi) dapat merupakan gejala menonjol, dan
pasien mungkin mendapatkan kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah. Akibat tidak
dapat mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi hipersalivasi dan ludah seringkali menetes
keluar. Keluhan lainnya berupa mulut berbau (foetor ex ore), muntah (regurgitasi), sampai
nyeri alih ke telinga (otalgi). Trismus akan muncul bila infeksi meluas mengenai otot-otot
pterigoid.
Pemeriksaan fisik trismus, suara bergumam, disebut hot potato voice, dan uvula
terdorong ke arah yang sehat. Demam hanya ditemukan sebanyak 25% kasus yang dilakukan
oleh Sowerby, dan kawan kawan. Palatum mole tampak membengkak dan menonjol
kedepan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil
bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan, dan
bawah. Palpasi (jika mungkin) dapat membedakan abses dariselulitis Diagnosis, Tata
Laksana dan Komplikasi Abses Peritonsil Diagnosis Diagnosis dibuat berdasarkan riwayat
penyakit, gejala klinis, dan pemeriksaan fisik. Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk
menegakkan diagnosis.
Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi merupakan
tindakan diagnosis yang akurat untuk memastikan abses peritonsil. Yang merupakan “gold
standar” untuk mendiagnosis abses peritonsil adalah dengan mengumpulkan pus dari abses
dengan menggunakan jarum aspirasi. Untuk mengetahui jenis kuman pada abses peritonsil
tidak dapat dilakukan dengan cara usap tenggorok.
Pemeriksaan penunjang
21
• darah lengkap, pemeriksaan radiologi polos posisi antero-posterior hanya
menunjukkan “distorsi” dari jaringan tetapi tidak berguna untuk menentuan pasti
lokasi abses, pemeriksaan
• CT scan pada tonsil dapat terlihat daerah yang hipodens, yang menandakan adanya
cairan pada tonsil yang terkena, di samping itu juga dapat dilihat pembesaran yang
asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk rencana operasi.
Ultrasonografi merupakan teknik yang sederhana dan noninvasif dapat membantu
dalam membedakan antara selulitis dan awal abses.
2.4.8 Penatalaksanaan
1. Setelah dibuat diagnosa abses peritonsil,segera dilakukan aspirasi kemudian insisi abses
dan drainase. Masih ada kontroversi antara insisi drainase dengan aspirasi jarum saja, atau
dilanjutkan dengan insisi dan drainase, Gold standard adalah insisi dan drainase abses.
2.Pus yang diambil dilakukan pemeriksaan kultur dan resistensi test Penanganan meliputi,
menghilangkan nyeri, dan antibiotik yang efektif mengatasi Staphylococcus aureus dan
bakteri anaerob. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat
simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat Pemilihan antibiotik yang tepat
tergantung dari hasil kultur mikroorganisme pada aspirasi jarum. Penisilin merupakan “drug
of chioce” pada abses peritonsil dan efektif pada 98% kasus jika yang dikombinasikan
dengan metronidazole. Metronidazole merupakan antimikroba yang sangat baik untuk infeksi
anaerob.
3. Tehnik Insisi Tindakan dapat dilakukan dengan posisi duduk dengan menggunakan
anestesi lokal. Pertama faring disemprot dengan anestesi topikal. Kemudian 2 cc Xilocain
dengan adrenalin 1/100,000 disuntikkan. Dilakukan aspirasi terlebih dahulu untuk
22
memeastikan ada pus, kemudian pisau tonsil no 12 atau no 11 dengan plester untuk
mencegah penetrasi yang dalam yang digunakan untuk membuat insisi melalui mukosa dan
submukosa dakat kutub atas fosa tonsilaris. Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada :
23
2.4.9 Komplikasi
Komplikasi segera yang dapat terjadi berupa dehidrasi karena masukan makanan yang
kurang. Abses pecah spontan, mengakibatkan terjadi perdarahan, aspirasi paru atau pyemia
,penjalaran infeksi abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses parafaring, penjalaran ke
daerah intrakranial dapat mengakibatkan trombus sinus kavemosus, meningitis dan
abses otak. Pada keadaan ini, bila tidak ditangani dengan baik akan menghasilkan gejala sisa
neurologis yang fatal. Komplikasi lain yang mungkin timbul akibat penyebaran abses adalah
endokarditis, nefritis, dan peritonitis juga pernah ditemukan. Pembengkakan yang timbul di
daerah supraglotis dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas yang memerlukan tindakan
trakeostomi. Keterlibatan ruang-ruang faringomaksilaris dalam komplikasi abses peritonsil
mungkin memerlukan drainase dari luar melalui segitiga submandibular.
2 .4.10 Prognosis
2.5.1 Definisi
Abses adalah kumpulan nanah dalam suatu rongga yang terjadi akibat adanya
suatu proses infeksi bakteri piogenik yang terdapat dibawah jaringan, organ, atau pada
ruang-ruang kosong. Abses mempunyai daerah pusat yang menonjol yang terjadi
akibat penumpukan sel dan jaringan yang mati. Daerah tersebut dilindungi oleh
netrofil, sedang di sebelah luarnya terdapat pelebaran pembuluh darah serta jaringan
parenkim dan fibroblas yang berfungsi untuk mempercepat proses
penyembuhan.Abses parafaring adalah infeksi di daerah parafaring yang dapat meluas
dan menyebabkan penimbunan nanah.
24
2.5.2 Anatomi Ruang Parafaring
Ruang parafaring (disebut juga ruang faring lateral, ruang faringomaksila, ruang
pterigomaksila, ruang pterigofaring), merupakan ruang potensial yang termasuk bagian dari
ruang leher dalam yang berbentuk piramida terbalik yang terbentuk dari multi komponen
sistem fasia. Batas-batas ruang parafaring adalah di inferior oleh kornu minor tulang hyoid, di
superior oleh dasar tengkorak, sebelah medial dibatasi divisi viseral dari lapisan media
(sepanjang otot konstriktor faring) dan fasia otot-otot tensor dan levator veli palatini serta
stiloglosus.
Infeksi ini dapat meluas dari salah satu ruang potensial leher dalam, yang kemudian
mengenai parafaring. Suatu infeksi bakteri di ruang parafaring dapat terjadi melalui beberapa
25
cara. Bakteri menyebar dari suatu infeksi di bagian tubuh yang lain misalnya melalui saluran
vaskuler menyebabkan terjadinya endoplebitis atau trombosis atau melalui saluran limfatik
sehingga menyebabkan terjadinya supurasi kelenjar limfe servikal profunda.
Infeksi di bagian tubuh yang lain seperti pada tonsilitis, faringitis akut, adenoiditis,
perluasan peritonsiler abses, infeksi gigi molar pada pencabutan gigi molar bawah, tindakan
endoskopi per oral yang kasar, perluasan infeksi glandula parotis atau pada timpano-
mastoiditis kronis melalui abses Bezold. Bakteri masuk ke bawah kulit akibat adanya luka
atau trauma tindakan seperti esofagoskopi atau bronkoskopi; tertelan benda asing; tusukan
jarum yang tidak steril di leher pada pencandu morfin. Lymphadenitis, peradangan pada
kelenjar limfe itu sendiri.
2.5.3 Epidemiologi
Prevalensi dilakukan di Amerika Serikat, ditemukan negara maju lebih rendah angka
morbiditasnya dibanding negara berkembang, hal ini disebabkan karena penanganan abses
parafaring yang lebih cepat, alat-alat medis yang lebih modern, perkembangan antibiotik
yang lebih maju, protokol penanganan dan tehnik operasi yang lebih baik. Pada penelitian
Amerika Serikat dikatakan dari 117 anak yang menderita abses leher dalam yang diteliti
selama kurun waktu 6 tahun ditemukan infeksi peritonsil (49 %); infeksi retrofaring (22%);
infeksi submandibular (14%); infeksi bukalis (11%); infeksi parafaring (2%), dan infeksi
ruang kanina (2%).
2.5.4 Etiologi
Pada abses parafaring di dapatkan spektrum kuman yang cukup luas. Sebagian besar
abses disebabkan oleh campuran kuman aerob dan anaerob. Kuman patogen yang sering
dijumpai adalah kelompok genus Streptococci misalnya Streptococcus haemoliticus,
Staphilococcus aureus dan Haemophilus influenzae.
Infeksi atau kelainan gigi seperti karies gigi dan pembentukan kantong-kantong pada
periodontal menimbulkan infeksi yang lebih didominasi oleh kuman anaerob. Kuman
26
anaerob tersebut cenderung berkumpul di celah-celah gigi, salah satu kuman anaerob yang
sering dijumpai adalah Bacteriodes sp.
Adanya kuman anaerob harus dicurigai bila didapatkan pus yang berbau busuk.
Keberadaan kuman anaerob dapat diketahui secara klinis dan radiologis. Secara klinis nanah
dari infeksi kuman anaerob digambarkan sebagai “ a pedicular putrid, odicus, foul smelling,
actually stinking, sickening and nauseating type of purulent discharge “. Selain itu adanya
krepitasi dan pembentukan gas yang terlihat sebagai gambaran udara dalam pemeriksaan
radiologi juga menunjukkan adanya kuman anaerob.
• Anamnesis
Pada anamnesis pasien dengan abses parafaring didapatkan riwayat demam,
pembengkakan dan nyeri pada daerah infeksi terutama di daerah parafaring, regio
tiroid dan regio submandibular. Keluhan nyeri biasanya akan semakin hebat ketika
pasien sedang menoleh atau sedang menggerakkan leher. Pada beberapa pasien
didapatkan riwayat sakit gigi atau riwayat tertelan benda asing. Keluhan lain
didapatkan sulit menelan selama beberapa hari, trismus bahkan sampai sesak nafas.
• Pemeriksaan Fisik tergantung dari lokasi infeksi, secara umum dapat dijumpai
pembengkakan pada dinding faring lateral dibelakang arkus posterior. Tonsil
terdorong ke medial atau kearah anterior. Terjadi gangguan saraf kranial N IX, X dan
XII.
• Selain itu sering didapatkan karies dentis dan trismus yaitu terbatasnya gerakan
membuka mulut akibat perluasan infeksi yang menimbulkan spasme iritatif pada m
pterigoideus internus.
• Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan kultur kuman dan test kepekaan antibiotika
perlu dilakukan sebelum penderita mendapat antibiotika. Sebelum bahan diambil
dilakukan dekontaminasi dengan antiseptik topikal. Pengambilan pus dari abses
parafaring yang paling tepat adalah dengan aspirasi memakai jarum besar yang steril.
Bahan pemeriksaan tersebut harus segera dikirimkan ke laboratorium. Bila
memungkinkan dapat ditanam terlebih dahulu pada media transport, baru kemudian
27
dikirimkan ke laboratorium. Pada pemeriksaan darah didapatkan peningkatan jumlah
leukosit.
• Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah pemeriksaan radiologi, berupa
pemeriksaan foto leher AP/lateral dalam kondisi soft tissue, foto toraks, USG leher
dan pada kasus tertentu dilakukan pemeriksaan CT-scan leher.
28
tanpa dilakukan pembedahan. Durante operatif Selama pembedahan perlu
diperhatikan ukuran abses, banyaknya pus, lokasi abses, dan struktur anatomi dari
leher.
6. Insisi abses dapat melalui intraoral maupun ekstraoral. Insisi ekstraoral dilakukan
dengan meletakkan 2 jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi
dilanjutkan dari batas anterior m.sternokleidomastoideus ke arah atas belakang
menyusuri bagian medial mandibula dan m.pterigoid interna mencapai ruang
parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat dalam selubung
karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di
depan m.sternokleidomastoideus (cara Mosher). Insisi abses yang kecil, terbatas, atau
uniloculated dapat dibantu dengan menggunakan image.
b. Pendekatan yang dilakukan di daerah parafaring bagian posterior Dengan memakai klem
arteri eksplorasi dilakukan menembus m.konstriktor faring superior ke dalam ruang
parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap
insisi ekstraoral.
7. Aspirasi dengan jarum besar Aspirasi dengan jarum dapat dilakukan pada keadaan
ukuran abses yang kecil dan letak abses parafaring yang mudah untuk dicapai atau
bila keadaan umum pasien tidak mendukung untuk dilakukan anestesi umum. Dalam
melakukan aspirasi dengan jarum besar dapat dipakai CT-scan ataupun USG sebagai
penuntun. Aspirasi dengan jarum juga dipakai sebagai langkah awal sebelum
dilakukan tindakan pembedahan, terutama untuk pengambilan kultur kuman.
8. Postoperatif Sesudah operasi yang perlu dimonitor adalah tanda-tanda respon
terhadap terapi, kultur dan sensitifitas kuman terhadap antibiotik, ada tidaknya tanda-
tanda sumbatan jalan nafas, dan ada tidaknya komplikasi dari abses parafaring.
2.5.7 Komplikasi
Banyak hal yang dapat menjadi penyebab komplikasi dari abses parafaring, diantaranya
adalah terapi yang tidak tepat, dan tidak adekuat, keterlambatan diagnosis dan
penatalaksanaan terapi abses parafaring. Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya adalah
sumbatan jalan nafas akibat dari pendesakan trakea, aspirasi dari pus, bisa secara spontan
maupun pada saat memasukkan pipa endotrakea, komplikasi pembuluh darah misalnya
29
trombosis vena intra jularis, ruptur arteri karotis, mediastinitis, defisit neurologi, sepsis,
fasiitis nekrotik leher, dan osteomielitis
2.5.8 Prognosis
Pasien yang mendapat penanganan yang cepat dan tepat akan memperoleh kesembuhan yang
lebih cepat dan berhasil baik, sedang pasien yang terlambat mendapat penanganan dapat
mengalami komplikasi yang lebih berat dan waktu penyembuhan yang lebih lama.
2.6.1 Definisi
2.6.2 Etiologi
Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh kuman aerob dan
anaerob. Dilaporkan sekitar 90% kasus angina Ludwig disebabkan oleh odontogen baik
melalui infeksi dental primer, postekstraksi gigi maupun oral hygiene yang kurang. Selain itu,
95% kasus angina Ludwig melibatkan ruang submandibular bilateral dan gangguan jalan
nafas merupakan komplikasi paling berbahaya yang seringkali merenggut nyawa.
Rute infeksi pada kebanyakan kasus ialah dari terinfeksinya molar ketiga rahang
bawah atau dari perikoronitis, yang merupakan infeksi dari gusi sekitar gigi molar ketiga
yang erupsi sebagian. Hal ini mengakibatkan pentingnya mendapatkan konsultasi gigi untuk
molar bawah ketiga pada tanda pertama sakit, perdara Selain gigi molar ketiga
gigi molar kedua bawah juga menjadi penyebab odontogenik dari angina Ludwig.
Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak pada tingkat m. myohyloid, dan abses seperti
30
perimandibular abses akan menyebar ke ruang submandibular. Di samping itu, perawatan
gigi terakhir juga dapat menyebabkan angina Ludwig, antara lain: penyebaran organisme dari
gangren pulpa ke jaringan periapikal saat dilakukan terapi endodontik, serta inokulasi
Streptococcus yang berasal dari mulut dan tenggorokan ke lidah dan jaringan submandibular
oleh manipulasi instrumen saat perawatan gigi.
Ada juga penyebab lain yang sedikit dilaporkan antara lain sialadenitis kelenjar
submandibula, fraktur mandibula terbuka, infeksi sekunder akibat keganasan mulut, abses
peritonsilar, infeksi kista ductus thyroglossus, epiglotitis, injeksi obat intravena melalui leher,
trauma oleh karena bronkoskopi, intubasi endotrakeal, laserasi oral, luka tembus di lidah,
infeksi saluran pernafasan atas, dan trauma pada dasar mulut.
Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita angina Ludwig melalui
isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus. Bakteri anaerob yang
diisolasi seringkali berupa bacteroides, peptostreptococci, dan peptococci. Bakteri gram
positif yang telah diisolasi adalah Fusobacterium nucleatum, Aerobacter aeruginosa,
spirochetes, Veillonella, Candida, Eubacteria, dan spesies Clostridium. Bakteri Gram negatif
yang diisolasi antara lain spesies Neisseria, Escherichia coli, spesies Pseudomonas,
Haemophillus influenza dan spesies Klebsiella
Gejala awal biasanya berupa nyeri pada area gigi yang terinfeksi.
31
• Gejala klinis intra oral meliputi pembengkakan, nyeri dan peninggian lidah;
nyeri menelan (disfagia); hipersalivasi (drooling); kesulitan dalam artikulasi
bicara (disarthria). Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan adanya demam
dan takikardi dengan karakteristik dasar mulut yang tegang dan keras. Karies
pada gigi molar bawah dapat dijumpai. Biasanya ditemui pula indurasi dan
pembengkakkan ruang submandibular yang dapat disertai dengan lidah yang
terdorong ke atas. Trismus dapat terjadi dan menunjukkan adanya iritasi pada
m. masticator. Tanda-tanda penting seperti pasien tidak mampu menelan air
liurnya sendiri, dispneu, takipneu, stridor inspirasi dan sianosis menunjukkan
adanya hambatan pada jalan napas yang perlu mendapat penanganan segera.
Pada pasien juga mungkin akan ditemukan tanda-tanda dehidrasi karena
kurangnya asupan makanan dan minuman.
• Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
• Pemeriksaan darah: tampak leukositosis yang mengindikasikan adanya
infeksi akut. Pemeriksaan waktu bekuan darah penting untuk dilakukan
tindakan insisi drainase.
• Pemeriksaan kultur dan sensitivitas: untuk menentukan bakteri yang
menginfeksi (aerob dan/atau anaerob) serta menentukan pemilihan
antibiotik dalam terapi.
2. Pemeriksaang radiologi
• Foto x-ray: walaupun radiografi foto polos dari leher kurang berperan
dalam mendiagnosis atau menilai dalamnya abses leher, foto polos ini
dapat menunjukkan luasnya pembengkakkan jaringan lunak. Radiografi
dada dapat menunjukkan perluasan proses infeksi ke mediastinum dan
paru-paru. Foto panoramik rahang dapat membantu menentukan letak
fokal infeksi atau abses, serta struktur tulang rahang yang terinfeksi.
• USG: USG dapat menunjukkan lokasi dan ukuran pus, serta metastasis
dari abses. USG dapat membantu diagnosis pada anak karena bersifat non-
invasif dan nonradiasi. USG juga membantu pengarahan aspirasi jarum
untuk menentukan letak abses.
• CT-scan: CT-scan merupakan metode pencitraan terpilih karena dapat
memberikan evaluasi radiologik terbaik pada abses leher dalam. CT-scan
32
dapat mendeteksi akumulasi cairan, penyebaran infeksi serta derajat
obstruksi jalan napas sehingga dapat sangat membantu dalam memutuskan
kapan dibutuhkannya pernapasan buatan.
• MRI: MRI menyediakan resolusi lebih baik untuk jaringan lunak
dibandingkan dengan CT-scan. Namun, MRI memiliki kekurangan dalam
lebih panjangnya waktu yang diperlukan untuk pencitraan sehingga sangat
berbahaya bagi pasien yang mengalami kesulitan bernapas.
2.6.5 Terapi
• kedua, terapi antibiotik secara progesif, dibutuhkan untuk mengobati dan membatasi
penyebaran infeksi.
Awalnya pemberian Penicillin G dosis tinggi (2-4 juta unit IV terbagi setiap 4 jam)
merupakan lini pertama pengobatan angina Ludwig. Namun, dengan meningkatnya
33
prevalensi produksi beta-laktamase terutama pada Bacteroides sp, penambahan
metronidazole, clindamycin, cefoxitin, piperacilin-tazobactam, amoxicillin-clavulanate harus
dipertimbangkan. Kultur darah dapat membantu mengoptimalkan regimen terapi.
2.6.6 Komplikasi
Angina Ludwig merupakan selulitis bilateral dari ruang submandibular yang terdiri
dari dua ruang yaitu ruang sublingual dan ruang submaksilar. Secara klinis, kedua ruang ini
berfungsi sebagai satu kesatuan karena adanya hubungan bebas serta kesamaan dalam tanda
dan gejala klinis. Celah buccopharingeal, yang dibentuk oleh m. styloglossus melalui m.
constrictor media dan superior, merupakan penghubung antara ruang submandibular dengan
ruang pharingeal lateral.
infeksi dari carotid sheath yang mengakibatkan ruptur a. carotis, dan thrombophlebitis
supuratif dari v. jugularis interna. 2.6.8 Prognosis Prognosis angina Ludwig tergantung pada
kecepatan proteksi jalan napas untuk mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik,
34
serta pengurangan radang. Sekitar 45% – 65% penderita memerlukan insisi dan drainase pada
area yang terinfeksi, disertai dengan pemberian antibiotik untuk memperoleh hasil
pengobatan yang lengkap. Selain itu, 35% dari individu yang terinfeksi memerlukan intubasi
dan trakeostomi.
2.6.7 Prognosis
Angina Ludwig dapat berakibat fatal karena membahayakan jiwa. Kematian pada era
preantibiotik adalah sekitar 50%. Namun dengan diagnosis dini, perlindungan jalan nafas
yang segera ditangani, pemberian antibiotik intravena yang adekuat serta penanganan dalam
ICU, penyakit ini dapat sembuh tanpa mengakibatkan komplikasi. Begitu pula angka
mortalitas dapat menurun hingga kurang dari 5%.
35
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial di antara
fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber infeksi, seperti gigi, mulut,
tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri
anaerob Bacterioides atau kuman campuran. Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil,
Secara umum penatalaksanaan abses leher dalam adalah berupa terapi medikamentosa
dan terapi bedah. Terapi medikamentosa dilakukan dengan pemberian antibiotika kemudian
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa jika disertai dengan
komplikasi. Obstruksi jalan nafas dan asfiksia merupakan komplikasi yang potensial terjadi
pada abses leher dalam. Dengan demikian kita harus waspada terhadap tanda-tanda komplikasi
36
DAFTAR PUSTAKA
37
12 Pulungan, M. Rusli. Pola Kuman Abses Leher Dalam. Bagian Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP Dr.
M. Djamil Padang
13 Ko-Villa, Evangeline. Anaesthetic management of retropharyngeal abscess in
children. Anaesthesia Tutorial of The Week 211. 2011
14 Su, Wang-Yu et al. Inferior pole peritonsillar abscess successfully treated with non
surgical approach in four cases. Tzu Chi Medical Journal. 2006; 18:287-290.
15 Marom T et al. Changing trends of peritonsillar abscess. American Journal of
Otolaryngology-Head and Neck Medicine and Surgery. 2010; 31:162-67
16 Prijaldi, Jon. Diagnosis dan penatalaksanaan abses peritonsil. Bagian Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP Dr.
M. Djamil Padang
17 Galioto NJ. Peritonsillar abscess. American Family Physician. 2008;77:199-202.
18 Fitri M et al. Abses parafaring. Departemen ilmu THT RSPAD Gatot Subroto. 2011
19 Srirompotong S. Ludwig’s angina: a clinical review. Eur ArchOtorhinolaryngol
2003;260: 401–403
20 Repanos C, Mukherjee P, Alwahab Y. Role of microbiological studies in management
of peritonsillar abscess. J Laryngol Otol. Aug 2009;123(8):877-9.
21 Peritonsillar Abscess. Dalam: Access Emergency Medicine from McGraw-Hill;
2011.
22 Ramirez-Schrempp D, Dorfman DH, Baker WE, Liteplo AS. Ultrasound soft tissue
applications in the pediatric emergency department: to drain or not to drain?. Pediatr
Emerg Care. Jan 2009;25(1):44-8.
23 Kilty SJ, Gaboury I. Clinical predictors of peritonsillar abscess in adults. J
Otolaryngol Head Neck Surg. Apr 2008;37(2):165-8.
24 Ozbek C, Aygenc E, Tuna EU, Selcuk A, Ozdem C. Use of steroids in the treatment
of peritonsillar abscess. J Laryngol Otol. Jun 2004;118(6):439-42.
25 Heidemann CH, Wallen M, Aakesson M, et al. Post-tonsillectomy hemorrhage:
assessment of risk factors with special attention to introduction of coblation
technique. Eur Arch Otorhinolaryngol. Jul 2009;266(7):1011-5.
38
39