PTERYGIUM
Disusun oleh:
Indira Maycella
1102015098
Pembimbing :
dr. Henry A. W, Sp.M (K)
dr. Susan Sri A. P, Sp.M
dr. Mustafa K. Shahab, Sp.M
dr. Hermansyah, Sp.M
i
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RS BHAYANGKARA TK.I R. SAID SUKANTO
PERIODE 19 OKTOBER – 6 NOVEMBER 2020
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR................................................................................................iii
BAB I LAPORAN KASUS......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................18
2.1 Anatomi................................................................................................................18
2.1.1 Anatomi Konjungtiva...................................................................................18
2.1.1 Anatomi Kornea...........................................................................................21
2.2 Pterigium..............................................................................................................23
2.2.1 Definisi Pterigium........................................................................................23
2.2.2 Epidemiologi Pterigium................................................................................24
2.2.3 Etiologi Pterigium........................................................................................25
2.2.4 Faktor Risiko Pterigium...............................................................................25
2.2.5 Patogenesis Pterigium..................................................................................25
2.2.6 Manifestasi Klinis Pterigium........................................................................27
2.2.7 Diagnosis Pterigium.....................................................................................29
2.2.8 Diagnosis Banding Pterigium.......................................................................31
2.2.9 Penatalaksanaan Pterigium...........................................................................36
2.2.10 Komplikasi Pterigium.................................................................................41
2.2.11 Pencegahan Pterigium................................................................................42
2.2.12 Prognosis Pterigium....................................................................................43
BAB III ANALISIS KASUS....................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................48
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Pterigium Pada Mata Kanan Pasien.........................................................8
Gambar 2. Konjuntiva................................................................................................19
Gambar 3. Histologi Konjuntiva................................................................................20
Gambar 4. Lapisan Kornea........................................................................................23
Gambar 5. Pterigium..................................................................................................24
Gambar 6. Histopatologi Pterigium...........................................................................27
Gambar 7. Stocker’s Line........................................................................................28
Gambar 8. Stadium Pterigium....................................................................................30
Gambar 9. Mata dengan Pinguekula..........................................................................32
Gambar 10. Mata dengan Pseudopterygium..............................................................33
Gambar 11. Mata dengan Melanoma Konjungtiva....................................................33
Gambar 12. Mata dengan Karsinoma Sel Skuamosa Konjungtiva............................35
Gambar 13. Mata dengan Episkleritis........................................................................36
Gambar 14. Jenis-Jenis Teknik Operatif Pterigium...................................................40
iii
iv
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. I
No RM : 1090108
Umur : 57 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Ciracas, Jakarta Timur
Pendidikan : SMA
Kewarganegaraan : Indonesia
Status : Menikah
Tanggal Pemeriksaan : 21 Oktober 2020
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama :
1
sebelah kanan kurang lebih sejak 1 tahun yang lalu, pada awalnya berukuran
kecil namun semakin meluas. Pasien mengaku 2 minggu lalu sudah berobat
satu kali ke klinik mata di daerah Cibubur dan diberikan obat tetes mata yang
mengandung steroid dan antibiotik tetapi keluhannya tidak kunjung membaik.
Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal. Pasien juga menyangkal
adanya keluhan mata merah, keluarnya kotoran pada mata, maupun penurunan
penglihatan.
2
E. Riwayat Penyakit Keluarga
OD Pterygium
Menurut teori pada Pterygium terdapat massa jaringan fibrovaskular yang
berbentuk segitiga pada daerah konjungtiva bulbi bagian nasal atau
temporal yang meluas kearah kornea. Pterygium disebabkan karena proses
degeneratif. Keluhan pada Pterygium antara lain adalah mata merah tanpa
penurunan visus terkecuali jaringan telah meluas hingga menutupi aksis
visual, mata seperti ada yang mengganjal yang dapat mengganggu
penglihatan, tidak disertai tanda inflamasi seperti nyeri dan bengkak, dapat
disertai gatal pada mata dan mata terasa kering. Salah satu faktor risiko
terjadinya Pterygium adalah mata yang selalu terpapar matahari, debu,
sinar handphone, komputer dan televisi dalam jangka waktu lama serta
sindrom mata kering dan faktor genetik. Pada pasien, didapatkan keluhan
mata seperti ada yang mengganjal tanpa disertai mata merah dan
penurunan visus dan terdapat selaput pada mata. Pasien juga memiliki
3
riwayat sering terkena paparan sinar matahari dan debu dalam jangka
waktu lama yang merupakan salah satu faktor risiko Pterygium.
OD Pinguekula
Menurut teori pada Pinguekula terdapat massa kekuningan yang kecil dan
meninggi berbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi yang
asimptomatik dan atau terkadang disertai tanda inflamasi seperti mata
merah tanpa disertai penurunan visus, mata terasa kering, gatal, nyeri
ringan dan rasa mengganjal atau sensasi seperti ada benda asing pada
mata. Pada pasien, didapatkan keluhan mata kanan terdapat massa seperti
selaput didaerah konjungtiva yang disertai mata mengganjal dan terasa
gatal terutama setelah menggendarai sepeda motor tanpa disertai mata
merah dan tanpa penurunan visus.
OD Pseudopterygium
Menurut teori pada Pseudopterygium terdapat massa atau jaringan parut
yang timbul pada daerah konjungtiva bulbi yang merupakan akibat
inflamasi seperti trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau
ulkus perifer kornea. Gejala Pseudopterygium disertai tanda inflamasi
seperti mata merah tanpa atau dengan penurunan visus, mata terasa gatal,
nyeri, dan rasa mengganjal pada mata yang dapat mengganggu
penglihatan. Pada pasien, didapatkan keluhan mata kanan terdapat massa
seperti selaput di daerah konjungtiva disertai mata terasa mengganjal dan
gatal. Riwayat trauma disangkal oleh pasien.
4
ke lima dan enam. Gejala klinis keganasan ini sangat bervariasi. Sebagian besar
pasien mempunyai keluhan adanya pertumbuhan massa di mata, yang bertambah
ukurannya dengan cepat. Sering pula ditemui keluhan kemerahan atau iritasi.
Tumor ini sering terdapat di daerah interpalpebral dekat nasal atau temporal
limbus, namun bisajuga mengenai konjungtiva palpebra atau kornea. Pada pasien,
didapatkan keluhan mata kanan terdapat massa seperti selaput didaerah
konjungtiva yang disertai mata mengganjal dan terasa gatal tanpa disertai mata
merah dan tanpa penurunan visus.
OD Episkleritis
Merupakan peradangan lokal jaringan ikat vaskular penutup sklera yang relatif
sering dijumpai. Kelainan ini cenderung mengenai orang muda, khasnya pada
dekade ketiga atau keempat kehidupan. Wanita memiliki risiko tiga kali lebih
besar dari pria. Bersifat unilateral pada dua pertiga kasus. Faktor resiko meliputi
rosacea ocular, atopi, gout, infeksi, dan penyakit kolagen-vaskular. Pasien
biasanya datang dengan keluhan mata merah, rasa tidak nyaman pada mata, iritasi
ringan, biasanya tidak nyeri atau nyeri tumpul ringan. Pada pasien didapatkan
keluhan mata mengganjal terasa tidak nyaman, keluhan mata merah ataupun
nyeri disangkal. Faktor resiko episkelritis pada pasien disangkal.
OD Melanoma Konjungtiva
Menurut teori Melanoma Konjungtiva adalah sel – sel melanosit yang
berkembang pada lapisan batal epitel Malpighi pada bagian kulit yang
sering terpapar matahari namun dapat berkembang di jaringan lain seperti
konjungtiva pada mata. Manifestasi klinis pada Melanoma Konjungtiva
adalah ditemukannya mata seperti ada yang mengganjal atau sensasi benda
asing yang dapat mengganggu penglihatan disertai dengan terdapat massa
menonjol di daerah sekitar konjungtiva. Salah satu faktor risiko terjadinya
Melanoma Konjungtiva adalah Pterygium yang sering mengalami
rekurensi dikarenakan kerusakan dari lapisan Bowman. Pada pasien,
didapatkan keluhan mata seperti ada yang mengganjal. Riwayat Pterygium
rekuren pada pasien disangkal.
5
IV. PEMERIKSAAN FISIK
1) STATUS GENERALIS
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital
Tekanan darah: 110/70
Nadi : 68 kali/menit
Respirasi : 20 kali/menit
Suhu : 36.7 °C
2) STATUS OPHTALMOLOGIS
OD OS
VISUS + KACA MATA 6/6 6/6
a. koreksi kacamata 6/15 : S+1,25 C-0,5 x 110 6/12,5 : S+1,25 6/6
6/ 6
Kedudukan Bola Mata Ortoforia
Gerakan bola mata
6
Palpebra Inferior Edema loka (-), benjolan Edema loka (-), benjolan
(-), hiperemis (-), nyeri (-), hiperemis (-), nyeri
tekan (-), hematom (-) tekan (-), hematom (-)
Konjungtiva Tarsal Hiperemis (-), Papil (-), Hiperemis (-), Papil (-),
Edema (-) Edema (-)
Konjungtiva Bulbi Injeksi Siliar (-), Injeksi Injeksi Siliar (-), Injeksi
Konjungtiva (-), Jaringan Konjungtiva (-), Jaringan
fibrovaskular berbentuk fibrovaskular (-)
segitiga dibagian nasal perdarahan
melewati limbus kornea subkonjungtiva (-)
tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea (+),
Jaringan fibrovaskular
dapat diindentifikasi head,
cap, dan body. perdarahan
subkonjungtiva (-) tes
sonde tidak dilakukan.
7
RCL (+), RCTL (+) RCL (+), RCTL (+)
Lensa Jernih Jernih
TIO Perpalpasi Normal perpalpasi Normal perpalpasi
8
3) DIAGNOSIS BANDING BERDASARKAN PEMERIKSAAN
FISIK
OD Pterygium
OD Pseudopterygium
9
sehingga diagnosis banding Pseudopterygium belum dapat disingkirkan pada
pasien ini.
OD Pinguekula
Menurut teori Tumor ini sering terdapat di daerah interpalpebral dekat nasal
atau temporal limbus, namun bisa juga mengenai konjungtiva palpebra atau
kornea. Pertumbuhannya bisa berbentuk nodular, gelatin, leukoplakia dengan
pembuluh darah di sekitarnya. Tumor yang muncul terlokalisir dapat
menyerupai degenerasi konjungtiva dan diragukan dengan pterygium dan
pingecula. Tipe difus juga bisa ditemukan dan klinis menyerupai
konjungtivitis kronis. Diagnosis karsinoma sel skuamosa ditegakkan dari
pemeriksaan histopatologi Pemeriksaan histopatologi memperlihatkan
perubahan dari polaritas sel dengan gangguan maturasi seluler. Akantosis, sel
atypia, dan peningkatan rasio nukleus dan sitoplasma dapat diketahui.
Karsinoma sel skuamosa terdiri dari sel sel dengan nucleus yang besar dan
sitoplasma eosinofilik yang banyak, dan biasanya mengenai lapisan epitel
bagian dalam. sel tumor dapat well diferentiated dan mudah dikenali sebagai
squamous atau moderately differentiated atau poorly differentiated dan sulit
dibedakan dengan dari keganasan lain seperti carcinoma sebaseus. Pada Pada
pasien, terdapat jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang dapat
10
diidentifikasi head, cap, dan body yang terletak di konjungtiva bagian nasal
namun, karena tumor yang muncul terlokalisir dapat menyerupai degenerasi
konjungtiva, untuk menyingkirkan diagnosis banding karsinoma sel skuamosa
perlu dilakukan pemeriksaan histopatologi.
OD Episkeritis
Menurut teori pada pemeriksaan fisik episkleritis ditemukan mata merah di
satu sisi akibat pelebaran pembuluh darah di konjungtiva (mengecil jika diberi
fenilefrin 2,5% topikal), Injeksi episklera (nodular, sektoral, atau difus), Tidak
nyeri tekan, tidak ada gangguan penglihatan, tidak terdapat secret, bentuk
radang berupa benjolan setempat dengan batas tegas dan warna merah ungu di
bawah konjungtiva, apabila ditekan sakit sampai menjalar ke sekitar mata.
Pada pasien, terdapat jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang dapat
diidentifikasi head, cap, dan body yang terletak di konjungtiva bagian nasal.
Pada pasien tidak ditemukan mata merah, injeksi episklera, dan bentuk radang
berupa warna merah ungu di bawah konjungtiva yang bila ditekan sakit
sampai menjalar ke sekitar mata sehingga diagnosis banding Episkeritis dapat
disingkirkan.
OD Melanoma Konjungtiva
11
V. SARAN PEMERIKSAAN
VI. RESUME
12
VII. DIAGNOSIS KERJA
OD Pterygium Grade II
IX. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
o Kombinasi Antibiotik dan Steroid 4x1 gtt OD
o Air mata buatan atau pelumas untuk mencegah mata kering
Non Medikamentosa : -
Bedah
o Rencana Eksisi Pterygium dengan teknik Conjungtiva Autograft
(CAG) dikarenakan rasa nyeri dan mengganjal yang tidak
membaik dengan tetes mata serta keluhan tersebut sudah
mengganggu aktifitas pasien sehari – hari.
Edukasi
o Memberikan informasi pada pasien mengenai penyakitnya yang
merupakan suatu proses degenerasi yang penyebab pastinya belum
diketahui, namun ada beberapa kemungkinan faktor risiko menurut
teori antara lain adalah sinar UVA dan UVB dari matahari dan
berbagai faktor iritan seperti debu sehingga mengedukasi Pasien
agar selalu menggunakan pelindung mata seperti kacamata anti
ultraviolet atau topi jika melakukan kegiatan di luar Rumah yang
terpapar matahari secara langsung.
13
o Memberikan informasi pada pasien bahwa salah satu faktor risiko
terjadinya Pterygium juga adalah sinar handphone, komputer dan
televisi yang berlebihan sehingga memberi edukasi kepada Pasien
agar dapat membatasi penggunaan handphone, komputer, serta
televisi guna mencegah rekurensi kembali.
o Memberikan informasi pada Pasien bahwa terapi Pterygium
dengan teknik pembedahan
Rencana Monitor/Evaluasi
o Dijadwalkan dalam waktu 2-3 hari setelah pemberian antibiotik
dan steroid untuk dilakukan tindakan bedah eksisi menggunakan
teknik Conjungtiva Autograft yang kemudian 1 hari setelahnya
akan dievaluasi kembali apakah proses penyembuhan dan graft
terpasang dengan baik dan memonitor apakah keluhan pasien
membaik atau bahkan menghilang.
X. INITIAL PLANNING
Pre Operasi
Medikamentosa
o Kombinasi Antibiotik dan Steroid 4x1 gtt OD
o Terapi Medis berupa air mata buatan atau pelumas untuk
menjaga mata pasien dari mata kering
Non Medikamentosa
o Pro Insisi menggunakan teknik Conjungtiva Autograft
Pemeriksaan Persiapan Operasi
o Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap
o Pemeriksaan Laboratorium Masa Perdarahan (Bleeding
Time) dan Masa Pembekuan (Clotting Time)
o Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu
o Pemeriksaan Urin
o Pemeriksaan Swab PCR Covid-19
14
o Pemeriksaan HbsAg
o Pemeriksaan Rapid HIV
o Pemeriksaan Radiologi Rontgen Toraks
o Pemeriksaan Elektrocardiography (EKG)
Post Operasi
Medikamentosa
o Kombinasi Antibiotik dan Steroid 4x1 gtt OD selama 5
hari
o Terapi Medis berupa air mata buatan atau pelumas untuk
mengurangi gejala mata kering pada pasien
Pemeriksaan Penunjang
o Pemeriksaan Histopatologi
Edukasi
o Memberi informasi bahwa jaringan telah dilakukan
pemeriksaan histopatologi
o Menganjurkan pasien agar tidak mengucek mata
o Memberi informasi sementara mata kanan akan ditutup
menggunakan kassa
o Memberi informasi agar jangan terkena air untuk sementara
waktu
o Memberi informasi agar menggunakan pelindung mata
seperti kacamata atau topi saat akan keluar ruangan
o Memberi informasi agar mengurangi penggunaan
Handphone dan Televisi.
XI. PROGNOSIS
OD
1. Ad vitam Ad bonam
2. Ad fungsionam Ad bonam
3. Ad sanam Dubia ad bonam
15
4. Ad kosmetikum Dubia ad bonam
16
- Mata Kanan mengurangi
terasa tidak gejala mata
nyaman (+) kering pada
- pasien
Edukasi :
- Memberi
informasi
bahwa jaringan
telah dilakukan
pemeriksaan
histopatologi
dan menunggu
hasil
- Menganjurkan
pasien agar
tidak
mengucek mata
- Memberi info
sementara mata
kanan akan
ditutup
menggunakan
kassa
- Memberi
informasi agar
jangan terkena
air untuk
sementara
waktu
17
30/10/20 Kontrol OD : OD Pterygium Edukasi :
20 Grade II Post
- tidak ada - Jaringan Fibrovaskular (-) -Memberi
Insisi
keluhan - Graft terpasang baik informasi agar
menggunakan
pelindung mata
Lampiran Hasil pemeriksaan seperti
Histopatologi : kacamata anti
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
18
a. Konjungtiva palpebralis (konjungtiva tarsalis), melapisi permukaan
posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan
inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan
inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris.
Permukaan licin, di celah konjungtiva terdapat kelenjar Henle(5).
b. Konjungtiva bulbaris, melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan
melipat berkali-kali. Adanya lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak
dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik (duktus kelenjar
lakrimal bermuara di forniks temporal superior). Konjungtiva bulbaris
melekat longgar pada kapsul Tenon dan sklera di bawahnya, kecuali di
limbus. Di dekat kantus internus, konjungtiva bulbi membentuk plika
semilunaris yang mengelilingi suatu pulau kecil terdiri dari kulit yang
mengandung rambut dan kelenjar, yang disebut “caruncle”(5).
Gambar 2. Konjungtiva
19
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan
di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.
Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan
kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata
dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barier epitel, aktivasi
lakrimasi dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan spesifik berupa
mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada
mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA.
Pada konjungtiva terdapat beberapa jenis kelenjar yang dibagi menjadi dua
grup besar yaitu :
a. Penghasil musin
Sel goblet; terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada
daerah inferonasal.
Crypts of Henle; terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva
tarsalis superior dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva
tarsalis inferior.
a. Kelenjar asesoris lakrimalis.
Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar Kraus dan kelenjar Wolfring.Kedua
kelenjar ini terletak dalam dibawah substansi propria.
20
GaGambar 3. Histologi Konjungtiva
21
avaskular. Kornea merupakan suatu lensa cembung dengan kekuatan refraksi +43
dioptri.16 Kornea melanjutkan diri sebagai sklera ke arah belakang dan perbatasan
antara kornea dan sklera ini disebut limbus.
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
1. Epitel
Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel
gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan
sel poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden,
ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang
merupakan barrier.
Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
2. Membran Bowman
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
stroma.
Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma
Merupakan lapisan paling tebal, terdiri atas lamel yang merupakan susunan
kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat
anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang,
terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang
kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea
yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga
keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan
embrio atau sesudah trauma.
22
4. Membrane Descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.
Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai
tebal 40µm.
5. Endotel
Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40µm.
Endotel melekat pada membran descement melalui hemidesmosom dan zonula
okluden.
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk
ke dalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung
schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan
tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah
limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam
waktu 3 bulan.
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem pompa
endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea.
Endotel tidak mempunyai daya regenarasi.
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di
sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri
dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.
23
Gambar 4. Lapisan Kornea
2.2. Pterigium
2.2.1 Definisi Pterigium
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan neoformasi fibrovaskuler yang
bersifat degeneratif dan invasive, non malignan pada permukaan okular yang
menunjukkan penebalan konjungtiva bulbi, berbentuk segitiga horizontal dengan
puncak mengarah ke bagian tengan kornea dan dasarnya terletak di bagian tepi
bola mata bagian nasal dan atau temporal, sehingga bentuknya menyerupai sayap.
Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi akan berwarna merah dapat
mengenai kedua mata(1,2).
Gambar 5. Pterigium
24
2.2.2 Epidemiologi
Pterigium dilaporkan dua kali lebih terjadi pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan. Jarang pada pasien dengan pterigium sebelum usia 20 tahun.
Pasien yang lebih tua dari 40 tahun memiliki prevalensi pterigium lebih tinggi,
sementara pasien usia 20-40 tahun dilaporkan memiliki insidensi pterigium
tertinggi(4).
Kasus pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi (0.3% -
29%), tergantung pada lokasi geografisnya. Umumnya prevalensi pterigium pada
daerah tropis lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Sinar ultraviolet
merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kejadian pterigium.
Prevalensi pterigium yang tinggi juga didapatkan pada daerah berdebu dan
kering.
Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatulistiwa, kasus-kasus
pterigium cukup sering didapati. Dengan paparan sinar matahari yang tinggi,
risiko timbulnya pterigium 44x lebih tinggi dibandingkan dengan daerah non-
tropis. Prevalensi pterigium menurut RISKEDAS di Indonesia 2015 menunjukkan
bahwa prevalensi pterigium nasional adalah sebesar 8.3% dengan prevalensi
tertinggi ditemukan di Bali (25,2%), diikuti Maluku (18.0%) dan Nusa Tenggara
Barat (17.0%)(3)
2.2.3 Etiologi
Etiologi Pterigium tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu
neoplasma, radang, dan degenerasi. Pterigium disebabkan proses degenerasi
akibat paparan sinar UV berlebihan pada mata. Debu, angin, mata kering, dan
iritasi juga dikaitkan dengan penyebab terjadinya pterigium(6).
25
lintang, lamanya waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan
topi juga merupakan faktor penting(6).
Genetik
Predisposisi genetik terhadap adanya pterigium yang terjadi ada di dalam
keluarga tertentu. Pada beberapa kasus dilaporkan anggota keluarga
dengan pterygium kemungkinan diturunkan secara autosom dominan(6,7).
Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya
limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari
pterygium. Yang juga menunjukkan adanya “pterygium angiogenesis
factor“ dan penggunaan farmakoterapi antiangiogenesis sebagai terapi.
Debu, kelembapan yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel
tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium.(6).
2.2.5 Patogenesis
Ultraviolet (sinar UV-B) adalah mutagen untuk tumor supresor gene p53
pada limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-
beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan meningkatkan proses
kolagenase sehingga sel-sel bermigrasi dan terjadi
angiogenesis..Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat
jaringan subepitelial fibrovaskular. Pada jaringan subkonjungtiva terjadi
degenerasi elastoik, proliferasi jaringan vaskular di bawah epitel yang selanjutnya
menembus dan merusak kornea. Pada jaringan subkonjungtiva terjadi
perubahan degenerasi elastik dan proliferasi jaringan vaskular di bawah
epitelium yang kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea
terdapat pada lapisan membran Bowman oleh pertumbuhan jaringan
fibrovaskular yang sering disertai inflamasi ringan. Epitel dapat normal,
tebal, atau tipis dan kadang terjadi displasia. Pada keadaan defisiensi
26
limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada
permukaan kornea(8).
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada
permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva
ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan
pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan
karenan itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan
manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat
sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra(7).
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan
perubahan phenotype, yaitu lapisan fibroblast mengalami proliferasi
sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium menunjukkan matriks
metalloproteinase, yaitu matriks ekstraselular yang berfungsi untuk
memperbaiki jaringan yang rusak, penyembuhan luka, dan mengubah
bentuk. Hal ini menjelaskan penyebab pterygium cenderung terus tumbuh
dan berinvasi ke stroma kornea sehingga terjadi reaksi fibrovaskular dan
inflamasi(7,8).
Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan
proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epitel. Histopatologi
kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan daerah basofilia
bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat
untuk jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastik yang sebenarnya karena
jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.
27
Gambar 6. Histopatologi Pterigium
28
timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan
pterygium
pada pterygium derajat 3 dan 4 dapat terjadi penurunan tajam
penglihatan.
dapat disertai gatal pada mata dan mata terasa kering
2.2.7 Diagnosis
1. Anamnesis
Pasien dengan pterigium menunjukkan berbagai macam keluhan mulai dari
tidak ada gejala sampai kemerahan, pembengkakan, gatal, iritasi, penglihatan
29
menjadi kabur berhubungan dengan peninggian lesi pada konjungtiva dan kornea
yang berdekatan pada satu atau kedua mata.
2. Pemeriksaan Fisik
Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata
(sclera) pada limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan
kornea. Sclera dan selaput lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari
iritasi dan peradangan.
Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
Body, bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya
ke arah kantus
Apex (head), bagian atas pterygium
Cap, bagian belakang pterygium
A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk
batas pinggir pterygium.
Pterigyum terbagi berdasarkan perjalanan penyakit menjadi 2 tipe, yaitu :
- Progressif pterygium : memiliki gambaran tebal dan vascular dengan
beberapa infiltrat di kornea di depan kepala
pterygium
- Regressif pterygium : dengan gambaran tipis, atrofi, sedikit
vaskularisasi, membentuk membran tetapi
tidak pernah hilang
30
Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4
mm)
Derajat 1 Derajat 2
Derajat 3 Derajat 4
31
3. Pemeriksaan Penunjang
Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah
satu atau kedua mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini
mungkin telah ada selama bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-
lahan, pada akhirnya menyebabkan penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari
peradangan dan iritasi. Sensasi benda asing dapat dirasakan, dan mata mungkin
tampak lebih kering dari biasanya. penderita juga dapat melaporkan sejarah
paparan berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu.
-Test: Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visus
terpengaruh. Dengan menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan
pterygium tersebut. Dengan menggunakan sonde di bagian limbus, pada
pterygium tidak dapat dilalui oleh sonde seperti pada pseudopterigium.
-Pemeriksaan Histopatologi : untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada
Pterygium ditemukan epitel ireguler dan degenerasi hialin dalam stromanya serta
rusaknya membrane descemet serta dapat menyingkirkan kemungkinan keganasan
akibat rekurensi. Sedangkan pada Pinguekula didapatkan degenerasi hialin
jaringan submukosa konjungtiva.
32
Gambar 9. Mata dengan Pinguekula
2.Pseudopterigium
Pertumbuhannya mirip dengan pterygium karena membentuk sudut miring
atau Terriens marginal degeneration. Selain itu, jaringan parut fibrovaskular
yang timbul pada konjungtiva bulbi pun menuju kornea. Namun berbeda dengan
pterygium, pseudopterygium merupakan akibat inflamasi permukaan okular
sebelumnya seperti pada trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma
bedah atau ulkus perifer kornea. Pada pseudopterigium yang tidak melekat pada
limbus kornea, maka probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati
bagian bawah pseudopterygium pada limbus, sedangkan pada pterygium tak dapat
dilakukan. Pada pseudopteyigium tidak didapat bagian head, cap dan body dan
pseudopterygium cenderung keluar dari ruang interpalpebra fissure yang berbeda
dengan true pterygium.
3. Melanoma Konjungtiva
Melanoma Konjungtiva adalah sel – sel melanosit yang berkembang pada
lapisan batal epitel Malpighi pada bagian kulit yang sering terpapar matahari
33
namun dapat berkembang di jaringan lain seperti konjungtiva pada mata.
Manifestasi klinis pada Melanoma Konjungtiva adalah ditemukannya mata seperti
ada yang mengganjal atau sensasi benda asing yang dapat mengganggu
penglihatan disertai dengan terdapat massa menonjol di daerah sekitar
konjungtiva. Salah satu faktor risiko terjadinya Melanoma Konjungtiva Pterygium
yang sering mengalami rekurensi dikarenakan kerusakan dari lapisan Bowman.
pada pemeriksaan fisik Melanoma Konjungtiva ditemukan massa atau lesi soliter
menonjol yang berwarna pigmen hitam kecokelatan dengan bentuk yang tidak
khas dan melekat erat pada jaringan konjungtiva. Pada pemeriksaan histopatologi
ditemukan sel – sel melanoma tampak lebih besar dan biasanya memiliki inti
besar, dan didapatkan peningkatan melanosit atipikal kepermukaan epitel
konjungtiva.
34
ras, usia. Faktor resiko berkaitan dengan paparan sinar ultraviolet, Infeksi human
papillomavirus, HIV/AIDS, lebih sering terjadi pada laki laki (75%) dibandingkan
wanita (25%) dan cenderung mengenai umur yang lebih tua dekade ke lima dan
enam. Gejala klinis keganasan ini sangat bervariasi. Sebagian besar pasien
mempunyai keluhan adanya pertumbuhan massa di mata, yang bertambah
ukurannya dengan cepat. Sering pula ditemui keluhan kemerahan atau iritasi.
Tumor ini sering terdapat di daerah interpalpebral dekat nasal atau temporal
limbus, namun bisajuga mengenai konjungtiva palpebra atau kornea.
Menurut teori Tumor ini sering terdapat di daerah interpal pebral dekat
nasal atau temporal limbus, namun bisa juga mengenai konjungtiva palpebra atau
kornea. Pertumbuhannya bisa berbentuk nodular, gelatin, leukoplakia dengan
pembuluh darah di sekitarnya. Tumor yang muncul terlokalisir dapat menyerupai
degenerasi konjungtiva dan diragukan dengan pterygium dan pingecula. Tipe
difus juga bisa ditemukan dan klinis menyerupai konjungtivitis kronis. Diagnosis
karsinoma sel skuamosa ditegakkan dari pemeriksaan histopatologi Pemeriksaan
histopatologi memperlihatkan perubahan dari polaritas sel dengan gangguan
maturasi seluler. Akantosis, sel atypia, dan peningkatan rasio nukleus dan
sitoplasma dapat diketahui. Karsinoma sel skuamosa terdiri dari sel sel dengan
nucleus yang besar dan sitoplasma eosinofilik yang banyak, dan biasanya
mengenai lapisan epitel bagian dalam. sel tumor dapat well diferentiated dan
mudah dikenali sebagai squamous atau moderately differentiated atau poorly
differentiated dan sulit dibedakan dengan dari keganasan lain seperti carcinoma
sebaseus.
35
5. Episkleritis
Episkleritis merupakan peradangan lokal jaringan ikat vaskular penutup
sklera yang relatif sering dijumpai. Kelainan ini cenderung mengenai orang muda,
khasnya pada dekade ketiga atau keempat kehidupan. Wanita memiliki risiko tiga
kali lebih besar dari pria. Bersifat unilateral pada dua pertiga kasus. Faktor resiko
meliputi rosacea ocular, atopi, gout, infeksi, dan penyakit kolagen-vaskular.
Pasien biasanya datang dengan keluhan mata merah, rasa tidak nyaman pada
mata, iritasi ringan, biasanya tidak nyeri atau nyeri tumpul ringan.
Pada pemeriksaan fisik episkleritis ditemukan mata merah di satu sisi
akibat pelebaran pembuluh darah di konjungtiva (mengecil jika diberi fenilefrin
2,5% topikal), Injeksi episklera (nodular, sektoral, atau difus), Tidak nyeri tekan,
tidak ada gangguan penglihatan, tidak terdapat secret, bentuk radang berupa
benjolan setempat dengan batas tegas dan warna merah ungu di bawah
konjungtiva, apabila ditekan sakit sampai menjalar ke sekitar mata. Pada Pada
pasien, terdapat jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang dapat
diidentifikasi head, cap, dan body yang terletak di konjungtiva bagian nasal.
2.2.9 Penatalaksanaan
Pengobatan pterigium adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan
pembedahan bila terjadi ganguan penglihatan akibat terjadinya astigmatisme
ireguler atau pterigium yang telah menutupi media penglihatan.
36
1. Konservatif
Pada pterygium yang ringan tidak tidak memerlukan terapi dan hanya
konservatif saja. Lindungi mata dari sinar matahari, udara kering, debu dengan
kacamata. Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat
diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7
hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada
penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.
Pada keadaan meradang, kemerahan dan rasa perih dari pterigium dapat
diatasi dengan:
Air mata buatan
Air mata artifisial dapat memberi lubrikasi okuler untuk pasien dengan
kornea yang irreguler akibat tumbuhnya pterigium.
Pterigium yang mengalami iritasi dapat diberikan anti inflamasi tetes mata
(golongan steroid) 3 kali sehari 5-7 hari.
2. Operatif
37
Pterigium yang sering memberi keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
Pertumbuhan pterigium yang progresif dan signifikan (>3-4 mm ke arah
sentral kornea/visual axis.
38
membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan
fibrosis dan epithelialisai..Sebuah keuntungan dari teknik ini dengan autograft
konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva.Membran Amnion biasanya
ditempatkan diatas sklera, dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma
menghadap ke bawah.Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem
fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral
dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.
39
c
3. Mencegah Kekambuhan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke
dalam pengelolaan pterygium. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat
rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada
komplikasi dari terapi tersebut.
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya
untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun,
dosis minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC
40
saat ini digunakan: aplikasi intraoperatif MMC langsung ke sclera setelah
eksisi pterygium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah
operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya
intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.
41
sinar beta
topikal thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata, 1 tetes / 3 jam
selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotika
chloramphenicol dan steroid selama 1 minggu
2.2.10 Komplikasi
1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:
- Gangguan penglihatan
- Mata kemerahan
- Iritasi
- Gangguan pergerakan bola mata.
- Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
- Pada pasien yang belum di eksisi terjadi distorsi dan penglihatan sentral
berkurang
- Timbul jaringan parut pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan
diplopia
- Sindrom Dry Eye
- Keganasan epitel pada jaringan epitel di atas pterigium
- Rekurensi
- Infeksi
- Perforasi korneosklera
42
- Jahitan graft terbuka hingga terjadi pembengkakkan dan perdarahan
- Korneoscleral dellen
- Granuloma konjungtiva
- Epithelial inclusion cysts
- Conjungtiva scar
- Adanya jaringan parut di kornea
- Disinsersi otot rektus
Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan.
Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini
bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft dari konjungtiva atau
transplant membran amnion pada saat eksisi.4
2.2.11 Pencegahan
Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti
nelayan, petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan
memakai kacamata pelindung sinar matahari.
2.2.12 Prognosis
Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya
prognosis baik. Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan
sitotastik tetes mata atau beta radiasi.
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi. Sebagian besar pasien
dapat beraktivitas kembali setelah 48 jam postoperasi. Pasien dengan rekuren
pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dengan conjungtiva autograft atau
transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3-6 bulan
pertama setelah operasi.
43
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau
karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock
dan mengurangi intensitas terpapar sinar matahari.
BAB III
ANALISIS KASUS
44
Insidensi Pterigium dilaporkan dua kali Pasien merupakan
lebih terjadi pada laki-laki seorang wanita berusia
dibandingkan dengan perempuan. 57 tahun.
Pasien usia 20-40 tahun
dilaporkan memiliki insidensi
pterigium tertinggi. Pterigium
jarang terjadi sebelum usia 20
tahun.
Faktor Risiko Radiasi sinar ultraviolet Pasien tinggal di
Genetik Indonesia yang
Iritasi kronik atau inflamasi. merupakan negara ber
Debu, kelembapan yang iklim tropis (panas)
rendah, dan trauma kecil dari dengan sinar matahari
45
- mata merah tanpa penurunan menggunakan sepeda
visus terkecuali jaringan telah motor.
meluas hingga menutupi aksis
visual,
46
luar mata (konjungtiva) dapat head, dan cap.
merah akibat dari iritasi dan
peradangan yang dapat
diidentifikasi body, head, dan cap
Pemeriksaan Test: Uji ketajaman visual dapat Telah dilakukan uji
Penunjang dilakukan untuk melihat apakah ketajaman visual dan
visus terpengaruh. Dengan visualisasi menggunakan
menggunakan slitlamp diperlukan slit lamp.
untuk memvisualisasikan - Pemeriksaan sonde
pterygium tersebut. Dengan tidak dilakukan
menggunakan sonde di bagian - Pemeriksaan
limbus, pada pterigium tidak Histopatologi tidak
dapat dilalui oleh sonde seperti dilakukan pada pasien ini
pada pseudopterigium.
- Pemeriksaan Histopatologi :
untuk menyingkirkan diagnosis
banding. Pada Pterygium
ditemukan epitel ireguler dan
degenerasi hialin dalam
stromanya serta rusaknya
membrane descemet serta dapat
menyingkirkan kemungkinan
keganasan akibat rekurensi.
Sedangkan pada Pinguekula
didapatkan degenerasi hialin
jaringan submukosa konjungtiva.
Terapi Pada pterigium yang ringan tidak Diberikan cendo xitrol
perlu di obati. Untuk pterigium (kombinasi antibiotik
derajat 1-2 yang mengalami dan steroid) dan rencana
inflamasi, pasien dapat diberikan tindakan operasi
obat tetes mata kombinasi menggunakan teknik
47
antibiotik dan steroid 3 kali sehari CAG karena pasien
selama 5-7 hari. merasa keluhan telah
mengganggu aktivitas
sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
48
4. Shintya D, Syawal R, Sirajuddin J, Symasu N. The Profile of Tear Mucin
Layer and Impression Cytology in Pterygium Patients. J Oftalmol Indones.
2010;7(4).
5. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Oftalmologi Umum. 17th ed. U B, Susanto
Di, editors. Jakarta: EGC; 2008. 5-6 p.
6. Gazzard G, Saw SM, Farook M, Koh D, Widjaja D, Chia SE, et al.
Pterygium in Indonesia: Prevalence, severity and risk factors. Br J
Ophthalmol. 2012;86(12):1341–6.
7. Liu T, Liu Y, Xie L, He X, Bai J. Progress in the Pathogenesis of
Pterygium. Curr Eye Res. 2013;1–7.
8. Chui J, Coroneo MT, Tat LT, Crouch R, Wakefield D, Girolamo N Di.
Ophthalmic Pterygium A Stem Cell Disorder with Premalignant Features.
AJPA [Internet]. 2011;178(2):817–27. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ajpath.2010.10.037
9. Detorakis ET. Pathogenetic Mechanism and Treatment Option for
Ophthalmic Pterygium. Int J Mol Med. 2009;23(4):300–3.
10. Singh SK. Pterygium: epidemiology prevention and treatment. Community
eye Heal [Internet]. 2017;30(99):S5–6. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29849437
11. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management of Pterygium. Ophthalmic
Pearls [Internet]. 2011;37–8. Available from:
http://www.crossref.org/deleted_DOI.html
12. Dalgleish T, Williams JMG., Golden A-MJ, Perkins N, Barrett LF, Barnard
PJ, et al. Treatment of Ocular Surface Disorders. Am Acad Ophthalmol.
2017;14(8):487–91.
13. Hall AB. Understanding and managing pterygium Pterygium. Community
Eye Heal J. 2016;29(95):54–6.
14. Junqueira, L.C., Carneiro, J.,( 2017). Sistem Fotoreseptor dan Audioreseptor.
Dalam: Junqueira, L.C., Carneiro, J (ed). Histologi Dasar: Text & Atlas.
Edisi 10. Jakarta: EGC.
15. Vaughan, D. (2010). Oftalmologi Umum, Edisi 17. Jakarta: Penerbit Buku
49
Kedokteran EGC
16. Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata.
Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2010
50